• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketahan Pangan Rumah Tangga Petani Penghasil Beras Organik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ketahan Pangan Rumah Tangga Petani Penghasil Beras Organik"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

KETAHANAN PANGAN

RUMAH TANGGA PETANI PENGHASIL

BERAS ORGANIK

ANANG SUHARDIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Penghasil Beras Organik adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada pergur uan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2007

Anang Suhardianto

(3)

ABSTRACT

ANANG SUHARDIANTO. Household Food Security of Farmers Who

Yielding Organic Rice. Under direction of YAYUK FARIDA BALIWATI and

DADANG SUKANDAR.

Organic farming is very emphasized in using local input and decreasing external input. Therefore, farmers, who applied organic farming, were expected having a chance to increase their access of food. The study was designed to analyze level of household food security of farmers who yielding organic rice and identify landholding that supporting household food security.

For that purposes, 61 samples of household were selected from farming households whose practicing organic farming in Ciburuy Village, Bogor Regency. The gathered data are including data on landholding, working capital, cooperation, education, purposes of practicing on organic farming, wasted management, knowledge of organic farming, organic rice productivity, income, food consumption and level of household food security. Food consumption is recalled in 1 X 24 hours and food frequency (weekly, monthly, and yearly) is used to obtain food consumption data. Household food security was determined based on level of energy consumption. Landholding that supporting household food security is determined based on rice consumption and household productivity.

The analyses result of household food security showed that 85.2% of households were secure and 14.8% were insecure. Variables that significantly influenced household food security were income, knowledge of organic farming, organic rice productivity, purposes of practicing on organic farming, landholding, and waste management.

Pearson correlation analyses showed that income, knowledge of organic farming, organic rice productivity, and landholding had significant effect toward household food security. Spearman correlation analyses showed that purposes of practicing on organic farming and waste management had significant association with household food security too.

Based on daily average of energy sufficiency, land-man ratio should be 318 m2/person.

Keywords: household food security, organic farming, land-man ratio

(4)

RINGKASAN

ANANG SUHARDIANTO. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Penghasil Beras Organik. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI dan DADANG SUKANDAR.

Pertanian organik lebih menekankan pada sumber daya alam lokal yang dapat diperbarui dan ramah lingkunga n, menggunakan teknologi lokal dan sederhana, serta sedapat mungkin mengurangi input eksternal. Dengan demikian, penerapan pertanian organi k akan memangkas biaya produksi, sehingga petani organik memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatannya guna mengakses pangan yang cukup. Namun demikian, permasalahannya adalah luas lahan yang dikuasai oleh petani tidak memadai. Bertolak dari hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik dan mengidentifikasi penguasaan lahan dalam mendukung ketahanan pangan rumah tangga.

Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga peserta Program Pemberdayaan Petani Sehat yang diselenggarakan oleh Lembaga Pertanian Sehat bekerjasama dengan Gabungan Kelompok Tani Silih Asih di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Sampel dipilih secara acak dengan ukuran sebesar 61 rumah tangga. Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden yang berpedoman pada kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya dan telah diujicobakan. Data konsumsi pangan dilakukan dengan cara recall

konsumsi pangan 1 X 24 jam, dan food frequency (seminggu, sebulan, dan setahun). Indikator yang digunakan untuk mengukur ketahanan pangan rumah tangga adalah tingkat kecukupan konsumsi energi (TKE). Suatu rumah tangga disebut tahan pangan jika tingkat kecukupan energi = 70%, dan jika < 70% disebut tidak tahan pangan. Untuk melihat hubungan antar peubah digunakan analisis korelasi dan untuk menentukan faktor-faktor determinan dari peubah-peubah bebas yang mempengaruhi ketahanan pangan digunakan analisis regresi lenear berganda.

(5)

persen tidak pernah mengenyam bangku sekolah; (5) untuk pendidikan non formal, dalam satu tahun terakhir, sebagian besar petani (59,0%) hanya mengikuti satu kali pendidikan non formal; (6) sebagian besar petani (50,9%) telah memahami dengan baik bahwa penerapan pertanian organik adalah demi pelestarian sumberdaya alam (pertanian yang berkelanjutan). Petani telah melihat kenyataannya bahwa lahan pertanian yang tadinya sulit ditemukan cacing tanah, kini mudah mendapatkannya; (7) dalam mengelola limbah, 88,6% termasuk menyokong berlangsungnya pertanian organik (60,7% menyokong dan 27,9% sangat menyokong). Petani mengelola dan mengolah dengan baik limbah yang tersedia baik limbah dari sisa tanaman, kotoran terna k, maupun limbah rumah tangga. Dilihat dari sumber limbah yang dijadikan pupuk organik, sebagian besar (45,8%) berasal dari sisa-sisa tanaman, 39,3% berasal dari kotoran hewan, dan sebagian kecil (14,9%) berasal dari sampah rumah tangga; (8) penguasaan petani dalam bertani secara organik, setengahnya (52,5%) tergolong kategori sedang (rata-rata memperoleh nilai 76,7 ± 9,0). Untuk menguasai pengetahuan seperti ini, tingkat pendidikan formal dan non formal petani ikut berperan. Mengingat tingkat pendidikan formal dan non formal yang kurang menyebabkan sebagian petani (14,8%) masih berpengetahuan bertani secara organik rendah; (9) rata-rata produktivitas beras per ha per tahun 73,29 ± 12,56 ku atau setara dengan padi kering giling 117,26 ± 20,09 ku. Produktivitas ini lebih besar daripada rata-rata produktivitas padi sawah non organik di Kabupaten Bogor; dan (10) sebagian besar (85,2%) rumah tangga petani tergolong tidak miskin, dengan rata-rata pendapatan per kapita per bulan sekitar Rp 462.500,00 ± 161.000,00 atau Rp 15.500,00 ± 5.500,00 per kapita per hari. Walaupun demikian, pendapatan tersebut belum menggambarkan kondisi perekonomian rumah tangga yang sesungguhnya. Pada kehidupan nyata sehari-hari, petani masih harus terbebani oleh beberapa bentuk pengeluaran, seperti sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan anak-anak.

Analisis terhadap peubah tidak bebas menunjukkan bahwa rumah tangga petani mengkonsumsi energi rata-rata per kapita per hari sebesar 1759 Kal dengan tingkat kecukupan energi (TKE) 87,2% dan sebagian besar (57,4%) rumah tangga petani memiliki status konsumsi yang normal, atau berada pada selang 90 – 119% AKG. Berdasarkan tingkat kecukupan konsumsi energi tersebut dapat ditampilkan situasi ketahanan pangan rumah tangga petani; hasilnya, sebagian besar rumah tangga petani (85,2%) teridentifikasi sebagai tahan pangan dan yang tidak tahan pangan sebesar 14,8%.

Hasil uji regresi linear berganda menunjukkan bahwa secara signifikan (p < 0,0001) terdapat pengaruh dari peubah bebas dengan nilai R2 sebesar 0,9597. Hasil Backward Elimination dari SAS untuk memperoleh variabel bebas yang berpengaruh nyata diperoleh enam variabel yaitu penguasaan lahan, tujuan penerapan pertanian organik, pengelolaan limbah, pengetahuan bertani secara organik, produktivitas beras organik, dan pendapatan. Dengan demikian untuk memprediksi (meramalkan) kondisi ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik dapat digunakan keenam peubah bebas tersebut.

(6)

bertani secara organik, produktivitas beras organik, dan pendapatan. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat derajat keeratan hubungan yang positif sangat nyata (p < 0,01) antara ketahanan pangan dengan: (1) pendapatan dengan r sebesar 0,954; (2) pengetahuan bertani secara organik dengan r sebesar 0,866; (3) produktivitas beras organik dengan r sebesar 0,705; dan (4) penguasaan lahan dengan r sebesar 0,395. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat derajat keeratan hubungan yang positif sangat nyata (p < 0,01) antara ketahanan pangan dengan: (1) tujuan penerapan ketentuan-ketentuan dalam pertanian organik dengan r sebesar 0,866; dan (2) pengelolaan limbah dengan r sebesar 0,815.

Land-man ratio untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal adalah 1.735 ± 459 m persegi per orang dengan kisaran 1.369 – 4.057 m persegi dan untuk rumah tangga harus menguasai lahan seluas 9.492 ± 4.306 m persegi per rumah tangga dengan kisaran 3.423 – 20.283 m persegi. Land-man ratio untuk memenuhi kebutuhan rata-rata kecukupan energi adalah 318 ± 84 m persegi per orang dengan kisaran 251 – 744 m persegi dan untuk rumah tangga harus menguasai lahan seluas 1.740 ± 789 m persegi per rumah tangga dengan kisaran 627 – 3.718 m persegi.

