Meilia
KONSE,RVASI
Jurnal
Itmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan
ISSN 02sl-1677 Volume X[,4,{omor 2, Agustus 2006
Penelitian KAJIAN EKOLOGI POPULASI RUSA SAMB AR (Ceryus ttnicolor) DALAM PENGUSAHAAN TAMAN BURU GUNLTNG MASIGIT KAREUMBI (Study on Ecology of Cervus unicolor Poptrlation in the Development of Gunung Masigit Kareumbi Hynting Park\
Etani Ratag,Yart,
S;CA
Agus Pril'ono K. tlan TLtbagtrs [/nnNitibaskara
39-
45.-5
ANALISIS POPULASI
DAN
HABITAT SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN RUSA TOTOL (Axis aXis) DITAMAN
MONASJAIiARTA
(Habitat and PoptLlation Analysisas
Basico/'
Taman Monas Chital Deer Management)Hasnawati, Hadi S. Alikodra tlan Abdul Haris
Mr,ntari
46-
5lPROSPEK PENGGUNAAN Sarcocystis singaporensis UNTUK PENGENDALIAN BIOLOGIS POPULASI TIKUS SAWAH (Rattus argentiventer) f(Prospect oJ Sarcocltstis singaporensis
for
the Biological Control of Rice Field Rats(Rattus argentiventer) Populution)l
-,4
Muchrodii. Vanto Santosd dan Abdul Haris Mttstari
STUDI
BIAYA DAN
PENDAPATAN PENANGKARAN MONYET EKORRaffles) DENGAN SISTEM TERBUKA. SEMI TERBUKA DAN TERTUTUP Breeding Long Tqil MacaqtLe with Open, Senzi Open, and Closed Systems)l
Su sens P
aryadi.tr;;;S*rt
'
rti
da n J o i o o n t ar i o|
-.
-,t52-58
PANJANG lMacaca Jbscicularis
l(Expenses and Learnings Study
of
59-6s
72-76
I
\
PENGGLINAAN THIDIAZURON. 2.4
*
D DAN GIBERELLIN DALAM PEMBENTUKAN EMBRIO SOMATIK PULE PANDAK (RauvolJia serpentintt (L.) Benth. ex Kurz) MELALUI KULTUR in vitro f(The (/se oJ.Thidiazuron, 2,4-
D and Giberellin in Formation oJ'Somatic embryo o/ Rauvoltia serpentina (L.) Benth. ex Kurz by in vitro CuLture\\Hrru
Sugin.@o
"
L_J
Siirtotd ann EdhiSandra
66-
7 IPERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM PENINGKATAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville. I 822) JANTAN lThe Role of Sanrego (Lunasia amara Blanco) to Increasing Libido Sexual of Male Timor Deer (Cerwts timorensis de Blainyille, 18220)1
Volume
XI,
Nomor
2,Agustus
2006DEWAN
REDAIGI
Penanggung Jawab
Dewan Redaksi
Dewan Editor
Alamat Redaksi
Telepon / Fax.
Media Konservasi merupakan
jumal itniah
bidang konservasi sumberdayaalam
hayati dan lingkungag, yang menyajikan artikel
mengenai hasil penelitian maupun telaahpustaka.
Redaksi menerima sumbangan artikel,dengan ketentuan penulisan
artikel
seperti tercantum pada halaman dalam sampul belakang. Jumalini
diterbitkan setahun 3kali :April,
Agustus dan Desember.Terakreditasi : SK Dirjen
DIKTI
Nomor : 1 1S/DIKTI/Kepl200l
Rinekso Soekmadi
Burhanuddin Masy'ud
Rachmad Hermawan Agus Hikmat Abdul Haris Mustari Siti Badriyah Rushayati
Resti Melani
Hadi S. Alikodra Machmud Thohari
EwizalA.M.
