PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA ANTARA MODEL
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN MODEL PEMBELAJARAN LANGSUNG
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh:
DARWIN ANTONI MANURUNG NIM. 8116172003
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
ABSTRAK
DARWIN ANTONI MANURUNG. Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis Siswa Antara Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Model Pembelajaran Langsung. Tesis. Medan: Program Studi Pendidikan Matematika Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan, 2016.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui: (1) apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran langsung. (2) apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran langsung. (3) bagaimana proses penyelesaian jawaban siswa dalam menyelesaikan masalah mengenai kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa pada pembelajaran berbasis masalah (PBM) dan pembelajaran langsung. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 7 Pematangsiantar. Kemudian secara acak dipilih dua kelas berjumlah 61 orang. Kelas eksperimen diberi perlakuan pembelajaran berbasis masalah dan kelas kontrol diberi perlakuan pembelajaran langsung. Instrumen yang digunakan terdiri dari: (1) tes kemampuan pemecahan masalah matematis, (2) tes kemampuan komunikasi matematis. Instrumen tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat validitas isi, serta koefisien reliabilitas sebesar 0,714 dan 0,846 berturut-turut untuk kemampuan pemecahan masalah matematis dan komunikasi matematis. Analisis data dilakukan dengan analisis uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran langsung. Hal ini terlihat dari hasil analisis uji statistik untuk Thitung =2,817 lebih besar Ttabel adalah 1,671 dan hasil postes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa diperoleh ̅ kelas eksperimen 72,75 dan ̅ kelas kontrol 65,69. (2) kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran langsung. Hal ini terlihat dari hasil analisis uji statistik untuk Thitung = 4,108 lebih besar Ttabel adalah 1,671 dan hasil postes kemampuan komunikasi matematis siswa diperoleh ̅ kelas eksperimen 76,08 dan ̅ kelas kontrol 63,75. (3) Proses penyelesaian jawaban siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik (bervariasi) dibandingkan dengan pembelajaran langsung.
Pada penelitian ini ada temuan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan aktivitas guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, pembelajaran berbasis masalah ini sangat baik dilaksanakan dalam proses pembelajaran, dan kepada guru disarankan menggunakan pembelajaran berbasis masalah dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa.
ABSTRACT
DARWIN ANTONI MANURUNG. The Difference of Students’ Problem Solving and Mathematical Communication Ability between Problem-Based Learning and Direct Learning Model. Thesis. Medan: Mathematics Education Study Program of Post Graduate Medan State University, 2016
The purposes of this research are to know: (1) if mathematical problem solving ability in problem-based learning (PBL) model class is better than in direct learning model class. (2) if mathematical communication ability in problem-based learning model class is better than in direct learning model class. (3) how students’ solution in solving problems which concern mathematical problem solving and mathematical communication ability by using PBL and direct learning model is.
The population of this research is all students class VII SMP Negeri 7 Pematangsiantar. The sample consisted of two classes. Experimental class used PBL, whereas control class used direct learning model. The used instruments consisted of (1) mathematical problem solving ability test; (2) mathematical communication ability test. Those instruments were qualified contents validity. Reliability coefficient is 0,714 for mathematical problem solving ability and 0,846 for mathematical communication ability test. Data analysis was done by using t-test. The result of research indicated that: (1) mathematical problem solving ability in PBL class is better than direct learning model class. It can be seen that tcalculation = 2,817 > ttabel = 1,671. Average of experiment class is 72,75 and control class is 65,69. (2) mathematical communication ability in PBL class is better than direct learning model class. It can be seen that tcalculation = 4,108 > ttabel = 1,671. Average of experiment class is 76,08 and control class is 63,75. (3) Students’ solution in solving problems which concern mathematical problem solving and mathematical communication ability by using problem-based learning is better than direct learning model.
In this research, there were found that problem-based learning model can be increased teacher and students’ activities in learning process. Furthermore, problem-based learning is advised to be implemented in learning process and teacher can be increased students’ problem solving ability and mathematical communication by this model.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan Berkat dan Karunia-Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul: ”Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis Siswa Antara Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Model Pembelajaran Langsung”. Dalam proses penyusunan tesis terdapat beberapa hal yang harus dilalui, diantaranya menghadapi kendala dan keterbatasan serta bimbingan/arahan yang terwujud dalam motivasi dari beberapa pihak.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Asmin, M.Pd sebagai Pembimbing I dan Bapak Dr. E. Elvis Napitupulu, M.Pd sebagai Pembimbing II yang telah banyak
memberikan bimbingan serta motivasi yang kuat dalam penyusunan tesis ini. 2. Bapak Prof. Dr. Edi Syahputra, M.Pd sebagai Ketua Program Studi
Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Medan sekaligus juga sebagai narasumber I dan Bapak Dr. Mulyono, M.Si sebagai Sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Medan, Bapak Dr. Edy Surya, M.Si sebagai narasumber II dan Bapak Dr. W. Rajagukguk, M.Pd, sebagai narasumber III yang telah banyak memberikan masukan dan sumbangan pemikiran sehingga menambah wawasan pengetahuan penulis dalam penyempurnaan penulisan tesis ini. 3. Bapak Dapot Tua Manullang, SE, M.Si sebagai Staf Program Studi
Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Medan yang telah banyak memberikan semangat dan membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
4. Bapak Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd, sebagai Rektor Universitas Negeri Medan.
5. Bapak Prof. Dr. Bornok Sinaga, M.Pd sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan.
7. Ibu Dr. Ani Minarni, M.Si, Bapak Dr. KMS. M. Amin Fauzi, M.Pd, Ibu Dra. Lusi K. Basar, M.Si, Bapak Rudol Barmen Manurung, M.Pd, dan
Bapak Restar Revolita Tambunan, M.Pd sebagai validator yang banyak memberikan masukan dan bimbingan.
