IMPERIALISME BUDAYA DALAM KOMIK JEPANG
(Analisis Wacana tentang
Bentuk Imperialisme Budaya dalam Komik Jepang)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
Disusun oleh :
Christine M. Siregar
(040904080)
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN
ABSTRAKSI i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vi
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1 Latar Belakang Masalah 1
I.2 Perumusan Masalah 6
I.3 Pembatasan Masalah 6
I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 7
I.5 Kerangka Teori 8
I.6 Kerangka Konsep 13
I.7 Defenisi Operasional 14
I.8 Metode Penelitian 16
I.9 Sistematika Penulisan 20
BAB II URAIAN TEORITIS 21
II.1 Komunikasi Massa 21
II.2 Teori Imperialisme Budaya 28
II.3 Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun Van A. Dijk 33
II.4 Komik 40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 46
III.1 Deskripsi Objek Penelitian 46
III.2 Tipe Penelitian 53
III.3 Objek Penelitian 53
III.4 Unit dan Level Analisis 54
III.5 Teknik Pengumpulan Data 55
III.6 Teknik Analisis Data 56
BAB IV PEMBAHASAN DATA 57
IV. 1 Penyajian Data 57
BAB V PENUTUP 90
V.1 Kesimpulan 90
V.2 Saran 91
DAFTAR TABEL
Tabel IV.I.1.1 Analisis data komik Samurai X – Bab 1 ………. 57
Tabel IV.I.1.2 Analisis data komik Samurai X – Bab 41 ……… 58
Tabel IV.I.1.3 Analisis data komik Samurai X – Bab 89 ………. 58
Tabel IV.I.1.4 Analisis data komik Samurai X – Bab 136 ……… 59
Tabel IV.I.2.1 Analisis data komik Naruto – Bab 339 ……….. 60
Tabel IV.I.2.2 Analisis data komik Naruto – Bab 342 ………... 60
Tabel IV.I.2.3 Analisis data komik Naruto – Bab 344 ………... 60
Tabel IV.I.2.4 Analisis data komik Naruto – Bab 351 ………... 61
Tabel IV.I.3.1 Analisis data komik Death Note – Chapter 1 ………. 62
Tabel IV.I.3.2 Analisis data komik Death Note – Chapter 2 ………. 63
Tabel IV.I.3.3 Analisis data komik Death Note – Chapter 4 ………. 64
Tabel IV.I.3.4 Analisis data komik Death Note – Chapter 8 ……….. 64
Tabel IV.I.3.5 Analisis data komik Death Note – Chapter 11 ………... 65
ABSTRAK
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
““Manga” Masih Mendominasi Dunia”, demikianlah judul artikel yang
ditulis oleh Anung Wendyartaka dalam Teropong Pustakaloka yang dimuat pada
harian Kompas, Senin, 26 November 2007. Manga adalah sebutan untuk
komik-komik yang berasal dari Jepang. Istilah manga sendiri tidak hanya digunakan di
Jepang, tetapi hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Istilah manga yang
mendunia ini seolah-olah menunjukkan kekuatan pengaruh manga yang memang
sudah mendunia.
Ketika kita berbicara tentang komik di Indonesia, maka stereotype yang
muncul adalah bacaan anak-anak, tidak lebih dari itu. Entah karena komik
menggunakan gambar dalam penceritaannya atau karena komik “Doraemon”
sangat terkenal di Indonesia, komik tetap dianggap sebagai konsumsi anak-anak
dan cenderung dianggap sebelah mata. Namun, stereotype ini tidak berlaku bagi
mereka yang mengikuti perkembangan komik. Bagi yang mengikuti
perkembangan komik di Indonesia bahkan di dunia jelas menyadari bahwa
sasaran pembaca komik berbeda-beda, tergantung isi yang ditawarkan komik
tersebut. Tidak hanya itu, komik juga dianggap berpotensi untuk dijadikan lahan
industri dan sumber pendapatan jika dikelola dengan baik.
Kondisi ini sangat berbeda jika kita melihat perkembangan komik di Jepang.
Di negara yang warganya super sibuk tersebut, komik justru memegang peranan
saja berkisar sekitar 4,1 milyar dollar AS. Tidak hanya diakui di negaranya,
komik Jepang bahkan mendominasi industri komik dunia. Hal ini dibahas dalam
Frankfurt Book Fair 2007, di Hall 3.0 dalam diskusi yang bertajuk “The
International Comics Market in 2007”, 10 Oktober 2007. (Kompas Edisi 148,
Senin 26 November 2007).
Walaupun di Jepang sendiri omzet industri manga (komik Jepang)
mengalami penurunan sebesar 4,2 persen, di luar negeri industri manga justru
mengalami peningkatan. Dari 3.195 judul baru komik yang beredar tahun 2006 di
Prancis dan Belgia, lebih dari setengahnya adalah komik Jepang, persisnya
berjumlah 1.418 judul. Dominasi manga juga terjadi di wilayah Catalan
(Catalonia). Pada Oktober 2007, persentase manga di pasar komik negara tersebut
mencapai 43 persen, disusul komik Amerika 34-37 persen dan komik Spanyol 20
persen. Hal yang sama terjadi di negara Italia yang bahkan mengakibatkan
penerbit komik lokal kewalahan diterpa serbuan manga. Walaupun mengalami
peningkatan di berbagai belahan dunia, pihak Jepang tetap merasa khawatir
dengan penurunan omzet industri manga di negaranya. Ini dikarenakan, bagi
Jepang sendiri manga ikut mengambil peran penting dalam industri penerbitan
Jepang sehingga berbagai persoalan yang menimpa industri manga sangat
berpengaruh terhadap perkembangan industri penerbitan secara keseluruhan.
Sebagai gambaran, dari seluruh produk buku dan majalah yang terbit di negari
Sakura ini, seperempatnya adalah manga. (Kompas edisi 148, 26 November
2007).
Jika negara-negara yang industri komiknya cukup berkembang saja sudah
justru baru bergerak. Salah satu penerbit komik legal di Indonesia, Elex Media
Komputindo, mengakui bahwa dari 60 judul komik yang mereka terbitkan, 52
diantaranya merupakan komik Jepang, sisanya 7 komik Korea dan 1 komik
Indonesia. Bahkan menurut data Buku Laris Pustakaloka Kompas, sejak tahun
2003 sampai kini, komik Jepang yang diterbitkan Elex Media Komputindo
menempati urutan teratas atau lima besar best seller. Ini membuktikan bahwa
komik manga sangat digemari masyarakat di Indonesia.
Sekilas, komik-komik Jepang atau manga memang terlihat sebagai bacaan
hiburan belaka. Namun, siapa yang menyangka manga yang notabenenya hanya
bacaan hiburan itu justru mengandung ideologi Jepang yang pelan-pelan merasuki
jiwa pembacanya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh George
Gerbner, seorang kritikus budaya massa. Isi media itu sendiri pada mulanya
mungkin dipandang sebagai hiburan. Namun, perlahan tapi pasti ia terus
menginjeksikan secara halus “citra palsu” tentang kehidupan, masyarakat dan
dunia (dikutip oleh Ibrahim dalam buku Hegemoni Budaya). Animonster, salah
satu majalah yang mengkhususkan diri untuk membahas anime (animasi Jepang)
dan manga, menjadi saksi bentuk hegemoni ini.
Hampir dalam setiap edisi Animonster kita dapat membaca artikel-artikel
tentang acara berbau Jepang yang diadakan di tanah Indonesia, khususnya di
Bandung dan Jakarta. Dengan kata lain, hampir setiap bulan selalu diadakan acara
berbau Jepang. Padahal acara berbau tanah air saja paling-paling diadakan setahun
sekali itupun saat hari Kemerdekaan. Belum lagi foto-foto remaja wanita yang
memakai kimono atau foto-foto remaja pria dengan hakama maupun gakuran
Animonster. Budaya cosplay (costume player, yaitu kegiatan meniru tokoh-tokoh
komik atau kartun Jepang) pun seolah hal yang biasa bagi mereka penggemar
kartun dan komik Jepang ini. Bon odori, salah satu tari tradisional Jepang juga
bukan hal asing bagi mereka. Belum lagi urusan kuliner, mulai dari sushi sampai
takoyaki semuanya dilahap dengan nikmat oleh lidah Indonesia mereka. Harajuku
style yang mencakup gaya rambut dan gaya berpakaian juga makin diminati di
negara ini.