ZuhudAni
Mardiastuti E.K.S. Harini MuntasibDepartemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan IPB, P.O. Box 168, Bogor 16001
(62-2st)
621947media_konservasi@yahoo.com
l
1
Harga Langganan (Subscription Rates)
Satu Tahun (One Year) Pelanggan (Subs crib er)
Overseas (USD) Indonesia (Rp)
Personal
Institusi / Perpustakaan
l0
20
75.000,--
125.000,--4
Prospek Penggmaan Sarcocystis singaporensis untuk Pengendalian Biologis
pROSPEK PENGGUNAAN
S arcocystis
singaporensrs
UNTUK PENGENDALIAN BIOLOGIS
POPULASI TIKUS SAWAH
(Rattus atgentiventer)
(ProspectofsarcocystissingaporensisloltheBylostla.lControlol
Rice
Field
Rats(Rattus
argentiventer)
Population)
MucuRopJtt, YANTo SANToSA2, ABDUL HARIS Mustent2
,) program Magister profesi Kowervasi Biodiversitas, Sekolah Pascasarjana IPB, Bog-9r 2)
Laboratorium Ekologi Satwaliar Departemen Koniervasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fahthas Kehutanan IPB' Bogor
Diterima 2 Februari 2(X)6 / Disetujui 5 April2006
ABSTMCT
Rice fteld rats are impottant
ws*
of paddy uop in Indonesia, because many unsuccessful paddy crop auackd by ras' Many rodenticide types aredeveloped slimmest even still very rare, though tir roarrtiii{typ"ioiiiniiiion*"rtallriendliness. Bio ridenticide type that developed by PPPG Pertanian
is
using sarcocystis singaporensis, that is a ,prriy, pororii-ii[rorrgonirn type lnes- ii-rits aray'i-
tingup oreasii reproduces serually in lhe intestine of retic.;lared python (fohton reticulatus) and transmiuedtit*iri
ri
prmii
sporocystl to variius rars ipecies (Jaeleel, 2001)' ln rats bdy' the parasitenwltiplres inside the cell of blood vessel until it forms
,t$
;-iiii, **ng'*i,
beiome death. This parisite not endanger bothJor human being and also stule. Dosage of s. singryorensis in killing*ot,
orra oxol"iii'
,ii"4rfa
ras .do not ielated by ihe age class -o! rats. The efect on giving furcocys'issingaporensis on day o! death to female rice field rats do
,i-r"t"ri
iyin
age class o1*ii,i*i"r,
doi of deatnbl ile young male rats has quicler thatddtlt rals.
Key words
:
sarcocystis singaporensis, rodenticide, biological rodenticide, Ratns argentiventer'PENDAHULUAN
Rodensia merupakan salah satu spesies yang tergolong
sangat
banyak. Salah satu
jenis
rodensiayang
sangatpenting karena sifat merusaknya adalah tikus sawah (Rattus
Lrgeni-iventer).
Menurut Prakash (1988),
tikus
sawah teisebar luasdi
Indonesia tetapi terbatasdi
daerah padangrumput dan
sawah.Laju
perkembanganpopulasi
tikustermasuk tinggi karena tikus mencapai umur dewasa sangat
cepat, masa kebuntingannya sangat pendek dan
berulang-ulang
denganjumlah
anak
yang
banyak pada
setiapkebuntingan.
Pen-gendalian populasi
tikus
sudahdilakukan
sejakdatrulu
baik
secara
fisik,
kimia, biologi,
maupunmikrobiologi. Salah satu pengendalian secara mikrobiologi adalah dengan menggunakan
S.
singaporensls, sebagaimikroba parasit yang spesifik hidup pada hewan perantara
tertentu yaitul pada
tikus (Rarzs
norvegicus). Mikroba tersebut dapat berkembangbiak
pada ular python (Python reticulatusi @ubey etal.1989).
Dalam tubuh tikus, parasittersebut melipatgandakan jumlahnya
di
dalam sel pembuluhdarah
hingga
membentukcyst
ftista)
dalam otot,
yangdalam
jangka waktu
2
minggu.
Parasit
ini
tidakme*Uatruyit<an baik bagi ular maupun manusia (Jaekel et al.1999).
Penelitian ini bertujuan untuk:
(l)
menentukan dosis S'singaporensis yang tepat bagi jenis kelamin dan kelas umur
t
rt-rrtu,
aan (Z) -menghitungbiaya
produksipelet
padatingkat dosis yang
piting
if.nif.
Hasil
penelitian ini
Jiti*upt*
aapai
u.t
anraut dalam
menyusun:
(l)
metodl/prosedur/pedoman teknis pengendalian tikus sawah' dan
(2)
panduan penggunaan dosis S' singaporensisdalxn
pengendalian populasi tikus sawah.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada
bulan
Agustus
sampaidengan
bulan Oktober 2005
di
Departemen LingkunganUidip
dan Biofarming,
Pusat Pengembangan PenataranGuru (PPPG) Pertanian Cianjur.
iikus
-sawatr
yang
dijadikan hewan
percobaandikumpulkan
dari
sawah
yang
ada
-di
KecamatanI
Media Konsenasi Vol. XI, No 2 Agustus 2006
:
52 - SEjenis
kelamin (antan/betina), kemudian
dikelompokkan berdasarkan kelas umur (anak dan dewasa/tua). Penentuankelas
umur baik
padajantan
maupun betina berdasarkan pendekatan bobot badan tikus. Tikus betina dikelompokkan dalam kelas umur anak bila bobot tubuhnya kurang dari 60g,
sedangkanlebih dari 60
g
dikategorikan dalam kelasumur
dewasa.Tikus jantan
dikelompokkan dalam kelasumur anak bila bobot tubuhnya kurang dari 90 g, sedangkan
lebih dari 90
g
dikategorikan dalam kelasumur
dewasa(Aplin et aI.2003).
