• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepuasan Perkawinan Pada Suami/Istri Yang Pasangannya Odha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kepuasan Perkawinan Pada Suami/Istri Yang Pasangannya Odha"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

KEPUASAN PERKAWINAN PADA SUAMI/ISTRI

YANG PASANGANNYA ODHA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

STEFANI ANASTASIA

041301115

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya

bahwa skripsi saya yang berjudul :

Kepuasan Perkawinan pada Suami/Istri yang Pasangannya ODHA.

Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penelitian skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini,

saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Maret 2009

Materai

6000

Stefani Anastasia

(3)

Kepuasan perkawinan pada suami/istri yang pasangannya ODHA.

Stefani Anastasia dan Raras Sutatminingsih, M.Si., psikolog

ABSTRAK

Human immunodeficiency virus yang sering disingkat dengan HIV merupakan

virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh orang yang dijangkitinya (Sarafino, 2006). Virus HI tidak sama dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency

Symdrome. Perbedaan yang jelas antara HIV dan AIDS, yaitu AIDS merupakan

kumpulan simptom yang terjadi karena terjangkit HIV. AIDS adalah penyakit infeksi yang disebabkan virus HI yang menyebar melalui kontak darah dan semen (Sarafino, 2006). Perilaku seksual merupakan salah satu kebutuhan dasar sebagaimana kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan (Sugiyati, 2008). Sesuai dengan hierarki kebutuhan Maslow (dalam Lahey, 2004) yang menyatakan terdapat lima kebutuhan dasar manusia dimana kebutuhan yang ketiga adalah kebutuhan untuk mencintai/dicintai (need of loving). Hubungan cinta merupakan bentuk ketertarikan antar pribadi yang menjadi dasar dari suatu perkawinan (Ahmadi, 1999). Menurut Bhrem (2002), perkawinan merupakan ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam, dimana dua individu berikrar di depan umum didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya. Perkawinan mungkin merupakan hal yang berat untuk penderita penyakit terminal termasuk AIDS, dimana perkawinan menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pasangan dan tanggung jawab terhadap masyarakat (Duvall dan Miller, 1985), yang jelas sulit untuk dipenuhi oleh penderita AIDS yang memiliki banyak keterbatasan dan dengan kemungkinan kematian yang sangat tinggi (Sarafino, 2006).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif supaya dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan oleh partisipan. Karakteristik partisipan adalah suami atau istri yang memiliki pasangan ODHA dan partisipan tidak mengidap HIV. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional (theory-based/operational construct

sampling). Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

wawancara mendalam (in-depth interviewing) dan observasi saat wawancara berlangsung.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi psikologis suami/istri ketika mengetahui pasangannya mengidap HIV yaitu terkejut. Aspek kepuasan perkawinan yang terganggu berbeda pada setiap partisipan. Aspek kepuasan perkawinan yang dilihat adalah aspek, komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, resolusi konflik, manejemen keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran. Partisipan I dan partisipan II sama-sama belum merasakan kepuasan perkawinan.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang begitu baik. Terima

kasih atas berkat dan penyertaan yang Engkau berikan kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan seminar ini guna memenuhi persyaratan mata kuliah

seminar bidang psikologi klinis. Tanpa kasih setia-Mu kepada penulis, penulis

tidak mungkin dapat menyelesaikan seminar ini.

Rasa terima kasih yang tidak terhingga penulis berikan kepada papa

(Joseph Eduard Nagel) dan mama (Maria Siburian) atas doa yang tiada hentinya

kepada penulis dan dukungan yang mereka berikan kepada penulis baik moriil

maupun materiil.

Dengan penuh rasa hormat penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

pihak-pihak yang turut membantu dalam proses penyelesaian seminar ini. Ucapan

terima kasih penulis tujukan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Chaerul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Raras Sutatminingsih, M.Si., selaku dosen pembimbing dan penguji I

dalam penyusunan seminar ini. Terima kasih atas waktu, pengertian,

dukungan, kesabaran, dan kesungguhan Ibu dalam membimbing penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Untuk Pak Is yang telah melancarkan surat-surat keluar. Terima kasih ya

(5)

4. Untuk Pak Rahmat, tante Hafni dan kak Dedek yang telah membantu

penulis mendapatkan subjek untuk wawancara pralapangan.

5. Untuk Tika yang selalu memberikan informasi tentang jadwal bimbingan

dan untuk semangat yang diberikan. Semangat ya Tik. Terima kasih untuk

semua anak seminar klinis yang memberikan semangat.

6. Untuk Rayez, Bima, Renny, dan teman-teman lainnya yang turut

membantu dan mendukung penulis.

7. Untuk abang (Martin Patrick, S.H.) dan adek-adek penulis (Gerard

William Nagel dan Olivia Fransiska Nagel) yang telah banyak

memberikan dukungan serta membantu penulis dalam menyusun seminar

ini.

8. Untuk subjek penelitian, terima kasih atas kesediaan dan waktunya dalam

membantu penulis ketika wawancara dan memberikan jawaban-jawaban

yang penulis butuhkan untuk data dalam penulisan ini. Tetap semangat

dalam mendampingi pasangannya, jangan menyerah dan putus asa. Tuhan

selalu beserta kalian.

9. Teman-teman angkatan 2004 terima kasih atas segala dukungan kalian

semua.

Kepada seluruh pembaca, terima kasih telah menyempatkan untuk

membaca seminar penulis. Bahkan yang sekarang sedang membaca seminar ini

(6)

Syalom,

Stefani Anastasia

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI ………... iv

DAFTAR TABEL ………ix

DAFTAR LAMPIRAN ……….x

(7)

A. Latar Belakang masalah ……….. 1

B. Perumusan Masalah ………. 10

C. Tujuan Penelitian ………... 11

D. Manfaat Penelitian ………... 11

E. Sistematika penulisan ………... 12

BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan ... 13

2. Pengertian Kepuasan Perkawinan ... 14

3. Area-area dalam Perkawinan ... 15

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan.. 20

B. ODHA 1. Pengertian ODHA dan HIV/AIDS ... 23

2. Penularan HIV ... 25

3. Reaksi Psikologis Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)... 25

II.C. Paradigma ... 28

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ……….. … 29

B. Partisipan Penelitian ………... … 30

1. Karakteristik Partisipan Penelitian ……… 30

2. Jumlah Partisipan Penelitian ……….. 30

(8)

4. Lokasi Penelitian ………... 31

C. Metode Pengambilan Data ………. 32

1. Wawancara ……….. 32

D. Alat Bantu Pengambilan data ………. 33

1. Alat Perekam (Tape Recorder)………... 33

2. Pedoman Wawancara ………... 34

E. Kredibilitas dan Validitas Penelitian ……….. 34

F. Prosedur penelitian ……….. 35

1. Tahap Pralapangan ………... 35

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ………. 37

3. Tahap pencatatan data ………. 37

4. Prosedur analisa data ……….. 37

BAB IV HASIL ANALISA DATA A. Partisipan I ……… 40

1. Analisa Data ………. 40

a. Identitas Diri Partisipan I ……… 40

b. Deskripsi Data Partisipan I ………. 40

2. Observasi Umum Partisipan I ………. 42

3. Data Wawancara Partisipan I ……….. 46

a. Gambaran Penyebab Pasangan Partisipan Mengidap HIV……….………... 46

(9)

c. Gambaran Kepuasan Perkawinan Partisipan I… 50

4. Interpretasi Data Partisipan I ………. 67

B. Partisipan II ……… 74

1. Analisa Data ………. 74

a. Identitas Diri Partisipan II………. 74

b. Deskripsi Data Partisipan II………. 74

2. Observasi Umum Partisipan II………. 76

3. Data Wawancara Partisipan II……….. 80

a. Gambaran Penyebab Pasangan Partisipan Mengidap HIV……….………... 80

b. Gambaran Masalah Psikologis pada Partisipan II ………. 83

c. Gambaran Kepuasan Perkawinan Partisipan II… 84 4. Interpretasi Data Partisipan II ……….101