(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(8)

KETAHANAN PANGAN

RUMAH TANGGA PETANI PENGHASIL

BERAS ORGANIK

ANANG SUHARDIANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Penghasil Beras Organik Nama : Anang Suhardianto

NIM : A551030101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, M.S. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Dekan Sekolah Pascasarjana Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2006 ini ialah ketahanan pangan rumah tangga, dengan judul Katahanan Pangan Rumah Tangga Petani Penghasil Beras Organik.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, M.S. dan Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc. selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Universitas Terbuka selaku pemberi beasiswa, serta pimpinan dan rekan sejawat di FMIPA Universitas Terbuka yang telah me mberi dorongan selama studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, istri, dan anak-anak (Maya, Kika, Syakira) tercinta atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2007

Anang Suhardianto

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 18 Juni 1960 sebagai anak sulung dari pasangan Bapak Soeradi dan Ibu Soewarsih. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 1985. Pada tahun 2003, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan ke program magister sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Universitas Terbuka.

Penulis telah menikah dengan Ir. Semie Ardarita pada tanggal 12 Januari 1992. Saat ini penulis telah dikaruniai tiga orang putri, yaitu Maya Rahmanita Hardianti, Nabilah Rizkika Hardianti, dan Syakira Nisrina Hardianti.

Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar pada Program Studi S-1 Teknologi Pangan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Terbuka. Sejak 25 Juni 2007, penulis menjabat sebagai Ketua Program Studi pada program studi, jurusan, fakultas, dan perguruan tinggi yang sama.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan Penelitian... 4

1.3 Manfaat Penelitian... 5

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan... 6

2.2 Pertanian Berkelanjutan dan Pertanian Organik………... 13

2.3 Land-man Ratio ...………... 18

2.4 Kerangka Pemikiran...………... 20

III METODE PENELITIAN 3.1 Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian... 24

3.2 Cara Penentuan Responden... 24

3.3 Jenis dan Cara Pengumpulan Data... 24

3.4 Pengolahan dan Analisis Data... 25

3.5 Definisi Operasional Peubah Penelitian... 26

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Daerah Penelitian ...………... 31

4.2 Karakteristik Rumah Tangga Contoh... 32

4.3 Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga... 33

4.4 Luas Penguasaan Lahan...………... 45

4.5 Status Luas Penguasaan Lahan Ditinjau dari Ketahanan Pangan Rumah Tangga... 48

(14)

V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan... 52

5.2 Saran... 53

VI DAFTAR PUSTAKA... 54

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perbandingan biaya operasional per ha pembudidayaan padi

organik dan non organik... 17

2 Land-man ratio beberapa negara di Asia tahun 1980 – 2000... 19

3 Dasar pengkategorian peubah... 26

4 Karakteristik rumah tangga contoh... 33

5 Sebaran rumah tangga menurut kategori peubah yang menentukan ketahanan pangan... 38

6 Hasil uji regresi linear berganda dan korelasi antara peubah bebas dan tidak bebas... 41

7 Hasil uji regresi linear berganda untuk peubah berpengaruh nyata... 41

8 Keragaan rumah tangga petani berdasarkan peubah yang berpengaruh nyata... 43

9 Keragaan rumah tangga petani tidak tahan pangan berdasarkan peubah yang berpengaruh nyata... 44

10 Keragaan rumah tangga petani tahan pangan berdasarkan peubah yang berpengaruh nyata... 45

11 Keragaan unsur-unsur penentu luas lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal... 46

12 Luas lahan (ha) yang diperlukan keluarga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimal menurut jumlah anggota rumah tangga... 46

13 Keragaan unsur-unsur penentu luas lahan untuk memenuhi rata-rata kecukupan energi... 47

14 Luas lahan (m2) yang diperlukan keluarga untuk dapat memenuhi rata-rata kecukupan energi menurut jumlah anggota rumah tangga... 48

15 Keragaan status luas penguasaan lahan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal dan rata-rata kecukupan energi ditinjau dari status ketahanan pangan rumah tangga... 49

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka konseptual ketahanan pangan dan indikator generik... 11

2 Kerangka konseptual kurang gizi pada anak... 12

3 Sistem usahatani yang memadukan komponen tanaman dan ternak beserta karakteristiknya... 18

4 Kerangka pemikiran penelitian: Peubah dalam ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik... 23

5 Peningkatan aktivitas cacing tanah... 35

6 Pengomposan aerobik... 37

7 Pengomposan anaerobik... 37

8 Lokasi pengomposan... 37

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi

Jawa Barat ... 60

2 Peta Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat... 61

3 Hasil uji Korelasi Pearson antara peubah bebas dan tidak bebas ... 62

4 Hasil uji Korelasi Spearman antara peubah bebas dan tidak bebas ... 63

(18)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertambahan penduduk yang melaju dengan cepat perlu diimbangi dengan

kualitas dan kuantitas makanan sebagai bahan pokok, paling tidak sama dengan

laju pertumbuhan penduduk. Tuntutan ini mendorong munculnya sistem pertanian

modern yang memiliki ciri-ciri ketergantungan yang tinggi pada: (1) pupuk

sintetis; (2) bahan kimia sintetis untuk pengendalian hama, penyakit, dan gulma;

dan (3) varietas unggul untuk tanaman monokultur. Sistem pertanian modern

tersebut memang terbukti ampuh dalam menjawab tantangan tersebut. Menurut

FAO (1989) dalam Sutanto (2002), penggunaan pupuk yang sepadan dan

seimbang di negara-negara sedang berkembang dapat meningkatkan hasil pangan

50 hingga 60 persen; bahkan seorang pengamat pertanian dunia mengemukakan

bahwa kenaikan produksi pangan dunia sejalan dengan penggunaan pupuk kimia.

Namun, penggunaan bahan kimia sintetis yang intensif tersebut bukan tanpa

risiko. Allen dan Dusen (1988) mengemukakan bahwa pertanian modern ini telah

menyebabkan kemerosotan sifat-sifat tanah, percepatan erosi tanah, penurunan

kualitas tanah, dan kontaminasi air bawah tanah. Hal ini menunjukkan bahwa

tuntutan untuk meningkatkan produksi pertanian ternyata memiliki keterbatasan.

Reijntjes et al. (1992) mengemukakan bahwa produktivitas ekosistem memiliki

batas maksimal. Jika batas ini dilampaui, ekosistem akan mengalami degradasi

bahkan kemungkinan akan runtuh sehingga hanya sedikit orang yang bisa

bertahan hidup dengan sumberdaya yang tersisa.

Melihat kondisi tersebut, salah satu ancaman yang besar terhadap kualitas

dan kuantitas pertanian adalah hilangnya kesuburan tanah karena cara-cara bertani

yang tidak memperhatikan kesehatan lingkungan. Untuk itu diperlukan sistem

pertanian yang sesuai dengan asas-asas lingkungan sehingga dapat menjamin

kesehatan lingkungan dan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam

bagi generasi yang akan datang.

Ciri utama pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah: (1)

mampu meningkatkan hasil pertanian dan menjamin kebutuhan masyarakat; (2)

(19)

2 bahan kimia yang membahayakan bagi yang mengkonsumsinya; dan (3) tidak

mengurangi dan merusak terhadap kesuburan lahan pertanian, termasuk di

dalamnya tidak menimbulkan erosi tanah (Saepurrohman, 2005). Salah satu

tawaran solusi untuk menciptakan sistem pertanian yang ramah lingkungan adalah

pertanian organik.

Menurut FAO (2002), pertanian organik didefinisikan sebagai sistem

manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan

ekosistem, termasuk siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik

menekankan pada meminimalkan input eksternal seperti menghindari penggunaan

pupuk dan pestisida sintetis. Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang

berkelanjutan dan ramah lingkungan. Kesuburan tanah dijaga dan ditingkatkan

dengan cara mengoptimalkan aktivitas biologis tanah. Hama dan penyakit

tanaman dikendalikan dengan merangsang adanya hubungan seimbang antara

inang/predator, peningkatan populasi serangga yang menguntungkan, dan

penggunaan pestisida organik.

Beberapa keuntungan yang dapat dipetik dari penerapan pertanian organik,

khususnya yang berkaitan dengan kesuburan tanah, adalah pengaruhnya terhadap

sifat fisik dan kimia tanah, serta populasi mikroba tanah. Hasil penelitian di

Taiwan seperti yang dilaporkan Yamada (1988), menunjukkan bahwa pemakaian

kotoran sapi dalam jangka panjang akan memperbaiki sifat fisik tanah, yaitu

meningkatkan porositas tanah, dan cenderung menurunkan kerapatan padatan

tanah dibandingkan dengan pemakaian pupuk sintetis yang menyebabkan

peningkatan kepadatan permukaan tanah. Terhadap sifat kimia tanah, Lin et al.