8. Bapak Halomoan Naibaho, S.Pd, sebagai Kepala SMP Negeri 7 Pematangsiantar beserta seluruh dewan guru yang telah memberikan kesempatan dan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
9. Bapak dan Ibu dosen yang mengajar di Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Medan.
10. Bapak St. J.M. Manurung dan Mamak tersayang A.E.br.Sitompul, Mertuaku J.Pasaribu dan M.br.Tarigan, Istri tercinta Maria Priscillya Pasaribu, S.Pd yang selalu memberikan dukungan dan semangat tiada hentinya, dan buat Anakku tersayang Rio Santo Mikhael Manurung yang setiap gerakan dan suaramu memberi semangat buat Papa serta Adik-adik saya Ariani Verawaty Manurung, S.Pd (Mak Lukas) dan Keluarga, Yusmida Manurung, S.Pd (Mak Lioni) dan Keluarga, Sartika Manurung, S.Pd, dan Sari Manurung yang selalu mendoakan dan turut membantu dalam proses seminar, penelitian sampai dengan selesainya tesis ini.
11.Serta teman-teman mahasiswa angkatan XX kelas B eksekutif yang sudah wisuda maupun yang belum wisuda dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian dan menyelesaikan tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga Tuhan membalas semua yang telah diberikan Bapak/Ibu serta saudara/i, kiranya kita semua tetap dalam lindungan-Nya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia pendidikan khususnya matematika. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan sumbangan berupa pemikiran yang terbungkus dalam saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini.
Medan, November 2016 Penulis
DAFTAR ISI
1.2 Identifikasi masalah ... 18
1.3 Batasan Masalah ... 19
1.4 Rumusan Masalah ... 19
1.5 Tujuan Penelitian ... 20
1.6 Manfaat Penelitian ... 21
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 23
2.2. Kemampuan Komunikasi Matematis ... ...29
2.3. Proses Penyelesaian Jawaban Siswa ... ... 36
2.4. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) ... ... 38
2.4.1. Ciri-ciri Model Pembelajaran Berbasis Masalah ... ...41
2.4.2. Tujuan Model Pembelajaran Berbasis Masalah ... ...42
2.4.3. Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah ... 43
2.4.4. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Berbasis Masalah... 44
2.5. Model Pembelajaran Langsung ...46
2.5.1. Ciri-ciri Model Pembelajaran Langsung ... ...46
2.5.2. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Langsung... 49
2.6. Perbedaan Pedagogik Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Model Pembelajaran Langsung………..50
2.7. Teori Belajar yang Mendukung Model Pembelajaran Berbasis Masalah... 52
2.8. Hasil Penelitian yang Relevan ... ...56
2.9. Kerangka Konseptual ... ... 57
2.9.1.Terdapat Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa yang Mendapat Pembelajaran Berbasis Masalah dengan siswa yang mendapat Pembelajaran Langsung ... 57
2.9.2.Terdapat Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa yang Mendapat Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Siswa yang Mendapat Pembelajaran Langsung ... 59
2.9.3. Proses Penyelesaian Jawaban Siswa dalam Menyelesaikan Masalah pada Pembelajaran Berbasis Masalah Lebih Baik (Bervariasi) daripada Pembelajaran Langsung………...61
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian ... 64
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 64
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 65
3.4 Defenisi Operasional ... 67
3.5 Prosedur dan Desain Penelitian ... 68
3.5.1. Prosedur Penelitian... 68
3.5.1.1. Studi Pendahuluan ... 69
3.5.1.2. Validasi Perangkat dan Instrumen Penelitian ... 70
3.5.1.3. Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran dan Instrumen ... 75
3.5.1.4. Tahap Pelaksanaan Model pembelajaran Berbasis Masalah ... 78
3.5.2. Desain Penelitian ... 79
3.6 Variabel Penelitian... 81
3.7 Instrumen Penelitian ... 82
3.7.1. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 82
3.7.2. Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 85
3.8 Teknik Pengumpulan Data ...87
3.9 Teknik Analisis Data ...87
3.9.1. Analisis Statistik Deskriptif ...88
3.10 Proses Jawaban Kemampuan Pemecahan Masalah ... 90
3.11 Proses Jawaban Kemampuan Komunikasi Matematis ... 91
3.12 Analisis Statistik Inferensial ... 93
3.12.1. Tes Normalitas ... 93
3.12.2. Tes Homogenitas ... 93
3.12.3. Tes Hipotesis ... 94
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 98
4.1.1. Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 98
4.1.1.1. Postest Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 98
4.1.1.2. Perbedaan Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah ... 100
4.1.1.3. Pengujian Hipotesis ...103
4.1.1.4. Uji Normalitas ...103
4.1.1.5. Uji Homogenitas ...104
4.1.2. Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ...107
4.1.2.1. Postest Kemampuan Komunikasi Matematis ...107
4.1.2.2. Perbedaan Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ...109
4.1.2.3. Pengujian Hipotesis ...111
4.1.2.4. Uji Normalitas ...111
4.1.2.5. Uji Homogenitas ...112
4.1.3. Proses Penyelesaian Jawaban Siswa ...115
4.1.3.1. Proses Jawaban Siswa pada Tes KemampuanPemecahan Masalah .116 4.1.3.2. Proses Jawaban Siswa pada Tes Kemampuan Komunikasi ...136
4.2. Pembahasan Hasil Penelitian ...149
4.2.1. Faktor Pembelajaran...149
4.2.3. Faktor Kemampuan Komunikasi Matematis ...156
4.2.4. Proses Penyelesaian Jawaban Siswa ...157
4.3 Keterbatasan Penelitian ...158
