• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi Ekstrak Tanaman Aglaia Odorata Dan Piper Aduncum Untuk Pengendalian Ulat Krop Kubis Crocidolomia Pavonana (F) (Lepidoptera Crambidae)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi Ekstrak Tanaman Aglaia Odorata Dan Piper Aduncum Untuk Pengendalian Ulat Krop Kubis Crocidolomia Pavonana (F) (Lepidoptera Crambidae)"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI EKSTRAK TANAMAN

Aglaia odorata

DAN

Piper aduncum

UNTUK PENGENDALIAN ULAT KROP KUBIS

Crocidolomia pavonana

(F.) (LEPIDOPTERA: CRAMBIDAE)

RIDWAN ISNAENI MAHFUD

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Formulasi Ekstrak Tanaman Aglaia odorata dan Piper aduncum untuk Pengendalian Ulat Krop Kubis Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

Ridwan Isnaeni Mahfud

(4)

RINGKASAN

RIDWAN ISNAENI MAHFUD. Formulasi Ekstrak Tanaman Aglaia odorata dan

Piper aduncum untuk Pengendalian Ulat Krop Kubis Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae). Dibimbing oleh DADANG dan ENDANG SRI RATNA.

Ulat krop kubis Crocidolomia pavonana merupakan hama penting pada tanaman sayuran famili Brassicaceae. Larva instar awal hidup bergerombol di permukaan bawah daun dan instar akhir biasanya menyerang krop kubis. Dalam rangka mengendalikan hama ini, insektisida sintetik umum digunakan oleh petani. Pengendalian hama dengan memanfaatkan bahan tumbuhan merupakan alternatif pengendalian yang relatif lebih efisien, ramah lingkungan, dan aman terhadap kesehatan manusia. Ekstrak tanaman Aglaia odorata (Meliaceae) dan Piper aduncum (Piperaceae) diketahui memiliki sifat toksik terhadap serangga Lepidoptera.

Tujuan penelitian ini mempelajari keefektifan dua jenis ekstrak tanaman A. odorata dan P. aduncum sebagai insektisida nabati, baik aplikasi tunggal maupun campuran terhadap larva C. pavonana dan mengevaluasi keefektifan formulasi ekstrak menggunakan tiga jenis adjuvan. Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap, meliputi pemeliharaan dan perbanyakan serangga, ekstraksi bahan tanaman, pengujian keefektifan ekstrak terhadap larva, pengujian stabilitas dan pH larutan ekstrak, dan uji toksisitas formulasi.

Ekstrak P. aduncum lebih toksik terhadap larva instar II C. pavonana

dibandingkan dengan ekstrak A. odorata pada pengamatan 96 jam setelah perlakuan. Nilai LC50, LC90 dan LC95 ekstrak P. aduncum terhadap larva

berturut-turut; 0.180%, 0.245%, dan 0.268%, sedangkan untuk A. odorata 0.490%, 1.170%, dan 1.497%. Campuran P. aduncum dan A. odorata dengan rasio 2:1 (w/w) menunjukkan lebih toksik terhadap larva C. pavonana instar II dibandingkan dengan dua campuran lainnya (rasio 1:1 dan 1:2; w/w). Hal ini ditunjukkan oleh nilai LC50, LC90 dan LC95 campuran ekstrak pada rasio 2:1 (w/w) berturut-turut

sebesar 0.212%, 0.339%, dan 0.386%; rasio 1:1 (w/w) sebesar 0.274%, 0.521%, dan 0.625 %; dan rasio 1:2 (w/w) sebesar 0.814%, 1.275%, 1.448%. Selain itu, campuran ekstrak P. aduncum dan A. odorata rasio 2:1 (w/w) menunjukkan sifat interaksi aditif.

(5)

SUMMARY

RIDWAN ISNAENI MAHFUD. Botanical Insecticide Formulation of Aglaia odorata and Piper aduncum Extracts to Control Cabbage Head Caterpillar

Crocidolomia pavonana (F.). Supervised by DADANG and ENDANG SRI

RATNA.

Cabbage head caterpillar, Crocidolomia pavonana is an important pest on vegetable crops of Brassicaceae family. The early instar larvae live gregariously on the underside of cabbage leaves and the older instar larvae are usually found on cabbage crop. In order to control this pest, synthetic insecticides are commonly used by farmers. Control of the pest population by utilizing the plant materials is an alternative control that are relatively more efficient, environmentally friendly and safe to human health. Aglaia odorata (Meliaceae) and Piper aduncum

(Piperaceae) extracts are known to have toxic properties against Lepidoptera insects.

The purposes of this research were to study the effectiveness of A. odorata

and P. aduncum extracts as a botanical insecticide, either a single application or a mixture on the larvae of C. pavonana, and to evaluate the effectiveness of extract formulations using three adjuvants. The study was conducted in several stages, including the maintenance and rearing of test insects, extraction of plant materials, testing the effectiveness of the extract against larvae, testing of the pH and stability of the extract solutions, and testing of the extract formulations.

Extract of P. aduncum showed more toxic to second instar larvae of

C. pavonana compared with extract of A. odorata at 96 hours after treatment indicated by LC50, LC90 and LC95 values. The LC50, LC90 and LC95 values of

P. aduncum and A. odorata extracts were 0.180%, 0.245%, 0.268%, and 0.490%,

1.170%, 1.497%, respectively. The mixture extracts of P. aduncum and

A. odorata with the ratio 2:1 (w/w) showed more toxic to second instar larvae of

C. panonana compared with two other extracts mixture (ratios 1:1 and 1:2; w/w) indicated by LC50, LC90 and LC95 values. The LC50, LC90 and LC95 values of

mixtured extracts of P. aduncum and A. odorata at ratio 2:1 were 0.212%, 0.339%, and 0.386%, respectively. While the LC50, LC90 and LC95 values of extracts

mixtures of P. aduncum and A. odorata at ratios 1:1 and 1:2 were 0.274%, 0.521%, 0.625%, and 0.814%, 1.275%, 1.448%, respectively. Furthermore, mixture extracts of P. aduncum and A. odorata at a ratio 2:1 (w/w) showed an additive interaction property.

The extract formulation of P. aduncum and A. odorata containing Triton X adjuvant showed better performance in term of formulation stability than the extract formulations containing Tween 80 or Agristik 400L adjuvants. Moreover, the highest larval mortality occurred on the extract formulation containing Tween 80 which caused 98% mortality at 96 hours after treatment.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Entomologi

FORMULASI EKSTRAK TANAMAN

Aglaia odorata

DAN

Piper aduncum

UNTUK PENGENDALIAN ULAT KROP KUBIS

Crocidolomia pavonana

(F.) (LEPIDOPTERA: CRAMBIDAE)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)

Judul Tesis : Formulasi Ekstrak Tanaman Aglaia odorata dan Piper aduncum

untuk Pengendalian Ulat Krop Kubis Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae)

Nama : Ridwan Isnaeni Mahfud

NIM : A351130151

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr Ir. Dadang, MSc Ketua

Dra. Endang Sri Ratna, PhD Anggota

Diketahui oleh Ketua Program Studi Entomologi

Dr. Ir. Pudjianto, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah insektisida nabati, dengan judul Formulasi Ekstrak Tanaman Aglaia odorata dan

Piper aduncum untuk Pengendalian Ulat Krop Kubis Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae). Penulis ucapkan terima kasih tak terhingga kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc selaku ketua komisi pembimbing dan Dra. Endang Sri Ratna, PhD. selaku anggota komisi pembimbing dan Dr. Ir. Pudjianto, MSi. selaku Ketua Program Studi Entomologi yang telah banyak memberikan motivasi, arahan, masukan dan bimbingan, serta Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. yang telah banyak memberikan arahan dan masukan selama proses penelitian di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga.

2. Ayahanda Machfud dan Ibunda Sapiye, serta keluarga besar penulis yang telah mendoakan dan memberi dukungan yang luar biasa kepada penulis. 3. Rekan-rekan yang telah banyak membantu dalam proses pengambilan sampel

tanaman, Johana Anike Mendes, SP. MSi dan Fatku Shirot Prayogo, SP., Bapak Agus Sudrajat staf Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, dan Bapak Hendy staf BSB yang selalu membantu ketika kekurangan daun brokoli.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Namun, penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016

(12)

DAFTAR ISI

Permasalahan Hama Crocidolomia pavonana (F.) 4

Arti Ekonomi 4

Crocidolomia pavonana (F.) 4

Peran Pestisida Nabati 5

Potensi Aglaia odorata sebagai Sumber Insektisida Nabati 5 Potensi Piper aduncum sebagai Sumber Insektisida Nabati 6

Peran Adjuvant dalam Formulasi 7

Uji Stabilitas Sediaan Ekstrak dan pH dengan Tiga Jenis Adjuvant 11

Uji Toksisitas Formulasi 11

Stabilitas Sediaan Ekstrak dan pH dengan Tiga Jenis Adjuvant 16

(13)

