• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis kebutuhan luas lahan pertanian pangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis kebutuhan luas lahan pertanian pangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN

PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN

PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT

SUMARLIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebutuhan Luas Lahan Pertanian Pangan dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan Penduduk Kabupaten Lampung Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009

(3)

ABSTRACT

SUMARLIN. Food Agricultural Land Size Requirement Analysis in Fulfilling Food Requirement of Population in Lampung Barat District. Under supervision from YAYUK FARIDA BALIWATI and ERNAN RUSTIADI.

Food is the basic need of every people that has to be filled in order to create food security. The different population growth can differ the food requirement that has to be fulfilled by self production. Thus, this also differ food agricultural land size requirement. The general objective of this research was to analyze food agricultural land size requirement in fulfilling food requirement of population in Lampung Barat District. This research was conducted by using retrospective design and secondary data which then analyzed descriptively. The research used some data, they were: 1) demography data year 2001-2007 from Central Bureau of Statistics, 2) food balance sheet data year 2007 from Food Security Board of Lampung Barat District, 3) food consumption data year 2007 from Agriculture and Food Security Office of Lampung Province, 4) production data, productivity data, and plant index year 2002-2007 from Crops and Horticulture Office of Lampung Barat District, and 5) land potential of food agricultural development year 2004 from National Mapping and Survey Coordination Board. The result of the research indicates that rice requirement in Lampung Barat District until year 2012 can be fulfilled by production with land size utilized for rice planting in 2007. In other hand, to reach ideal cassava production, it needs 489 hectare land size increasing with land productivity 20,22 ton/ha, per capita consumption 41,33 kg/year and population growth 1,683% per year.

(4)

RINGKASAN

SUMARLIN. Analisis Kebutuhan Luas Lahan Pertanian Pangan dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan Penduduk Kabupaten Lampung Barat. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI dan ERNAN RUSTIADI.

Pangan merupakan kebutuhan dasar setiap penduduk yang harus dipenuhi dalam mewujudkan ketahanan pangan yang mantap. Tinggi rendahnya laju pertumbuhan penduduk suatu wilayah akan mengakibatkan perbedaan terhadap tingkat kebutuhan pangan yang antara lain dapat dipenuhi melalui produksi sendiri. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan terhadap kebutuhan luas lahan pertanian pangan yang harus tersedia guna memproduksi pangan yang dibutuhkan penduduk. Tujuan penelitian ini yaitu: 1) menganalisis kebutuhan produksi pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2008 – 2012, 2) menganalisis kebutuhan luas lahan pertanian pangan dalam pemenuhan pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2008 – 2012, dan 3) menganalisis pemenuhan kebutuhan luas lahan pertanian pangan dari potensi lahan pertanian yang ada di Kabupaten Lampung Barat.

Desain penelitian adalah retrospektif dengan menggunakan data sekunder. Data diolah dengan menggunakan rumus matematis sederhana mengacu pada metode penyusunan neraca bahan makanan (NBM) dan rumus produktivitas lahan, kemudian dianalisis secara deskriptif. Data yang digunakan yaitu: 1) data kependudukan 2001-2007 bersumber dari BPS, 2) data neraca bahan makanan tahun 2007 bersumber dari Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Lampung Barat, 3) data konsumsi pangan tahun 2007 bersumber dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung tahun 2007, 4) data produksi, produktivitas, dan indeks pertanaman tahun 2002-2007 bersumber dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Lampung Barat, dan 5) data potensi lahan pengembangan pertanian pangan tahun 2004 bersumber dari Bakosurtanal.

Kebutuhan produksi pangan didasarkan pada kebutuhan konsumsi dan ketersediaan pangan ideal, diutamakan pada pangan pokok yaitu beras dan ubi kayu. Kebutuhan ketersediaan beras ideal Kabupaten Lampung Barat tahun 2007 sebesar 47.456,08 ton di bawah kebutuhan ketersediaan beras aktual yang mencapai 55.792,96 ton. Kebutuhan ketersediaan ubi kayu ideal Kabupaten Lampung Barat tahun 2007 sebesar 18.674,21 ton lebih tinggi dari kebutuhan ketersediaan ubi kayu aktual yang hanya 8.584,11 ton. Hal ini menunjukkan tingginya ketergantungan penduduk Kabupaten Lampung Barat terhadap beras. Kondisi ini dapat menghambat penganekaragaman konsumsi pangan.

Kebutuhan produksi pangan pokok padi ideal penduduk Kabupaten Lampung Barat pada tahun 2012 dengan jumlah penduduk 446.468 jiwa mencapai 103.711 ton gabah kering panen (GKP) dan kebutuhan produksi ubi kayu ideal Kabupaten Lampung Barat tahun 2012 mencapai 21.136 ton. Kebutuhan produksi pangan ini membutuhkan luas lahan padi sawah guna memenuhi kebutuhan produksi ideal yaitu 13.320 hektar dan kebutuhan luas lahan ubi kayu mencapai 1.054 hektar.

(5)

Potensi lahan padi sawah yang sesuai yaitu 21.791,2 hektar merupakan peluang bagi Pemerintah Kabupaten Lampung Barat untuk terus mengupayakan peningkatan produksi padi sawah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan secara mandiri dan mendukung penyediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Lampung Barat. Potensi ini harus dilindungi agar tidak terkonversi menjadi non sawah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lampung Barat.

Pemenuhan kebutuhan ideal luas lahan ubi kayu tahun 2012 yaitu 1.054 hektar di atas luas lahan yang telah dimanfaatkan pada tahun 2007 (565 hektar) dan masih dapat dipenuhi dari potensi luas lahan yang sesuai bagi pengembangan ubi kayu di Kabupaten Lampung Barat (3.843,3 hektar). Luasnya potensi yang dimiliki ini memberikan peluang bagi Pemerintah Kabupaten Lampung Barat untuk dapat meningkatkan produksi ubi kayu melalui perluasan areal tanam dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan. Tingginya kebutuhan lahan ubi kayu dapar diperkecil dengan upaya penganekaragaman produksi dan konsumsi jenis pangan dalam kelompok pangan umbi-umbian.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN

PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN

PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT

SUMARLIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Kebutuhan Luas Lahan Pertanian Pangan dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan Penduduk Kabupaten Lampung Barat

Nama : Sumarlin NRP : I153070015

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, M.S. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Manajemen Ketahanan Pangan

Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini berdasarkan hasil penelitian dengan judul “Analisis Kebutuhan Luas Lahan Pertanian Pangan Pokok dalam Pemenuhan Kebutuhan Penduduk

Kabupaten Lampung Barat” yang dilaksanakan sejak Bulan November –

Desember 2008 di Kabupaten Lampung Barat.

Terpenuhinya kebutuhan pangan merupakan hak asasi seluruh manusia yang harus dipenuhi melalui produksi dalam negeri maupun impor pangan. Peningkatan produksi pangan harus dapat mengejar laju pertumbuhan kebutuhan pangan dan gizi penduduk, serta laju degradasi dan konversi lahan yang kian marak terjadi. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam peningkatan produksi pangan seperti kebutuhan pangan, ketersediaan lahan, produktivitas lahan dan intensitas tanam serta kemungkinan terjadinya gagal panen.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku dosen pembimbing. Disamping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai dinas terkait di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat atas segala bentuk bantuan yang telah diberikan kepada penulis dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sanjungkan kepada bapak, ibu, isteri serta anakku (Azzahrah dan Ghifary) tercinta, atas segala do’a dan dukungan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN

PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN

PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT

SUMARLIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebutuhan Luas Lahan Pertanian Pangan dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan Penduduk Kabupaten Lampung Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009

(13)

ABSTRACT

SUMARLIN. Food Agricultural Land Size Requirement Analysis in Fulfilling Food Requirement of Population in Lampung Barat District. Under supervision from YAYUK FARIDA BALIWATI and ERNAN RUSTIADI.