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 5.1 Simpulan ...160
5.2 Implikasi ...161
5.3 Saran ...162
DAFTAR PUSTAKA……….. 165
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1 Nilai Ujian Matematika Siswa Kelas VII SMPN.7 P.Siantar ... 4
2.1 Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah ... ...43
2.2 Sintaks Model Pembelajaran Langsung... 48
2.3 Perbedaan Pedagogik Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran Langsung... ...51
3.1 Klasifikasi Koefisien Validitas ... ...72
3.2 Interpretasi Koefisien Reliabilitas ... 73
3.3 Interpretasi Tingkat Kesukaran... 74
3.4 Interpretasi Daya Pembeda ... 75
3.5 Hasil Ujicoba Perangkat Pembelajaran ... 76
3.6 Rangkuman Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 77
3.7 Rangkuman Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 77
3.8 Desain Penelitian ... 79
3.9 Kisi-kisi Tes Kemampuan Pemecahan Masalah... 83
3.10 Penyekoran Kemampuan Pemecahan Masalah ... 84
3.11 Kisi-kisi Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 85
3.12 Penyekoran Kemampuan Komunikasi Matematis ... 86
3.13 Kriteria Proses Jawaban Kemampuan Pemecahan Masalah ... 90
3.14 Kriteria Proses Jawaban Kemampuan Komunikasi Matematis ... 92
3.15 Keterkaitan Antara Rumusan Masalah, Hipotesis, Data, Alat Uji dan Uji Statistik ... 96
4.1 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Kelas Eksperimen Secara Kuantitatif ... 99
4.2 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Kelas Kontrol Secara Kuantitatif ... 99
4.3 Hasil Postest Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 99
4.4 Hasil Postest Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis pada Kedua Kelas Berdasarkan Indikator ... 101
4.5 Hasil Uji Normalitas Nilai Postes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 104
4.6 Hasil Uji Homogenitas Nilai Postest Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Eksperimen dan Kontrol... 105
4.7 Rata-Rata Nilai Postes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis di Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 106
4.8 Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dengan Uji-t ... 106
4.9 Hasil Postest Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 108
4.11 Hasil Uji Normalitas Nilai Postest Kemampuan Komunikasi
Matematis ... 112 4.12 Hasil Uji Homogenitas Nilai Postest Kemampuan Komunikasi
Matematis ... 113 4.13 Rata-rata nilai postest kemampuan komunikasi matematis siswa
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR Halaman 1.1 Jawaban Siswa pada Tes Pendahuluan Pemecahan Masalah ... …...9 1.2 Jawaban Siswa pada Tes Pendahuluan Komunikasi Matematis ... ...12 3.1. Tahapan Alur Kerja Penelitian ... 80 4.1 Grafik rata-rata Postest Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 100 4.2 Grafik Rata-rata Postest Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis Berdasarkan Indikator ... 101 4.3 Grafik rata-rata Postest Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas
Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 108 4.4 Grafik Rata-rata Postest Kemampuan Komunikasi Matematis
Berdasarkan Indikator ... 110 4.5 Proses Penyelesaian Jawaban Siswa Butir Soal 1 Eksperimen
Pemecahan Masalah ... 118 4.6 Proses Penyelesaian Jawaban Siswa Butir Soal 1 Kontrol Pemecahan
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan salah satu ilmu yang diperlukan dalam kehidupan
manusia, karena melalui pembelajaran matematika siswa dilatih agar dapat
berpikir kritis, logis, sistematis, dan dapat menyelesaikan masalah yang
dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Cornelius (Abdurahman,2009:253)
mengemukakan alasan perlunya belajar matematika yaitu (1) sarana berpikir yang
jelas dan logis, (2) sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari (3)
sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman, (4) sarana
untuk mengembangkan kreativitas, dan (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran
terhadap perkembangan budaya. Oleh karena itu, matematika merupakan salah
satu mata pelajaran yang diberikan di sekolah mulai dari Sekolah Dasar (SD) dan
matematika juga merupakan pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional (UN).
Balitbang Depdiknas (2003) menyatakan bahwa “Mata pelajaran
matematika menumbuh kembangkan kemampuan bernalar, yaitu berfikir
sistematis, logis dan kritis dalam mengkomunikasikan gagasan matematika”.
Dengan matematika diharapkan mampu membuat seseorang mempunyai daya
nalar dan kemampuan berpikir kritis. Hasratuddin (2015:27) mengatakan bahwa
“Matematika adalah suatu sarana atau cara untuk menemukan jawaban terhadap
masalah yang dihadapi manusia; suatu cara menggunakan informasi,
menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan
2
memikirkan dalam diri manusia itu sendiri untuk melihat dan menggunakan
hubungan-hubungan.
Soedjadi (1991:33) mengemukakan bahwa “Matematika tidak cukup lagi
hanya membekali siswa dengan keterampilan menyelesaikan soal Ujian Nasional
(UN)”. Pendidikan matematika harus diarahkan kepada menumbuhkembangkan
kemampuan yang transferabel dalam kehidupan siswa kelak. Demikian pula
matematika juga merupakan pengetahuan dasar yang diperlukan untuk menunjang
keberhasilan dalam menempuh pendidikan yang lebih tinggi, bahkan diperlukan
oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari.