Tidak berhenti sampai disitu, perkembangan komik Indonesia yang
pelan-pelan mulai bergerak juga ikut terpengaruh dengan manga. Hal ini diangkat Umi
Kulsum dalam artikelnya “Tren Komik Indonesia Masih dalam Dekapan Manga”,
yang dimuat di Kompas pada Senin, 26 November 2007. Komik-komik yang
diterbitkan oleh orang Indonesia justru bergaya manga, baik dari segi gambar
maupun gaya cerita. Komik-komik Indonesia dengan gaya manga semakin
tumbuh subur dengan terbitnya buku-buku cara menggambar ala manga dan
dengan berdirinya sekolah-sekolah yang menyediakan jasa untuk mengajar cara
menggambar ala manga, sebut saja Accolyte School, Gakushudo maupun Machiko
School.
Serbuan manga oleh Jepang merupakan bentuk imperialisme yang tidak bisa
dipandang sebelah mata. Para penggemar manga bahkan bangga menyebut diri
mereka O-taku, yaitu sebutan untuk mereka yang tergila-gila pada anime dan
manga. Padahal, di Jepang sendiri, sebutan O-taku justru mengandung makna
yang buruk karena diperuntukkan bagi mereka yang terlalu menggilai anime dan
manga serta tidak mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Jelas
Pada tahun 2006 yang lalu, the Japan Foundation bekerjasama dengan
Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) menyelenggarakan lomba
esai tentang Jepang. Esai ini kemudian dibukukan dengan judul “Image Jepang di
Mata Anak Muda Indonesia”. Lewat kata pengantar dalam buku ini, Mohammad
Yusuf selaku Ketua Tim Juri dari HISKI mengungkapkan bahwa hampir tidak ada
satu pun para pelajar atau mahasiswa yang menulis sisi negatif dari Jepang.
Lagi-lagi terjadi kekaburan citra dengan realita akan Jepang.
Kekaburan ini tentu tidak semata-mata terjadi begitu saja. Komik Jepang
yang menjadi alat penyebaran budaya Jepang adalah salah satu penyebab
kekaburan citra dengan realita akan Jepang. Pembaca komik Jepang menjadikan
komik Jepang sebagai referensinya akan negara Jepang yang sebenarnya. Materi
yang dihadirkan komik sendiri sangat beragam, salah satunya adalah
pembentukan kriterium kepahlawanan, yang dihadirkan lewat komik Jepang
ber-genre action. Melalui komik jenis ini, pembaca disuguhi kisah-kisah
kepahlawanan tokoh utamanya yang kemudian dipuja dan dianggap sebagai
“realita”. Berbeda dengan komik negara lain yang tokoh pahlawannya cenderung
berasal dari kalangan umum, beberapa komik Jepang justru menggunakan tokoh
pahlawan yang berasal dari kalangan Samurai (Samurai X, Samurai Champloo,
Samurai 7) atau Ninja (Naruto, Ninja Hatori, Ninja Rantaro); kalangan yang
jelas-jelas hanya ada di Jepang. Dan sejalan dengan yang diungkapkan George
Gerbner, perlahan tapi pasti, komik-komik Jepang terus menginjeksikan secara
halus “citra palsu” tentang kehidupan Samurai, tentang masyarakat Ninja, dan
Jika selama ini kita selalu khawatir dengan masuknya budaya “barat” dari
belahan Amerika Serikat sana, maka sudah saatnya kita meletakkan perhatian kita
sejenak pada serangan budaya Jepang. Jika budaya “barat” masuk dengan pintu
media televisi, maka Jepang justru masuk lewat media komik dan kartun Jepang.
Oleh karena itulah diperlukan sebuah penelitian yang mampu mengungkapkan
ideologi-ideologi tersembunyi yang terkandung dalam komik Jepang.
Dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana
bentuk Imperialisme Budaya dalam komik Jepang.
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka
dikemukakan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
“Bagaimana bentuk Imperialisme Budaya dalam komik Jepang yang beredar
di Indonesia?”
I.3 Pembatasan masalah
Agar ruang lingkup penelitian tidak terlalu luas dan permasalahan yang diteliti
menjadi jelas, terarah dan lebih spesifik, maka pembatasan masalah yang akan
diteliti adalah:
a. Penelitian ini dilakukan pada komik-komik yang berasal dari Jepang, yaitu
komik Samurai X, Naruto dan Death Note.
b. Fokus penelitian hanya pada level teks, yaitu untuk mencari makna yang
c. Penelitian ini tidak membahas lebih jauh ke masalah kognisi sosial dan
konteks sosial di balik teks tersebut.
d. Bentuk imperialisme yang diteliti terbatas pada pembentukan kriterium
kepahlawanan (heroism) negara Jepang yang terkandung dalam
komik-komik Jepang.
I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
I.4.1 Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui gambaran secara umum tentang isi dari komik-komik
Jepang terkait dengan persoalan imperialisme budaya khususnya tentang
pembentukan kriterium kepahlawanan negara Jepang.
b. Untuk mengetahui bagaimana implikasi Imperialisme Budaya dalam
komik-komik Jepang.
I.4.2 Manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah
penelitian tentang media, khususnya tentang kajian media yang diteliti
dengan analisis wacana. Penelitian ini juga diharapkan mampu menambah
pengetahuan tentang teori imperialisme budaya dalam bidang Ilmu
Komunikasi.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran
pembaca agar lebih kritis terhadap media, khususnya komik-komik
c. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Departemen
Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan
sumber bacaan.
I.5 Kerangka Teori
Kerangka teori berisi pokok-pokok pikiran yang menjadi titik tolak atau
landasan dalam menyoroti masalah, sehingga menggambarkan juga dari sudut
masalah penelitian disoroti. Kerangka teori juga berfungsi sebagai tolak ukur
untuk menguji kondisi variabel atau gejala didalamnya yang sama berdasarkan
pengumpulan dan pengolahan data. (Nawawi, 1991: 32).
Adapun teori-teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah
Komunikasi massa, Imperialisme Budaya, Analisis Wacana Kritis; Pendekatan
Teun A. Van Dijk, dan komik.
I.5.1 Komunikasi Massa
Pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media
massa untuk membuat produksi masssal dan untuk menjangkau khalayak dalam
jumlah besar. Di samping itu, ada pula makna lain—yang dianggap makna asli—
dari kata massa, yakni suatu makna yang mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk,
yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu sama lain. Kamus bahasa
Inggris ringkas memberikan definisi “massa” sebagai “suatu kumpulan orang
banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas”. Definisi ini hampir
khususnya bila dipakai dalam kaitannya dengan khalayak media. (Mc Quail, 1989
: 31).
Dalam Severin dan Tankard (2007 : 4) menurut Wright (1959), perubahan
teknologi baru menyebabkan perubahan dalam definisi komunikasi massa yang
mempunyai tiga ciri :
1. Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar,
heterogen dan anonim.
2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk
bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan
sifatnya sementara.
3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi
yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar.
Dari pengertian-pengertian di atas jelas terlihat bahwa dalam komunikasi
massa diperlukan alat sebagai penyebaran isi komunikasinya, alat tersebut adalah
media massa. Media massa menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi media
elektronik dan media cetak. Sementara menurut periodiknya, media massa dapat
dibedakan menjadi media periodik seperti surat kabar atau majalah, dan media
non periodik seperti buku termasuk komik.
I.5.2 Teori Imperialisme Budaya
Gagasan mengenai imperialisme “budaya” atau “media” berasal dari teori
dan bukti awal tentang peran media dalam pembangunan nasional (misalnya
Lerner, 1958; Schramm, 1964) dan dalam perumusan ulang secara kritis yang
(1979), dan banyak lainnya. Korelasi pandangan bahwa media dapat membantu
“modernisasi” dengan memperkenalkan nilai-nilai “barat” dilakukan dengan
mengorbankan nilai-nilai tradisional dan hilangnya “keaslian” budaya lokal.
