PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2008
T E S I S
Oleh
ZAINUDDIN
067012059/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Zainuddin : Pengaruh Faktor Predisposition, Enabling, Dan Reinforcing P r o m o s i K e s e h a t a n H y g i e n e D a n S a n i t a s i T e r h a d a p P e r i l a k u H i d u p B e r s i h Masyarakat Di Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008, 2009
Zainuddin : Pengaruh Faktor Predisposition, Enabling, Dan Reinforcing P r o m o s i K e s e h a t a n H y g i e n e D a n S a n i t a s i T e r h a d a p P e r i l a k u H i d u p B e r s i h Masyarakat Di Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008, 2009
USU Repository © 2008
PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2008
T E S I S
Untuk memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ZAINUDDIN
067012059/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MASYARAKAT DI KECAMATAN BABUSSALAM KABUPATEN ACEH TENGGARA PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2008 Nama Mahasiswa : Zainuddin
Nomor Pokok : 067012059
Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Mengetahui Komisi Pembimbing:
(Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, MS)i (Ir. Evi Naria, M.Kes)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 12 Februari 2008
Zainuddin : Pengaruh Faktor Predisposition, Enabling, Dan Reinforcing P r o m o s i K e s e h a t a n H y g i e n e D a n S a n i t a s i T e r h a d a p P e r i l a k u H i d u p B e r s i h Masyarakat Di Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008, 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, MSi Anggota : 1. Ir. Evi Naria, M.Kes
2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM 3. Ir. Indra Chahaya, MSi
Zainuddin : Pengaruh Faktor Predisposition, Enabling, Dan Reinforcing P r o m o s i K e s e h a t a n H y g i e n e D a n S a n i t a s i T e r h a d a p P e r i l a k u H i d u p B e r s i h Masyarakat Di Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008, 2009
Zainuddin : Pengaruh Faktor Predisposition, Enabling, Dan Reinforcing P r o m o s i K e s e h a t a n H y g i e n e D a n S a n i t a s i T e r h a d a p P e r i l a k u H i d u p B e r s i h Masyarakat Di Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008, 2009
USU Repository © 2008
PROMOSI KESEHATAN HYGIENE DAN SANITASI TERHADAP PERILAKU HIDUP BERSIH MASYARAKAT DI KECAMATAN
BABUSSALAM KABUPATEN ACEH TENGGARA PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
TAHUN 2008
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Februari 2009
ABSTRAK
Rendahnya cakupan hygiene dan sanitasi di Kecamatan Babussalam
merupakan indikator rendahnya mutu kesehatan lingkungan. Banyak kegiatan yang
sudah dilakukan kader/petugas kesehatan untuk meningkatkan mutu hygiene dan
sanitasi melalui penyuluhan dan pelatihan, namun kenyataannya belum menunjukkan perubahan yang bermakna pada perilaku hidup bersih masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor predisposition, enabling, dan reinforcing terhadap perilaku hidup bersih masyarakat. Penelitian dilakukan di Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara. Penelitian ini menggunakan metode analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi sebanyak 3283 keluarga, dengan jumlah sampel sebanyak 86 orang. Cara penarikan sampel
dengan cara acak sederhana (simple random sampling). Analisis data dilakukan
dengan analisis univariat, analisis bivariat dengan uji Chi-Square dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku hidup bersih yaitu faktor predisposition (sikap) (p=0,010), faktor enabling (ketersediaan sarana dan prasarana)
(p=0,002), dan faktor reinforcing (informasi/pelatihan kesehatan) (p=0,005),
sedangkan yang tidak berpengaruh yaitu faktor predisposition (pengetahuan)
(p=0,442). Faktor enabling (ketersediaan sarana dan prasarana) merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi perilaku hidup bersih sebesar 37,318. Seluruh model yang diteliti dapat memprediksi perilaku hidup bersih sebesar 93,0%.
Diharapkan Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara dan pemerintah kabupaten untuk menyediakan dan memberikan sarana kesehatan seperti saringan air bersih, jamban sederhana, tong sampah di setiap rumah. Memberikan penghargaan (reward) kepada masyarakat yang melakukan PHBS dengan baik agar dijadikan teladan masyarakat lainnya. Kader / petugas kesehatan perlu melibatkan tokoh agama dalam upaya promosi kesehatan.
ABSTRACT
The low coverage of hygiene and sanitation in Babussalam sub-district is the indicator of the low environmental health quality. There are many activities which have been done by the health officials to improve the hygiene and sanitation quality through counselling and training, but in the reality, it has not shown any significant changes on clean and healthy life behaviour in the society.
This analytical study with cross-sectional design is aimed to analyze the
influence of predisposition factors, enabling, and reinforcing on clean life behaviour in the society living in Babussalam sub-district, Aceh Tenggara district. The samples for this study are 86 taken by using simple random sampling from 3283 population. Data analysis is done by using univariate, bivariate with Chi-square test and multivariate with logistic regression test.
The result of the study shows that statistically, the variables which have
significant influences on clean and healthy life behaviour are attitude (p=0.010), enabling factor (the availability of mean and infrastructure) (p=0.002), reinforcing factor (health information/training) (p=0.005), while the knowledge variables does not have any influences (p=0.442). Enabling Factor is the most dominant influence on clean and healthy life behaviour that is 37.318. The model can explain 93,0% to clean and healthy life behaviour.
It is expected Aceh Tenggara District of Health Service and Local Government to provide and give the health medium such as clean water filter, simple latrine, dustbin. Give appreciation to those who have practiced clean and healthy life behaviour in order to be a model for others. Giving appreciation to the best health officials can become a motivation for other officials. It is necessary to involve religion figures in health promotion.
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
Rahmat, Berkah dan KaruniaNya yang dilimpahkan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini dengan judul “Pengaruh Faktor Predisposition, Enabling, dan Reinforcing Promosi Kesehatan Hygiene dan Sanitasi Terhadap Perilaku Hidup Bersih Masyarakat di Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008”.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini banyak kekurangan-kekurangan
dalam penulisan dan pembahasannya juga menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat
terlaksana tanpa bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih yang tidak terhingga
kepada: Prof. Dr. Rita F. Dalimunthe, MSi, selaku ketua Komisi Pembimbing dan
Ir.Evi Naria, M.Kes, selaku Pembimbing Kedua, yang penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam memberikan bimbingan, arahan, petunjuk sepenuhnya, sehingga
sampai selesainya penulisan tesis ini, kemudian penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Medan yang memberikan izin penulisan tesis ini.
2. Dr. Drs. Surya Utama, MS, Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, Sekretaris Program Studi Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan.
4. Tim Pembanding yang telah bersedia menguji dan memberikan kritikan saran
guna penyempurnaan tesis ini.
5. Dr. Ramulia, SpOG, Kepala Dinas Kesehatan Aceh Tenggara beserta jajarannya
yang telah memberikan izin penelitian.
6. Seluruh staf pengajar Program Studi AKK SPs USU, yang telah memberikan ilmu
pengetahuan yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.
7. Buat keluarga terutama Ayahanda dan Ibunda serta kedua mertua penulis yang
memberikan support untuk menyelesaikan pendidikan ini.
8. Teristimewa istri tercinta dan anak-anak tersayang yang menjadi salah satu
sumber motivasi penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
9. Rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana Program Studi AKK USU yang
saling memberikan dukungan dan semangat hingga selesainya tesis ini.
Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan
harapan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Medan, Februari 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama : H. ZAINUDDIN
Tempat/Tgl. Lahir : Kutacane, 04 Maret 1964
Alamat Rumah : Jl. Kenari No. 6 Kutacane
Alamat Kantor : Dinas Kesehatan Aceh Tenggara / PMI Cabang Aceh
Tenggara
Golongan Ruang : Pembina (IV/A)
Jabatan : - Kabid Pembinaan Pelkes Dinkes Agara
- Ketua PMI Cabang Agara
Agama : Islam
Status : Menikah dengan 5 orang anak, seluruhnya
perempuan.
Nama Istri : Hj. Suryati, AMd.Keb.
