HUBUNGAN SPIRITUALITAS PERAWAT DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN SPIRITUAL PADA PASIEN YANG DIRAWAT INAP DI
RUANG PENYAKIT DALAM DAN BEDAH RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN
SKRIPSI
Oleh
PUJI AFRIANI SINABANG 101101114
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul : Hubungan Spiritualitas Perawat dengan Pemenuhan
Kebutuhan Spiritual Pada Pasien yang Dirawat Inap Di Ruang Penyakit Dalam dan Bedah RSUD Dr. Pirngadi Medan. Peneliti : Puji Afriani Sinabang
Nim : 101101114
Jurusan : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU Tahun Akademik : 2010
ABSTRAK
Spiritualitas adalah suatu bentuk keyakinan yang menggambarkan hubungan manusia dengan sesuatu yang lebih tinggi, berkuasa. Seseorang dalam keadaan sakit, maka hubungan dengan Tuhannya pun semakin dekat, mengingat seseorang dalam kondisi sakit menjadi lemah dalam segala hal, tidak ada yang mampu membangkitkannya dari kesembuhan, kecuali Sang Pencipta. Pemenuhan kebutuhan spiritualitas individu tergantung pada kebutuhan individu itu sendiri yang terdiri dari kebutuhan spiritualitas yang berkaitan dengan Tuhan, berhubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan orang lain, dan hubungan dengan lingkungan. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi spiritualitas perawat, pemenuhan spiritual pada pasien rawat inap dan untuk menganalisa hubungan spiritualitas perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pasien yang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Desain penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan populasi perawat yang bekerja diruang penyakit dalam dan bedah dan pasien yang dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah RSUD dr. Pirngadi Medan. Menggunakan porposive sampling, diperoleh 63 perawat dan 206 pasien sebagai sampel. Hasil penelitian menunjukkan 54 responden (85,7 %) dikategorikan spiritualitasnya baik, dan 9 responden (14,3%) dikategorikan spiritualitasnya cukup. Sedangkan pemenuhan kebutuhan spiritual pasien diketahui 153 responden (74,3%) dikategorikan baik, dan 53 responden dikategorikan cukup. Data didapat dengan menggunakan kuisioner. Sehingga menunjukkan adanya hubungan antara spiritualitas perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien rawat inap p-value=0,015(<0,05), simpulan bahwa semakin tinggi spiritualitas perawat maka semakin tinggi pemenuhan kebutuhan spiritual pasien
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan pertolonganNya yang selalu menyertai penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : Hubungan Spiritualitas Perawat dengan Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Pada Pasien yang Dirawat Inap Di Ruang Penyakit Dalam dan Bedah RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan dalam proses penyelesaian Skripsi ini, sebagai berikut:
1. dr. Dedi Ardinata selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan, Ibu Erniyati, S.Kp, M.N.S selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas Keperawatan Sumatera Utara Medan, Ibu Evi Karota S.kp, MNS selaku Pembantu Dekan II Fakultas Keperawatan Sumatera Utara, dan Bapak Ikhsanuddin A. Harahap selaku Pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan Sumatera Utara.
2. Nunung Febriany Sitepu, Skep,Ns.,MNS sebagai Dosen Pembimbing yang senantiasa menyediakan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan yang berharga dalam penulisan skripsi ini.
3. Rosina Br Tarigan, S.Kp.,M.Kep.,Sp.KMB selaku Dosen Penguji II, Rika Endah Nurhidayah, S.Kp,M.Pd selaku Dosen Penguji III, dan kepada Iwan Rusdi, S.Kp,M.N.S selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.
4. Terima kasih kepada staf pengajar beserta staf administrasi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Uniersitas Sumatera Utara Medan
5. Hj. Masnelli Lubis, SST, MARS selaku Wakil Direktur Bidang SDM dan Pendidikan RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis, dan terkhusus untuk perawat dan pasien yang dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah yang bersedia menjadi responden, terima kasih atas partisipasinya, semoga Tuhan memberkati.
semangat dan membantuku, Abangku Jefrison yang selalu memberikan motivasi, serta semua keluargaku yang telah mendukungku.
7. Terima kasih buat teman-temanku terbaik yang banyak membantu dan mendukungku, Nenci, Merli, Tika, Frida, Yanti yang selalu bersama dalam suka dan duka dan teman satu angkatan lain yang mendukung dalam doa.
Semoga Tuhan yang Maha Pengasih selalu mencurahkan berkat dan Kasih karunianNya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat demi kemajuan pengetahuan khususnya profesi keperawatan.
Medan, Juli 2014
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Pengesahan ... ii
Prakata ... iii
1.2. Rumusan Masalah Penelitian ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.4. Manfaat Penelitian ... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Konsep Spiritualitas ... 7
2.1.1 Defenisi Spiritualitas ... 7
2.1.2 Aspek Spirirualitas ... 9
2.1.3 Karakteristik Spiritualitas ... 10
2.1.4 Fungsi Spiritualitas ... 11
2.1.5Faktor-Faktor yang mempengaruhi Spiritualitas ... 12
2.2 Pasien Rawat Inap ... 16
2.3 Peran Perawat Dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas...18
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep ... 23
3.2 Defenisi Operasional ... 25
3.3 Hipotesis ... 26
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian ... 27
4.2. Populasi dan Sampel ... 27
4.3 Lokasi dan waktu Penelitian ... 29
4.4. Pertimbangan Etik ... 29
4.5 Instrumen Penelitian ... 30
4.6. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 31
4.7. Pengumpulan Data ... 32
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil ... 36 5.2 Pembahasan ... 41
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ... 51 6.2 Saran ... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 53 LAMPIRAN
Lembar Persetujuan Komisi Etik
Inform Consent
Instrumen Penelitian Hasil Pengumpulan Data Surat Keterangan Uji Validitas Surat Keterangan Uji Reliabilitas Uji Reabilitas Instrumen
Surat Izin Penelitian Jadwal Penelitian
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian ...