Secara sederhana, dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai yang diperkenalkan itu
adalah nilai-nilai kapitalisme dan karenanya prosesnya “imperialistis” serta
dilakukan secara sengaja, atau disadari dan sistematis, yang menempatkan negara
yang sedang berkembang dan lebih kecil di bawah kepentingan kekuasaan
kapitalis yang lebih dominan.
Herberth Schiller dalam bukunya “Communication and Cultural
Domination” (1976) menegaskan penggunaan istilah imperialisme budaya untuk
menggambarkan dan menjelaskan cara perusahaan-perusahaan multinasional
termasuk media dalam membangun negara-negara yang didominasi negara yang
sedang berkembang.
Imperialisme budaya merupakan sebuah konsep kritis yang menyatakan
bahwa difusi artifak, citra dan gaya budaya modern (dari bahasa-bahasa dominan
dan musik pop hingga pesawat TV dan perangkat keras komputer) ke seluruh
dunia merupakan sebentuk penindasan atau “imperialisme” budaya kontemporer.
Proses ini mendukung kepentingan ekonomi, politik, dan budaya dari adikuasa
internasional seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Jepang.
Imperialisme media dan imperialisme budaya merupakan gejala yang terjadi
dalam waktu bersamaan. Media menjadi sarana di mana satu kelompok
mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Khalayak tidak merasa
dibodohi atau dimanipulasi oleh media. Khalayak mengkonsumsi semua
mereka merupakan bagian darinya, meskipun itu hanya impian atau ilusi. Salah
satu bentuk kesan yang dapat diciptakan media adalah kriterium kepahlawanan
(heroism) dari seseorang atau sekelompok orang bahkan suatu negara.
I.5.3 Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun A. Van Dijk
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak
disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar
dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan
dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa (Eriyanto, 2001 : 3-4).
Analisis wacana kritis berisi metode-metode yang menekankan multi level
analisis. Mempertahankan analisis pada jenjang mikro (teks) dengan analisis pada
jenjang meso dan makro.
Ada beberapa pendekatan dari analisis wacana, salah satunya adalah
Pendekatan Teun A. Van Dijk yang sering disebut sebagai Pendekatan Kognisi
Sosial.
Menurut Van Dijk, penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi
seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil
dari struktur besar masyarakat. Pendekatan yang dikenal sebagai kognisi sosial ini
membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang
kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan.
Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga suatu ruang hampa
yang mandiri. Akan tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk
tidak hanya membongkar teks semata, tapi ia melihat bagaimana struktur sosial,
kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks
tersebut. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/bangunan
: teks, kognisi sosial dan konteks sosial.
Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur dari teks. Van Dijk
memanfaatkan dan mengambil analisis linguistik –tentang kosakata, kalimat,
proposisi, dan paragraf– untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks. Van Dijk
melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing
bagian saling mendukung. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata,
kalimat, dan proposisi yang dipakai. Pernyataan/tema pada level umum didukung
oleh pilihan kata, kalimat, atau retorika tertentu. Prinsip ini membantu peneliti
untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang
lebih kecil. Skema ini juga memberikan peta untuk mempelajari suatu teks. Kita
tidak cuma mengerti apa isi dari suatu teks berita, tetapi juga elemen yang
membentuk teks berita, kata, kalimat, paragraf dan proposisi. Kita tidak hanya
mengetahui apa yang diliput media, tetapi juga bagaimana media mengungkapkan
peristiwa ke dalam pilihan bahasa tertentu dan bagaimana itu diungkapkan lewat
retorika tertentu.
I.5.4 Komik
Pengertian “komik” secara umum adalah cerita bergambar dalam majalah,
surat kabar, atau berbentuk buku, yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu.
Pengertian tersebut ada benarnya, namun pengertian ini menjadi kurang tepat
terutama bagi komik-komik yang menampilkan cerita-cerita serius. (Sobur, 2003 :
Komik Jepang memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan komik-komik
negara lain. Artworknya cukup sederhana, bentuk matanya bulat dan besar serta
sangat kental dengan budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Jepang.
Namun, seiring dengan perkembangannya, mulai banyak bermunculan komik
dengan artwork yang lebih rumit, realistis, dan detail yang lebih rinci serta jalan
cerita yang kompleks. Kentalnya budaya Jepang yang disajikan dalam manga
(komik Jepang), menjadikan manga sebagai salah satu alat penyebaran budaya
Jepang di seluruh dunia. (“The Manga Culture”, Kang Guru Radio English edisi
Maret 2008)
I.6 Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan kemampuan peneliti menyusun konsep
operasional peneliti yang bertitik tolak pada kerangka teori dan tujuan penelitian
(Lubis, 1998:110). Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk
menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang
menjadi pusat penelitian ilmu sosial. Adapun kerangka konsep dalam penelitian
ini adalah memakai model dari analisis wacana Teun A. Van Dijk.
Van Dijk menganalisis pada tiga tahap, yaitu teks, kognisi sosial dan
konteks. Penelitian ini hanya membahas pada tahap teks. Analisis teks Van Dijk
dibagi pada tiga level, yaitu :
1. Struktur Makro, mencakup tema atau topik yang dikedepankan.
2. Super Struktur, bagaimana urutan teks diskemakan.
I.7 Definisi Operasional
1. Tematik
Menunjukkan gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai
gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.
2. Skematik
Teks atau wacana mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai
akhir. Bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga
terbentuk suatu kesatuan arti.
3. Latar
Latar merupakan bagian teks yang dapat mempengaruhi semantik (arti)
yang ingin ditampilkan. Latar belakang peristiwa menentukan ke arah mana
pandangan khalayak hendak dibawa.
4. Detil
Berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang untuk
melakukan penonjolan dan menciptakan citra tertentu dan mengekspresikan
sikapnya secara implisit.
5. Maksud
Menunjukkan bagaimana pembuat teks secara eksplisit menonjolkan
kebenaran tertentu dan secara implisit mengaburkan kebenaran lain.
6. Koherensi
Adalah pertalian atau jalinan antar kata dan kalimat dalam teks. Dua buah
kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga
7. Koherensi Kondisional
Ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas. Ada tidaknya
anak kalimat tidak akan mengurangi arti kalimat.
8. Koherensi Pembeda
Berhubungan dengan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak
dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat saling bertentangan dan
berseberangan. Perlu diketahui bagian mana yang diperbandingkan dan dengan
cara apa perbandingan itu dilakukan.
9. Pengingkaran
Bagaimana pembuat teks menyembunyikan apa yang akan diekspresikan
secara implisit.
10.Bentuk Kalimat
Merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis,
yaitu prinsip kausalitas. Bentuk kalimat ini tidak hanya persoalan teknis di
ketatabahasaan tetapi juga menentukan makna yang dibentuk oleh susunan
kalimat itu.
11.Kata ganti
Elemen ini untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu
komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat untuk menunjukkan dimana
posisi seseorang dalam wacana.
12.Leksikon
Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata
atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata-kata yang dipakai
13.Praanggapan
Merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks
dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya.
14.Grafis
Merupakan bagian untuk memeriksa bagian yang ditekankan atau
ditonjolkan. Dapat diamati beberapa bagian yang dibedakan dari tulisan lain.
15.Metafora
Penyampaian pesan melalui kiasan, ungkapan, metafora sebagai ornamen
dari suatu teks. Yang dapat menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu
teks.
I.8 Metode Penelitian
I.8.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni salah satu cara pandang
dalam menganalisis media. Dikategorikan dalam penelitian interpretatif, dan
bersifat subjektif. Metode penelitian ini menggunakan analisis wacana versi Teun
A. Van Dijk pada level teks.
Pada level teks ini terdapat tiga lapis yaitu makro, super struktur, dan mikro.
Dengan analisis wacana model Van Dijk ini akan mengungkapkan bagaimana
penggunaan bahasa digunakan untuk membentuk realitas media.
