• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukuman Fisik Sebagai Cara Yang Salah Dalam Mendisiplinkan Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hukuman Fisik Sebagai Cara Yang Salah Dalam Mendisiplinkan Anak"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUMAN FISIK SEBAGAI CARA

YANG SALAH

DALAM MENDISIPLINKAN ANAK

Disusun Oleh:

LIZA MARINI, M.Psi, psikolog

19810520 200501 2 003

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ... 2

PENDAHULUAN ... 3

LANDASAN TEORI... 5

A. Pengertian Hukuman ………... 5

B. Fungsi Hukuman ………... 5

C. Hukuman Fisik (Badan)………... 6

D. Dampak Hukuman Fisik Pada Anak ... 7

E. Evaluasi Hukuman... ……… 7

F. Cara-cara Menanamkan Disiplin ... 9

G. Evaluasi Cara Mendisiplin ... 11

KESIMPULAN ... 13

(3)

PENDAHULUAN

Pendidikan disiplin merupakan suatu proses bimbingan yang bertujuan

menanamkan pola perilaku tertentu, kebiasaan-kebiasaan tertentu, atau membentuk

manusia dengan ciri-ciri tertentu, terutama untuk meningkatkan kualitas mental dan

moral. Di dalam keluarga pendidikan disiplin dapat diartikan sebagai metode bimbingan

orang tua agar anaknya mematuhi bimbingan tersebut.

Setiap orangtua pasti berusaha untuk mengajarkan disiplin kepada

anak-anaknya, dengan menanamkan perilaku yang dianggap baik dan menghindari perilaku

yang dianggap tidak baik. Hal ini memang akan lebih mudah dilakukan jika anak

sebagai seorang individu mematuhi kemauan orang tuanya. Namun demikian, tujuan

utama dari disiplin bukanlah hanya sekedar menuruti perintah atau aturan saja. Patuh

terhadap perintah dan aturan merupakan bentuk disiplin jangka pendek. Sedangkan

tujuan pendidikan disiplin adalah agar setiap individu memiliki disiplin jangka panjang,

yaitu disiplin yang tidak hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap aturan atau otoritas,

tetapi lebih kepada pengembangan kemampuan untuk mendisiplinkan diri sendiri

sebagai salah satu ciri kedewasaan individu. Kemampuan untuk mendisiplinkan diri

sendiri terwujud dalam bentuk pengakuan terhadap hak dan keingian orang lain, dan

mau mengambil bagian dalam memikul tanggung jawab sosial secara manusiawi. Hal

inilah yang sesunguhnya menjadi hakekat dari disiplin.

Tujuan seluruh disiplin ialah membentuk perilaku sedemikian rupa hingga ia

akan sesuai dengan peran – peran yang ditetapkan kelompok budaya, tempat individu

itu diidentifikasikan. Karena tidak ada pola budaya tunggal, tidak ada pula satu falsafah

pendidikan anak yang menyeluruh untuk mempengaruhi cara menanamkan disiplin. Jadi

metode spesifik yang digunakan di dalam kelompok budaya sangat beragam, walaupun

semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengajar anak bagaimana berperilaku

dengan cara yang sesuai dengan standar kelompok sosial, tempat mereka

diidentifikasikan.

Bila disiplin diharapkan mampu mendidik anak untuk berperilaku sesuai dengan

standar yang ditetapkan kelompok sosial mereka, ia harus mempunyai empat unsur

pokok, apa pun cara mendisiplin yang digunakan yaitu : peraturan sebagai pedoman

(4)

mengajarkan dan memaksakannya, hukuman untuk pelanggaran peraturan, penghargaan

untuk perilaku yang baik yang sejalan dengan peraturan yang berlaku.

Hilangnya salah satu hal pokok ini akan menyebabkan sikap yang tidak

menguntungkan pada anak dan perilaku yang tidak akan sesuai dengan standar dan

harapan sosial. Sebagai contoh, bila anak-anak merasa bahwa mereka dihukum secara

tidak adil atau bila usaha mereka untuk menyesuaikan diri dengan harapan sosial tidak

dihargai oleh pihak yang berkuasa, hal itu akan melemahkan motivasi mereka untuk

berusaha memenuhi harapan sosial.

