KEPUASAN PERKAWINAN PADA SUAMI/ISTRI
YANG PASANGANNYA ODHA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
STEFANI ANASTASIA
041301115
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul :
Kepuasan Perkawinan pada Suami/Istri yang Pasangannya ODHA.
Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penelitian skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini,
saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Maret 2009
Materai
6000
Stefani Anastasia
Kepuasan perkawinan pada suami/istri yang pasangannya ODHA.
Stefani Anastasia dan Raras Sutatminingsih, M.Si., psikolog
ABSTRAK
Human immunodeficiency virus yang sering disingkat dengan HIV merupakan
virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh orang yang dijangkitinya (Sarafino, 2006). Virus HI tidak sama dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency
Symdrome. Perbedaan yang jelas antara HIV dan AIDS, yaitu AIDS merupakan
kumpulan simptom yang terjadi karena terjangkit HIV. AIDS adalah penyakit infeksi yang disebabkan virus HI yang menyebar melalui kontak darah dan semen (Sarafino, 2006). Perilaku seksual merupakan salah satu kebutuhan dasar sebagaimana kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan (Sugiyati, 2008). Sesuai dengan hierarki kebutuhan Maslow (dalam Lahey, 2004) yang menyatakan terdapat lima kebutuhan dasar manusia dimana kebutuhan yang ketiga adalah kebutuhan untuk mencintai/dicintai (need of loving). Hubungan cinta merupakan bentuk ketertarikan antar pribadi yang menjadi dasar dari suatu perkawinan (Ahmadi, 1999). Menurut Bhrem (2002), perkawinan merupakan ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam, dimana dua individu berikrar di depan umum didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya. Perkawinan mungkin merupakan hal yang berat untuk penderita penyakit terminal termasuk AIDS, dimana perkawinan menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pasangan dan tanggung jawab terhadap masyarakat (Duvall dan Miller, 1985), yang jelas sulit untuk dipenuhi oleh penderita AIDS yang memiliki banyak keterbatasan dan dengan kemungkinan kematian yang sangat tinggi (Sarafino, 2006).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif supaya dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan oleh partisipan. Karakteristik partisipan adalah suami atau istri yang memiliki pasangan ODHA dan partisipan tidak mengidap HIV. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional (theory-based/operational construct
sampling). Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam (in-depth interviewing) dan observasi saat wawancara berlangsung.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi psikologis suami/istri ketika mengetahui pasangannya mengidap HIV yaitu terkejut. Aspek kepuasan perkawinan yang terganggu berbeda pada setiap partisipan. Aspek kepuasan perkawinan yang dilihat adalah aspek, komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, resolusi konflik, manejemen keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran. Partisipan I dan partisipan II sama-sama belum merasakan kepuasan perkawinan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang begitu baik. Terima
kasih atas berkat dan penyertaan yang Engkau berikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan seminar ini guna memenuhi persyaratan mata kuliah
seminar bidang psikologi klinis. Tanpa kasih setia-Mu kepada penulis, penulis
tidak mungkin dapat menyelesaikan seminar ini.
Rasa terima kasih yang tidak terhingga penulis berikan kepada papa
(Joseph Eduard Nagel) dan mama (Maria Siburian) atas doa yang tiada hentinya
kepada penulis dan dukungan yang mereka berikan kepada penulis baik moriil
maupun materiil.
Dengan penuh rasa hormat penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang turut membantu dalam proses penyelesaian seminar ini. Ucapan
terima kasih penulis tujukan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Chaerul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Raras Sutatminingsih, M.Si., selaku dosen pembimbing dan penguji I
dalam penyusunan seminar ini. Terima kasih atas waktu, pengertian,
dukungan, kesabaran, dan kesungguhan Ibu dalam membimbing penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Untuk Pak Is yang telah melancarkan surat-surat keluar. Terima kasih ya
4. Untuk Pak Rahmat, tante Hafni dan kak Dedek yang telah membantu
penulis mendapatkan subjek untuk wawancara pralapangan.
5. Untuk Tika yang selalu memberikan informasi tentang jadwal bimbingan
dan untuk semangat yang diberikan. Semangat ya Tik. Terima kasih untuk
semua anak seminar klinis yang memberikan semangat.
6. Untuk Rayez, Bima, Renny, dan teman-teman lainnya yang turut
membantu dan mendukung penulis.
7. Untuk abang (Martin Patrick, S.H.) dan adek-adek penulis (Gerard
William Nagel dan Olivia Fransiska Nagel) yang telah banyak
memberikan dukungan serta membantu penulis dalam menyusun seminar
ini.
8. Untuk subjek penelitian, terima kasih atas kesediaan dan waktunya dalam
membantu penulis ketika wawancara dan memberikan jawaban-jawaban
yang penulis butuhkan untuk data dalam penulisan ini. Tetap semangat
dalam mendampingi pasangannya, jangan menyerah dan putus asa. Tuhan
selalu beserta kalian.
9. Teman-teman angkatan 2004 terima kasih atas segala dukungan kalian
semua.
Kepada seluruh pembaca, terima kasih telah menyempatkan untuk
membaca seminar penulis. Bahkan yang sekarang sedang membaca seminar ini
Syalom,
Stefani Anastasia
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ………. i
DAFTAR ISI ………... iv
DAFTAR TABEL ………ix
DAFTAR LAMPIRAN ……….x
A. Latar Belakang masalah ……….. 1
B. Perumusan Masalah ………. 10
C. Tujuan Penelitian ………... 11
D. Manfaat Penelitian ………... 11
E. Sistematika penulisan ………... 12
BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan ... 13
2. Pengertian Kepuasan Perkawinan ... 14
3. Area-area dalam Perkawinan ... 15
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan.. 20
B. ODHA 1. Pengertian ODHA dan HIV/AIDS ... 23
2. Penularan HIV ... 25
3. Reaksi Psikologis Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)... 25
II.C. Paradigma ... 28
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ……….. … 29
B. Partisipan Penelitian ………... … 30
1. Karakteristik Partisipan Penelitian ……… 30
2. Jumlah Partisipan Penelitian ……….. 30
4. Lokasi Penelitian ………... 31
C. Metode Pengambilan Data ………. 32
1. Wawancara ……….. 32
D. Alat Bantu Pengambilan data ………. 33
1. Alat Perekam (Tape Recorder)………... 33
2. Pedoman Wawancara ………... 34
E. Kredibilitas dan Validitas Penelitian ……….. 34
F. Prosedur penelitian ……….. 35
1. Tahap Pralapangan ………... 35
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ………. 37
3. Tahap pencatatan data ………. 37
4. Prosedur analisa data ……….. 37
BAB IV HASIL ANALISA DATA A. Partisipan I ……… 40
1. Analisa Data ………. 40
a. Identitas Diri Partisipan I ……… 40
b. Deskripsi Data Partisipan I ………. 40
2. Observasi Umum Partisipan I ………. 42
3. Data Wawancara Partisipan I ……….. 46
a. Gambaran Penyebab Pasangan Partisipan Mengidap HIV……….………... 46
c. Gambaran Kepuasan Perkawinan Partisipan I… 50
4. Interpretasi Data Partisipan I ………. 67
B. Partisipan II ……… 74
1. Analisa Data ………. 74
a. Identitas Diri Partisipan II………. 74
b. Deskripsi Data Partisipan II………. 74
2. Observasi Umum Partisipan II………. 76
3. Data Wawancara Partisipan II……….. 80
a. Gambaran Penyebab Pasangan Partisipan Mengidap HIV……….………... 80
b. Gambaran Masalah Psikologis pada Partisipan II ………. 83
c. Gambaran Kepuasan Perkawinan Partisipan II… 84 4. Interpretasi Data Partisipan II ……….101
C. Analisa Data Antar Partisipan ……… 110
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN A. Kesimpulan ……… 114
B. Saran ……….. 119
DAFTAR PUSTAKA ……….. 121
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan I ... ... 40
Tabel 2. Jadwal Wawancara Partisipan I ………... 42
Tabel 3. Gambaran masalah Psikologis Partisipan I ... 72
Tabel 4. Gambaran Area-area Kepuasan Perkawinan pada Partisipan I… 72
Tabel 5. Gambaran Umum Partisipan II ... 74
Tabel 6. Jadwal Wawancara Respopnden II ... 76
Tabel 7. Gambaran masalah Psikologis Partisipan II ... 108
Tabel 8. Gambaran Area-area Kepuasan Perkawinan pada Partisipan II..108
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. Verbatim Subjek I
Verbatim Subjek II
LAMPIRAN 2. Pedoman Wawancara
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Human immunodeficiency virus yang sering disingkat dengan HIV merupakan
virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh orang yang dijangkitinya (Sarafino,
2006). Virus HI tidak sama dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency
Symdrome), walaupun masyarakat atau media massa mencampur-adukkan
keduanya. Perbedaan yang jelas antara HIV dan AIDS, yaitu AIDS merupakan
kumpulan simptom yang terjadi karena terjangkit HIV. AIDS adalah penyakit
infeksi yang disebabkan virus HI yang menyebar melalui kontak darah dan semen
(Sarafino, 2006).
