PENGEMBANGAN ALTERNATIF
USAHATANI BERBASIS KOPI
UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN
LAHAN KERING BERKELANJUTAN
DI DAS SEKAMPUNG HULU
IRWAN SUKRI BANUWA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Alternatif
Usahatani Berbasis Kopi Untuk Pembangunan Pertanian Lahan Kering
Berkelanjutan Di DAS Sekampung Hulu adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Bogor, Oktober 2008
Irwan Sukri Banuwa
IRWAN SUKRI BANUWA. The Development of Coffee Based Farming Systems for Sustainable Upland Agriculture Development in Upper Sekampung Watershed. Under the supervision of NAIK SINUKABAN as chairman, SURIA DARMA TARIGAN and DUDUNG DARUSMAN as member.
Land degradation is a serious problem in the Upper Sekampung watershed because the farmers cultivated coffee based farms on steep land without adequate soil and water conservation technologies and fertilization. Land degradation caused by erosion was generally greater than the local tolerable soil loss. Erosion on site washed the most fertile top soil, decreased land productivity and in turn declined farmer’s income. The existing condition of coffee based farming systems in the Upper Sekampung watershed was suspected perform unsustainable farming systems indicators. Therefore, this research was aimed: (1) To study biophisics conditions, types and characteristics of coffee based farming systems (2) To study impacts of coffee based farming systems on run off and erosion rate and (3) To develop alternatives sustainable coffee based farming systems in the Upper Sekampung watershed. The results of this research showed that: (1) Upper Sekampung watershed was dominated by land capability class III-l2, which are also classified as class S3 for coffee, pepper, banana and cocoa in land suitability classification system. Types of coffee based farming systems are monoculture of coffee (UT1), mixed farming of coffee and pepper (UT2), mixed farming of coffee, pepper and banana (UT3), mixed farming of coffee, pepper and cocoa (UT4), and mixed farming of coffee, pepper, banana and cocoa (UT5). (2) The existing condition of coffee based farming systems in the Upper Sekampung watershed did not perform sustainable farming indicators. Rate of erosion (52,5-451,7 t/ha/yr) on slope >15% was generally greater than the local tolerable soil loss (TSL, 38,7 t/ha/yr) and farmer’s income (Rp 6.954.000,00-Rp 16.223.000,00/ household/yr) was less than the income that can support a life worth living (KHL, Rp 18.000.000,00/ household/yr) (3) The improved coffee based farming systems (UT2, UT3, UT4 and UT5) by the application of new agrotechnologies performed sustainable farming systems indicators. (4) UT5 is the most optimum farming system. Optimum results of UT5 on slope <15% could be achieved by the application of new agrotechnologies including balance fertilization using Urea, SP-36 and KCl; on slope 15-30% by the application of balance fertilization plus adequate soil and water conservation techniques including traditional terrace or silt pit; and on slope >30% by the application of balance fertilization plus adequate soil and water conservation techniques including traditional terrace or silt pit and mulch of 6,0 t/ha/yr. UT5 is the most effective farming system to decrease erosion down to the lowest level (2,9-27,1 t/ha/yr) and to increase farmer’s income up to the highest level (Rp 19.790.300,00/ha/yr). (5) Protected zone in the Upper Sekampung watershed has to be kept as conservation area and should not be recommended for agriculture development.
IRWAN SUKRI BANUWA. Pengembangan Alternatif Usahatani Berbasis
Kopi Untuk Pembangunan Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan Di DAS
Sekampung Hulu (di bawah bimbingan NAIK SINUKABAN sebagai ketua, SURIA
DARMA TARIGAN dan DUDUNG DARUSMAN sebagai anggota).
Degradasi lahan merupakan masalah serius di DAS Sekampung Hulu, hal ini
disebabkan karena para petani di wilayah melakukan usahatani lahan kering
berbasis kopi pada daerah yang berlereng tanpa memperhatikan kaidah-kaidah
konservasi tanah dan air dan pemupukan. Degradasi lahan umumnya disebabkan
oleh erosi. Erosi yang terjadi telah lebih besar daripada erosi yang dapat
ditoleransikan. Pada sisi on site akibat langsung dari erosi adalah terangkutnya lapisan tanah yang subur dan menurunnya produktivitas lahan, yang pada gilirannya
pendapatan usahatani menjadi rendah. Berdasarkan kondisi ini maka usahatani
berbasis kopi di DAS Sekampung Hulu diduga tidak berkelanjutan. Oleh karena itu
penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengkaji kondisi biofisik, tipe dan karakteristik
usahatani berbasis kopi, (2) Mengkaji pengaruh tipe usahatani berbasis kopi
terhadap aliran permukaan dan erosi, dan (3) Mengembangkan alternatif usahatani
berbasis kopi yang berkelanjutan dan optimal. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa : (1) DAS Sekampung Hulu memiliki kondisi fisik lahan yang didominasi
oleh lahan dengan kelas kemampuan III-l2, yang kalau diklasifikasikan menurut klasifikasi kesesuaian lahan maka lahan tersebut termasuk kelas S3 untuk tanaman
kopi, lada, pisang dan kakao. Tipe usahatani berbasis kopi terdiri dari kopi
monokultur (UT1), kopi dengan lada (UT2), kopi dengan lada dan pisang (UT3),
kopi dengan lada dan kakao (UT4) dan kopi dengan lada, pisang dan kakao (UT5).
(2) Usahatani berbasis kopi yang dilakukan saat ini tidak memenuhi kriteria
pertanian berkelanjutan. Laju erosi (52,5-451,7 ton/ha/th) pada lahan dengan
kemiringan lereng >15% umumnya jauh lebih besar dari erosi yang dapat
ditoleransi (Etol, 38,7 ton/ha/th) dan pendapatan usahatani (Rp 6.954.000,00-Rp
16.223.000,00/KK/th) belum memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL, Rp.
18.000.000,00/KK/th) (3) Tipe usahatani campuran berbasis kopi yang telah
adalah tipe usahatani campuran berbasis kopi berkelanjutan yang paling optimal.
Hasil optimal UT5 pada lereng < 15% akan tercapai dengan penerapan
agroteknologi pemupukan Urea, SP-36 dan KCl; pada lereng 15-30% dengan
pemupukan dan pembuatan teras tradisional atau rorak; dan pada lereng >30%
dengan pemupukan dan pembuatan teras tradisional atau rorak serta pemberian
mulsa sebanyak 6,0 ton/ha/th. UT5 sangat efektif menekan erosi sampai level
terendah yaitu berkisar antara 2,9-27,1 ton/ha/th dan meningkatkan pendapatan
petani sampai level tertinggi yaitu sebesar Rp 19.790.300,00/ha/th. (5) Kawasan
lindung di DAS Sekampung Hulu harus tetap dijaga sebagai kawasan lindung dan
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-UndangDilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
LAHAN KERING BERKELANJUTAN
DI DAS SEKAMPUNG HULU
IRWAN SUKRI BANUWA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Nora H Pandjaitan, DEA. Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Nora H Pandjaitan, DEA.
Dr. Ir. Silver Hutabarat, M.Sc.
Judul Disertasi : PENGEMBANGAN ALTERNATIF USAHATANI BERBASIS KOPI UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN LAHAN KERING BERKELANJUTAN DI DAS SEKAMPUNG HULU
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan DAS
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 15 September 2008 Tanggal Lulus :
UCAPAN TERIMAKASIH
kepada :
(1) Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing; Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc., dan Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan, nasihat, saran, dan arahan sejak penyusunan rencana penelitian, pelaksanaan penelitian, sampai dengan penulisan disertasi ini.
(2) Ibu Dr. Ir. Nora Herdiana Pandjaitan, DEA selaku penguji luar komisi pembimbing pada ujian prakualifikasi, ujian tertutup, dan ujian terbuka yang telah memberikan saran untuk perbaikan disertasi ini.
(3) Bapak Dr. Ir. Silver Hutabarat, M.Sc. selaku penguji luar komisi pembimbing pada ujian terbuka yang telah memberikan saran untuk perbaikan disertasi ini. (4) Bapak dan Ibu dosen pengajar pada Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS yang
telah membekali ilmu pengetahuan kepada penulis.
(5) Bapak Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian IPB, Rektor IPB, dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Strata 3 (S-3) di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
(6) Pemerintah Republik Indonesia melalui BPPS Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan bantuan berupa beasiswa selama tiga tahun. (7) Rekan-rekan seperjuangan dan semua keluarga yang telah banyak memberikan
bantuan baik moril maupun materil, yang saya tidak dapat sebutkan satu per satu.