Hukuman yang mendidik adalah hukuman yang menyadarkan pihak yang

bersalah dalam hal ini remaja, bahwa hal yang baru saja terjadi hendaknya tidak

diulangi karena hal tersebut tidak disetujui orang tua. Hukuman haruslah dipandang

sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar batasan-batasan

yang ditetapkan. Hukuman tidak harus selalu menyakitkan, dan jangan dijadikan

sebagai luapan kemarahan atau penyakuran emosi dari si penghukum (orangtua). Jika

harus memberikan hukuman, hukumlah anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak

tentang hukuman tersebut. Hukuman yang terlalu berat akan mengakibatkan anak

mendendam, dan bila ia tidak dapat membalaskan dendamnya akan terjadi pengalihan

dalam bentuk kekerasan terhadap orang lain (tawuran) dan vandalism (mis. Coret-coret,

merusak properti orang lain). Penting diperhatikan dalam pemberian hukuman adalah

penjelasan mengapa anak terpaksa dihukum, hukuman harus dilakukan segera setelah

perilaku terjadi, dan jangan melakukan hukuman fisik, seperti memukul atau menampar,

(5)

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Hukuman

Hukuman berasal dari kata kerja latin, punire dan berarti menjatuhkan hukuman

pada seorang karena suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran sebagai ganjaran

atau pembalasan. Walaupun tidak dikatakan secara jelas, tersirat di dalamnya bahwa

kesalahan perlawanan atau pelanggaran ini disengaja, dalam arti bahwa orang itu

mengetahui bahwa perbuatan itu salah tetapi tetap melakukannya.

Dalam hal anak kecil, kita tidak dapat berasumsi bahwa mereka dengan sengaja

melakukan tindakan terlaran, kecuali jika terdapat bukti bahwa mereka telah mengerti

peraturan kelompok sosial yang diajarkan orang tua atau guru. Tetapi dengan

meningkatnya usia, wajarlah bila mereka dianggap telah belajar tentang yang benar dan

yang salah. Oleh sebab itu asumsinya ialah bahwa tiap perilaku salah itu disengaja.

Asumsi ini tidak selalu benar. Bahkan bila anak mengetahui peraturan, ini belum

merupakan cukup bukti seperti ditunjukkan dalam uraian tentang peraturan – bahwa

mereka mengerti arti peraturan selengkapnya. Dalam kondisi demikian, hukuman untuk

perbuatan perbuatan yang salah hanya dapat dibenarkan bila ia mempunyai nilai

pendidikan. Dan pada waktu anak memahami arti kata dengan cukup baik untuk

mengerti peraturan, penjelasan verbal harus menggantikan hukuman (Hurlock, 1999).

B. Fungsi Hukuman

Hukuman mempunyai 3 peran penting dalam perkembangan moral anak, yaitu :

Fungsi pertama ialah menghalangi. Hukuman menghalangi pengulangan

tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Bila anak menyadari bahwa tindakan

tertentu akan dihukum, mereka biasanya urung melakukan tindakan tersebut karena

teringat akan hukuman yang dirasakannya di waktu lampau akibat tindakan tersebut.

Fungsi kedua dari hukuman ialah mendidik. Sebelum anak mengerti peraturan,

mereka dapat belajar bahwa tindakan tertentu benar dan yang lain salah dengan

mendapat hukuman karena melakukan tindakan yang salah dan tidak mendapatkan

hukuman bila mereka melakukan tindakan yang diperbolehkan. Dengan meningkatnya

(6)

belajar dari pengalaman bahwa jika mereka gagal mematuhi peraturan sudah barang

tentu mereka akan duhukum. Ini memperkuat pengajaran verbal.

