• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Humaniter Internasional Tentang Penerapan Distinction Principle Dalam Perang Modern

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Hukum Humaniter Internasional Tentang Penerapan Distinction Principle Dalam Perang Modern"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN

SKRIPSI

Oleh :

NIM: 060200061

ALKAUTSAR PRAWIRA SAILANOV

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh

ALKAUTSAR PRAWIRA SAILANOV NIM: 060200061

Departemen: Hukum Internasional

Disetujui oleh

Ketua Departemen Internasional

SUTIARNOTO, SH, MS. NIP: 195610101986031003

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat Islam dan

Iman yang tertanam dalam hati sanubari saya, selawat beriring salam saya

sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW semoga saya akan diberikan

syafaat olehnya kelak, amin ya rabbal alamin. Alhamdulillah, saya telah sampai

kepada akhir masa kuliah saya di fakultas hukum USU tercinta, telah banyak

ilmu-ilmu, pengalaman-pengalaman, serta kenangan yang saya dapatkan selama

ini, sehingga sekarang sampailah saya kepada penulisan skripsi ini dimana untuk

skripsi saya, saya mengambil judul “TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN”. Judul ini saya ambil oleh karena ketertarikan saya terhadap hukum humaniter, peperangan, dan peradamaian, semoga apa yang

saya tuliskan dalam skripsi ini, bermanfaat bagi saya untuk menambah

pendalaman pengetahuan saya, dan bagi orang lain yang membacanya, amin.

Untuk itu dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih saya

terhadap pihak-pihak yang sangat berjasa membantu saya baik dalam kehidupan

saya maupun dalam kuliah dan pengerjaan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Orang tua saya, ILHAMSYAH OWNIE, SH, SALMAH AISJAH, SH,

SpN, IMAM ERLAYAS SEMBIRING, SH. Sembah sujud saya kepada

mereka sebagai orang tua yang membuat saya terlahir ke dunia ini,

membesarkan saya, memberikan kasih sayang dan bekal hidup serta

(4)

sejauh sekarang ini, ampunkanlah anakmu ini yang banyak berbuat salah

padamu dan sering lalai dalam membaktikan diri untuk keluarga, semoga

kedepannya saya dapat lebih banyak membanggakan dan membaktikan

diri saya kepada orang tua saya.

2. Saudara saya, LEDY SOFIA LEONIE, PUTRI RAUDHATUL ASTARI,

kakak dan adik saya tersayang, terima kasih telah menjadi saudari saya

yang selalu memperhatikan dan menyayangi serta mendoakan.

3. Tuan guru Imam Legimin, sebagai guru yang mengajari saya jalan

mengenal Allah, syukur Alhamdulillah atas doa dan bimbingannya selam

ini

4. Paman dan sepupu saya, Andy Waspi, kak Shinta, kak Lian, sebagai

keluarga saya yang senantiasa membantu keluarga kami dalam keadaan

apapun dengan ikhlas. Semoga Allah membalas dengan seribu kebaikan,

amin.

5. Dekan Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Runtung Sitepu SH, MHum, PD I

Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH yang juga merupakan dosen

pembimbing skripsi saya, PD II Bapak Syafrudin, dan PD III Bapak

Muhammad Husni, SH, MH yang telah banyak membantu dan

memberikan kemudahan serta arahan bagi saya selama kuliah, saya sangat

bersyukur dan semoga Allah membalasnya dengan seribu kebaikan, amin.

6. Dosen-dosen Departemen Hukum Internasional, Bapak Sutiarnoto SH, MS

(5)

Bapak Deni Purba, SH, LLM, Ibu Chairul Bariah, SH, MHum yang juga

merupakan dosen pembimbing skripsi saya, dan seluruh dosen-dosen

hukum internasional yang telah menjadikan departemen ini begitu

istimewa di mata saya.

7. Segenap Dosen Fakultas Hukum USU yang telah memberikan saya ilmu,

para pegawai fakultas hukum, pengurus perpustakaan judisium fakultas

hukum, kantin bunda, kantin prm, kantin ME, dan Unit Pelayanan

Komputer.

8. Organisasi yang telah membesarkan saya dalam berorganisasi: BTM

Alladinsyah, SH, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), IMKA Erkaliaga

Fakultas Hukum USU, JESSUP USU, KOPISUSU, beserta seluruh

anggota dan presidiumnya.

9. Senior saya: Ahmad Alamududy Amri, SH, Irma Latifah Sihite, SH, Diki

Elnanda Chaniago, SH, Mayasari, SH, Zulkifli, SH, Anggraini Fajrin, SH

yang banyak member saya tips dan trik untuk berkuliah selama ini.

10.Teman-teman terdekat saya: Heru, Jefri, Kukuh, Rahmat, Darwin, Annisa,

Archiman, Ahmad Solob, Nanda, Sudirman, Herman Chandra, Wina,

Yusuf, Harianto, dan seluruh teman- teman fakultas hukum USU stambuk

2006.

11.Adik-adik junior saya: Agmal, Miranda, Teo, Rina, Karin, Ami, Farid,

(6)

Adhari, Rozy, semoga kalian bisa menjadi lebih maju dan hebat dari saya,

amin.

12.Anggota MDC yang saya banggakan, dari tahap awal sampai tahap

sekarang, teruskan trah kemenangan FH USU di Debat Konstitusi

nasional.

13.Seluruh personil MCC UII yang bersama-sama berjuang dan bergembira

bersama.

14.Korps Duta Muda ASEAN Indonesia, UBK, Biro Rektor, TBM FK USU,

Bank Of The Rumor.

15.PT. Djarum yang menjadikan saya Beswan Djarum, Anggota Beswan

Djarum DSO Medan 2008-2009 yang mempercayakan saya sebagai

kordinator, I love u all.

16.First Line Mouse Exterminator, Annisa yang mengagumkan, Andy Bai

yang pintar dan level tertinggi, Izhari yang always lucky.

17.Kepada dia yang selalu membuat saya tersenyum, I love u.

18.Bapak angkat saya Syahril Sofyan, SH, MKn yang sangat sayang pada

saya.

19.Bapak Sunyoto bagian kemahasiswaan Biro rektor yang banyak membantu

(7)

20.Warnet Surbakti sebagai tempat berkumpul dan bermain, Rental nasional

yang banyak membantu, dan Warnet Opium yang ramah terhadap user.

21.Seluruh dan segenap pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu

dalam kesempatan ini, semoga Allah membalas kebaikan kalian semua.

Terima kasih saya ucapkan untuk kalian semua, karena memberikan saya

ilmu kehidupan, kasih sayang, bekal, cinta, perhatian, kebersamaan, dan

(8)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan

Kata Pengantar

Daftar Isi

Abstraksi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan Judul 1

B. Perumusan Masalah 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 6

D. Tinjauan kepustakaan 7

E. Keaslian Penulisan 9

F. Metode Pengumpulan Data 9

G. Sistematika 10

BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM

INTERNASIONAL

A. Pengertian Hukum Humaniter Internasional 12

B. Sumber-Sumber Hukum Humaniter Internasional 15

C. Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional 27

D. Perkembangan Hukum Humaniter Dari Masa ke Masa 28

E. Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Internasional 34

BAB III PENGATURAN KONFLIK BERSENJATA DALAM HUKUM

HUMANITER

A. Perbandingan antara perang Konvensional dengan

perang moderen dilihat dari sejarah Perkembangan Konflik Bersenjata

(9)