I.8.2 Objek Penelitian
Yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah komik-komik yang berasal
dari Jepang yang telah beredar di Indonesia, yaitu Samurai X, Naruto dan Death
I.8.3 Unit dan Level analisis
Unit yang akan dianalisis adalah teks dari isi cerita dalam komik Samurai X,
Naruto dan Death Note. Ketiga komik ini dipilih dengan pertimbangan bahwa
komik tersebut cukup laris di pasaran, terbukti dengan diangkatnya serial komik
tersebut ke dalam bentuk animasi dan dua di antaranya pernah ditayangkan di
stasiun televisi swasta di Indonesia. Selain itu, komik-komik tersebut juga dipilih
berdasarkan masa terbitnya, dimana setiap judul komik mewakili masanya
masing-masing. Samurai X mewakili komik Jepang yang beredar di Indonesia
pada tahun 2001. Sementara Naruto mewakili komik Jepang yang terbit di masa
tahun 2004. Yang terakhir, Death Note, mewakili komik Jepang yang dirilis pada
akhir 2007. Setelah diadakan pra-penelitian, maka komik yang akan diteliti
berjumlah 10 jilid dengan rincian 4 jilid komik Samurai X, 3 jilid komik Naruto
dan 3 jilid komik Death Note.
Analisis hanya dilakukan pada level teks saja. Bagaimana strategi tekstual
yang dipakai dalam komik tersebut untuk memarginalkan suatu kelompok,
memasukkan gagasan atau nilai-nilai tertentu sebagai bentuk dari imperialisme
budaya. Jika digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut :
Stuktur Makro
Makna global dari suatu teks yang diamati dari topik atau tema yang diangkat dari suatu teks.
Super Struktur
Kerangka dari suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan.
Struktur Mikro
I.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :
a. Data Primer, yaitu data-data unit analisa dari teks-teks yang terdapat
pada komik.
b. Data Sekunder, yaitu library research dengan cara mengumpulkan
literatur serta berbagai sumber bacaan yang relevan dan mendukung
penelitian.
I.8.5 Teknik Analisis Data
Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data ke dalam susunan
tertentu yang lebih dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian ini menganalisis teks
pada komik Jepang dengan menggunakan Analisis Wacana. Teks dianalisis
dengan kerangka analisis wacana Teun A. Van Dijk, untuk kemudian
STRUKTUR
WACANA
HAL YANG DIAMATI ELEMEN
Struktur Makro Tematik
Tema atau topik yang
dikedepankan dalam suatu berita
Topik
Super Struktur Skematik
Bagaimana bagian dan urutan teks
diskemakan dalam teks secara
utuh.
Skema
Struktur Mikro Semantik
Makna yang ingin ditekankan
dalam teks. Misalnya dengan
memberi detil pada satu sisi atau
membuat eksplisit pada satu sisi
dan mengurangi detil di sisi lain.
Latar, detil, maksud,
praanggapan,
nominalisasi
Struktur Mikro Sintaksis
Bagaimana kalimat (bentuk,
susunan) yang dipilih
Bentuk kalimat,
koherensi, kata ganti.
Struktur Mikro Stilistik
Bagaimana pilihan kata yang
dipakai dalam teks.
Leksikon
Struktur Mikro Retoris
Bagaimana dan dengan cara apa
penekanan dilakukan.
I.9 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 bab yaitu:
BAB I : Pendahuluan, bagian ini terdiri dari Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konsep, Operasionalisasi
Konsep, Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan.
BAB II : Uraian Teoritis, berisi pengertian dan teori-teori yang digunakan
dalam penelitian, yaitu Teori Komunikasi dan Komunikasi
Massa, Imperialisme Budaya, Analisis Wacana Kritis;
Pendekatan Teun A. Van Dijk, dan Komik.
BAB III : Metodologi Penelitian, bab ini berisi tentang Deskripsi Objek
Penelitian, Tipe Penelitian, Objek Penelitian, Unit dan Level
Analisis, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data.
BAB IV : Pembahasan Data, menyajikan keseluruhan penelitian dimana
data yang diperoleh dibahas dan dijabarkan sesuai dengan tujuan
penelitian. Secara rinci bab ini terdiri dari Penyajian Data,
Analisis Data dan Uraian Analisis.
BAB V : Penutup, pada bab terakhir ini dibuat Kesimpulan mengenai
BAB II
URAIAN TEORITIS
Kerangka teori berisi pokok-pokok pikiran yang menjadi titik tolak atau
landasan dalam menyoroti masalah, sehingga menggambarkan juga dari sudut
masalah penelitian disoroti. Kerangka teori juga berfungsi sebagai tolak ukur
untuk menguji kondisi variabel atau gejala didalamnya yang sama berdasarkan
pengumpulan dan pengolahan data. (Nawawi, 1991: 32).
Adapun teori-teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah teori
komunikasi dan komunikasi massa, Imperialisme Budaya, Analisis Wacana
Kritis; Pendekatan Teun A. Van Dijk, dan komik.
II.1 Komunikasi Massa
Kata “komunikasi” atau communication (Inggris) berasal dari kata Latin
communis yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare
yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis)
adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal-usul kata komunikasi, yang
merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip. Secara sederhana,
komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan
dianut secara sama. (Mulyana, 2004 : 41)
Defenisi komunikasi sendiri sangatlah banyak jumlahnya, namun rumusan
yang paling populer di kalangan orang yang mempelajari komunikasi adalah
rumusan yang dibuat oleh Harold Laswell. Untuk menerangkan proses
“Who says what in which channel to whom and with what effect?”. Melalui
pertanyaan ini, Laswell menjabarkan lima komponen atau unsur yang ada dalam
komunikasi, yaitu Siapa yang mengatakan (komunikator); Apa yang dikatakan
(pesan); Media apa yang digunakan (media); kepada Siapa pesan disampaikan
(komunikan); dan dengan Akibat bagaimana yang terjadi (efek). (Winarso, 2005 :
4)
Dari pengertian Laswell tersebut, media merupakan salah satu unsur yang
terdapat dalam kegiatan komunikasi. Ketika kita berbicara tentang media, maka
hal yang cukup menarik untuk dibahas adalah media massa yang menjadikan
komunikasi berperan sebagai penghubung sistem sosial. Dan kegiatan ini disebut
sebagai komunikasi massa.
Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dirumuskan oleh Bittner,
yakni: komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media
massa pada sejumlah besar orang.
Pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media
massa untuk membuat produksi masssal dan untuk menjangkau khalayak dalam
jumlah besar. Di samping itu, ada pula makna lain –yang dianggap makna asli –
dari kata massa, yakni suatu makna yang mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk,
yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu sama lain. Kamus bahasa
Inggris ringkas memberikan definisi “massa” sebagai “suatu kumpulan orang
banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas”. Definisi ini hampir
menyerupai pengertian “massa” yang digunakan oleh para ahli sosiologi,
khususnya bila dipakai dalam kaitannya dengan khalayak media. (Mc Quail, 1989
Dalam Severin dan Tankard (2007 : 4) menurut Wright (1959), perubahan
teknologi baru menyebabkan perubahan dalam definisi komunikasi massa yang
mempunyai tiga ciri :
1. Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar,
heterogen dan anonim.
2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk
bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan
sifatnya sementara.
3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi
yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar.
Dari pengertian-pengertian di atas jelas terlihat bahwa dalam komunikasi
massa diperlukan alat sebagai penyebaran isi komunikasinya, alat tersebut adalah
media massa. Media massa menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi media
elektronik dan media cetak. Sementara menurut periodiknya, media massa dapat
dibedakan menjadi media periodik seperti surat kabar atau majalah, dan media
non periodik seperti buku termasuk komik.
Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa
(media cetak dan media elektronik). Komunikasi massa berasal dari
pengembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa).
Media massa menunjuk pada hasil produk teknologi modern sebagai saluran
dalam komunikasi massa. Massa dalam arti komunikasi massa lebih menunjuk
pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Massa disini menunjuk
kepada khalayak, audience, penonton, pemirsa atau pembaca. (Nurudin, 2004 :
Alexis S Tan menyebutkan bahwa fungsi komunikasi massa bisa beroperasi
dalam empat hal, dua diantaranya adalah mempersuasi dan menyenangkan;
memuaskan kebutuhan komunikasi. Media massa sebagai alat dalam komunikasi
massa diyakini mampu memberi keputusan; mengadopsi nilai, tingkah laku dan
aturan yang cocok agar diterima dalam masyarakatnya. Media massa juga mampu
menggembirakan audiences-nya, mengendorkan urat syaraf, menghibur,
mengalihkan perhatian dari masalah yang dihadapi. (Nurudin, 2004 : 63)
Bagi Joseph A. Devito (1997) fungsi persuasi dianggap sebagai bentuk yang
paling penting. Persuasi bisa datang dari berbagai macam bentuk; (1)
mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan, atau nilai seseorang, (2)
mengubah sikap, kepercayaan, atau nilai seseorang, (3) menggerakkan seseorang
untuk melakukan sesuatu dan (4) memperkenalkan etika, atau menawarkan sistem
tertentu.