Pertama kali AIDS ditemukan di Indonesia pada tahun 1983 oleh dokter
Zubairi Djoerban yang meneliti dua orang waria penghuni taman lawang dan
dipublikasikan Oktober 1983 (Djoerban, 2001). Secara umum, AIDS
diidentifikasi sejak tahun 1981 yang dipandang sebagai penyakit homoseksual.
Pada tahun 1982, AIDS muncul pada penderita hemofilia. Ilmuwan
memperbaharui teori AIDS dan mempersepsikan bahwa AIDS diakibatkan oleh
virus yaitu virus HI (dalam Ogden, 2000).
Virus HI belakangan ini menjadi salah satu krisis kesehatan karena dapat
mengancam kestabilan negara. Virus HI menjadi masalah besar karena
diidentifikasi sebagai penyakit yang melibatkan lapisan masyarakat yang paling
perhatian akan penyakit ini disebabkan oleh kenyataan bahwa virus ini sangat
membahayakan nyawa banyak orang dan menyerang semua kalangan yang
mungkin bersentuhan langsung dengan virus ini (Sarafino, 2006). Saat ini AIDS
menduduki peringkat keempat penyebab kematian terbesar di dunia (Sugiyati,
2008).
Virus HI sangat mengkhawatirkan karena kemampuan virus untuk bertahan
dalam tubuh manusia dan hingga sekarang belum ditemukan formula yang paling
ampuh untuk mengatasinya (Sugiyati, 2008). Pengetahuan medis saat ini hanya
sanggup untuk menahan perkembangan virus ini dengan mengkonsumsi obat
antiretroviral yang biasa disebut ARV, sehingga HIV menjadi salah satu virus
yang paling ditakuti (Sarafino, 2006).
Penyebaran virus HI dapat terjadi melalui pertukaran jarum suntik, transfusi
darah, dan hubungan seksual. Perilaku seksual yang menjadi bagian cara
penularan HIV/AIDS belum dijadikan sebagai suatu hal yang penting dalam
masyarakat (Sugiyati, 2008).
Perilaku seksual merupakan salah satu kebutuhan dasar sebagaimana
kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan (Sugiyati, 2008). Sesuai
dengan hierarki kebutuhan Maslow (dalam Lahey, 2004) yang menyatakan
terdapat lima kebutuhan dasar manusia dimana kebutuhan yang ketiga adalah
kebutuhan untuk mencintai/dicintai (need of loving). Setiap manusia dan tidak
terlepas ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) juga mempunyai kebutuhan yang
bentuk ketertarikan antar pribadi yang menjadi dasar dari suatu perkawinan
(Ahmadi, 1999).
Menurut Bhrem (2002), perkawinan merupakan ekspresi akhir dari suatu
hubungan yang mendalam, dimana dua individu berikrar di depan umum
didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya.
Perkawinan didefinisikan secara akurat sebagai hubungan yang diakui secara
sosial antara seorang pria dan seorang wanita yang menyediakan hubungan
seksual dan kemampuan atau keinginan mempunyai anak. Sangat penting
membuat konsep perkawinan dan keluarga sejelas mungkin (Duvall dan Miller,
1985).
Perkawinan bukanlah peristiwa hidup yang tunggal, tetapi merupakan satu set
tahapan dimana pasangan mencoba untuk mencapai keseimbangan antara
ketergantungan dan otonomi sebagaimana mereka bernegosiasi terhadap masalah
kontrol, kekuasaan dan otoritas (Kovacs, dalam Kurdeck, 1999). Setiap orang
mungkin mempunyai pertimbangan yang berbeda ketika harus memutuskan untuk
memasuki lembaga perkawinan, yang dikategorikan ke dalam dua faktor utama,
push factor, yaitu faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk segera
memasuki perkawinan; dan pull factors, yaitu faktor-faktor daya tarik yang
menetralisir kekhawatiran seseorang untuk terikat dalam perkawinan yang akan
mengurangi kebebasan (Turner & Helms, dalam Domikus, 1999).
Perkawinan mungkin merupakan hal yang berat untuk penderita penyakit
terminal termasuk AIDS, dimana perkawinan menuntut pemenuhan
1985), yang jelas sulit untuk dipenuhi oleh penderita AIDS yang memiliki banyak
keterbatasan dan dengan kemungkinan kematian yang sangat tinggi (Sarafino,
2006).
Keterbatasan itu berhubungan dengan menurunnya kekebalan tubuh mereka,
ODHA akan menghadapi banyak masalah fisik (Dimatteo, 1991). Masalah fisik
yang mungkin akan dialami oleh ODHA, yaitu seperti warna kulit yang berubah
dan infeksi dari penyakit yang membuat penderita HIV/AIDS semakin takut akan
kematian, yang dipaparkan dalam kutipan hasil wawancara berikut:
“….aku melihat istriku makin lama kulitnya makin gosong kayak terbakar gitu, apalagi semenjak konsumsi ARV, makin parah... istriku dek, gampang kali sakit, sariawan terus batuk-batuk… yang aku tahu, orang kena HIV/AIDS mudah kali diserang penyakit, kan kekebalan kita yang diserangnya…. tadi aku lihat banyak kali orang yang kurus-kurus datang ke sini, nanti istriku gitu juga gak ya?” (Komunikasi Personal, 08 Mei 2008).
Selain itu, ODHA juga mengalami tekanan psikologis karena HIV/AIDS
termasuk salah satu penyakit yang mengakibatkan kematian (terminal illness).
Kondisi yang biasanya menyertai terminal illness antara lain ketakutan akan
kematian, penyangkalan, marah, menutup diri (diam) dan stress (Dimatteo, 1991).
