• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biologi Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae) parasitoid lalat pengorok daun kentang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Biologi Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae) parasitoid lalat pengorok daun kentang"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)

BIOLOGI

Opius

sp. (HYMENOPTERA: BRACONIDAE)

PARASITOID LALAT PENGOROK

DAUN KENTANG

Oleh :

RUSLI R.

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(68)

ABSTRAK

RUSLI

R.

Biologi Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae) Lalat Pengorok Daun

Kentang. Dibimbing oleh AUNU RAUF sebagai ketua, NINA MARYANA sebagai

anggota.

Penelitian dilaksanakan di insektari Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,

IPB dan berlangsung sejak Oktober 2001 hingga Juni 2002. Tujuan penelitian adalah untuk memahami biologi parasitoid Opius sp. yang meliputi masa perkembangan, keperidian, masa hidup, nisbah kelamin, dan preferensi terhadap instar inang.

Penelitian menggunakan tanaman kacang merah (Vigna sinensis) sebagai tanaman inang, larva instar -3 untuk percobaan penelitian, dan percobaan preferensi menggunakan larva instar -1, -2 dan -3 sebagai perlakuan. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji DNMRT pada taraf nyata 5%, sebagian data dianalisis dengan menggunakan uji -t.

Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata masa perkembangan parasitoid dari telur sampai muncul imago adalah 13,59 hari. Jurnlah rataan telur yang diletakkan oleh imago betina adalah 109,20 butir, dengan nisbah kelamin 73,47% betina. Rataan masa hidup imago betina adalah 10,08 hari dan jantan adalah 13.90 hari. Pada uji pilihan bebas terhadap instar larva inang, Opius sp. lebih banyak meletakkan telur pada larva instar -3, dan berbeda nyata dengan larva instar -2 dan instar-1. Pada uji tanpa pilihan, semua instar dapat dipilih sebagai inang yang

ditunjukkan oleh kemunculan imago parasitoid dari setiap larva inang. Masa perkernbangan Opius sp. lebih pendek pada inang instar -3 dan -2 dibandingkan pada instar -1. Jurnlah keturunan yang dihasilkan lebih banyak pada inang instar -3.

(69)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

dalan tesis saya yang berjudul:

"

Biologi

Opius

sp. (Hymenoptera: Braconidae) Parasitoid Lalat Pengorok

Daun Kentang "

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan Komisi

Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum

pernah digunakan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi

lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan

dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Oktober 2002

(70)

BIOLOGI Opius

sp. (HYMENOPTERA: BRACONIDAE)

PARASITOID LALAT PENGOROK

DAUN KENTANG

RUSLI R.

Tesis

sebagai saiah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Entomologi/Fitopatologi

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(71)

Judul Tesis : Biologi Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae) Parasitoid Lalat Pengorok Daun Kentang

Nama : Rusli R.

NRP : 085 00001

Program Studi : : Entomologi I Fitopatologi

Menyetujui:

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Nina Maryana, M.S. Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Program Pascasarjana

Entomologi 1 Fitopatologi

(72)

RIWAYAT

HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 1 1 Nopember 1969 di Batusangkar, Sumatera Barat, sebagai anak ke enam dari sembilan bersaudara dari Ibu Rosna Zein (almarhumah) dan Bapak Rustam Ruskam (almarhum). Penulis menyelesaikan pendidkan SD tahun 1983 di SD Negeri 3 Batusangkar, SMP tahun 1986 di MTsN Batusangkar dan SMU tahun 1989 di SMU Negeri I Batusangkar, Sumatera Barat.

Pada tahun 1993 penulis mendapat gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang. Tahun 1994

-

1995 penulis bekerja sebagai Asisten Afdeling pada PT. Perkebunan Agrowiratama di Pasaman, Sumatera Barat. Kemudian tahun 1996 - 1997 penulis bekerja sebagai karyawan pada P.T. Bank

Danamond Indonesia, Jakarta. Sejak tahun 1998 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian, Universitas Riau, Pekanbaru. Tahun

2000 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Pascasarjana (S2) pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari Direktorat Jendral Pendididkan Tinggi.

(73)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan kurnia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Biologi Opius sp. (Hymenoptera: Bracouidae) Parasitoid Lalat Pengorok D a m Kentang.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc. atas kesediaan beliau menjadi Ketua Komisi Pembiinbing, Ibu Dr. Ir. Nina Maryana, M.S. sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan, masukan, bimbingan, dan dorongan dalam pelaksanaan penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Agronomi, Universitas Riau atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Master (S2) di IPB, sehingga proses penyelesaian studi berjalan dengan lancar. Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur Program Pascasarjana IPB dan Ketua Program Studi Entomologi/Fitopatologi yang telah mengijinkan penulis

untuk mengikuti pendidikan pada Program Pascasarjaan IPB. Terima kasih

disampaikan pula kepada teknisi laboratorium Ekologi dan Pengelolaan Hama, laboratorium Taksonomi Serangga (pak Wawan, dik Wendy dan bu Ai'syah ), serta teman-teman di Jurusan HPT, IPB atas bantuan dan partisipasinya dalarn kegiatan penelitian hingga penyelesaian tulisan tesis ini. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih pada almarhum Ibuk dan Papa yang ananda muliakan, semoga arwah beliau mendapat tempat yang baik disisi-Nya, serta rasa terima kasihku kepada kakak dan adik, khususnya istri tercinta Jum'atri Yusri dan anailda Nabillah Addini Rusli atas segala dorongan dan kesabarannya selarna ditinggal dalam masa pendidikan.

Tentunya dalam penulisan tesis ini terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu kritik dan saran untuk perbaikan kegiatan selanjutnya sangat penulis harapakan. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan manfaat dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat, taufik, hidayah dan inayah Nya kepada kita semua. Amin.

Bogor, Oktober 2002

(74)

DAFTAR IS1

Halaman

DAFTAR TABEL

...

V l l l

...

DAFTAR GAMBAR

...

DAFTAR LAMPIRAN

...

PENDAHULUAN

...

Latar Belakang

. .

...

Tujuan Penelltian

. .

...

Kegunaan Penelltian

...

TINJAUAN PUSTAKA

...

Biologi Liriomyza huidobrensis

...

Gejala Serangan Liriomyza

...

Biologi Parasitoid Braconidae

...

Pemilihan Inang oleh Parasitoid

...

...

Reproduksi dan Penentuan Nisbah Kelamin

Pengaruh Instar Inang

...

Biologi Opius sp

...

BAHAN DAN METODE

...

Waktu dan Tempat

...

Pemeliharaan Tanaman

...

Pembiakan Lalat Pengorok Daun

. .

...

Pembiakan Parasitold

...

Perkembangan Pradewasa

...

...

Keperidian, Masa Hidup Imago. dan Nisbah Kelarnin

Preferensi Terhadap Instar Larva

...

Pengaruh Instar Inang

. .

...

Analisis Data

...

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

Perkembangan Fase Pradewasa

...

Masa Hidup Imago dan Keperidian

...

Banyaknya Keturunan dan Nisbah Kelarnin

...

Preferensi Terhadap Instar Larva

...

Pengaruh Instar Inang

...

Peluang Pemanfaatan Opius sp

.

dalam Pengendalian Hayati

Liriomyza spp

...

(75)

DAFTAR PUSTAKA..

.

.

. . .

.

. . .

.

. . .

.

. . .

.

. . .

.

. . .

. . .

. . .

. .

. . . .

. . . .

(76)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1

.

Ukuran dan masa perkembangan pradewasa Opius sp

...

21 2

.

Keperidian dan masa peneluran Opius sp

...

27

3

.

Banyaknya keturunan dan nisbah kelamin Opius sp

...

29

4

.

Rataan banyaknya telur parasitoid yang diletakkan pada tiga instar

inang

...

31

5

.

Masa perkembangan pradewasa. banyaknya keturunan dan nisbah
(77)

DAFTAR GAMBAR

.. Nomor Halaman

Teks

1

.

Kurungan pembiakan L

.

huidobrensis dan Opius sp

...

16 2

.

Kurungan percobaan Opius sp

...

18

3

.

Telur Opius sp

.

pada hari pertama diletakkan

...

22 4

.

Larva instar -1 Opius sp

...

23 5

.

Larva instar akhir Opius sp

...

23

6

.

Pupa Opius sp

...

.

.

...

24

7

.

Imago jantan Opius sp

...