Matematika ilmu yang berkembang sesuai dengan perkembangan
teknologi informasi, yang menyebabkan matematika dipandang sebagai suatu
ilmu yang terstruktur dan terpadu, ilmu tentang pola dan hubungan, dan ilmu
tentang cara berfikir serta memahami dunia sekitar dan matematika juga
merupakan ilmu yang deduktif, bahasa simbol dan bahasa numerik. Untuk
menjawab berbagai tantangan dan dunia saat ini, kemampuan berfikir tingkat
tinggi siswa seperti kemampuan memecahkan masalah, berargumentasi secara
logis, bernalar, menjelaskan dan menjustifikasi, memanfaatkan sumber-sumber
informasi, berkomunikasi, berkerjasama, menyimpulkan dari berbagai situasi,
pemahaman konseptual, dan pemahaman prosedural adalah menjadi prioritas
dalam pembelajaran matematika.
Ansari (2009:17) menjelaskan bahwa "Pembelajaran matematika bertujuan
untuk mengembangkan keterampilan dan memandirikan siswa dalam belajar,
3
pengetahuannya sendiri". Kemudian National Council of Teacher of Mathematics
(NCTM, 2000) menyatakan bahwa tujuan umum pembelajaran matematika
adalah: (1) Belajar untuk berkomunikasi (mathematical communicatiori), (2)
Belajar untuk bernalar (mathematical reasoning), (3) Belajar untuk memecahkan
masalah (mathematical problem solving), (4) Belajar untuk mengaitkan ide
(mathematical connections), (5) Pembentukan sikap positif terhadap matematika
(positive attitudes toward mathematics). Semua tujuan tersebut dinamakan dengan
daya matematika (mathematical power).
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus dilakukan baik secara
konvensional maupun inovatif. Namun, mutu pendidikan belum menunjukkan
hasil yang sebagaimana yang diharapkan. Kenyataan ini terlihat dari hasil belajar
yang diperoleh siswa masih sangat rendah, khususnya mata pelajaran matematika.
Dari hasil Third in International Mathematics and Science Study (TIMMS) skor
siswa-siswi SMP kelas 2 di bidang studi matematika berada di bawah rata-rata
internasional, pada tahun 2007 Indonesia berada di peringkat ke-36 dengan 49
negara dengan skor rata-rata 397, sedangkan skor rata-rata internasional 500.
Sedangkan pada tahun 2011 Indonesia berada di peringkat ke-38 dengan 42
negara dengan skor rata-rata 386, sedangkan skor rata-rata internasional 500.
Keluhan terhadap rendahnya hasil belajar matematika siswa dari jenjang
pendidikan terendah sekolah dasar sampai perguruan tinggi tidak pernah hilang.
Rendahnya hasil belajar matematika siswa tampak pada ketidaklulusan siswa yang
sebagian besar disebabkan tidak tercapainya nilai batas lulus yang telah
4
Pematangsiantar. Secara rata-rata bahwa hasil belajar siswa masih dibawah KKM.
Hal ini dapat dilihat dari nilai ujian matematika siswa kelas VII pada semester
ganjil tahun ajaran 2015/2016 pada Tabel 1.1.
Tabel 1. 1. Nilai Ujian Matematika Siswa Kelas VII SMP N. 7 P.Siantar
No KELAS Ulangan Harian 1 Ulangan Harian 2 NILAI RATA-RATA KKM
1 VII – 1 65 65 70
Sumber : Daftar Nilai Siswa Kelas VII SMP Negeri 7 Pematangsiantar
Rendahnya hasil belajar matematika dapat ditinjau dari lima aspek dalam
pembelajaran matematika secara umum yang dirumuskan oleh National Council
of Teachers of Mathematic (NCTM : 2000):
Menggariskan peserta didik harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Untuk mewujudkan hal itu, pembelajaran matematika dirumuskan lima tujuan umum yaitu: pertama, belajar untuk berkomunikasi; kedua, belajar untuk bernalar; ketiga, belajar untuk memecahkan masalah; keempat, belajar untuk mengaitkan ide; dan kelima, pembentukan sikap positif terhadap matematika.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak terlepas dari sesuatu yang
namanya masalah, sehingga pemecahan masalah merupakan fokus utama dalam
pembelajaran matematika. Utari (1994) menyatakan bahwa “Pemecahan masalah
5
pengajaran matematika bahkan sebagai jantungnya matematika, lebih
mengutamakan proses daripada hasil”. Tidak semua pertanyaan merupakan suatu
masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu
menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh prosedur
rutin yang sudah diketahui oleh siswa. Apabila kita menerapkan pengetahuan
matematika, keterampilan atau pengalaman untuk memecahkan suatu dilema atau
situasi yang baru atau yang membingungkan, maka kita sedang memecahkan
masalah. Untuk menjadi seorang pemecah masalah yang baik, siswa
membutuhkan banyak kesempatan untuk menciptakan dan memecahkan masalah
dalam bidang matematika dan dalam konteks kehidupan nyata.
Karena itu kemampuan pemecahan masalah dalam matematika perlu
dilatihkan dan dibiasakan kepada siswa sedini mungkin. Kemampuan ini
diperlukan siswa sebagai bekal dalam memecahkan masalah matematika dan
masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini seperti yang
dikemukakan Ruseffendi (1991:291) bahwa “Kemampuan memecahkan masalah
amatlah penting bukan saja bagi mereka yang dikemudian hari akan mendalami
matematika, melainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari”.
Aktivitas yang tercakup dalam kegiatan pemecahan masalah, meliputi:
mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang
diperlukan, merumuskan masalah matematika, menerapkan strategi untuk
menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau luar
6
menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan
menggunakan matematika secara bermakna.