Selain itu, AIDS seringkali membawa implikasi yang berat terhadap orang yang
dekat dengan penderita terutama pasangan penderita penyakit terminal yang turut
merasakan penderitaan yang dialami pasangannya (Pence dkk, 2006).
Sejalan dengan pernyataan di atas yang mengatakan bahwa dampak penyakit
terminal bisa berupa stress yang diakibatkan oleh tekanan yang datang dari
masyarakat yang menganggap HIV/AIDS sebagai ‘penyakit kaum nakal’,
‘penyakit gay’ dan ‘penyakit kutukan’. Perlakuan ini menyebabkan penderita
ini bahkan datang dari keluarga penderita itu sendiri, sesuai dalam kutipan
wawancara berikut:
“…kemarin itu waktu dia diopname disini, dia kena sariawan, aku bilang ama dia, dek maaf ya, abang megang adek pake sarung tangan karena abang takut bukan karena abang jijik ama adek. Jadi kemarin itu kan dek, istri abang ini bibirnya pecah-pecah semua....” (Komunikasi Personal, 8 Mei 2008).
Dampak stress juga dialami oleh pasangan penderita penyakit. Penelitian oleh
Dehle dkk juga menemukan bahwa tekanan stress yang dialami pasangan dapat
menyebabkan penurunan dalam kepuasan perkawinan. (Hollist dkk, 2007).
Penelitian oleh Pence dkk (2006) juga menemukan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara cinta, komunikasi dan keintiman fisik terhadap kepuasan
dalam perkawinan. Kurangnya cinta, komunikasi dan keintiman fisik berpengaruh
terhadap penurunan kualitas kepuasan dalam perkawinan.
Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat
dimana mereka merasakan perkawinan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan
harapannya (Huges & Noppe, 1985). Sementara itu, terkadang pasangan penderita
AIDS sulit untuk menerima kenyataan bahwa mereka dituntut untuk menjadi
pengasuh pasangannya yang mengalami keterbatasan setelah menderita AIDS
(Pence dkk, 2006).
Chappel dan Leigh (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) menjelaskan
kepuasan perkawinan sebagai evaluasi subjektif terhadap kualitas perkawinan
secara keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap perkawinan yang
telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang
seluruhnya. Ia merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan
dengan sebelum menikah.
Campbell (dalam Domikus, 1999) menemukan bahwa orang-orang yang
terikat dalam perkawinan seharusnya merasakan kepuasan hidup yang lebih tinggi
dibandingkan ketika mereka menduda, menjanda atau sebelum menikah.
Kepuasan hidup yang diperoleh melalui perkawinan ini disebabkan karena hampir
seluruh dimensi kebutuhan manusia dapat dipenuhi melalui perkawinan,
sebagaimana dikemukakan oleh Walgito (dalam Domikus, 1999) bahwa melalui
perkawinan manusia dapat memenuhi kebutuhan fisiologis atau biologis,
psikologis, sosial, dan religious.
Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), kepuasan perkawinan dapat
diukur dengan melihat area-area dalam perkawinan, seperti komunikasi, kegiatan
di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan
keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, dan
kesetaraan peran.
Terdapat beberapa area dalam perkawinan yang dapat mengukur kepuasan
perkawinan dimana salah satunya adalah komunikasi yang melihat bagaimana
perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya yang
berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam
berkomunikasi, dimana mereka saling berbagi dan menerima informasi tentang
perasaan dan pikirannya (Olson & Fowers, dalam Saragih, 2003) Masalah dalam
perkawinan akan muncul ketika komunikasi tidak terjalin dengan baik ( Kelly,
hubungannya dengan kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh kedua individu
(Sawitri, 2005).
Area perkawinan yang kedua yang dapat mengukur kepuasan perkawinan
menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) adalah kegiatan di waktu luang
untuk melihat apakah suatu kegiatan yang dilakukan merupakan pilihan personal
atau bersama, serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama
pasangan. Pasangan yang mengisi waktu senggang bersama-sama menunjukkan
tingkat kepuasan perkawinan yang tinggi (Newman & Newman, 2006).
Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) mengatakan bahwa area yang ketiga
untuk mengukur kepuasan perkawinan adalah orientasi keagamaan. Landis &
Landis (dalam Wahyuningsih, 2002) menyatakan tingkat religiusitas dalam
perkawinan dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan
sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan. Pria dan wanita
menemukan agama sebagai sumber kesenangan dan kebahagiaan yang lebih besar
daripada yang pernah diperoleh sebelumnya (Hurlock, 1999), sehingga untuk
mencapai kepuasan perkawinan, seseorang harus mendapat kepuasan beragama
(Jane, 2006).
Penyelesaian konflik yang merupakan persepsi suami atau istri terhadap
konflik dan penyelesaiannya dikemukakan oleh Olson & Fowers (dalam Saragih,
2003) sebagai area yang keempat dalam perkawinan untuk mengukur kepuasan
perkawinan. Kemampuan untuk mengatasi konflik bisa diwujudkan bila semua
anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah dan mendiskusikan
Area yang kelima dalam perkawinan yang dapat mengukur kepuasan
perkawinan menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) adalah pengelolaan
keuangan yang menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan,
bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Kesulitan dalam
bidang ekonomi sehingga mengurangi pendapatan keluarga dapat muncul karena
adanya masalah kesehatan (Emmanuel et all., 2000). Kesulitan ekonomi
merupakan masalah yang menyebabkan pengaruh negatif dalam perkawinan,
dimana hal ini dapat menyebabkan penurunan terhadap kepuasan perkawinan
(Conger et al., 1990).
Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), hubungan seksual
merupakan salah satu area yang mempengaruhi kepuasan perkawinan. Kepuasan
seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu jika pasangan memahami
dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain. Selain itu mereka juga mampu
mengungkapkan hasrat dan cinta mereka.
Keluarga dan teman termasuk dalam area perkawinan untuk mengukur
kepuasan perkawinan (Olson & Fowers dalam saragih, 2003). Perkawinan akan
cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian waktunya
bersama keluarga sendirinya, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya,
dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu yang lama (Hurlock,
1999).
Area berikutnya dalam perkawinan untuk mengukur kepuasan perkawinan
adalah kehadiran anak dan pengasuhan anak. Fokusnya adalah bagaimana
serta bagaimana pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan.
Kesepakatan dengan pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting
halnya dalam perkawinan. Kehadiran anak akan mengurangi waktu bersama
pasangannya yang juga mempengaruhi waktu senggang antara istri dengan suami
(Hendrick & Hendrick, 1992).
Kepribadian merupakan salah satu area dalam perkawinan yang juga
mengukur kepuasan perkawinan (Olson & Fowers dalam Saragih, 2003).
Matthews (1996) mengatakan bahwa tingkah laku dan kepribadian pasangan dapat
menyebabkan kekecewaan terhadap pasangan jika tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan, namun jika tingkah laku pasangan sesuai dengan apa yang diharapkan
dapat menimbulkan perasaan puas (Matthews, 1996).
Kesetaraan peran merupakan area terakhir dalam pengukuran kepuasan
perkawinan yang telah dikemukakan oleh Olson & Fowers (dalam saragih, 2003).
Agoestinelli menyatakan bahwa peran dalam kehidupan perkawinan berkaitan
dengan pekerjaan, tugas rumah tangga, peran jenis kelamin dan peran sebagai
orangtua (Kail & Cavanaugh, 2000).
Terdapat juga beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan.
Duvall (dalam Domikus, 1999) menyatakan bahwa salah satu dari faktor-faktor
tersebut adalah kehadiran anak.