25
(78)

Lampiran

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Teks

1. Pertumbuhan dan perkembangan telur Opius sp. setelah diletakan..

.

..

. . .

42
(79)

PENDAHULUAN

Latar Be!akang

Lalat pengorok daun kentang, Liriomyza huidobrensis (Blanchard)

(Diptera: Agromyzidae), merupakan hama eksotik yang diperkirakan tiba di

Indonesia pada awal tahun 1990-an (Rauf 1995), dan sekarang sudah ditemukan

hampir di semua dataran tinggi di Indonesia. Lalat pengorok daun merupakan

hama yang sangat polifag yang ditunjukan dengan banyaknya tanaman yang dapat

diserang. Menurut Rauf dan Shepard (1999), hama ini ditemukan pada 45 spesies

tanaman dari Famili Cruciferae, Liliaceae, Cucurbitaceae, Umbelliferae,

Compositae, Amaranthaceae, Chenopodiaceae, Solanaceae, Euphorbiaceae,

Convolvulaceae, Basellaceae dan Labitaceae.

Serangan hama ini dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman karena

tusukan ovipositor imago dan korokan larva pada jaringan daun sehingga

menurunkan kemampuan fotosintesis tanaman. Serangan berat mengakibatkan

daun mengering dan gugur sebelum waktunya, sehingga kuantitas dan kualitas

umbi kentang menurun. Serangan hama ini dapat menurunkan hasil antara 30%

sampai 70% (Rauf & Shepard 1999).

Upaya pengendalian yang umum dilakukan petani adalah penggunaan

insektisida dengan fiekuensi penyemprotan 2-3 kali per minggu (Rauf 1999).

Namun tindakan tersebut sering tidak mampu menurunkan tingkat serangan.

karena lalat pengorok daun yang menyebar ini diduga berasal dari populasi yang

telah resisten (Parrella & Keil 1984), dan karena larva berada dalam jaringan

(80)

2

lain, penggunaan insektisida yang berlebihan dikhawatirkan dapat menimbulkan

dampak buruk seperti resistensi dan resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami,

dan pencemaran lingkungan secara umum ( CEQ 1972). Untuk mengurangi

dampak negatif insektisida, diperlukan upaya pengendalian melalui pendekatan

pengendalian hama terpadu (PHT).

Di antara rentetan penelitian yang telah dilakukan untuk mendukung

pengendalian hama terpadu lalat pengorok daun adalah survei musuh alami.

Hingga kini di Indonesia dilaporkan terdapat 13 jenis parasitoid yang berasosiasi

dengan larva Liriomyza spp. yaitu Ascecodes deluchii (Baucek), Crysocharis sp.,

Cirropillus ambiguus (Hanson and LaSalle), Closterocerus sp., Hemiptarsenus

varicornis (Girault), Neochrysocharis formosa (Westwood), Neochrysocharis sp.,

Pnigalio sp., Quadrastichus sp., Zagrammosoma sp. ( semuanya Hymenoptera:

Eulophidae), Gronotoma sp. (Hymenoptera: Eucoilidae), Opius sp. (Hymenoptera:

Braconidae) dan Sphegigaster sp. (Hymenoptera: Pteromalidae) (Rauf et al.

2000). Pada pertanaman sayuran dataran tinggi, jenis parasitoid yang paling

dominan adalah Hemiptarsenus varicornis dan Opius sp. (Supartha 1998; Subaidi

2002). Pengamatan pendahuluan menunjukkan bahwa Opius sp. adalah

endoparasitoid larva-pupa.

Keberhasilan pemanfaatan parasitoid dalam pengendalian hama terpadu

lalat pengorok daun sangat ditentukan oleh tersedianya pengetahuan dasar tentang

berbagai aspek biologi parasitoid tersebut dan hubungan antara parasitoid dengan

inangnya. Pengetahuan mengenai berbagai aspek biologi yang diperlukan antara

lain meliputi perilaku, siklus hidup, perkembangan, fisiologi, reproduksi dan cara

(81)

3

(1977) menyatakan bahwa untuk mempertinggi efisiensi pemanfaatan musuh

alami diperlukan pengetahuan mengenai biologi, ekologi dan jenis-jenis inang

serta hubungan antara inang dan parasitoid. Mengingat pengetahuan mengenai

aspek biologi Opius sp. masih sangat terbatas, perlu dilakukan pengkajian lebih

lanjut tentang aspek tersebut dalam menunjang keberhasilan pemanfaatan

parasitoid tersebut dalam pengendalian hama terpadu lalat pengorok daun kentang.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami biologi parasitoid Opius sp. yang

meliputi masa perkembangan, keperidian, masa hidup, nisbah kelamin, dan

preferensi terhadap inang.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) memberikan

informasi tentang biologi Opius sp. dalam pengendalian hama terpadu lalat

pengorok daun kentang, 2) mengetahui potensi Opius sp. sebagai agen

pengendalian lalat pengorok daun dan 3) mengetahui cara-cara penanganan Opius

sp. baik dalam pemeliharaan, pengembangbiakan rnaupun pemanfaatannya dalam

(82)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Liriomyza huidobrensis

L. huidobrensis termasuk Subfarnili Phytomyzinae, Famili Agromyzidae,

Ordo Diptera (Spencer & Steyskal 1986). Liriomyza dideskripsikan pertama kali

oleh Blanchard tahun 1926 dari tanaman Cineraria di Argentina (Parrella 1982)

Telur. Imago Liriomyza meletakkan telur dengan menyisipkannya di

bawah epikutikula permukaan daun bagian atas atau di atas epikutikula

permukaan daun bagian bawah. Telur berbentuk ginjal dengan warna agak

keputihan dan tembus pandang dengan ukuran 0,28 mm x 0,15 mm (Parrella

1987). Telur diletakkan satu persatu saling berdekatan satu sama lain dengan

lama stadium telur 2-3 hari. Selama hidupnya, imago betina mampu meletakkan

telur 42-30 1 butir (Supartha 1998).

Larva. Larva L. huidobrensis yang baru menetas langsung makan dan

berlanjut sampai keluar dari daun. Larva instar terakhir keluar dari daun menuju

ke tanah untuk berkepompong. Stadium larva berkisar 6- 12 hari, dengan

perincian instar -1 berkisar 2-4 hari, instar -2 berkisar 2-4 hari dan instar -3

berkisar 2-4 hari (Supartha 1998). Larva berbentuk silinder yang mengecil ke

depan menyerupai ternpayak. Ujung anterior tubuh pipih, sedangkan ujung

posterior terpancung. Larva bergerak melalui gerakan peristaltik dengan tekanan

hidrostatik kerangka luarnya (Parrella 1987).

Prapupa dan pupa. Periode di antara fase larva dan pembentukan

(83)

5

jam (Leibee 1984). Lama stadium pupa berkisar antara 8-1 1 hari (Parrella 1987).

Pada spesies L. huidobrensis berkisar antara 9- 12 hari (Supartha 1998)

Imago. Imago Liriomyza muncul dari bagian dorsal posterior puparium

yang prosesnya memerlukan waktu 5 menit sampai satu jam atau lebih. Kematian

imago sering terjadi selama proses tersebut. Imago yang baru muncul bersifat

fototaksis posistif dan naik ke batang tanaman. Ukuran tubuh imago betina lebih

besar daripada jantan dan muncul dari pupa yang lebih besar.

Gejala Serangan Liriomyza

Lalat pengorok daun L. huidobrensis menyebabkan kerusakan pada daun

tanaman karena tusukan ovipositor dan pengisapan cairan daun oleh imago.

Kerusakan yang lebih parah lagi akibat korokan larva Liriomyza dalam daun

tanaman menyebabkan daun menjadi kecoklatan karena matinya jaringan tanaman

(Cisneros & Mujica 2000). Sedangkan serangan pada daun kentang menyebabkan

tanaman mengering seperti gejala penyakit busuk daun (Rauf 1999).

Gejala serangan dimulai pada daun bagian bawah, kemudian daun bagian

tengah, dan serangan lebih parah dapat menyerang bagian pucuk (Cisneros &

Mujica 2000). Chavez dan Raman (1987) melaporkan bahwa di Amerika Serikat

dan Peru, serangan L. huidobrensis dapat mengakibatkan kehilangan hasil pada

kentang sekitar 35% sedangkan di Lembang kehilangan hasil sekitar 34%

(Soeriaatmadja & Udiarto 1996). Lebih lanjut dikemukakan oleh Rauf et al.