(8) Orangtuaku H. Bahri WA dan Hj. Nuraini Syukur (Alm), istriku Ir. Hj. Andri Widayanti, dan anak-anakku: Anisa Kuswandari Banuwa, M. Fariz Banuwa, Laili Fadhila Banuwa, dan M. Alfarizi Banuwa, atas segala pengorbanan, pengertian, perhatian, dan doanya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini.
Semoga disertasi ini dapat memberi manfaat dan berguna bagi pengembangan
ilmu pengetahuan.
Bogor, Oktober 2008 Irwan Sukri Banuwa
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 20 Oktober 1961 sebagai anak
sulung dari pasangan H. Bahri WA dan Hj. Nuraini Syukur (wafat 28 Desember
diterima pada Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pascasarjana IPB, dan
menamatkannya pada tahun 1994. Kesempatan untuk melanjutkan ke program
doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada
perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2004. Beasiswa Pendidikan
Pascasarjana (BPPS) diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia.
Penulis bekerja sebagai tenaga edukatif di Jurusan Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Lampung sejak tahun 1986 sampai sekarang.
Pada tahun 1989, penulis menikah dengan Ir. Hj. Andri Widayanti dan hingga
saat ini telah dikarunia dua orang putra dan dua orang putri, yaitu Anisa
Kuswandari Banuwa, M. Fariz Banuwa, Laili Fadhila Banuwa, dan M. Alfarizi
Banuwa.
xiii
Halaman
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
PENDAHULUAN ... 1
Konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan ... 12
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berkelanjutan ... 16
Evaluasi Lahan ... 19
Klasifikasi Kemampuan Lahan ... 20
Klasifikasi Kesesuaian Lahan ... 21
Usahatani Kopi ... 24
Erosi ... 25
Pengaruh Usahatani Kopi terhadap Erosi ... 31
Program Tujuan Ganda ... 35
Penetapan Sampel Responden ... 44
Teknik Pengumpulan Data ... 44
xiv
(Lanjutan)
Halaman
Standar Kebutuhan Fisik Minimum dan Hidup Layak ... 52
Analisis Optimalisasi Lahan Usahatani Berbasis Kopi ... 52
Penerapan Model Optimalisasi ... 55
KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 56
Iklim ... 56
Topografi ... 56
Geologi ... 57
Tanah ... 57
Penggunaan Lahan ... 58
Hidrologi ... 58
Sosial Ekonomi ... 58
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 60
Kelas Kemampuan dan Kesesuaian Lahan ... 60
Satuan Lahan DAS Sekampung Hulu ... 60
Kelas Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu ... 60
Kelas Kesesuaian Lahan DAS Sekampung Hulu ... 68
Evaluasi Erosi ... 76
Prediksi Erosi ... 76
Erosi yang dapat Ditoleransi ... 81
Kondisi Sosial Ekonomi Petani Di DAS Sekampung Hulu ... 82
Karakterik Petani ... 82
Karateristik Tipe Usahatani Berbasis Kopi ... 83
Pendapatan Usahatani Berbasis Kopi ... 86
Pengaruh Pola Usahatani terhadap Aliran Permukaan dan Erosi ... 89
Analisis Usahatani Berkelanjutan Berbasis Kopi ... 93
Pengembangan AlternatifUsahatani Berkelanjutan Berbasis Kopi ... 94
Arahan Pengembangan Usahatani Berkelanjutan Berbasis Kopi ... 99
KESIMPULAN DAN SARAN ... 101
Kesimpulan ... 101
Saran ... 102
DAFTAR PUSTAKA ... 103
xv
Halaman
1. Kriteria klasifikasi kemampuan lahan ... 22
2. Pengaruh teras bangku dan tanaman penguat teras terhadap erosi pada perkebunan kopi di Jember (Jawa Timur) dengan lereng 31% dan curah hujan 2.768 mm/tahun dalam 4 tahun pertama sejak kopi ditanam ... 32
3. Aliran Permukaan dan erosi pada berbagai sistem pertanaman berbasis kopi ... 35
4. Jenis dan sumber data penelitian ... 43
5. Satuan Lahan DAS Sekampung Hulu ... 63
6. Kelas kemampuan lahan DAS Sekampung Hulu ... 65
7. Uraian kelas kemampuan lahan DAS Sekampung Hulu... 67
8. Kelas kesesuaian lahan DAS Sekampung Hulu untuk tanaman kopi, lada pisang dan kakao ... 71
9. Rekapitulasi besar erosi di DAS Sekampung Hulu... 78
10. Erosi pada setiap satuan lahan di DAS Sekampung Hulu... 79
11. Erosi pada setiap pola usahatani campuran berbasis kopi di DAS Sekampung Hulu ... 80
12. Usia Petani di DAS Sekampung Hulu ... 82
13. Lama Tinggal Petani di DAS Sekampung Hulu ... 82
14. Tingkat Pendidikan Petani di DAS Sekampung Hulu ... 83
15. Jumlah anggota keluarga petani di DAS Sekampung Hulu ... 83
16. Alokasi tenaga kerja keluarga petani di DAS Sekampung Hulu ... 85
17. Curahan tenaga kerja berdasarkan pola usahatani di DAS Sekampung Hulu ... 85
18. Biaya usahatani berdasarkan pola usahatani di DAS Sekampung Hulu .... 86
19. Luas kepemilikan lahan petani di DAS Sekampung Hulu ... 86
20. Pola usahatani dominan di DAS Sekampung Hulu... 87
21. Produksi tanaman berdasarkan pola usahatani di DAS Sekampung Hulu .. 88
22. Penerimaan usahatani di DAS Sekampung Hulu ... 88
23. Pendapatan usahatani di DAS Sekampung Hulu ... 88
xvi
(Lanjutan)
Halaman
25. Pengaruh pola usahatani campuran berbasis kopi dan kemiringan lereng terhadap aliran permukaan dan erosi ... 90
xvii Halaman
1. Kondisi Eksisting Usahatani Lahan Kering Berbasis Kopi yang Tidak
Berkelanjutan di DAS Sekampung Hulu ... 10
2. Kerangka Pemikiran untuk Mewujudkan Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan Melalui Optimalisasi Lahan Usahatani Berbasis Kopi ... 11
3. Skema Proses Terjadinya Erosi Tanah ... 28
4. Erosi dari Hutan Alami dan Lahan Kopi dengan Berbagai Tingkat Umur Kopi di Dusun Bodong, Kecamatan Sumberjaya dengan Total Curah Hujan 458 mm ... 33
5. Lokasi Penelitian ... 41
6. Tata Letak Percobaan ... 45
7. Peta Satuan Lahan DAS Sekampung Hulu ... 64
8. Peta Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu ... 66
9. Peta Kelas Kesesuaian Lahan DAS Sekampung Hulu untuk Tanaman Kopi ... 72
10. Peta Kelas Kesesuaian Lahan DAS Sekampung Hulu untuk Tanaman Lada ... 73
11. Peta Kelas Kesesuaian Lahan DAS Sekampung Hulu untuk Tanaman Pisang ... 74
12. Peta Kelas Kesesuaian Lahan DAS Sekampung Hulu untuk Tanaman Kakao ... 75
13. Erosi Pada Berbagai Tipe Usahatani Berbasis Kopi dan Kemiringan Lereng ... 81
14. Hubungan antara Erosi dan Penutupan Lahan ... 92
15. Erosi dan Pendapatan Usahatani pada Kondisi Eksisting ... 95
16. Erosi dan Pendapatan Usahatani dengan Agroteknologi ... 98
xviii
Halaman
1. Kriteria klasifikasi kemampuan lahan ... 111
2. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan beberapa jenis tanaman ... 114
3. Penilaian struktur tanah dan permeabilitas tanah ... 118
4. Nilai faktor C... 119
5. Nilai faktor P dan CP ... 120
6. Rata-rata curah hujan di DAS Sekampung Hulu ... 121
7. Data jumlah hari hujan bulanan di DAS Sekampung Hulu ... 122
8. Data jumlah hujan maksimum di DAS Sekampung Hulu ... 123
9. Perhitungan Indeks erosi hujan bulanan ... 124
10.Rata-rata kelembaban relatif, suhu, kecepatan angin dan lama penyinaran matahari di DAS Sekampung Hulu ... 125
11.Peta Topografi DAS Sekampung Hulu ... 126
12.Peta Kelas Lereng DAS Sekampung Hulu... 127
13.Peta Geologi DAS Sekampung Hulu ... 128
14.Peta Jenis Tanah DAS Sekampung Hulu ... 129
15.Sifat fisik dan kimia tanah DAS Sekampung Hulu ... 130
16.Peta Penggunaan Lahan DAS Sekampung Hulu ... 131
17.Peta Pola Drainase DAS Sekampung Hulu ... 132
18.Debit tahunan DAS Sekampung Hulu ... 133