(1973) menemukan bahwa tingkat Mg, Ca, dan K yang dapat dipertukarkan pada

perlakuan pupuk kandang dan pupuk hijau lebih tinggi daripada hanya

menggunakan pupuk sintetis. Reganold (1989) menyatakan bahwa dalam jangka

panjang, pertanian organik dapat meningkatkan ketersediaan P, K, dan Ca

dibandingkan dengan pertanian konvensional. Untuk pemakaian pupuk organik

pada lahan tanaman padi, Lin et al. (1973) dan Reganold (1989) sama-sama

menyimpulkan bahwa kandungan N lebih tinggi dibandingkan dengan pemakaian

pupuk sintetis. Keuntungan pertanian organik terhadap populasi mikroba tanah

(20)

ditambahkan ke dalam tanah akan menjadi sumber karbon dan energi bagi

mikroba tanah untuk kelanjutan metabolisme, pertumbuhan, dan reproduksi.

Menurut Fraser et al. (1988), peningkatan aktivitas mikroba berbanding lurus

dengan peningkatan kandungan karbon organik tanah, nitrogen, dan air dalam

pori-pori tanah.

Keuntungan lain yang diperoleh petani organik adalah dari segi keamanan

pangan, produk organik tidak menggunakan bahan pembasmi sintetis untuk hama

dan penyakit, sehingga manusia terbebas dari dampak negatif akumulasi residu

bahan sintetis tersebut dalam tubuhnya. Selain itu, juga adanya kaitan antara

praktek pertanian organik dengan peningkatan ketahanan pangan rumah tangga.

Badan dunia FAO (2002) mengemukakan bahwa karena tidak tersedianya input

dan teknologi pertanian yang murah, sederhana, dan lokal maka sebagian besar

petani tetap saja miskin, termarjinalkan, dan kelaparan. Dengan pertanian

organik, permasalahan tersebut dapat diatasi karena pertanian organik sangat

menekankan pada sumberdaya alam lokal yang dapat diperbarui dan ramah

lingkungan, menggunakan teknologi lokal dan sederhana, serta sedapat mungkin

mengurangi input eksternal. Hal ini berarti penerapan pertanian organik mampu

memangkas biaya produksi. Menurut perhitungan Andoko (2004), biaya

operasional pembudidayaan padi secara organik hanya sebesar 72% dibandingkan

dengan non organik. Selain itu, FAO (2002) juga melaporkan bahwa melalui

proyek Jajarkot Permeaculture Programme di Nepal, pertanian organik yang

diterapkan pada lahan seluas 350 ha menunjukkan peningkatan hasil panen padi

dari 1.8 menjadi 2.4 ton/ha dan jagung dari 1.2 menjadi 1.6 ton/ha.

Dengan biaya produksi yang menurun dan hasil yang cenderung meningkat

maka petani organik memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatannya

sehingga akses petani terhadap pangan juga meningkat. Jika dilihat definisi

ketahanan pangan menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1996

tentang pangan, akses terhadap pangan tersebut penting bagi rumah tangga petani

karena hal itu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup

secara produktif dan sehat. Dalam konsep food entitlement, Sen mengemukakan

bahwa akses rumah tangga terhadap pangan merupakan dimensi terpenting dari

(21)

4 tersebut menekankan pada kemampuan rumah tangga untuk memproduksi pangan

atau pertukarannya guna memperoleh pangan yang cukup.

Di antara berbagai jenis pangan yang dibutuhkan rumah tangga, salah

satunya adalah beras. Beras yang dihasilkan dari tanaman padi merupakan

makanan pokok lebih dari setengah penduduk Asia. Sekitar 1.750 juta jiwa dari

sekitar tiga miliar penduduk Asia, termasuk sekitar 200 juta penduduk Indonesia,

menggantungkan kebutuhan kalorinya dari beras (Andoko, 2004). Penduduk

Indonesia demikian tergantung pada beras, sedikit saja terjadi ganguan pasokan,

harga jual beras meningkat.

Karena itu, pemerintah sangat berkeinginan untuk berswasembada beras.

Upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil; pada tahun 1985, Indonesia berhasil

mencapai swasembada beras. Namun, untuk meningkatkan produksi hingga

tercapai swasembada beras tersebut segala daya upaya ditempuh oleh pemerintah

dengan mengeluarkan kebijakan intensifikasi pertanian di seluruh Indonesia.

Para petani di Bogor pun hingga saat ini masih menerapkan kabijakan

tersebut. Teknik bercocok tanam tradisional yang ramah lingkungan benar-benar

ditinggalkan dan digantikan dengan cara bertani modern dengan penggunaan

pupuk dan pestisida sintetis yang ternyata berdampak buruk terhadap kesuburan

tanah. Menyadari hal tersebut, pada tahun 2002, Ketua Gabungan Kelompok Tani

(Gapoktan) Silih Asih mencoba menerapkan cara bertani padi secara organik.

Namun demikian permasalahannya adalah penguasaan lahan oleh petani

tidak memadai. Rumah tangga petani di Kabupaten Bogor hanya menguasai

lahan rata-rata 0,34 ha (BPS, 2004). Masalah lain adalah tingginya balita

penyandang gizi buruk di Kabupaten Bogor. Telah terjadi peningkatan balita

penyandang gizi buruk sebesar 79,1%, yaitu dari 3.313 balita pada tahun 2005

menjadi 5.934 balita pada tahun 2006. Sedangkan balita penyandang gizi kurang

pada 2006 telah mencapai 10.000 balita (BKKBN, 2006).

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari katahanan pangan rumah tangga

(22)

1. Menganalisis tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras

organik.

2. Mengidentifikasi penguasaan lahan dalam mendukung ketahanan pangan

rumah tangga.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan (informasi) bagi

pemerintah, khususnya Departemen Pertanian, tentang kondisi ketahanan pangan

rumah tangga petani penghasil beras organik. Dengan masukan tersebut,

diharapkan pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang tepat mengenai

(23)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketahanan Pangan

2.1.1 Konsep Ketahanan Pangan

Konsep ketahanan pangan untuk pertama kalinya berkembang bersamaan

dengan terjadinya krisis pangan global, yaitu pada dekade 70-an. Konsep

ketahanan pangan yang berkembang saat itu lebih tertuju pada ketersediaan

pangan secara nasional dan global. Pada dekade 80-an terjadi perubahan konsep

ketahanan pangan. Konsep ketahanan pangan lebih mengarah pada unit analisis

yang lebih spesifik yaitu ketersediaan dan konsumsi pangan di tingkat rumah

tangga atau individu dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi (Braun et al. 1992;

Maxwell & Frankenberger 1992; Martianto 1999).

Penyebab dari perubahan pemahanan tersebut terkait dengan kenyataan

bahwa ketersediaan pangan pada skala wilayah (daerah atau nasional) tidak

menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga atau individu.

Hal ini disebabkan adanya faktor lain yang menghambat akses perolehan pangan

di tingkat rumah tangga atau individu. Menurut Maxwell dan Frankenberger

(1992), Amartya Sen mengemukakan bahwa faktor penghambat tersebut terkait

dengan entitlement (faktor kepemilikan). Level entitlement yang rendah pada

individu/rumah tangga menyebabkan mereka tidak punya akses terhadap pangan.

Handewi dan Ariani (2002) mengungkapkan bahwa pada awalnya

pertanyaan seputar ketahanan pangan adalah berkisar pada ”dapatkah dunia

memproduksi pangan yang cukup”, kemudian pertanyaan tersebut dipertajam lagi

oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) menjadi “dapatkah

dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan

terjangkau oleh kelompok miskin”. Namun sejak awal 1990-an pertanyaan

tersebut telah jauh lebih lengkap dan komplek menjadi “dapatkah dunia

memproduksikan pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan

terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan hidup”.

Sejalan dengan perkembangan konsep ketahanan pangan, pengertian

ketahanan pangan juga mengalami perkembangan. Saat ini, pengertian ketahanan

(24)

pangan pada segenap rumah tangga serta individu setiap waktu sehingga mereka

dapat bekerja dan hidup sehat (Braun et al. 1992; Suhardjo 1996, Soetrisno 1997);

yang selanjutnya oleh Baliwati (2001), akses pangan dalam pengertian tersebut

dimaknakan sebagai aksesbilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan.