DAFTAR TABEL

1 Penduga parameter toksisitas dua jenis ekstrak terhadap larva instar II

C. pavonana. 14

2 Penduga parameter toksisitas campuran ekstrak P. aduncum (PA) dan

A. odorata (AO) terhadap mortalitas larva instar II C. pavonana. 17 3 Sifat interaksi campuran ekstrak P. aduncum (PA) dan A. odorata (AO)

pada tiga perbandingan terhadap mortalitas larva instar II C. pavonana. 18 4 Stabilitas sediaan ekstrak formulasi dan pH pada penggunaan tiga jenis

adjuvant. 19

5 Rata-rata persentase mortalitas larva instar II C. pavonana pada

perlakuan tiga jenis formulasi ekstrak. 20

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan tingkat mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan ekstrak P. aduncum (A) dan ekstrak A. odorata (B). 13 2 Perkembangan tingkat mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan

campuran ekstrak P. aduncum dan A. odorata (PA + AO) pada tiga

perbandingan. 15

3 Sediaan ekstrak formulasi campuran (P. aduncum + A. odorata) + tiga konsentrasi Agristik 400L. (a) 0.1%, (b) 0.2%, dan (c) 0.3%. 19 4 Sediaan ekstrak formulasi campuran (P. aduncum + A. odorata) + tiga

konsentrasi Tween 80. (a) 0.1%, (b) 0.2%, dan (c) 0.3%. 19 5 Sediaan ekstrak formulasi campuran (P. aduncum + A. odorata) + tiga

konsentrasi Triton X. (a) 0.1%, (b) 0.2%, dan (c) 0.3%. 20

DAFTAR LAMPIRAN

1 Mortalitas C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak P. aduncum pada

beberapa konsentrasi. 30

2 Rata-rata mortalitas C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak

A. odorata pada beberapa konsentrasi. 30 3 Mortalitas C. pavonana yang diberi perlakuan campuran ekstrak

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Budidaya tanaman hortikultura banyak mengalami kendala, diantaranya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Salah satu hama penting pada tanaman Famili Brassicaceae adalah Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae). Serangan serangga hama ini bersama-sama dengan serangan hama

Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) di lapangan dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 100%, terutama pada musim kemarau (Sastrosiswojo dan Setiawati 1992).

Hingga saat ini tindakan pengendalian hama tanaman kubis yang umum dilakukan oleh petani adalah secara kimia menggunakan insektisida sintetik. Penggunaan insektisida sintetik di satu sisi dapat mengendalikan organisme pengganggu tanaman sehingga dapat meningkatkan hasil produksi pertanian. Namun, di sisi lain penggunaan insektisida kimia sintetik secara terus menerus dan tidak sesuai dengan prinsip pengendalian hama terpadu (PHT) dapat memberikan berbagai dampak negatif seperti terjadinya resistensi, resurjensi, munculnya hama sekunder, terbunuhnya organisme bukan sasaran, adanya residu insektisida pada bahan makanan, pencemaran lingkungan, dan bahaya insektisida terhadap pengguna (Untung 1996).

Dewasa ini masyarakat mulai sadar akan pentingnya menerapkan pola hidup sehat. Salah satu upaya dalam menerapkan pola hidup sehat yang dilakukan oleh masyarakat di antaranya dengan mengonsumsi produk-produk pertanian khususnya sayuran yang bebas penggunaan pestisida sintetik atau lebih dikenal dengan produk sayuran organik. Hal ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik meningkat. Apabila petani mampu memenuhi kebutuhan masyarakat baik permintaan dalam maupun luar negeri maka akan meningkatkan daya saing usaha agribisnis khususnya pada produk hortikultura di Indonesia yang bersertifikat aman dikonsumsi, serta memiliki kandungan nutrisi tinggi, dan ramah lingkungan (Mayrowani 2012). Oleh karena itu, perlu adanya alternatif pengendalian OPT berupa penggunaan insektisida nabati untuk pengendalian serangga hama tanaman Brassicaceae, khususnya C. pavonana. Pengendalian dengan insektisida nabati merupakan salah satu pendukung di dalam prinsip pengendalian hama terpadu (PHT), yaitu dengan penggunaan bahan aktif alami bersumber dari tanaman.

(16)

2

dilaporkan bersifat toksik terhadap larva C. binotalis instar I (Tarwotjo 2009). Ekstrak A. harmsiana dapat memperpanjang lama hidup larva C. pavonana instar III selama 2.1-5.9 hari dan memperpanjang lama perkembangan dari larva instar III ke pupa selama 1.7-8.7 hari ketika larva diberi perlakuan ekstrak pada konsentrasi 0.019-0.135%. Ishibashi et al. (1993) juga melaporkan bahwa daun dan ranting A. odorata mengandung senyawa rokaglamida (golongan benzofuran) yang memiliki aktivitas insektisida dan menghambat pertumbuhan larva

Spodoptera litura. Menurut Dono et al. (2004), senyawa aktif rokaglamida di dalam ekstrak A. odorata dapat menyebabkan mortalitas larva C. pavonana instar II dengan nilai LC50 dan LC95 berturut turut 32.27 ppm dan 69.24 ppm, danpada

konsentrasi 300 ppm dinyatakan relatif aman terhadap parasitoid betina Eriborus argenteopilosus.

Selain tumbuhan famili Meliaceae, tumbuhan dari famili Piperaceae juga berpotensi sebagai insektisida nabati (Scott et al. 2008). Nailufar (2011) melaporkan bahwa ekstrak buah Piper aduncum memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana dengan nilai LC50 yang rendah, yaitu 0.141

dan LC95 0.317%. Selain itu, Othman et al. (2004) melaporkan bahwa fraksi n

-heksana daun P. aduncum dapat mematikan larva nyamuk Aedes aegypti (L.). Minyak atsiri daun P. aduncum juga dilaporkan dapat mematikan nyamuk

A. aegypti (Misni et al. 2008) dan lalat rumah Musca domestica (L.) (Mee et al.

2009). Senyawa aktif ekstrak daun P. aduncum yang paling berperan memiliki aktivitas insektisida ialah dilapiol (Bernard et al. 1995). Senyawa dilapiol juga dilaporkan memiliki aktivitas insektisida terhadap kumbang Cerotoma tingomarianus (B.) (Fazolin et al. 2005) dan Sitophilus zeamais (M.)(Estrela et al.

2006). Selain itu, dilapiol pada konsentrasi 0.1 ppm dapat mengakibatkan mortalitas larva nyamuk Aedes atropalpus 92% (Bernard et al. 1995) serta dapat menurunkan kelangsungan hidup dan kemampuan reproduksi nyamuk A. aegypti

(Rafael et al. 2008).

Insektisida nabati dapat diaplikasikan dalam bentuk sediaan ekstrak tunggal dan atau campuran ekstrak. Pemanfaatan lebih dari satu jenis sumber bahan tanaman dapat mengurangi kebergantungan pada satu jenis tanaman sebagai bahan baku utama, yang tidak selalu tersedia melimpah di satu daerah. Selain itu, penggunaan campuran ekstrak dapat memperluas spektrum kerja bahan aktif, sehingga dapat memperlambat terjadinya resistensi pada hama sasaran (Dadang dan Prijono 2008).

Ekstrak Piper spp. diketahui bersifat sinergis bila dicampurkan dengan ekstrak tumbuhan lain (Scott et al. 2008). Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Nailufar (2011) bahwa campuran ekstrak buah P. aduncum dan daun

Tephrosia vogelii pada rasio 1:1, 1:5, dan 5:1 bersifat sinergistik kuat terhadap larva C. pavonana. Campuran ekstrak biji Swietenia mahagani dan A. odorata 3:7 pada konsentrasi pengenceran 0.4% bekerja sinergis dalam menekan populasi

P. xylostella dan C. pavonana di lapang (Amalia 2004). Berdasarkan potensi

(17)

3 Perumusan Masalah

Penggunaan insektisida sintetik secara terus-menerus pada tanaman khususnya sayuran menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan konsumen. Oleh karena itu, perlu adanya alternatif insektisida yang lebih ramah lingkungan, yaitu insektisida nabati. Namun kenyataan di lapangan, produk insektisida nabati yang aman, praktis dan cepat dalam mengendalikan OPT belum tersedia, sehingga pada penelitian ini dilakukan pengembangan formulasi insektisida nabati yang diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian yang praktis, ramah lingkungan dan efektif dalam mengendalikan OPT khususnya C. pavonana pada tanaman kubis.

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah

1. Mempelajari keefektifan dua jenis ekstrak tumbuhan A. odorata dan

P. aduncum sebagai insektisida nabati baik aplikasi secara tunggal maupun campuran terhadap larva C. pavonana.

2. Mengevaluasi keefektifan formulasi sederhana campuran ekstrak menggunakan tiga jenis adjuvant.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Memperluas wawasan dan pengetahuan dalam bidang pengendalian hama yang ramah lingkungan terutama pemanfaatan bahan tumbuhan dalam mengendalikan C. pavonana.