Fungsi ketiga adalah memberi motivasi untuk menghindari perilaku yang tidak

diterima masyarakat. Pengetahuan tentang akibat-akibat tindakan yang salah perlu

sebagai motivasi untuk menghindari kesalahan tersebut. Bila anak mampu

mempertimbangkan tindakan alternatif dan akibat masing-masing alternatif, mereka

harus belajar memutuskan sendiri apakah suatu tindakan yang salah cukup menarik

untuk dilakukan. Jika mereka memutuskan tidak, maka mereka akan mempunyai

motivasi untuk menghindari tindakan tersebut (Hurlock, 1999).

C. Hukuman Fisik (Badan)

Di masa lampau, hukuman oleh kebanyakan orang diartikan sebagai hukuman

badan, yaitu menimbulkan rasa sakit dengan menempeleng, memukul dan memecut. Ini

dianggap sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk mencegah terulangnya perilaku

anak yang salah.

Berdasarkan teori sistem sosial yang dikemukakan oleh Gelardo & Sanford

(dalam Karlson & Tzeng,1991) pemukulan fisik yang terjadi pada anak sering kali

bermula dari faktor sosial dan lingkungan seperti status sosial ekonomi, nilai budaya,

stressor situasional, isolasi sosial dan kurangnya dukungan lingkungan. Dari hasil

penelitian Gelles (dalam Karlson & Tzeng, 1991) terdapat 2 hal utama yang

mengakibatkan orang tua melakukan pemukulan fisik pada anak :

1. Stres struktural, seperti pendapatan yang rendah, pengangguran dan pendidikan

rendah.

2. Norma budaya, seperti adanya kepercayaan bahwa pemukulan fisik merupakan

salah cara untuk mendidik anak.

Hukuman fisik/ badan yang terjadi pada anak termasuk termasuk dalam tindakan

kekerasan fisik (physical abuse). Menurut Gelfand & Drew (2003) Physical abuse

adalah tindakan kekerasan yang mencakup pemukulan atau pencederaan fisik yang

dilakukan oleh orangtuanya dengan sengaja. Biasanya tindakan yang digunakan dalam

melakukan physical abuse antara lain, memukul dengan tali pinggang dan benda keras,

menendang, menampar, mengigit, mencubit, mendorong, dan tindakan sejenis lainnya

(7)

Terdapat 2 kategori Physical abuse yang berdasarkan tingkat keparahan luka

fisik yang terjadi akibat pemukulan/pencederaan fisik yaitu (dalam Wenar & Kerig,

2003) :

1. Luka fisik minor. Luka fisik minor mencakup luka kecil seperti memar, lebam dan

luka goresan ringan di kulit

2. Luka fisik mayor. Luka fisik mayor mencakup kerusakan otak, luka internal tubuh

dan luka bakar.

D. Dampak Hukuman Fisik Pada Anak

Menurut Wenar & Kerig (2003) dampak psikologis akibat kekerasan fisik yang

mungkin dapat berpengaruh dalam perkembangan anak, antara lain :

1. Kognitif.

Pada area kognitif anak yang mendapatkan kekerasaan fisik menunjukkan

penundaan yang signifikan dalam perkembangan kognitif dan bahasa ekpresif.

Dampak lanjutan kekerasan fisik pada anak usia sekolah sering kali ditunjukkan

dengan adanya keterlambatan dalam bidang matematika dan bahasa. Sedangkan

dampaknya pada anak usia remaja menunjukkan prestasi yang rendah seperti gagal

naik kelas.

2. Emosional

Pada area emosional anak yang mendapat kekerasan fisik menunjukkan adanya

gangguan dalam hubungan interpersonal dan intrapersonal, dimana anak sering

merasa tidak aman dan menunjukkan perilaku yang terlalu hati-hati dalam membina

suatu hubungan dengan orang lain.

3. Sosial

Pada area sosial anak yang sering mendapat kekerasan fisik, biasanya akan

menunjukkan perilaku yang cenderung agresif bila ada teman yang mengganggunya

atau sebaliknya anak menjadi penakut.

E. Evaluasi Hukuman

Ada 2 kriteria dalam mengevaluasi berbagai bentuk hukuman. Pertama, apakah

hukuman tersebut sesuai ditinjau dari sudut perkembangan?Apakah anak itu mengerti

(8)

matang untuk melihat hubungan antara hukuman dan perilaku salah yang dihukum?