19.Rata-rata Debit Tahunan DAS Sekampung Hulu ... 134
20.Kemampuan lahan DAS Sekampung Hulu ... 135
21.Kesesuaian lahan tanaman kopi di DAS Sekampung Hulu ... 139
22.Kesesuaian lahan tanaman lada di DAS Sekampung Hulu ... 143
23.Kesesuaian lahan tanaman pisang di DAS Sekampung Hulu ... 147
24.Kesesuaian lahan tanaman kakao di DAS Sekampung Hulu ... 151
25.Perhitungan erosi di DAS Sekampung Hulu ... 155
26.Faktor kedalaman beberapa sub order tanah ... 167
xix
(Lanjutan)
Halaman
28.Rincian biaya usahatani pada masing-masing tipe usahatani ... 169
29.Data harian aliran permukaan dan erosi ... 170
30.Data aliran permukaan ... 171
31.Data erosi ... 171
32.Data Penutupan Lahan ... 172
33.Analisis ragam pengaruh pola usahatani campuran berbasis kopi dan kemiringan lereng terhadap aliran permukaan ... 172
34.Analisis ragam pengaruh pola usahatani campuran berbasis kopi dan kemiringan lereng terhadap erosi ... 173
35.Analisis ragam pengaruh pola usahatani campuran berbasis kopi dan kemiringan lereng terhadap penutupan lahan ... 173
36. Optimalisasi lahan usahatani berbasis kopi seluas 1 ha pada lereng 3 - 8% dengan agroteknologi pemupukan ... 174
37. Optimalisasi lahan usahatani berbasis kopi seluas 1 ha pada lereng 8-15% dengan agroteknologi pemupukan ... 175
38. Optimalisasi lahan usahatani berbasis kopi seluas 1 ha pada lereng 15-30% dengan agroteknologi pemupukan ... 176
39. Optimalisasi lahan usahatani berbasis kopi seluas 1 ha pada lereng 30-45% dengan agroteknologi pemupukan dan teras tradisional/ rorak serta mulsa 6,0 ton/ha ... 177
40. Optimalisasi lahan usahatani berbasis kopi seluas 1 ha pada lereng 45-65% dengan agroteknologi pemupukan dan teras tradisional/ rorak serta mulsa 6,0 ton/ha ... 178
41. Tingkat ketercapaian tujuan optimalisasi lahan usahatani berbasis kopi seluas 1,0 ha di DAS Sekampung Hulu dengan agroteknologi... 179
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daerah aliran sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang
dibatasi oleh topografi secara alami, sehingga setiap air yang jatuh dalam daerah
tersebut akan mengalir melalui satu titik pengukuran yang sama (outlet) (Sinukaban 2004). Beranjak dari pengertian di atas, agar DAS dapat lestari maka
DAS harus dikelola dengan baik.
Pengelolaan DAS yang baik adalah penggunaan sumberdaya alam di dalam
DAS secara rasional untuk mendapatkan produksi maksimum dalam waktu tidak
terbatas dan menekan bahaya kerusakan (degradasi lahan) seminimal mungkin, serta
diperoleh water yield yang merata sepanjang tahun. Adapun tujuan utama pengelolaan DAS adalah DAS yang Sustainable, yaitu pendapatan masyarakat didalamnya cukup tinggi, teknologi yang diterapkan tidak menimbulkan kerusakan, dan teknologi
tersebut acceptable dan replicable (Sinukaban 1999).
Di dalam pengelolaan DAS, DAS harus dipandang sebagai satu kesatuan
antara wilayah hulu dan hilir, karena adanya interdependensi. Namun karena
DAS bagian hulu merupakan daerah recharge dan merupakan sumber air bagi daerah di bawahnya, maka perhatian yang cukup terhadap wilayah ini sangat
diperlukan. Hulu DAS umumnya didominasi oleh penutupan vegetasi hutan. Jadi
apabila penutupan hutan rusak maka fungsi hidrologis DAS juga dapat dipastikan
akan rusak.
Hutan merupakan salah satu elemen penting dalam suatu DAS, karena
berbagai fungsi dan hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan lainnya. Oleh
karena itu kerusakan hutan secara langsung akan memberikan pengaruh terhadap
kondisi DAS.
Dampak negatif alih guna lahan hutan menjadi penggunaan lahan lain telah
banyak dibuktikan (Dariah 2004), namun bila kebutuhan lahan mendesak, konversi
lahan hutan sangat sulit dihindari. Data menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan
terus meningkat dari tahun ke tahun, pada periode tahun 1985-1997 kerusakan
periode tahun 1997-2000 kerusakan hutan meningkat menjadi 3,8 juta hektar per
tahun (Badan Planologi Departemen Kehutanan RI 2003).
Sejalan dengan kerusakan hutan, kerusakan DAS juga terus meningkat dari
tahun ke tahun. Gambaran kerusakan DAS di Indonesia tercermin dari banyaknya
jumlah DAS prioritas. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS super prioritas (Surat
keputusan bersama tiga menteri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, dan
Menteri Pekerjaan Umum No: 19 Tahun 1984 - No: 059/Kpts-II/1984 - No:
124/Kpts/1984 tanggal 4 April 1984, diacu dalam Arsyad 2006). Pada tahun 1999
terdapat 62 DAS Prioritas I, 232 DAS Prioritas II dan 178 DAS Prioritas III
(Ditjen RRL 1999). Pada tahun 2004 jumlah DAS prioritas I meningkat menjadi
65 DAS (Ditjen Sumberdaya Air 2004).
Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi dengan kasus kerusakan
hutan yang tergolong tinggi, sebagai akibat alih guna kawasan hutan menjadi lahan
pertanian, di antaranya dilakukan oleh masyarakat untuk budidaya tanaman kopi.
Sekitar 114.782 ha kawasan hutan lindung dan suaka alam di Provinsi Lampung
telah beralih guna menjadi lahan usahatani kopi (Tim Peneliti Kopi dalam Kawasan
Hutan 1999, diacu dalam Dariah 2004). Dalam kaitannya dengan kerusakan hutan,
BPDAS WSS (2003) menyatakan bahwa, Provinsi Lampung telah mengalami
kerusakan hutan lindung sebesar 70%, taman nasional sebesar 45%, dan hutan
produksi sebesar 60%. Bahkan Menurut Harianto (2004) Kerusakan hutan lindung
Provinsi Lampung telah mencapai 77,83%. Besarnya kerusakan kawasan hutan
yang terjadi ini juga terjadi di DAS Sekampung yang merupakan salah satu DAS
besar di Provinsi Lampung.
DAS Sekampung (685.421 ha), sejak tahun 1984 telah ditetapkan sebagai
DAS super prioritas (Arsyad, 2006), dan pada tahun 1999 kembali ditetapkan
sebagai DAS Prioritas I untuk ditangani (Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No : 284/1999). Meskipun DAS Sekampung sudah ditetapkan
menjadi DAS yang sangat urgen untuk ditangani, tetapi hingga saat ini DAS
Sekampung masih tetap rusak. Padahal DAS ini sangat penting artinya bagi
masyarakat di Provinsi Lampung. Di DAS Sekampung terdapat berbagai fasilitas
yang dibangun seperti bendungan Batutegi lengkap dengan PLTA dan bendungan
Kerusakan DAS Sekampung diawali oleh kerusakan hutan akibat alih
fungsi menjadi lahan pertanian, khususnya untuk budidaya tanaman kopi tanpa
tindakan konservasi tanah dan air. Luas hutan primer dan sekunder yang tersisa
15,13% (BPDAS WSS 2003). Akibat penggundulan hutan dan usahatani tanpa
konservasi tanah dan air, saat ini telah dirasakan berbagai kerugian, diantaranya
adalah luas areal sawah irigasi yang direncanakan dapat diairi seluas 66.573 ha,
hanya terealisir seluas 46.300 ha (Nippon Koei Co. Ltd. 2003). Rencana sumber
air baku PDAM 2.250 l/detik untuk beberapa kota, belum terealisir, dan PLTA
(2 x 14 MW) baru terealisir sebesar 50% (Badan Pelaksana Proyek Induk
Pengembangan Wilayah Sungai Way Seputih - Way Sekampung 2002). Di
samping itu, pada setiap musim hujan terjadi banjir di bagian tengah dan hilir
DAS dengan genangan berkisar antara 0,5 - 1,5 m (BRLKT WSS 2003).