Namun sebelum sampai pada pengertian tersebut, seperti yang diungkapkan

Soetrisno (1995), pada tahun 1984 konferensi FAO mencetuskan dasar-dasar

ketahanan pangan yang pada intinya adalah menjamin kecukupan ketersediaan

pangan bagi umat manusia dan terjaminnya setiap individu untuk dapat

memperoleh pangan. Pengertian tersebut selanjutnya disempurnakan pada waktu

International Congress of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun

1992 dalam Suhardjo (1996) yang memberikan definisi ketahanan pangan rumah

tangga sebagai berikut: “Ketahanan pangan rumah tangga (household food

security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan

anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan

kegiatan sehari-hari”. Kemudian dalam sidang Committee on World Food

Security 1995 dalam Soetrisno (1997), definisi tersebut diperluas dengan

menambah persyaratan “dapat diterima oleh budaya setempat” (acceptable within

given culture). Berkenaan dengan budaya setempat, Hasan (1995)

mengemukakan bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga

antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap

waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta

tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam yang memenuhi syarat-syarat

gizi yang diterima budaya setempat. Selanjutnya, seperti yang diungkapkan

Handewi dan Ariani (2002), pengertian tersebut dipertegas lagi pada Deklarasi

Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia dan Rencana Tindak Lanjut Konferensi

Tingkat Tinggi (KTT) Pangan Dunia tahun 1996 menjadi ketahanan pangan

terwujud apabila semua orang, setiap saat, memiliki akses secara fisik maupun

ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi

kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat.

Di Indonesia, deklarasi Roma tentang ketahanan pangan tersebut dapat

diterima, yang kemudian dilegitimasi pada rumusan dalam Undang-undang

(25)

8 menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi

rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik juml ah

maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sementara itu, Lokakarya

Ketahanan Pangan Nasional (Deptan 1996) memberikan rumusan ketahanan

pangan rumah tangga sebagai berikut: ketahanan pangan rumah tangga adalah

kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga dari waktu ke waktu dan

berkelanjutan baik dari produksi sendiri ataupun membeli dalam jumlah, mutu dan

ragam yang sesuai dengan lingkungan setempat serta sosial budaya rumah tangga

agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara

produktif.

Dengan demikian, pada hakekatnya ketahanan pangan rumah tangga adalah

seperti yang dikemukakan oleh Chung (1977) dan Haddad (1997), yaitu

merupakan rangkaian dari tiga komponen utama, yaitu ketersediaan dan stabilitas

pangan, kemudahan memperoleh pangan, dan pemanfaatan pangan.

2.1.2 Indikator Ketahanan Pangan

Mengingat pengertian katahanan pangan yang berubah-ubah dan

menyangkut aspek yang sangat luas, maka indikator yang digunakan para peneliti

atau pakar untuk mengukur ketahanan pangan pun sangat beragam. Ketahanan

pangan dapat diukur tidak hanya pada tingkat agregatif nasional dan regional

tetapi juga dapat diukur pada tingkat rumah tangga dan individu (Soekirman

1996).

Menurut Sayogyo (1991), indikator pertanian dan sosial ekonomi yang

digunakan untuk menganalisis ketahannan pangan meliputi pendapatan rumah

tangga, harga pangan, harga barang konsumsi lain, sistem irigasi, status gizi, dan

pelayanan kesehatan. Menurut Sutrisno (1997), dengan mengacu pada pengertian

ketahanan pangan dalam Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan

dan rencana aksi KTT Pangan Dunia, maka beberapa indikator yang dapat

digunakan meliputi: (1) angka ketersediaan pangan setara energi, protein, dan

lemak dibandingkan dengan angka kecukupan berdasarkan rekomendasi; (2)

angka konsumsi energi, protein, dan lemak penduduk dibandingkan dengan angka

(26)

mengalami rawan pangan; (4) angka indeks ketahanan pangan rumah tangga; (5)

angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan wilayah; (6)

tingkat harga pangan pokok penduduk setempat; (7) skor Pola Pangan Harapan

(PPH) untuk tingkat ketersediaan atau konsumsi; (8) kondisi keamanan pangan;

(9) keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat; dan (10) tingkat

cadangan pangan pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan.

Sementara itu, Suhardjo (1996), mengungkapkan bahwa kondisi ketahanan

pangan rumah tangga dapat tercermin dari indikator: (1) tingkat kerusakan

tanaman, ternak, perikananan; (2) penurunan produksi pangan; (3) tingkat

ketersediaan pangan dalam rumah tangga; (4) proporsi pengeluaran pangan

terhadap pengeluaran atau pendapatan total; (5) fluktuasi harga-harga pangan

utama yang umum dikonsusmsi; (6) perubahan kehidupan sosial (seperti: migrasi,

menjual/menggadaikan aset, pinjam meminjam); (7) keadaan konsumsi pangan

(kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas), serta (8) status gizi. Menurut Susanto

(1995), ketahanan pangan rumah tangga yang menurun dapat diramalkan dengan

menggunakan gejala-gejala alam dan gejala-gejala sosial yang dapat diamati dan

dicatat. Gejala-gejala alam yang terkait dengan kemungkinan terjadinya rawan

pangan dan menurunnya ketahanan pangan rumah tangga antara lain: (1)

daun-daun pohon di hutan mengering dan berjatuhan; (2) binatang hutan (babi hutan,

dan lain-lain) turun ke desa-desa; (3) sumber-sumber air mengering; (4)

anjing-anjing perumahan banyak berkeliaran di pasar; dan (5) binatang/cacing-cacing

laut banyak bergerombol di pantai. Gejala-gejala sosial yang terkait dengan

kemungkinan menurunnya ketahanan pangan rumah tangga antara lain adalah

terjadinya peningkatan jumlah: (1) penduduk yang melakukan urbanisasi; (2)

murid/siswa yang putus sekolah; (3) pedagang asongan; (4) pengemis dan

pemulung; (5) WTS dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah; (6) kasus

pencurian dan perampokan; dan (7) tuna karya.

Maxwell dan Frankenberger (1992) membagi indikator ketahanan pangan ke

dalam dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator hasil. Indikator proses

(process indicators) mencerminkan derajat kerentanan karena faktor ketersediaan

pangan dan akses fisik pangan. Indikator yang mencerminkan ketersediaan

(27)

10 produksi pertanian, model agroekologi, Neraca Bahan Makanan, informasi

sebaran hama penyakit tanaman, struktur pasar, dan kelembagaan penunjang.

Indikator hasil (outcomes indicators) merupakan proksi dari konsumsi

pangan. Indikator ini terdiri atas indikator langsung (direct indicators) dan tidak

langsung (indirect indicators). Termasuk dalam indikator langsung adalah:

pengeluaran pangan rumah tangga, persepsi rumah tangga terhadap ketahanan

pangan dan frekuensi pangan. Ada pun kategori indikator tidak langsung antara

lain mencakup kajian tentang simpanan (cadangan) pangan, rasio potensi

subsisten dan status gizi.

Sebagai rangkuman dari berbagai indikator yang digunakan dalam studi

ketahanan pangan rumah tangga, Chung et al. (1997) memberikan kerangka

konseptual ketahanan pangan beserta penggolongan indikator generiknya

(Gambar 1). Dalam kerangka konseptual ketahanan pangan tersebut terdapat tiga

komponen ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan.

Uraian dari ketiga komponen ketahanan pangan beserta indikatornya adalah

sebagai berikut: (1) komponen ketersediaan pangan meliputi sumberdaya (alam,

fisik, manusia) dan produksi (pertanian dan non pertanian). Indikator yang

digunakan untuk menjelaskan sumberdaya alam adalah curah hujan, kualitas

tanah, ketersediaan air, dan akses terhadap sumberdaya hutan; untuk menjelaskan

sumberdaya fisik adalah pemilikan ternak, sarana pertanian, dan tanah, serta

akses infrastruktur; dan untuk sumberdaya manusia adalah rasio ketergantungan,

pendidikan, besar keluarga, dan umur kepala keluarga. Adapun indikator

produksi meliputi total luas lahan garapan, luas lahan beririgasi dan diberakan,

akses terhadap input dan penggunaannya, pola tanam, keragaman tanaman,

produksi pangan, dan produksi non pertanian; (2) kompone n akses pangan

tergantung pada pendapatan baik dari pertanian maupun non pertanian. Indikator

yang digunakan adalah total pendapatan, pendapatan dari tanaman dan ternak,

upah, harga jual, pasar, akses jalan, dan kiriman uang; dan (3) komponen

pemanfaatan pangan yang meliputi konsumsi (pangan dan non pangan) dan status

gizi (anak dan dewasa). Indikator yang digunakan untuk konsumsi adalah total

pengeluaran, pengeluaran untuk pangan dan non pangan, harga beli, konsumsi dan

(28)

kesakitan, kematian, kelahiran, akses pelayanan kesehatan, air bersih, serta

sanitasi yang memadai.

