• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum"

Copied!
446
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNA AIR CITARUM

Oleh :

RADJAB TAMPUBOLON

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Bogor, September 2007

(3)

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganialisis perubahan tutupan lahan, perubahan karakteristik hidrologis dan pengaruhnya terhadap nilai ekonomi sumberdaya air bagi pengguna jasa lingkungan (PLTA dan PDAM). Penelitian dilakukan selama tahun 2006 di DAS Citarum Wilayah Hulu meliputi Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur dengan luas 486,237 ha. Aktor-aktor ekonomi yang menjadi objek penelitian adalah PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur serta PDAM Purwakarta (Tirta Dharma) dan PDAM DKI Jakarta (PT. Thames Jaya) di DAS Citarum Wilayah Hilir sebagai pengguna jasa lingkungan (sumberdaya air) DAS Citarum. Metode dan tehnik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analysis supervised classification untuk mengetahui perubahan tutupan lahan, model GR4J untuk menduga debit, volume air dan sedimentasi, analisis kimia air dan replacement cost sebagai tehnik valuasi ekonomi jasa lingkungan bagi pengguna.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode 1992–2003 telah terjadi penurunan tutupan lahan hutan (pohon) dengan laju 2.23 % (3804.2 ha) per tahun. Penurunan luas tutupan lahan tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan pembukaan lahan untuk memenuhi kebutuhan permukiman dan sarana sosial lainnya, yang tumbuh 9.81 % (2404.5 ha) per tahun. Perubahan tutupan lahan tersebut menyebabkan perubahan pada karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu berupa penurunan debit air masuk lokal (DAML) dengan laju 1.49% (3.14 m3/dt) dan volume air masuk lokal (VAML) dan 4.20% (275.26 juta m3), peningkatan rasio Q max-min 5.99% (rata-rata 131.94), peningkatan laju sedimentasi rata-rata 12.86 juta m3 - 21.66 juta m3 (total 3 waduk) setiap tahun yang membahayakan terutama Waduk Saguling dan Cirata, dan penurunan kualitas kimiawi air di Sungai Citarum.

(4)

The objectives of this research were to analyze land cover changes, changes in

hydrological characteristics and their effects on the economic value of water resources

affecting the environmental services beneficiaries (Hydroelectric Power Plant, HEPP

and Drinking Water Companies, DWC). This research was conducted in 2006 in the

upper Citarum River Basin, including the Saguling, Cirata, and Jatiluhur catchments,

covering the total area of 486,237 ha. The economic actors under this study included

Saguling HEPP, Cirata HEPP, and Jatiluhur HEPP as well as Tirta Darma DWC

(Purwakarta) and PT Thames Jaya DWC (Jakarta) in the downstream of Citarum River

Basin as the beneficiaries of environmental services of Citarum River Basin. The method

employed in this study was the supervised classification analysis, model GR4-J, to relate

the effects of land cover changes on water discharge, water volume, and sedimentation,

water chemistry, and the replacement cost method for economic valuation of

environmental services among the beneficiaries (HEPP, DWC).

The results of this study showed that during the 1992 to 2003 period there has

been a reduction of forest (tree) cover at the rate of 2.23% (3804.2 ha annually. The

reduction of forest cover was mainly caused by an increase in the land clearing for

settlement, and other social facilities which grew at the rate of 9.81% (2404,5 ha)

annually. This land use change has caused changes in hydrological characteristics of the

upper Citarum River Basin as demonstrated by the reduction of local water discharge as

high as 1.49% (3.14 m

3

/sec) and the volume of local water input as high as 4.20%

(275.26 m

3

), the increase of Q

max

/Q

min

as high as 5.99% (at the average of 131.94), the

increase in sediment yield as high as 12.86 to 21.66 million m

3

annually (for the three

dams) and thus threatening (especially) the Saguling and Cirata dams, as well as the

decrease in the chemical water quality of Citarum River.

(5)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor

Tahun 2007

Hak cipta dilindungi Undang-Undang.

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik suatu

masalah.

b.

Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(6)

PENGGUNA AIR CITARUM

Oleh :

RADJAB TAMPUBOLON

Disertasi

Sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Doktor pada Program Studi

Pengelolan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, MSc. Ketua

Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSc Prof. Dr. Ir. H. M. Sri Saeni, MS

Anggota Anggota

Mengetahui:

Program Studi Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Plh Ketua,

Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan,

Dr. Ir. Etty Riani, MS Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS.

(8)

Radjab Tampubolon adalah anak kedelapan dari sembilan bersaudara dari Ayahanda H. Dja Pardamean Tampubolon dan Ibunda Hj. Djamilah Harahap. Dilahirkan di Sidapdap, Kecamatan Saipar Dolok Hole, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada tanggal 13 Oktober 1962. Pendidikan SD dan SMP diselesaikan di Tapanuli Selatan dan SMA Negeri 2 di Medan, Sumatera Utara.

Pada tahun 1981 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui Program Perintis II (PP-II) dan pada tahun 1982 menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB dengan Jurusan Manajemen Hutan. Pendidikan S-1 Fakultas Kehutanan diselesaikan pada tahun 1985 dengan penelitian “Pengaruh Blue Stained Terhadap Sifat Fisik dan Mekanik Kayu Ramin (Gonystilus bancanus, Kurz)” di Inhutani III, Sampit Kalimantan Tengah.

Pada tahun 1984 penulis menikah dengan Hj. Pipih Pujiastuti, BSc dan dikaruniai 3 putra yaitu Abdul Manan Tampubolon (22 th), Bahroin Idris Tampubolon (19 th), dan Choirul Sabat Tampubolon (16 th). Pada saat ini penulis adalah Direktur Utama PT. Dalla Billa Sejati, Bogor, Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bogor dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bogor serta aktif menjadi pembina beberapa asosiasi dunia usaha di Kota Bogor.

Tahun 2000, penulis melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana IPB bidang Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan pada tahun 2002 melanjutkan ke jenjang S-3 pada program yang sama dengan spesialisasi Kebijakan Lingkungan (ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan) melalui Program Langsung (continual improvement). Pada tanggal 6 September 2007, penulis berhasil menyelesaikan studi Program S-3 dengan mempertahankan disertasi yang berjudul “Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum” .

Terima kasih.

(9)

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum”.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Muhammad Sri Saeni, MS dan Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan teramat penting dalam menyusun karya tulis ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada manajemen UBP. Saguling, UP. Cirata, PJT-II (PLTA Jatiluhur), PDAM Tirta Dharma Purwakarta, PT. Thames PAM Jaya Jakarta, BBSDL, Balai Tanah, Balai Agroklimat, Walikota Bogor, KPU Kota Bogor, KADIN Kota Bogor dan PT. Dalla Billa Sejati serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan dan dukungannya baik moril maupun materil.

Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada masa yang akan datang.

Bogor, September 2007

(10)

iii

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR SINGKATAN... xiii

1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Kerangka Pemikiran... 4

1.2.1. Pendekatan Ekosistem... 4

1.2.2. Identifikasi Aktor-Aktor Ekonomi... 7

1.3. Perumusan Masalah... 7

1.4. Tujuan Penelitian... 12

1.5. Manfaat Penelitian... 12

1.6. Novelty (Kebaruan)... 13

1.7. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian... 13

2. TINJAUAN PUSTAKA... 15

2.1. Daerah Aliran Sungai... 15

2.2. Sistem Hidrologi dan Sumberdaya Air... 19

2.3. Kerusakan Ekosistem DAS... 22

2.3.1. Pencemaran Air... 23

2.3.2. Sedimentasi... 30

2.4. Jasa Lingkungan DAS Selain Air... 31

2.4.1. Keanekaragaman Hayati... 31

2.4.2. Sekuestrasi Karbon... 32

2.4.3. Rekreasi dan Penelitian... 33

2.5. Analisis Perubahan Karakteristik Hidrologis DAS... 34

2.6. Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan... 36

2.6.1. Konsep Valuasi Ekonomi... 38

2.6.2. Keterkaitan Ekonomi dan Ekologi... 41

2.6.3. Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan... 42

2.6.4. Komparasi Beberapa Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan... .. 43

(11)

iv

2.8. Review Penelitian Terdahulu... 50

3. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 55

3.1. SWP DAS Citarum ... 55

3.2. Perum Jasa Tirta II Jatiluhur... 56

3.2.1. Latar Belakang Pembentukan Perum Jasa Tirta II... 56

3.2.2. Daerah Kerja Perusahaan... 58

3 2.3. Maksud, Tujuan, Visi dan Misi Perusahaan... 59

3.2.4. Tugas Pokok dan Lapangan Usaha... 59

3.2.5. Arah Pengembangan Perusahaan... 62

3.3. Unit Bisnis Pembangkitan Saguling... 65

3.3.1. Struktur Organisasi dan Manajemen UBP Saguling... 66

3.3.2. PLTA Saguling... 68

3.4. Unit Pembangkitan Cirata... 69

3.4.1. Latar Belakang... 69

3.4.2. Tahap Pelaksanaan... 71

3.4.3. Kegiatan Usaha... 72

3.4.4. Organisasi... 74

3.4.5. Dampak Pembangunan PLTA Cirata... 77

3.4.6. Pengelolaan PLTA Cirata... 79

3.5. PDAM Tirta Dharma... 80

3.5.1. Letak Daerah dan Topografi... 80

3.5.2. Iklim Daerah... 81

3.5.3. Kependudukan... 81

3.5.4. Visi dan Misi PDAM PDAM Tirta Dharma... 82

3.6. PT. Thames PAM Jaya... 83

3.6.1. Empat Kepedulian TPJ ... 84

3.6.2. Penggabungan Thames Water dan RWE………. 85

4. PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN... 88

Latar Belakang... 88

Lokasi dan Waktu Penelitian... 88

Bahan dan Metode Analisis Perubahan Tutupan Lahan... 89

Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Tutupan Lahan... 91

(12)

v

5.3.1. Analisis Perubahan Debit dan Volume pada Dua Sistem

Penggunaan Lahan... 99

5.3.2. Pendugaan Sedimentasi... 102

5.4. Hasil dan Pembahasan... 103

5.4.1. Sifat Hujan Dan Hubungan Dengan DAML dan VAML... 103

5.4.2. Karakteristik Air Keluar... 114

5.4.3.Pendugaan Perubahan Debit dan Volume Air Akibat Perubahan Tutupan Lahan Dengan Simulasi GR4J... 122