C. Analisa Data Antar Partisipan ……… 110

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN A. Kesimpulan ……… 114

B. Saran ……….. 119

DAFTAR PUSTAKA ……….. 121

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan I ... ... 40

Tabel 2. Jadwal Wawancara Partisipan I ………... 42

Tabel 3. Gambaran masalah Psikologis Partisipan I ... 72

Tabel 4. Gambaran Area-area Kepuasan Perkawinan pada Partisipan I… 72

Tabel 5. Gambaran Umum Partisipan II ... 74

Tabel 6. Jadwal Wawancara Respopnden II ... 76

Tabel 7. Gambaran masalah Psikologis Partisipan II ... 108

Tabel 8. Gambaran Area-area Kepuasan Perkawinan pada Partisipan II..108

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Verbatim Subjek I

Verbatim Subjek II

LAMPIRAN 2. Pedoman Wawancara

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Human immunodeficiency virus yang sering disingkat dengan HIV merupakan

virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh orang yang dijangkitinya (Sarafino,

2006). Virus HI tidak sama dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency

Symdrome), walaupun masyarakat atau media massa mencampur-adukkan

keduanya. Perbedaan yang jelas antara HIV dan AIDS, yaitu AIDS merupakan

kumpulan simptom yang terjadi karena terjangkit HIV. AIDS adalah penyakit

infeksi yang disebabkan virus HI yang menyebar melalui kontak darah dan semen

(Sarafino, 2006).

Pertama kali AIDS ditemukan di Indonesia pada tahun 1983 oleh dokter

Zubairi Djoerban yang meneliti dua orang waria penghuni taman lawang dan

dipublikasikan Oktober 1983 (Djoerban, 2001). Secara umum, AIDS

diidentifikasi sejak tahun 1981 yang dipandang sebagai penyakit homoseksual.

Pada tahun 1982, AIDS muncul pada penderita hemofilia. Ilmuwan

memperbaharui teori AIDS dan mempersepsikan bahwa AIDS diakibatkan oleh

virus yaitu virus HI (dalam Ogden, 2000).

Virus HI belakangan ini menjadi salah satu krisis kesehatan karena dapat

mengancam kestabilan negara. Virus HI menjadi masalah besar karena

diidentifikasi sebagai penyakit yang melibatkan lapisan masyarakat yang paling

(13)

perhatian akan penyakit ini disebabkan oleh kenyataan bahwa virus ini sangat

membahayakan nyawa banyak orang dan menyerang semua kalangan yang

mungkin bersentuhan langsung dengan virus ini (Sarafino, 2006). Saat ini AIDS

menduduki peringkat keempat penyebab kematian terbesar di dunia (Sugiyati,

2008).

Virus HI sangat mengkhawatirkan karena kemampuan virus untuk bertahan

dalam tubuh manusia dan hingga sekarang belum ditemukan formula yang paling

ampuh untuk mengatasinya (Sugiyati, 2008). Pengetahuan medis saat ini hanya

sanggup untuk menahan perkembangan virus ini dengan mengkonsumsi obat

antiretroviral yang biasa disebut ARV, sehingga HIV menjadi salah satu virus

yang paling ditakuti (Sarafino, 2006).

Penyebaran virus HI dapat terjadi melalui pertukaran jarum suntik, transfusi

darah, dan hubungan seksual. Perilaku seksual yang menjadi bagian cara

penularan HIV/AIDS belum dijadikan sebagai suatu hal yang penting dalam

masyarakat (Sugiyati, 2008).

Perilaku seksual merupakan salah satu kebutuhan dasar sebagaimana

kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan (Sugiyati, 2008). Sesuai

dengan hierarki kebutuhan Maslow (dalam Lahey, 2004) yang menyatakan

terdapat lima kebutuhan dasar manusia dimana kebutuhan yang ketiga adalah

kebutuhan untuk mencintai/dicintai (need of loving). Setiap manusia dan tidak

terlepas ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) juga mempunyai kebutuhan yang

(14)

bentuk ketertarikan antar pribadi yang menjadi dasar dari suatu perkawinan

(Ahmadi, 1999).

Menurut Bhrem (2002), perkawinan merupakan ekspresi akhir dari suatu

hubungan yang mendalam, dimana dua individu berikrar di depan umum

didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya.

Perkawinan didefinisikan secara akurat sebagai hubungan yang diakui secara

sosial antara seorang pria dan seorang wanita yang menyediakan hubungan

seksual dan kemampuan atau keinginan mempunyai anak. Sangat penting

membuat konsep perkawinan dan keluarga sejelas mungkin (Duvall dan Miller,

1985).

Perkawinan bukanlah peristiwa hidup yang tunggal, tetapi merupakan satu set

tahapan dimana pasangan mencoba untuk mencapai keseimbangan antara

ketergantungan dan otonomi sebagaimana mereka bernegosiasi terhadap masalah

kontrol, kekuasaan dan otoritas (Kovacs, dalam Kurdeck, 1999). Setiap orang

mungkin mempunyai pertimbangan yang berbeda ketika harus memutuskan untuk

memasuki lembaga perkawinan, yang dikategorikan ke dalam dua faktor utama,

push factor, yaitu faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk segera

memasuki perkawinan; dan pull factors, yaitu faktor-faktor daya tarik yang

menetralisir kekhawatiran seseorang untuk terikat dalam perkawinan yang akan

mengurangi kebebasan (Turner & Helms, dalam Domikus, 1999).

Perkawinan mungkin merupakan hal yang berat untuk penderita penyakit

terminal termasuk AIDS, dimana perkawinan menuntut pemenuhan

(15)

1985), yang jelas sulit untuk dipenuhi oleh penderita AIDS yang memiliki banyak

keterbatasan dan dengan kemungkinan kematian yang sangat tinggi (Sarafino,

2006).

Keterbatasan itu berhubungan dengan menurunnya kekebalan tubuh mereka,

ODHA akan menghadapi banyak masalah fisik (Dimatteo, 1991). Masalah fisik

yang mungkin akan dialami oleh ODHA, yaitu seperti warna kulit yang berubah

dan infeksi dari penyakit yang membuat penderita HIV/AIDS semakin takut akan

kematian, yang dipaparkan dalam kutipan hasil wawancara berikut:

“….aku melihat istriku makin lama kulitnya makin gosong kayak terbakar gitu, apalagi semenjak konsumsi ARV, makin parah... istriku dek, gampang kali sakit, sariawan terus batuk-batuk… yang aku tahu, orang kena HIV/AIDS mudah kali diserang penyakit, kan kekebalan kita yang diserangnya…. tadi aku lihat banyak kali orang yang kurus-kurus datang ke sini, nanti istriku gitu juga gak ya?” (Komunikasi Personal, 08 Mei 2008).

Selain itu, ODHA juga mengalami tekanan psikologis karena HIV/AIDS

termasuk salah satu penyakit yang mengakibatkan kematian (terminal illness).

Kondisi yang biasanya menyertai terminal illness antara lain ketakutan akan

kematian, penyangkalan, marah, menutup diri (diam) dan stress (Dimatteo, 1991).

Selain itu, AIDS seringkali membawa implikasi yang berat terhadap orang yang

dekat dengan penderita terutama pasangan penderita penyakit terminal yang turut

merasakan penderitaan yang dialami pasangannya (Pence dkk, 2006).

