• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi perubahan penutupan hutan mangrove menggunakan data landsat di Delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi perubahan penutupan hutan mangrove menggunakan data landsat di Delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

DETEKSI PERUBAHAN PENUTUPAN HUTAN MANGROVE

MENGGUNAKAN DATA LANDSAT

DI DELTA SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR

MOH. DIMAS ARIF WICAKSONO

E14101015

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

DETEKSI PERUBAHAN PENUTUPAN HUTAN MANGROVE

MENGGUNAKAN DATA LANDSAT

DI DELTA SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR

MOH. DIMAS ARIF WICAKSONO

E14101015

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

Judul Penelitian : DETEKSI PERUBAHAN PENUTUPAN HUTAN MANGROVE MENGGUNAKAN DATA LANDSAT DI DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR Nama Mahasiswa : MOH. DIMAS ARIF WICAKSONO

NIM : E14101015

Program Studi : MANAJEMEN HUTAN

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Ir Soedari Hardjoprajitno, MSc. Ratna Sari Dewi, SPi. NIP.130256399 NIP. 370000846

Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan,

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS. NIP. 131430779

(4)

RINGKASAN

Moh. Dimas Arif Wicaksono (E14101015). Deteksi Perubahan Penutupan Hutan Mangrove Menggunakan Data Landsat Di Delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Dibawah bimbingan Ir Soedari Hardjoprajitno, MSc. dan Ratna Sari Dewi, Spi.

Hutan mangrove merupakan salah satu jenis sumberdaya alam hutan dan obyek alami yang memiliki peranan penting bagi daerah atau kawasan pesisir. Secara ekologis, jenis hutan ini berfungsi sebagai pencegah abrasi pantai dan intrusi air laut, sebagai peredam gelombang dan

badai, penahan lumpur dan perangkap sedimen. Secara biologis, hutan mangrove merupakan tempat berlindungnya biota laut, terutama berfungsi sebagai tempat pemijahan (spawning ground), tempat asuhan (nursery ground) dan tempat mencari ikan (feeding ground). Dan ditinjau dari segi

ekonomis, hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penghasil tanin untuk bahan baku penyamak kulit, penghasil kayu bakar, arang dan kayu pertukangan serta bahan baku kertas.

Keberadaan hutan mangrove dimuka bumi umumnya terletak diantara 250 Lintang Utara dan 250 Lintang Selatan, pada wilayah pasang surut, pantai berlumpur dan lingkungan anaerob. Di Indonesia , sebagian besar wilayah pantainya ditempati oleh tegakan hutan mangrove yang luas

keseluruhannya kurang lebih 2,3 juta hektar (Bengen, 2002) dan 95.000 hektar diantaranya terdapat di delta sungai Mahakam, Kalimantan Timur.

Perubahan situasi dan kondisi alam, serta perkembangan teknologi, kebudayaan manusia

dan pertambahan jumlah penduduk merupakan faktor penyebab terjadinya perubahan situasi dan kondisi sumberdaya alam umumnya dan khususnya sumberdaya alam hutan mangrove tersebut. Guna mendeteksi perubahan ini, maka penginderaan jauh antariksa (differential remote sensing)

merupakan sistem atau cara deteksi yang dianggap efektif dan efisien.

Sehubungan dengan hal di atas, maka penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui perubahan penutupan hutan mangrove di delta sungai Mahakam terutama luasannya

dengan menggunakan citra satelit Landsat. Data utama yang digunakan berupa data citra Landsat TM tahun 1997 dan citra Landsat ETM+ tahun 2001 daerah delta sungai Mahakam yang digunakan untuk mendeteksi perubahan lahan dalam kurun waktu tersebut terutama untuk kawasan

mangrove. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap dan klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Pertama yaitu penerapan teknik penginderaan jauh melalui analisis data secara visual dan analisis data secara digital untuk melihat

perubahan hutan mangrove. Kedua yaitu analisa dari hasil klasifikasi dan data pendukung untuk mengetahui faktor penyebab peristiwa tersebut.

Perubahan lahan dianalisis dengan menggunakan metode perbandingan pasca klasifikasi

(post classification analysis) antara dua citra yang direkam dalam waktu yang berbeda. Metode ini menuntut klasifikasi setiap citra yang digunakan secara terpisah, dimana analisis akhir perubahan lahan dilakukan dengan membandingkan dua klasifikasi, yang kemudian ditumpang tindih

(5)

Berdasarkan pengamatan secara visual dan pengamatan dari Peta Rupa Bumi Indonesia, diperoleh 7 macam kelas penutupan lahan yang terdapat di delta sungai Mahakam, yaitu laut, mangrove, hutan lahan kering, semak belukar, lahan terbuka, pemukiman dan tambak. Perubahan

terjadi pada semua kelas penutupan lahan dimana terlihat adanya kelas yang mengalami penurunan maupun peningkatan luasan. Kelas penutupan lahan yang mengalami peningkatan luasan antara

tahun 1997 dan 2001 adalah kelas laut, kelas hutan lahan kering, kelas lahan terbuka, kelas pemukiman dan kelas tambak. Hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 1997 dan 2001 terlihat bahwa daerah delta sungai Mahakam didominasi oleh mangrove. Luasan mangrove tahun 1997

adalah sebesar 94.929,00 Ha, sedangkan untuk tahun 2001 adalah sebesar 66.130,75 Ha. Dari data tersebut terlihat bahwa dalam jangka waktu empat tahun, telah terjadi pengurangan luasan hutan mangrove sebesar 28.789,25 Ha. Dari hasil analisis, penyebab terbesar dari berkurangnya luasan

hutan mangrove adalah pembukaan tambak, baik secara intensif maupun tradisional.

Secara keseluruhan dalam rentang waktu 4 tahun delta sungai Mahakam yang memiliki luasan 260.982,495 hektar, sedikitnya telah terjadi perubahan lahan 43.343,968 hektar atau kurang

lebih 31,163 % dari luasan total dan sisanya 95.744,202 hektar (sekitar 68,837 %) tetap atau tidak mengalami perubahan penutupannya.

Berkurangnya luas tegakan hutan mangrove tersebut menimbulkan dampak negatif

terhadap lingkungan sekitar, yaitu terganggunya ekosistem perairan karena kawasan pemijahan dan pembesaran beragam jenis ikan menjadi berkurang sehingga produksi perikanan di pesisir delta Mahakam merosot tajam, terjadinya abrasi pantai karena berkurangnya mangrove sebagai

pelindung dari hantaman gelombang dan terjadinya pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya tertahan di ekosistem hutan mangrove. Kerusakan mangrove juga menimbulkan dampak buruk bagi penduduk sekitar kawasan delta sungai Mahakam karena terjadinya intrusi air

laut sehingga penduduk sekitar mengalami kesulitan air bersih.

Dampak tersebut jelas menimbulkan masalah bagi ekosistem lingkungan dan juga bagi masyarakat sekitar delta sungai Mahakam. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya untuk

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kabupaten Tulungagung, Jawa Timur pada tanggal 10 Juli 1983, putra dari pasangan Ayahanda Wiyarsono dan Ibunda Supri Hartatik.

Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1988 di TK Abbasiyah III Pare, Kediri, kemudian penulis melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SDN Gedangsewu 1 Pare, Kediri, dan lulus pada tahun 1995. Sekolah menengah pertama dilalui penulis di SLTPN 2 Pare, dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke sekolah lanjutan atas di SMUN 2 Pare, dan lulus tahun 2001. Selanjutnya penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun yang sama.

Selama kuliah penulis aktif di beberapa organisasi antara lain Forest Manajemen Student Club (FMSC) pada tahun 2002 – 2003, aktif di organisasi kedaerahan yaitu KAMAJAYA (Keluarga Mahasiswa Jaya Baya Kediri) sebagai Ketua Umum.

Kegiatan praktek yang pernah dilakukan oleh penulis adalah praktek magang di KPH Kedu Selatan, BKPH Gombong Utara, Jawa Tengah pada bulan Juni-Juli 2003, Praktek Umum Kehutanan (PUK) di Sancang-Kamojang, Garut, Jawa Barat, Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di KPH Kuningan, Kuningan, Jawa Barat dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Musi Hutan Persada (MHP), Muara Enim, Palembang. Pada bulan Oktober-Desember 2005, penulis mengikuti magang kerja di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) bagian Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat beserta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi seluruh umat manusia.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor, yang berjudul “Deteksi Perubahan Penutupan Hutan Mangrove Menggunakan Data Landsat di Delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur”. Permasalahan yang dihadapi oleh Delta Sungai Mahakam dan pesisir lainnya di Indonesia adalah terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan karena aktivitas manusia dan alam. Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk menyediakan data dan informasi spasial, terutama tentang luasan mangrove dan perubahannya.

Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan rasa terimakasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada keluarga tercinta atas ketulusan dan keikhlasan doa, kasih sayang dan motivasi, Bapak Ir Soedari Hardjoprajitno, MSc dan Ibu Ratna Sari Dewi, SPi, selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, nasehat, masukan dan pengarahan selama penelitian dan penyusunan skripsi, serta Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) sebagai instansi yang telah memberi tempat penelitian, serta semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran membangun sangat diharapkan oleh penulis. Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Mei 2006

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Vegetasi Mangrove ... 3

Kerusakan Mangrove yang Berpengaruh pada Perubahan Luasan ... 4

Penggunaan Teknologi Penginderaan Jauh ... 7

Karakteristik Citra Landsat ... 9

Analisis Digital Citra Lansat ... 11

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

Alat dan Perlengkapan ... 14

Metode Penelitian ... 14

Analisis Data Penginderaan Jauh ... 15

KONDISI UMUM LOKASI Wilayah Pesisir Kalimantan Timur ... 21

Posisi Geografi ... 21

Geologi ... 22

Bentuk Lahan ... 22

Tanah ... 23

Iklim ... 24

Vegetasi ... 24

Kondisi Sosial Ekonomi ... 24

(9)

Analisis Citra Secara Digital ... 27

Klasifikasi Citra ... 32

Perubahan Penutupan Lahan ... 36

Dampak Kerusakan Mangrove ... 41

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 44

Saran ... 44

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Dampak Kegiatan Manusia terhadap Ekosistem Mangrove ... 6

2. Karaktersitik Band/Kanal pada Landsat TM ... 10

3. Rekapitulasi Ground Control Point (GCP) pada Citra Landsat ETM+ Tahun 2001 ... 29

4. Luasan Penutupan Lahan Tahun 1997 dan Tahun 2001 ... 34

5. Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan di Delta Sungai Mahakam ... 37

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tahapan Analisis Citra Secara Digital ... 16

2. Diagram Alir Langkah Kerja Penelitian ... 20

3. Lokasi Penelitian, Delta Sungai Mahakam ... 22

4. Posisi Ground Control Point (GCP) pada Citra ... 28

5. Citra Asli Landsat Hasil Penajaman Komposit 542 (a) 1997 (b) 2001... 31

6. Citra Asli Landsat Komposit 453 (a) 1997 (b) 2001... 31

7. Citra Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan Delta Sungai Mahakam Tahun 1997 ... 33

8. Citra Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan Delta Sungai Mahakam Tahun 2001 ... 34

9. Potret Mangrove di Delta Sungai Mahakam (Ambarwulan et al., 2003) .... 39

10. Kenampakan Penutupan Lahan Tambak pada Beberapa Lokasi (Ambarwulan et al., 2003) ... 40

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan panjang garis pantai diperkirakan lebih dari 81.000 km. Secara fisik, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut sekitar 3,1 juta km2 (0,3 juta km2 perairan teritorial dan 2,8 juta km2 perairan nusantara) atau 62% dari luas teritorialnya (Dahuri et al., 2002). Keberadaan hutan mangrove di suatu kawasan pesisir merupakan ciri khas vegetasi laut tropis dan sub tropis. Hutan mangrove biasanya terdapat antara 25º LU dan 25º LS dimana suhu relatif konstan. Uniknya tumbuhan ini mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut, pantai berlumpur dan lingkungan anaerob.

Peranan mangrove dapat dilihat baik dari segi ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, daun mangrove merupakan penghasil bahan organik, akarnya merupakan tempat berlindung invertebrata yang menempel, sebagai peredam gelombang dan badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan juga sebagai perangkap sedimen. Selain itu akar mangrove juga merupakan tempat pemijahan (spawning ground), asuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) biota laut. Secara ekonomis kulit kayu mangrove dapat diambil taninnya yang digunakan untuk obat, batang pohonnya dapat digunakan untuk bahan bakar dan bahan baku produksi arang. Selain itu, kayunya dapat digunakan untuk bahan baku pembuatan rumah, kertas dan kayu bantalan rel kereta api. Kayu pohon dari jenis mangrove dikenal sangat kuat sebagai pondasi suatu bangunan. Hal ini dikarenakan tumbuhan tersebut hidup di daerah yang tergenang air, sehingga kayunya tahan air dan tidak mudah lapuk.

(13)

Penginderaan jauh antariksa telah membawa dimensi baru untuk mengerti dampak manusia terhadap kerapuhan bumi dan basis sumberdaya yang saling berhubungan, serta tidak hanya untuk mengetahui keajaiban alam dan proses operatif planet kita (Lillesand dan Kiefer, 1990). Kawasan mangrove merupakan salah satu objek alam yang mempunyai peranan penting di daerah pesisir. Akan tetapi sulit dicapai dan dilalui karena luasannya yang besar dan struktur komunitasnya yang kompleks. Sistem penginderaan jauh menawarkan metode dengan berbagai keunggulan diantaranya biaya yang murah dan dalam memetakan luas vegetasi mangrove dapat diperoleh sesuai dengan kebutuhan.

Tujuan

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Vegetasi Mangrove

Mangrove merupakan tumbuhan yang dapat hidup di daerah pasang surut dan membentuk suatu komunitas vegetasi tersendiri. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas dan terlindung di pantai tropis dan sub tropis. Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Jenis-jenis mangrove antara lain: Avicenia sp, Sonneratia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp, Lumnitzera sp, Excoecaria sp, Xylocarpus sp, Aegirecas sp, Nypa

sp, Scyphyphora sp dan Ceriops sp(Noor et al., 1999).

Menurut Bengen (2002), hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Karakteristik hutan mangrove antara lain:

- Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.

- Dapat tumbuh di daerah tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. - Menerima pasokan air tawar dari darat.

- Melindungi pantai dari gelombang dan arus pasang surut. Mampu hidup pada air bersalinitas payau (2-22 ‰) hingga asin (38 ‰).

- Banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, esturi, delta dan daerah pantai yang terlindung.

Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan spesifik hutan mangrove (Bengen, 2002).

(15)

- Adaptasi terhadap kadar O2 yang rendah, terdapat pada bentuk

perakaran tipe cakar ayam yang mempunyai pneumatophora (misalnya pada Avicennia spp, Xylocarpus spp dan Sonneratia spp) untuk mengambil O2 dari udara dan tipe penyangga/tongkat yang mempunyai

lentisel (misalnya Rhizophora spp).

- Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi, ditunjukkan dengan adanya sel-sel khusus dalam daun untuk menyimpan garam, struktur daun yang tebal dan kuat banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam dan adanya stomata khusus untuk mengurangi penguapan.

- Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut dilakukan dengan mengembangkan struktur akar yang ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar.

Kerusakan Mangrove yang Berpengaruh pada Perubahan Luasan

Adapun proses berkurangnya lahan hutan mangrove di beberapa provinsi bisa disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini (Kusmana, 1995):

- Konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain seperti tambak, pemukiman, industri, pertambangan dan lain-lain. - Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan-

perusahaan HPH serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan lainnya.

- Polusi di perairan estuari, pantai dan lokasi-lokasi perairan lainnya dimana tumbuhnya mangrove seperti tumpahan minyak.

- Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasi dan abrasi yang tidak terkendali.

Faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove yaitu: 1. Gangguan fisik-mekanis

- Abrasi pantai atau pinggir sungai

(16)

2. Gangguan chemist (kimia)

- Pencemaran air, tanah dan udara - Hujan asam

3. Gangguan biologis

- Konversi mangrove untuk pemukiman, industri, pertambangan, sarana angkutan dan penggunaan lahan non kehutanan

- Penebangan pohon yang tidak memperhitungkan azas kelestarian hutan

- Invasi Piay (Acrostichum aureum) dan jenis semak belukar lainnya Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam pesisir yang mempunyai peranan penting bagi kelangsungan hidup ekositem lainnya, dimana secara garis besar mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. a. Fungsi ekologis

Perakaran yang kokoh dari mangrove ini memiliki kemampuan untuk meredam pengaruh gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang dan angin topan (Dahuri et al., 2002).

b. Fungsi ekonomis

Masyarakat sekitar kawasan hutan mangrove banyak memanfaatkan pohon mangrove untuk berbagai tujuan. Menurut Saenger et al. (1983) dalam Bengen dan Adrianto (1998), lebih dari 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan umat manusia yang telah teridentifikasi, baik produk langsung seperti: bahan bakar, bahan bangunan, alat penangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil, maupun produk tidak langsung seperti tempat rekreasi dan sumber bahan makanan.

Potensi lain dari hutan mangrove yang belum dikembangkan secara optimal adalah sebagai kawasan wisata alam/ekoturisme. Di negara lain, seperti Malaysia dan Australia, kegiatan ekoturisme di kawasan hutan mangrove sudah berkembang lama dan menguntungkan, padahal Indonesia memiliki hutan mangrove lebih luas dibanding dengan negara lain (Bengen dan Adrianto, 1998).

(17)

tekanan ini tentunya berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove baik secara langsung (misalnya kegiatan penebangan atau konversi lahan) maupun secara tidak langsung (misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan) (Bengen, 2002).

Secara ringkas berbagai ancaman terhadap ekosistem hutan mangrove sebagai dampak dari kegiatan manusia disajikan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1. Dampak Kegiatan Manusia terhadap Ekosistem Mangrove

Kegiatan Dampak Potensial

− Tebang habis. − Berubahnya komposisi tumbuhan mangrove.

− Tidak berfungsinya daerah mencari makanan dan pengasuh berbagai biota.

− Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi.

