• Tidak ada hasil yang ditemukan

Imperialisme Budaya Dalam Komik Jepang (Analisis Wacana tentang Bentuk Imperialisme Budaya dalam Komik Jepang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Imperialisme Budaya Dalam Komik Jepang (Analisis Wacana tentang Bentuk Imperialisme Budaya dalam Komik Jepang)"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

IMPERIALISME BUDAYA DALAM KOMIK JEPANG

(Analisis Wacana tentang

Bentuk Imperialisme Budaya dalam Komik Jepang)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi

Disusun oleh :

Christine M. Siregar

(040904080)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAKSI i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vi

BAB I PENDAHULUAN 1

I.1 Latar Belakang Masalah 1

I.2 Perumusan Masalah 6

I.3 Pembatasan Masalah 6

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 7

I.5 Kerangka Teori 8

I.6 Kerangka Konsep 13

I.7 Defenisi Operasional 14

I.8 Metode Penelitian 16

I.9 Sistematika Penulisan 20

BAB II URAIAN TEORITIS 21

II.1 Komunikasi Massa 21

II.2 Teori Imperialisme Budaya 28

II.3 Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun Van A. Dijk 33

II.4 Komik 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 46

III.1 Deskripsi Objek Penelitian 46

III.2 Tipe Penelitian 53

III.3 Objek Penelitian 53

III.4 Unit dan Level Analisis 54

III.5 Teknik Pengumpulan Data 55

III.6 Teknik Analisis Data 56

BAB IV PEMBAHASAN DATA 57

IV. 1 Penyajian Data 57

(4)

BAB V PENUTUP 90

V.1 Kesimpulan 90

V.2 Saran 91

(5)

DAFTAR TABEL

Tabel IV.I.1.1 Analisis data komik Samurai X – Bab 1 ………. 57

Tabel IV.I.1.2 Analisis data komik Samurai X – Bab 41 ……… 58

Tabel IV.I.1.3 Analisis data komik Samurai X – Bab 89 ………. 58

Tabel IV.I.1.4 Analisis data komik Samurai X – Bab 136 ……… 59

Tabel IV.I.2.1 Analisis data komik Naruto – Bab 339 ……….. 60

Tabel IV.I.2.2 Analisis data komik Naruto – Bab 342 ………... 60

Tabel IV.I.2.3 Analisis data komik Naruto – Bab 344 ………... 60

Tabel IV.I.2.4 Analisis data komik Naruto – Bab 351 ………... 61

Tabel IV.I.3.1 Analisis data komik Death Note – Chapter 1 ………. 62

Tabel IV.I.3.2 Analisis data komik Death Note – Chapter 2 ………. 63

Tabel IV.I.3.3 Analisis data komik Death Note – Chapter 4 ………. 64

Tabel IV.I.3.4 Analisis data komik Death Note – Chapter 8 ……….. 64

Tabel IV.I.3.5 Analisis data komik Death Note – Chapter 11 ………... 65

(6)

ABSTRAK

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

““Manga” Masih Mendominasi Dunia”, demikianlah judul artikel yang

ditulis oleh Anung Wendyartaka dalam Teropong Pustakaloka yang dimuat pada

harian Kompas, Senin, 26 November 2007. Manga adalah sebutan untuk

komik-komik yang berasal dari Jepang. Istilah manga sendiri tidak hanya digunakan di

Jepang, tetapi hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Istilah manga yang

mendunia ini seolah-olah menunjukkan kekuatan pengaruh manga yang memang

sudah mendunia.

Ketika kita berbicara tentang komik di Indonesia, maka stereotype yang

muncul adalah bacaan anak-anak, tidak lebih dari itu. Entah karena komik

menggunakan gambar dalam penceritaannya atau karena komik “Doraemon”

sangat terkenal di Indonesia, komik tetap dianggap sebagai konsumsi anak-anak

dan cenderung dianggap sebelah mata. Namun, stereotype ini tidak berlaku bagi

mereka yang mengikuti perkembangan komik. Bagi yang mengikuti

perkembangan komik di Indonesia bahkan di dunia jelas menyadari bahwa

sasaran pembaca komik berbeda-beda, tergantung isi yang ditawarkan komik

tersebut. Tidak hanya itu, komik juga dianggap berpotensi untuk dijadikan lahan

industri dan sumber pendapatan jika dikelola dengan baik.

Kondisi ini sangat berbeda jika kita melihat perkembangan komik di Jepang.

Di negara yang warganya super sibuk tersebut, komik justru memegang peranan

(8)

saja berkisar sekitar 4,1 milyar dollar AS. Tidak hanya diakui di negaranya,

komik Jepang bahkan mendominasi industri komik dunia. Hal ini dibahas dalam

Frankfurt Book Fair 2007, di Hall 3.0 dalam diskusi yang bertajuk “The

International Comics Market in 2007”, 10 Oktober 2007. (Kompas Edisi 148,

Senin 26 November 2007).

Walaupun di Jepang sendiri omzet industri manga (komik Jepang)

mengalami penurunan sebesar 4,2 persen, di luar negeri industri manga justru

mengalami peningkatan. Dari 3.195 judul baru komik yang beredar tahun 2006 di

Prancis dan Belgia, lebih dari setengahnya adalah komik Jepang, persisnya

berjumlah 1.418 judul. Dominasi manga juga terjadi di wilayah Catalan

(Catalonia). Pada Oktober 2007, persentase manga di pasar komik negara tersebut

mencapai 43 persen, disusul komik Amerika 34-37 persen dan komik Spanyol 20

persen. Hal yang sama terjadi di negara Italia yang bahkan mengakibatkan

penerbit komik lokal kewalahan diterpa serbuan manga. Walaupun mengalami

peningkatan di berbagai belahan dunia, pihak Jepang tetap merasa khawatir

dengan penurunan omzet industri manga di negaranya. Ini dikarenakan, bagi

Jepang sendiri manga ikut mengambil peran penting dalam industri penerbitan

Jepang sehingga berbagai persoalan yang menimpa industri manga sangat

berpengaruh terhadap perkembangan industri penerbitan secara keseluruhan.

Sebagai gambaran, dari seluruh produk buku dan majalah yang terbit di negari

Sakura ini, seperempatnya adalah manga. (Kompas edisi 148, 26 November

2007).

Jika negara-negara yang industri komiknya cukup berkembang saja sudah

(9)

justru baru bergerak. Salah satu penerbit komik legal di Indonesia, Elex Media

Komputindo, mengakui bahwa dari 60 judul komik yang mereka terbitkan, 52

diantaranya merupakan komik Jepang, sisanya 7 komik Korea dan 1 komik

Indonesia. Bahkan menurut data Buku Laris Pustakaloka Kompas, sejak tahun

2003 sampai kini, komik Jepang yang diterbitkan Elex Media Komputindo

menempati urutan teratas atau lima besar best seller. Ini membuktikan bahwa

komik manga sangat digemari masyarakat di Indonesia.

Sekilas, komik-komik Jepang atau manga memang terlihat sebagai bacaan

hiburan belaka. Namun, siapa yang menyangka manga yang notabenenya hanya

bacaan hiburan itu justru mengandung ideologi Jepang yang pelan-pelan merasuki

jiwa pembacanya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh George

Gerbner, seorang kritikus budaya massa. Isi media itu sendiri pada mulanya

mungkin dipandang sebagai hiburan. Namun, perlahan tapi pasti ia terus

menginjeksikan secara halus “citra palsu” tentang kehidupan, masyarakat dan

dunia (dikutip oleh Ibrahim dalam buku Hegemoni Budaya). Animonster, salah

satu majalah yang mengkhususkan diri untuk membahas anime (animasi Jepang)

dan manga, menjadi saksi bentuk hegemoni ini.

Hampir dalam setiap edisi Animonster kita dapat membaca artikel-artikel

tentang acara berbau Jepang yang diadakan di tanah Indonesia, khususnya di

Bandung dan Jakarta. Dengan kata lain, hampir setiap bulan selalu diadakan acara

berbau Jepang. Padahal acara berbau tanah air saja paling-paling diadakan setahun

sekali itupun saat hari Kemerdekaan. Belum lagi foto-foto remaja wanita yang

memakai kimono atau foto-foto remaja pria dengan hakama maupun gakuran

(10)

Animonster. Budaya cosplay (costume player, yaitu kegiatan meniru tokoh-tokoh

komik atau kartun Jepang) pun seolah hal yang biasa bagi mereka penggemar

kartun dan komik Jepang ini. Bon odori, salah satu tari tradisional Jepang juga

bukan hal asing bagi mereka. Belum lagi urusan kuliner, mulai dari sushi sampai

takoyaki semuanya dilahap dengan nikmat oleh lidah Indonesia mereka. Harajuku

style yang mencakup gaya rambut dan gaya berpakaian juga makin diminati di

negara ini.