Sporocyst diperoleh
dari hasil
pengolahan feses ularpython yang
dipelihara dalam kandangC2,
DepartemenLingkungan Hidup
dan
Bio
Farming PPPG
PertanianCianjur.
Pelet dibuat berdasarkan komposisi pelet produk Bio
Farming PPPG Pertanian.
Pelet
yang
sudah
kering kemudiandiinjeksi
dengan sporocyst sesuaidosis
yang telah ditentukan (100.000, 200.000, dan 300.000 sporocyst), menggunakan mikro pipet.Data yang dikumpulkan dalam penelitian
ini
berupa(l)
Tingkat kematian: dilakukan dengan cara menghitungfrekuensi jumlah tikus yang mati selama
I
bulan,(2)
lamakematian: dilakukan dengan cara menghitung
jumlah
harisampai tikus mati dari hari
ke-l
sampai hari ke-30, dan (3)gejala yang terjadi pada
tikus:
dilakukan
dengan caramengamati berbagai gejala
yang terjadi
padatikus
sejakdiberi perlakuan.
Penelitian
ini
dipisahkan antarajantan dan
betinadengan menggunakan rancangan
acak
kelompok (RAK), karena diduga kelas umur (anak dan dewasa) pada setiapjenis
kelamin menimbulkan sumber
keragaman. yangmenjadi perlakuan adalah
pemberianS.
singaporensis dalambentuk pellet yang diinjeksi
dengan0,
100.000,200.000,
dan
300.000 sporocyst,
dan yang
menjadi kelompok adalah kelas umur.Unit
percobaan adalah 3 ekortikus
sawahyang
ditempatkan pada kandangyang
samasehingga secara keseluruhan digunakan
48
ekor
tikussawah. Percobaan dilakukan
3 kali
ulangan sehingga total tikus Sawah yang digunakan adalah 144 ekor.Analisis
data dalam rancangan percobaan penelitianini
digunakan metode analisissidik
ragam danuji
LSD.Analisis sidik
ragamdilakukan
terhadap .masing-masingjenis
kelaminuntuk
mengetahui pengaruh perlakuan dankelompok.
Uji
LSD dilakukan untuk mengeahui perbedaan antar perlakuan dan menentukan perlakuan yang terbaik.Analisis biaya produksi
bio
rodentisida dilakukan berdasarkanbiaya produksi
peleVumpan,biaya
isolasi sporocyst, dan biaya aplikasi pada luasan tertentu.HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Dosis
.Iarcacystis singaporensis terhadapTingkat
Kematian Tikus BetinaHasil
penelitian secaraumum
menunjukkan bahwaperlakuan pemberian dosis sporocyst 100.000, 200.000 dan
300.000 memberikan pengaruh sangat nyata
terhadapkematian
pada
tikus
betina. Namun
tidak
memberikanpengaruh yang nyata terhadap tingkat kematian tikus pada
kelompok kelas umur.
Perlakuan dosis Sarcoqys tis singaporensis pada tikus betina menunjukkan kecenderungan semakin
tinggi
dosissemakin
tinggi
tingkat kematiantikus,
sampai pada batastertentu tingkat
kematian mengalami penurunan sepertiterlihat pada Gambar
l.
Penurunantingkat
kematiantersebut
relatif kecil (0,llo/o),
sehingga penurunan tersebutdiduga
tidak linier
sejalan
dengan peningkatan dosis.Tingkat kematian tertinggi secara umum terjadi pada dosis 200.000 sporocyst.
P rospek Pe nggunaan Sarcocystis s ingaporensis unluk P engetdalian B iologis
Gambar
l.
Persentase kematian tikus betina'Tingkat
Kematian Tikus Betina pada Berbagai Dosis Perlakuan dosis0
sporocyst(kontrol)
menunjukkantidak
adatikus
yangmati.