B. Jenis-Jenis Konflik Bersenjata Dalam Ruang Lingkup

Hukum Humaniter 51

C. Akibat Hukum Pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata 56

D. Kedudukan Negara ketiga dalam perang dan konflik bersenjata 63

E. Cara-Cara Mengakhiri Perang dan Permusuhan 69

BAB IV TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG

EFEKTIFITAS PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM

PERANG MODEREN

A. Pengertian Prinsip Pembedaan Dalam Hukum Humaniter

Internasional 74

B. Subjek-Subjek Yang Dilindungi dalam Konflik Bersenjata 78

C. Ketentuan Tentang Perlindungan Masyarakat Sipil Pada Saat

Konflik Bersenjata 90

D. Akibat Hukum Terhadap Pelanggaran Prinsip Pembedaan 103

E. Efektifitas dan Relevansi Penerapan Prinsip Pembedaan

Dalam Perang Moderen 106

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 120

B. Saran 121

Daftar Pustaka 122

(10)

ABSTRAKSI

Peperangan dari masa ke masa senantiasa mengambil korban dalam jumlah yang banyak yang berujung kepada penderitaan, baik kepada pihak yang berperang maupun pihak yang tidak ikut berperang namun terkena dampak dari peperangan tersebut. Peperangan tanpa mengenal batas-batas yang ada telah lazim dipraktekkan dalam berbagai peperangan, pepatah kuno yang mengatakan “segalanya sah dilakukan dalam peperangan” telah menjadi strategi dan siasat yang muncul dengan sendirinya pada saat terjadinya peperangan. Penyerangan terhadap petani, lumbung gandum, saluran air, dan objek-objek lainnya dianggap sebagai bagian dari suatu siasat yang lazim dilakukan sebelum dikenalnya hukum humaniter, barulah kemudian setelah orang-orang mulai merasakan kerugian dari perang tanpa batas tersebut, mereka mulai menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur peperangan, hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya hukum humaniter.

Prinsip Pembedaan (distinction principle) merupakan suatu prinsip dalam Hukum Humaniter yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan besar, yakni kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam pertempuran, sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak berhak untuk turut serta dalam suatu pertempuran. Perlunya diadakan pembedaan yang demikian adalah untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak dan boleh turut serta dalam pertempuran di medan peperangan. Dengan mengetahui seseorang termasuk dalam kelompok kombatan maka kita harus memahami satu hal : bahwa tugas kombatan adalah untuk bertempur dan maju ke medan peperangan (termasuk jika harus melukai, menghancurkan, melakukan tindakan militer lainnya, bahkan jika harus membunuh musuh sekalipun). Oleh karena berkembangnya Distinction Principle ini dari masa ke masa, mulai dari istilah, objek, maupun peraturan, maka dipandang perlu untuk mengkaji kembali penerapan Distinction Principle ini apabila dikaitkan dengan perkembangan perang itu sendiri yang pada masa sekarang ini semakin berkembang ke arah borderless war dimana prinsip-prinsip hukum humaniter terutama Prinsip Pembedaan, banyak disimpangi oleh pihak-pihak yang berkonflik dimana hal-hal ini disebabkan karena peperangan pada masa moderen ini lebih mengarah kepada perang kota, bukan perang lapangan, dan pihak yang berkonflik bukanlah militer melawan militer, melainkan militer melawan penduduk sipil bersenjata. Hal ini tentu saja penting untuk dikaji lebih jauh untuk memastikan terjaminnya perlindungan terhadap penduduk-penduduk sipil yang menjadi korban peperangan sebagaimana yang menjadi tujuan dari adanya Distinction Principle ini.

(11)
(12)

ABSTRAKSI

Peperangan dari masa ke masa senantiasa mengambil korban dalam jumlah yang banyak yang berujung kepada penderitaan, baik kepada pihak yang berperang maupun pihak yang tidak ikut berperang namun terkena dampak dari peperangan tersebut. Peperangan tanpa mengenal batas-batas yang ada telah lazim dipraktekkan dalam berbagai peperangan, pepatah kuno yang mengatakan “segalanya sah dilakukan dalam peperangan” telah menjadi strategi dan siasat yang muncul dengan sendirinya pada saat terjadinya peperangan. Penyerangan terhadap petani, lumbung gandum, saluran air, dan objek-objek lainnya dianggap sebagai bagian dari suatu siasat yang lazim dilakukan sebelum dikenalnya hukum humaniter, barulah kemudian setelah orang-orang mulai merasakan kerugian dari perang tanpa batas tersebut, mereka mulai menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur peperangan, hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya hukum humaniter.

Prinsip Pembedaan (distinction principle) merupakan suatu prinsip dalam Hukum Humaniter yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan besar, yakni kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam pertempuran, sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak berhak untuk turut serta dalam suatu pertempuran. Perlunya diadakan pembedaan yang demikian adalah untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak dan boleh turut serta dalam pertempuran di medan peperangan. Dengan mengetahui seseorang termasuk dalam kelompok kombatan maka kita harus memahami satu hal : bahwa tugas kombatan adalah untuk bertempur dan maju ke medan peperangan (termasuk jika harus melukai, menghancurkan, melakukan tindakan militer lainnya, bahkan jika harus membunuh musuh sekalipun). Oleh karena berkembangnya Distinction Principle ini dari masa ke masa, mulai dari istilah, objek, maupun peraturan, maka dipandang perlu untuk mengkaji kembali penerapan Distinction Principle ini apabila dikaitkan dengan perkembangan perang itu sendiri yang pada masa sekarang ini semakin berkembang ke arah borderless war dimana prinsip-prinsip hukum humaniter terutama Prinsip Pembedaan, banyak disimpangi oleh pihak-pihak yang berkonflik dimana hal-hal ini disebabkan karena peperangan pada masa moderen ini lebih mengarah kepada perang kota, bukan perang lapangan, dan pihak yang berkonflik bukanlah militer melawan militer, melainkan militer melawan penduduk sipil bersenjata. Hal ini tentu saja penting untuk dikaji lebih jauh untuk memastikan terjaminnya perlindungan terhadap penduduk-penduduk sipil yang menjadi korban peperangan sebagaimana yang menjadi tujuan dari adanya Distinction Principle ini.

(13)
(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang,

atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan

peradaban manusia.1

Inti dari peperangan adalah menaklukan lawan, dan lawan hanya akan takluk

ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran

yang merupakan perwujudan dari naluri mempertahankan diri.

2

1

International Committee of the Red Cross, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999, halaman 1.

2

Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, P.T. Alumni, Bandung,2002, halaman 11.

Jean-Jacques Rousseau memberikan inspirasi bagi perkembangan prinsip-prinsip perang. Dia mengatakan bahwa tujuan perang untuk menghancurkan negara musuh

adalah sah secara hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi pertahanan

terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata; tetapi segera setelah mereka

meletakkan senjata dan menyerah, mereka bukan lagi musuh atau agen musuh,

kini mereka kembali menjadi orang biasa, dan tidak lagi sah secara hukum

untuk mengambil hidup mereka. Satu-satunya objek yang paling sah dicapai

oleh suatu Negara selama perang adalah melemahkan angkatan bersenjata dari

(15)

Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi Hukum Humaniter Internasional.

Terdapat suatu kenyataan yang menyedihkan dalam sejarah peradaban

manusia yang tercatat yaitu selama 3400 tahun, umat manusia hanya

menikmati masa damai selama 250 tahun saja.3 Peperangan dari masa ke masa senantiasa mengambil korban dakam jumlah yang banyak yang berujung

kepada penderitaan, baik kepada pihak yang berperang maupun pihak yang

tidak ikut berperang namun terkena dampak dari peperangan tersebut.

Peperangan tanpa mengenal batas-batas yang ada telah lazim dipraktekkan

dalam berbagai peperangan, pepatah kuno yang mengatakan “segalanya sah

dilakukan dalam peperangan” telah menjadi strategi dan siasat yang muncul

dengan sendirinya pada saat terjadinya peperangan, penyerangan terhadap

petani, lumbung gandum, saluran air, dan objek-objek lainnya dianggap

sebagai bagian dari suatu siasat yang lazim dilakukan sebelum dikenalnya

hukum humaniter, barulah kemudian setelah orang-orang mulai merasakan

kerugian dari perang tanpa batas tersebut, mereka mulai menetapkan

ketentuan-ketentuan yang mengatur peperangan, hal inilah yang menjadi cikal

bakal lahirnya hukum humaniter. 4

Pada dasarnya, masyarakat international mengakui bahwa peperangan

antar Negara atau dalam suatu Negara dalam banyak kasus tidak dapat

dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata

tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan.