Food is the basic need of every people that has to be filled in order to create food security. The different population growth can differ the food requirement that has to be fulfilled by self production. Thus, this also differ food agricultural land size requirement. The general objective of this research was to analyze food agricultural land size requirement in fulfilling food requirement of population in Lampung Barat District. This research was conducted by using retrospective design and secondary data which then analyzed descriptively. The research used some data, they were: 1) demography data year 2001-2007 from Central Bureau of Statistics, 2) food balance sheet data year 2007 from Food Security Board of Lampung Barat District, 3) food consumption data year 2007 from Agriculture and Food Security Office of Lampung Province, 4) production data, productivity data, and plant index year 2002-2007 from Crops and Horticulture Office of Lampung Barat District, and 5) land potential of food agricultural development year 2004 from National Mapping and Survey Coordination Board. The result of the research indicates that rice requirement in Lampung Barat District until year 2012 can be fulfilled by production with land size utilized for rice planting in 2007. In other hand, to reach ideal cassava production, it needs 489 hectare land size increasing with land productivity 20,22 ton/ha, per capita consumption 41,33 kg/year and population growth 1,683% per year.

(14)

RINGKASAN

SUMARLIN. Analisis Kebutuhan Luas Lahan Pertanian Pangan dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan Penduduk Kabupaten Lampung Barat. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI dan ERNAN RUSTIADI.

Pangan merupakan kebutuhan dasar setiap penduduk yang harus dipenuhi dalam mewujudkan ketahanan pangan yang mantap. Tinggi rendahnya laju pertumbuhan penduduk suatu wilayah akan mengakibatkan perbedaan terhadap tingkat kebutuhan pangan yang antara lain dapat dipenuhi melalui produksi sendiri. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan terhadap kebutuhan luas lahan pertanian pangan yang harus tersedia guna memproduksi pangan yang dibutuhkan penduduk. Tujuan penelitian ini yaitu: 1) menganalisis kebutuhan produksi pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2008 – 2012, 2) menganalisis kebutuhan luas lahan pertanian pangan dalam pemenuhan pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2008 – 2012, dan 3) menganalisis pemenuhan kebutuhan luas lahan pertanian pangan dari potensi lahan pertanian yang ada di Kabupaten Lampung Barat.

Desain penelitian adalah retrospektif dengan menggunakan data sekunder. Data diolah dengan menggunakan rumus matematis sederhana mengacu pada metode penyusunan neraca bahan makanan (NBM) dan rumus produktivitas lahan, kemudian dianalisis secara deskriptif. Data yang digunakan yaitu: 1) data kependudukan 2001-2007 bersumber dari BPS, 2) data neraca bahan makanan tahun 2007 bersumber dari Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Lampung Barat, 3) data konsumsi pangan tahun 2007 bersumber dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung tahun 2007, 4) data produksi, produktivitas, dan indeks pertanaman tahun 2002-2007 bersumber dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Lampung Barat, dan 5) data potensi lahan pengembangan pertanian pangan tahun 2004 bersumber dari Bakosurtanal.

Kebutuhan produksi pangan didasarkan pada kebutuhan konsumsi dan ketersediaan pangan ideal, diutamakan pada pangan pokok yaitu beras dan ubi kayu. Kebutuhan ketersediaan beras ideal Kabupaten Lampung Barat tahun 2007 sebesar 47.456,08 ton di bawah kebutuhan ketersediaan beras aktual yang mencapai 55.792,96 ton. Kebutuhan ketersediaan ubi kayu ideal Kabupaten Lampung Barat tahun 2007 sebesar 18.674,21 ton lebih tinggi dari kebutuhan ketersediaan ubi kayu aktual yang hanya 8.584,11 ton. Hal ini menunjukkan tingginya ketergantungan penduduk Kabupaten Lampung Barat terhadap beras. Kondisi ini dapat menghambat penganekaragaman konsumsi pangan.

Kebutuhan produksi pangan pokok padi ideal penduduk Kabupaten Lampung Barat pada tahun 2012 dengan jumlah penduduk 446.468 jiwa mencapai 103.711 ton gabah kering panen (GKP) dan kebutuhan produksi ubi kayu ideal Kabupaten Lampung Barat tahun 2012 mencapai 21.136 ton. Kebutuhan produksi pangan ini membutuhkan luas lahan padi sawah guna memenuhi kebutuhan produksi ideal yaitu 13.320 hektar dan kebutuhan luas lahan ubi kayu mencapai 1.054 hektar.

(15)

Potensi lahan padi sawah yang sesuai yaitu 21.791,2 hektar merupakan peluang bagi Pemerintah Kabupaten Lampung Barat untuk terus mengupayakan peningkatan produksi padi sawah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan secara mandiri dan mendukung penyediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Lampung Barat. Potensi ini harus dilindungi agar tidak terkonversi menjadi non sawah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lampung Barat.

Pemenuhan kebutuhan ideal luas lahan ubi kayu tahun 2012 yaitu 1.054 hektar di atas luas lahan yang telah dimanfaatkan pada tahun 2007 (565 hektar) dan masih dapat dipenuhi dari potensi luas lahan yang sesuai bagi pengembangan ubi kayu di Kabupaten Lampung Barat (3.843,3 hektar). Luasnya potensi yang dimiliki ini memberikan peluang bagi Pemerintah Kabupaten Lampung Barat untuk dapat meningkatkan produksi ubi kayu melalui perluasan areal tanam dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan. Tingginya kebutuhan lahan ubi kayu dapar diperkecil dengan upaya penganekaragaman produksi dan konsumsi jenis pangan dalam kelompok pangan umbi-umbian.

(16)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(17)

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN

PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN

PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT

SUMARLIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)
(19)

Judul Tesis : Analisis Kebutuhan Luas Lahan Pertanian Pangan dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan Penduduk Kabupaten Lampung Barat

Nama : Sumarlin NRP : I153070015

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, M.S. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Manajemen Ketahanan Pangan

Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(20)

PRAKATA

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini berdasarkan hasil penelitian dengan judul “Analisis Kebutuhan Luas Lahan Pertanian Pangan Pokok dalam Pemenuhan Kebutuhan Penduduk

Kabupaten Lampung Barat” yang dilaksanakan sejak Bulan November –

Desember 2008 di Kabupaten Lampung Barat.

Terpenuhinya kebutuhan pangan merupakan hak asasi seluruh manusia yang harus dipenuhi melalui produksi dalam negeri maupun impor pangan. Peningkatan produksi pangan harus dapat mengejar laju pertumbuhan kebutuhan pangan dan gizi penduduk, serta laju degradasi dan konversi lahan yang kian marak terjadi. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam peningkatan produksi pangan seperti kebutuhan pangan, ketersediaan lahan, produktivitas lahan dan intensitas tanam serta kemungkinan terjadinya gagal panen.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku dosen pembimbing. Disamping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai dinas terkait di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat atas segala bentuk bantuan yang telah diberikan kepada penulis dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sanjungkan kepada bapak, ibu, isteri serta anakku (Azzahrah dan Ghifary) tercinta, atas segala do’a dan dukungan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Nakau Lampung Utara pada tanggal 11 Maret 1974 dari Bapak Syarkani Senuddin dan Ibu Yaurida Abdul Halim. Penulis merupakan putra ketiga dari enam bersaudara. Pada tahun 1986, penulis lulus dari SD IV Rantau Jaya, Bandar Jaya, Lampung Tengah dan lulus SMP Negeri 1 Poncowati, Lampung Tengah tahun 1989. Penulis lulus SMA Negeri Poncowati, Lampung Tengah tahun 1992 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Bengkulu (UNIB) melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Klimatologi Dasar, Dasar-dasar Ilmu Tanah, Kesuburan Tanah dan Rancangan Percobaan pada tahun ajaran 1993/1994 sampai dengan 1996/1997. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi Program Magister Profesional di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan

melalui izin belajar atas biaya Pemerintah Kabupaten Lampung Barat.