Tidak berhenti sampai disitu, perkembangan komik Indonesia yang

pelan-pelan mulai bergerak juga ikut terpengaruh dengan manga. Hal ini diangkat Umi

Kulsum dalam artikelnya “Tren Komik Indonesia Masih dalam Dekapan Manga”,

yang dimuat di Kompas pada Senin, 26 November 2007. Komik-komik yang

diterbitkan oleh orang Indonesia justru bergaya manga, baik dari segi gambar

maupun gaya cerita. Komik-komik Indonesia dengan gaya manga semakin

tumbuh subur dengan terbitnya buku-buku cara menggambar ala manga dan

dengan berdirinya sekolah-sekolah yang menyediakan jasa untuk mengajar cara

menggambar ala manga, sebut saja Accolyte School, Gakushudo maupun Machiko

School.

Serbuan manga oleh Jepang merupakan bentuk imperialisme yang tidak bisa

dipandang sebelah mata. Para penggemar manga bahkan bangga menyebut diri

mereka O-taku, yaitu sebutan untuk mereka yang tergila-gila pada anime dan

manga. Padahal, di Jepang sendiri, sebutan O-taku justru mengandung makna

yang buruk karena diperuntukkan bagi mereka yang terlalu menggilai anime dan

manga serta tidak mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Jelas

(11)

Pada tahun 2006 yang lalu, the Japan Foundation bekerjasama dengan

Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) menyelenggarakan lomba

esai tentang Jepang. Esai ini kemudian dibukukan dengan judul “Image Jepang di

Mata Anak Muda Indonesia”. Lewat kata pengantar dalam buku ini, Mohammad

Yusuf selaku Ketua Tim Juri dari HISKI mengungkapkan bahwa hampir tidak ada

satu pun para pelajar atau mahasiswa yang menulis sisi negatif dari Jepang.

Lagi-lagi terjadi kekaburan citra dengan realita akan Jepang.

Kekaburan ini tentu tidak semata-mata terjadi begitu saja. Komik Jepang

yang menjadi alat penyebaran budaya Jepang adalah salah satu penyebab

kekaburan citra dengan realita akan Jepang. Pembaca komik Jepang menjadikan

komik Jepang sebagai referensinya akan negara Jepang yang sebenarnya. Materi

yang dihadirkan komik sendiri sangat beragam, salah satunya adalah

pembentukan kriterium kepahlawanan, yang dihadirkan lewat komik Jepang

ber-genre action. Melalui komik jenis ini, pembaca disuguhi kisah-kisah

kepahlawanan tokoh utamanya yang kemudian dipuja dan dianggap sebagai

“realita”. Berbeda dengan komik negara lain yang tokoh pahlawannya cenderung

berasal dari kalangan umum, beberapa komik Jepang justru menggunakan tokoh

pahlawan yang berasal dari kalangan Samurai (Samurai X, Samurai Champloo,

Samurai 7) atau Ninja (Naruto, Ninja Hatori, Ninja Rantaro); kalangan yang

jelas-jelas hanya ada di Jepang. Dan sejalan dengan yang diungkapkan George

Gerbner, perlahan tapi pasti, komik-komik Jepang terus menginjeksikan secara

halus “citra palsu” tentang kehidupan Samurai, tentang masyarakat Ninja, dan

(12)

Jika selama ini kita selalu khawatir dengan masuknya budaya “barat” dari

belahan Amerika Serikat sana, maka sudah saatnya kita meletakkan perhatian kita

sejenak pada serangan budaya Jepang. Jika budaya “barat” masuk dengan pintu

media televisi, maka Jepang justru masuk lewat media komik dan kartun Jepang.

Oleh karena itulah diperlukan sebuah penelitian yang mampu mengungkapkan

ideologi-ideologi tersembunyi yang terkandung dalam komik Jepang.

Dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana

bentuk Imperialisme Budaya dalam komik Jepang.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka

dikemukakan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

“Bagaimana bentuk Imperialisme Budaya dalam komik Jepang yang beredar

di Indonesia?”

I.3 Pembatasan masalah

Agar ruang lingkup penelitian tidak terlalu luas dan permasalahan yang diteliti

menjadi jelas, terarah dan lebih spesifik, maka pembatasan masalah yang akan

diteliti adalah:

a. Penelitian ini dilakukan pada komik-komik yang berasal dari Jepang, yaitu

komik Samurai X, Naruto dan Death Note.

b. Fokus penelitian hanya pada level teks, yaitu untuk mencari makna yang

(13)

c. Penelitian ini tidak membahas lebih jauh ke masalah kognisi sosial dan

konteks sosial di balik teks tersebut.

d. Bentuk imperialisme yang diteliti terbatas pada pembentukan kriterium

kepahlawanan (heroism) negara Jepang yang terkandung dalam

komik-komik Jepang.

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

I.4.1 Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui gambaran secara umum tentang isi dari komik-komik

Jepang terkait dengan persoalan imperialisme budaya khususnya tentang

pembentukan kriterium kepahlawanan negara Jepang.

b. Untuk mengetahui bagaimana implikasi Imperialisme Budaya dalam

komik-komik Jepang.

I.4.2 Manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah

penelitian tentang media, khususnya tentang kajian media yang diteliti

dengan analisis wacana. Penelitian ini juga diharapkan mampu menambah

pengetahuan tentang teori imperialisme budaya dalam bidang Ilmu

Komunikasi.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran

pembaca agar lebih kritis terhadap media, khususnya komik-komik

(14)

c. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Departemen

Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan

sumber bacaan.

I.5 Kerangka Teori

Kerangka teori berisi pokok-pokok pikiran yang menjadi titik tolak atau

landasan dalam menyoroti masalah, sehingga menggambarkan juga dari sudut

masalah penelitian disoroti. Kerangka teori juga berfungsi sebagai tolak ukur

untuk menguji kondisi variabel atau gejala didalamnya yang sama berdasarkan

pengumpulan dan pengolahan data. (Nawawi, 1991: 32).

Adapun teori-teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah

Komunikasi massa, Imperialisme Budaya, Analisis Wacana Kritis; Pendekatan

Teun A. Van Dijk, dan komik.

I.5.1 Komunikasi Massa

Pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media

massa untuk membuat produksi masssal dan untuk menjangkau khalayak dalam

jumlah besar. Di samping itu, ada pula makna lain—yang dianggap makna asli—

dari kata massa, yakni suatu makna yang mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk,

yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu sama lain. Kamus bahasa

Inggris ringkas memberikan definisi “massa” sebagai “suatu kumpulan orang

banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas”. Definisi ini hampir

(15)

khususnya bila dipakai dalam kaitannya dengan khalayak media. (Mc Quail, 1989

: 31).

Dalam Severin dan Tankard (2007 : 4) menurut Wright (1959), perubahan

teknologi baru menyebabkan perubahan dalam definisi komunikasi massa yang

mempunyai tiga ciri :

1. Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar,

heterogen dan anonim.

2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk

bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan

sifatnya sementara.

3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi

yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar.

Dari pengertian-pengertian di atas jelas terlihat bahwa dalam komunikasi

massa diperlukan alat sebagai penyebaran isi komunikasinya, alat tersebut adalah

media massa. Media massa menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi media

elektronik dan media cetak. Sementara menurut periodiknya, media massa dapat

dibedakan menjadi media periodik seperti surat kabar atau majalah, dan media

non periodik seperti buku termasuk komik.

I.5.2 Teori Imperialisme Budaya

Gagasan mengenai imperialisme “budaya” atau “media” berasal dari teori

dan bukti awal tentang peran media dalam pembangunan nasional (misalnya

Lerner, 1958; Schramm, 1964) dan dalam perumusan ulang secara kritis yang

(16)

(1979), dan banyak lainnya. Korelasi pandangan bahwa media dapat membantu

“modernisasi” dengan memperkenalkan nilai-nilai “barat” dilakukan dengan

mengorbankan nilai-nilai tradisional dan hilangnya “keaslian” budaya lokal.