Kepala Pustu Kutambaru Dinkes Aceh Tenggara
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Tahun 1972-1978 : SD Negeri I Kutacane
2. Tahun 1978-1981 : SMP Negeri I Kutacane
3. Tahun 1981-1984 : SPK Banda Aceh
4. Tahun 1999-2002 : Akademi Keperawatan Pemerintah Daerah Langsa
5. Tahun 2002-2004 : Fakultas Kesehatan Masyarakat
Sekolah Tinggi Takasima Medan Sumatera Utara
6. Tahun 2006-2008 : Sekolah Pascasarjana USU Medan
BAB 5 PEMBAHASAN ... 81
5.1. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Perilaku Hidup Bersih .. 82
5.2. Pengaruh Sikap Terhadap Perilaku Hidup Bersih... 84
5.3. Pengaruh Faktor Enabling (Ketersediaan Sarana dan Prasarana) Terhadap Perilaku Hidup Bersih ... 87
5.4. Pengaruh Faktor Reinforcing (Informasi/Pelatihan Kesehatan) Terhadap Perilaku Hidup Bersih... 90
5.5. Perilaku Hidup Bersih Masyarakat ... 93
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 95
6.1. Kesimpulan ... 95
6.2. Saran-Saran ... 95
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1. Distribusi Sampel yang Terpilih Menurut Desa di Kecamatan
Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara ... 52
3.2. Validitas Instrumen Penelitian ... 55
3.3. Pengukuran Variabel Independen dan Dependen ... 61
4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik (Umur, Jenis
Kelamin, dan pendidikan) di Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2008... 64
4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan yang
diperoleh dari Petugas Kesehatan di Kecamatan Babussalam
Tahun 2008 ... 66
4.3. Kategori Responden Berdasarkan Pengetahuan yang diperoleh
dari Petugas Kesehatan di Kabupaten Babussalam Tahun 2008 .. 67
4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Terhadap
Petugas Promosi Kesehatan di Kecamatan Babussalam Tahun
2008... 68
4.5. Kategori Responden Berdasarkan Sikap di Kabupaten
Babussalam Tahun 2008 ... 68
4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Faktor Enabling
(Ketersediaan Sarana dan Prasarana) di Kecamatan Babussalam
Tahun 2008 ... 70
4.7. Kategori Responden Berdasarkan Ketersediaan Sarana dan
Prasarana di Kabupaten Babussalam Tahun 2008 ... 70
4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Faktor Reinforcing (Informasi / Pelatihan Kesehatan) di Kecamatan Babussalam
4.9. Kategori Responden Berdasarkan Informasi / Pelatihan Kesehatan di Kabupaten Babussalam Tahun 2008 ... 73
4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Indikator PHBS di Kecamatan
Babussalam Tahun 2008 ... 75
4.11. Kategori Responden Berdasarkan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat di Kabupaten Babussalam Tahun 2008 ... 75
4.12. Tabulasi Silang Antara Variabel Independen Dengan Variabel
Dependen di Kabupaten Babussalam Tahun 2008... 77
4.13. Hasil Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Pertama yang Akan
Masuk Dalam Model ... 79
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Faktor yang Mempengaruhi Status Kesehatan... 27
2. Hubungan Promosi Kesehatan Dengan Determinan Perilaku... 44
3. Hubungan Antara Sub Bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat ... 45
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 100
2. Sebaran Hasil Ujicoba Kuesioner (Instrumen Penelitian)... 105
3. Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 106
4. Master Data Penelitian ... 108
5. Output SPSS 111
6. Surat Izin Penelitian dari Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara 126
7. Surat Izin Penelitian Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh
Tenggara 127
1.1. Latar Belakang
Perilaku hidup bersih anggota masyarakat ikut berkontribusi pada kesehatan
seluruh masyarakat. Secara umum, kebanyakan masyarakat masih menganggap
perilaku hidup bersih merupakan urusan pribadi yang tidak terlalu penting. Masih
ada masyarakat yang tidak memiliki jamban di rumah atau buang air besar
sembarangan. Mereka belum melihat bahwa buruknya perilaku terkait sanitasi oleh
salah satu anggota masyarakat, juga akan mempengaruhi kualitas kesehatan
masyarakat lainnya (Priatna, 2007).
Masalah kesehatan ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu faktor perilaku dan
faktor non perilaku (lingkungan dan pelayanan). Oleh sebab itu, upaya untuk
memecahkan masalah kesehatan juga ditujukan atau diarahkan kepada kedua faktor
tersebut. Perbaikan lingkungan fisik dan peningkatan lingkungan sosio-budaya, serta
peningkatan pelayanan kesehatan merupakan intervensi atau pendekatan terhadap
faktor non-perilaku. Sedangkan pendekatan (intervensi) terhadap faktor perilaku
adalah promosi atau pendidikan kesehatan (Notoatmodjo, 2005).
Promosi kesehatan sebenarnya sama dengan pendidikan kesehatan.
Sebelumnya pendidikan kesehatan lebih diartikan sebagai upaya yang terencana
untuk perubahan perilaku masyarakat sesuai dengan norma-norma kesehatan, maka
promosi kesehatan tidak hanya mengupayakan perubahan perilaku saja, tetapi juga
perubahan lingkungan yang memfasilitasi perubahan perilaku tersebut. Di samping
itu, promosi kesehatan lebih menekankan kepada peningkatan kemampuan hidup
sehat, bukan sekedar berperilaku sehat (Notoatmodjo, 2007).
Sasaran promosi kesehatan bukan hanya masyarakat saja, tetapi juga para
petugas kesehatan. Tujuannya tentu berbeda, bagi masyarakat diharapkan agar
mereka sadar akan pentingnya kesehatan bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat
lingkungannya, dan bagi petugas kesehatan, agar mereka juga dapat menjadi panutan
dalam cara hidup sehat, serta mampu menggunakan teknologi pendidikan kesehatan
dalam melaksanakan tugasnya, yang dilaksanakan sedemikian rupa, hingga
masyarakat yang menjadi sasarannya menjadikan cara hidup bersih dan sehat sebagai
pola hidupnya sehari-hari (Entjang, 2000).
Promosi kesehatan dalam konteks kesehatan masyarakat pada saat ini sebagai
revitalisasi atau perubahan dari pendidikan kesehatan pada waktu lalu. Para ahli
pendidikan kesehatan global yang dimotori WHO, pada tahun 1984 merevitalisasi
pendidikan kesehatan dengan menggunakan istilah promosi kesehatan. Promosi
kesehatan tidak hanya mengupayakan perubahan perilaku saja, tetapi juga perubahan
lingkungan yang memfasilitasi perubahan perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2005).
Inti dari kegiatan promosi kesehatan yaitu masyarakat diharapkan dapat
mengerti, paham dan dapat memberdayakan diri, keluarga dan lingkungannya dalam
menciptakan hygiene dan sanitasi di lingkungan yang akhirnya terciptanya perilaku
Hygiene sanitasi merupakan suatu upaya untuk mengendalikan faktor
lingkungan, orang, tempat, fasilitas dan perlengkapannya, yang dapat atau mungkin
dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan bagi masyarakat. Masalah
kesehatan hygiene dan sanitasi ini merupakan masalah yang sering terjadi dan
menjadi masalah kesehatan masyarakat secara global. Di negara-negara berkembang
masalah kesehatan lingkungan sering muncul pada sanitasi (jamban), penyediaan air
minum, perumahan (housing), pembuangan sampah, dan pembuangan air limbah (air
kotor) (Entjang, 2000).
Hygiene dan sanitasi merupakan bagian dari kesehatan lingkungan, yang
meliputi kebersihan lingkungan, dimulai dari keluarga, sehingga merupakan
kebiasaan dalam berperilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku sehat untuk lingkungan
dan diri merupakan tujuan dari program pembangunan kesehatan. Program
pembangunan kesehatan pada dasarnya ada 6 (enam) program, diantaranya yaitu
program lingkungan sehat, perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat (Depkes RI,
2003).
Pentingnya lingkungan yang sehat ini telah dibuktikan World Health
Organization (WHO) dengan melakukan penelitian dan penyelidikan di seluruh
dunia, dimana didapatkan hasil bahwa masih tingginya angka mortalitas dan
morbiditas serta seringnya terjadi epidemi yang terdapat di tempat-tempat dimana
hygiene dan sanitasi lingkungannya buruk. Seperti di tempat-tempat dimana terdapat
banyak lalat, nyamuk, pembuangan kotoran dan sampah yang tidak teratur, air rumah
jelek. Hal ini berbanding terbalik dengan tempat-tempat dimana hygiene dan sanitasi
lingkungannya telah diperbaiki, didapatkan bahwa angka mortalitas dan
morbiditasnya menurun serta wabah penyakit berkurang dengan sendirinya
(Notoatmodjo, 2005).
