• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efisiensi dan Pendapatan Usahatanai Cabai Keriting di Desa Perbawati Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efisiensi dan Pendapatan Usahatanai Cabai Keriting di Desa Perbawati Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi Jawa Barat"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

EFISIENSI DAN PENDAPATAN USAHATANI CABAI

KERITING DI DESA PERBAWATI KECAMATAN

SUKABUMI KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

RISZA ASTARI SAFUTRI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Cabai Keriting di Desa Perbawati Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014

Risza Astari Safutri

(4)
(5)

ABSTRAK

RISZA ASTARI SAFUTRI. Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Cabai Keriting di Desa Perbawati Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Dibimbing oleh RATNA WINANDI.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dan pendapatan usahatani cabai keriting. Fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk mengetahui pengaruh penggunaan faktor-faktor produksi, sedangkan untuk mengetahui tingkat pendapatan petani cabai keriting keriting di daerah penelitian digunakan ukuran pendapatan dan keuntungan. Hasil analisis menunjukkan bahwa lahan dan fungisida berpengaruh nyata terhadap produksi cabai keriting keriting. Faktor-faktor produksi yang digunakan belum mencapai nilai optimalnya sehingga secara ekonomis usahatani cabai keriting keriting di Desa Perbawati belum efisien. Hasil dari perhitungan pendapatan dan rasio R/C menunjukkan bahwa usahatani cabai keriting keriting di Desa Perbawati menguntungkan dan layak diusahakan.

Kata kunci: efisiensi, pendapatan, cabai keriting, faktor produksi

ABSTRACT

RISZA ASTARI SAFUTRI. Efficiency and Income of Curly Chili Farming at Desa Perbawati Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi West Java. Supervised by RATNA WINANDI.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi dan Manajemen

EFISIENSI DAN PENDAPATAN USAHATANI CABAI

MERAH DI DESA PERBAWATI KECAMATAN SUKABUMI

KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

RISZA ASTARI SAFUTRI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Cabai Keriting di Desa Perbawati Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi, Ibu Dr Ir Netti Tinaprilla, MM dan Ibu Anita Primaswari Widhiani, Sp, MSi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Yana dari Badan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Sukabumi, serta seluruh petani cabai keriting di Desa Perbawati yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga dan teman-teman, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA 9

Efisiensi Usahatani 9

Pendapatan Usahatani 10

KERANGKA PEMIKIRAN 11

Kerangka Pemikiran Teoritis 11

Konsep Fungsi Produksi 11

Konsep Efisiensi 14

Konsep Pendapatan Usahatani 15

Kerangka Pemikiran Operasional 17

METODE PENELITIAN 18

Lokasi dan Waktu Penelitian 18

Jenis dan Sumber Data 19

Metode Penentuan Responden dan Pengumpulan Data 19

Metode Pengolahan dan Analisis Data 21

Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglas 21

Analisis Efisiensi Produksi 26

Analisis Pendapatan Usahatani 27

Definisi Operasional 29

HASIL DAN PEMBAHASAN 30

SIMPULAN DAN SARAN 56

Simpulan 56

Saran 57

DAFTAR PUSTAKA 57

LAMPIRAN 60

(14)

DAFTAR TABEL

1 Nilai produk domestik bruto (PDB) komoditas hortikultura berdasarkan harga berlaku di Indonesia tahun 2007-2010 1 2 Perkembangan luas panen, jumlah produksi dan produktivitas cabai

merah Indonesia tahun 2009-2012 2

3 Luas panen, produksi, dan produktivitas cabai merah di Indonesia

menurut provinsi Tahun 2012 3

4 Perkembangan luas panen, jumlah produksi dan produktivitas cabai

merah Jawa Barat tahun 2009-2012 4

5 Produksi cabai merah tahun 2008-2010 menurut kecamatan di

Kabupaten Sukabumi 7

6 Potensi usahatani berdasarkan komoditas unggulan di Kecamatan

Sukabumi 19

7 Ukuran pendapatan dan keuntungan usahatani cabai keriting 28 8 Sebaran responden menurut usia petani cabai keriting di Desa

Perbawati tahun 2014 32

9 Sebaran responden menurut pendidikan formal petani cabai keriting di

Desa Perbawati tahun 2014 33

10 Sebaran responden menurut jumlah tanggungan keluarga petani cabai

keriting di Desa Perbawati tahun 2014 34

11 Sebaran responden menurut luas lahan garapan petani cabai keriting

di Desa Perbawati tahun 2014 34

12 Pendugaan model 1 fungsi produksi cobb-douglass cabai keriting

dengan analisis regresi 41

13 Pendugaan Model 2 fungsi produksi cobb-douglass cabai keriting

dengan analisis regresi 42

14 Rasio Nilai Produk Marjinal (NPMx) dengan Harga (Px) Usahatani

Cabai keriting di Desa Perbawati 47

15 Penggunaan tenaga kerja untuk setiap kegiatan usahatani cabai keriting di Desa Perbawati per musim tanam per 0,43 hektar 51 16 Komponen biaya usahatani cabai keriting per hektar pada musim

tanam 2014 52

17 Rata-rata ukuran pendapatan dan keuntungan pada usahatani cabai keriting di Desa Perbawati per hektar per musim tanam 2014 54

DAFTAR GAMBAR

1 Konsumsi cabai merah per kapita tahun 2008-2012 (kg/tahun) 3 2 Perkembangan harga cabai merah (Rp/kg) di tingkat pedagang besar

tahun 2008-2012 5

3 Fungsi produksi klasik dan tiga daerah produksi 13 4 Kerangka pemikiran operasional usahatani cabai keriting 18 5 Pola tanam tumpang sari cabai keriting dengan sawi dan tomat serta

tumpang gilir sawi dan tomat 24

(15)

8 Jarak dan Pola Tanam Cabai keriting di Desa Perbawati 38

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rincian penerimaan setiap petani responden pada usahatani cabai

keriting di Desa Perbawati 60

2 Penggunaan input-input pada usahatani cabai keriting di Desa

Perbawati 61

3 Rincian penggunaan tenaga kerja per petani pada usahatani cabai

keriting di Desa Perbawati 63

4 Biaya penyusutan per musim tanam pada usahatani cabai keriting di

Desa Perbawati 65

5 Output minitab Model 1 68

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya alam hayati yang berlimpah sehingga berpotensi dalam pengembangan sektor pertanian. Pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting sebagai penghasil komoditi yang dapat memenuhi kebutuhan pangan dan menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat Indonesia karena sebesar 40,5 persen masyarakat Indonesia bermata pencaharian sebagai petani (BPS Juli 2013). Pada tahun 2012, sektor pertanian menempati urutan kedua setelah industri pengolahan dalam memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku. Sektor pertanian terdiri dari beberapa subsektor, yaitu subsektor perkebunan, pangan, dan hortikultura. Subsektor hortikultura menempati posisi strategis dalam pembangunan pertanian. Menurut data Direktorat Jenderal Hortikultura (2013) nilai PDB dari subsektor hortikultura khususnya komoditas sayuran, dari tahun 2007 hingga 2010 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dan menempati urutan kedua setelah komoditas buah-buahan (Tabel 1). Selama tahun 2007-2010 tersebut nilai PDB sayuran meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 6,94 persen pertahun, lebih besar daripada komoditas buah-buahan yang hanya mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 2,64 persen pertahun.

Tabel 1 Nilai produk domestik bruto (PDB) komoditas hortikultura berdasarkan harga berlaku di Indonesia tahun 2007-2010

No Komoditas Nilai PDB (Dalam Milyar Rupiah)

2007 2008 2009 2010

1 Buah-buahan 42.362 47.060 48.437 45.482

2 Sayuran 25.587 28.205 30.506 31.244

3 Tanaman hias 4.741 5.085 5.494 3.665

4 Biofarmaka 4.105 3.853 3.897 6.174

Total 76.795 84.203 88.334 86.565

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2013)

(18)

Luas panen, jumlah produksi maupun produktivitas cabai merah di Indonesia berkembang dengan baik (Tabel 2). Hal tersebut terlihat dari laju pertumbuhan rata-rata yang secara umum menunjukkan laju yang positif yaitu 1,19 persen pertahun untuk luas panen dan 6,56 persen pertahun untuk produksi serta 5,32 persen pertahun untuk produktivitas. Walaupun secara umum perkembangan luas panen, jumlah produksi dan produktivitas cabai merah di Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata dengan laju yang positif, namun pada tahun 2010 produksi cabai merah nasional mengalami penurunan sebesar 3,6 persen padahal luas panen meningkat sebesar 1,37 persen sehingga menyebabkan tingkat produktivitas menurun sebesar 4,9 persen dibandingkan dengan tahun 2009. Menurut Direktur Pangan dan Pertanian (2014), meskipun produksi cabai rata-rata per tahun meningkat sangat cepat, harga cabai seringkali berfluktuasi karena produksi bersifat musiman, dimana harga turun pada musim panen dan harga naik di luar musim panen. Untuk stabilisasi pasokan dan harga cabai, perlu dilakukan perbaikan manajemen serta teknologi produksi.