Peneliti melakukan wawancara pada seorang suami yang istrinya terinfeksi
virus HI, berikut kutipan wawancara tersebut:
jadinya pikir positiflah, rupanya dia gitu karena sayang ma aku, dia gak mau aku kena juga kayak dia…. sejujurnya ya pasti pernahlah gak pake kondom cuma dia agak aneh gitu, takut-takut dia buatnya…” (Komunikasi Personal, 08 Mei 2008).
Peneliti juga melakukan wawancara pada seorang istri yang suaminya
terserang virus HI, berikut kutipan wawancara tersebut:
“……saya bahagia kok, orangtua saya mendukung saya dan suami saya… saya udah mikirin masak-masak sebelum saya menikah, jadi nggak ada penyesalan bagi saya… memang kami belum punya anak, bukan karena nggak bisa, siapa bilang kami nggak bisa punya anak, tapi kami sedang menunggu waktu aja, kami sekarang fokus ke finansial dulu, nanti anak saya gimana kalau kami sendiri belum mapan… memang kami selalu kontrol ke dokter, jadi dokter selalu mengecek kapan harinya virus itu tidak sedang aktif-aktifnya jadi saya bisa punya anak tanpa saya dan anak saya terkena virus itu…” (Komunikasi Personal, 08 Maret 2008).
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa pasangan ODHA memerlukan
perawatan yang intensif agar memiliki anak yang tidak terkena virus HI begitu
juga dengan pasangannya. Keterbatasan pencapaian salah satu aspek pemenuhan
kepuasan perkawinan tersebut memunculkan pertanyaan apakah pasangan ODHA
kesulitan untuk mencapai kepuasan dalam perkawinan secara keseluruhan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana
gambaran kepuasan perkawinan pada suami/istri yang pasangannya ODHA.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana kepuasan perkawinan pada
pasangan ODHA”. Proses tersebut dilihat dari:
2. Bagaimana reaksi psikologis yang dialami oleh suami/istri ketika
mengetahui pasangannya mengidap HIV/AIDS?
3. Bagimana kepuasan perkawinan pada suami/istri apabila pasangannya
mengidap HIV/AIDS?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kepuasan perkawinan
pada pasangan ODHA. Hal ini penting untuk diketahui mengingat pentingnya
kepuasan perkawinan pada manusia termasuk pada ODHA.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi bidang
psikologi pada umumnya dan secara khusus dapat menambah khasanah ilmu
pada psikologi klinis bidang kesehatan mengenai kepuasan perkawinan pada
pasangan ODHA.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan penelitian ini memberikan masukan ataupun sumbangan
informasi kepada pasangan ODHA agar mereka mengetahui faktor-faktor
apa saja yang dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan.
b. Sebagai wacana/pengetahuan mengenai kepuasan perkawinan pada
pasangan ODHA, selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Dalam Bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam
pembahasan masalah, yang berisi kepuasan perkawinan: pengertian
perkawinan, pengertian kepuasan perkawinan, area-area dalam
perkawinan, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan;
ODHA: pengertian ODHA dan HIV/AIDS, penularan HIV, reaksi
psikologis ODHA.
Bab III : Metodologi Penelitian
Dalam Bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang digunakan oleh
peneliti dalam hal ini adalah metode penelitian kualitatif; metode
pengumpulan data: wawancara; alat pengumpulan data: alat perekam,
pedoman wawancara; subjek dan lokasi penelitian: karakteristik subjek
penelitian, jumlah subjek penelitian, teknik pengampilan subjek, lokasi
penelitian; prosedur penelitian: tahap pralapangan, tahap pelaksanaan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KEPUASAN PERKAWINAN
1. Pengertian Perkawinan
Bhrem (2002) menyatakan bahwa perkawinan merupakan ekspresi akhir dari
suatu hubungan yang mendalam, dimana dua individu berikrar di depan umum
didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya.
Duvall (1985) menyatakan bahwa perkawinan adalah persetujuan masyarakat
atas penyatuan suami dan istri dengan harapan mereka akan menerima tanggung
jawab dan melakukan peran sebagai pasangan suami istri dalam kehidupan
perkawinan.
Undang-Undang RI tahun 1974 Pasal 1 tentang perkawinan menyebutkan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Astuti, 2003).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka perkawinan disimpulkan sebagai
suatu hubungan yang diawali ketika dua orang individu yang berlainan jenis
saling mengucapkan janji di depan umum untuk hidup bersama sebagai suami istri
dan membentuk keluarga atas keinginan dan harapan untuk menetapkan hubungan
yang bahagia dan kekal sepanjang hidup berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pengertian perkawinan dimasukkan peneliti dalam penelitian ini agar peneliti
2. Pengertian Kepuasan Perkawinan
Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) mendefinisikan kepuasan perkawinan
sebagai evaluasi terhadap area-area dalam perkawinan yang mencakup
komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik,
pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan
pengasuhan anak, dan kesetaraan peran.
Symonds & Horvath (dalam Judge dkk, 2006) menyebutkan pengertian
kepuasan perkawinan sebagai:
“an attitude of greater or lesser favorability toward one’s own marital
relationship”.
Menurut Roach, dkk (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) kepuasan
perkawinan merupakan persepsi terhadap kehidupan perkawinan seseorang yang
diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu
tertentu.
Secara umum, Chappel dan Leigh (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004)
menjelaskan kepuasan perkawinan sebagai evaluasi subjektif terhadap kualitas
perkawinan secara keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap
perkawinan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan
dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian
ataupun seluruhnya. Ia merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap
dibandingkan dengan sebelum menikah.
Hendrick & Hendrick (1992) mengemukakan istilah-istilah yang termasuk
dalam kepuasan perkawinan: kebahagiaan dan penyesuaian dalam perkawinan,
perkawinan, frekuensi berhubungan seksual, frekuensi perbedaan pendapat, ada
atau tidak ada penyesuaian tentang perkawinan, ketelibatan emosional dengan
anak-anak, dan berbagai perasaan lain, ekspresi verbal dan tingkah laku yang
menjadi ciri evaluasi dari suatu hubungan.
Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat
dimana mereka merasakan perkawinan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan
harapannya (Huges & Noppe, 1985).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka disimpulkan bahwa kepuasan
perkawinan adalah evaluasi mengenai kehidupan perkawinan yang dapat diukur
dengan melihat area-area dalam perkawinan yang mencakup: komunikasi,
kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan
keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak,
kepribadian dan kesetaraan peran.
Pengertian kepuasan perkawinan dimasukkan peneliti dalam penelitian ini
agar peneliti mengetahui arti dari kepuasan perkawinan sebelum melakukan
penelitian.