UNICEF (1997) menyetakan bahwa ketidakterjaminan akses pangan

merupakan faktor penyebab tidak langsung munculnya masalah gizi kurang pada

anak selain oleh penyakit infeksi terutama diare (Gambar 2). Gambaran dari

Sumberdaya

Luas lahan beririgasi Luas lahan diberakan

(29)

12 UNICEF (1997) di atas memperlihatkan bahwa jumlah dan kualitas sumber daya

yang dicerminkan oleh ketersediaan dan produksi pangan aka n menentukan

kemampuan rumah tangga mengakses pangan.

Gambar 2 Kerangka konseptual kurang gizi pada anak (UNICEF 1997) Ketidakcukupan

Konsumsi Pangan Penyakit

Masalah gizi tangga terhadap sumber daya aktual

Kuantitas dan kualitas sumber daya aktual – manusia, ekonomi, dan organisasi – dan cara mereka mengontrolnya.

Sumber daya potensial: lingkungan, teknologi, dan penduduk

Ketidakcukupan perawatan ibu dan

(30)

2.2 Pertanian Berkelanjutan dan Pertanian Organik

Menurut Manguiat (1995), ada dua peristiwa penting yang menandai

kelahiran paradigma baru sistem pertanian berkelanjutan. Peristiwa pertama

adalah laporan dari Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (World

Commission on Environment and Development) pada tahun 1987, yang

mendefinisikan yang berupaya mempromosikan paradigma pembangunan

berkelanjutan (sustainable development). Peristiwa kedua adalah konferensi

Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang membahas Agenda 21 dengan

mempromosikan program Sustainable Agriculture and Rural Development.

Di kalangan para pakar ilmu tanah atau agronomi, istilah pertanian

berkelanjutan lebih dikenal dengan istilah LEISA (Low External Input

Sustainable Agriculture) atau LISA (Low Input Sustainable Agriculture), yaitu

sistem pertanian yang berupaya meminimalkan penggunaan input (benih, pupuk

kimia, pestisida, dan bahan bakar) dari luar ekosistem, yang dalam jangka panjang

dapat membahayakan kelangsungan hidup sistem pertanian (Salikin 2003).

Menurut Reijntjes et al. (1992), pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan

sumber daya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil

mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumbar

daya alam.

Menurut FAO (1989) seperti yang diacu dalam Salikin (2003), menyatakan

bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan dan konservasi sumber daya

alam yang berorientasi pada perubahan teknologi dan kelembagaan yang dapat

menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan.

Selanjutnya, Nasution (1995) mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan

adalah kegiatan pertanian yang berupaya untuk memaksimalkan manfaat sosial

dari pengelolaan sumber daya biologis dengan syarat memelihara produktivitas

dan efisiensi produksi komoditas pertanian, memelihara lingkungan hidup, dan

produktivitas sumber daya sepenjang masa.

Dari berbagai definisi di atas, pertanian berkelanjutan berkaitan dengan

dimensi waktu dan kapasitas sistem usaha tani untuk mendukung kehidupan

dalam jangka waktu tidak terbatas. Keadaan tersebut dapat dicapai berdasarkan

(31)

14 pestisida secara minimal, dan (2) sistem usaha tani dipandang sebagai satu

kesatuan sehingga pengambilan keputusan harus memperhatikan dampak terhadap

sistem yang lain (Baliwati 2001).

Dengan demikian, keterkaitan antara pertanian berkelanjutan dengan

ketahanan pangan dapat dilihat pada tujuan dari penerapan sistem pertanian

berkelanjutan yang mengarah pada peningkatan kualitas kehidupan. Zamora

(1995) merinci tujuan pertanian berkelanjutan sebagai berikut: (1) untuk

mewujudkan ketahanan pangan, (2) pengembangan sumber daya manusia, (3)

meningkatkan kualitas hidup, dan (4) menjaga kelestarian sumber daya alam.

Untuk menilai keberlanjutan dari suatu sistem usaha tani diperlukan

indikator. Indikator pertanian berkelanjutan yang dikembangakan Conway (1987)

seperti yang diacu dalam Salikin (2003) meliputi produktivitas, stabilitas,

sustainabilitas, dan ekuitabilitas. Produktivitas sistem pertanian merupakan upaya

peningkatan produksi per satuan waktu. Stabilitas sistem pertanian

menggambarkan fluktuasi produksi hasil panen setiap waktu yang disebabkan

oleh perubahan agroekosistem atau serangan hama dan penyakit. Sustainabilitas

merupakan gambaran ketahanan sistem budi daya pertanian terhadap perubahan

lingkungan atau ekonomi . Perubahan ini dapat bersifat menekan karena

memberikan efek yang akumulatif, seperti erosi atau penurunan permintaan atas

produk pertanian; atau bersifat mengejutkan karena tak terduga dan memberikan

dampak yang sangat berarti, seperti terjadinya krisis ekonomi yang

mengakibatkan peningkatan harga input pertanian secara tajam.

Ekuitabilitas atau kesamarataan menggambarkan bahwa produksi pertanain

dapat dapat memberikan keuntungan yang merata atau sebaliknya. Ekuitabilitas

usaha tani yang tinggi akan membuat sebagian besar orang orang dapat menikmati

keuntungan dari produk pertanian.

Sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan

beberapa macam model sistem. Salah satunya adalah sistem pertanian organik.

Pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah (no-tillage) yang merupakan

salah bentuk penerapan pertanian berkelanjutan, jika dikombinasikan dengan

sistem pertanian organik akan memberikan hasil yang memuaskan. Hasil

(32)

bahwa produksi jagung yang diperoleh dari lahan no-tillage dengan kombinasi

pertanian organik memberikan hasil 18% lebih besar daripada lahan no-tillage

dengan sistem pertanian non organik.

Pengertian sistem pertanian organik menurut IFOAM (2004) adalah sistem

pertanian yang mengedepankan daur ulang unsur hara dan proses alami dalam

pemeliharaan kesuburan tanah dan keberhasilan produksi. Di Indonesia,

pengertian sistem pertanian organik lebih dirinci oleh Badan Standardisasi

Nasional yang dituangkan dalam SNI (2002) tentang Sistem Pangan Organik,

yaitu sebagai sistem pertanian yang menerapkan praktek-praktek manajemen yang

bertujuan untuk memelihara ekosistem untuk mencapai produktivitas yang

berkelanjutan, dan didasarkan pada penggunaan masukan eksternal yang

minimum, serta menghindari penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Kesuburan

tanah dijaga dan ditingkatkan melalui suatu sistem yang mengoptimalkan aktivitas

biologis tanah dan keadaan fisik dan mineral tanah yang bertujuan untuk

menyediakan suplai nutrisi yang seimbang bagi kehidupan tumbuhan dan ternak

serta menjaga sumberdaya tanah. Manajemen hama dan penyakit dilakukan

dengan merangsang adanya hubungan seimbang antara inang/predator,

peningkatan populasi serangga yang menguntungkan, pengendalian biologis serta

pembuangan secara mekanis hama maupun bagian tumbuhan yang terinfeksi.

Lebih jauh menurut SNI (2002), sistem pertanian organik merupakan suatu

sistem produksi pangan organik yang dirancang untuk: (1) mengembangkan

keanekaragaman hayati dalam sistem secara keseluruhan; (2) meningkatkan

aktivitas biologis tanah; (3) menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang; (4)

mendaur ulang limbah yang berasal dari tumbuhan dan hewan untuk

mengembalikan nutrisi ke lahan sehingga meminimalkan penggunaan sumberdaya

yang tidak dapat diperbaharui; (5) mengandalkan sumberdaya yang dapat

diperbaharui pada sistem pertanian yang dikelola secara lokal; (6)

mempromosikan penggunaan tanah, air dan udara secara sehat, serta

meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan oleh praktek-praktek

pertanian; (7) menangani produk pertanian dengan penekanan pada cara

pengolahan yang hati-hati untuk menjaga integritas organik dan mutu produk pada

(33)

16 melalui suatu periode konversi, dimana lama waktunya ditentukan oleh faktor

spesifik lokasi seperti sejarah lahan serta jenis tanaman dan hewan yang akan

diproduksi.

Menurut Andoko (2004), yang dimaksud dengan beras organik adalah beras

yang berasal dari padi yang dibudidayakan secara organik; artinya padi tersebut

ditumbuhkembangkan dengan mengikuti prinsip-prinsip pertanian organik. Beras

organik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan beras non organik.

Andoko (2004) mengungkapkan bahwa nasi dari beras organik lebih empuk dan

pulen, memiliki kenampakan lebih putih, serta memiliki daya tahan hingga 24 jam

sementara nasi dari beras non organik hanya 12 jam. Dari alasan keamanan

pangan, konsumen merasa tidak terancam kesehatannya dengan memilih padi

organik karena tiadanya pemakaian pestisida dalam budidayanya. Alasan

kesehatan ini juga diungkapkan oleh Pranasari (8 Nov 2004), yang menulis bahwa

pemilihan pangan organik antara lain disebabkan peningkatan kesadaran

masyarakat akan pentingnya kesehatan.