Tabel 2 Perkembangan luas panen, jumlah produksi dan produktivitas cabai merah Indonesia tahun 2009-2012

Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia (2014)

(19)

Gambar 1Konsumsi cabai merah per kapita tahun 2008-2012 (kg/tahun)

Sumber : Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas (2014)

Setiap provinsi di Indonesia, memiliki tingkat produktivitas yang berbeda-beda tergantung dari varietas cabai merah serta kesesuaian kondisi lahan dan teknologi yang digunakan. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang menjadi sentra produksi cabai merah nasional. Pada tahun 2012 produksi cabai merah di Jawa Barat sebanyak 291.907 ton atau sebesar 17,62 persen dari total produksi nasional (Tabel 3). Jawa Barat mempunyai potensi sumber daya yang sangat mendukung untuk pengembangan cabai merah, terlihat dari luas panen bagi komoditas cabai merah yang mencapai 22.927 ha pada musim tanam 2012. Produktivitas cabai merah di Jawa Barat sebesar 12,73 ton/ha lebih tinggi dari produktivitas rata-rata nasional sebesar 6,84 ton/ha.

Tabel 3 Luas panen, produksi, dan produktivitas cabai merah di Indonesia

Indonesia 242.366 1.656.615 6,84 100,00

Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia (2014)

(20)

tahun 2012. Penurunan luas panen bisa terjadi karena semakin beralihnya lahan pertanian ke-non pertanian untuk kebutuhan perumahan, perkantoran, lokasi industri yang diakibatkan oleh semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk dan industri. Pada tahun 2010 terjadi penurunan produksi sebesar 22,93 persen, padahal luas panennya mengalami peningkatan sebesar 12,39%. Penyebab dari penurunan produksi selain diakibatkan oleh penurunan luas tanam cabai merah, juga bisa diakibatkan oleh faktor-faktor lain diluar penurunan luas lahan seperti faktor cuaca maupun tingkat efisiensi produksi petani yang masih kurang baik. Tabel 4 Perkembangan luas panen, jumlah produksi dan produktivitas cabai

merah Jawa Barat tahun 2009-2012

Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia (2014)

(21)

Gambar 2 Perkembangan harga cabai merah (Rp/kg) di tingkat pedagang besar tahun 2008-2012

Sumber: Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas (2014)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam dua bulan terakhir yaitu bulan Januari dan Februari, baik cabai rawit maupun cabai merah memberikan andil terhadap inflasi. Pada bulan Januari 2014 cabai rawit dan cabai merah masing-masing memberikan andil inflasi sebesar 0,02 persen dan 0,08 persen; sementara pada bulan Februari 2014 cabai rawit dan cabai merah memberikan andil terhadap inflasi masing-masing sebesar 0,03 persen dan 0,10 persen. Pemerintah terus berupaya menjaga stabilitas harga dan ketersediaan cabai guna menjaga tingkat margin yang wajar bagi petani, serta stabilitas harga di tingkat konsumen dengan cara menjaga ketersediaan pasokan dari beberapa sentra produksi seperti daerah Sukabumi, Ciamis, dan Tasikmalaya1. Fluktuasi harga yang terjadi merugikan banyak pihak termasuk petani karena perlindungan harga di tingkat petani yang masih sangat rendah2. Oleh karena itu, fluktuasi harga yang terjadi sangat mempengaruhi penerimaan yang diterima oleh petani sehingga dapat menyebabkan adanya perbedaan tingkat pendapatan usahatani.

Perumusan Masalah

Ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dengan jumlah permintaan yang dibutuhkan konsumen merupakan faktor penyebab utama terjadinya fluktuasi harga pada komoditas pertanian (Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas 2014). Cabai merah termasuk salah satu komoditas utama pertanian di Indonesia yang mendapat perhatian karena fluktuasi harganya cukup besar dan bahkan mempengaruhi inflasi. Fluktuasi harga yang terjadi pada komoditas cabai merah disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya karena produksi yang bersifat

1

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. 28 Maret 2014. Berbicara dalam

http://setkab.go.id/berita-12595-pemerintah-terus-upayakan-stabilisasi-harga-dan-pasokan-cabe.html [di akses tanggal 31 Maret 2014]

2

Meteri Pertanian Suswono. 18 Maret 2014. Berbicara dalam

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read /news/2014/03/18/195106 [diakses tanggal 31 Maret

Perkembangan harga cabai merah (Rp/kg)

Cabai merah keriting

(22)

musiman dimana harga turun pada saat musim panen dan harga naik di luar musim panen. Faktor lain yang menyebabkan fluktuasi harga pada komoditas cabai merah yaitu distribusi produksi antar wilayah yang sebagian besar terpusat di wilayah Jawa dan Bali (55%) dan wilayah Sumatera (34%), sisanya sebanyak sebelas persen (11%) menyebar di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas 2014). Transportasi dan kondisi iklim menjadi kendala yang menghambat proses pendistribusian cabai merah sehingga terjadi kenaikan harga. Selain itu, konsumsi cabai di Indonesia sebagian besar masih dalam bentuk cabai segar. Cabai segar tidak dapat disimpan sebagai stok karena memiliki sifat yang mudah busuk (perishable), hal ini menyebabkan pasokan atau suplai cabai merah menjadi tidak stabil sehingga terjadi fluktuasi harga.

Menurut Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas (2014), secara umum permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan usahatani cabai merah, terutama di daerah sentra produksi adalah belum terwujudnya ragam, kuantitas, kualitas, dan kesinambungan pasokan yang sesuai dengan permintaan pasar dan preferensi konsumen. Hal tersebut berkaitan dengan beberapa hal yaitu: (1) skala kecil yang menyebabkan skala teknis dan ekonomis tidak optimal, (2) Pola tanam dan persaingan penggunaan lahan, (3) Alih fungsi lahan sehingga lahan pengembangan terbatas dan kurang subur, (4) Kawasan cabai merah belum kompak, menghasilkan produk beragam, mutu rendah, sehingga kesinambungan pasokan tidak terjamin, (5) Pemasaran ataupun perdagangan produk segar menunjukkan jalur tataniaga panjang, struktur pasar oligopolistik, distribusi marjin tidak seimbang sehingga nilai tambah yang diterima petani tidak optimal, dan (6) Fluktuasi harga tinggi menyebabkan resiko harga tinggi.

Salah satu daerah sentra produksi cabai merah di Jawa Barat yaitu Sukabumi. Pada tahun 2011 produksi cabai merah di kabupaten Sukabumi mencapai 11.221 ton atau memberikan kontribusi sebesar 3,73% dari total produksi di Jawa Barat, dengan luas panen sebanyak 1.533 ha (BPS Provinsi Jawa Barat 2013). Sementara itu Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (Diperta) Kabupaten Sukabumi membuat target untuk meningkatan produksi cabai merah pada tahun 2013 sebesar 10 persen dibandingkan dengan tahun 2012. Kepala DPTP Pemkab Sukabumi juga menargetkan setiap satu hektar lahan bisa menghasilkan minimal 10 ton cabai merah, karena dilihat dari potensi lahan pertanian dan kondisi alam Kabupaten Sukabumi yang cocok untuk pertumbuhan tanaman cabai merah.3 Pernyataan tersebut tidak didukung dengan adanya kecenderungan penurunan luas panen cabai merah yang terjadi di beberapa kabupaten di Jawa Barat termasuk di Kabupaten Sukabumi. Luas panen cabai merah di Kabupaten Sukabumi pada tahun 2011 mengalami penurunan sebanyak 363 hektar dibandingkan dengan tahun 2010. Selain itu, tingkat produktivitas cabai merah di Kabupaten Sukabumi sebesar 7,32 ton/ha, masih berada di bawah produktivitas Jawa Barat yang mencapai 12,5 ton/ha. Tabel 5 menunjukkan produksi cabai merah pada tahun 2008 hingga 2010 berdasarkan kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Sukabumi.