− Peningkatan salinitas ekosistem hutan mangrove.

− Menurunnya tingkat kesuburan tanah dan perairan.

− Mengancam regenerasi stock sumberdaya ikan di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove.

− Terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya tertahan di ekosistem hutan mangrove.

− Pendangkalan perairan pantai.

− Erosi garis pantai dan intrusi garam.

− Pembuangan sampah cair.

− Penurunan kandungan oksigen terlarut memungkinkan timbulnya gas H2S.

− Pembuangan sampah padat.

− Kemungkinan terlapisnya pneumatophora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove.

− Perembesan bahan – bahan pencemar dalam sampah padat.

− Pencemaran minyak tumpahan.

− Kematian pohon mangrove.

− Penambangan dan

ekstraksi mineral, baik di dalam hutan maupun di daratan

sekitar hutan mangrove.

− Kerusakan total ekosistem hutan mangrove, sehingga memusnahkan fungsi ekologis hutan mangrove (daerah mencari makanan asuhan dan pemijahan).

− Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon mangrove.

(18)

Penggunaan Teknologi Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Sistem ini didasarkan pada prinsip pemanfaatan gelombang elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan obyek dan diterima sensor. Alat penginderaan jauh ditempatkan pada suatu wahana yang dioperasikan pada suatu ketinggian tertentu yang disebut sebagai platform.

Lebih lanjut Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa proses dan elemen yang terkait di dalam sistem penginderaan jauh meliputi dua proses utama yaitu pengumpulan data dan analisis data. Elemen proses pengumpulan data meliputi (a) sumber energi, (b) perjalanan energi melalui atmosfer, (c) interaksi antara energi dengan kenampakan di muka bumi, (d) sensor wahana pesawat terbang dan satelit, dan (e) hasil pembentukan data dalam bentuk piktorial dan bentuk numerik. Proses analisis data meliputi:

1. Pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan untuk menganalisis data piktorial, dan/atau komputer untuk menganalisis data sensor numerik.

2. Penyajian informasi dalam bentuk peta, tabel dan suatu bahasan tertulis atau laporan.

3. Penggunaan data untuk proses pengambilan keputusan.

Teknik penginderaan jauh merupakan suatu cara atau metoda yang sangat efektif untuk memantau sumberdaya alam, karena memiliki beberapa keuntungan antara lain:

1. Menghasilkan data sinoptik (meliputi wilayah yang luas dalam waktu yang hampir bersamaan) dalam dua dimensi dengan resolusi tinggi dan mampu menghasilkan data deret waktu (time series data) dalam frekuensi yang rendah.

(19)

3. Pengamatan terhadap suatu obyek dapat dilakukan dengan menggunakan sensor yang bersifat multispektral, mulai dari sinar tampak (visible), infra merah (infrared) dan gelombang mikro (microwave). Hal ini memungkinkan dilakukannya analisis multispektral dengan mengimplementasikan berbagai model matematik untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat.

4. Biaya operasional yang relatif murah serta tidak mengandung resiko rusaknya sumberdaya alam, karena tanpa kontak langsung dengan obyek yang diamati.

Disamping semua kelebihan dari sistem penginderaan jauh dengan sarana satelit, sistem ini juga memiliki beberapa keterbatasan antara lain :

1. Akurasi yang diperoleh lebih rendah dibanding dengan pengukuran atau pengamatan secara insitu.

2. Untuk menghasilkan citra yang memiliki informasi akurat, harus disertai pengecekan daerah atau objek yang diamati.

3. Waktu pendeteksian satelit terbatas hanya pada saat satelit tersebut melintas di atas lokasi pengamatan.

4. Kondisi atmosfer yang beraneka ragam seperti awan, kabut dan hujan menyebabkan citra yang diperoleh kurang baik untuk keperluan monitoring daerah lautan maupun daratan. Awan dan kabut akan menyebabkan citra visual kurang jelas. Namun dengan dikembangkannya penginderaan jauh secara aktif dengan menggunakan radar yang bisa menembus awan, kabut dan hujan maka beberapa kekurangan tersebut dapat diatasi.

(20)

dimana klorofil mengabsorbsi spektrum radiasi merah dan biru serta memantulkan spektrum radiasi hijau.

Karakteristik Citra Landsat

Landsat merupakan Satelit Sumberdaya Bumi yang pada awalnya bernama ERTS-1 (Earth Resource Technology Satellite) yang diluncurkan pertama kalinya tanggal 23 Juli 1972 yang mengorbit hingga 6 Januari 1978. Tepat sebelum peluncuran ERTS-B tanggal 22 Juli 1975, NASA (National Aeronatics and Space Administration) secara resmi menangani program ERTS menjadi program Landsat, untuk membedakan program oseanografi ”seasat” sehingga ERTS-1 menjadi Landsat 1 dan Landsat 2. Peluncuran Landsat 3 dilakukan pada tanggal 5 Maret 1978 (Paine, 1992).

Landsat 1, Landsat 2 dan Landsat 3 mempunyai dua sensor yaitu RBV (Return Beam Vidicon) dan MSS (Multi Spectral Scanner). Landsat 4 diluncurkan Juli 1982, Landsat 5 diluncurkan pada Maret 1984 dan Landsat 6 diluncurkan pada Februari 1993, namun Landsat 6 tidak mencapai orbit dan jatuh ke laut. Landsat 4 dan 5 merupakan pengembangan sensor pada sistem Landsat sebelumnya dengan peningkatan resolusi spasial, resolusi radiometrik dan resolusi spektral. Landsat 1, 2 dan 3 membawa empat saluran sensor MSS, sedangkan Landsat 4 dan 5 membawa empat saluran sensor MSS dan sensor TM (Thematic Mapper) memiliki 7 saluran dan ETM (Enhanced Thematic Mapper) pada Landsat 6 dengan menambahkan saluran thermal (10,24-12,6) µm. Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 april 1999 dengan membawa satu sensor yaitu (Enhanced Thematic Mapper plus) (Purwadhi, 2001).

(21)

oleh Landsat lebih dari cukup untuk mendapatkan peta tahunan yang terbaru dan untuk mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang waktu.

Karakteristik spektral Landsat TM dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2. Karaktersitik Band/Kanal pada Landsat TM

Band Panjang

30 m Dirancang untuk menghasilkan peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air dan juga untuk mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah dan vegetasi.

2 (0,52-0,60)

μm

30 m Dirancang untuk mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak di antara dua saluran spektral serapan klorofil. Tanggapan pada saluran ini dimaksudkan untuk menekankan pembedaan vegetasi dan penilaian kesuburan.

3 (0,63-0,69)

μm

30 m Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini berada pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi, juga menajamkan kontras antara kelas vegetasi.

4 (0,76-0,90)

μm

30 m Saluran yang peka terhadap akumulasi biomassa vegetasi yang terdapat pada daerah kajian. Hal ini akan membantu identifikasi tanaman dan akan memperkuat kontras antara tanaman-tanah dan lahan-air.

5 (1,55-1,75)

μm

30 m Saluran yang penting untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah.

6 (2,08-2,35)

μm

30 m Saluran yang penting untuk pemisah formasi batuan.

7 (10,0-12,50)

μm

120 m Saluran inframerah thermal yang dikenal bermanfaat untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas.

(22)

Analisis Digital Citra Landsat

Menurut Lo (1995) pendekatan pada interpretasi citra dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan manual (visual) dan pendekatan dengan bantuan komputer (digital). Menurut Jensen (1986) analisis visual memiliki kekurangan antara lain: (1) kesulitan dalam hal mendeteksi perbedaan warna, terutama pada warna abu-abu, (2) pada analisis visual umumnya kegiatan interpretasi tidak bisa diulang-ulang dalam waktu yang singkat, (3) analisis visual dirasakan kurang dalam hal kemampuan menyimpan data dalam jumlah yang besar. Menurut Soesilo (1994) keunggulan analisis secara digital adalah interpretasi citra dapat dilakukan secara cepat, efisien dan sistematik. Namun hal ini tidak selalu berarti bahwa analisis digital selalu lebih baik dari analisis visual.

Dalam rangka analisis digital, Lillesand dan Kiefer (1990), mengkelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu (1) pemulihan citra (image restoration), (2) penajaman citra (image enhancement), (3) klasifikasi citra (image classification).

Pemulihan Citra (image restoration)

Restorasi citra (image restoration) didefinisikan sebagai kegiatan yang berkaitan dengan koreksi distorsi, degradasi dan noise yang terjadi akibat kesalahan pada saat perekaman (imaging). Kegiatan dari restorasi citra ini nantinya akan menghasilkan citra yang telah dikoreksi baik radiometrik maupun geometrik (Jaya, 2002).

(23)

Koreksi radiometrik merupakan perbaikan akibat kesalahan pada sistem optik, kesalahan karena gangguan energi radiasi elektromagnetik pada atmosfer dan kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari (Purwadhi, 2001).

Sedangkan koreksi geometrik (rektifikasi) adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta (Jaya, 2002). Koreksi geometrik mempunyai tiga tujuan, yaitu (1) melakukan rektifikasi (pembetulan) atau pemulihan (restoration) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi, (2) registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau mentransformasikan sistem koordinat citra multispektral atau citra multitemporal dan (3) registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke peta, yang menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu (Purwadhi, 2001).