5.4.4. Volume Sedimen... 128

5.5. Simpulan... 132

6. PERUBAHAN KARAKTERISTIK KUALITAS AIR... 135

6.1. Latar Belakang... 135

6.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 135

6.3. Bahan dan Metode... 136

6.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Kualitas Air ... 136

6.5. Simpulan... 151

7. PERUBAHAN PRODUKSI... 152

7.1. Latar Belakang ... 152

7.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 152

7.3. Bahan dan Metode... 153

7.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Produksi ... 153

7.4.1. Produksi Energi Listrik... 153

7.4.2. Produksi Air Minum... 158

7.5. Simpulan... 160

8. ANALISIS PERUBAHAN BIAYA LINGKUNGAN... 161

8.1. Latar Belakang... 161

8.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 161

8.3. Bahan dan Metode... 162

8.3.1. Bahan... 162

8.3.2. Metode Perhitungan Biaya Marjinal Lingkungan A d A 162 8.3.3. Metode Perhitungan Kesediaan Membayar... 163

(13)

vi

8.4.5. Persepsi Terhadap Jasa Lingkungan... 178

8.5. Simpulan... 182

9. PEMBAHASAN UMUM... 183

Perubahan Tutupan Lahan dan Karakteristik Hidrologis... 183

9.1.1. Perubahan Tutupan Lahan dan Curah Hujan... 183

9.1.2. Perubahan Tutupan Lahan, Debit dan Volume... 184

9.1.3. Perubahan Tutupan Lahan, Kualitas Air dan Sedimentasi... 185

Perubahan Karakteristik Hidrologis, Produksi PLTA dan PDAM dan Biaya Marjinal Lingkungan... 189

9.2.1. Perubahan Produksi Energi Oleh Listrik PLTA ... 189

9.2.2. Produksi Air Minum PDAM 190 Biaya Marjinal Lingkungan... 191

10.SIMPULAN DAN SARAN... 195

Simpulan... 195

Saran... 195

(14)

vii

1. Pengklasifikasian tingkat pencemaran dari limbah

domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air ... 28

2. Kandungan maksimum unsur pencemar dalam air pertanian ... 30

3. Komparasi beberapa metode valuasi ekonomi lingkungan ... 45

4. Rata-rata erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan di DAS Citarum... 52

5. Delapan PLTA yang termasuk dalam UBP Saguling ... 66

6. Morfimetri waduk, spesifikasi umum tentang bendungan, generator dan turbin yang digunakan pada PLTA Saguling ... 69

7. Kapasitas per unit PLTA ... 73

8. Jumlah rumah tangga dan penduduk Kabupaten Purwakarta per Kecamatan tahun 2000 ... 81

9. Proyeksi penduduk Kabupaten Purwakarta Tahun 2000 – 2006 ... 82

10. Kondisi sekilas PT Thames PAM Jaya (2002) ... 83

11. Komposisi tutupan lahan masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1992 dan 2002... 93

12. Laju perubahan tutupan lahan per tahun masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1992-2002... 94

13. Matriks perubahan lahan DAS Citarum Wilayah Hulu dari tahun 1992 – 2002... 96

14. Hasil simulasi debit dengan aplikasi model GR4J... 101

15. Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu Pada periode 1993 – 2003 ... 104

16. Keragaman DAML harian di DAS Citarum Wilayah Hulu Pada periode 1993 – 2003 ... 106 17. Uji-t pengaruh curah hujan terhadap DAML harian periode 1993-2003... 109

18. Rata-rata volume air masuk lokal tahunan DAS Citarum Wilayah Hulu (1993-2003)... 110

19. Uji-t pengaruh DAML harian terhadap VAML tahunan... 111

(15)

viii

24. Rata-rata tinggi DMA Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur... 119

25. Frekuensi terjadinya DMA kritis ... 120

26. Parameter model hasil validasi berdasarkan data sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1993... 123

27. Perbandingan antara debit pengukuran dan simulasi sub DAS Saguling Dan DAS Citarum Wilayah Hulu ... 124

28. Hasil simulasi VAML Sub DAS Saguling Wilayah Hulu... 127

29. Perkembangan volume sedimen 3 Waduk ... 129

30. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam memperkirakan volume sedimen di DAS Citarum Wilayah Hulu... 130

31. Volume sedimen hasil simulasi... 131

32. Parameter kualitas air yang diukur pada PLTA dan PDAM... 137

33. Perubahan kualitas air Waduk Saguling... 138

34. Perubahan kualitas air Waduk Cirata………. 139

35. Perubahan kualitas air Waduk Jatiluhur………. 140

36. Perubahan kualitas air baku (intake) PT. Tirta Dharma Purwakarta... 141

37. Perubahan kualitas air baku (intake) PT. Thames PAM Jaya Jakarta…… 142

38. Baku mutu kualitas air berdasarkan air berdasarkan PP Nomor 82 Tahun 2001……… 146

39. Produksi energi listrik PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur periode antara tahun 1993-2003... 154

40. Uji-t pengaruh VAML terhadap produksi listrik... 156

41. Produksi air minum PT. Tirta Dharma Purwakarta... 158

42. Produksi air minum PT. Thames PAM Jaya ... 159

43. Nilai penjualan energi listrik di PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur (1993-2003 )... 164

44. Biaya pemeliharaan peralatan produksi PLTA Saguling yang diduga paling rentan terhadap perubahan kualitas air... 167

(16)

ix

49. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih PT. Thames PAM Jaya tahun 1998-2005... 173 50. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih per m³ air

(17)

x

2. Identifikasi aktor-aktor ekonomi ... 8

3. Peta Wilayah Administrasi DAS Citarum ... 18

4. Sistem hidrologi dan sumberdaya air ... 21

5. Struktur Model GR4J ... 35

6. Hierarki valuasi ekonomi barang dan jasa lingkungan ... 40

7. Kurva permintaan yang identik dari 2 pengguna sumberdaya air... 47

8. Compensation and equivalent variation dikaitkan dengan kualitas lingkungan ………... 48

9. Kurva marginal WTP (CV dan EV) untuk kualitas lingkungan yang berbeda……….. 48

10. Kurva marginal WTP (CV dan EV) PLTA dan PDAM pada kondisi lingkungan tahun 1992, 1997 dan 2002... 49

11. Peta lokasi penelitian (Daerah Pengaliran Sungai Citarum)... 57

12. Struktur organisasi dan manajemen UBP Saguling ... 66

13. Struktur organisasi unit pembangkitan Cirata ... 75

14. Diagram alir analisis perubahan penutupan lahan (tataguna lahan)... 90

15. Peta tutupan lahan DAS Citarum 1992... 91

16. Peta tutupan lahan DAS Citarum 2002... 92

17. Grafik perubahan tutupan lahan DAS Citarum Wilayah Hulu 1992 dan 2002... 95

18. Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 – 2003 ... 105

19. Keragaman DAML di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 – 2003 ... 107

20. Karakteristik CH dan DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993... 108

21. Hubungan CH dan DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993... 109

(18)

xi

25. Grafik rasio Qmax-min tahun 1993-2003... 114 26. Keragaman DAK Harian di DAS Citarum Wilayah Hulu

Pada periode 1993 – 2003 ... 115 27. Grafik curah hujan tahunan, debit air keluar (DAK), dan volume air

keluar (VAK) PLTA Saguling... 117 28. Grafik curah hujan tahunan, debit air keluar (DAK), dan volume air

keluar (VAK) PLTA Cirata... 118 29. Grafik curah hujan tahunan, debit air keluar (DAK), dan volume air

keluar (VAK) PLTA Jatiluhur... 118 30. Grafik DMA bulanan rata-rata pada musim kemarau dan musim

hujan di ketiga waduk... 121 31. Karakteristik DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada

simulasi GR4J dengan menggunakan parameter model

hasil validasi tahun 1993 dan 2003 ... 125 32. Hubungan DAML simulasi DAS Citarum Wilayah Hulu tahun

1993 dan 2003... 126 33. Grafik volume air berdasarkan hasil simulasi GR4J (QS93 – QP03).... 128 34. Perkembangan volume sedimen waduk tahun 1993-2003... 129 35. Grafik perbandingan antara volume sedimen hasil pemeruman (3

waduk) dengan volume sedimen hasil simulasi (Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata, Sub DAS Jatiluhur dan DAS Citarum Wilayah