Sejalan dengan pernyataan di atas yang mengatakan bahwa dampak penyakit

terminal bisa berupa stress yang diakibatkan oleh tekanan yang datang dari

masyarakat yang menganggap HIV/AIDS sebagai ‘penyakit kaum nakal’,

‘penyakit gay’ dan ‘penyakit kutukan’. Perlakuan ini menyebabkan penderita

(16)

ini bahkan datang dari keluarga penderita itu sendiri, sesuai dalam kutipan

wawancara berikut:

“…kemarin itu waktu dia diopname disini, dia kena sariawan, aku bilang ama dia, dek maaf ya, abang megang adek pake sarung tangan karena abang takut bukan karena abang jijik ama adek. Jadi kemarin itu kan dek, istri abang ini bibirnya pecah-pecah semua....” (Komunikasi Personal, 8 Mei 2008).

Dampak stress juga dialami oleh pasangan penderita penyakit. Penelitian oleh

Dehle dkk juga menemukan bahwa tekanan stress yang dialami pasangan dapat

menyebabkan penurunan dalam kepuasan perkawinan. (Hollist dkk, 2007).

Penelitian oleh Pence dkk (2006) juga menemukan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara cinta, komunikasi dan keintiman fisik terhadap kepuasan

dalam perkawinan. Kurangnya cinta, komunikasi dan keintiman fisik berpengaruh

terhadap penurunan kualitas kepuasan dalam perkawinan.

Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat

dimana mereka merasakan perkawinan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan

harapannya (Huges & Noppe, 1985). Sementara itu, terkadang pasangan penderita

AIDS sulit untuk menerima kenyataan bahwa mereka dituntut untuk menjadi

pengasuh pasangannya yang mengalami keterbatasan setelah menderita AIDS

(Pence dkk, 2006).

Chappel dan Leigh (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) menjelaskan

kepuasan perkawinan sebagai evaluasi subjektif terhadap kualitas perkawinan

secara keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap perkawinan yang

telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang

(17)

seluruhnya. Ia merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan

dengan sebelum menikah.

Campbell (dalam Domikus, 1999) menemukan bahwa orang-orang yang

terikat dalam perkawinan seharusnya merasakan kepuasan hidup yang lebih tinggi

dibandingkan ketika mereka menduda, menjanda atau sebelum menikah.

Kepuasan hidup yang diperoleh melalui perkawinan ini disebabkan karena hampir

seluruh dimensi kebutuhan manusia dapat dipenuhi melalui perkawinan,

sebagaimana dikemukakan oleh Walgito (dalam Domikus, 1999) bahwa melalui

perkawinan manusia dapat memenuhi kebutuhan fisiologis atau biologis,

psikologis, sosial, dan religious.

Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), kepuasan perkawinan dapat

diukur dengan melihat area-area dalam perkawinan, seperti komunikasi, kegiatan

di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan

keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, dan

kesetaraan peran.

Terdapat beberapa area dalam perkawinan yang dapat mengukur kepuasan

perkawinan dimana salah satunya adalah komunikasi yang melihat bagaimana

perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya yang

berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam

berkomunikasi, dimana mereka saling berbagi dan menerima informasi tentang

perasaan dan pikirannya (Olson & Fowers, dalam Saragih, 2003) Masalah dalam

perkawinan akan muncul ketika komunikasi tidak terjalin dengan baik ( Kelly,

(18)

hubungannya dengan kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh kedua individu

(Sawitri, 2005).

Area perkawinan yang kedua yang dapat mengukur kepuasan perkawinan

menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) adalah kegiatan di waktu luang

untuk melihat apakah suatu kegiatan yang dilakukan merupakan pilihan personal

atau bersama, serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama

pasangan. Pasangan yang mengisi waktu senggang bersama-sama menunjukkan

tingkat kepuasan perkawinan yang tinggi (Newman & Newman, 2006).

Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) mengatakan bahwa area yang ketiga

untuk mengukur kepuasan perkawinan adalah orientasi keagamaan. Landis &

Landis (dalam Wahyuningsih, 2002) menyatakan tingkat religiusitas dalam

perkawinan dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan

sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan. Pria dan wanita

menemukan agama sebagai sumber kesenangan dan kebahagiaan yang lebih besar

daripada yang pernah diperoleh sebelumnya (Hurlock, 1999), sehingga untuk

mencapai kepuasan perkawinan, seseorang harus mendapat kepuasan beragama

(Jane, 2006).

Penyelesaian konflik yang merupakan persepsi suami atau istri terhadap

konflik dan penyelesaiannya dikemukakan oleh Olson & Fowers (dalam Saragih,

2003) sebagai area yang keempat dalam perkawinan untuk mengukur kepuasan

perkawinan. Kemampuan untuk mengatasi konflik bisa diwujudkan bila semua

anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah dan mendiskusikan

(19)

Area yang kelima dalam perkawinan yang dapat mengukur kepuasan

perkawinan menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) adalah pengelolaan

keuangan yang menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan,

bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Kesulitan dalam

bidang ekonomi sehingga mengurangi pendapatan keluarga dapat muncul karena

adanya masalah kesehatan (Emmanuel et all., 2000). Kesulitan ekonomi

merupakan masalah yang menyebabkan pengaruh negatif dalam perkawinan,

dimana hal ini dapat menyebabkan penurunan terhadap kepuasan perkawinan

(Conger et al., 1990).

Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), hubungan seksual

merupakan salah satu area yang mempengaruhi kepuasan perkawinan. Kepuasan

seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu jika pasangan memahami

dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain. Selain itu mereka juga mampu

mengungkapkan hasrat dan cinta mereka.

Keluarga dan teman termasuk dalam area perkawinan untuk mengukur

kepuasan perkawinan (Olson & Fowers dalam saragih, 2003). Perkawinan akan

cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian waktunya

bersama keluarga sendirinya, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya,

dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu yang lama (Hurlock,

1999).

Area berikutnya dalam perkawinan untuk mengukur kepuasan perkawinan

adalah kehadiran anak dan pengasuhan anak. Fokusnya adalah bagaimana

(20)

serta bagaimana pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan.

Kesepakatan dengan pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting

halnya dalam perkawinan. Kehadiran anak akan mengurangi waktu bersama

pasangannya yang juga mempengaruhi waktu senggang antara istri dengan suami

(Hendrick & Hendrick, 1992).

Kepribadian merupakan salah satu area dalam perkawinan yang juga

mengukur kepuasan perkawinan (Olson & Fowers dalam Saragih, 2003).

Matthews (1996) mengatakan bahwa tingkah laku dan kepribadian pasangan dapat

menyebabkan kekecewaan terhadap pasangan jika tidak sesuai dengan apa yang

diharapkan, namun jika tingkah laku pasangan sesuai dengan apa yang diharapkan

dapat menimbulkan perasaan puas (Matthews, 1996).

Kesetaraan peran merupakan area terakhir dalam pengukuran kepuasan

perkawinan yang telah dikemukakan oleh Olson & Fowers (dalam saragih, 2003).

Agoestinelli menyatakan bahwa peran dalam kehidupan perkawinan berkaitan

dengan pekerjaan, tugas rumah tangga, peran jenis kelamin dan peran sebagai

orangtua (Kail & Cavanaugh, 2000).

Terdapat juga beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan.

Duvall (dalam Domikus, 1999) menyatakan bahwa salah satu dari faktor-faktor

tersebut adalah kehadiran anak.

Peneliti melakukan wawancara pada seorang suami yang istrinya terinfeksi

virus HI, berikut kutipan wawancara tersebut:

(21)

jadinya pikir positiflah, rupanya dia gitu karena sayang ma aku, dia gak mau aku kena juga kayak dia…. sejujurnya ya pasti pernahlah gak pake kondom cuma dia agak aneh gitu, takut-takut dia buatnya…” (Komunikasi Personal, 08 Mei 2008).