Persepsi positif terhadap beras organik ditambah dengan masih terbatasnya

pasokannya merupakan penyebab utama harga jual beras organik lebih mahal

daripada beras non organik. Dalam tulisannya Andoko (2004) menyebutkan

ketika harga beras non organik varietas pandan wangi sekitar Rp 3.300/kg, harga

beras organik dapat mencapai Rp 3.600/kg untuk varietas yang sama. Selisih

tersebut memang tidak banyak, namun tetap berada di atas harga beras non

organik. Hal inilah yang membuat nilai ekonomis beras organik lebih tinggi

dibanding beras non organik.

Melihat kenyataan tersebut, wajar apabila sebagian petani bersedia beralih

dari penghasil beras non organik ke organik. Apalagi jika dilihat dari biaya

operasional pembudidayaan padi organik yang lebih rendah daripada non organik.

Dengan asumsi sama-sama tidak ada gangguan alam atau serangan hama

penyakit, Andoko (2004) menyebutkan untuk padi organik, petani hanya

membutuhkan biaya operasional pembudidayaan sebesar Rp 3.375.000,- per ha

padahal untuk padi non organik petani harus mengeluarkan uang sebesar Rp

4.677.500,- untuk luasan lahan yang sama. Rincian biaya operasional

(34)

Pendapatan petani dari beras organik tersebut dapat lebih ditingkatkan lagi

jika kondisi petani memungkinkan untuk menerapkan sistem usahatani yang

memadukan komponen tanaman dan ternak. Sayangnya, sistem usahatani ini

mensyaratkan kepemilikan ternak dalam jumlah yang memadai dan tersedia lahan

dengan luasan yang mampu menopang sistem pertanian terpadu tersebut. Namun

jika persayaratan tersebut dapat terpenuhi, maka salah satu pertimbangan dalam

mengembangkan pertanian organik, yaitu memanfaatkan sumberdaya terbarukan

(renewable resources) yang berasal dari sistem usaha tani itu sendiri, akan dapat

dipenuhi (IFOAM 1990, diacu dalam Sutanto 2002).

Tabel 1. Perbandingan biaya operasional per ha pembudidayaan padi organik dan non oganik (Andoko 2004)

Uraian Biaya Budidaya (Rp)

Organik Non organik

Benih 150.000 150.000

Tenaga kerja 2.225.000 2.225.000 Jumlah 3.375.000 4.677.500

Shivashankara dan Hedge (1996) dalam Sutanto (2002) mengungkapkan

walaupan sistem usahatani yang memadukan komponen tanaman dan ternak ini

memiliki karakteristik membutuhkan tenaga kerja labih banyak sepanjang tahun,

namun produk pertanian yang diperoleh menjadi beragam yaitu berupa produk

hewani dan nabati. Sistem usahatani ini menuntut penggantian biomassa dalam

jumlah banyak melalui pengembalian sisa tanaman dan kotoran ternak ke dalam

tanah, maka terjadi peningkatan proses daur ulang, kesehatan tanah diperbaiki,

produksi meningkat, dan lingkup pertanian organik terpenuhi. Secara ringkas,

hubungan sistem usahatani tersebut dengan karakteristiknya disajikan pada

(35)

18

2.3 Land-man Ratio

Land-man ratio berkaitan erat dengan pertumbuhan penduduk. Sebagai

contoh kasus di Bangladesh seperti yang dikemukakan Spillmann dan Bachler,

(2004), pertumbuhan penduduk menurunkan land-man ratio menjadi 0,117 ha

pada tahun 1990 dari 0,134 ha pada tahun 1981. Selain itu, land-man ratio juga

menurun sebagai akibat dari terjadinya fragmentasi kepemilikian lahan karena

budaya sistem pewarisan yang memecah-mecah kepemilikan lahan. Akibatnya,

kepemilikan lahan semakin mengecil sehingga tidak efektif lagi sebagai lahan

pertanian (Hussain 2004).

Gambar 3 Sistem usahatani yang memadukan komponen tanaman dan ternak beserta karakteristiknya (Shivashankara & Hedge 1996, diacu dalam Sutanto 2002).

Menurut FAO (1994), wilayah Asia-Pasific memiliki land-man ratio

terendah (0,23 ha/orang), sementara setengah penduduk dunia bermukim di sini

dan menurut Pookpakdi (2002) 61%-nya adalah orang-orang yang kehidupannya

(36)

tergantung pada pertanian. Walaupun begitu, ternyata wilayah ini hanya memiliki

31% dari lahan pertanian di dunia. Kondisi land-man ratio rendah ini nampaknya

akan terus menjadi lebih rendah, sementara jika dibandingkan dengan rata-rata

land-man ratio dunia menurut laporan FAO, pada tahun 1991 adalah sebesar 1.62

ha/orang dan hasil pengolahan dari FAO (2007) menunjukkan bahwa pada tahun

2000 land man ratio di Indonesia sebesar 0,0969 ha/orang atau 969 m2/orang. Kondisi ini terus menurun, menurut Shahyuti (2004), land-man ratio di Indonesia

pada tahun 2004 dengan jumlah penduduk diperkirakan 215 juta jiwa dan luas

lahan pertanian 7,8 juta ha adalah 362 m2/orang. Angka ini jauh lebih rendah misalnya dibandingkan dengan Thailand yang mencapai 1.870 m2/orang dan Vietnam 1.300 m2/orang.

Tabel 2 Land-man ratio beberapa negara di Asia tahun 1980 – 2000

Negara Land man ratio (m

Sumber: Diolah dari FAO (2007)

Kondisi fisik kehidupan di pedesaan menjadi lebih buruk. Sebagai akibat

dari peningkatan jumlah penduduk, sektor pertanian menjadi sangat terbebani.

Pada waktu yang bersamaan, terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan di

pedesaan mengakibatkan penurunan land-man ratio di seluruh wilayah Indonesia,

dan yang paling signifikan adalah yang terjadi di daerah irigasi di Jawa (Hussain

2004). Di sisi lain, petani dituntut menaikkan produktivitas. Untuk meningkatkan

hasil pertanian tidak dapat dengan ekstensifikasi melainkan dengan penggunaan

(37)

20 Penggunaan sistem pertanian organik merupakan salah satu jalan keluar yang

dapat dijadikan alterna tif.

2.4 Kerangka Pemikiran

Landasan berfikir penelitian ini didasarkan pada gambaran yang diberikan

UNICEF (1997) bahwa terdapat keterkaitan antara sumber daya potensial dan

aktual, ketidaktahanan pangan rumah tangga, dan kurang gizi (Gambar 2). Dari

Gambar 2 tersebut terlihat bahwa yang menentukan kemampuan rumah tangga

dalam mengakses pangan dan selanjutnya berpengaruh terhadap konsumsi pangan

individu adalah ketersediaan dan produksi pangan yang merupakan cerminan dari

jumlah dan kualitas sumber daya. Sumber daya yang terkait dengan pokok

masalah timbulnya kurang gizi dikelompokkan sebagai sumber daya potensial dan

aktual.

Agar rumah tangga terhindar dari masalah akses terhadap pangan karena

ketidaktersediaan pangan yang selanjutnya akan berakibat pada ketidakcukupan

konsumsi pangan pada individu maka petani harus melalukan kegiatan produksi

usaha tani. Mengingat sistem usaha tani konvensional yang selama ini dilakukan

petani berdampak pada kemerosotan tingkat kesuburan tanah maka petani harus

meningkatkan kualitas dengan memanipulasi sumber daya potensial dengan

menerapkan teknologi yang memungkinkan. Dalam hal ini petani memilih sistem

pertanian berkelanjutan yang salah satu model pelaksanaannya adalah sistem

pertanian organik. Dengan pertanian berkelanjutan, mutu lahan menjadi

dipertahankan pada kondisi optimal sehingga akan menjamin produktivitas dalam

jangka waktu lama untuk mewujudkan ketahanan pangan.

Yang termasuk dalam sumber daya aktual adalah manusia, ekonomi, dan

organisasi. Secara umum yang termasuk sumber daya manusia adalah

keterampilan, motivasi, kemauan, pengetahuan, pengalaman, dan komitmen.

Sumber daya ekonomi meliputi lahan, sumber daya alam, produksi, teknologi,

pendapatan, dan kredit. Sumber daya organisasi melibatkan organisasi formal dan

non formal seperti keluarga, suku, organisasi masa, LSM, dan struktur

administrasi dan institusi (Yambi & Kavishe 2002). Dalam penelitian ini, sumber

(38)

non formal, pengelolaan limbah, tujuan penerapan pertanian organik, dan

pengetahuan bertani secara organik. Pendidikan non formal yang diterima kepala

keluarga adalah dalam bentuk pelatihan-pelatihan terutama yang berkaitan dengan

sistem pertanian organik, khususnya dalam menghasilkan beras organik.