(22)

x

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 4 Tujuan Penelitian ... 4 Kegunaan Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA

Ketahanan Pangan ... 6 Kemandirian Pangan ... 16 Kebutuhan Pangan ... 18 Lahan Pertanian Pangan ... 20 Kebutuhan Lahan Pertanian Pangan ... 25

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran ... 28

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu... 30 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 30 Pengolahan dan Analisa Data ... 31 Keterbatasan dan Asumsi dalam Penelitian ... 39 Definisi Operasional ... 41

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 43 Kebutuhan Produksi Pangan Pokok ... 50 Kebutuhan Luas Lahan Pertanian Pangan ... 61 Rasio Pemenuhan Kebutuhan Luas Lahan ... 64

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 72 Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(23)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ... 30 2 Faktor Pengali Sprague (FPS) untuk memecah kelompok umur

demografi menjadi umur tunggal ... 32

3 Pengelompokkan umur kecukupan gizi ... 33 4 Luas wilayah, jumlah rumah tangga, penduduk dan kerapatan per

kilometer ... 44

5 Pertumbuhan penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2001 – 2007 menurut jenis kelamin ... 45

6 Rata-rata pertumbuhan produksi, produktivitas lahan, dan luas panen komoditas pangan padi sawah, padi ladang dan jagung di Kabupaten Lampung Barat Tahun 2002 - 2007 ... 48

7 Rata-rata pertumbuhan produksi, produktivitas lahan, dan luas panen komoditas pangan ubi kayu, ubi jalar dan kentang di Kabupaten Lampung Barat tahun 2002 - 2007 ... 49

8 Pemanfaatan dan potensi lahan untuk pengembangan pertanian di Kabupaten Lampung Barat ... 50

9 Komposisi penduduk Kabupaten Lampung Barat menurut jenis kelamin dan kelompok umur tahun 2007 ... 51

10 Angka kecukupan dan ketersediaan energi menurut kelompok pangan berdasarkan angka kecukupan energi (AKE) regional Kabupaten Lampung Barat tahun 2007 ... 52

11 Selisih antara ketersediaan energi (aktual) terhadap ketersediaan energi regional (ideal) menurut kelompok pangan Kabupaten Lampung Barat tahun 2007 ... 52

12 Selisih antara konsumsi energi (aktual) terhadap kecukupan energi regional (ideal) menurut kelompok pangan Kabupaten Lampung Barat tahun 2007 ... 53

13 Kontribusi konsumsi energi masing-masing komoditas pangan pada kelompok pangan padi-padian dan umbi-umbian penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2007 ... 55

14 Perhitungan kebutuhan konsumsi pangan pokok : beras dan ubi kayu ideal maupun aktual tahun 2007 dalam gram/kapita/hari ... . 56

(24)

xii 16 Kebutuhan produksi padi gabah kering panen Kabupaten Lampung

Barat tahun 2007 ... 60

17 Penyediaan kebutuhan luas lahan padi sawah Kabupaten Lampung Barat tahun 2012 ... 68

(25)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan ... 10

2 Skema kerangka pemikiran penelitian analisis kebutuhan luas lahan pertanian pangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat ... 29

3 Grafik pertumbuhan penduduk tahun 2001 – 2007 Kabupaten Lampung Barat ... 45

(26)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Jumlah penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2007 berdasarkan

usia kebutuhan gizi ... 80

2 Penyediaan kebutuhan luas lahan pertanian pangan padi sawah Kabupaten Lampung Barat tahun 2008 – 2012 (skenario I) ... 81 3 Penyediaan kebutuhan luas lahan pertanian pangan padi sawah

Kabupaten Lampung Barat tahun 2008 – 2012 (skenario II) ... 82 4 Penyediaan kebutuhan luas lahan pertanian pangan padi sawah

Kabupaten Lampung Barat tahun 2008 – 2012 (skenario III) ... 83 5 Penyediaan kebutuhan luas lahan pertanian pangan padi sawah

Kabupaten Lampung Barat tahun 2008 – 2012 (skenario IV) ... 84 6 Penyediaan kebutuhan luas lahan pertanian pangan ubi kayu Kabupaten

Lampung Barat tahun 2008 – 2012 (skenario I dan II) ... 85 7 Penyediaan kebutuhan luas lahan pertanian pangan ubi kayu Kabupaten

(27)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta meningkatkan nilai tambah produk-produk pertanian guna meningkatkan kesejahteraan penduduk terutama petani dan nelayan. Keberhasilan pembangunan pertanian saat ini selalu dilihat dari kemampuannya dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok di dalam negeri. Kondisi ini menjadikan ketangguhan sektor pertanian merupakan tumpuan dalam mewujudkan ketahanan pangan suatu wilayah. Komitmen Indonesia untuk mewujudkan ketahanan pangan tertuang pada Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) No. 68 tentang Ketahanan Pangan.

Pertumbuhan penduduk yang tinggi sekitar 1,49% per tahun serta semakin

maraknya konversi lahan pertanian merupakan permasalahan yang harus dihadapi dalam pembangunan pangan. Kondisi ini menurut Suryana (2002) akan mengakibatkan terjadinya kompetisi dalam pemanfaatan lahan untuk usaha, permukiman, penyediaan sarana dan prasarana publik. Kompetisi yang tidak terkendali akan mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan terutama penurunan kualitas lahan pertanian. Menurut data BPS selama kurun waktu 1983 -1993 total konversi lahan pertanian di Indonesia mencapai 1,28 juta hektar. Kondisi ini mengisyaratkan pentingnya pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi manusia dalam mewujudkan ketahanan pangan yang mantap.

(28)

2

adanya konsumsi pangan masyarakat yang masih didominasi oleh sumber karbohidrat beras serta sumber protein nabati. Kebijakan pengembangan pangan yang selama ini terfokus pada beras, telah mengurangi penggalian dan pemanfaatan potensi sumber pangan karbohidrat lain berasal dari umbi-umbian serta menghambat pengembangan usaha penyediaan bahan pangan sumber protein, sumber zat gizi mikro serta potensi lokal.

Hal ini sejalan dengan kajian sebelumnya (Martianto & Ariani, 2004; Manoewoto & Martianto, 2002 diacu dalam Martianto et al. 2007) yang menyatakan bahwa: a) ketergantungan konsumsi pangan masyarakat terhadap sumber karbohidrat, khususnya beras masih sangat tinggi (lebih dari 60%), dan peran pangan hewani, sayuran dan buah serta kacang-kacangan masih sangat rendah; b) skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang mencerminkan keanekaragaman pangan masih rendah dan cenderung fluktuatif seiring perkembangan keadaan ekonomi nasional; c) terjadinya peningkatan kontribusi pangan berbasis impor seperti terigu dan produk olahannya; d) adanya peningkatan konsumsi makanan siap saji/makan di luar rumah, khususnya fast food yang dikelola perusahaan multi

nasional; e) upaya peningkatan nilai organoleptik pangan lokal (umbi-umbian, kacang-kacangan, dll) yang didukung pengembangan teknologi sederhana untuk usaha kecil dan menengah terbukti mampu meningkatkan preferensi konsumen

pangan lokal; dan f) alokasi dana penelitian di bidang pertanian dan pangan masih sangat bias pada padi, dan kurang diarahkan pada pangan lokal lainnya.

Menurut Karsin (2004) upaya pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi penduduk dapat dicapai melalui peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, kebijakan harga dan cadangan pangan, industri pangan, pengawasan industri pangan, serta partisipasi masyarakat. Selain itu menurut Ariani (2003) peningkatan produksi dan ketersediaan pangan dipengaruhi oleh luas lahan yang tersedia, produktivitas lahan, intensitas pertanaman, harga pangan, dan harga sarana produksi.