Tabel 4.8 Kriteria Penafsiran korelasi ...
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Demografi
Perawat ...
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Demografi
Pasien ...
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan data persentase spiritualitas perawat...
Tabel 5.4 Distribusi frekuensi dan data persentase pemenuhan kebutuhan
spiritual pada pasien ...
Tabel 5.5 Hasil analisa hubungan antara spiritualitas perawat dengan
pemenuhan kebutuhan spiritual pasien yang dirawat inap di ruang
DAFTAR SKEMA
Judul : Hubungan Spiritualitas Perawat dengan Pemenuhan
Kebutuhan Spiritual Pada Pasien yang Dirawat Inap Di Ruang Penyakit Dalam dan Bedah RSUD Dr. Pirngadi Medan. Peneliti : Puji Afriani Sinabang
Nim : 101101114
Jurusan : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU Tahun Akademik : 2010
ABSTRAK
Spiritualitas adalah suatu bentuk keyakinan yang menggambarkan hubungan manusia dengan sesuatu yang lebih tinggi, berkuasa. Seseorang dalam keadaan sakit, maka hubungan dengan Tuhannya pun semakin dekat, mengingat seseorang dalam kondisi sakit menjadi lemah dalam segala hal, tidak ada yang mampu membangkitkannya dari kesembuhan, kecuali Sang Pencipta. Pemenuhan kebutuhan spiritualitas individu tergantung pada kebutuhan individu itu sendiri yang terdiri dari kebutuhan spiritualitas yang berkaitan dengan Tuhan, berhubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan orang lain, dan hubungan dengan lingkungan. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi spiritualitas perawat, pemenuhan spiritual pada pasien rawat inap dan untuk menganalisa hubungan spiritualitas perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pasien yang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Desain penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan populasi perawat yang bekerja diruang penyakit dalam dan bedah dan pasien yang dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah RSUD dr. Pirngadi Medan. Menggunakan porposive sampling, diperoleh 63 perawat dan 206 pasien sebagai sampel. Hasil penelitian menunjukkan 54 responden (85,7 %) dikategorikan spiritualitasnya baik, dan 9 responden (14,3%) dikategorikan spiritualitasnya cukup. Sedangkan pemenuhan kebutuhan spiritual pasien diketahui 153 responden (74,3%) dikategorikan baik, dan 53 responden dikategorikan cukup. Data didapat dengan menggunakan kuisioner. Sehingga menunjukkan adanya hubungan antara spiritualitas perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien rawat inap p-value=0,015(<0,05), simpulan bahwa semakin tinggi spiritualitas perawat maka semakin tinggi pemenuhan kebutuhan spiritual pasien
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sakit merupakan pengalaman di mana kita merasa diri tidak nyaman dan
terasing dari lingkungan dan sesama. Dalam situasi seperti ini setiap orang yang
menderita sakit sangat mengharapkan adanya pendamping dan dukungan yang
meneguhkan. Selain itu, individu mengalami keterbatasan melakukan aktivitas
secara mandiri dan mengatur sendiri kebutuhannya sehingga individu
membutuhkan orang lain (Potter & Perry, 2005).
Ketika penyakit, kehilangan atau nyeri menyerang seseorang, kekuatan
spiritual dapat membantu seseorang kearah penyembuhan atau pada
perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritual. JCHAO (the join comission for accreditation of Healthcare Organizations) mengakui pentingnya keyakinan dan tradisi keagamaan maupun spiritual bagi orang yang sedang menderita sakit dan
cacat tubuh. Terungkap dalam pedoman JCHAO terkait dengan assesmen spiritual
dengan perawatan baik bagi pasien rawat inap rumah sakit maupun mereka yang
tinggal di rumah-rumah perawatan (O’brien, 2009).
Spiritualitas adalah suatu bentuk keyakinan yang menggambarkan hubungan
manusia dengan sesuatu yang lebih tinggi, berkuasa (Martsolf &Mickley, 1998
dalam Kozier & Erb, 2010). Spiritualitas meliputi beberapa aspek yaitu:
kehidupan, menemukan arti dan tujuan hidup, menyadari kemampuan untuk
menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri dan mempunyai perasaan
keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Tuhan Yang Maha Tinggi (Burkhardt,
2000).
Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap
manusia (Hidayat, 2008). Apabila seseorang dalam keadaan sakit, maka hubungan
dengan Tuhannya pun semakin dekat, mengingat seseorang dalam kondisi sakit
menjadi lemah dalam segala hal, tidak ada yang mampu membangkitkannya dari
kesembuhan, kecuali Sang Pencipta. Pemenuhan kebutuhan spiritualitas individu
tergantung pada kebutuhan individu itu sendiri yang terdiri dari kebutuhan
spiritualitas yang berkaitan dengan Tuhan, berhubungan dengan diri sendiri,
hubungan dengan orang lain, dan hubungan dengan lingkungan (Dyson dkk.,
1997).
Perawat sebagai tenaga kesehatan profesional yang mempunyai kesempatan
paling besar untuk memberikan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan atau
asuhan keperawatan yang komprehensif dengan membantu pasien memenuhi
kebutuhan dasar yang holistik. Pasien sebagai mahluk biopsikososiokultural dan
spiritual yang berespon secara holistik dan unik terhadap perubahan kesehatan.
Asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat tidak bisa terlepas dari aspek
spiritual yang merupakan bagian integral dari interaksi perawat dengan pasien.
Perawat berupaya untuk membantu memenuhi kebutuhan spiritual pasien sebagai
pemenuhan kebutuhan spiritual pasien tersebut, walaupun perawat dan pasien
tidak mempunyai keyakinan spiritual atau keagamaan yang sama (Hamid, 2008)
Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, perawat peka
terhadap kebutuhan spiritual pasien, tetapi dengan berbagai alasan ada
kemungkinan perawat justru menghindar untuk memberikan asuhan spiritual.
Alasan tersebut, antara lain karena perawat merasa kurang nyaman dengan
kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritual, tidak
mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritual dalam keperawatan, atau merasa
bahwa pemenuhan kebutuhan spiritual pasien bukan menjadi tugasnya, tetapi
tanggung jawab pemuka agama (Hamid, 2008).
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa sebagian besar perawat merasa
tidak mampu memberikan perawatan spiritualitas kepada klien (Piles, 1990 dalam
Carpenito, 2000). Perawat menganggap bahwa spiritualitas merupakan masalah
pribadi yang merupakan hubungan individu dengan penciptaNya dan perawat
memandang bahwa pemenuhan kebutuhan spiritualitas klien bukan tanggung
jawabnya melainkan tanggung jawab keluarga dan tokoh agama (Boyle &
Andrews, 1989 dalam Carpenito, 2000).
Hanson dkk. (2008) menyatakan, dalam suatu penelitian sekitar 41-94%
pasien menginginkan tenaga kesehatan menanyakan tentang kebutuhan spiritual
mereka. Hasil suatu studi wawancara menunjukkan bahwa spiritual yang kuat dan
hidup yang lebih baik pula. Pendekatan holistik memberikan perhatian pada
fungsi spiritual pasien yang akan mempengaruhi keadaan sejahtera pasien.
Individu dikuatkan melalui “spirit” mereka, yang mengakibatkan peralihan ke
arah kesejahteraan. Ketika sakit, kehilangan, atau nyeri mempengaruhi seseorang,
energi orang tersebut menipis, dan spirit orang tersebut akan terpengaruhi (Potter
& Perry, 2005).
Inggriane (2005 dalam Puspita, 2009) menyatakan, ada fenomena yang
menarik dari pasien-pasien dewasa yang sedang rawat inap. Ekspresi spiritual
pasien dengan penyakit akut maupun kronis sangat beragam, mulai dari kondisi
pasien yang pasrah dan menerima takdir penyakitnya sampai dengan kondisi
menggugat Tuhan nya melalui ekspresi kemarahan dan menolak pengobatan
maupun perawatan yang diberikan, ketidaktahuan maupun ketidakmampuan
pasien dalam melaksanakan ibadah yang diyakininya, sementara dukungan
spiritual dari perawat menurut pengakuan pasien tersebut tidak mereka dapatkan.
Dukungan spiritual dari seorang perawat sangat diperlukan dan perawat
sebaiknya mampu memperhatikan dan memenuhi kebutuhan spiritual pasien
karena perawat senantiasa hadir selama 24 jam mendampingi pasien.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurcahyani (2012) di RSP AD
Gatot Subroto Jakarta menunjukkan dari 17 responden yang penerapan aspek
spiritualnya kurang baik, diketahui 12 responden (70,6%) pemenuhan kebutuhan
spiritualnya tidak terpenuhi dan 5 responden (29,4%) pemenuhan kebutuhan
spiritualnya baik, diketahui 9 responden (27,3%) pemenuhan kebutuhan
spiritualnya tidak terpenuhi dan 24 responden (72,7%) pemenuhan kebutuhan
spiritualnya terpenuhi.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini menjadi
penting untuk mengidentifikasi sejauhmana hubungan spiritualitas perawat
dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien rawat inap di RS. Pirngadi.
1.2Rumusan Masalah Penelitian
1.2.1 Bagaimana spiritualitas perawat di RSUD Dr Pirngadi Medan ?
1.2.2 Bagaimana pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien yang
dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah?
1.2.3 Bagaimana hubungan spiritualitas perawat dengan pemenuhan
kebutuhan spiritual pada pasien yang dirawat inap di ruangan penyakit
dalam dan bedah RSUD Dr. Pirngadi?
1.3Tujuan Penelitian
1.3.1 Mengidentifikasi spiritualitas perawat di RSUD Dr Pirngadi
Medan
1.3.2 Mengidentifikasi pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien yang
dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah?
