• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Yang Berpotensi Sebagai Tanaman Obat Di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Yang Berpotensi Sebagai Tanaman Obat Di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH YANG BERPOTENSI SEBAGAI TANAMAN OBAT DI HUTAN TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER SUB SEKSI BUKIT LAWANG

THESIS OLEH

ZAINAB NIRWANI NIM : 077030030

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH YANG BERPOTENSI SEBAGAI TANAMAN OBAT DI HUTAN TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER SUB SEKSI BUKIT LAWANG

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Sains Dalam Program Studi Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

OLEH

ZAINAB NIRWANI NIM : 077030030

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

JUDUL PENELITIAN : KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH YANG BERPOTENSI SEBAGAI TANAMAN OBAT DI HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SUB SEKSI BUKIT LAWANG NAMA MAHASISWA : ZAINAB NIRWANI

NIM : 077030030

PROGRAM STUDI : BIOLOGI

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof.Ir.Zulkifli Nastuion, M.Sc.Ph.D Prof.Dr.Retno Widhiastuti, MS

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof.Dr.Dwi Suryanto, M.Sc Dr. Sutarman, M.Sc

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 28 September 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Ir.Zulkifli Nastuion, M.Sc.Ph.D Anggota : Prof.Dr.Retno Widhiastuti, MS

(5)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH YANG BERPOTENSI SEBAGAI TANAMAN OBAT DI HUTAN TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER SUB SEKSI BUKIT LAWANG

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, September 2010 Penulis,

(6)

ABSTRACT

Zainab Nirwani, Ground vegetation Diversity The Potential For Forest Medicinal Plants in National Parks Sub-Section of Bukit Lawang. Supervised by Zulkifli Nasution and Retno Widhiastuti.

Communities in the vicinity of Bukit Lawang has decades of use of plants as medicinal plants, use of medicinal plants associated with value-added and increased economy in society, data and information on plants that have the potential as a medicinal plant in Gunung Leuser National Park Sub-Section of Bukit Lawang is still less. This study aimed to ground vegetation diversity and its relation to physical-chemical factors and know the plants used under the communities around Gunung Leuser National Park sub-section of Bukit Lawang. The research uses quantitative and qualitative methods. Data obtained with calculating dominance and diversity indices as well as interviews with common community. Based of study the correlation between diversity with soil temperature and humidity have a correlation in the same direction, while the air temperature, light intensity and soil pH has a correlation in the opposite direction. IVI (Importance Value Index) ground vegetation is about from 0.99% -25.95%. The Highest IVI is Laportea Stimulant, which it’s included in families Urticaceae. The diversity index is about from 3.186 to 3.342, it means that this area has a high diversity. Ground Vegetation which it’s used most by the public is sirih hutan (Piper sp.) with a value of 12,60 and lempuyang (Globba sp) with a value of 12,10. . Most of the used medicinal plants have secondary metabolites flavanoid types.

(7)

ABSTRAK

Zainab Nirwani, Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Yang Berpotensi Sebagai Tanaman Obat di Hutan Taman Nasional Sub Seksi Bukit Lawang. Dibimbing oleh Zulkifli Nasution dan Retno Widhiastuti.

Masyarakat di sekitar Bukit Lawang sudah berpuluh tahun memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai tanaman obat, Penggunaan tanaman obat terkait dengan nilai tambah dan peningkatan perekonomiaan di masyarakat, data dan informasi mengenai tumbuhan yang berpotensi sebagai tanaman obat di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang masih kurang.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan bawah dan hubungannya dengan faktor fisik-kimia serta mengetahui tumbuhan bawah yang digunakan masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang. Penelitian menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Data diperoleh dengan menghitung dominansi dan indeks keanekaragaman serta wawancara dengan masyarakat sekitar.Berdasarkan penelitian yang dilakukan korelasi antara keanekaragaman dengan suhu tanah dan kelembaban memiliki korelasi searah, sedangkan suhu udara, intensitas cahaya dan pH tanah memiliki korelasi yang berlawanan arah. INP tumbuhan bawah berkisar antara 0,99%-25,95%. INP tertinggi adalah Laportea stimulans termasuk famili Urticaceae. Indeks keanekaragaman berkisar antara 3,186-3,342 artinya Kawasan ini memiliki keanekaragaman yang tinggi.

Tumbuhan bawah yang digunakan paling banyak oleh masyarakat adalah sirih hutan (Piper sp.) dengan nilai 12,60 diikuti dengan jenis lempuyang (Globba sp) dengan nilai 12,10.. Kebanyakan tanaman obat yang digunakan memiliki kandungan metabolit sekunder jenis flavanoid.

(8)

RIWAYAT HIDUP

ZAINAB NIRWANI dilahirkan pda tanggal 29 Juni 1971 di kota Pematang Siantar Propinsi Sumatera Utara. Anak dari pasangan Sofyan Ismail (Alm) dengan Asni (Alm) sebagai anak ke empat dari lima bersaudara.

Tahun 1984 penulis lulus dari SDN 122398 Pematang Siantar. Pada tahun 1987 lulus dari SMPN 4 Pematang Siantar dan tahun 1990 lulus dari SMAN 2 Pematang Siantar. Pada tahun 1990 meneruskan pendidikan ke Universitas Sumatera Utara jurusan pendidikan biologi Program D3 dan tamat pada tahun 1993. Pada tahun meneruskan pendidikan di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Terbuka UPBJJ Banda Aceh dan tamat pada tahun

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan YME. Karena berkat Rahmat dan karunianyalah penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini dengan judul “Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Yang Berpotensi Sebagai Tanaman Obat di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang”.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc sebagai dosen pembimbing I dan Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama proses penulisan dan penyusunan laporan hasil penelitian ini.

Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Budi Utomo, Sp. MP dan Dr. Suci Rahayu, M. Si sebagai penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan penyusunan hasil penelitian ini.

2. Seluruh Dosen dan staf pengajar Program Studi Pasca Sarjana Biologi Universitas Sumatera Utara yang telah membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu

3. Pemerintah Kota Tebing Tinggi yang telah memberi izin dan memberi bantuan beasiswa kuliah Pascasarjana saya.

(10)

5. Suamiku tercinta Syahlul. W. Siregar yang telah memberi motivasi dan dukungan serta kesabaran. Juga anakku tercinta Faisal Surya Akbar.

Akhir kata semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan karuniaNya dalam seluruh aktivitas kita dan semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRACT

ABSTRAK... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

I. PENDAHULUAN... 1

2.4. Potensi Tumbuhan Obat di Hutan Tropika Indonesia ... 12

2.5. Keanekaragaman Tumbuhan Obat berdasarkan Familinya ... 13

2.6. Kandungan Metabolit Sekunder ... 15

(12)

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 23

3.4.1. Di Hutan Taman Nasional Sub Seksi Bukit Lawang ... 23

3.4.2. Pengumpulan Data Tumbuhan Obat di Masyarakat ... 25

3.5. Di Laboratorium ... 28

3.5.1. Identifikasi Jenis ... 28

3.6. Analisis Data ... 29

3.6.1. Struktur Dan Komposisi Tumbuhan Bawah ... 29

3.6.2. Potensi Tanaman Obat ... 30

3.6.3. Analisis Korelasi ... 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 32

4.1. Kekayaan Jenis Tumbuhan Bawah di Hutan Taman Nasional Sub Seksi Bukit Lawang ... 32

4.2.Sebaran Jenis Tumbuhan di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang ... 37

4.3. Dominansi Tumbuhan Bawah di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang ... 47

4.3.1. Nilai Kerapatan Relatif (KR) ... 51

4.3.2.Nilai Frekuensi Relatif (FR) ... 54

4.3.3. Indeks Nilai Penting (INP) ... 57

4.4. Indeks Keanekaragaman (H’) ... 58

4.5. Analisis Korelasi Antara Faktor Fisik dan Keanekaragaman Jenis . 59 4.6. Jenis-Jenis Tumbuhan Bawah Yang Dimanfaatkan Sebagai Tanaman Obat ... 61

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 66

5.1. Kesimpulan ... 66

5.2. Saran ... 67

(13)

DAFTAR TABEL

NO Judul Halaman

1 Jumlah Spesies Tumbuhan Obat Berdasarkan Kelompok

Familinya ... 14 2 Jenis dan Klasifikasi Tumbuhan Bawah yang Ditemukan Pada

Lokasi Penelitian

...

32 3 Sebaran dan Jumlah Tumbuhan Bawah di Hutan Taman Nasional

Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang ... 37 4 Jumlah famili dan Jenis Tumbuhan Bawah di Taman Nasional

Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang

...