Elemen komunikasi pada komunikasi secara umum juga berlaku bagi
komunikasi massa. Perbedaan komunikasi massa dengan komunikasi pada
umumnya lebih berdasarkan pada jumlah pesan berlipat-lipat yang sampai pada
penerima. Dalam komunikasi massa pengirim sering disebut sebagai sumber
(source) atau komunikator sedangkan penerima pesan yang berjumlah banyak itu
disebut audience, komunikan, pendengar, pemirsa, penonton atau pembaca.
Sementara saluran dalam komunikasi massa yang dimaksud antara lain televisi,
radio, surat kabar, buku, film, kaset/CD, internet yang juga sering disebut sebagai
media massa. Ada beberapa elemen dalam komunikasi massa antara lain,
komunikator, isi, audience, umpan balik, gangguan (saluran dan semantik),
1. Komunikator
Komunikator dalam komunikasi massa merupakan gabungan dari berbagai
individu dalam sebuah lembaga media massa yang bekerja sama satu sama lain.
Komunikator dalam komunikasi massa sifatnya mencari keuntungan. Bukan
semata-mata mencari keuntungan, tetapi orientasi keuntungan menjadi dasar
pembentukan organisasi. Media massa membutuhkan pemasukan bagi
kelangsungan hidup lembaga itu sendiri. Setidak-tidaknya ada lima karakteristik
yang dipunyai komunikator dalam komunikasi massa : 1) daya saing
(competitiveness), 2) ukuran dan kompleksitas (size and complexity), 3)
industrialisasi (industrialization), 4) spesialisasi (specialization), dan 5)
perwakilan (representation).
2. Isi
Masing-masing media punya kebijakan sendiri-sendiri dalam isinya. Sebab,
masing-masing media itu tidak hanya melayani masyarakat yang beragam tetapi
juga menyangkut individu atau kelompok sosial. Bagi Ray Eldon Hiebert dkk
(1985) isi media setidak-tidaknya bisa dibagi ke dalam lima kategori yakni; 1)
berita dan informasi, 2) analisis dan interpretasi, 3) pendidikan dan sosialisasi, 4)
hubungan masyarakat dan persuasi, 5) iklan dan bentuk penjualan lain, dan 6)
hiburan.
3. Audiences
Audience dalam komunikasi massa sangat beragam, dari jutaan penonton
televisi, ribuan pembaca buku atau ratusan pembaca jurnal ilmiah. Masing-masing
audience ini berbeda satu sama lain. Mereka berbeda dalam cara berpakaian,
hidupnya. Tetapi masing-masing individu ini juga bisa saling mereaksi satu sama
lain terhadap pesan yang diterimanya. Audience dalam komunikasi massa
memiliki karakteristik cenderung berisi individu-individu yang condong untuk
berbagi pengalaman dan dipengaruhi oleh hubungan sosial diantara mereka, besar,
heterogen, anonim dan secara fisik dipisahkan dari komunikator secara ruang dan
waktu.
4. Umpan Balik
Di dalam komunikasi massa, umpan balik biasanya terjadi tidak secara
langsung atau tertunda. Artinya, antara komunikator dengan komunikan dalam
komunikasi massa tidak terjadi kontak langsung yang memungkinkan mereka
mengadakan reaksi langsung satu sama lain.
5. Gangguan
Gangguan dalam komunikasi massa bisa dibedakan atas gangguan saluran
dan gangguan semantik. Gangguan saluran bisa terjadi dari kesalahan
komunikator sendiri maupun dari luar diri komunikator tersebut. Gangguan
saluran antara lain berupa kesalahan cetak pada media cetak, langganan majalah
yang tidak datang atau gambar tak jelas pada televisi. Sedangkan gangguan
semantik adalah gangguan dalam proses komunikasi yang diakibatkan oleh
pengirim atau penerima pesan itu sendiri. Gangguan ini terjadi akibat banyaknya
perbedaan yang terjadi pada audience sehingga sangat mustahil memberikan
pesan yang sangat tepat melalui berbagai seperangkat nilai, kebutuhan, hobi,
harapan, suasana hati, minat, pengalaman hidup, kemampuan bahasa individu
6. Gatekeeper
Istilah gatekeeper tidak hanya terbatas untuk menunjuk orang atau
organisasi yang memberi ijin suatu kegiatan, tetapi mempengaruhi keluar
masuknya “sesuatu”. Mereka yang disebut gatekeeper antara lain reporter, editor
berita atau editor film atau orang lain dalam media massa yang ikut menentukan
arus informasi yang disebarkan. Mereka memainkan peranan dalam beberapa
fungsi. Mereka dapat menghapus pesan atau mereka bahkan bisa memodifikasi
dan menambah pesan yang akan disebarkan. Mereka pun bisa menghentikan
sebuah informasi dan tidak membuka “pintu gerbang” (gate) bagi keluarnya
informasi yang lain.
7. Pengatur
Yang dimaksud pengatur dalam media massa adalah mereka yang secara
tidak langsung ikut mempengaruhi proses aliran pesan media massa. Pengatur ini
tidak berasal dari dalam media itu, tetapi di luar media. Namun demikian,
meskipun di luar media massa, kelompok itu bisa ikut menentukan kebijakan
redaksional. Sedangkan pengatur yang dimaksud antara lain pengadilan,
pemerintah, konsumen, organisasi professional, kelompok penekan, juga termasuk
narasumber dan pengiklan. Sedangkan aturan untuk mengatur itu bisa berisi
hukum, aturan, pelarangan, tekanan informal yang bisa mengontrol isi media atau
struktur yang ada dalam media tersebut.
8. Filter
Yang dimaksud filter adalah kerangka pikir melalui mana audience
menerima pesan. Filter ibarat sebuah bingkai kacamata dimana audience bisa
dari bingkai tersebut. Ada beberapa filter antara lain, fisik, psikologis, budaya dan
yang berkaitan dengan informasi.
9. Efek
Efek komunikasi massa bisa dibagi menjadi beberapa bagian. Secara
sederhana Keith R Stamm dan John E Bowes (1990) membagi kedua bagian
dasar. Pertama, efek primer meliputi terpaan, perhatian dan pemahaman. Kedua,
efek sekunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan
sikap) dan perubahan perilaku (menerima dan memilih). (Nurudin, 2004 : 192)
II.2 Teori Imperialisme Budaya
Istilah imperialisme diintrodusir oleh Lenin dan Hobson. Dua teori
imperialisme yang paling awal dikemukakan oleh Hobson dan Lenin. Cukup
banyak persamaan pemikiran antara keduanya, sehingga sering diidentikkan
dengan “tesis Hobson-Lenin”, Hobson berpendapat bahwa terdapat permintaan
efektif yang tidak mencukupi di negara-negara metropolis, karena upah yang
rendah; dan konsekuensinya, kaum kapitalis memerlukan pasar untuk menjual
komoditinya di luar negeri. Ia percaya bahwa redistribusi pendapatan akan
memecahkan masalah konsumsi kurang ini.
Hobson mengungkapkan bahwa imperialisme merupakan perwujudan suatu
negara federasi dunia dimana kebijakan utamanya berpusat pada adopsi oleh
beberapa negara-negara lain dan berada di bawah suatu hegemoni dari negara
pusat. (Hobson, 1988 : 8)
Argumen Lenin agak berbeda, ia berpendapat bahwa merosotnya laju
wilayah-wilayah jajahan, terdapat kesempatan-kesempatan investasi yang lebih
menguntungkan di luar negeri. Lenin menyatakan bahwa imperialisme ditandai
oleh jaringan pengaliran modal ke wilayah koloni. (Purba, 2005 : 42)
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa Imperialisme berarti hegemoni
politik-ekonomi-budaya yang dijalankan suatu bangsa atas bangsa-bangsa lain.