Pelatihan ini diperlukan petani dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan

keterampilannya, selain sebagai ajang bertukar informasi dan mendiskusikan

permasalahan yang ditemui selama mengelola sistem pertanian organik. Dalam

mengelola sistem pertanian organik, petani dituntut untuk mentaati

ketentuan-ketentuan seperti yang dituangkan dalam SNI Sistem Pangan Organik, yaitu

antara lain menggunakan sumberdaya lokal dan meminimalkan masukan

eksternal. Untuk itu, petani dituntut untuk mampu mengelola sebaik mungkin

sumberdaya yang mereka miliki termasuk limbah yang dihasilkan oleh

aktivitasnya sehingga ia dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik.

Limbah tersebut dapat berupa sisa-sisa panen tanaman, kotoran ternak, atau

sampah rumah tangga. Khusus untuk sampah rumah tangga, yang diperhitungkan

adalah sampah yang dapat didekomposisikan. Berkaitan dengan hal itu, peubah

berikutnya yang perlu dicermati adalah pengelolaan limbah oleh petani. Dengan

mengidentifikasi bentuk pengelolaan limbah yang dilakukan petani akan dapat

diketahui tingkat sokongannya terhadap sistem pertanian organik yang sedang ia

lakukan. Selain itu, dalam sumberdaya manusia juga menelaah tujuan dari

penerapan pertanian organik. Tujuan atau harapan petani ketika menerapkan

sistem pertanian organik dapat berupa pelestarian sumberdaya alam atau harapan

dalam kaitannya dengan peningkatan ekonomi atau sosial. Agar petani dapat

menerapkan sistem pertanian organik dengan benar maka petani harus memiliki

pengetahuan yang cukup; khususnya berkenaan dengan persiapan lahan,

pengelolaan kesuburan tanah, pengelolaan hama dan penyakit, pemakaian benih,

dan penanganan pasca panen.

Sumber daya ekonomi ditelaah berdasarkan variabel-variabel berikut:

penguasaan lahan, modal kerja, produktivitas beras organik, dan pendapatan.

Ukuran luas lahan yang dikuasai dan diusahakan untuk bertanam padi organik

akan menentukan produktivitas padi organik, modal kerja merujuk pada peralatan

(39)

22 produksi beras, tanaman lain, dan ternak, juga dari hasil ‘menjual jasa’ baik di

bidang maupun di luar pertanian dan transfer uang yang dapat berupa kiriman

uang atau bantuan dari pemerintah (misalnya, bantuan langsung tunai). Dengan

pendapatan ini, petani akan memiliki kemampuan untuk mengakses pangan.

Variabel yang berkaitan dengan sumber daya organisasi adalah kerjasama.

Peralihan usahatani dari pertanian non organik ke organik mengharuskan rumah

tangga petani belajar kepada pihak-pihak yang terlebih dahulu menguasai

teknik-teknik bertani organik. Rumah tangga petani harus melakukan hubungan dan

kerjasama dengan organisasi sosial lainnya dalam sistem usahataninya (dalam

penelitian ini terutama dengan Lembaga Pertanian Sehat). Lembaga tersebut

memberikan transfer pengetahuan bertani organik seperti pembuatan pupuk

organik dan pembuatan pestisida nabati termasuk penerapannya. Lembaga ini

juga melakukan supervisi mulai dari masa pertumbuhan padi hingga pena nganan

pasca panen, dan yang terakhir adalah membeli hasil panen serta memasarkannya.

Hubungan sosial tersebut selain dengan lembaga, tidak tertutup kemungkinan

adanya hubungan dan kerjasama antara petani dengan pemerintah, swasta,

perguruan tinggi, maupun antar petani.

Kuantitas dan kualitas sumber daya akan menentukan kemampuan rumah

tangga dalam mengakses pangan yang dicerminkan oleh konsumsi pangan.

Karena menurut Maxwell & Frankenberger (1992) ketahanan pangan adalah akses

terhadap pangan yang cukup untuk beraktivitas dan hidup sehat bagi seluruh

anggota rumah tangga maka dengan menjadikan konsumsi pangan anggota rumah

tangga sebagai variabel dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketahanan

pangan rumah rangga. Secara ringkas, kerangka pemikiran ini disajikan pada

(40)

KETAHANAN PANGAN

Konsumsi pangan Penyakit

Status gizi

− Pendidikan formal dan non formal

: Peubah yang diteliti : Peubah yang tidak diteliti : Alur hubungan antar peubah

(41)

III METODE PENELITIAN

3.1 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional. Tempat penelitian

adalah di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Tempat

penelitian sengaja dipilih dengan pertimbangan kekhus usan dari jenis usahatani

penghasil beras organik dan lamanya menerapkan sistem pertanian organik.

Petani di tempat penelitian telah menerapkan pertanian organik minimal 3 (tiga)

tahun. Menurut SNI (2002), untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip produksi

pangan organik, lahan harus telah mengalami masa konversi dari pertanian

konvensional ke pertanian organik paling sedikit 2 (dua) tahun sebelum penebaran

benih. Penelitian ini dilakukan mulai Mei sampai dengan Agustus 2006.

3.2 Cara Penentuan Responden

Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga peserta Program

Pemberdayaan Petani Sehat yang diselenggarakan oleh Lembaga Pertanian Sehat

bekerjasama dengan Gabungan Kelompok Tani Silih Asih di Desa Ciburuy,

Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Sampel dipilih secara acak dengan

ukuran sebesar 61 rumah tangga dengan pertimbangan agar nilai-nilai yang

diperoleh berdistribusi normal. Menurut Mantra dan Kasto (1989), sampel yang

tergolong sampel besar yang distribusinya normal adalah sampel yang jumlahnya

> 30 kasus, yang diambil secara acak (random).

3.3 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer

meliputi peubah: penguasaan lahan, modal kerja, kerjasama, pendidikan formal

dan non formal kepala keluarga, tujuan penerapan pertanian organik, pengelolaan

limbah, pengetahuan bertani secara organik, produktivitas beras organik,

pendapatan rumah tangga, dan tingkat konsumsi pangan rumah tangga.

Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan

responden yang berpedoman pada kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya

(42)

konsumsi pangan 1 X 24 jam, dan food frequency (seminggu, sebulan, dan

setahun). Menurut Sukandar et al. (2001), konsumsi pangan rumahtangga yang

diukur berdasarkan data frekuensi konsumsi pangan lebih menggambarkan pola

konsumsi selama periode waktu tertentu, dimana terdapat kemungkinan rata-rata

konsumsi pangan rumahtangga pada hari-hari tertentu lebih rendah atau lebih

tinggi daripada rata-rata konsumsi pada hari-hari lainnya. Ketika pengumpulan

data konsumsi pangan dilakukan, petani sedang dalam kondisi dua minggu setelah

panen.

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi monografi desa dan kecamatan,

curah hujan, zona agroklimat dan data-data lain yang menunjang penelitian.

Data-data tersebut diperoleh dari Kantor Desa Ciburuy, Kantor Kecamatan Cigombong,

Dinas Pertanian Kehutanan Kabupaten Bogor, dan Badan Pusat Statistik

Kabupaten Bogor.

Untuk lebih mendalami aspek-aspek kualitatif dari masalah dan tujuan

penelitian, dilakukan penggalian informasi melalui wawancara secara mendalam

terhadap tokoh masyarakat, aparat desa, petugas lapangan dari instansi terkait.

Penggalian informasi juga dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan.

3.4 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan perangkat

lunak komputer SPSS 11.5 for Windows dan SAS 9 for Windows. Untuk melihat

hubungan antar variabel digunakan analisis korelasi dan untuk menentukan

faktor-faktor determinan dari variabel-variabel bebas yang mempengaruhi ketahanan

pangan digunakan analisis regresi linear berganda. Persamaan umum yang

digunakan adalah sebagai berikut:

Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 + β9X9 + b10X10 + Ε

Y = peubah tidak bebas (ketahanan pangan yang diukur berdasarkan

Tingkat Kecukupan Energi)

β = koefisien regresi

(43)

26 X3 = peubah bebas ketiga (kerjasama)

X4 = peubah bebas keempat (pendidikan formal kepala keluarga) X5 = peubah bebas kelima (pendidikan non formal kepala keluarga) X6 = peubah bebas keenam (tujuan penerapan pertanian organik) X7 = peubah bebas ketujuh (pengelolaan limbah)

X8 = peubah bebas kedelapan (pengetahuan bertani secara organik) X9 = peubah bebas kesembilan (produktivitas beras organik) X10 = peubah bebas kesepuluh (pendapatan)

Ε = galat

Pengkategorian peubah dilakukan dengan mengikuti ketentuan seperti yang

tertera pada Tabel 2.