3

(23)

Tabel 5 Produksi cabai merah tahun 2008-2010 menurut kecamatan di Kabupaten

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukabumi (2014)

Dari 36 kecamatan yang ada di Kabupaten Sukabumi, terdapat tujuh kecamatan yang menjadi pemasok utama karena mampu memproduksi cabai merah diatas 13.000 ton selama tahun 2008 hingga tahun 2010. Kecamatan Sukabumi memiliki kontribusi terkecil dari tujuh kecamatan yang menjadi pemasok utama cabai merah, yaitu sebesar 8,76 persen. Jumlah produksi di Kecamatan Sukabumi yang terbilang masih sedikit tersebut diduga bisa disebabkan oleh dua kemungkinan yaitu penurunan luas lahan untuk usahatani cabai merah atau tingkat produktivitas di daerah Kecamatan Sukabumi yang masih rendah. Hasil kajian juga menunjukkan peran produktivitas dalam peningkatan pendapatan petani masih relatif rendah. Dalam pandangan positif, ini berarti masih ada peluang besar meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produktivitas usahatani. Peningkatan produktivitas usahatani dapat dilakukan melalui perbaikan cara budidaya, penerapan teknologi produksi dan teknologi pascapanen untuk menekan kehilangan hasil. Peningkatan produktivitas juga akan meningkatkan profitabilitas usaha komoditas pertanian terhadap nilai sewa lahan, upah buruh tani dan harga sarana produksi (Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas 2014).

Berbagai permasalahan seperti penurunan luas lahan, pasokan yang tidak stabil, harga yang berfluktuasi, produktivitas yang relatif masih rendah dialami oleh para petani di daerah Sukabumi. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi tingkat efisiensi dari usahatani cabai keriting, pada akhirnya akan berdampak pada besarnya tingkat pendapatan para petani cabai keriting yang merupakan salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan petani. Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi usahatani cabai keriting? Apakah sudah efisien?

(24)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis efisiensi penggunaan faktor-faktor (input) produksi dalam usahatani cabai keriting.

2. Menganalisis tingkat pendapatan usahatani cabai keriting yang diperoleh oleh petani.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

1. Petani cabai keriting sebagai bahan pertimbangan, masukan dan tambahan informasi dalam upaya peningkatan pendapatan usahatani dan produktivitas dalam pengelolaan usahatani cabai keriting di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi.

2. Pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi sebagai tambahan informasi dan masukan dalam upaya penyusunan program, strategi dan kebijakan pertanian yang lebih baik dalam rangka peningkatan kesejahteraan bagi para petani cabai keriting di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi.

3. Para peneliti sebagai bahan informasi dalam melakukan penelitian lebih lanjut pada bidang yang sama.

Ruang Lingkup Penelitian

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Efisiensi Usahatani

Penelitian tentang efisiensi dilakukan karena beberapa hal yaitu produktivitas yang rendah padahal komoditas tersebut bernilai ekonomis tinggi dan berpotensi untuk dikembangkan, oleh karena itu sebagian besar penelitian tentang efisiensi bertujuan untuk mengupayakan peningkatan produksi dan produktivitas (Tinaprilla et al. 2013, Hikmasari et al. 2013, Khotimah 2010, Togatorop 2010, Ratih dan Harmini 2012). Produktivitas masih dapat ditingkatkan melalui berbagai upaya peningkatan input produksi. Penggunaan faktor-faktor produksi secara efisien akan menghasilkan produksi yang optimal. Analisis faktor-faktor produksi yang berpengaruh dalam kegiatan usahatani perlu dilakukan dalam rangka usaha mencapai produksi yang optimal. Faktor produksi merupakan semua korbanan yang diberikan dalam kegiatan usahatani dan sangat menentukan jumlah produksi yang diperoleh. Hubungan antara faktor produksi (input) dan produksi (output) disebut dengan fungsi produksi. Fitriani dan Zain (2012), Rifqie (2008), dan Sukiyono (2005) dalam penelitiannya yang menggunakan analisis fungsi cobb-douglass menunjukkan bahwa faktor produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida berpengaruh nyata dan positif terhadap produksi sedangkan faktor produksi berupa tenaga kerja berpengaruh nyata dan negatif terhadap produksi. Artinya, faktor-faktor produksi seperti benih, pupuk, pestisida dan tenaga kerja mempunyai pengaruh terhadap produksi yang dihasilkan jika penggunaannya ditambah atau dikurangi.

(26)

persen (Sukiyono 2005). Sehingga dapat disimpulkan bahwa usahatani padi dan ubi jalar lebih efisien secara teknis dibandingkan dengan usahatani cabai keriting.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu sama-sama melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi dalam suatu usahatani. Sementara itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Sukiyono (2005) hanya menganalisis tentang efisiensi teknis saja, sehingga dalam penelitian ini akan dilakukan analisis efisiensi dari segi ekonomisnya.

Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani merupakan besarnya imbalan terhadap faktor-faktor produksi yang digunakan. Keuntungan merupakan salah satu ukuran pendapatan juga, yang menghitung besarnya imbalan terhadap pengelola usahatani dalam hal ini yaitu petani. Penelitian mengenai pendapatan usahatani telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, termasuk penelitian tentang pendapatan usahatani cabai merah di berbagai lokasi penelitian yang berbeda-beda. Nurliah (2002) melakukan penelitian tentang pendapatan usahatani cabai keriting di Desa Sindang Mekar Kabupaten Garut, menunjukkan bahwa nilai R/C rasio atas biaya total sebesar 2,14. Kemudian Kasymir (2011) dalam penelitiannya tentang pendapatan usahatani cabai merah di Kecamatan Panengahan Kabupaten Lampung Selatan menunjukkan bahwa nilai R/C yang diperoleh sebesar 2,0. Selain itu, Siregar (2011) menunjukkan bahwa nilai R/C atas biaya total yang diperoleh dari usahatani cabai keriting di Desa Citapen sebesar 2,46. Nilai R/C rasio yang diperoleh dari penelitian tentang pendapatan usahatani cabai merah yang dilakukan oleh Nurliah (2002) serta Kasymir dan Siregar (2011) bernilai lebih besar atau sama dengan dua ( 2), artinya penerimaan yang diperoleh petani responden dalam mengusahakan cabai merah dapat menutupi biaya usahatani yang dikeluarkan.

Selain komoditas cabai merah, penelitian tentang analisis pendapatan juga sudah banyak dilakukan pada komoditas lain. Pohan (2011) dalam penelitiannya tentang komoditas ubi kayu di Desa Cikeas memperoleh nilai R/C rasio atas biaya total untuk petani pemilik adalah 3,81dan untuk petani penggarap sebesar 1,15. Nilai R/C rasio tersebut menunjukkan bahwa usahatani ubi kayu yang dilakukan oleh petani pemilik lebih efisien dibanding petani penggarap. Selanjutnya Khotimah (2010) melakukan analisis pendapatan usahatani ubi jalar di Kecamatan Cilimus, Kuningan dengan nilai R/C atas biaya total sebesar 1,24.

(27)

bahwa cabai merah merupakan komoditas yang lebih menguntungkan untuk dikembangkan.

Jika seluruh penelitian sebelumnya melakukan analisis pendapatan dengan hasil akhir R/C rasio saja, dalam penelitian ini akan dilakukan analisis pendapatan dan keuntungan yang juga mengukur besarnya imbalan terhadap modal serta tenaga kerja. Imbalan terhadap modal bisa dibandingkan dengan tingkat suku bunga deposito yang berlaku di bank, sedangkan besarnya imbalan terhadap tenaga kerja bisa dibandingkan dengan tingkat upah minimun regional yang berlaku di wilayah penelitian.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep Fungsi Produksi

Menurut Soekartawi et al. (1984), usahatani dalam kegiatannya dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya pengaruh iklim, hama dan penyakit tanaman. Oleh karena itu petani tidak dapat meramalkan berapa jumlah produksi yang yang diperoleh, petani hanya bisa membuat perencanaan bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang terbatas seperti tanah, tenaga kerja, modal dan sebagainya. Pengalokasian sumberdaya yang dimiliki petani ini sangat menentukan besarnya produksi yang dihasilkan. Dengan demikian, petani dapat mempengaruhi produksi melalui keputusan dalam menentukan jumlah sumberdaya yang akan digunakan seperti luas lahan yang akan dipakai, banyaknya bibit, pupuk, obat-obatan, dan jumlah tenaga kerja. Hubungan fisik antara masukan produksi dan (input) dan keluaran produksi (output) dikenal dengan istilah fungsi produksi (Soekartawi 2002). Analisis fungsi produksi sering dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan informasi bagaimana sumberdaya yang terbatas seperti tanah, tenaga kerja dan modal dapat dikelola dengan baik agar produksi maksimum bisa tercapai. Secara simbolis fungsi produksi dapat dituliskan seperti pada persamaan (3.1) yang menyatakan bahwa hasil produksi (Y) dipengaruhi oleh sejumlah faktor produksi (Xn).