Dengan meningkatnya usia, mereka secara bertahap membuat penilaian yang lebih

matang terhadap hukuman, dan mereka menyadari bahwa hukuman yang mereka terima

adalah akibat perbuatan mereka sendiri. Kedua, apakah hukuman itu memenuhi tujuan

disiplin yaitu mendidik, menghalangi dan memberi motivasi. Misalnya, apakah

hukuman itu memberi tahu anak mengapa suatu tindakan itu salah, atau memberi tahu

mereka bahwa mereka adalah anak-anak yang ”nakal?”. Apabila sering terjadi hukuman

badan, hukuman ini mengisyaratkan bahwa orang dewasa mempunyai hak memukul

anak kecil, hukuman itu tidak memenuhi fungsi mendidik yang seharusnya, yaitu

memberitahukan pada anak mengapa tindakan tertentu itu salah dan tidak boleh diulangi

lagi. Sebaliknya, mengajar anak-anak beranggapan bahwa mereka mempunyai hak

memukul anak yang lebih kecil. Dan keyakinan ini akan menyebabkan munculnya

anak-anak yang suka menteror anak yang lebih lemah.

Hukuman fisik merupakan salah satu bentuk hukuman yang paling tidak

memuaskan karena anak jarang mengaitkan hukuman dengan tindakan yang

menyebabkan dirinya dihukum. Karena amarah orang dewasa merupakan faktor yang

lebih dominan dalam situasi itu dibandingkan tindakan yang dihukum, rasa sakit

cenderung lebih dihubungkan dengan orang yang menghukum daripada dengan

perbuatan yang dihukum.

Karena pengaruh psikologis hukuman fisik potensial membahayakan, kini

disadari bahwa pemakaiannya harus dibatasi dan sebaiknya tidak lagi digunakan setelah

anak mampu mengerti alasan adanya peraturan-peraturan. Tetapi ada 3 situasi dimana

hukuman fisik berguna. Pertama, bila tidak ada cara lain untuk mengkomunikasikan

larangan mengenai sesuatu yang mungkin berbahaya bagi diri anak atau orang lain.

Kedua, bila hukuman dapat diberikan pada saat tindakan terlarang sedang berlangsung

sehingga anak akan menghubungkan keduanya dan mengerti mengapa tindakan itu

dilarang. Bila diberikan setelah suatu tindakan terjadi, nilai edukatifnya mungkin hilang

dan rasa permusuhan serta sikap tidak baik lainnya akan muncul. Ketiga, bila beratnya

hukuman fisik disesuaikan dengan beratnya kesalahan, ia akan mempunyai nilai

edukatif. Sayangnya, berat hukuman fisik biasanya lebih ditentukan rasa marah dan

jengkel si penghukum daripada beratnya suatu kesalahan. Akibatnya sebagian besar

(9)

F. Cara-cara Menanamkan Disiplin

Ada 3 cara dalam menanamkan disiplin yaitu cara mendisiplin yang otoriter,

permisif dan demokratis.

1. Cara mendisiplin otoriter

Peraturan dan pengaturan yang keras untuk memaksakan perilaku yang diinginkan

menandai semua jenis disiplin yang otoriter. Tekniknya mencakup hukuman yang berat

bila terjadi kegagalan memenuhi standar dan sedikit, atau sama sekali tidak adanya

persetujuan, pujian atau tanda-tanda penghargaan lainnya bila anak memenuhi standar

yang diharapkan.

Disiplin otoriter dapat berkisar antara pengendalian perilaku anak yang wajar hingga

yang kaku yang tidak memberi kebebasan bertindak, kecuali yang sesuai dengan standar

yang ditentukan. Disiplin otoriter selalu berarti mengendalikan melalui kekuatan

eksternal dalam bentuk hukuman, terutama hukuman badan.

Bahkan setelah anak bertambah besar, orang tua yang menggunakan pengendalian

otoriter yang kaku jarang mengendurkan pengendalian mereka atau menghilangkan

hukuman badan. Tambahan pula, mereka tidak mendorong anak untuk dengan mandiri

mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan tindakan mereka.