3. Area-area dalam Perkawinan
Kepuasan perkawinan dapat diukur dengan melihat area-area dalam
perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson & Fowers (dalam
a. Komunikasi
Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam
berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang
yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka
saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya
yang membagi komunikasi perkawinan dalam lima elemen dasar, yaitu:
openness (adanya keterbukaan antar pasangan), honesty (kejujuran
terhadap pasangan), ability to trust (kemampuan untuk mempercayai satu
sama lain), emphaty (kemampuan mengidentifikasi emosi dan pasangan),
listening skill (kemampuan menjadi pendengar yang baik).
b. Kegiatan di waktu luang
Area ini menilai pilihan kegiatan unutk mengisi waktu senggang yang
merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area
ini juga melihat apakah suatu kegiatan yang dilakukan merupakan pilihan
personal atau bersama, serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang
bersama pasangan. Pasangan sama-sama merasa senang dan dapat
menikmati kebersamaan yang mereka ciptakan.
c. Orientasi keagamaan
Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana
pelaksanaannya dalam kehidupan perkawinan. Menurut Landis & Landis
(dalam Wahyuningsih, 2002), tingkat religiusitas dalam perkawinan dapat
mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari
keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli terhadap
hal-hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu
akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orangtua mengajarkan
dasar-dasar agama yang dianut kepada anaknya, dan merasa bahwa
mereka wajib memberi teladan kepada anaknya dengan membiasakan diri
beribadah, melaksanakan praktek agama, bersembahyang secara teratur,
ikut dalam kegiatan atau organisasi agama (Hurlock, 1999).
d. Penyelesaian konflik
Area ini menilai persepsi suami istri terhadap konflik serta
penyelesaiannya. Fokus pada area ini adalah keterbukaan pasangan untuk
mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang
digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Sebagaimana dinyatakan
oleh Kail & Cavanaugh (2000) bahwa kebahagiaan dalam perkawinan
dapat terbina dengan melakukan komunikasi yang konstruktif dan positif
mengenai masalah yang sedang dihadapi.
e. Pengelolaan keuangan
Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan,
bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Henslin
(1985) mengemukakan bahwa pasangan yang senang dengan pemasukan
yang mereka peroleh akan cenderung puas terhadap perkawinannya, tetapi
mungkin saja keluarga yang memiliki kondisi ekonomi yang buruk dapat
bahagia dan langgeng selama tercipta kesepakatan bersama dalam
pasangan menunjukkan otoritas terhadap pasangannya dan meragukan
kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.
f. Hubungan seksual
Area ini melihat bagaimana perasaan pasangan dalam kasih sayang dan
hubungan seksual. Fokusnya area ini adalah refleksi sikap yang
berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta
kesetiaan pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab
pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak tercapai kesepakatan
yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring
berjalannya waktu jika pasangan memahami dan mengetahui kebutuhan
mereka satu sama lain. Selain itu mereka juga mampu mengungkapkan
hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan
pasangan dan memilih waktu yang tepat untuk berhubungan seksual dapat
tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. Kualitas dan kuantitas
hubungan seksual adalah hal yang penting bagi kesejahteraan perkawinan.
g. Keluarga dan teman
Area ini menilai perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan
kerabat, mertua serta teman-teman dapat dilihat dalam area ini. Area ini
merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama
keluarga dan teman-teman. Hubungan yang baik antara menantu dan
mertua juga dengan saudara ipar dapat terjadi jika individu dapat
menerima keluarga pasangan seperti keluarganya sendiri. Perkawinan akan
waktunya bersama keluarga sendirinya, jika ia juga mudah dipengaruhi
oleh keluarganya, dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam
waktu yang lama (Hurlock, 1999).
h. Anak dan pengasuhan anak
Area ini menilai sikap dan perasaan tentang menjadi orangtua, memiliki
dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua
menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak
serta bagaimna pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan
pasangan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya
yang dapat menimbulkan kepuasan jika itu dapat tercapai. Kesepakatan
dengan pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya
dalam perkawinan.
i. Kepribadian
Area ini menilai persepsi individu mengenai persoalan yang berhubungan
dengan tingkah laku pasangannya dan tingkat kepuasan dalam setiap
persoalan tersebut. Area ini melihat penyesuain diri dengan tingkah laku,
kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya, sebelum
menikah individu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari
perhatian pasangannya bahkan dengan pura-pura menjadi orang lain.
Namun setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul dan
perbedaan dari apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi dalam
menimbulkan masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai
pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan
senang dan bahagia.
j. Kesetaraan peran
Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam
dalam kehidupan perkawinan. Fokusnya adalah para pekerja, tugas rumah
tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orangtua. Hurlock
(1999) menjelaskan bahwa konsep egalitarian menekankan individualitas
dan persamaan derajat antara pria dan wanita. Suatu peran harus
mendatangkan kepuasan pribadi dan tidak hanya berlaku untuk jenis
kelamin tertentu. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik
di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan
istri lebih besar dan jabatan lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan
untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan potensi yang
dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki
untuk mendapatkan kepuasan pribadi.
Peneliti memasukkan teori mengenai area-area dalam perkawinan agar peneliti
mengetahui bagian-bagian apa saja yang penting atau yang utama dalam
perkawinan sehingga peneliti dapat mengetahui bagian mana yang terpenuhi dan
yang tidak terpenuhi pada pasangan ODHA.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan antara lain, sebagai
a. Kehadiran anak
Duvall (dalam Domikus, 1999) menyatakan bahwa hadirnya anak di
kemudian hari terbukti potensial dalam mengurangi kepuasan perkawinan,
mengingat keakraban dan perhatian suami istri terbagi dengan anak. Selain
itu, anak menuntut banyak energi dan juga uang dalam banyak hal akan
menambah kompleks beban keluarga. Ditambahkan oleh Kurdek (dalam
Bhrem, 2002) bahwa anak adalah pekerjaan yang tidak ada akhirnya, dan
sebagian besar orangtua mengalami penurunan yang drastis dan tidak
diharapkan dalam menikmati waktu berdua. Ketika bayi lahir, konflik
meningkat dan kepuasan perkawinan (dan cinta terhadap pasangan)
menurun, khususnya pada wanita (Belsky, dalam Bhrem, 2002). Selain
menambah stress pasangan (Hendrick & Hendrick, 1992), kehadiran anak
dalam keluarga juga meningkatkan kemungkinan terjadinya perceraian
(Katvetz, Warner & Acock, dalam Bhrem, 2002).
b. Tingkat pendidikan
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Kurdek (dalam Lefrancois,
1993), ditemukan bahwa bagi pria dan wanita, rendahnya tingkat
pendidikan merupakan salah satu faktor yang berhubungan terjadinya
persengketaan dalam perkawinan. Hal ini terjadi karena kurangnya
pendidikan akan mengurangi kesempatan untuk mengembangkan
ketrampilan verbal dan sosial dalam menyelesaikan konflik, dan persiapan
yang kurang baik terjadi pada awal perkawinan. Ditambahkan oleh
pendidikan rendah merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih
banyak menghadapi stressor seperti pengangguran dan tingkat penghasilan
yang rendah.
c. Latar belakang sosial ekonomi
Status sosial ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat
menimbulkan bahaya dalam hubungan perkawinan (Hendrick & Hendrick,
1992). Umumnya, individu dengan status pekerjaan rendah, kurang
pendidikan, dan pendapatan yang rendah memiliki kemungkinan lebih
tinggi untuk bercerai (Kitson et al; Karney & Brabury, dalam Bhrem,
2002).
d. Usia ketika menikah
Pada wanita, usia ketika pertama kali menikah merupakan faktor penting
yang berhubungan dengan kepuasan perkawinan. Pada umumnya, semakin
dewasa wanita ketika menikah, maka akan semakin bahagia ia dalam
perkawinannya. Selain itu, ditemukan juga bahwa remaja yang menikah
memiliki frekuensi dua kali lebih besar untuk bercerai dibandingkan
dengan wanita yang lebih dewasa (Lefrancois, 1993).
e. Lama perkawinan
Sebagaimana dikemukakan oleh Duvall (dalam Lefrancois, 1993) bahwa
tingkat kepuasan tertinggi terjadi awal perkawinan, menurun setelah
kelahiran anak pertama, dan meningkat kembali setelah anak terakhir
Peneliti memasukkan teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
kepuasan perkawinan agar di dalam penelitian, peneliti dapat melihat kepuasan
perkawinan pada pasangan ODHA.
B. ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS)
1. Pengertian ODHA dan HIV/AIDS
ODHA yang merupakan singkatan dari Orang Dengan HIV/AIDS adalah
seseorang yang setelah menjalankan tes atau pemeriksaan darah dinyatakan
terinfeksi HIV/AIDS (Tuapattinaja, 2004).
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih sering disingkat
dengan AIDS adalah penyakit menular yang disebabkan oleh suatu virus yang
disebut dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu virus yang
melumpuhkan sistem kekebalan tubuh manusia. Individu yang AIDS rentan
terjangkit berbagai penyakit yang mengancam (Sarafino, 1998).
Sebenarnya penyebutan AIDS sebagai penyakit (disease) tidaklah tepat karena
penyakit yang menyerang sangat bervariasi. Oleh karena itu lebih tepat kalau
AIDS disebut sindrom atau kumpulan gejala penyakit (Pusdiknakes, 1997).
Virus HI ditularkan khususnya dengan pertukaran cairan tubuh yaitu cairan
seksual dan darah (Taylor, 1995). Agar berpindah dari satu orang ke yang lain,
HIV umumnya butuh kontak dengan sel yang memiliki molekul CD-4. Sel
tersebut ditemukan dalam sistem kekebalan tubuh yang disebut sel T-Hepler.
Proses penularan dari HIV mengikuti tahapan sebagai berikut (Ogden, 2000):
b. Virus HI masuk dalam sitoplasma.
c. Sel itu sendiri menghasilkan DNA pro-viral yang adalah kopian dari sel
tuan rumah (host cell).
d. Pro-virus ini memasuki inti sel tuan rumah (host cell).
e. Sel tuan rumah (host cell) memproduksi partikel viral baru dengan
membaca kode viral dari DNA viral.
f. Partikel viral ini mulai keluar dan mempengaruhi sel baru.
g. Akhirnya, setelah memperbanyak diri, sel tuan rumah (host cell) mati.
HIV menyerang dan merusak tipe khusus dari sel darah putih, yaitu limposit
T4. Sel T4 disebut “gelandang” sistem kekbalan tubuh. Sel T4 mengenali zat-zat
asing lain dalam tubuh (patogen) yang menyerang dan memerintahkan sel darah
putih tipe lain untuk membentuk antibodi untuk menyerang sel yang tertular
(Nevid, Rathus, & Greene, 1994). Dengan adanya HIV, sel T4 menjadi rusak
sehingga mengakibatkan sistem kekebalan tubuh berangsur-angsur menurun.
Karena sistem kekebalan menurun, seseorang yang telah terinfeksi HIV akan
mudah diserang bibit penyakit (Santrock, 2002).
Pada waktu sistem kekebalan tubuh sudah semakin parah, seseorang pengidap
HIV akan berkembang menjadi AIDS, yang ditandai oleh sekumpulan gejala, dan
kondisinya akan terus menerus memburuk sampai akhirnya kemudian meninggal
(Santrock, 2002).
Peneliti menguraikan arti dari ODHA dan HIV/AIDS untuk mengetahui apa
2. Penularan HIV
Para ahli mengatakan bahwa HIV dapat ditularkan melalui (Kalichman dalam
Santrock, 2002):
a. Hubungan seksual
b. Pertukaran jarum suntik
c. Transfusi darah
d. Kontak lain secara langsung dari luka atau selaput lender dengan darah
dan cairan seksual.
Peneliti memasukkan teori tentang penularan HIV/AIDS dikarenakan hal ini
memberikan informasi kepada peneliti tentang penyebab ODHA yang merupakan
pasangan dari subjek penelitian terkena HIV/AIDS.
3. Reaksi Psikologis Suami/Istri yang Pasangannya ODHA
Kubler-Ross (dalam Santrock, 2002) mengemukakan lima tahapan reaksi
psikologis dalam menghadapi kematian pada pasien-pasien terminal illness
(penyakit yang mengakibatkan kematian). AIDS termasuk salah satu penyakit
yang mengakibatkan kematian. Tahapan reaksi psikologis tersebut, yaitu:
a. Penyangkalan dan isolasi (denial and isolation)
Seseorang menyangkal bahwa kematian benar-benar terjadi. Seseorang
berkata, “Tidak, bukan saya. Ini tidak mungkin.” Ini adalah reaksi pada
penyakit kematian (terminal illness). Penyangkalan biasanya hanya
pertahanan sementara dan akhirnya digantikan dengan meningkatnya
pertimbangan keuangan, urusan yang belum selesai dan khawatir
mengenai anggota keluarga yang masih hidup.
b. Marah (anger)
Seseorang menyadari bahwa penyangkalan tidak dapat lagi dipertahankan.
Penyangkalan sering memunculkan kemarahan, kebencian, kegusaran, iri
hati. Pertanyaan yang biasanya muncul pada orang yang menghadapi
kematian adalah, “Mengapa saya?” pada tahap ini seseorang menjadi
semakin sulit untuk dirawat karena kemarahan seringkali salah sasaran dan
diproyeksikan terhadap dokter, perawat, anggota keluarga dan Tuhan.
c. Tawar-menawar (bargaining)
Seseorang mengembangkan harapan bahwa kematian dapat ditunda.
Beberapa orang masuk ke dalam tawar-menawar atau negosiasi –
seringkali dengan Tuhan– sambil mencoba untuk menunda kematian.
Secara psikologis seseorang berkata, “Ya, saya, tetapi ….” Dalam usaha
mendapatkan perpanjangan waktu untuk beberapa hari, minggu atau bulan
dari kehidupan, seseorang berjanji untuk merubah kehidupan dan
mendedikasikannya pada Tuhan atau melayani orang lain.
d. Depresi (depression)
Pada tahap ini, periode depresi dan kesedihan muncul. Seseorang yang
menghadapi kematian menjadi pendiam, menolak pengunjung dan
meluangkan banyak waktu untuk menangis atau bersedih. Perilaku ini
normal pada keadaan ini dan sebenarnya adalah usaha unutk memisahkan
yang menghadapi kematian ini mengecilkan hati karena mereka butuh
untuk merenungkan kematian yang akan datang.
e. Penerimaan (acceptance)
Seseorang mengembangkan rasa damai, menerima takdir. Pada tahap ini,
perasaan dan rasa sakit dan fisik hilang. Kubler-Ross menjelaskan tahap
kelima ini sebagai akhir dari pergumulan kematian, istirahat terakhir
sebelum meninggal.
Tetapi tidak semua individu mengikuti urutan yang sama. Beberapa individu
berjuang hingga akhir, mencoba mati-matian untuk tetap berpegang pada hidup
mereka. Mereka tidak pernah menerima datangnya kematian tersebut (Santrock,
2002).
Sebuah pandangan menunjukkan fakta dari beberapa pasien kematian yang
mengikuti rangkaian penyesuaian dengan rapi dan terprediksi, tetapi sebagian
besar emosi, dan koping seseorang seseorang berubah-ubah, dapat kembali
ketahapan sebelumnya dan berlanjut ke tahapan selanjutnya. Beberapa orang
melewati tahap spesifik seperti marah lebih dari masa penyesuain mereka; yang
lain menjalani lebih dari satu reaksi emosi secara bersamaan dan beberapa
tampaknya melewati tahapan yang melompat-lompat (Reed et all, dalam Sarafino,
2006).