Hulu, 1993-2003) berdasarkan tahun inisial 1993... 132 36. Rata-rata produksi listrik Waduk Saguling, Cirata, dan

Jatiluhur tahun 1993-2003... 155 37. Karakteristik PEL harian di PLTA UBP. Saguling hasil

Simulasi pada kondisi tutupan lahan tahun 1993 dan 2003... 156

38. Hubungan PEL harian di PLTA UBP. Saguling hasil

(19)

xii

43. Hubungan pendapatan harian PLTA UBP. Saguling hasil

simulasi pada kondisi tutupan lahan tahun 1993 dan 2003... 166 44. Biaya marginal lingkungan 3 PLTA... 171 45. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih per m³ air

produksi tahun 1998-2005... 173 46. Biaya marginal lingkungan atau eksternalitas

PDAM Tirta Dharma dan PT. Thames PAM Jaya... 175 47. Kurva marginal WTP (CV dan EV) untuk kualitas lingkungan

(20)

xiii

3. BML : Biaya Marjinal Lingkungan 4. BOD : Biological Oxygen Demand

5. CDM : Clean Development Mechanism

6. CEMAGREF : Di Indonesia: Balai Penelitian Mekanisasi Pertanian 7. CER : Certified Emission Reduction

8. COD : Chemical Oxygen Demand

9. CoP : Conference of Parties

10. CV : Compensation Variation

11. CVM : Contingent Valuation Method

12. DAK : Debit Air Keluar 13. DAML : Debit Air Masuk Lokal 14. DAS : Daerah Aliran Sungai 15. DCC : Dam Control Center

16. DKI JAKARTA

: Daerah Khusus Ibukota Jakarta

17. DMA : Duga Muka Air 18. DO : Dissolved Oxygen

19. DTA : Daerah Tangkapan Air

20. ENSO : El Nino and Shoutern Occeeation

21. ETM : Enhanced Thematic Mapper

22. ETP : Evapo tranpirasi Potensial 23. EV : Equivalent Variation

24. FAO : Food and Agriculture Organization

25. FMIPA : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 26. GITET : Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi

27. GR4J : Genie Rural 4 (parameter) Journalier

28. Gwh : Giga watt hour

(21)

xiv

34. KPH : Kesatuan Pemangkuan Hutan 35. KPP : Kantor Pelayanan Pelanggan 36. KWh : Kilo Watt hour

37. Litbang : Penelitian dan Pengembangan 38. LS, BT : Lintang Selatan, Bujur Timur

39. LULUF : Land Use and Land Use Change and Foresty

40. MCK : Mandi, Cuci, Kakus 41. MWh : Mega Watt hour

42. NET : Nilai Ekonomi Total

43. NRM : National Resource Management

44. OECF : Overseas Economic Cooperation and Fund

45. PAM : Perusahaan Air Minum 46. PAS : Prior Appropriation System

47. PDAM : Perusahaan Daerah Air Minum 48. PJB : Pembangkit Jawa Bali

49. PJT – II : Perusahaan Umum Jasa Tirta – II 50. PLN : Perusahaan Listrik Negara 51. PLTA : Pembangkit Listrik Tenaga Air 52. POJ : Perusahaan Umum Otorita Jatiluhur 53. PPSDA

LP UNPAD

: Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan – Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran

54. RMU : Remove Unit

55. RS : Riparian System

56. SD : Sekolah Dasar 57. SDM : Sumberdaya Manusia

58. SUTET : Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi 59. SWC : Standard Water Convertion

(22)

xv

65. UNDP : United Nation For Development and Programm

66. UPC : Unit Pembangkit Cirata 67. VAK : Volume Air Keluar 68. VAML : Volume Air MAsuk Lokal 69. WALHI : Wahana Lingkungan Hidup 70. WTA : Willingness to Accept

(23)

penting dan strategis bagi Provinsi Jawa Barat pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. DAS Citarum DS memiliki luas total 1,348 juta ha (13.480 km²) merupakan 48% dari luasan Jawa Barat (Departemen Kehutanan, 1990) dan dihuni oleh sekitar 60% penduduk, di dalamnya mengalir sungai Citarum dengan panjang 300 km (mulai dari dataran Bandung hingga Bekasi) dengan potensi sumberdaya air total 12,95 milyar m³ per tahun. Selain itu, di dalam DAS Citarum terdapat tiga waduk yaitu Saguling di wilayah hulu, Cirata di wilayah tengah dan Jatiluhur-Juanda di wilayah hilir. Air DAS Citarum tersebut 7,65 miliar m³ (59,07%) sudah dikelola atau dimanfaatkan sedangkan 5,35 miliar m³ belum dikelola. Penggunaan air terkelola 62% dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan irigasi, 23,9% pembangkit listrik tenaga air (PLTA), 6% air baku perusahaan air minum (PDAM), 2,3% rumah tangga dan industri dan 5,89% penggunaan lain-lain. (PJT II, 2005, Indonesia Power, 2002).

Laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan di segala sektor yang tinggi telah menyebabkan tekanan yang sangat besar terhadap sumberdaya alam dan lingkungan sehingga menurunkan daya dukung wilayah Jawa Barat, terutama perubahan tataguna lahan dan konversi hutan (land use change and forestry). Gabel dan Folmer (2000) menyatakan bahwa besarnya dampak lingkungan yang terjadi adalah perkalian jumlah penduduk dengan konsumsi perkapita dan kerusakan lingkungan per unit konsumsi, dengan notasi I = PCB (I = dampak, P= penduduk, C= konsumsi, B= kerusakan lingkungan per unit konsumsi). Dari rumus tersebut dapat diketahui bahwa pertambahan penduduk akan menyebabkan peningkatan konsumsi dan peningkatan laju kerusakan lingkungan dan pada akhirnya berimplikasi pada besarnya dampak lingkungan yang terjadi.

(24)

orang pada tahun 2001 menjadi 7,3 juta orang pada tahun 2010. Akumulasi dampak negatif dari kegiatan antropogenik telah menimbulkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan pemanasan global serta perubahan iklim (global warming and climate change). Keadaan tersebut menyebabkan hujan turun secara tidak merata baik dari segi jumlah maupun distribusi dan sulit untuk diprediksi. Pemanasan global dan perubahan iklim tersebut menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap ketersediaan air untuk berbagai penggunaan seperti kebutuhan rumahtangga, irigasi pertanian dan industri. Sebagai contoh, Pawitan (2003) menyatakan bahwa telah terjadi selisih 1.000 mm rataan curah hujan tahunan antara dua periode pengamatan (1931-1960 dan 1968-1988) pada banyak stasiun di sepanjang Jawa bagian selatan dan untuk daerah aliran sungai (DAS) Citarum mengalami kecenderungan penurunan curah hujan periode pengamatan 1896-1994 sebesar 10 mm per tahun.

Hasibuan (2005) menyatakan bahwa kondisi DAS Citarum khususnya wilayah hulu telah mengalami degradasi kualitas lingkungan yang sangat berat berupa perubahan tataguna lahan dan konversi hutan, fluktuasi debit air tinggi, dan pencemaran air berat. Peningkatan luas lahan kritis di daerah tangkapan akan menyebabkan menurunnya kapasitas serap dan simpan lahan terhadap air dan menimbulkan aliran permukaan (surface run off), sehingga menyebabkan banjir pada musim hujan dan kering pada musim kemarau. Laju erosi dan sedimentasi yang terjadi sebesar 2,22 mm per tahun di Saguling telah melewati ambang batas toleransi sebesar 0,8-1,0 mm per tahun.

(25)

Terjadinya krisis air baik dalam kuantitas dan kualitas, disebabkan oleh pengelolaan DAS yang tidak tepat. Arsyad (2000), Pagiola, et al (2002), Asdak (2004) dan Kodoatie dan Sjarief (2005) menyatakan bahwa kondisi air merupakan parameter kunci dalam menilai keberhasilan pengelolaan DAS yang dicirikan oleh beberapa faktor yaitu:

1. Kuantitas air. Pada umumnya kuantitas air sangat berkaitan dengan jumlah curah hujan, kondisi penutup dan tataguna lahan. Semakin tinggi perbandingan antara luas lahan tertutup vegetasi dengan total luas lahan, maka tingkat ketersediaan air akan semakin besar, demikian sebaliknya. Kondisi ini dapat dilihat pada besarnya air limpasan permukaan dan debit air sungai. 2. Kualitas air. Kondisi kualitas air dalam DAS sangat dipengaruhi oleh penutup

lahan, limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertanian (pola tanam, pemupukan dan pestisida). Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai, waduk dan sumur.

3. Perbandingan debit maksimum dan debit minimum. Kondisi ini mencirikan kemampuan DAS menyimpan air (saat musim hujan) dan mengalirkannya terus-menerus (kontinuitas) walaupun musim kemarau dengan fluktuasi debit yang kecil. Kemampuan lahan menyimpan air sangat tergantung pada kondisi dan distribusi penutup lahan serta tanah.

(26)

penelitian tentang kondisi atau status lingkungan (state of nature) terkini DAS Citarum Wilayah Hulu dan pengaruhnya terhadap biaya eksternalitas pengguna air seperti PLTA dan PDAM.