(29)

3

sayuran, buah dan susu. Penggolongan ini sering dikenal dengan empat sehat lima sempurna dan merupakan salah satu jabaran dari pedoman gizi seimbang.

Penggolongan makanan tersebut apabila dilihat dalam sembilan kelompok pangan yang digunakan FAO dalam Pola Pangan Harapan, maka kelompok pangan pokok terdiri dari kelompok pangan padi-padian dan umbi-umbian. Kelompok pangan yang lainnya adalah pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah serta lain-lain (minuman dan bumbu) (Karsin, 2004).

Adanya kebutuhan pangan pokok penduduk dalam pencapaian ketahanan pangan juga berimplikasi terhadap infrastruktur pertanian untuk dapat memproduksi pangan yang dibutuhkan. Beberapa sarana pertanian menurut Baliwati (2008) diantaranya adalah lahan pertanian, saluran irigasi, bibit, pupuk, tenaga kerja, serta berbagai sarana prasarana penunjang lainnya termasuk modal.

Ketersediaan lahan merupakan faktor penting dalam produksi pangan guna mewujudkan ketahanan pangan sebagai akibat pertumbuhan permintaan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaan (Suryana, 2002). Oleh karena itu, salah satu Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006 -2009 adalah meningkatkan land-man- ratio melalui penyediaan lahan abadi untuk produksi pangan. Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional juga

menyebutkan perlunya ketersediaan lahan abadi untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Kabupaten Lampung Barat dengan jumlah penduduk tahun 2007 sebesar 410.723 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk tahun 2002 - 2007 sebesar 1,683% (BPS, 2008). Tingginya laju pertumbuhan penduduk tersebut di atas pertumbuhan nasional (1,49%) menyebabkan tekanan terhadap kemampuan memproduksi sendiri penyediaan kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat.

(30)

4

Kabupaten Lampung Barat dalam meningkatkan ketersediaan pangan melalui produksi dalam daerah sebagai upaya terwujudnya ketahanan pangan yang mandiri.

Untuk mengetahui seberapa besar kemampuan produksi pangan pokok Kabupaten Lampung Barat dan luasan lahan yang dibutuhkan agar mampu memproduksi pangan dan gizi sesuai kebutuhan pangan dan gizi penduduknya, maka perlu dilakukan analisis terhadap kebutuhan luas lahan pertanian pangan Kabupaten Lampung Barat dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi terutama pangan pokok penduduknya.

Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal di atas, maka ada beberapa permasalahan yang ingin diketahui melalui penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2007 - 2012?

2. Bagaimana kebutuhan luas lahan pertanian pangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2007 - 2008?

3. Apakah kebutuhan luas lahan pertanian pangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi penduduk dapat dipenuhi dari potensi lahan pertanian yang ada di Kabupaten Lampung Barat?

Tujuan Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebutuhan luas lahan pertanian pangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat.

Tujuan Khusus

1. Menganalisis kebutuhan produksi pangan pokok penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2008 – 2012.

2. Menganalisis kebutuhan luas lahan pertanian pangan dalam pemenuhan pangan dan gizi penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2008 – 2012. 3. Menganalisis pemenuhan kebutuhan luas lahan pertanian pangan dari potensi

(31)

5

Kegunaan Penelitian

(32)

TINJAUAN PUSTAKA

Ketahanan Pangan Definisi Ketahanan Pangan

Declaration of Human Right 1998 menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM). Hal ini berarti bahwa negara (pemerintah dan masyarakat) bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya baik akibat adanya kondisi pangan yang sulit diperoleh penduduk dan rendahnya daya beli masyarakat (baik karena pendapatan rendah atau kebijakan harga-harga pangan).

Ketahanan pangan pada awalnya terfokus pada kondisi pemenuhan kebutuhan pangan pokok. Perserikatan Bangsa-bangsa (1975) mendefinisikan ketahanan pangan adalah ketersediaan cukup makanan utama pada setiap saat dan mengembangkan konsumsi pangan secara konsisten dan dapat mengimbangi

fluktuasi produksi dan harga (Maxwell & Smith, 1992). FAO (1983) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua rumah tangga mempunyai kemampuan untuk membeli pangan dan pada tahun 1986 World Bank mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses terhadap cukup pangan oleh penduduk agar dapat melakukan aktivitas dan kehidupan yang sehat (Maxwell & Smith, 1992).

Selanjutnya berdasarkan kesepakatan pada International Food Submit dan International Conference of Nutrition 1992 (FAO, 1997) pengertian ketahanan pangan diperluas menjadi kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Ketahanan pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu, yang layak.

(33)

7

terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi penduduk yang jumlahnya terus bertambah.

Berbagai tantangan yang muncul menurut Rustiadi (2008) adalah untuk membangun sistem ketahanan pangan nasional yang lebih baik, antara lain upaya untuk tetap mempertahankan stabilitas kesetimbangan ketersediaan pangan antara kebutuhan dan pemenuhannya dengan laju pertumbuhan penduduk, permasalahan degradasi lingkungan dan alih fungsi lahan. Untuk itu pengembangan dan pemantapan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang mendasar dan strategis dalam pembangunan nasional, karena: 1) akses terhadap

pangan dengan gizi seimbang bagi penduduk merupakan hak asasi, 2) keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia sangat

ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi, dan 3) ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan.

Permasalahan internal maupun eksternal dalam pembangunan ketahanan pangan menurut Nainggolan (2008) dikelompokan dalam tiga kelompok yaitu:

1) masalah ketersediaan pangan diupayakan sekuat-kuatnya dari dalam negeri; 2) masalah distribusi guna melancarkan alir pangan dari sentra-sentra produksi ke sentra konsumsi; dan 3) masalah akses pangan agar rumah tangga dalam

memenuhi standaar konsumsi gizi untuk hidup sehat dan produktif. Permasalahan tersebut dalam rapat Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dirumuskan kedalam tujuh

fokus masalah strategis menyangkut ketahanan pangan nasional, yaitu: 1) ketersediaan pangan pokok harus dapat mengejar laju konsumsi akibat masih

tingginya laju pertumbuhan penduduk, 2) masalah lambatnya penganekaragaman pangan menuju gizi seimbang, 3) masalah keamanan pangan, 4) kerawanan pangan dan gizi buruk yang masih memprihatinkan, 5) masalah alih fungsi lahan pertanian dan konservasi lahan dan air, 6) pengembangan infrastruktur pedesaan, dan 7) belum berkembangnya kelembagaan ketahanan pangan baik struktural, maupun kelembagaan pangan masyarakat.

Sistem Ketahanan Pangan

(34)

8

subsistem penyediaan, distribusi dan subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Pembangunan subsistem penyediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari dalam negeri, cadangan, maupun dari luar negeri. Pembangunan subsistem distribusi mencakup pengaturan untuk menjamin aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap pangan antar wilayah dan antar waktu, serta stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan subsistem konsumsi mencakup pengelolaan pangan ditingkat daerah maupun rumah tangga untuk menjamin setiap individu memperoleh pangan dalam jumlah, mutu gizi, keamanan, keragaman, dan keterjangkauan sesuai kebutuhan dan pilihannya.

Maxwell & Smith (1992) mengatakan bahwa ketahanan pangan menunjukkan adanya akses setiap individu untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan setiap waktu. Hal ini berarti ketahanan pangan memiliki empat dimensi yaitu (a) kecukupan pangan, yang ditunjukkan oleh tingkat kecukupan energi untuk aktif dan hidup sehat; (b) akses pangan, yang berarti adanya kemampuan untuk memproduksi, membeli pangan maupun menerima pemberian pangan;

(c) jaminan, yaitu adanya jaminan untuk memperoleh cukup pangan; dan (d) waktu, yaitu adanya jaminan untuk memperoleh cukup pangan secara berkelanjutan.