Secara sederhana, dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai yang diperkenalkan itu

adalah nilai-nilai kapitalisme dan karenanya prosesnya “imperialistis” serta

dilakukan secara sengaja, atau disadari dan sistematis, yang menempatkan negara

yang sedang berkembang dan lebih kecil di bawah kepentingan kekuasaan

kapitalis yang lebih dominan.

Herberth Schiller dalam bukunya “Communication and Cultural

Domination” (1976) menegaskan penggunaan istilah imperialisme budaya untuk

menggambarkan dan menjelaskan cara perusahaan-perusahaan multinasional

termasuk media dalam membangun negara-negara yang didominasi negara yang

sedang berkembang.

Imperialisme budaya merupakan sebuah konsep kritis yang menyatakan

bahwa difusi artifak, citra dan gaya budaya modern (dari bahasa-bahasa dominan

dan musik pop hingga pesawat TV dan perangkat keras komputer) ke seluruh

dunia merupakan sebentuk penindasan atau “imperialisme” budaya kontemporer.

Proses ini mendukung kepentingan ekonomi, politik, dan budaya dari adikuasa

internasional seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Jepang.

Imperialisme media dan imperialisme budaya merupakan gejala yang terjadi

dalam waktu bersamaan. Media menjadi sarana di mana satu kelompok

mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Khalayak tidak merasa

dibodohi atau dimanipulasi oleh media. Khalayak mengkonsumsi semua

(17)

mereka merupakan bagian darinya, meskipun itu hanya impian atau ilusi. Salah

satu bentuk kesan yang dapat diciptakan media adalah kriterium kepahlawanan

(heroism) dari seseorang atau sekelompok orang bahkan suatu negara.

I.5.3 Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun A. Van Dijk

Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak

disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar

dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan

dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa (Eriyanto, 2001 : 3-4).

Analisis wacana kritis berisi metode-metode yang menekankan multi level

analisis. Mempertahankan analisis pada jenjang mikro (teks) dengan analisis pada

jenjang meso dan makro.

Ada beberapa pendekatan dari analisis wacana, salah satunya adalah

Pendekatan Teun A. Van Dijk yang sering disebut sebagai Pendekatan Kognisi

Sosial.

Menurut Van Dijk, penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi

seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil

dari struktur besar masyarakat. Pendekatan yang dikenal sebagai kognisi sosial ini

membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang

kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan.

Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga suatu ruang hampa

yang mandiri. Akan tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk

tidak hanya membongkar teks semata, tapi ia melihat bagaimana struktur sosial,

(18)

kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks

tersebut. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/bangunan

: teks, kognisi sosial dan konteks sosial.

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur dari teks. Van Dijk

memanfaatkan dan mengambil analisis linguistik –tentang kosakata, kalimat,

proposisi, dan paragraf– untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks. Van Dijk

melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing

bagian saling mendukung. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata,

kalimat, dan proposisi yang dipakai. Pernyataan/tema pada level umum didukung

oleh pilihan kata, kalimat, atau retorika tertentu. Prinsip ini membantu peneliti

untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang

lebih kecil. Skema ini juga memberikan peta untuk mempelajari suatu teks. Kita

tidak cuma mengerti apa isi dari suatu teks berita, tetapi juga elemen yang

membentuk teks berita, kata, kalimat, paragraf dan proposisi. Kita tidak hanya

mengetahui apa yang diliput media, tetapi juga bagaimana media mengungkapkan

peristiwa ke dalam pilihan bahasa tertentu dan bagaimana itu diungkapkan lewat

retorika tertentu.

I.5.4 Komik

Pengertian “komik” secara umum adalah cerita bergambar dalam majalah,

surat kabar, atau berbentuk buku, yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu.

Pengertian tersebut ada benarnya, namun pengertian ini menjadi kurang tepat

terutama bagi komik-komik yang menampilkan cerita-cerita serius. (Sobur, 2003 :

(19)

Komik Jepang memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan komik-komik

negara lain. Artworknya cukup sederhana, bentuk matanya bulat dan besar serta

sangat kental dengan budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Jepang.

Namun, seiring dengan perkembangannya, mulai banyak bermunculan komik

dengan artwork yang lebih rumit, realistis, dan detail yang lebih rinci serta jalan

cerita yang kompleks. Kentalnya budaya Jepang yang disajikan dalam manga

(komik Jepang), menjadikan manga sebagai salah satu alat penyebaran budaya

Jepang di seluruh dunia. (“The Manga Culture”, Kang Guru Radio English edisi

Maret 2008)

I.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan kemampuan peneliti menyusun konsep

operasional peneliti yang bertitik tolak pada kerangka teori dan tujuan penelitian

(Lubis, 1998:110). Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk

menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang

menjadi pusat penelitian ilmu sosial. Adapun kerangka konsep dalam penelitian

ini adalah memakai model dari analisis wacana Teun A. Van Dijk.

Van Dijk menganalisis pada tiga tahap, yaitu teks, kognisi sosial dan

konteks. Penelitian ini hanya membahas pada tahap teks. Analisis teks Van Dijk

dibagi pada tiga level, yaitu :

1. Struktur Makro, mencakup tema atau topik yang dikedepankan.

2. Super Struktur, bagaimana urutan teks diskemakan.

(20)

I.7 Definisi Operasional

1. Tematik

Menunjukkan gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai

gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.

2. Skematik

Teks atau wacana mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai

akhir. Bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga

terbentuk suatu kesatuan arti.

3. Latar

Latar merupakan bagian teks yang dapat mempengaruhi semantik (arti)

yang ingin ditampilkan. Latar belakang peristiwa menentukan ke arah mana

pandangan khalayak hendak dibawa.

4. Detil

Berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang untuk

melakukan penonjolan dan menciptakan citra tertentu dan mengekspresikan

sikapnya secara implisit.

5. Maksud

Menunjukkan bagaimana pembuat teks secara eksplisit menonjolkan

kebenaran tertentu dan secara implisit mengaburkan kebenaran lain.

6. Koherensi

Adalah pertalian atau jalinan antar kata dan kalimat dalam teks. Dua buah

kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga

(21)

7. Koherensi Kondisional

Ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas. Ada tidaknya

anak kalimat tidak akan mengurangi arti kalimat.

8. Koherensi Pembeda

Berhubungan dengan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak

dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat saling bertentangan dan

berseberangan. Perlu diketahui bagian mana yang diperbandingkan dan dengan

cara apa perbandingan itu dilakukan.

9. Pengingkaran

Bagaimana pembuat teks menyembunyikan apa yang akan diekspresikan

secara implisit.

10.Bentuk Kalimat

Merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis,

yaitu prinsip kausalitas. Bentuk kalimat ini tidak hanya persoalan teknis di

ketatabahasaan tetapi juga menentukan makna yang dibentuk oleh susunan

kalimat itu.

11.Kata ganti

Elemen ini untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu

komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat untuk menunjukkan dimana

posisi seseorang dalam wacana.

12.Leksikon

Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata

atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata-kata yang dipakai

(22)

13.Praanggapan

Merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks

dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya.

14.Grafis

Merupakan bagian untuk memeriksa bagian yang ditekankan atau

ditonjolkan. Dapat diamati beberapa bagian yang dibedakan dari tulisan lain.

15.Metafora

Penyampaian pesan melalui kiasan, ungkapan, metafora sebagai ornamen

dari suatu teks. Yang dapat menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu

teks.

I.8 Metode Penelitian

I.8.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni salah satu cara pandang

dalam menganalisis media. Dikategorikan dalam penelitian interpretatif, dan

bersifat subjektif. Metode penelitian ini menggunakan analisis wacana versi Teun

A. Van Dijk pada level teks.

Pada level teks ini terdapat tiga lapis yaitu makro, super struktur, dan mikro.

Dengan analisis wacana model Van Dijk ini akan mengungkapkan bagaimana

penggunaan bahasa digunakan untuk membentuk realitas media.