Menurut WHO, bahwa di negara-negara sedang berkembang terdapat banyak
penyakit kronis endemis, sering terjadi epidemi, masa hidup yang pendek serta angka
kematian bayi dan anak-anak yang tinggi. Hal ini disebabkan, antara lain berkaitan
dengan sanitasi dan hygiene, yaitu pengotoran persediaan air rumah tangga, infeksi
karena kontak langsung ataupun tidak langsung dengan faeces manusia, Infeksi yang
disebabkan antropoda, rodent, molusca dan vektor penyakit lainnya, pengotoran air
susu dan makanan lainnya serta perumahan yang terlalu sempit (Entjang, 2000)
Mengingat hal-hal tersebut di atas di Indonesia telah dilakukan usaha dalam
hygiene dan sanitasi lingkungan yang meliputi :penyediaan air rumah tangga yang
baik, cukup kualitas maupun kuantitasnya, mengatur pembuangan kotoran sampah
dan air limbah, mendirikan rumah-rumah sehat, dan pembasmian binatang penyebar
penyakit seperti, lalat, nyamuk, kutu. Disamping itu juga dilakukan pengawasan
terhadap bahaya pengotoran udara. Bahaya radiasi dari sisa-sisa zat radio aktif sesuai
dengan perkembangan negaranya.
Kabupaten Aceh Tenggara adalah salah satu daerah yang secara geografis
berada pada daerah tropis dengan luas wilayah 4.182,3 km² yang terbagi menjadi 11
vektor serta kuman penyakit serta berpeluang terhadap terjadinya masalah sanitasi
dan hygiene yang akhirnya dapat mengancam kesehatan masyarakat.
Berdasarkan data pada Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara
pada tahun 2006 didapatkan bahwa masih terdapat masalah kesehatan lingkungan
yang memerlukan penanganan serius, diantaranya yaitu jumlah keluarga yang
diperiksa yang memiliki akses sanitasi dasar masih rendah. Penyakit yang banyak
timbul di masyarakat Kabupaten Aceh Tenggara adalah penyakit diare, scabies, dan
penyakit yang bersumber dari binatang seperti malaria, DBD, dan lainnya. Masalah
lain seperti kurang gizi, Perilaku kesehatan yang kurang bersih terhadap lingkungan,
kedaruratan, kejadian bencana dan sejenis (Dinkes Kabupaten Aceh Tenggara, 2007).
Salah satu kecamatan yang menjadi barometer dalam masalah hygiene dan
sanitasi adalah Kecamatan Babussalam yang merupakan gambaran daerah ibu kota
kabupaten dengan jumlah penduduk sebanyak 24.925 jiwa. Kecamatan Babussalam
merupakan daerah perkotaan yang padat, sehingga berpotensi terhadap timbulnya
masalah kesehatan (Dinkes Kabupaten Aceh Tenggara, 2007).
Gambaran hygiene dan sanitasi di Kecamatan Babussalam masih rendah, hal
ini dapat dilihat dari persentase Kepala Keluarga (KK) yang memiliki sarana
kesehatan lingkungan, yaitu: Jamban (47,33%), Tempat Sampah (31,26%),
Pengelolaan Air Limbah (46,10%), Persediaan Air Bersih (83,30%), Ledeng (35%),
Sumur Pompa Tangan (0,68%), Sumur Gali (35,98%), Rumah Sehat (46,24%) dan
kepala keluarga berperilaku hidup bersih dan sehat (0,25%). Target cakupan higiene
Dari keadaan di atas didapat bahwa kondisi hygiene dan sanitasi di Kecamatan
Babussalam masih rendah dan harus diupayakan untuk meningkatkannya. Kondisi
hygiene dan sanitasi yang rendah tersebut dapat berpengaruh pada kesehatan
masyarakat misalnya warga buang air besar (BAB) di sungai, membuang sampah di
saluran air, dan lain-lain yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit.
Berdasarkan data pola penyakit terbanyak yaitu: ISPA, diare, malaria klinis,
pneumonia, penyakit kulit infeksi, rematik, asma, hipertensi, bronkhitis dan tukak
lambung (Profil Kesehatan Kecamatan Babussalam, 2007).
Beberapa upaya untuk memperkecil resiko turunnya kualitas hygiene dan
sanitasi telah dilaksanakan dengan melibatkan berbagai instansi terkait seperti
pembangunan sarana sanitasi dasar, pemantauan dan penataan lingkungan,
pengukuran dan pengendalian kualitas lingkungan sampai kepada pemberdayaan
masyarakat. Pembangunan sarana sanitasi dasar bagi masyarakat yang berkaitan
langsung dengan masalah kesehatan meliputi penyediaan air bersih jamban sehat,
perumahan sehat yang biasanya ditangani secara lintas sektor (Dinas Kesehatan
Propinsi NAD, 2006). Namun upaya tersebut jika tidak didukung oleh masyarakat
maka tidak akan berdampak besar terhadap kesehatan.
Menurut Notoatmodjo (2005) upaya untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat mencakup 2 aspek, yaitu pencegahan penyakit (preventif) dan promotif
(peningkatan kesehatan) itu sendiri. Upaya kesehatan promotif mengandung makna
tingkat kesehatan yang optimal. Salah satu upaya pemecahan masalah kesehatan yang
dapat dilakukan adalah melalui promosi kesehatan.
Banyak kegiatan promosi kesehatan yang telah dilakukan di Kecamatan
Babussalam selama ini baik yang dilakukan secara langsung oleh petugas promosi
Puskesmas maupun pihak Dinas Kesehatan Kabupaten. Diantara kegiatan yang sudah
pernah dilakukan adalah Pelatihan kader desa dalam kegiatan promosi hygiene dan
sanitasi, pelatihan petugas posyandu, pelatihan bidan desa, pemutaran film dan
promosi melalui radio.
Pemerintah daerah Kabupaten Aceh tenggara sendiri telah melakukan upaya
untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat salah satunya adalah perwujudan
dari peran serta masyarakat dalam pelayanan kesehatan terpadu, dengan adanya kader
yang dipilih oleh masyarakat, pelayanan kesehatan yang selama ini dikerjakan oleh
petugas kesehatan saja dapat dibantu oleh masyarakat.
Menurut Blum dalam Notoatmodjo (2007), perilaku merupakan faktor
terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu,
kelompok dan atau masyarakat. Oleh sebab itu dalam rangka membina dan
meningkatkan kesehatan masyarakat, intervensi atau upaya yang ditujukan kepada
faktor perilaku ini sangat strategis.
Green (1980) menyatakan bahwa perilaku manusia itu dipengaruhi oleh 3
(tiga) faktor utama, yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat.
ketiga faktor penyebab (determinan) tersebut, kemudian intervensinya juga diarahkan
terhadap ketiga faktor tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan
menganalisis faktor predisposisi, enabling, dan reinforcing promosi kesehatan
tentang hygiene dan sanitasi pengaruhnya terhadap perilaku hidup bersih di
Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2008.
1.2. Permasalahan
Masih rendahnya angka cakupan hygiene dan sanitasi di Kecamatan
Babussalam merupakan bukti bahwa rendahnya mutu kesehatan lingkungan di
kecamatan tersebut, banyak kegiatan yang sudah dilakukan untuk peningkatan mutu
hygiene dan sanitasi yang salah satunya melalui kegiatan promosi kesehatan di
masyarakat melalui penyuluhan, pelatihan, pemutaran film, promosi lewat radio dan
kegiatan lainnya yang mendukung, namun kenyataan belum menunjukkan perubahan
yang bermakna pada perilaku masyarakat.
Kegiatan promosi kesehatan hygiene dan sanitasi yang dilakukan tersebut
merupakan upaya untuk merubah perilaku masyarakat terhadap perilaku hidup bersih
dan sehat. Namun apakah upaya tersebut sudah cukup efektif dan berpengaruh
terhadap perubahan perilaku masyarakat, hal inilah yang mendasari peneliti untuk
1.3. Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh faktor predisposition (pengetahuan, sikap), faktor
enabling (ketersediaan sarana), dan faktor reinforcing (informasi/pelatihan kesehatan)
promosi kesehatan terhadap perilaku hidup bersih masyarakat di Kecamatan
Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2008.
1.4. Hipotesis Penelitian
Promosi kesehatan hygiene dan sanitasi yang terdiri dari faktor predisposition
(pengetahuan, sikap), faktor enabling (ketersediaan sarana), dan faktor reinforcing
(informasi/pelatihan kesehatan) berpengaruh terhadap perilaku hidup bersih
masyarakat di Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2008.