Peneliti juga melakukan wawancara pada seorang istri yang suaminya

terserang virus HI, berikut kutipan wawancara tersebut:

“……saya bahagia kok, orangtua saya mendukung saya dan suami saya… saya udah mikirin masak-masak sebelum saya menikah, jadi nggak ada penyesalan bagi saya… memang kami belum punya anak, bukan karena nggak bisa, siapa bilang kami nggak bisa punya anak, tapi kami sedang menunggu waktu aja, kami sekarang fokus ke finansial dulu, nanti anak saya gimana kalau kami sendiri belum mapan… memang kami selalu kontrol ke dokter, jadi dokter selalu mengecek kapan harinya virus itu tidak sedang aktif-aktifnya jadi saya bisa punya anak tanpa saya dan anak saya terkena virus itu…” (Komunikasi Personal, 08 Maret 2008).

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa pasangan ODHA memerlukan

perawatan yang intensif agar memiliki anak yang tidak terkena virus HI begitu

juga dengan pasangannya. Keterbatasan pencapaian salah satu aspek pemenuhan

kepuasan perkawinan tersebut memunculkan pertanyaan apakah pasangan ODHA

kesulitan untuk mencapai kepuasan dalam perkawinan secara keseluruhan.

Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana

gambaran kepuasan perkawinan pada suami/istri yang pasangannya ODHA.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana kepuasan perkawinan pada

pasangan ODHA”. Proses tersebut dilihat dari:

(22)

2. Bagaimana reaksi psikologis yang dialami oleh suami/istri ketika

mengetahui pasangannya mengidap HIV/AIDS?

3. Bagimana kepuasan perkawinan pada suami/istri apabila pasangannya

mengidap HIV/AIDS?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kepuasan perkawinan

pada pasangan ODHA. Hal ini penting untuk diketahui mengingat pentingnya

kepuasan perkawinan pada manusia termasuk pada ODHA.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi bidang

psikologi pada umumnya dan secara khusus dapat menambah khasanah ilmu

pada psikologi klinis bidang kesehatan mengenai kepuasan perkawinan pada

pasangan ODHA.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan penelitian ini memberikan masukan ataupun sumbangan

informasi kepada pasangan ODHA agar mereka mengetahui faktor-faktor

apa saja yang dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan.

b. Sebagai wacana/pengetahuan mengenai kepuasan perkawinan pada

pasangan ODHA, selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat

(23)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Dalam Bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam

pembahasan masalah, yang berisi kepuasan perkawinan: pengertian

perkawinan, pengertian kepuasan perkawinan, area-area dalam

perkawinan, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan;

ODHA: pengertian ODHA dan HIV/AIDS, penularan HIV, reaksi

psikologis ODHA.

Bab III : Metodologi Penelitian

Dalam Bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang digunakan oleh

peneliti dalam hal ini adalah metode penelitian kualitatif; metode

pengumpulan data: wawancara; alat pengumpulan data: alat perekam,

pedoman wawancara; subjek dan lokasi penelitian: karakteristik subjek

penelitian, jumlah subjek penelitian, teknik pengampilan subjek, lokasi

penelitian; prosedur penelitian: tahap pralapangan, tahap pelaksanaan

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KEPUASAN PERKAWINAN

1. Pengertian Perkawinan

Bhrem (2002) menyatakan bahwa perkawinan merupakan ekspresi akhir dari

suatu hubungan yang mendalam, dimana dua individu berikrar di depan umum

didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya.

Duvall (1985) menyatakan bahwa perkawinan adalah persetujuan masyarakat

atas penyatuan suami dan istri dengan harapan mereka akan menerima tanggung

jawab dan melakukan peran sebagai pasangan suami istri dalam kehidupan

perkawinan.

Undang-Undang RI tahun 1974 Pasal 1 tentang perkawinan menyebutkan

bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami

istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Astuti, 2003).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka perkawinan disimpulkan sebagai

suatu hubungan yang diawali ketika dua orang individu yang berlainan jenis

saling mengucapkan janji di depan umum untuk hidup bersama sebagai suami istri

dan membentuk keluarga atas keinginan dan harapan untuk menetapkan hubungan

yang bahagia dan kekal sepanjang hidup berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pengertian perkawinan dimasukkan peneliti dalam penelitian ini agar peneliti

(25)

2. Pengertian Kepuasan Perkawinan

Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) mendefinisikan kepuasan perkawinan

sebagai evaluasi terhadap area-area dalam perkawinan yang mencakup

komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik,

pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan

pengasuhan anak, dan kesetaraan peran.

Symonds & Horvath (dalam Judge dkk, 2006) menyebutkan pengertian

kepuasan perkawinan sebagai:

“an attitude of greater or lesser favorability toward one’s own marital

relationship”.

Menurut Roach, dkk (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) kepuasan

perkawinan merupakan persepsi terhadap kehidupan perkawinan seseorang yang

diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu

tertentu.

Secara umum, Chappel dan Leigh (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004)

menjelaskan kepuasan perkawinan sebagai evaluasi subjektif terhadap kualitas

perkawinan secara keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap

perkawinan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan

dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian

ataupun seluruhnya. Ia merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap

dibandingkan dengan sebelum menikah.

Hendrick & Hendrick (1992) mengemukakan istilah-istilah yang termasuk

dalam kepuasan perkawinan: kebahagiaan dan penyesuaian dalam perkawinan,

(26)

perkawinan, frekuensi berhubungan seksual, frekuensi perbedaan pendapat, ada

atau tidak ada penyesuaian tentang perkawinan, ketelibatan emosional dengan

anak-anak, dan berbagai perasaan lain, ekspresi verbal dan tingkah laku yang

menjadi ciri evaluasi dari suatu hubungan.

Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat

dimana mereka merasakan perkawinan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan

harapannya (Huges & Noppe, 1985).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka disimpulkan bahwa kepuasan

perkawinan adalah evaluasi mengenai kehidupan perkawinan yang dapat diukur

dengan melihat area-area dalam perkawinan yang mencakup: komunikasi,

kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan

keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak,

kepribadian dan kesetaraan peran.

Pengertian kepuasan perkawinan dimasukkan peneliti dalam penelitian ini

agar peneliti mengetahui arti dari kepuasan perkawinan sebelum melakukan

penelitian.

3. Area-area dalam Perkawinan

Kepuasan perkawinan dapat diukur dengan melihat area-area dalam

perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson & Fowers (dalam

(27)

a. Komunikasi

Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam

berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang

yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka

saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya

yang membagi komunikasi perkawinan dalam lima elemen dasar, yaitu:

openness (adanya keterbukaan antar pasangan), honesty (kejujuran

terhadap pasangan), ability to trust (kemampuan untuk mempercayai satu

sama lain), emphaty (kemampuan mengidentifikasi emosi dan pasangan),

listening skill (kemampuan menjadi pendengar yang baik).

b. Kegiatan di waktu luang

Area ini menilai pilihan kegiatan unutk mengisi waktu senggang yang

merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area

ini juga melihat apakah suatu kegiatan yang dilakukan merupakan pilihan

personal atau bersama, serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang

bersama pasangan. Pasangan sama-sama merasa senang dan dapat

menikmati kebersamaan yang mereka ciptakan.

c. Orientasi keagamaan

Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana

pelaksanaannya dalam kehidupan perkawinan. Menurut Landis & Landis

(dalam Wahyuningsih, 2002), tingkat religiusitas dalam perkawinan dapat

mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari

(28)

keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli terhadap

hal-hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu

akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orangtua mengajarkan

dasar-dasar agama yang dianut kepada anaknya, dan merasa bahwa

mereka wajib memberi teladan kepada anaknya dengan membiasakan diri

beribadah, melaksanakan praktek agama, bersembahyang secara teratur,

ikut dalam kegiatan atau organisasi agama (Hurlock, 1999).