(18)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Permasalahan Hama Crocidolomia pavonana (F.) Arti Ekonomi

Crocidolomia pavonana (F.) merupakan hama penting pada tanaman Brassicaceae seperti kubis, brokoli, lobak, sawi, petsai, dan selada air. Daerah persebaran hama ini meliputi Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik (Kalshoven 1981). Larva instar I dan II bertipe gregarius dan makan pada bagian permukaan bawah daun dan instar III meluas hingga ke bagian batang daun. Pada tanaman kubis lebih tua, larva seringkali merusak krop atau titik tumbuh, sehingga kerusakan tanaman yang ditimbulkan dapat mencapai

100% bila tidak dilakukan pengendalian. Kerusakan yang disebabkan oleh larva

C. pavonana pada kubis dapat menjadi masalah serius karena populasinya dapat meningkat dengan cepat dan menyerang secara berkelompok, terutama pada musim kemarau (Sastrosiswojo dan Setiawati 1992).

Crocidolomia pavonana (F.)

Imago C. pavonana berwarna cokelat muda dengan panjang tubuh 1-1.5 cm. Imago jantan dicirikan dengan permukaan sayapnya terdapat bintik cokelat gelap, sedangkan imago betina tidak. Masa oviposisi imago betina dimulai pada hari keempat setelah imago muncul. Telur biasanya diletakkan berkelompok di permukaan bawah daun kubis. Sebelum menetas, warna telur berubah menjadi oranye, cokelat kekuningan dan cokelat gelap. Setiap kelompok telur biasanya berisi sekitar 9-120 butir telur dengan rata-rata 48 butir. Ukuran kelompok telur

berkisar dari 1.0 mm x 2.0 mm sampai 3.5 mm x 6.0 mm dengan rata-rata 2.6 mm x 4.3 mm. Masa inkubasi telur rata-rata 4 hari pada suhu 26.0-33.2 °C.

Persentase penetasan telur 92.4% (Othman 1982).

Fase larva C. pavonana melewati empat instar dengan rata-rata lama stadium setiap instar I, II, III dan IV berturut-turut adalah 2, 2, 2, dan 1.5 hari. Larva instar I berwarna kuning kehijauan dengan kepala cokelat tua. Instar II berwarna hijau muda, dengan panjang tubuh 5.5-6.1 mm. Instar III berwarna hijau, dengan panjang tubuh 11-13 mm. Larva instar IV berwarna hijau dengan tiga titik hitam dan tiga garis memanjang pada bagian dorsal serta satu lainnya di sisi lateral (Prijono dan Hassan 1992). Warna pupa cokelat kekuningan dan kemudian menjadi cokelat gelap. Lebar pupa sekitar 3 mm dan panjang 10 mm dengan stadium rata-rata 10 hari pada suhu 26.0-33.2 °C dan kelembaban (RH) 54.1-87.8% (Othman 1982). Lama perkembangan dari telur hingga menjadi imago

(19)

5 Peran Pestisida Nabati

Petani sampai saat ini masih mengandalkan insektisida sintetik untuk mengendalikan hama tanaman sayuran. Namun, penggunaan insektisida yang berlebihan dapat membunuh serangga lain yang berperan sebagai agens pengendali. Selain itu, penggunaan insektisida yang kurang bijaksana juga dapat menimbulkan berbagai dampak yang merugikan seperti resistensi dan resurjensi hama, bahaya bagi petani sebagai pengguna dan konsumen, serta pencemaran lingkungan (Metcalf 1986).

Salah satu kiat pengendalian hama yang ramah lingkungan ialah menggunakan insektisida nabati. Insektisida nabati memiliki beberapa kelebihan, seperti mudah terurai di alam, relatif aman terhadap organisme bukan sasaran, komponen ekstrak dapat bersifat sinergis, tidak mudah terbentuk resistensi hama, dapat dipadukan dengan komponen pengendalian hama terpadu lainnya, dan

bahan sediaan ekstrak sederhana dapat disiapkan di tingkat petani (Dadang dan Prijono 2008).

Secara umum insektisida nabati diartikan sebagai insektisida berbahan dasar tumbuhan yang berperan sebagai zat pembunuh, penolak, atraktan ataupun penghambat pertumbuhan OPT. Selain itu, insektisida nabati diketahui mudah terurai di alam dan relatif aman bagi manusia dan hewan karena residu pada tanaman akan cepat terurai setelah hama terbunuh, sehingga produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi (Kardinan 2002). Berdasarkan sejarah, bahan-bahan organik alami yang berasal dari tumbuhan sudah lama digunakan untuk pengendalian serangga hama, bahkan sebelum penggunaan insektisida golongan lainnya digunakan, seperti insektisida anorganik, kecuali penggunaan sulfur.

Tumbuhan menghasilkan metabolit primer yang berperan dalam proses pertumbuhannya dan juga metabolit sekunder berupa zat bioaktif khususnya pada tanaman tingkat tinggi yang berperan dalam proses pertahanan terhadap gangguan OPT (Schoonhoven et al. 2005). Zat bioaktif yang dikandung oleh tumbuhan dapat menyebabkan aktivitas larva terhambat, ditandai gerakan larva lamban,

tidak memberikan respons gerak, nafsu makan berkurang dan akhirnya mati (Sutoyo dan Wirioadmodjo 1997). Bahan bioaktif yang bekerja sebagai

insektisida umumnya terdapat pada jenis tumbuhan dari famili Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan Rutaceae (Prijono et al. 2006).

Pemanfaatan pestisida nabati secara luas dapat berpengaruh pada berkurangnya penggunaan pestisida sintetik dan berdampak positif terhadap meningkatnya kualitas produk tanaman. Dengan demikian, pengembangan pestisida nabati dapat menguraikan permasalahan terhadap dampak yang disebabkan oleh penggunaan pestisida sintetik, serta pemenuhan permintaan konsumen yang berorientasi pada produk-produk organik yang bebas pestisida sintetik.

Potensi Aglaia odorata sebagai Sumber Insektisida Nabati

(20)

6

yang dapat tumbuh baik di dataran rendah dan tinggi pada tempat terbuka dan ditanam di halaman rumah sebagai tanaman hias maupun pagar (Heyne 1987).

Tarwotjo (2009) melaporkan bahwa, ekstrak daun dan ranting A. odorata

bersifat toksik terhadap larva C. binotalis instar I dengan nilai LC50 dan LC90

sebesar 657.2470 mg/l, dan 3353.6799 mg/l. Selain itu, pada hasil penelitian yang sama dilaporkan bahwa ekstrak tersebut relatif aman terhadap musuh alami

Eriborus argenteopilosus yang hanya menyebabkan mortalitas imago betina sebesar 6.67% pada perlakuan dengan konsentrasi 3353.6799 mg/l.

Senyawa aktif yang terkandung di dalam daun dan ranting tumbuhan

A. odorata diketahui memiliki aktivitas insektisida terhadap beberapa serangga serta telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi, yaitu senyawa dammarane triterpen dan aminopyrrolidine bis-amides yang dapat menghambat pertumbuhan dan menyebabkan mortalitas terhadap larva Peridroma saucia (H.) dan S. litura (F.) dengan nilai LD50 dan LD90 berturut-turut 0.34 µg/larva dan 0.70 µg/larva dengan

metode kontak(Janprasert et al. 1993). Selain itu, menurut Nugroho et al. (1999), daun dan ranting tumbuhan A. odorata mengandung senyawa rokaglamida dan turunannya yang mempunyai aktivitas insektisida dan penghambat pertumbuhan larva S. litura. Menurut Dono et al. (2004) di dalam tumbuhan A. odorata juga terdapat senyawa rokaglamida yang diketahui memiliki aktivitas insektisida kuat dan dapat memperpanjang lama perkembangan larva C. pavonana, namun relatif aman terhadap imago parasitoid E. argenteopilosus hingga konsentrasi 300 ppm. Nilai LC50 dan LC95 rokaglamida terhadap larva C. pavonana campuran instar II,

III, dan IV melalui pengujian residu pada daun pakan adalah 23.39 ppm dan 69.24 ppm. Rokaglamida pada konsentrasi 10-80 ppm memperpanjang lama perkembangan larva C. pavonana dari instar II hingga instar IV selama 1.25-3.67 hari dibandingkan perlakuan kontrol.