Polya (1985) menyebutkan “Empat langkah dalam penyelesaian masalah,
yaitu: 1) memahami masalah; 2) merencanakan pemecahan; 3) melakukan
perhitungan; dan 4) memeriksa kembali”. Sedangkan Russeffendi (1991:341)
menyatakan bahwa “Penyelesaian persoalan pemecahan masalah terdapat
langkah-langkah sebagai berikut: (1) merumuskan permasalahan dengan jelas, (2)
menyatakan kembali persoalannya dalam bentuk yang dapat diselesaikan, (3)
menyusun hipotesis (sementara) dan strategi pemecahannya, (4) melaksanakan
prosedur pemecahan, (5) melakukan evaluasi terhadap penyelesaian.
Lebih lanjut, Utari (1994) menjelaskan bahwa “Pemecahan masalah dalam
pembelajaran matematika merupakan pendekatan dan tujuan yang harus dicapai”.
Sebagai pendekatan, pemecahan masalah digunakan untuk menemukan dan
memahami materi atau konsep matematika. Sedangkan sebagai tujuan, diharapkan
agar siswa dapat mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan serta
kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah dari situasi sehari-hari
dalam matematika, menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah
(sejenis dan masalah baru) dalam atau diluar matematika, menjelaskan atau
menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, menyusul model matematika
dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara
bermakna (meaningful). Sebagai implikasinya maka kemampuan pemecahan
7
Sesuai dengan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
menyelesaikan soal pemecahan masalah siswa perlu memperhatikan empat
langkah fase penyelesaian, yaitu : (1) Memahami dan merumuskan masalah, (2)
menyusun rencana penyelesaian, (3) melakukan rencana penyelesaian, (4)
melakukan pengecekan kembali.
Namun kenyataan di lapangan proses pembelajaran matematika yang
dilaksanakan pada saat ini belum memenuhi harapan para guru sebagai
pengembang strategi pembelajaran di kelas. Siswa mengalami kesulitan dalam
belajar matematika, khususnya dalam menyelesaikan soal yang yang berhubungan
dengan kemampuan pemecahan masalah matematika sebagaimana diungkapkan
Sumarmo (1993) bahwa ”Kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah
matematika pada umumnya belum memuaskan”. Kesulitan yang dialami siswa
paling banyak terjadi pada tahap melaksanakan perhitungan dan memeriksa hasil
perhitungan.
Dari hasil observasi dan wawancara dengan siswa dan guru bidang studi
matematika SMP Negeri 7 Pematangsiantar, peneliti mendapatkan kesulitan siswa
dalam menyelesaikan soal dalam bentuk pemecahan masalah dan komunikasi
matematis siswa. Salah satu materi yang dirasa sulit oleh siswa adalah segi empat.
Kebanyakan siswa tidak memahami soal yaitu tidak mengetahui apa yang
diketahui dan apa yang ditanya pada soal dan rumus apa yang harus digunakan
dalam menyelesaikan soal. Ini menunjukkan bahwa segi empat masih salah satu
8
menyelesaikan masalah apapun yang terdapat pada pelajaran matematika dan
dapat menghubungkannya dengan kehidupan nyata siswa.
Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti (tanggal 15 Januari
2016) berupa pemberian tes diagnosis kepada siswa kelas VII-1 SMP Negeri 7
Pematangsiantar menunjukkan bahwa 26 orang (83,87%) dari jumlah siswa
kesulitan mengerjakan soal penerapan rumus-rumus segi empat, 24 orang
(77,42%) kesulitan mengerjakan soal cerita bentuk aplikasi rumus segi empat
yang berkaitan dengan dunia nyata, sedangkan 27 orang (87,10%) kesulitan dalam
menyelesaikan soal dalam bentuk pemecahan masalah terkait dunia nyata. Proses
penyelesaian jawaban siswa dalam menyelesaikan masalah matematika juga tidak
sempurna dan tidak bervariasi.
Sebagai contoh, kebun Pak Andi berbentuk persegi panjang berukuran
panjang (2a + 4) meter dan lebarnya (2a – 2) meter. Jika keliling kebun Pak Andi
28 meter, maka tentukan persamaan kebun Pak Andi dan selesaikan, kemudian
tentukan panjang dan lebarnya kebun pak Andi tersebut? Kebanyakan siswa tidak
mengetahui cara penyelesaian yang terdapat pada soal aplikasi diatas, mereka
hanya mengetahui panjang, lebar dan keliling berturut-turut yaitu (2a + 4) meter,
(2a – 2) meter, 28 meter, dari 31 siswa ternyata 8 orang siswa mampu menghitung
dengan mengunakan rumus keliling persegi panjang tetapi masih bingung untuk
menentukan panjang dan lebar kebun Pak Andi. Sedangkan 23 orang siswa tidak
bisa memahami masalah yaitu apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari
9
Dari permasalahan tersebut siswa akhirnya tidak mampu menyelesaikan
masalah tersebut yaitu menentukan persamaan kebun Pak Andi dan menghitung
panjang beserta lebar kebun Pak Andi, sehingga dapat kita katakan bahwa
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah masih sangat rendah.
Contoh kesalahan lain yang dilakukan siswa dalam pemecahan masalah
matematika dapat di lihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Jawaban siswa pada tes pendahuluan pemecahan masalah
Dari hasil jawaban siswa di atas dapat kita lihat bahwa siswa tersebut tidak
memberikan pendapat mereka tentang apa saja yang mereka pahami dari soal.