I.8.2 Objek Penelitian

Yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah komik-komik yang berasal

dari Jepang yang telah beredar di Indonesia, yaitu Samurai X, Naruto dan Death

(23)

I.8.3 Unit dan Level analisis

Unit yang akan dianalisis adalah teks dari isi cerita dalam komik Samurai X,

Naruto dan Death Note. Ketiga komik ini dipilih dengan pertimbangan bahwa

komik tersebut cukup laris di pasaran, terbukti dengan diangkatnya serial komik

tersebut ke dalam bentuk animasi dan dua di antaranya pernah ditayangkan di

stasiun televisi swasta di Indonesia. Selain itu, komik-komik tersebut juga dipilih

berdasarkan masa terbitnya, dimana setiap judul komik mewakili masanya

masing-masing. Samurai X mewakili komik Jepang yang beredar di Indonesia

pada tahun 2001. Sementara Naruto mewakili komik Jepang yang terbit di masa

tahun 2004. Yang terakhir, Death Note, mewakili komik Jepang yang dirilis pada

akhir 2007. Setelah diadakan pra-penelitian, maka komik yang akan diteliti

berjumlah 10 jilid dengan rincian 4 jilid komik Samurai X, 3 jilid komik Naruto

dan 3 jilid komik Death Note.

Analisis hanya dilakukan pada level teks saja. Bagaimana strategi tekstual

yang dipakai dalam komik tersebut untuk memarginalkan suatu kelompok,

memasukkan gagasan atau nilai-nilai tertentu sebagai bentuk dari imperialisme

budaya. Jika digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut :

Stuktur Makro

Makna global dari suatu teks yang diamati dari topik atau tema yang diangkat dari suatu teks.

Super Struktur

Kerangka dari suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan.

Struktur Mikro

(24)

I.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :

a. Data Primer, yaitu data-data unit analisa dari teks-teks yang terdapat

pada komik.

b. Data Sekunder, yaitu library research dengan cara mengumpulkan

literatur serta berbagai sumber bacaan yang relevan dan mendukung

penelitian.

I.8.5 Teknik Analisis Data

Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data ke dalam susunan

tertentu yang lebih dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian ini menganalisis teks

pada komik Jepang dengan menggunakan Analisis Wacana. Teks dianalisis

dengan kerangka analisis wacana Teun A. Van Dijk, untuk kemudian

(25)

STRUKTUR

WACANA

HAL YANG DIAMATI ELEMEN

Struktur Makro Tematik

Tema atau topik yang

dikedepankan dalam suatu berita

Topik

Super Struktur Skematik

Bagaimana bagian dan urutan teks

diskemakan dalam teks secara

utuh.

Skema

Struktur Mikro Semantik

Makna yang ingin ditekankan

dalam teks. Misalnya dengan

memberi detil pada satu sisi atau

membuat eksplisit pada satu sisi

dan mengurangi detil di sisi lain.

Latar, detil, maksud,

praanggapan,

nominalisasi

Struktur Mikro Sintaksis

Bagaimana kalimat (bentuk,

susunan) yang dipilih

Bentuk kalimat,

koherensi, kata ganti.

Struktur Mikro Stilistik

Bagaimana pilihan kata yang

dipakai dalam teks.

Leksikon

Struktur Mikro Retoris

Bagaimana dan dengan cara apa

penekanan dilakukan.

(26)

I.9 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 bab yaitu:

BAB I : Pendahuluan, bagian ini terdiri dari Latar Belakang Masalah,

Perumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat

Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konsep, Operasionalisasi

Konsep, Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan.

BAB II : Uraian Teoritis, berisi pengertian dan teori-teori yang digunakan

dalam penelitian, yaitu Teori Komunikasi dan Komunikasi

Massa, Imperialisme Budaya, Analisis Wacana Kritis;

Pendekatan Teun A. Van Dijk, dan Komik.

BAB III : Metodologi Penelitian, bab ini berisi tentang Deskripsi Objek

Penelitian, Tipe Penelitian, Objek Penelitian, Unit dan Level

Analisis, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data.

BAB IV : Pembahasan Data, menyajikan keseluruhan penelitian dimana

data yang diperoleh dibahas dan dijabarkan sesuai dengan tujuan

penelitian. Secara rinci bab ini terdiri dari Penyajian Data,

Analisis Data dan Uraian Analisis.

BAB V : Penutup, pada bab terakhir ini dibuat Kesimpulan mengenai

(27)

BAB II

URAIAN TEORITIS

Kerangka teori berisi pokok-pokok pikiran yang menjadi titik tolak atau

landasan dalam menyoroti masalah, sehingga menggambarkan juga dari sudut

masalah penelitian disoroti. Kerangka teori juga berfungsi sebagai tolak ukur

untuk menguji kondisi variabel atau gejala didalamnya yang sama berdasarkan

pengumpulan dan pengolahan data. (Nawawi, 1991: 32).

Adapun teori-teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah teori

komunikasi dan komunikasi massa, Imperialisme Budaya, Analisis Wacana

Kritis; Pendekatan Teun A. Van Dijk, dan komik.

II.1 Komunikasi Massa

Kata “komunikasi” atau communication (Inggris) berasal dari kata Latin

communis yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare

yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis)

adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal-usul kata komunikasi, yang

merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip. Secara sederhana,

komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan

dianut secara sama. (Mulyana, 2004 : 41)

Defenisi komunikasi sendiri sangatlah banyak jumlahnya, namun rumusan

yang paling populer di kalangan orang yang mempelajari komunikasi adalah

rumusan yang dibuat oleh Harold Laswell. Untuk menerangkan proses

(28)

“Who says what in which channel to whom and with what effect?”. Melalui

pertanyaan ini, Laswell menjabarkan lima komponen atau unsur yang ada dalam

komunikasi, yaitu Siapa yang mengatakan (komunikator); Apa yang dikatakan

(pesan); Media apa yang digunakan (media); kepada Siapa pesan disampaikan

(komunikan); dan dengan Akibat bagaimana yang terjadi (efek). (Winarso, 2005 :

4)

Dari pengertian Laswell tersebut, media merupakan salah satu unsur yang

terdapat dalam kegiatan komunikasi. Ketika kita berbicara tentang media, maka

hal yang cukup menarik untuk dibahas adalah media massa yang menjadikan

komunikasi berperan sebagai penghubung sistem sosial. Dan kegiatan ini disebut

sebagai komunikasi massa.

Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dirumuskan oleh Bittner,

yakni: komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media

massa pada sejumlah besar orang.

Pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media

massa untuk membuat produksi masssal dan untuk menjangkau khalayak dalam

jumlah besar. Di samping itu, ada pula makna lain –yang dianggap makna asli –

dari kata massa, yakni suatu makna yang mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk,

yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu sama lain. Kamus bahasa

Inggris ringkas memberikan definisi “massa” sebagai “suatu kumpulan orang

banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas”. Definisi ini hampir

menyerupai pengertian “massa” yang digunakan oleh para ahli sosiologi,

khususnya bila dipakai dalam kaitannya dengan khalayak media. (Mc Quail, 1989

(29)

Dalam Severin dan Tankard (2007 : 4) menurut Wright (1959), perubahan

teknologi baru menyebabkan perubahan dalam definisi komunikasi massa yang

mempunyai tiga ciri :

1. Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar,

heterogen dan anonim.

2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk

bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan

sifatnya sementara.

3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi

yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar.

Dari pengertian-pengertian di atas jelas terlihat bahwa dalam komunikasi

massa diperlukan alat sebagai penyebaran isi komunikasinya, alat tersebut adalah

media massa. Media massa menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi media

elektronik dan media cetak. Sementara menurut periodiknya, media massa dapat

dibedakan menjadi media periodik seperti surat kabar atau majalah, dan media

non periodik seperti buku termasuk komik.

Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa

(media cetak dan media elektronik). Komunikasi massa berasal dari

pengembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa).

Media massa menunjuk pada hasil produk teknologi modern sebagai saluran

dalam komunikasi massa. Massa dalam arti komunikasi massa lebih menunjuk

pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Massa disini menunjuk

kepada khalayak, audience, penonton, pemirsa atau pembaca. (Nurudin, 2004 :

(30)

Alexis S Tan menyebutkan bahwa fungsi komunikasi massa bisa beroperasi

dalam empat hal, dua diantaranya adalah mempersuasi dan menyenangkan;

memuaskan kebutuhan komunikasi. Media massa sebagai alat dalam komunikasi

massa diyakini mampu memberi keputusan; mengadopsi nilai, tingkah laku dan

aturan yang cocok agar diterima dalam masyarakatnya. Media massa juga mampu

menggembirakan audiences-nya, mengendorkan urat syaraf, menghibur,

mengalihkan perhatian dari masalah yang dihadapi. (Nurudin, 2004 : 63)

Bagi Joseph A. Devito (1997) fungsi persuasi dianggap sebagai bentuk yang

paling penting. Persuasi bisa datang dari berbagai macam bentuk; (1)

mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan, atau nilai seseorang, (2)

mengubah sikap, kepercayaan, atau nilai seseorang, (3) menggerakkan seseorang

untuk melakukan sesuatu dan (4) memperkenalkan etika, atau menawarkan sistem

tertentu.