3

(16)

Akan tetapi, orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi

tersebut juga ikut menjadi korban. Dengan demikian semua orang harus tetap

dilindungi HAM-nya, baik dalam keadaan damai maupun perang. Kelahiran

hukum humaniter moderen dapat dikatakan dimulai dengan kepedulian dan

keprihatinan Henry Dunant. Ia adalah satu dari ribuan prajurit Prancis dan Austria yang terluka setelah perang di Solferino (Italia Utara) pada tahun

1859. Dalam buku yang ditulisnya, “Un Souvenir de Solferino”, Dunant

menghimbau dua hal, pertama, agar dicipatkan suatu lembaga international

yang khusus menangani orang-orang sakit dan terluka, apapun kebangsaan,

agama maupun rasnya. Kedua, negara-negara di dunia dihimbau untuk

membuat kesepakatan yang mengakui keberadaan lembaga semacam ini,

termasuk memberi jaminan agar orang-orang sakit dan luka lebih

diperhatikan. Hal yang paling menyenangkan adalah bahwa Dunant bukan

sekedar menghimbau belaka, ia bersama beberapa orang temannya juga

beraksi dengan mendirikan International Committee for Aid to the Wounded

yang kemudian diberi nama International Committee of the Red Cross.

Komite ini pada akhirnya mendapat tanggapan positif dari sejumlah Negara

dan selanjutnya menghasilkan konvensi Jenewa yang pertama, yang diadopsi

oleh 16 Negara Eropa melalui Konvensi Jenewa I pada tahun 1864 5

5

International Committee of The Red Cross, Loc. Cit.

, dan

Konvensi ini dinamakan Convention for the Amelioration of Condition of the

Wounded in Armies in the Field. Dengan lahirnya konvensi ini, perlahan

(17)

lembaga yang didirikan oleh Henry Dunant adalah lembaga sosial

kemanusiaan dan konvensi Jenewa 1864 adalah konvensi tentang

perlindungan korban perang, namun kejadian-kejadian diatas secara tidak

langsung turut memisahkan perlakuan antara combatant dan non-combatant

yang mana sebelum lahirnya konvensi Jenewa dan sebelum terbentuknya

ICRC, perlakuan antara kedua subjek ini tidaklah dibedakan, jadi dapat

dikatakan semenjak lahirnya Konvensi Jenewa dan setelah ICRC berdiri,

prinsip pembedaan dalam hukum humaniter muncul secara konkrit dan

diterapkan ke dalam hukum tertulis.

Prinsip pembedaan (Distinction Principle) adalah asas yang

membedakan penduduk dari suatu Negara yang sedang berperang dalam dua

golongan yaitu: kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civillian). Dalam

perjanjian internasional, Teori Pembedaan antara Penduduk Sipil dan Kombatan diterima sebagai prinsip hukum internasional yang kemudian diterima sebagai cornerstone hukum perang. 6

Konvensi Den hag IV (Konvensi mengenai Hukum dan Kebiasaan

Perang di Darat) memuat ketentuan mengenai Prinsip Pembedaan tersebut

secara implicit, khususnya dalam lampiran atau Annex-nya yang berjudul

Regulating Respecting Laws and Customs of War atau yang lebih dikenal

dengan sebutan Hague Regulations (HR). Bagi kalangan angkatan bersenjata,

ketentuan dalam HR ini sangatlah penting dan dijuluki sebagai The Soldier’s

Vadamecum. Sedangkan dalam Konvensi-Konvensi jenewa, mulai dari

6

(18)

Konevensi Jenewa I-IV tidak ada penyebutan istilah Kombatan, melainkan hanya menentukan siapa yang berhak mendapatkan perlakuan sebagai

tawanan perang bila jatuh ke tangan musuh. 7 Bahwa mereka yang disebut dalam pasal tersebut harus dibedakan dengan penduduk sipil. Seiring

perkembangan, Distinction Pinciple mengalami perluasan makna menjadi

Prinsip Pembedaan Obyek Sipil dan Sasaran Militer yang dimuat dalam

protocol I tahun 1977, dalam protocol tersebut dipergunakan istilah “rakyat

sipil” (civilian population), “penduduk sipil” (civilian individual), “obyek

sipil” (civilian objects), “kombatan” (combatant), dan “sasaran militer”

(military objectives). 8

Oleh karena berkembangnya Distinction Principle ini dari masa ke

masa, mulai dari istilah, objek, maupun peraturan, maka dipandang perlu

untuk mengkaji kembali penerapan Distinction Principle ini apabila dikaitkan

dengan perkembangan perang itu sendiri yang pada masa sekarang ini

semakin berkembang ke arah borderless war dimana prinsip-prinsip hukum

humaniter terutama Prinsip Pembedaan, banyak disimpangi oleh pihak-pihak

yang berkonflik dimana hal-hal ini disebabkan karena peperangan pada masa

moderen ini lebih mengarah kepada perang kota, bukan perang lapangan, dan

pihak yang berkonflik bukanlah militer melawan militer, melainkan militer

melawan penduduk sipil bersenjata. Hal ini tentu saja penting untuk dikaji

lebih jauh untuk memastikan terjaminnya perlindungan terhadap

7

Konvensi Jenewa III Pasal 4. 8

(19)

penduduk sipil yang menjadi korban peperangan sebagaimana yang menjadi

tujuan dari adanya Distinction Principle ini.

B. Rumusan Masalah

Adapun hal yang menjadi permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi

ini adalah:

1. Mengapa perlu dilakukan pembedaan antara combatant dan

civillian dalam konflik bersenjata?

2. Bagaimana Ketentuan Hukum Humaniter Internasional yang

mengatur tentang Distinction Principle ini dalam peperangan dan

konflik bersenjata?

3. Bagaimanakah relevansi dari Distinction Principle ini dalam

peperangan ataupun konflik bersenjata moderen ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui tujuan dan kegunaan dari Distinction Principle

dalam huku m humaniter internasional.

2. Untuk mengetahui Ketentuan Hukum Internasional apa saja yang

mengatur tentang penerapan Distinction Principle ini.

3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan dan relevansi dari

(20)

yang mengatur Distinction Principle ini berkaitan dengan

peperangan dan konflik bersenjata pada era moderen.

Manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Secara teoritis.

Secara teoritis, manfaat yang dapat diperoleh dari pembahasan yang ada

dalam skripsi ini adalah mengetahui dan menambah pemahaman

mengenai Distinction Principle, Hal-hal apa saja yang menjadi ruang

lingkup pembahasan Distinction Principle, pengaturannya dalam berbagai

ketentuan hukum internasional, penerapan dan relevansinya dalam

peperangan dan konflik bersenjata pada era moderen ini, seperti yang kita

ketahui, peperangan dan konflik bersenjata pada masa sekarang ini lebih

bergeser menjadi perang kota, dan mengakibatkan kaburnya pembedaan

antar obyek sipil dan sasaran militer, yang kemudian akan menyulitkan

tegaknya Distinction Principle ini, sehingga diharapkan setelah mebaca

pembahasan yang ada dalam skripsi ini, pembaca dapat memahami

kedudukan Distinction Principle dalam keadaan demikian.