Pemberian pelet dengan dosis100.000 sporocyst mengakibatkan
total
kematian
tikus sebanyak 6l,1lo/o, dengan kematian tikus betina kelas umuranak
iebesar
66,67yo, sedangkantikus
betina kelas umurdewasa sebesar 55,560/o. Perlakuan dosis 200'000 sporocyst
memberikan pengaruh yang sama seperti perlakuan dosis
100.000 sporocyst namun mengakibatkan
jumlah
kematian tikus lebihtingii
(88,89%) dibandingkan dengan perlakuandosis 100.000l-Kimatian
tertinggi terjadi
pada kelompok tikus betina kelas umur anak sebesar 100%, sedangkan tikusbetina kelas umur dewasa sebesar 77,78yo' Total kematian
tikus akibat
perlakuandosis 300.000
sporocyst sebesaril,lgo/odari
totat tikusuji
yang digunakan' Kematian pada tikus betina kelas umur anak iebesar 88,89% lebih tinggi dari pada tikus betina kelas umur dewasa sebesar 66,67oh' Persentase kematian pada dosis 200.000 dan 300'000 sesuaidengan
hasil peneliiian
Jaekel(2005) yang
menyatakandosis
antara
200.000
400.000
sporocyst
mampu mengurangi populasi-firgkui
tikus sawah sebesar 70-90o/o'kematian
tikus
cenderung meningkatseja,ll
dengan f,eningkatan dosis sporocyst(0,
100'000, 200'000 dan- 300.000).Meskipun pada dosis 300'000
sporocystterjadi
penurunantingkat
kematian,namul
diperkirakantidat
atcanterjadi
secaralinier
dengan peningkatan dosissporocyst
yang
diberikan. Berdasarkanhasil
pengamatanterseUut aiauga pada dosis
mulai
200.000 sporocyst akanterjadi
-
tingkat kematian tikus yang relatif stabil'Uii iSD
pengaruh dosis terhadaptingkat
kem-atlantikus
rienunjukku, buh*u
perlakuan 100'000, 200'000 dan300.000 sporocyst berbeda sangat nyata dengan perlakuan 0
,poro.yrt'
1t<ontrot;,demikian
juga
antTa
perlakull
i'OO.OO'0,
dan
200.000.
Sedangkanperlakuan
100'000maupun 200.000 dengan 300.000 sporocyst se€am statistik
,.rir":un
*
perbeda'an yang signifikan' Berdasarkan datat.*.il
dapatdiketahoi
Uut*i
dosis yang efektif
danefisien dalam membunuh tikus, yaifu 200'000 sporocyst'
Kematian
Tikus
Betina KelasUmur
Anak dan Dewasa Secara umum tikus betina kelas umur anak mengalami kecenderungan kematian lebihtinggi
dibandingkan dengantikus
kelas-umur dewasa selama perlakuan'Tikus
betinakelas umur anak mati
sebesar 63,89yo sedangkan tikus betina kelasumur
dewasamati
sebesar 50'00%' Namundemikianberdasarkanhasilanalisissidikragamterbukti
U"t*u
kelas umur anak dan dewasa pada tikus betina tidak;;.;;
nyata, meskipun berdasarkan data terlihat adanyaperbedaan-pengaruh kelas
'
umur terhadap kematian tikus'tcecenderungan
tingkat
kematiantikus
betina kelas umur anaklebihlinggi
-<libandingkan dengan tikus betina kelasumur
dewasa,i.uru
u*u'
disebabkan daya tahantubuh tikus betina kelas umur anak lebih
rendah' Halt.t.Uut
diduga disebabkanoleh
perkembangan tubuhnya belum sempurna.Hasil
penelitianini
sangat menguntung'' kan dalam Legiatan penglndalian populasi tikus' karena biorodentisida
inl
etet<tifuitut
semui kelas umur tikus betina'Dengan
demikian target
dari
pemberian umpan de1ganmenlgunakan bahan
aktif S.
singaporensisini
dapatditujifan
baik untuk tikus betina kelas umur anak maupun dewasa dengan efektivitas yang sama'c
(U([
E
o)
\<
s
120,00
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
I
i
I
!
[image:6.612.56.536.79.302.2]Media Konservasi Vol. XI, No 2 Agustus 2006
:
52 _ SgGambar
2.
Rata-rata lama kematian tikus pada perlakuan berbagai dosis.Penga ru h Pem berian Dosis,sarcocysfit s ing ap o rens is Terhadap Lama Kematian
Tikus
Betina Lama KematianTikus
Betina pada berbagai dosisBerdasarkan hasil percobaan diketahui rata-rata tama
kematian
tikus
pada perlakuan berbagai dosisdan
kelasumur adalah
15,81hari.