d. Penyelesaian konflik

Area ini menilai persepsi suami istri terhadap konflik serta

penyelesaiannya. Fokus pada area ini adalah keterbukaan pasangan untuk

mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang

digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Sebagaimana dinyatakan

oleh Kail & Cavanaugh (2000) bahwa kebahagiaan dalam perkawinan

dapat terbina dengan melakukan komunikasi yang konstruktif dan positif

mengenai masalah yang sedang dihadapi.

e. Pengelolaan keuangan

Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan,

bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Henslin

(1985) mengemukakan bahwa pasangan yang senang dengan pemasukan

yang mereka peroleh akan cenderung puas terhadap perkawinannya, tetapi

mungkin saja keluarga yang memiliki kondisi ekonomi yang buruk dapat

bahagia dan langgeng selama tercipta kesepakatan bersama dalam

(29)

pasangan menunjukkan otoritas terhadap pasangannya dan meragukan

kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.

f. Hubungan seksual

Area ini melihat bagaimana perasaan pasangan dalam kasih sayang dan

hubungan seksual. Fokusnya area ini adalah refleksi sikap yang

berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta

kesetiaan pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab

pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak tercapai kesepakatan

yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring

berjalannya waktu jika pasangan memahami dan mengetahui kebutuhan

mereka satu sama lain. Selain itu mereka juga mampu mengungkapkan

hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan

pasangan dan memilih waktu yang tepat untuk berhubungan seksual dapat

tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. Kualitas dan kuantitas

hubungan seksual adalah hal yang penting bagi kesejahteraan perkawinan.

g. Keluarga dan teman

Area ini menilai perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan

kerabat, mertua serta teman-teman dapat dilihat dalam area ini. Area ini

merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama

keluarga dan teman-teman. Hubungan yang baik antara menantu dan

mertua juga dengan saudara ipar dapat terjadi jika individu dapat

menerima keluarga pasangan seperti keluarganya sendiri. Perkawinan akan

(30)

waktunya bersama keluarga sendirinya, jika ia juga mudah dipengaruhi

oleh keluarganya, dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam

waktu yang lama (Hurlock, 1999).

h. Anak dan pengasuhan anak

Area ini menilai sikap dan perasaan tentang menjadi orangtua, memiliki

dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua

menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak

serta bagaimna pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan

pasangan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya

yang dapat menimbulkan kepuasan jika itu dapat tercapai. Kesepakatan

dengan pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya

dalam perkawinan.

i. Kepribadian

Area ini menilai persepsi individu mengenai persoalan yang berhubungan

dengan tingkah laku pasangannya dan tingkat kepuasan dalam setiap

persoalan tersebut. Area ini melihat penyesuain diri dengan tingkah laku,

kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya, sebelum

menikah individu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari

perhatian pasangannya bahkan dengan pura-pura menjadi orang lain.

Namun setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul dan

perbedaan dari apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi dalam

menimbulkan masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai

(31)

pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan

senang dan bahagia.

j. Kesetaraan peran

Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam

dalam kehidupan perkawinan. Fokusnya adalah para pekerja, tugas rumah

tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orangtua. Hurlock

(1999) menjelaskan bahwa konsep egalitarian menekankan individualitas

dan persamaan derajat antara pria dan wanita. Suatu peran harus

mendatangkan kepuasan pribadi dan tidak hanya berlaku untuk jenis

kelamin tertentu. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik

di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan

istri lebih besar dan jabatan lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan

untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan potensi yang

dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki

untuk mendapatkan kepuasan pribadi.

Peneliti memasukkan teori mengenai area-area dalam perkawinan agar peneliti

mengetahui bagian-bagian apa saja yang penting atau yang utama dalam

perkawinan sehingga peneliti dapat mengetahui bagian mana yang terpenuhi dan

yang tidak terpenuhi pada pasangan ODHA.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan antara lain, sebagai

(32)

a. Kehadiran anak

Duvall (dalam Domikus, 1999) menyatakan bahwa hadirnya anak di

kemudian hari terbukti potensial dalam mengurangi kepuasan perkawinan,

mengingat keakraban dan perhatian suami istri terbagi dengan anak. Selain

itu, anak menuntut banyak energi dan juga uang dalam banyak hal akan

menambah kompleks beban keluarga. Ditambahkan oleh Kurdek (dalam

Bhrem, 2002) bahwa anak adalah pekerjaan yang tidak ada akhirnya, dan

sebagian besar orangtua mengalami penurunan yang drastis dan tidak

diharapkan dalam menikmati waktu berdua. Ketika bayi lahir, konflik

meningkat dan kepuasan perkawinan (dan cinta terhadap pasangan)

menurun, khususnya pada wanita (Belsky, dalam Bhrem, 2002). Selain

menambah stress pasangan (Hendrick & Hendrick, 1992), kehadiran anak

dalam keluarga juga meningkatkan kemungkinan terjadinya perceraian

(Katvetz, Warner & Acock, dalam Bhrem, 2002).

b. Tingkat pendidikan

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Kurdek (dalam Lefrancois,

1993), ditemukan bahwa bagi pria dan wanita, rendahnya tingkat

pendidikan merupakan salah satu faktor yang berhubungan terjadinya

persengketaan dalam perkawinan. Hal ini terjadi karena kurangnya

pendidikan akan mengurangi kesempatan untuk mengembangkan

ketrampilan verbal dan sosial dalam menyelesaikan konflik, dan persiapan

yang kurang baik terjadi pada awal perkawinan. Ditambahkan oleh

(33)

pendidikan rendah merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih

banyak menghadapi stressor seperti pengangguran dan tingkat penghasilan

yang rendah.

c. Latar belakang sosial ekonomi

Status sosial ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat

menimbulkan bahaya dalam hubungan perkawinan (Hendrick & Hendrick,

1992). Umumnya, individu dengan status pekerjaan rendah, kurang

pendidikan, dan pendapatan yang rendah memiliki kemungkinan lebih

tinggi untuk bercerai (Kitson et al; Karney & Brabury, dalam Bhrem,

2002).

d. Usia ketika menikah

Pada wanita, usia ketika pertama kali menikah merupakan faktor penting

yang berhubungan dengan kepuasan perkawinan. Pada umumnya, semakin

dewasa wanita ketika menikah, maka akan semakin bahagia ia dalam

perkawinannya. Selain itu, ditemukan juga bahwa remaja yang menikah

memiliki frekuensi dua kali lebih besar untuk bercerai dibandingkan

dengan wanita yang lebih dewasa (Lefrancois, 1993).

e. Lama perkawinan

Sebagaimana dikemukakan oleh Duvall (dalam Lefrancois, 1993) bahwa

tingkat kepuasan tertinggi terjadi awal perkawinan, menurun setelah

kelahiran anak pertama, dan meningkat kembali setelah anak terakhir

(34)

Peneliti memasukkan teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

kepuasan perkawinan agar di dalam penelitian, peneliti dapat melihat kepuasan

perkawinan pada pasangan ODHA.

B. ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS)

1. Pengertian ODHA dan HIV/AIDS

ODHA yang merupakan singkatan dari Orang Dengan HIV/AIDS adalah

seseorang yang setelah menjalankan tes atau pemeriksaan darah dinyatakan

terinfeksi HIV/AIDS (Tuapattinaja, 2004).

Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih sering disingkat

dengan AIDS adalah penyakit menular yang disebabkan oleh suatu virus yang

disebut dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu virus yang

melumpuhkan sistem kekebalan tubuh manusia. Individu yang AIDS rentan

terjangkit berbagai penyakit yang mengancam (Sarafino, 1998).