Y = f (X1, X2, …., Xn) (3.1)

Dimana,

Y = Hasil poduksi fisik (output)

X1,X2,..., Xn = Faktor-faktor produksi (input-input)

(28)

dengan jumlah tertentu ditambahkan terusmenerus pada sejumlah faktor produksi tetap, akhirnya akan dicapai suatu kondisi dimana setiap penambahan satu unit faktor produksi variabel akan menghasilkan tambahan produksi yang semakin berkurang. Beberapa bentuk fungsi produksi yang sering digunakan dalam analisis yaitu polinominal kuadratik, polinominal akar pangkat dua dan fungsi Cobb Douglas. Terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bentuk fungsi produksi, yaitu (Soekartawi et al. 1984):

(1) Bentuk fungsi produksi harus bisa menggambarkan dan mendekati keadaan yang sebenarnya.

(2) Bentuk fungsi produksi yang dipakai harus mudah diukur atau dihitung secara statistik

(3) Fungsi produksi itu dapat dengan mudah diartikan, khususnya arti ekonomi dari parameter yang meyusun fungsi produksi tersebut.

Pemilihan fungsi produksi yang baik dan benar diperlukan beberapa pedoman yang perlu diikuti yaitu bentuk fungsi produksi dapat dipertanggungjawabkan, mempunyai dasar yang logik secara ekonomi maupun fisik, mudah dinalisis, dan mempunyai implikasi ekonomi. Adapun persyaratan untuk mendapatkan fungsi produksi yang baik adalah terjadi hubungan yang logik dan benar antar variabel yang dijelaskan dengan yang menjelaskan , serta parameter statistik yang diduga memenuhi persyaratan untuk dapat disebut dengan parameter yang mempunyai derajat ketelitian yang tinggi. Terdapat dua parameter yang statistik yang perlu diperhatikan yaitu: (1) Koefisien determinasi (R2) yang merupakan parameter untuk menjelaskan besarnya variasi dari variabel yang dijelaskan oleh varibel penjelas; (2) Uji t pada masing-masing variabel penjelas untuk mengetahui signifikansinya.

Fungsi produksi klasik menunjukkan tiga daerah produksi yang berbeda. Daerah-daerah tersebut terbentuk akibat adanya hubungan antara produk marjinal (PM), produk rata-rata (PR) dan produk total (PT). Produk marjinal (PM) adalah tambahan produk yang diperoleh akibat adanya tambahan satu satuan input produks (persamaan 3.2). Produk rata-rata (PR) adalah perbandingan antara output total dengan input produksi, dimana output total atau produk total (PT=Y) adalah jumlah output yang diperoleh dalam proses produksi (persamaan 3.3).

PM = yang sekaligus juga akan diketahui proses produksi yang sedang berjalan dalam keadaan elastisitas yang rendah atau sebaliknya (Soekartawi 2002). Elastisitas produksi (Ep) adalah persentase perubahan dari produk yang dihasilkan (output) sebagai akibat dari persentase perubahan faktor produksi (input) yang digunakan. Elastisitas produksi dapat dirumuskan sebagai berikut.

atau

(3.4)

(29)

dalam produk (Y) meningkat hingga PR mencapai maksimal pada akhir daerah I. Daerah produksi I yang terletak antara 0 dan X2, memiliki nilai elastisitas lebih

dari satu, artinya bahwa setiap penambahan faktor produksi sebesar satu-satuan, akan menyebabkan pertambahan produksi yang lebih besar dari satu satuan (increasing return). Pada kondisi ini, keuntungan maksimum belum tercapai karena produksi masih dapat ditingkatkan dengan menggunakan faktor produksi lebih banyak. Daerah produksi I disebut juga daerah irrasional.

Gambar 3 Fungsi produksi klasik dan tiga daerah produksi

Sumber: Doll dan Orazem (1984)

Daerah II terjadi ketika PM menurun dan lebih rendah dari PR. Pada keadaan ini PM sama atau lebih rendah dari PR, tapi sama atau lebih tinggi dari 0. Daerah II berada diantara X2 dan X3. Efisiensi variabel input diperoleh saat awal

daerah II. Daerah produksi II yang terletak antara X2 dan X3 memiliki nilai

elastisitas produksi antara nol dan satu. Artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu satuan akan menyebabkan penambahan produksi paling besar satu satuan dan paling kecil nol satuan. Daerah ini menunjukkan tingkat produksi memenuhi syarat keharusan tercapainya keuntungan maksimum, daerah ini juga dicirikan dengan penambahan hasil produksi yang semakin menurun (deminishing return). Pada tingkat tertentu dari penggunaan faktor-faktor produksi di daerah ini akan memberikan keuntungan maksimum. Hal ini menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi telah optimal sehingga daerah ini disebut juga daerah rasional (rational region atau rational stage of production).

Daerah produksi III adalah daerah dengan elastisitas produksi lebih kecil dari nol. Pada daerah ini produksi total mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh produk marjinal yang bernilai negatif yang berarti setiap penambahan faktor produksi akan mengakibatkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan.

Y (input)

X (input) Daerah I Daerah II Daerah III

Ep > 1 1>Ep> 0 Ep < 0

Produk Total

Produk rata-rata

Produk Marjinal Y (ouput)

X1 X2 X3

PM/PR

(30)

Penggunaan faktor produksi pada daerah ini sudah tidak efisien sehingga disebut daerah irrasional (irrational region atau irrational stage of production).

Konsep Efisiensi

Soekartawi (2002) menjelaskan bahwa terdapat berbagai konsep efisiensi yaitu efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi harga (price/allocative efficiency) dan efisiensi ekonomis (economic efficiency). Efisiensi teknis ditujukan dengan pengalokasian faktor produksi sedemikian rupa sehingga produksi yang tinggi dapat dicapai. Efisiensi harga dapat tercapai jika petani dapat memperoleh keuntungan yang besar dari usahataninya, misalnya karena pengaruh harga, maka petani tersebut dapat dikatakan mengalokasikan faktor produksinya secara efisiensi harga. Sedangkan efisiensi ekonomis tercapai pada saat mampu meningkatkan produksi dengan harga faktor produksi yang rendah tetapi hasil produksi dapat dijual dengan harga tinggi sehingga dapat menghasilkan keuntungan maksimum. Dengan demikian apabila petani menerapkan efisiensi teknis dan efisiensi harga maka produktivitas akan semakin tinggi.

Menurut Doll dan Orazem (1984) efisiensi ekonomi menunjukkan kombinasi input yang memaksimumkan tujuan individu atau sosial. Efisiensi ekonomi dapat tercapai ketika dua syarat terpenuhi, yaitu syarat keharusan (necessary condition) dan syarat kecukupan (sufficient condition). Syarat keharusan bagi penentuan efisiensi dan tingkat produksi optimum adalah hubungan fisik antara faktor produksi dengan produksi harus diketahui. Dalam analisis fungsi produksi, syarat keharusan dipenuhi jika produsen berproduksi pada daerah II yaitu pada saat elastisitas produksinya bernilai antara nol dan satu (1>Ep>0). Tidak halnya seperti syarat keharusan yang bersifat objektif, syarat kecukupan ditujukan untuk nilai dan tujuan individu atau kelompok. Syarat kecukupan dapat secara alami berbeda antara satu individu dengan yang lainnya. Dalam teori abstrak, kondisi ini lebih sering disebut indikator pilihan (choice indicator).

Efisiensi penggunaan input terjadi ketika nilai produk marjinal (NPM) untuk suatu input sama dengan harga input, sehingga dapat dituliskan:

NPM = Px atau (3.5)

Efisiensi yang demikian disebut dengan istilah efisiensi harga atau allocative efficiency . Pada persamaan (3.5) terlihat bahwa nisbah harga input dan output adalah sama dengan produk marginal. Bila sudah memasukkan kata ‗efisiensi‘ dalam analisisnya maka variabel baru yang harus dipertimbangkan dalam model analisis adalah variabel harga. Oleh karena itu terdapat dua hal yang perlu diperhatikan sebelum analisis efisiensi dilakukan, yaitu:

a) Tingkat transformasi antara input dan output dalam fungsi produksi, dan b) Pebandingan (nisbah) antara harga input dan harga output sebagai upaya

untuk mencapai indikator efisiensi.