Lama
kematiantikus
tercepatteijadi
pada
hari
ke-13 (dosis 200.000
dan
300.d00sporocyst)
dan terlama adalah pada
hari
ke-23
(dosis 100.000 dan 200.000 sporocyst). Rata-rata lama kematiantikus
pada
perlakuan dengandosis
100.000 sporocystmerupakan
peringkat terlama
yaitu
16,75
hari,
diikuti
9*.gul
perlakuan dengan dosis 200.000 sporocyst (16,00hari)
dan dosis 300.000 (14,69hari)
seperti teriihat pada Gambar 2.-!*il
pengamatan menunjukkan
kecenderungansemakin
tinggi
dosis semakincepit
terjadi kematian tiklus.Namun
hasil
analisis
sidik
iagam,
diketahui
bahwaperlakuan
dosis, 300.000 sporoiyst
tidak
berpengaruhterhadap
lama
kematian
tikus
betina.
Hal
-te;ebut
disebabkan
aktivitas
S.
Singaporersrs mempunyai fasetertentu dalam
perkembangbiakannya.Kondisi
tersebutdidlgS
sesuai dergan aktiviiasS.
ciuzi
seperti dijetaskanoleh Dubey et
al.
(1989). Kondisi tersebut menga[ibatkanS. singaporensis membutuhkan waktu tertentu untuk dapat membunuh tikus.
Lama Kematian Tikus Betina pada Kelas Umur Anak
dan Dewasa
Rata-rata lama kematian tikus betina kelas umur anak
adalah 15,93
hari,
sedangkantikus
betina kelas
umurdewasa adalah 15,70 hari. Hasil tersebut sesuai dengan hasil
penelitian Jaekel (2001)
yang
menyatakanbahwi
parasittersebut dapat digunakan sebagai agen
bio
kontroi
yangTaTpu
mengurangi 70-90% dalam waktu sekitar 2 minggu.Berdasarkan data, terlihat kecenderungan bahwa kelas umur
tikus betina
tidak
mempengaruhilima
kematian. Hasil analisissidik
ragamjuga
menunjukkan bahwa ketas umurtidak berpengaruh terhadap lama kematian tikus sawah.
Pengaruh Pemberian Dosis
^Sarcocystis Singapormsis terhadapTingkat
Kematian Tikus JantanHasil
penelitian pada
tikus
jantan
secara umummenunjukkan bahwa pemberian dosis sporocyst 100.000, 200.000 dan 300.000 berpengaruh sangat nyata terhadap
feyatial
tikus jantan. Namun tingkat kematian tikus padakelompok
kelas umur tidak
berpengaruh nyata. Kondisi tersebut cenderung sama dengan yangterjadi
pada tikusbetina.
Perlakuan
dosis
Sarcoqystis singaporensis terhadaptikus jantan rata-rata menunjukkan kecenderungan semakin
tinggi
dosis semakintinggi
tingkat kematian tikus. Sepertipada-
tikus
betina perlakuan dosis
0
sporocyst
tidakmeqfterikan
pengaruh terhadap kematiantikui
jantan. Tingkat kematian tikus masing-masing pada dosis tbO.OOO sporocyst sebesar6l,llyo,
dosis 200.000 sporocyst sebesar.77,78o/o,
dan dosis 300.000
sporocystiebesar
g4,44yo (Gambar 3).o
I
'18,00 17,50
'l7,oo
16,50 16,00 15,50 15,00 14,50 14,00 13,50 13,00
--+-Anak
+Dewasa
-+_Rata-rataPenurunan kematian
tikus jantan akibat
perlakuanterjadi
padatikus kelas umur anak
padadosis
300.000sporocyst.
Adanya peningkatan kematian
tikus
jantandewasa pada dosis 300.000 sporocyst dan penurunan tingkat kematian tikus
jantan
kelasumur
anak pada dosis yang sama menunjukkan bahwamulai
dosis 200.000 sporocysttingkat kematian tikus diduga relatif stabil.