Sebenarnya penyebutan AIDS sebagai penyakit (disease) tidaklah tepat karena

penyakit yang menyerang sangat bervariasi. Oleh karena itu lebih tepat kalau

AIDS disebut sindrom atau kumpulan gejala penyakit (Pusdiknakes, 1997).

Virus HI ditularkan khususnya dengan pertukaran cairan tubuh yaitu cairan

seksual dan darah (Taylor, 1995). Agar berpindah dari satu orang ke yang lain,

HIV umumnya butuh kontak dengan sel yang memiliki molekul CD-4. Sel

tersebut ditemukan dalam sistem kekebalan tubuh yang disebut sel T-Hepler.

Proses penularan dari HIV mengikuti tahapan sebagai berikut (Ogden, 2000):

(35)

b. Virus HI masuk dalam sitoplasma.

c. Sel itu sendiri menghasilkan DNA pro-viral yang adalah kopian dari sel

tuan rumah (host cell).

d. Pro-virus ini memasuki inti sel tuan rumah (host cell).

e. Sel tuan rumah (host cell) memproduksi partikel viral baru dengan

membaca kode viral dari DNA viral.

f. Partikel viral ini mulai keluar dan mempengaruhi sel baru.

g. Akhirnya, setelah memperbanyak diri, sel tuan rumah (host cell) mati.

HIV menyerang dan merusak tipe khusus dari sel darah putih, yaitu limposit

T4. Sel T4 disebut “gelandang” sistem kekbalan tubuh. Sel T4 mengenali zat-zat

asing lain dalam tubuh (patogen) yang menyerang dan memerintahkan sel darah

putih tipe lain untuk membentuk antibodi untuk menyerang sel yang tertular

(Nevid, Rathus, & Greene, 1994). Dengan adanya HIV, sel T4 menjadi rusak

sehingga mengakibatkan sistem kekebalan tubuh berangsur-angsur menurun.

Karena sistem kekebalan menurun, seseorang yang telah terinfeksi HIV akan

mudah diserang bibit penyakit (Santrock, 2002).

Pada waktu sistem kekebalan tubuh sudah semakin parah, seseorang pengidap

HIV akan berkembang menjadi AIDS, yang ditandai oleh sekumpulan gejala, dan

kondisinya akan terus menerus memburuk sampai akhirnya kemudian meninggal

(Santrock, 2002).

Peneliti menguraikan arti dari ODHA dan HIV/AIDS untuk mengetahui apa

(36)

2. Penularan HIV

Para ahli mengatakan bahwa HIV dapat ditularkan melalui (Kalichman dalam

Santrock, 2002):

a. Hubungan seksual

b. Pertukaran jarum suntik

c. Transfusi darah

d. Kontak lain secara langsung dari luka atau selaput lender dengan darah

dan cairan seksual.

Peneliti memasukkan teori tentang penularan HIV/AIDS dikarenakan hal ini

memberikan informasi kepada peneliti tentang penyebab ODHA yang merupakan

pasangan dari subjek penelitian terkena HIV/AIDS.

3. Reaksi Psikologis Suami/Istri yang Pasangannya ODHA

Kubler-Ross (dalam Santrock, 2002) mengemukakan lima tahapan reaksi

psikologis dalam menghadapi kematian pada pasien-pasien terminal illness

(penyakit yang mengakibatkan kematian). AIDS termasuk salah satu penyakit

yang mengakibatkan kematian. Tahapan reaksi psikologis tersebut, yaitu:

a. Penyangkalan dan isolasi (denial and isolation)

Seseorang menyangkal bahwa kematian benar-benar terjadi. Seseorang

berkata, “Tidak, bukan saya. Ini tidak mungkin.” Ini adalah reaksi pada

penyakit kematian (terminal illness). Penyangkalan biasanya hanya

pertahanan sementara dan akhirnya digantikan dengan meningkatnya

(37)

pertimbangan keuangan, urusan yang belum selesai dan khawatir

mengenai anggota keluarga yang masih hidup.

b. Marah (anger)

Seseorang menyadari bahwa penyangkalan tidak dapat lagi dipertahankan.

Penyangkalan sering memunculkan kemarahan, kebencian, kegusaran, iri

hati. Pertanyaan yang biasanya muncul pada orang yang menghadapi

kematian adalah, “Mengapa saya?” pada tahap ini seseorang menjadi

semakin sulit untuk dirawat karena kemarahan seringkali salah sasaran dan

diproyeksikan terhadap dokter, perawat, anggota keluarga dan Tuhan.

c. Tawar-menawar (bargaining)

Seseorang mengembangkan harapan bahwa kematian dapat ditunda.

Beberapa orang masuk ke dalam tawar-menawar atau negosiasi –

seringkali dengan Tuhan– sambil mencoba untuk menunda kematian.

Secara psikologis seseorang berkata, “Ya, saya, tetapi ….” Dalam usaha

mendapatkan perpanjangan waktu untuk beberapa hari, minggu atau bulan

dari kehidupan, seseorang berjanji untuk merubah kehidupan dan

mendedikasikannya pada Tuhan atau melayani orang lain.

d. Depresi (depression)

Pada tahap ini, periode depresi dan kesedihan muncul. Seseorang yang

menghadapi kematian menjadi pendiam, menolak pengunjung dan

meluangkan banyak waktu untuk menangis atau bersedih. Perilaku ini

normal pada keadaan ini dan sebenarnya adalah usaha unutk memisahkan

(38)

yang menghadapi kematian ini mengecilkan hati karena mereka butuh

untuk merenungkan kematian yang akan datang.

e. Penerimaan (acceptance)

Seseorang mengembangkan rasa damai, menerima takdir. Pada tahap ini,

perasaan dan rasa sakit dan fisik hilang. Kubler-Ross menjelaskan tahap

kelima ini sebagai akhir dari pergumulan kematian, istirahat terakhir

sebelum meninggal.

Tetapi tidak semua individu mengikuti urutan yang sama. Beberapa individu

berjuang hingga akhir, mencoba mati-matian untuk tetap berpegang pada hidup

mereka. Mereka tidak pernah menerima datangnya kematian tersebut (Santrock,

2002).

Sebuah pandangan menunjukkan fakta dari beberapa pasien kematian yang

mengikuti rangkaian penyesuaian dengan rapi dan terprediksi, tetapi sebagian

besar emosi, dan koping seseorang seseorang berubah-ubah, dapat kembali

ketahapan sebelumnya dan berlanjut ke tahapan selanjutnya. Beberapa orang

melewati tahap spesifik seperti marah lebih dari masa penyesuain mereka; yang

lain menjalani lebih dari satu reaksi emosi secara bersamaan dan beberapa

tampaknya melewati tahapan yang melompat-lompat (Reed et all, dalam Sarafino,

2006).

Peneliti memasukkan teori mengenai reaksi psikologis ODHA untuk

mengetahui bagaimana dampak psikologis pada ODHA dan pasangannya serta

bagaimana perilaku-perilaku mereka. Gejala psikologis yang ada pada ODHA dan

(39)

C. PARADIGMA

Menikah

ODHA

Pasangan

ODHA

Kepuasan perkawinan (Olson &

Fower dalam Saragih, 2003):

1.

Komunikasi

2.

Kegiatan di waktu luang

3.

Orientasi keagamaan

4.

Penyelesaian konflik

5.

Pengelolaan keuangan

6.

Hubungan seksual

7.

Keluarga dan teman

8.

Anak dan pengasuhan anak

9.

Kepribadian

10. Kesetaraan peran

Reaksi

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2000), metode penelitian

kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati. Penelitian ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab

pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya.

Penelitian kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia

responden secara keseluruhan dari perspektif subjek sendiri dan yang menjadi

instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).