2. Secara praktis.

Secara praktis, tulisan dalam skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan

dan kajian bagi para akademisi untuk dapat mengembangkan dan

memberikan pengurusan yang dapat menjadi sumbangan yang berharga

(21)

D. Tinjauan Kepustakaan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mencari landasan teoritis dari

permasalahan yang ada, dapat dikatakan tinjauan kepustakaan merupakan

lebih dari separuh sumber yang digunakan dalam penulisan ini, yang

dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan berupa buku-buku yang

relevan dan jurnal-jurnal internasional yang kemudian digabungkan dengan

bahan-bahan perkuliahan, sehingga penulisan ini bukanlah bersifat “trial and

error” 9

Hal yang menjadi pokok pembahasan dalam Distinction Principle

sebenarnya adalah menentukan perlakuan yang tepat terhadap masing-masing

obyek dalam peperangan dan konflik bersenjata sekaligus membedakan yang

mana yang boleh menjadi sasaran yang sah dalam peperangan dan yang mana

yang tidak boleh diserang, prinsip ini adalah prinsip yang penting dalam

hukum humaniter dan telah lama dikenal dalam hukum humaniter, dan

Distinction Principle ini senantiasa mengalami perkembangan dari masa

perang konvensional hingga ke peperangan moderen, hal ini karena

peperangan itu sendiri juga turut berkembang, baik dari segi persenjataan,

pihak-pihak, dan bahkan objek peperangan. 10

9

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, halaman 112.

Untuk memantapkan pembahasan terhadap permasalahan ini, penulis

(22)

a. Bahan-bahan tulisan yang mengikat dan terdiri dari sumber-sumber

hukum internasional seperti: hukum kebiasaan internasional,

prinsip-prinsip hukum umum, konvensi, Doktrin, dan

Yurisprudensi.

b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai

bahan-bahan hukum primer seperti komentar dari suatu konvensi,

diktat perkuliahan, jurnal-jurnal hukum internasional yang ditulis

oleh para akademisi dan para sarjana hukum.

c. Bahan-bahan lain yang mendukung penulisan skripsi ini seperti

diktat, ensiklopedi, dan kamus hukum bahasa inggris

E. Keaslian Penulisan

“TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan telah

diperiksa di dalam data base arsip skripsi departemen hukum internasional

fakultas hukum USU, dan telah dinyatakan belum pernah ditulis oleh

mahasiswa lain di fakultas hukum USU, penulis menyusun tulisan ini melalui

referensi buku-buku, media elektronik, dan bantuan bimbingan dari

dosen-dosen pembimbing dan berbagai pihak lain.

(23)

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

hukum normative, dengan mengumpulkan data secara studi pustaka atau

library research. Penulis mempelajari sumber-sumber berupa bahan-bahan

tertulis dan elektronik yang dapat dijadikan materi dalam penulisan skripsi ini

dan kemudian disusun menjadi sebuah pembahasan terhadap suatu

permasalahan, kemudian diakhiri dengan mensintesiskan bahan-bahan tersebut

menjadi sebuah penulisan dan pembahasan yang baru, adapun dalam

penulisan ini, tidak perlu dilakukan studi lapangan untuk mengumpulkan

data-datanya dikarenakan bahan-bahan dari studi kepustakaan telah cukup.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan

sistematika penulisan secara runut dan teratur dengan menggunakan pola

deduktif yang dibagi dalam pembahasan bab per bab yang saling berhubungan

satu sama lain, sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya

diuraikan menjadi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penulisan, tinjauan kepustakaan, keaslian penulisan, metode pengumpulan

data, sistematika penulisan.

(24)

Merupakan pembahasan mengenai posisi hukum humaniter sebagai bagian

dari hukum internasional dan ruang lingkup yang diaturnya.

BAB III: PENGATURAN KONFLIK BERSENJATA DALAM HUKUM HUMANITER.

Merupakan penjelasan dan pembahasan mengenai perkembangan konflik

bersenjata dan pengaturannya dalam hukum humaniter internasional dari masa

ke masa.

BAB IV: TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG EFEKTIFITAS PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN.

Merupakan penjelasan dan pembahasan sekaligus analisis mengenai inti dari

skripsi ini dan sekaligus menjadi puncak pengkerucutan pembahasan dari

permasalahan yang diangkat.

BAB V : PENUTUP

Bab terakhir ini merupakan pemberian kesimpulan dari seluruh pembahasan

(25)

BAB II

HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL

A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Hukum Humaniter Internasional (HHI), atau International Humanitarian Law (IHL) atau sering disebut saja sebagai Hukum Humaniter, bukan merupakan cabang ilmu baru dalam Hukum Internasional, sehingga terdapat berbagai rumusan atau definisi mengenai apa yang

dimaksudkan dengan Hukum Humaniter. Dalam Khasanah ilmu hukum,

hukum humaniter internasional adalah cabang atau bagian dari hukum

internasional publik 11

11

Sanwani Nasution, Hukum Humaniter sebagai bagian dari Hukum Internasional, Makalah disajikan pada: Seminar sehari Hukum Humaniter Internasional; diselenggarakan oleh Departemen

(26)

A. Jean Pictet, yang menulis buku tentang “The Principle of International Humanitarian Law”. Dalam buku tersebut, Pictet membagi Hukum Humaniter

menjadi dua golongan besar; yaitu :

1. Hukum Perang, yang dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu 12

b). The Geneva Laws, atau hukum yang mengatur tentang

perlindungan para korban perang.

:

a). The Hague Laws, atau hukum yang mengatur tentang alat dan

cara berperang, serta;

2. Hukum Hak Asasi Manusia

Kemudian Pictet memberikan definisi Hukum Humaniter sebagai berikut :

International Humanitarian Law, in the wide sense, is constituted by all the

international legal provisions, whether written or customary, ensuring respect for

individual and his well being”. Pictet menggunakan istilah hukum perang dalam

dua pengertian, yaitu hukum perang dalam yang sebenarnya (the laws of war

properly so-called), yaitu hukum den Haag; dan hukum humaniter dalam

pengertian yang sebenarnya (humanitarian law properly so-called), yaitu hukum

Jenewa.

B. Geza Herczegh, yang berpendapat bahwa International Humanitarian Law hanyalah terbatas pada hukum Jenewa saja, dan karenanya Herczegh

merumuskan hukum humaniter sebagai berikut :

“Part of the rules of public international law which serve as the protection of

individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it

12

(27)

is closely related to them but must be clearly distinguish from these its

purpose and spirit being different”.

C. Esbjorn Rosenblad, yang membedakan antara :

1. Hukum sengketa bersenjata, yaitu hukum yang mengatur masalah-masalah seperti :

a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian;

b. Penduduk di wilayah pendudukan;

c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral.

2. Sedangkan hukum perang, memiliki arti yang lebih sempit daripada hukum sengketabersenjata, yang mencakup antara lain masalah :

a. Metoda dan sarana berperang;

b. Status kombatan;

c. Perlindungan terhadap yang sakit, tawanan perang dan orang sipil.

Berbeda dengan Herczegh, maka Rosenblad memasukkan dalam Hukum

Humaniter, kecuali Hukum Jenewa, juga sebagian dari Hukum Den Haag, yaitu

yang berhubungan dengan metoda dan sarana berperang. Menurut Rosenblad,

Hukum Perang inilah yang oleh ICRC disebut dengan “international

humanitarian law applicable in armed conflict”. Dapat disimpulkan bahwa

menurut Rosenblad, Hukum Humaniter identik dengan Hukum Perang, sedangkan

Hukum Perang sendiri merupakan bagian dari Hukum Sengketa Bersenjata.

(28)

Dalam suatu kesempatan ceramah pada tanggal 26 Maret 1981, beliau

menjelaskan bahwa yang dinamakan Hukum Humaniter adalah sebagian dari

Hukum Perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang;

berlainan dengan hukum perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala

sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu, seperti mengenai

senjata-senjata yang dilarang. Pada kesempatan lain, Prof Mochtar juga mengatakan

bahwa ketentuan-ketentuan hukum atau Konvensi Jenewa identik atau sinonim

dengan hukum atau konvensi-konvensi humaniter; sedangkan Hukum Perang atau

Konvensi-konvensi Den Haag mengatur tentang cara melakukan peperangan.

Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi dua bagian 13 1. Ius ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal

bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;

:

2. Ius in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi : a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (the conduct of war).

Bagian ini biasa disebut The Hague Laws

b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban

perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.

Setelah melakukan pembagian tersebut, Mochtar Kusumaatmadja

kemudian mengemukakan bahwa Hukum Humaniter adalah “bagian dari hukum

yang mengatur ketentuan¬-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan

dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang

menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”.

13

(29)

B. SUMBER-SUMBER HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menjadikan aturan-aturan

mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan

menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Setiap sistem

hukum pasti memiliki sumber hukum sendiri sebagai landasan operasional

berlakunya hukum dalam masyarakat. Hukum Humaniter yang sebagaimana telah

disebutkan sebelumnya adalah merupakan bagian dari hukum internasional,

menjadikannya berbagi sumber hukum yang sama pula dengan sumber hukum

internasional dalam tataran perangkat hukum yang bersifat umum, meskipun

demikian terdapat pula beberapa sumber-sumber hukum yang sifatnya lebih

khusus dan merupakan pegangan utama dalam hukum humaniter internasional.

Terdapat tempat yang menunjukkan atau mencantumkan sumber-sumber hukum

internasional, yaitu Pasal 7 Konvensi Den Haag XII tanggal 18 Oktober 1907,

yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut

(International Prize Court) dan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Sumber

hukum internasional yang telah dijadikan rujukan sebagai sumber otoritatif dapat

ditemukan pada Pasal 38 (ayat 1) Statuta Mahkamah Internasional Permanen

(30)

PBB tanggal 26 Juni 1945. Pasal tersebut secara implisit memberikan daftar

sebagai berikut 14

a) Perjanjian internasional (international convention), apakah yang

berlaku partikular maupun umum, yang kemudian menunjukkan

aturan-aturan yang disetujui oleh negara-negara yang terkait; :

b) kebiasaan Internasional (international custom), sebagaimana yang

telah dibuktikan dan diterima sebagai hukum;

c) prinsip-prinsip hukum umum (the general principles of law

recognized by civilized nations) yang dikenal oleh bangsa-bangsa

beradab;

d) putusan-putusan peradilan dan ajaran-ajaran para sarjana, the most

highly qualified publicists, sebagai tambahan bagi pengambilan

putusan.

Mengacu pada sumber hukum internasional dalam Pasal 38 (ayat 1)

Statuta Mahkamah Internasional tersebut di atas, terdapat dua sumber utama

hukum humaniter internasional, yaitu Hukum Den Haag, yang terdiri dari

Konvensi Den Haag 1899 dan Konvensi Den Haag 1907, Hukum Jenewa yang

terdiri dari Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I tahun 1977, dan

Protokol Tambahan II tahun 1977 15

a. Konvensi Den Haag Tahun 1899.

. Dua sumber hukum inilah yang secara

khusus merupakan sumber hukum utama dalam hukum humaniter, adapun kedua

sumber hukum ini mengatur hal-hal yang berbeda antara lain sebagai berikut:

14

International Committee of The Red Cross, Op. Cit. halaman 8. 15

(31)

Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil

Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli

1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan hukum tentang

para pihak yang bertikai dalam melaksanakan operasi militer dan

membatasi metode dan cara bertempur yang dapat dipakai untuk

melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturan-peraturan

tersebut termuat dalam Konvensi Den Haag 1899 yang direvisi

tahun 1907. Sebagian besar konvensi-konvensi yang disetujui pada

Konferensi Perdamaian I telah diganti konvensi-konvensi yang

disetujui pada Konferensi Perdamaian II. Konferensi Perdamaian III

sebenarnya telah direncanakan namun tidak dapat dilaksanakan

karena pecahnya Perang Dunia I. Konferensi Perdamaian I tahun

1899 menghasilkan tiga Konvensi dan tiga deklarasi.

Konvensi-konvensi yang dihasilkan adalah:

1) Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan

Internasional. Konvensi ini untuk mencegah adanya perang

atau paling tidak menentukan secara sangat terbatas

persayaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan

pernyataan perang.

2) Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.

Memuat ketentuan yang mengatur cara melakukan operasi

militer. Prinsip-prinsip dari Konvensi ini kemudian

(32)

tambahan I Konvensi Jenewa 1949. Ketentuan yang paling

penting dari Konvensi II ini adalah menetapkan bahwa hak

setiap yang terlibat dalam pertikaian bersenjata untuk

memilih sarana dan metode perang tidaklah tanpa batas.

3) Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa

Tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang Di Laut.

Instrumen Konvensi III ini melindungi tentara yang luka,

sakit, dan menjadi korban kapal karam serta tawanan perang.

Pada perkembangan selanjutnya perlindungan ini telah

diperluas dan lebih diperinci dalam Konvensi-konvensi

Jenewa sehingga Konvensi Den Haag mengenai

perlindungan ini tidak berlaku lagi.

Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:

1. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum, yaitu peluru yang

bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam, sehingga dapat

pecah dan membesar dalam tubuh manusia. Deklarasi ini disetujui

di Den Haag tanggal 29 Juli 1899 dan mengembangkan deklarasi

St. Peterspurg Tahun 1868 yang melarang penggunaan proyektil

dengan berat di bawah 400 gram yang mengandung bahan peledak

atau bahan pembakar.

2. Pelarangan peluncuran proyektil-proyektil dan bahan peledak dari

(33)

Deklarasi ini disetujui pada tahun 1899 dan direvisi pada tahun

1907. Deklarasi kemudian dihidupkan kembali dalam Protokol

Tambahan I Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Masyarakat

Sipil.

3. Pelarangan penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas

cekik dan beracun. Deklarasi ini disetujui pada tahun 1899 dan

merupakan upaya pertama untuk melarang penggunaan gas sebagai

metode perang yang dianggap sangat kejam dan khianat. Prinsip ini

ditegaskan kembali di Jenewa dalam protokol yang melarang

penggunaan gas cekik, racun, dan senjata bakterial sebagai metode

perang pada tanggal 17 Juni 1925.

b. Konvensi Den Haag 1907.

Konvensi ini adalah hasil Konferensi Perdamaian II tahun 1907 sebagai

lanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun 1899 di Den Haag terdiri

dari konvensi-konvensi sebagai berikut 16

16

Jean Picted, Development and Principle of International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher, 1985, halaman 6, dalam International Committee of The Red Cross, Op. Cit, halaman

:

1. Konvensi I Den Haag tentang Penyelesaian Damai Persengketaan

Internasional;

2. Konvensi II Den Haag tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam

(34)

3. Konvensi III Den Haag tentang cara memulai peperangan yang

berjudul “Convention Relative to the Opening of Hostilities”. Perang

dalam arti hukum adalah perang yang dimulai dengan konvensi ini.

Perang tidak dapat dimulai tanpa adanya pernyataan perang yang

disertai alasan atau dengan suatu ultimatum, dengan pernyataan

perang jika ultimatum itu tidak dipenuhi;

4. Konvensi IV Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di

Darat Dilengkapi dengan Peraturan Den Haag yang berjudul lengkap

“Convention Respecting to Laws and Customs of War on Land”

merupakan penyempurnaan dari Konvensi Den Haag Tahun 1899.