1.3.3 Menganalisa hubungan spiritualitas perawat dengan pemenuhan
kebutuhan spiritual pada pasien yang dirawat inap di ruangan penyakit
1.4Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi praktek keperawatan
Sebagai informasi tambahan bagi praktisi perawat tentang
spritualitas perawat, kebutuhan spritual pada pasien, dan hubungan
spiritualitas perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien
yang dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah di RS. Pirngadi.
Dengan diketahuinya hasil penelitian ini menjadi pertimbangan perawat
dapat menyusun rencana intervansi keperawatan yang terkait dengan
kondisi spiritual klien.
1.4.2 Bagi pendidikan keperawatan
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi
tambahan bagi perawat pendidik untuk mengintegrasikan dalam
pembelajaran terkait dengan spritualitas perawat terhadap kebutuhan
spiritual klien
1.4.3 Bagi penelitian keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data tentang
hubungan antara spiritualitas perawat dengan pemenuhan kebutuhan
spiritual pada pasien yang dirawat inap di rumah sakit untuk digunakan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Konsep Spiritualitas
2.1.1 Defenisi Spiritualitas
Istilah “spiritualitas” diturunkan dari kata Latin yaitu “spiritus”, yang berarti “meniup” atau “bernafas”. Spiritualitas mengacu pada bagaimana menjadi
manusia yang mencari makna melalui hubungan intra-, inter-, dan transpersonal
(Reed,1991 dalam Kozier dkk., 2010). Spiritualitas (spirituality) merupakan sesuatu yang dipercayai oleh seseorang dalam hubungannya dengan kekuatan
yang lebih tinggi (Tuhan), yang menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan
terhadap adanya Tuhan, dan permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah
diperbuat (Asmadi, 2008). Spiritualitas adalah kebutuhan bawaan manusia untuk
berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah
”sesuatu yang lebih besar dari manusia” adalah sesuatu yang diluar diri manusia
dan menarik perasaan akan diri orang tersebut.
Spiritualitas mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi
horizontal. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha
Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, dan dimensi horizontal adalah
hubungan dengan orang lain, diri sendiri dan lingkungan ( Stoll, 1989 dalam
Konsep yang berhubungan dengan spiritualitas yaitu agama, keyakinan,
harapan, transendensi, pengampunan. Agama merupakan sistem keyakinan dan
praktik yang terorganisasi. Agama memberi suatu cara mengekspresikan spiritual
dan memberikan pedoman kepada yang mempercayainya dalam berespon
terhadap pertanyaan dan tantangan hidup. Perkembangan keagamaan individu
mengacu pada penerimaan keyakinan, nilai, pedoman pelaksanaan, dan ritual
tertentu. Keyakinan adalah meyakini atau berkomitmen terhadap sesuatu atau
seseorang. Keyakinan memberi makna bagi kehidupan, memberi kekuatan pada
saat individu mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Keyakinan memberi
kekuatan dan harapan (Kozier dkk., 2010).
Harapan merupakan konsep yang tergabung dengan spiritualitas. Yaitu
proses antisipasi yang melibatkan interaksi berpikir, bertindak, merasakan, dan
keterkaitan yang diarahkan ke pemenuhan di masa yang akan datang yang
bermakna secara personal. Tanpa harapan, pasien menyerah, kehilangan
semangat, dan penyakit kemungkinan semakin cepat memburuk. Transendensi
melibatkan kesadaran seseorang bahwa ada sesuatu yang lain atau yang lebih
hebat dari diri sendiri dan suatu pencarian dan penilaian terhadap sesuatu yang
lebih hebat tersebut, baik itu adalah mahluk, kekuatan, atau nilai yang paling
hebat (Kozier dkk., 2010).
Kebutuhan akan ampunan merupakan kebutuhan akan ampunan dari
Tuhan, diri sendiri, dan orang lain serta kebebasan individu untuk mencintai
Tuhan, diri sendiri, dan orang lain. Bagi banyak pasien, penyakit atau kecacatan
sebagai hukuman atau dosa yang dilakukan di masa lalu. Perawat dapat berperan
penting dalam membantu pasien memahami proses pengampunan (Kozier dkk.,
2010).
2.1.2 Aspek Spiritualitas
Menurut Schreurs (2002) spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu aspek
eksistensial, aspek kognitif,dan aspek relasional:
1. Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian
dari dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang
dilakukan seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri
(true self).
2. Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif
terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah
literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu,
melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas pola
pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat
mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan
refleksi atas pengalaman tersebut, disebut aspek kognitif karena aktivitas
yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan
spiritual.
3. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa
bersatu dengan Tuhan dan/atau bersatu dengan cintaNya. Pada aspek ini
seseorang membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan
2.1.3 Karakteristik Spiritualitas
1. Hubungan dengan diri sendiri. Kekuatan dalam atau/dan self reliance
yaitu: a) pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat
dilakukannya). b) sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada
kehidupan/masa depan, ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan
dengan diri sendiri).
2. Hubungan dengan alam harmonis: a) mengetahui tentang tanaman,
pohon, margasatwa, dan iklim. b) berkomunikasi dengan alam
(bertanam dan berjalan kaki), mengabadikan, dan melindungi alam.