Kerusakan DAS Sekampung ini sesungguhnya sangat dipengaruhi dan dipicu oleh
kerusakan yang terjadi di bagian hulunya.
DAS Sekampung Hulu (42.400 hektar) telah mengalami alih fungsi hutan
menjadi lahan pertanian yang sangat luas. Saat ini luas hutan primer tersisa
seluas 5.626,78 ha (13,27%), hutan sekunder seluas 2.071,75 ha (4,89%),
penggunaan lahan yang lain berupa semak belukar seluas 2.559,38 ha (6,04%),
dan pertanian lahan kering seluas 32.142,40 ha (75,80%) yang didominasi oleh
tanaman kopi dengan variasi campurannya adalah lada, pisang, dan kakao
(BPDAS WSS 2003).
Akibat konversi hutan menjadi lahan pertanian, dan usahatani tanpa
mempertimbangkan kemampuan dan kesesuaian lahan serta agroteknologi
konservasi tanah dan air, telah menyebabkan kerusakan DAS Sekampung Hulu
(on site) dan pada bagian hilirnya (off site). Pada sisi on site indikator kerusakan yang dapat digunakan antara lain adalah erosi dan produktivitas lahan, dan pada
sisi off site adalah sedimentasi dan fluktuasi debit sungai.
Erosi yang terjadi di DAS Sekampung Hulu rata-rata sebesar 67,5
ton/ha/tahun (Nippon Koei Co. Ltd. 2003), dan 85,85% dari luas wilayah DAS
Sekampung hulu menyebabkan erosi yang telah melebihi erosi yang dapat
ditoleransi. Besarnya erosi yang terjadi juga dipicu oleh lahan dengan
Sedimentasi yang terjadi menurut Kepala Dinas Kehutanan Lampung
mencapai 9,1 juta ton/tahun, padahal batas toleransinya sebesar 1,7 juta ton/tahun
(Radar Lampung 2006).
Debit sungai tidak terdistribusi dengan merata, perbandingan debit
maksimum dan minimum sangat tinggi, yaitu 84,18 kali.
Akibat langsung dari besarnya erosi adalah produktivitas lahan rendah di
wilayah ini, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya produksi beberapa jenis tanaman
dominan yaitu, kopi 137-345 kg/ha, lada 120-327 kg/ha, pisang 5,49 ton/ha, dan
kakao 544,40 kg/ha (BPS Kabupaten Tanggamus 2005), padahal rata-rata
produksi komoditas tersebut masih dapat ditingkatkan. Pertanaman kopi rakyat
dapat menghasilkan 1,0 ton/ha/tahun (0,8 kg/pohon/th) (Zulfarina, 2000), lada 1,1
-1,2 ton/ha/th (0,7 kg/pohon/th) (AAK 1980), Kakao 1,0 ton/ha/th (0,8
kg/pohon/th) (Siregar et al. 2006), dan pisang 20-30 ton/ha/th (7-10 kg/pohon/th) (Redaksi Trubus 2005).
Akibat rendahnya produktivitas lahan di DAS Sekampung hulu
menyebabkan pendapatan petani di wilayah ini tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup layak. Data menunjukkan bahwa penduduk miskin di DAS
Sekampung Hulu sebesar 52,37% keluarga petani, dengan rincian jumlah
penduduk Pra KS alasan ekonomi sebesar 23,12% dan alasan non ekonomi
sebesar 8,61%, dan untuk KS I alasan ekonomi 10,97% serta alasan non ekonomi
9,61% (BKKBN Lampung 2002).
Kondisi di atas menunjukkan bahwa di DAS Sekampung Hulu telah
berlangsung proses saling memiskinkan antara lahan dan petani. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sinukaban (1994), dimana proses saling memiskinkan antara
lahan dan petani sering di jumpai di DAS bagian hulu, dan upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan memutuskan siklus yang saling memiskinkan tersebut,
yaitu melalui penerapan sistem pertanian konservasi yang bertujuan memperkecil
erosi dan meningkatkan produktivitas lahan atau pendapatan petani.
Menyadari usahatani kopi monokultur belum mampu menghasilkan
pendapatan layak dan mencegah kerusakan lahan, maka beberapa tahun terakhir
sebagian masyarakat di DAS Sekampung Hulu telah mencoba beberapa
tanaman kopi sebagai tanaman utama dengan tanaman lain seperti lada, pisang,
dan kakao. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan usahatani
sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup layak. Upaya yang dilakukan oleh
masyarakat petani di DAS Sekampung Hulu ini pada dasarnya adalah penerapan
sistem pertanian konservasi, walaupun belum teruji keberhasilannya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa usahatani lahan kering khususnya
usahatani kopi yang dibangun oleh masyarakat tidak berkelanjutan (Gambar 1).
Kondisi ini disebabkan karena masih kurangnya pengetahuan petani tentang
usahatani berkelanjutan. Agar usahatani tersebut dapat berkelanjutan, maka upaya
memadukan kepentingan konservasi tanah dan air dengan kepentingan pendapatan
petani dari usahatani lahan kering, khususnya berbasis kopi di DAS Sekampung
Hulu perlu dilakukan. Untuk itu sangat diperlukan penelitian tentang
pengembangan alternatif usahatani berbasis kopi yang dapat mengkompromikan
kepentingan konservasi tanah dan air dengan kepentingan pendapatan petani,
sehingga diharapkan petani memiliki pengetahuan yang memadai tentang
usahatani berkelanjutan dan pembangunan pertanian lahan kering berkelanjutan di
DAS Sekampung Hulu dapat terwujud. Indikator berkelanjutan yang digunakan
pada penelitian ini mengacu kepada indikator yang dikemukakan oleh Sinukaban
(1991, 1994, dan 2005), yaitu pendapatan yang layak bagi setiap petani,
agroteknologi yang diterapkan tidak menimbulkan kerusakan sumberdaya lahan
(erosi), dan dapat diterima (acceptable) dan dikembangkan (replicable) oleh petani dengan pengetahuan dan sumberdaya lokal yang dimiliki petani.
Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah pokok yang
perlu diatasi di DAS Sekampung Hulu, yaitu:
1. Usahatani berbasis kopi yang dilakukan oleh petani kurang atau tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, sehingga terjadi aliran
permukaan dan erosi yang tinggi dan mengakibatkan sedimentasi, yang pada
gilirannya pada musim hujan menimbulkan banjir.
2. Pendapatan masyarakat, terutama yang berasal dari usahatani masih rendah
3. Usahatani berbasis kopi yang dilakukan saat ini kurang mempertimbangkan
kemampuan dan kesesuaian lahan serta agroteknologi, sehingga terjadi aliran
permukaan dan erosi yang besar.
4. Belum ada penataan (alokasi) yang optimal pola usahatani berbasis kopi
berkelanjutan di DAS Sekampung Hulu.
Kerangka Pemikiran
Pengelolaan DAS Sekampung Hulu harus dilakukan dengan memadukan
kepentingan konservasi tanah dan air dengan kepentingan produksi pertanian,
melalui sistem pertanian konservasi. Melalui penerapan sistem pertanian
konservasi dapat diharapkan usahatani lahan kering dapat lestari (sustainable) (Sinukaban 1991, 1994, dan 2005). Sinukaban et al. (2001), juga menyatakan agar sustainabilitas dalam DAS dapat diwujudkan, maka diperlukan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan DAS secara cermat dan seksama. Hal ini dapat
dilakukan dengan beberapa tahapan perencanaan, yang meliputi penataan
penggunaan lahan yang mengacu atau mempertimbangkan faktor-faktor biofisik
setempat dengan penggunaan model simulasi, pemilihan alternatif komoditas yang
sesuai dengan faktor biofisik setempat dan pemilihan alternatif agroteknologi.