Potensi Piper aduncum sebagai Sumber Insektisida Nabati

Piper aduncum dari tanaman famili Piperaceae berpotensi sebagai sumber insektisida nabati, dikenal dengan nama sirih hutan atau seserehan. Tumbuhan ini banyak tumbuh di pinggir hutan sebagai semak, pohon kecil, dan tumbuhan merambat. Persebaran tumbuhan P. aduncum meliputi daerah beriklim sub-tropis dan tropis. Tumbuhan ini masuk ke Indonesia sekitar tahun 1860 dan tumbuh subur serta meluas ke seluruh wilayah nusantara. Daun tanaman ini banyak digunakan sebagai obat tradisional yaitu sebagai obat luka, diuretik, dan antiinflamasi karena diduga mengandung bahan anti jamur dan bakteri (Heyne 1987). Senyawa sekunder utama yang ditemukan pada Piperaceae adalah piperamid yang dapat berperan sebagai insektisida. Piperamid diketahui bekerja sebagai neurotoksin atau racun syaraf pada serangga, berpengaruh pada sistem pertukaran konsentrasi ion sodium pada membran syaraf. Cara kerja ini mirip dengan racun piretroid yang menyebabkan saluran sodium pada membran akson tidak dapat menutup, sehingga ion sodium terus-menerus melewati membran dan mengakibatkan kejang pada serangga (Perry et al. 1998). Februlita (2013), melaporkan bahwa daun dan buah P.aduncum dari 10 lokasi di daerah Provinsi

Riau, memiliki aktivitas insektisida dan efek antifeedant terhadap hama

(21)

7

Bahan ekstrak tumbuhan yang berasal dari famili Piperaceae diketahui memiliki sifat sinergis jika dicampurkan dengan ekstrak lainnya. Hal ini diduga karena adanya senyawa lignan yang mengandung gugus metilendioksifenil yang dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P450, enzim tersebut berperan dalam menurunkan daya racun senyawa asing termasuk insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga (Scott et al. 2008). Gugus tersebut merupakan bagian aktif dari berbagai jenis senyawa sinergis insektisida (Perry et al. 1998). Selain itu, fraksi aktif dari ekstrak heksana buah P. aduncum diketahui mengandung senyawa utama dilapiol yang terdeteksi 68% dari hasil total area puncak kromatografi gas (Hasyim 2011). Bernard et al. (1995) melaporkan bahwa pada daun sirih hutan diketahui terdapat senyawa aktif dilapiol yang terlarut dalam fraksi diklorometana. Dilapiol memiliki gugus metilendioksifenil yang berpotensi sebagai insektisida dan dapat bekerja sinergis apabila dicampurkan dengan ekstrak lain. Bernard et al. (1995) melaporkan bahwa perlakuan ekstrak daun sirih hutan fraksi diklorometana, n-heksana, etil asetat, dan metanol pada konsentrasi 100 ppm dapat mematikan larva nyamuk Aedes atropalpus berturut-turut sebesar 26%, 72%, 2%, dan 0%. Perlakuan bahan aktif dilapiol pada konsentrasi 0.1 ppm dapat menyebabkan 92% kematian nyamuk A. atropallus. Hasyim (2011) melaporkan bahwa ekstrak sirih hutan fraksi heksana memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana dengan LC50 dan LC90 pada pengujian dengan metode

residu pada daun masing-masing 129.0 dan 339.3 ppm.

Fazolin et al. (2005) melaporkan bahwa minyak atsiri sirih hutan (puncak dilapiol 74%) memiliki aktivitas insektisidal yang kuat terhadap kumbang

Cerotoma tingomarianus dengan LC50 sebesar 0.002 ml/mg pada aplikasi topikal.

Minyak atsiri ini menunjukkan aktivitas insektisidal juga terhadap kumbang

Sitophilus zeamais dengan nilai LC50 sebesar 2.87 µl/cm² pada aplikasi kontak,

dan LC50 0.56 µl/g pada aplikasi fumigant (Estrela et al. 2006).

Syahroni dan Prijono (2013), menunjukkan bahwa ekstrak kasar P. aduncum

memiliki aktivitas insektisidal yang kuat terhadap larva instar dua C. pavonana

pada perlakuan metode residu. Konsentrasi ekstrak 0.225% menyebabkan mortalitas larva uji sebesar 100% pada 48 JSP dengan nilai LC50 dan LC90

berturut-turut sebesar 0.138% dan 0.298%.

Peran Adjuvant dalam Formulasi

Formulasi adalah komponen yang terdiri dari bahan aktif dan bahan tambahan (adjuvant) dengan kadar dan bentuk tertentu. Pembuatan formulasi pestisida bertujuan agar lebih praktis dalam aplikasi, aman dalam proses transportasi, penyimpanan, penanganan, penggunaan, dan tanaman, dapat menambah efektivitas dan efisiensi (Hendartini 2003). Bahan tambahan (adjuvant) adalah bahan yang ditambahkan pada bahan aktif yang diharapkan dapat menambah keefektifan pestisida. Fungsi bahan tambahan di antaranya adalah sebagai emulsifier, pelarut, pembasah, antibusa, perata, perekat, anti gumpal, pembawa, pewarna, dan pembau (Tarumingkeng 1992).

(22)

8

(23)

9

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2014 sampai September 2015 di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah larva Crocidolomia pavonana instar II, daun

Aglaia odorata yang diambil dari daerah Cisarua Bogor Jawa Barat, buah Piper aduncum yang diperoleh dari sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga,

daun brokoli bebas pestisida, aquades, metanol, etil asetat, madu, Tween 80, Agristik 400L, Triton X, dan aseton.

Alat yang digunakan adalah rotary evaporator, kotak pemeliharaan serangga 50 cm x 50 cm x 50 cm, labu takar volume 50 dan 100 ml, tabung erlenmeyer volume 2000 ml, mikro pipet, pipet ukur, cawan petri diameter 9 cm, kuas, tabung reaksi, tabung film, kapas, kertas tisu, kamera, dan alat tulis.

Persiapan Penelitian Pemeliharaan Serangga Uji

Larva uji, Crocidolomia pavonana diperoleh dari hasil perbanyakan koloni di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga. Pembiakan serangga dilakukan mengikuti prosedur yang digunakan oleh Prijono dan Hassan (1992). Larva C. pavonana diberi pakan daun brokoli bebas pestisida dan imagonya diberi pakan larutan madu 10% yang diserapkan pada segumpal kapas yang digantungkan di dalam kotak pemeliharaan serangga yang ditutup dengan plastik mika dan kain kasa berbingkai kayu (50 cm x 50 cm x 50 cm). Tangkai daun brokoli dicelupkan dalam tabung film berisi air dan diletakkan di dalam kurungan sebagai tempat peletakan telur. Kelompok telur pada daun brokoli dikumpulkan setiap hari. Setelah telur menetas, larva dipindahkan ke dalam kotak plastik (35 cm x 26 cm x 6 cm) dan diberi pakan daun brokoli bebas pestisida. Larva instar II digunakan untuk pengujian. Bila tidak digunakan untuk pengujian, sebagian larva dipelihara lebih lanjut dalam kotak plastik sesuai dengan metode yang telah diuraikan di atas.

Ekstraksi Bahan Tanaman

(24)

10

tepung bahan tanaman tersebut dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Selanjutnya, tepung P. aduncum, direndam dalam larutan etil asetat teknis, sedangkan tepung A. odorata direndam dalam metanol teknis, masing-masing dengan perbandingan 1:10 (w/v) dan disimpan di dalam ruangan pada suhu kamar selama 24 jam. Bahan rendaman tersebut selanjutnya disaring menggunakan corong kaca yang dialasi kertas saring. Cairan hasil saringan diuapkan menggunakan Rotary evaporator pada suhu 50 °C pada tekanan 240 mbar–337 mbar, sehingga diperoleh ekstrak kasar yang kemudian disimpan dalam lemari pendingin pada suhu ± 4°C.

Prosedur Penelitian Uji Toksisitas Ekstrak Tunggal

Prosedur pengujian hayati merujuk pada metode Dadang et al. (2007). Pembuatan sediaan larutan uji dilakukan dengan menimbang sejumlah ekstrak, kemudian dilarutkan di dalam larutan campuran metanol dan pengemulsi Tween 80 (5:1 v/v), lalu dikocok hingga larutan homogen. Sediaan ekstrak uji diencerkan dengan menambahkan aquades hingga diperoleh konsentrasi yang diinginkan. Untuk pembuatan konsentrasi yang lebih rendah dilakukan secara serial dilution. Larutan untuk perlakuan kontrol digunakan aquades yang mengandung 1.2% campuran metanol dan tween 80 (5:1; v/v). Pengujian ekstrak terhadap mortalitas larva digunakan metode residu. Setiap potongan daun brokoli berukuran 4 cm x 4 cm dicelupkan ke dalam masing-masing konsentrasi sediaan ekstrak uji dan kontrol, kemudian dikeringanginkan. Setiap 10 larva C. pavonana instar II dipaparkan pada daun perlakuan uji di dalam sebuah cawan petri diameter 9 cm yang telah dialasi kertas tisu dan diulang lima kali. Mortalitas larva uji diamati pada 24, 48, 72, dan 96 jam setelah perlakuan (JSP).

Uji Toksisitas Campuran Ekstrak

Data hasil pengujian ekstrak tunggal di atas digunakan sebagai dasar pengujian campuran ekstrak merujuk pada metode Dadang dan Prijono (2011). Sediaan larutan campuran ekstrak uji digunakan perbandingan ekstrak larutan tunggal P. aduncum : A. odorata masing-masing 1:1, 1:2, dan 2:1 (w/w) dengan konsentrasi berturut-turut 0.27%, 0.30%, 0.34%, 0.34%, 0.36% dan 0.39% untuk perbandingan 1:1, 0.33%, 0.40%, 0.44%, 0.48% dan 0.52% untuk perbandingan 1:2, dan 0.21%, 0.23%, 0.26%, 0.28% dan 0.31% untuk perbandingan 2:1.

Setiap sediaan campuran ekstrak diencerkan hingga diperoleh enam taraf konsentrasi uji, kemudian dipaparkan dengan cara sama seperti pada pengujian ekstrak tunggal. Pengamatan mortalitas larva uji dilakukan pada 24, 48, 72, dan 96 JSP. Data mortalitas dihitung dengan cara yang sama seperti di atas.