Pendekatan holistik mengasumsikan bahwa keseluruhan fenomena perlu

dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks, dan hal ini lebih bermakna

daripada penjumlahan bagian-bagian kecil (Patton dalam Poerwandari, 2007).

Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997), metode kualitatif memungkinkan peneliti

untuk meneliti isu terpilih, kasus-kasus atau kejadian secara mendalam dan detail,

fakta berupa kumpulan data tidak dibatasi oleh kategori yang ditetapkan

sebelumnya. Selanjutnya dijelaskan bahwan kelebihan metode kualitatif adalah

dengan prosedur yang khusus menghasilkan data detail yang kaya tentang

sejumlah kecil orang dan kasus-kasus. Penelitian kualitatif juga menghasilkan

data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi,

(41)

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk melihat

pengalaman-pengalaman subjektif individu dalam kepuasan perkawinan pada

suami/istri yang pasangannya ODHA sehubungan dengan adanya virus HI pada

pasangannya. Hal ini dikarenakan pendekatan kualitatif memungkinkan individu

memfokuskan perhatian pada apa yang dialaminya dan mengungkapkan

pengalaman yang dijalaninya sehingga dapat memperoleh pemahaman yang

menyeluruh dan utuh mengenai suatu fenomena yang di teliti.

B. RESPONDEN PENELITIAN

1. Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek yang akan digunakan dalam penelitian ini mempunyai kriteria:

a. Individu yang sudah menikah.

b. Pasangan individu mengidap HIV/AIDS (ODHA).

c. Individu tidak mengidap HIV/AIDS.

2. Jumlah Subjek Penelitian

Miles & Huberman (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa penelitian

kualitatif sedikit banyak dapat dianalogikan dengan proses penyelidikan

(investigasi), tidak banyak berbeda dengan kerja detektif yang harus mendapat

gambaran tentang fenomena yang dimilikinya.

Penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar,

melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Pada

(42)

tegas di awal penelitian (Sarantakos, dalam Poerwandari, 2007). Pada penelitian

ini, rencananya akan menggunakan tiga subjek penelitian.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk

operasional (theory-based/operational construct sampling). Poerwandari (2007)

mengungkapkan bahwa pengambilan sampel berdasarkan teori, atau berdasarkan

konstruk operasional dilakukan dengan memilih sampel dengan kriteria tertentu,

berdasrkan teori atau sesuai dengan tujuan penelitian. Sampel dipilih berdasarkan

kriteria yang telah ditetapkan, yaiti merupakan individu yang memiliki pasangan

pengidap HIV/AIDS dan telah menikah dengan ODHA tersebut. Hal ini dilakukan

agar sampel benar-benar representatif artinya dapat mewakili fenomena yang

dipelajari.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini direncanakan dilakukan di kota Medan, Sumatera Utara karena

dalam Harian Umum Analisa (2008) menyatakan bahwa di Rumah Sakit Umum

Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan dirawat 42 orang mengidap HIV+ dengan

usia produktif antara 21 – 45 tahun dan warga tertinggi yang dirawat di RSUP

Haji Adam Malik adalah warga Medan (Bara, 2008). Subjek yang akan diambil

sesuai dengan karakteristik subjek di atas. Hal ini penting agar memudahkan

(43)

C. METODE PENGUMPULAN DATA

Menurut Lofland & Lofland (dalam Moleong, 2000) sumber utama dalam

penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Metode pengumpulan data yang

digunakan disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang

diteliti. Metode-metode yang dapat digunakan antara lain wawancara, observasi,

diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya, analisis terhadap dokumen,

analisis dokumen, analisis cacatan pribadi, studi kasus, dan studi riwayat hidup

(Poerwandari, 2001). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing) sebagai metode utama

dan observasi pada saat wawancara dilakukan dengan alasan yang akan diuraikan

selanjutnya.

1. Wawancara

Wawancara adalah proses komunikasi interaksional antara dua pihak, dimana

paling tidak salah satu pihak memiliki tujuan tertentu dan di dalamnya terdapat

pertanyaan dan menjawab pertanyaan (Stewart & Cash, 2000). Wawancara

kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan

tentang makna-makna subjektif yang berkenaan dengan topik yang diteliti dan

bermaksud melakukan eksplorasi terhadapi isu tersebut. Hal ini merupakan

keunggulan pendekatan kualitatif dibandingkan dengan pendekatan lain (Banister

dkk, 1994).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara

mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara

(44)

namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara

berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai

dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007).

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori dari Santrock (2002) tentang

penularan HIV, dan reaksi psikologis ODHA oleh Kohler-Ross (1969) (dalam

Santrock, 2002), teori mengenai kepuasan perkawinan yang dikemukakan oleh

Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) yang menyatakan bahwa terdapat

area-area dalam perkawinan yang dapat mengukur kepuasan perkawinan.

Berdasarkan teori-teori inilah, pedoman wawancara disusun untuk

memperoleh data tentang kepuasan perkawinan suami/istri yang pasangannya

ODHA. Peneliti akan menggali perasaan yang dihadapi suami/istri yang

pasangannya ODHA akibat kondisi psikologis yang dideritanya, bagaimana

pasangannya dapat mengidap HIV/AIDS dan area-area apa saja yang dapat

memenuhi kepuasan perkawinannya.

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Menurut Poerwandari (2007) bahwa dalam metode wawancara, alat yang

terpenting adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data,

peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah berupa pedoman wawancara, alat perekam (tape recorder).

1. Alat Perekam

Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu

(45)

itu, peneliti menggunakan alat perekam agar tidak perlu terlalu sibuk mencatat

dan dapat memfokuskan perhatian pada topik pembicaraan dan observasi. Dengan

demikian diharapkan jalannya wawancara dapat berlangsung lebih lancar dalam

konteks alami.

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori dalam Bab II sehingga

peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin ditanyakan.

Tema-tema yang dapat menjadi pedoman wawancara adalah bagaimana pasangan

subjek terkena HIV/AIDS, apa reaksi psikologis subjek memiliki pasangan yang

mengidap HIV/AIDS, dan area-area yang terdapat dalam perkawinan agar terjadi

kepuasan perkawinan pada suami/istri yang memiliki pasangan ODHA tersebut.

Pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku karena tidak tertutup

kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara supaya

data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.

E. KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas adalah istilah pertama, paling banyak dipilih dan paling sering

digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikankan konsep validitas

yang dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian

kualitatif (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada

keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan

(46)

Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam

mengungkapkan area-area kepuasan perkawinan menurut Olson dan Fowers

(dalam Saragih, 2003) pada suami/istri yang pasangannya ODHA .

F. PROSEDUR PENELITIAN

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang

diungkapkan Bogdan (dalam Moleong, 2000). Terdapat tiga tahapan dalam

prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan

tahap analis data.

1. Tahap Pralapangan

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang

diperlukan untuk melaksanakan peneltian (Moleong, 2000) yaitu sebagai berikut:

a. Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat

Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat

yang berhubungan dengan HIV/AIDS, baik melalui orang-orang sekitar,

teman-teman, dosen, artikel, dan internet untuk meyakinkan peneliti

mengenai aspek-aspek psikologis yang terjadi pada suami/istri yang

pasangannya ODHA. Setelah itu, peneliti merumuskan masalah yang ingin

diteliti sesuai dengan fenomena yang telah diperoleh.

b. Mempersiapkan landasan teori

Peneliti mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan

(47)

c. Menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun butir-butir pertantanyaan berdasarkan kerangka teoritis

untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.

d. Persiapan untuk pengumpulan data

Peneliti mencari beberapa orang responden yang sesuai dengan criteria

sampel yang telah ditentukan, meminta kesediaanya (inform concent)

untuk menjadi partisipan.

e. Membangun rapport

Setelah memperoleh kesediaan dan responden penelitian (tanda tangan

responden pada lembaran inform concent), peneliti meminta kesediaan

untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah itu peneliti dan

responden penelitian mengadakan kesepakatan yang meliputi waktu dan

tempat wawancara serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah pihak.