Untuk menjawab tujuan penelitian, dikembangkan hipotesa dan pertanyaan penelitian. Hipotesa penelitian adalah sebagai berikut :

1. Selama periode 1993-2003 DAS Citarum Wilayah Hulu telah mengalami perubahan penutup lahan;

2. Perubahan penutup lahan tersebut telah menyebabkan perubahan karakteristik hidrologis;

3. Perubahan karakteristik hidrologis telah menimbulkan biaya eksternalitas bagi pengguna air;

sedangkan pertanyaan penelitian adalah :

Berapa besar biaya eksternalitas pengguna air Citarum sebagai akibat degradasi kualitas lingkungan ?

1.2. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dan pendekatan penelitian terdiri dari pendekatan ekosistem dan identifikasi terhadap aktor-aktor ekonomi. Pada Gambar 1 ditampilkan kerangka pemikiran penelitian dengan pendekatan ekosistem.

1.2.1. Pendekatan Ekosistem

(27)

Tanah Fisik Hujan

Iklim

Hutan Biologi

Manajemen Manusia

EKOSISTEM DAS

REPLACEMENT

COST

Debit Fluktuasi

Biologi

Fisik dan Kimia

Sedimen

KUANTITAS DAN KUALITAS

AIR

Penggunaan Bahan Kimia BIAYA MARGINAL LINGKUNGAN

Kehilangan Produksi Pemeliharaan turbin,

waduk, kolam Keterangan :

--- : Pengaruh parsial : Pengaruh kolektif

: Pengaruh antar ekosistem

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian dengan pendekatan ekosistem.

(28)

pengguna (pemanfaat) sumberdaya air baik sebagai sumberdaya energi bagi PLTA maupun sumber air baku air minum bagi PDAM dalam menghasilkan produknya. Beberapa dampak yang ditimbulkannya antara lain adalah meningkatnya biaya pemeliharaan peralatan dan waduk atau kolam tampung, meningkatnya penggunaan bahan kimia dan muaranya adalah potensi kehilangan produksi semakin besar setiap tahunnya. Keadaan ini akan menyebabkan kerugian bagi PLTA dan PDAM.

Tindakan konservasi di wilayah hulu DAS sangat diperlukan untuk dapat memperbaiki dan memulihkan kualitas sumberdaya air yang dihasilkan oleh DAS, agar laju pertumbuhan kerugian PLTA dan PDAM dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan atau mendatangkan keuntungan. Konservasi tersebut membutuhkan biaya yang besar dengan waktu yang relatif lama. Untuk itu diperlukan suatu valuasi ekonomi dikaitkan dengan pengguna jasa lingkungan.

Komponen ekosistem yang divaluasi adalah :

1. Perubahan tataguna lahan dan penutup hutan (land use change and forest) pada tahun 1992 dan 2002. Pemilihan tataguna lahan dan hutan sebagai komponen yang dianalisa dikarenakan tataguna lahan dan hutan merupakan komponen ekosistem yang paling sensitif dan fragile serta berdampak penting baik on-site maupun off-site. Proses perubahan terjadi di wilayah hulu DAS. 2. Kuantifikasi perubahan karakteristik hidrologis (fisik, kimia dan biologi) yang

terdapat dalam waduk PLTA dan kolam tampung (PDAM) dan perubahan karakteristik hidrologis DAS (debit dan fluktuasi). Pemilihan parameter fisik, kimia, biologi, sedimen dan debit air dikarenakan parameter tersebut merupakan indikator utama dalam menilai kesehatan ekosistem dan tingkat pengelolaan DAS. Proses ini terjadi di wilayah tengah (transisi) DAS.

(29)

tingkat pendapatan tertentu. Pada tahapan ini dilakukan identifikasi jenis jasa lingkungan (environmental services) yang menyebabkan tambahan biaya dalam proses produksi. Proses ini terjadi di wilayah hilir DAS.

4. Penetapan besarnya biaya marjinal lingkungan atau biaya eksternalitas untuk setiap output produksi para pengguna PLTA atau PDAM. Nilai tersebut merupakan nilai ekonomi jasa lingkungan yang dapat dijadikan sebagai biaya pengganti (replacement cost) bagi perbaikan lingkungan di wilayah hulu DAS, dengan penggunaan harga bayangan (shadowprice). Penggunaan harga pasar memang akan menyebabkan underprice bagi perhitungan nilai jasa lingkungan, tetapi sangat berguna dalam memberikan gambaran willingness to pay pengguna jasa lingkungan. Proses ini merupakan umpan balik (causal loop) ke ekosistem DAS.

1.2.2. Identifikasi Aktor-Aktor Ekonomi

Pendekatan ekonomi dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi aktor-aktor ekonomi yang terlibat (sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2) dan perilakunya baik yang berada di DAS wilayah hulu maupun di wilayah hilir dalam penggunaan jasa lingkungan.

1.3. Perumusan Masalah

Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terdapat interaksi antara komponen penyusunnya yaitu komponen biologis (vegetasi), komponen fisik (tanah), komponen klimatologis (hujan) dan manusia (pengelola). Komponen-komponen tersebut saling terkait (intercorrelation),

saling tergantung (interdependent), terdapat aliran bahan dan energi (flow of material and energy) dan membentuk suatu sistem ekologis (system).

Terjadinya gangguan atau kerusakan pada salah satu komponen ekosistem tersebut menyebabkan gangguan pada keseluruhan sistem. Dari keempat komponen tersebut, komponen vegetasi (penutup lahan) merupakan faktor yang paling sensitif terhadap perubahan dan memiliki dampak yang lebih besar dan luas kepada komponen ekosistem lainnya (Purwanto dan Ruitjer, 2004 dalam

(30)
[image:30.612.126.500.183.488.2]

menyebabkan degradasi kualitas jasa lingkungan di daerah hilir berupa peningkatan laju erosi dan sedimentasi, fluktuasi debit air yang semakin besar, dan kualitas air yang semakin menurun.

Gambar 2. Identifikasi aktor – aktor ekonomi.

Hasil kajian FAO/UNDP (1990) memperkirakan bahwa 8 dari 15 satuan wilayah sungai (SWS) yang ada di Jawa dan Madura telah mencapai kondisi kritis dalam penyediaan air baik dari aspek kuantitas, kualitas maupun kontinuitas dan mengalami defisit air yang serius di musim kemarau. Faktor penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan DAS terutama di daerah hulu berupa perubahan tataguna lahan terutama hutan dan pencemaran lingkungan. Keadaan tersebut meningkatkan erosi, sedimentasi, pencemaran kimiawi air sungai atau waduk dan menyebabkan pendangkalan waduk dan korosivitas pada turbin dan sangat merugikan PLTA (PJT–II, 2002). Oleh karena itu, pengelolaan DAS wilayah

HULU

HILIR 1

HILIR 2

Wil. Hulu

Up-stream

Produsen-1

Supplier-1

WTP-1/WTA-1

PJT - II

Wil. Hilir-1

In-stream

Demander-1

Konsumen-1

Supplier-2

WTP-2/WTA-2

R – Cost 1

PLTA & PDAM

Wil. Hilir-2

Down-stream

Konsumen-2

End-user

WTA-3/WTP-3
(31)

hulu sangat penting dan strategis bagi pembangkit listrik tenaga hidro seperti PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur, disamping juga manfaat yang sangat besar bagi irigasi pertanian, perikanan dan penyedia air bersih untuk minum bagi kebutuhan rumahtangga seperti perusahaan air minum (PAM).

Sanim (2003) menyatakan bahwa 52% air tanah digunakan sebagai bahan air baku PAM. Angka ini jauh di atas pemakaian sungai yang hanya 23% digunakan sebagai sumber bahan air baku. Sejak tahun 1984 pemakaian air sungai oleh PAM sebagai bahan baku air bersih mengalami kenaikan tajam dari 28 unit pada tahun 1978 menjadi 100 unit pada tahun 1984 dan terus meningkat sampai tahun 1990. Apabila dilihat kecenderungan pemakaian, maka air sungai menunjukkan kenaikan yang lebih tajam daripada pemakaian air tanah (mata air) sebagai bahan air baku PAM. Mengingat kecenderungan penggunaan air sungai sebagai bahan baku air PAM tampak naik dengan tajam setelah tahun 1984, maka pemerintah harus mengambil langkah pengamanan terhadap sungai sebagai sumber air PAM agar tidak tercemar. Dalam jangka pendek pencemaran membawa dampak negatif terhadap biaya produksi air bersih dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan penurunan produktivitas kerja penduduk akibat terkontaminasi dengan air tercemar.