1.5 Manfaat
1. Sebagai masukan bagi perencanaan pelaksanaan program kesehatan lingkungan di
Propinsi maupun Kabupaten/Kota yang mendukung kegiatan promosi kesehatan
di masyarakat khususnya Kabupaten Aceh Tenggara.
2. Sebagai masukan bagi pengembangan ilmu dalam manajemen kesehatan
masyarakat terutama yang menyangkut dengan pemberdayaan tenaga kesehatan
di masyarakat.
3. Memudahkan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk dapat melaksanakan
pengelolaan hygiene dan sanitasi secara mandiri sehingga dapat meningkatkan
2.1. Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan dalam ilmu kesehatan masyarakat adalah sebagai bagian
dari tingkat pencegahan penyakit. Menurut Mee Lian dalam Notoatmodjo (2007),
promosi kesehatan adalah suatu proses membantu individu dan masyarakat
meningkatkan kemampuan dan keterampilannya guna mengontrol berbagai faktor
yang berpengaruh pada kesehatan, sehingga dapat meningkatkan derajat
kesehatannya. Promosi kesehatan merupakan kombinasi pendidikan kesehatan dan
pendekatan organisasi, ekonomi, lingkungan yang seluruhnya mendukung terciptanya
perilaku yang kondusif dengan kesehatan.
Batasan promosi kesehatan menurut Victorian Health Foundation-Australia
(1997) dalam Notoatmodjo (2005), adalah suatu program perubahan perilaku
masyarakat yang menyeluruh. Bukan hanya perubahan perilaku tetapi juga perubahan
lingkungannya. Perubahan perilaku tanpa diikuti oleh perubahan lingkungan tidak
efektif, perilaku tersebut tidak akan bertahan lama. Contoh orang Indonesia yang
pernah tinggal di negara maju seperti Amerika. Sewaktu di Amerika ia telah
berperilaku teratur mengikuti budaya antri dalam memperoleh pelayanan apa saja,
naik bus, kereta dan sebagainya. Tetapi setelah kembali ke Indonesia, dimana budaya
antri (lingkungan) belum ada, maka ia akan ikut berebut waktu naik bus, naik kereta
dan sebagainya. Oleh sebab itu, promosi kesehatan bukan sekedar mengubah perilaku
saja tetapi juga mengupayakan perubahan lingkungan, sistem dan sebagainya.
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh WHO dan para ahli pendidikan
kesehatan, terungkap bahwa pengetahuan masyarakat tentang kesehatan sudah tinggi,
tetapi praktik masih sangat rendah. Hal ini berarti bahwa perubahan atau peningkatan
pengetahuan masyarakat tentang kesehatan tidak diimbangi dengan peningkatan atau
perubahan perilakunya. Dari penelitian yang telah ada, terungkap bahwa 80 persen
masyarakat tahu cara mencegah penyakit demam berdarah dengan melakukan 3 M
(menguras, menutup, mengubur) barang-barang yang dapat menampung air, tetapi
hanya 35 persen dari masyarakat tersebut yang benar-benar melakukan atau
mempraktikkan 3 M (Notoatmodjo, 2005).
Keadaan ini membuat kita berpikir bahwa praktik hidup sehat harus
ditingkatkan lagi. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perilaku
adalah melalui promosi kesehatan. Promosi kesehatan mempunyai visi, yaitu
masyarakat mau dan mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Agar
masyarakat mau dan mampu diperlukan upaya-upaya. Upaya untuk mewujudkan visi
ini disebut misi promosi kesehatan, yaitu apa yang harus dilakukan untuk mencapai
visi. Secara umum misi promosi kesehatan yaitu :
a. Advokat (advocate)
Kegiatan advokat ini dilakukan terhadap para pengambil keputusan dari
berbagai tingkat, dan sektor terkait dengan kesehatan. Tujuan kegiatan ini adalah
program kesehatan yang akan dijalankan tersebut penting (urgen). Oleh sebab itu,
perlu dukungan kebijakan atau keputusan dari para pejabat tersebut.
b. Menjembatani (Mediate)
Promosi kesehatan juga mempunyai misi mediator atau menjembatani antara
sektor kesehatan dengan sektor lain sebagai mitra. Dengan perkataan lain promosi
kesehatan merupakan perekat kemitraan di bidang pelayanan kesehatan.
Kemitraan adalah sangat penting, sebab tanpa kemitraan, niscaya sektor kesehatan
tidak mampu menangani masalah-masalah kesehatan yang begitu kompleks dan
luas.
c. Memampukan (enable)
Sesuai dengan visi promosi kesehatan, yaitu masyarakat mau dan mampu
memelihara dan meningkatkan kesehatannya, promosi kesehatan mempunyai misi
utama untuk memampukan masyarakat. Hal ini berarti, baik secara langsung atau
melalui tokoh-tokoh masyarakat, promosi kesehatan harus memberikan
keterampilan-keterampilan kepada masyarakat agar mereka mandiri di bidang
kesehatan (Pratomo, 2005).
2.1.1. Strategi Promosi Kesehatan
Guna mencapai tujuan promosi kesehatan secara efektif dan efisien,
diperlukan cara dan pendekatan yang strategis. Cara ini disebut ”strategi”, yakni
Menurut WHO (1994) dalam (Notoatmodjo, 2005), strategi promosi kesehatan,
yaitu:
a. Advokasi (Advocacy)
Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan orang lain agar orang lain
membantu atau mendukung terhadap apa yang diinginkan. Dalam konteks
promosi kesehatan, advokasi adalah pendekatan kepada para pembuat keputusan
atau penentu kebijakan di berbagai sektor, dan di berbagai tingkat, sehingga para
pejabat tersebut mau mendukung program kesehatan yang kita inginkan.
b. Dukungan Sosial (Social support)
Strategi dukungan sosial ini adalah suatu kegiatan untuk mencapai dukungan
sosial melalui tokoh-tokoh masyarakat (toma), baik tokoh masyarakat formal
maupun nonformal. Tujuan utama kegiatan ini adalah agar para tokoh
masyarakat, sebagai jembatan antara sektor kesehatan sebagai (pelaksana program
kesehatan) dengan masyarakat (penerima program) kesehatan.
c. Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment)
Pemberdayaan adalah strategi promosi kesehatan yang ditujukan kepada
masyarakat langsung. Tujuan utama pemberdayaan adalah mewujudkan
kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka
sendiri (visi promosi kesehatan) dimana sasaran pemberdayaan masyarakat
adalah masyarakat itu sendiri.
Konferensi Internasional Promosi Kesehatan di Ottawa Canada pada tahun
tersebut dirumuskan pula strategi baru promosi kesehatan, yang mencakup 5 butir,
yaitu:
1) Kebijakan Berwawasan Kebijakan (Healthy Public Policy)
Maksudnya adalah suatu strategi promosi kesehatan yang ditujukan kepada para
pembuat kebijakan, agar mereka mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik yang
mendukung atau menguntungkan kesehatan.
2) Lingkungan yang mendukung (Supportive Environment)
Strategi ini ditujukan kepada pengelola tempat umum termasuk pemerintah kota,
agar mereka menyediakan sarana prasarana atau fasilitas yang mendukung
terciptanya perilaku sehat bagi masyarakat, atau sekurang-kurangnya pengunjung
tempat-tempat umum tersebut.
3) Reorientasi Pelayanan Kesehatan (Reorient Health Services)
Penyelenggara (penyedia) pelayanan kesehatan adalah pemerintah dan swasta dan
masyarakat adalah sebagai pemakai atau pengguna pelayanan kesehatan.
Pemahaman ini harus disorientasi lagi, bahwa masyarakat bukan hanya pengguna
atau penerima pelayanan kesehatan, tetapi sekaligus juga sebagai penyelenggara,
dalam batas-batas tertentu.
4) Keterampilan Individu (Personnel Skill)
Kesehatan masyarakat adalah kesehatan agregat, yang terdiri dari individu,
keluarga dan kelompok-kelompok. Oleh sebab itu, kesehatan masyarakat akan
terwujud apabila kesehatan individu-individu, keluarga-keluarga, dan
keterampilan individu-individu (personal skill) dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatan adalah sangat penting.
5) Gerakan Masyarakat (Community Action)
Untuk mendukung perwujudan masyarakat yang mau dan mampu memelihara
dan meningkatkan kesehatannya seperti tersebut dalam visi promosi kesehatan
ini, maka di dalam masyarakat itu sendiri harus ada gerakan atau
kegiatan-kegiatan untuk kesehatan. Oleh sebab itu, promosi kesehatan harus mendorong
dan memacu kegiatan-kegiatan di masyarakat dalam mewujudkan kesehatan
mereka.
