DI KAWASAN PENGEMBANGAN INDUSTRI
KOTA BATAM, PROVINSI KEPULAUAN RIAU
DASMINTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengelolaan
Lingkungan Pesisir di Kawasan Pengembangan Industri Kota Batam,
Provinsi Kepulauan Riau adalah karya saya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2006
Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Dibimbing oleh RICHARDUS KASWADJI dan FREDINAN YULIANDA.
Posisi geografis Batam yang sangat strategis menjadikan daerah ini dikembangkan oleh Pemerintah menjadi daerah industri yang mempunyai arti penting bagi kehidupan ekonomi nasional. Pengembangan daerah industri ini ternyata membawa dampak ikutan terhadap tumbuhnya sektor-sektor lainnya di daerah ini. Namun pada sisi lain, adanya pengembangan industri berdampak terhadap terjadinya degradasi sumberdaya pesisir dan laut, seperti terjadinya pencemaran air laut dan kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) serta turunnya produktivitas perikanan. Terjadinya degradsi lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam diperkirakan akan semakin parah dengan dipicu oleh adanya perusahaan-perusahaan yang secara komersial hanya mengedepankan keuntungan jangka pendek tanpa memperdulikan dampak negatif terhadap lingkungan. Untuk itu diperlukan adanya pengelolaan yang baik dengan memperhatikan semua aspek terkait agar dampak negatif dari pengembangan industri di Kota Batam terhadap lingkungan pesisir dan laut dapat diminimalisasi sekecil mungkin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas lingkungan pesisir dan laut, mengidentifikasi isu dan permasalahan yang ada, serta menyusun strategi pengelolaan lingkungan pesisir dan laut berdasarkan pada kajian dampak dari kegiatan industri dan pengembangannya terhadap kualitas perairan di lingkungan pesisir Kota Batam.
Berdasarkan analisis data dapat digambarkan bahwa secara umum kondisi perairan pesisir Kota Batam dalam keadaan sangat memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan buruknya kualitas air laut serta terancamnya keberadaan ekosistem pesisir serta sumberdaya perikanan. Beberapa kegiatan yang menonjol dan mempengaruhi kondisi tersebut diantaranya pembuangan limbah industri, adanya pembukaan lahan dengan merusak kawasan hutan dan perbukitan, reklamasi pantai dengan mengkonversi kawasan mangrove bagi peruntukkan lainnya.
Development Area of Batam City, Province of Kepulauan Riau. Under the direction of RICHARDUS KASWADJI and FREDINAN YULIANDA.
The strategic geographical location of Batam has geared this region be developed by the government to be an industrial area which has an important value for the national economic aspect of life. This development of industrial area in fact has created an impact to other growing sectors in the region. However, from another side, the existence of the industrial development has resulted degradation to the coastal and marine resources, such as marine pollution and coastal ecosystem destruction (mangrove, coral reef and sea-grasses) including the decrease in fisheries productivity. The environmental degradation in the coastal and marine environment of Batam City was estimated to be more severe which have been triggered by certain agencies that commercially having only depending on short term benefits without taking care of environmental negative impacts. Therefore a proper management is needed taking into account all related aspects in order to minimize the negative impacts towards the minimum limits on the industrial development of Batam City in the coastal and marine environment. The purpose of this study is to know the quality of the coastal and marine environment, identification of issues and available problems, and to set up strategic coastal and marine environmental management based on impact analysis of industrial activities and its development on the water quality in the coastal environment of Batam City.
Based on data analysis it could be put forward that in general the condition of the coastal waters of Batam City are not in a favourable situation. This is due to the worst values of the marine water quality and also the threats to the existence of coastal ecosystem and fishery resources. Some profound activities which impacted the condition are, among others, discharge of industrial waste, land clearing through destruction of forest areas and hills, coastal reclamation by way of mangrove area conversion for other purposes.
DI KAWASAN PENGEMBANGAN INDUSTRI
KOTA BATAM, PROVINSI KEPULAUAN RIAU
DASMINTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Dasminto
NRP : C225010311
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua Anggota
Diketahui :
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)-Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan-Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Tesis dengan judul “Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kawasan
Pengembangan Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau” disusun
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dari bulan April 2003
sampai dengan Desember 2004. Tujuan dari tesis ini adalah untuk menyusun
arahan kebijakan sebagai masukan khususnya bagi pemerintah Kota Batam dalam
pengelolaan lingkungan pesisir berdasarkan kajian dampak industri dan
pengembangannya terhadap kualitas perairan pesisir Kota Batam.
Pada kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada Bapak Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Fredinan
Yulianda, M.Sc. selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang secara
substansial telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan
tesisi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA yang sejak awal telah mengarahkan
penulis dari mulai usulan sampai dengan pelaksanaan penelitian untuk tesis ini
serta menjadi komisi pembimbing tetapi kemudian karena masalah teknis tidak
dapat melanjutkan. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Sigid
Hariyadi, M.Sc. selaku penguji tamu yang telah banyak memberikan masukan
untuk penyempurnaan Tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Bapak
Drs. Sudariyono, Bapak Ir. Henk Uktolseya, M.Sc., Ibu Ir. Wahyu Indraningsih,
Ibu Ir. Zulhasni, M.Sc. serta teman-teman dari Kementerian Negara Lingkungan
Hidup RI. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Yunelhas Basri
dan staf Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam yang
telah banyak memberikan dorongan dan bantuannya khususnya selama
mendampingi penulis dalam berbagi tugas selama penelitian di lapangan. Kepada
teman-teman, staf dan dosen SPL serta semua pihak yang telah membantu baik
dalam penelitian maupun penyelesaian tesis ini penulis juga mengucapkan terima
kasih.
Secara khusus ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada istriku
tercinta dr. Farida Sulistyowati, anak-anakku tersayang Via Afini Salsabila
(ALSA) dan Moh. Naufal Syauqi (AUFAL) serta keponakan dan
saudara-saudaraku yang secara tulus senantiasa memberikan semangat dan doa serta
dorongan mental kepada penulis.
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati penulis sampaikan tesis ini
dengan harapan semoga bermanfaat khususnya bagi yang membaca serta
pihak-pihak lain yang mau memanfaatkannya. Sebagai penutup penulis menyampaikan
permohonan maaf apabila tesis ini belum sempurna karena keterbatasan penulis
sehingga adanya saran-saran yang konstruktif sangat diharapkan.
Bogor, April 2006
Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 7 Desember 1966 sebagai anak
ketiga dari pasangan Rahmudi B. Kasmali (almarhum) dan Sani Bt. Rahmah
(almarhumah). Pendidikan sarjana (S1) diperoleh melalui Penelusuran Minat dan
Bakat (PMDK) pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas
Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun 2001,
penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
(S2 SPL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan
pascasarjana diperoleh dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH)
Republik Indonesia.
Penulis bekerja di KLH sejak tahun 1992 dan pada tahun 2005 penulis
dipercaya sebagai Kepala Sub-bidang Pengembangan pada Bidang Perlindungan
Ekosistem-Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut.