Kata ini biasanya mengacu pada imperialisme budaya atau imperialisme media
yang mencerminkan keprihatinan mengenai bagaimana perangkat keras dan
perangkat lunak komunikasi digunakan oleh negara-negara adikuasa untuk
memasukkan nilai dan agenda politik-ekonomi-budaya mereka pada bangsa dan
budaya yang kalah kuat. Imperialisme media merupakan salah satu istilah yang
berhubungan dengan imperialisme budaya. Media memainkan peranan penting
dalam menghasilkan kebudayaan dan mempunyai peranan yang besar sekali
dalam proses imperialisme budaya.
Gagasan mengenai imperialisme “budaya” atau “media” berasal dari teori
dan bukti awal tentang peran media dalam pembangunan nasional (misalnya
Lerner, 1958; Schramm, 1964) dan dalam perumusan ulang secara kritis yang
dilakukan oleh para penulis seperti Schiller (1969), Wells (1972), Mattelart
(1979), dan banyak lainnya. Korelasi pandangan bahwa media dapat membantu
“modernisasi” dengan memperkenalkan nilai-nilai “barat” dilakukan dengan
mengorbankan nilai-nilai tradisional dan hilangnya “keaslian” budaya lokal.
Secara sederhana, dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai yang diperkenalkan itu
adalah nilai-nilai kapitalisme dan karenanya prosesnya “imperialistis” serta
yang sedang berkembang dan lebih kecil di bawah kepentingan kekuasaan
kapitalis yang lebih dominan.
Herberth Schiller dalam bukunya “Communication and Cultural
Domination” (1976) menegaskan penggunaan istilah imperialisme budaya untuk
menggambarkan dan menjelaskan cara perusahaan-perusahaan multinasional
termasuk media dalam membangun negara-negara yang didominasi negara yang
sedang berkembang. Schiller juga mengungkapkan bahwa spill over informasi
akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi di samping
menciptakan global village yang telah diprediksi oleh Naisbitt dan Toffler bisa
juga melahirkan imperialisme budaya.
Menurut Schiller Imperialisme budaya merupakan suatu proses dimana
masyarakat dibawa kepada sistem dunia modern dan bagaimana ia menguasai
seluruh lapisan, menekan, memaksa, dan kadang-kadang masuk ke dalam
lembaga sosial tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai dan struktur dari sistem
pusat.
Secara ringkas Baran mengungkapkan imperialisme budaya merupakan
invasi dari negara-negara asing yang powerful terhadap suatu kultur masyarakat
asli atau pribumi melalui media massa. (Baran, 2004 : 521)
Imperialisme budaya merupakan sebuah konsep kritis yang menyatakan
bahwa difusi artifak, citra dan gaya budaya modern (dari bahasa-bahasa dominan
dan musik pop hingga pesawat TV dan perangkat keras komputer) ke seluruh
dunia merupakan sebentuk penindasan atau “imperialisme” budaya kontemporer.
Proses ini mendukung kepentingan ekonomi, politik, dan budaya dari adikuasa
Berdasarkan garis besar dari dalil Schiller (1976), ada beberapa konsep
pokok dari Imperialisme budaya, yaitu :
1. Sistem dunia modern, merupakan konsep sederhana yang menunjukkan
kapitalisme.
2. Masyarakat, konsep sederhana yang menunjukkan beberapa negara atau
masyarakat dalam batas geografi tertentu yang akan dikembangkan.
3. Sistem pusat yang mendominasi, menunjukkan negara-negara maju atau
dalam diskursus arus informasi internasional disebut sebagai negara
pusat.
4. Struktur dan nilai, menunjukkan kebudayaan atau organisasi dari negara
yang berkuasa ke negara berkembang.
Imperialisme media dan imperialisme budaya merupakan gejala yang terjadi
dalam waktu bersamaan. Media menjadi sarana di mana satu kelompok
mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Khalayak tidak merasa
dibodohi atau dimanipulasi oleh media. Khalayak mengkonsumsi semua
“produksi kesan” kemasan media dalam bentuk apapun yang seakan membuat
mereka merupakan bagian darinya, meskipun itu hanya impian atau ilusi. Salah
satu bentuk kesan yang dapat diciptakan media adalah kriterium kepahlawanan
(heroism) dari seseorang atau sekelompok orang bahkan suatu negara.
Idi Subandy Ibrahim dalam Hegemoni Budaya mengungkapkan bahwa di
bawah figur media yang keras, orang bisa dikendalikan dan akhirnya dihancurkan.
Tetapi, ada juga yang mengendalikan dan mengekspresikan diri melalui media.
Amerika Serikat, misalnya, telah dengan mengesankan mentasbihkan dirinya
invasi. Sejarah mencatat bahwa setiap pahlawan membutuhkan “media”. Jika dulu
medianya adalah revolusi maka sekarang medianya adalah media massa. Media
massa mampu menciptakan pahlawan-pahlawan kultural rekaan media yang
ditokohkan atas dasar citra (image) atau kesan (impression) simbolis yang
kemudian mengukuhkan kriterium kepahlawanan (heroism) seseorang.
Salah satu yang mendasari munculnya teori ini adalah bahwa pada dasarnya
manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka
berpikir, apa yang dirasakan dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka
cenderung mereaksi apa saja yang dilihatnya dari media massa. Akibatnya,
individu-individu itu lebih senang meniru apa yang disajikan media massa.
Mengapa? Karena media massa menyajikan hal baru yang berbeda dengan yang
biasa mereka lakukan. Media massa juga merupakan alat kultural yang memuat
produk budaya di mana ia berasal. Sebagaimana yang telah disebutkan di awal
tulisan ini semuanya bermuara pada imprialisme budaya.
Teori ini juga menerangkan bahwa ada satu kebenaran yang diyakininya.
Sepanjang negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media
massanya dengan materi yang berasal dari negara-negara maju, orang-orang dunia
ketiga akan selalu percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir dan
rasakan. Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang
berasal dari kebudayaan negara-negara maju tersebut.
Teori imperialisme budaya ini juga tak lepas dari kritikan. Teori ini terlalu
memandang sebelah mata kekuatan audience di dalam menerima terpaan media
massa dan menginterpretasikan pesan-pesannya. Ini artinya, teori ini menganggap
pengaruh peniruan pada orang-orang yang berbeda budaya. Tetapi yang jelas,
terpaan yang terus-menerus oleh suatu budaya yang berbeda akan membawa
pengaruh perubahan, meskipun sedikit. (Nurudin, 2004 : 167)
II.3 Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun A. Van Dijk
Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut saat ini. Kata
wacana ini sendiri memiliki makna yang luas, ini dikarenakan oleh perbedaan
lingkup dan disiplin ilmu yang memakai istilah wacana tersebut. Namun dari
banyaknya pengertian tersebut terdapat sebuah kesamaan dimana wacana
merupakan bentuk dari pemakaian bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral
dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya,
maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang wacana, ada baiknya
kita melihat batasan atau pengertian wacana dari berbagai sumber. Istilah wacana
sekarang ini dipakai sebagai terjemahan dari perkataan bahasa Inggris discourse.
Dalam salah satu kamus bahasa Inggris terkemuka, mengenai wacana atau
discourse ini kita dapat membaca keterangan sebagai berikut:
Kata discourse berasa dari bahasa Latin discursus yang berarti lari kian kemari (yang diturunkan dari ‘dis’-dari, dalam arah yang berbeda’, dan currere ‘lari’).