Elemen komunikasi pada komunikasi secara umum juga berlaku bagi

komunikasi massa. Perbedaan komunikasi massa dengan komunikasi pada

umumnya lebih berdasarkan pada jumlah pesan berlipat-lipat yang sampai pada

penerima. Dalam komunikasi massa pengirim sering disebut sebagai sumber

(source) atau komunikator sedangkan penerima pesan yang berjumlah banyak itu

disebut audience, komunikan, pendengar, pemirsa, penonton atau pembaca.

Sementara saluran dalam komunikasi massa yang dimaksud antara lain televisi,

radio, surat kabar, buku, film, kaset/CD, internet yang juga sering disebut sebagai

media massa. Ada beberapa elemen dalam komunikasi massa antara lain,

komunikator, isi, audience, umpan balik, gangguan (saluran dan semantik),

(31)

1. Komunikator

Komunikator dalam komunikasi massa merupakan gabungan dari berbagai

individu dalam sebuah lembaga media massa yang bekerja sama satu sama lain.

Komunikator dalam komunikasi massa sifatnya mencari keuntungan. Bukan

semata-mata mencari keuntungan, tetapi orientasi keuntungan menjadi dasar

pembentukan organisasi. Media massa membutuhkan pemasukan bagi

kelangsungan hidup lembaga itu sendiri. Setidak-tidaknya ada lima karakteristik

yang dipunyai komunikator dalam komunikasi massa : 1) daya saing

(competitiveness), 2) ukuran dan kompleksitas (size and complexity), 3)

industrialisasi (industrialization), 4) spesialisasi (specialization), dan 5)

perwakilan (representation).

2. Isi

Masing-masing media punya kebijakan sendiri-sendiri dalam isinya. Sebab,

masing-masing media itu tidak hanya melayani masyarakat yang beragam tetapi

juga menyangkut individu atau kelompok sosial. Bagi Ray Eldon Hiebert dkk

(1985) isi media setidak-tidaknya bisa dibagi ke dalam lima kategori yakni; 1)

berita dan informasi, 2) analisis dan interpretasi, 3) pendidikan dan sosialisasi, 4)

hubungan masyarakat dan persuasi, 5) iklan dan bentuk penjualan lain, dan 6)

hiburan.

3. Audiences

Audience dalam komunikasi massa sangat beragam, dari jutaan penonton

televisi, ribuan pembaca buku atau ratusan pembaca jurnal ilmiah. Masing-masing

audience ini berbeda satu sama lain. Mereka berbeda dalam cara berpakaian,

(32)

hidupnya. Tetapi masing-masing individu ini juga bisa saling mereaksi satu sama

lain terhadap pesan yang diterimanya. Audience dalam komunikasi massa

memiliki karakteristik cenderung berisi individu-individu yang condong untuk

berbagi pengalaman dan dipengaruhi oleh hubungan sosial diantara mereka, besar,

heterogen, anonim dan secara fisik dipisahkan dari komunikator secara ruang dan

waktu.

4. Umpan Balik

Di dalam komunikasi massa, umpan balik biasanya terjadi tidak secara

langsung atau tertunda. Artinya, antara komunikator dengan komunikan dalam

komunikasi massa tidak terjadi kontak langsung yang memungkinkan mereka

mengadakan reaksi langsung satu sama lain.

5. Gangguan

Gangguan dalam komunikasi massa bisa dibedakan atas gangguan saluran

dan gangguan semantik. Gangguan saluran bisa terjadi dari kesalahan

komunikator sendiri maupun dari luar diri komunikator tersebut. Gangguan

saluran antara lain berupa kesalahan cetak pada media cetak, langganan majalah

yang tidak datang atau gambar tak jelas pada televisi. Sedangkan gangguan

semantik adalah gangguan dalam proses komunikasi yang diakibatkan oleh

pengirim atau penerima pesan itu sendiri. Gangguan ini terjadi akibat banyaknya

perbedaan yang terjadi pada audience sehingga sangat mustahil memberikan

pesan yang sangat tepat melalui berbagai seperangkat nilai, kebutuhan, hobi,

harapan, suasana hati, minat, pengalaman hidup, kemampuan bahasa individu

(33)

6. Gatekeeper

Istilah gatekeeper tidak hanya terbatas untuk menunjuk orang atau

organisasi yang memberi ijin suatu kegiatan, tetapi mempengaruhi keluar

masuknya “sesuatu”. Mereka yang disebut gatekeeper antara lain reporter, editor

berita atau editor film atau orang lain dalam media massa yang ikut menentukan

arus informasi yang disebarkan. Mereka memainkan peranan dalam beberapa

fungsi. Mereka dapat menghapus pesan atau mereka bahkan bisa memodifikasi

dan menambah pesan yang akan disebarkan. Mereka pun bisa menghentikan

sebuah informasi dan tidak membuka “pintu gerbang” (gate) bagi keluarnya

informasi yang lain.

7. Pengatur

Yang dimaksud pengatur dalam media massa adalah mereka yang secara

tidak langsung ikut mempengaruhi proses aliran pesan media massa. Pengatur ini

tidak berasal dari dalam media itu, tetapi di luar media. Namun demikian,

meskipun di luar media massa, kelompok itu bisa ikut menentukan kebijakan

redaksional. Sedangkan pengatur yang dimaksud antara lain pengadilan,

pemerintah, konsumen, organisasi professional, kelompok penekan, juga termasuk

narasumber dan pengiklan. Sedangkan aturan untuk mengatur itu bisa berisi

hukum, aturan, pelarangan, tekanan informal yang bisa mengontrol isi media atau

struktur yang ada dalam media tersebut.

8. Filter

Yang dimaksud filter adalah kerangka pikir melalui mana audience

menerima pesan. Filter ibarat sebuah bingkai kacamata dimana audience bisa

(34)

dari bingkai tersebut. Ada beberapa filter antara lain, fisik, psikologis, budaya dan

yang berkaitan dengan informasi.

9. Efek

Efek komunikasi massa bisa dibagi menjadi beberapa bagian. Secara

sederhana Keith R Stamm dan John E Bowes (1990) membagi kedua bagian

dasar. Pertama, efek primer meliputi terpaan, perhatian dan pemahaman. Kedua,

efek sekunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan

sikap) dan perubahan perilaku (menerima dan memilih). (Nurudin, 2004 : 192)

II.2 Teori Imperialisme Budaya

Istilah imperialisme diintrodusir oleh Lenin dan Hobson. Dua teori

imperialisme yang paling awal dikemukakan oleh Hobson dan Lenin. Cukup

banyak persamaan pemikiran antara keduanya, sehingga sering diidentikkan

dengan “tesis Hobson-Lenin”, Hobson berpendapat bahwa terdapat permintaan

efektif yang tidak mencukupi di negara-negara metropolis, karena upah yang

rendah; dan konsekuensinya, kaum kapitalis memerlukan pasar untuk menjual

komoditinya di luar negeri. Ia percaya bahwa redistribusi pendapatan akan

memecahkan masalah konsumsi kurang ini.

Hobson mengungkapkan bahwa imperialisme merupakan perwujudan suatu

negara federasi dunia dimana kebijakan utamanya berpusat pada adopsi oleh

beberapa negara-negara lain dan berada di bawah suatu hegemoni dari negara

pusat. (Hobson, 1988 : 8)

Argumen Lenin agak berbeda, ia berpendapat bahwa merosotnya laju

(35)

wilayah-wilayah jajahan, terdapat kesempatan-kesempatan investasi yang lebih

menguntungkan di luar negeri. Lenin menyatakan bahwa imperialisme ditandai

oleh jaringan pengaliran modal ke wilayah koloni. (Purba, 2005 : 42)

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa Imperialisme berarti hegemoni

politik-ekonomi-budaya yang dijalankan suatu bangsa atas bangsa-bangsa lain.