43 5 Faktor fisik dan Lingkungan di Taman Nasional Gunung Leuser

Sub Seksi Bukit Lawang ... 45 6 Nilai Kerapatan Mutlak (Km), Kerapatan Relatif (Kr), Frekuensi

(F), Frekuensi Relatif (Fr) dan Indeks Nilai Penting (INP) Jenis Tumbuhan Bawah pada Taman Nasional Gunung Leuser Sub

Seksi Bukit Lawang ... 47

7 Analisis Korelasi Faktor Fisik Kimia dengan Keanekaragaman DenganMetode Komputerisasi SPSS Ver. 16.00 ...

59

8 Nilai Koefisien Korelasi ... 60

9 Nilai Guna, Nilai Guna Relatif Tumbuhan Bawah yang Berpotensi

Sebagai Tanaman Obat di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi

Bukit Lawang ... 62 10 Jenis-jenis Tumbuhan Bawah yang Dimanfaatkan Sebagai

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Contoh Perhitungan (K, KR, F, FR, INP, H’ dan E) 56

2 Analisis Korelasi Pearson Dengan Metode Komputerisasi SPSS Ver.16.00

58

3 Tabel Pengamatan Tumbuhan Bawah di Lokasi I 59

4 Tabel Pengamatan Tumbuhan Bawah di Lokasi II 62

5 Tabel Pengamatan Tumbuhan Bawah di Lokasi III 66

6 Analisis Vegetasi Lokasi I 69

7 Analisis Vegetasi Lokasi II 70

8 Analisis Vegetasi Lokasi III 71

9 Biodata dan Pernyataan Informan Kunci dan Respoden 73

10 Biodata Dan Wawancara Pemanfaatan Tumbuhan Obat Oleh Responden 74

11 Penentuan Jumlah Sampel Dari Ppopulasi Tertentu Dengan Taraf Kesalahan 1%, 5%, 10%

79

12 Nilai Guna Tumbuhan 80

13 Deskripsi Tumbuhan Bawah yang digunakan Masyarakat Sekitar Bukit Lawang

(15)

ABSTRACT

Zainab Nirwani, Ground vegetation Diversity The Potential For Forest Medicinal Plants in National Parks Sub-Section of Bukit Lawang. Supervised by Zulkifli Nasution and Retno Widhiastuti.

Communities in the vicinity of Bukit Lawang has decades of use of plants as medicinal plants, use of medicinal plants associated with value-added and increased economy in society, data and information on plants that have the potential as a medicinal plant in Gunung Leuser National Park Sub-Section of Bukit Lawang is still less. This study aimed to ground vegetation diversity and its relation to physical-chemical factors and know the plants used under the communities around Gunung Leuser National Park sub-section of Bukit Lawang. The research uses quantitative and qualitative methods. Data obtained with calculating dominance and diversity indices as well as interviews with common community. Based of study the correlation between diversity with soil temperature and humidity have a correlation in the same direction, while the air temperature, light intensity and soil pH has a correlation in the opposite direction. IVI (Importance Value Index) ground vegetation is about from 0.99% -25.95%. The Highest IVI is Laportea Stimulant, which it’s included in families Urticaceae. The diversity index is about from 3.186 to 3.342, it means that this area has a high diversity. Ground Vegetation which it’s used most by the public is sirih hutan (Piper sp.) with a value of 12,60 and lempuyang (Globba sp) with a value of 12,10. . Most of the used medicinal plants have secondary metabolites flavanoid types.

(16)

ABSTRAK

Zainab Nirwani, Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Yang Berpotensi Sebagai Tanaman Obat di Hutan Taman Nasional Sub Seksi Bukit Lawang. Dibimbing oleh Zulkifli Nasution dan Retno Widhiastuti.

Masyarakat di sekitar Bukit Lawang sudah berpuluh tahun memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai tanaman obat, Penggunaan tanaman obat terkait dengan nilai tambah dan peningkatan perekonomiaan di masyarakat, data dan informasi mengenai tumbuhan yang berpotensi sebagai tanaman obat di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang masih kurang.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan bawah dan hubungannya dengan faktor fisik-kimia serta mengetahui tumbuhan bawah yang digunakan masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang. Penelitian menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Data diperoleh dengan menghitung dominansi dan indeks keanekaragaman serta wawancara dengan masyarakat sekitar.Berdasarkan penelitian yang dilakukan korelasi antara keanekaragaman dengan suhu tanah dan kelembaban memiliki korelasi searah, sedangkan suhu udara, intensitas cahaya dan pH tanah memiliki korelasi yang berlawanan arah. INP tumbuhan bawah berkisar antara 0,99%-25,95%. INP tertinggi adalah Laportea stimulans termasuk famili Urticaceae. Indeks keanekaragaman berkisar antara 3,186-3,342 artinya Kawasan ini memiliki keanekaragaman yang tinggi.

Tumbuhan bawah yang digunakan paling banyak oleh masyarakat adalah sirih hutan (Piper sp.) dengan nilai 12,60 diikuti dengan jenis lempuyang (Globba sp) dengan nilai 12,10.. Kebanyakan tanaman obat yang digunakan memiliki kandungan metabolit sekunder jenis flavanoid.

(17)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Biodiversity atau Keanekaragamanan hayati merupakan anugerah terbesar bagi umat manusia. Manfaatnya antara lain adalah (1) merupakan sumber kehidupan, penghidupan dan kelangsungan hidup bagi umat manusia, karena potensial sebagai sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan serta kebutuhan hidup yang lain (2) merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi (3) mengembangkan sosial budaya umat manusia (4) membangkitkan nuansa keindahan yang merefleksikan penciptanya. Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia setelah Brazil, mempunyai manfaat ekologi yang sangat vital dan begitu berharga di mata dunia (Azmy, 2002).

Hutan tropika Indonesia diperkirakan mencapai 143 juta ha, merupakan tempat tumbuh 80 persen dari tanaman obat yang ada di dunia di mana 28.000 spesies tanaman tumbuh dan 1.000 spesies di antaranya telah digunakan sebagai tanaman obat (Pramono, 2002). Survey yang dilakukan oleh PT. Esai pada tahun 1986 menemukan bahwa di Indonesia terdapat 7.000 spesies tanaman obat setara dengan 90 persen tanaman obat yang tumbuh di seluruh Asia (PT. Esai, 1986). Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (2006), 283 tanaman telah diregistrasi untuk penggunaan obat tradisional/jamu, 180 jenis di antaranya merupakan tanaman obat yang masih ditambang dari hutan.

(18)

bahan jamu gendong, obat herbal, makanan penguat daya tahan tubuh, kosmetik dan bahan spa serta bahan baku industri makanan dan minuman. Sumber tanaman obat hasil hutan untuk industri di Pulau Jawa sebagaian besar ditambang dari Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) dan KPH Saradan-Madiun (Kemala, et al., 2003). TNMB mempunyai luas areal 58.000 ha, terdiri atas 57.155 Ha daratan dan 845 Ha perairan, terletak di wilayah Kabupaten Jember 37.585 Ha dan di Kabupaten Banyuwangi 20.415 Ha. Potensi tanaman obat yang terdapat di TNMB mencukup 239 jenis tanaman obat yang terbagi dalam 78 famili. Masyarakat di empat desa penyangga menambang 85 jenis tanaman (Dephut, 2002).

Dari hasil penelitian (Setyowati, 2007) pada masyarakat Talang Mamak yang bermukim di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau tercatat tidak kurang dari 78 jenis tanaman obat, diantaranya yaitu akar kuning (Arcangelisia flava), pulai (Alstonia scholaris), pasak bumi (Eurycoma longifolia), gaharu (Aquilaria malaccensis) dan kapung-kapung (Oroxylum indicum), kulim (Scorodocarpus borneensis), pinang (Areca catechu), jernang (Daemonorops draco), kasai (Pometia pinnata), asam gelugur (Garcinia atroviridis), ambeu (Brucea javanica) dan nilam (Pogostemon cablin).

(19)

mempunyai aktivitas bertani dan memungut hasil hutan di sekitar atau di dalam Taman Nasional tersebut. Taman Nasional tersebut sebagai salah satu kawasan konservasi juga sangat berkaitan dengan cara masyarakat setempat dalam mengelola pertanian dan memanfaatkan tumbuhan yang ada di sekitarnya (Sutarjadi 1992).

Masyarakat di sekitar Bukit Lawang sudah berpuluh tahun memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai tanaman obat, hutan alam tempat tanaman obat terdapat masih banyak yang belum diteliti dan masih belum dapat dimanfaatkan untuk industri farmasi di dalam negeri, sedangkan data dan informasi mengenai tumbuhan yang berpotensi sebagai tanaman obat di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang masih kurang. Terutama informasi tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai tanaman obat.

Laju permintaan produk berbasis tanaman obat terkait erat dengan tingkat penggunaan oleh masyarakat. Peningkatan penggunaan obat herbal mempunyai dua dimensi korelatif, yaitu aspek medik terkait dengan penggunaannya yang sangat luas diseluruh dunia, dan aspek ekonomi yang terkait dengan nilai tambah dan peningkatan perekonomian masyarakat (Sampurno, 2007). Tingkat penggunaan tanaman obat oleh masyarakat semakin meningkat, Oleh karena itu sangat diperlukan dalam upaya mendokumentasikan sumber biodiversitas yang ada sekaligus untuk mencari sumber keuntungan dan plasma nutfah di masa mendatang.

1.2. Perumusan Masalah

(20)

sehingga perlu diadakan penelitian mengenai ‘keanekaragaman tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai tanaman obat di Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang’.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan bawah di hutan Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang.

2. Mengetahui hubungan faktor fisik-kimia habitat tumbuhan bawah di hutan Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang.

3. Mengetahui tumbuhan bawah apa saja yang digunakan sebagai tanaman obat oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang.