Suryana (2004) mengemukakan bahwa keberhasilan pembangunan ketiga subsistem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana, prasarana dan kelembagaan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan dan sebagainya. Disamping itu perlu juga didukung oleh faktor-faktor penunjang seperti kebijakan, peraturan, pembinaan dan pengawasan pangan. Ketahanan pangan dilaksanakan oleh banyak pelaku seperti produsen, pengolah, pemasar dan konsumen yang dibina oleh berbagai instansi sektoral, sub sektoral serta dipengaruhi interaksi antar wilayah. Output yang diharapkan dari pembangunan ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak asasi manusia akan pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional.

(35)

9

negara/wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Selanjutnya Sawit & Ariani (1997) menyatakan bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut.

Frankenberger (1997) menyatakan bahwa dua kelompok indikator ketahanan pangan yaitu indikator proses, menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan (produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan) dan akses pangan (sumber pendapatan, akses terhadap modal) serta indikator dampak meliputi indikator langsung (konsumsi dan frekuensi pangan) maupun tak langsung (penyimpanan pangan dan status gizi).

Ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang terdiri atas tiga subsistem, yaitu: 1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, 2) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan

3) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan (DKP, 2006). Ketersediaan pangan dibangun melalui peningkatan kemampuan produksi di dalam negeri, peningkatan pengelolaan cadangan, serta

impor untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan. Distribusi pangan dilakukan untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga pangan antar wilayah dan waktu, yang memungkinkan masyarakat seluruh pelosok dapat mengakses pangan secara fisik dan ekonomi. Konsumsi pangan dibangun dengan meningkatkan kemampuan rumah tangga mengakses pangan yang cukup melalui kegiatan ekonomi produktifnya, baik dari usaha agribisnis pangan atau dari usaha lainnya yang menghasilkan pendapatan untuk membeli pangan, serta peningkatan pengetahuan dan kesadaran dalam mengkonsumsi pangan yang beragam, bergizi dan berimbang.

(36)

10

yaitu ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan yang terangkum dalam sebuah kerangka ketahanan pangan (Gambar 1.) (Chung 1997 diacu dalam Setiawan 2004) yang diuraikan sebagai berikut: Aspek ketersediaan dan stabilitas pangan bergantung pada sumberdaya (alam, manusia dan sosial) serta produksi (on farm dan off farm). Aspek akses pangan menunjukkan jaminan bahwa setiap rumah tangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi. Kondisi ini tercermin dari kemampuan rumah tangga untuk meningkatkan pendapatan dan produksi pangan rumah tangga. Kondisi ini tergantung pada tingkat harga pangan maupun tingkat sumberdaya dalam keluarga yaitu tenaga kerja, modal, dan pengetahuan atau dimensi sumberdaya manusia serta sumberdaya sosial. Aspek pemanfaatan pangan merupakan cerminan kemampuan tubuh untuk mengolah pangan dan mengubahnya ke dalam bentuk energi yang dapat digunakan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari atau disimpan. Pemanfaatan pangan meliputi konsumsi pangan dan status gizi. Perwujudan ketahanan pangan rumah tangga perlu memperhatikan faktor ketersediaan pangan, daya beli dan pengetahuan gizi.

FOOD Security

(37)

11

(vitamin dan mineral), untuk pertumbuhan, kesehatan, daya tahan fisik, kecerdasan dan produktivitas manusia (Suryana, 2004).

Subsistem ketersediaan pangan. Subsistem ketersediaan pangan dapat

diartikan bahwa pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman. Ketersediaan pangan bergantung pada sumberdaya alam, fisik, dan manusia. Pemilikan lahan yang ditunjang iklim yang mendukung disertai SDM yang baik akan menjamin ketersediaan pangan yang kontinyu. Akses pangan hanya dapat terjadi bila rumah tangga berpenghasilan cukup. Konsumsi pangan akan amat menentukan apakah seluruh anggota rumah tangga bisa mencapai derajat kesehatan optimal (Khomsan, 2003).

Komponen ketersediaan pangan menurut Baliwati & Roosita (2004) meliputi kemampuan produksi, cadangan maupun impor pangan dengan memperhitungkan ekspor dan berbagai penggunaan lain seperti bibit, pakan ternak, industri makanan/nonpangan dan tercecer. Komponen produksi pangan dapat dipenuhi dari produksi pertanian dan atau industri pangan sehingga

ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga dapat dipenuhi dari produksi dan cadangan pangan sendiri maupun produksi dan cadangan kelompok.

Kemampuan suatu wilayah dalam menyediakan pangan masyarakat yang

ada di wilayahnya diukur berdasarkan tingkat ketersediaan pangannya dalam kurun waktu tertentu baik yang diperoleh dari produksi sendiri, cadangan pangan ataupun melalui impor. Kemampuan produksi pangan merupakan hasil kerjasama antara para pelaku usaha produksi pertanian dan usaha terkait lainnya, serta para petugas pemerintah yang berkewajiban memberikan pelayanan prasarana dan sarana usaha di bidang pangan (Maxwell & Smith, 1992). Menurut Baliwati & Roosita (2004) tingkat produksi pangan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: cara bertani yang lebih produktif, mutu dan luas lahan, pola penguasaan lahan, pola pertanaman, tempat tinggal, perangsang berproduksi, peranan sosial, dan tingkat pendapatan.

(38)

12

ketersediaan pangan adalah volume pangan (ton/tahun, kg/kapita/hari, g/kapita/hari), energi (kkal/kapita/hari) maupun zat gizi (protein: gram/kapita/hari; lemak: gram/kapita/hari; vitamin: misalnya vitamin A: SI/kapita/hari; mineral: misalnya Fe: mg/kapita/hari) (Baliwati & Roosita, 2004).

Cadangan pangan pemerintah ditetapkan secara berkala dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan pangan nyata masyarakat dan ketersediaan pangan, serta dengan mengantisipasi terjadinya kekurangan pangan dan atau keadaan darurat. Dalam upaya mewujudkan cadangan pangan wilayah ini pemerintah harus: a) mengembangkan, membina dan atau membantu penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat dan pemerintah di tingkat pedesaan, perkotaan, provinsi dan nasional; b) mengembangkan, menunjang dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi peran swasta dan koperasi dalam mewujudkan cadangan pangan masyarakat. Hal ini berarti juga bahwa pemerintah mempunyai peran ganda dalam pengembangan sistem cadangan pangan, yaitu pengadaan cadangan pangan pemerintah dan memfasilitasi pengembangan cadangan pangan masyarakat.

Untuk mampu mewujudkan penyediaan pangan yang dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi penduduk, pemerintah menyarankan cara yang dapat dilakukan yaitu: a) mengembangkan sistem produksi pangan yang bertumpu pada

sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal, b) mengembangkan efisiensi sistem

usaha pangan, c) mengembangkan teknologi produksi pangan, d) mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan, e) mempertahankan

dan mengembangkan lahan produktif (Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002).

Sistem penyediaan pangan sebagai salah satu subsistem ketahanan pangan,

FAO mengedepankan lima karakteristik yang harus dipenuhi, yaitu: 1) kapasitas: mampu menghasilkan, mengimpor, dan menyimpan makanan pokok

dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk, 2) pemerataan: mampu mendistribusikan makanan pokok sehingga tersedia dalam jangkauan seluruh keluarga, 3) kemandirian: mampu menjamin kecukupsediaan makanan pokok dengan mengandalkan kekuatan sendiri sehingga ancaman fluktuasi pasar

(39)

13

4) kehandalan: mampu meredam dampak variasi musiman maupun siklus tahunan sehingga kecukupsediaan pangan dapat dijamin setiap saat, dan 5) keberlanjutan: mampu menjaga keberlanjutan dan kecukupsediaan pangan dalam jangka panjang dengan tanpa merusak kualitas hidup (Soetrisno, 2005).