Menurut Labonte dalam Notoatmodjo (2005), bahwa promosi kesehatan harus
memasukkan konsep pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan efektivitas promosi
kesehatan. Sehubungan dengan konsep pemberdayaan masyarakat, maka konsep
promosi kesehatan berkembang menjadi 2 (dua), yaitu yang disebut sebagai
konvensional, dan yang selanjutnya disebut radikal. Yang bersifat konvensional
masih diletakkan pada upaya mencegah penyakit melalui pengelolaan gaya hidup,
atau apabila pada kasus-kasus penyakit infeksi, melalui pengendalian vektor. Namun
yang disebut radikal, promosi kesehatan dilakukan melalui upaya pemberdayaan dan
advokasi. Sehingga berikutnya pendekatan promosi kesehatan bukan hanya
pendekatan dari bawah ke atas tetapi dari bawah ke atas (bottom up). Pendekatan dari
bawah ke atas seringkali dianggap sebagai pendekatan yang tidak efektif, karena
adanya asumsi bahwa yang memahami persoalan kesehatan adalah pihak petugas
baik sehingga mempunyai kemampuan untuk mengenali masalah, menyusun
perencanaan sampai dengan menetapkan rancangan dan indikator evaluasinya.
Setiap pendekatan mempunyai karakteristik yang khas. Pendekatan atas ke
bawah (top-down) program-programnya mengikuti suatu daur yang terdiri dari
rancangan umum, menetapkan tujuan, memilih strategi, manajemen dan
implementasi strategi dan evaluasi. Pendekatan dari bawah ke atas (bottom up)
dimulai dari upaya pihak luar membantu masyarakat mengidentifikasi permasalahan
yang penting dan relevan dengan kehidupannya, serta membantu mereka
mengembangkan strategi untuk memecahkannya. Program dalam pendekatan
bottom up dirancang dan dinegosiasikan dengan masyarakat, serta membutuhkan
waktu yang lebih lama.
Promosi kesehatan juga didasarkan pada dimensi dan tempat pelaksanaannya,
oleh sebab itu ruang lingkup promosi kesehatan didasarkan kepada 2 dimensi yaitu
dimensi aspek sasaran pelayanan kesehatan, dan dimensi tempat pelaksanaan promosi
kesehatan atau tatanan (setting), (Notoatmodjo, 2005).
1. Ruang lingkup promosi kesehatan berdasarkan aspek pelayanan kesehatan:
a. Promosi kesehatan pada tingkat promotif
Sasaran promosi kesehatan pada kelompok orang sehat, dengan tujuan agar
mereka mampu meningkatkan kesehatannya.
b. Promosi kesehatan pada tingkat preventif
Disamping kelompok orang yang sehat, sasaran promosi kesehatan pada
promosi kesehatan ini adalah untuk mencegah kelompok-kelompok tersebut
agar tidak jatuh atau menjadi/terkena sakit (primary preventif).
c. Promosi kesehatan pada tingkat kuratif
Sasaran promosi kesehatan ini adalah para penderita penyakit (pasien),
terutama untuk penderita penyakit-penyakit kronis. Tujuan promosi ini agar
kelompok ini mampu mencegah penyakit tersebut tidak menjadi lebih parah
(secondary prevention).
d. Promosi kesehatan pada tingkat rehabilitatif
Sasaran pokok promosi kesehatan ini adalah kelompok penderita atau pasien
yang baru sembuh (recovery) dari suatu penyakit. Tujuan utamanya adalah
agar mereka segera pulih kembali kesehatannya, dan atau mengurangi
kecacatan seminimal mungkin (tertiary prevention).
2. Ruang lingkup promosi kesehatan berdasarkan tatanan, (tempat pelaksanaan):
a) Promosi kesehatan pada tatanan keluarga (rumah tangga)
b) Promosi kesehatan pada tatanan sekolah
c) Promosi kesehatan pada tatanan kerja
d) Promosi kesehatan di tempat-tempat umum (TTU)
Menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku sehat bagi
pengunjungnya, misal tersedianya tempat sampah, tempat cuci tangan, tempat
pembuangan air kotor, ruang tunggu bagi perokok dan non perokok, kantin,
e) Promosi kesehatan di institusi pelayanan kesehatan
Tempat-tempat pelayanan kesehatan, rumah sakit, puskesmas, balai
pengobatan, poliklinik, tempat praktik dokter dan sebagainya adalah tempat
yang paling strategis untuk promosi kesehatan.
2.1.2. Metode dan Teknik Promosi Kesehatan
Metode dan teknik promosi kesehatan adalah suatu kombinasi antara cara-cara
atau metode dan alat-alat bantu atau media yang digunakan dalam setiap pelaksanaan
promosi kesehatan.
Menurut teori Notoatmodjo (2007), berdasarkan sasaran, metode dan teknik
promosi kesehatan dibagi menjadi 3 yaitu :
a. Metode promosi kesehatan individual
Metode ini digunakan apabila antara promotor kesehatan dan sasarannya dapat
berkomunikasi langsung, baik bertatap muka (face to face) maupun melalui
sarana komunikasi lainnya, misal telepon. Cara ini paling efektif karena antara
petugas kesehatan dengan klien dapat saling berdialog, saling merespon dalam
waktu yang bersamaan.
b. Metode promosi kesehatan kelompok
Teknik dan metode promosi kelompok digunakan untuk sasaran kelompok.
Sasaran kelompok dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu kelompok kecil (terdiri dari
6-15 orang) dan kelompok besar (15-50 orang). Oleh sebab itu, metode ini dapat
1). Metode dan teknik promosi kesehatan untuk kelompok kecil, misalnya:
diskusi kelompok, metode curah pendapat (brain storming), bola salju
(snow ball), bermain peran (role play), metode permainan simulasi, dan
sebagainya. Untuk mengefektifkan metode ini perlu dibantu dengan media
seperti lembar balik, alat peraga, slide, dan sebagainya.
2). Metode dan teknik promosi kesehatan untuk kelompok besar, misal: metode
ceramah yang diikuti atau tanpa diikuti dengan tanya jawab, seminar,
lokakarya, dan sebagainya. Untuk memperkuat metode ini perlu dibantu
dengan alat bantu, seperti overhead projector, slide projector, film, sound
system, dan sebagainya.
c. Metode promosi kesehatan massal
Apabila sasaran promosi kesehatan adalah massal atau publik, maka metode ini
tidak akan efektif. Merancang metode ini memang paling sulit, sebab sasaran
publik sangat heterogen, baik dilihat dari kelompok umur, tingkat pendidikan,
tingkat sosial ekonomi, sosial budaya dan sebagainya. Metode yang sering
digunakan :
1) Ceramah umum, misal di lapangan terbuka dan tempat umum (public place).
2) Penggunaan media massa elektronik, seperti radio, televisi.
3) Penggunaan media cetak, seperti koran, majalah, tabloid, leaflet, buku,
selebaran, poster, dan sebagainya.
4) Penggunaan media di luar ruang, misal: billboard, spanduk, umbul-umbul,
2.1.3. Promosi Kesehatan Dan Perilaku
Masalah kesehatan masyarakat, termasuk penyakit, ditentukan oleh 2 faktor
utama, yaitu perilaku dan non-perilaku (fisik, sosial, ekonomi, politik, dan
sebagainya). Upaya pemberantasan penyakit menular, penyediaan sarana air bersih
dan pembuangan tinja, penyediaan pelayanan kesehatan, dan sebagainya adalah
upaya intervensi terhadap faktor fisik (non-perilaku). Sedangkan upaya intervensi
terhadap faktor perilaku dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni (Krianto,
2005):
a. Pendidikan (education)
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada
masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan untuk
memelihara, dan meningkatkan kesehatannya. Hasil dari pendidikan kesehatan
ini diharapkan akan berlangsung lama dan menetap (langgeng) karena didasari
oleh kesadaran.
b. Paksaan atau tekanan (coercion)
Paksaan atau tekanan yang dilakukan kepada masyarakat agar mereka
melakukan tindakan-tindakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
mereka sendiri. Tindakan atau perilaku sebagai hasil tekanan ini memang cepat,
tetapi tidak akan langgeng karena tidak didasari oleh pemahaman dan kesadaran
Berdasarkan keuntungan dan kerugian dua pendekatan tersebut, maka
pendekatan pendidikan paling cocok sebagai upaya pemecahan masalah kesehatan
masyarakat, melalui faktor perilaku. Promosi kesehatan merupakan revitalisasi
pendidikan kesehatan, maka dapat dikatakan bahwa promosi kesehatan merupakan
upaya intervensi terhadap faktor perilaku dalam masalah kesehatan masyarakat.