1.4. Manfaat Penelitian

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati (biological diversity) atau sering disebut dengan biodiversity adalah istilah untuk menyatakan tingkat keanekaragaman sumber daya alam hayati yang meliputi kelimpahan maupun penyebaran dari ekosistem, jenis dan genetik. Dengan demikian keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkatan, yaitu: (1) keanekaragaman ekosistem, (2) keanekaragaman jenis, dan (3) keanekaragaman genetik. Oleh karena itu, biodiversity meliputi jenis tumbuhan dan hewan, baik yang makro maupun yang mikro termasuk sifat-sifat genetik yang terkandung di dalam individu setiap jenis yang terdapat pada suatu ekosistem tertentu (Brockerhoff et al., 2009).

Keanekaragaman hayati merupakan konsep penting dan mendasar karena menyangkut kelangsungan seluruh kehidupan di muka bumi, baik masa kini, masa depan, maupun evaluasi terhadap masa lalu. Konsep ini memang masih banyak yang bersifat teori dan berhadapan dengan hal-hal yang sulit diukur secara tepat, terutama pada tingkat keanekaragaman genetik serta nilai keanekaragaman belum ada pembakuan (standarisasi). Pengukuran/pemantauan biodiversity dapat dilakukan dengan mengukur langsung terhadap objek/organisme yang bersangkutan atau mengevaluasi berbagai indikator yang terkait (Brockerhoff, et al., 2009).

(22)

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon yang menempati suatu tempat dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan di luar hutan, sedangkan satuan masyarakat hutan adalah tegakan (Kusmana, 1995). Luas hutan di seluruh dunia sekitar 2.970 juta hektar, sekitar 40 persennya merupakan hutan basah di daerah tropis. Dalam hutan basah tersebut terkandung kekayaan sebesar 10 persen di Zaire, Brazil dan Indonesia (Arief, 1994).

Hutan merupakan salah satu bentuk tata guna lahan yang lazimnya dijumpai di daerah tropis, sub tropis, di dataran rendah maupun pegunungan bahkan di daerah kering sekalipun. Indonesia terletak di daerah khatulistiwa yang memiliki luas hutan 144 juta hektar atau 75 persen dari total luas daratan. Sekitar 49 juta hektar merupakan areal hutan lindung, sedangkan 64 juta hektar telah dirancang untuk hutan produksi dan luas selebihnya sebesar 31 juta hektar disediakan untuk keperluan perluasan pertanian (Arief, 1994).

(23)

Hutan ini biasanya dikelola untuk tujuan penelitian. Hutan suaka alam dipergunakan bagi perlindungan margasatwa agar tidak punah, disamping nilai khas bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan, disebut suaka margasatwa. Sedangkan suaka alam yang mempunyai perlindungan khas seperti air terjun, gua alam dan lainnya, disamping flora dan fauna sebagai kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, disebut cagar alam (Arief , 1994).

2.3. Tumbuhan Bawah

Tumbuhan bawah adalah komunitas tanaman yang menyusun stratifikasi bawah dekat permukaan tanah. Tumbuhan ini umumnya berupa rumput, herba, semak atau perdu rendah. Jenis-jenis vegetasi ini ada yang bersifat annual, biannual, atau perenial dengan bentuk hidup soliter, berumpun, tegak menjalar atau memanjat. Secara taksonomi vegetasi bawah umumnya anggota dari suku-suku Poceae, Cyperaceae, araceae, asteraceae, paku-pakuan dan lain-lain. Vegetasi ini banyak terdapat di tempat-tempat terbuka, tepi jalan, tebing sungai, lantai hutan, lahan pertanian dan perkebunan (Aththorick, 2005).

(24)

Menurut Richard (1981), tumbuhan bawah yang sering dijumpai di kawasan hutan tropik terdiri atas famili Araceae, Gesneriaceae, Urticaceae, Achantaceae, Zingiberaceae, Begoniaceae, Rubiaceae, dan tumbuhan menjalar seperti kelompok Graminae (Calamus sp.), Smilaceae, Piperaceae dan beberapa jenis tumbuhan paku seperti Selaginellaceae.

Komposisi dari keanekaragaman jenis tumbuhan bawah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, kelembaban, pH tanah, tutupan tajuk dari pohon di sekitarnya, dan tingkat kompetisi dari masing-masing jenis. Pada komunitas hutan hujan, penetrasi cahaya matahari yang sampai pada lantai hutan umumnya sedikit sekali. Hal ini disebabkan terhalang oleh lapisan-lapisan tajuk pohon yang ada pada hutan tersebut, sehingga tumbuhan bawah yang tumbuh dekat permukaan tanah kurang mendapat cahaya, sedangkan cahaya matahari bagi tumbuhan merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses perkembangan, pertumbuhan dan reproduksi (Gusmaylina, 1983). Menurut Barnes, et al., (1997), keanekaragaman tumbuhan bawah memperlihatkan tingkatan keanekaragaman yang tinggi berdasarkan komposisinya. Perbedaan bentang lahan, tanah, faktor iklim serta perbandingan keanekaragaman spesies vegetasi bawah, memperlihatkan banyak perbedaan, baik dalam kekayaan jenisnya maupun pertumbuhannya.

(25)

daun yang lebar untuk menangkap cahaya matahari sebanyak-banyaknya (Hafild & Aniger, 1984).

Tumbuhan bawah berfungsi sebagai penutup tanah menjaga kelembaban sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat, sehingga dapat menyediakan unsur hara untuk tanaman pokok. Siklus hara akan berlangsung sempurna dan guguran daun yang jatuh sebagai serasah akan dikembalikan lagi ke pohon dalam bentuk unsur hara yang sudah diuraikan oleh bakteri (Irwanto, 2007).

2.4. Potensi Tumbuhan Obat di Hutan Tropika Indonesia

Sudah turun temurun berbagai etnis (suku asli) yang hidup di dalam dan sekitar hutan di seluruh wilayah Nusantara, dari Sabang sampai Merauke memanfaatkan berbagai spesies tumbuhan dari hutan untuk memelihara kesehatan dan pengobatan berbagai macam penyakit. Berbagai penelitian etnofitomedika-etnobotani yang dilakukan oleh peneliti Indonesia telah diketahui, paling tidak ada 78 spesies tumbuhan obat yang digunakan oleh 34 etnis untuk mengobati penyakit malaria, 133 spesies tumbuhan obat untuk mengobati penyakit demam oleh 30 etnis, 110 spesies tumbuhan obat untuk mengobati penyakit gangguan pencernaan oleh 30 etnis dan 98 spesies tumbuhan obat digunakan untuk mengobati penyakit kulit oleh 27 etnis (Sangat, et al., 1999).

(26)

dikembangkan oleh industri jamu dan farmasi menjadi produk jamu atau produk fitofarmaka yang sangat laku di pasaran, seperti produk merek dagang: fitodiar, prolipid, enkasari, stimuno dan lain-lain (Zuhud, 2008).

Secara umum dapat diketahui bahwa tidak kurang 82 % dari total spesies tumbuhan obat hidup di ekosistem hutan tropika dataran rendah pada ketinggian hingga 1000 meter di atas permukaan laut. Saat ini ekosistem hutan dataran rendah adalah kawasan hutan yang paling banyak rusak dan punah karena berbagai kegiatan manusia baik secara legal maupun tak legal. Ekosistem hutan tropika Indonesia merupakan wujud proses evolusi, interaksi yang kompleks dan teratur dari komponen tanah, iklim (terutama cahaya, curah hujan dan suhu), udara dan organisme termasuk sosio-budaya manusia untuk mendukung kehidupan keanekaragaman hayati, antara lain berbagai spesies tumbuhan obat (Zuhud, 2008).

2.5. Keanekaragaman Tumbuhan Obat Berdasarkan Familinya

Berdasarkan kelompok familinya, spesies-spesies tumbuhan obat yang ada dapat dikelompokkan ke dalam 203 macam famili, di mana jumlah spesies tumbuhan obat yang terbanyak termasuk dalam famili fabaceae, yaitu sebanyak 110 spesies. Secara umum terdapat 22 macam famili yang memiliki spesies tumbuhan obat lebih dari 20, sedangkan 181 famili lainnya memiliki jumlah spesies tumbuhan obat yang kurang dari 20, (Zuhud, 2008). seperti disajikan Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Spesies Tumbuhan Obat Berdasarkan Kelompok Familinya

NO NAMA FAMILI JUMLAH SPESIES

1 Fabaceae 110

2 Euphorbiaceae 94

(27)

4 Rubiaceae 72

NO NAMA FAMILI JUMLAH SPESIES

14 Menispermaceae 30

Sumber : (Zuhud dan Siswoyo. 2001)

2.6. Kandungan Metabolit Sekunder

Tanaman memproduksi berbagai macam bahan kimia untuk tujuan tertentu, yang disebut dengan metabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman merupakan bahan yang tidak esensial untuk kepentingan hidup tanaman tersebut, tetapi mempunyai fungsi untuk berkompetisi dengan makhluk hidup lainnya (Fessenden & Fessenden, 1986). Kandungan metabolit sekunder terdiri dari:

2.6.1. Alkaloid

(28)

Alkaloid biasanya tidak bewarna, seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal hanya sedikit yang berbentuk cairan (misalnya: nikotina) pada suhu kamar. Secara umum, golongan senyawa alkaloid mempunyai sifat – sifat sebagai berikut : a) biasanya merupakan kristal tak bewarna, tidak mudah menguap, tidak larut dalam air, larut dalam pelarut organik seperti etanol, eter dan kloroform. b) Bersifat basa, pada umumnya beberapa pahit, bersifat racun, mempunyai efek fisiologis secara optis aktif. Senyawa alkaloid banyak terkandung dalam akar, biji, kayu maupun daun dari tumbuh-tumbuhan. Senyawa alkaloid dapat dipandang sebagai hasil metabolisme dari tumbuhan atau dapat berguna sebagai cadangan bagi biosintesis protein (Annaria, 2010).