Kemudian penggunaan input yang optimum dapat dicari dengan melihat nilai tambahan dari satu-satuan biaya dari input yang digunakan dengan satu-satuan pembinaan yang dihasilkan. Secara matematik dapat dituliskan sebagai berikut:

atau,

(31)

Dimana, Y = tambahan output X = tambahan input = harga output = harga input

= produk marginal

Berdasarkan persamaan (3.6) maka produk marjinal sama dengan nisbah dari perbandingan harga input-output. Dengan demikian pengertian efisiensi disini masih terbatas pada apakah usaha yang dilakukan memperoleh keuntungan atau tidak. Dengan mengetahui Px/Py yang biasanya dinyatakan dengan ―garis harga‖,

maka suatu usaha dikatakan menguntungkan apabila setiap tambahan nilai input atau output lebih besar dari setiap tambahan nilai input ( . Keuntungan akan berhenti bila , yaitu terjadi situasi garis yang menyinggung garis produksi total.

Konsep Pendapatan Usahatani

Usahatani menurut Mosher (1969) dalam Soekartawi et al. (1985) adalah sebagai bagian dari permukaan bumi, dimana petani atau suatu badan tertentu lainnya bercocok tanam atau memelihara ternak. Usahatani dapat dipandang sebagai suatu cara hidup (a way of life) atau sebagai bagian dari perusahaan (farm business). Dalam melaksanakan kegiatan usahataninya, petani memiliki tujuan yang berbeda. Usahatani yang memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga disebut usahatani pencukup kebutuhan keluarga (subsistence farm). Di sisi lain, usahatani yang berjalan dengan tujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya disebut usahatani komersial (commercial farm). Usahatani kecil dibedakan dari usahatani komersial oleh erat dan pentingnya kaitan antara usahatani dan rumah tangga. Pada usahatani komersial, usahatani dilihat sebagai perusahaan yang terpisah dari rumah tangga. Sedangkan pada usahatani kecil terdapat kaitan erat antara kegiatan usahatani dan rumah tangga, sehingga dalam menghitung ukuran penampilan usahatani kecil diperlukan kejelasan mengenai tujuan menganalisis.

Pendapatan usahatani menghitung seberapa besar balas jasa terhadap penggunaan faktor-faktor produksi (lahan, modal, tenaga kerja dan pengelolaan) yang diterima petani dalam berusahatani. Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengukur keberhasilan usahatani. Petani dapat mengetahui gambaran keadaan aktual usahatani sehingga dapat melakukan evaluasi dengan perencanaan kegiatan usahatani pada masa yang akan datang. Beberapa istilah yang digunakan untuk menyatakan ukuran penampilan usahatani menurut Soekartawi et al. (1984) diantaranya:

1) Ukuran Arus Uang Tunai

Dalam meninjau penampilan usahatani perlu dibedakan antara yang berbentuk uang tunai dan yang berbentuk benda. Penerimaan tunai usahatani

(farm receipt) merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani, tetapi tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usahatani dan nilai produk usahatani yang dikonsumsi. Sedangkan pengeluaran tunai usahatani

(32)

serta nilai kerja yang dibayar dengan benda. Selisih antara penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran usahatani disebut pendapatan tunai usahatani (farm net cashflow) dan merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk menghasilkan uang tunai.

2) Ukuran Pendapatan dan Keuntungan

Ukuran arus uang tunai tidak memperlihatkan keadaan seluruhnya, oleh karena itu perlu dihitung juga ukuran pendapatan yang mencakup nilai transaksi barang dan perubahan nilai inventaris atau kekayaan usahatani selama kurun waktu tertentu. Pendapatan kotor usahatani (gross farm income) didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu dan mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan dalam usahatani untuk bibit, digunakan untuk pembayaran serta produk yang disimpan atau digudang pada akhir tahun. Pengeluaran total usahatani (total farm expenses)

didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani. Selisih antara pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani disebut pendapatan bersih usahatani (net farm income). Pendapatan bersih mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Ukuran yang berguna untuk menilai penampilan usahatani kecil adalah penghasilan bersih usahatani (net farm earnings) Angka ini diperoleh dari mengurangkan pendapatan bersih usahatani dengan bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman. Ukuran ini menggambarkan penghasilan yang diperoleh dari usahatani untuk keperluan keluarga dan merupakan imbalan terhadap semua sumberdaya milik keluarga yang dipkai dalam usahatani. Apabila sebagian modal diperoleh dari pinjaman, maka ada dua ukuran yang dapat dipakai yaitu Imbalan kepada seluruh modal (return to total capital) dan imbalan kepada modal petani

(return to farm equity capital). Selanjutnya imbalan kepada tenaga kerja keluarga

(return to family labor) dapat dihitung dari penghasilan bersih usahatani dengan mengurangkan bunga modal petani yang diperhitungkan.

3) Ukuran Keadaan Modal dan Hutang

Salah satu ukuran yang dapat dipakai untuk menggambarkan keadaan modal dan hutang yaitu imbalan kepada modal. Kemampuan membayar hutang (debt servicing capacity) dapat dihitung dengan cara mengurangkan pendapatan tunai dengan uang tunai yang diperlukan untuk biaya hidup keluarga.

(33)

Kerangka Pemikiran Operasional

Cabai keriting merupakan salah satu komoditas hortikutura yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal ini disebabkan cabai keriting banyak digunakan konsumen baik untuk bumbu makanan maupun untuk diolah lebih lanjut. Jawa Barat sebagai salah satu sentra bagi produksi cabai keriting memiliki beberapa wilayah kabupaten yang menjadi pemasok terbesar pada tingkat provinsi. Pada tahun 2011 Kabupaten Sukabumi termasuk kedalam sepuluh besar wilayah kabupaten yang berkontribusi dalam menghasilkan cabai keriting. Dari 36 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Sukabumi, terdapat tujuh kecamatan yang menjadi pemasok utama karena mampu menghasilkan cabai merah sebanyak 75,72 persen dari total keseluruhan produksi (BPS Kabupaten Sukabumi 2014). Kecamatan Sukabumi termasuk kedalam tujuh kecamatan yang menjadi pemasok utama, tetapi memiliki persentase terkecil terhadap produksi total Kabupaten Sukabumi yaitu hanya berkontribusi sebesar 7,84 persen selama tahun 2008-2010. Permasalahan yang umum terjadi di daerah sentra produksi cabai keriting yaitu belum terwujudnya ragam, kualitas, kuantitas, dan kesinambungan pasokan yang sesuai dengan permintaan pasar. Produksi cabai keriting yang musiman, pendistribusian yang tidak merata, serta konsumsi cabai keriting yang sebagian besar dalam bentuk segar merupakan beberapa hal yang menyebabkan jumlah pasokan cabai keriting tidak stabil. Sehingga berdampak pada harga cabai keriting yang selalu berfluktuasi. Fluktuasi harga yang terjadi merugikan banyak pihak terutama petani, karena perlindungan harga di tingkat petani masih sangat rendah. Fluktuasi harga yang terjadi akan mempengaruhi tingkat pendapatan yang akan diperoleh petani. Untuk stabilisasi harga cabai diperlukan perbaikan manajemen dan teknologi produksi. Perbaikan dalam teknis budidaya harus dilakukan agar dapat meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas bisa dilakukan dengan cara mengoptimalkan penggunaan input-input produksi seperti benih, pupuk, obat-obatan, maupun tenaga kerja.

(34)

Gambar 4 Kerangka pemikiran operasional usahatani cabai keriting

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada petani cabai keriting di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi. Pemilihan lokasi dilakukan secara

purposive dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Sukabumi merupakan salah satu kecamatan yang berkontribusi cukup besar terhadap total produksi cabai merah di wilayah Kabupaten Sukabumi (BPS Kab. Sukabumi 2014). Salah satu desa di Kecamatan Sukabumi yang mempunyai komoditas unggulan cabai keriting adalah Desa Perbawati karena selalu diusahakan setiap musim tanam. Penelitian lapang dilakukan selama bulan Juni-Juli 2014.

Analisis Pendapatan

 Penerimaan usahatani: 1) volume produksi (Y) 2) harga jual (P)

 Biaya usahatani 1) Tunai 2) Tidak tunai Analisis Fungsi Produksi

Input:

1) luas lahan, 2) benih,

3) pupuk kandang, 4) pupuk phonska, 5) obat-obatan dan 6) tenaga kerja.

Efisiensi Ekonomis = NPMx/Px

Tingkat Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Cabai Merah

Bagaimana tingkat efisiensi dan pendapatan usahatani cabai merah?