Promosi kesehatan sebagai pendekatan terhadap faktor perilaku kesehatan,
maka kegiatannya tidak terlepas dari faktor-faktor yang menentukan perilaku
tersebut. Dengan perkataan lain, kegiatan promosi kesehatan harus disesuaikan
dengan determinan (faktor yang mempengaruhi perilaku itu sendiri). Menurut Green
dalam Notoatmodjo (2005), perilaku ini ditentukan oleh 3 faktor utama, yakni :
a. Faktor predisposisi (predisposition factor)
Faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi terjadinya
perilaku pada diri seseorang atau masyarakat, adalah pengetahuan dan sikap
seseorang atau masyarakat tersebut terhadap apa yang akan dilakukan. Misalnya
perilaku ibu untuk selalu menjaga kebersihan keluarganya, akan dipermudah
apabila ibu tersebut tahu apa manfaat menjaga kebersihan, tahu siapa dan
bagaimana menjaga kebersihan itu dilakukan. Demikian pula, perilaku tersebut
akan dipermudah bila ibu yang bersangkutan mempunyai sikap yang positif
terhadap kebersihan. Di samping itu, kepercayaan, tradisi, sistem, nilai di
masyarakat setempat juga mempermudah (positif) atau mempersulit (negatif)
1) Pengetahuan
Pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) merupakan resultan dari
akibat proses pengindraan terhadap suatu obyek. Pengindraan tersebut
sebagian besar berasal dari penglihatan dan pendengaran. Pengukuran atau
penilaian pengetahuan pada umumnya dilakukan melalui tes atau wawancara
dengan alat bantu kuesioner berisi materi yang ingin diukur dari responden.
Pengetahuan merupakan faktor yang mempermudah perubahan
perilaku masyarakat dalam hidup bersih. Dengan pengetahuan yang baik
tentang air bersih, jamban, tempat sampah, air limbah, lantai rumah, ventilasi,
kesesuaian lantai rumah dengan penghuni, maka individu akan lebih mudah
merubah perilaku yang tidak baik menjadi baik.
2) Sikap
Sikap merupakan suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif
maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis.
(Walgito, 2003)
Sedangkan L.L. Thurston dalam Ahmadi (2002), menyatakan sikap
sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang
berhubungan dengan obyek psikologi. Orang memiliki sikap positif
terhadap suatu objek apabila ia suka atau memiliki sikap yang favorable,
sebaliknya orang yang dikatakan memiliki sikap yang negatif bila ia tidak
Sikap masyarakat dapat positif maupun negatif terhadap promosi
kesehatan hygiene dan sanitasi berhubungan dengan obyek dan upaya
petugas kesehatan dalam melaksanakan promosi kesehatan mengenai air
bersih, jamban, tempat sampah, air limbah, lantai rumah, ventilasi, dan
kesesuaian lantai rumah dengan penghuni.
b. Faktor Pemungkin (enabling factor)
Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas,
sarana, atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya
perilaku seseorang atau masyarakat. Pengetahuan dan sikap saja belum menjamin
terjadinya perilaku, maka masih diperlukan sarana atau fasilitas untuk
memungkinkan atau mendukung perilaku tersebut. Dari segi kesehatan
masyarakat, agar masyarakat mempunyai perilaku sehat harus terakses
(terjangkau) sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan kesehatan.
Misalnya, untuk terjadinya perilaku ibu yang selalu menjaga
kesehatannya, maka diperlukan alat-alat kebersihan, air bersih, dan sebagainya.
Agar seseorang atau masyarakat buang air besar di jamban, maka harus tersedia
jamban, atau mempunyai uang untuk membeli alat-alat kebersihan atau
membangun jamban sendiri.
Menurut Notoatmodjo (2005), hambatan yang paling besar dirasakan
dalam mewujudkan perilaku hidup sehat masyarakat yaitu faktor pendukungnya
(enabling factor). Dari penelitian-penelitian yang ada terungkap meskipun
praktik tentang kesehatan atau perilaku hidup sehat masyarakat masih rendah.
Setelah dilakukan pengkajian oleh WHO, terutama di negara-negara berkembang,
ternyata faktor pendukung atau sarana dan prasarana tidak mendukung
masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. Misalnya, meskipun kesadaran dan
pengetahuan orang atau masyarakat tentang kesehatan sudah tinggi, tetapi apabila
tidak didukung oleh fasilitas, yaitu tersedianya jamban sehat, air bersih, makanan
yang bergizi, fasilitas imunisasi, pelayanan kesehatan dan sebagainya maka
mereka sulit untuk mewujudkan perilaku tersebut.
c. Faktor Penguat (reinforcing factor)
Pengetahuan, sikap, dan fasilitas yang tersedia kadang-kadang belum
menjamin terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Sering terjadi, bahwa
individu/keluarga sudah tahu manfaat kebersihan dan juga telah tersedia peralatan
dan sarana kebersihan, tetapi belum melakukannya karena alasan sederhana,
yakni bahwa orang yang disegani dalam masyarakat tersebut belum
melakukannya dengan maksimal, seperti lurah/kepala desa, guru, tenaga
kesehatan, dan sebagainya. Menurut Green dan Marshall (2005), faktor
reinforcing adalah konsekuensi dari determinan perilaku, dimana masyarakat
menerima feedback dan setelah itu ada dukungan sosial. Faktor reinforcing
meliputi dukungan sosial, pengaruh dan informasi serta feedback oleh tenaga
Berdasarkan faktor determinan perilaku tersebut, maka kegiatan promosi
kesehatan sebagai pendekatan perilaku hendaknya diarahkan kepada 3 (tiga) faktor
tersebut (Notoatmodjo, 2005) :
a. Kegiatan promosi kesehatan yang ditujukan kepada faktor pemudah
(predisposisi) adalah dalam bentuk pemberian informasi atau pesan kesehatan
dan penyuluhan kesehatan. Tujuan kegiatan ini memberikan atau
meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, yang diperlukan oleh
seseorang atau masyarakat, sehingga akan memudahkan terjadinya perilaku
sehat. Upaya ini juga dimaksudkan untuk meluruskan tradisi, kepercayaan,
nilai yang tidak kondusif bagi perilaku sehat, dan akhirnya berakibat buruk
bagi kesehatan mereka.
b. Kegiatan promosi yang ditujukan kepada faktor pemungkin (enabling) adalah
memberdayakan masyarakat melalui pengorganisasian atau pengembangan
masyarakat. Dengan kegiatan ini, diharapkan masyarakat mampu untuk
memfasilitasi diri mereka atau masyarakat sendiri untuk berperilaku sehat.
Misalnya masyarakat mampu membangun sarana air bersih, jamban keluarga/
umum. Intervensi pada faktor enabling ini tidak saja memberikan fasilitas atau
sarana prasarana kesehatan, tetapi juga memberikan kemampuan kepada
seseorang atau masyarakat, termasuk kemampuan ekonomi untuk mengadakan
atau menyediakan sarana sebagai pendukung perilaku kesehatan mereka.
c. Kegiatan promosi kesehatan yang ditujukan kepada faktor penguat (reinforcing)
pelatihan ini mempunyai 2 (dua) tujuan, pertama agar para tokoh masyarakat
tersebut mampu berperilaku contoh (model perilaku sehat) bagi masyarakat
sekitarnya. Kedua, para tokoh masyarakat tersebut dapat mentransformasikan
pengetahuan tentang kesehatan kepada orang lain atau masyarakat sesuai dengan
ketokohan mereka. Misal, seorang uztad dalam ceramahnya menyisipkan
pesan-pesan kesehatan. Disamping pelatihan, kegiatan promosi pada faktor ini dapat
dilakukan melalui cara advokasi pada para pejabat formal. Dengan kegiatan ini,
para pejabat formal dapat mengeluarkan surat keputusan, peraturan, instruksi
kepada sasaran atau masyarakat agar berperilaku sehat. Misal, adanya peraturan
daerah yang mengatakan “barang siapa membuang sampah sembarangan akan
mendapat denda Rp. 5.000.000”. Hal ini akan memperkuat perilaku masyarakat
untuk membuang sampah di tempat yang disediakan.