Siswa juga tidak merencanakan terlebih dahulu tentang apa yang akan mereka
lakukan. Mereka langsung melakukan proses perhitungan untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Oleh karena itu kemampuan pemecahan masalah dalam proses
pembelajaran matematika harus sering diberikan kepada siswa supaya siswa dapat
terlatih dan terbiasa, serta mampu menyelesaikan masalah-masalah yang mereka
10
Selain kemampuan pemecahan masalah, siswa juga dituntut untuk
memiliki kemampuan komunikasi matematis sebab kemampuan pemecahan
masalah memiliki hubungan yang erat dengan kemampuan siswa dengan menjalin
komunikasi dengan sesama atau dengan lingkungannya. Oleh karena itu
dibutuhkan kurikulum yang dapat menjadi acuan dalam mengembangkan
kemampuan komunikasi matematis siswa. Mulyasa (2003:21) mengatakan bahwa
"Acuan kurikulum berbasis kompetensi menjadikan sosok manusia Indonesia
dalam jenjang pendidikan menengah salah satunya adalah memiliki kemampuan
berkomunikasi".
Siswa dapat dikatakan memiliki kemampuan komunikasi matematis jika
siswa tersebut mampu menyajikan dan menafsirkan gagasan matematika secara
lisan, tulisan, gambar, diagram, serta dapat mendemonstrasikannya di depan kelas.
Sebagaimana Greenes dan Schulman (Ansari, 2009:10) mengatakan bahwa
kemampuan komunikasi matematis dapat terjadi ketika siswa (1) menyatakan ide
matematika melalui ucapan, tulisan, demonstrasi, dan melukiskannya secara
visual dalam tipe yang berbeda, (2) memahami, menafsirkan, dan menilai ide
yang disajikan dalam tulisan, lisan, atau dalam bentuk visual, (3)
mengkonstruksikan dan menghubungkan bermacam-macam representasi ide dan
hubungannya.
Hal senada juga dikemukakan Hasratuddin (2015) yang menyatakan
tentang perlunya para siswa belajar matematika dengan alasan bahwa matematika
merupakan alat komunikasi yang sangat kuat, teliti, dan tidak membingungkan.
11
siswa kepada pemahaman matematika yang mendalam tentang konsep
matematika yang dipelajari dan juga mengerti tentang manfaat matematika.
Menurut Collins (1998) bahwa salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam
pembelajaran matematika adalah memberi kesempatan yang seluas-luasnya
kepada siswa untuk mengembangkan dan mengintegrasikan keterampilan
berkomunikasi melalui lisan maupun tulisan, modeling speaking, writing, talking,
drawing, serta mempersentasikan apa yang telah dipelajari.
Dewi (2008 : 40) menjelaskan bahwa “Ada dua alasan penting mengapa
komunikasi dalam matematika perlu ditumbuh kembangkan di kalangan siswa”.
Pertama, matematika sebagai bahasa berarti matematika dapat digunakan
sebagai alat untuk mengkomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat dan
ringkas. Kedua, matematika sebagai aktivitas social berarti matematika dapat
digunakan sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran, seperti interaksi antara
siswa dengan siswa. Selanjutnya Baroody (1993) mengatakan “Bagi anak-anak,
matematika penting dijadikan bahasa keduanya”. Jika pembelajaran matematika
hanya mengingat rumus atau menghafal rumus daripada mengkomunikasikan
ide-ide matematika, maka matematika menjadi suatu domain yang sulit untuk dilalui.
Oleh karena itu komunikasi dalam matematika perlu untuk ditumbuh kembangkan
untuk mempercepat pemahaman matematika siswa.
Sebagai contoh soal yang menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi
matematis siswa masih rendah dapat kita lihat dari salah satu jawaban tes
12
Gambar 1.2. Jawaban siswa pada tes pendahuluan komunikasi matematis Berdasarkan Gambar 1.2 dapat diambil kesimpulan bahwa siswa sudah
mengetahui berapa besar sudut lurus, tapi siswa ternyata tidak bisa
mengkomunikasikan apa yang menjadi masalah dari soal dan bagaimana cara
menentukan penyelesaian masalah tersebut.
Untuk mempermudah siswa dalam menyelesaikan masalah tentang
segiempat seperti soal yang telah diberikan untuk mengukur kemampuan
pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa, hendaknya
siswa terlebih dahulu menguasai materi prasyarat yang digunakan. Prasyarat ini
merupakan kemampuan awal yang harus dimiliki siswa. Materi operasi bilangan
bulat dan pecahan merupakan prasyarat yang dibutuhkan.
Dari permasalahan ini, betapa permasalahan tentang komunikasi
matematis siswa ini menjadi sebuah permasalahan serius yang harus segera
ditangani, Aryan (2007) menjelaskan bahwa "Tanpa komunikasi dalam
matematika kita akan memiliki sedikit keterangan, data, dan fakta tentang
pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematika". Untuk itu
13
dalam menginterpretasi dan mengekspresikan pemahamannya tentang konsep dan
proses matematika yang mereka lakukan sehingga tujuan pembelajaran
matematika dapat tercapai.
Dari hasil wawancara yang penulis lakukan kepada siswa kelas VII-1 SMP
Negeri 7 Pematangsiantar, selama proses pembelajaran dan perbincangan lepas di
luar kelas, diketahui bahwa siswa "menganggap" mata pelajaran matematika
merupakan mata pelajaran yang kurang disenangi dan matematika merupakan
pelajaran yang sulit, terutama menyelesaikan soal-soal yang berbentuk masalah
dalam kehidupan sehari-hari dengan alasan soal tersebut tidak sama yang
diberikan oleh guru sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar matematika.