3. Hubungan dengan orang lain harmonis: a) berbagi waktu, pengetahuan,
dan sumber secara timbal balik. b) mengasuh anak, orang tua, dan
orang sakit. c) meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi,
melayat dan lain-lain). Bila tidak harmonis akan terjadi konflik dengan
orang lain, resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.
4. Hubungan dengan Ketuhanan terdiri yang Agamais dan tidak agamais: a) sembahyang/berdoa/meditasi. b) perlengkapan keagamaan. c)
bersatu dengan alam.
Secara ringkas, dapat dinyatakan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan
spiritualitasnya jika mampu: a) merumuskan arti personal yang positif tentang
tujuan keberadaaannya di dunia/kehidupan. b) mengembangkan ari penderitaan
dan meyakini hikmat dari suatu kejadian atau penderitaan. c) menjalin hubungan
positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya, dan cinta. d) membina
terlihat melalui harapan. f) mengembangkan hubungan antar-manusia yang positif
(Hamid, 2008)
2.1.4 Fungsi Spiritualitas
Spiritualitas mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup pada
individu. Spiritualitas berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi
individu. Pada saat stres individu akan mencari dukungan dari keyakinan
agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk menerima keadaan sakit yang
dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang
lama dan hasilnya belum pasti. Melaksanakan ibadah, berdoa, membaca kitab suci
dan praktek keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan
spiritualitas dan merupakan suatu perlindungan bagi individu (Taylor dkk., 1997).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Haris (1999 dalam Hawari,
2005) pada pasien penyakit jantung yang dirawat di unit perawatan intensif yang
diberikan pemenuhan kebutuhan spiritualitas hanya membutuhkan sebesar 11%
untuk pengobatan lebih lanjut. Menurut American Psychological Association
(1992 dalam Hawari, 2005) bahwa spiritualitas dapat meningkatkan kemampuan
seseorang dalam mengatasi penderitaan jika seseorang sedang sakit dan
mempercepat penyembuhan selain terapi medis yang diberikan. Dalam hal ini
bahwa spiritualitas berperan penting dalam penyembuhan pasien dari penyakit
(Young & Koospen, 2005). Selain itu, spiritualitas dapat meningkatkan imunitas,
kesejahteraan, dan kemampuan mengatasi peristiwa yang sulit dalam kehidupan
Pada individu yang menderita suatu penyakit, spiritualitas merupakan
sumber koping bagi individu. Spiritualitas membuat individu memiliki keyakinan
dan harapan terhadap kesembuhan penyakitnya, mampu menerima kondisinya,
sumber kekuatan, dan dapat membuat hidup individu menjadi lebih berarti
(Pulchaski, 2004). Pemenuhan kebutuhan spiritualitas dapat membuat individu
menerima kondisinya ketika sakit dan memiliki pandangan hidup positif (Young,
1993 dalam Young & Koospen, 2005). Pemenuhan kebutuhan spiritualitas
memberi kekuatan pikiran dan tindakan pada individu. Pemenuhan kebutuhan
spiritualitas memberikan semangat pada individu dalam menjalani kehidupan dan
menjalani hubungan dengan Tuhan, orang lain, dan lingkungan. Dengan
terpenuhinya spiritualitas, individu menemukan tujuan, makna, kekuatan, dan
bimbingan dalam perjalanan hidupnya.
2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas
Menurut Taylor, Lillis & Le Mone (1997 dalam Hamid, 2008), dan Craven
& Himle (1996), menjabarkan faktor penting yang dapat mempengaruhi
spiritualitas seseorang adalah
Tahap perkembangan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan empat agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai
persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda menurut usia,
seks, agama, dan kepribadian anak. Diuraikan persepsi anak tentang Tuhan
mencakup hal-hal: gambaran tentang Tuhan yang bekerja melalui kedekatan
dengan manusia dan saling keterikatan dengan kehidupan; mempercayai
transformasi yang membuat dunia tetap segar, penuh kehidupan, dan berarti;
meyakini Tuhan mempunyai kekuatan dan merasa takut menghadapi
kekuasaa Tuhan; gambaran cahaya/sinar.
Bayi dan todler (0-2 tahun): tahap awal perkembangan spiritual adalah rasa
percaya yang mengasuh yang sejalan dengan perkembangan rasa aman dan
dalam hubungan interpersonal. Bayi dan todler belum memiliki rasa salah
dan benar serta keyakinan spiritual. Mereka mulai meniru kegiatan ritual
tanpa mengerti arti kegiatan yang dilakukan. Usia pra sekolah meniru apa
yang mereka lihat bukan yang dikatakan orang lain. Menurut Kozier, Erb,
Blais, dan Wilkinson (1995 dalam hamid, 2008) pada usia prasekolah ini
metode pendidikan spiritual yang paling efektif adalah memberikan
doktrinasi dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memilih
saranya. Usia sekolah mengharapkan Tuhan menjawab doanya, yang salah
akan dihukum dan yang baik akan diberikan hadiah. Pada masa prapubertas,
anak sering mngalami kekecewaan karena mereka menyadari bahwa doa
tidak selalu dijawab menggunakan cara mereka dan mulai mencari alasan
tanpa mau menerima keyakinan begitu saja. Pada masa remaja, mereka
membandingkan standar orang tua mereka dengan orang tua lain dan
menetapkan standar yang akan di integrasika dalam perilakunya. Kelompok
usia dewasa muda dihadapkan pada pertanyaan bersifat keagamaan dari
anaknya akan menyadari apa yang pernah diajarkan kepadanya pada masa
kanak-kanak dahulu, lebih dapat diterima pada masa dewasa daripada waktu
anaknya. Usia pertengahan dan lansia lebih banyak waktu untuk kegiatan
agama dan berusaha unutk mengerti nilai agama yang diyakini generasi
muda.