Konvensi IV Den Haag hanya terdiri dari 9 pasal, yang dilengkapi

dengan lampiran yang disebut Hague Regulation;

5. Konvensi V Den Haag Mengenai Hak dan Kewajiban Negara serta

Warga Negara Netral dalam Perang di Darat yang berjudul “Neutral

Power and Persons in Land”. Pengertian tersebut membedakan

antara Negara Netral dengan Orang Netral. Negara Netral merupakan

negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu

peperangan yang sedang berlangsung, sedangkan Orang Netral

adalah warga negara dari suatu negara yang tidak terlibat dalam

peperangan;

6. Konvensi VI Den Haag tentang Status Kapal Dagang Musuh pada

(35)

7. Konvensi VII Den Haag tentang Status Kapal Dagang yang Menjadi

Kapal Perang;

8. Konvensi VIII Den Haag tentang Penempatan Ranjau Otomatis di

dalam Laut;

9. Konvensi IX Den Haag tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di

Waktu Perang;

10. Konvensi X Den Haag tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi

Jenewa tentang Perang di Laut;

11. Konvensi XI Den Haag tentang Pembatasan Tertentu terhadap

Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut;

12. Konvensi XII Den Haag tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan;

13. Konvensi XIII Den Haag yang berjudul “Neutral Right and Duties

in Maritime War” mengatur Hak dan Kewajiban Negara Netral

dalam Perang di Laut.Sebagian besar dari konvensi mengatur

perang di laut. Hanya ada satu Konvensi yang mengatur perang di

darat, yaitu Konvensi IV. Konvensi IV mempunyai annex yang

disebut Hague Regulations 1907. Ketentuan-ketentuan Hague

Regulations inilah yang sampai sekarang menjadi pegangan bagi

para belligerent.

(36)

Hukum Jenewa mengenai perlindungan korban perang pada awalnya

terbentuk pada tahun 1864 yang disebut Konvensi Jenewa I. Tujuan

diadakannya Konvensi Jenewa adalah memberikan perlindungan

kepada para pihak yang menderita dalam peperangan, baik anggota dari

angkatan bersenjata ataupun penduduk sipil yang terkena dampak dari

peperangan 17

Konvensi Jenewa 1864 telah mengalami perubahan-perubahan,

termasuk perubahan yang dilakukan pada tahun 1949. Perubahan tahun

1949 menghasilkan empat perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah

keempat Konvensi Jenewa 1949, yaitu .

d. Konvensi Jenewa 1949

18

1. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the

Wounded And Sick in Armed Forces in the Field. (Konvensi Jenewa

mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka

dan Sakit di Medan Pertempuran Darat). :

2. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the

Wounded, Sick, and Shipwrecked Member of Armed Forces at Sea.

(Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan

Perang di Laut yang Luka, Sakit, dan Kapal Karam).

3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War.

(Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tahanan Perang).

17

Ibid, halaman 6.

18

(37)

4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Person in

Time of War.(Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan

Orang-orang Sipil di Waktu Perang).

Konvensi-konvensi ini berlaku dalam perang yang dinyatakan atau

timbul di antara dua pihak peserta atau lebih, sekalipun keadaan perang

tidak diakui oleh salah satu pihak. Konvensi-konvensi Jenewa juga berlaku

untuk semua peristiwa pendudukan, sebagian, atau seluruh wilayah Peserta

Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak mendapatkan perlawanan.

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka para kombatan yang tertangkap di

wilayah pendudukan yang tidak dapat melakukan perlawanan juga harus

diperlakukan sebagai tawanan perang, dan Konvensi ini akan berlaku

sekalipun salah satu pihak yang terlibat dalam konflik bukanlah salah satu

peserta dari Konvensi Jenewa. Ada beberapa hal penting dalam Konvensi

Jenewa, yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Konvensi Jenewa 1949 selain mengatur perang yang bersifat

internasional, juga perang yang bersifat non-internasional, yaitu

perang yang terjadi di wilayah salah satu pihak Peserta Agung,

antara pasukan pihak Perserta Agung dengan pasukan pemberontak.

2. Di dalam Konvensi Jenewa 1949 terdapat ketentuan-ketentuan yang

berlaku utama (Common Article), yaitu ketentuan yang dianggap

sangat penting sehingga terdapat dalam keempat buku dengan

(38)

penting seperti ketentuan umum (Pasal 1, 2, 3, 6, dan 7), ketentuan

hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan (Pasal 49, 59, 51,

dan 52), dan ketentuan mengenai pelaksanaan dan ketentuan

penutup (Pasal 55-64).

Selain sumber hukum humaniter internasional pokok, yang berupa

Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, terdapat sumber hukum humaniter

yang lainnya sebagai berikut:

1. Deklarasi Paris (16 April 1865).

Deklarasi Paris 1865 mengatur tentang Perang di Laut yang

dirumuskan berdasarkan pengalaman Perang Krim tahun 1864, di

mana dua negara yang bersekutu yaitu Inggris dan Perancis

menerapkan prinsip-prinsip hukum perang di laut yang berbeda. Untuk

mencegah terulangnya kejadian tersebut maka Deklarasi Paris memuat

beberapa asas.

Asas-asas Deklarasi Paris:

a. Bahwa pembajakan dihapus dan akan tetap dihapus;

b. bendera netral melindungi barang-barang musuh, kecuali

kontraband perang;

c. barang-barang netral di bawah bendera musuh tidak boleh disita,

kecuali kontraband perang;

d. supaya mengikat, blokade harus efektif. Artinya dilakukan oleh

suatu kekuatan yang mencukupi untuk benar-benar mencegah

(39)

2. Deklarasi St. Petersburg (29 November-11 Desember 1868)

Deklarasi St. Petersburg diprakarsai oleh Tsar Alexander II dari Russia

karena diketemukannya sejenis peluru yang jika permukaannya

mengenai benda yang keras tutupnya dapat meledak. Tujuan Deklarasi

St. Petersburg adalah untuk melarang penggunaan peluru-peluru

semacam itu.

3. Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara (1923)

Ketentuan khusus mengenai perang di udara dirancang pada bulan

Desember 1922 sampai bulan Februari 1923 oleh komisi para ahli

hukum di Den Haag, sebagai realisasi Konferensi Washington 1922.

Tujuan pokok komisi ini sebenarnya hanya mengatur penggunaan

radio dalam pertempuran. Rancangan ketentuan ini dipergunakan

sebagai pedoman dalam pertempuran udara. Substansinya mengatur

penggunan pesawat udara di dalam pertempuran dengan segala

peralatan yang dimiliki.

4. Protokol Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelarangan Penggunaan Gas

Cekik dan Macam-Macam Gas Lain dalam Peperangan.

Larangan penggunaan gas-gas tersebut mencakup larangan

penggunaan gas air mata dalam perang dan pemakaian herbasida

untuk ketentuan perang. Protokol ini dirumuskan dan ditandatangani

dalam suatu Konferensi untuk mengawasi perdagangan internasional

(40)

5. Protokol London (6 November 1936) tentang Peraturan Penggunaan

Kapal Selam dalam Pertempuran.

Protokol ini merupakan penegasan dari Deklarasi tentang hukum

perang di laut yang dibentuk di London tanggal 26 Februari 1989 dan

belum pernah diratifikasi.

C. RUANG LINGKUP HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Hukum Humaniter atau dapat disebut juga Hukum Perang atau Hukum

Sengketa Bersenjata dapat didefinisikan dengan berbagai macam rumusan atau

definisi, sebagaimana dapat dilihat disini. Dari berbagai macam ragam definisi

yang meliputi berbagai pendapat tersebut, maka berdasarkan pendapat para ahli

ruang lingkup hukum humaniter dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu 19 a) ruang lingkup (aliran) yang luas.

:

b) Ruang lingkup sempit.

c) ruang lingkup yang bersifat moderat (tengah).

Mereka yang menganut aliran atau ruang lingkup yang luas, pada umumnya

mengatakan bahwa hukum humaniter tidak saja terdiri dari Hukum Den Haag dan

Hukum Jenewa; melainkan juga mencakup Hukum Hak Asasi Manusia

Internasional, sebagaimana dikemukakan seorang ahli yang bernama Jean Pictet.