(35)

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pencatatan dan wawancara langsung dengan para petani di Desa Perbawati. Hal ini dilakukan untuk mengetahui secara langsung mengenai luas lahan yang diusahakan, input produksi yang dipergunakan dan alat-alat pertanian yang digunakan , harga jual komoditasnya, biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses produksi, jumlah produksi yang diperoleh selama masa produksi berlangsung, serta pertanyaan lainnya yang berguna untuk menganalisis efisiensi produksi dan pendapatan dalam usahatani cabai keriting di Desa Perbawati.

Data sekunder diperoleh dari Badan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Sukabumi, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Sukabumi, Dinas Pertanian dan Tanaman pangan Kabupaten Sukabumi dan Provinsi Jawa Barat, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistika, perpustakaan, dan situs-situs yang terkait dengan kegiatan penelitian serta literatur yang relevan.

Metode Penentuan Responden dan Pengumpulan Data

Penentuan Lokasi Penelitian

Sukabumi merupakan salah satu daerah sentra produksi cabai keriting di Jawa Barat. Terdapat tujuh kecamatan di Kabupaten Sukabumi yang menjadi pemasok utama karena mampu memproduksi cabai merah diatas 13.000 ton selama tahun 2008 hingga tahun 2010. Kecamatan Sukabumi memiliki kontribusi terkecil dari tujuh kecamatan yang menjadi pemasok utama cabai merah, yaitu sebesar 8,76 persen. Kecamatan Sukabumi terdiri atas beberapa desa, yaitu Desa Karawang, Parungseah, Perbawati, Sudajayagirang, Sukajaya, dan Warnasari. Tabel 6 Potensi usahatani berdasarkan komoditas unggulan di Kecamatan

Sukabumi

Desa Komoditas unggulan

Sayuran Tanaman hias Buah-buahan Ternak

Karawang - Sedap Malam - Sapi Perah

Parungseah - - - -

Perbawati Tomat

Cabai merah

Suji Sedap Malam

Pisang Ambon -

Sudajayagirang - Garbera

Krisan

Pisang Ambon Sapi Perah

Sukajaya - Krisan

Sedap Malam

- Ayam buras

Kelinci

Warnasari - - - -

(36)

Tabel 6 menunjukkan potensi usahatani berdasarkan komoditas unggulan pada masing-masing desa di Kecamatan Sukabumi. Dari keenam desa yang ada di Kecamatan Sukabumi, hanya Desa Perbawati yang menjadikan cabai keriting sebagai komoditas unggulannya. Desa Perbawati merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Sukabumi yang mengusahakan tanaman sayuran dan beberapa jenis tanaman hias. Namun, sayuran merupakan fokus utama bagi para petani di Desa Perbawati. Hal ini disebabkan karena kondisi alam yang sangat mendukung bagi pertumbuhan sayuran. Sayuran yang banyak ditanam di Desa Perbawati antara lain tomat, cabai keriting, cabai keriting, cabai rawit, kubis, bawang daun, mentimun, pakcoy, sawi, dan wortel. Namun, cabai keriting menjadi komoditas unggulan bagi petani di Desa Perbawati karena selalu diusahakan setiap musim tanam.

Mandasari (2011) dalam penelitiannya tentang ‗Analisis Risiko Produksi Tomat dan Cabai keriting di Desa Perbawati‘ menyebutkan bahwa sebagian besar petani menggunakan benih cabai keriting hibrida ―inko hot‖. Produktivitas optimal cabai keriting ―inko hot‖ yaitu 1 kg/pohon, namun produksi cabai keriting yang sering diperoleh petani hanya sekitar 0,5-0,7 kg/pohon saja. Selain itu, luas lahan yang ditanami petani di Desa Perbawati untuk komoditas cabai keriting beraneka ragam, mulai dari 400 m2 hingga 8 Ha. Dalam satu petak lahan penanaman cabai keriting hanya dapat dilakukan sekali dalam satu tahun karena masa tanamnya yang cukup lama yaitu sekitar enam bulan hingga tujuh bulan. Sedangkan menurut Wahyudi (2011), persyaratan yang harus dipenuhi oleh lahan yang akan digunakan untuk penanaman cabai agar dapat panen sepanjang tahun adalah memiliki luas lahan efektif minimum 7.000 m2 untuk penanaman cabai besar dan keriting serta 5.000 m2 untuk penanaman cabai rawit. Hal tersebut bisa mengindikasikan bahwa kemungkinan masih ada ketidakefisienan dalam penggunaan benih maupun lahan dalam usahatani cabai keriting di Desa Perbawati.

Penentuan Responden

(37)

Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara langsung dengan kuisioner (angket) yang diisi langsung oleh peneliti sesuai dengan hasil wawancara yang diperoleh dari responden yaitu petani cabai keriting di Desa Perbawati.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data-data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder diolah dan dianalisis dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui keragaan usahatani cabai keriting di Desa Perbawati Kecamatan Sukabumi. Sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis efisiensi produksi dan pendapatan usahatani cabai keriting di Desa Perbawati Kecamatan Sukabumi. Data yang dikumpulkan melalui proses verifikasi dan validasi data terlebih dahulu. Selanjutnya data diolah dengan menggunakan program Microsoft Office Excel, dan Minitab 14.

Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Dalam penelitian ini, fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi tersebut digunakan untuk menganalisis efisiensi dari usahatani cabai keriting. Menurut Soekartawi (2002) Fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut dengan variabel dependen, yang dijelaskan (Y) dan yang lainnya disebut variabel independen, yang menjelaskan (X). Penyelesaian hubungan antara Y dan X diduga dengan analisis regresi dimana variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Secara matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat dituliskan seperti persamaan (4.1).

(4.1)

Dimana, Y = Variabel yang dijelaskan, X = Variabel yang menjelaskan, a,b = Besaran yang akan diduga,

u = Kesalahan (disturbance term), dan e = Logaritma natural, e = 2,718

Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan (4.1) maka persamaan tersebut diubah menjadi bentuk linier berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut. Logaritma dari persamaan (3.5) adalah :

Ln Y = ln a + b1 ln X1 + b2 ln X2 +...+bi ln Xi+ v (4.2)

Pada persamaan (4.2) terlihat bahwa nilai b1 dan b2 tetap walau variabel yang

(38)

Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linier, maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menggunakan fungsi Cobb-Douglas, antara lain :

a) Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari bilangan nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite).

b) Dalam fungsi produksi perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan. Artinya apabila fungsi Cobb-Douglas yang dipakai sebagai model dalam pengamatan kemudian diperlukan analisis yang merupakan lebih dari satu model, maka perbedaan model tersebut terletak pada intersep dan bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut. c) Tiap variabel X adalah perfect competition.

d) Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi seperti iklim, sudah tercakup pada faktor kesalahan (u).

Fungsi Cobb-Douglas banyak digunakan oleh para peneliti karena terdapat tiga alasan pokok, yaitu: (a) Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi yang lain seperti fungsi kuadratik; (b) Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran elastisitas; (c) Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran return to scale. Return to Scale (skala usaha) perlu diketahui agar kita dapat melihat kegiatan suatu usaha yang diteliti megikuti kaidah increasing, constant, atau decreasing return to scale.

Soekartawi (2002), mendefinisikan skala usaha (return to scale) sebagai penjumlahan dari semua elastisitas faktor faktor produksi. Skala usaha dibagi menjadi tiga, yaitu:

1) Kenaikan hasil yang menurun (Decreasing Return to Scale), bila <1. Dalam keadaan ini, proporsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi.

2) Kenaikan hasil yang tetap (Constant Return to Scale), bila =1. Dalam keadaan ini, proporsi penambahan masukan produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh.

3) Kenaikan hasil yang meningkat (Increasing Return to Scale). Pada kondisi ini >1, artinya bahwa bahwa proporsi penambahan masukan produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar. Agar relevan dengan analisis ekonomi, maka nilai bi harus positif dan lebih kecil dari satu. Artinya berlaku asumsi bahwa penggunaan fungsi Cobb-Douglas

adalah dalam keadaan hukum kenaikan yang semakin berkurang atau law of diminishing return untuk setiap input i, sehingga informasi yang diperoleh dapat dipakai untuk melakukan upaya agar setiap penambahan faktor produksi dapat menghasilkan tambahan produksi yang lebih besar. Analisis fungsi produksi digunakan untuk melihat hubungan antara variabel terikat (dependent variabel) dan variabel bebas (independent variabel). Dalam analisis ini dilakukan analisis fungsi produksi dan analisis regresi untuk mengetahui pengaruh faktor faktor produksi terhadap produksi cabai keriting. Tahap-tahap dalam menganalisis fungsi produksi adalah sebagai berikut:

1) Identifikasi Varibel Bebas dan Terikat

(39)

(insektisida dan fungisida) dan tenaga kerja. Faktor-faktor produksi tersebut merupakan variabel bebas yang akan diuji pengaruhnya terhadap variabel terikat yaitu hasil produksi cabai keriting.