Optimalisasi pola atau tipe usahatani dan agroteknologi yang menjamin
pendapatan yang cukup tinggi, dapat diterima (acceptable) dan dapat dikembangkan (replicable) harus dilakukan. Dengan kata lain penerapan sistem pertanian konservasi merupakan langkah jitu untuk menjamin kelestarian
usahatani lahan kering dalam suatu DAS.
Di atas telah dikemukakan bahwa pengelolaan DAS yang lestari adalah
upaya penggunaan sumberdaya alam di dalam DAS secara rasional untuk
mendapatkan produksi optimum dalam waktu yang tidak terbatas dan menekan
bahaya kerusakan (degradasi) lahan seminimal mungkin, serta diperoleh water yield yang merata sepanjang tahun (Sinukaban 1999). Selanjutnya agar penggunaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya lahan dapat dilakukan
secara rasional, maka optimalisasi pola usahatani perlu dirancang dengan tepat,
Dalam kaitannya dengan optimalisasi pola usahatani, maka tahap awal yang
diperlukan adalah penetapan kemampuan lahan masing-masing satuan lahan, agar
setiap bidang lahan yang digunakan sesuai dengan kemampuannya untuk
menjamin produktivitas yang lestari dan menguntungkan. Hal ini sangat penting
dilakukan karena menurut Sinukaban (1989), teknik-teknik konservasi tanah akan
efektif bila penggunaan lahan sudah cocok. Tidak ada agroteknologi yang
memungkinkan tanaman dapat tumbuh dengan baik, dan tidak ada teknik
konservasi yang dapat mencegah erosi kalau kondisi tanahnya tidak cocok untuk
pertanian. Oleh sebab itu penggunaan lahan yang tepat atau cocok dengan
kemampuan lahan adalah langkah pertama menuju sistem budidaya tanaman yang
baik dan program konservasi tanah yang berhasil.
Keberhasilan penerapan agroteknologi pada suatu bidang lahan dapat
dievaluasi dari besarnya erosi yang terjadi. Erosi aktual yang terjadi harus lebih
kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransi. Agar agroteknologi dapat
diterima dan dikembangkan oleh petani, maka agroteknologi tersebut harus
disesuaikan dengan karakteristik biofisik yang ada dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat (site specific), seperti ketersediaan modal petani (lahan, tenaga kerja, sarana produksi dan lain-lain), serta menguntungkan, terutama harus dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Sinukaban 1994). Agar
pemilihan alternatif agroteknologi dapat memenuhi persyaratan di atas, yaitu
efektif dalam mengurangi erosi dan meningkatkan pendapatan petani, maka
pemilihan agroteknologi dapat dilakukan dengan simulasi menggunakan model
prediksi erosi Universal of soil loss equation (USLE), karena model USLE ini berfungsi baik untuk skala plot atau usahatani (Tarigan dan Sinukaban 2000).
Selanjutnya dalam upaya memadukan kepentingan konservasi tanah dan air
dengan kepentingan pendapatan petani dari usahatani lahan kering khususnya
berbasis kopi di DAS Sekampung Hulu, maka perlu dilakukan optimalisasi pola
usahatani yang dapat mengkompromikan berbagai aspek kepentingan (beberapa
tujuan) tersebut.
Metode optimalisasi yang dapat digunakan untuk mengakomodasi berbagai
tujuan (kepentingan konservasi tanah dan air, dan kepentingan pendapatan petani)
Metode program tujuan ganda ini dapat mengakomodasi berbagai tujuan tersebut
secara simultan (Nasendi dan Anwar 1985; Mulyono 1991).
Dalam kaitannya dengan upaya mencari solusi usahatani lahan kering yang
berkelanjutan melalui optimalisasi pola usahatani berbasis kopi yang menerapkan
agroteknologi konservasi di DAS Sekampung Hulu, maka penelitian ini dirancang
dengan tolok ukur layak erosi, dan layak pendapatan usahatani. Adapun pola
usahatani berbasis kopi yang dinilai dalam penelitian ini adalah pola usahatani
kopi monokultur (UT1), pola usahatani campuran kopi dengan lada (UT2), pola
usahatani campuran kopi dengan lada dan pisang (UT3), pola usahatani campuran
kopi dengan lada dan kakao (UT4), dan pola usahatani campuran kopi dengan
lada, Pisang, dan kakao (UT5).
Masukan (input) data bagi program tujuan ganda adalah tiga kendala sumberdaya/ril, yaitu (1) luas lahan usahatani, (2) ketersediaan tenaga kerja, dan
(3) ketersedian modal usahatani. Kendala tujuan atau target, yaitu (1) erosi yang
terjadi lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransi (Etol), dan (2) pendapatan usahatani lebih besar atau sama dengan kebutuhan hidup layak
(KHL).
Penentuan erosi dilakukan menurut struktur model USLE (Universal of soil loss equation) (Wischmeier dan Smith 1978). Model ini dapat menduga besarnya erosi pada setiap satuan lahan dan pola usahatani. Tolok ukur erosi ini adalah laju
kehilangan tanah yang masih dapat ditoleransi (Etol) menurut konsep Wood dan
Dent (1983). Pola usahatani yang menghasilkan besaran erosi yang lebih kecil
atau sama dengan Etol dinilai layak erosi. Selanjutnya, pendapatan usahatani
dirancang untuk mengetahui besarnya pendapatan bersih usahatani yang dihitung
berdasarkan selisih nilai penerimaan dengan pengeluaran. Tolok ukur pendapatan
usahatani adalah besarnya pendapatan petani agar dapat memenuhi kebutuhan
hidup layak.
Di dalam analisis optimalisasi dengan program tujuan ganda, fungsi
tujuannya adalah meminimumkan simpangan atau deviasi dari kendala tujuan
yang ada, dalam hal ini adalah erosi dan pendapatan usahatani. Dengan program
tujuan ganda dapat diperoleh suatu pola usahatani campuran berbasis kopi yang
paling optimal apabila deviasi pada tolok ukur erosi dan tolok ukur pendapatan
lain pola usahatani campuran berbasis kopi yang berkelanjutan dan optimal
apabila deviasi yang dihasilkan untuk tolok ukur erosi dan tolok ukur pendapatan
usahatani paling minimal. Secara ringkas kerangka pemikiran penelitian disajikan
pada Gambar 2.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ada di DAS Sekampung Hulu maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengkaji kondisi biofisik, tipe, dan karakteristik usahatani berbasis kopi.
2. Mengkaji pengaruh tipe usahatani berbasis kopi terhadap aliran permukaan
dan erosi.
3. Mengembangkan alternatif usahatani berbasis kopi yang berkelanjutan dan
optimal.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Pemerintah Daerah Kabupaten Tanggamus dan Provinsi Lampung sebagai
bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan untuk pengembangan
usahatani lahan kering berbasis kopi yang berkelanjutan di DAS Sekampung
Hulu.