Terjadinya pencemaran air sungai telah menyebabkan tingginya biaya yang dikeluarkan oleh PAM dalam mengelola air baku. Keadaan tersebut diperparah oleh krisis ekonomi yang dimulai sejak tahun 1997, sehingga berdampak keberadaan perusahaan daerah air minum (PDAM). Sebanyak 87 dari 303 PDAM di Indonesia berada dalam keadaan kritis (Anonim, 1999 dalam

(32)

Permasalahan lingkungan hidup timbul disebabkan adanya interaksi yang tidak harmonis antara aktivitas ekonomi dengan eksistensi dan terbatasnya kapasitas sumberdaya alam dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia. Semakin besar jumlah dan eksploitasi sumberdaya alam itu, dampaknya terhadap degradasi kualitas lingkungan juga cenderung meningkat menurut dimensi ruang (lokal, regional dan global) dan waktu (jangka panjang) terhadap lingkungan (Tietenberg, 1992). Kasus di daerah aliran sungai merupakan bukti nyata, aktivitas di hulu seperti penebangan pohon secara liar (illegal logging), pertanian non-konservasi, kegiatan rumahtangga, menimbulkan dampak negatif di daerah hilir seperti penurunan kualitas air, erosi dan sedimentasi (Landell-Mills dan Porras, 2002).

Untuk menyeimbangkan antara hulu dan hilir, maka aktivitas ekonomi dan pelestarian lingkungan harus mendapatkan perhatian yang sejajar. Kegiatan produksi dan ekonomi di hulu harus memperhatikan aspek kelestarian dan keselamatan di daerah hilir. Kerusakan lingkungan di daerah hulu merupakan keuntungan ekonomi yang hilang karena adanya biaya yang ditimbulkan atau diperlukan untuk perbaikan seperti keadaan semula. Sebaliknya perbaikan kualitas lingkungan merupakan keuntungan ekonomi karena terhindarnya biaya yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan. Estimasi nilai kerusakan lingkungan melibatkan penilaian moneter untuk menggambarkan nilai sosial dari perbaikan

kondisi lingkungan atau biaya sosial dari kerusakan lingkungan (Pearce et. al, 1994). Pengalaman negara-negara Philippina (Francisca, 2003;

Jensen, 2003; Rosales, 2003; Salas, 2004), Vietnam (Bui et. al, 2004), dan Sri Lanka (Kallesoe, 2004) telah membuktikan bahwa perbaikan kondisi lingkungan di daerah hulu DAS sangat menguntungkan pengguna air di daerah hilir.

(33)

manfaat pengelolaan lingkungan atau kerugian dan biaya kerusakan lingkungan berada di luar sistem pasar.

Aplikasi ekonomi lingkungan ke dalam pengambilan kebijakan perlindungan dan perbaikan lingkungan menghadapi beberapa permasalahan seperti sulitnya mengidentifikasi dan mengkuantifikasi jasa lingkungan, valuasi keuntungan dan biaya serta faktor diskonto (discounting factor). Dampak lingkungan dari pengelolaan DAS mempunyai kompleksitas yang tinggi terutama dalam mengintegrasikan dan mengkuantifikasi nilai ekonomi dampak pada tapak (on-site) dan di luar tapak (off-site) dan kesulitan dalam menilai keterkaitan atau hubungan antara hulu dan hilir DAS. Pemilihan metode atau teknik valuasi ekonomi jasa lingkungan DAS terutama off-site stream impact sangat penting untuk mendapatkan data dan informasi yang berguna bagi pengambil kebijakan dalam perbaikan pengelolaan ekosistem DAS.

Pelibatan sebanyak mungkin pemangku kepentingan (stakeholders) secara bersama-sama bertanggung jawab dalam penjagaan kawasan lindung (guardianship) dan pengelolaan sumberdaya alam (stewardship) melalui mekanisme pembayaran (transfer payment) dari pengguna air di wilayah hilir (PLTA dan PDAM) kepada penyedia jasa lingkungan (environmental services) sebagai biaya pengganti (replacement cost) merupakan hal yang sangat penting bagi perbaikan lingkungan DAS, terutama di daerah hulu.

Dari uraian terdahulu, maka perumusan masalah adalah sebagai berikut : 1. Perubahan tataguna lahan terutama hutan telah menyebabkan kerusakan

ekosistem DAS Citarum terutama wilayah hulu, sehingga menurunkan kualitas jasa lingkungan yang dihasilkannya seperti pengaturan tata air (debit dan fluktuasi), kualitas air (kimia, fisika dan biologi) dan erosi serta sedimentasi.

(34)

(PLTA), pengerukan sedimen (PLTA dan PDAM), pemakaian bahan kimia (PDAM), pemeliharaan mesin produksi dan pipa distribusi (PDAM). Kehilangan produksi untuk berproduksi maksimal secara konstan antara lain disebabkan debit air rendah (musim kemarau), debit air besar (musim hujan) tidak termanfaatkan maksimal, turbin dan mesin pabrik tidak dapat dioperasikan maksimal.

3. Untuk mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan yang dihasilkan oleh DAS dilakukan valuasi ekonomi. Mengingat jasa lingkungan merupakan public goods, penilaian dilakukan secara tidak langsung (indirect valuation) yaitu dengan menghitung nilai ekonomi total dampak kerusakan ekosistem DAS terhadap pengguna air (PLTA dan PDAM) dengan menggunakan metode atau teknik valuasi biaya pengganti (replacement cost method).

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah :

1. Menganalisis perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu.

2. Menganalisis pengaruh perubahan penutup lahan terhadap karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu.

3. Menganalisis pengaruh perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap biaya eksternalitas bagi pengguna air Citarum.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai :

1. Dasar bagi penetapan besarnya nilai ekonomi jasa lingkungan DAS dikaitkan dengan pengguna air.

2. Dasar bagi penyusunan kebijakan, peraturan dan pengambilan keputusan dalam bidang pengelolaan DAS.

(35)

4. Dapat dijadikan sebagai tolok ukur data (benchmarking data) bagi penelitian selanjutnya dalam bidang jasa lingkungan DAS untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

1.6. Novelty (Kebaruan)

Sutjahjo dan Herison (2006) menyatakan bahwa novelty adalah hal–hal baru yang belum pernah ditemukan atau dilakukan pada penelitian sebelumnya.

Novelty dalam penelitian dapat berupa pembaruan pendekatan (approach), obyek penelitian atau pendekatan dan obyek. Novelty penelitian ini :

1. Objek penelitian dilakukan secara komprehensif terhadap pengaruh kualitas lingkungan bagi eksternalitas biaya pengguna sumberdaya air dimulai dari wilayah hulu, tengah hingga hilir.

2. Penggunaan volume air hasil simulasi model GR4J untuk menduga sedimentasi, produksi energi listrik dan perubahan biaya eksternalitas pengguna air.

3. Diperolehnya besaran biaya eksternalitas setiap output pengguna air (Rp/MWh energi listrik yang dihasilkan PLTA atau Rp/m³ air minum yang dihasilkan PDAM).

1.7. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup wilayah penelitian adalah DAS Citarum Wilayah Hulu (Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur) yang terdiri dari wilayah hulu, tengah dan hilir. Wilayah hulu merupakan wilayah konservasi, produsen atau supplier jasa lingkungan. Wilayah tengah merupakan wilayah transisi hulu-hilir, distributor jasa lingkungan, wilayah budidaya dan permukiman. Wilayah hilir umumnya merupakan wilayah budidaya, industri, permukiman dan pengguna atau demander jasa lingkungan.

(36)

aktor ekonomi, pengguna air komunitas hulu dan komunitas hilir. Pengguna air komunitas hulu adalah pengguna air yang berada paling dekat dengan sumber air, sedangkan pengguna air komunitas hilir adalah pengguna air yang berada paling jauh dengan sumber air. Penilaian ekonomi pengaruh perubahan kualitas lingkungan terhadap biaya produksi dan efisiensi ekonomi PLTA dan PDAM menggunakan harga bayangan (shadow price) dengan teknik valuasi replacement cost.

Penelitian yang dilakukan merupakan analisis pengaruh kualitas lingkungan DAS Citarum terhadap biaya eksternalitas terhadap penggunaan sumberdaya air oleh PLTA (Saguling, Cirata, Jatiluhur) dan PDAM (Purwakarta, DKI Jakarta). Air yang dimaksud adalah air yang terdapat, mengalir di Sungai Citarum dan ketersediaannya baik dalam jumlah maupun mutu. Aspek ekonomi yang dikaji didasarkan besarnya tambahan biaya yang harus dikeluarkan pengguna air di wilayah hilir sebagai akibat degradasi kualitas jasa lingkungan yang dihasilkan oleh wilayah hulu. PLTA dan PDAM adalah merupakan konsumen jasa lingkungan dan wilayah (masyarakat) hulu adalah penyedia. Analisis data dan informasi diarahkan untuk menentukan besarnya biaya tersebut untuk setiap unit output produksi dengan menggunakan metode atau teknik valuasi biaya pengganti.

Keterbatasan penelitian ini terutama berkaitan kurangnya data dan informasi tentang hubungan antara penutup lahan dengan karakteristik hidrologis DAS luasan besar pada kerangka waktu (time frame) yang lama, misalnya 30–50 tahun. Kecuali itu, keterbatasan lainnya adalah minim-nya data-data teknis berkaitan dengan hubungan antara debit, volume air, sedimentasi serta kualitas air terhadap peralatan dan produksi PLTA dan PDAM, sehingga menyulitkan dalam menganalisis kecenderungan (trend analysis) yang terjadi. Keterbatasan lain penelitian ini adalah ketersedian waktu dan dana yang terbatas serta keterbatasan pengetahuan khususnya bidang ketehnikan kelistrikan dan pengolahan air, sehingga menyulitkan dalam melakukan analisis dan pembahasan yang lebih mendalam dan menyeluruh.