Keluarga. Peran orang tua sangat menentukan perkembangan spiritualitas anak. Anak mempelajari mengenai Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri dari
perilaku orang tua mereka. Oleh karena keluarga merupakan lingkungan
terdekat dan pengalaman pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan
di dunia, pandangan anak pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka
dalam berhubungan dengan orang tua dan saudaranya.
Latar belakang etnik dan budaya. Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya. Seseorang akan
mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya
menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral dari hubungan keluarga
dan peran serta dalam berbagai kegiatan keagamaan.
Pengalaman hidup sebelumnya. Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Pengalaman
hidup yang menyenangkan seperti pernikahan, pelantikan kelulusan,
kenaikan pangkat/jabatan dapat menimbulkan perasaan bersyukur kepada
Tuhan, tetapi ada juga merasa tidak perlu. Peristiwa dalam kehidupan sering
dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan untuk menguji
kekuatan iman. Pada saat ini, kebutuhan spiritual akan meningkat yang
memerlukan kedalaman spiritual dan kemampuan koping untuk
Krisis dan perubahan. Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedlaman spiritual seseorang (Toth, 1992) dan Craven & Hirnle (1996). Krisis sering
ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan,
kehilangan, dan bahkan kematian khususnya pada klien dengan penyakit
terminal. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut
merupakan pengalaman spiritual selain pengalaman yang bersifat fisik dan
emosional.
Terpisah dari ikatan spiritual. Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan
pribadi dan sisitem dukungan sosial. Kebiasaan hidup yang berubah antara
lain tidak dapat menghadiri acara resmi, melakukan kegiatan keagamaan,
tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau teman dekat yang biasa
memberikan dukungan setiap saat yang diinginkan. Terpisahnya klien dari
ikatan spiritual dapat beresiko terjadi perubahan fungsi spiritualnya.
Isu moral terkait dengan terapi. Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan unutk menunjukkan
kebesarannya walaupun ada yang menolak intervensi pengobatan. Konflik
antara jenis terapi dengan keyakinan agama sering dialami oleh klien dan
tenaga kesehatan.
spiritual klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemunginan perawat justru
menghindari untuk memberikan asuhan spiritual.
2.2 Konsep Rawat Inap
Defenisi American Hospital Assosiation (1978) menyatakan bahwa rumah sakit adalah suatu institusi yang fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan
pada pasien-diagnostik yang terapeutik untuk berbagai penyakit dan masalah
kesehatan, baik yang sifat bedah maupun non-bedah. Rawat inap adalah
pemeliharaan kesehatan rumah sakit dimana pasien tinggal/mondok sedikitnya
satu hari berdasarkan rujukan dari pelaksana pelayanan kesehatan atau rumah
sakit pelaksana pelayanan kesehatan lainnya. Rawat inap adalah pelayanan
kesehatan perorangan yang meliputi observasi, diagnosa, pengobatan,
keperawatan, rehabilitasi medik, dengan menginap di ruan rawat inap pada sarana
kesehatan rumah sakit yang oleh karna penyakitnya penderita harus menginap.
Pasien rawat inap umumnya mengalami penyakit akut atau penurunan ke
kondisi akut dari kronis yang di deritanya. Faktor-faktor seperti tingkat keparahan,
jenis perawatan, pengalaman perawatan di rumah sakit sebelumnya, dan
dukungan keluarga akan mempengaruhi kebutuhan-kebutuhan emosional maupun
spiritual pasien bahwa perawatan di rumah sakit merepresentasikan situasi kritis,
kebutuhan-kebutuhan biasanya ditemukan dalam bahasa spiritual: “harapan,
kepercayaan, kasih, dan penerimaan”. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat
dipenuhi melalui sumber-sumber religious atau dengan mengembangkan
Perawatan spiritual pada penyakit akut, kronis,anak dan lanjut usia:
1)Kebutuhan spiritual pada penyakit akut. Kepercayaan spiritual dan kegitan
religius bisa menjadi lebih penting di saat seseorang menderita penyakit
dibandingkan pada waktu-waktu lain dalam kehidupannya. Ketika
penyakit menyerang dan mulai berkembang menjadi akut, bahkan
menjadi lebih buruk, pasien pasti mengalami perubahan hidup tertentu
yang signifikan baik secara fisik dan emosi. Serangan penyakit akut yang
mendadak dan tak terantisipasi bisa menyebabkan masalah emosional
dan spiritual serius terkait dengan ketakutan akan kematian atau cacat
tubuh. Pemenuhan spiritual pasien yang sedang menderita penyakit akut
mungkin mencakup penerapan berbagai dasar tentang perawatan
spiritual, seperti mendenganrkan, kehadiran, mendokan dan/atau
menghadirkan pemuka agama atau pemberi layanan pendampingan
spiritual yang dibutuhkan pasien.