Sifat aktivitas masing-masing campuran ekstrak ditentukan dengan menghitung indeks kombinasi pada taraf LC50, LC90, dan LC95, sehingga dapat

(25)

11 proporsi konsentrasi komponen 1 dan 2 dalam campuran. Kategori sifat interaksi campuran diadaptasi dari (Kosman dan Cohen 1996); Gisi (1996)) berdasarkan kebalikan nilai nisbah ko-toksisitas:

a) bila IK < 0.5, komponen campuran bersifat sinergistik kuat;

b) bila 0.5 ≤IK ≤ 0.77, komponen campuran bersifat sinergistik lemah; c) bila 0.77 < IK ≤ 1.43, komponen campuran bersifat aditif;

d) bila IK > 1.43, komponen campuran bersifat antagonistik.

Uji Stabilitas Sediaan Ekstrak dan pH dengan Tiga Jenis Adjuvant

Campuran ekstrak A. odorata (AO) dan P. aduncum (PA) pada perbandingan (2:1; w/w) dilarutkan dengan pelarut metanol 5%, kemudian diencerkan dengan akuades dan setiap larutan campuran tersebut ditambahkan adjuvant masing-masing dengan tiga konsentrasi 0.1% (v/v), 0.3% (v/v), dan 0.5% (v/v) (Asnan 2014). Pada pengujian ini digunakan 3 jenis adjuvant yang berbeda yaitu Agristik 400 L, Triton X, dan Tween 80.

Setiap larutan formulasi campuran ekstrak dilakukan uji stabilitas emulsi on standing, yaitu dengan membalik gelas ukur berisi larutan formulasi hin a 0 sebanyak satu kali, kemudian gelas ukur tersebut dibalik kembali ke posisi semula dalam waktu dua detik. Setelah satu jam dilakukan pengamatan visual dengan mengevaluasi terbentuk atau tidak terbentuknya endapan. Larutan formulasi insektisida nabati tersebut juga diukur tingkat keasamannya menggunakan pH meter digital, yaitu dengan cara mencelupkan ujung batang pH meter ke dalam larutan formulasi, dan pada monitor mesin pH meter akan tertera angka nilai pH larutan secara otomatis. Larutan formulasi yang bersifat baik, yaitu dengan tidak menunjukkan endapan dipilih untuk digunakan pada pengujian selanjutnya.

Uji Toksisitas Formulasi

(26)

12

Analisis Data

(27)

13

A. odorata makin meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi ekstrak. Mortalitas larva uji pada perlakuan ekstrak P. aduncum telah teramati pada pengamatan 24 jam setelah perlakuan (JSP) sebesar 5-100% (Gambar 1A), sedangkan pada ekstrak A. odorata menyebabkan kematian 5%-30% (Gambar 1B). Pada pengamatan 48, 72, dan 96 JSP kedua perlakuan ekstrak menunjukkan peningkatan persen mortalitas larva.

Persentase mortalitas larva uji pada perlakuan ekstrak P. aduncum relatif lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan ekstrak A. odorata.

Perlakuan ekstrak tunggal P. aduncum konsentrasi tertinggi (0.3%) menyebabkan kematian larva uji sebesar 100% pada 24 JSP, sedangkan ekstrak A. odorata

menyebabkan mortalitas relatif lambat pada waktu pengamatan yang sama hanya menyebabkan mortalitas larva 30% pada konsentrasi tertinggi (1%).

Gambar 1 Perkembangan tingkat mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan ekstrak P. aduncum (A) dan ekstrak A. odorata (B)

Toksisitas satu ekstrak dapat dilihat dari nilai lethal concentration (LC) dari masing-masing ekstrak. Ekstrak P. aduncum memiliki nilai LC50, LC90, dan LC95

yang lebih rendah daripada nilai LC yang sama pada perlakuan ekstrak

A. odorata, sehingga ekstrak P. aduncum dinyatakan lebih toksik dibanding ekstrak A. odorata (Tabel 1). Nilai LC suatu ekstrak dipengaruhi oleh mortalitas serangga uji, semakin tinggi mortalitas serangga uji maka nilai LC akan semakin rendah. Apabila dilihat dari hasil yang diperoleh baik pada perlakuan P. aduncum

maupun A. odorata, nilai LC menurun seiring dengan meningkatnya mortalitas serangga uji pada masing-masing konsentrasi tiap ekstrak (Tabel 1).

(28)

14

14

Tabel 1 Penduga parameter toksisitas dua jenis ekstrak terhadap larva instar II C. pavonana

a

JSP : jam setelah perlakuan. b

a : intersep regresi probit. c

b : kemiringan regresi probit. d

GB : galat baku. e

LC : lethal concentration. f

SK : selang kepercayaan. Jenis

ekstrak

Waktu pengamatan

(JSP)a

ab ± GBd bc ± GB LC50e (SKf 95%) % LC90 (SK 95%) % LC95 (SK 95%) %

P. aduncum

24 4.738 ± 0.558 7.286 ± 0.821 0.223 (-) 0.335 (-) 0.376 (-) 48 6.212 ± 0.637 8.727 ± 0.895 0.194 (-) 0.272 (-) 0.299 (-) 72 6.864 ± 0.699 9.325 ± 0.955 0.183 (-) 0.251 (-) 0.275 (-) 96 7.065 ± 0.719 9.488 ± 0.974 0.180 (-) 0.245 (-) 0.268 (-)

A. odorata

(29)

15 Toksisitas Campuran Ekstrak

Campuran ekstrak P. aduncum (PA) dan A. odorata (AO) pada perbandingan yang berbeda memiliki tingkat keefektifan yang berbeda dalam menyebabkan mortalitas serangga uji (Gambar 2). Seperti pada perlakuan ekstrak tunggal, perlakuan campuran ekstrak mengakibatkan mortalitas serangga uji yang meningkat seiring dengan semakin meningkatnya konsentrasi ekstrak.

Mortalitas larva uji meningkat tajam pada 48 dan 72 JSP. Perbandingan konsentrasi ekstrak yang menyebabkan mortalitas larva uji tertinggi adalah PA+AO (2:1). Campuran ekstrak PA+AO (2:1) pada konsentrasi 0.36% menyebabkan mortalitas larva uji sebesar 94% pada konsentrasi terendah 0.21% menyebabkan mortalitas larva uji sebesar 46% pada 96 JSP (Gambar 2).

(30)

16

Pada perbandingan campuran ekstrak PA+AO (1:1) konsentrasi tertinggi 0.43% dan terendah 0.27% menyebabkan mortalitas larva uji berturut-turut sebesar 80% dan 48% pada 96 JSP (Gambar 2), sedangkan pada perbandingan campuran ekstrak 1:2 menyebabkan mortalitas larva uji sangat rendah apabila dibandingkan dengan perbandingan dua ekstrak lainnya, konsentrasi tertinggi 0.56% dan terendah 0.33% menyebabkan mortalitas larva uji berturut-turut sebesar 18% dan 2% pada 96 JSP (Gambar 2).

Sifat interaksi campuran ekstrak pada setiap perbandingan konsentrasi dikategorikan berdasarkan nilai indeks kombinasi. Berdasarkan indeks kombinasi diketahui bahwa masing-masing ekstrak menunjukkan sifat interaksi yang berbeda untuk setiap perbandingan dan waktu pengamatan (Tabel 3). Hasil uji campuran ekstrak dengan tiga perbandingan menunjukkan bahwa perbandingan campuran ekstrak 2:1 merupakan perbandingan yang terbaik, dengan sifat interaksi campuran ekstrak bersifat aditif. Perlakuan campuran ekstrak pada perbandingan 1:1 dan 1:2, menunjukkan sifat interaksi keduanya relatif lebih condong pada antagonistik. Hal ini dapat dilihat pada nilai indeks kombinasi pada masing-masing perlakuan yang mendekati 1.43 berdasarkan sifat interaksi yang dikemukakan oleh (Kosman dan Cohen 1996). Perlakuan campuran ekstrak dengan perbandingan 2:1 memiliki nilai indeks kombinasi paling rendah dibanding perlakuan dengan perbandingan lain baik pada LC50, LC90, dan LC95,

yaitu berturut-turut sebesar 1.04, 1.10 dan 1.13. nilai LC50, LC90, dan LC95 pada

perlakuan perbandingan campuran ekstrak 1:1 relatif sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 2:1, yaitu 1.26, 1.52 dan 1.62, sedangkan pada perlakuan perbandingan campuran ekstrak 1:2 menunjukkan yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua perlakuan sebelumnya, yaitu 3.43, 2.19 dan 2.33 bertururt-turut pada LC50, LC90, dan LC95, masing-masing pada pengamatan 96

JSP pada tiap perlakuan. Dengan demikian perlakuan campuran ekstrak perbandingan 2:1 adalah yang paling toksik dibanding dengan perbandingan campuran ekstrak yang lain, serta perlakuan campuran ekstrak dengan perbandingan 1:1 lebih toksik dibanding dengan perlakuan campuran ekstrak perbandingan 1:2. Hal ini dilihat dari tingkat mortalitas tertinggi dibandingkan dengan perbandingan lain dan sifat interaksi campurannya menunjukkan sifat aditif.