Hasil pengamatan aktivitas belajar siswa hanya menjadi pendengar saja, jawaban
siswa yang benar yang diterima, sedikit tanya jawab, dan siswa mencatat dari
papan tulis, dan mengerjakan latihan dan hasilnya ditulis di papan tulis.
Hasil pengamatan terhadap proses pembelajaran yang terjadi di dalam
kelas adalah guru melakukan model pembelajaran langsung, guru hanya
memfokuskan pada penghafalan konsep, memberikan rumus-rumus dan
langkah-langkah serta prosedur matematika guna menyelesaikan soal. Dalam proses
pembelajaran juga guru kurang mengaitkan fakta real dalam kehidupan nyata
dengan persoalan matematika dan proses pembelajaran yang berlangsung di kelas
berpusat pada guru (teacher oriented) dan tidak berorientasi pada membangun
konsep matematika dari siswa itu sendiri dan tidak melatih siswa untuk
berkomunikasi secara matematis. Pembelajaran yang terjadi di kelas lebih tertuju
14
mengerjakan latihan-latihan yang ada pada buku dan guru hanya menyampaikan
materi yang ada di buku paket. Pelaksanaan pembelajaran matematika
sesunguhnya tidak relevan dengan karakteristik dan tujuan pembelajaran
matematika, guru memberikan konsep dan prinsip matematika secara langsung
kepada siswa, guru belum berupaya secara maksimal untuk memampukan siswa
memahami berbagai konsep dan prinsip matematika, menunjukkan kegunaan
konsep dan prinsip matematika serta memampukan siswa untuk berkomunikasi
secara matematis dalam memecahkan masalah. Proses pembelajaran" yang sering
dilakukan guru membuat siswa terlihat kurang bersemangat dalam belajar,
sehingga komunikasi matematis semakin berkurang.
Pentingnya kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis
dikuasai oleh siswa, sementara temuan di lapangan bahwa kedua kemampuan
tersebut masih rendah dan kebanyakan peserta didik terbiasa melakukan kegiatan
belajar berupa menghafal tanpa dibarengi pengembangan memecahkan masalah
dan komunikasi matematika. Pola pengajaran yang selama ini digunakan guru
belum mampu membantu siswa dalam menyelesaikan soal-soal berbentuk
masalah, mengaktifkan siswa dalam belajar, memotivasi siswa untuk
mengemukakan ide dan pendapat mereka, dan bahkan para siswa masih enggan
untuk bertanya pada guru jika mereka belum paham terhadap materi yang
disajikan guru. Disamping itu juga, guru senantiasa dikejar oleh target waktu
untuk menyelesaikan setiap pokok bahasan tanpa memperhatikan kompetensi
15
Untuk menumbuhkembangkan kemampuan pemecahan masalah dan
komunikasi matematis, guru harus mengupayakan pembelajaran dengan
menggunakan model-model belajar yang dapat memberi peluang dan mendorong
siswa untuk melatih kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis
siswa. Perlu diketahui bahwa setiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda
dalam memahami matematika. Ruseffendi (1991) menyatakan bahwa “Dari
sekelompok siswa yang dipilih secara acak akan selalu dijumpai siswa yang
memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah”. Perbedaan kemampuan yang
dimiliki siswa bukan semata-mata merupakan bawaan dari lahir, tetapi juga dapat
dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu, pemilihan lingkungan belajar
khususnya model pembelajaran menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan
artinya pemilihan model pembelajaran harus dapat mengakomodasi kemampuan
matematika siswa yang heterogen sehingga dapat memaksimalkan hasil belajar
siswa.
Ada banyak model pembelajaran yang bisa kita gunakan dalam upaya
menumbuhkembangkan kedua kemampuan tersebut, salah satu model
pembelajaran yang diduga akan sejalan dengan karakteristik matematika dan
harapan kurikulum yang berlaku pada saat ini adalah model pembelajaran berbasis
masalah. Model ini merupakan pendekatan pembelajaran peserta didik pada
masalah autentik (nyata) sehingga peserta didik dapat menyusun pengetahuannya
sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang tinggi dan inkuiri,
memandirikan peserta didik, dan meningkatkan kepercayaan dirinya (Trianto,
16
Menggunakan model pembelajaran berbasis masalah, pelajar menghadapi
masalah dan berusaha menyelesaikannya dengan informasi yang mereka sudah
miliki memungkinkan mereka untuk menghargai apa yang telah mereka ketahui.
Mereka juga mengidentifikasi apa yang mereka perlu belajar untuk lebih
memahami masalah dan bagaimana mengatasinya (Barrows, 2003).
Pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah adalah salah
satu pembelajaran yang berpusat pada siswa dan guru sebagai fasilitator.
Pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang menggunakan masalah
dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis dan
keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan
konsep yang esensi dari materi pelajaran. Masalah kontekstual yang diberikan
bertujuan untuk memotivasi siswa, membangkitkan gairah belajar siswa,
meningkatkan aktivitas belajar siswa, belajar terfokus pada penyelesaian masalah
sehingga siswa tertarik untuk belajar, menemukan konsep yang sesuai dengan
materi pelajaran, dan dengan adanya interaksi berbagi ilmu antara siswa dengan
siswa, siswa dengan guru, maupun siswa dengan lingkungan siswa diajak untuk
aktif dalam pembelajaran.
Salah satu ciri utama model pembelajaran berbasis masalah yaitu berfokus
pada keterkaitan antar disiplin ilmu, dengan maksud masalah yang disajikan
dalam pembelajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran
tertentu tetapi siswa bisa meninjau masalah tersebut dari banyak segi atau
mengaitkan dengan disiplin ilmu yang lain untuk menyelesaikannya. Dengan
17
secara aktif, penuh semangat dan siswa akan semakin terbuka terhadap
matematika, serta siswa akan menyadari manfaat matematika karena tidak hanya
terfokus pada topik tertentu yang sedang dipelajari.