2)Kebutuhan spiritual pada penyakit kronis. Pengalaman penyakit, terutama
pada penyakit kronis yang berlangsung sangat lama, dapat menjadi saat
yang tepat ketika kebutuhan spiritual sebelumnya terabaikan/belum
disadari menjadi tampak. Beberapa kebutuhan yang penting bagi orang
dengan penyakit kronis adalah harapan, kepercayaan, keberanian, iman,
kedamaian, kasih.
3)Kebutuhan spiritual pada anak. Pasien anak rawaat inap umumnya
mengalami penyakit akut atau penurunan kondisi dari kronis yang
perawatan, pengalaman perawatan di RS dan dukungan keluarga akan
mempengaruhi kebutuhan emosional maupun spiritual anak. Ashwill dan
Volz (1997) menemukan beberapa stressor umum bagi anak rawat inap
yaitu keterpisahan dari keluarga, ketakutan akan rasa sakit dan luka fisik
dan kecemasan. Dalam diskusi pediatrik mesti melibatkan seluruh
keluarga untuk dapat memenuhi kebututuhan melalui sumber-sumber
religius.
4)Kebutuhan spiritual pada lanjut usia. Kaum usia lanjut cenderung lebih
melihat praktik keagamaan sebagai sesuatu yang lebih penting daripada
kaum muda (Peterson & Potter, 1997). Penelitian telah menunjukkan
bahwa jika kondisi seseorang yang lanjut usia relatif baik, dan
aktivitas-aktivitas keagamaannya akan meningkat. ( O’brien, 2009)
2.3 Peran Perawat Dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas
Menurut Undang-undang Kesehatan No.23 tahun 1992 bahwa Perawat
adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan
keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui
pendidikan keperawatan. Aktifitas keperawatan meliputi peran dan fungsi
pemberian asuhan atau pelayanan keperawatan, praktek keperawatan, pengelolaan
institusi keperawatan, pendidikan klien (individu, keluarga dan masyarakat) serta
kegiatan penelitian dibidang keperawatan (Gaffar, 1999).
Perawat berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan. Perawat
membantu pasien mendapatkan kembali kesehatannya melalui proses
Asuhan keperawatan yang diberikan tidak hanya berfokus pada perawatan fisik,
tetapi perawatan secara holistik. Perawat merupakan orang yang selalu
berinteraksi dengan pasien selama 24 jam. Perawat sangat berperan dalam
membantu memenuhi
Kebutuhan spiritualitas pasien seperti mendatangkan pemuka agama
sesuai dengan agama yang diyakini pasien, memberikan privasi untuk berdoa,
memberi kesempatan pada pasien untuk berinteraksi dengan orang lain (keluarga
atau teman) (Young & Koopsen, 2005; Hamid, 1999). Selain itu, perawat dapat
memberikan pemenuhan kebutuhan spiritualitas kepada pasien yaitu dengan
memberikan dukungan emosional, membantu dan mengajarkan doa, memotivasi
dan mengingatkan waktu ibadah sholat, mengajarkan relaksasi dengan berzikir
ketika sedang kesakitan, berdiri di dekat klien, memberikan sentuhan selama
perawatan (Potter & Perry, 2005).
Berbicara tentang penilaian spiritual dan perawatan, perawat harus
diajarkan bagaimana mengembangkan spiritualitas mereka sendiri terlebih dahulu,
sehingga mereka dapat mengidentifikasi kebutuhan spiritual pasien mereka. Hal
ini dapat dilakukan melalui pelaksanaan berbagai program pendidikan tentang
perlunya pengetahuan spiritual dalam profesi ini. Melakukan lokakarya, kamp
meditasi, menyediakan bahan bacaan tentang spiritualitas, diskusi terbuka dengan
senior dan rekan-rekan tentang aspek ini, membahas pengalaman spiritual pribadi
seseorang dengan pasien atau sebaliknya, dan menjadi lebih terbuka tentang
konsep spiritualitas secara keseluruhan membutuhkan untuk dapat memenuhi
Peran perawat menurut konsorsium ilmu keperawatan tahun 1989 terdiri dari :
peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokad pasien, pendidik,
koordinator, kolaborator, konsultan, pembaharu yang digambarkan sebagai
berikut (Hidayat, 2008):
1) Sebagai pemberi asuhan keperawatan. Peran sebagai pemberi asuhan
keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan
kebutuhan keadaan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian
pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan
sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan
dan dilaksanakan tindakan yang sesuai dengan kebutuhan dasar manusia,
kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya.
2) Advokad pasien. Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan
keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi
pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan
atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien, juga dapat
berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasian yang meliputi
hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang
penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan
hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.
3) Pendidik. Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam
tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien
setelah mendapatkan pendidikan kesehatan.
4) Koordinator. Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan,
serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga
pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan
kebutuhan klien.
5) Kolaborator. Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja
melalaui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan
lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang
diperlukan termasuk diskusi, atau bertukar pendapat dalam bentuk
pelayanan selanjutnya.
6) Konsultan. Peran perawat sebagai konsultan adalah sebagai tempat
konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk
diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi
tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.