Stabilitas Sediaan Ekstrak dan pH dengan Tiga Jenis Adjuvant

(31)

15

(32)

18

Tabel 3 Sifat interaksi campuran ekstrak P. aduncum (PA) dan A. odorata (AO) pada tiga perbandingan terhadap mortalitas larva instar II C. pavonana

Perbandingan Sementara itu, penggunaan adjuvant Tween 80 pada konsentrasi 0.1% terbentuk endapan baik pada pengamatan 30 maupun 60 menit berkisar antara 1-2 mm dan berwarna hijau pucat (Gambar 4). Pada perlakuan Agristik 400L terdapat endapan pada konsentrasi 0.1 dan 0.2% pada pengamatan 30 dan 60 menit (Tabel 4.). Endapan berkisar antara 1-2 mm dari dasar tabung pada konsentrasi 0.1%, dan 0.5-1 mm pada konsentrasi 0.2%, selain itu warna ekstrak yang terbentuk pada penambahan Agristik adalah yang paling terang dan pekat dibandingkan dengan penambahan adjuvant yang lain yaitu berwarna cokelat kekuningan (Gambar 3).

(33)

19 Tabel 4 Stabilitas sediaan ekstrak formulasi dan pH pada penggunaan tiga jenis

adjuvant

Jenis Adjuvant Konsentrasi

(%) pH

Endapan 30

(menit)

60 (menit) Agristik 400L

0.1 6.38 Ya Ya

0.3 6.18 Ya Ya

0.5 5.85 Tidak Tidak

Tween 80

0.1 6.77 Ya Ya

0.3 5.81 Tidak Tidak

0.5 5.63 Tidak Tidak

Triton X 0.1 7.61 Tidak Ya

0.3 6.15 Tidak Tidak

0.5 5.00 Tidak Tidak

Gambar 3 Sediaan ekstrak formulasi campuran (P. aduncum + A. odorata) + tiga konsentrasi Agristik 400L. (a) 0.1%, (b) 0.2%, dan (c) 0.3%

Gambar 4 Sediaan ekstrak formulasi campuran (P. aduncum + A. odorata) + tiga konsentrasi Tween 80. (a) 0.1%, (b) 0.2%, dan (c) 0.3%

a b c

(34)

20

Gambar 5 Sediaan ekstrak formulasi campuran (P. aduncum + A. odorata) + tiga konsentrasi Triton X. (a) 0.1%, (b) 0.2%, dan (c) 0.3%

Toksisitas Formulasi

Pengujian toksisitas formulasi menggunakan tiga jenis adjuvant, yaitu Agristik 400L, Tween 80, dan Triton X. Penggunaan adjuvant Tween 80 pada formulasi menunjukkan yang paling efektif dengan mortalitas larva sebesar 98%, sedangkan penggunaan adjuvant Agristik 400L dan Triton X menyebabkan mortalitas larva berturut-turut sebesar 88% dan 74% pada 96 JSP (Tabel 5). Tabel 5 Rata-rata persentase mortalitas larva instar II C. pavonana pada

perlakuan tiga jenis formulasi ekstrak Rata-rata mortalitas larva pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

a

Perbedaaan tingkat keefektifan suatu ekstrak dipengaruhi oleh kandungan senyawa aktif dalam ekstrak tersebut. Salah satu senyawa yang terkandung dalam tanaman Famili Piperaceae yaitu piperamida. Senyawa ini bekerja sebagai racun saraf dan mengakibatkan efek knockdown serta kematian serangga dengan cepat (Scott et al. 2008). Piperamida mempengaruhi saluran ion pada bagian akson saraf serangga yang menyebabkan saluran sodium pada membran akson tidak dapat menutup, akibatnya ion sodium terus menerus melewati membran dan menyebabkan kejang pada serangga (Perry et al. 1998). Ekstrak P. aduncum pada

c b

(35)

21 konsentrasi tertinggi 0.3% menyebabkan mortalitas larva sebesar 100% pada 24 JSP dan memiliki aktivitas insektisida yang kuat berdasarkan nilai LC95 sebesar

0.26% pada 96 JSP (Tabel 1). Satu ekstrak tanaman dikategorikan memiliki aktivitas insektisida yang kuat apabila memiliki nilai LC95 kurang dari 0.5%

(Dadang dan Prijono 2008). Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Nailufar (2011) yang melaporkan bahwa ekstrak buah P. aduncum

memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana dengan nilai LC50 0.141 dan LC95 0.317% pada 96 JSP.

Berbeda dengan cara kerja ekstrak P. aduncum, tingkat mortalitas larva pada perlakuan ekstrak tunggal A. odorata lebih lambat. Hal ini disebabkan senyawa aktif yang terkadung dalam ranting A. odorata yaitu senyawa rokaglamida yang diketahui dapat mempengaruhi lama hidup dari larva C. pavonana pada konsentrasi 10-80 ppm, serta bersifat insektisida kuat pada LC50 dan LC90

berturut-turut sebesar 23.39 ppm dan 69.24 ppm (Dono et al. 2004). Hal ini berbeda dengan hasil dalam penelitian ini, nilai LC50 dan LC90 relatif lebih tinggi,

yaitu berturut-turut 0.49 % dan 1.17%. Perbedaan hasil yang diperoleh disebabkan oleh perbedaan kandungan senyawa aktif pada satu tanaman yang dipengaruhi oleh sifat genetika tanaman (Leatemia dan Isman 2004). Selain itu, perbedaan toksisitas yang diperoleh juga disebabkan bagian tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun, berbeda dengan bagian tanaman yang digunakan oleh Dono et al (2004), yaitu ranting. Pemilihan bagian daun tanaman pada pengujian ini karena bagian tersebut lebih cepat dipanen dibandingkan dengan ranting sehingga lebih tersedia melimpah.

Berdasarkan analisis probit, nilai LC50, LC90, dan LC95 ekstrak P. aduncum

pada pengamatan 96 JSP berturut-turut 0.18%, 0.24%, dan 0.26%, sedangkan ekstrak A. odorata berturut-turut 0.49%, 1.17%, dan 1.49% (Tabel 1). Semakin rendah nilai LC suatu ekstrak menunjukkan semakin tinggi tingkat toksisitas

ekstrak tersebut. Berdasarkan nilai tersebut menunjukkan bahwa ekstrak

P. aduncum lebih toksik 2.72 kali pada taraf LC50, 4.77 kali pada taraf LC90, dan

5.58 kali pada taraf LC95 dibandingkan dengan ekstrak A. odorata terhadap larva

uji C. pavonana instar II.

Hasil uji campuran ekstrak dengan tiga perbandingan menunjukkan bahwa perbandingan campuran ekstrak 2:1 merupakan perbandingan terbaik. Hal ini dilihat dari tingkat mortalitas dari perbandingan tersebut adalah yang tertinggi dibandingkan dengan perbandingan lain dan sifat interaksi campurannya menunjukkan sifat aditif. Sifat interaksi campuran ekstrak pada setiap perbandingan 1:1, 1:2, dan 2:1 berturut-turut aditif pada LC50 dan antagonistik pada

LC90 dan LC95, antagonistik pada LC50, LC90 dan LC95 dan bersifat aditif pada LC50,

LC90 dan LC95 pada 96 JSP. Sifat aditif menunjukkan bahwa perlakuan dengan

campuran ekstrak mengakibatkan tingkat mortalitas larva C. pavonana tidak berbeda dengan jumlah tingkat mortalitas akibat perlakuan kedua ekstrak tunggal secara terpisah dan sifat antagonistik menunjukkan bahwa tingkat mortalitas serangga uji akibat perlakuan campuran ekstrak lebih rendah dibandingkan dengan jumlah tingkat mortalitas akibat perlakuan kedua ekstrak tunggal secara terpisah (Kosman dan Cohen 1996).

(36)

22

laporan Lina (2014) bahwa kombinasi campuran ekstrak P. aduncum, T. vogelii

dan B. javanica bekerja dengan cara fasilitasi yaitu senyawa dilapiol dari

P. aduncum menghambat aktivitas enzim yang menguraikan senyawa toksik pada tubuh serangga, akibatnya bahan aktif dari dua ekstrak lainnya tidak terurai dengan baik sehingga bisa masuk menuju sasaran dan bekerja dengan maksimal.

Sifat interaksi dari dua jenis ekstrak selain dapat diakibatkan oleh peran senyawa aktif utama juga dapat dipengaruhi oleh senyawa lain yang pada umumnya kurang aktif, namun adanya senyawa lain ini dapat meningkatkan aktivitas ekstrak secara keseluruhan (sinergistik). Selain itu, senyawa lain ini atau senyawa sekunder yang terkandung dalam ekstrak juga dapat menyebabkan penurunan aktivitas insektisida dari ekstrak (antagonistik) (Prijono 1999). Perbedaan sifat interaksi juga dapat dipengaruhi oleh perbedaan sumber ekstrak, serangga sasaran dan nisbah konsentrasi.

Insektisida yang menunjukkan sifat antagonistik tidak disarankan untuk digunakan di lapangan, namun insektisida yang bersifat aditif masih dapat menjadi pilihan untuk digunakan di lapangan. Hal ini berkaitan dengan tujuan dilakukan campuran ekstrak. Penggunaan insektisida dalam bentuk campuran dapat mengurangi ketergantungan terhadap satu jenis tanaman sumber pestisida nabati sebagai bahan baku, selain itu dengan digunakannya campuran ekstrak dengan kandungan senyawa aktif yang berbeda dapat meningkatkan spektrum aktivitas insektisida (Dadang dan Prijono 2008).