Selama mengikuti program S2 SPL, bersama teman-teman mahasiswa S2
dan S3 serta dosen SPL IPB, penulis telah merintis berdirinya sebuah organisasi
mahasiswa yang pertama pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Dan Lautan-Program Pascasarjana-Institut Pertanian Bogor (Wacana Pesisir
IPB) dan untuk masa kepengurusan periode pertama (Masa Bakti 2002-2003),
DAFTAR TABEL... iii Dampak Pengembangan Industri ... 9
Kegiatan Industri... 9
Pertanian ... 10
Permukiman ... 10
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ... 11
METODE PENELITIAN
Analisis kondisi kualitas air laut ... 22
Analisis kondisi ekosistem pesisir ... 23
Mangrove... 24
Terumbu Karang... 27
Padang Lamun ... 28
Analisis untuk Menentukan Strategi Pengelolaan Lingkungan Pesisir ... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian ... 30
Letak Geografis... 30
Penduduk ... 32
Industri ... 33
Kondisi Perairan Pesisir Kota Batam... 41
Arus Air Laut ... 42
Gelombang Air Laut ... 47
Pasang Air Laut... 47
Kualitas Perairan Pesisir ... 49
Terumbu karang... 82
Padang Lamun ... 93
Sumberdaya Perikanan ... 98
Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan... 111
Dampak Pembangunan di Kota Batam ... 111
Kebijakan Pemerintah Kota Batam... 115
Arahan Kebijakan Umum ... 117
Arahan Kebijakan Penanggulangan Dampak Pembangunan... 118
Arahan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pesisir Kota Batam... 120
Arahan Strategi Pengelolaan... 123
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 141
Saran ... 143
DAFTAR PUSTAKA ... 145
LAMPIRAN... 151
Halaman
4. Jenis data dan tingkat keragaman jenis mangrove ... 25
5. Kriteria baku kerusakan terumbu karang ... 27
6. Kriteria baku kerusakan padang lamun... 28
7. Status padang lamun ... 28
8. Matrik analisis SWOT ... 29
9. Jumlah penduduk Kota Batam tahun 2003 menurut kecamatan... 32
10. Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Batam dari tahun 1993-2004... 34
11. Luas kawasan industri sesuai RTRW Kota Batam ... 36
12. Banyaknya perusahaan Sektor Industri Pengolahan menurut golongannya ... 37
13. Kecepatan dan arah arus di perairan Batam... 43
14. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari dekat dasar perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998... 50
15.Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari dekat dasar perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000 ... 52
16. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari permukaan perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998... 53
17. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari permukaan perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000 ... 54
18. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Nongsa, Kota Batam pada 6 Mei 2003 ... 56
19. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Batu Ampar dan Lubuk Baja, Kota Batam pada 2003... 58
20. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut di perairan Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Lubuk Baja dan Kec. Batu Ampar) Kota Batam pada Nopember 2002... 59
21. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sekupang dan Belakang Padang, Kota Batam pada 2003... 61
Nopember 2002... 62
23. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sei Beduk-Kota Batam pada 19 Januari 2001... 64
24. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Bulang, Kota Batam pada 14 Maret 2001... 65
25. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Galang, Kota Batam pada 3 Mei 2003 ... 67
26. Rekapitulasi kondisi kualitas air laut di sekitar daerah industri dan di luar daerah industri di Kota Batam ... 68
27. Kandungan rata-rata logam berat pada dua organisme laut di Batam ... 69
28. Penyebaran dan luasan mangrove di Kota Batam pada tahun 1996 ... 73
29. Luasan mangrove pada masing-masing pulau di Kota Batam tahun 2002... 74
30. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan dan kerapatannya tahun 2003 ... 78
31. Luas terumbu karang di Barelang, 1998 ... 82
32. Persen penutupan biota penyusun terumbu karang di lokasi pengamatan perairan Barelang, 1998 ... 85
33. Kondisi karang pada kedalaman perairan 3 meter tahun 2003 ... 87
34. Kondisi karang pada kedalaman perairan 10 meter tahun 2003 ... 90
35. Data hasil tangkapan ikan di sekitar terumbu karang di Barelang, 1996.. 92
36. Luas padang lamun di wilayah pesisir Barelang, 2002... 97
37. Data hasil tangkapan ikan di sekitar padang lamun Batam, 1996... 98
38. Daftar nama-nama pulau yang teridentifikasi berpenghuni di Kota Batam ... 99
39. Nama ikan yang tertangkap nelayan dari Kota Batam dan Kabupaten Kepulauan Riau (Khusus Pulau Bintan) (PKSPL-IPB, 1998) ... 102
40. Jenis-jenis ikan dan udang yang sering ditangkap oleh nelayan Kota Batam dan memiliki nilai ekonomis tinggi ... 103
41. Jumlah rumah tangga perikanan, jumlah anggota keluarga dan jumlah penduduk Kota Batam per kecamatan... 104
42. Jumlah RTP, jumlah perikanan tangkap dan budidaya laut di Kota Batam tahun 2003 ... 105
43. Jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan Gross Ton (GT) di Kota Batam tahun 2003 ... 106
44. Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan pada setiap kecamatan di Kota Batam ... 107
45. Jumlah RTP, jumlah hasil tangkapan ikan dan nilai produksinya di Kota Batam tahun 2003 ... 108
46. Produksi budidaya perikanan laut di Kota Batam pada tahun 2003 ... 110
47. Pembobotan faktor internal dengan analisis SWOT ... 130
48. Pembobotan faktor eksternal dengan analisis SWOT... 131
1. Kerangka pemikiran penelitian ... 7 2. Peta lokasi pengambilan sampel kualitas air laut, pengamatan mangrove
dan terumbu karang di Kota Batam ... 19 3. Peta Kota Batam dengan batas-batas administrasinya (Pemerintah Kota
Batam, 2000)... ... 31 4. Peta penyebaran industri di Kota Batam (Pemerintah Kota Batam,
2000)... ... 35 5. Pola arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya pada bulan
Januari - Juni (PT Bumimas Batamjaya, 2001) ... 44 6. Pola arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya pada bulan
Juli - Desember (PT Bumimas Batamjaya, 2001)... 45 7. Pergerakan arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya (Chia et al,
1988)... ... 46 8. Ramalan pasang di perairan Batu Ampar pada tanggal 20 Mei (atas)
dan 11 Juni (bawah) tahun 2003 (Dishidros, 2003) ... 48 9. Distribusi mangrove di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of
State for Environment, 2000)… ... 71 10.Distribusi terumbu karang (coral reef) di Pesisir Kota Batam dan
sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000) ... 84 11.Distribusi lamun (seagrass) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya
(Ministry of State for Environment, 2000) ... 95 12.Daerah penangkapan ikan (fishing ground), budidaya udang (shrimp
culture), budidaya ikan (fish culture) dan budidaya rumput laut (seaweed
culture) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for
Environment, 2000)... ... 101
1. Kualitas air laut dari dekat dasar perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998 ... 151 2. Kualitas air laut dari dekat dasar perairan antara Pulau Batam dan
perbatasan Singapura pada Maret 2000 ... 152 3. Kualitas air laut dari permukaan perairan bagian utara wilayah Kota
Batam pada April 1998 ... 153 4. Kualitas air laut dari permukaan perairan antara Pulau Batam dan
perbatasan Singapura pada Maret 2000 ... 154
dan Kec. Batu Ampar) Kota Batam pada Nopember 2002... 157 8. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sekupang dan
Belakang Padang, Kota Batam pada 2003 ... 158 9. Kualitas air laut di Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Belakang Padang
dan Kec. Sekupang) Kota Batam pada Nopember 2002... 159 10. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sei Beduk, Kota
Batam pada 19 Januari 2001 ... 160 11. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Bulang, Kota
Batam pada 14 Maret 2001 ... 161 12. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Galang, Kota
Batam pada 3 Mei 2003 ... 162 13. Gambaran pembukaan lahan di Kota Batam berdasarkan citra satelit
tahun 1996-2002 (Bapedal Kota Batam, 2003) ... 163 14. Contoh kegiatan pembukaan lahan dengan reklamasi pantai untuk
kepentingan pengembangan industri di Kecamatan Nongsa, Kota Batam tahun 2003 ... 166 15. Gambaran perusakan kawasan mangrove yang di konversi bagi
peruntukkan lainnya di Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003)... 167 16. Gambaran pembuangan limbah industri ke perairan pantai di Kota
Batam (Bapedal Kota Batam, 2003) ... 169 17. Gambaran pencemaran perairan pantai di Kecamatan Batu Ampar,
Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003)... 171
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan pesisir dan laut Indonesia dengan potensi sumberdaya alamnya
termasuk di dalamnya pulau-pulau kecil, memiliki peranan yang sangat penting
dalam pembangunan nasional. Demikian halnya dengan sumberdaya pesisir dan
laut di Kota Batam yang potensial untuk dikembangkan dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Daerah ini terdiri dari tiga pulau utama,
yaitu Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang atau sering disebut dengan
Barelang. Ketiga pulau tersebut mempunyai luasan yang lebih besar
dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya yang ada di Kota Batam.