2. Petani setempat sebagai sumber informasi dalam usahatani lahan kering
berbasis kopi yang berkelanjutan
3. Pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai kajian lahan optimal
untuk usahatani berbasis kopi yang berkelanjutan dengan menggunakan
Gambar 1 Kondisi Eksisting Usahatani Lahan Kering Berbasis Kopi yang Tidak Berkelanjutan Di DAS Sekampung Hulu
DAS SEKAMPUNG HULU (42.400 Ha)
Terjadi Perubahan Penggunaan Lahan (PL)
Saat ini PL : (1) Hutan 13,27 % (2) Hutan Sekunder 4,89 % (3) Semak belukar 6,04 % (4) Pertanian Lahan kering 75,80 % (Usahatani dominan kopi dengan kombinasi campuran lada, pisang, dan kakao)
Pendapatan usahatani rendah
USAHATANI LAHAN KERING TIDAK BERKELANJUTAN
1. Lonjakan Transmigrasi spontan
menyebabkan jumlah penduduk meningkat (rata-rata 12,13 %/th) 2. Merambah Hutan untuk Usahatani
3. Usahatani tanpa kaidah KTA
Erosi Meningkat Rata-rata 67.5
ton/ha/th
Produktivitas Lahan rendah/Produksi rendah (Kopi : 137-345 kg/ha, lada 120-327 kg/ha, pisang
5,49 ton/ha, dan kakao 544,40 kg/ha)
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Untuk Mewujudkan Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan Melalui Optimalisasi Lahan Usahatani Berbasis Kopi Evaluasi Lahan
Aspek Ekologi
Erosi ≤ Etol
Aspek Sosial -Ekonomi
Pendapatan ≥ Standar KHL
Agroteknologi Acceptable dan
Replicable Evaluasi kondisi Sosial
dan Ekonomi
Analisis pengambilan keputusan dengan Program Tujuan Ganda
Pola usahatani berbasis kopi yang berkelanjutan dan optimal
DAS SEKAMPUNG HULU
Agroteknologi yang ada (Eksisting)
KARAKTERISTIK BIOFISIK 1. Iklim dan hidrol ogi 2.Tanah (Sifat Fisik dan Kimia)
3 Topografi
4. Penggunaan Lahan (Hutan kopi, lada, pisang, kakao) 5. Besarnya erosi
KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI:
Konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Keberlanjutan merupakan kata yang digunakan secara luas dalam program
pembangunan. Menurut World Commision on Environment and Development
(Brundtland Commision) (1987 diacu dalam Mitchell et al. 1997), pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini
tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi
kebutuhan mereka. Darusman (1993) menyatakan bahwa pembangunan
berkelanjutan adalah terjaganya faktor-faktor produksi dan konsumsi sumberdaya
alam dari kerusakan, oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya alam harus
dilakukan secara optimal dengan memperhatikan kepentingan seluruh lapisan
masyarakat dan kepentingan antar generasi. Reijntjes et al. (1999) menyatakan bahwa keberlanjutan dapat diartikan menjaga agar suatu upaya terus berlangsung,
dapat juga diartikan sebagai kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak
merosot. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, Sinukaban et al. (2001) lebih tegas menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan
yang memusatkan perhatian pada pemberdayaan ekonomi rakyat atau masyarakat
dan pelestarian lingkungan secara simultan dan seimbang. Dalam konteks
pertanian, keberlanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif
sekaligus tetap mempertahankan basis sumberdaya (Reijntjes et al. 1999). Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa makna berkelanjutan dalam
pembangunan bidang pertanian menyangkut dua komponen penting yaitu
kelestarian ekonomi masyarakat dan lingkungan. Banyak pengertian yang
dikemukakan oleh para ahli tentang pertanian berkelanjutan, diantaranya
dikemukakan oleh :
1. US Society of Agronomy (1989), mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai pertanian jangka panjang yang meningkatkan kualitas lingkungan dan
sumberdaya yang diperlukan untuk kegiatan pertanian. Pertanian ini
menyediakan makanan pokok manusia dan kebutuhan serat dan secara
ekonomi dapat meningkatkan kualitas hidup petani dan masyarakat secara
2. TAC/CGIAR (1988 diacu dalam Reijntjes et al. 1999), mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk
usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan
sumberdaya alam.
3. Reijntjes et al. (1999), menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan
manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan
melestarikan sumberdaya alam.
4. Mugnisyah (2001), menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan mengandung
pengertian bahwa teknologi budidaya yang digunakan memungkinkan lahan
yang dikelola dapat memberikan produksi tanaman dan atau hewan yang
memuaskan tanpa menimbulkan kerusakan lahan tersebut sehingga
produktivitasnya dapat dipertahankan oleh sistem produksi pertanian itu
sendiri.
Pengertian yang lebih terbuka dikemukakan oleh Gips (1986 diacu dalam
Reijntjes et al. 1999), pertanian bisa dikatakan berkelanjutan jika mencakup hal-hal berikut:
1. Mantap secara ekologis, berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari
manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Kedua
hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan,
serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis. Sumberdaya lokal
dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomasa, dan
energi bisa ditekan serendah mungkin, serta mampu mencegah pencemaran.
2. Bisa berlanjut secara ekonomis, berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan sendiri, serta
mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan
biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis ini bisa diukur bukan hanya
dalam hal produk usahatani yang langsung namun juga dalam hal fungsi
3. Adil, berarti bahwa sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan
hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis
serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki kesempatan untuk
berperan serta dalam pengambilan keputusan, baik dilapangan maupun di
dalam masyarakat.
4. Manusiawi, berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan, dan manusia) dihargai. Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati, dan
hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar,
seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama, dan rasa sayang.
Integritas budaya dan spiritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara.
5. Luwes, berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan
penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lain-lain. Hal ini bukan hanya
pengembangan teknologi yang baru dan sesuai, namun juga inovasi dalam
arti sosial budaya.
Selanjutnya menurut Adnyana (2001), pertanian berkelanjutan mengandung
berbagai pengertian yaitu : (1) Berkelanjutan sebagai suatu strategi
pengembangan, (2) Berkelanjutan sebagai suatu kemampuan untuk mencapai
sasaran, dan (3) Berkelanjutan sebagai suatu upaya untuk melanjutkan suatu
kegiatan. Dalam konteks kemampuan untuk mencapai sasaran, sistem usaha
pertanian berkelanjutan mengandung pengertian bahwa dalam jangka panjang
sistem tersebut harus mampu: (1) Mempertahankan atau meningkatkan kualitas
lingkungan, (2) Mampu menyediakan insentif sosial dan ekonomi bagi semua
pe-laku dalam sistem produksi, (3) Mampu berproduksi cukup dan setiap penduduk
memiliki akses terhadap produk yang dihasilkan. Sedangkan dalam konteks
kemampuan untuk melanjutkan suatu sistem produksi, pengembangan usaha
pertanian berkelanjutan apabila sistem tersebut tetap pada domain dari
penggunaan sumberdaya lahan lintas waktu dan terus menerus mampu memberi
dukungan pada tingkat produksi tertentu yang memberikan keuntungan ekonomi
Pertanian berkelanjutan juga mencerminkan (1) Keberhasilan pengelolaan
sumberdaya pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia, (2) Kelestarian
sumberdaya dan lingkungan dapat dipertahankan, produktivitas dapat
di-pertahankan sekalipun di bawah cekaman lingkungan biofisik maupun
sosial-ekonomi (Conway 1985, diacu dalam Adnyana 2001). Oleh karena itu
pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan atau
mempertahankan produktivitas maupun produksi agregat lintas waktu, juga
pada saat bersamaan harus mampu melindungi dan melestarikan sumberdaya
pertanian untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
FAO dan UNEP (1999), menyatakan bahwa pendekatan pertanian
berkelanjutan adalah efisiensi, resiliensi, dan pemerataan pendapatan. Thrupp
(1996), mengemukakan bahwa unsur-unsur pendekatan pertanian berkelanjutan
terdiri dari praktik-praktik ekologi (kebutuhan lingkungan yang didasarkan pada
prinsip prinsip ekologi), tanggung jawab sosial (pemberdayaan masyarakat,
kesamaan sosial, kesehatan, dan kesejahteraan penduduk), dan semangat ekonomi
(ketahanan pangan, kelayakan ekonomi, dan bernuansa teknologi).
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa pengertian dan pendekatan tentang
pembangunan pertanian berkelanjutan telah cukup mapan. Namun indikator
keberlanjutan yang terdiri dari banyak aspek masih sangat beragam. Lal (1991,
diacu dalam Adnyana 2001) mengajukan konsep bahwa keberlanjutan merupakan
suatu fungsi dari: (1) Output per unit input pada tingkat produktivitas atau laba
per kapita yang optimal, (2) Output per unit sumberdaya yang paling terbatas
atau sumberdaya yang paling sulit pulih, dan (3) Tingkat output minimal yang
paling aman terhadap kelestarian sumberdaya. Secara konsisten Sinukaban
(1991, 1994, 1999, dan 2005) menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan
adalah suatu bentuk pengelolaan lahan yang dapat menjamin kelestarian
sumberdaya alam dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan ekonomi secara layak
dan terus menerus serta penerapan agroteknologi yang acceptable dan replicable.
Berdasarkan definisi tersebut maka indikator pertanian berkelanjutan adalah :
1. Pendapatan masyarakat cukup tinggi
2. Agroteknologi yang diterapkan tidak menimbulkan degradasi pada lahan yang
3. Teknologi yang diterapkan harus dapat diterima (acceptable) dan dapat dikembangkan(replicable) oleh masyarakat petani.