1. Komunikasi pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan; konversasi atau percakapan.
2. Komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah.
3. Risalat tulis; disertasi formal; kuliah; ceramah; khotbah (Webster dikutip oleh Sobur, 2004 : 10)
Sebuah tulisan adalah sebuah wacana. Tetapi, apa yang dinamakan wacana
Websters; sebuah pidato pun adalah wacana juga. Jadi, kita mengenal wacana
lisan dan wacana tertulis. Ini sejalan dengan pendapat Henry Guntur Tarigan
bahwa “Istilah wacana dipergunakan untuk mencakup bukan hanya percakapan
atau obrolan, tetapi juga pembicaraan di muka umum, tulisan, serta upaya-upaya
formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon”. (Sobur, 2004 : 10)
Dalam pengertian yang lebih sederhana, wacana berarti cara objek atau ide
diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan
pemahaman tertentu yang tersebar luas. Wacana selalu mengandaikan
pembicara/penulis, apa yang dibicarakan, dan pendengar/pembaca. Bahasa
merupakan mediasi dalam proses ini.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak
disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar
dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan
dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa (Eriyanto, 2001 : 3-4).
Seperti yang banyak dilakukan dalam penelitian mengenai organisasi
pemberitaan selama dan sesudah tahun 1960-an, analisis wacana menekankan
pada “how the ideological significance of news is part and parcel of the methods
used to process news” (bagaimana signifikansi ideologis berita merupakan bagian
dan menjadi paket metode yang digunakan untuk memproses media).
Lantas, apakah yang disebut analisis wacana itu? Jika kita coba rumuskan,
analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Lebih
tepatnya lagi, analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik)
bahasa. Kita menggunakan bahasa dalam kesinambungan atau untaian wacana.
suprakalimat maka kita sukar berkomunikasi dengan tepat satu sama lain. Analisis
wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi
bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan,
tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang
disebut wacana. Dalam upaya menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari
kalimat tersebut, analisis wacana tidak terlepas dari pemakaian kaidah berbagai
cabang ilmu bahasa, seperti halnya semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi.
(Sobur, 2004 : 48)
Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana,
Positivisme-empiris, Konstruktivisme, dan Pandangan Kritis. Pandangan kritis
sendiri tercipta sebagai hasil koreksi dari pandangan konstruktivisme yang kurang
sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis
maupun institusional. Dalam Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/
CDA), wacana disini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa disini dianalisis
bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga
menghubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dipakai untuk tujuan dan
praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat
ketimpangan yang terjadi.
Karakteristik Analisis Wacana Kritis menurut Teun A. Van Dijk, Fairclough
dan Wodak adalah:
1. Tindakan
Wacana diasosiasikan sebagai bentuk interaksi. Pertama wacana dipandang
sebagai sesuatu yang bertujuan. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang
2. Konteks
Analisis Wacana Kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti
latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana diproduksi, dimengerti, dan dianalisis
pada suatu konteks tertentu.
3. Historis
Salah satu aspek penting untuk mengerti teks adalah dengan menempatkan
wacana itu dalam konteks historis tertentu dimana wacana itu diciptakan.
4. Kekuasaan
Setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan atau apapun,
tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan
bentuk pertarungan kekuasaan. Kekuasaan berhubungan dengan kontrol
kekuasaan.
5. Ideologi
Teori-teori klasik tentang ideologi diantaranya mengatakan bahwa ideologi
dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan mereproduksi dan
melegitimasi dominasi mereka.
Analisis wacana kritis berisi metode-metode yang menekankan multi level
analisis. Mempertahankan analisis pada jenjang mikro (teks) dengan analisis pada
jenjang meso dan makro.
Sebetulnya, banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan
dikembangkan oleh para ahli. Eriyanto (2001) dalam buku Analisis Wacana-nya,
misalnya, menyajikan model-model analisis wacana yang dikembangkan oleh
Roger Fowler dkk. (1979), Theo van Leeuwen (1986), Sara Mills (1992), Norman
analisis wacana itu, model van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Ini
dikarenakan van Dijk mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa
aplikasikan secara praktis. (Sobur, 2004 : 73)
Model yang dipakai van Dijk ini kerap disebut sebagai “kognisi sosial”.
Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi sosial,
terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Nama
pendekatan semacam ini tidak dapat dilepaskan dari karakteristik pendekatan yang
diperkenalkan oleh van Dijk. Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak
cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil
dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati (Eriyanto, 2001 : 221).
Menurut Van Dijk, penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi
seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil
dari struktur besar masyarakat. Pendekatan yang dikenal sebagai kognisi sosial ini
membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang
kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan.
Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga suatu ruang hampa
yang mandiri. Akan tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk
tidak hanya membongkar teks semata, tapi ia melihat bagaimana struktur sosial,
dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana
kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks
tersebut. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/bangunan
: teks, kognisi sosial dan konteks sosial.
Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur dari teks. Van Dijk
proposisi, dan paragraf– untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks. Van Dijk
melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing
bagian saling mendukung. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata,
kalimat, dan proposisi yang dipakai. Pernyataan/tema pada level umum didukung
oleh pilihan kata, kalimat, atau retorika tertentu. Prinsip ini membantu peneliti
untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang
lebih kecil. Skema ini juga memberikan peta untuk mempelajari suatu teks. Kita
tidak cuma mengerti apa isi dari suatu teks berita, tetapi juga elemen yang
membentuk teks berita, kata, kalimat, paragraf dan proposisi. Kita tidak hanya
mengetahui apa yang diliput media, tetapi juga bagaimana media mengungkapkan
peristiwa ke dalam pilihan bahasa tertentu dan bagaimana itu diungkapkan lewat
retorika tertentu. Kalau digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut:
Bagan Struktur Teks Menurut van Dijk
(Sumber : Eriyanto 2001: 227)
Pemakaian kata, kalimat, proposisi, retorika tertentu oleh media dipahami
van Dijk sebagai bagian dari strategi penulis. Pemakaian kata-kata tertentu,
kalimat, gaya tertentu bukan semata-mata dipandang sebagai cara berkomunikasi,
Stuktur Makro
Makna global dari suatu teks yang diamati dari topik atau tema yang diangkat dari suatu teks.
Super Struktur
Kerangka dari suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan.
Struktur Mikro
tetapi dipandang sebagai politik berkomunikasi—suatu cara untuk mempengaruhi
pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi, dan
menyingkirkan lawan atau penentang. Struktur wacana adalah cara yang efektif
untuk melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan ketika seseorang
menyampaikan pesan. Kata-kata tertentu mungkin dipilih untuk mempertegas
pilihan dan sikap, membentuk kesadaran politik, dan sebagainya. Berikut akan
diuraikan satu per satu elemen wacana van Dijk tersebut.
STRUKTUR WACANA
HAL YANG DIAMATI ELEMEN
Struktur Makro Tematik
Tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu berita
Topik
Super Struktur Skematik
Bagaimana bagian dan urutan teks diskemakan dalam teks secara utuh.
Skema
Struktur Mikro Semantik
Makna yang ingin ditekankan dalam teks. Misalnya dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit pada satu sisi dan mengurangi detil di sisi lain.
Latar, detil, maksud, praanggapan,
nominalisasi
Struktur Mikro Sintaksis
Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih
Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti.
Struktur Mikro Stilistik
Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks.
Leksikon
Struktur Mikro Retoris
Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan.
II.4 Komik
Pengertian “komik” secara umum adalah cerita bergambar dalam majalah,
surat kabar, atau berbentuk buku, yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu.
Pengertian tersebut ada benarnya, namun pengertian ini menjadi kurang tepat
terutama bagi komik-komik yang menampilkan cerita-cerita serius. (Sobur, 2003 :
137)
Berdasarkan jenisnya, komik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
comic-strips dan comic-books. Comic-strip atau strip merupakan komik
bersambung yang dimuat pada surat kabar maupun majalah. Sedangkan
comic-books adalah kumpulan cerita bergambar yang terdiri dari satu atau lebih judul
dan tema cerita, yang di Indonesia disebut komik atau buku komik. Pada
perkembangan kini, komik mengalami beberapa modifikasi mulai dari format,
muatan isi, teknis pembuatan, hingga strategi pemasarannya.
Jika kita mencoba menengok kembali ke belakang –sekadar menelusuri
sejarah penelusuran komik– maka kita akan menemukan bahwa ternyata komik
dapat dimanfaatkan oleh sementara golongan untuk tujuan-tujuan propaganda. Hal
ini terjadi pada sekitar tahun 1519, dimana pengikut Marthin Luther menjabarkan
95 tesis yang “berlawanan” dengan Gereja di Roma kepada masyarakat awam
dalam bentuk komik. Memang kalau dilihat isinya, komik zaman itu lebih bersifat
propaganda. Akan tetapi, setidaknya, saat itu sudah disadari kekuatan media
komik untuk menjabarkan kepada massa.