Kegunaan alkaloid bagi tumbuhan adalah sebagai pelindung dari serangan hama, penguat tumbuh-tumbuhan dan pengatur kerja hormon. Alkaloid sangat penting dalam industri farmasi karena kebanyakan alkaloid mempunyai efek fisiologis. Pada umunya alakaloid tidak ditemukan dalam Gymnospermae, Bryophyta, Pterydophyta dan tumbuhan rendah lainnya (Annaria, 2010).

(29)

tumbuh, atau sebagai basa mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion (Fessenden & Fessenden, 1986).

2.6.2. Flavonoid

Flavonoid adalah suatu kelompok yang termasuk ke dalam senyawa fenol yang terbanyak di alam, senyawa-senyawa flavonoid ini bertanggung jawab terhadap zat warna ungu, merah, biru dan sebagian zat warna kuning dalam tumbuhan. Berdasarkan strukturnya senyawa flavonoid merupakan turunan senyawa induk “flavon” yakni nama sejenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan lazim ditemukan, yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan primula. Sebagian besar flavonoid yang terdapat pada tumbuhan terikat pada molekul gula sebagai glikosida, dan dalam bentuk campuran, jarang sekali dijumpai berupa senyawa tunggal. Disamping itu sering ditemukan campuran yang terdiri dari flavonoid yang berbeda kelas. Flavonoid dalam tumbuhan mempunyai empat fungsi : a) Sebagai pigmen warna b) Fungsi patologi dan sitologi c) Aktivitas farmakologi Dianggap berasal dari rutin (glikosida flavonol) yang digunakan untuk menguatkan susunan kapiler, menurunkan permeabilitas dan fragilitas pembuluh darah dll (Fessenden, 1986).

(30)

digunakan untuk melindungi membran sel hati dan menghambat sintesis prostaglandin, penghambatan reaksi hidroglisis pada mikosom. Dalam makanan flavonoid dapat menurunkan agregasi platelet dan mengurangi pembekuan darah. Pada kulit, flavonoid menghambat pendarahan (Annaria, 2010).

Kegunaan lain dari flavonoid antara lain; pertama terhadap tumbuhan, yaitu sebagai pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus. Kedua, terhadap manusia, yaitu sebagai antibiotik terhadap kanker dan ginjal, menghambat perdarahan. Ketiga, terhadap serangga, yaitu sebagai daya tarik untuk melakukan penyerbukan (Annaria, 2010).

Flavoniod mempunyai sifat yang khas yaitu bau yang sangat tajam, sebagian besar merupakan pigmen berwarna kuning, dapat larut dalam air dan pelarut organik, mudah terurai pada temperatur tinggi (Hart, 1990). Pada tumbuhan tinggi, flavonoid terdapat dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga. Sebagai pigmen bunga, flavonoid berperan dalam menarik burung dan serangga penyerbuk bunga (Hart, 1990).

2.6.3. Steroid

(31)

Kolesterol ditemukan dalam semua organisme dan merupakan bahan awal untuk pembentukan asam empedu, hormon stereoid, dan vitamin D. Walaupun kolesterol esensial bagi makhluk hidup, tapi berimplikasi terhadap pembentukan “plek” pada dinding pembuluh nadi (suatu proses yang disebut pengerasan pembuluh), bahkan dapat mengakibatkan penyumbatan. Gejala ini penting terutama dalam pembuluh yang memasok darah ke jantung. Penyumbatan pada pembuluh ini menimbulkan kematian akibat serangan jantung (Hart,1990).

2.6.4. Terpenoid

(32)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Deskripsi Area

Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang adalah Hutan Taman Nasional Gunung Leuser stasiun rehabilitasi Orangutan Kabupaten Langkat. Dari segi pengelolaan hutannya, kawasan hutan Bukit Lawang termasuk dalam kawasan kerja Seksi Pengelolaan Taman Nasional wilayah V Bahorok bidang Pengelolaan Taman Nasional wilayah III Stabat Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser.

Secara geografis kawasan hutan ini terletak pada 3030’ – 3045’ Lintang Utara dan 9800’ – 98015’ bujur timur, pada ketinggian 100-260 meter di atas permukaan laut (Dephut, 1990). Batas-batasnya adalah sebelah Utara dengan sungai Bahorok dan sebelah Timur dengan sungai Bahorok dan kelurahan Bukit Lawang. Sisi yang lainnya terus berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

Kawasan ini berada pada ketinggian 100m -700m dari permukaan laut (dpl), dengan topografi yang berbukit-bukit sampai curam, sedangkan topografi yang datar bisa dikategorikan tidak ada. Jenis tanah adalah kompleks podsolik merah kuning, latosol, litosol dan komplek podsolik coklat (Dephut, 1990).

3.1.1. Keadaan Iklim

(33)

minimum adalah 21 , suhu maksimum 30 suhu rata-rata berkisar 24 , kelembaban nisbi minimum 72 % dan kelembaban nisbi maksimum adalah 92 % (Dephut, 1990).

3.1.2. Vegetasi

Data dari peta vegetasi yang ada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan sekitarnya, di mana sebagian kawasan hutannya memiliki tipe vegetasi hutan sedang yang didominir oleh vegetasi hutan tropis basah. Sepanjang sungai Bahorok dapat dijumpai beberapa jenis pohon Pakam Gunung (Poemetia pinnata), Ngaskas (Dysoxylim sp) dan beberapa vegetasi yang sangat mendominir seperti jenis rambung-rambung (Vernonia arborea), Mayang dan Damar Laut (Shorea materialis), Kayu Kuning (Eugenia sp), Semantok (Shorea multiflora) dan Rotan (Calomus sp). Jenis yang lainnya merupakan hutan sekunder yang ditumbuhi beberapa jenis bambu (Dephut, 1990).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

(34)

Gambar 1.Peta lokasi penelitian di Kawasan Bukit Lawang, TNGL. Sumber : Dirjen Perlindungan Pelestarian Alam TNGL.

3.3. Alat dan Bahan Penelitian

(35)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

3.4.1. Di Hutan Taman Nasional Sub Seksi Bukit Lawang

Penelitian ini tidak mencakup seluruh kawasan, melainkan menggunakan teknik sampling dengan menggunakan petak contoh. Penentuan lokasi penelitian menggunakan Metode Purposive Sampling. Untuk menentukan ukuran/jumlah petak contoh adalah menggunakan kurva species-area (Kusmana,1995)

Luas minimum petak contoh yang ditetapkan mewakili pada kawasan tumbuhan bawah di hutan Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang. Luasan ini bukanlah harga mutlak bahwa luas petak contoh yang harus kita gunakan, tetapi nilai tersebut adalah nilai minimum, artinya kita bisa menambah ukuran petak contoh atau bahkan memodifikasinya karena yang harus diperhatikan petak contohnya tidak kurang dari kurva species area. Untuk memudahkan di lapangan ukuran tersebut berbentuk persegi.

Pada penelitian ini setiap lokasi dibuat petak contoh 2 x 2 m sebanyak 40. Dilakukan hal yang sama pada 3 lokasi penelitian, dengan luas daerah pengamatan yaitu 0,48 Ha. Dalam setiap petak contoh dibuat pencatatan di antaranya adalah: contoh tumbuhan bawah yang ditemukan dalam petak contoh dihitung kemudian dicatat nama daerahnya.

(36)

Untuk analisis tanah, masing-masing jalur diambil sampel tanah menggunakan bor tanah dengan kedalaman 0-20 cm dan dilakukan secara zig zag yaitu: disetiap satu jalur diambil sampel tanah. Jalur pertama di awal jalur, jalur kedua di tengah jalur jalur ketiga diakhir jalur, sampel diambil secara zig zag. Total sampel kantung tanah sesuai dengan jumlah jalur yang dibuat. Sampel tanah dibawa ke laboratorium tanah Fakultas Pertanian USU untuk diukur komposisi unsur-unsur hara tanah yang terkandung di dalamnya. Pada lokasi pengamatan, dilakukan pengukuran sifat fisik yang meliputi ketinggian dengan menggunakan altimeter, intensitas cahaya dengan luxmeter, suhu udara dengan termometer, suhu tanah dengan soil termometer, kelembaban udara dan kelembaban tanah dengan hygrometer, pH tanah dengan soil tester.

3.4.2. Pengumpulan Data pemanfaatan tumbuhan Obat di Masyarakat

Secara garis besar metoda penelitian untuk mengetahui jenis tumbuhan obat yang digunakan masyarakat merupakan gabungan metoda penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Metoda Penelitian kuantitatif dilakukan dengan metode survey melalui cara menyebar Kuesioner (Angket) dan dilanjutkan dengan penelitan kualitatif. Pada tahap ini juga dilakukan wawancara terbuka mengenai nama daerah tumbuhan serta manfaat tumbuhan tersebut sebagai tanaman obat, dengan memperlihatkan potongan jenis tumbuhan, serta foto tumbuhan yang diambil dari Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang.

(37)

tertentu, dalam hal ini orang yang dianggap paling tahu tentang tumbuhan obat (Sugiyono, 2008). Tokoh yang dipilih melalui metoda ini untuk diwawancarai adalah Tabib. Dari observasi awal ini diketahui data-data calon informan untuk tahap selanjutnya yang layak diwawancarai berdasarkan rekomendasi dari Tabib.