Tabel 3 Dasar pengkategorian peubah

Peubah Dasar pengkategorian Penguasaan lahan Standar BPS

Modal kerja Distribusi nilai

Kerjasama Justifikasi

Pendidikan formal kepala keluarga Justifikasi Pendidikan non formal kepala keluarga Justifikasi Tujuan penerapan pertanian organik Justifikasi Pengelolaan limbah Distribusi nilai Pengetahuan bertani secara organik Justifikasi Produktivitas beras organik Distribusi nilai

Pendapatan Bank Dunia

Tingkat Kecukupan Energi Standar Depkes Tingkat Ketahanan Pangan Basal metabolism

3.5 Definisi Operasional Peubah Penelitian

Luas penguasaan lahan diperoleh berdasarkan informasi dari responden mengenai total luas lahan yang dikuasai dan diusahakan, baik berupa

sawah, tegalan, atau pekarangan dalam satuan hektar. Sawah yang

dikuasai dan diusahakan petani dapat milik sendiri atau orang lain

(disewa atau disakap). Sawah milik sendiri pun dapat digarap sendiri

(44)

disetarakan dengan milik sendiri atau lahan digarapkan disetarakan

dengan digarap sendiri, digunakan faktor penimbang (pembobot) seperti

yang dikemukakan Syamsuddin (1984), diacu dalam Baliwati (2001).

Faktor penimbang tersebut adalah sebagai berikut:

Untuk tanah garapan (milik plus):

Milik:

Sawah = 1

Tegalan = 2/3

Pekarangan = 1/3

Sewa (sawah) = 1/2

Sakap, tergantung besarnya bagi hasil, yaitu:

Bagi dua (maro) = 1/2

Bagi tiga (mertelu) = 1/3

Untuk tanah bukan garapan sendiri (milik minus):

Sawah milik yang disewakan = 1/2

Sawah milik yang disakapkan, tergantung besarnya bagi hasil, yaitu:

Bagi dua (maro) = 1/2

Bagi tiga (mertelu) = 1/3

Untuk pengelompokannya dibuat ukuran interval dengan ketentuan: bagi

rumah tangga yang menguasai lahan kurang dari 0.5 hektar disebut petani

gurem/lapisan bawah, jika menguasai 0.5 – 0.9 hektar disebut petani

sedang/lapisan menengah, dan jika menguasai lebih atau sama dengan

1.0 hektar disebut petani kaya/lapisan atas.

Modal kerja dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh sumberdaya yang dimiliki petani yang digunakan untuk membiayai dan menyokong

usahatani mulai dari persiapan hingga pasca panen. Modal kerja

dinyatakan dalam rupiah per hektar untuk satu musim tanam selama satu

tahun terakhir.

Kerjasama merupakan bentuk kerjasama yang dilakukan petani dengan pihak-pihak lain selama 1 (satu) tahun yang lalu guna mendapatkan sarana

produksi, ilmu, dan jasa dalam lingkup pengelolaan usahatani padi

(45)

28 penyedia input (bibit, pupuk organik, pestisida organik, air irigasi, tenaga

kerja, modal kerja), pemberi ilmu mengenai tata cara mengelola tanah

hingga penanganan pasca panen, atau sebagai penyedia jasa, seperti

pelabelan, sertifikasi, pema saran, dan promosi. Berdasarkan informasi

yang diberikan, maka responden dapat distrata berdasarkan tingkat

keaktifannya.

Pendidikan formal kepala keluarga adalah lama dan jenis pendidikan formal yang diikuti kepala keluarga. Jenis pendidikan dikelompokkan menjadi

tidak pernah sekolah, lulus SD, lulus SMTP atau lebih tinggi.

Pendidikan non formal kepala keluarga adalah macam-macam pelatihan

yang diikuti oleh kepala keluarga dalam satu tahun terakhir. Pelatihan

yang dimaksudkan adalah jenis pelatihan yang berada dalam lingkup

pertanian organik, seperti pemilihan varietas, pembuatan pupuk dan

pestisida organik, hingga penanganan pasca panennya.

Tujuan penerapan pertanian organik merupakan gambaran dari harapan petani penghasil beras organik selama dan setelah mengelola usaha

taninya yang berbasis sistem pertanian organik.

Pengelolaan limbah merupakan kegiatan yang dilakukan petani guna menyokong pertanian organik yang sedang mereka kerjakan dengan cara

mendekomposisikan limbah menjadi sumber pupuk organik. Menurut

Seymour (1997), kriteria sistem pertanian organik yang diberikan

IFOAM setidaknya harus memenuhi enam prinsip standar; salah satunya

adalah mendayagunakan potensi lokal yang ada sebagai suatu

agroekosistem yang tertutup dengan memanfaatkan bahan-bahan baku

atau input dari sekitarnya. Dengan demikian, petani yang memanfaatkan

limbah rumah tangganya sebagai pupuk organik berarti telah menyokong

prinsip-prinsip dalam bertani organik.

Pengetahuan bertani secara organik menunjukkan tingkat penguasaan kepala keluarga terhadap ketentuan-ketentuan dalam mengelola pertanian

organik sehingga menghasilkan beras yang diakui sebagai produk pangan

organik. Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan persiapan lahan,

(46)

pemakaian benih, dan penanganan pasca panen, termasuk pelabelan dan

pengakuan.

Produksi beras organik merupakan produksi beras organik selama satu tahun dalam satuan kuintal.

Pendapatan rumah tangga merupakan jumlah pendapatan rumah tangga untuk jangka waktu satu tahun dalam satuan rupiah. Pendapatan rumah tangga

diperhitungkan berdasarkan perolehan dari tanaman pangan, ternak,

berburuh tani, dan selain dari berburuh tani termasuk transfer uang.

Tingkat konsumsi pangan rumah tangga adalah jumlah makanan yang dikonsumsi anggota rumah tangga dalam satu hari agar mampu

melakukan kegiatan sehari-hari. Yang diukur adalah tingkat konsumsi

energi yang diperoleh dari kuesioner frekuensi pangan yang telah

dikonversi menjadi energi yang diko nsumsi dalam satu hari. Tingat

Konsumsi Energi (TKE) dihitung dengan rumus:

TKE = Konsumsi Energi X 100% Kecukupan Energi

Ketahanan pangan rumah tangga merupakan penilaian atau evaluasi terhadap situasi ketahanan pangan rumah tangga petani. Indikator yang digunakan

untuk mengukur ketahanan pangan rumah tangga adalah tingkat

kecukupan konsumsi energi (TKE). Suatu rumah tangga disebut tahan

pangan jika tingkat kecukupan energi = 70%, dan jika < 70% disebut

tidak tahan pangan. Cut-off point sebesar 70% didasarkan pada Angka

Kecukupan Energi (AKE) yaitu sebesar 1.4 Basal Metabolism Rate

(BMR) yang merupakan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari

(Zeitlin & Brown 1990, diacu dalam Baliwati 2001).

Luas penguasaan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal merupakan penguasaan lahan oleh rumah tangga petani yang luasnya mencukupi

untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Oleh karena pada

kenyataannya kebutuhan hidup manusia tidak hanya makan maka

Gambar

Gambar 1  Kerangka konseptual ketahanan pangan dan indikator generik
Gambar 2  Kerangka konseptual kurang gizi pada anak (UNICEF 1997)
Gambar 3  Sistem usahatani yang memadukan komponen tanaman dan ternak
Gambar 4  Kerangka pemikiran penelitian: Peubah dalam ketahanan pangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ketersediaan pangan pokok (beras), mengetahui pola konsumsi rumah tangga, dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani

Untuk menjawab tujuan ketiga yaitu menganalisis pengeluaran konsumsi dan ketahanan pangan rumah tangga petani padi lahan rawa lebak di Sumatera Selatan maka

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan pangan rumah tangga petani lahan kering di Kecamatan Sumberlawang Kabupaten Sragen dan menganalisis strategi

Analisis ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan proporsi pengeluaran pangan dan konsumsi energi (studi kasus pada rumah tangga petani peserta program desa

aksesbilitas ketahanan pangan komoditas beras sesuai data responden petani dalam memperoleh bahan pangan komoditas beras terkategori tidak stabil dalam pemenuhan

Derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga petani yang digunakan adalah pangsa pangan, yaitu klasifikasi silang dua indikator ketahanan pangan, yaitu pangsa

Ketahanan pangan rumah tangga dicerminkan oleh beberapa indikator, diantaranya yaitu besarnya produksi pangan, tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga, proporsi

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Analisis Hubungan Proporsi Pengeluaran dan Konsumsi Pangan dengan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di