Peneliti memasukkan teori mengenai reaksi psikologis ODHA untuk
mengetahui bagaimana dampak psikologis pada ODHA dan pasangannya serta
bagaimana perilaku-perilaku mereka. Gejala psikologis yang ada pada ODHA dan
C. PARADIGMA
Menikah
ODHA
Pasangan
ODHA
Kepuasan perkawinan (Olson &
Fower dalam Saragih, 2003):
1.
Komunikasi
2.
Kegiatan di waktu luang
3.
Orientasi keagamaan
4.
Penyelesaian konflik
5.
Pengelolaan keuangan
6.
Hubungan seksual
7.
Keluarga dan teman
8.
Anak dan pengasuhan anak
9.
Kepribadian
10. Kesetaraan peran
Reaksi
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. PENDEKATAN KUALITATIF
Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2000), metode penelitian
kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Penelitian ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab
pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya.
Penelitian kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia
responden secara keseluruhan dari perspektif subjek sendiri dan yang menjadi
instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).
Pendekatan holistik mengasumsikan bahwa keseluruhan fenomena perlu
dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks, dan hal ini lebih bermakna
daripada penjumlahan bagian-bagian kecil (Patton dalam Poerwandari, 2007).
Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997), metode kualitatif memungkinkan peneliti
untuk meneliti isu terpilih, kasus-kasus atau kejadian secara mendalam dan detail,
fakta berupa kumpulan data tidak dibatasi oleh kategori yang ditetapkan
sebelumnya. Selanjutnya dijelaskan bahwan kelebihan metode kualitatif adalah
dengan prosedur yang khusus menghasilkan data detail yang kaya tentang
sejumlah kecil orang dan kasus-kasus. Penelitian kualitatif juga menghasilkan
data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi,
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk melihat
pengalaman-pengalaman subjektif individu dalam kepuasan perkawinan pada
suami/istri yang pasangannya ODHA sehubungan dengan adanya virus HI pada
pasangannya. Hal ini dikarenakan pendekatan kualitatif memungkinkan individu
memfokuskan perhatian pada apa yang dialaminya dan mengungkapkan
pengalaman yang dijalaninya sehingga dapat memperoleh pemahaman yang
menyeluruh dan utuh mengenai suatu fenomena yang di teliti.
B. RESPONDEN PENELITIAN
1. Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek yang akan digunakan dalam penelitian ini mempunyai kriteria:
a. Individu yang sudah menikah.
b. Pasangan individu mengidap HIV/AIDS (ODHA).
c. Individu tidak mengidap HIV/AIDS.
2. Jumlah Subjek Penelitian
Miles & Huberman (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa penelitian
kualitatif sedikit banyak dapat dianalogikan dengan proses penyelidikan
(investigasi), tidak banyak berbeda dengan kerja detektif yang harus mendapat
gambaran tentang fenomena yang dimilikinya.
Penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar,
melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Pada
tegas di awal penelitian (Sarantakos, dalam Poerwandari, 2007). Pada penelitian
ini, rencananya akan menggunakan tiga subjek penelitian.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk
operasional (theory-based/operational construct sampling). Poerwandari (2007)
mengungkapkan bahwa pengambilan sampel berdasarkan teori, atau berdasarkan
konstruk operasional dilakukan dengan memilih sampel dengan kriteria tertentu,
berdasrkan teori atau sesuai dengan tujuan penelitian. Sampel dipilih berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan, yaiti merupakan individu yang memiliki pasangan
pengidap HIV/AIDS dan telah menikah dengan ODHA tersebut. Hal ini dilakukan
agar sampel benar-benar representatif artinya dapat mewakili fenomena yang
dipelajari.
4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini direncanakan dilakukan di kota Medan, Sumatera Utara karena
dalam Harian Umum Analisa (2008) menyatakan bahwa di Rumah Sakit Umum
Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan dirawat 42 orang mengidap HIV+ dengan
usia produktif antara 21 – 45 tahun dan warga tertinggi yang dirawat di RSUP
Haji Adam Malik adalah warga Medan (Bara, 2008). Subjek yang akan diambil
sesuai dengan karakteristik subjek di atas. Hal ini penting agar memudahkan
C. METODE PENGUMPULAN DATA
Menurut Lofland & Lofland (dalam Moleong, 2000) sumber utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Metode pengumpulan data yang
digunakan disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang
diteliti. Metode-metode yang dapat digunakan antara lain wawancara, observasi,
diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya, analisis terhadap dokumen,
analisis dokumen, analisis cacatan pribadi, studi kasus, dan studi riwayat hidup
(Poerwandari, 2001). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing) sebagai metode utama
dan observasi pada saat wawancara dilakukan dengan alasan yang akan diuraikan
selanjutnya.
1. Wawancara
Wawancara adalah proses komunikasi interaksional antara dua pihak, dimana
paling tidak salah satu pihak memiliki tujuan tertentu dan di dalamnya terdapat
pertanyaan dan menjawab pertanyaan (Stewart & Cash, 2000). Wawancara
kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan
tentang makna-makna subjektif yang berkenaan dengan topik yang diteliti dan
bermaksud melakukan eksplorasi terhadapi isu tersebut. Hal ini merupakan
keunggulan pendekatan kualitatif dibandingkan dengan pendekatan lain (Banister
dkk, 1994).
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara
namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara
berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai
dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007).
Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori dari Santrock (2002) tentang
penularan HIV, dan reaksi psikologis ODHA oleh Kohler-Ross (1969) (dalam
Santrock, 2002), teori mengenai kepuasan perkawinan yang dikemukakan oleh
Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) yang menyatakan bahwa terdapat
area-area dalam perkawinan yang dapat mengukur kepuasan perkawinan.
Berdasarkan teori-teori inilah, pedoman wawancara disusun untuk
memperoleh data tentang kepuasan perkawinan suami/istri yang pasangannya
ODHA. Peneliti akan menggali perasaan yang dihadapi suami/istri yang
pasangannya ODHA akibat kondisi psikologis yang dideritanya, bagaimana
pasangannya dapat mengidap HIV/AIDS dan area-area apa saja yang dapat
memenuhi kepuasan perkawinannya.
D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA
Menurut Poerwandari (2007) bahwa dalam metode wawancara, alat yang
terpenting adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data,
peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah berupa pedoman wawancara, alat perekam (tape recorder).
1. Alat Perekam
Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu
itu, peneliti menggunakan alat perekam agar tidak perlu terlalu sibuk mencatat
dan dapat memfokuskan perhatian pada topik pembicaraan dan observasi. Dengan
demikian diharapkan jalannya wawancara dapat berlangsung lebih lancar dalam
konteks alami.
2. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori dalam Bab II sehingga
peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin ditanyakan.
Tema-tema yang dapat menjadi pedoman wawancara adalah bagaimana pasangan
subjek terkena HIV/AIDS, apa reaksi psikologis subjek memiliki pasangan yang
mengidap HIV/AIDS, dan area-area yang terdapat dalam perkawinan agar terjadi
kepuasan perkawinan pada suami/istri yang memiliki pasangan ODHA tersebut.
Pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku karena tidak tertutup
kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara supaya
data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.