Untuk lebih jelas teknik pengumpulan data tentang pemanfaatan tumbuhan obat di lokasi penelitian dilakukan dengan cara :

1. Mencari data tentang informan kunci dan jumlah masyarakat di sekitar Taman Nasional Sub seksi Bukit Lawang sebagai langkah pertama dalam pengambilan sampel di desa sekitar Bukit Lawang, Kabupaten Langkat yaitu desa Sampe Raya dan desa Timbang Lawan.

(38)

pembagian sebagai berikut, Kelompok A dengan rentangan umur 19 sampai 39, kelompok B dengan rentangan umur 40-59, dan terakhir Kelompok C dengan rentangan umur > 60 tahun, hal ini dilakukan untuk menggali pengetahuan mereka tentang tumbuhan obat (kuisoner pada lampiran10). 3. Studi Kepustakaan, dengan membaca dan mencatat karya tulis berbagai

penelitian khususnya yang ada hubungan dengan tumbuhan obat serta referensi mengenai kandungan metabolit sekunder tumbuhan yaitu: alkalod, flavanoid, terpenoid dan steroid.

3.5. Di Laboratorium 3.5.1. Identifikasi Jenis

Semua tumbuhan bawah dengan tinggi kurang dari 1,5 m yang berada di setiap petak dicatat jenis. Pengumpulan spesimen tumbuhan dilakukan untuk keperluan identifikasi. Pengamatan secara morfologis dilakukan di lapangan, dan untuk spesimen yang belum diketahui jenisnya dikumpulkan dan diatur pada kertas koran bekas serta dimasukkan ke dalam kantung plastik. Selanjutnya spesimen tersebut diberi alkohol 70% hingga cukup basah supaya tidak membusuk .

Koleksi dari lapangan dibuka kembali, koran diganti dengan yang baru disusun sedemikian rupa untuk dikeringkan dalam oven pengering. Spesimen yang telah kering diidentifikasi di laboratorium Herbarium FMIPA Universitas Sumatera Utara (USU) dengan buku acuan:

a. Flora (Steenis, C. G. J. 1987)

(39)

c. Malaya Wild Flower Dycotyledon (Henderson, 1956) d. Plication Classification (Benson L. 1957)

e. Plant Resource Of South East Asia 12 (Vankenberg.,dan Banyapraphatsara, 2002).

f. Tumbuhan Monokotil (Sudarnadi, 1996)

g. Collection of Illustrated Tropical Plant (Watanabe and Corner, 1969) h. Orchids of Sumatera (Comber J. B, 2001).

3.6. Analisis Data

3.6.1. Struktur dan Komposisi Jenis Tumbuhan Bawah

Dari data yang diperoleh, dihitung nilai dominansinya yang ditentukan dari: kerapatan mutlak, kerapatan relatif, frekuensi mutlak, frekuensi relatif, indeks nilai penting, indeks keanekaragaman, dengan menggunakan rumus pada buku acuan Metode Survey Vegetasi (Kusmana, 1997) sebagai berikut:

a. Kerapatan Mutlak (Km)

Km suatu jenis

b. Kerapatan Relatif (Kr)

Kr suatu jenis

c. Frekuensi Mutlak (Fm)

Fm suatu jenis

(40)

Fr suatu jenis

e. Indeks Nilai Penting

INP

f. Indeks Keanekaragaman (H’)

Keterangan:

−Wienner pi Ni/n

Ni Jumlah individu suatu jenis n Jumlah seluruh jenis

S Jumlah jenis

3.6.2. Potensi Tanaman Obat

Data hasil wawancara dikumpulkan, dianalisis untuk mendapatkan indeks nilai guna setiap tumbuhan (UVis), jumlah penggunaan setiap jenis tumbuhan (UVs), (Martin, 1995) dengan analisis data sebagai berikut:

a. Indeks Nilai Guna Setiap Tumbuhan (UV)

s is s

i UV

UV =

Keterangan:

UVs = jumlah nilai total dari suatu jenis s

UVis= jumlah nilai guna jenis s yang diberikan oleh informan i

is = jumlah total informan yang diwawancarai untuk nilai guna jenis s

(41)

b. Nilai Guna Relatif (RUV)

RUV = nilai guna relatif informan i is

UV = nilai guna setiap jenis lokal s oleh informan i s

UV = nilai guna total setiap jenis lokal s dalam penelitian ini n

S = jumlah jenis lokal menurut informan i, untuk data ini c. Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Obat

Kandungan metabolit sekunder tanaman obat yang dicari dari referensi adalah: alkaloid, flavanoid,terpenoid dan steroid.

3.6.3. Korelasi

Analisis korelasi faktor fisik kimia yaitu: suhu udara, suhu tanah, pH tanah, kelembaban, intensitas cahaya, ketinggian tempat, dengan keanekaragaman tumbuhan bawah dianalisis menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver 16.00.

(42)

4.1. Kekayaan Jenis Tumbuhan Bawah di Hutan Taman Nasional GunungLeuser Sub Seksi Bukit Lawang

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di hutan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang, diperoleh 110 jenis tumbuhan bawah yang terdiri dari dua Divisi yaitu Pteridophyta dan Spermatophyta, yang termasuk ke dalam 4 kelas, 28 ordo dan 47 famili seperti yang tercantum pada Tabel 2. berikut ini.

Tabel 2. Jenis dan Klasifikasi Tumbuhan Bawah yang Ditemukan Pada LokasiPenelitian

No Divisi Kelas Ordo Famili Jenis

1. Pterydophyta Lycopodinae Selaginellales Selaginellaceae Selaginella doedeleini * 2. Filicinae Filicales Aspidiaceae Arachniodes haniffii

3. Tectaria barben

4. Aspleniaceae Asplenium bahiense

5. Athyriaceae Diplazium malaccense

6. Diplazium tomentosum *

7. Diplazium velutinum

8. Blechnaceae Blechnum finlaysonianum.*

9. Blechnum sp.

10. Cyatheaceae Cyathea sp.

11. Dennstaedtiaceae Orthiopteris kingie

12. Gleicheniaceae Gleichenia linearis

13. Hypolepidaceae Paesia sp.

14. Lindsaeaceae Lindsaea doryphora Kramer.

15. Polypodiaceae Crypsionopsis platyphyllus

16. Drynaria rigidula

17. Drynaria sparsisora

18. Microsorum sp.

19. Pyrrosia lanceolata

20. Pteridaceae Pteris sp.

21. Pteris longipinulla Wall

22. Syingramma wallichii

23. Thelypteridaceae Pronephrium triphyllum *

24. Taetidaceae Taenitis blechnoides

25. Taenitis dimorpha Holtt.

26. Spermatophyta Monocotyledon Asparagales Hypoxydaceae Curculigo latifolia *

27. Arales Araceae Aridarum sp.

28. Colacasia esculenta .

29. Homalomena humilis

30. Photos sp.

31. Phymatarum sp.

32. Schindapsus sp.

33. Schismatoglottis ferruginea

(43)

No Divisi Kelas Ordo Famili Jenis

35. Synandrium sp.

36. Arecales Arecaceae Calamus sp.

37. Tysmannia sp.

38. Korthalsia sp.*

39. Cyperales Cyperaceae Centotheca sp.

40. Centotheca lappacea

41. Dioscoreales Dioscoreaceae Dioscorea sp.*

42. Taccaceae Tacca chantieri *

43. Liliales Smilacaceae Smilax sp.*

44. Orchidales Orchidaceae Chrysoglossum sp.

45. Cryptostylis sp.

46. Pandanales Pandanaceae Pandanus sp.

47. Poales Poaceae Chloris gayana KUNTH.

48. Panicum repens L.

49. Zingiberales Costaceae Costus sp.*

50. Marantaceae Maranta sp.

51. Zingeberaceae Globa pendula

52. Globa sp.

53. Amomum sp.*

54. Boehsenbergia sp.*

55. Curcuma sp.*

56. Dycotyledon Asterales Asteraceae Ageratum conyzoides L.*

57. Gynura sp.*

58. Micania sp.

59. Michrania michrant*

60. Campanulaceae Lobelia sp.

61. Bromeliales Commelinaceae Commelina sp.

62. caryophyllales Amaranthaceae Cyathula prostata BL.