Penerapan model pembelajaran berbasis masalah diupayakan dapat
menumbuhkembangkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi
matematika siswa mulai bekerja dari permasalahan yang diberikan, mengaitkan
masalah yang akan diselidiki dengan meninjau masalah itu dari banyak segi,
melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap
masalah nyata, membuat produk berupa laporan, model fisik untuk
didemonstrasikan kepada teman-teman lain, bekerja sama satu sama lain untuk
mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
Penelitian ini sangat penting dilakukan yaitu untuk melihat perbedaan
kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa yang mendapat
pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang mendapat pembelajaran langsung.
Dengan mengetahui bahwa kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi
matematis siswa yang lebih baik jika pembelajaran menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah, maka pembelajaran berbasis masalah akan sangat
cocok diterapkan oleh guru di dalam pembelajaran matematika.
Penelitian dengan penerapan model pembelajaran berbasis masalah telah
diteliti oleh Abbas (2006) yang menyatakan bahwa belajar dengan menggunakan
model pembelajaran berbasis masalah dengan penilaian portofolio dapat
meningkatkan hasil belajar siswa. Demikian juga Hasanah (2004) dalam
18
mengajar menyimpulkan pemahaman siswa yang memperoleh model
pembelajaran berbasis masalah lebih baik dari pembelajaran biasa, dan
kemampuan pemahaman matematika dengan model pembelajaran berbasis
masalah lebih baik daripada pembelajaran langsung. Analisis terhadap
penelitiannya mengimplikasikan bahwa model pembelajaran berbasis masalah
dengan menekankan representasi matematik dapat dijadikan guru sebagai salah
satu alternatif untuk menumbuhkembangkan kemampuan pemecahan masalah dan
komunikasi matematis.
Berdasarkan penjelasan di atas dirasakan perlu untuk mengungkapkan
apakah model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran langsung
memiliki perbedaan konstribusi terhadap kemampuan pemecahan masalah dan
komunikasi matematis siswa. Hal itulah yang mendorong untuk dilakukan suatu
penelitian yang memfokuskan diri pada penerapan model pembelajaran berbasis
masalah terhadap kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis
siswa di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Oleh karena itu, penelitian ini
berjudul “Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi
Matematis Siswa Antara Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Model
Pembelajaran Langsung”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat diidentifikasi
beberapa permasalahan, sebagai berikut :
19
2. Siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal yang berbentuk
pemecahan masalah.
3. Kemampuan siswa dalam berkomunikasi matematis masih rendah.
4. Guru kurang melibatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika.
5. Model pembelajaran yang digunakan guru belum bervariasi.
6. Proses penyelesaian jawaban siswa dalam pemecahan masalah belum
bervariasi.
7. Proses penyelesaian jawaban siswa dalam komunikasi belum bervariasi.
1.3. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka
perlu adanya pembatasan masalah agar penelitian ini lebih terfokus pada
permasalahan yang akan diteliti. Peneliti hanya meneliti masalah tentang:
1. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
2. Kemampuan komunikasi matematis siswa
3. Proses penyelesaian jawaban siswa
Penelitian ini meneliti perbedaan kemampuan pemecahan masalah dan
komunikasi matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran berbasis
masalah dan model pembelajaran langsung, serta proses penyelesaian jawaban
siswa pada masing-masing model pembelajaran pada materi bangun datar segi
20
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan
masalah di atas, terdapat beberapa faktor yang menjadi perhatian penulis untuk
dikaji dan dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat
pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat
pembelajaran langsung?
2. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat
pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat
pembelajaran langsung?
3. Bagaimana proses penyelesaian jawaban siswa dalam menyelesaikan masalah
matematika pada pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran langsung?
1.5. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran
tentang perbedaan model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran
langsung terhadap kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis
siswa. Namun secara khusus penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang
mendapat pembelajaran langsung.
2. Untuk mengetahui apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang
mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang
21
3. Untuk mengetahui proses penyelesaian jawaban siswa dalam menyelesaikan
masalah matematika pada pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran
langsung.
1.6. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi dalam memperbaiki
proses pembelajaran matematika dengan menerapkan model pembelajaran
berbasis masalah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1. Untuk Guru Matematika dan Sekolah
Memberi alternatif atau variasi model pembelajaran matematika untuk
dikembangkan agar menjadi lebih baik dalam pelaksanaannya dengan cara
memperbaiki kelemahan dan kekurangannya dan mengoptimalkan pelaksanaan
hal-hal yang telah dianggap baik sehingga dapat menjadi salah satu upaya
untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran matematika
secara umum dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan
komunikasi matematis secara khusus.
2. Untuk Kepala Sekolah
Memberikan izin kepada setiap guru untuk mengembangkan model-model
pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan
komunikasi matematis siswa pada khususnya dan hasil belajar matematika
22
3. Untuk Siswa
Penerapan model pembelajaran berbasis masalah selama penelitian pada
dasarnya memberi pengalaman baru dan mendorong siswa terlibat aktif dalam
pembelajaran agar terbiasa melakukan keterampilan-keterampilan melakukan
pemecahan masalah dan komunikasi matematis serta hasil belajar siswa
meningkat dan juga pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna dan
bermanfaat.
4. Bagi Peneliti
Memberikan sumbangan pemikiran kepada peneliti lain tentang bagaimana
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis