• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengembangan Kopi Ekstrak Sebagai Upaya Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pengembangan Kopi Ekstrak Sebagai Upaya Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

SISKA FIBRILIANI SAHAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengembangan Kopi Ekstrak Sebagai Upaya Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

SISKA FIBRILIANI SAHAT. Analisis Pengembangan Kopi Ekstrak Sebagai Upaya Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan PARULIAN HUTAGAOL.

Berdasarkan industrinya, kopi dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu kopi biji sebagai komoditas, kopi sangrai dan kopi ekstrak sebagai kopi olahan. Hingga saat ini, ekspor kopi Indonesia didominasi biji kopi dan mengarah pada kebergantungan ekspor komoditas dan negara tujuan ekspor. Kebergantungan ini menyebabkan performa ekspor kopi Indonesia sangat bergantung pada kondisi eksternal yang fluktuatif.

Dari sudut pandang struktural, diversifikasi ekspor menjadi salah satu kunci mengatasi masalah yang timbul karena kebergantungan. Berdasarkan hasil dekomposisi ekspor, diversifikasi negara tujuan ekspor merupakan bentuk diversifikasi yang prospektif, terutama untuk kopi ekstrak. Tiga negara tujuan diversifikasi ekspor kopi ekstrak yang prospektif, yaitu Filipina, Cina dan Lebanon. Hal ini dilihat dari mulainya ekspor kopi ekstrak Indonesia sejak tahun 2003 ke ketiga negara tersebut dan meningkat di tahun-tahun setelahnya serta tingginya nilai impor dan tren impor kopi ekstrak ketiga negara tersebut dari dunia.

Berdasarkan hasil analisis model panel gravity terhadap nilai ekspor kopi ekstrak Indonesia ke tiga negara tersebut, didapatkan bahwa faktor yang paling berpengaruh bagi diversifikasi ekspor kopi ekstrak ke negara tujuan diversifikasi tersebut adalah sisi penawaran. Sehingga dengan memperbaiki sisi penawaran, maka diversifikasi ekspor kopi dapat ditingkatkan. Namun, terdapat indikasi bahwa kopi ekstrak Indonesia merupakan barang inferior di negara tujuan diversifikasi ekspor yang diduga karena mulai beralihnya konsumen pada keseragaman konsumsi yaitu kopi yang lebih segar berupa kopi sangrai berjenis arabika.

Dari sisi faktor yang mempengaruhi arus perdagangan, daya saing, diversifikasi ekspor kopi ekstrak Indonesia masih mengandalkan price competitiveness melalui pelemahan nilai tukar. Di sisi lain, jarak ekonomis tidak memiliki hubungan dengan diversifikasi ekspor negara tujuan ekspor kopi ekstrak. Dengan demikian, efisiensi perdagangan dapat ditingkatkan dengan penyelenggaraan kerjasama perdagangan yang menjadi faktor yang mempengaruhi positif diversifikasi ekspor negara tujuan ekspor kopi ekstrak.

Namun demikian, diversifikasi belum bisa dijadikan sumber yang kokoh bagi pertumbuhan ekspor kopi Indonesia. Dalam rangka peningkatan kinerja ekspor kopi, kebijakan diversifikasi ekspor tidak dapat berdiri sendiri, melainkan melalui suatu paket kebijakan yang mendorong kinerja secara keseluruhan.

(5)

SUMMARY

SISKA FIBRILIANI SAHAT. Analysis of Export Diversification as a Mean to Develop Indonesian Coffee Export. Supervised by NUNUNG NURYARTONO and PARULIAN HUTAGAOL.

Based on the industry, coffee can be divided into three categories, namely green bean as the commodity, roasted coffee and extract coffee as processed coffee. Up to this date, Indonesian coffee export is dominated by green bean form which lead to dependency to both commodity and destination countries. This condition causes high fluctuations in Indonesian coffee export performance due to external uncertainty.

From structural perspective, export diversification could become one of the alternative solutions to overcome the problems caused by dependency. Based on export decomposition, diversification of export destination is a promising one, especially for extract coffee. Three prospective countries are Philippines, China and Lebanon. Indonesian export of extract coffee to those three started since 2003 and have been increasing since then. On the other side, their imports from world was also recorded high.

From the analysis of gravity model of Indonesian extract coffee export to the three countries, it is concluded that supply side is the most influencing factor to export diversification of Indonesian extract coffee. The improvement of supply side might increase the diversification. Unfortunately, there is an indication that Indonesian extract coffee tend to be an inferior in the destinations mentioned, as consumer’s preference change to fresher coffee products, which is roasted coffee made from Arabica bean.

Price is still the source of competitiveness of Indonesian extract coffee export, through exchange rate depreciation. On the other hand, economic distance has no influence to the diversification. Therefore, the efficiency of export diversification can be elevated by implementing bilateral trade agreement which positively influence Indonesian export flow.

However, diversification alone cannot yet be the robust source of coffee export development. The best way to develop Indonesian coffee export performance is through a simultaneous policy package.

(6)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)
(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

ANALISIS PENGEMBANGAN KOPI EKSTRAK SEBAGAI

UPAYA DIVERSIFIKASI EKSPOR KOPI INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

Judul Tesis : Analisis Pengembangan Kopi Ekstrak Sebagai Upaya Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia

Nama : Siska Fibriliani Sahat NIM : H151120271

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Nunung Nuryartono, M Si Ketua

Prof. Dr.Ir.M. Parulian Hutagaol, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr.Ir.Lukytawati Anggraini, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir.Dahrul Syah, MSc.Agr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih adalah diversifikasi ekspor kopi, dengan judul Analisis Pengembangan Kopi Ekstrak Sebagai Upaya Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si dan Prof. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dari awal hingga akhir dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr Muhammad Firdaus, SP, M.Si dan Dr. Tony Irawan, SE, M.App.Ec atas saran dan masukannya demi perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr. Ir. Lukytawati Anggraini, M.Si beserta pengelola Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada suami tercinta, Dede Wahyu FM dan anak-anak tersayang Hanif dan Hanum yang telah memberikan dukungan, dan doa kepada penulis serta rekan-rekan kuliah kelas Kementerian Perdagangan S2 IPB Batch 1 yang telah membantu dan memberikan semangat hingga selesainya tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 7

Ruang Lingkup Penelitian 7

2. TINJAUAN PUSTAKA 9

Tinjauan Teori 9

Tinjauan Empiris 14

Hipotesis Penelitian 21

3. METODE 23

Jenis dan Sumber Data 23

Metode Analisis Data 23

Model Persamaan 25

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31

Ekspor Biji Kopi Indonesia 31

Ekspor Kopi Olahan Indonesia 35

Dekomposisi Ekspor 39

Analisis Data Panel dengan Model Gravity 47

Hasil Estimasi Model Data Panel 47

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Kopi Ekstrak Indonesia di Negara Tujuan Diversifikasi

49

5. SIMPULAN DAN SARAN 55

Simpulan 55

Saran 56

DAFTAR PUSTAKA 57

LAMPIRAN 61

(16)

DAFTAR TABEL

1 Impor dunia untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000 (Preparations with a basis of extracts, basis of coffee)

37 2 Impor Philippines untuk produk kopi ekstrak di bawah HS

210112000 (preparations with a basis of extracts, basis of coffee)

44 3 Impor China untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000

(preparations with a basis of extracts, basis of coffee)

44 4 Impor Lebanon untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000

(preparations with a basis of extracts, basis of coffee)

45

5 Ekspor dunia untuk produk kopi ekstrak 45

6 Ringkasan output regresi diversifikasi kopi ekstrak menggunakan estimasi FGLS

48

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia Periode 1994-2013 3 2 Komposisi ekspor kopi Indonesia berdasarkan kelompok produk,

1994-2013

4 3 Harga internasional komposit biji kopi berdasarkan jenis

(a) ICO composite indicator price (b) Group indicator price

5

4 Terms of trade kopi Indonesia di negara tujuan ekspor 6 5 Ekspor dan firm heterogeneity berdasarkan tingkat biaya marjinal 12

6 Teori pertumbuhan neoklasik 13

7 Pembagian marjin ekspor berdasarkan produk dan destinasi 19

8 Kerangka penelitian 29

9 Distribusi pendapatan kopi 31

10 Struktur umum rantai pemasaran kopi secara global 32

11 Geografi konsumsi kopi dunia 35

12 Konsumsi kopi dunia 36

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Korelasi antara pohon industri kopi, HS dan SITC 61 2 Kopi dan produk turunannya menurut klasifikasi HS 61

3 Konversi HS produk kopi, 1994-2013 62

4 Pohon industri kopi 63

5 Nilai ekspor kopi Indonesia berdasarkan jenis, 1994-2013 64 6 Ekspor kopi Indonesia berdasarkan jenis, 1994-2013 64 7 Diversifikasi ekspor kopi di Indonesia berdasarkan negara tujuan

ekspor

65 8 Daftar negara eksportir dan pasar tradisional kopi 66

(18)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor perkebunan merupakan salah satu sektor penting dalam segi ekonomi dan sosial di Indonesia. Dari segi ekonomi, sektor perkebunan merupakan salah satu penyumbang PDB (Produk Domestik Bruto) yang penting. Sekitar hampir dua persen dari total PDB selama tahun 2012-2014 disumbang dari tanaman perkebunan. Selain itu, secara historis sejak jaman kolonial, sektor perkebunan juga menjadi bagian dari perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Sektor perkebunan juga menjadi salah satu penyokong lapangan pekerjaan karena sifatnya yang labor intensive. Bersama-sama dengan sektor lain, kelompok lapangan usaha pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, merupakan penyerap terbesar angkatan kerja yaitu sebesar 34 persen dari total angkatan kerja.1) .

Kopi menjadi salah satu tanaman perkebunan yang penting dan memiliki nilai ekonomis tinggi paling tidak dalam dua hal. Pertama, dari sisi produksi, kopi merupakan penyokong perekonomian melalui basis produksi bahan mentah dan basis penyerapan tenaga kerja. Sepanjang tahun 2012/2014, produksi kopi Indonesia mencapai 8,4 persen dari total produksi dunia2) atau menempatkan Indonesia sebagai produsen kopi terbesar keempat secara global, setelah Brazil, Kolombia dan Vietnam. Luas areal tanaman kopi tahun 2013 adalah terbesar ketiga setelah sawit dan karet.

Secara historis, kopi merupakan tanaman perkebunan yang sudah sejak jaman kolonial diusahakan di Indonesia. Kopi pertama kali masuk ke Indonesia di tahun 1696 melalui kedatangan Belanda ke Jakarta. Saat itu kopi yang masuk adalah kopi jenis arabika. Semenjak itu, kopi mulai dibudidayakan bukan hanya di Jakarta dan Jawa Barat saja tapi menyebar ke Sumatera, Bali dan kawasan Timur Indonesia. Kopi jenis arabika Indonesia mencapai kejayaan hingga pertengahan abad ke-19. Kopi Indonesia sangat terkenal karena mutunya yang baik, hingga sebutan ‘kopi jawa/java coffee” merupakan jaminan kualitas yang tinggi. Namun sejak terkena wabah hama di tahun 1876, kopi arabika digantikan dengan jenis liberika, yang juga kurang tahan hama dan rasanya yang kurang disukai karena terlalu asam. Upaya selanjutnya adalah mendatangkan jenis robusta di tahun 1900 dan terus berkembang di Indonesia hingga saat ini karena syarat pemeliharaan dan perawatan yang lebih ringan. Semenjak pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Indonesia, perkebunan rakyat terus berkembang di Indonesia, sedangkan perkebunan swasta hanya bertahan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Sumatera, dan perkebunan milik negara (PTPN) hanya tersisa di Jawa Timur dan Jawa Tengah.3)

1) Badan Pusat Statistik (BPS), Data Statistik Tabel Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja

menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2004-2014 diakses dari

http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/970, pada Juni 2015

2) International Coffee Organization (ICO), Historical Data Total Production diakses dari

(19)

Dengan demikian, areal perkebunan kopi didominasi perkebunan rakyat, begitu juga dengan produksinya. Pada tahun 2010, areal perkebunan kopi rakyat diperkirakan mencapai 96,07 persen dari total area penanaman kopi di Indonesia sedangkan produksi dari perkebunan rakyat mencapai 95,78 persen dari total produksi kopi, sedangkan produksi perkebunan negara dan swasta masing-masing hanya 2,05 persen dan 2,18 persen. Proporsi yang relatif sama juga diperkirakan terjadi di tahun 2011-2014. Hal ini menyebabkan perkebunan rakyat memainkan peranan vital dalam produksi kopi nasional. Di samping itu, karena area penanaman kopi tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang bukan termasuk wilayah perkotaan, sektor kopi berperan penting bagi pembangunan pedesaan. Sebagai contoh adalah Flores yang merupakan salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Kurang lebih sebanyak 30.000 petani menggantungkan hidup dari produk kopi sebagai penghasilan utama.4)

Menyadari pentingnya tanaman ini, maka berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang jenis komoditi tanaman binaan dan Keputusan Menteri Pertanian nomor 3399/Kpts/PD.310/ 10/2009 ditentukanlah kopi bersama 13 komoditas lainnya sebagai komoditas strategis unggulan nasional agar diprioritaskan untuk difasilitasi dan dikembangkan.

Kedua, kopi juga memiliki peran di sisi perdagangan. Kopi merupakan hasil pertanian yang diperdagangkan secara luas dan menjadi komoditas yang paling penting setelah minyak bumi. Saat ini, Indonesia merupakan salah satu pemasok kopi penting di dunia setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia. Proporsi produk kopi yang diekspor mencapai 67 persen dari total produksi dan sisanya untuk konsumsi domestik5). Ekspor kopi ditunjang oleh suplai yang besar. Di sisi lain, terdapat peluang dari tren impor kopi dunia yang berkembang dari US$ 9,52 trilyun di tahun 2001 menjadi US$ 36 trilyun di tahun 2013 6).

Menyadari akan potensi ekspor kopi, Kementerian Perdagangan mengkategorikan kopi sebagai salah satu dari sepuluh produk prospektif ekspor bersama dengan alas kaki; perhiasan; produk plastik; udang; ikan dan produk ikan;kakao dan olahannya; kerajinan; rempah-rempah; serta kulit dan produk kulit. Pemilihan sepuluh produk prospektif didasarkan pada nilai pertumbuhan ekspor yang tinggi dengan tren perdagangan positif selama lima tahun terakhir dan pangsa ekspor yang terus meningkat. Produk prospektif terus didorong ekspornya agar terus menyokong performa ekspor Indonesia secara keseluruhan.

3) Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Sejarah, diakses dari

http://www.aeki-aice.org/page/sejarah/id, pada Januari 2015

4) Ottaway, A Rapid Assesment of the Specialty Coffee Value Chain in Indonesia. USAID

diakses dari http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadl910.pdf, pada Januari 2015

5) Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Industri Kopi diakses dari

http://www.aeki-aice.org/page/industri-kopi/id, pada Januari 2015

6) Trademap, Impor Dunia untuk Produk dari Kelompok HS Heading 0901 dan HS 2101

(20)

Permasalahan

Dilihat dari kinerja secara keseluruhan, ekspor kopi Indonesia berfluktuasi baik sisi nilai dan volume (Gambar 1). Pertumbuhan kumulatif ekspor kopi selama 20 tahun (tahun 1994-2013) mencapai 111 persen, atau sebesar US$ 1,47 milyar di tahun 2013 (0,98 persen dari total ekspor non-migas Indonesia). Secara nilai, ekspor kopi meningkat rata-rata 5,61 persen per tahun selama periode 1994-2013, namun dalam perkembangannya beberapa kali mengalami perubahan tren.

Sumber : BPS, 2014 (diolah)

Gambar 1 Perkembangan ekspor kopi Indonesia periode 1994-2013

Tren pertama terjadi selama periode 1994-1998 saat nilai ekspor kopi berkisar antara US$ 753,63 juta – US$ 529,67 juta dengan kecenderungan penurunan 5,37 persen per tahun. Setelah itu, ekspor kopi Indonesia kembali turun ke nilai terendah di tahun 1999-2004. Ini merupakan periode dimana nilai ekspor kopi Indonesia mencapai nilai terendahnya sepanjang periode pengamatan. Dengan titik terendah di tahun 2001, sebesar US$ 203,54 juta, tahun 2002 nilai ekspor mulai naik pelan mencapai US$ 309,11 juta di tahun 2004. Pasca tahun 2004, nilai ekspor kembali naik, hingga pada tahun 2008, ekspor kopi menembus angka US$ 1,08 milyar. Tren selanjutnya adalah penurunan kembali di tahun 2009-2010, dan kenaikan pada tahun 2010-2013, hingga nilai ekspor kembali di atas US$ 1 milyar.

Pertumbuhan ekspor dari sisi nilai lebih tinggi dari pertumbuhan dari sisi volume yang tumbuh dengan rata-rata 3,57 persen per tahun selama periode 1994-2013. Volume ekspor berfluktuasi tiap satu hingga tiga tahun. Titik-titik terendah volume ekspor kopi antara lain di tahun 1995, 1997, 2001, 2007, dan 2011. Volume terendah tersebut juga direspon dengan nilai ekspor yang rendah, terkecuali tahun 2011, saat volume rendah, nilai ekspor justru menanjak naik.

Fluktasi yang tinggi pada nilai ekspor kopi selain disebabkan oleh hal teknis dan volume ekspor, juga disebabkan karena tingginya proporsi biji kopi (komoditas) dalam struktur ekspor kopi Indonesia (Jika dilihat dari jenis industrinya, kopi dibagi menjadi tiga kelompok produk, yaitu kopi biji, kopi sangrai dan kopi ekstrak. Pembagian ini berdasarkan pencatatan ekspor dalam Harmonized System yang disesuaikan dengan pohon industri kopi dan Standard

(21)

International Trade Classification. Konversi produk dalam pohon industri kopi, HS dan SITC dapat dilihat pada Lampiran 1). Selama periode 1994-2013, konsentrasi yang tinggi terhadap ekspor komoditas mencapai 79-99 persen dari total nilai ekspor kopi (Gambar 2). Konsentrasi bahkan lebih tinggi lagi di sisi volume, mencapai 81-99 persen dari total ekspor kopi. Walaupun mengalami penurunan pangsa, terutama sejak tahun 2010, namun ekspor kopi mengarah kepada kebergantungan ekspor komoditas.

Sumber : BPS, 2014 (diolah)

Gambar 2 Komposisi ekspor kopi Indonesia berdasarkan kelompok produk, periode 1994-2013

Ada beberapa resiko yang cenderung tidak menguntungkan bagi sektor kopi Indonesia bila terlalu bergantung pada komoditas. Salah satunya adalah dari segi harga. Komoditas kopi harganya ditentukan secara internasional dan sangat berfluktuasi. Secara historis, perkembangan produk kopi di dunia dibedakan dalam dua periode. Periode pertama yaitu dari tahun 1963-1989 dimana suplai kopi diatur oleh suatu badan ICO (International Coffee Organization) melalui berbagai perjanjian internasional kopi (International Coffee Agreements) yang mewakili seluruh negara produsen, termasuk Indonesia, dan sebagian besar negara konsumen dengan tujuan mengatur suplai dan menjaga kestabilan harga. Bentuk intervensi tersebut antara lain adalah kuota yang ditetapkan di tiga periode, yaitu 1963-1972, 1980-1986 dan 1987-1989. Periode kedua yaitu Pada akhir tahun 1989, saat kopi merupakan komoditas pertama yang diliberalisasi (sistem kuota tidak lagi diberlakukan). Implikasinya harga untuk komoditas kopi dibentuk melalui mekanisme pasar.

(22)

asosiasi ini menguasai 85 persen produksi biji kopi global. Namun sayangnya upaya ini tidak berhasil karena tidak semua negara, terutama di Amerika Latin bergabung, sehingga menciptakan ketidakefisienan kebijakan yang ditetapkan organisasi ini. Tren penurunan nilai ekspor kopi Indonesia pada periode 1994-1998 merupakan dampak dari ketidakstabilan akibat diberlakukannya mekanisme pasar tersebut.

(a) ICO composite indicator price

(b) Group indicator price

Sumber : ICO, 2015

(23)

Pada tahun 1999-2004, harga kopi mencapai level terendahnya semenjak periode mekanisme pasar (coffee crisis kedua) setelah sebelumnya bangkit dari coffee crisis pertama di tahun 1989-1993. Pada periode itu pula, ekspor kopi Indonesia turun di level terendahnya sepanjang periode pengamatan. Statistik harga internasional kopi mulai menunjukkan adanya kenaikan setelah tahun 2004, hingga mencapai puncaknya di tahun 2011 yang diperkirakan karena kondisi tingginya curah hujan membuat banyak bunga kopi mengalami kerontokan hingga panen kopi di negara produsen pun berkurang. Baik kenaikan maupun penurunan harga internasional tersebut terefleksi pada kinerja ekspor bji kopi Indonesia. Dengan demikian, kinerja ekspor kopi Indonesia banyak dijelaskan oleh faktor eksternal.

Dari sisi harga relatif, terms of trade (TOT) kopi sebagai komoditas terus menurun terhadap harga produk kopi olahan dan dengan demikian merugikan bagi pendapatan ekspor negara penghasil. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa terms of trade produk biji kopi Indonesia (yang diperoleh dari harga yang dibayarkan kepada petani) dengan produk olahan di beberapa negara tujuan terbesar yaitu Amerika, Jerman dan Inggris (yang ditunjukkan dari harga di tingkat retail) memang menunjukkan penurunan. Secara prakteknya, hal ini dibuktikan melalui coffee crisis. Saat melorotnya harga komoditas mempengaruhi petani dan negara produsen, kontrasnya, coffee crisis tidak dirasakan di sisi konsumen, dimana negara konsumen industri kopi terus berkembang dan keuntungan yang terus meningkat diperoleh pengolah di negara konsumen. Harga dan TOT seharusnya merupakan sinyal bagi peningkatan ekspor produk olahan. Namun demikian, dalam 20 tahun perkembangannya (tahun 1994-2013), ekspor kopi Indonesia mengarah pada kebergantungan terhadap komoditas. Dalam jangka panjang, resiko yang tinggi di on-farm, bergejolaknya harga dan TOT yang terus menurun akan menyebabkan insentif bagi suplai komoditas kopi semakin menurun. Ini akan mengancam produksi yang berkelanjutan (sustainable production) dan selanjutnya ke sisi perdagangan dan ekspor, sehingga hal ini mempengaruhi kinerja ekspor kopi Indonesia secara keseluruhan.

Keterangan: Harga yang dibayarkan pada petani tersedia hanya hingga tahun 2006 Sumber : ICO, 2015 (diolah)

(24)

Berdasarkan sudut pandang normatif, diversifikasi merupakan solusi mengatasi kebergantungan ekspor, peningkatan ekspor dan kemajuan ekonomi. Berbagai penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa salah satu keunggulan diversifikasi ekspor yaitu mengurangi resiko ekspor, seingga dapat mengatasi volatilitas dan menghasilkan stabilitas pemasukan ekspor yang lebih baik.

Untuk itu, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengapa terjadi kebergantungan ekspor komoditas kopi atau mengapa diversifikasi ekspor kopi di Indonesia kurang berhasil? Apakah ada potensi pengembangan ekspor kopi melalui diversifikasi ekspor kopi Indonesia? bagaimana bentuk diversifikasi ekspor di bidang kopi di Indonesia? dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya? Hal tersebut dapat menjadi dasar untuk menentukan saran kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja ekspor kopi Indonesia.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa bentuk diversifikasi ekspor kopi di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhi diversifikasi ekspor kopi di Indonesia sebagai dasar menentukan rekomendasi bagi peningkatan kinerja ekspor kopi Indonesia.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain :

1. Memberikan masukan bagi Pemerintah dalam menyusun strategi peningkatan ekspor produk kopi

2. Menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya

3. Memberikan informasi bagi pelaku usaha, terutama di bidang kopi

Ruang Lingkup Penelitian

Sejak tahun 1994, untuk pencatatan ekspor dan impor, Indonesia menggunakan sistem klasifikasi HS yang ditetapkan oleh WCO (World Custom Organization). Hal ini mengacu pada Keputusan Presiden Keppres No. 35 tahun 1993 yang kemudian ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan No. 81/KMK.05/1994 tanggal 16 Maret 1994. Sehubungan dengan hal tersebut, rentang waktu penelitian menggunakan data dari tahun 1994-2013.

(25)
(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teori

Kebergantungan Ekspor

Kebergantungan didefinisikan sebagai kondisi historis yang membentuk dunia menjadi struktur tertentu yang menguntungkan negara tertentu dan merusak negara lainnya serta membatasi kemungkinannya untuk berkembang dari kondisi pinggiran, sebuah situasi dimana ekonomi sekelompok negara tertentu ditentukan dan oleh pengembangan ekonomi negara lain yang menjadi subjek. Dalam hal ini, teori kebergantungan ekspor menggunakan pendekatan normatif.

Masalah kebergantungan ekonomi dibahas dalam berbagai paradigma yang berbeda. Salah satunya adalah teori kebergantungan (dependency theory) dalam ranah neo-marxis. Ekonom pendukung teori ini antara lain adalah Andre Gunder Frank, Paul Baran dan Samir Amin. Teori ini secara eksplisit membagi dunia sebagai sistem internasional menjadi dua bagian yang berbeda yaitu negara-negara maju (dominant/center/metropolitan) dan negara-negara berkembang/pinggiran (dependent/periphery/satellite).

Teori ini menjelaskan bahwa kebergantungan permanen yang terjadi di negara berkembang terhadap negara maju adalah karena kepentingan negara-negara metropolis tersebut sebagai pusat kapitalis dunia. Pertama kali dikembangkan di tahun 1960-an di Amerika Latin teori ini berdasarkan kondisi kemunduran Amerika Latin pasca tergabung dalam sistem ekonomi kapitalis. Negara maju mempertahankan hegemoninya dengan menjadikan negara berkembang sebagai negara pinggiran. Negara pinggiran ini dimanfaatkan sebagai produsen bahan mentah bagi kebutuhan industri mereka dan secara bersamaan menjadikan negara tersebut sebagai konsumen barang jadi hasil industri mereka. Dengan demikian terjadi struktur kebergantungan yang membuat negara pinggiran tidak bisa mandiri dan perkembangan ekonominya stagnan.

(27)

miskin dibanding membela kepentingan korporat; (5) Adanya kepentingan pribadi para elit di negara berkembang yang menjadi kaki tangan dalam melancarkan kepentingan negara maju walau harus mengorbankan rakyatnya sendiri (kompradorisasi). Para elit tersebut juga kadang berbagi pemikiran yang sama dengan negara maju melalui pelatihan dan pendidikan yang diberikan negara maju sehingga menjadi agen kapitalis.

Dalam hal ini, kondisi kebergantungan juga diyakini bersifat dinamis, sehingga memperluas sifat kapitalisme negara maju terhadap negara berkembang dari waktu ke waktu. Namun demikian, teori kebergantungan memiliki spektrum yang luas dan ada sebagian pendukung teori ini yang tidak mengidentifikasikan kapitalisme sebagai motor penggerak hubungan kebergantungan ini. Salah satu pemikirnya antara lain Raul Presbisch dan Hans Singer (Prebisch and Singer) di tahun 1950an.

Awalnya, Prebish dan Singer menguji data dalam rentang periode yang lama, sehingga dihasilkan kesimpulan yang berkaitan dengan terms of trade. Elastisitas pendapatan terhadap permintaan untuk produk manufaktur lebih besar daripada produk primer, terutama produk pangan. Dengan demikian, saat pendapatan meningkat, permintaan akan produk manufaktur meningkat pesat daripada permintaan untuk produk pangan. Hipotesis Prebish dan Singer ini mengemukakan bahwa karena terms of trade produk primer yang menurun, negara berkembang harus melakukan diversifikasi ekspor dengan mengurangi kebergantungan terhadap ekspor produk primer.

Dari penelitian tersebut didapatkan kesimpulan bahwa karena ketidakstabilan ekspor menyebabkan biaya yang substansial, dimana termasuk di dalamnya ketidakstabilan permintaan dan investasi yang lebih beresiko, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan membutuhkan peralihan dari ketergantungan terhadap sekelompok produk ekspor tertentu kepada diversifikasi yang cakupannya lebih luas. Cara yang dapat dilakukan untuk mendukung industri agar mau berinvestasi adalah dengan melakukan proteksi. Usulan yang dihasilkan dari hipotesis Prebisch dan Singer ini kemudian menjadi dasar dilakukannya strategi substitusi impor dan proteksi di negara berkembang.

Salah satu poin penting dari teori ini adalah negara pinggiran dapat berkembang dan mampu mengembangkan industrinya secara mandiri bila memiliki sedikit keterkaitan dengan negara kapitalis. Hal ini karena munculnya kawasan yang terbelakang adalah karena kawasan tersebut merupakan penghasil ekspor barang mentah primer yang tidak memperoleh keuntungan yang seharusnya melalui perdagangan internasional. Hubungan ini menjadi sangat timpang, karena negara kapitalis maju justru semakin meningkatkan industri, teknologi dan akumulasi modalnya. Dengan demikian, ada pihak yang menang dan kalah dalam perdagangan internasional. Teori kebergantungan ini, walaupun menjelaskan ekonomi secara keseluruhan, juga melibatkan sisi ekspor. Dengan demikian, kebergantungan ekspor pada negara maju dapat menyebabkan kebergantungan pada ekspor bahan mentah/komoditas.

(28)

konsentrasi/spesialisasi dalam produksi dan perdagangan. Konsentrasi menjadi antithesis dari diversifikasi sebagai salah satu solusi mengatasi kebergantungan negara berkembang terhadap negara maju yang diusung teori kebergantungan.

Awalnya, konsentrasi merupakan konsep yang diusung melalui keunggulan komparatif Adam Smith dan dikembangkan oleh David Ricardo. Model Ricardian mengemukakan bahwa suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan internasional bila melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Ini kemudian dikembangkan melalui model Heckscher-Ohlin yang menunjukkan bahwa perdagangan akan menguntungkan bila suatu negara melakukan spesialisasi kearah produksi barang ekspor yang menggunakan faktor produksi yang banyak dan murah. Ini merupakan teori-teori awal tentang perdagangan internasional atau sering disebut sebagai teori klasik.

Dalam perkembangannya, teori klasik diperbarui melalui new trade theory yang dipelopori Krugman di tahun 1980-an. Teori ini tetap mendukung spesialisasi dengan menyatakan bahwa bila suatu negara melakukan spesialisasi, volume ekspor akan meningkat dan akan mengalami skala ekonomi yang meningkat. Namun dengan dimensi geografis, skala ekonomis dalam teori ini menjelaskan tentang mengapa suatu negara tetap memperdagangkan suatu barang yang sama, baik ekspor maupun impor. Selain, dari skala ekonomi, diferensiasi produk menjadi salah satu argumen suatu produk yang sama bisa diekspor sekaligus diimpor oleh beberapa negara yang kemudian dijelaskan dalam intra industry trade. Diferensiasi tersebut tidak pernah menjadi pembahasan dalam teori sebelumnya karena asumsi homogenitasnya.

Model Gravitasi (Gravity Model) dalam Teori Perdagangan

Teori klasik perdagangan internasional tidak memiliki penjelasan terhadap zero-trade flows. Selain itu mengasumsikan bahwa tiap perusahaan memiliki tingkat produktivitas yang sama, hingga mengabaikan heterogenitas perusahaan-perusahaan di dalam suatu ekonomi. Asumsi lainnya mengenai arus simetris juga tidak cocok untuk menjelaskan arus bilateral antara dua negara. Pada kenyataannya, tiap perusahaan memiliki tingkat produktivitas yang berbeda.

Dengan tidak mengabaikan kondisi ini, Melitz (2003) membangun suatu kerangka teori baru melalui model dimana hanya melibatkan perusahaan yang melakukan ekspor dengan tingkat produktivitasnya yang tinggi. Ide yang mengawali pembentukan model ini adalah hanya perusahaan dengan produktivitas yang tinggi yang dapat menghasilkan keuntungan tinggi hingga bisa menutupi biaya tetap yang besar jumlahnya untuk aktivitas ekspor. Teori ini disebut sebagai “the new new trade theory” atau teori terkini perdagangan internasional.

(29)

Dalam kerangka nasional, hal ini akan meningkatkan produktivitas rata-rata di negara tersebut sehingga daya saing pun meningkat. (Gambar 5)

Keterangan : Visualisasi dari the new-new trade model Sumber : Amurgo Pacheco dan Pierola (2008)

Gambar 5. Ekspor dan firm heterogeneity berdasarkan tingkat biaya marjinal Menurut Melitz, perusahaan yang lebih produktif dan efisien memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengekspor daripada perusahaan kecil. Selanjutnya, semakin jauh letaknya dari pasar, tingkat harga juga akan semakin tinggi karena biaya perdagangan yang dibebankan. Dengan demikian, model yang dapat disusun secara matematis adalah sebagai berikut :

od = ………(1)

Volume perdagangan bilateral tersebut menyerupai model gravity, dengan Bd merupakan dimana Ed dapat diwakili oleh PDB negara importir dan no sebagai faktor endowment dari negara eksportir diwakili oleh PDB Negara pengekspor. sebagai biaya bilateral.

Gravity model menampilkan analisis empiris dari pola aliran perdagangan bilateral antara negara-negara yang berada pada daerah-daerah yang berbeda secara geografis. Gravity model pertama kali digunakan dalam analisis perdagangan internasional oleh Jan Tinberger pada tahun 1962 untuk menganalisis aliran perdagangan antara negara-negara Eropa. Nama model ini diambil dari bentuk dasarnya yang mampu memprediksi perdagangan berdasarkan pada jarak antar negara dan interaksi antara besarnya ukuran perekonomian antar negara. Hal ini mengikuti prinsip dari hukum gravitasi Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik antara dua obyek. Pada gravity model aliran perdagangan bilateral ditentukan oleh tiga kelompok variabel, yaitu :

1. Variabel-variabel yang mewakili total permintaan potensial negara pengimpor.

2. Variabel-variabel indikator total penawaran potensial negara pengekspor.

ax a0

Total Ekspor

Marginal Cost (a) Density Function

Export per Firm

Local Varieties

(30)

3. Variabel-variabel pendukung atau penghambat aliran perdagangan antar negara pengimpor dan negara pengekspor.

Pada umumnya gravity model dirumuskan sebagai berikut:

Tij = f (Yi, Yj, Fij) ………...…… (2) dengan :

Tij = Nilai aliran perdagangan dari negara i ke negara j, Yi = Gross Domestic Product negara i,

Yj = Gross Domestic Product negara j,

Fij = Faktor-faktor lain yang mempengaruhi perdagangan antara negara i dengan negara j.

Gravity model perdagangan antar dua negara berbanding lurus dengan massa perdagangan mitra dagang dan berbanding terbalik dengan jarak antara mitra dagang. Variabel tambahan seperti area fisik, populasi, keselarasan kultural, dan perbatasan bersama digunakan untuk memperjelas variabel massa ekonomi dan jarak sebagai multilateral resistance.

Teori Marjin Ekspor dalam Teori Pertumbuhan

Berdasarkan teori pertumbuhan (growth theory), pertumbuhan output dapat dipengaruhi oleh tiga hal yaitu teknologi, kapital/investasi dan tenaga kerja (Model Solow/Neoklasik). Dalam jangka panjang, peningkatan teknologi yang

melibatkan peningkatan kapital, dapat meningkatkan output. Dengan demikian, output akan meningkat pada level yang lebih tinggi (Gambar 6).

Sumber : Grossman dan Helpman, 1993

Gambar 6. Teori pertumbuhan neoklasik

(31)

secara agregat produktivitas meningkat, yang mana sesuai dengan teori pertumbuhan bahwa teknologi dan kapital dapat meningkatkan output. Dengan demikian, pada jangka panjang, produk ekspor baru menjadi solusi bagi pertumbuhan ekspor.

Peran produk baru terhadap ekspor dijelaskan dalam marjin ekspor yang dalam prosesnya dilakukan melalui dekomposisi ekspor. Hal ini ditujukan untuk menganalisis struktur ekspor baik produk maupun negara tujuan ke dalam marjin ekspor yang membagi pertumbuhan ekspor menjadi tiga kategori yaitu : (1) marjin intensif, pertumbuhan nilai dari produk lama yang menggambarkan konsentrasi; (2) marjin ekstensif atau pertumbuhan ekspor yang berasal dari produk baru yang mencerminkan diversifikasi; (3) marjin yang hilang, baik dari produk yang tidak bertahan sebagai produk ekspor. Dengan : ΔX = pertumbuhan ekspor; k = produk yang diekspor; K0 dan K1 = produk yang diekspor pada tahun 0 dan tahun 1. Dekomposisi marjin ekspor secara sederhana dapat dituliskan sebagai berikut :

………...(3)

Tinjauan Empiris

Produksi dan perdagangan kopi

Pembahasan mengenai ketergantungan antara lain dibahas dalam struktur pendapatan dari perdagangan kopi yang merupakan bagian dalam penelitian dalam ranah pembangunan baik ekonomi pembangunan, kelembagaan dan ekonomi politik. Salah satu pemicu pembahasan mengenai struktur pasar kopi adalah coffee crisis. Istilah ini mengacu pada anjloknya harga kopi sebagai komoditas di pasaran internasional semenjak terjadinya liberalisasi pasar untuk produk kopi dan kemudian anjloknya harga ini berdampak pada petani kopi, sebagai penanggung resiko terbesar. Petani kopi di negara berkembang umumnya tidak memiliki pendapatan lain di luar usaha tani kopinya, dengan anjloknya kopi, maka petani menjadi bertambah miskin dan pembangunan daerah menjadi gagal, terutama saat komposisi ekonomi suatu negara sangat bergantung pada satu komoditi tunggal, yaitu kopi.

(32)

Salah satu penelitian kritis lainnya mengenai coffee crisis adalah penelitian dari Oxfam International. Penelitian-penelitian dari Oxfam membahas tentang kemiskinan, bahayanya dan upaya mengatasinya termasuk di sektor kopi. Salah satunya adalah Gresser dan Tickell (2002) menyatakan bahwa coffee crisis, beranjak dari anjloknya harga komoditas kopi di pasaran internasional membawa masalah yang lebih serius, yaitu kemiskinan dan masalah fundamental lainnya yang menyeret negara produsen kepada masalah pembangunan manusia. Namun demikian, hal ini tidak tercermin dalam konsumsi kopi di tingkat konsumen akhir. Dengan kata lain, ada rantai yang hilang, dimana saat terjadi kemiskinan di pihak petani namun di sisi lain, perusahaan besar (roaster) justru memperoleh margin yang terus meningkat. Dengan demikian, ada perubahan struktur pendapatan dari komoditas kopi yang dihasilkan petani hingga nilai tambah yang dihasilkan industri yang semakin menekan petani.

Saran yang diutarakan adalah dengan menyelenggarakan a coffee rescue plan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, antara lain mengenai harga yang sepatutnya diterima petani dan harus diatas harga produksi (diselenggarakan melalui Fair Trade), peningkatan kualitas kopi dan perdangangan hanya kopi dengan standar kualitas tertentu (yang baik) dan kualitas tersebut harus terinformasikan dengan baik pada produk akhir. Saran ini juga bersesuaian dengan yang diungkapkan oleh Ponte (2002) yang mengungkapkan bahwa negara produsen perlu meningkatkan kualitas produksinya dengan berbagai upaya untuk menyelenggarakan hubungan langsung antara konsumen dan produsen sehingga kualitas dapat terinformasikan dengan baik dan produsen dibayarkan sebagaimana mestinya. Saran ini juga bersesuaian dengan resolusi ICO, agar kopi yang diperdagangkan secara internasional harus memiliki standar kualitas tertentu, sehingga kopi dengan kualitas buruk akan tereleminasi dari perdagangan internasional dan harga akan meningkat.

Daniels dan Petchers (2005) menekankan kepentingan petani kopi skala kecil. Setidaknya ada enam hal yang diidentifikasi sebagai hal yang paling dibutuhkan oleh petani skala kecil, yaitu : stabilitas harga, akses kepada sumber dana, akses pasar, pendampingan/bantuan teknis dalam peningkatan kualitas dan diversifikasi, penguatan organisasi dan partisipasi dalam debat internasional. Dengan demikian, penelitian-penelitian tersebut di atas menyetujui akan satu hal, yaitu bagaimana menyusun suatu strategi yang pro-poor yang dianggap menjadi strategi yang berkelanjutan (sustainable). Salah satu cara yang disepakati adalah dengan meningkatkan kualitas dan standar. Salah satu cara lainnya yang disebutkan adalah diversifikasi.

(33)

Volume ekspor didominasi kopi biji dan hanya menyisakan sedikit untuk kopi olahan, sementara perusahaan kopi internasional mendominasi pasar kopi olahan. Dampaknya adalah kopi Indonesia tidak mampu bersaing dan industri nasional tidak mampu mengembangkan produknya untuk pasar internasional. Saran yang disampaikan adalah Indonesia sebaiknya mempertimbangkan untuk mengurangi area penanaman kopi yang tidak produktif dan menggunakannya untuk tanaman lainnya serta meningkatkan kualitas produk kopi yang ditanam saat ini, yaitu kopi spesialti dan kopi organik di lahan yang sudah ada.

Anggraini (2006) dan Raharjo (2013) meneliti faktor yang menentukan ekspor kopi Indonesia. Anggraini (2006) menyatakan bahwa Amerika Serikat merupakan sasaran ekspor yang menarik karena merupakan negara konsumen kopi terbesar dunia. Saat krisis moneter terjadi di Indonesia, pada periode 1996-1998, impor kopi Amerika Serikat dari Indonesia justru meningkat tertinggi dibanding empat negara terbesar pengimpor kopi, walaupun menurun di dua tahun berikutnya. Variabel dependen yang diteliti adalah pendapatan per kapita Amerika Serikat (tidak signifikan), harga kopi dunia (berpengaruh signifikan), harga teh dunia (berpengaruh signifikan), konsumsi kopi Amerika Serikat tahun sebelumnya (berpengaruh signifikan), nilai tukar Dolar terhadap Rupiah (tidak signifikan), jumlah penduduk Amerika Serikat (berpengaruh signifikan) terhadap terhadap permintaan ekspor kopi Amerika Serikat dari Indonesia sebagai variabel independen. Argumentasi yang diberikan karena tidak signifikannya peningkatan pendapatan per kapita AS terhadap permintaan ekspor produk kopi Indonesia diduga karena faktor food safety dari produk Indonesia yang masih berstatus “not guaranteed to pass the FDA”. Dengan demikian, saran yang diberikan antara lain dengan memenuhi persyaratan terkait kualitas, memperkuat hubungan bilateral, kemudahan regulasi, promosi, serta diversifikasi baik produk maupun negara tujuan lain agar tidak mengalami kebergantungan.

Raharjo (2013) memberikan hasil estimasi variabel dependen pada pengolahan data panel terhadap ekspor kopi Indonesia ke delapan negara yaitu : Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Italia, Inggris, Malaysia, Singapura dan Aljazair. PDB riil, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, harga ritel kopi negara pengimpor memiliki pengaruh yang positif terhadap volume permintaan ekspor kopi Indonesia. sedangkan, variabel dummy krisis moneter tidak berpengaruh signifikan terhadap volume kopi Indonesia, ini membuktikan bahwa komoditas ekspor kopi merupakan tahan akan krisis.

Salah satu penelitian mengenai dampak sosial ekonomi terjadinya krisis kopi terhadap petani kopi di Indonesia antara lain Gunadi (2007). Lokasi yang diteliti adalah Pasemah, salah satu daerah penghasil yang membentang di tiga provinsi yaitu Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu. Hasil dari penelitian ini adalah meskipun petani kopi Indonesia sempat mengalami masa kejayaan hingga tahun 1980an, krisis kopi yang terjadi pada masa liberalisasi pasar menimbulkan dampak yang cukup serius bagi petani kopi di Pasemah. Untuk bertahan hidup petani mengubah pola konsumsi mereka. Beberapa mencari pekerjaan informal lainnya dan bahkan berurbanisasi ke Jabodetabek. Petani yang bertahan tetap mengusahakan kopi namun ada juga yang mendiversifikasikan jenis tanamannya.

(34)

soluble coffee, kopi bir (coffee beer), iced coffee mempunyai arti penting, karena dapat menjadi komoditas unggulan yang mempunyai daya saing tinggi di pasar internasional. Indonesia sebagai negara tropis disamping berpeluang untuk pengembangan produk diversifikasi kopi olahan tersebut diatas, juga berpotensi untuk pengembangan produk industri pengolahan kopi specialties. Lebih lanjut, penulis menyarankan dalam upaya pengembangan produksi kopi menjadi industri hulu dan hilir perlu adanya keseriusan dari pemerintah maupun dari pihak-pihak yang terkait, melalui sinkronisasi kebijakan antara pemerintah dengan industri pengolahan kopi; pengembangan lembaga riset khususnya penggunaan teknologi di bidang kopi untuk mendukung pengembangan produksi kopi dan industri kopi; pembentukan lembaga promosi khusus untuk mempromosikan produk kopi Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor dalam upaya meningkatkan akses pasar; meningkatkan investasi di industri kopi; dan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk pengembangan industri kopi dengan memberikan fasilitas sarana dan prasarana penunjang. Kustiari (2007) juga memberikan saran serupa, berupa kebijakan pemerintah yang pro-aktif dalam mempromosikan produk kopi Indonesia, peningkatan daya saing dan produktivitas, serta diversifikasi ekspor.

Diversifikasi Ekspor

Beberapa penelitian terdahulu memberikan ulasan bahwa harga, kualitas dan diversifikasi merupakan link bagi kelanjutan pengembangan kopi secara berkelanjutan. Namun pembentukan harga kopi sebagai komoditas adalah melalui mekanisme pasar. Tidak demikian halnya untuk produk selain biji kopi. Produk kopi olahan memiliki tingkat harga yang lebih baik dan dengan demikian dapat dikatakan diversifikasi ekspor merupakan salah satu cara dalam meningkatkan ekspor kopi.

Secara umum, literatur perekonomian umum lainnya memberikan prediksi tentang hubungan antara konsentrasi/kebergantungan ekspor, diversifikasi ekspor, pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Penelitian tersebut memberikan kesimpulan yang sama bahwa terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ekspor dan diversifikasi ekspor. Diversifikasi ekspor mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama bila diversifikasi produk ekspornya ke arah produk manufaktur.

(35)

Kedua, Imbs dan Wacziarg (2003) menyimpulkan bahwa level konsentrasi berubah seiring tingkat pendapatan per kapita. Ditunjukkan bahwa berbagai pengukuran konsentrasi secara sektoral mengukuti bentuk melengkung (U-shapped). Pada tahap awal, suatu negara harus menemukan keunggulan komparatifnya, dan saat industri mulai beroperasi, sampai suatu titik akan ditemukan ketidakefisienan yang akan menggeser produksi ke arah yang memiliki keunggulan komparatif. Dengan demikian, saat proses ekonomi dimulai, ekonomi justru lebih terdiversifikasi dan seiring dengan terjadinya pengembangan, proses menuju spesialisasi lebih mendominasi. Temuan yang sama juga dihasilkan Hesse (2008).

Hubungan diversifikasi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi juga banyak diteliti dalam penelitian lainnya, antara lain Chandra et al. (2007) serta Amiti dan Freund (2007) yang menghasilkan kesimpulan bahwa diversifikasi ekspor penting terutama untuk negara berkembang dan dengan itu dapat memicu peningkatan pertumbuhan ekonomi. Siregar dan Daryanto (2005) menyebutkan bahwa kinerja ekspor dapat dinilai dari laju pertumbuhan baik dari sisi nilai maupun volume. Namun selain laju pertumbuhan ekspor, sisi yang perlu diperhatikan adalah tingkat diversifikasinya, baik produk maupun negara tujuan ekspor. Pengembangan ekspor yang berhasil adalah jika laju pertumbuhan ekspor tinggi dan komposisinya tidak didominasi negara tertentu dan produk tertentu.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa diversifikasi ekspor sangat penting bagi negara berkembang. Bagaimana cara mengukur diversifikasi ekspor juga bervariasi dari tiap penelitian. Literatur terkini mengungkapkan cara pengukuran diversifikasi ekspor, yaitu melalui pembagian marjin ekspor kedalam marjin ekstensif dan marjin intensif. Tingginya marjin ekstensif menunjukkan tingginya diversifikasi dan marjin intensif yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat spesialisasi/konsentrasi. Pembagian marjin ekspor ini juga memiliki manfaat untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya perdagangan ke arah marjin tersebut.

Marjin ekspor

Marjin ekspor menjadi suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat struktur perdagangan suatu negara, apakah lebih terdiversifikasi atau lebih terkonsentrasi. Pengertian marjin ekspor menjadi berkembang dengan ditambahkannya dimensi geografis dalam pembagian marjin. Konsep geografis ini merupakan pengembangan dalam terminologi diversifikasi.

Marjin intensif digambarkan sebagai ekspor ke negara dan produk yang telah ada, sedangkan marjin ekstensif berupa ekspor ke negara baru dan atau produk baru. Pada Gambar 7, dapat dilihat bahwa kombinasi dimensi produk dan dimensi destinasi ekspor menghasilkan pengertian yang lebih luas terhadap marjin ekspor dan dapat menjelaskan bagaimana pertumbuhan atau penurunan ekspor dalam hubungannya dengan diversifikasi. Dalam hal ini, marjin ekstensif menggambarkan diversifikasi. Pada saat pertumbuhan ekonomi dihasilkan dari proporsi yang lebih besar pada marjin ekstensif, maka dapat dikatakan ekspor telah terdiversifikasi yang dapat dijadikan solusi kebergantungan ekspor.

(36)

jelas terhadap output, dalam arti, bisa saja terjadi pengalihan pasar, namun output tidak bertambah. Secara mikro, mungkin terjadi pergerakan pada struktur biaya namun pergerakannya horizontal hingga tidak sampai mengubah pola output. Oleh karena ini, bentuk diversifikasi ekspor semacam ini adalah solusi jangka pendek bagi kinerja ekspor.

Di sisi lain, bentuk marjin ekstensif yang mengikutsertakan produk baru, melibatkan peningkatan investasi dan teknologi. Dengan demikian, sesuai dengan teori pertumbuhan, selain meningkatkan ekspor juga dapat meningkatkan output dalam jangka panjang. Untuk itu, produk baru, terutama produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi (produk olahan) bisa menjadi solusi jangka panjang bagi pengembangan ekspor.

Destinasi Lama (DL) Destinasi Baru (DB) Produk Lama (PL) Marjin Intenstif Marjin Ekstensif Geografis

Produk Baru (PB) Marjin Ekstensif Produk Marjin Ekstensif Geografis dan Produk

Sumber : Amurgo-Pacheco dan Pierola, 2008 (diolah)

Gambar 7. Pembagian marjin ekspor berdasarkan produk dan destinasi

Tsivadze (2011) meneliti tentang diversifikasi ekspor di Georgia dengan menambahkan dimensi geografis ke dalam marjin ekstensif dan intensif. Hal ini seperti yang diteliti oleh Amurgo-Pacheco dan Pierola (2008) tentang pola diversifikasi ekspor negara berkembang. Tsivadze menggunakan data series 12 tahun dan Amurgo-Pacheco dan Pierola (2008) dengan 15 tahun dengan kesimpulan yang mirip bahwa marjin intensif berkembang dominan, menjelaskan 95 persen dari pertumbuhan ekspor. Dari marjin ekstensif, dimensi geografis lebih berperan penting terhadap pertumbuhan ekspor dibanding pertumbuhan produk.

Setelah mengurai marjin dan tingkat diversifikasi, dianalisis determinan yang mempengaruhi marjin tersebut dalam rangka menyusun rekomendasi meningkatkan kinerja ekspor. Hasil yang diperoleh selaras dengan penelitian Melitz (2003). Kesimpulan yang pertama, jarak sangat berperan penting dibandingkan dengan ukuran ekonomi negara tujuan. Yang kedua, reduksi tarif sangat berperan penting dalam peningkatan ekspor dan kerjasama perdagangan adalah yang paling penting dalam peningkatan ekspor ke negara tujuan.

(37)

dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, karena terbukti efektif dalam meningkatkan pendapatan per kapita.

Penelitian menarik lainnya mengenai diversifikasi adalah Besedes dan Prusa (2010). Penelitian ini menggunakan kerangka model Melitz yang mengedepankan pentingnya dimensi kebertahanan dari suatu hubungan perdagangan. Marjin ekstensif didefinisikan sebagai penciptaan partner baru dan pasar baru dan marjin intensif sebagai hubungan yang bertahan dan semakin diperdalam. Penelitian ini menggunakan metode survival function Kaplan-Meier yang menghasilkan kesimpulan bahwa banyak hubungan perdagangan yang sangat temporer (gagal dalam dua tahun) yang banyak terjadi dengan Negara berkembang. Namun demikian, penelitian ini tidak mengungkapkan alasan dibalik tidak suksesnya negara berkembang dalam mempertahankan hubungan perdagangannya, yang sangat penting dalam mendorong negara berkembang untuk berkembang di kedua marjin ekspor.

Diversifikasi ekspor di Indonesia

Alhayat (2012) meneliti tentang dekomposisi pertumbuhan dan diversifikasi ekspor non-migas Indonesia untuk mengetahui peran komponen pertumbuhan ekspor dan menganalisis struktur ekspor. Metode yang pertama adalah dekomposisi pertumbuhan ekspor menjadi produk baru, produk bertahan dan produk menghilang. Metode yang kedua adalah indeks feenstra atas pertumbuhan ekspor netto.Hasil yang diperoleh adalah marjin intensif menjelaskan 98 persen pertumbuhan ekspor. Dan Asia merupakan pasar paling penting bagi pertumbuhan ekspor non-migas. Kemungkinan rentang waktu penelitian yang sangat singkat, 2006-2010 yang mengarahkan penelitian hingga didapat kesimpulan demikian.

Kajian Alhayat tersebut mengikuti Amiti dan Freund (2007) yang menganalisa komposisi pertumbuhan Cina yang secara total tumbuh 450 persen dari tahun 1996-2006. Pertumbuhan tersebut salah satunya didukung oleh perubahan struktur ekspor dari produk agrikultur dan tekstil kearah elektronik dan produk manufaktur yang lebih canggih lainnya. Dari sisi produk, 5-15 persen pertumbuhan ekspor Cina dijelaskan melalui ekspor produk baru. Namun hampir seluruh pertumbuhan ekspor Cina ke Amerika dalam marjin intensif.

Tarman et al. (2011) dalam kajian diversifikasi ekspor meneliti tentang diversifikasi di pasar Asia dan Afrika untuk produk-produk konsumen Berbagai perhitungan digunakan yaitu Trade performance index (TPI), Export product dynamic (EPD), Constant market share analysis (CMSA) dan gravity model. Kesimpulannya pasar potensial di kawasan Afrika adalah Nigeria, Afrika Selatan, Aljazair, Mauritius dan Maroko; dengan seluruh empat kelompok komoditas yang diteliti menjadi unggulan. Untuk pasar di kawasan Asia adalah Saudi Arabia, Taiwan, Jordan, Oman dan Sri Lanka; dengan tiga kelompok komoditas unggulan yaitu perkebunan dan olahannya, perikanan dan olahannya, serta makanan dan minuman olahan. Salah satu tahapan dalam kajian ini adalah menghimpun informasi mengenai hambatan ekspor yang dialami oleh eksportir dalam melaksanakan usahanya melalui Focus Group Discussion (FGD).

(38)

terutama untuk negara berkembang. Banyak literatur, sejauh ini, berfokus pada identifikasi transmisi diversifikasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Manfaat yang diyakini bersama dalam berbagai literatur adalah bahwa negara berkembang cenderung terkonsentrasi untuk mengekspor produk yang terbatas, bersifat komoditi hingga memicu tingginya fluktuasi. Dalam hal ini, diversifikasi menciptakan pemasukan ekspor yang lebih stabil. Efek lainnya yang dilihat adalah spillover terhadap ekonomi sebagai hasil dari struktur produk yang lebih terdiversifikasi.

Hipotesis Penelitian

(39)
(40)

3 METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam model penelitian ini berupa data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif yang digunakan adalah data ekspor Indonesia untuk produk kopi dalam kategori HS sembilan dan sepuluh digit per negara selama periode 1994-2013 dan data konversi HS berupa tabel korelasi HS sembilan digit ke sepuluh digit (BTBMI 2007 dan BTKI 2012). Selain itu, data lainnya untuk analisis determinan diversifikasi ekspor antara lain mengikuti gravity equation, yaitu : PDB Indonesia, PDB negara tujuan, jarak ekonomis, tarif/perjanjian perdagangan (FTA) dan nilai tukar. Data PDB diperoleh dari WDI (World Development Indicator) Worldbank, jarak diperoleh dari website CEPII, data mengenai FTA diperoleh dari WTO dan website ASEAN dan nilai tukar diperoleh dari Worldbank. Mengikuti model Melitz, idealnya, data ekspor yang digunakan untuk mengukur level diversifikasi adalah data di tingkat perusahaan. Namun demikian, data mikro demikian tidak tersedia dan sangat sulit untuk memperolehnya melalui teknik pengambilan data primer. Dengan demikian, data yang akan digunakan adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan ITC Trademap. Selain itu, data kualitatif yang dibutuhkan berkaitan dengan perdagangan kopi umumnya diperoleh dari ICO (International Coffee Organisation) dan AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia).

Metode Analisis

Definisi Data

Tahap awal analisis adalah pendefinisian produk kopi dalam kegiatan ekspor. Ada beberapa metode yang dapat mendeskripsikan produk kopi dan turunannya. Dari kategori industri, umumnya digunakan pohon industri. Pohon industri merupakan gambaran skematis yang digunakan untuk mendefinisikan produk turunan apa saja yang dihasilkan dari tanaman kopi sebagai komoditas dalam tahapan proses pengolahan. Berdasarkan pohon industri kopi, produk kopi dan turunannya digambarkan melalui Lampiran 4. HS (Harmonized System) digunakan karena merupakan sistem pencatatan ekspor yang digunakan oleh Indonesia. Sistem ini merupakan klasifikasi produk yang dikembangkan untuk keseragaman dalam perdagangan internasional.

(41)

(preparation with the basis of coffee) dan coffee substitute. Dalam sistem HS, kelompok produk tersebut saling tumpang tindih kecuali biji kopi yang dapat dipisahkan dengan jelas. Contohnya HS 0901.22.100 (Coffee, roasted decaffeinate in powder form) yang dalam dapat berupa kopi sangrai, kafein rendah maupun bubuk. Dengan demikian, kopi sangrai, kopi kafein rendah dan kopi bubuk dikelompokkan dalam satu kelompok yang sama. Demikian juga untuk produk coffee substitute yang dalam perubahan HS sempat digabung dalam produk kulit kopi, sehingga dalam analisis dikelompokkan bersama dengan kopi ekstrak. Sedangkan kopi celup tidak tercatat dalam satu kode HS tersendiri.

Secara internasional kode HS seragam pada level enam digit (sub-heading). Namun demikian, tiap negara dapat memperluas klasifikasi hingga sepuluh digit untuk keperluan tertentu. Klasifikasi menurut sistem HS menggunakan kode yang semakin rinci definisi produknya dengan semakin banyak digit kode yang digunakan. Pada kelompok HS yang sama, kelompok dengan nilai lebih kecil umumnya memiliki tingkat pengolahan yang lebih rendah. Pada pos tarif nasional, Indonesia menggunakan tarif sembilan digit dari awal pencatatan ekspor, yaitu tahun 1994 yang kemudian dikonversi secara menyeluruh menjadi HS sepuluh digit di tahun 2008. Selain konversi HS total, konversi HS yang terjadi sepanjang 1994-2013 adalah konversi parsial. Dengan demikian, pencatatan dan analisis didasarkan pada produk yang mengakomodir perubahan. Produk yang dirinci akan dianalisis sebagai produk gabungan yang berasal dari perubahan HS yang sama.

Pengelompokkan dengan sistem HS dilanjutkan dengan penggunaan SITC (Standard International Trade Classification) yaitu sistem klasifikasi barang ekspor dan impor yang dikembangkan untuk keperluan analisis industri. Pengelompokkan dari sisi industri menggunakan SITC rev. 4. Sistem pengklasifikasian ini dibuat oleh United Nations (UN) berdasarkan alur produksi, industri dan teknologi dan ditujukan untuk analisis, namun berdasarkan pencatatan HS. Ada empat sampai lima digit dalam SITC rev. 4 yang menyatakan dengan semakin banyak digit maka deskripsi industri semakin rinci. Jika suatu produk memiliki kode SITC yang sama maka produk tersebut memiliki keterkaitan dalam industri yang sama, terutama pada digit keempat. Produk kopi dan turunannya yang tercatat dalam neraca ekspor dijelaskan dalam tiga kelompok produk berdasarkan sifat industrinya yaitu kopi biji (green bean), kopi sangrai (roasted coffee) dan kopi ekstrak (extract coffee). Adapun pengelompokkan produk kopi ditampilkan pada Lampiran 1.

Dekomposisi Ekspor

Marjin intensif diartikan sebagai ekspor produk lama ke destinasi lama. Keadaan ini mengindikasikan konsentrasi/spesialisasi ekspor. Di sisi lain keberadaan marjin ekstensif menandakan terjadinya diversifikasi ekspor. Dalam penelitian sebelumnya, antara lain Amurgo-Pacheco dan Pierola (2008) serta Tsivadze (2011), marjin ekstensif diperluas kembali menjadi ekstensif geografis dan ekstensif produk sebagaimana digambarkan dalam Gambar 7.

(42)

PB adalah produk yang diekspor paling tidak lima kali setelah tahun 1995. Sedangkan Tsivadze (2011) dengan periode penelitian tahun 1996-2008, mengkategorikan PL adalah produk yang diekspor dua kali dalam tiga tahun terakhir, dan PB sebagai produk yang diekspor sekali dalam tiga tahun terakhir dan paling tidak dua kali dalam tiga tahun berikutnya. Hal tersebut juga berlaku untuk penentuan DL dan DB. Keduanya menggunakan definisi statis dalam penentuan PL dan PB serta DL dan DB.

Dilihat dari sifat data, penelitian Tsivadze kurang cocok untuk penelitian ini, karena menggunakan pengertian sempit kategori PL, PB, DL dan DB untuk Georgia yang memiliki struktur ekspor yang sempit. Dengan demikian, definisi data lebih mengikuti penelitian Amurgo-Pacheco dan Pierola. Penelitian ini menggunakan periode data 20 tahun. Tahun 2003 dijadikan tahun patokan sehingga membagi data menjadi dua bagian. PL didefinisikan sebagai produk yang muncul sebelum tahun 2003 dan PB paling tidak muncul lima kali di tahun 2003 dan seterusnya, baik berkesinambungan atau tidak. Hal ini mempertimbangkan siklus produk baru dan secara implisit penetrasi pasar ekspor dalam periode yang diamati seperti yang diungkapkan dalam Besedes dan Prusa (2010). Sepuluh tahun dipertimbangkan sebagai periode yang cukup relevan bagi pengembangan produk ekspor dan produk baru bertahan di pasar ekspor rata-rata selama dua tahun. Hal ini juga dilakukan untuk kategori DL dan DB.

Tahap awal yang dilakukan dalam dekomposisi ekspor adalah memisahkan PB dan PL dalam struktur ekspor Indonesia berdasarkan definisinya masing-masing dan dilanjutkan dengan pemisahan antara DL dan DB. Hal ini dilakukan karena umumnya produk pertanian bersifat demand driven, dengan asumsi ini maka muncul asumsi selanjutnya yaitu produk terlebih dahulu hadir dari destinasi ekspor, dan bukan sebaliknya. Ini juga mengarahkan tahap dekomposisi sesuai dengan Melitz (2003), yaitu perusahaan skala nasional yang telah memiliki produk dapat menciptakan pasar ekspor baru dengan peningkatan produktivitas. Dengan demikian, secara otomatis, PB yang didefinisikan per kategori HS 10 digit akan menghasilkan DB untuk produk tersebut. Sedangkan PL dapat menghasilkan baik DB maupun DL. Selanjutnya, kategori PBDB, PBDL dan PLDB diperhitungkan sebagai komponen marjin ekstensif yang menandakan diversifikasi baik produk dan maupun destinasi.

Model Persamaan

Analisis ekonometrika dengan regresi data panel gravity digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi arus diversifikasi ekspor kopi antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor. Dalam model gravity sederhana, perdagangan antara negara i dan negara j bersifat proporsional terhadap ukuran ekonomi dan berbanding terbalik dengan jarak, yang menjadi proksi bagi biaya transportasi diantara kedua negara. Secara umum digambarkan seperti berikut:

(43)

kedua negara. Model gravity semakin berkembang dan diperluas dalam menjelaskan arus perdagangan bilateral yang dapat dituliskan sebagai berikut :

………(5) Dimana adalah ekspor antara negara i dan j pada periode tertentu; adalah GDP untuk negara i; adalah GDP untuk negara j; adalah jarak geografis antara negara i dan j; dan adalah Trade Policy Index (dapat berupa kebijakan perdagangan). Adapun variabel dependen dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :

1. Variabel yang mewakili total permintaan potensial negara pengimpor. Beberapa alternatif yang dapat digunakan dalam menggambarkan total permintaan potensial negera pengimpor antara lain adalah GDP, populasi, GDP per kapita dan gabungan antara ketiganya. Representasi yang umum digunakan terhadap variabel total permintaan adalah pendapatan. Dalam penelitian ini digunakan GDP negara tujuan, karena selain merepresentasikan pendapatan, variabel ini merepresentasikan ukuran pasar di negara tujuan. Bachetta et al. (2007) menyebutkan bahwa sesuai dengan implikasi dari Armington Assumption, maka setiap produk diperdagangkan dan tiap negara melakukan perdagangan internasional dan dalam ekuilibrium, pendapatan nasional merupakan jumlah permintaan terhadap produk baik impor maupun domestik untuk setiap produk yang unik dan diproduksi tiap negara. Dengan alasan inilah, negara yang lebih besar (dalam ukuran ekonomi) akan mengimpor dan mengekspor lebih banyak.

2. Variabel indikator total penawaran potensial negara pengekspor. GDP negara asal merupakan pendekatan yang paling umum dan paling baik digunakan untuk menggambarkan sisi suplai. Namun demikian, selain GDP juga dimungkinkan untuk menggunakan nilai tambah (value added). Nilai tambah merupakan suatu pendekatan yang baik untuk menggambarkan diversifikasi produk, yang mewakili output tambahan yang dihasilkan dalam memproduksi barang yang lebih tinggi nilai ekonomisnya. Namun ada beberapa persyaratan untuk menggunakan nilai tambah. Kondisi pertama yaitu komposisi konten lokal. Saat komposisi konten lokal dan impor tidak berubah dimungkinkan untuk menggunakan nilai tambah. Namun demikian, data untuk kategori spesifik ini tidak tersedia. Kondisi yang kedua, untuk suatu kawasan dimana jaringan produksi sedang berkembang, penggunaan nilai tambah kurang sesuai. Dengan demikian, dalam penelitian ini GDP negara asal (GDP Indonesia) lebih sesuai untuk menggambarkan potensi penawaran diversifikasi ekspor kopi Indonesia. Selain itu, GDP Indonesia mewakili tingkat pertumbuhan ekonomi, dengan asumsi sesuai Imbs dan Wacziarg (2003) dan Hesse (2008), tingkat pertumbuhan ekonomi dapat mendorong tingkat efisiensi dan spesialisasi suatu negara.

(44)

hubungan antara economic of scale, efek aglomerasi dan perdagangan internasional. Krugman (1980) menambahkan biaya transportasi sebagai faktor yang mempengaruhi perdagangan internasional. Dengan demikian, Krugman (1991) menyimpulkan bahwa tidak ada pertentangan tentang asumsi pengaruh aspek geografis terhadap ekonomi secara eksternal serta bahwa secara alami, jarak mempengaruhi perdagangan melalui biaya transportasi dan bukan lainnya. Namun demikian, penggunaan jarak absolut geografis menjadi tidak relevan dalam menggambarkan biaya transportasi perdagangan antar negara, dengan demikian, penggunaan variabel jarak relatif semakin berkembang. Jarak ekonomi merupakan salah satu bentuk jarak relatif yang sering digunakan dengan pendekatan porsi GDP suatu negara terhadap kawasannya. Ide yang tertuang adalah bahwa perkembangan suatu negara akan membawa efek terhadap negara tetangga di kawasannya dan sebaliknya yang juga menjadi indikasi seberapa besar integrasi suatu negara dengan kawasannya secara ekonomi.

Kerjasama/perjanjian perdagangan digunakan sebagai pendekatan yang menggambarkan hambatan baik tarif maupun non-tarif. Hambatan tersebut secara empiris terbukti mempengaruhi arus perdagangan antar negara dengan efek yang berbeda-beda. Kerjasama perdagangan dalam hal ini digambarkan dalam bentuk dummy, yang terutama menjadi alternatif utama karena tidak tersedianya data lengkap sepanjang periode pengamatan untuk Lebanon. Variabel nilai tukar juga telah terbukti secara empiris mempengaruhi aliran perdagangan antar negara. Secara teori, nilai tukar memberikan dampak pada harga relatif. Penggunaan nilai tukar pada model memungkinkan pembahasan hasil terkait daya saing yang menyangkut harga (price competitiveness). Nilai tukar yang dipergunakan umumnya adalah nilai tukar riil yang memperhitungkan tingkat harga domestik. Namun karena tidak tersedianya data consumer price index sebagai ukuran tingkat harga domestik untuk Lebanon, maka nilai tukar nominal merupakan alternatif yang digunakan dalam penelitian ini.

Dengan demikian, model yang digunakan dalam penelitian ini dapat dituliskan sebagai berikut :

Log(Xdit) = α + β1 Log(GDP_dt) + β2 Log(GDP_it) + β3 Log(cur) + β4

Log(ECODIS_di) + β5 AGREE + ԑijt ………..………. (5)

Dengan :

Xdit = nilai ekspor pada marjin ekstensif dari Indonesia ke Negara tujuan-d, untuk produk i dalam kategori HS 10 digit di tahun-t GDP_dt = GDP Negara tujuan di tahun-t

GDP_it = GDP Indonesia di tahun-t

cur = nilai tukar nominal antara Rupiah dan mata uang negara tujuan ECODIS_d = jarak ekonomi antara Indonesia dan Negara tujuan-d dengan rumus matematis sebagai berikut :

……… (6)

Gambar

Gambar  2     Komposisi ekspor kopi Indonesia berdasarkan kelompok produk,
Gambar 3  Harga internasional komposit biji kopi berdasarkan jenis
Gambar 6.  Teori pertumbuhan neoklasik
Gambar 7. Pembagian marjin ekspor berdasarkan produk dan destinasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengetahui efisiensi , heat rate , dan konsumsi bahan bakar spesific (SFC) pada setiap beban yang berbeda maka akan diketahui pengaruh variasi beban

Strategi yang digunakan General Culture dalam membangun Brand Image melalui Kekuatan produk yaitu dengan melakukan suatu promosi menggunakan media sosial seperti Instagram,

Ada beberapa metode yang digunakan untuk mengambil nilai tegangan AC dan DC pada sensor, untuk sensor tegangan AC menggunakan metode sampling sebanyak 300 buah

Hasilnya belum didapatkan titik kejenuhan amonium sulfat untuk mengendapkan enzim bromelin dari bonggol nanas namun pengendapan tertinggi terjadi pada konsentrasi 60 %

Dari 287 isolat Actinomycetes yang diisolasi dari 79 sampel tanah yang diambil dari 5 tempat yang berbeda, diketahui bahwa sebanyak 166 isolat mampu menghambat pertumbuhan

Dari hasil output SPSS pada hasil uji simultan diperoleh hasil bahwa secara simultan variabel Luas Lahan (X1), Jumlah Produksi (X2) dan Biaya Usaha Tani (X3) berpengaruh

Laju pertumbuhan rumput laut yang terdiri dari dua faktor yaitu bobot bibit dan jarak tanam yang masing-masing memiliki tiga perlakuan, sehingga untuk mengetahui pengaruh dari

Hal ini berbeda dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merumuskan konsep desentralisasi sebagai “pelimpahan wewenang, dimana dalam ketentuan Pasal 1 angka (7)