Kota Batam merupakan wilayah yang sangat strategis karena terletak
berdampingan dengan negara-negara tetangga Indonesia, bahkan pada bagian
utara wilayahnya berbatasan dengan Singapura/Malaysia. Melihat pada potensi
yang ada serta letak geografis Batam yang sangat strategis, yaitu berada di Selat
Singapura yang dilalui oleh jalur pelayaran yang sangat ramai maka Pemerintah
mengembangkan daerah Batam menjadi daerah industri, yang akan mempunyai
arti penting bagi kehidupan ekonomi nasional pada umumnya. Kawasan ini
menjadi sangat penting menjelang diberlakukannya Kawasan Perdagangan Bebas
(Free Trade Zone) dan Pelabuhan Bebas Batam.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 yang kemudian
dirubah dengan Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun 2000, Pemerintah
Republik Indonesia menetapkan seluruh wilayah Pulau Batam dikembangkan
menjadi kawasan pengembangan industri dibawah suatu lembaga otorita, yaitu
Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau (OPDIP) Batam atau Otorita Batam.
Sejak Pulau Batam dan beberapa pulau di sekitarnya dikembangkan
menjadi daerah industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata serta dengan
terbentuknya Kotamadya Batam berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34
tahun 1983 yang kemudian menjadi Kota Batam sesuai Undang-undang Nomor
53 tahun 1999, laju pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan. Laju
periode 1990-2000 sebesar 12,87%. Penduduk Kota Batam jumlahnya terus
meningkat, terutama dengan datangnya orang-orang dari daerah lain di Indonesia
maupun dari negara lain ke daerah ini dan pada tahun 2003 penduduk Kota Batam
tercatat 562 661 jiwa. Sejalan itu pula dari tahun 1999-2003 sektor industri besar
(dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih) terus mengalami peningkatan, yaitu
pada tahun 1999 tercatat jumlah industri besar 108 buah dan pada tahun 2003
bertambah menjadi 138 buah. Hal ini membuktikan bahwa Batam mempunyai
daya tarik tersendiri bagai para investor untuk melakukan investasi serta bagi para
pendatang yang ingin mendapatkan lapangan pekerjaan di daerah ini.
Pada sisi lain, berbagai kegiatan industri dan pengembangannya yang
dilakukan di Kota Batam diperkirakan akan menimbulkan dampak terjadinya
degradasi sumberdaya pesisir dan laut. Kondisi kerusakan lingkungan
diperkirakan semakin parah dengan dipicu oleh semakin meningkatnya kebutuhan
masyarakat sejalan dengan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, kemiskinan,
kurangnya alternatif usaha, adanya perusahaan-perusahaan yang pada umumnya
hanya mengedepankan keuntungan ekonomi untuk kepentingan jangka pendek
tanpa memperdulikan dampak negatif yang timbul terhadap lingkungan,
terjadinyaa konflik pemanfaatan ruang sebagai akibat adanya berbagai
kepentingan serta masih belum tumbuhnya kesadaran untuk mewujudkan dan
menjaga kualitas lingkungan yang baik dalam hubungannya dengan
pengembangan suatu wilayah, khususnya dalam upaya mewujudkan pertumbuhan
ekonomi wilayah yang tinggi.
Pengembangan suatu wilayah untuk kepentingan industri seperti Kota
Batam bila dilakukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata tanpa
memperdulikan aspek lingkungan hidup maka akan menimbulkan dampak negatif
berupa turunnya kualitas lingkungan, khususnya lingkungan pesisir dan laut.
Kondisi lingkungan akan menjadi semakin parah dengan adanya anggapan bahwa
perairan pesisir dan laut sebagai tempat pembuangan limbah yang mudah dan
murah (bahkan tidak dikenakan biaya) sehingga akan menimbulkan semakin
buruknya kualitas perairan sebagai akibat terjadinya pencemaran perairan pesisir
tidak segera diantisipasi mengingat Kota Batam dengan luas 1 570.35 km2
termasuk dalam kriteria pulau kecil.
Sebagai kawasan yang termasuk dalam kriteria pulau kecil, Kota Batam
tentunya memiliki banyak keterbatasan yang harus diperhatikan oleh segenap
stakeholder dalam melakukan pemanfaatan wilayah tersebut. Menurut Bengen et
al (2002), yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas
area kurang dari atau sama dengan 2 000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km.
Pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol, di antaranya
sumberdaya air tawar yang terbatas dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil serta peka
dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan
manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran (Griffith dan
Inniss, 1992; United Nations, 1994 dalam Bengen et al, 2002).
Pulau-pulau kecil merupakan kasus khusus pembangunan, karena
memiliki ciri khusus yang meliputi sumberdaya alam, ekonomi, dan aspek sosial
budaya yang spesifik. Pulau-pulau kecil mempunyai potensi untuk dikembangkan
dengan mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan baik
secara ekologi maupun secara ekonomi (Hein, 1990 dalam Bengen et al, 2002).
Sehubungan dengan itu maka manajemen lingkungan merupakan prasyarat
pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan manajemen
pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang sinergi dengan manajemen
lingkungan (Bengen et al, 2002).
Perumusan Masalah
Dengan dijadikannya Pulau Batam dan beberapa pulau di sekitarnya
menjadi daerah industri ternyata menimbulkan dampak negatif berupa
menurunnya kualitas lingkungan, baik yang terjadi di daratan maupun di kawasan
pesisir dan laut. Khusus penurun kualitas lingkungan di kawasan pesisir dan laut
di Kota Batam terjadi karena degradasi lingkungan pesisir dan laut. Menurut
Bapedal (2003), terjadinya degradasi lingkungan pesisir dan laut karena hal-hal
a. Adanya pembukaan lahan (land clearing) yang tak terkendali di wilayah
daratan, dimana tercatat sekitar 2 731.60 hektar kawasan hutan lindung dan
hutan wisata dikonversi dan beralih fungsi serta adanya reklamasi pantai yang
dilakukan secara terus-menerus untuk pengembangan Sektor Industri dan
sektor-sektor pendukung lainnya dapat memberikan kontribusi terhadap
peningkatan partikel sedimen di perairan pantai apabila terkena aliran air
hujan. Hal ini akan dapat mengganggu proses fotosintesis dan menutupi
padang lamun dan karang hidup serta mengakibatkan turunnya produktivitas
perikanan pantai.
b. Adanya perusakan hutan mangrove yang dikonversi bagi peruntukkan
lainnya.
c. Dari sekitar 575 perusahaan industri, pariwisata dan sebagainya yang ada di
Batam memberikan kontribusi terhadap pencemaran lingkungan yang cukup
tinggi, apalagi baru sekitar 139 perusahaan yang melakukan kegiatannya
dilengkapi dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL)/Upaya Pengengelolaan Lingkungan maupun Upaya Pemantauan
Lingkungan.
d. Terindikasi baru sekitar 25% industri yang melakukan pengelolaan
lingkungan hidupnya dengan baik.
e. Dari sekitar 24 kawasan industri, baru sekitar 4 kawasan industri yang
dilengkapi studi AMDAL dan hanya satu kawasan industri yang memiliki
Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) sehingga rawan terhadap terjadinya
pencemaran.
f. Masih banyak ditemui pembuangan limbah cair dari industri langsung ke
perairan pantai atau media lingkungan lainnya tanpa melalui proses
pengelolaan limbah terlebih dahulu.
g. Adanya perusakan terumbu karang untuk dijadikan bahan bangunan dan
penangkapan ikan karang dengan bahan peledak.