Pemotongan Citra (cropping/masking area)

Sebelum memulai mendigitasi untuk cropping area mangrove, perlu dilakukan interpretasi citra terlebih dahulu. Hal ini penting dalam interpretasi citra ini yaitu pengenalan atau identifikasi obyek mangrove. Untuk itu seorang interpreter harus memiliki pengetahuan dasar interpretasi visual citra dan mengerti karakterustik tempat tumbuh dan sebaran mangrove (Arsjad et al., 2005).

Pada pemetaan mangrove, daerah yang di-cropping adalah area mangrove itu sendiri. Teknis cropping area mangrove dilakukan dengan mendigitasi area mangrove untuk menghasilkan file vektor (region) yang selanjutnya digunakan untuk memotong area mangrove. Cropping dilakukan mendasarkan pada logika Boolean sebagaimana formula tersebut dibawah ini (Arsjad et al., 2005):

Dimana, Region 1 (r1) = file vektor area mangrove yang telah didigitasi Input 1 (i1) = band i

Penajaman Citra (image enhancement)

Sebelum menampilkan data citra untuk analisis visual, teknik penajaman dapat diterapkan untuk menguatkan penampakan kontras di antara kenampakan

(24)

dalam scene. Pada berbagai penerapan langkah ini banyak meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasi secara visual (Lillesand dan Kiefer, 1990).

Tiga teknik penajaman citra yang dapat dilakukan, yaitu memanipulasi kontras citra (contrast manipulation), manipulasi kenampakan secara spasial (spatial feature manipulation) dan manipulasi multi citra (multi image manipulation) (Purwadhi, 2001).

Klasifikasi Citra (image classification)

Klasifikasi adalah proses mengelompokkan piksel-piksel ke dalam kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness value/BV atau digital number/DN) piksel yang bersangkutan (Jaya, 2002).

(25)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Jangka waktu penelitian dilaksanakan selama 5 bulan (September 2005 – Januari 2006) dengan lokasi penelitiannya adalah daerah delta sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Pengolahan data dilakukan di laboratorium Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL).

Alat dan Perlengkapan

Alat dan perlengkapan yang dipakai dalam penelitian ini terutama digunakan untuk pengolahan data citra dengan perangkat lunak ER MAPPER versi 6.3 dan ARC VIEW versi 3.3, yang terdiri dari :

1. Seperangkat komputer pribadi (Personal Computer). 2. Printer untuk mencetak hasil pengolahan citra.

3. Media penyimpanan data, berupa CD dan disket 3.5 inch.

4. Citra satelit Landsat delta sungai mahakam perekaman 3 Agustus 1997 dan 27 Februari 2001 (path/row 116/60).

5. Peta Rupa Bumi Indonesia (1:250.000) lembar 1915 daerah Samarinda. 6. Data penunjang lain.

Metode Penelitian

(26)

Analisis Data Penginderaan Jauh

Analisis data penginderaan jauh melalui dua cara, yaitu analisis data secara visual dan analisis data secara digital. Analisis data secara visual dilakukan terhadap citra visual dan analisis data secara digital dilakukan terhadap citra numerik. Analisis data secara visual berupa pengenalan obyek dan elemen yang tergambar pada citra serta disajikan dalam bentuk peta tematik, tabel atau grafik dan membandingkannya dengan data sekunder.

Analisis data secara digital dilakukan dengan menggunakan Personal Computer (PC) dengan software ER Mapper versi 6.3 dan ARC View versi 3.3. ER Mapper digunakan dalam analisis secara digital citra yang diperoleh. ARC View

digunakan untuk overlay citra dan tampilan citra. Perubahan penutupan lahan dapat dilihat dengan membandingkan citra hasil klasifikasi

Analisis citra secara visual

Analisis secara visual meliputi dua kegiatan yaitu penyadapan data citra dan penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu (Sutanto, 1986).

Penyadapan data citra berupa pengenalan obyek dan elemen yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke peta tematik, tabel atau grafik. Langkah-langkah proses ini adalah:

- Menguraikan atau memisahkan obyek berbeda rona atau warnanya diikuti dengan delineasi atau penarikan garis bagi obyek yang wujud rona/warnanya sama.

- Setiap obyek yang diperlukan dikenali berdasarkan karakteristik spektral atau unsur interpretasi yang tergambar pada citra.

- Diklasifikasikan sesuai dengan tujuan interpretasinya. - Digambarkan ke dalam peta sementara.

- Untuk meningkatkan hasil ketelitian diperlukan pekerjaan medan.

(27)

Analisis Citra Secara Digital

Tujuan dari analisis data citra secara digital adalah untuk mengekstrak informasi yang terkandung dari hasil rekaman citra satelit. Analisis citra secara digital terdiri atas pemulihan citra (image restoration), penajaman citra (image enhancement) dan pengklasifikasian citra (image classification). Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam analisis citra secara digital terdapat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan Analisis Citra Secara Digital.

a. Pemulihan Citra (image restoration)

Pemulihan citra (image restoration) berfungsi untuk memulihkan citra yang mengalami distorsi atau terdegradasi, ke arah gambaran yang sebenarnya atau ke arah yang lebih sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di bumi, sehingga citra dapat lebih bermanfaat untuk kegiatan analisis. Langkah yang dilakukan yaitu dengan melakukan koreksi geometrik.

Koreksi geometrik dilakukan untuk memperbaiki kesalahan distorsi citra. Koreksi ini dilakukan dengan menggunakan metode berdasarkan titik kontrol lapangan (ground control point/GCP) dengan tahapan sebagai berikut:

- Pemilihan titik kontrol lapangan (GCP) secara tersebar merata di seluruh citra pada obyek yang relatif permanen dan tidak berubah dalam kurun waktu pendek (jalan, jembatan, sudut bangunan dan sebagainya).

- Perhitungan root mean squared error (RMSE) setelah GCP terpilih, sebaiknya RMSE bernilai kurang dari 0,5 piksel.

Citra Satelit (koreksi geometrik) Pemulihan Citra

Penajaman Citra Klasifikasi

(28)

- Resampling yaitu proses penerapan alih ragam geometrik terhadap data asli. Tahapan ini merupakan proses yang dilakukan secara otomatis oleh komputer untuk menghasilkan keluaran berupa citra yang posisi geometriknya telah terkoreksi.

Koreksi geometrik dilakukan untuk menanggulangi distorsi yang disebabkan faktor gerakan bumi dan kelengkungan bumi biasanya telah dilakukan oleh stasiun penerima (koreksi sistematis), sedangkan koreksi akibat ketidak- stabilan sensor dan satelit dilakukan tranformasi koordinat (tranformation geometric). Tranformasi koordinat data citra Landsat TM meliputi penyiapan data, pengambilan titik kontrol bumi (ground control point) antara citra landsat dengan peta, karena citra yang didapat telah terkoreksi maka tahap ini tidak dilakukan lagi. Penentuan titik kontrol dilakukan dengam sistem UTM (universal transverse mercator) karena daerah penelitian relatif kecil. Dengan koreksi ini didapatkan citra yang sesuai dengan posisi sebenarnya di muka bumi

b. Pemotongan Citra (image cropping)

Pemotongan citra dilakukan untuk membatasi citra sesuai dengan lokasi yang kita teliti. Pemotongan dilakukan setelah citra tersebut dikoreksi. Citra hasil pemotongan tersebut akan digunakan dalam proses selanjutnya. Cropping dilakukan berdasarkan logika Boolean pada formula dibawah ini:

Dimana, Region 1 (r1) = file vektor area mangrove yang telah didigitasi Input 1 (i1) = band i

c. Penajaman Citra (image enhancement)

Penajaman citra dilakukan untuk menguatkan tampakan kontras diantara kenampakan pada citra, sehingga meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasikan secara visual pada citra. Teknik penajaman citra yang dilakukan adalah dengan teknik perentangan linier. Teknik ini baik untuk mempertajam kenampakan obyek tertentu. Penajaman citra dengan teknis perentangan ini dapat dilakukan dengan melihat distribusi nilai piksel citra asli terlebih dahulu (nilai

(29)

minimum maksimim), kemudian nilai minimum tersebut ditarik ke titik menjadi bernilai nol, dan nilai maksimum ditarik ke titik menjadi bernilai 255. Dimana citra yang dihasilkan memiliki rentang nilai piksel 0 – 255. metode ini biasa disebut sebagai perentangan linier minimum maksimum. Teknis perentangan dilakukan masing-masing terhadap band merah, hijau dan biru dalam komposit warna RGB sehingga dapat menajamkan garis pada citra seperti jalan, patahan lingkungan air dan tanah dan batasan wilayah mangrove. False colour composite

(FCC) merupakan penajaman dengan menggunakan warna dalam meningkatkan kontras atau kualitas citra dengan menggabungkan tiga warna primer, yaitu biru, hijau dan merah.

Pada citra Landsat, FCC yang digunakan untuk menentukan komposisi penutupan lahan digunakan kombinasi dari band 5, 4 dan 2 pada komposit RGB, sedangkan untuk mendeteksi atau membedakan secara visual hutan mangrove dan hutan darat digunakan citra komposit warna semu RGB dari kombinasi band 4, 5 dan 3. Untuk memperoleh kenampakan yang lebih jelas, dapat dilakukan penajaman terhadap citra warna tersebut atau dapat juga dilakukan penajaman pada tiap-tiap kanal kemudian dikompositkan.

d. Klasifikasi Citra (image clasification)

Dalam penelitian ini klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Banyaknya kelas klasifikasi disesuaikan dengan banyaknya pola yang timbul dari proses penajaman. Klasifikasi tidak terbimbing merupakan klasifikasi tanpa menggunakan daerah contoh (training area) yang ditetapkan. Klasifikasi dilakukan berdasarkan nilai piksel secara statistik dan kelas yang diperoleh merupakan kelas yang abstrak. Untuk dapat mendeterminasi identitas dan nilai informasi dari kelas spektral maka data hasil klasifikasi harus dibandingkan dengan data referensi atau rujukan

(30)

dapat dianalisis di ARC VIEW dan hasilnya dapat digunakan untuk analisis perubahan lahan.

e. Analisis perubahan lahan

Pemantauan perubahan lahan adalah proses mengidentifikasi perubahan suatu obyek atau fenomena dengan mengamatinya pada waktu yang berbeda. Registrasi yang akurat dari sedikitnya dua citra sangat diperlukan dalam mendeteksi perubahan. Berdasarkan hasil dari klasifikasi citra multi waktu, dilakukan analisis perubahan penutupan lahan.

Analisis perubahan ini dapat dilakukan dengan melakukan tumpang tindih (overlay) terhadap dua citra yang telah diolah sehingga dapat diketahui perubahan luasan obyek yang diamati. Cara lain untuk melakukan analisis perubahan penutupan lahan adalah penutupan lahan pada citra dilakukan secara terpisah, kemudian dilakukan perbandingan (post classification comparison). Dengan kedua cara ini selain bisa mengetahui luas perubahan lahan yang terjadi, juga bisa mengetahui bentuk perubahan yang terjadi terutama untuk hutan mangrove.

f. Data lapangan

Data lapangan yang dipergunakan merupakan data sekunder hasil-hasil penelitian terdahulu, yang berupa :

(31)

Gambar 2. Diagram Alir Langkah Kerja Penelitian. Citra Landsat TM

Tahun 1997

Citra Landsat ETM+ Tahun 2001

Koreksi Geometrik

Pemotongan Citra

Penajaman Citra

Klasifikasi Tak Terbimbing Informasi

Pendahuluan

Overlay

Komposit Kanal 453 untuk Deteksi Hutan Mangrove

Citra Hasil Klasifikasi Koreksi Geometrik

Pemotongan Citra

Penajaman Citra

Komposit Kanal 453 untuk Deteksi Hutan Mangrove

Klasifikasi Tak Terbimbing

Citra Hasil Klasifikasi

Penyiapan dan Pencarian Data

Analisis Perubahan Hutan Mangrove Analisis Data Pendukung

(32)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Wilayah Pesisir Kalimantan Timur

Kalimantan Timur (Kaltim) adalah provinsi dengan penduduk yang relatif jarang. Provinsi ini juga memiliki berbagai variasi sistem pesisir, yang umumnya dipengaruhi oleh tekanan aktivitas manusia. Di sebagian wilayah pesisir Provinsi Kalimantan Timur banyak dijumpai eksplorasi minyak dan gas bumi, meskipun di bagian lain masih dijumpai ekosistem pantai yang masih alami. Sungai-sungai di Kalimantan Timur memiliki daerah aliran sungai yang luas, panjang sungai dapat mencapai 400 km. Sebagai perbandingan, sungai-sungai di Jawa Barat hanya mempunyai panjang maksimal sekitar 60 km. Sejak zaman tertier, sungai-sungai di Kalimantan Timur telah berkembang membentuk sistem delta dan proses ini masih terus berlangsung hingga sekarang. Delta yang terbentuk bervariasi mulai dari delta prograding deltas (seperti delta sungai Mahakam) sampai pada delta yang lebih didominasi oleh pasang surut seperti Delta Berau. Terbentuknya berbagai ekosistem dengan berbagai keanekaragaman hayatinya (terumbu karang, padang lamun, mangrove dan ikan) sangat dipengaruhi oleh kondisi abiotik seperti kandungan sedimen tersuspensi (kekeruhan air), ketersediaan nutrisi, dinamika arus dan pasang surut. Di perairan delta sungai Mahakam tidak dijumpai habitat laut seperti terumbu karang dan lamun karena kondisi kualitas air dan faktor oseanografinya yang tidak mendukung (Ambarwulan et al., 2003).

Posisi Geografi

(33)

Gambar 3. Lokasi Penelitian, Delta Sungai Mahakam (Ambarwulan et al., 2003).

Geologi

Secara geologis, Kalimantan Timur umumnya didominasi oleh batuan sedimen berumur Tertier. Formasi geologi demikian mempunyai nilai ekonomi yang sangat besar karena umumnya mempunyai potensi sebagai sumber dan reservoir untuk minyak dan gas alam. Bentang alam Provinsi Kalimantan Timur didominasi oleh perbukitan dan dataran bukan aluvial yang dilalui oleh sungai-sungai. Delta-delta dan dataran aluvial terdiri dari sedimen muda dan gambut. Pada bagian daratan, bentang alamnya berupa pegunungan dengan struktur geologi didominasi oleh adanya plate margin yang terdiri dari stuktur tektonik

chaos dan wilayah vulkanik. Pada daerah ini banyak dijumpai beberapa bahan tambang seperti emas dan perak (Ambarwulan et al., 2003).

Bentuk Lahan

(34)

adanya endapan sedimen dalam jumlah besar yang dibawa oleh sungai Mahakam dan dipengaruhi oleh pasang surut yang berasal dari Selat Makasar. Secara geologis, Allen and Chambers (1998) membagi kawasan delta ini ke dalam 3 bagian yaitu:

1. Delta plain(dataran delta)

Dataran delta terbagi menjadi dataran delta fluvial dan dataran delta pasang surut. Dataran delta fluvial dicirikan oleh tanah kompak yang berdrainase baik dan ditutupi oleh pohon berkayu keras. Luas dari bagian ini adalah 10 - 20 km2. Sedangkan dataran delta pasang surut dicirikan oleh elevasi rendah dan sering mengalami banjir. Tanaman yang menutupi bagian ini adalah Nipah dan vegetasi mangrove. Dataran delta pasang surut yang mempunyai lebar antara 20 – 30 km ini terbagi menjadi dataran-dataran dipisahkan oleh band-band pasang surut dan sungai distributaries. Dataran delta merupakan dataran lumpur delta, yang hampir keseluruhannya berawa-rawa. Bagian dari kawasan berlumpur yang berada di mulut sungai dinamakan upper delta plain, sedangkan bagian yang menjorok ke laut dinamakan lower delta plain.

2. Delta front

Delta front merupakan kawasan pasang surut berpasir atau bisa juga disebut paparan delta. Lebarnya antara 8 sampai 10 km. Topografinya ber-undulasi tegak lurus terhadappantai membentuk bar dan shoal.

3. Prodelta

Prodelta merupakan kawasan yang tersusun dari batu lempung yang menghunjam ke arah laut terbuka dan selalu tergenang air laut. Topografi bersifat datar kearah laut, dengan bagian tengah dapat berlereng, dengan isobath 5 m. Bagian luar memiliki kedalaman antara 60 – 70 m isobath. Lebar prodelta menunjukkan bentuk asimetri sebagai akibat dari aktivitas ombak. Pada bagian selatan, sistem ini mempunyai lebar 30 km, akan tetapi pada bagian tengah dan utara lebarnya hanya berkisar antara 5 sampai 15 km.

Tanah

(35)

merupakan jenis-jenis tanah fluvial muda yang sangat dipengaruhi oleh air. Sedangkan pada bagian daratannya, umumnya didominasi oleh tanah-tanah yang telah berkembang lebih lanjut yaitu tanah Ultisol, terutama dari great-group

Hapludults, Plunthudults, dan Paleudults.

Iklim

Kalimantan Timur mempunyai iklim tropis yang termasuk dalam klasifikasi Afw pada sistem klasifikasi Köppen (Bremen et al., 1990 dalam Ambarwulan et al., 2003). Tipe iklim ini termasuk iklim tropis hujan isothermal dengan suhu relatif panas (bulan terpanas mencapai lebih dari 22º C), tidak ada musim kering (presipitasi pada bulan terkering dapat mencapai lebih dari 60 mm) dan ada dua musim hujan maksimum yaitu pada bulan April-Mei dan Desember-Januari. Rata-rata presipitasi tahunan bervariasi antara 2000 mm di bagian timur (pesisir) sampai 4000 mm di bagian Barat (pegunungan).

Vegetasi

(36)

Kondisi Sosial Ekonomi

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Citra Secara Visual

Hal pertama yang perlu dilakukan sebelum interpretasi citra adalah pengenalan identitas obyek. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dan mengenali identitas obyek didasarkan pada karakteristik spektral suatu obyek yang terekam pada citra. Citra Landsat TM yang dipergunakan untuk analisis secara visual memiliki kenampakan obyek sebagai berikut (pada komposit citra 542):

- Laut

Warna air laut pada citra bervariasi dari hitam sampai biru tua. Semakin terang warna air laut, menunjukkan bahwa air tersebut banyak mengandung material tersuspensi yang berasal dari sungai di sekitarnya, material tersuspensi ini lama-kelamaan akan mengendap dan dapat menambah luas daratan.

- Mangrove

Mangrove termasuk vegetasi berwarna hijau yang lebih gelap dibandingkan dengan vegetasi lainnya.

- Tambak

Warna daerah tambak mirip dengan warna untuk daerah laut karena memiliki permukaan yang sama (tergenang air). Tambak berwarna hitam sampai biru gelap karena merupakan genangan air yang keruh. Posisi tambak biasanya terletak dipinggir delta maupun di tengah delta dan mengelompok.

- Lahan terbuka

Pada citra, lahan terbuka maupun lahan kosong tampak berwarna kecoklatan.

- Pemukiman

Pemukiman pada citra hampir sama dengan lahan terbuka dengan warna coklat kemerahan yang lebih terang.

- Hutan lahan kering

(38)

cukup tinggi didaerah itu. Sedangkan warna hijau semakin muda maka mempunyai kerapatan yang rendah dan biasanya merupakan semak belukar.

- Awan dan bayangan

Awan ditunjukkan dengan warna putih dengan bentuk gumpalan-gumpalan, sedangkan bayangan awan berwarna hitam terjadi karena ada efek cahaya matahari.

Analisis Citra Secara Digital

Pemulihan Citra

Pemulihan citra merupakan kegiatan perbaikan/koreksi citra yang masih memiliki beberapa kesalahan (distorsi). Perbaikan citra ini penting dilakukan sebelum pengolahan citra lebih lanjut untuk memperoleh informasi yang diperlukan dari citra tersebut.

Data citra Landsat-TM digital daerah delta sungai Mahakam tahun 1997 dan tahun dan 2001 diperoleh dari BAKOSURTANAL masih memiliki beberapa kesalahan (distorsi), sehingga untuk memperoleh informasi yang diinginkan perlu dilakukan perbaikan terlebih dahulu. Kesalahan pada citra tersebut merupakan kesalahan geometrik.

Pengolahan citra Landsat digital didahului dengan koreksi geometrik terhadap citra tersebut, hal ini dilakukan karena citra tersebut belum memiliki sistem koordinat yang sama dengan koordinat geografis yang sebenarnya dilapangan. Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki kesalahan posisi/letak obyek yang terekam pada citra yang disebabkan oleh distorsi geometris. Distorsi geometris ini dapat disebabkan beberapa hal yaitu: terjadinya rotasi bumi pada waktu perekaman, pengaruh kelengkungan bumi, efek panoramik (sudut pandang), pengaruh topografi, pengaruh gravitasi bumi yang menyebabkan tejadinya perubahan kecepatan dan ketinggian satelit dan ketidakstabilan platform (Jaya, 2002).

(39)

geometrik hanya dilakukan pada citra tahun 2001. Citra landsat ETM+ tahun 2001 dikoreksi dengan data acuan citra tahun 1997 yang telah terkoreksi. Sistem koordinat yang digunakan dalam sistem ini adalah proyeksi UTM (universal tranverse mercator) zone 50 selatan, dengan datum WGS 84. koreksi geometrik dilakukan dengan cara memilih titik kontrol lapangan (ground control point/GCP) yang tersebar merata pada citra. Titik kontrol lapangan yang dipilih merupakan titik-titik yang permanen seperti perpotongan jalan, jembatan, sudut bangunan dan titik-titik lain yang dianggap tidak berubah posisi dalam jangka waktu yang relatif lama.

Proses koreksi geometris dimulai dengan pemilihan sejumlah titik ikat atau GCP. Penentuan GCP-GCP ini secara otomatis akan dapat diketahui nilai

root mean square error/RMSE-nya sehingga dapat dilihat GCP mana yang memiliki nilai kesalahan yang terbesar dan dapat dihitung kesalahan rata-rata (RMSE rata-rata) dari semua GCP. Dengan demikian dapat ditentukan apakah nilai rata-rata RMS tersebut melebihi atau tidak dari limit kesalahan maksimum.

A B

Gambar 4. Posisi Ground Control Point (GCP) pada Citra. Keterangan:

A : Citra tahun 2001 yang belum terkoreksi B : Citra tahun 1997 yang sudah terkoreksi

(40)

pembuangan GCP yang menyebabkan nilai RMSE yang besar. Pembuangan GCP dilakukan hingga diperoleh nilai RMSE yang dapat diterima.

Tabel 3. Rekapitulasi Ground Control Point (GCP) pada Citra Landsat ETM+ Tahun 2001

10 886,02 819,99 117,41E -0,54N 0,04**

11 893,02 832,12 117,42E -0,55N 0,19

12 1099,54 58,63 117,47E -0,33N 0,15

13 914,55 152,20 117,42E -0,36N 0,29

14 1032,72 471,76 117,45E -0,45N 0,15

15 418,86 1756,00 117,29E -0,80N 0,34

16 1582,19 593,01 117,60E -0,48N 0,17 17 1084,94 207,58 117,47E -0,38N 0,28

18 930,59 381,21 117,43E -0,42N 0,30

19 275,30 1125,19 117,25E -0,63N 0,31

Jumlah GCP terakhir setelah dikurangi beberapa titik yang memiliki nilai RMSE besar untuk mendapatkan nilai yang diinginkan (RMSE<0,5) menjadi 22 titik yang sebelumnya 30 titik. Posisi GCP dapat dilihat pada Gambar 4.

(41)

Penajaman Citra

Penajaman citra dilakukan untuk meningkatkan kemampuan analisis citra dengan mempertajam kontras antar objek dalam suatu kenampakan. Proses ini dimulai dengan teknik stretching, dimana dilakukan perentangan kontras sampai 256 level tingkat keabuan (grey level) sehingga daerah yang berwarna cerah akan tampak lebih cerah dan daerah yang berwarna gelap akan tampak lebih gelap.

Citra yang digunakan adalah citra komposit yang merupakan hasil penajaman (image enhancement) dengan menggunakan teknik komposit warna semu. Citra komposit warna semu yang dipakai adalah tiga kanal citra landsat berdasarkan susunan warna merah, hijau dan biru (RGB) berturut-turut kanal 5,4 dan 2 (Gambar 5). Tujuan dari penggabungan citra ini adalah untuk menghasilkan citra yang komposit dan informatif sehingga memudahkan dalam proses klasifikasi.

Penampakan citra pada masing-masing kanal memiliki karakteristik tertentu pada kanal 2 sensitif terhadap pantulan vegetasi yang terletak pada spektrum biru dan merah. Kenampakan antar tanah, air dan vegetasi lebih memperlihatkan perbedaan dibandingkan kanal 1. Rona yang diberikan oleh vegetasi akan lebih gelap dibandingkan dengan rona daratan atau tanah. Badan air yang dalam dan jernih akan memberikan pantulan yang minimum, sehingga kelihatan gelap. Sedangkan air yang keruh akan memberikan rona yang lebih cerah, sehingga terlihat daerah sedimentasi di sekitar delta sungai lebih cerah dibanding dengan perairan yang lebih dalam karena air keruh lebih banyak memantulkan gelombang dari pada air yang dalam.

(42)

(a) (b)

Gambar 5. Citra Asli Landsat Hasil Penajaman Komposit 542 (a) 1997 (b) 2001.

(a) (b)

(43)

Untuk membedakan vegetasi mangrove dengan vegetasi lainnya dilakukan dengan membuat komposit warna semu (FCC=false colour composit) pada kanal-kanal tertentu. Proses dari prosedur ini yaitu dengan memberi tiga warna primer RGB masing-masing pada kanal 4, 5 dan 3 secara berurutan. Citra gabungan kanal-kanal tersebut disebut juga citra komposit RGB 453 (Gambar 6).

Berdasarkan karakteristik kanal diatas, kanal 3 diberi warna biru maka warna biru berarti perairan, semakin biru warnanya, bahkan sampai hitam berarti perairan semakin dalam. Kanal 4 diberi warna merah maka warna merah menunjukkkan daerah vegetasi, sedangkan perbedaan warnanya menunjukkan perbedaan kerapatan dan jenis vegetasi. Kanal 5 diberi warna hijau maka warna hijau menunjukkan obyek-obyek yang kering dan keras seperti tanah kosong, perumahan, dan jalanan. Hal ini sesuai dengan fungsi-fungsi kanal-kanal tersebut dalam menangkap radiasi dari tiap obyek.

Pada citra komposit tersebut, daerah vegetasi mangrove tampak berwarna merah gelap sampai merah kecoklatan yang terletak di delta sungai, sedangkan vegetasi dapat ditunjukkan dengan warna oranye sampai kuning kemerahan. Warna biru tua yang tampak didaerah mangrove menandakan daerah tambak.

Klasifikasi Citra

Klasifikasi citra dimulai dengan membuat komposit RGB 542 untuk penutupan lahan dan komposit RGB 453 untuk penutupan mangrove. Dalam

software ER mapper terdapat tools yang dapat mengklasifikasikan secara langsung dengan metode klasifikasi tidak terbimbing.

(44)

Proses klasifikasi yang telah dilakukan masih terdapat kesalahan-kesalahan dalam mengkategorikan suatu objek kedalam kelas tertentu. Kesalahan tersebut meliputi adanya kelas laut yang masuk kekelas tambak, kelas mangrove masuk ke kelas laut, kelas lahan terbuka yang masuk ke kelas tambak dan juga meniadakan kelas awan dan banyangan awan. Kesalahan-kesalahan tersebut dapat diperbaiki dengan melakukan editing, sehingga kita dapat memperoleh luasan penutupan yang benar. Editing dapat dilakukan dengan membuat poligon pada daerah yang ingin dirubah dan memberinya rumus tertentu yang ada pada

software ER mapper.

Pengklasifikasian ulang (reclassification) dengan meleburkan kelas-kelas yang salah dalam pengkelasan menjadi kelas yang sebenarnya. Reclass dari kelas-kelas tersebut menghasilkan 7 kelas-kelas yang sama seperti pada saat pengklasifikasian awal tetapi lebih mirip dengan keadaan asli delta sungai Mahakam. Pengklasifikasian difokuskan hanya pada daerah penelitian yang dikaji, sehingga untuk daerah di luar lokasi penelitian tidak ikut terklasifikasi (lihat Gambar 7 dan Gambar 8).

Gambar 7. Citra Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan Delta Sungai Mahakam

Tahun 1997.

non data

PETA KLASIFIKASI PENUTUPAN LAHAN

DELTA SUNGAI MAHAKAM TAHUN 1997

Sumber Data:

(45)

Gambar 8. Citra Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan Delta Sungai Mahakam

Tahun 2001.

Perubahan terjadi pada semua kelas penutupan lahan dimana terlihat adanya kelas yang mengalami penurunan maupun peningkatan. Kelas penutupan lahan yang mengalami peningkatan antara tahun 1997 dan 2001 adalah kelas laut, kelas hutan lahan kering, kelas lahan terbuka, kelas pemukiman dan kelas tambak. Sedangkan yang mengalami penurunan luasan adalah kelas mangrove dan kelas semak belukar. Luasan penutupan lahan masing-masing obyek hasil klasifikasi ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Luasan Penutupan Lahan Tahun 1997 dan Tahun 2001 No.

Obyek Klasifikasi 1997 (ha)

Persentase

(%) 2001 (Ha)

Persentase (%)

1 Laut 135.518,509 51,926 139.088,170 53,294

2 Mangrove 94.929,000 36,374 66.130,746 25,339 3 Hutan lahan

kering 13.388,400 5,130 14.617,453 5,601

4 Semak

belukar 924,005 0,354 377,594 0,145

5 Lahan

terbuka 9.539,312 3,655 13.463,276 5,159

6 Pemukiman 827,035 0,317 1.074,008 0,412

7 Tambak 5.856,234 2,244 26.231,248 10,051

Total 260.982,495 100,000 260.982,495 100,000

(46)

Hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 1997 dan 2001 terlihat bahwa daerah delta sungai Mahakam didominasi oleh mangrove (laut tidak disertakan). Hutan lahan kering menempati urutan kedua terluas setelah mangrove untuk citra tahun 1997, sedangkan pada citra tahun 2001 kelas tambak menempati urutan kedua terluas. Pada citra tahun 1997, lahan terbuka menempati urutan ketiga terluas sedangkan untuk citra tahun 2001 kelas hutan lahan kering menempati urutan ketiga terluas. Kelas tambak menempati urutan keempat terluas untuk citra tahun 1997, sedangkan kelas lahan terbuka menempati urutan keempat terluas untuk citra tahun 2001. Urutan kelima terluas ditempati oleh kelas semak belukar untuk citra tahun 1997, sedangkan kelas pemukiman menempati urutan kelima terluas untuk citra tahun 2001. Pada citra tahun 1997 kelas pemukiman merupakan penutupan lahan yang memiliki luasan paling kecil sedangkan pada citra tahun 2001 kelas semak belukar memiliki luasan paling kecil di kawasan ini.

Perkiraan luasan dari citra hasil klasifikasi, terlihat adanya peningkatan luasan pada kelas laut dimana pada tahun 1997 luas laut sebesar 135.518,509 hektar menjadi sebesar 139.088,170 hektar pada tahun 2001. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya eksploitasi mangrove di delta sungai Mahakam dan juga abrasi pantai.

Kelas yang mengalami penurunan adalah kelas mangrove yaitu sebesar 94.929,000 hektar pada tahun 1997 menjadi 66.130,746 hektar pada tahun 2001. hal ini didorong oleh makin pesatnya pembangunan tambak, pemukiman dan pembukaan lahan yang banyak tarjadi pada lahan mangrove. Apabila dihitung dari persentase keseluruhan kelas yang ada, maka dari sekitar 36,374 % luas daerah mangrove yang ada pada tahun 1997 menurun menjadi sekitar 25,339 % pada tahun 2001.

(47)

tersebut untuk dijadikan pertambakan dan juga areal yang ditinggalkan (abandoned area).

Kelas pemukiman terjadi peningkatan luasan dari 827,035 hektar pada tahun 1997 menjadi 1.074,008 hektar pada tahun 2001. Peningkatan luasan areal pemukiman dikarenakan bertambahnya jumlah penduduk di sekitar delta sungai Mahakam dan juga bertambahnya bangunan-bangunan milik perusahaan yang mengelola tambak maupun perusahaan lainnya seperti minyak dan pertambangan.

Pada daerah tambak terjadi peningkatan luasan, dimana pada tahun 1997 luas daerah tambak sebesar 5.856,234 hektar bertambah menjadi sebesar 26.231,248 hektar pada tahun 2001. Apabila dihitung dari persentase keseluruhan kelas yang ada, maka dari sekitar 2,244 % luas daerah tambak yang ada pada tahun 1997 meningkat sekitar 10,051 % pada tahun 2001. Berdasarkan hasil tersebut terlihat adanya fenomena yang selama ini umum terjadi yakni penurunan luas daerah mangrove diikuti oleh meningkatnya luas daerah tambak.

Perubahan Penutupan Lahan

Berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat tahun 1997 dan tahun 2001 diperoleh luasan dari masing-masing penutupan lahan serta perubahannya pada rentang waktu 4 tahun di delta sungai Mahakam dapat dilihat pada Tabel 5.

Perubahan lahan dapat dideteksi dengan melakukan pendekatan spasial menggunakan metode perbandingan citra hasil klasifikasi (post classification comparison) antara dua citra yang direkam dalam dua waktu yang berbeda. Dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat mengidentifikasi setiap perubahan penutupan lahan secara detail. Dengan demikian penutupan lahan penutupan lahan yang telah berubah dan lahan yang tetap akan dapat diketahui.

(48)

Tabel 5. Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan di Delta Sungai Mahakam

No. Kelas

Luas Penutupan Lahan

Tahun 1997 Tahun 2001 Perubahan

Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) %

1 Laut 135.518,509 51,926 139.088,170 53,294 3.569,661 1,368

2

Mangrove 94.929,000 36,374 66.130,746 25,339 -28.798,254

-11,035

3 Hutan lahan

kering 13.388,400 5,130 14.617,453 5,601 1.229,053 0,471

4 Semak

belukar 924,005 0,354 377,594 0,145 -546,411 -0,209

5 Lahan

terbuka 9.539,312 3,655 13.463,276 5,159 3.923,964 1,504

6 Pemukiman 827,035 0,317 1.074,008 0,412 246,973 0,095

7 Tambak 5.856,234 2,244 26.231,248 10,051 20.375,014 7,807

Total 260.982,495 100 260.982,495 100

Berdasarkan Tabel 5 dan Tabel 6 dapat diketahui perubahan dan bentuk-bentuk perubahannya. Secara keseluruhan wilayah laut dikawasan ini mengalami peningkatan sebesar 3.569,661 hektar dalam rentang waktu 4 tahun tersebut. Dari matriks perubahan dapat dilihat bahwa hutan mangrove paling banyak berubah menjadi tambak diikuti lahan terbuka dan lahan terbuka dengan total perubahan 4.373,81 hektar. Sedangkan wilayah laut yang berubah menjadi bentuk lahan lain sebesar 804.149 hektar.

(49)

Tabel 6. Matriks Perubahan Penutupan Lahan

Perubahan Penutupan

Th 2001 (hektar)

Laut Mangrove Hutan lahan

kering

Semak belukar

Lahan

terbuka Pemukiman Tambak Total

Th 1997 (hektar)

Laut 134.714,360 735,206 0 0 20,658 0 48,285 135.518,509

Mangrove 4.351,260 63.103,404 0 7,950 10.672,228 832,080 15.962,078 94.929,000

Hutan lahan kering 0,078 0 12.883,940 217,000 287,382 0 0 13.388,400

Semak belukar 0 0,474 668,373 52,820 183,607 18,731 0 924,005

Lahan terbuka 9,538 2.233,580 1065,14 95,568 1.532,867 96,179 4.506,440 9.539,312

Pemukiman 0 2,830 0 4,256 211,208 122,716 486,025 827,035

Tambak 12,934 55,253 0 0 555,326 4,301 5.228,420 5.856,234

(50)

Tambak merupakan penyebab terbesar berkurangnya hutan mangrove yang dilakukan oleh perusahaan tambak udang besar secara intensif maupun tambak tradisional. Penyebab terbesar kedua berkurangnya hutan mangrove setelah tambak adalah lahan terbuka. Hal ini berarti adanya aktifitas pembukaan lahan hutan mangrove untuk dikonversi menjadi areal tambak dan juga areal tambak yang sudah mengering.