Sebaliknya, mereka hanya mengatakan apa yang harus dilakukan, dan tidak

menjelaskan mengapa hal itu harus dilakukan. Jadi anak-anak kehilangan kesempatan

untuk belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri.

2. Cara mendisiplin permisif

Disiplin permisif sebetulnya berarti sedikit disiplin atau tidak berdisiplin. Biasanya

disiplin permisif tidak membimbing anak ke pola perilaku yang disetuji secara sosial

dan tidak menggunakan hukuman. Beberapa orang tua dan guru, yang menganggap

kebebasan (permissiveness) sama dengan laissezfaire, membiarkan anak-anak

meraba-raba dalam situasi yang terlalu sulit untuk ditanggulangi oleh mereka sendiri tanpa

bimbingan atau pengendalian.

Bagi banyak orang tua, disiplin permisif merupaka protes terhadap disiplin yang

kaku dan keras masa kanak-kanak mereka sendiri. Dalam hal seperti itu, anak sering

(10)

mereka diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan berbuat sekehendak mereka

sendiri.

3. Cara mendisiplin demokratis

Metode demokratis menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk

membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu diharapkan. Metode ini lebih

menekankan aspek edukatif dari disiplin daripada aspek hukumannya.

Bila anak masih kecil, mereka diberi penjelasan mengenai peraturan yang harus

dipatuhi dalam kata-kata yang dapat dimengerti. Misalnya, bila ada peraturan bahwa

mereka tidak boleh menyentuh kompor di dapur, mereka diberitahu bahwa perbuatan itu

akan menyakiti mereka, atau diperlihatkan dengan mendekatkan tangan mereka pada

kompor, arti kata “sakit”dan mengapa mereka tidak boleh menyentuh kompor. Dengan

bertambahnya usia, mereka tidak saja diberi penjelasan tentang peraturan, melainkan

juga diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat mereka tentang peraturan.

Contohnya, bila peraturan itu berbeda dari peraturan teman mereka, orang tua memberi

mereka kesempatan untuk mengemukakan mengapa mereka merasa mereka tidak perlu

mematuhi peraturan yang tidak berlaku bagi teman mereka. Bila alasan mereka masuk

akal, orang tua yang menggunakan disiplin demokratis biasanya mau mengubah

peraturan mereka.

Disiplin demokratis, menggunakan hukuman dan penghargaan, dengan penekanan

yang lebih besar pada penghargaan. Hukuman tidak pernah keras dan biasanya tidak

berbentuk hukuman badan. Hukuman hanya digunakan bila terdapat bukti bahwa

anak-anak secara sadar menolak melakukan apa yang diharapkan dari mereka. Bila perilaku

anak memenuhi standar yang diharapkan, orang tua yang demokratis akan

menghargainya dengan pujian atau pernyataan persetujuan yang lain.

Falsafah yang mendasari disiplin demokratis ini adalah falsafah bahwa disiplin

bertujuan mengajar anak mengembangkan kendali atas perilaku mereka sendiri

sehingga mereka akan melakukan apa yang benar, meskipun tidak ada penjaga yang

mengancam mereka dengan hukuman bila mereka melakukan sesuatu yang tidak

dibenarkan. Pengendalian internal atas perilaku ini adalah hasil usaha mendidik anak

untuk berperilaku menurut cara yang benar dengan memberi mereka penghargaan

(11)

G. Evaluasi Cara Mendisiplin

Cara disiplin yang berbeda akan mempunyai pengaruh berbeda pada pola

perilaku dan kepribadian anak. Disiplin otoriter yang diterapkan oleh orangtua dalam

bentuk paling keras lebih merusak anak pada waktu-waktu tertentu selama pola

perkembangan dibandingkan dengan saat yang lain, disiplin ini selalu meninggalkan

bekas pada perilaku atau kepribadian anak. Orangtua yang terlalu keras, yang

menggunakan metode yang kasar dan menghukum untuk mencapai tujuan mereka,

mungkin dapat membuat anak mematuhi standar mereka dan menjadi anak yang “baik”.