(37)

Menurut Undang-Undang RI No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air pasal 1 ayat 11, daerah aliran sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batasnya di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Daerah aliran sungai merupakan satu kesatuan ekosistem alam yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) dan membentuk tatanan hidro-orologis yang spesifik. Pada dasarnya, daratan Indonesia habis dibagi dalam wilayah DAS. Departemen Kehutanan (1990) menetapkan 61 DAS kritis yang terdiri dari 39 Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS prioritas dan 22 SWP DAS super prioritas dan termasuk di dalamnya DAS Citarum.

Umumnya, DAS dibagi menjadi tiga wilayah yaitu hulu, tengah dan hilir. Asdak (2004) mencirikan bagian hulu sebagai daerah konservasi, berkerapatan drainase tinggi, memiliki kemiringan topografi besar. Bagian hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase rendah, kemiringan lahan kecil, dan sebagian diantaranya merupakan daerah banjir. Bagian tengah merupakan transisi di antara hulu dan hilir. Masing-masing bagian tersebut saling berkaitan, bagaian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi. Hubungan antara masukan dan keluaran dari DAS yang bersangkutan dapat dipakai untuk menganalisis dampak suatu aktivitas terhadap lingkungan, terutama pengaruhnya di daerah hilir.

(38)

memberikan manfaat secara optimal dan berkelanjutan (sustainable). Analisis biaya-manfaat sering digunakan sebagai alat bantu kebijakan dalam pengelolaan lingkungan (Pearce, et al 1994).

Tideman (1996) menyatakan bahwa pengelolaan DAS adalah pemanfaatan secara rasional sumberdaya lahan dan air untuk produksi maksimum dengan resiko kerusakan minimum terhadap sumberdaya alami. Setiap masukan ke dalam DAS mengalami proses interaksi dan berlangsung dalam ekosistem. Sebagai contoh, curah hujan, bahan terlarut kimiawi dan erosi merupakan masukan ke dalam ekosistem DAS, sedangkan debit air, sedimen dan limbah cair merupakan keluarannya. Vegetasi, tanah dan saluran air atau sungai merupakan komponen DAS yang berfungsi sebagai prosesor. Pengelolaan DAS bertujuan untuk dapat menghasilkan produk air atau tata air yang baik bagi kepentingan pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perindustrian dan masyarakat, seperti air minum, irigasi, industri, tenaga listrik dan pariwisata. Untuk itu, pengelolaan bertujuan melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara rasional agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan dan diperoleh kondisi tata air yang berkualitas (Manan, 1977). Kondisi DAS bagian hulu yang baik sangat diperlukan karena berbagai alasan (PJT II, 2002) diantaranya:

1. Bagi PLTA

Pencemaran air sungai yang terus meningkat akan menyebabkan korosi pada mesin turbin dan peralatan dari bahan logam lainnya, sehingga menurunkan produktivitas energi listrik, menurunkan umur pakai dan menimbulkan biaya pemeliharaan yang besar. Erosi, banjir dan tanah longsor menyebabkan pendangkalan pada waduk, sehingga menurunkan kapasitas terpasang turbin (daya dorong air rendah), menurunkan umur pakai waduk, menimbulkan biaya pengerukan yang tinggi dan juga akan menurunkan produksi energi listrik. 2. Bagi PDAM

(39)

menaikkan harga jual, menurunkan margin keuntungan dan di sisi lain menurunkan pangsa pasar (market share) konsumen air.

3. Bagi irigasi

Pertanian sangat membutuhkan sistem irigasi yang memadai dan dapat mengalirkan air dalam jumlah, kualitas dan kontinuitas yang terjamin, sehingga memberikan kepastian penentuan musim tanam, peningkatan masa budidaya (indeks pertanaman) dan prakiraan hasil panennya.

4. Bagi perikanan

Pencemaran air sungai sangat merugikan usaha perikanan terutama perikanan jaring apung di waduk. Kerugian terbesar umumnya disebabkan naiknya air dalam ke permukaan (upwelling) sebagai akibat banjir dari hulu dan terjadinya denitrifikasi.

5. Bagi pariwisata

Waduk yang luas dan air yang bersih merupakan tempat wisata yang sangat menarik dan dapat dijadikan sebagai fasilitas olahraga air. Keadaan ini memberikan nilai ekonomi yang cukup besar bagi pengelola waduk.

Menurut Alikodra (2000), pengelolaan DAS secara terpadu merupakan jawaban atas permasalahan yang dihadapi, yaitu dengan :

1. Menyiapkan sumberdaya manusia (SDM) dan institusi pengelola,

2. Integrasi dengan pemerintah daerah, mengembangkan data dasar (database) dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders),

3. Menggunakan sumberdaya air dan sumberdaya alam lainnya secara berkelanjutan,

4. Melindungi air dari pencemaran dan mempertahankan debit air sungai sesuai daya dukung optimalnya,

5. Mempertahankan keanekaragaman biota perairan sungai, 6. Menerapkan pola produksi bersih,

(40)
[image:40.612.124.504.152.436.2]

PDAM Purwakarta, PT. Thames PAM Jaya Jakarta, irigasi pertanian dan perikanan. Peta Wilayah Administrasi DAS Citarum disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta Wilayah Administrasi DAS Citarum.

Ada tiga pokok penting dalam pengelolaan DAS (Sheng, 1968), yang berinteraksi satu dengan yang lain secara terpadu dan menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat sebagai titik sentralnya. Ketiga faktor itu adalah air, lahan dan pengelolaan. Interaksi ketiga faktor tersebut secara optimal akan menghasilkan air dan tata air yang cukup sepanjang waktu baik kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, indikator dalam menilai interaksi dalam sistem pengelolaan DAS adalah :

1. Indikator ekonomi, yaitu pengelolaan yang mampu mendukung produktivitas optimal bagi hajat hidup dan kepentingan orang banyak.

(41)

3. Indikator lingkungan, yaitu pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk tidak terdegradasi.

4. Indikator teknologi, yaitu pengelolaan yang mampu memberikan nilai tambah bagi penggunaan sumberdaya alam.

2.2. Sistem Hidrologi dan Sumberdaya Air

Pada sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik serta berkaitan dengan komponen utamanya seperti jenis tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng. Karakteristik DAS tersebut dapat merespon curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dan dapat memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya evapo-transpirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai (Ffolliot, 1981). Pengetahuan tentang proses-proses hidrologi yang berlangsung dalam ekosistem DAS bermanfaat bagi pengembangan sumber daya air. Dalam sistem hidrologi ini peranan vegetasi sangat penting artinya karena kemungkinan intervensi manusia terhadap komponen lingkungan tersebut sangat besar. Vegetasi dapat merubah sifat tanah dalam hubungannya dengan air, dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah, dan dengan demikian, mempengaruhi besar kecilnya aliran air permukaan (Asdak, 2004).

Penelitian mengenai aspek kelembagaan dan partisipasi dalam pengelolaan DAS secara terpadu telah dilakukan oleh Kolopaking (1998). Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara pengelolaan DAS terpadu dengan perhutanan sosial berdimensi skala ekonomi yang melibatkan tiga pihak yaitu pemerintah (Departemen Kehutanan), swasta dan masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Walaupun telah terjadi pengurangan curah hujan global, tetapi dengan adanya pemanasan suhu permukaan laut akan terjadi peningkatan penguapan dan tentunya diikuti oleh peningkatan curah hujan. Pengaruh peningkatan gas rumah kaca terutama gas CO2 dan penggundulan hutan

(42)

Salah satu indikator penting yang dapat digunakan untuk menunjukkan perubahan iklim global adalah dari kecenderungan data aliran DAS yang ada di dunia. Sulandari (2005) menyatakan bahwa Chief dan McMahon telah melakukan pengujian statistik terhadap data historis debit puncak dan volume aliran dari 142 sungai di dunia dengan data 50 sampai dengan 162 tahun dan luas DAS seribu km² sampai delapan juta km², dan sampai pada kesimpulan bahwa walau didapatkan terjadinya kecenderungan dan perubahan nyata dalam sejumlah lokasi, namun tidak diperoleh konsistensi untuk seluruh wilayah. Dalam sejumlah kasus dimana kecenderungan tersebut terjadi, perubahan kondisi biofisik DAS akan dapat menyebabkan adanya ketidakpastian ketersediaan air di masa depan dalam kaitannya dengan perubahan iklim global (Boer, 2003). Secara umum sistem hidrologi suatu DAS disajikan pada Gambar 4.

Menurut Sanim (2003) air memiliki nilai sebagai barang (instrumental value) dan juga memiliki nilai lain seperti sosial, kultural dan lingkungan (intrinsic value). Air memiliki sifat terbuka (open access) dan menjadi milik umum (public good), maka sumberdaya air mudah sekali mengalami perubahan dalam kuantitas dan kualitas sebagai akibat dari ketidakjelasan hak-hak atas pengelolaan dan pemanfaatannya. Di daerah hilir, air digunakan sebagai sumber daya dalam berbagai bentuk penggunaan dengan skala yang bervariasi, diantaranya sebagai sumberdaya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan sebagai sumber bahan baku air minum (PDAM). Di daerah hulu, air digunakan sebagai sumber air minum rumahtangga dan kebutuhan irigasi pertanian dan perikanan. Menurut Anwar (1995) sumberdaya air memiliki karakteristik-karakteristik khusus sebagai berikut :

(43)
[image:43.612.121.508.112.336.2]

Gambar 4. Sistem hidrologi dan sumberdaya air (Sumber : Asdak, 2004).