Pembangunan ketahanan pangan suatu daerah dipengaruhi oleh potensi/ kapasitas produksi pangan yang saat ini semakin terbatas. Hal ini menurut Nainggolan (2008), diakibatkan adanya beberapa permasalahan sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk beserta aktivitas ekonominya sebagai berikut: 1) berlanjutnya konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian (pemukiman dll), 2) menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan, 3) semakin terbatas dan tidak pastinya penyediaan air untuk produksi pangan akibat kerusakan hutan, 4) kerusakan sarana pengairan mencapai 30%, dan 5) persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam dengan sektor industri dan pemukiman.

Subsistem distribusi pangan. Subsistem distribusi pangan menjadi

indikator yang dapat menjelaskan bahwa suatu wilayah dikatakan tahan pangan

apabila pasokan pangan dapat menjangkau keseluruh wilayah sehingga harga stabil dan masyarakat dapat menjangkau pangan dengan baik (akses fisik maupun ekonomi). Pergerakan harga pangan di suatu wilayah pada periode tertentu dapat

mencerminkan tingkat stabilitas harga pangan di wilayah tersebut dan merupakan petunjuk dari stabilitas pasokan, yang merupakan salah satu elemen penting ketahanan pangan. Stabilitas harga pangan ini dapat dipengaruhi oleh sifat bahan pangan dan kesesuaian pengelolaan sistem produksi dengan permintaan pasar. Sebagai indikasi dari ketahanan pangan di tingkat mikro, digunakan ketersediaan dan konsumsi pangan dalam bentuk energi dan protein perkapita perhari. Ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah (pasar) tidak dapat menjamin hal yang sama di tingkat rumah tangga, karena tergantung kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan, dalam arti fisik (daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli) (Suryana, 2004).

(40)

14

mengelola kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya. Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial (Baliwati & Roosita, 2004).

Menurut Hardinsyah (1996) diacu dalam Madanijah (2004), dalam hal konsumsi pangan, permasalahan yang dihadapi tidak hanya mencakup ketidakseimbangan komposisi pangan yang dikonsumsi penduduk, tetapi juga masalah belum terpenuhinya kecukupan gizi. Penganekaragaman konsumsi pangan saat ini sering diartikan terlalu sederhana, berupa penganekaragaman konsumsi pangan pokok, terutama pangan non beras. Penganekaragaman pangan dapat dilihat dari komponen-komponen sistem pangan, yaitu pengganekaragaman produksi pangan, distribusi dan penyediaan pangan, serta konsumsi pangan. Tujuan utama penganekaragaman pangan adalah untuk peningkatan mutu gizi pangan dan mengurangi ketergantungan pangan pada salah satu jenis atau kelompok pangan. Kedua tujuan utama ini secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada perbaikan kesehatan panduduk.

Penganekaragaman konsumsi pangan pada pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih bias pada kelompok padi-padian (beras). Selain berfungsi untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras, penganekaragaman

gizi juga bertujuan untuk perbaikan gizi penduduk dalam mewujudkan manusia yang berkualitas dan mampu berdaya saing serta meningkatkan ketahanan pangan. Rumusan konsep diversifikasi konsumsi pangan oleh FAO RAPA 1989 diacu dalam Ariani (2006) yaitu: 1) komposisi pangan ideal terdiri dari 57 – 68% dari karbohidrat, 2) 10 – 13% protein, 3) 20 – 30% lemak. Yang di Indonesia diimplementasikan dalam bentuk 9 kelompok pangan dengan istilah pola pangan harapan (PPH).

(41)

15

minyak sampai seperempat dari kecukupan energi (3-4 sendok makan sehari), 5) gunakan garam beryodium (6 gram atau 1 sendok the sehari), 6) makanlah sumber zat besi, 7) berikan asi saja pada bayi sampai usia 4 bulan (eksklusif), 8) biasakan makan pagi, 9) minumlah air bersih, aman dan cukup jumlahnya, 10) lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara teratur, 11) hindari minuman alkohol, 12) makanlah pangan yang aman bagi kesehatan, dan 13) bacalah label pada pangan yang dikemas.

Munculnya berbagai indikasi kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh sampai sejauhmana rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidakcukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya. Kerawanan pangan dibedakan atas kerawanan kronis, yaitu yang terjadi secara kontinyu (terus menerus) karena ketidakmampuan membeli atau memproduksi pangan sendiri yang akan berdampak pada penurunan status gizi dan kesehatan; dan kerawanan sementara (transitori) yang terjadi karena kondisi tak terduga seperti bencana alam atau bencana lainnya.

Status gizi. Status gizi masyarakat merupakan keadaan gizi setiap individu yang sangat dipengaruhi oleh asupan bahan pangan yang dikonsumsi, yang ditentukan oleh kemampuan penyediaan dan pengelolaan konsumsi pada masing-masing rumah tangga dan merupakan hasil lanjutan (outcome) dari ketahanan

pangan rumah tangga (Suryana, 2004). Hal ini sejalan pendapat Suhardjo (1989) yang menyatakan bahwa status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat adanya konsumsi, penyerapan, dan penggunaan makanan.

(42)

16

Gizi salah merupakan status gizi yang merupakan keadaan tidak sehat disebabkan oleh makanan yang kurang atau berlebih dalam satu atau lebih zat gizi esensial dalam waktu lama. Jenis gizi salah yang sering terjadi di negara berkembang adalah yang diakibatkan kekurangan gizi atau gizi kurang. Penyebab status gizi kurang bersifat multidimensional yang dipengaruhi oleh faktor pangan maupun non pangan yang berinteraksi membentuk jaringan kompleks dari keadaan deprivasi biologis, sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan (Shetty 2002 diacu dalam Antang 2004).

Di Indonesia terdapat empat masalah kekurangan gizi utama menurut Suparmanto (2005) yaitu Kurang Energi dan Protein (KEP), Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Sesuai dengan konsep Unicef (1998) diacu dalam Suparmanto (2005) masalah gizi dapat dipengaruhi oleh faktor ketahanan pangan tingkat rumah tangga, pola asuh, penyakit infeksi/non infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan dan kemiskinan. Hal ini disebabkan rendahnya konsumsi energi (dibawah 70% AKE), pola asuh ibu dalam pemberian ASI bayinya yang rendah, pencemaran

lingkungan air dan udara oleh bakteri dan zat kimia di atas ambang batas, rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar, dan tingginya angka kemiskinan.

Kemandirian Pangan

Kemandirian pangan daerah merupakan keharusan dalam upaya terpenuhinya kebutuhan pangan setiap penduduk untuk dapat hidup sehat dan produktif secara swasembada atau melalui usaha mandiri tanpa bantuan pihak lain (import). Komitmen dalam mewujudkan kemandirian pangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 – 2025 didefinisikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman dan halal; yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal (Soekartawi, 2008).

(43)

17

merupakan landasan pembangunan ekonomi yang mantap. Empat komponen dalam mewujudkan kemandirian pangan yaitu aspek kecukupan ketersediaan pangan, aspek keberlanjutan stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, aspek aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta dan aspek kualitas/keamanan pangan (Soekartawi, 2008).