Hal lain yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan laut
adalah adanya orientasi jangka pendek dari kalangan industri yang hanya
mengejar keuntungan dari aspek ekonomi semata tanpa memperdulikan aspek
polutan dari negara-negara sekitarnya (terutama dari Singapura dan Malaysia)
yang disebabkan oleh pergerakan arus air laut turut andil terhadap terjadinya
degradasi lingkunga perairan pesisir dan laut Kota Batam.
Pengembangan industri di Kota Batam hendaknya harus disertai adanya
prinsip kehati-hatian dan pengambilan keputusan yang bijaksana dengan perhatian
yang serius aspek lingkungan hidup, khususnya lingkungan perairan pesisir. Hal
ini karena telah banyak kasus pencemaran lingkungan terjadi di daerah lain yang
disebabkan oleh pengembangan dan aktivitas industri, yang membuang limbahnya
dengan tidak mengikuti peraturan yang telah ditentukan. Dampak yang lebih
serius dan ekstrem dapat terjadi bila kegiatan industri dikembangkan di
pulau-pulau kecil seperti di Kota Batam, hal ini karena pulau-pulau-pulau-pulau kecil memiliki
tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap perubahan lingkungan. Dampak
dari perubahan lingkungan berupa turunnya kualitas lingkungan khususnya
kualitas perairan pantai/pesisir sebagai akibat dipacunya kawasan pertumbuhan
industri akan menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan yang dapat
mengancam kelestarian sumberdaya alam yang ada di kawasan tersebut.
Beberapa permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di Pulau Batam dan
pulau-pulau di sekitarnya sebagai dampak dari pengembangan industri yang juga
memberikan kontribusi terhadap terjadinya degradasi lingkungan pesisir dan laut
diantaranya disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
a. Masih rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat industri dalam
menjaga kualitas lingkungan dengan mengikuti dan melaksanakan peraturan
yang telah ditentukan.
b. Adanya konflik kepentingan antara Otorita Pengembangan Daerah Industri
Pulau Batam dengan Pemerintah Kota Batam. Munculnya dualisme
kekuasaan pemerintahan di daerah ini menyebabkan ketidak-jelasan institusi
mana yang bertanggung-jawab dalam melakukan pengendalian pencemaran
dan kerusakan lingkungan hidup di kawasan tersebut, termasuk menyangkut
pengawasan dan pembinaan. Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau
Batam menganggap sebagai lembaga yang memiliki otoritas dan secara
historis merasa sebagai institusi yang telah merintis Pulau Batam menjadi
Pemerintah Kota Batam merasa yang bertanggung jawab terhadap
kewenangan yang ada di Pulau Batam sekalipun daerah ini telah dijadikan
kawasan otorita.
Apabila hal-hal tersebut tidak segera ditanggulangi maka permasalahan
lingkungan hidup di Kota Batam akan terus meningkat, khususnya yang berkaitan
dengan terjadinya degradasi kualitas perairan pesisir dan laut sebagai dampak dari
pengembangan industri. Dampak negatif terhadap lingkungan hidup yang
ditimbulkan oleh industri-industri di Kota Batam bukan hanya bersifat lokal atau
nasional, tetapi juga akan berdampak secara regional atau lintas negara mengingat
letak Kota Batam berbatasan dengan negara-negara tetangga khususnya Singapura
atau Malaysia. Berdasarkan pergerakan arus laut secara regional, penurunan
kualitas perairan yang terjadi di Kota Batam akan berdampak lebih luas yang
diperkirakan dapat mempengaruhi kondisi perairan Laut Cina Selatan. Padahal
secara regional banyak negara-negara berkepentingan terhadap kondisi perairan
tersebut khususnya negara-negara yang terletak atau berbatasan langsung dengan
perairan Laut Cina Selatan, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina,
Vietnam, Thailand, Kamboja dan Cina. Sehubungan dengan itu perlu segera
dicarikan beberapa alternatif pemecahan masalah untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang terjadi. Untuk itu, sebagai salah satu altenatif dalam rangka
mengatasi berbagai permasalahan penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut
tersebut perlu disusun strategi pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam.
Kerangka Pemikiran
Kebijaksanaan pemerintah dalam mengembangkan Pulau Batam dan
beberapa pulau di sekitarnya menjadi daerah industri membuat sektor industri di
Kota Batam terus tumbuh dan berkembang. Pengembangan Batam sebagai
kawasan industri selain berdampak sosial-ekonomi, juga berdampak ekologi.
Dampak sosial-ekonomi dapat dilihat dari peningkatan sektor industri yang akan
memacu pertumbuhan ekonomi khususnya di Kota Batam. Sejalan dengan itu,
terjadi penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Pada
negatif terhadap lingkungan hidup di Kota Batam khususnya terhadap lingkungan
pesisir dan laut, seperti timbulnya pencemaran pantai/laut, kerusakan ekosistem
pesisir (ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang) serta turunnya
produktivitas sumberdaya hayati laut (perikanan laut). Untuk itu diperlukan
adanya strategi pengelolaan yang dapat menekan sekecil mungkin dampak negatif
yang ditimbulkan oleh kegiatan industri dan pengembangannya di Kota Batam.
Kerangka pemikiran sebagai pendekatan dari penelitian ini yang akan
melihat secara utuh dan menyeluruh (komprehensif) dari komponen-komponen
yang terkait dalam rangka untuk mendapatkan solusi terbaik, khususnya dalam
kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir di Kota Batam disajikan dalam
Gambar 1.
Batam sebagai kawasan industri
Kebijakan Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam
Penurunan kualitas perairan pantai
Dampak ekologi
ANALISIS Sosial-ekonomi
Strategi pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas lingkungan pesisir dan
laut, mengidentifikasi isu dan permasalahan yang ada serta menyusun strategi
pengelolaan lingkungan pesisir berdasarkan pada kajian dampak dari kegiatan
industri dan pengembangannya terhadap kualitas perairan di lingkungan pesisir
TINJAUAN PUSTAKA
Dampak Pengembangan Industri
Penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut di wilayah Kota Batam
seperti pencemaran perairan pantai terjadi baik karena gangguan alam maupun
sebagai akibat aktivitas manusia, seperti adanya aktivitas industri yang tidak atau
kurang memperdulikan aspek lingkungan hidup. Banyak aktivitas-aktivitas
manusia yang dilakukan di bagian atas (up stream) baik secara langsung maupun
tidak langsung berpengaruh terhadap terjadinya degradasi lingkungan yang ada di
bagian bawah (down stream), yaitu wilayah pesisir dan laut. Dalam KLH (1993)
disebutkan bahwa pncemaran yang terjadi di perairan pesisir dan laut dapat
bersumber dari limbah berbagai kegiatan manusia di darat (land-based pollution),
yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kegiatan Industri
Dalam kegiatan industri, untuk memproses bahan baku menjadi produk jadi
diperlukan air untuk berbagai keperluan. Air yang sudah tidak terpakai umumnya
tidak dibuang melalui saluran-saluran yang terpisah, akan tetapi semuanya keluar
melalui satu saluran menuju laut. Di Pulau Jawa, industri (besar dan sedang)
merupakan penyebab utama penurunan kualitas sumber daya air. Limbah industri
merupakan 50% dari beban pencemaran daerah aliran sungai yang pada akhirnya
merupakan pula beban pencemaran bagi perairan pantai.
Pencemaran karena kegiatan industri terjadi karena banyaknya industri yang
sampai saat ini belum menggunakan unit pengolahan limbah atau dalam penggunaan
unit pengolahan limbah yang telah ada kurang optimal, sehingga limbahnya masih
mengalir masuk ke sungai dan pada akhirnya ke laut.
Jenis-jenis bahan tambang yang terdapat di Indonesia dan berpotensi
menimbulkan pencemaran sebagai akibat dari penggaliannya dan pengolahannya
antara lain: minyak bumi, batu bara, besi, mangan, timah hitam, timah putih,
menghasilkan bahan pencemar berupa residu minyak dan bahan-bahan kimia lain.
Selain itu penambangan pasir dan bahan bangunan lainnya mengakibatkan
kerusakan lingkungan fisik pada perairan pantai. Seperti kegiatan pengeboran
minyak selama 20 tahun terakhir ini terjadi 4 kali blow out.
Pertanian
Kegiatan pertanian yang dapat secara langsung menyebabkan pencemaran
adalah penggunaan berbagai macam pestisida. Sisa pestisida dapat terbawa air hujan
dan drainage sawah menuju saluran pengairan, sungai, dan akhirnya bermuara ke
laut.
Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sektor pertanian umumnya
berkisar pada kegiatan pembukaan lahan (land-clearing) dan penggunaan pupuk
serta pestisida yang tidak sesuai dengan ukuran pemakaian yang sebenarnya.
Kegiatan pembukaan lahan dapat mengakibatkan terjadinya erosi dan sedimentasi di
sungai. Begitu juga penggunaan bahan kimia dalam intensifikasi pertanian sangat
berpengaruh terhadap perubahan populasi biota perairan, yang pada ahkirnya juga
akan berpengaruh pada biota perairan laut karena adanya beberapa jenis kandungan
yang sukar terurai.
Permukiman
Besarnya jumlah penduduk, tingginya tingkat kepadatan penduduk, dan
keanekaragaman intensitas kegiatan penduduk telah memberikan kontribusi cukup
besar terhadap pencemaran lingkungan. Limbah terbesar yang berasal dari
permukiman adalah limbah rumah tangga baik padat maupun cair.
Limbah domestik dari kawasan permukiman pada saat ini merupakan salah
satu sumber pencemar air terbesar di Indonesia, yang disebabkan oleh masih sangat
terbatasnya upaya pengolahan limbah penduduk. Beban pencemaran yang berasal
dari permukiman tergantung kepada pola konsumsi penduduk yang pada akhirnya
permukiman terjadi karena sampai saat ini belum ada sewage management system
bagi buangan rumah tangga.
Pencemaran yang terjadi di perairan pesisir dan laut Indonesia selain bersal
dari limbah berbagai kegiatan manusia di darat, juga disebabkan oleh pencemaran
yang bersumber dari laut. Adanya kegiatan di perairan Indonesia yang semakin
meningkat seirama dengan pembangunan nasional ditambah dengan tingkat
perkembangan kegiatan pelayaran internasional yang melewati perairan Indonesia
akan memacu terjadinya pencemaran laut. Peningkatan kegiatan ini ditambah
dengan peningkatan kegiatan pembuangan (dumping) di laut merupakan peningkatan
ancaman pencemaran terhadap lingkungan laut baik oleh akibat kegiatan-kegiatan
rutin, kesalahan-kesalahan operasional maupun karena kecelakaan.
Menurut Gesamp (1993) dalam Anna (1999) disebutkan bahwa persentase
terbesar sumber pencemar yang masuk ke laut adalah dari run off yang berasal
dari lahan bagian atas sekitar 44%, emisi pesawat terbang dari lahan atas sebesar
33%, pelayaran/perkapalan dan peristiwa tumpahan minyak sebesar 12%,
pembuangan limbah ke laut sebesar 10% dan kegiatan penambangan minyak dan
gas bumi di lepas pantai sebesar 1%. Sedangkan berdasarkan laporan dari
UNDP/GEF/IMO (1988) diungkapkan bahwa sekitar 60-85% sumber pencemaran
berasal dari kegiatan manusia di daratan dan sisanya berasal dari kegiatan di laut.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Dalam melakukan pemanfaatan wilayah di kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil seperti di Kota Batam yang dikembangkan menjadi kawasan industri
harus benar-benar memperhitungkan faktor-faktor pembatas yang ada. Menurut
Griffith dan Inniss, 1992; United Nations, 1994 dalam Bengen et al (2002), pulau
kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol, yaitu:
♦ Terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insular.
♦ Sumberdaya air tawar yang terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil.
♦ Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran.
♦ Area perairan yang lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya (benua atau pulau besar). Jika pulau tersebut berada di batas
luar suatu negara, maka keberadaan pulau tersebut mempunyai nilai yang
sangat strategis untuk penentuan teritorial suatu negara.
♦ Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.
Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugus pulau kecil, pemerintah
melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif
yang luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan
pengelolaan pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2 000 km2
hanya dapat digunakan untuk keperluan konservasi, budidaya laut,
kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari,
pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi
non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengolahan
sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (Bengen et al,
2002).
Sebagai entitas yang memiliki karakteristik dan kerentanan khusus,
pengelolaan pulau kecil memerlukan format yang berbeda dengan wilayah
regional lain khususnya yang ada di daratan pulau besar (mainland) (Bengen et al,
2002).
Dalam hal pemanfaatan pulau-pulau kecil terdapat 2 pandangan yang
antagonistik. Pandangan pertama yang mewakili pihak konservasionis (deep
ecologist), pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang harus dilindungi karena
memiliki fungsi ekologis yang penting. Menurut pihak pertama ini, hal paling
utama dari keberadaan pulau-pulau kecil adalah fungsi dan peranan ekosistem
pesisir dan lautan dari pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global, siklus
hidrologi dan bio-geokimia, penyerap limbah, sumber plasma nuftah dan sistem
penunjang kehidupan lainnya. Sementara pandangan kedua mewakili pihak yang
mendukung pertumbuhan ekonomi, melihat pulau-pulau kecil sebagai kawasan
yang potensial untuk dimanfaatkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi
kawasan, misalnya pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk perikanan (Bengen et al,
Terlepas dari dua pihak yang bertentangan di atas, seringkali penentuan
kebijakan pemanfaatan wilayah pulau-pulau kecil yang tidak seimbang akan
menghasilkan dua kemungkinan dampak negatif, yakni 1) tidak berkembangnya
kawasan pulau-pulau kecil akibat kebijakan yang terlalu protektif dan 2) rusaknya
kawasan pulau-pulau kecil akibat terlalu banyak area pulau-pulau kecil yang
dikonversikan menjadi lokasi usaha seperti tambak dan permukiman. Dalam hal
ini penting diambil jalan tengah dimana usaha pengembangan pulau-pulau kecil
dapat ditingkatkan, sementara keseimbangan ekologis kawasan pulau-pulau kecil
masih terjaga. Untuk itulah pengetahuan mengenai seberapa besar daya dukung
dari pulau-pulau kecil menjadi hal penting untuk diketahui sehingga konsep
kebijakan pengembangan wilayah dan ekonomi kawasan yang direncanakan,
hendaknya berdasarkan azas kelestarian alam dan daya dukung lingkungan
pulau-pulau kecil (Bengen et al, 2002).
Pendekatan arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil secara
berkelanjutan dan berbasis masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pedoman
Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil (SK Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 41 Tahun 2000) mengkombinasikan tiga pendekatan, yaitu hak, ekosistem
dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugus pulau serta pengelolaan yang sesuai
dengan latar setempat (Bengen et al, 2002).
Pemanfaatan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari akan terwujud
apabila memenuhi tiga persyaratan ekologis, yaitu (1) keharmonisan spasial, (2)
kapasiatas asimilasi atau daya dukung lingkungan, dan (3) pemanfaatan potensi
sesuai daya dukungnya. Keharmonisan spasial berhubungan dengan bagaimana
menata suatu kawasan pulau-pulau kecil bagi peruntukan pembangunan
(pemanfaatan sumberdaya) berdasarkan kesesuaian (suitability) lahan (pesisir dan
laut) dan keharmonisan antar pemanfaatan. Keharmonisan spasial mensyaratkan
suatu kawasan pulau-pulau kecil tidak sepenuhnya diperuntukkan bagi zona
pemanfaatan tetapi juga harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi.
Keharmonisan spasial juga menuntut penataan dan pengelolaan pembangunan
dalam zona pemanfaatan dilakukan secara bijaksana. Artinya suatu kegiatan
pembangunan harus ditempatkan pada kawasan yang secara biofisik sesuai
suatu analisis kesesuaian lahan bagi setiap peruntukan pesisir dan laut pulau kecil
(Bengen et al, 2002).
Dalam konteks arahan pengelolaan pulau-pulau kecil, kegiatan
pemanfaatan pulau-pulau kecil hanya diperuntukkan bagi kegiatan berbasis
konservasi. Artinya, pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk berbagai kegiatan yang
bersifat eksploitatif-destruktif tidak disarankan untuk dilaksanakan di pulau-pulau
kecil. Hal ini mengingat bahwa pulau-pulau kecil memiliki sejumlah kendala dan
karakteristik yang sangat berbeda dengan pengelolaan pulau-pulau besar
(daratan). Atas dasar karakteristik pulau-pulau kecil maka arahan peruntukan dan
pemanfaatan pulau-pulau kecil adalah kegiatan konservasi, kegiatan perikanan
(budidaya dan tangkap), pariwisata bahari dan pertanian (Bengen et al, 2002).
Dengan melihat pada kondisi wialayah Kota Batam yang terdiri dari
pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki kerentanan sangat besar terhadap
perubahan lingkungan maka dalam hal pemanfaatan wilayahnya perlu dilakukan
pengelolaan secara terpadu dengan memperhatikan segenap aspek terkait dari
mulai perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.
Konsep pengelolaan wilayah secara terpadu merupakan salah satu syarat
untuk mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Selain itu juga
terdapat kaidah-kaidah yang harus diterapkan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan
laut untuk mencapai pembagunan yang optimal dan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu paradigma pemanfaatan
sumberdaya alam yang dapat dijadikan konsep dasar dalam pemanfaatan
sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam Costanza (1991)
disebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
Pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh
membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi.
Secara garis besar konsep pembangunan wilayah pesisir dan laut secara
berkelanjutan menurut Bengen (2001) memiliki empat dimensi, yaitu : (1) ekologis,
a. Dimensi ekologis
Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana
mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang
berhubungan dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak melebihi total
kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah memiliki 4 fungsi pokok bagi
kehidupan manusia, yaitu :
♦ Sebagai jasa-jasa pendukung kehidupan, mencakup berbagai hal yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia seperti udara dan air bersih
serta ruang bagi segenap kegiatan manusia.
♦ Penyedia jasa-jasa kenyamanan, berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan menyejukkan yang dapat dijadikan tempat berekreasi serta
pemulihan kedamaian jiwa.
♦ Penyedia sumberdaya alam, baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun sebagai masukan dalam proses produksi.
♦ Penerima limbah, utamanya dari kegiatan manusia hingga terdapat suatu kondisi yang aman dan bersih.
♦ Berdasarkan keempat fungsi ekosistem di atas maka secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan,
yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas asimilasi, dan (3) pemanfaatan
berkelanjutan.
b. Dimensi sosial ekonomi
Mensyaratkan bahwa manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari
kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus
diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk terutama mereka yang
ekonomi lemah guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah.
c. Dimensi sosial politik
Pada umumnya permasalahan lingkungan hidup bersifat eksternalitas,
kerusakan lingkungan bukanlah pembuat kebijakan melainkan pihak lain serta
permasalahan tersebut biasanya muncul setelah beberapa waktu, tidak langsung
pada waktu itu. Mengingat karakteristik permasalahan tersebut maka
pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana
politik yang demokratis dan transparan yang didukung oleh political will
pemerintah.
d. Dimensi hukum dan kelembagaan
Mensyaratkan adanya pengendalian diri dari setiap warga dunia untuk
tidak merusak lingkungan. Hal ini dapat tercapai melalui penerapan sistem
peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan konsisten serta
penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap warga negara.
Salah satu syarat utama pembangunan berkelanjutan adalah dilakukan
secara terpadu, rasional dan optimal melalui perencanaan yang matang dengan
memperhatikan daya dukung lingkungan serta kesesuaian wilayah (ruang),
termasuk adanya antisipasi terhadap dampak yang mungkin terjadi.
Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki
pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir
dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive
assessment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta
mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang
optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara
kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan
aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders) serta konflik
kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.
Untuk mengetahui langkah-langkah apa yang perlu dilakukan dalam rangka
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu diantaranya dapat digunakan analisis
SWOT sebagai alat penyusun rencana pengelolaan. Menurut Rangkuti (2004),
analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
(Strengths) dan peluang (Opportunities), tetapi secara bersamaan dapat
dilakukan dengan membandingkan faktor-faktor strategis eksternal yang terdiri
dari peluang dan ancaman dengan faktor-faktor strategis internal yang berupa
kekuatan dan kelemahan. Dengan analisis ini, perencanaan pengelolaan dalam
jangka panjang pun dapat disusun dengan menentukan analisis terhadap
strategi-strategi yang dipilih sehingga arah dan tujuan dapat dicapai dengan jelas dan
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2003-Desember 2004di wilayah pesisir Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Gambar 2)
Lingkup Kegiatan
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka mendukung penelitian ini adalah sebagai berikut :
(a) Melakukan pengumpulan data
(b) Mengumpulkan masukan dari beberapa pakar yang berkompeten serta
stakeholder lainnya yang terkait dengan penelitian yang dilakukan;
(c) Melakukan analisis data.
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder yang dilakukan dengan cara berikut:
Data primer
Data kualitas air pantai/laut
Data primer kualitas air pada perairan pesisir (pantai) Kota Batam diperoleh dengan melakukan pengambilan sampel kualitas air laut pada stasiun pengambilan yang lokasinya dekat dengan daerah industri serta stasiun yang jauh dari industri untuk mengetahui distribusi pencemaran air laut. Sampel kualitas air laut diambil sekali pada beberapa titik yang dianggap dapat mewakili dari lokasi masing-masing, yaitu di sekitar daerah industri dan jauh dari industri). Beberapa parameter kualitas air laut yang diamati merujuk pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KEPMEN LH) Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, khususnya Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (KLH, 2004a) dan KEPMEN LH Nomor 179 Tahun 2004 tentang Ralat atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut (KLH, 2004b).