2) Analisis Regresi

Dalam analisis regresi, pendekatan fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb-Douglas, yaitu:

Berdasarkan model fungsi produksi diatas, agar diperoleh bentuk persamaan linier ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural (ln), model fungsi produksi cabai keriting dapat ditulis sebagai berikut:

ln Y = ln β0 + β1lnX1+ β2lnX2 + β3lnX3 + β4lnX4 + β5lnX5 + β6lnX6 + β7lnX7+ u

Dimana :

Y : Produksi total cabai keriting (kg) X1 : Luas lahan (ha)

X2 : Penggunaan benih cabai keriting (gr) X3 : Jumlah pupuk kandang (kg)

βi : Koefisien Parameter Penduga, dimana i = 1,2,3…7. u

: Kesalahan (error)

Adapun asumsi-asumsi yang berkaitan dengan model fungsi produksi cabai keriting dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Produksi cabai keriting (Y) merupakan penjumlahan dari total produksi cabai yang dihasilkan dari panen ke-1 (saat tanaman berumur 100-150 HST) hingga panen terakhir yaitu sampai tanaman cabai dicabut dari lahan.

2. Lahan digunakan secara tumpang sari dengan tanaman tomat dan sawi, sedangkan tomat dan sawi putih ditanam secara tumpang gilir . Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa cabai keriting ditanam pada bagian tengah bedengan, sedangkan sawi dan tomat di tanam pada sisi kanan dan kiri bedengan. Oleh karena itu terdapat perhitungan proporsi penggunaan lahan yaitu 1/3 bagian untuk tanaman cabai keriting, sisanya sebanyak 2/3 bagian untuk tanaman tumpang sarinya (sawi dan tomat)

1 ha Cabai

Sawi putih Tomat

(40)

Gambar 5 Pola tanam tumpang sari cabai keriting dengan sawi dan tomat serta tumpang gilir sawi dan tomat

3. Jumlah benih merupakan benih cabai yang digunakan untuk luasan lahan yang dimiliki masing-masing petani dengan sistem tanam tumpang sari dengan tanaman sawi dan tomat.

4. Pupuk kandang diaplikasikan pada saat proses pengolahan lahan karena digunakan untuk pemupukan dasar. Sehingga jumlah pupuk kandang yang digunakan merupakan jumlah untuk kebutuhan tiga komoditas yang ditanam petani yaitu cabai, sawi dan tomat.

5. Pupuk phonska bisa diaplikasikan untuk pemupukan dasar maupun tambahan. Pemupukan tambahan dilakukan dengan teknik penyuntikan dan pengecoran yaitu dengan cara memasukkan pupuk langsung ke dalam lubang tanam pohon cabai keriting.

6. Insektisida yang digunakan dalam bentuk cair sehingga satuannya liter, sedangkan fungisida yang digunakan dalam bentuk serbuk sehingga satuannya kilogram. Keduanya digunakan secara bersamaan , dicampurkan dengan air terlebih dahulu dan disemprotkan pada tanaman cabai saja karena jenis obat-obatan untuk setiap jenis tanaman berbeda-beda. Sehingga jumlah insektisida dan fungisida yang digunakan merupakan kebutuhan untuk pengobatan tanaman cabai saja.

7. Jumlah tenaga kerja merupakan total tenaga kerja yang dibutuhkan dalam setiap kegiatan budidaya cabai keriting. Beberapa kegiatan seperti persiapan lahan dan penyiangan menggunakan tenaga kerja yang sama untuk keperluan tiga komoditas yang ditanam (cabai, sawi dan tomat). Sehingga dalam perhitungannya dikalikan dengan proporsi penggunaan lahan cabai agar menghasilkan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk tanaman cabai saja. Sedangkan pada kegiatan lainnya seperti penyemaian, pembumbunan, penanaman, pemasangan ajir, pemupukan tambahan, pengobatan dan pemanenan dihitung berdasarkan kebutuhan tanaman cabai saja sehingga dalam perhitungannya tidak dikalikan dengan proporsi penggunaan lahan.

Menurut Gujarati (2006), untuk mendapatkan koefisien regresi (parameter) linier terbaik yang tidak bias maka harus memenuhi kriteria syarat metode

(41)

penduga Ordinary Least Square (OLS). Adapun asumsi OLS tersebut diantaranya:

1) Model linier dalam koefisien (parameter)

2) Tidak terdapat multikolinier dalam variabel indipenden

3) Komponen error tidak berpola acak/random, menyebar normal dengan nilai tengah nol, ragamnya homogen (homoskedastisitas)

Pengujian hipotesis dilakukan dari hasil model fungsi produksi yang dihasilkan dari pengolahan data, pengujian yang dilakukan meliputi:

a. Pengujian terhadap model penduga

Pengujian ini untuk mengetahui apakah faktor produksi yang digunakan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi cabai keriting.

Hipotesis:

H0 : β1 = β2 = ... = βi = 0

H1: salah satu dari b ada ≠0

Uji statistik yang digunakan adalah uji F: F-Hitung =

Keterangan: k = Jumlah variabel termasuk intersept n = Jumlah pengamatan atau responden Kriteria uji:

F-hitung > F-tabel (v1=k, v2=n-k-1) pada taraf nyata α: tolak H0

F-hitung < F-tabel (v1=k, v2=n-k-1) pada taraf nyata α: terima H0

Jika F-hitung > F-tabel (v1=k, v2=n-k-1) pada taraf nyata α maka dapat

disimpulkan bahwa variabel bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan jika F-hitung < F-tabel (v1=k, v2=n-k-1) pada taraf nyata α maka

variabel secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap produksi. Untuk memperkuat pengujian, dihitung besarnya koefisien determinasi (R2) sehingga diketahui seberapa jauh keragaman produksi dapat diterangkan oleh variabel penjelas yang telah dipilih. Koefisien determinasi dapat dituliskan sebagai berikut:

[ ]

b. Pengujian untuk masing-masing parameter

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas.

Hipotesis: H0 : βi = 0

H1 : βi ≠ 0

Uji statistika yang digunakan adalah uji t: t –hitung =

Kriteria uji:

t-hitung > t- tabel (α/2,n-v) pada taraf nyata α: tolak H0

t-hitung < t-tabel (α/2,n-v) pada taraf nyata α: terima H0

Keterangan: v = Jumlah variabel bebas

n = Jumlah pengamatan atau responden

(42)

terhadap parameter tidak bebas. Alternatif pembacaan hasil output dapat juga dilakukan dengan melihat p-value, dengan kriteria sebagai berikut:

1) Jika p-value<α, maka tolak H0. Artinya parameter bebas yang diuji

berpengaruh nyata terhadap parameter tidak bebas.

2) Jika p-value>α, maka terima H0. Artinya parameter bebas yang diuji

berpengaru nyata terhadap parameter tidak bebas. c. Pengujian Multikolinieritas

Multikolinieritas dapat diartikan bahwa ada hubungan linier diantara variabel independen Untuk melihat apakah terjadi multikolinearitas ada banyak cara untuk mendeteksinya, yaitu dengan koefisien determinasi (R2) yang tinggi namun dari uji-t banyak variabel bebas yang tidak signifikan atau dapat diukur dengan Variance Inflation Factor (VIF). Jika VIF (Xi) > 10, maka dapat disimpulkan bahwa model dugaan ada multikoliniearitas. Perhitungan VIF adalah sebagai berikut:

VIF (Xi) =

dimana Rj = Koefisien determinasi dari model regresi dengan variabel dependen Xj dan variabel independent adalah variabel X lainnya.