2.2. Kesehatan Lingkungan
Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling
berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Demikian pula
pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya
sendiri, tapi harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap masalah
”sehat-sakit” atau kesehatan tersebut. Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan,
Lingkungan: - Fisik
- Sosial ekonomi
Pelayanan Kesehatan
Perilaku Status Kesehatan Keturunan
Sumber : Notoatmodjo (2003)
Gambar 1. Faktor yang Mempengaruhi Status Kesehatan
Keempat faktor tersebut (keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan
kesehatan) di samping berpengaruh langsung kepada kesehatan, juga saling
berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal,
bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang
optimal pula. Salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu (tidak
optimal), maka status kesehatan akan tergeser ke arah di bawah optimal.
Pengaruh lingkungan terhadap derajat kesehatan masyarakat antara lain
tercermin dari akses masyarakat terhadap air. Pengaruh lingkungan terhadap derajat
kesehatan masyarakat antara lain tercermin dari akses masyarakat terhadap air bersih
dan sanitasi dasar. Pada tahun 2002, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2005, persentase rumah tangga yang mempunyai akses
tangga terhadap sanitasi dasar baru mencapai 63,5 persen. Kesehatan lingkungan
yang merupakan kegiatan lintas sektor belum dikelola dalam suatu sistem kesehatan
kewilayahan (Adisasmito, 2007).
2.2.1. Hygiene dan Sanitasi Lingkungan
Hygiene dan sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik,
biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana
lingkungan yang berguna, ditingkatkan dan diperbanyak, sedangkan yang merugikan,
diperbaiki dan dihilangkan (Entjang, 2000).
Hygiene dan sanitasi lingkungan yang baik dapat diwujudkan dari perilaku
hidup bersih. Hidup bersih adalah terciptanya lingkungan yang sehat, diantaranya
dinilai dari persentase keluarga yang memiliki air bersih, memiliki jamban sehat,
keluarga yang mengelola sampah dengan baik, dan mengelola air limbah dengan
aman (Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara, 2007).
Menurut program kesehatan yang telah dilaksanakan Dinas Kesehatan
Kabupaten Aceh Tenggara (2007), target yang diharapkan dari hygiene dan sanitasi
lingkungan untuk tahun 2010 adalah : a) Keluarga yang memiliki persediaan air
bersih/air minum sehat adalah 90%, b) Keluarga yang memiliki jamban sehat adalah
85%, c) Keluarga yang mengelola sampah dengan baik adalah 80%, d) Keluarga yang
2.2.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di rumah tangga adalah upaya
untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu
mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan
kesehatan di masyarakat (Depkes RI, 2006). Rumah tangga sehat adalah rumah
tangga yang memenuhi 7 indikator PHBS di rumah tangga dan 3 indikator gaya
hidup sehat, yaitu:
Indikator PHBS di rumah tangga :
1) pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
2) bayi diberi ASI saja sejak lahir sampai berusia 6 bulan
3) mempunyai jaminan pemeliharaan kesehatan
4) ketersediaan air bersih
5) ketersediaan jamban
6) kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni
7) lantai rumah bukan dari tanah
Indikator gaya hidup sehat :
1) makan buah dan sayur setiap hari
2) melakukan aktivitas fisik setiap hari
3) tidak merokok di dalam rumah
Melihat dari indikator perilaku hidup bersih, yang termasuk ke dalam
lingkungan yaitu ketersediaan air bersih, jamban, tempat sampah, pengelolaan air
rumah. Lingkungan yang menjadi indikator perilaku hidup bersih disini hanya
sebagian daripada yang termasuk ke dalam hygiene dan sanitasi Lingkungan.
Menurut (Entjang, 2000), hygiene dan sanitasi lingkungan adalah pengawasan
lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan
manusia, yaitu dengan meningkatkan lingkungan yang berguna. Di dalam penelitian
ini akan dibahas perilaku hidup bersih yang mencakup hygiene dan sanitasi saja,
dimana syarat untuk hygiene dan sanitasi lingkungan yang bersih yaitu:
2.2.2.1. Persediaan Air Bersih
Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum,
masak, mandi, mencuci, dan sebagainya. Diantara kegunaan air tersebut, yang sangat
penting adalah kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu untuk keperluan air minum
air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan
penyakit bagi manusia.
Syarat air minum yang sehat harus memenuhi (Notoatmodjo, 2003) :
a. Syarat Fisik: tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau.
b. Syarat Bakteriologis: harus bebas dari segala bakteri, terutama bakteri patogen
c. Syarat Kimia: harus mengandung zat-zat tertentu di dalam kadar yang dibenarkan
untuk Fluor 1-1,5 mg/l, Chlor 250 mg/l, Arsen 0,05 mg/l, Tembaga 1,0 mg/l, Besi
0,3 mg/l.
Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi air minum. Sumber-sumber
a. Air hujan: perlu penambahan kalsium karena tidak mengandung kalsium.
b. Air sungai dan danau: air permukaan yang jika sudah tercemar dari berbagai
macam kotoran, maka bila untuk air minum harus diolah terlebih dahulu.
c. Mata air: berasal dari air tanah yang muncul secara alamiah dan belum tercemar.
d. Air sumur dangkal: belum begitu sehat, pemakaian untuk minum harus direbus
dahulu, biasanya antara 5-15 meter dari permukaan tanah.
e. Air sumur dalam: biasanya dalam dari permukaan tanah lebih 15 meter.
Syarat sumur agar tidak tercemar adalah :
a. Harus ada bibir sumur, agar bila musim hujan tiba, air tanah tidak masuk ke
dalamnya.
b. Pada bagian atas kurang lebih 3 m dari permukaan tanah harus di tembok.
c. Perlu diberi lapisan kerikil di bagian bawah sumur tersebut untuk mengurangi
kekeruhan.
2.2.2.2. Jamban Tempat Pengelolaan Kotoran
Jamban merupakan teknologi pembuangan tinja. Dalam buku Notoatmodjo
(2003), untuk mencegah/mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka
pembuangan tinja harus dikelola dengan baik. Syarat jamban yang sehat adalah :
a. Tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban tersebut
b. Tidak mengotori air permukaan dan air tanah sekitarnya.
c. Tidak dapat terjangkau dari serangga terutama lalat dan kecoa, dan
d. Tidak menimbulkan bau dan mudah digunakan serta dipelihara.
e. Sederhana desainnya dan murah serta dapat diterima oleh pemakainya.
Untuk memenuhi syarat jamban yang sehat maka perlu diperhatikan hal
berikut :
a. Sebaiknya jamban tertutup
b. Bangunan jamban mempunyai lantai yang kuat, tempat berpijak yang kuat.
c. Bangunan jamban ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan,
tidak menimbulkan bau dan sebagainya.
d. Sedapat mungkin disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih serta
sabun.
Tipe-tipe jamban adalah (Entjang, 2000) :
1. Pit-privy (cubluk)
Jamban ini dibuat dengan membuat lubang ke dalam tanah 2,5-8 m dan
berdiameter 80-120 cm. Dindingnya diperkuat dengan batu/bata, dapat di tembok
atau tidak. Lama pemakaian antara 5-15 tahun. Tipe jamban ini hanya baik dibuat
di tempat-tempat di mana air tanah letaknya dalam. Pada jamban ini harus
diperhatikan :
1) Jangan diberi desinfektan karena mengganggu proses pembusukan sehingga
cubluk cepat penuh
2) Untuk mencegah bertelur nyamuk tiap minggu diberi minyak tanah
2. Aqua-privy (cubluk berair)
Terdiri atas bak yang kedap air di dalam tanah sebagai tempat pembuangan
excreta. Proses pembusukannya sama dengan halnya pembusukan tinja dalam air
kali. Untuk jamban ini agar berfungsi dengan baik, perlu pemasukan air setiap
hari, baik sedang dipergunakan atau tidak. Jamban ini dibuat di tempat yang
banyak air. Bila airnya penuh, kelebihannya dapat dialirkan ke sistem lain
misalnya sistem riol atau sumur resapan.
3. Watersealed latrine (Angsa-trine)
Jamban ini klosetnya berbentuk leher angsa sehingga akan selalu terisi air. Fungsi
air sebagai sumbat sehingga bau busuk dari cubluk tidak tercium di ruangan
rumah jamban.
Keuntungan jamban ini adalah :
1) Baik untuk masyarakat kota karena memenuhi syarat keindahan.
2) Dapat ditempatkan di dalam rumah karena tidak bau sehingga pemakaiannya
lebih praktis.
3) Aman untuk anak-anak.