Walaupun demikian, tidak semua ahli yang menganut aliran atau ruang lingkup

luas berpendapat seperti itu. Ada juga yang memasukkan ketentuan-ketentuan

mengenai keabsahan suatu sengketa bersenjata atau yang lebih dikenal dengan

konsep ‘ius ad bellum’ sebagai hal yang juga dipelajari di dalam Hukum

Humaniter dan menjadi satu dengan konsep ‘ius ad bellum’. Intinya, menurut

19

Masyhur Effendi, Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hankamrata,

(41)

golongan ini, ruang lingkup yang dicakup Hukum Humaniter tidak melulu

Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag saja. Sedangkan mereka yang menganut

ruang lingkup yang sempit tentu saja berpendapat bahwa hukum humaniter

internasional hanya terbatas pada kedua sumber ini saja, sedangkan golongan

menengah berpendapat bahwa kedua sumber hukum yang ada (Konvensi Den

Haag dan Konvensi Jenewa) merupakan sumber utama dari hukum humaniter

namun bukanlah satu-satunya, terdapat sumber-sumber hukum lain yang dapat

dijadikan dasar dan pegangan meskipun golongan ini sepakat bahwa rujukan

utama tetaplah mengacu kepada kedua konvensi diatas. 20

D. PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DARI MASA KE

MASA

Sebenarnya sah-sah saja

untuk berpendapat mengenai apa yang dimaksudkan dengan Hukum Humaniter,

asal memang ada argumentasinya. Jean Pictet sendiri berpendapat seperti itu

sudah lama. Konon dia menarik kembali ucapannya itu dan lebih menyetujui

aliran tengah. Tidak heran, mengingat antara Hukum Humaniter dan Hukum

HAM Internasional memang terdapat perbedaan yang sangat besar. Kedua cabang

ilmu Hukum Internasional itu memang bersinggungan, tapi untuk mengatakannya

sebagai satu hal yang termasuk ke dalam ruang lingkup Hukum Humaniter tentu

itu sudah terlalu jauh. Bagaimanapun, adanya ruang lingkup ini hanyalah untuk

keperluan akademis saja, sekedar bisa mengetahui pemikiran-pemikiran yang

lebih mendalam mengapa seseorang berpendapat begini dan begitu. Justru yang

lebih penting adalah implementasi Hukum Humaniter itu sendiri.

20

(42)

Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan

dimana aturanaturan hukum humaniter itu timbul.Namun, untuk sampai

kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah

mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam rentang waktu yang

sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk

memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk

memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan

perlakuan yang semena-mena dari pihak pihak yang terlibat dalam.

Upaya-upaya dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter

adalah sebagai berikut :

A. Zaman Kuno

Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan

dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah

tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan

terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata

semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak

yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula,

pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan

musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik,

menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian

permusuhan, maka pihakpihak yang berperang biasanya sepakat untuk

memperlakukan tawanan perang dengan baik. Selain itu, dalam berbagai

(43)

Sebelum Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini

dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut :

(1) Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga

yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang,

kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan

perjanjian damai.

(2) Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimana disebutkan dalam “seven works

of true mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan

makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh; juga

perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah

lain pada masa itu menyatakan, ”anda juga harus memberikan makanan

kepada musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh

diganggu.

(3) Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara

yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas

keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang dan

traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak

diganggu. Kota-kota dimana para penduduknya melakukan perlawanan,

akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap

kota-kota yang dirusak dan penduduknya dibantai atau dijadikan budak.

Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang,

(44)

(4) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata

dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang

cacat, yang menyerah, yang luka harus segera dipulangkan ke rumah

mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati

atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh

dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan

pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang. Dalam sejarah

kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan

dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah, periode

klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang

dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan

perang serta larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai

sasaran perang, dan juga tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang

ditemukan di Sumatera Selatan (prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan

berota raja yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi

mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang oleh bala tentara

raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja

yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik 21

Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran

dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen

misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” .

2. Abad Pertengahan

21

(45)

(just war), ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al

Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at

Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai

sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip

ksatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya

mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan

senjata-senjata tertentu.

3. Zaman Modern

Hukum humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika

memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara

nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan

membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak

tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan

bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi

semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia.

Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan

pendirian Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya Konvensi

Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang,

dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian

untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan

perlakuan yang sama. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggota

Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat,

(46)

dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry Dunant menulis buku

tentang pengalaman-pengalamannya di medan pertempuran antara Austria

dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un Souvenir

de Solferino” (1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit

yang luka dan sakit di medan pertempuran Solferino. Pada tahun 1864,

Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan

suatu konferensi internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa

penuh dari negara-negara yang mengikuti konferensi sebelumnya.

Konferensi ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi

Jenewa 1864. Konvensi ini didalamnya mengandung asas-asas bagi

perlakuan korban perang yang hingga kini masih berlaku. Konvensi 1864,

yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang

Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali Konvensi

Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang.

Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan

ketentuan perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka unit-unit dan

personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh

dihalangi dalam melaksanakan tugastugasnya. Begitu pula penduduk

setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati,

baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum. Konvensi

memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda

pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Peristiwa penting lainnya

(47)

of Armies of the United States, 1863), di Amerika Serikat, yang

mencantumkan instrument-instrumen panjang dan serba lengkap dari

semua hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggarisbawahi asas-asas

kemanusiaan tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini

memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan

perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap

kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang yang

luka, dsb. Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya

yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini

perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter

dikembangkan melalui traktat-traktat yang ditandatangani oleh mayoritas

negaranegara setelah tahun 1850 22

E. MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL

.

Mekanisme penegakan hukum humaniter internasional dapat

ditemukan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi-konvensi

Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977 serta pada aturan-aturan lain yang

mengatur mengenai Mahkamah Kejahatan perang baik yang bersifat ad hoc

maupun permanen.

1. Mekanisme Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan tahun 1977.

22

(48)

Dalam pasal 1 Konvensi Jenewa ada suatu kewajiban bagi Pihak

Peserta Agung untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap

Konvensi. Menghormati berarti Negara yang bersangkutan harus

melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam konvensi. Sedangkan

menjamin penghormatan berarti Negara harus melakukan

tindakan-tindakan yang diperlukan apabila terjadi pelanggaran terhadap

ketentuan-ketentuan konvensi, termasuk menjatuhkan sanksi apabila diperlukan.

Kewajiban ini dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 Konvensi I yang

merupakan ketentuan yang bersamaan, yang berbunyi sebagai berikut:

The high contracting parties undertake to enact any legislation

necessary to provide effective penal sanctions for person committing,

or ordering to be committed, any of.. grave breaches of the present

convention defined in the following article.”23

Sejak awal ketika terjadi pelanggaran hukum humaniter atau ketika ada

indikasi terjadi pelanggaran hukum humaniter, maka institusi yang Mekanisme yang terdapat dalam ketentuan ini adalah suatu mekanisme

dimana penegakan hukum humaniter internasional yang dilaksanakan

berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya apabila terjadi kasus

pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut dan dihukum

berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional dengan

menggunakan mekanisme peradilan nasional Negara yang bersangkutan.

23

(49)

bertanggung jawab segera mengambil tindakan yang diperlukan, sebagai

contoh apabila seorang prajurit melakukan pelanggaran hukum humaniter

internasional, maka komandan atau atasannya harus mengambil tindakan

yang diperlukan untuk menghentikan pelanggaran tersebut, dan apabila

menjatuhkan hukuman kepada si pelaku. Hal ini diatur dalam pasal 87

protokol I 1977. Dalam pasal 87 ayat 1 Protokol I tersebut jelas terlihat

adanya kewajiban komandan untuk mencegah dan kalau perlu

menghukum serta melaporkan kepada pihak yang berwenang mengenai

pelanggaran terhadap protocol dan konvensi tersebut. Kemudian pada ayat

3 ditekankan mengenai perlunya memberikan sanksi atau hukuman pidana

bagi mereka yang melanggar konvensi dan protocol.

Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam protocol tambahan

1977 antara lain adalah mengenai mekanisme yang dilakukan melalui

Komisi Internasional Pencari Fakta (International Fact Finding

Commision). Komisi ini merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang

terdapat dalam pasal 52 Konvensi IV yang mengatur mengenai prosedur

penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter

internasional atau ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa. 24

2. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)

Pada bulan Juli tahun 1998 masyarakat internasional mencatat suatu

perkembangan penting, yaitu ketika disepakatinya Statuta Mahkamah

(50)

Pidana Internasional (International Criminal Court/selanjutnya disebut

ICC). Mahkamah ini merupakan suatu Mahkamah yang bersifat permanen,

Tujuannya adalah untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan

yang oleh masyarakat internasional dikategorikan sebagai kejahatan serius

(The Most Serious of Concern to the International Community)

sebagaimana ditetapkan dalam Statuta ICC. ICC juga dibentuk sebagai

pelengkap (complementary) dari Mahkamah Pidana Nasional.

Mengenai complementary tersebut merupakan hal yang penting,

maksudnya bahwa ICC baru menjalankan fungsinya apabila Mahkamah

Nasional tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sehubungan

dengan hal ini dalam statute dikatakan bahwa ICC akan bekerja apabila

mahkamah nasional tidak mau (unwilling) dan tidak mampu (unable)

untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud. Dengan cara

ini berarti apabila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi

ICC, maka si pelaku harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya.

Apabila Mahkamah Nasional tidak mau atau tidak mampu mengadili si

pelaku, maka barulah ICC akan menjalankan fungsinya untuk mengadili si

pelaku kejahatan yang bersangkutan.

Yurisdiksi ICC mencakup empat kejahatan, yaitu yang dikategorikan

sebagai the most serious crimes of concern to the international community,

yang meliputi 25

1. Genocide; :

25

Masyhur Effendi, Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hankamrata,

(51)

2. Crimes against humanity;

3. War crimes;

4. Crimes of aggression.

Agar Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya, maka Negara

yang meratifikasi statute ICC harus menerima yurisdiksi mahkamah. Ini

berarti bahwa tindakan meratifikasi statute ICC oleh suatu Negara belum

berarti bahwa mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya di Negara

tersebut. Untuk itu masih diperlukan suatu tindakan dari Negara yang

bersangkutan yang menyatakan Negara tersebut menerima yurisdiksi ICC,

hal ini antara lain diatur dalam statuta ICC. Seperti halnya dengan

mahkamah yang lainnya pada statuta ICC juga ditegaskan tentang

tanggung jawab pidana individual (individual criminal responsibility).

Statuta mahkamah pidana internasional atau yang disebut dengan

statuta roma belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya,

sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Bahkan setelah

mahkamah ini terbentuk, beberapa hambatan yurisdiksional akan

membatasi efektifitasnya pada tahun-tahun awal. Walaupun demikian,

mahkamah ini paling tidak memberikan harapan untuk memutus rantai

impunity bagi tindak kekejaman terhadap hak asasi manusia dan

meningkatkan daya cegah terhadap kejahatan yang menakutkan itu. 26

(52)

BAB III

PENGATURAN KONFLIK BERSENJATA DALAM HUKUM HUMANITER

F. SEJARAH PERKEMBANGAN KONFLIK BERSENJATA DARI MASA KE MASA.

Apabila kita berbicara tentang perang atau konflik bersenjata, maka

tentu saja kita tidak bisa melepaskan diri dari sejarah peperangan itu

sendiri, istilah konflik bersenjata itu sendiri sebenarnya adalah

penyederhanaan istilah dari peperangan, peperangan dianggap sebagai

suatu ajang yang tidak mengenal aturan sedangkan konflik bersenjata

adalah peperangan yang diatur sedemikian rupa dan terikat kepada

aturan-aturan, sehingga istilah konflik bersenjata sekarang lebih lazim digunakan

dalam terminologi hukum meskipun dalam bahasa awam masih dikenal

istilah kata perang 27

27

Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter Bagian I, Armico, Bandung, 1985, halaman 13

(53)

Melihat sejarah perang itu sendiri, sejarah mencatat bahwa peperangan

merupakan kejadian yang merupakan suatu keniscayaan, artinya adalah

peperangan itu pastilah akan terjadi, dan akan selalu ada dalam sejarah

peradaban manusia. Peradaban manusia dibangun dari peperangan,

peperangan memicu perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan

dengan amat drastis, hal ini juga menjadi salah satu alas an mengapa

bangsa yang terbiasa dengan peperangan, umumny adalah bangsa yang

maju dari segi teknologi dan ilmu pengetahuan, seperti misalnya ketika

perang salib, perang ini memungkinkan terjadinya transisi atau alih

teknologi dalam bidang matematika dan ilmu kimia yang dimiliki oleh

bangsa Arab yang kemudian masuk dan diadaptasi oleh bangsa Eropa,

demikian pula pada perang kemerdekaan Indonesia, Indonesia mengenal

peralatan mesin-mesin dan teknologi lainnya, hal ini adalah salah satu efek

yang ditimbulkan oleh peperangan selain efek-efek negatif yang dibawa

oleh perang itu sendiri, namun tentu saja, hal ini bukan berarti pembenaran

suatu peperangan, hal ini hanyalah merupakan sebuah sisi lain yang dibawa

oleh perang selain sisi gelap yang ditimbulkan.

Secara spesifik dan wilayah filosofis, perang merupakan turunan sifat

dasar manusia yang tetap sampai sekarang memelihara dominasi dan

persaingan sebagai sarana memperkuat eksistensi diri dengan cara

menundukkan kehendak pihak yang dimusuhi. Dengan mulai secara

psikologis dan fisik. Dengan melibatkan diri sendiri dan orang lain, baik

secara kelompok atau bukan. Perang dapat mengakibatkan kesedihan dan

(54)

kemiskinan yang berkepanjangan. sebagai contoh perang dunia yang

mengakibatkan hilangnya nyawa beratus-ratus orang di

saja hal ini mengakibatkan kesedihan mendalam dalam diri masyarakat

Penyebab terjadinya perang di antaranya adalah28

a) Perbedaan

:

b) Keinginan untuk memperluas wilayah kekuasaan.

c) Perbedaan kepentingan.

d) Perampasan sumber daya alam (minyak, hasil

pertanian,perdagangan)

Dari masa ke masa, telah terjadi peperangan, baik besar maupun kecil,

dan hal-hal terkait lainnya seperti faktor penyebab, metode, siasat,

persenjataan, maupun penyele

Referensi

Dokumen terkait

PERLINDIJNCAI{ WARTAWAN PERA}IC DAI,!{}' KONILIK BERSENJATA MENIJRUT. EUKIr\4 EUMAMTER INIXRXASIONAL (shdi Tctu.c

4.2 Penerapan asas pencemar membayar (polluter pays principle) dalam penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan di Kota Semarang 74 4.3 Penghitungan ganti rugi

[r]

Apabila tidak diperjanjikan lain antara Negara netral dan Negara-negara yang bersengketa, maka orang-orang yang luka, sakit atau karam yang telah didaratkan di pelabuhan

Dalam kenyataannya masih sering terjadi bahwa ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa 1949 dan perjanjian internasional serta kebiasaan internasional lainnya yang

Jika melihat dari instrumen Hukum Humaniter Internasional mengenai perlindungan bagi para petugas medis dan atribut – atribut , maka pada Pasal 50 Konvensi Jenewa I,

Pasal 14 Lieber Code adalah “kebutuhan militer yang dapat dimengerti oleh masyarakat modern yang beradap, terdiri dari kebutuhan yang dipilih dengan hati-hati yang sangat

Dalam kitab Kifayatul Akhyar disebutkan keterangan bahwa jika yang ditahan adalah seorang yang sudah mukallaf (mempunyai kewajiban menjalankan perintah Allah) dari