Pengembangan formulasi merupakan salah satu upaya menjaga standar mutu insektisida nabati dan membuat petani lebih praktis dalam penyiapan dan aplikasinya. Salah satu syarat satu ekstrak dapat dijadikan sebuah formulasi adalah ekstrak tersebut harus memiliki stabilitas yang baik. Hal ini dilihat dari tidak terbentuknya endapan dan pH ekstrak harus mendekati netral. Formulasi ekstrak dilakukan dengan mencampurkan campuran ekstrak P. aduncum dan

A. odorata perbandingan 2:1 dan ditambahkan adjuvant Agristik 400L, Tween 80, dan Triton X dengan konsentrasi 0.1%, 0.3%, dan 0.5% menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Semakin tinggi konsentrasi adjuvant yang digunakan pengaruh tegangan antar muka semakin rendah hingga mencapai konsentrasi dengan tegangan antar muka yang konstan (Supriyo 2007). Bahan tambahan (adjuvant) adalah bahan yang ditambahkan pada formulasi pestisida sehingga dapat menambah keefektifan, dan berfungsi untuk meningkatkan efektivitas dan keamanan serta kestabilan formulasi pestisida. Adjuvant umumnya tidak berpengaruh pada hama secara langsung.

Formulasi insektisida nabati juga harus memperhatikan nilai pH dan faktor ekonomis dari bahan yang digunakan. Nilai pH yang terlalu rendah bersifat asam dikhawatirkan dapat menyebabkan fitotoksik pada tanaman. Apabila dilihat dari hasil penentuan nilai pH, maka penggunaan Triton X pada formulasi adalah yang paling baik dibandingkan dengan penggunaan bahan tambahan lain dengan nilai pH yang mendekati netral, diikuti dengan penggunaan Tween 80 dan Agristik 400L pada konsentrasi tertinggi (Tabel 4).

Formulasi yang memiliki sifat terbaik, kemudian diujikan pada larva

C. pavonana pada konsentrasi 0.38% (LC95). Jika dievaluasi daya bunuh atau

(37)
(38)

24

SIMPULAN

Ekstrak buah Piper aduncum lebih efektif dibandingkan dengan ekstrak daun Aglaia odorata. Campuran ekstrak buah P. aduncum dan daun A. odorata

(39)

25

DAFTAR PUSTAKA

Amalia. 2004. Efektifitas ekstrak campuran biji Swietenia mahagani Jacq. dan ranting Aglaia odorata Lour. (Meliaceae) terhadap serangga hama dan pengaruhnya terhadap musuh alami di pertanaman kubis. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Asnan TAW. 2014. Keefektifan campuran ekstrak tumbuhan untuk pengendalian hama kutu putih pepaya Paracoccus marginatus Willams and Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae). [Tesis]. Bogor (ID): Istitut Pertanian Bogor.

Bernard CB, Krishnamurty HG, Chauret D, Durst T, Philogene BJR. 1995. Insecticidal defense of piperaceae from the neotropics. J Chem Ecol.

21:801-814.

Chou TC, Talalay P. 1984. Quantitative analysis of dose-effect relationships: the combined effects of multiple drugs or enzyme inhibitors. Advances in EnzymeRegulation. 22:27-55.

Dadang, Isnaeni N, Ohsawa K. 2007. Ketahanan dan pengaruh fitotoksik campuran ekstrak Piper retrofractum dan Annona squamosa pada pengujian semi lapangan. J HPT Trop. 7(2):91-99.

Dadang, Prijono D. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan. Bogor (ID): Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

Dadang, Prijono D. 2011. Pengembangan teknologi formulasi insektisida nabati untuk pengendalian hama sayuran dalam upaya menghasilkan produk sayuran sehat. J Ilmu Pert Indones.16:100-111.

Direktorat Pupuk dan Pestisida Tanaman. 2011. Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian. Kementerian Pertanian.

Dono D. 2004. Aktivitas insektisida rokaglamida dan penghambatan respon imunitas larva Crocidolomia pavonana (F.) terhadap parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron). [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Dono D, Prijono D, Manuwoto S, Buchori D, Dadang. 2004. Aktivitas insektisida rokaglamida terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) dan imago betina parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron). Agrikultura. 15:0853-2885. Estrela JLV, Fazolin M, Catani V, Alecio MR, Lima MS Ed. 2006. Toxicidade de oleos essenciais Ed Piper aduncum e Piper hispidenervum hem Sitophilus zeamais. Pesq Agropec Bras. 41:217-222. [abstract in English].

Fazolin M, Estrela JLV, Catani V, Lima MS Ed, Alecio MR. 2005. Toxicidade do Leo Ed Piper aduncum L. A adultos Ed Cerotoma tingomarianus Bechyne (Coleoptera: Chrysomelidae). Neotrop Entomol. 34:485-489. [abstract in English].

Februlita YM. 2013. Aktivitas insektisida ekstrak Piper aduncum asal Riau terhadap larva Crocidolomia pavonana [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana, Program Studi Entomologi.

Gisi U. 1996. Synergistic interaction of fungicides in mixtures. Phytopathology.

(40)

26

Hasyim DM. 2011. Potensi buah sirih hutan (Piper aduncum) sebagai insektisida botani terhadap larva Crocidolomia pavonana [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hendartini. 2003. Penelitian Pembuatan Formulasi Pestisida Bentuk Pekatan Yang Dapat Diemulsikan. Jakarta (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kimia, Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Terjemahan. Badan Litbang

Kehutanan. Volume III. Jakarta (ID): Yayasan Sarana Jaya.

Ishibashi F, Satasook C, Isman MB, Towers GHN. 1993. Insectisidal 1 H-Cyclo-pentatetrahydro[b]benzofurans from Aglaia odorata. Phytochemistry.

32:307-310.

Isman MB. 2006. Botanical insecticides, deterrent, and repellents in modern agriculture and an increasingly regulated world. Annu Rev Entomol.

51:45-66.

Janprasert J, Satasook C, Sukumalanand P, Champagne DE, Isman MB, Wiriyachitra P, Tower GHN. 1993. Rocaglamide, a natural benzofuran insecticide from Aglaia odorata. Phytochemistry. 32:67-69.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru - van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.

Kardinan A. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Kosman E, Cohen Y. 1996. Procedures for calculating and differentiating synergism and antagonism in action of fungicide mixtures. Phytopathology.

86(4):1255-1264.

Leatemia JA, Isman MB. 2004. Insecticidal activity of crude seed extracts of

Annona squamosa L. (Annonaceae), Lansium domesticum and Sandoricum koetjape (Meliaceae) against Lepidoptera larvae. Phytoparasitica.

32(1):32-37.

LeOra Software. 1987. POLO-PC User’s Guide. Petaluma (AS): LeOra Software. Lina EC. 2014. Pengembangan formulasi insektisida nabati berbahan ekstrak Brucea

javanica, Piper aduncum dan Tephrosia vogelii untuk pengendalian hama kubis

Crocidolomia pavonana. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mayrowani H. 2012. Pengembangan pertanian organik di Indonesia. Forum

Penelitian Agro Ekonomi.3(2):91-108.

Mee KC, Sulaiman S, Othman H. 2009. Efficacy of Piper aduncum extract against the adult housefy (Musca domestica). J Trop Med Parasitol.

32:52-57.

Metcalf RL. 1986. The ecology of insecticides and the chemical control of insects, Dalam: Kogan M, editor. Ecological Theory an Integrated Pest Management Practice. New York (AS): Jhon Wiley. Hlm 251-297.

Misni N, Sulaiman S, Othman H. 2008. The repellent activity of Piper aduncum

Linn. (Family: Piperaceae) essential oil against Aedes aegypti using human volunteers. J Trop Med Parasitol. 31:63-69.

(41)

27 Nailufar N. 2011. Aktivitas insektisida ekstrak daun Tephrosia vogelii

(Leguminosae) dan buah Piper aduncum (Piperaceae) terhadap larva

Crocidolomia pavonana. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nugroho BW, Edrada RA, Wray V, Witte L, Bringmann G, Gehling M, Proksch P.

1999. An insecticidal rocaglamide derivatives and related compounds from

Aglaia odorata (Meliaceae). Phytochemistry. 51:367-376.

Othman N. 1982. Biology of Crocidolomia pavonana Zell. (Lepidoptera: Pyralidae) and its parasites from Cipanas Area (West Java). Research Report. Bogor (ID): SEAMEO-BIOTROP.

Othman H, Sallehudin S, Ibrahim J. 2004. Adulticidal activity of some Malaysian plant extracts against Aedes aegypti Linnaeus. Trop Biomed.21:61-67. Perry AS, Yamato I, Ishaaya I, Perry RY. 1998. Insecticides in Agriculture and

Environment: Retrospects and Prospects. Berlin (DE): Springer.

Prijono D, Hassan E. 1992. Life cycle and demography of Crocidolomia binotalis

Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) on broccoli in the laboratory. Indonesian J Tropl Agri 4:18-24.