Ketergantungan terhadap impor dan ketidakmampuan daerah dalam mewujudkan kemandirian pangan akan mengakibatkan terganggunya sistem ketahanan pangan daerah. Hal ini dikarenakan terpenuhinya pangan merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan ketahanan pangan yang merupakan bagian dari sektor pembangunan lainnya, serta sebagai upaya terbentuknya sumberdaya manusia yang berkualitas. Indikator makro terwujudnya kemandirian pangan menurut Nainggolan (2008) adalah: pangan tersedia, terdistribusi dan dikonsumsi dengan kualitas gizi yang berimbang pada tingkat wilayah dan nasional serta indikator mikro yaitu pangan terjangkau secara langsung oleh masyarakat dan rumah tangga.

Upaya mewujudkan kemandirian pangan daerah harus didukung dengan

adanya sarana, prasarana dan infrastruktur serta kebijakan terkait sistem ketahanan pangan. Beberapa kebijakan yang menjadi syarat dalam upaya mewujudkan kemandirian pangan menurut Nainggolan (2008) adalah dengan

memperhatikan kesejahteraan ekonomi petani yaitu: 1) kebijakan moneter (akses modal yang mudah), 2) stimulus fiskal guna meningkatkan pertumbuhan pertanian, 3) kebijakan industri perdesaan pada sentra produksi, 4) kebijakan perdagangan melalui adanya bea masuk yang melindungi produk petani dalam negeri, 5) kebijakan diversifikasi konsumsi guna melepas ketergantungan pada konsumsi beras, dan 6) memperluas skala ekonomi usahatani.

(44)

18

Sementara itu makna swasembada bila dilihat dari definisi kemandirian pangan merupakan kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri (daerah) secara 100% (absolut). Hal ini berarti juga tingkat ketergantungan terhadap impor diupayakan tidak ada (0%).

Kebutuhan Pangan

Manusia untuk dapat hidup sehat dan produktif memerlukan 6 kelompok zat gizi yaitu: karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air (Karsin, 2004). Untuk itu, konsep kebutuhan gizi minimum satu hari (minimum daily requirement), yaitu jumlah zat gizi minimal yang diperlukan seseorang untuk hidup sehat serta konsep jumlah yang dianjurkan satu hari dan (recommended dietary allowance, RDA) yaitu suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang (97,5%) menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas untuk mencapai derajat kesehatan optimal (Baliwati & Retnaningsih, 2004). Hal tersebut menunjukkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi setiap manusia. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunakan sebagai salah satu standar mengukur

kebutuhan dasar penduduk, khususnya dalam hal pangan.

Empat kelompok makanan sehat yang dibutuhkan oleh manusia yaitu makanan pokok (serealia dan umbi-umbian), lauk-pauk, sayur dan buah. Makanan

pokok ini berperan utama sebagai sumber energi dan juga (serealia) menyediakan protein, aneka vitamin B dan mineral meskipun dalam jumlah sedikit (Hardinsyah, 1996). Sementara itu sembilan kelompok pangan yang dibutuhkan manusia untuk dapat hidup sehat dan produktif dalam neraca bahan makanan yaitu kelompok pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-lain (Deptan, 2005).

(45)

19

maupun untuk pertumbuhan janin. 3) Keadaan sakit dan dalam penyembuhan. 4) Aktivitas fisik. 5) Ukuran tubuh (berat dan tinggi badan).

Kebutuhan pangan pokok (beras) bukan hanya terkait jumlah pangan yang dibutuhkan dan harus disediakan, tetapi terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam pemenuhannya, yaitu ketersediaan, stabilitas dan kemampuan produksi. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan pangan pokok (beras) tidak hanya dilakukan untuk menutupi kebutuhan konsumsi akibat pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan industri. Pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi sendiri sangat penting guna mengurangi ketergantungan pada pasar dunia dan sebagai upaya mempertahankan martabat bangsa di forum internasional (Hafsah & Sudaryanto, 2003). Kebutuhan pangan tidak hanya terkait dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi penduduk semata, melainkan juga harus mempertimbangkan adanya penggunaan lain yaitu penggunaan industri, pakan ternak, bibit, dan kehilangan (tercecer), serta ekspor, impor dan adanya perubahan stok (Deptan, 2005).

Apabila kemampuan produksi bahan pangan domestik tidak dapat

mengikuti peningkatan kebutuhan pangan masyarakat, maka di masa mendatang Indonesia akan menjadi negara importir pangan. Berdasarkan perkiraan tersebut, negara perlu meningkatkan optimasi pemanfaatan sumberdaya domestik dan

(46)

20

Lahan Pertanian Pangan

Sumberdaya pangan dalam rantai sistem pangan dan pertanian terdiri dari dua jenis yaitu sumberdaya manusia/sosial (penduduk, finansial, infrastruktur, teknologi, kelembagaan, industri pangan, pasar dan kerjasama), dan sumberdaya alam (sumberdaya lahan, iklim, air dan perairan umum, kelautan dan sumberdaya hayati) (Baliwati, 2008).

Sumberdaya lahan akan semakin menurun kontribusinya terhadap pangan yang diakibatkan terjadinya tekanan jumlah penduduk yang memperkecil kepemilikan lahan perkapita serta akibat adanya kompetisi penggunaan lahan. Hal ini menurut teori Thomas Malthus (Neo-Malthusian) diacu dalam Baliwati (2008) bahwa penduduk cenderung bertambah menurut deret ukur dan berlipat ganda setiap 30-40 tahun (kecuali jika terjadi kelaparan), karena adanya ketentuan pertambahan hasil yang semakin berkurang dari faktor produksi lahan yang jumlahnya tetap, maka persediaan pangan akan meningkat menurut deret hitung yang membutuhkan daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan.

Aspek-aspek pengelolaan sumberdaya lahan pertanian pangan menurut

Rustiadi (2008) merupakan faktor nyata yang dibutuhkan dalam proses penyediaan pangan. Lahan pertanian pangan, khususnya sawah memiliki karakteristik sumberdaya yang dikategorikan sebagai common pool resources (CPRs) karena memiliki dua kriteria utamanya yaitu unsur subtractability karena ketersediaan lahan yang sesuai untuk pertanian pangan sangat dan semakin terbatas, setiap konversi penggunaan lahan ke penggunaan lahan lainnya akan mengurangi kemampuan dalam penyediaan pangan. Unsur non excludable karena dalam perspektif publik sangatlah sulit mencegah terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian pangan yang subur.

(47)

21

komponen yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung (assimilative capacity).

Pendekatan perhitungan daya dukung lingkungan/lahan harus dilakukan dari sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran (supply) sumberdaya dan jasa lingkungan. Langkah perhitungan dalam Pedoman Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007) diacu dalam Rustiadi et al. (2006) yaitu: daya dukung lahan ditentukan oleh kebutuhan (demand) dan ketersediaan (supply). Kebutuhan lahan ditentukan oleh jumlah penduduk dan tingkat konsumsi tiap penduduk. Ketersediaan lahan ditentukan oleh tingkat produksi dan produktivitas lahan. Terakhir daya dukung lahan diperoleh dari perbandingan antara ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan.

Ketersediaan Lahan Pertanian Pangan

Lahan sebagai unsur ruang dan modal utama pembangunan merupakan kebutuhan pokok yang menyangkut hajat hidup penduduk dan wahana bagi penyelenggaraan kegiatan sosial. Dengan demikian lahan memiliki peranan strategis bagi pembangunan dan karena itu pula pengelolaannya harus dapat

menjamin terselenggaranya pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan secara berkesinambungan. Ruang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak sama, sehingga memiliki potensi untuk

menimbulkan konflik dalam pemanfaatan antar kegiatan sektor pembangunan dan antar jenis pengelolaannya di masyarakat.

Menurut Riyadi (2002) salah satu isu penting yang terintegrasi dengan pengembangan kebijakan ketahanan pangan yaitu penataan ruang wilayah terutama melalui proses pembangunan wilayah pertanian yang didasarkan atas competitive forces dengan mengelola hegemonic forces melalui pengembangan kebijakan yang sejalan dengan sistem nilai pengembangan pangan. Kaitannya dengan hal tersebut, maka guna menjamin pengembangan wilayah pertanian dan ketersediaan pangan di suatu daerah diperlukan tata ruang yang jelas peruntukannya.