63. Cucurbitales Cucurbitaceae Cucumis sp.

64. Gymnopetalum sp.

65. Euphorbiales Euphorbiaceae Antidesma sp.

66. Claoxylon sp.

67. Fabales Caesalpiniaceae Bauhinia scendens *

68. Lamiales Acanthaceae Pseuderanthemum

graciliflorum *

69. Ruellia sp.

70. Staurognyne sp.

71. Lamiaceae Hyptis capitata JACQ.

72. Malvales Malvaceae Sida rombifolia*

73. Urena lobata*

74. Myrtaceae Melastomataceae Pternandra sp.*

75. Allomorphia exigua BL.*

76. Clidermia hirta DON.

77. Macrolenes nemorosa BL.

78. Medinella sp.*

79. Melastoma malabathricum *

80. Miconia hookeriana TR.

81. Parietales Begoniaceae Begonia isoptera Dryand*

82. Piperales Piperacaeae Piper caninum*

(44)

No Divisi Kelas Ordo Famili Jenis

84. Peperomia pellucida HB. *

85. Piper acre BL.*

86. Piper sp.1*

87. Piper sp.2*

88. Piper sp.3*

89. Rhamnales Violaceae Rinorea hirtella MILD BR.*

90. Rinorea lanceolata WALL*.

91. Vitaceae Vitis hastate MIQ*

92. Vitis lanceolaria WALL.

93. Vitis sp.

94. Rhanunculales Menispermaceae Coscinium sp.

95. Fibraurea sp.

96. Limacia sp.

97. Tiliocora sp.*

98. Tinospora crispa (L.)

MIERS*

99. Rubiales Rubiaceae Hedyotis congesta WALL.*

100. Ixora finlaysoniana WALL.*

101. Psychotria sarmentosa BL.*

102. Solanales Gesneriaceae Achimenes grandiflora DC.*

103. Didymocarpus crinite Jack.*

104. Didymocarpus sp.*

105. Saintpaulia sp.

106. Urticales Urticaceae Droguetia sp.

107. Elatostemma strigosum

Hassk.*

108. Laportea stimulans MIQ*

109. Pilea melastomoides WEED.

110. Pilea sp.*

Ket: (*): Memiliki potensi sebagai tanaman obat

(45)

Banyaknya jenis dari famili Polypodiaceae yang terdapat pada lokasi penelitian disebabkan kondisi faktor abiotik pada lokasi penelitian yang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan jenis Pteridophyta tersebut. Menurut Lawrence (1958), famili Polypodiaceae merupakan famili dari tumbuhan paku yang paling banyak jumlahnya yaitu sekitar 170 genera dan 7000 jenis yang tersebar di seluruh dunia. Holttum (1968) menambahkan bahwa famili Polypodiaceae mempunyai jumlah anggota terbesar di kawasan Malesiana yang sebagian besar terdapat di kepulauan Indonesia.

Divisi Spermatophyta diperoleh 2 kelas yaitu kelas Monocotyledon dan Dicotyledon. Kelas Monocotyledon diperoleh 10 ordo dengan 13 famili, yaitu ordo Asparagales dengan famili Hypoxydaceae, Arales dengan famili yaitu Araceae, Arecales dengan Famili Arecaceae, Cyperales dengan famili Cyperales, Dioscoreales dengan 2 famili yaitu Dioscoreacea dan Taccaceae, Liliaceae dengan famili Smilacaceae, Orchidaceae dengan famili Orchidaceae, Pandanales dengan famili Pandanaceae, Poales dengan famili Poaceae, dan Zingiberales dengan 3 famili Costaceae, Marantaceae dan Zingiberaceae. Kelas Dikotyledon diperoleh 16 Ordo dan 19 famili yaitu Asteraceae, Campanulaceae, Commelinaceae, Amaranthaceae, Cucurbitaceae, Begoniaceae, Euphorbiaceae, Caesalpiniaceae, Acanthaceae, Lamiaceae, Malvaceae, Melastomataceae, Violaceae, Vitaceae, Menispermaceae, Rubiaceae, Gesneriaceae dan Urticaceae.

(46)

batangnya basah dan tidak berkayu. Menurut Nadakavukaren & McCracken (1985), herba merupakan salah satu jenis tumbuhan penyusun hutan yang ukurannya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan habitat semak. Wilson & Loomis (1962) menambahkan bahwa herba merupakan tumbuhan yang memiliki organ tubuh yang tidak tetap di atas permukaan tanah, siklus hidup yang pendek dengan jaringan yang cukup lunak dan tidak berkayu.

Hasil penelitian yang didapat sesuai dengan Richard (1981) jenis tumbuhan yang sering ditemukan di kawasan hutan tropis terdiri dari famili Araceae, Acanthaceae, Gesneriaceae, Begoniaceae, Zingiberaceae, Orchidaceae, Rubiaceae dan Piperaceae. Mackinnon, et al.,(2000), menambahkan bahwa banyak suku tumbuhan yang memberikan sumbangan bagi lapisan tumbuhan bawah, termasuk Monokotyledon seperti jahe-jahean (Zingiberaceae), pisang liar (Musaceae), dan Dikotyledon seperti Begoniaceae, Gesneriaceae, Rubiaceae, berbagai jenis paku dan anggrek.

4.2. Sebaran Jenis Tumbuhan Bawah di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang

(47)

hanya menemukan 25 jenis tumbuhan bawah. Handayani (2004) dari hasil penelitiannya menemukan 117 jenis tumbuhan bawah pada hutan Tangkahan Kabupaten Langkat. Penelitian tentang tumbuhan bawah yang lain juga dilakukan oleh Masrayanti (2010), yang menemukan 80 jenis dan 37 famili di Taman Wisata Alam Sicikeh-cikeh. Penelitian Kusuma (2004) Jumlah tanaman bawah yang di jumpai di Taman Nasional Kerinci Seblat sebanyak 113 jenis dan Pitra (2008), juga melaporkan di kawasan hutan gunung Sinabung di temukan 141 jenis tumbuhan bawah yang termasuk kedalam 56 famili.

Dari semua famili yang ada, famili Araceae memiliki jumlah jenis terbanyak, yaitu 9 jenis, Aridarum sp., Colocasia esculenta, Homalomena humilis, Photos sp., Phymatarum sp., Scindapsus sp., Schismatoglottis ferruginea, Schismatoglottis wallichii dan Synandrium sp. Hal ini sesuai dengan penelitian Handayani (2004) di kawasan hutan Tangkahan Kabupaten Langkat, suku Araceae dijumpai dengan jumlah jenis tertinggi sebanyak 37 jenis. Suku ini termasuk herba teresterial tegak atau memanjat, tidak bergetah, batangnya banyak mengandung air dan sangat lunak. Permukaan daun berwarna hijau kilat dan licin dengan akar yang berupa serabut pendek. Tumbuhan ini sering ditemukan di dekat aliran air dengan tanah yang lembab.

(48)

membutuhkan cahaya matahari untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Henderson, 1956).

Famili Araceae banyak ditemukan pada lokasi penelitian dimana rata-rata intensitas cahaya 51 x 10 Lux dan kelembaban yang tinggi yaitu 90%. Rata-rata faktor fisik yang lain juga dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan faktor fisik yang telah diukur dapat dikatakan Taman Nasional Sub Seksi Bukit Lawang tergolong lembab. Keadaan seperti ini sangat sesuai untuk pertumbuhan vegetasi bawah yang tidak tahan terhadap intensitas cahaya tinggi dan tempat yang relatif terbuka. Kondisi ini dipengaruhi oleh suhu udara, karena suhu udara menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian, maka kelembaban akan semakin meningkat. Menurut Anwar et al. (1984) persentase kejenuhan suatu massa udara akan bertambah dengan menurunnya suhu. Oleh karena itu, titik embun pada ketinggian yang berbeda tergantung kepada laju perubahan penurunan suhu dan kandungan uap air di dalam udara.

(49)

Tanah lempung berpasir bertekstur halus dan gembur, drainasenya kurang baik sebab pada tanah gembur terdapat ruang pori-pori yang dapat diisi oleh air tanah dan udara, sehingga tanah memiliki daya pegang atau daya simpan air yang tinggi. Tanah yang gembur sangat baik untuk pertumbuhan tanaman sebab air tanah dan udara bergerak lancar, temperatur stabil, yang akhirnya dapat memacu pertumbuhan jasad renik tanah dalam proses pelapukan bahan organik di dalam tanah (Lingga, 1986). Data hasi analisis unsur makro dan tekstur tanah ini (dapat dilihat pada Lampiran 2).

Menurut Hafild & Aninger (1984), tumbuhan bawah sangat bervariasi dalam bentuk dan jenis, seiring dengan berkurangnya pohon pembentuk kanopi di hutan tropis, maka intensitas cahaya yang mencapai lantai hutanpun semakin tinggi. Jenis vegetasi bawah seperti famili Araceae tidak akan dijumpai pada hutan atas yang relatif terbuka terhadap cahaya dan tiupan angin.

(50)

Tabel 3. Faktor Fisik dan Lingkungan di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang

NO Fakto Fisik Lokasi I Lokasi II Lokasi III Rata-rata

1 Suhu udara 22ο C 25ο C 23ο C 23ο C

2 Suhu tanah 23ο C 24ο C 25ο C 24ο C

3 pH tanah 6,5 6,2 6,6 6,4

4 Kelembaban 90% 92% 89% 90%

5 Intensitas cahaya 48 x 10 Lux 53 x 10 Lux 52 x 10 Lux 51 x 10 Lux

6 Ketinggian tempat 344 m dpl 318 m dpl 332 m dpl 331 m dpl

7 Kordinat N: 03ο 32’50,2 ‘’ N: 03ο 32’44,6 ‘’ N: 03ο 32’43,6 ‘’ E : 098ο 06’47,0’’ E :098ο 06’36,7’’ E : 098ο 06’31,9’’

Berdasarkan klasifikasi tanah menurut Soil Survey Manual, USDA (1985) pH tanah 5,6 – 6,0 merupakan tanah asam sedang. Keasaman (pH) tanah mempunyai pengaruh yang cukup besar di dalam tanah serta terhadap sifat tanah yang lain. Keasaman tanah erat hubungannya dengan ketersediaan unsur hara tanaman. Kondisi tanah terbaik (tidak mengandung bahan beracun) terjadi pada kondisi agak asam sampai netral (pH 5,0 – 7,5), akan tetapi jenis tanaman terkadang menghendaki kondisi tertentu (Foth, 1988).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3. Perbedaan faktor fisik lingkungan ini akan berpengaruh pada keanekaragaman jenis tumbuhan bawah. Daniel et al. (1992), menyatakan bahwa pertumbuhan tumbuhan dipengaruhi oleh faktor tanah, iklim, mikroorganisme, kompetisi dengan organisme lainnya dan juga dipengaruhi oleh zat-zat organik yang tersedia, kelembaban dan sinar matahari.