4. Bored hole latrine
Sama halnya dengan cubluk hanya ukurannya lebih kecil karena untuk pemakaian
yang tidak lama, misal untuk perkampungan sementara. Kerugiannya, bila air
5. Bucket latrine (pail closet)
Tinja ditampung dalam ember atau bejana lain kemudian dibuang di tempat lain,
misal untuk penderita yang tidak dapat meninggalkan tempat tidur.
6. Trench latrine
Lubang dalam tanah dibuat sedalam 30-40 cm untuk tempat defaecatie. Tanah
galiannya dipakai untuk menimbuninya.
7. Overhung latrine
Jamban ini semacam rumah-rumahan dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa
dan sebagainya. Kerugiannya tinja mengotori air permukaan sehingga bibit
penyakit yang terdapat di dalamnya dapat tersebar kemana-mana dengan air yang
dapat menimbulkan wabah.
8. Chemical toilet
Tinja ditampung dalam suatu bejana yang berisi caustic soda sehingga
dihancurkan sekalian didesinfeksi. Biasanya dipergunakan dalam kendaraan
umum misalnya pesawat udara atau dalam kereta api. Dapat pula dipergunakan
dalam rumah. Sebagai pembersih tidak dipergunakan air tetapi dengan kertas
(toilet paper).
2.2.2.3. Sampah dan Pengolahannya
Sampah adalah suatu bahan / benda yang tidak dipakai lagi atau tidak
disenangi dan dibuang dengan cara–cara saniter, kecuali buangan yang berasal dari
Cara pengolahan sampah yang baik yaitu :
a. Ditimbun.
Sampah yang diolah dengan cara ini adalah sampah yang hancur dalam tanah
seperti : sampah sayur – sayuran, daun – daunan, kertas yang mana pembuangan
sampah inti ± 10 m dari sumber air.
b. Dibakar
Jenis sampah yang dapat dibakar hanya sampah yang tidak dapat hancur di tanah
secara langsung seperti : plastik dan karet.
Teknik dan cara pembakaran
1) Sebaiknya wadah dapat berupa tong, ember bekas dan lobang yang berukuran
1x1 meter.
2) Waktu pembakaran maksimal 1x2 hari atau apabila tong dan ember sudah
penuh.
3) Jarak pembakaran dengan sumber air minum 1 meter dan diusahakan tempat
pembakaran di belakang rumah.
Cara pembuangan sampah yaitu memakai tong sampah dan bak sampah
di depan rumah dan di pinggir jalan raya yang aman diangkut oleh dinas
kebersihan. Akibat pembuangan sampah yang tidak sesuai dengan syarat
kesehatan yaitu :
1. Mengotori tanah.
3. Menimbulkan bau yang tidak enak.
4. Sebagai sumber atau tempat berkembang biaknya vektor penyakit.
Syarat–syarat tempat pembuangan sampah yang memenuhi syarat kesehatan
adalah sebagai berikut :
1. Konstruksinya kuat, jadi tidak mudah bocor, penting untuk mencegah berseraknya
sampah.
2. Tempat sampah mempunyai tutup dan dibuat sedemikian rupa sehingga mudah
diangkut oleh satu orang.
2.2.2.4. Air Limbah dan Pengelolaannya
Air limbah adalah ekskreta manusia, air kotor dari dapur, kamar mandi dan
sebagainya (Entjang, 2000). Batasan lain menurut Kusnoputranto (1985), air limbah
adalah kombinasi dari cairan dan sampah cair yang berasal dari daerah pemukiman,
perdagangan, perkantoran dan industri, bersama-sama dengan air tanah, air
permukaan dan air hujan yang mungkin ada.
Air buangan yang berasal dari rumah tangga (domestic wastes water) yaitu
air limbah yang berasal dari pemukiman penduduk. Pada umumnya air limbah ini
terdiri dari ekskreta (tinja dan air seni), air bekas cucian dapur dan kamar mandi dan
umumnya terdiri dari bahan-bahan organik.
Cara sederhana pengolahan air limbah secara sederhana, antara lain sebagai
1) Pengenceran
Air limbah diencerkan sampai mencapai konsentrasi yang cukup rendah,
kemudian baru dibuang ke badan-badan air. Cara ini menimbulkan kerugian,
diantaranya bahaya kontaminasi terhadap badan-badan air masih ada,
pengendapan yang akhirnya menimbulkan pendangkalan terhadap badan-badan
air, seperti selokan, sungai, danau, dan sebagainya. Selanjutnya dapat
menimbulkan banjir.
2) Kolam Oksidasi
Pada prinsipnya cara pengolahan ini adalah pemanfaatan sinar matahari,
ganggang, bakteri dan oksigen dalam proses pembersihan alamiah. Air limbah
dialirkan ke dalam kolam besar berbentuk segi empat dengan kedalaman 1-2
meter. Lokasi kola jauh dari pemukiman dan di daerah terbuka sehingga
memungkinkan sirkulasi angin dengan baik.
3) Irigasi
Air limbah dialirkan ke dalam parit-parit terbuka yang digali, dan air akan
merembes masuk ke dalam tanah melalui dasar dan dinding parit-parit tersebut.
Dalam keadaan tertentu air buangan dapat digunakan untuk pengairan ladang
pertanian atau perkebunan dan sekaligus berfungsi sebagai pemupukan. Hal ini
terutama dapat dilakukan untuk air limbah dari rumah tangga, perusahaan susu
sapi, rumah potong hewan dimana kandungan zat-zat organik dan protein cukup
2.2.2.5. Rumah Sehat (Ventilasi, Lantai, Luas Rumah)
Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan
hygiene dan sanitasi lingkungan. Seperti yang dikemukakan WHO, bahwa perumahan
yang tidak cukup dan terlalu sempit mengakibatkan pula tingginya kejadian penyakit
dalam masyarakat (Entjang, 2000).
Syarat-syarat rumah yang sehat adalah (Notoatmodjo, 1997) :
1) Bahan bangunan, diantaranya; lantai ubin atau semen, dinding tembok, atap
genteng adalah bahan yang baik untuk bangunan rumah.
2) Ventilasi yang mempunyai fungsi untuk menjaga agar aliran udara dalam rumah
tetap segar dan untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri.
3) Cahaya, sumber dari cahaya alamiah yaitu matahari dan cahaya buatan seperti
lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya.
4) Luas bangunan rumah, yang optimum dapat menyediakan 2,5 – 3 m² untuk tiap
anggota keluarga.
5) Lantai harus dalam keadaan bersih, disapu minimal 2 kali sehari.
6) Fasilitas dalam rumah sehat, dapat tersedia seperti penyediaan air bersih yang
cukup, pembuangan tinja, pembuangan air limbah rumah tangga, pembuangan
sampah, fasilitas dapur, dan tempat ruang berkumpul keluarga.
Rumah sehat yang diajukan oleh Winslow (Entjang, 2000) :
1) Harus memenuhi kebutuhan fisiologis, seperti :
a) Suhu ruangan, sebaiknya tetap berkisar 18-20ºC
b) Penerangan rumah, harus cukup baik siang maupun malam hari, yang ideal
c) Ventilasi, baik dan cukup, untuk pertukaran udara dalam rumah atau cukup
mengandung oksigen. Luas jendela keseluruhan ± 15 % dari luas lantai.
d) Dinding ruangan harus kedap suara, baik yang berasal dari luar maupun dalam
rumah.
2) Harus memenuhi kebutuhan psikologis, seperti :
a) Rumah menjadi pusat kesenangan tangga yang sehat, cara pengaturan
memenuhi rasa keindahan
b) Ada jaminan kebebasan yang cukup bagi setiap anggota keluarga
c) Tiap anggota keluarga terutama yang mendekati dewasa harus mempunyai
ruangan sendiri-sendiri.
d) Mempunyai ruangan untuk menjalankan kehidupan keluarga
e) Mempunyai ruangan untuk hidup bermasyarakat, ada ruang tamu.
3) Harus dapat menghindari terjadi kecelakaan
a) Konstruksi rumah harus kuat
b) Sarana pencegahan terjadinya kecelakaan di sumur, kolam dan tempat-tempat
lain, terutama untuk anak-anak.
c) Diusahakan agar bahan-bahan rumah tidak mudah terbakar.
d) Adanya sarana pencegahan kecelakaan bagi orang tua lanjut usia.
e) Adanya alat pemadam kebakaran terutama yang mempergunakan gas.
4) Harus dapat menghindarkan terjadinya penyakit
a) Adanya sumber air yang sehat