(48)

22

distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang fungsi budidaya (UU 26 tahun 2007). Dengan demikian kejelasan besaran lahan yang diperuntukan sebagai ruang fungsi budidaya akan sangat menentukan produksi pangan suatu wilayah.

Penataan ruang merupakan tanggung jawab sepenuhnya pemerintah kabupaten (UU Nomor 26 tahun 2007). Riyadi (2002) mengatakan bahwa aspek penting untuk menjamin ketahanan pangan adalah penataan ruang. Penataan ruang bermanfaat terutama dalam pengelolaan pemanfaatan ruang yang berkaitan dengan mempertahankan pemanfaatan fungsi lahan irigasi teknis dan kawasan-kawasan lindung yang pada akhirnya dapat menciptakan tata ruang pertanian yang efektif sebagai dasar pengembangan wilayah pertanian. Hal ini akan dapat mengurangi konversi lahan pertanian ke non pertanian.

Penataan ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang ke arah yang lebih baik secara sengaja. Sesuai dengan prinsip pembangunan menurut Rustiadi (2004), tujuan dari penataan ruang pada dasarnya adalah: 1) optimasi pemanfaatan sumberdaya melalui mobilisasi dan

alokasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip efisiensi dan produktivitas), 2) alat dan wujud distribusi sumberdaya sesuai dengan asas pemerataan, keberimbangan dan keadilan, dan 3) keberlanjutan (sustainability) karena adanya sifat-sifat irreversibility.

Sehubungan dengan pembangunan ketahanan pangan, Suntoro (2004) mengatakan bahwa terdapat lima strategi yang dapat dilakukan, antara lain: 1) penataan zona areal pertanian, 2) pembangunan sarana dan prasarana, 3) pembentukan kelembagaan ketahanan pangan, 4) pemberdayaan masyarakat,

(49)

23

menetapkan lahan abadi bagi usahatani. Salah satu kendala untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat khususnya di daerah terpencil adalah masih terbatasnya sarana dan prasarana distribusi pangan. Upaya yang perlu dilakukan agar setiap masyarakat dapat mengakses pangan baik secara fisik maupun ekonomi, pembangunan infrastruktur jalan dan pengadaan sarana transportasi secara bertahap berdasarkan skala prioritas, disamping itu pengembangan potensi pangan lokal sesuai dengan spesifikasi dan budaya setempat serta pembentukan kelembagaan ketahanan pangan sebagai wadah koordinasi maupun operasional kegiatan di lapangan. Pengembangan kemitraan usaha antara pemerintah daerah dengan perguruan tinggi, perusahaan swasta, organisasi kemasyarakatan lainnya sangat penting dilakukan guna mempercepat pembangunan ketahanan pangan dan ekonomi daerah.

Arahan tata ruang pertanian nasional telah dibangun oleh Badan Litbang Pertanian melalui Puslitbangtanak pada skala 1:1.000.000. Penilaian kesesuaian lahan menggunakan beberapa karakteristik lahan seperti tanah, bahan induk, fisiografi, bentuk wilayah, iklim dan ketinggian tempat. Lahan yang sesuai untuk

budidaya pertanian dikelompokkan berdasarkan kelompok tanaman yaitu untuk lahan basah dan lahan kering (tanaman semusim dan tanaman tahunan/perkebunan). Pengelompokkan lahan tersebut, secara garis besar

ditentukan oleh bentuk wilayah dan kelas kelerengan. Tanaman pangan diarahkan pada lahan dengan bentuk wilayah datar-bergelombang (lereng <15%) dan tanaman tahunan/perkebunan pada lahan bergelombang-berbukit (lereng 15-30%) (Dirjen PLA, 2006).

Ketersediaan lahan pertanian pangan tersebut menurut Rustiadi (2008) berkaitan sangat erat dengan beberapa hal dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional yaitu: 1) potensi sumberdaya lahan pertanian pangan, 2) produktivitas lahan, 3) fragmentasi lahan, 4) skala luasan penguasaan lahan, 5) sistem irigasi, 6) land rent lahan pertanian, 7) konversi, 8) pendapatan petani, 9) kapasitas sumberdaya manusia pertanian, serta 10) kebijakan di bidang pertanian.

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

(50)

24

penting untuk direalisasikan, sehingga dapat tercapai kemakmuran, kepercayaan diri dan kemandirian dalam menentukan nasib pertanian dimasa depan, yaitu terwujudnya kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan nasional. Untuk itu perlu diselenggarakan pembangunan pertanian berkelanjutan.

Lahan sebagai faktor strategis dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Permasalahan konversi lahan pertanian akan berdampak terhadap produksi pangan dan semakin sempitnya lahan garapan usahatani sehingga dapat mengakibatkan melemahnya kondisi ketahanan pangan daerah. Untuk itu perlu dilakukan pengendalian konversi lahan pertanian pangan melalui perlindungan lahan pertanian pangan (RUU, 2008).

Bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kedaulatan dan ketahanan pangan merupakan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Lahan pertanian yang ditetapkan sebagai kawasan maupun lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat berupa: 1) sawah beririgasi teknis, 2) sawah beririgasi semi teknis, sederhana, dan pedesaan, 3) sawah tadah hujan, 4) lahan rawa, dan/atau 5) lahan kering.

Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan diselenggarakan dengan tujuan yaitu: a) melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, b) menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara

berkelanjutan, c) mewujudkan kemandirian, kedaulatan dan ketahanan pangan, d) melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani, e) meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan petani dan masyarakat, f) meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani, g) meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi

kehidupan yang layak, h) mempertahankan keseimbangan ekologis, dan i) mempertahankan multifungsi pertanian (RUU, 2008).

Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan berdasarkan perencanaan terhadap lahan pertanian pangan yang sudah dan yang potensial atas

dasar kriteria yaitu: 1) kesesuaian lahan, 2) ketersediaan infrastruktur, 3) penggunaan lahan, 4) potensi teknis lahan, dan 5) luasan kesatuan hamparan

lahan. Perencanaan yang terdiri atas perencanaan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan ini didasarkan pada: a) pertumbuhan penduduk dan

Gambar

Gambar 2 Skema kerangka pemikiran penelitian analisis kebutuhan luas lahan
Tabel 1  Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
Tabel 2 Faktor Pengali Sprague (FPS) untuk memecah kelompok umur  demografi menjadi umur tunggal
Tabel 3  Pengelompokkan umur kecukupan gizi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi secara parsial dari keempat faktor tersebut hanya satu yang mempunyai pengaruh yang signifikan (nyata), yaitu faktor keamanan, sedangkan 3 (tiga) faktor lainnya yaitu

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan limpahan karunia, nikmat dan kasih sayangNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “ Penggunaan Zeolit dan Pupuk

Pembimbing penulisan skripsi saudari Hafidzotun Nuroniyyah, NIM 09210024, mahasiswa Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) penerapan model Guided Note Taking dilaksanakan dengan tiga langkah sebagai berikut: (a) guru membagikan teks rumpang, (b) siswa

Rencana Kerja 2017 Dukcapil Kota Tangerang 6 Kependudukan dan Pencatatan Sipil pada tahun 2017.. dalam pencapaian tujuan dan

[r]

Secara implisit apa yang hendak dikatakannya bahwa mengetahui sebuah bahasa bukan saja bahasanya sendiri yang dapat dinikmati sebagai usaha penguasaan terhadap bahasa itu tetapi

Untuk menentukan jumlah mikroba suatu bahan dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, tergantung pada bahan dan jenis mikroba yang ditumbuhkan atau