Pemberian
pelet dengan
dosis
100.000
sporocyst secara umum mengakibatkantotal
kematiantikus
sebesar 6l,110/o. Kematian tikus jantan kelas umur anak mencapai77,78yo, sedangkan
kelas umur
dewasa 44,44Yo.Total
kematian
tikus
akibat perlakuan dosis 200.000 sporocystmeningkat
bila
dibandingkan dengan perlakuan
dosis 100.000 sporocyst menjadi 77i78o/o dari total tikusuji
yangdigunakan. Kematian teninggi terjadi pada kelompok tikus jantan kelas umur anak
yaitu
100%, sedangkan tikus jantan kelas umur dewasa 55,560/o. Semua tikusuji
kelas dewasa100%
mati
akibat pelakuan dosis 300.000
sporocyst, sedangkan pada kelas umur anak mati hingga 88,89oh.Berdasarkan
hasil penelitian
ini
diketahui
adanya kecenderungan semakintinggi
dosis semakin tinggi tingkat kematian tikus. Hasiluji
LSD untuk tingkat kematian tikus jantan menunjukkan bahwa perlakuan0
sporocyst berbedadengan perlakuan 200.000 dan 300.000 sporocyst, namun antara perlakuan 200.000, dan 300.000 tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Berdasarkan
uji
LSD
tersebut dapat diketahui bahwa dosis yangefektifdan
efisien dalammembunuh
tikus jantan
adalah 200.000 sporocyst, sama dengan tikus betina.Tingkat
Kematian Tikus Jantan pada KelasUmur Anak
dan Dewasa
Secara umum tikus jantan kelas
umur
anak (66,670/o)cenderung
lebih tinggi
dibandingkan dengantikus
kelasProspek Penggmaan Sarcocyslis singaporensis untuk Pengendalian Biologis
umur dewasa (50,00%), namun hasil analisis
sidik
ragammenunjukkan tidak berbeda nyata. Hasil
ini
sesuai dengan keadaan pada tikus betina, sebagaimana telah diuraikan di atas.Hal
ini
sangat menguntungkan karenatarget
dari pemberianumpan
dengan menggunakan bahanaktif
S. singaporensisini
dapat digunakan baik untuk tikus sawahjantan maupun betina pada kelas umur anak rnaupun dewasa dengan efek yang sama,
Penga ru h Pem beria n Dosis .Sorcocys t is S ingap o rens ls
Terhadap Lama Kematian Tikus Jantan
Hasil percobaan
ini juga
membullikan bahwa secaraumum dosis sporocyst mempengaruhi lama kematian tikus
jantan.
Rata-ratalama kematian
tikus
pada
perlakuanberbagai dosis dan kelas
umur
adalah 16,30hari.
Lama kematiantikus
tercepatterjadi pada
hari
ke-13
(dosis300.000 sporocyst)
dan
terlama padahari ke-23
(dosis200.000 sporocyst). Rata-rata
lama
kematiantikus
padaperlakuan dengan
dosis
100.000 sporocyst merupakanperingkat terlama
yaitu
17,00 hari,diikuti
dengan perlakuandengan
dosis
200.000 sporocyst(!6,22
hari) dan
dosis300.000 (15,67 hari). Rata-rata lama kematian tikus jantan kelas umur anak adalah 15,37 hari, sedangkan tikus
janan
kelas umur
dewasaadalah
17,22han,
sehingga terjadi perbedaan1,85
hari
Berdasarkandata
tersebut, terlihatkecenderungan
bahwa
kelas umur
tikus
jantan mempengaruhilama
kematiantikus jantan
(Gambar 4). Hasil analisissidik
ragam menunjukkan bahwa perbedaanperlakuan
dosis
sporocyst(100.000,
200.000, 300.000)tidak
berpengaruhnyata
terhadaplama waktu
kematiantikus jantan,
sesuai denganhasil
penelitian pada tikusbetina.
c
(u
(U
E
o
Y
s
120,00
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
[image:7.612.70.566.63.303.2]-+-Anak
--{-
Dewasa
*
Rata-rata
I
Media Konscrvasi Vol. XI, No.2 Agustus 2006
:
52 _ 5g'tr
$
r
20,00
19,00
16,00
14,00
12,00
10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
100.000
200.000
Dosis
300.000
[image:8.612.54.551.71.335.2]-+-Anak
..+-Dewaso
_,!_Rata_rata
Gambar
4.
Lama kematian tikus jantan keras umur anak dan dewasa.Hasil
analisissidik
ragam terhadap ketompok umurmenunjukkan adanya pengaruh
nyat;
terhadap
lamakematian
tikus
sawah.Hal
ini
berarti
bahwakelis
umurtikus
(anak
dan
dewasa)
berpengaruhterhadap
lamakematian
tikus jantan, berbedi
dengan
tikus
betina. Perbedaanini
diduga karena antaratikuljantan
dan betinamemiliki struktur organ yang
berbeda. perbedaan lama kematian pada kelompok umur tikus jantan diduga karena struktur organ tikus jantan kelas umur anakrelatif
belumsempul11 dibandingkan dengan tikus jantan dewasa.
Aplin
et
al.
Q003) menyatakan bahwatinglat
kedewasaan tikusjantan cenderung lebih lama bila dibindingkan
dengan tikus
betina.
_
Pengaruh dosis baik pada tikus jantan maupun tikusbetina kelas umur anak maupun
d-ewasa menunjukkan kecenderungansemakin
tinggi
dosis
semakin
tinggi persentasekematian
tikus,
namun
persentasekematian
t:rs:but
didugatidak linier
sebanding dengan peningkatan dosis ^S. Singaporensis. persentase femati-aniikus
sawahjantan
maupunbetina akibat dosis 200.000
sporocyst
mencapai
77,78-Bg,8go.