Sejak awal 1990-an, komik strip sudah menjadi ciri khusus surat-surat kabar
Amerika, sementara di Indonesia, komik strip muncul tahun 1930. Kehadiran
Belanda seperti De Java Bode dan D’orient dimana terdapat komik-komik seperti
Flippie Flink and Flash Gordon. Put On, seorang peranakan Tionghoa adalah
karakter komik Indonesia yang pertama, merupakan karya Kho Wan Gie yang
terbit rutin di surat kabar Sin Po—surat kabar yang mengetengahkan
“Komik-Timur” dengan menampilkan lelucon berupa strip yang berjiwa Timur. Put On
menginspirasi banyak komik strip lainnya sejak tahun 30-an sampai 60-an seperti
pada Majalah Star (1939-1942) yang kemudian bertukar menjadi Star Weekly.
Sementara itu di Solo, Nasroen A.S. membuahkan karya komik stripnya yang
berjudul Mentjcari Poetri Hidjaoe melalui mingguan Ratu Timur. Di awal tahun
1950-an, salah satu pionir komik bernama Abdulsalam menerbitkan komik strip
heroiknya di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, salah satunya berjudul
“Kisah Pendudukan Jogja”, bercerita tentang agresi militer Belanda ke atas kota
Yogyakarta. Komik ini kemudian dibukukan oleh harian “Pikiran Rakyat” dari
Bandung. Sebagian pengamat komik berpendapat bahwa inilah buku komik
pertama oleh artis komik Indonesia.Sayangnya, sekitar tahun 1980-an,
perkembangan komik mengalami mati suri. Baru sekitar tahun 1990-an sampai
saat ini komik Indonesia mulai bangkit kembali, itupun yang berkembang justru
kebanyakan meniru gaya “manga” (komik Jepang).
Sekitar akhir tahun 1940-an, banyak komik-komik dari Amerika yang
disisipkan sebagai suplemen mingguan suratkabar. Diantaranya adalah komik
seperti Tarzan, Rip Kirby, Phantom and Johnny Hazard. Kemudian penerbit
seperti Gapura dan Keng po dari Jakarta, dan Perfects dari Malang,
mengumpulkannya menjadi sebuah buku komik. Ditengah-tengah membanjirnya
memiliki teknik dan ketrampilan tinggi dalam menggambar mendapatkan
kesempatan untuk menampilkan komik adapatasinya dari legenda pahlawan
Tiongkok ‘Sie Djin Koei’. Komik ini berhasil melampaui popularitas Tarzan di
kalangan pembaca lokal. Popularitas tokoh-tokoh komik asing mendorong upaya
mentransformasikan beberapa karakter pahlawan super itu ke dalam selera lokal.
R.A. Kosasih, yang kemudian dikenal sebagai Bapak Komik Indonesia, memulai
karirnya dengan mengimitasi Wonder Woman menjadi pahlawan wanita bernama
Sri Asih. Terdapat banyak lagi karakter pahlawan super yang diciptakan oleh
komikus lainnya, diantaranya adalah Siti Gahara, Puteri Bintang, Garuda Putih
and Kapten Comet, yang mendapatkan inspirasi dari Superman dan petualangan
Flash Gordon.
Adapatasi dari komik asing dalam komik Indonesia mendapatkan tentangan
dan kritikan dari kalangan pendidik dan pengkritik budaya. Karena itu penerbit
seperti Melodi dari Bandung dan Keng Po dari Jakarta mencari orientasi baru
dengan melihat kembali kepada khazanah kebudayaan nasional. Sebagai hasil
pencarian itu maka cerita-cerita yang diambil dari wayang Sunda dan Jawa
menjadi tema-tema prioritas dalam penerbitan komik selanjutnya. R.A. Kosasih
adalah salah seorang komikus yang terkenal keberhasilannya membawa epik
Mahabharata dari wayang ke dalam media buku komik. Sementara itu dari
Sumatera, terutamanya di kota Medan, terdapat pionir-pionir komikus
berketerampilan tinggi seperti Taguan Hardjo, Djas, dan Zam Nuldyn, yang
menyumbangkan estetika dan nilai filosofi ke dalam seni komik. Di bawah
penerbitan Casso and Harris, artis-artis komik ini mengeksplorasi cerita rakyat
1960-an hingga 1970-an. Tema yang banyak muncul adalah pewayangan,
superhero, dan humor-kritik. Sebagian besar komikus pada masa ini
memanfaatkan majalah dan koran sebagai medianya, meskipun beberapa karya
seperti Majapahit oleh R.A. Kosasih juga mendapatkan kesempatan untuk tampil
dalam bentuk buku.
Ditandai oleh dimulainya kebebasan informasi lewat internet dan
kemerdekaan penerbitan, komikus mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi
gayanya masing-masing dengan mengacu kepada banyak karya luar negeri yang
lebih mudah diakses. Selain itu, beberapa judul komik yang sebelumnya
mengalami kesulitan untuk menembus pasar dalam negeri, juga mendapat tempat
dengan maraknya penerbit komik bajakan.
Selain itu beberapa penerbit besar mulai aktif memberikan kesempatan
kepada komikus muda untuk mengubah image komik Indonesia yang selama ini
terkesan terlalu serius menjadi lebih segar dan muda. Ada dua aliran utama yang
mendominasi komik modern Indonesia, yaitu Amerika (lebih dikenal dengan
comics) dan Jepang (dengan stereotype manga).
Komikus yang menggunakan aliran Jepang sangat diuntungkan dengan
berkembangnya komunitas di Internet. Beberapa situs seperti julliedillon.net,
howtodrawmanga.com, dan mangauniversity memuat banyak informasi
pembuatan manga. Hal ini juga membuat ciri utama komikus Indonesia dengan
aliran gambar Jepang, yaitu kebanyakan nama pengarangnya disamarkan dengan
nickname masing-masing di dunia maya. Kemungkinan hal inilah yang
menyebabkan sulitnya mengetahui jumlah tepatnya komikus lokal. Beberapa
Anthony Ann—dengan nama samaran lainnya Sentimental Amethyst atau Hisako
Ikeda—Calista, Cynara, Anzu Hizawa, dan lain-lain. Pada awal 2008, Machiko
Manga School, yaitu sebuah lembaga pendidikan yang mengajar cara membuat
komik gaya manga, telah menerbitkan komik dengan format Manga Magazine—
kumpulan komik dari berbagai pengarang yang dibuat dalam satu buku. Komik ini
diberi nama Maqita, akronim dari manga ala kita.
Jika perkembangan komik di Indonesia berjalan dengan tersendat-sendat,
perkembangan komik di Jepang justru sangat pesat. Buku komik di Jepang sangat
populer dan diterbitkan untuk anak-anak maupun orang dewasa. Sejarah komik
Jepang mulai pada akhir abad ke-19, ketika surat kabar dan majalah mulai
memuat kartun mula-mula dengan satu gambar, dan kemudian dengan banyak
gambar yang menggambarkan politik, adat istiadat, dan kehidupan sehari-hari
dengan cara olok-olok dan humor. Pada tahun 1920-an dan 1930-an buku komik
menjadi populer, khusus cerita petualangan dan kumpulan komik untuk
anak-anak. Komik yang terbaik mencerminkan zaman ini adalah Norakuro oleh
Togawa Suiho, yang menonjolkan seekor anjing tentara sebagai peran utama.
Setelah Perang Dunia II, hampir semua surat kabar dan majalah mulai memuat
kartun dengan empat gambar, disebut juga Yottsu Koma Manga (komik empat
kotak). Sekitar tahun 1960-an muncul banyak majalah komik yang memuat cerita
bersambung. Komik yang paling populer saat itu adalah Tetsuwan Atomu karya
Tezuka Osamu, dan merupakan komik pertama yang diangkat ke televisi dalam
format animasi.
Manga semakin popular hampir di seluruh dunia termasuk di Indonesia.