Khusus bagi pembangunan pertanian lahan kering yang berkelanjutan,
Sinukaban (1995) menyatakan dalam perencanaan usahatani perlu dilakukan
beberapa tahapan yang meliputi : (1) melakukan evaluasi potensi fisik lahan, (2)
mengevaluasi kesesuaian penggunaan lahan, (3) melakukan prediksi erosi, (4)
melakukan analisis ekonomi usahatani, dan (5) mempertimbangkan aspek sosial.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berkelanjutan
Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah atau kawasan yang
menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan ke sungai, baik dalam bentuk
aliran permukaan, aliran bawah permukaan dan aliran air di bawah tanah. Wilayah
ini dipisahkan dengan wilayah lainnya oleh pemisah topografi, yaitu punggung
bukit dan keadaan geologi terutama formasi batuan (Linsley et al. 1989). Arsyad
et al. (1985) menyebutkan bahwa secara operasional DAS didefinisikan sebagai wilayah yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh batas-batas
topografi mengalirkan air yang jatuh diatasnya ke dalam sungai yang sama pada
sungai tersebut. Selanjutnya menurut Undang-undang Sumber Daya Air No. 7
Tahun 2004, DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan
satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi
dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan (UU Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004). Untuk kajian institusi, definisi
DAS menurut Kartodihardjo et al. (2004) adalah, DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property) dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta
menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan atau kelompok
masyarakat.
Pengelolaan DAS adalah upaya penggunaan sumberdaya alam di dalam
tidak terbatas dan menekan bahaya kerusakan (degradasi) seminimal mungkin,
serta diperoleh water yield yang merata sepanjang tahun (Sinukaban 1999). Di dalam pengelolaan DAS, DAS harus dipandang sebagai satu kesatuan
antara wilayah hulu dan hilir, karena adanya interdependensi. Namun karena
DAS bagian hulu merupakan daerah recharge dan merupakan sumber air bagi daerah di bawahnya, maka perhatian yang cukup terhadap wilayah ini sangat
diperlukan. Hulu DAS umumnya didominasi oleh penutupan vegetasi hutan. Jadi
apabila hutan rusak maka fungsi hidrologis DAS juga dapat dipastikan akan rusak.
Berkaitan dengan fungsi dan karakteristik DAS bagian hulu tersebut, maka
pengelolaan Hulu DAS lebih dimanifestasikan dengan pengelolaan hutan.
Pengelolaan DAS sebagai bagian integral dari pembangunan wilayah, saat
ini masih menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan saling terkait.
Masalah-masalah tersebut antara lain adalah : Erosi dan sedimentasi, banjir dan
kekeringan, pencemaran air sungai, pengelolaan tidak terpadu, koordinasi yang
lemah, institusi belum mantap, konflik antar sektor/kegiatan dan peraturan yang
tumpang tindih (Dephut 2001; Brooks et al. 1990; dan Easter et al. 1986). Kondisi ini menyebabkan kerusakan DAS setiap tahun semakin meningkat
jumlahnya, meskipun pengelolaan DAS terus dilakukan.
Kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan DAS tersebut di atas
mengharuskan berbagai pihak yang terlibat (stakeholders) untuk melakukan Langkah-langkah strategis dalam pengelolaan DAS secara terpadu. Adapun
rencana pengelolaan DAS terpadu mengacu pada kaidah Satu DAS, satu rencana,
dan satu pengelolaan (Hutabarat, 2008).
Daerah aliran sungai dan aspek pertanian, merupakan satu kesatuan yang
sulit dipisahkan. Berbicara tentang DAS pasti akan berimplikasi terhadap bidang
pertanian. Oleh karena itu agar DAS baik dan lestari dengan berbagai cirinya,
maka pertanian yang ada di dalamnya juga harus berkelanjutan.
Dalam konteks pengelolaan DAS, Sinukaban (1994) menyatakan bahwa tujuan
pengelolaan DAS adalah keberlanjutan (Sustainability) yang diukur dari pendapatan, produksi, teknologi, dan erosi. Teknologi dimaksud adalah teknologi yang dapat
pihak luar, dan teknologi tersebut dapat direplikasi berdasarkan faktor-faktor sosial
budaya itu sendiri.
Salah satu upaya agar penggunaan sumberdaya lahan dapat dilakukan secara
berkelanjutan adalah menerapkan sistem pertanian konservasi. Sistem pertanian
konservasi adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan teknik konservasi tanah
dan air ke dalam sistem usahatani yang sedang dilakukan, dengan tujuan utama
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani sekaligus menekan bahaya erosi.
Erosi yang terjadi harus lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransi
(Etol), sehingga sistem pertanian tersebut dapat dilakukan secara berkesinambungan tanpa batas waktu.
Selanjutnya Sinukaban (1994) menyatakan bahwa sistem pertanian konservasi
dicirikan oleh :
1. Produksi pertanian cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan
usahanya.
2. Pendapatan petani cukup tinggi sehingga petani dapat mendisain masa depan
keluarganya dari pendapatan usahatani yang dilakukan.
3. Teknologi yang diterapkan sesuai dengan kemampuan petani setempat.
4. Komoditas pertanian yang diusahakan beragam dan sesuai dengan kondisi
biofisik daerah, dapat diterima petani, dan laku di pasar.
5. Laju erosi lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransi, sehingga produksi yang
cukup tinggi tetap dapat dipertahankan atau ditingkatkan secara lestari, dan fungsi
hidrologis terpelihara dengan baik.
6. Sistem penguasaan dan pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi
jangka panjang (longterm investment security) dan menggairahkan petani untuk terus berusahatani.
Penentuan alternatif pengelolaan tanah dan tanaman terkait dengan data
tanah, data iklim, bentuk lahan, dan kondisi fisik lingkungan lainnya. Persyaratan
penggunaan lahan dan persyaratan tumbuh tanaman menjadi penting, karena
penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan harus sesuai dengan daya
dukungnya agar dapat tercipta suatu pengelolaan lahan yang lestari. Menurut
Sinukaban (1994), perencanaan pengelolaan DAS yang baik tidak mengabaikan
mengembangkan sumberdaya yang ada sesuai dengan karakteristik DAS yang
dikelola.
Dalam praktiknya, pengelolaan suatu DAS harus berorientasi pada
kaidah-kaidah konservasi tanah dan air dengan mengembangkan pola usahatani yang
sudah ada sambil mengintroduksi teknologi secara perlahan-lahan yang sesuai
dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat, agar diperoleh suatu
model usahatani yang spesifik lokasi. Model usahatani konservasi yang dilakukan
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, selain itu
erosi yang terjadi harus lebih kecil atau sama dengan Etol, sehingga sistem pertanian tersebut dapat dilakukan secara berkesinambungan tanpa batas waktu
(sustainable).
Sistem pertanian konservasi merupakan sistem pertanian yang bersifat
spesifik lokasi sehingga tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan di tempat lain
jika tidak sesuai.
Penilaian kelas kemampuan dan kesesuaian lahan merupakan langkah
strategis dalam perencanaan dan penilaian penggunaan lahan. Berdasarkan
penilaian ini akan diperoleh zonasi atau pengelompokan lahan berdasarkan
karakter sumberdaya alamnya (iklim, tanah dan sifat fisik lingkungan) di setiap
bidang lahan. Sehingga pengembangan pembangunan pertanian yang diterapkan
akan dapat lestari.
Jadi semua kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di dalam DAS harus
mempunyai tujuan untuk keberlanjutan. Untuk mencapai hal ini maka perlu
diketahui hal-hal : (1) kondisi biofisik DAS, (2) evaluasi kemampuan dan
kesesuaian lahan, (3) ekonomi (pasar), (4) agroteknologi yang menjamin erosi
rendah, dan (5) pengetahuan orang di dalam DAS dan sumberdaya lokal
(Sinukaban 1995).
Evaluasi Lahan
Evaluasi lahan adalah proses penilaian penampilan atau keragaan
(performance) lahan jika dipergunakan untuk tujuan tertentu. Tergantung pada tujuan evaluasi lahan, kegiatan evaluasi lahan dapat berupa klasifikasi
Klasifikasi Kemampuan Lahan
Klasifikasi kemampuan lahan (Land capability clasification) adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan
pengelompokkannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang
merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad
2006).
Klasifikasi kemampuan lahan adalah interpretasi yang didasarkan pada
pengaruh gabungan unsur lahan seperti iklim dan sifat-sifat tanah yang permanen
seperti ancaman kerusakan tanah, faktor pembatas penggunaan, kemampuan
produksi dan syarat-syarat pengelolaan tanah. Lereng, tekstur tanah, kedalaman
tanah, tingkat erosi tanah yang telah terjadi, permeabilitas tanah, kapasitas
menahan air, jenis mineral liat adalah kualitas dan sifat-sifat lahan yang
permanen. Vegetasi berupa pohonan, semak belukar atau rumput bukan sifat
permanen lahan. Kandungan unsur hara, karena bukan sifat permanen dan mudah
berubah, tidak dipergunakan sebagai kriteria klasifikasi pada tingkat kelas dan sub
kelas, akan tetapi dipergunakan untuk pengelompokkan tingkat satuan
kemampuan atau satuan pengelolaan. Keasaman tanah selama dalam batas-batas
yang masih dapat ditoleransi tanaman tidak dipergunakan sebagai kriteria
klasifikasi tingkat kelas dan sub kelas (Arsyad 2006). Klasifikasi kemampuan
lahan merupakan upaya untuk mengevaluasi lahan untuk penggunaan tertentu.
Pengelompokkan lahan ke dalam tingkat kelas didasarkan atas intensitas
faktor penghambat, yaitu kelas I sampai kelas VIII. Ancaman kerusakan atau
hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai kelas VllI. Tanah kelas I
sampai kelas IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai
untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian (tanaman
semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput dan hutan.
Tanah pada kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman
pohon-pohonan atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal tanah kelas V dan VI dapat
menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti
buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai
tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah
Pengelompokkan di dalam sub kelas didasarkan atas jenis faktor
penghambat atau ancaman. Jadi sub kelas adalah pengelompokkan unit
kemampuan lahan yang mempunyai jenis hambatan atau ancaman dominan yang
sama jika dipergunakan untuk pertanian sebagai akibat sifat-sifat tanah, relief,
hidrologi dan iklim. Beberapa tanah terancam erosi jika tidak dilindungi,
sedangkan lainnya secara alami selalu tergenang atau berkelebihan air yang harus
didrainasekan agar dapat ditanami.
Pengelompokan di dalam satuan kemampuan adalah pengelompokan
tanah-tanah yang mempunyai keragaan dan persyaratan yang sama terhadap sistem
pengelolaan yang sama bagi usahatani tanaman pertanian umumnya atau tanaman
rumput untuk makanan ternak atau yang lainnya. Tanah-tanah di dalam satu
satuan kemampuan, sesuai bagi penggunaan usaha tanaman yang sama dan
memberikan keragaan yang sama terhadap berbagai alternatif pengelolaan bagi
tanaman tersebut. Pendugaan jangka panjang (sepuluh tahun) hasil yang
diusahakan pada setiap lahan dalam satuan kemampuan yang sama dengan
pengelolaan yang sama tidak berbeda lebih dari 25%. Hasil tanaman merupakan
kriteria yang dipergunakan dalam tingkat satuan kemampuan. Namun pada
penelitian ini penilaian klasifikasi kemampuan lahan dibatasi hingga sub kelas.
Secara ringkas kriteria klasifikasi kemampuan lahan berdasarkan faktor
penghambat yang dikembangkan oleh Hockensmith dan Steel pada tahun 1943
dan Klingebiel dan Montgomery pada tahun 1973 (Arsyad 2006) disajikan pada
Tabel 1, dan kriteria masing-masing faktor penghambat disajikan pada
Lampiran 1.
Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Klasifikasi kesesuaian lahan (Land suitability clasification) adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Penilaian kelas
kesesuaian lahan dilakukan dengan cara mencocokkan antara kualitas lahan dan
karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang
telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh
Klasifikasi kesesuaian lahan yang digunakan bersifat kualitatif yaitu hanya
didasarkan atas sifat fisik lahan, tanpa mempertimbangkan faktor sosial dan
ekonomi. Analisis kesesuaian lahan dilakukan sampai tingkat Sub-kelas. Sistem
klasifikasi kesesuaian lahan yang digunakan berdasarkan kerangka penilaian
kesesuaian lahan yang disusun oleh Djaenudin et al. (2003). Tabel 1 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan
Faktor penghambat/
Catatan: (1) = kriteria masing-masing faktor penghambat disajikan pada Lampiran 1. (*) = dapat mempunyai semberang sifat
(**) = tidak berlaku
(***) = umumnya terdapat di daerah beriklim kering
Sumber : Arsyad ( 2006)
1. Kerangka Penilaian Lahan
Kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu dikelompokkan ke dalam tiga
kategori, yaitu:
a. Tingkat Ordo, mencerminkan tingkat kesesuaian.
b. Tingkat Kelas, mencerminkan tingkat kesesuaian di dalam ordo.
c. Tingkat sub-kelas, mencerminkan jenis pembatas/kendala atau ukuran
jenis perbaikan utama yang diperlukan dalam kelas.
2. Ordo Kesesuaian Lahan
Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong
3. Kelas Kesesuaian Lahan
Pada tingkap kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam
tiga kelas, yaitu : Lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan Sesuai
Marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak
dibedakan ke dalam kelas-kelas.
Kelas S1 : Sangat Sesuai
Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap
penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas yang bersifat minor
dan tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata.
Kelas S2 : Cukup Sesuai
Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan
berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan
(input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri.
Kelas S3 : Sesuai Marginal
Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan
berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan
yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi
faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya
bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta.
Tanpa bantuan tersebut petani sulit mengatasinya.
Kelas N : Tidak Sesuai
Lahan tidak sesuai karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan
atau sulit diatasi.
4. Sub Kelas
Keadaan tingkatan dalam kelas kesesuian lahan. Kelas kesesuaian lahan
dibedakan menjadi sub kelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang
menjadi faktor pembatas terberat. Faktor pembatas ini sebaiknya dibatasi
jumlahnya, maksimum dua pembatas. Tergantung peranan faktor pembatas pada
masing-masing sub kelas, kemungkinan kelas kesesuian lahan yang dihasilkan ini
bisa diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya sesuai dengan masukan yang
Kualitas lahan yang dipilih sebagai kriteria oleh Djaenudin et al. (2003) adalah temperatur, ketersedian air, ketersediaan oksigen, media perakaran,
gambut, retensi hara, toksisitas, sodisitas, bahaya sulfidik, bahaya erosi, bahaya
banjir, dan penyiapan lahan. Karakteristik lahan yang digunakan meliputi:
temperatur udara, ketinggian tempat, curah hujan, lamanya masa kering,
kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah, ketebalan
gambut, kematangan gambut, KTK liat, KB, pH H20, C-organik, salinitas,
alkalinitas, kedalaman bahan sulfidik, lereng, bahaya erosi, genangan, batuan
dipermukaan, dan singkapan batuan.
Usahatani Kopi
Komoditas kopi di Indonesia mempunyai peranan penting, baik sebagai
sumber devisa maupun sebagai penunjang perekonomian rakyat. Indonesia telah
dikenal sebagai penghasil dan pengekspor kopi robusta terbesar ketiga di dunia
(Tondok 1999). Areal kopi Indonesia pada tahun 2000 meliputi 1.140.159 ha
dengan total produksi mencapai 510.998 ton. Dari areal tersebut 1.054.834 ha
(95%) merupakan perkebunan rakyat dengan produksi sebesar 466.274 ton ( 95%)
dan sisanya diusahakan oleh perkebunan besar (Ditjen Perkebunan 2000).
Jenis tanaman kopi yang diusahakan di Indonesia didominasi jenis robusta,
yaitu sebesar 93%, yang tersebar di seluruh Indonesia dengan sentra utama
Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, D.I. Aceh, Sumatera Utara, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur (Tondok 1999). Provinsi
Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu disebut sebagai "Segitiga emas" sentra
produksi kopi Indonesia (Kurniawan 1999).
Lampung sebagai sentra produksi kopi robusta terbesar nomor dua setelah
Sumatera Selatan, mempunyai total areal pertanaman seluas 137.700 ha dengan
total produksi 63.680 ton per tahun. Kabupaten Tanggamus merupakan salah satu
sentra produksi kopi di Provinsi Lampung, pada tahun 2007 luas pertanaman kopi
di daerah ini mencapai 52.379,20 ha dengan produksi mencapai 29.831,48 ton. Di
Kabupaten Tanggamus, Kecamatan Pulau Panggung memiliki areal pertanaman
kopi terluas yaitu 9.099 ha dengan produksi sebesar 3.589,65 ton (BPS Kabupaten