(2000) bahwa berdasarkan hasil survei di Bandung dan Garut (Jawa Barat), Banjar

(84)

6

Karo (Sumatera Utara), petani setempat melaporkan kehilangan hasil akibat

serangan Lyriomyza pada tanaman kentang sekitar 30 - 70%.

Biologi Parasitoid Braconidae

Famili Braconidae merupakan salah satu kelompok utama parasitoid yang

terdiri dari spesies-spesies yang sangat efektif untuk menekan kenaikan populasi

hama penting tanarnan (Wharton 1993). Opius fletcheri Silv. dan Opius tryoni

Cam. merupakan spesies dari Famili Braconidae yang mempunyai nilai tinggi

dalam pengendalian hayati lalat buah di Hawai. Parasitoid Braconidae dapat

bersifat endoparasotoid atau ektoparasitoid. Umumnya parasitoid endoparasitoid

terdapat pada inang yang hidup terbuka (Clausen 1940).

Menurut Goulet dan Huber (1933), serangga Famili Braconidae umumnya

merupakan serangga kecil yang berukuran jarang melebihi 15 mm. Sayap depan

serangga famili ini tidak mempunyai sel costa dan vena 2m-cu. Ciri-ciri lain dari

Famili Braconidae adalah tergum ke-2 metasoma bergabung dengan tergum ke-3.

Siklus hidup sebagian besar anggota Braconidae relatif singkat. Salah satu

contoh spesies pada Subfamili Microgasterinae, dalam setahun dapat

menghasilkan keturunan hingga beberapa generasi dengan stadia telur 2 sampai 5

hari, stadia larva 6 sampai 15 hari, dan stadia pupa 5 sampai 10 hari (Clausen

1940).

Telur. Pada umumya bentuk telur Famili Braconidae sederhana mulai dari

bentuk oval sampai hampir silindris, kadang-kadang seperti buah pir atau bentuk

yang memanjang dan menyempit kedua ujungnya yang termasuk ke dalam tipe

(85)

7

Braconidae adalah tipe mikro, pedikulat, bertangkai dan ensitiforma (Clausen

1940).

Larva. Menurut Hagen (1973), jumlah instar larva parasitoid mulai dari

instar pertama sampai instar terakhir sangat beragam tergantung dengan genus dan

spesiesnya. Selanjutnya Clausen (1940) mengelompokkan larva instar pertama

dalam 5 tipe yaitu himenopteriforma, mandibulata, kaudata, vesikulata dan

polipodeiforma Pada umumnya tubuh larva terdiri atas 13 ruas.

Larva instar terakhir spesies-spesies yang tergolong Braconidae memiliki

bentuk umum dengan beberapa ciri yang membedakan. Bentuk umum larva instar

terakhir itu adalah tipe himenopteriforma (Clausen 1940)

Pupa. Pupa Hymenoptera parasitoid bertipe eksarata yang berkokon atau

tidak berkokon. Parasitoid yang larvanya hidup di dalam inang atau pada inang

yang hidup tersembunyi membuat atau tidak membuat kokon sedang parasitoid

yang menyerang inang yang hidupnya terbuka umumnya membuat kokon (Clausen

1940; Hagen 1973).

Imago. Hymenoptera parasitoid jantan dan betina yang baru keluar dari

pupa dapat segera melakukan kopulasi bila keluar secara bersamaan (Doutt 1973).

Namun pada beberapa spesies kopulasi kadang-kadang terjadi setelah beberapa

hari keluar dari pupa.

Beberapa spesies Hymenoptera parasitoid mengalami periode praoviposisi,

yaitu selang waktu sejak imago betina keluar dari pupa hingga saat peletakkan

telur pertama (Doutt 1973). Periode praoviposisi umumnya singkat, hanya

(86)

8

meletakkan telurnya pada saat hari yang sama setelah imago betina keluar dari

Pupa.

Pemilihan Inang oleh Parasitoid

S.ebagian besar parasitoid Hymenoptera dapat memarasit beberapa jenis

inang dan hanya sedikit spesies yang spesifik memarasit satu spesies inang.

Parasitoid yang spesifik tersebut, pada kondisi laboratorium bahkan juga sering

dapat dipelihara pada inang lain yang secara alamiah bukan merupakan inang

karena adanya hambatan waktu dan ruang yang memisahkannya. Kenyataan

bahwa parasitoid dapat dibiakkan di laboratorium dengan serangga bukan inang

alamiah menjadi penting dalam pembiakkan masal parasitoid (Doutt 1959).

Menurut Doutt (1959) terdapat empat tahapan yang harus dilewati agar

parasitoid berhasil memarasit inangnya, yaitu 1) penemuan habitat inang, 2)

penemuan inang, 3) penerimaan inang, dan 4) kesesuaian inang. Selanjutnya

Vinson (1 976) menambahkan pengaturan inang sebagai tahap yang kelima karena

keberhasilan parasitisme juga ditentukan oleh kemampuan parasitoid dalam

mengatur fisiologi inangnya.

Dalam penemuan habitat inang, parasitoid terutama dipandu oleh

rangsangan kimia yang berasal dari senyawa-senyawa volatil. Rangsangan

tersebut dapat berupa bau yang berasal dari makanan atau tanaman yang terluka

atau yang rusak, organisme yang berasosiasi dengan inang atau inang itu sendiri.

Tanaman merupakan isyarat utama karena tanaman mempunyai peran yang

dominan dalam mendukung suatu habitat yang khas. Akibatnya, suatu parasitoid

(87)

inang. Parasitoid kadang-kadang juga memarasit inang yang terdapat pada jenis

tanaman tertentu dan tidak pada jenis tanaman yang lain (Vinson 198 1).

Penemuan inang oleh parasitoid dipandu oleh rangsangan fisik dan kimia.

Rangsangan fisik yang berperan terutama suara dan gerakan. Rangsangan kimia

dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, rangsangan kimia yang dapat

diterima dari jarak jauh misalnya bau inang. Rangsangan yang diterima

memungkinkan parasitoid untuk melokalisasi areal pencarian inang. Kedua,

rangsangan kimia yang dapat dideteksi hanya dari jarak dekat, yaitu setelah terjadi

kontak fisik. Rangsangan ini biasanya berasal dari senyawa-senyawa padat atau

cair misalnya kotoran inang, sekresi dari kelenjar labium inang, produk inang lain

dan bekas parasitoid lain. Adanya rangsangan ini memungkinkan terjadinya

kontak antara parasitoid dengan inangnya yang dicirikan oleh perilaku pengujian

oleh parasitoid berupa pergerakan memutar dengan cepat dan perubahan

kecepatan pergerakan. Faktor lain yang ikut menentukan penemuan inang adalah

pengalaman dan perilaku orientasi parasitoid (Weseloh 198 1).

Penerimaan inang atau pengenalan inang adalah proses diterima atau

ditolaknya inang untuk peletakkan telur setelah terjadi kontak (Arthur 1981).

Proses tersebut dibagi dalam empat fase yaitu:l) kontak dan pemeriksaan, 2)

penusukan dengan ovipositor, 3) pemasukan ovipositor dan 4) peletakan telur.

Keempat fase tersebut harus lengkap dan berurutan sehingga bila terjadi hambatan

pada salah satu fase, proses dimulai lagi dari awal.

Seperti halnya tahap sebelumnya, penerimaan inang juga dipandu terutama

oleh rangsangan fisik dan kimia. Selain itu, pengalaman parasitoid sebelumnya,

(88)

10

peneriman inang. Rangsangan fisik yang berperan adalah kondisi fisik inangnya

seperti ukuran, bentuk, tekstur atau bentuk perrnukaan, warna dan kandungan air.

Rangsangan lainnya adalah pergerakan inang misalnya kegiatan makan inang dan

perkembangan embrio dalam telur. Rangsangan kimia dapat berasal dari senyawa-

senyawa yang terdapat di luar dan di dalam tubuh inang yang dapat dideteksi

dengan antena, tarsi atau ovipositor. Senyawa-senyawa tersebut dapat

disekresikan melalui kutikula, diekskresikan bersama-sama kotoran atau terdapat

pada jaringan-jaringan tertentu dalam tubuh inang (Arthur 198 1).

Kesesuaian inang yang menentukan keberhasilan perkembangan parasitoid

sampai menjadi imago tergantung pada beberapa faktor, yaitu: 1) kemampuan

parasitoid dalam menghindari atau melawan sistim pertahanan inang, 2) kompetisi

dengan parasitoid lain, 3) adanya toksin yang mengganggu atau merusak telur atau

larva parasitoid, dan 4) kesesuaian makanan parasitoid. Faktor lain yang

berpengaruh adalah infeksi patogen, kerentanan inang, faktor lingkungan dan

pengaruh hormon-hormon pengendali serangga (Vinson dan Iwantsch 1980)

Reproduksi dan Penentuan Nisbah Kelamin

Proses produksi telur serangga Hymenoptera dibagi dalam dua kelompok

yaitu sinovigenik dan proovigenik (Doutt 1959; 1973). Pada serangga sinovigenik

telur diproduksi selama hidup imago betina. Banyaknya telur yang diproduksi

lebih tergantung pada makanan imago betina dibanding metabolit yang disimpan

pada stadia pradewasa. Pada serangga proovigenik imago betina yang baru

muncul mengandung telur yang telah matang dan tidak menghasilkan telur lagi

(89)

1 1

Reproduksi pada serangga Ordo Hymenoptera berlangsung secara

partenogenetik. Terdapat tiga tipe reproduksi, yaitu teliotoki, deuterotoki dan

arenotoki. Arenotoki merupakan tipe reproduksi yang paling umum pada

Hymenoptera, sedangkan teliotoki dan deuterotoki hanya terjadi pada beberapa

spesies (Doutt 1959).

Pada arenotoki, telur dapat berkembang baik secara partenogenetik

maupun melalui pembuahan. Telur yang dibuahi menjadi diploid dan akan

berkembang menjadi individu-individu betina, sedangkan telur yang tidak dibuahi

tetap haploid dan akan berkembang menjadi individu jantan (Clausen, 1940).

Pada imago betina dari sebagian besar anggota Ordo Hymenoptera terdapat

spermateka yang berfungsi sebagai organ penyimpan sperma yang diterima ketika

kopulasi (Doutt 1973). Jenis kelamin individu ditentukan selama proses peletakan

telur, yaitu ada atau tidaknya pengeluaran sperrna ketika telur melewati muara

spermateka. Oleh karena itu, nisbah kelamin spesies serangga yang demikian

sering sangat beragam dan berfluktuasi tergantung pada kondisi lingkungan.

Faktor-faktor lingkungan sangat berpengaruh pada perilaku imago betina termasuk

perilaku peletakkan telur dan pengaturan pengeluaran sperma yang akhirnya dapat

menentukan jensi kelamin keturunannya. Nisbah kelamin suatu spesies parasitoid

yang berfluktuasi dapat menjadi kendala penggunaan spesies tersebut dalsun

program pengendalian hayati, baik dalam pembiakan massal di laboratorium

maupun dalam kolonisasi.

Proporsi jantan dan betina (nisbah kelamin) keturunan parasitoid

ditentukan oleh beberapa faktor seperti suhu, umur imago, kesesuaian nutrisi,

(90)

12

Iwantsch 1980). Flanders (1946) menekankan faktor instrinsik dan ekstrinsik

yang mempengaruhi nisbah kelamin serangga arenotoki. Faktor intrinsik nisbah

kelamin ditentukan oleh: 1) jumlah telur yang d.iletakkan pada setiap peletakan

inang, 2) banyaknya telur dalam ovari yang siap untuk diletakkan, dan 3)

perbedaan kecendrungan kelamin pada perkembangan poliembrionik. Faktor

ekstrinsik yang mempengaruhi nisbah kelamin adalah: 1) perbedaan mortalitas

selama masa perkembangan, 2) interval kawin setelah imago muncul dari pupa,

terutama perbandingan telur yang diletakkan sebelum dan sesudah kawin, 3)

terlalu sering kawin, 4) adanya perbedaan tanggap peletakkan telur sesudah dan

sebelum kawin, 5) adanya unsur pemilihan tempat peletakan telur, dan 6)

kecepatan peletakkan telur,

Pengaruh Instar Inang

Fase perkembangan inang dapat mempengaruhi proses penemuan inang

dan penerimaan inang (Hendrikse et al. 1980; Van Alphen & Drijver 1982). Fase inang juga mempengaruhi kesesuaian parasitoid dan kemarnpuan parasitoid untuk

berhasil dalam pengaturan inangnya (Vinson & Iwantsch 1980; Beckage 1985;

Lawrence 1986). Parasitisasi pada instar inang yang berbeda dan ukuran inang

yang berbeda mempengaruhi kebugaran dan jumlah parasitoid (Hendrikse et al.

1980; Van Alphen & Drijver 1982), nisbah kelamin (King 1989), masa

perkembangan (Lawrence et al. 1976) atau ukuran parasitoid (Lawrence et al.

1976; Liu 1985). Ukuran parasitoid juga berkorelasi yang positif dengan jumlah

telur yang dihasilkan dan effisiensi dalam kemampuan mencari dan memarasit

(91)

13

Wietlisbach (1993), menunjukkan bahwa 0. dissitus Muesebeck lebih tertarik

memarasit inang instar lanjut. Bila parasitoid memarasit instar lanjut maka akan

menghasilkan masa perkembangan lebih singkat dan nisbah kelamin

keturunannya berbias ke arah jantan.

Biologi Opius sp.

Parasitoid Opius sp. merupakan endoparasit larva-pupa. Studi biologi dan

morfologi 0. dissitus pada inang L. trfolii telah diteliti oleh Bordat et al. 1995

dan 0. melleus Gahan pada larva lalat buah Famili Tephritidae (Lathrop &

Newton 1933)

Telur 0. dissitus berbentuk lonjong dengan warna putih dan tembus

pandang. Ukuran telur rata-rata 0,22 mm dan lama stadium telur 1-3 hari (Bordat

et al. 1995), sedangkan 0. melleus lama stadium telur lebih panjang yakni 3-6 hari

(Lathrop & Newton 1933). Setelah telur diletakkan, telur mengalami

pertumbuhan dan perkembangan di dalam tubuh inang.

Larva 0. dissitus terdiri atas dua instar, dengan ukuran masing masing 0,47

mm dan 0,99 mm, sedangkan 0. melleus dan Diachasma tryoni (Hyrnenoptera :

Braconidae), larva terdiri atas empat instar (Pemberton & Willard 191 8; Lathrop

& Newton 1933; Bordat et al. 1995). Larva instar satu mempunyai bagian kapsul

kepala yang kokoh dengan dua pengait yang runcing, tubuhnya ramping dan pada

ujungnya terlihat kasar. Larva instar dua berbentuk bulat, dimana pengaitnya telah

hilang dan berada dalam pupa inang yang panjang dengan warna putih krem

(92)

Pembentukan pupa ditandai dengan terbentuknya tonjolan tungkai dan

antena yang dapat dibedakan dengan mudah dari bentuk larva. Bagian tubuh,

kepala, toraks dan abdomen dapat terlihat jelas. Awalnya pupa berwarna kuning

pucat dan lama kelamaan bewarna gelap. Tubuh pupa yang berusia lanjut

berwarna hitam dengan ukuran 1,52 mm (Bordat et al. 1995), dan pembentukan

pupa terjadi di dalam tubuh inang (Pemberton & Willard 1918).

Imago 0. dissitus berwarna hitam, dengan ukuran yang hampir sama antara

jantan dan betina, yaitu rata-rata 1,50 mm dan 1,49 mm. Jantan dan betina sulit

dibedakan dengan mata biasa. Antena imago panjang, hitam, dan panjangnya

hampir sama dengan tubuhnya (Bordat et al. 1995). Pada 0. melleus ovipositor

relatif panjang dan merupakan ciri khasnya (Lathrop & Newton 1933).

0. dissitus betina yang baru muncul langsung menusukkan ovipositomya

ke dalam rongga tubuh larva inang tanpa mematikan atau melumpuhkannya.

Larva inang terparasit tetap hidup dan mengorok daun hingga menjadi pupa. dan

telur parasitoid tetap berkembang di dalam tubuhnya sampai keluar menjadi imago

(Bordat et al. 1995). Clausen (1940) melaporkan bahwa imago betina 0. .".

(93)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di insektari Jurusan Hama dan Penyakit

Tumbuhan, Fakultas Pertanian

-

IPB, dan berlangsung sejak Oktober 2001 hingga

Juni 2002. Selama penelitian berlangsung suhu di insektari berkisar antara 23-25

"C dan kelembaban udara 63-70%. Pencahayaan di insektari menggunakan lampu

neon 40 W yang ditempatkan pada ketinggian 30 cm dari bagian atas kurungan,

dengan 16 jam gelap dan 8 jam terang bergantian.

Pemeliharaan Tanaman

Tanaman inang yang digunakan untuk membiakkan L. huidobrensis adalah

kacang merah (Vigna sinensis (L.) Hassk). Benih kacang merah ditanam dalam

polibag (tinggi 20 cm, diameter 13 cm) dengan menggunakan medium tanah yang

dicampur pupuk kandang dengan perbandingan 3:l. Bibit tanaman disiram setiap

hari agar tumbuh dengan baik. Untuk keperluan pembiakan serangga digunakan

bibit yang berumur delapan hari, yaitu yang memiliki dua helai daun yang telah

berkembang sempurna.

Pembiakan Lalat Pengorok Daun

Serangga inang yang digunakan dalam penelitian ini adalah L. huidobrensis

yang berasal dari populasi pertanaman organik di Cianjur, Jawa Barat. Lalat

pengorok daun ini dibiakan dalam kurungan berkerangka kayu yang berukuran

panjang 80 cm, lebar 40 cm dan tinggi 65 cm (selanjutnya disebut kurungan

(94)

meletakkan tanaman. Bagian samping kurungan terbuat dari kain kasa, sedangkan

bagian depan dan belakang serta atas terbuat dari lembaran plastik bening. Pada

bagian depan terdapat pintu untuk memasukkan tanaman dan serangga (Gambar

1 ).

Gambar 1. Kurungan pembiakan L. huidobrensis dan Opius sp.

Ke dalam kurungan pembiakan dimasukkan delapan polibag tanaman

kacang merah, dan selanjutnya dimasukkan populasi lalat pengorok daun hasil

pengumpulan dari lapangan. Setelah 24 jam, tanaman yang telah diteluri oleh lalat

pengorok daun dikeluarkan dan diganti dengan tanaman yang baru. Selama dalam

pembiakan, lalat diberi pakan larutan madu 10% yang diresapkan pada kapas yang

digantung dengan benang pada atap kurungan.

Tanaman yang telah diteluri oleh imago L. huidobrensis dimasukkan ke

dalam kurungan pembiakan lain yang bebas serangga, dan dipelihara hingga telur

menetas menjadi larva. Menjelang larva keluar dari korokan untuk

berkepompong, tangkai daun dipotong dan daun kemudian disimpan dalam wadah

[image:94.580.143.455.200.378.2]
(95)

17

muncul dan terkumpul pada wadah plastik bercorong lalu digunakan lagi untuk

pembiakan. Sebagian dari tanaman yang telah terinfestasi larva pengorok

digunakan untuk pembiakan parasitoid seperti diuraikan di bawah ini. .

Pembiakan Parasitoid

Parasitoid Opius sp. diperoleh dari pengumpulan larva L. huidobrensis

pada pertanaman kentang di Kecamatan Pengalengan, Bandung-Jawa Barat.

Parasitoid dipelihara dalam kurungan pembiakan, dan diberi larutan madu 10%

sebagai pakan. Ke dalam kurungan kemudian dimasukkan sebanyak delapan

polibag tanaman kacang merah yang daunnya telah terinfestasi larva L.

huidobrensis instar-3. Setelah 24 jam tanaman dikeluarkan dari kurungan dan

diganti dengan tanaman yang baru. Larva instar-3 yang telah diparasit oleh Opius

sp. dimasukkan ke dalam kurungan pembiakan lain yang bebas serangga. Setelah

larva membentuk prapupa, yang ditandai dengan keluarnya larva dari korokan,

tanaman kacang merah dipotong dan dimasukkan ke dalam wadah plastik

bercorong sampai imago parasitoid keluar.

Perkembangan Pradewasa

Delapan tanaman kacang merah yang ditumbuhkan pada polibag yang

daunnya telah terinfestasi larva instar-3 L. huidobrensis dimasukkan ke dalam

kurungan pembiakan parasitoid. Setelah enam jam, tanaman dikeluarkan dan

dipindahkan ke kurungan lain yang bebas dari lalat pengorok maupun parasitoid.

Setiap hari dilakukan pembedahan terhadap 15 larva atau pupa inang untuk

(96)

18

warna, dan ukuran dari tiap fase pradewasa parasitoid. Pembedahan dilakukan di

bawah mikroskop binokuler dengan bantuan jarum mikro bertangkai.

Keperidian, Masa Hidup Imago, dan Nisbah Kelamin

Percobaan dilaksanakan dalam kurungan yang berupa kotak plastik

berukuran panjang 20 cm, lebar 20 cm, dan tinggi 30 cm (selanjutnya disebut

[image:96.582.159.457.292.493.2]

kurungan percobaan). Bagian depan kurungan (pintu) terbuat dari kain kasa

(Gambar 2).

Gambar 2. Kurungan percobaan Opius sp.

Sepasang imago parasitoid yang baru keluar dari pupa dimasukkan ke

dalam kurungan. Parasitoid diberi pakan larutan madu 10% dengan cara dioleskan

pada dinding kurungan. Ke dalam kurungan kemudian dimasukkan tanaman

kacang merah yang daunnya telah terinfestasi larva L. huidobrensis instar-3

dengan populasi berkisar 40-50 larva. Setiap hari tanaman diganti dengan yang

baru. Tanaman dipotong pada pangkal batang kemudian diletakkan pada wadah

(97)

19

plastik) yang telah berisi air. Setelah 24 jam tanaman inang dikeluarkan dari

kurungan dan diganti dengan tanaman inang yang baru. Pergantian tanaman inang

. dilakukan setiap hari sampai imago betina mati. Imago jantan yang masih hidup

diberi pakan larutan madu 10%. Banyaknya telur yang diletakkan dihitung dengan

cara menbedah larva inang setiap hari. Dihitung masa hidup imago betina dan

jantan. Percobaan diulang pada 10 imago betina.

Penentuan nisbah kelamin didasarkan pada prosedur yang sama dengan

percobaan keperidian, kecuali telur dibiarkan berkembang hingga menjadi imago.

Untuk maksud tersebut, daun kacang merah dengan larva instar-3 yang telah

diparasit dipotong dan dimasukkan ke dalam wadah plastik yang telah dialas

dengan kertas tissu. Banyaknya imago jantan dan betina keturunan yang muncul

dicatat. Percobaan diulang pada 10 imago betina.

Preferensi Terhadap Instar Larva

Ke dalam kurungan percobaan secara terpisah dimasukkan tanaman yang

terinfestasi larva instar-1 (umur 3 hari), instar-2 (4 hari), dan instar-3 (5 hari),

masing-masing sebanyak 40-50 larva sebagai perlakuan. Sepasang imago

parasitoid berumur 2 hari kemudian dimasukkan ke dalam kurungan. Pelepasan

parasitoid dilakukan dengan meletakkan tabung kaca (panjang 5 cm, diameter 1

cm) yang berisi imago pada posisi di tengah-tengah dari ketiga perlakuan. Imago

parasitoid diberi pakan larutan madu 10% dengan mengoleskannya pada dinding

kurungan. Setelah 24 jam tanaman inang dikeluarkan. Larva kemudian dibedah

untuk menentukan banyaknya telur yang diletakkan pada setiap instar. Diseksi

(98)

20

bertangkai. Disamping itu, diamati juga perilaku parasitoid mulai dari pencarian

inang sampai peletakkan telur pada inang. Percobaan menggunakan rancangan

acak lengkap (RAL) dengan 1 0 ulangan. -

Pengaruh Instar Inang

Secara terpisah ke dalam tiap kurungan percobaan dimasukkan tanaman

kacang merah dengan dua helai daun yang telah terinfestasi larva instar-1, -2, dan

-3 masing-masing sebanyak 40-50 larva sebagai perlakuan. Sepasang imago

parasitoid yang berumur 2 hari kemudian dimasukkan ke dalam tiap kurungan

percobaan. Imago parasitoid diberi pakan larutan madu 10% yang dioleskan pada

dinding kurungan. Setelah 24 jam tanaman kacang merah dikeluarkan dari

kurungan, tangkai daun dipotong dan helai daun kemudian dimasukkan ke dalam

wadah plastik yang dialasi kertas tissu. Masing-masing perlakuan diulang lima

kali. Menjelang kemunculan imago, setiap hari dilakukan pengamatan terhadap

banyaknya keturunan parasitoid yang muncul dan jenis kelaminnya. Selain itu

dicatat pula masa perkembangan pradewasa.

Analisis Data

Data pengamatan dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji

(99)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Fase Pradewasa

Telur

Secara umum bentuk dan ukuran pradewasa Opius sp. yang diamati dalam

penelitian ini hampir sama dengan yang diperikan oleh Bordat et al. (1995) pada

0. dissitus. Berdasarkan pembedahan inang didapatkan bahwa telur Opius sp.

berbentuk lonjong, dengan salah satu bagian ujungnya sedikit lebih membesar

dibandingkan ujung yang lain. Bentuk telur yang demikian tergolong tipe

himenopteriforma (Hagen 1973). Telur berukuran panjang 0,26 f 0,03 mm (Tabel

l), dan berwarna bening transparan (Gambar 3). Telur mengalami pertumbuhan

dan perkembangan setelah diletakkan dalam inang. Dalam ha1 ini sesuai dengan

keterangan Clausen (1940) bahwa pertumbuhan telur terutama dapat terjadi pada

endoparasitoid Famili Braconidae. Telur Opius sp. pada hari ke dua mengalami

pertumbuhan dan perkembangan dengan pertambahan panjang 1,5 kali (0,26

+

0,03 : 0,39

+

0,03) dan penambahan lebar 1,7 kali (0,lO

+

0,Ol: 0,17

+

0,Ol) di

bandingkan hari pertama telur diletakkan (Lampiran 1).

Tabel 1. Ukuran dan masa perkembangan pradewasa Opius sp.

Fase perkembangan Panjang (mm) - Masa perkembangan (hari) -

x + S D x + S D

Telur 0,26 f 0,03 2,OO f 0,OO

Larva (instar- 1) 0,61 f 0,02 1,33

+

0,48

Larva (instar -2 s/d -4) 1,55 f 0,15 4,33 f 0,75

[image:99.575.88.486.563.680.2]
(100)

Gambar 3. Telur Opius sp. pada hari pertama diletakkan

Lawa

Larva instar-1 transparan dan bersifat motil. Bagian kepala tersklerotisasi

dengan baik dan dalam rongga mulut terlihat jelas adanya sepasang mandibel.

Bagian kepala ini tampak jelas berbeda dengan bagian abdomen. Ruas-ruas

abdomen tampak jelas, dengan ruas terakhir menyempit menyerupai ekor (Gambar

4). Bentuk larva yang demikian tergolong tipe kaudata (Hagen 1973). Larva

instar-1 berukuran panjang 0,61 rt 0,02 mm, dan masa perkembangannya 1,33

+

0,48 hari.

Instar berikutnya memiliki bentuk yang sangat berbeda dengan instar-1.

Bagian kepala kecil dan tidak tampak jelas, serta pada ujung abdomen tidak

terdapat kauda. Secara umum larva instar lanjut benvarna putih susu (Gambar 5).

Pengamatan pada hari ke-5 setelah telur diletakkan, larva berukuran panjang 1,55

+

0,15 mm. Dalam penelitian ini tidak dapat ditentukan secara pasti banyaknya [image:100.582.165.463.76.249.2]
(101)

23

pada 0. melleus (Lathrop & Newton 1933). Masa perkembangan larva lanjut

[image:101.582.144.463.152.343.2]

(instar-2 s/d -4) berlangsung selama 4,33

+

0,75 hari.

Gambar 4. Larva instar-1 Opius sp

Gambar 5. Larva instar akhir Opius sp.

Pupa

tubuh

Pupa berukuran panjang 1,62

+

0,17 mm. Sebelum membentuk
(102)

24

dan toraks yang merupakan bakal embelan tubuh parasitoid. Mula-mula pupa

benvarna kuning, kemudian berubah menjadi kuning kecoklatan. Setelah pupa

terbentuk sempurna, warna tubuh berubah menjadi coklat kehitaman (Gambar 6 ) .

Masa perkembangan pupa berlangsung 5,93 f 0,59 hari. Dengan demikian, waktu

yang diperlukan sejak telur diletakkan hingga imago parasitoid muncul sekitar

[image:102.580.144.466.251.435.2]

1339 hari.

Gambar 6 . Pupa Opius sp.

Masa Hidup Imago dan Keperidian

Imago parasitoid keluar dengan cara merobek puparium inang. Rataan

ukuran panjang imago jantan (Gambar 7) dan betina (Gambar 8) berturut-turut

adalah 1,72

+

0,13 mm dan 1,80

+

O,11 mm. Dengan bantuan mikroskop, imago

betina dapat dibedakan dari jantan dengan adanya ovipositor (0,20 rt 0,01 mm)

(103)
[image:103.575.160.463.76.254.2] [image:103.575.153.464.297.495.2]

Gambar 7. Imago jantan Opius sp.

Gambar 8. Imago betina Opius sp.

Kepala, mesosoma dan metasoma bewarna hitam. Pada bagian kepala

terdapat antena bewarna hitam kecuali pada bagian pangkal ruas pertama flagelum

yang bewarna kuning kecoklatan. Maksila bewarna kuning kecoklatan. Antena

imago jantan terdiri dari 23 ruas sedangkan antena betina terdiri dari 25 ruas

(104)

Tungkai bewarna kuning kecoklatan namun pada bagian tarsus warnanya

sedikit lebih gelap. Sayap mempunyai ciri tidak mempunyai costa dan vena 2m-

cu. Bagian metasoma terdiri dari 7 ruas dengan ruas tergum 2 dan 3 menyatu.

Imago jantan umumnya muncul lebih awal dari pada imago betina.

Pengamatan tambahan terhadap sekelompok telur yang diletakkan pada hari yang

sama menunjukkan bahwa dari 28 ekor imago yang muncul pada hari pertama,

sebanyak 85,71 % adalah jantan dan sisanya betina (Gambar 9). Hal ini sejalan

pula dengan data masa perkembangan pradewasa jantan yang lebih singkat seperti

disajikan pada Tabel 5 di akhir tulisan.

-e- Jantan

-+

Betina

50 -

13 14 15 16 17 18 Pengamatan hari ke

Gambar 9. Pola pemunculan imago jantan dan betina

Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara masa hidup imago jantan

(13,90

+

6,37 hari) dengan betina (10,80

+

4,24 hari) (t = -1,28; db = 18; P =

0,2 16). Masa praoviposisi berlangsung 0-3 hari dengan rataan 0,70 hari. Masa

[image:104.575.103.477.325.547.2]
(105)

Keperidian berkisar antara 49-187 dengan rataan 109,20

+

51,35 butir, dan laju

peletakan telur adalah 11,78

+

1,75 butir per hari.

Tabel 2. Keperidian dan masa peneluran Opius sp.

la+:,- Banyaknya telur yang diletakkan Masa peneluran Laju peneluran

(butir) (hari) (butir 1 hari)

Rataan: 109,20 It 51,35 9,30 It 4,22 1 1,78

+

1,75

Berdasarkan kohor (10 betina), proporsi individu yang bertahan hidup (I,)

menurun tajarn sejak imago berumur 6 hari (Gambar 10, Lampiran 2). Kurva 1,

yang mendatar pada selang usia 11-16 hari disebabkan oleh adanya tiga individu

betina yang mampu hidup lebih lama. Banyaknya telur yang diletakkan per induk

(m,) meningkat pada saat imago berusia 3 dan 4 hari, dan setelah itu menurun.

Kurva m, meningkat lagi pada hari ke-12 dan 14, karena ketiga imago tadi masih

[image:105.575.105.483.167.416.2]
(106)
[image:106.575.133.451.85.310.2]

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Umur imago (hari)

Gambar 10. Kurva sintasan dan keperidian betina Opius sp.

Banyaknya Keturunan dan Nisbah Kelamin

Banyaknya imago keturunan yang dihasilkan per induk betina parasitoid

berkisar antara 67-182 dengan rataan 113,O

+

43,06 ekor (Tabel 3). Nilai ini tidak

berbeda nyata dengan nilai rataan banyaknya telur yang diletakkan (109,2) seperti

yang tercantum pada Tabel 2 sebelumnya (t = -0,18; db = 18; P = 0,860). Hal ini

mengisyaratkan bahwa pada keadaan inang berlimpah tidak terjadi

superparasitisme, banyaknya imago keturunan yang dihasilkan dapat digunakan

untuk menduga tingkat keperidian parasitoid.