Data mangrove
Data primer mengenai kondisi mangrove diperoleh melalui pengukuran dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Line Transect Plot) yang dilakukan dengan membuat petak contoh. Pada masing-masing lokasi dibuat beberapa petak contoh berupa segi-empat yang masing-masing berukuran 10 m x 10 m. Metode ini dipilih karena menurut KLH (2004c) dinyatakan sebagai salah satu metode pengukuran yang paling mudah dilakukan, namun memiliki tingkat akurasi dan ketelitian yang baik (akurat).
Data terumbu karang
dengan mengikuti kontur kedalaman. Transek garis diletakkan di atas koloni karang dan dicatat panjang jenis karang yang tepat di bawah roll meter
berdasarkan bentuk pertumbuhannya (life form).
Metode transek garis ini memiliki kelebihan antara lain: akurasi data dapat diperoleh dengan baik, kualitas data lebih baik dan lebih banyak, penyajian struktur komunitas seperti persentase tutupan karang hidup ataupun karang mati, ukuran koloni dan keanekaragaman jenis dapat disajikan secara lebih menyeluruh serta dapat menyajikan secara baik data struktur komunitas biota yang berasosiasi dengan terumbu karang.
Untuk data penunjang lainnya diperoleh baik melalui pertemuan-pertemuan, wawancara dengan pihak-pihak terkait maupun dengan melihat secara visual keadaan di lapangan yang dilakukan pada saat pengambilan data primer di lokasi penelitian.
Data sekunder
Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui beberapa literatur baik dari jurnal, hasil penelitian, hasil survey instansi pemerintah, swasta dan lain-lain. Data yang dikumpulkan meliputi data kualitas air laut, ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun dan terumbu karang), sumberdaya ikan, sosial-ekonomi masyarakat nelayan, kelembagaan dan kebijakan serta peraturan perundang-undangan terkait.
Analisis Data
perlindungan terhadap mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut dan status mutu laut. Status mutu laut ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut, kondisi tingkat kerusakan laut yang mempengaruhi mutu laut (Bapedal, 2001).
Analisis kondisi kualitas air laut
Analisis kondisi kualitas air laut dilakukan berdasarkan data primer dan data sekunder. Untuk mengetahui nilai dari masing-masing parameter kualitas air laut yang diamati, khususnya dari data primer yang diperoleh dari contoh (sample) kualitas air yang diambil dari perairan pantai/laut Kota Batam, terlebih dahulu dilakukan analisis di laboratorium Sucofindo Batam. Selanjutnya untuk mengetahui kondisi kualitas air di perairan tersebut digunakan analisis kualitas air/laut dengan metode STORET (Canter, 1977), dengan mengacu pada KEPMEN LH Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air (KLH, 2003).
Tabel 1 Penentuan skor untuk tiap parameter kualitas air dengan metode STORET
Jumlah keseluruhan dari skor yang diperoleh (untuk seluruh parameter yang diamati) akan menunjukkan tingkat kualitas air, kemudian dengan menggunakan sistem nilai dari US-EPA (Environmental Protection Agency) diklasifikasikan tingkat kualitas air dalam empat kelas (Tabel 2).
Tabel 2 Klasifikasi tingkat kualitas air beserta kelasnya berdasarkan sistem nilai dari US-EPA.
Total skor Tingkat Kualitas Kelas Keterangan
0 Baik sekali A Memenuhi baku mutu
-1 sampai dengan -10 Baik B Tercemar ringan
-11 sampai dengan -30 Sedang C Tercemar sedang
< -30 Buruk D Tercemar berat
Sumber: KLH (2003)
Analisis kondisi ekosistem pesisir
Kondisi ekosistem pesisir dibedakan dalam 2 (dua) kategori berdasarkan status mutunya sebagai berikut:
♦ Lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan
sebagai lingkungan laut yang status mutunya pada tingkatan baik.
Untuk mengetahui kondisi ekosistem pesisir dilakukan analisis berdasarkan data primer dan data sekunder untuk mangrove dan terumbu karang, sedangkan untuk padang lamun hanya dilakukan berdasarkan data sekunder karena pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan langsung.
Mangrove
Status kondisi mangrove menggambarkan tingkatan kondisi mangrove pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove, dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Transect Line Plot), yang merupakan metode pencuplikan contoh populasi suatu ekosistem dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. Dalam penelitian ini dilakukan pada beberapa petak contoh berupa segi-empat yang masing-masing berukuran 10 m x 10 m.
Analisis data mangrove menggunakan metode yang dijelaskan dalam English et al (1994) dan untuk menentukan kondisi mangrove dilakukan berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove (KLH, 2004c). Kriteria Baku Kerusakan Mangrove adalah ukuran batas perubahan fisik dan atau hayati mangrove yang dapat ditenggang.
Kriteria Baku Kerusakan Mangrove ditetapkan berdasarkan persentase luas tutupan dan kerapatan mangrove yang hidup, dimana kriteria ini merupakan cara untuk menentukan status kondisi mangrove yang diklasifikasikan dalam kategori baik (sedang-sangat padat) dan rusak (jarang) seperti disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Kriteria baku kerusakan mangrove
Untuk mengetahui tingkat keragaman jenis mangrove dilakukan berdasarkan English et al (1994) seperti dalam Tabel 4.
Tabel 4 Jenis data dan tingkat keragaman jenis mangrove
Jenis data Klasifikasi Tingkat keragaman
Jenis/spesies mangrove < 3 jenis 4 – 7 jenis
> 8 jenis
Kurang beragam Cukup beragam Sangat beragam Sumber: English et al (1994)
Untuk kepentingan deskripsi vegetasi, menurut Kusmana (1997) dijelaskan bahwa parameter kuantitatif vegetasi sangat penting yang umumnya diukur dari suatu tipe komunitas tumbuhan, diantaranya adalah kerapatan
(density) dan frekuensi. Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan
dalam suatu luasan tertentu. Frekuensi adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat.
Kerapatan Jenis
Kusmana (1997) menyebutkan bahwa kerapatan jenis (density) adalah jumlah suatu individu dalam suatu unit luasan area. Kerapatan jenis dapat ditulis dengan rumus :
A ni
Di=
Keterangan
Kerapatan Relatif
Kusmana (1997) menyebutkan bahwa kerapatan relatif (relative density) adalah perbandingan antara jumlah kerapatan suatu individu dengan total kerapatan seluruh individu. Kerapatan relatif ditulis dengan rumus :
%
Keterangan RDi : Kerapatan Relatif (Relative Density) jenis i Di : Jumlah kerapatan jenis i
ΣD : Jumlah kerapatan untuk semua jenis
Frekuensi
Frekuensi (frequency) adalah perbandingan antara jumlah sub-petak contoh dimana ditemukan suatu individu terhadap seluruh sub-petak contoh pada sutau lokasi tertentu. Frekuensi ditulis dengan rumus :
∑
=
p pi Fi
Keterangan Fi : Frekuensi (Frequency)
pi : Jumlah sub-petak contoh dimana jenis i ditemukan.
Σp : Jumlah seluruh sub-petak contoh
Frekuensi Relatif
Frekuensi relatif (relative frequency) adalah perbandingan antara frekuensi sutau jenis (Fi) dengan jumlah frekuensi untuk semua jenis (ΣF), yang ditulis dengan rumus :
Keterangan RFi : Frekuensi relatif (Relative Frequency) jenis i Fi : Jumlah frekuensi jenis i
Terumbu Karang
Persentase penutupan karang hidup dihitung dengan menggunakan persamaan (UNEP,1993), yaitu :
ni = ×100%
L li
Keterangan ni : Persentase penutupan karang hidup life form ke-i li : panjang total life form karang ke-i
L : Panjang transek garis
Status kondisi terumbu karang adalah tingkatan kondisi terumbu karang pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria kerusakan terumbu karang dengan menggunakan persentase luas tutupan terumbu karang yang hidup.