4.3. Dominasi Tumbuhan bawah di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang

(51)

kepentingan suatu jenis tumbuhan serta memperlihatkan peranannya dalam komunitas, dimana nilai penting itu didapat dari hasil penjumlahan FR dan KR. KR merupakan gambaran persentase penyebaran suatu jenis tumbuhan pada suatu area, sedangkan FR menunjukkan banyaknya jumlah jenis tersebut pada masing-masing area, seperti yang terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Dominasi Tumbuhan bawah di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang

No Nama Jenis Famili INP Total

(%)

1. Achimenes grandiflora Gesneriaceae 0,89

2. Ageratum conyzoides Asteraceae 1,03

3. Allomorphia exigua Melastomataceae 2,34

4. Amomum sp. Zingiberaceae 3,23

5. Antidesma sp. Euphorbiaceae 1,05

6. Arachniodes haniffii Aspidiaceae 1,66

7. Aridarum sp. Araceae 1,85

8. Asplenium bahiense Aspleniaceae 3,02

9. Bauhinia scendens Caesalpiniaceae 5,48

10. Begonia isoptera Begoniaceae 1,24

11. Blechnum finlaysoniatum Blechnaceae 5,89

12. Blechnum sp. Blechnaceae 0,84

13. Boehsenbergia sp. Zingiberaceae 1,22

14. Calamus sp. Arecaceae 2,66

15. Centotheca lappacea Poaceae 1,10

16. Chloris gayana Poaceae 1,75

17. Chrysoglossum sp. Orchidaceae 1,92

18. Claoxylon sp. Euphorbiaceae 0,96

19. Clidermia hirta Melastomataceae 3,51

20. Colacasia esculenta Araceae 2,48

21. Commelina sp. Commelinaceae 0,98

22. Coscinium sp. Menispermaceae 0,96

23. Costus sp. Costaceae 1,17

24. Crypsionopsis platyphyllus Polypodiaceae 6,42

(52)

26. Cucumis sp. Cucurbitaceae 1,68

27. Curculigo latifolia Hypoxydaceae 2,08

28. Curcuma sp. Zingiberaceae 1,40

29. Cyathea sp. Cyatheaceae 1,52

30. Cyathula prostata Amaranthaceae 1,19

31. Didymocarpus crinite Gesneriaceae 1,33

32. Didymocarpus sp. Gesneriaceae 1,33

33. Dioscorea sp. Dioscoreaceae 1,03

34. Diplazium malaccense Athryaceae 1,50

35. Diplazium tomentosum Athryriacaceae 2,01

36. Diplazium velutinum Athyriaceae 1,54

37. Droguetia sp. Urticaceae 1,91

38. Drynaria rigidula Polypodiaceae 1,26

39. Drynaria sparsisora Polypodiaceae 1,12

40. Centotheca sp. Cyperaceae 1,24

41. Elatostemma strigosum Urticaceae 1,19

42. Fibraurea sp. Menispermaceae 1,14

43. Gleichenia linearis Gleicheniaceae 0,91

44. Globa pendula Zingiberaceae 1,36

45. Globa sp. Zingiberaceae 1,07

46. Gymnopetalum sp. Cucurbitaceae 1,07

47. Gynura sp. Asteraceae 1,14

48. Heckeria sp. Piperaceae 1,54

49. Hedyotis congesta Rubiaceae 1,43

50. Homalomena humilis Araceae 1,12

51. Hyptis capitata Asteraceae 3,02

52. Ixora finlaysoniana Rubiaceae 1,38

53. Korthalsia sp. Arecaceae 1,00

54. Laportea stimulans Urticaceae 11,93

55. Limacia sp. Menispermaceae 0,93

56. Lindsaea deryphora Lindsaeaceae 0,96

57. Lobelia sp. Campanulaceae 0,86

58. Macrolenes nemorosa Melastomataceae 2,27

59. Maranta sp. Marantaceae 1,19

60. Medinella sp. Melastomataceae 1,17

61. Melastoma malabathricum Melastomataceae 0,82

62. Micania sp. Asteraceae 0,96

63. Michrania michranta Asteraceae 3,79

(53)

65. Microsorum sp. Polypodiaceae 0,96

66. Orthiopteris kingie Dennstaedtiaceae 1,87

67. Paesia sp. Hypolepidaceae 2,55

68. Pandanus sp. Pandanaceae 1,22

69. Panicum repens Poaceae 1,29

70. Peperomia pellucida Piperaceae 1,97

71. Photos sp. Araceae 1,33

72. Phymatarum sp. Araceae 0,93

73. Pilea melastomoides Urticaceae 2,11

74. Pilea sp. Urticaceae 2,83

75. Piper acre Piperaceae 1,59

76. Piper caninum Piperaceae 0,89

77. Piper sp1. Piperaceae 1,78

78. Piper sp2. Piperaceae 1,17

79. Piper sp3. Piperaceae 0,98

80. Pronephrium triphyllum Thelypteridaceae 1,50

81. Pseuderanthemum graciliflorum Achantaceae 0,86

82. Psychotria sarmentosa Rubiaceae 0,89

83. Pteris longipinulla Pteridaceae 2,92

84. Pteris sp. Pteridaceae 1,03

85. Pternandra sp. Melastomataceae 2,17

86. Pyrrosia lanceolata Polypodiaceae 1,54

87. Rinorea hirtella Violaceae 0,91

88. Rinorea lanceolata Violaceae 1,54

89. Ruellia sp. Achantaceae 0,89

90. Saintpaulia sp. Gesneriaceae 0,96

91. Schindapsus sp. Araceae 2,11

92. Schismatoglottis ferruginea Araceae 2,98

93. Schismatoglottis wallichii Araceae 1,17

94. Selaginella doedeleinii Selaginellaceae 1,50

95. Sida rombifolia Malvaceae 1,05

96. Smilax sp. Smilacaceae 1,29

97. Staurognyne sp. Achantaceae 2,17

98. Synandrium sp. Araceae 1,43

99. Syngramma wallichii Hemionitidaceae 1,12

100. Tacca chantieri Taccaceae 4,78

101. Taenitis blechnoides Taetidaceae 1,05

102. Taenitis dimorpha Taetidaceae 2,32

(54)

104. Tiliocora sp. Menispermaceae 1,24

105. Tinospora crispa Menispermaceae 4,55

106. Tysmannia sp. Arecaceae 1,10

107. Urena lobata Malvaceae 5,56

108. Vitis hastate Vitaceae 0,93

109. Vitis lanceolaria Vitaceae 0,89

110. Vitis sp. Vitaceae 1,14

Jumlah 110

Dari Tabel 4. dapat kita lihat bahwa jenis yang memiliki nilai INP tertinggi adalah Laportea stimulans dengan 25,95%. Tingginya nilai INP dari Laportea stimulans dikarenakan kerapatannya yang tinggi, menyebabkan jenis ini lebih mendominasi jika dibandingkan dengan jenis yang lainnya. Menurut Sofyan (1991), kerapatan tumbuhan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan serta tersedianya biji. Jenis yang mempunyai indeks nilai penting tertinggi diantara jenis yang lain disebut jenis yang dominan. Hal ini mencerminkan tingginya kemampuan jenis tersebut dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada dan dapat bersaing terhadap jenis lainnya.

(55)

Melastoma malabatricum merupakan jenis yang memiliki nilai INP terendah dari semua jenis di lokasi penelitian yaitu dengan nilai 0,82%. Menurut Tjitrosoepomo (2001), Melastoma malabatricum merupakan semak, tangkai daun berbulu rapat, daun tebal dan kaku, permukaan bawah daun berbulu, batang muda persegi empat dan berbulu rapat.. Bunga mejemuk, 2-6 bunga, warna ungu muda, 3,5-4 cm, kelopak 5, mahkota 5, benang sari 5, putik 1. Buah buni, bulat, berbulu rapat, berwarna coklat saat muda dan coklat keunguan saat buah masak

Tinggi rendahnya nilai INP tersebut dipengaruhi juga oleh keadaan lingkungan disekitarnya. Resosoedarmo et al.,(1989), menyatakan dalam suatu komunitas pengendali kehadiran jenis-jenis dapat berupa suhu atau beberapa jenis tertentu atau dapat pula sifat-sifat fisik habitat atau juga disebabkan oleh aktifitas para pendaki gunung.

4.4. Indeks keanekaragaman (H’)

Indeks keanekaragaman jenis berfungsi untuk menandai jumlah jenis dalam suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah jenis di antara jumlah total individu seluruh jenis yang ada. Michael (1994), mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis juga sangat penting dalam menentukan batas kerusakan yang dilakukan terhadap sistem alam oleh campur tangan manusia atau alam itu sendiri.

(56)

memiliki keanekaragaman yang tinggi. Menurut Manson (1980), jika nilai indeks keanekaragaman lebih kecil dari 1 berarti keanekaragaman jenis rendah, jika diantara 1-3 berarti keanekaragaman jenis sedang, jika lebih besar dari 3 berarti keanekaragaman jenis tinggi.