Analisis Efisiensi Ekonomis

Menurut Soekartawi (1993) Prinsip optimalisasi penggunaan faktor-faktor produksi pada prinsipnya adalah bagaimana menggunakan faktor produksi seefisien mungkin. Kondisi efisiensi harga dipakai sebagai patokan karena model pengukuran efisiensi yang dipakai adalah model fungsi produksi, yaitu bagaimana mengatur penggunaan faktor produksi sedemikian rupa sehingga nilai produk marjinal suatu input X sama dengan harga faktor produksi (input) tersebut. Dalam penelitian ini digunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas, sehingga kondisi produk marjinal dari usahatani cabai keriting adalah sebagai berikut:

Dalam fungsi produksi Cobb-Douglas, maka b disebut dengan koefisien regresi yang sekaligus menggambarkan elastisitas produksi cabai keriting. Dengan demikian, nilai produk marjinal (NPM) faktor produksi X dapat dituliskan sebagai berikut:

Dimana,

b = elastisitas produksi cabai keriting Y = produksi cabai keriting

Py = harga produksi cabai keriting

X = jumlah faktor produksi X dalam usahatani cabai keriting

Kondisi efisiensi harga menghendaki NPMx sama dengan harga faktor

produksi X, atau dapat dituliskan sebagai berikut:

atau

(43)

Dalam penelitian, nilai Y, Py, X dan Px diambil dari nilai rata-ratanya sehingga

persamaannya dapat ditulis sebagai berikut:

̅ ̅

̅ ̅

Kondisi persamaan diatas sulit dicapai karena berbagai hal, antara lain: (a) Keterbatasan pengetahuan petani dalam menggunakan faktor produksi; (b) Petani kesulitan untuk memperoleh faktor produksi dalam jumlah yang tepat waktu; (c) Adanya faktor luar yang menyebabkan petani tidak berusaha secara efisien. Oleh karena itu, kondisi persamaan tersebut dapat ditemui sebagai berikut:

yang dapat diartikan bahwa penggunaan faktor produksi X belum efisien sehingga perlu ditambah penggunaannya.

yang dapat diartikan bahwa penggunaan faktor produksi dianggap belum

efisien sehingga perlu dikurangi penggunaannya.

Analisis Pendapatan Usahatani

Ukuran penampilan usahatani dinyatakan dalam banyak istilah salah satunya yaitu ukuran pendapatan dan keuntungan. Ukuran ini menghitung semua penerimaan dan biaya dalam usahatani baik tunai maupun tidak tunai (Soekartawi et al. 1984). Analisis pendapatan digunakan untuk mengetahui seberapa besar balas jasa terhadap faktor-faktor produksi yang digunakan dalam kegiatan usahatani cabai keriting. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis dengan mengukur pendapatan dan keuntungan usahatani cabai keriting. Tabel 7 merupakan formulasi dari ukuran pendapatan dan keuntungan usahatani cabai keriting.

Pendapatan kotor usahatani (gross farm income) mencakup seluruh produksi cabai keriting yang dihasilkan selama satu kali musim tanam, baik yang dijual, dikonsumsi, ataupun yang disimpan. Pengeluaran total usahatani (total farm expenses) dibagi menjadi dua, yaitu pengeluaran tunai dan tidak tunai. Pengeluaran tunai dalam terdiri dari benih, pupuk kandang, pupuk kimia, obat-obatan, tenaga kerja luar keluarga (TKLK) dan sewa lahan. Sedangkan pengeluaran tidak tunai terdiri dari biaya untuk tenaga kerja luar keluarga dan biaya penyusutan peralatan. Untuk beberapa input seperti pupuk kandang, penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan persiapan lahan dan penyiangan, serta biaya penyusutan peralatan perhitungannya dikalikan dengan proporsi penggunaan lahan untuk tanaman cabai merah (1/3) karena input-input tersebut digunakan secara bersama dengan tanaman tumpang sarinya (sawi dan tomat).

(44)

kepentingan usahatani. Bunga modal pinjaman berlaku jika petani cabai keriting melakukan pinjaman untuk modal usahatani. Jika petani tidak melakukan pinjaman, nilai dari pendapatan bersih dengan penghasilan bersih menjadi sama. Imbalan kepada seluruh modal (return to total capital) diperoleh dari selisih pendapatan bersih usahatani dengan nilai tenaga kerja keluarga, sedangkan imbalan kepada modal petani (return to farm equity capital) merupakan selisih antara penghasilan bersih dengan nilai tenaga kerja keluarga. Selanjutnya imbalan kepada tenaga kerja keluarga (return to family labor) dapat dihitung dari penghasilan bersih usahatani dengan mengurangkan bunga modal petani yang diperhitungkan.

Tabel 7 Ukuran pendapatan dan keuntungan usahatani cabai keriting

URAIAN NILAI (Rp)

A PENDAPATAN KOTOR USAHATANI

(GROSS FARM INCOME)

1. Dijual 2. Dikonsumsi 3. Disimpan

B PENGELUARAN TOTAL USAHATANI

(TOTAL FARM EXPENSES)

1. Pengeluaran Tunai a. Benih

b. Pupuk Kandang c. Pupuk kimia d. Obat-obatan

e Tenaga kerja luar keluarga (TKLK) j. Sewa lahan (per Musim Tanam) 2. Pengeluaran Tidak Tunai

a. Tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) b. Biaya Penyusutan Peralatan (per MT) C PENDAPATAN BERSIH USAHATANI

(NET FARM INCOME) = A – B

D PENGHASILAN BERSIH USAHATANI

(NET FARM EARNINGS) = C – Bunga Modal Pinjaman

E IMBALAN KEPADA SELURUH MODAL

(RETURN TO CAPITAL) = C – Nilai TK keluarga

F IMBALAN KEPADA MODAL PETANI

(RETURN TO FARM EQUITY CAPITAL) = D – Nilai TK keluarga

G IMBALAN TERHADAP TENAGA KERJA

KELUARGA (RETURN TO FAMILY LABOR) = D – Bunga Modal Petani

R/C RASIO = A/B

Sumber: Soekartawi et al. (1984)

(45)

Definisi Operasional

Variabel yang diamati merupakan data dan informasi usahatani cabai keriting yang diusahakan oleh petani, selanjutnta terlebih dahulu didefinisikan untuk mempermudah pengumpulan data yang mengacu pada konsep di bawah ini :

1. Produksi cabai keriting (Y) adalah cabai keriting yang dihasilkan dalam satu musim tanam. Satuan pengukurannya adalah kilogram (kg).

2. Luas lahan (X1) adalah luas lahan yang digunakan untuk berusahatani cabai keriting dengan satuan pengukuran hektar (ha).

3. Benih cabai keriting (X2) adalah jumlah benih cabai keriting yang digunakan petani untuk satu kali musim tanam dengan satuan pengukuran yang digunakan adalah gram (gr).

4. Pupuk kandang (X3) adalah jumlah pupuk kandang yang digunakan petani untuk memupuk tanaman cabai keritingnya selama satu kali musim tanam. Satuan ukuran yang digunakan adalah kilogram (kg).

5. Pupuk phonska (X4) adalah jumlah pupuk phonska yang digunakan petani untuk memupuk tanaman cabai keritingnya selama satu kali musim tanam. Satuan ukuran yang digunakan adalah kilogram (kg).

6. Fungisida (X5) adalah jumlah fungisida yang digunakan petani untuk memberantas penyakit yang menyerang tanaman cabai keriting selama satu kali musim tanam. Satuan ukuran yang digunakan adalah kilogram (kg). 7. Insektisida (X6) adalah jumlah insektisida yang digunakan petani untuk

mengendalikan hama selama satu kali musim tanam. Satuan ukuran yang digunakan untuk insektisida adalah liter (lt)

Gambar

Tabel 2  Perkembangan luas panen, jumlah produksi dan produktivitas cabai
Tabel 3 Luas panen, produksi, dan produktivitas cabai merah di Indonesia
Tabel 4  Perkembangan luas panen, jumlah produksi dan produktivitas cabai
Gambar 2  Perkembangan harga cabai merah (Rp/kg) di tingkat pedagang
+7

Referensi

Dokumen terkait

The existence of corporate responsibility towards employee will improve their performance, companies need to create a conducive working atmosphere, comfortable

Tabel 14 Hasil Tabulasi Silang Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Chikungunya di Wilayah Kerja Puskesmas Jaten Karanganyar ....

Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini ialah, Pengaturan circumstantial evidence dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka pembuktian kasus kartel

perubahan yang saling berkaitan. Desa Adimulya mengalami perubahan dalam penggunaan Bahasa Jawa Banyumas yang dialami oleh kalangan remaja. Bahasa Jawa Banyumas mulai

Pada komponen kegiatan pembelajaran, guru SMP Swasta Surakarta dikategorikan Baik (75 %), hal ini dikarenakan guru dalam merancang kegiatan pembelajaran dengan

Untuk itu dibuatlah sebuah aplikasi back office yang fungsinya digunakan untuk mengolah data-data menjadi lebih terotomatisasi dan mengurangi ketergantungan kepada pihak

Untuk melakukan ujicoba rule firewall dinamis yang digunakan untuk memblokir p2p file sharing (torrent), memblokir paket data ICMP, dan memblokir HTTP diperlukan

interpreted to diagnose the problem and solve it.. 3) Research data collection, means information gathered. to get a clear explanation or understanding about