Kata ini biasanya mengacu pada imperialisme budaya atau imperialisme media

yang mencerminkan keprihatinan mengenai bagaimana perangkat keras dan

perangkat lunak komunikasi digunakan oleh negara-negara adikuasa untuk

memasukkan nilai dan agenda politik-ekonomi-budaya mereka pada bangsa dan

budaya yang kalah kuat. Imperialisme media merupakan salah satu istilah yang

berhubungan dengan imperialisme budaya. Media memainkan peranan penting

dalam menghasilkan kebudayaan dan mempunyai peranan yang besar sekali

dalam proses imperialisme budaya.

Gagasan mengenai imperialisme “budaya” atau “media” berasal dari teori

dan bukti awal tentang peran media dalam pembangunan nasional (misalnya

Lerner, 1958; Schramm, 1964) dan dalam perumusan ulang secara kritis yang

dilakukan oleh para penulis seperti Schiller (1969), Wells (1972), Mattelart

(1979), dan banyak lainnya. Korelasi pandangan bahwa media dapat membantu

“modernisasi” dengan memperkenalkan nilai-nilai “barat” dilakukan dengan

mengorbankan nilai-nilai tradisional dan hilangnya “keaslian” budaya lokal.

Secara sederhana, dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai yang diperkenalkan itu

adalah nilai-nilai kapitalisme dan karenanya prosesnya “imperialistis” serta

(36)

yang sedang berkembang dan lebih kecil di bawah kepentingan kekuasaan

kapitalis yang lebih dominan.

Herberth Schiller dalam bukunya “Communication and Cultural

Domination” (1976) menegaskan penggunaan istilah imperialisme budaya untuk

menggambarkan dan menjelaskan cara perusahaan-perusahaan multinasional

termasuk media dalam membangun negara-negara yang didominasi negara yang

sedang berkembang. Schiller juga mengungkapkan bahwa spill over informasi

akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi di samping

menciptakan global village yang telah diprediksi oleh Naisbitt dan Toffler bisa

juga melahirkan imperialisme budaya.

Menurut Schiller Imperialisme budaya merupakan suatu proses dimana

masyarakat dibawa kepada sistem dunia modern dan bagaimana ia menguasai

seluruh lapisan, menekan, memaksa, dan kadang-kadang masuk ke dalam

lembaga sosial tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai dan struktur dari sistem

pusat.

Secara ringkas Baran mengungkapkan imperialisme budaya merupakan

invasi dari negara-negara asing yang powerful terhadap suatu kultur masyarakat

asli atau pribumi melalui media massa. (Baran, 2004 : 521)

Imperialisme budaya merupakan sebuah konsep kritis yang menyatakan

bahwa difusi artifak, citra dan gaya budaya modern (dari bahasa-bahasa dominan

dan musik pop hingga pesawat TV dan perangkat keras komputer) ke seluruh

dunia merupakan sebentuk penindasan atau “imperialisme” budaya kontemporer.

Proses ini mendukung kepentingan ekonomi, politik, dan budaya dari adikuasa

(37)

Berdasarkan garis besar dari dalil Schiller (1976), ada beberapa konsep

pokok dari Imperialisme budaya, yaitu :

1. Sistem dunia modern, merupakan konsep sederhana yang menunjukkan

kapitalisme.

2. Masyarakat, konsep sederhana yang menunjukkan beberapa negara atau

masyarakat dalam batas geografi tertentu yang akan dikembangkan.

3. Sistem pusat yang mendominasi, menunjukkan negara-negara maju atau

dalam diskursus arus informasi internasional disebut sebagai negara

pusat.

4. Struktur dan nilai, menunjukkan kebudayaan atau organisasi dari negara

yang berkuasa ke negara berkembang.

Imperialisme media dan imperialisme budaya merupakan gejala yang terjadi

dalam waktu bersamaan. Media menjadi sarana di mana satu kelompok

mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Khalayak tidak merasa

dibodohi atau dimanipulasi oleh media. Khalayak mengkonsumsi semua

“produksi kesan” kemasan media dalam bentuk apapun yang seakan membuat

mereka merupakan bagian darinya, meskipun itu hanya impian atau ilusi. Salah

satu bentuk kesan yang dapat diciptakan media adalah kriterium kepahlawanan

(heroism) dari seseorang atau sekelompok orang bahkan suatu negara.

Idi Subandy Ibrahim dalam Hegemoni Budaya mengungkapkan bahwa di

bawah figur media yang keras, orang bisa dikendalikan dan akhirnya dihancurkan.

Tetapi, ada juga yang mengendalikan dan mengekspresikan diri melalui media.

Amerika Serikat, misalnya, telah dengan mengesankan mentasbihkan dirinya

(38)

invasi. Sejarah mencatat bahwa setiap pahlawan membutuhkan “media”. Jika dulu

medianya adalah revolusi maka sekarang medianya adalah media massa. Media

massa mampu menciptakan pahlawan-pahlawan kultural rekaan media yang

ditokohkan atas dasar citra (image) atau kesan (impression) simbolis yang

kemudian mengukuhkan kriterium kepahlawanan (heroism) seseorang.

Salah satu yang mendasari munculnya teori ini adalah bahwa pada dasarnya

manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka

berpikir, apa yang dirasakan dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka

cenderung mereaksi apa saja yang dilihatnya dari media massa. Akibatnya,

individu-individu itu lebih senang meniru apa yang disajikan media massa.

Mengapa? Karena media massa menyajikan hal baru yang berbeda dengan yang

biasa mereka lakukan. Media massa juga merupakan alat kultural yang memuat

produk budaya di mana ia berasal. Sebagaimana yang telah disebutkan di awal

tulisan ini semuanya bermuara pada imprialisme budaya.

Teori ini juga menerangkan bahwa ada satu kebenaran yang diyakininya.

Sepanjang negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media

massanya dengan materi yang berasal dari negara-negara maju, orang-orang dunia

ketiga akan selalu percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir dan

rasakan. Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang

berasal dari kebudayaan negara-negara maju tersebut.

Teori imperialisme budaya ini juga tak lepas dari kritikan. Teori ini terlalu

memandang sebelah mata kekuatan audience di dalam menerima terpaan media

massa dan menginterpretasikan pesan-pesannya. Ini artinya, teori ini menganggap

(39)

pengaruh peniruan pada orang-orang yang berbeda budaya. Tetapi yang jelas,

terpaan yang terus-menerus oleh suatu budaya yang berbeda akan membawa

pengaruh perubahan, meskipun sedikit. (Nurudin, 2004 : 167)

II.3 Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun A. Van Dijk

Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut saat ini. Kata

wacana ini sendiri memiliki makna yang luas, ini dikarenakan oleh perbedaan

lingkup dan disiplin ilmu yang memakai istilah wacana tersebut. Namun dari

banyaknya pengertian tersebut terdapat sebuah kesamaan dimana wacana

merupakan bentuk dari pemakaian bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral

dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya,

maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang wacana, ada baiknya

kita melihat batasan atau pengertian wacana dari berbagai sumber. Istilah wacana

sekarang ini dipakai sebagai terjemahan dari perkataan bahasa Inggris discourse.

Dalam salah satu kamus bahasa Inggris terkemuka, mengenai wacana atau

discourse ini kita dapat membaca keterangan sebagai berikut:

Kata discourse berasa dari bahasa Latin discursus yang berarti lari kian kemari (yang diturunkan dari ‘dis’-dari, dalam arah yang berbeda’, dan currere ‘lari’).

1. Komunikasi pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan; konversasi atau percakapan.

2. Komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah.

3. Risalat tulis; disertasi formal; kuliah; ceramah; khotbah (Webster dikutip oleh Sobur, 2004 : 10)

Sebuah tulisan adalah sebuah wacana. Tetapi, apa yang dinamakan wacana

(40)

Websters; sebuah pidato pun adalah wacana juga. Jadi, kita mengenal wacana

lisan dan wacana tertulis. Ini sejalan dengan pendapat Henry Guntur Tarigan

bahwa “Istilah wacana dipergunakan untuk mencakup bukan hanya percakapan

atau obrolan, tetapi juga pembicaraan di muka umum, tulisan, serta upaya-upaya

formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon”. (Sobur, 2004 : 10)

Dalam pengertian yang lebih sederhana, wacana berarti cara objek atau ide

diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan

pemahaman tertentu yang tersebar luas. Wacana selalu mengandaikan

pembicara/penulis, apa yang dibicarakan, dan pendengar/pembaca. Bahasa

merupakan mediasi dalam proses ini.

Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak

disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar

dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan

dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa (Eriyanto, 2001 : 3-4).

Seperti yang banyak dilakukan dalam penelitian mengenai organisasi

pemberitaan selama dan sesudah tahun 1960-an, analisis wacana menekankan

pada “how the ideological significance of news is part and parcel of the methods

used to process news” (bagaimana signifikansi ideologis berita merupakan bagian

dan menjadi paket metode yang digunakan untuk memproses media).

Lantas, apakah yang disebut analisis wacana itu? Jika kita coba rumuskan,

analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Lebih

tepatnya lagi, analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik)

bahasa. Kita menggunakan bahasa dalam kesinambungan atau untaian wacana.

(41)

suprakalimat maka kita sukar berkomunikasi dengan tepat satu sama lain. Analisis

wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi

bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan,

tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang

disebut wacana. Dalam upaya menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari

kalimat tersebut, analisis wacana tidak terlepas dari pemakaian kaidah berbagai

cabang ilmu bahasa, seperti halnya semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi.

(Sobur, 2004 : 48)

Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana,

Positivisme-empiris, Konstruktivisme, dan Pandangan Kritis. Pandangan kritis

sendiri tercipta sebagai hasil koreksi dari pandangan konstruktivisme yang kurang

sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis

maupun institusional. Dalam Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/

CDA), wacana disini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa disini dianalisis

bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga

menghubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dipakai untuk tujuan dan

praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat

ketimpangan yang terjadi.

Karakteristik Analisis Wacana Kritis menurut Teun A. Van Dijk, Fairclough

dan Wodak adalah:

1. Tindakan

Wacana diasosiasikan sebagai bentuk interaksi. Pertama wacana dipandang

sebagai sesuatu yang bertujuan. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang

(42)

2. Konteks

Analisis Wacana Kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti

latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana diproduksi, dimengerti, dan dianalisis

pada suatu konteks tertentu.

3. Historis

Salah satu aspek penting untuk mengerti teks adalah dengan menempatkan

wacana itu dalam konteks historis tertentu dimana wacana itu diciptakan.

4. Kekuasaan

Setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan atau apapun,

tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan

bentuk pertarungan kekuasaan. Kekuasaan berhubungan dengan kontrol

kekuasaan.

5. Ideologi

Teori-teori klasik tentang ideologi diantaranya mengatakan bahwa ideologi

dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan mereproduksi dan

melegitimasi dominasi mereka.

Analisis wacana kritis berisi metode-metode yang menekankan multi level

analisis. Mempertahankan analisis pada jenjang mikro (teks) dengan analisis pada

jenjang meso dan makro.

Sebetulnya, banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan

dikembangkan oleh para ahli. Eriyanto (2001) dalam buku Analisis Wacana-nya,

misalnya, menyajikan model-model analisis wacana yang dikembangkan oleh

Roger Fowler dkk. (1979), Theo van Leeuwen (1986), Sara Mills (1992), Norman

(43)

analisis wacana itu, model van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Ini

dikarenakan van Dijk mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa

aplikasikan secara praktis. (Sobur, 2004 : 73)

Model yang dipakai van Dijk ini kerap disebut sebagai “kognisi sosial”.

Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi sosial,

terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Nama

pendekatan semacam ini tidak dapat dilepaskan dari karakteristik pendekatan yang

diperkenalkan oleh van Dijk. Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak

cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil

dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati (Eriyanto, 2001 : 221).

Menurut Van Dijk, penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi

seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil

dari struktur besar masyarakat. Pendekatan yang dikenal sebagai kognisi sosial ini

membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang

kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan.

Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga suatu ruang hampa

yang mandiri. Akan tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk

tidak hanya membongkar teks semata, tapi ia melihat bagaimana struktur sosial,

dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana

kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks

tersebut. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/bangunan

: teks, kognisi sosial dan konteks sosial.

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur dari teks. Van Dijk

(44)

proposisi, dan paragraf– untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks. Van Dijk

melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing

bagian saling mendukung. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata,

kalimat, dan proposisi yang dipakai. Pernyataan/tema pada level umum didukung

oleh pilihan kata, kalimat, atau retorika tertentu. Prinsip ini membantu peneliti

untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang

lebih kecil. Skema ini juga memberikan peta untuk mempelajari suatu teks. Kita

tidak cuma mengerti apa isi dari suatu teks berita, tetapi juga elemen yang

membentuk teks berita, kata, kalimat, paragraf dan proposisi. Kita tidak hanya

mengetahui apa yang diliput media, tetapi juga bagaimana media mengungkapkan

peristiwa ke dalam pilihan bahasa tertentu dan bagaimana itu diungkapkan lewat

retorika tertentu. Kalau digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut:

Bagan Struktur Teks Menurut van Dijk

(Sumber : Eriyanto 2001: 227)

Pemakaian kata, kalimat, proposisi, retorika tertentu oleh media dipahami

van Dijk sebagai bagian dari strategi penulis. Pemakaian kata-kata tertentu,

kalimat, gaya tertentu bukan semata-mata dipandang sebagai cara berkomunikasi,

Stuktur Makro

Makna global dari suatu teks yang diamati dari topik atau tema yang diangkat dari suatu teks.

Super Struktur

Kerangka dari suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan.

Struktur Mikro

(45)

tetapi dipandang sebagai politik berkomunikasi—suatu cara untuk mempengaruhi

pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi, dan

menyingkirkan lawan atau penentang. Struktur wacana adalah cara yang efektif

untuk melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan ketika seseorang

menyampaikan pesan. Kata-kata tertentu mungkin dipilih untuk mempertegas

pilihan dan sikap, membentuk kesadaran politik, dan sebagainya. Berikut akan

diuraikan satu per satu elemen wacana van Dijk tersebut.

STRUKTUR WACANA

HAL YANG DIAMATI ELEMEN

Struktur Makro Tematik

Tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu berita

Topik

Super Struktur Skematik

Bagaimana bagian dan urutan teks diskemakan dalam teks secara utuh.

Skema

Struktur Mikro Semantik

Makna yang ingin ditekankan dalam teks. Misalnya dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit pada satu sisi dan mengurangi detil di sisi lain.

Latar, detil, maksud, praanggapan,

nominalisasi

Struktur Mikro Sintaksis

Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih

Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti.

Struktur Mikro Stilistik

Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks.

Leksikon

Struktur Mikro Retoris

Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan.

(46)

II.4 Komik

Pengertian “komik” secara umum adalah cerita bergambar dalam majalah,

surat kabar, atau berbentuk buku, yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu.

Pengertian tersebut ada benarnya, namun pengertian ini menjadi kurang tepat

terutama bagi komik-komik yang menampilkan cerita-cerita serius. (Sobur, 2003 :

137)

Berdasarkan jenisnya, komik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu

comic-strips dan comic-books. Comic-strip atau strip merupakan komik

bersambung yang dimuat pada surat kabar maupun majalah. Sedangkan

comic-books adalah kumpulan cerita bergambar yang terdiri dari satu atau lebih judul

dan tema cerita, yang di Indonesia disebut komik atau buku komik. Pada

perkembangan kini, komik mengalami beberapa modifikasi mulai dari format,

muatan isi, teknis pembuatan, hingga strategi pemasarannya.

Jika kita mencoba menengok kembali ke belakang –sekadar menelusuri

sejarah penelusuran komik– maka kita akan menemukan bahwa ternyata komik

dapat dimanfaatkan oleh sementara golongan untuk tujuan-tujuan propaganda. Hal

ini terjadi pada sekitar tahun 1519, dimana pengikut Marthin Luther menjabarkan

95 tesis yang “berlawanan” dengan Gereja di Roma kepada masyarakat awam

dalam bentuk komik. Memang kalau dilihat isinya, komik zaman itu lebih bersifat

propaganda. Akan tetapi, setidaknya, saat itu sudah disadari kekuatan media

komik untuk menjabarkan kepada massa.