Sebelum melakukan penelitian, peneliti menemui karyawan suatu LSM

dimana temannya di LSM tersebut merupakan pasangan partisipan. Saat

karyawan LSM tersebut mengenalkan peneliti dengan partisipan I, maka

peneliti mencoba membangun rapport dengan partisipan dengan mulai

beramah tamah dan menanyakan kabar partisipan. Setelah itu, peneliti

menjelaskan tentang tujuan penelitian ini, partisipan dengan senang hati

(48)

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Peneliti meminta persetujuan responden untuk dijadikan responden penelitian.

Setelah itu, mulai melakukan wawancara, namun sebelumnya peneliti membina

rapport agar partisipan penelitian merasa nyaman dan tidak merasa asing.

Wawancara akan dilakukan di tempat yang telah ditentukan dan akan direkam

dengan tape recorder mulai dari awal hingga akhir peneliti juga akan mencacat

bahasa non verbal responden ketika wawancara berlangsung.

Proses wawancara dilakukan dalam jangka waktu 1 minggu, dari tanggal 22

Januari 2009 sampai dengan 29 Januari 2009. Pelaksanaan pengambilan data

partisipan I (Sahrul) dilakukan pada hari Kamis, 22 Januari 2009 pada pukul

16.00-17.30 WIB. Pelaksanaan pengambilan data partisipan II (Dewi) dilakukan

pada hari Kamis, 29 Januari 2009 pada pukul 11.00-12.00 WIB.

3. Tahap Pencatatan Data

Data yang telah diperoleh dari wawancara dituangkan ke dalam bentuk

verbatim berupa tulisan. Sedangkan data yang didapatkan dengan metode

observasi berupa data deskriptif berbentuk narasi. Data ini selanjutnya akan

dianalisis sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.

4. Prosedur Analisa Data

Beberapa tahapan dalam menganalisi data kualitatif menurut Poerwandari

(49)

a. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang

diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan

mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat

memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari.

Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang

penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain

memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya

penelitilah yang berhak (dan bertanggungjawab) memilih cara koding

yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya

(Poerwandari, 2007).

b. Organisasi data

Highlen & Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa

organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk (a)

memperoleh data yang baik, (b) mendokumentasikan analisis yang

dilakukan, serta (c) menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam

penyelesaian penelitian. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan

diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, dan kaset hasil

rekaman), data yang sudah selesai diproses, data yang sudah ditandai/

dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis

(50)

c. Analisis tematik

Penggunaan analis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang

pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut

tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia.

Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat

menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks,

kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara

gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat

mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan

interpretasi fenomena.

d. Tahapan interpretasi

Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan interpretasi mengacu pada

upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti

memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan

menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Proses interpretasi

memerlukan distansi (upaya mengambil jarak) dari data, melalui

langkah-langkah metodis dan teoritis yang jelas serta memasukkan data ke dalam

konteks konseptual yang khusus.

(51)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi.

Untuk mempermudah pembaca dalam memahami kepuasan perkawinan pada

suami/istri yang pasangannya ODHA, maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan

diinterpretasi per subjek. Analisa data akan dijabarkan dengan menggunakan

aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman wawancara.

A. PARTISIPAN I (SAHRUL)

1. Analisa Data

a. Identitas Diri Partisipan I (Sahrul)

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan I

Keterangan Partisipan I

Nama Samaran Sahrul

Jenis Kelamin Pria

Usia 32 tahun

Pekerjaan Montir

Jumlah Anak 1 anak

Lama Perkawinan 3 tahun

Lama Pasangan Terinfeksi HIV/AIDS 6 bulan

b. Deskripsi Data Partisipan I (Sahrul)

Partisipan I dalam penelitian ini adalah Sahrul, seorang pria yang berusia 32

tahun. Sahrul menikah pada tahun 2005 dengan seorang wanita yang sangat

dicintainya dan dapat menerima status istrinya sebagai seorang janda yang telah

(52)

partisipan telah mengidap virus HI sejak 6 bulan lalu, yaitu semenjak bulan

Oktober tahun 2008 hingga saat ini bulan Februari tahun 2009. Istri partisipan

mengidap virus HI karena menggunakan narkoba. Istri partisipan mengalami

stress berat karena ditinggal oleh suami pertamanya. Peneliti mengenal partisipan

dari suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang telah ditunjukkan oleh

seorang karyawan di LSM itu sendiri. Nama LSM tidak dapat diberitahukan oleh

peneliti untuk menjaga kerahasiaan data partisipan dan istrinya karena istri

partisipan bekerja di LSM tersebut.

Sahrul mengenal istrinya yang pada saat itu istrinya sebagai tukang masak di

tempat partisipan bekerja di Seribu Dolok, di daerah pegunungan dan di sanalah

awal mula pertemuan mereka sampai akhirnya mereka menikah. Istri partisipan

menjadi pendamping hidup partisipan selama 3 tahun. Untuk dapat mengetahui

identitas partisipan I dapat dilihat dari tabel 1 di atas.

Sahrul memiliki 1 orang anak tiri yang merupakan hasil dari pernikahan istri

partisipan yang pertama, namun anak tersebut tidak tinggal dengan partisipan dan

istrinya melainkan dengan mertua partisipan. Istri partisipan sudah dua kali

mengandung anak Sahrul namun kedua anaknya keguguran. Sahrul tidak

menceritakan penyebab anak pertamanya keguguran, tetapi Sahrul menceritakan

penyebab anak keduanya keguguran. Anak keduanya keguguran karena janinnya

berada di luar kandungan dan istri partisipan harus operasi yang juga dikarenakan

adanya kista di dalam rahimnya.

Sahrul memiliki kulit kuning langsat dan rambutnya panjang bergelombang.

Gambar

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan I
Tabel 2. Jadwal Wawancara Partisipan I
Tabel 4. Gambaran Area-area Kepuasan Perkawinan pada Partisipan I
Tabel 5. Gambaran Umum Partisipan II
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara nilai materialisme dan kepuasan perkawinan pada pasangan suami- istri2. Subjek penelitian

Jawaban: dulu saat saya menikah muda keadaan rumah tangga saya tidak bertahan lama saya dan suami memutuskan untuk bercerai meskipun kami sudah punya anak, sekarang saya sudah

jadi setelah kami apa ya sharing satu sama lain, ya bicara satu sama lain mengenai permasalahan itu, ya kemudian saya memutuskan sebagai kepala rumah tangga dan juga suami ya

Untuk memberikan wawasan terutama kepada pasangan suami istri serta lembaga-lembaga yang berkaitan dengan perkawinan tentang kepuasan perkawinan serta faktor-faktor

sehingga dapat menyebabkan suami memiliki kepuasan perkawinan yang rendah. Pada anak-anak akan mempengaruhi kecerdasan emosinya sehingga

proses komunikasi antarpribadi pada pasangan suami istri yang menikah tanpa proses pacaran, di. mana dalam hal ini peneliti memfokuskan penelitian terhadap pasangan suami

Untuk memudahkan alur pikir penelitian mengenai penyesuaian istri terhadap suami yang baru menjalankan commuter marriage setelah menikah 10 tahun, maka dapat dijelaskan bahawa

tinggi dibandingkan dengan yang tidak menikah. d) Memiliki aset ekonomi yang lebih baik. Pernikahan akan mengumpulkan dua sumber pendapatan dari. sepasangan suami-istri menjadi