Hasil
tersebut sesuai
denganpenelitian Jaekel
(2005)
yang
menyatakan
bahwa penggunaan S. Singaporensrs dapat menurunkan populasiantua
70-90o/o.Bila
dibandingkan dengan penginialian!3"
,3T O.rggunaan bio rodentisidaini
te=bitr efet<t-if sepertiditunjukkan oleh hasil
uji
lapangandi
Lop Buri
Thailand, yang menyatakan bahwa kerusakan hanya mencapai 0,5o/o.Pengendalian secara konvensional dengan menggunakan
racun akut seperti seng
phospidadan pagar
berlistrik mengakibatkan kerusakan antara 1,6_l,t%,' sJdangkanbila
tanpa penanganan berakibat kerusakan hingga 5,g% (Jaekel
2005). Namun hasil penelitian Suhana et al. (2003) tenrang
cara
pengendaliantikus
di
sawah irigasi
(Sukamandi)l.p?n.
pemasangan perangkap bubu(Tip
Barier
System)terbukti
lebih
efektif
dibandingkan dengan'
"uri
pengendalian
tikus
lainnya,yaitu
gropyokan, pJngoboran, dan pemasangan umpan.Birdasarlan-penelitian
tersebutdiduga qenggunaan bio rodentisida juga lurang efektif pada
pengendalian tikus
di sawah
irigasi, karena pada dasarnyapenerapan
bio
rodentisida
sama
dengan
penerapan pemasangan umpan.Efektivitas
bio
rodentisidaditinjau dari
waktu yang dibutuhkan untuk membunuhtikus
rilatif
lebih lama-jiki
dibandingkandengan
pengendaliancara mekanis
ataupenggunaan
zat
racun.
penggunaan
bio
rodentisidamembutuhkan
waktu
l5,gl
s.d.
16,30hari,
penggunaan rodentisida kimia seperti Klerat RM membutuhkan waktu+-6
hari,
sedangkan dengan cara gropyokan ataupengem-posan hanya membutuhkan
waktu
I
hari. penggunaan biorodensia diduga lebih menguntungkan dalam pengendatian populasi
tikus
karena dapat mengatasi adanyasifat
tikusyang
sangat curiga terhadap benda asing
yang
baruditemuinya
_(neo-phobia)
(priyambodo
tgis),
sJhinggakonsumsi
bio
rodentisida diharapkan
fjUifr
tin!;i
dibandingkan dengan rodentisida kimia, dan pada akhirnla
persentase kematian tikus lebih tinggi.
Gejala Umum yang
Terjadi Akibat
pemberianS arco qtstis s ing ap o rens is
Secara
umum
efek
pemberian
umpan
yangf_enB{lung
sporocystterjadi
l0
hari
setelah-perlakuari Tikus-tikus yang mengkonsumsi rodentisidaini
menyebab_57
kan secara
fisik
rambut terlihat kasar/berdiri, bagian mukamembengkak, pelupuk mata
mulai
mengecil dan sebagianmengeluarkan
air
mata. Aktivitas
tikus
terlihat
sangatberbida antara tikus yang sakit (dosis I 00.000, 200.000, dan
300.000 sporocyst) dengan
tikus
yang sehat (perlakuan 0sporocyst).
'
Grakan tikus
baik jantan maupun betina yang sakit menjadi lamban, meskipun tikus tersebut diberi rangsangandengan menggunakan
lidi.
Setelah2
sampai3
hari
tikus mulai lrmpuh pada kedua kaki belakangnya, sehingga untukberpindah tempat
tikus
mengandalkankaki
depannya batrkan untuk tikus dengan sakit yang parahtidak
mampuberpindah tempat
ke
manapun. Daya
infeksi
dari
S'singaporensis mampu menyerang daya tahan tubuh tikus hingga tikus tersebut menjadi sakit. Daya menginfeksi atau
*"nutati
suatu penyakit, menurut Syamsudin
(1991), tergantungdari jumlah (dosis), virulensi
agen penyakit(asad
renik) dan daya tahan tubuh hewan yang diserang'i4ekanisme/tahapan
S.