Superparasitisme terjadi pada keadaan jumlah inang yang tidak mencukupi

untuk diparasit (Godfray 1994). Untuk menghindari terjadinya superparasitisme

pada percobaan ini digunakan jumlah inang yang berlimpah. Hasil pengamatan

terhadap larva terparasit pada kurungan pembiakan di insektari, terdapat

(107)

jumlah larva parasitoid instar -1 sebanyak 2

-

4 larva per inang, bahkan ditemukan

juga 11 larva per inang.

Tabel 3. Banyaknya keturunan dan nisbah kelamin Opius sp.

Banyaknya imago

Betina Nisbah kelamin

keturunan yang dihasilkan (% jantan)

Rataan: 1 13,OO

+

43,06 26,53

+

12,27

Nisbah kelarnin, yang dinyatakan dengan persentase jantan, berkisar antara

11,94-45,86% dengan rataan 26,53 f 12,27%, dan berbeda nyata dengan nisbah

teoritis 1:l (t = -6,lO; P < 0,001). Nisbah kelamin yang bias betina pada

Hymenoptera juga dilaporkan oleh beberapa peneliti lain (Wylie 1976, Donaldson

& Walter 1984, Mazanec 1988), sebagai akibat sistem reproduksi arenotoki pada

betina yang kawin (Crozier 1977). Pada pola reproduksi tadi, telur berkembang

secara partenogenetik atau zigogenetik tergantung pada terjadi atau tidaknya

pembuahan. Alokasi jenis kelamin pada tiap individu keturunannya dipengaruhi

oleh kondisi inang (Flanders 1946). Dalam penelitian ini digunakan larva instar-3

[image:107.584.100.490.166.423.2]
(108)

30

parasitoid untuk mengalokasikan lebih banyak jenis kelamin betina pada

keturunannya (Charnov & Skinner 1985).

Preferensi Terhadap Instar Larva

Pemilihan inang seperti ditunjukkan oleh banyaknya telur yang diletakkan

dipengaruhi oleh fase perkembangan inang. Banyaknya telur yang diletakkan oleh

betina Opius sp. secara nyata lebih tinggi pada larva instar-3 (6,25 butir)

dibandingkan pada instar-2 (1,63 butir), sedangkan pada larva instar-1 sama sekali

tidak ditemukan telur parasitoid (Tabel 4) (F = 37,20; db = 2, 21; P < 0,001).

Perbedaan preferensi peletakan telur ini dapat disebabkan oleh perbedaan stimulus

fisik yang dihasilkan oleh setiap instar inang. Beberapa penelitian membuktikan

peranan stimulus vibrasi yang dihasilkan oleh larva pengorok daun dalam

penemuan inang oleh parasitoid (Meyhofer et al. 1994, Casas et al. 1998).

Dilaporkan bahwa rendahnya vibrasi yang dihasilkan oleh larva pengorok daun

Phytonzyza ranunculi Schrank (Diptera: Agromyzidae) yang berukuran kecil

menyebabkan inang lebih sulit ditemukan oleh parasitoid Kratochviliana sp.

(Hymenoptera: Eulophidae) (Sugimoto 1977). Selain itu, secara visual ukuran

korokan yang besar dari larva instar-3 diduga lebih mudah dijumpai oleh

parasitoid daripada korokan yang kecil (Petitt & Wietlisbach 1993). Stimulus

kimia juga dilaporkan berperanan dalam penemuan inang. Parasitoid 0. dissitus

lebih tertarik pada tanaman kacang yang terinfestasi L. sativae Blanchard dari

pada yang tidak (Petitt et al. 1992). Preferensi Opius sp. terhadap instar lanjut L.

(109)

Tabel 4. Rataan banyaknya telur parasitoid yang diletakkan pada tiga instar inang

Instar larva Rataan banyaknya telur yang diletakkan (butir)

1 0,00 a

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (DMRT, a = 0,05); data ditransfonnasi dengan V (x+0,5) sebelum dilakukan analisis

Perilaku pencarian inang imago parasitoid Opius sp. yang diinokulasikan

ke dalam kurungan percobaan yang berisi inang larva instar-1, instar -2 dan instar

-3 yang berada dalam korokan daun kacang, mula-mula parasitoid terbang ke

dinding kurungan. Parasitoid berjalan pada dinding kurungan sambil mengerak-

gerakan antenanya, dan suatu waktu berhenti lalu menekukkan abdomennya ke

dinding kurungan. Kemudian parasitoid mengisap cairan madu yang dioleskan

pada dinding kurungan. Sesaat kemudian, parasitoid terbang menuju daun tempat

inang berada dan mulai melakukan pencarian inang. Setelah menetap pada daun

tanaman, parasitoid mulai bergerak secara acak mengelilingi daun dari bagian atas

sampai ke bagian bawah sambil menyentuhkan antena pada permukaan daun

tanaman dan sesekali parasitoid menekukkan abdomennya pada permukaan daun

tanaman sampai parasitoid menemukan inangnya. Antena sangat berperan sekali

bagi parasitoid sebagai indera pendeteksi dalam pencarian inang. Menurut

Susanto (1985) pemotongan antena pada Inareolata sp. (Hymenoptera:

Ichneumonidae) parasitoid larva Crocidolomiu binotalis Zell menyebabkan

kegagalan parasitoid dalam pencarian inang.

Intensitas sentuhan antena pada permukaan daun meningkat pada saat

[image:109.584.109.488.87.195.2]
(110)

pemeriksaan korokan inang dengan menelusuri korokan dan sesekali menusukkan

ovipositornya ke dalam korokan secara singkat. Pada saat inang telah ditemukan,

parasi'toid bergerak mengitari inang untuk melakukan pemeriksaan apakah inang

diterima atau tidak. Penerimaan inang ditentukan oleh faktor fisik inang seperti

ukuran dan getaran yang dihasilkan oleh pergerakan inang (Arthur, 1981). Setelah

parasitoid merasa inang ini telah dapat diterima untuk diletaki telur, parasitoid

menekukkan abdomennya ke arah inang dan dilanjutkan dengan penusukan

ovipositor selanjutnya peletakan telur ke dalam tubuh inang. Proses parasitisasi ini

berlangsung lebih kurang 30 detik dan parasitoid berada dalam keadaan diam

tanpa bergerak sama sekali. Setelah meletakkan telur pertama, parasitoid mulai

lagi mencari inang selanjutnya untuk meletakkan telur berikutnya.

Setelah parasitoid memarasit beberapa inang, parasitoid terbang ke dinding

kurungan untuk melakukan pengisapan cairan madu untuk mendapatkan tambahan

energi bagi proses pencarian inang selanjutnya. Pengalaman parasitoid dalam

proses pencarian inang berikutnya lebih singkat dari sebelumnya.

Pengaruh Instar Inang

Instar hang berpengaruh nyata terhadap masa perkembangan pradewasa

parasitoid (Tabel 5). Pada inang instar-3 masa perkembangan pradewasa betina

parasitoid paling singkat (14,78 hari), disusul kemudian pada instar-2 (1 5,65 hari),

dan terlama pada instar-1 (16,69 hari) (F = 153,78; db = 2, 11; P = < 0,001). Hal yang hampir sama ditunjukkan pula oleh pradewasa jantan, masa

(111)

dan berbeda nyata dengan pada instar-1 (16,37 hari) ( F = 14,89; db = 2, 9; P =

Pada percobaan tanpa-pilihan, semua instar -dapat dipilih sebagai inang

yang ditunjukkan oleh kemunculan imago parasitoid dari setiap instar larva inang.

Tidak terdapat perbedaan nyata di antara banyaknya imago parasitoid yang muncul

dari ketiga instar inang (F = 1,75; db = 2, 12; P = 0,2153). Walaupun demikian,

inang larva instar-3 menghasilkan keturunan parasitoid yang paling banyak (12,40

ekor) (Tabel 5). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Petitt dan

Wietlisbach (1993) tentang 0. dissitus pada inang L. sativae mendapatkan masa

perkembangan pradewasa parasitoid lebih singkat dan keturunan yang dihasilkan

lebih banyak pada inang larva instar lanjut.