2. Sifat skala ekonomi yang melekat dalam penyimpanan, penyampaian dan distribusi air.

3. Penawaran air berubah-ubah menurut waktu, ruang dan kualitas dalam keadaan kekeringan dan banjir sumberdaya air ini hanya dapat ditangani oleh pemerintah untuk kepentingan umum.

4. Kapasitas dan asimilasi dari badan air, zat cair mempunyai daya larut untuk mengasimilasikan berbagai zat padat tertentu selama daya asimilasinya tidak terlampaui.

5. Penggunaannya bisa dilakukan secara beruntun ketika mengalir dari hulu ke hilir sampai ke laut, dan dengan beruntunnya penggunaan air selama perjalanan alirannya akan merubah kuantitas dan kualitasnya.

6. Penggunaannya yang serba guna, dengan kegunaannya yang banyak tersebut maka pihak individu dapat memanfaatkannya dan sisanya menjadi barang umum.

(44)

2.3. Kerusakan Ekosistem DAS

Munadi (2001) menyatakan bahwa pengkajian kerusakan dapat dilakukan pada beberapa ukuran yaitu waktu terjadinya kerusakan, besarnya kerusakan dan struktur kerusakan yang terjadi, dilihat dari organisme penghuni ekosistem. Kerusakan akan berakibat ketidakseimbangan ekosistem dan akan mempengaruhi ekosistem itu sendiri dan ekosistem lainnya. Permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar sungai yaitu kerusakan daerah sekitarnya dan tingginya tingkat pencemaran. Belum terintegrasinya pengelolaan wilayah hulu dan hilir, yang mengakibatkan pencemaran lingkungan dan pendangkalan pada bagian hilir. Penyebabnya adalah lemahnya pengendalian pembangunan pada wilayah hulu dan sepanjang daerah aliran sungai (misal pemanfaatan kawasan lindung untuk permukiman). Terjadinya konflik pemanfaatan ruang yang sifatnya lintas daerah otonom yang saling berbatasan (Yunus, 2005).

Aktivitas manusia cenderung mengarah pada pengrusakan dalam mengeruk sumberdaya alam yang tersedia. Rangkaian tindakan pengrusakan terhadap alam masih marak dilakukan dan mungkin akan terus mewarnai kehidupan masyarakat (Muhammad dan Nuryani, 2002). Kerusakan DAS tidak bisa terlepas dari rusaknya hutan di daerah hulu. Kerusakan hutan khususnya yang berfungsi sebagai kawasan lindung akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu dan hilir, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir, mengganggu siklus hidrologis, serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang (Depkimpraswil, 2003). Kejadian banjir yang terus berulang merupakan hasil dari kerusakan sistem dalam hal ini adalah daerah aliran sungai (Irianto, 2003).

(45)

alam secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek pelestariannya dengan sendirinya meningkatkan tekanan-tekanan terhadap kualitas lingkungan hidup yang pada akhirnya pasti akan mengancam swasembada atau kecukupan pangan segenap penduduk, kondisi pemerataan pendapatan serta potensi pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang. Kerusakan lingkungan seperti DAS akan menurunkan produktivitas sumberdaya alam serta memunculkan berbagai macam masalah kesehatan dan gangguan kenyamanan hidup (Todaro, 2000).

Dalam tinjauan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang dikeluarkan setiap tahun, memprediksikan dan memperingatkan akan terjadinya bencana lingkungan akibat kerusakan lingkungan hidup yang sudah sedemikian parahnya. Kepulauan Indonesia mengalami perubahan kondisi lingkungan hidup dan ekosistem yang sangat cepat dan masif. Pola pengembangan ekonomi yang bertumpu pada pengurasan sumberdaya alam dan mengabaikan faktor kelestarian ekosistem mengakibatkan perubahan bentang alam. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia, 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor. Kejadian banjir menempati urutan pertama dalam frekuensi terjadinya bencana. Jumlah kejadian banjir mencapai 302 kali dengan korban jiwa sebanyak 1.066 orang (WALHI, 2004). Kerusakan DAS ditandai dengan menurunnya kemampuan DAS dalam menyerap, menyimpan dan mendistribusikan air hujan pada musim hujan. Semakin berkurangnya luasan hutan sebagai daerah resapan di hulu menyebabkan laju aliran naik dan banjir meningkat (Soemarwoto, 2001). Laju aliran naik jika hutan dikonversi menjadi bangunan, pemukiman, dan jalan.

2.3.1. Pencemaran Air

(46)

Aktivitas kehidupan yang sangat tinggi yang dilakukan manusia ternyata telah menimbulkan berbagai efek yang buruk bagi kehidupan manusia dan tatanan lingkungan hidupnya. Aktivitas yang pada prinsipnya merupakan upaya untuk dapat hidup layak merangsang manusia untuk melakukan tindakan yang menyalahi kaidah yang ada dalam tatanan lingkungan hidup. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pertanian, penebangan hutan, domestik dan lainnya terhadap sumberdaya air berupa semakin menurunnya kualitas air yang dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumberdaya air (Efendi, 2000). Permasalahan utama sumberdaya air saat ini adalah menyangkut kuantitas yang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, kualitas air yang layak untuk keperluan domestik juga semakin langka diperoleh. Oleh karena itu, perlu pengelolaan dan perlindungan sumberdaya air dengan seksama.

Menurut keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1988 yang dimaksud dengan pencemaran air atau udara adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air atau udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air atau udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air atau udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Dengan semakin meningkatnya pertambahan jumlah penduduk, maka aktivitas manusia meningkat baik pada bidang pertanian, industri, rumahtangga dan lainnya, maka semakin meningkat pula tingkat pencemaran pada perairan, udara dan tanah yang disebabkan oleh hasil buangan kegiatan tersebut. Untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dilakukan upaya pengendalian pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan, termasuk baku mutu pada sumber air, baku mutu limbah cair dan sebagainya. Baku mutu air pada sumber air adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar dalam air, tetapi air tersebut tetap dapat digunakan sesuai dengan kriterianya. Menurut

(47)

1. Kelas satu yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut,

2. Kelas dua yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut,

3. Kelas tiga yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut,

4. Kelas empat yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan dari kemurniannya. Air yang tersebar di alam tidak pernah terdapat dalam bentuk murni, tetapi bukan berarti semua air sudah tercemar. Ciri-ciri air yang mengalami pencemaran sangat bervariasi tergantung dari jenis air dan pencemarnya atau komponen yang mengakibatkan pencemaran. (Saeni, 1989). Untuk memudahkan pembahasan mengenai berbagai jenis zat pencemar, pencemaran air dapat dikelompokkan atas 9 kelompok berdasarkan perbedaan sifat-sifatnya yaitu padatan terlarut, bahan buangan yang membutuhkan oksigen, mikroorganisme, komponen organik sintetik, hara tanaman, minyak, senyawa anorganik dan mineral, bahan radioaktif dan panas. Pengelompokan tersebut bukan merupakan pengelompokan yang baku, karena suatu jenis zat pencemar mungkin dapat dimasukkan ke dalam lebih dari satu kelompok. (Saeni, 1989).

(48)

jumlah padatan, oksigen terlarut (dissolved oxygen), kandungan logam berat, kandungan minyak, dan kandungan bahan radioaktif (Fardiaz, 2003).

Secara alamiah, sungai tercemar pada daerah permukaan air saja, tetapi terkadang sungai mengalami pencemaran berat, sehingga zat pencemar dapat masuk melalui proses infiltirasi sampai kedalaman lapisan tanah tertentu. Pada musim kering proses pengenceran dan biodegradasi akan sangat menurun, karena arus air mengalir perlahan dan jumlahnya menurun diperparah lagi oleh penggunaan sejumlah air untuk irigasi. Hal ini juga mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut. Suhu yang tinggi dalam air menyebabkan laju proses biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri pengurai aerobik menjadi naik dan dapat menghasilkan bahan kimia ke udara. Macam limbah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia dan dampaknya terhadap pencemaran adalah :

a. Kegiatan Pertanian

Sutamiharja (1978), mengemukakan bahwa kegiatan pertanian secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas perairan, yang diakibatkan oleh penggunaan bermacam-macam pupuk buatan dan pestisida. Penggunaan pupuk buatan yang mengandung unsur N dan P akan dapat menyuburkan perairan, yang dapat mendorong pertumbuhan ganggang dan tumbuhan akuatik lainnya (Odum, 1993).