Namun, walaupun di permukaan semuanya tampaknya baik, dibawahnya mungkin

tersimpan rasa permusuhan yang cepat atau lambat akan meledak keluar.

Anak yang terlalu didisiplin merasa bahwa dunia itu penuh permusuhan, dan

berperilaku sesuai dengan perasaan itu. Terlalu banyak melawan disiplin yang keras di

kemudian hari dapat menjurus ke kenakalan remaja. Apapun cara menyatakan sikap

permusuhan, kemungkinan besar ia mengarah pada perilaku yang tidak sesuai.

Sebagaimana dikatakan Davitz (dalam Hurlock, 1999) “Hukuman dan penolakan

menimbulkan ketakutan; ketakutan menyebabkan reaksi defensif; dan reaksi defensif

menimbulkan hukuman lain. Ini lingkaran setan masalah penyesuaian. Anak hidup

dalam dunia interpersonal penuh ancaman. Akibatnya adalah kesengsaraan dan

ketakutan”.

Kepribadian anak juga dipengaruhi secara negatif oleh disiplin yang terlalu

keras. Anak yang dari luar tampak diam, berperilaku baik dan tidak melawan sering

memendam rasa permusuhan mendalam yang membuatnya tidak bahagia dan curiga

terhadap siapa saja yang berhubungan dengannya, terutama orang yang berkuasa. Selain

itu, mereka sering belajar menjadi licik, penuh rahasia dan tidak jujur untuk

menghindari hukuman bila mereka menentang kekuasaan.

Bila anak dididik dengan cara mendisiplin permisif, mereka cenderung menjadi

bingung dan merasa tidak aman. Pengalaman yang terbatas dan ketidakmatangan mental

yang menghambat mereka mengambil keputusan tentang perilaku yang akan memenuhi

harapan sosial. Mereka tidak mengetahui apa yang boleh dan yang tidak boleh

dilakukan. Akibatnya, mereka mungkin menjadi ketakutan, cemas dan sangat agresif.

Selain itu mereka bersikap bermusuhan karena mereka merasa bahwa orangtua mereka

(12)

Disiplin demokratis, menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang baik

dan menghasilkan kemandirian dalam berpikir, inisiatif dalam tindakan dan konsep diri

yang sehat, positif dan penuh rasa percaya diri yang direfleksikan dalam perilaku yang

aktif, terbuka dan spontan. Disiplin ini mengembangkan pengendalian internal.

Memberikan perasaan puas pada anak karena mereka mengetahui bahwa mereka

diperbolehkan mengendalikan perilaku mereka sendiri dan mereka dapat melakukannya

dengan cara yang akan mendapatkan persetujuan sosial. Anak-anak seperti itu kecil

kemungkinan akan diganggu perasaan bersalah dan rasa malu dibandingkan mereka

yang dididik dengan cara mendisiplin otoriter dan permisif. Karena perilaku mereka

biasanya memenuhi standar sosial, mereka akan mendapat persetujuan sosial (Hurlock,

(13)

KESIMPULAN

Pembentukan disiplin diri merupakan suatu proses yang harus dimulai sejak

masa kanak-kanak. Oleh karena itu pendidikan disiplin pertama-tama sudah dimulai

dari keluarga (orangtua). Dalam kehidupan masyarakat secara umum, metode yang

paling sering digunakan untuk mendisiplinkan warganya adalah dengan pemberian

hukuman. Hal yang sama dilakukan juga oleh sebagian besar orangtua atau pun guru

dalam mendidik anak-anak atau murid-murid. Kerugiannya adalah disiplin yang tercipta

merupakan disiplin jangka pendek, artinya anak hanya menurutinya sebagai tuntutan

sesaat, sehingga seringkali tidak tercipta disiplin diri pada mereka. Hal tersebut

disebabkan karena dengan hukuman anak lebih banyak mengingat hal-hal negatif yang

tidak boleh dilakukan, daripada hal-hal positif yang seharusnya dilakukan.