Sejak awal 1990-an, komik strip sudah menjadi ciri khusus surat-surat kabar

Amerika, sementara di Indonesia, komik strip muncul tahun 1930. Kehadiran

(47)

Belanda seperti De Java Bode dan D’orient dimana terdapat komik-komik seperti

Flippie Flink and Flash Gordon. Put On, seorang peranakan Tionghoa adalah

karakter komik Indonesia yang pertama, merupakan karya Kho Wan Gie yang

terbit rutin di surat kabar Sin Po—surat kabar yang mengetengahkan

“Komik-Timur” dengan menampilkan lelucon berupa strip yang berjiwa Timur. Put On

menginspirasi banyak komik strip lainnya sejak tahun 30-an sampai 60-an seperti

pada Majalah Star (1939-1942) yang kemudian bertukar menjadi Star Weekly.

Sementara itu di Solo, Nasroen A.S. membuahkan karya komik stripnya yang

berjudul Mentjcari Poetri Hidjaoe melalui mingguan Ratu Timur. Di awal tahun

1950-an, salah satu pionir komik bernama Abdulsalam menerbitkan komik strip

heroiknya di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, salah satunya berjudul

“Kisah Pendudukan Jogja”, bercerita tentang agresi militer Belanda ke atas kota

Yogyakarta. Komik ini kemudian dibukukan oleh harian “Pikiran Rakyat” dari

Bandung. Sebagian pengamat komik berpendapat bahwa inilah buku komik

pertama oleh artis komik Indonesia.Sayangnya, sekitar tahun 1980-an,

perkembangan komik mengalami mati suri. Baru sekitar tahun 1990-an sampai

saat ini komik Indonesia mulai bangkit kembali, itupun yang berkembang justru

kebanyakan meniru gaya “manga” (komik Jepang).

Sekitar akhir tahun 1940-an, banyak komik-komik dari Amerika yang

disisipkan sebagai suplemen mingguan suratkabar. Diantaranya adalah komik

seperti Tarzan, Rip Kirby, Phantom and Johnny Hazard. Kemudian penerbit

seperti Gapura dan Keng po dari Jakarta, dan Perfects dari Malang,

mengumpulkannya menjadi sebuah buku komik. Ditengah-tengah membanjirnya

(48)

memiliki teknik dan ketrampilan tinggi dalam menggambar mendapatkan

kesempatan untuk menampilkan komik adapatasinya dari legenda pahlawan

Tiongkok ‘Sie Djin Koei’. Komik ini berhasil melampaui popularitas Tarzan di

kalangan pembaca lokal. Popularitas tokoh-tokoh komik asing mendorong upaya

mentransformasikan beberapa karakter pahlawan super itu ke dalam selera lokal.

R.A. Kosasih, yang kemudian dikenal sebagai Bapak Komik Indonesia, memulai

karirnya dengan mengimitasi Wonder Woman menjadi pahlawan wanita bernama

Sri Asih. Terdapat banyak lagi karakter pahlawan super yang diciptakan oleh

komikus lainnya, diantaranya adalah Siti Gahara, Puteri Bintang, Garuda Putih

and Kapten Comet, yang mendapatkan inspirasi dari Superman dan petualangan

Flash Gordon.

Adapatasi dari komik asing dalam komik Indonesia mendapatkan tentangan

dan kritikan dari kalangan pendidik dan pengkritik budaya. Karena itu penerbit

seperti Melodi dari Bandung dan Keng Po dari Jakarta mencari orientasi baru

dengan melihat kembali kepada khazanah kebudayaan nasional. Sebagai hasil

pencarian itu maka cerita-cerita yang diambil dari wayang Sunda dan Jawa

menjadi tema-tema prioritas dalam penerbitan komik selanjutnya. R.A. Kosasih

adalah salah seorang komikus yang terkenal keberhasilannya membawa epik

Mahabharata dari wayang ke dalam media buku komik. Sementara itu dari

Sumatera, terutamanya di kota Medan, terdapat pionir-pionir komikus

berketerampilan tinggi seperti Taguan Hardjo, Djas, dan Zam Nuldyn, yang

menyumbangkan estetika dan nilai filosofi ke dalam seni komik. Di bawah

penerbitan Casso and Harris, artis-artis komik ini mengeksplorasi cerita rakyat

(49)

1960-an hingga 1970-an. Tema yang banyak muncul adalah pewayangan,

superhero, dan humor-kritik. Sebagian besar komikus pada masa ini

memanfaatkan majalah dan koran sebagai medianya, meskipun beberapa karya

seperti Majapahit oleh R.A. Kosasih juga mendapatkan kesempatan untuk tampil

dalam bentuk buku.

Ditandai oleh dimulainya kebebasan informasi lewat internet dan

kemerdekaan penerbitan, komikus mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi

gayanya masing-masing dengan mengacu kepada banyak karya luar negeri yang

lebih mudah diakses. Selain itu, beberapa judul komik yang sebelumnya

mengalami kesulitan untuk menembus pasar dalam negeri, juga mendapat tempat

dengan maraknya penerbit komik bajakan.

Selain itu beberapa penerbit besar mulai aktif memberikan kesempatan

kepada komikus muda untuk mengubah image komik Indonesia yang selama ini

terkesan terlalu serius menjadi lebih segar dan muda. Ada dua aliran utama yang

mendominasi komik modern Indonesia, yaitu Amerika (lebih dikenal dengan

comics) dan Jepang (dengan stereotype manga).

Komikus yang menggunakan aliran Jepang sangat diuntungkan dengan

berkembangnya komunitas di Internet. Beberapa situs seperti julliedillon.net,

howtodrawmanga.com, dan mangauniversity memuat banyak informasi

pembuatan manga. Hal ini juga membuat ciri utama komikus Indonesia dengan

aliran gambar Jepang, yaitu kebanyakan nama pengarangnya disamarkan dengan

nickname masing-masing di dunia maya. Kemungkinan hal inilah yang

menyebabkan sulitnya mengetahui jumlah tepatnya komikus lokal. Beberapa

(50)

Anthony Ann—dengan nama samaran lainnya Sentimental Amethyst atau Hisako

Ikeda—Calista, Cynara, Anzu Hizawa, dan lain-lain. Pada awal 2008, Machiko

Manga School, yaitu sebuah lembaga pendidikan yang mengajar cara membuat

komik gaya manga, telah menerbitkan komik dengan format Manga Magazine—

kumpulan komik dari berbagai pengarang yang dibuat dalam satu buku. Komik ini

diberi nama Maqita, akronim dari manga ala kita.

Jika perkembangan komik di Indonesia berjalan dengan tersendat-sendat,

perkembangan komik di Jepang justru sangat pesat. Buku komik di Jepang sangat

populer dan diterbitkan untuk anak-anak maupun orang dewasa. Sejarah komik

Jepang mulai pada akhir abad ke-19, ketika surat kabar dan majalah mulai

memuat kartun mula-mula dengan satu gambar, dan kemudian dengan banyak

gambar yang menggambarkan politik, adat istiadat, dan kehidupan sehari-hari

dengan cara olok-olok dan humor. Pada tahun 1920-an dan 1930-an buku komik

menjadi populer, khusus cerita petualangan dan kumpulan komik untuk

anak-anak. Komik yang terbaik mencerminkan zaman ini adalah Norakuro oleh

Togawa Suiho, yang menonjolkan seekor anjing tentara sebagai peran utama.

Setelah Perang Dunia II, hampir semua surat kabar dan majalah mulai memuat

kartun dengan empat gambar, disebut juga Yottsu Koma Manga (komik empat

kotak). Sekitar tahun 1960-an muncul banyak majalah komik yang memuat cerita

bersambung. Komik yang paling populer saat itu adalah Tetsuwan Atomu karya

Tezuka Osamu, dan merupakan komik pertama yang diangkat ke televisi dalam

format animasi.

Manga semakin popular hampir di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Gambar

Tabel IV.I.1.1 Analisis data komik Samurai X – Bab 1
Tabel IV.I.1.4 Analisis data komik Samurai X – Bab 136
Tabel IV.I.2.1 Analisis data komik Naruto – Bab 339
Tabel IV.I.2.4 Analisis data komik Naruto – Bab 351
+5

Referensi

Dokumen terkait

Namun seiring berjalannya waktu serial anime naruto secara tidak langsung membuat anak-anak meniru adegan–adegan yang ada dalam film tersebut baik adegan pertarungan,