E. KREDIBILITAS PENELITIAN
Kredibilitas adalah istilah pertama, paling banyak dipilih dan paling sering
digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikankan konsep validitas
yang dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian
kualitatif (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada
keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan
Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam
mengungkapkan area-area kepuasan perkawinan menurut Olson dan Fowers
(dalam Saragih, 2003) pada suami/istri yang pasangannya ODHA .
F. PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang
diungkapkan Bogdan (dalam Moleong, 2000). Terdapat tiga tahapan dalam
prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan
tahap analis data.
1. Tahap Pralapangan
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang
diperlukan untuk melaksanakan peneltian (Moleong, 2000) yaitu sebagai berikut:
a. Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat
Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat
yang berhubungan dengan HIV/AIDS, baik melalui orang-orang sekitar,
teman-teman, dosen, artikel, dan internet untuk meyakinkan peneliti
mengenai aspek-aspek psikologis yang terjadi pada suami/istri yang
pasangannya ODHA. Setelah itu, peneliti merumuskan masalah yang ingin
diteliti sesuai dengan fenomena yang telah diperoleh.
b. Mempersiapkan landasan teori
Peneliti mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan
c. Menyusun pedoman wawancara
Peneliti menyusun butir-butir pertantanyaan berdasarkan kerangka teoritis
untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.
d. Persiapan untuk pengumpulan data
Peneliti mencari beberapa orang responden yang sesuai dengan criteria
sampel yang telah ditentukan, meminta kesediaanya (inform concent)
untuk menjadi partisipan.
e. Membangun rapport
Setelah memperoleh kesediaan dan responden penelitian (tanda tangan
responden pada lembaran inform concent), peneliti meminta kesediaan
untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah itu peneliti dan
responden penelitian mengadakan kesepakatan yang meliputi waktu dan
tempat wawancara serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah pihak.
Sebelum melakukan penelitian, peneliti menemui karyawan suatu LSM
dimana temannya di LSM tersebut merupakan pasangan partisipan. Saat
karyawan LSM tersebut mengenalkan peneliti dengan partisipan I, maka
peneliti mencoba membangun rapport dengan partisipan dengan mulai
beramah tamah dan menanyakan kabar partisipan. Setelah itu, peneliti
menjelaskan tentang tujuan penelitian ini, partisipan dengan senang hati
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Peneliti meminta persetujuan responden untuk dijadikan responden penelitian.
Setelah itu, mulai melakukan wawancara, namun sebelumnya peneliti membina
rapport agar partisipan penelitian merasa nyaman dan tidak merasa asing.
Wawancara akan dilakukan di tempat yang telah ditentukan dan akan direkam
dengan tape recorder mulai dari awal hingga akhir peneliti juga akan mencacat
bahasa non verbal responden ketika wawancara berlangsung.
Proses wawancara dilakukan dalam jangka waktu 1 minggu, dari tanggal 22
Januari 2009 sampai dengan 29 Januari 2009. Pelaksanaan pengambilan data
partisipan I (Sahrul) dilakukan pada hari Kamis, 22 Januari 2009 pada pukul
16.00-17.30 WIB. Pelaksanaan pengambilan data partisipan II (Dewi) dilakukan
pada hari Kamis, 29 Januari 2009 pada pukul 11.00-12.00 WIB.
3. Tahap Pencatatan Data
Data yang telah diperoleh dari wawancara dituangkan ke dalam bentuk
verbatim berupa tulisan. Sedangkan data yang didapatkan dengan metode
observasi berupa data deskriptif berbentuk narasi. Data ini selanjutnya akan
dianalisis sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.
4. Prosedur Analisa Data
Beberapa tahapan dalam menganalisi data kualitatif menurut Poerwandari
a. Koding
Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang
diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan
mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat
memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari.
Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang
penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain
memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya
penelitilah yang berhak (dan bertanggungjawab) memilih cara koding
yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya
(Poerwandari, 2007).
b. Organisasi data
Highlen & Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa
organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk (a)
memperoleh data yang baik, (b) mendokumentasikan analisis yang
dilakukan, serta (c) menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam
penyelesaian penelitian. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan
diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, dan kaset hasil
rekaman), data yang sudah selesai diproses, data yang sudah ditandai/
dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis
c. Analisis tematik
Penggunaan analis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang
pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut
tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia.
Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat
menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks,
kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara
gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat
mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan
interpretasi fenomena.
d. Tahapan interpretasi
Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan interpretasi mengacu pada
upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti
memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan
menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Proses interpretasi
memerlukan distansi (upaya mengambil jarak) dari data, melalui
langkah-langkah metodis dan teoritis yang jelas serta memasukkan data ke dalam
konteks konseptual yang khusus.
BAB IV
ANALISA DATA DAN INTERPRETASI
Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi.
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami kepuasan perkawinan pada
suami/istri yang pasangannya ODHA, maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan
diinterpretasi per subjek. Analisa data akan dijabarkan dengan menggunakan
aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman wawancara.
A. PARTISIPAN I (SAHRUL)
1. Analisa Data
a. Identitas Diri Partisipan I (Sahrul)
Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan I
Keterangan Partisipan I
Nama Samaran Sahrul
Jenis Kelamin Pria
Usia 32 tahun
Pekerjaan Montir
Jumlah Anak 1 anak
Lama Perkawinan 3 tahun
Lama Pasangan Terinfeksi HIV/AIDS 6 bulan
b. Deskripsi Data Partisipan I (Sahrul)
Partisipan I dalam penelitian ini adalah Sahrul, seorang pria yang berusia 32
tahun. Sahrul menikah pada tahun 2005 dengan seorang wanita yang sangat
dicintainya dan dapat menerima status istrinya sebagai seorang janda yang telah
partisipan telah mengidap virus HI sejak 6 bulan lalu, yaitu semenjak bulan
Oktober tahun 2008 hingga saat ini bulan Februari tahun 2009. Istri partisipan
mengidap virus HI karena menggunakan narkoba. Istri partisipan mengalami
stress berat karena ditinggal oleh suami pertamanya. Peneliti mengenal partisipan
dari suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang telah ditunjukkan oleh
seorang karyawan di LSM itu sendiri. Nama LSM tidak dapat diberitahukan oleh
peneliti untuk menjaga kerahasiaan data partisipan dan istrinya karena istri
partisipan bekerja di LSM tersebut.
Sahrul mengenal istrinya yang pada saat itu istrinya sebagai tukang masak di
tempat partisipan bekerja di Seribu Dolok, di daerah pegunungan dan di sanalah
awal mula pertemuan mereka sampai akhirnya mereka menikah. Istri partisipan
menjadi pendamping hidup partisipan selama 3 tahun. Untuk dapat mengetahui
identitas partisipan I dapat dilihat dari tabel 1 di atas.
Sahrul memiliki 1 orang anak tiri yang merupakan hasil dari pernikahan istri
partisipan yang pertama, namun anak tersebut tidak tinggal dengan partisipan dan
istrinya melainkan dengan mertua partisipan. Istri partisipan sudah dua kali
mengandung anak Sahrul namun kedua anaknya keguguran. Sahrul tidak
menceritakan penyebab anak pertamanya keguguran, tetapi Sahrul menceritakan
penyebab anak keduanya keguguran. Anak keduanya keguguran karena janinnya
berada di luar kandungan dan istri partisipan harus operasi yang juga dikarenakan
adanya kista di dalam rahimnya.
Sahrul memiliki kulit kuning langsat dan rambutnya panjang bergelombang.