Dampak lain dari penggunaan hukuman adalah perasaan tidak nyaman pada

anak karena harus menanggung hukuman yang diberikan orangtuanya jika ia melanggar

batasan yang ditetapkan. Tidak mengherankan jika banyak anak memiliki persepsi

bahwa disiplin itu adalah identik dengan penderitaan. Persepsi tersebut bukan hanya

terjadi pada anak-anak tetapi juga seringkali dialami oleh orangtua mereka. Akibatnya

tidak sedikit orangtua membiarkan anak-anak "bahagia" tanpa disiplin. Tentu saja hal

ini merupakan suatu kekeliruan besar, karena di masa-masa perkembangan berikutnya

maka individu tersebut akan mengalami berbagai masalah dan kebingungan karena

tidak mengenal aturan bagi dirinya sendiri.

Pendidikan disiplin sebaiknya tidak dilakukan dengan cara yang terlalu otoriter,

tetapi juga tidak terlalu memperbolehkan semuanya (permisif). Cara yang tepat dalam

pendidikan disiplin bagi remaja adalah dengan demokratis (autoritatif) : fleksibel, tetapi

bila perlu tegas. Dalam menerapkan cara disiplin yang permisif (dapat dikatakan

sebagai mendidik tanpa disiplin) cenderung menghasilkan anak remaja yang manja,

semena-mena, anti sosial dan cenderung agresif. Sebaliknya, disiplin yang keras yang

terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai

pengaruh yang buruk bagi remaja. Hal ini dapat membuat remaja menjadi seorang

penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman,

kehilangan spontanitas serta inisiatif bahkan ada pula yang pada akhirnya melampiaskan

(14)

berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat

sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Ada pula yang

menimbulkan pembelotan, hal ini terjadi terutama bila larangan-larangan yang bersangsi

hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain untuk memenuhi kebutuhan yang

mendasar. Cotoh: remaja dilarang untuk keluar bermain, tetapi di dalam rumah ia tidak

melakukan apa-apa dan tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta:

Penerbit Airlangga.

Karlson, H.C & Tzeng, O.C.S. (1991). Theories of Child Abuse & Neglect : Differential

Perspectives, Summaries & Evaluations. London : Praeger Westport

Mu’tadin, Zainun.(2002). Disiplin. Http://info.balitacerdas.com

Wenar. C. & Kerig, P. (2003). Developmental Psychopatology. From Infancy to

Adolescence. Fifth edition. New York: Mc. Graw Hill Inc.

Gelfand, D.M & Drew, C.J. (2003). Understanding Children’s Behavior Disorder. 4th

Referensi

Dokumen terkait

Selain melihat video dari ip camera pada perangkat android, pengguna juga dapat menggunakan fitur-fitur khusus yang terdapat pada ip camera diantaranya

Dengan demikian jelaslah bahwa Pancasia itu.harus diperlukan bukan sekedar sebagai ideologi politik, melainkan sebagai nilai budaya inti (core value) yang menjiwai kehidupan

Sebaliknya, suspensi lembut (konstanta peredaman kecil), tingkat keamanan berkendara buruk, karena berkurangnya kontak antara roda dengan permukaan jalan, yang

4 Penelitian ini menguji sikap mahasiswa kesejahteraan sosial mengenai definisi berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap istri oleh suami serta faktor-faktor yang

Upaya pelestarian lingkungan hidup yang dilakukan di Indonesia mengacu pada Undang Undang No 23 tahu 1997, yaitu Pelestarian lingkungan hidup adalah rangkaian

memiliki hubungan yang signifikan dengan perceived classroom goals structure dan dari hasil multiple regression analysis didapatkan bahwa tipe persepsi classroom

Hasil dari usulan perancangan terhadap fasilitas permainan tersebut telah memenuhi kaidah-kaidah ergonomi dimana dimensi produknya telah disesuaikan dengan data antropometri

digunakan dalam proses penanganan keluhan. Bengkel Clink perlu meningkatkan.. upaya sosialisasi prosedur pelayanan, meningkatkan kecepatan dan memberi kemudahan dalam