Keberadaan hara yang berlebihan dapat memicu terjadinya pengayaan (eutrofikasi) perairan dan dapat memicu pertumbuhan secara pesat mikroalga dan tumbuhan air yang selanjutnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem akuatik secara keseluruhan (Effendi, 2000). Selain itu aktivitas pertanian non-konservasi berpengaruh besar terhadap erosi dan sedimentasi yang terangkut ke perairan. Hasil penelitian Sutika (1984) pada perairan Sungai Ciliwung menyatakan bahwa kandungan nitrogen dan fosfat pada daerah hulu perairan sungai ini bersumber dari daerah pertanian dan sekitarnya. Dari hasil penelitian Hariyadi (1985), pada perairan Sungai Ciliwung bagian hulu bahwa persentasi lahan sawah, perkebunan, tegalan pada DAS Ciliwung Hulu, berpengaruh nyata terhadap nilai BOD5 dan ortofosfat. Hasibuan (2005) menyatakan bahwa wilayah

(49)

dengan penurunan kualitas air Sungai Citarum. Hasil analisis kimia terhadap contoh air, menunjukkan bahwa zat-zat pencemar didominasi oleh yang bersumber dari kegiatan industri dibandingkan dengan rumahtangga dan pertanian.

b. Pemukiman

Kegiatan pembangunan pemukiman baru (perumahan) diawali dengan pembukaan lahan, perataan dan pemadatan tanah. Menurut Arsjad (1989), erosi tanah yang akan terjadi pada lahan yang terbuka sangat tinggi, karena tanah tidak terlindungi dari pukulan butir hujan dan kekuatan dari daya angkut aliran permukaan. Sebagian dari tanah yang tererosi ini akan masuk ke badan perairan sungai, sehingga akan menurunkan kualitas airnya. Menurut Puspaningsih (1997) perubahan lahan sawah dan kebun campuran menjadi permukiman cenderung mengakibatkan dampak negatif khususnya bila ditinjau dari laju erosi. Beberapa parameter kualitas air yang dapat menjadi indikator tingginya laju erosi tanah adalah kekeruhan, dan kandungan sedimen pada dasar sungai.

Pada lingkungan pemukiman yang telah berpenghuni akan menghasilkan limbah domestik yang berupa sampah padat (organik dan anorganik), limbah rumahtangga (organik, diterjen dan sebagainya), yang dapat menurunkan kualitas air pada perairan sungai penerimanya. Hal ini pada umumnya akan terjadi pada daerah permukiman padat penduduk dan tidak tersedianya fasilitas sanitasi yang memadai. Saeni (1989) menyatakan bahwa di Indonesia telah banyak sungai yang telah mencapai taraf pencemaran yang merugikan, khususnya sungai-sungai yang melalui daerah perkotaan, daerah padat penduduk dan wilayah perindustrian.

Hasil penelitian Sutika (1984), menunjukkan bahwa kandungan nitrogen dan fosfat berasal dari limbah domestik daerah pemukiman pada perairan Sungai Ciliwung yang berada pada wilayah Kota Bogor sampai dengan DKI Jakarta. Nilai BOD5 pada perairan Sungai Ciliwung bagian hulu juga dipengaruhi oleh

(50)

dapat mengurai secara sempurna (Wahyudi dan Bilal, 1976). Pengklasifikasian tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengklasifikasian tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air.

Parameter Satuan Pencemaran berat

Pencemaran sedang

Pencemaran ringan 1. Padatan total

2. Bahan padatan terendapkan 3. BOD 4. COD

5. Nitrogen total 6. Ammonia-Nitrogen 7. Klorida

8. Alkalinitas 9. Minyak dan lemak

(mg/l) (ml/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) 1.000 12 300 800 85 30 175 200 40 500 8 200 600 50 30 100 100 20 200 4 100 400 25 15 15 50 0

Sumber : Wahyudi dan Bilal (1976).

c. Kegiatan Penebangan Hutan

Keberadaan hutan pada suatu DAS dapat mengurangi terjadinya erosi dan sedimentasi, sehingga dapat menghasilkan kualitas air yang lebih tinggi. Luas hutan dan perlakuan yang dilakukan dalam pengelolaannya, secara langsung akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas air yang dihasilkannya (Manan, 1995). Pengalihfungsian atau konversi hutan menjadi peruntukan lain menyebabkan hilangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air. Penutup hutan yang berkurang menyebabkan tingginya aliran permukaan yang membawa butiran-butiran tanah (erosi). Erosi mengalir ke aliran sungai dan menjadi sedimen. Zat padat yang terendap disebut sebagai sedimen (Kimmins, 1987).

(51)

menutupi substrat, sehingga organisme yang membutuhkan substrat sebagai tempat hidup dan sebagai tempat berlindung menjadi terganggu (Effendi, 2000). d. Kegiatan Industri dan Pertambangan

Pencemaran oleh kegiatan industri dan pertambangan sangat tergantung pada jenis kegiatan industri dan pertambangan. Sebagai contoh industri penyamakan kulit, pada umumnya meliputi jenis zat pencemar yang tinggi dari zat tersuspensi protein, CaCO3, Ca(OH)2, CaSO4, Na2S, asam tanat, zat warna,

H2SO4, Cr dan logam lainnya dihasilkan dari proses perendaman, pengapuran,

pengasaman dan penyamakan (Rao dan Datta, 1979). Logam berat yang berasal dari industri dan pertambangan dapat bersifat racun bagi tanaman. Metcalf dan Eddy (1991) menyebutkan, bahwa logam berat penting yang terlarut dalam air dan berpengaruh terhadap pertumbuhan makhluk hidup serta bersifat racun adalah Ni, Mn, Pb, Cr, Cd, Zn, Fe dan Hg.

(52)
[image:52.612.135.505.132.363.2]

Tabel 2. Kandungan maksimum unsur pencemar dalam air pertanian.

Unsur

Untuk pemberian air terus menerus

(mg / l)

Untuk penggunaan sampai 20 tahun, pada tekstur tanah sangat halus,

pH 6,0 – 8,5 (mg/l) Al (Alumunium) As (Arsen) Be (Berylium) B (Boron) Cd (Kadmium) Cr (Krom) Co (Kobalt) Cu (Tembaga) F (Fluor) Fe (Besi) Pb (Timbal) Li (Litium) Mn (Mangan) Mo (Molibdenum) Ni (Nikel) Se (Selenium) V (Vanadium) Zn (Seng) 5,00 0,10 0,10 0,75 0,01 0,10 0,05 0,20 1,00 5,00 5,00 2,50 0,20 0,01 0,20 0,02 0,10 2,00 20,00 2,00 0,50 2,00-10,00 0,50 1,00 5,00 5,00 15,00 20,00 10,00 2,52 10,00 0,0502 0,020 0,020 1,00 10,00

Sumber : Shainberg dan Oster (1978).

Menurut Darmono (1995), kegiatan pertambangan merupakan sumber pencemaran logam berat. Pencemaran logam berat ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan diantaranya (1) berhubungan dengan estetika seperti bau, warna, rasa (2) berbahaya bagi tumbuhan dan hewan, (3) mengganggu kesehatan manusia, (4) menimbulkan kerusakan ekosistem.

2.3.2. Sedimentasi

(53)

2002; Syarif dan Kodoati, 2005). Secara sederhana hasil sedimen dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Asdak, 2004) yaitu Qs = 0,0864 . C . Q, dimana Qs = debit sedimen (ton/ha), C = konsentrasi sedimen, Q = debit sungai (m³ / dt). Penelitian yang dilakukan oleh Sa’ad (2002), di DAS Hulu Ciliwung menyimpulkan bahwa untuk menduga hasil sedimen pada sungai dapat menggunakan rumus :

Y = 1.445 x 10 -2. Ep 0,704 . Ro 0,646 . CP 0,005. A-0,747

Keterangan :

Y = sedimen sungai (ton ha¯¹),

Ep = erosi permukaan dari soilpan (ton ha¯¹),

Ro = volume aliran permukaan satu periode hujan (m³),

CP = faktor tanaman dan tindakan konservasi tanah,

A =

Gambar

Gambar 2.  Identifikasi aktor – aktor ekonomi.
Gambar 3. Peta Wilayah Administrasi DAS Citarum.
Gambar 4.   Sistem hidrologi dan sumberdaya air (Sumber : Asdak, 2004).
Tabel 2.   Kandungan maksimum unsur pencemar dalam air pertanian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

BPR XXX dengan menggunakan COBIT 5 proses APO01 – Manage the IT Management Framework , APO02 – Manage Strategy , APO03 – Manage Enterprise Architecture , APO04 –

Letakkan roda-roda itu kebagian depan dengan pin kertas sehingga gambar- gambarnya tampak satu demi satu seperti roda diputar. Anak-anak memutar roda-roda itu kr kiri dan ke

Aterosklerosis yang terjadi dengan onset usia yang sangat muda pada pasien SLE kemudian dikenal sebagai accelerated atherosclerosis atau premature atherosclerosis (Skaggs,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian kemampuan literasi anak yang ditsimulasi menggunakan teknologi multimedia dilakukan dengan teknik pengamatan, hasil karya penugasan,

Tujuan dari adanya penelitian ini adalah untuk memberikan arahan peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengurangi risiko bencana banjir di Kali Lamong Kabupaten

Balance of power ini merupakan upaya atau cara untuk bagaimana agar negara-negara dapat bekerjasama di dalam kondisi yang konfliktual, dengan kata lain, agar tidak ada salah satu

Bank syariah mandiri letter of credit adalah janji tertulis berdasarkan permintaan tertulis nasabah ( applicant ) yang mengikat BSM sebagai bank pembuka untuk membayar

Penulis menganalisis unsur tema dalam novel tersebut khususnya tema pokok (tema mayor), dan tema tambahan (tema minor).. Paper ini bemanfaat untuk membuat pembaca mengerti