Untuk menentukan kondisi terumbu karang dilakukan dengan mengacu pada KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang (KLH, 2001).
Kriteria baku kerusakan terumbu karang merupakan salah satu cara untuk menentukan status kondisi terumbu karang yang didasarkan pada penggunaan metode Transek Garis Bentuk Pertumbuhan Karang, dalam hal ini status kondisi terumbu karang diklasifikasikan dalam kategori baik dan rusak (Tabel 5).
Tabel 5 Kriteria baku kerusakan terumbu karang Parameter Kriteria baku kerusakan
Padang Lamun
Untuk mengetahui status padang lamun digunakan acuan berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun (KLH, 2004d) (Tabel 6 dan 7).
Tabel 6 Kriteria baku kerusakan padang lamun
Tingkat kerusakan Luas area kerusakan (%)
Tinggi ≥ 50
Sedang 30 – 49.9
Rendah ≤ 29.9
Sumber: KLH (2004d)
Tabel 7 Status padang lamun
Kondisi Penutupan (%)
Baik Kaya/sehat ≥ 60
Kurang kaya/kurang sehat 30 – 59.9
Rusak
miskin ≤ 29.9
Sumber: KLH (2004d)
Analisis untuk Menentukan Strategi Pengelolaan Lingkungan Pesisir
Untuk menyusun strategi-stretegi pengelolaan lingkungan pesisir digunakan analisis SWOT. Analisis SWOT menjelaskan proses analisis kasus berikut perumusan strategi dan formulasi rekomendasi yang dipilih. Menurut Rangkuti (2004), analisis SWOT adalah identifikasi terhadap berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi yang dipilih. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang
(Opportunities), tetapi secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(Weaknesses) dan ancaman (Threats). Analisis SWOT dilakukan dengan
membandingkan faktor-faktor strategis eksternal atau External Strategic Factors
Analysis Summary (EFAS), yang terdiri dari peluang dan ancaman dengan
faktor-faktor strategis internal atau Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS), yang berupa kekuatan dan kelemahan. Analisis ini juga dapat digunakan untuk menyusun strategi-strategi dalam jangka panjang sehingga arah dan tujuan dapat dicapai dengan jelas dan dapat segera diambil keputusan.
Strategi-strategi pengelolaan yang dipilih sebagai rekomendasi dari penelitian ini ditentukan dengan menggunakan matrik TOWS atau SWOT. Menurut Rangkuti (2004), matrik ini menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal dapat dipadukan dengan kekuatan dan kelemahan yang ada (Tabel 8).
Tabel 8 Matrik analisis SWOT
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Letak Geografis
Kota Batam secara geografis letaknya sangat strategis karena terletak di
jalur pelayaran dunia sengga sehingga menempatkan kota ini sebagai pintu
gerbang perekonomin nasional. Dari data yang diperoleh dari Pemerintah Kota
Batam (2000) disebutkan bahwa Kota Batam terletak antara 0o55’ – 1o55’ Lintang
Utara dan 103o45’ – 104o10’ Bujur Timur dan berdasarkan Undang-undang No.
53 Tahun 1999 luas wilayah Kota Batam secara keseluruhan adalah 1 570.35 Km2
dengan batas-batas sebagai berikut:
- Sebelah Utara : Selat Singapura
- Sebelah Selatan : Kecamatan Senayang (Kabupaten Kepulauan Riau)
- Sebelah Timur : Kecamatan Bintan Utara dan Kecamatan Teluk Bintan
(Kabupaten Kepulauan Riau)
- Sebelah Barat : Kecamatan Moro dan Kecamatan Karimun
(Kabupaten Karimun) dan Laut Internasional.
Kota Batam merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 325 buah
pulau besar dan kecil dengan panjang pantai sekitar 1 261 Km dan luas laut
sekitar 289.300 hektar. Wilayah laut ini merupakan bagian terbesar, yaitu sekitar
74% dari wilayah Kota Batam. Dewasa ini wilayah Kota Batam terdiri dari 8
(delapan) kecamatan, yaitu Kecamatan Belakang Padang, Bulang, Galang, Sei
Beduk, Nongsa, Sekupang, Lubuk Baja dan Batu Ampar. Kedelapan kecamatan
tersebut membawahi sebanyak 35 kelurahan dan 16 desa. Selanjutnya mengenai
Pemerintah Kota Batam dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 34 Tahun 1983 dan diresmikan pada tanggal 24 Desember 1983 yang
bersifat Administratif. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor: 53 Tahun
1999 maka Kotamadya Administratif Batam berubah menjadi Kota Batam. Selain
itu, di Batam terdapat juga institusi pemerintah pusat yang mengelola khusus
daerah tersebut, yaitu Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.
Penduduk
Penyebaran penduduk Kota Batam pada tahun 2003 terkonsentrasi pada 3
(tiga) wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sei Beduk, Batu Ampar dan Sekupang
(Tabel 9). Ketiga wilayah kecamatan ini memiliki jumlah penduduk lebih banyak
dibandingkan dengan 5 (lima) wilayah kecamatan lainnya di Kota Batam. Jumlah
penduduk paling banyak jumlahnya terdapat di Kecamatan Sei Beduk, yaitu
126 979 jiwa, sedangkan yang paling sedikit, yaitu 8 693 jiwa terdapat di
Kecamatan Bulang. Apabila dilihat dari perbandingan antara jumlah Rumah
Tangga Perikanan (RTP) dan anggota keluarganya (34 426 jiwa) dengan jumlah
keseluruhan penduduk Kota Batam (562 601 jiwa) pada tahun 2003 adalah
sebesar 6.1%.
Tabel 9 Jumlah penduduk Kota Batam tahun 2003 menurut kecamatan
Kecamatan WNI WNA Jumlah
1. Belakang Padang 19 737 4 19 741 2. Bulang 8 693 - 8 693 3. Galang 13 917 12 13 929 4. Sei Beduk 124 262 2 714 126 976 5. Nongsa 85 606 84 85 690 6. Sekupang 116 242 199 116 441 7. Lubuk Baja 66 200 475 66 675 8. Batu Ampar 124 219 297 124 516 Total 558 876 3 785 562 661 Sumber: Bappeda Kota Batam (2004)
Berdasarkan data jumlah penduduk Kota Batam dari 1993-Juni 2004
terlihat bahwa pertumbuhan jumlah penduduk tertinggi terjadi pada tahun 1996
sebesar 20.92%, sedangkan pertumbuhan jumlah penduduk terkecil terjadi pada
tahun 2003, yaitu 2.26% dan sampai Juni 2004 pertumbuhan penduduk sebesar
3.54% (Tabel 10).
Industri
Berdasarkan Keppres No 41 Tahun 1973, seluruh Pulau Batam ditetapkan
sebagai daerah industri. Kemudian disusul dengan Keppres No. 41 tahun 1978
yang menetapkan bahwa seluruh pulau Batam dan beberapa pulau di sekitarnya
dinyatakan sebagai kawasan berikat (bonded area). Keputusan ini dikeluarkan
dengan maksud agar dapat mendorong pengembangan ekspor yang berorientasi
pada bidang perindustrian dan untuk memberikan kemudahan impor bahan-bahan
yang dibutuhkan oleh pabrik yang ada di Batam. Hal ini akan memacu
berkembangnya industri di daerah ini. Gambar 4 menunjukkan penyebaran
industri di Kota Batam berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam
2001-2011 yang kemudian pada tahun 2004 direvisi melalui Peraturan Daerah
(Perda) Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Tabel 10 Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Batam dari tahun 1993-2004
WNI WNA TOTAL
Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah Jumlah Pertumbuhan
(%)
1993 80 910 65 161 146 071 527 107 634 146 705