Tabel 5. Masa perkembangan pradewasa, banyaknya keturunan dan nisbah kelamin Opius sp. yang dipelihara pada tiga instar larva L. huidobrensis

Instar Masa perkembangan Banyaknya keturunan Nisbah kelamin Inang pradewasa (hari) parasitoid yang muncul (% jantan)

Betina Jantan (ekor)

1 16,69 a 16,37 a 9,60 a 59,29 a

2 15,65 b 14,83 b 9,60 a 21,66 a

3 14,78 c 14,08 b 12,40 a 16,34 a

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (DMRT, a = 0,05)

Nisbah kelamin keturunan yang berasal dari induk yang kawin sangat

bervariasi dari 100 % betina hingga 83,3 % jantan. Nisbah kelamin parasitoid

yang keluar dari inang instar-1 sekitar 2-3 kali lipat dibandingkan yang keluar dari

instar-2 dan -3 (Tabel 5). Walaupun demikian, perbedaan tadi secara statistik

tidak nyata (F = 3,43; db = 2, 9; P = 0,0780). Pengaruh perbedaan instar inang

[image:111.575.110.488.429.532.2]
(112)

studi pendahuluan, khususnya karena jumlah ulangan yang sangat terbatas dan

masa peneluran yang terbatas pula (24 jam).

Peluang Pemanfaatan Opius sp. dalam Pengendalian Hayati

Liriomyza spp.

Opius sp. merupakan salah satu parasitoid yang dominan ditemukan pada

areal pertanaman kentang yang diserang oleh lalat pengorok daun Liriomyza spp.

Pengamatan biologi yang dilakukan terhadap Opius sp. dengan menggunakan

inang larva L. huidobremis telah memperlihatkan potensi besar dari Opius sp.

dalam penggunaan parasitoid ini untuk mengendalikan lalat pengorok daun di

lapangan.

Menurut DeBach (1973) ciri-ciri parasitoid yang efektif adalah: a) daya

mencari inang yang tinggi, b) spesifik terhadap inang, c) daya berketnbang biak

yang tinggi, d) kisaran toleransi terhadap lingkungan yang lebar serta kemampuan

memarasit terhadap berbagai instar inang dan f) dapat dikembangbiakan di

laboratorium secara ekonomis. Siklus hidup Opius sp. yang pendek (14,29 hari )

tidak jauh berbeda dengan siklus hidup inangnya yakni L. huidobrensis (28,31

hari), sehingga parasitoid dapat menjaga keseimbangan populasi inangnya di

lapangan. Melihat potensi Opius sp. yang baik dengan keperidian yang tinggi

(109,20 butir),dan nisbah kelamin keturunan yang bias betina (73,47 %),

memberinya peluang parasitoid ini untuk dikembangkan sebagai agens pengendali

lalat pengorok daun.

Opitls sp. dapat memarasit larva instar -1, -2 dan -3 lalat pengorok daun

sehingga inang dapat dikendalikan lebih awal dan larva tidak berkembang menjadi

(113)

3 5

sehingga kerugian yang ditimbulkan oleh serangan hama ini dapat ditekan sampai

batas ambang ekonomi.

Perbanyakan parasitoid secara massal di laboratorium merupakan kendala

besar dalam pemanfaatan parasitoid untuk pengendalian hayati. Namun

permasalahan ini tidak menjadi kendala bagi Opius sp. karena parasitoid ini sudah

bisa dibiakkan secara massal di laboratorium dengan menggunakan tanaman

kacang merah sebagai tanaman inang bagi lalat pengorok daun dan larva instar -3

untuk perbanyakan Opius sp. Keberhasilan ini telah menjaga kelimpahan populasi

Opius sp. di laboratorium sehingga ketersedian populasi Opius sp. untuk

pengendalian hayati baik secara augmentasi maupun introduksi tersedia secara

(114)

KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian yang dilakukan ini menyediakan inforniasi dasar yang penting

dalam menilai potensi Opius sp. sebagai agens pengendalian hayati lalat pengorok

daun. Siklus hidup yang singkat, keperidian yang tinggi, serta nisbah kelamin

yang bias betina merupakan karakteristik biologi yang diharapkan mampu

mengimbangi populasi lalat pengorok daun di lapangan. Dari segi praktis

pembiakan massal, penggunaan inang instar-3 yang selama ini dilakukan

mendukung ketiga karakteristik tadi, sehingga kelimpahan parasitoid dapat

terpelihara. Pemanfaatan Opius sp. dalam pengendalian hayati masih perlu

ditunjang dengan penelitian lanjutan yang meliputi kapasitas pencarian inang,

kemampuan memencar, tanggap fungsional dan numerik, serta interaksi dengan

(115)

DAFTAR PUSTAKA

Arthur AP. 1981. Host acceptance by parasitoids. In: Nordlund DAY Jones RL, Lewis WJ, editor. Semiochemicals, Their Role in Pest Control. New York: John Wiley and Sons. p 97-120.

Beckage NW. 1985. Endocrine interactions between endoparasitic insects and their hosts. Annu Rev Entomol 30:371-413.

Boldt PE. 1974. Tempetarure, humidity and host: effect on rate of search of

Trichogramma evanescens and T. minutum Auctt. Ann Entomol Soc Am 67:706-708.

Bordat D, Coly EV, Roux-Olivera C. 1995. Morphometric, biological and behavioural differences between Herniptarsenus varicornis (Hym., Eulophidae) and Opius dissitus (Hym., Braconidae) parasitoids of

Liriomyza trijiolii (Dipt., Agromyzidae). J Appl Entomol 119: 423-427.

Casas J, Bacher S, Tautz J, Meyhofer R, Piere D. 1998. Leaf vibrations and air movements in a leafininer-parasitoid system. Biological Control 11: 147- 153.

CEQ [Council of Environmental Quality]. 1972. Integrated pest management. Washington: US Gov Printing Ofice.

Charnov EL, Skinner SW. 1985. Complementary approaches to understanding of parasitoid oviposition decision. Environ Entomol 14: 383-39 1.

Chavev GL, Raman KV. 1987. Evaluation of trapping and trap types to reduce

damage to tomato by the leaf-miner Liriomyza huidobrensis

(Diptera:Agromyzidae). Insect Sci Appl 8 (3):369-372

Cisneros F, Mujica N 2000. Developing P M component for leafminer fly in the Canete Valley of Peru. htt~:l/www.cipotato.org/market/P~mRprts/pr95-

961prprzram 4lprog 44.htm. 03 Mei 2000.

Clausen RF. 1940. Entomophagous insect. New York and London: Mc Graw- Hill Book Company, Inc.

Crozier RH. 1977. Evolutionary genetics of the Hymenoptera. Annu Rev Entomol 22: 263-288.

DeBach P. 1973. The scope of biological control. In: DeBach P, editor. Biological Control of Insect Pests and Weeds. London: Chapman and Hall.

(116)

Doutt, RL. 1959. Biology of parasitic Hymenoptera. Annu Rev Entomol4:161- 183

Doutt RL. 1973. Some biological control consepts and questions. In: De Bach P, editor. Biological Control of Insect Pests and Weeds, London: Chapman and Hill. p 11 8-142

Donaldson JS, Walter GH. 1984. Sex ratios of Spalangia endulis (Hymenoptera: Pteromalidae) in re

Gambar

Gambar 1. Kurungan pembiakan L. huidobrensis dan Opius sp.
Gambar 2. Kurungan percobaan Opius sp.
Tabel 1. Ukuran dan masa perkembangan pradewasa Opius sp.
Gambar 3. Telur Opius sp. pada hari pertama diletakkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

mengamati parasitoid yang muncul dari larva C. Pengamatan dilakukan setiap hari hingga parasitoid tersebut mati, selanjutnya dihitung nisbah imago jantan dan betina dari

Opius chromatomyiae merupakan endoparasitoid yang memperlihatkan lama hidup imago betina (9.95 hari) lebih singkat dibandingkan imago jantan (11.73 hari). chromatomyiae

[r]

linearis berumur 2 hari memiliki panjang tubuh yang tidak berbeda nyata dengan parasitoid yang berasal dari telur C. Imago parasitoid betina yang berasal dari telur

carambolae yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa imago betina yang tidak diperlakukan dengan PH, tidak meletakkan telur sama sekali, baik imago betina yang dikawinkan

Parasitoid ini hidup di dalam tubuh inang dari telur, larva, pupa dan setelah menjadi imago akan mulai keluar dari lubang yang dibuatnya sendiri dengan cara

setiap hari meliputi lama kopulasi; periode prapeneluran, yaitu periode saat imago jantan dan betina telah berkopulasi, tetapi imago betina belum meletakkan telur; periode

Pada pengamatan 1 MST, jumlah imago yang muncul dari daun contoh varietas RP sebanyak 12,25 individu, sedangkan pada daun bawang varietas Erwor jumlah imago yang muncul hampir 5 kali