Nilai keanekaragaman yang tinggi juga dipengaruhi oleh kemerataan penyebaran dari jenis-jenis tumbuhan bawah yang terdapat di lokasi penelitian. Odum (1996) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah spesies, maka semakin tinggi keanekaragamannya. Sebaliknya, bila nilainya kecil maka komunitas tersebut didominasi oleh satu atau sedikit jenis. Keanekaragaman jenis juga dipengaruhi oleh pembagian penyebaran individu dalam tiap jenisnya, tetapi bila penyebaran individu tidak merata maka keanekaragaman jenis dinilai rendah.

4.5. Analisis Korelasi Antara Faktor Fisik dan Keanekaragaman Jenis

Berdasarkan pengukuran faktor fisik lingkungan yang telah dilakukan pada setiap lokasi penelitian, dan dikorelasikan dengan Indeks Keaneka-ragaman (H’), maka diperoleh nilai Indeks Korelasi seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Analisis Korelasi Faktor Fisik Kimia dengan Keanekaragaman dengan Metode Komputerisasi SPSS Ver. 16.00

Korelasi Kelembaban

Udara Suhu Udara Suhu Tanah

Intensitas

Cahaya pH

H’ 0,826 - 0,676 0,522 - 0,400 -0,576

Keterangan:

Nilai + = Arah Korelasi Searah Nilai - = Arah Korelasi Berlawanan Tanda ** = Berpengarauh sangat nyata

(57)

dengan indeks Keanekaragaman (H’). Nilai positif (+) menunjukkan semakin besar nilai faktor fisik kimia maka nilai indeks keanekaragaman akan semakin besar pula, begitu juga sebaliknya, sedangkan nilai negatif (-) menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik lingkungan dengan nilai H’, artinya semakin besar nilai faktor fisik kimia lingkungan maka nilai H’ akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya, jika semakin kecil nilai faktor fisik kimia maka nilai H’ akan semakin besar.

Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson pada Tabel 6, korelasi antara keanekaragaman, suhu tanah dan kelembaban memiliki korelasi yang searah, sedangkan korelasi dengan suhu udara, intensitas cahaya dan pH memiliki korelasi yang berlawanan arah. Menurut Huaturuk (2009), koefisien korelasi dapat dibagi menjadi:

Tabel 6. Nilai Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199 Sangat Rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Kuat

0,80 – 1,00 Sangat Kuat

(58)

4.6. Jenis-jenis Tumbuhan Bawah yang Dimanfaatkan Sebagai Tanaman Obat

Hasil penelitian ini menemukan 110 jenis dan 47 famili tumbuhan bawah pada 3 lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang. Dari jenis-jenis tersebut ada beberapa jenis yang digunakan sebagai tanaman obat oleh masyarakat di sekitar lokasi Penelitian terdiri dari 24 jenis dan 17 famili . Jenis-jenis tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

TABEL 7: NILAI GUNA, NILAI GUNA RELATIF TUMBUHAN BAWAH YANG BERPOTENSI  

       SEBAGAI TANAMAN OBAT DI BUKIT LAWANG 

Total Nilai Guna

No. Nama Jenis Nama Lokal

(UVis) UVs

1. Piper sp 2. Sirih hutan 4062 12.60

2. Globba sp. Lempuyang 3917 12.00

3. Urena lobata Sicapa gunung 3723 12.00

4. Didymocarpus sp. Penerangan 3382 10.47

5. Melastoma melabthricum Nungkey 1089 6.72

6. Korthalsia sp. Rotan 780 4.82

7. Amomum sp. Tepus 1342 4.15

8. Blechnum finlaysoniatum Pakis batu 715 4.14

9. Elatostema strigosum Keladi-keladian 1169 3.62

10. Selaginella doedeleini Cakar ayam 1123 3.48

11. Rinorea hirtella MILD BR Gagatan nipe 525 3.31

12. Pternandra sp. Serungkas 527 3.29

13. Hedyotis congesta WALL Banggur 997 3.09

14. Rinorea lanceolata WALL Pesel 986 3.05

15. Bauhinia scendens Daun kupu-kupu 964 2.98

16. Didymocarpus crinita JACK Bazar-bazar 960 2.97

17. Diplazium tomentosum Pakis kapur 960 2.97

18. Begonia isoptera Bunga asam 961 2.88

(59)

20. Piper sp2. kerto 873 2.70

21. Michrania michranta Jala 848 2.63

22. Costus sp. Cekuram 775 2.40

23. Laptortea srimulans MIQ Sempil pilen 661 2.05

24. Pilea sp. Sampo bergeh 92 0.28

Dari Tabel 7. tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai tanaman obat di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang nilai guna tertinggi yaitu jenis sirih hutan (Piper sp.) dengan nilai 12,60 diikuti dengan jenis lempuyang (Globba sp) dengan nilai 12,10. Dari data ini disimpulkan sirih hutan (Piper sp.) dan lempuyang (Globba sp.) masih dianggap penting dan sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar Bukit Lawang untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit, misalnya: membersihkan mata, anti septik, memperkuat gigi, dan lain-lain. Sedangkan lempuyang sering dipakai untuk bahan campuran untuk membuat jamu yang digunakan untuk obat masuk angin, pusing, menambah nafsu makan, dan lain-lain.

(60)

Tabel 8. Jenis-jenis Tumbuhan Bawah yang Dimanfaatkan Sebagai Tanaman Obat dan Kandungan Metabolit Sekunder

No. Nama Jenis Nama Lokal Kandungan Metabolit Sekunder

1. Piper sp 2. Sirih hutan Alkaloid dan minyak atsiri (Kusdianti et. al., 2008)

2. Curculigo latifolia Singkot Flavonoid, tanin (Darah et. al., 2006) 3. Elatostema strigosum Keladi-keladian Flavonoid (Darah et. al., 2006) 4. Amomum sp. Tepus Flavonoid (Widowati at. al., 1995) 5. Selaginella doedeleini Cakar ayam Alkaloid, saponin dan phytosterol

(Sumarsono, 2008)

6. Korthalsia sp. Rotan Flavonoid, tanin (Darah et. al., 2006) 7. Begonia isoptera Bunga asam Rutin (Kusdianti et. al., 2008) 8. Diplazium tomentosum Pakis kapur Flavonoid,tanin (Widowati at. al.,

1995) 9. Bauhinia scendens Daun

kupu-kupu

Steroid (Rustaman at. al., 2006)

10. Globba sp. Lempuyang Flavonoid (Widowati at. al., 1995). (Lemmen et. Al., 2003)

11. Urena lobata Sicapa gunung Steroid (Oneagbe et. al., 2010) 12. Blechnum finlaysoniatum Pakis batu Flavonoid, fenol (Widowati at. al.,

1995)

13. Rinorea hirtella MILD BR Gagatan nipe Steroid (Rustaman at. al., 2006) 14. Costus sp. Cekuram Alkaloid, flavonoid, saponin, tanin

dan polifenol (Dalimarta, 1999) 15. Pilea sp. Sampo bergeh Flavonoid, saponin (Darah et. al.,

2006)

16. Melastoma melabthricum Nungkey Flavonoid, steroid (Simanjuntak, 2008)

17. Didymocarpus crinita JACK Bazar-bazar Alkaloid (Kusdianti et. al., 2008) 18. Pternandra sp. Serungkas Flavonoid,tanin (Widowati at. al.,

1995)

19. Hedyotis congesta WALL Banggur Flavonoid (Widowati at. al., 1995) 20. Laptortea srimulans MIQ Sempil pilen Flavonoid, fenolik (Darah et. al.,

2006)

21. Rinorea lanceolata WALL Pesel Steroid (Rustaman at. al., 2006) 22. Michrania michranta Jala Flavonoid (Widowati at. al., 1995) 23. Piper sp2. kerto Alkaloid dan minyak atsiri (Kusdianti

et. al., 2008)

24. Didymocarpus sp. Penerangan Alkaloid (Kusdianti et. al., 2008)

(61)

Gambar

Tabel 2.  Jenis dan Klasifikasi Tumbuhan Bawah yang Ditemukan Pada LokasiPenelitian
Tabel 3. Faktor Fisik dan Lingkungan di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang
Tabel 4. Dominasi Tumbuhan bawah di Taman Nasional Gunung Leuser                Sub Seksi Bukit Lawang
Tabel 5.  Analisis  Korelasi  Faktor  Fisik  Kimia  dengan  Keanekaragaman   dengan     Metode Komputerisasi SPSS Ver
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan terhadap Perilaku Harian Ibu dan Anak Orangutan (Pongo abelii) Eks-peliharaan di Bukit Lawang didapatkan 5

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

yang terdapat di Kawasan Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser ?.

STUDI PERILAKU MENYIMPANG ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) BETINA DEWASA SEMI LIAR DI BUKIT LAWANG TAMAN. NASIONAL GUNUNG LEUSER

Perilaku Anak Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Akibat Adanya Aktivitas Manusia di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan terhadap Perilaku Harian Ibu dan Anak Orangutan ( Pongo abelii ) Eks-peliharaan di Bukit Lawang didapatkan 5

Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan kawasan yang kaya akan keanekaragaman jenis tumbuhan obat!. Hal tersebut disebabkan tanah yang subur dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan potensi karbon tersimpan pada tegakan di hutan kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan, Resort Bukit Lawang, Taman