singaporeresrsdalam
menginfeksitikus
adalah melipatgandakandirinya
di
dalam pembuluh darah,dan
membentukkista
di
dalam otot,
tikus
lebihmudah ditangkap,
dan sedikit
pengurangan kesuburan (Jaekel et a\.1999 dan Dubey et al.1989).Analisis Biaya Produksi Bio Rodentisida
Berdasarkan
hasil
analisis
biaya
produksi
biorodentisida untuk tiap (dosis efektif200'000) pelet diketahui
sebesar Rp 45,-. Untuk menjaga keawetan
bio
rodentisidayang
dihasilkanperlu dilakukan
pembungkusan denganmenggunakan kertas pada tiap-tiap pelet. Dengan perkiraan
harga bungkus, kemasan,
dan biaya
tenagakerja,
makauntuk setiap 100
butir
rodentisida dalam sebuah kemasandiperkirakan seharga Rp 9.500,-. Harga jual
bio
rodentisidaret"tut
ditambah dengan biaya pemasaran dan keuntungan (masing-masi ng'
30o/o) berkisar Rp I 5.200,- per kemasan'nltitcasi
-Ulo
rodentisida menurut Jaekel
(2005)dilakukan
I
sampai3
kali
periode,
denganinterval
2minggu. Kebutuhan jumlah sporocyst untuk tiap hektar per
periode adalah 30.000.000 sampai 40.000.000 sporocyst'
b.ng-
demikian,
selama3
kali
periode
pengendaliandibutuhkan 90.000.000 sampai
120.000.000 sporocyst'Jumlah tersebut setara dengan
600 butir
pelet
biorodentisida atau
6
buah kemasan rodentisida seharga Rp91.200,-. Apabila pengendalian tersebut dilakukan dengan
menggunakan
rodentisida
kimia
Klerat
RM,
dengankemiJan
per
bungkus
12
butir,
maka dibutuhkan
50bungkus (dengan asumsi efektivitasnya sama dengan bio rodentisida). Harga eceran per bungkus
(isi
12butir)
padabulan Maret 2005 adalah Rp 2000,-, sehingga dibutuhkan
biaya
sebanyakRp
100'000,-. Berdasarkan perhitunganProspek Penggunaan Sarcocystis singaporensis untuk Pengendalian Biologis
kimia Klerat
RM
(Rp.- .100.000,').Biaya
tersebutrelatif
lebih
mahal dalam
pengadaanperalatan
dan
bahanpengendaliannya
bila
dibandingkan dengan pengendaliani".aragropyokan,
pengoboran, maupun komposan dengan menggunakan belerang. Namun demikian pengendalian caraini
rnemerlukan tenagakerja
yang banyak dan
harus terkoordinasi (Suhana et al. 2003).KESIMPULAN
Berdasarkan
penelitian
ini
daPat disimPulkanbahwa
:
dosis S. singaporensis yang palingefektif
untuk membunuhtikus baik jantan
maupun betina pada kelasumur
anak
maupun dewasa adalah
sebesar 200'000sporocyst, dengan biaya produksi bio rodentisida untuk satu hektar tanaman padi sebesar Rp 91.200,-.
DAFTAR PUSTAKA
Aplin
KP, Brown PR, Jacob J, Krebs CJ&
Singleton GR' 2003. Field Methodsfor
Rodent Studiesin
Asia andthe Indo Pacific, Melbourne. BPA Print Group'
Dubey JP.,
CA
Speer.,R
Fayer.l989.
SarcocYstosisof
Animals and
Man.
Boca Raton,Florida'
CRC Presslnc.
Jaekel T, Khoprasert
Y,
Endepols S, Bauman CA, SuasaardK,
Promierd P,Kliemt D,
BoonsongP'
Hongnark S'tdgq. elotogical Control
of
Rodent Using Sarcocystis singaporensis. Int J Parasitol2g (1999) 1321-1330' JaekelT.
2001. Rodent
ResearchAround
the
World'Sarcocystis parasites: Potential Rodent Control Agents
and
lndicators
of
Functional
Predator-PreyRelationship
in
Agricultural Habitats
of
SoutheastAsia.
Di
dalamWar Against
Rat, Managementof
Rodent
Pestsin
SoutheastAsia,
Newsletter
12(Oktober 2001).
Jaeket
T.
2005.
Python
and
Parasites'http://home't-online.de/home/ thom jaeket/bcr.htm [20 Jan 2005]' [PPPG Pertanian] Pusat Pengembangan Penataran Guru
Pertanian
iianlur.
2004.
Proposal produksi
biorodentisida. Cianjur' PPPG Pertanian Cianjur'
Prakash
I.
1988. Rodent Pest Management' Boca Ratoa,Florida. CRC Press Inc.
Priyambodo
S.
1995. Pengendalian Hama Tikus Terpadu'Jakarta. Penebar SwadaYa.
Suhana, Ruskandi,
dan
Sumarko.
2003'
Teknik pengendalian tikusdi
Sawah Iriasi Sukamandi' Buletinfemit
Pertanian,Vol
8, No.
2,
2003,
pp'
41-48'