Prijono D. 1999. Prospek dan strategi pemanfaatan insektisida alami dalam PHT.

Di dalam: Nugroho BW, Dadang, Prijono D, penyunting. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami; Bogor (ID), 9-13 Agustus 1999. Bogor: Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu Institut Pertanian Bogor. hal 1-7.

Prijono D, JL Sudiar, Irmayetri. 2006. Insecticidal activity of Indonesian Plan extracts against The cabbage head caterpillar, Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). J ISSSAAS. 12:1(25-34).

Rafael MS, Hereira-Rojas WJ, Roper JJ, Nunomura SM, Tadei WP. 2008. Potential control of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) with Piper aduncum

L. (Piperaceae) extracts demonstrated by chromosomal biomarkers and toxic effects on interphase nuclei. Genet Molec Res.7:772-781.

Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1992. Biology and control of Crocidolomia binotalis in Indonesia. In: Talekar NS (Ed.), Proceedings of the Second International Workshop on Diamondback Moth and Other Crucifer Pests (Tainan, 10- 14 December 1990). pp. 81-90. Taipei: Asian Vegetable Research and Development Centre.

Schoonhoven ML, Loon JJAV, Dicke M. 2005. Insect-Plant Biology. New York (ID). Oxford University Press.

Scott IM, Jensn H, Nicol R, Lesege L, Bradbury R, Sanchez-Vindas P, Poveda L, Arnason JT, Philogene BJR. 2008. Efficacy of piper (Piperaceae) extracts for control of common home and garden insect pests. J Econ Entomol. 97:1390- 1403.

Supriyo E. 2007. Pengaruh konsentrasi surfaktan pada formulasi propuxure 20 EC dan efektifitasnya dalam membasmi nyamuk Aedes aedypti [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Sutoyo, Wirioadmodjo B. 1997. Uji insektisida botani daun mimba (Azadiractha indica), daun pahitan (Eupatorium inulifolium) dan daun kenikir (Tagetas

(42)

28

Syahroni YY, Prijono D. 2013. Aktivitas insektisida ekstrak buah Piper aduncum

L. (Piperaceae) dan Sapindus rarak DC. (Sapindaceae) serta campurannya terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae).

J Entomol Ind. 10:1829-7722.

Tarumingkeng, RC. 1992. Insektisida; Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. Jakarta (ID). UKRIDA Press. 250

Tarwotjo U. 2009. Pengaruh ekstrak daun dan ranting Aglaia odorata terhadap parasitasi dan enkapsulasi Eriborus argenteopilosus pada inangnya,

Crocidolomia binotalis. Bioma. 11:64-68.

(43)

29

(44)

30

Lampiran 1 Mortalitas C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak P. aduncum

pada beberapa konsentrasi. Konsentrasi

(%)

Mortalitas (%) ± SDa

24 JSPb 48 JSP 72 JSP 96 JSP

Kontrol 0.0 ± 0.0 0.0 ± 0.0 0.0 ± 0.0 0.0 ± 0.0 0.1 6.0 ± 8.9 6.0 ± 8.9 6.0 ± 8.9 6.0 ± 8.9 0.15 6.0 ± 5.4 8.0 ± 8.3 12.0 ± 8.3 12.0 ± 8.3 0.2 24.0 ± 33.6 42.0 ± 34.9 50.0 ± 38.7 58.0 ± 30.3 0.25 52.0 ± 36.3 88.0 ± 26.8 98.0 ± 4.4 98.0 ± 4.4 0.3 100.0 ± 0.0 100.0 ± 0.0 100.0 ± 0.0 100.0 ± 0.0 a

SD : Standard deviasi. b

JSP : Jam setelah perlakuan.

Lampiran 2 Rata-rata mortalitas C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak

A. odorata pada beberapa konsentrasi. Konsentrasi

(%)

Mortalitas (%) ± SDa

24 JSPb 48 JSP 72 JSP 96 JSP

Kontrol 0.0 ± 0.0 0.0 ± 0.0 0.0 ± 0.0 0.0 ± 0.0 0.5 6.0 ± 8.9 14.0 ± 5.4 44.0 ± 11.4 50.0 ± 15.8 0.6 8.0 ± 8.3 18.0 ± 8.3 46.0 ± 19.4 68.0 ± 19.2 0.7 10.0 ± 7.0 18.0 ± 8.3 48.0 ± 13.0 68.0 ± 14.8 0.8 22.0 ± 10.9 28.0 ± 19.2 56.0 ± 20.7 70.0 ± 15.8 0.9 24.0 ± 13.4 30.0 ± 15.8 64.0 ± 16.7 80.0 ± 15.8 1.0 28.0 ± 13.0 38.0 ± 16.4 78.0 ± 14.8 90.0 ± 10.0 a

SD : Standard deviasi. b

(45)

31 Lampiran 3 Mortalitas C. pavonana yang diberi perlakuan campuran ekstrak

P. aduncum (PA) dan A. odorata (AO) pada beberapa konsentrasi Perbandingan

ekstrak (PA+AO)

Konsentrasi (%)

Mortalitas (%) ± SDa

24 JSPb 48 JSP 72 JSP 96 JSP

Kontrol 0.0 ± 0.0 0.0 ± 0.0 0.0 ± 0.0 0.0 ± 0.0 0.27 2.0 ± 4.4 14.0 ± 16.7 48.0 ± 23.8 48.0 ± 23.8 0.30 4.0 ± 5.4 22.0 ± 19.2 60.0 ± 10.0 60.0 ± 10.0 1:1 0.34 6.0 ± 5.4 34.0 ± 19.4 66.0 ± 20.7 66.0 ± 20.7 0.36 6.0 ± 8.9 46.0 ± 33.6 76.0 ± 18.1 76.0 ± 18.1 0.39 8.0 ± 13.0 50.0 ± 12.2 78.0 ± 8.3 78.0 ± 8.3 0.43 10.0 ± 7.0 60.0 ± 20.0 80.0 ± 7.0 80.0 ± 7.0 Kontrol 0.0 ± 0.0 2.0 ± 4.4 2.0 ± 4.4 2.0 ± 4.4 0.33 0.0 ± 0.0 2.0 ± 4.4 2.0 ± 4.4 2.0 ± 4.4 0.40 0.0 ± 0.0 2.0 ± 4.4 6.0 ± 5.4 6.0 ± 5.4 1:2 0.44 0.0 ± 0.0 2.0 ± 4.4 6.0 ± 8.9 6.0 ± 8.9 0.48 0.0 ± 0.0 4.0 ± 5.4 8.0 ± 4.4 8.0 ± 4.4 0.52 0.0 ± 0.0 8.0 ± 4.4 10.0 ± 7.0 10.0 ± 7.0 0.56 0.0 ± 0.0 10.0 ± 0.0 18.0 ± 13.0 18.0 ± 13.0 Kontrol 0.0 ± 0.0 0.0 ± 0.0 0.0 ± 0.0 0.0 ± 0 0.21 2.0 ± 4.4 10.0 ± 17.3 46.0 ± 20.7 46.0 ± 20.7 0.23 8.0 ± 13.0 24.0 ± 20.7 66.0 ± 8.9 66.0 ± 8.9 2:1 0.26 8.0 ± 8.3 34.0 ± 27.0 74.0 ± 16.7 74.0 ± 16.7 0.28 8.0 ± 8.3 34.0 ± 15.1 76.0 ± 16.7 76.0 ± 16.7 0.31 10.0 ± 10.0 70.0 ± 10.0 84.0 ± 5.4 84.0 ± 5.4 0.36 32.0 ± 25.8 84.0 ± 18.1 94.0 ± 8.9 94.0 ± 8.9 a

SD : Standard deviasi.

b

(46)

32

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1  Perkembangan tingkat mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan
Tabel 1  Penduga parameter toksisitas dua jenis ekstrak terhadap larva instar II C. pavonana
Gambar 2  Perkembangan tingkat mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan
Tabel 2  Penduga parameter toksisitas campuran ekstrak P.  aduncum (PA) dan A. odorata (AO) terhadap mortalitas larva instar II
+4

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Pengaruh Ekstrak Daun

Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap

Berdasarkan tingkat kepercayaan 95%, disimpulkan bahwa secara simultan variabel DCMR, ICMR, ECRI, Acquiring Cost , dan Overhead Cost dengan NPF sebagai variabel moderasi

Tidak setuju, menonton film seperti itu membuat ketagihan untuk terns nonton sehingga tidak sempat belajar... Ternan-ternan jacky terns mengajaknya bahkan mereka

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: bahwa kepala sekolah menjalankan peranya sebagai supervisor dengan teknik kunjungan ke kelas, maka hal itu berdampak pada kinerja guru

• Adalah zat (suatu asam atau basa lemah) yang akan berubah warna jika pH berubah pada kisaran tertentua. • Kisaran pH yang menyebabkan indikator berubah warna disebut

Karena jika dijumlahkan sampai suku yang tak hingga, jumlahnya masih bisa ditentukan (jumlahnya masih berhingga).. Kita akan mencari hasil dari deret tak

Dengan melakukan pengamatan suasana didalam toko dan display produk dikasir Yeni Toserba, maka perlu dilakukan penelitian untuk lebih mengatahui sejauh mana Hubungan