Selain terjadi deforestasi hutan mangrove juga terjadi reforestasi yaitu sebesar 3.027,253 hektar yaitu penghutanan kembali areal yang semula merupakan lahan terbuka, laut, tambak, pemukiman dan semak belukar. Reforestasi dari lahan terbuka menjadi mangrove adalah yang terbesar.

Kondisi mangrove di delta sungai Mahakam yang diambil dari pemotretan dengan pesawat terbang maupun teristris pada tahun 2002 disajikan pada Gambar 9. Pada gambar tersebut disajikan contoh-contoh kondisi mangrove yang belum terganggu (kanan), yang sudah mulai dibuka untuk tambak dan vegetasi mangrove pada sekitar alur sungai. Dari foto tahun 2002 (kiri) terlihat bahwa di sebagian daerah, vegetasi mangrove hanya menempati area berupa jalur tipis, yang diperkirakan sangat rentan terhadap erosi.

Gambar 9. Potret Mangrove di Delta Sungai Mahakam (Ambarwulan et al., 2003).

Secara keseluruhan wilayah hutan lahan kering di wilayah ini mengalami pertambahan luas sebesar 1.229,053 hektar. Jika dilihat dari matriks perubahan, pertambahan luasan hutan lahan kering ini disebabkan adanya pertambahan dari areal semak belukar dan lahan terbuka.

(51)

penurunan luasan tersebut disebabkan adanya konversi lahan lain mejadi hutan lahan kering, lahan terbuka dan pemukiman.

Lahan terbuka di delta sungai Mahakam mengalami penambahan luasan dalam kurun waktu 4 tahun, dari tahun 1997 sampai 2001. Perubahan luasan lahan terbuka adalah sebesar 3.923,964 hektar. Hal ini berarti telah terjadi konversi dari penutupan lahan lain menjadi lahan terbuka. Lahan yang terkonversi tersebut adalah mangrove, tambak, hutan lahan kering, pemukiman, semak belukar dan laut.

Seperti halnya lahan terbuka, areal pemukiman juga mengalami pertambahan luasan yaitu sebesar 246,973 hektar. Lahan terbangun disini juga termasuk areal pemukiman. Jika dilihat dari matrik perubahan, penambahan luasan ini berasal dari perubahan penutupan lain yaitu mangrove, lahan terbuka, semak dan tambak. Pemukiman diperkirakan akan selalu meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.

Gambar 10. Kenampakan Penutupan Lahan Tambak pada Beberapa Lokasi (Ambarwulan et al., 2003).

(52)

mangrove manjadi tambak adalah yang paling besar yaitu sebesar 15.962,078 hektar. Selain itu, ada juga yang terkonversi menjadi tambak yaitu lahan terbuka, pemukiman dan tambak.

Secara keseluruhan dalam rentang waktu 4 tahun delta sungai Mahakam yang memiliki luasan 260.982,495 hektar, sedikitnya telah terjadi perubahan lahan 43.343,968 hektar atau kurang lebih 31,163 % dari luasan total.dan sisanya 95.744,202 hektar (sekitar 68,837 %) tetap atau tidak mengalami perubahan penutupannya. Grafik perubahan luasan penutupan secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 11. Grafik tersebut memperlihatkan degradasi paling banyak terjadi pada hutan mangrove. Sedangkan pertambahan luasan terbanyak terjadi pada areal tambak.

Perubahan Luasan Penutupan Lahan

Gambar 11. Grafik Perubahan Luasan Penutupan Lahan Delta Sungai Mahakam.

Dampak Kerusakan Mangrove

(53)

fungsi mangrove bagi lingkungan sekitarnya. Mangrove mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi ekologis dan fungsi ekonomi.

Dari segi ekologis, mangrove berfungsi sebagai tempat berlindungnya biota laut yang menempel pada akar, daun mangrove merupakan penghasil bahan organik, sebagai peredam gelombang dan badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan juga sebagai perangkap sedimen. Selain itu akar mangrove sebagi tempat pemijahan (spawning ground), asuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) biota laut. Dari segi ekonomi, mangrove berfungsi sebagai penghasil tanin yang digunakan untuk obat, penghasil bahan bakar dan bahan baku produksi arang, penghasil kayu pertukangan dan bahan baku kertas.

Penyebab kerusakan mangrove terbesar adalah konversi hutan mangrove menjadi lahan budidaya tambak yang tak terkendali. Kerusakan ini menimbulkan dampak terhadap lingkungan, yaitu terganggunya ekosistem perairan karena kawasan pemijahan dan pembesaran beragam jenis ikan menjadi berkurang sehingga produksi perikanan di pesisir delta sungai Mahakam merosot tajam, terjadinya abrasi pantai karena berkurangnya mangrove sebagai pelindung dari hantaman gelombang, terjadinya pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya tertahan di ekosistem hutan mangrove. Kerusakan mangrove juga menimbulkan dampak buruk bagi penduduk sekitar kawasan delta sungai Mahakam karena terjadinya intrusi air laut sehingga penduduk sekitar mengalami kesulitan air bersih.

(54)

kawasan hutan mangrove di sekitar delta sungai Mahakam dan mengantisipasi kerusakan yang semakin parah lagi pada kawasan tersebut, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara membentuk Badan Pengelola Delta Mahakam (BPDM) pada tahun 2003 dan melakukan pelarangan pembukaan areal tambak baru.

(55)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Citra penginderaan jauh merupakan salah satu alat yang penting dalam pemetaan, terutama untuk daerah yang sulit dijangkau, karena penginderaan jauh memberikan gambaran keruangan kondisi suatu obyek di bumi. Hutan mangrove dapat dengan jelas diidentifikasi pada citra Landsat yang selanjutnya dapat diklasifikasikan. Dengan demikian, perubahan-perubahan yang terjadi dapat dimonitor secara jelas dengan citra Landsat.

2. Dari hasil kegiatan klasifikasi citra, kawasan delta sungai Mahakam digolongkan menjadi 7 kelas penutupan lahan yaitu laut, mangrove, hutan lahan kering, semak belukar, lahan terbuka, pemukiman dan tambak

3. Hasil interpretasi citra Landsat yang direkam pada dua kurun waktu yang berbeda yaitu pada tahun 1997 dan tahun 2001 menunjukkan bahwa hutan mangrove di delta sungai Mahakam telah berkurang luasnya secara sangat signifikanyaitu sebesar28.798,254 Ha atau kurang lebih 11.035 %. Sebagian besar areal mangrove beralih fungsi menjadi areal budidaya tambak.

Saran

1. Hutan mangrove yang semakin berkurang luasannya memerlukan perhatian yang lebih serius dan memerlukan campur tangan pemerintah untuk menyelamatkannya terutama di kawasan delta sungai Mahakam.

Gambar

Tabel 1. Dampak Kegiatan Manusia terhadap Ekosistem Mangrove
Tabel 2. Karaktersitik Band/Kanal pada Landsat TM
Gambar 1. Tahapan Analisis Citra Secara Digital.
Gambar 2. Diagram Alir Langkah Kerja Penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kawasan hutan mangrove delta Sungai Cimanuk memiliki peranan yang penting sebagai tempat berlindung, mencari makan, tempat berbiak dan berbagai aktivitas sosial lainnya bagi

Deteksi Perubahan Penutupan Hutan di Areal Eks Proyek Pengcmbangan Lahan Gambut Propinsi Kalimantan Tcngah Menggunah:an Landsat TM.. Dibawah bimbingan

(3) James, et.al (2007) menggunakan data penginderaan jauh yaitu data citra Landsat TM 5 dan ETM+ 7 untuk menduga perubahan dan perluasan ekosistem Mangrove di Delta Nigeria

Di sisi lain pada pengolahan citra Landsat 8 tahun 2017 Kabupaten Rokan Hilir memiliki hutan mangrove dengan luas yaitu 19.724 ha yang tersebar di enam Kecamatan

Tujuan penelitian ini yaitu: untuk mengindentifikasi jenis dan fungsi ekosistem dari luasan hutan mangrove; menghitung nilai ekonomi total yang dihasilkan oleh hutan mangrove;

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui kemampuan citra Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI dalam memetakan hutan mangrove di Segara Anakan pada tahun 2000 – 2015

Landsat memiliki banyak saluran (multispektral) yang mampu membedakan vegetasi mangrove dan bukan mangrove berdasarkan karakteristik spektralnya. Tujuan dari penelitian ini

Metode yang digunakan penelitian adalah interpretasi visual citra satelit landsat tahun 1994, 2001, dan 2014 dalam rangka melakukan monitoring perubahan luas