7) Pembaharu. Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan
mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan
BAB 3
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan spiritualitas perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pada
pasien rawat inap. Pasien yang di rawat inap mengalami perubahan peran,
emosional, dan perilaku pada seseorang yaitu mengalami ketidakseimbangan
antara nilai hidup, tujuan hidup, keyakinan, hubungan dengan Tuhan, diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan. Perawat berupaya untuk membantu memenuhi
kebutuhan spiritual pasien sebagai bagian dari kebutuhan menyeluruh pasien,
antara lain dengan memfasilitasi pemenuhan kebutuhan spiritual pasien tersebut,
walaupun perawat dan pasien tidak mempunyai keyakinan spiritual atau
Berdasarkan pemaparan di atas, maka kerangka konseptual penelitian
dapat dilihat pada skema berikut ini:
Skema 3.1 Kerangka Konseptual Hubungan Spiritualitas Perawat Dengan
Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Pada Pasien yang Dirawat Inap Di Ruang
Penyakit Dalam Dan Bedah RSUD Dr. Pirngadi Medan
Pemenuhan spiritual pada pasien yang dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah
3.2 Defenisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional Hubungan Spiritualitas Perawat Dengan
Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Pada Pasien yang Dirawat Inap Di Ruang
Penyakit Dalam Dan Bedah RSUD Dr. Pirngadi Medan
3.3Hipotesa Penelitian
Ada hubungan spiritualitas perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi yaitu jenis
penelitian yang digunakan untuk mengetahui hubungan variabel satu dengan
variabel lain (Arikunto, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
hubungan spiritualitas perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pada
pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan.
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan
(Nursalam, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah perawat yang bekerja
dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah RSUD Dr. Pirngadi Medan
dengan jumlah 63 orang. Dan jumlah pasien yang dirawat inap di ruang penyakit
dalam dan bedah RSUD Dr. Pirngadi Medan per bulannya adalah 426 orang.
4.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006).
Besar sampel untuk perawat dalam penelitian ini adalah teknik porposie sampling
yaitu suatu teknik penetapan sampel sesuai dengan yang dikehendaki peneliti
sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal
ini yaitu perawat yang bekerja di ruang rawat inap penyaki dalam dan bedah ≥ 2
tahun.
Penentuan besarnya sampel pada pasien yang digunakan peneliti adalah
menggunakan rumus:
Dimana; n = jumlah sampel N = jumlah populasi
d = tingkat kesalahan yang dipilih (5% = 0,05) Maka; n = N
N (d)2 = 426
+ 1
426 (0,05)2 = 206 pasien
+ 1
Pengambilan sampel pasien pada penelitian ini menggunakan teknik
purposive sample yaitu pengambilan sampel yang dilakukan sengaja menyesuaikan dengan tujuan penelitian. Sampel penelitian pasien akan diambil
berdasarkan kriteria inklusi yaitu bersedia untuk menjadi responden, dirawat inap
≥ 3 hari, kesadaran compos mentis, tidak mengalami gangguan mental. Yang
mewakili populasi atau yang disebut sampel sebanyak 206 orang.
4.3 Lokasi dan Waktu
Tempat penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan
pertimbangan bahwa rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit pemerintah
daerah dan biaya terjangkau bagi masyarakat yang memerlukan jasa pelayanan
kesehatan. Waktu penelitian ini dilaksanakan pada April-Mei 2014.
4.4 Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan setelah proposal penelitian selesai di uji dan
peneliti mendapatkan rekomendasi dari Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara. Selanjutnya mengirimkan surat pemohonan untuk mendapatkan
surat izin dari institusi dan rekomendasi dari Direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Setelah mendapat izin dari Direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan, peneliti
memulai pengumpulan data dengan memberikan lembar persetujuan (Informed Consent) kepada pasien sebagai responden. Sebelum responden mengisi dan menandatangani lembar persetujuan, peneliti terlebih dahulu memperkenalkan
diri, menjelaskan maksud, tujuan dan prosedur penelitian yang akan dilakukan.
Jika calon responden bersedia untuk dijadikan objek penelitian, maka calon
responden harus menandatangani lembar persetujuan. Jika calon responden
menolak untuk diteliti maka peneliti akan tetap menghormati haknya.
Untuk menjaga kerahasiaan (confidentiality) responden, peneliti tidak mencantumkan nama, tetapi nomor responden pada masing-masing lembar
pengumpulan atau lembar observasi sebagai kode yang hanya diketahui oleh
4.5 Instrumen Penelitian
Instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3
bagian, yaitu : kuesioner data demografi, kuesioner spiritualitas perawat dan
kuesioner pemenuhan kebutuhan spiritual pasien.
Kuesioner data demografi perawat terdiri dari inisial nama, umur, jenis
kelamin, agama, dan pendidikan.
Kuesioner untuk mengidentifikasi spiritualitas perawat bersumber dari
kuesioner penelitian sebelumnya (Arini, 2013) yang terdiri dari 12 pertanyaan
kemudian dimodifikasi peneliti. Dalam penentuan scoring, pernyataan diberi
pilihan jawaban Tidak Pernah = 0, Kadang-kadang = 1, Sering = 2, Selalu = 3.
Selanjutnya dianalisa dengan skala likert (baik, cukup ,buruk). Dikatakan baik
jika skor = 25-36, dikatakan cukup jika skor = 13-24, dikatakan buruk jika skor =
0-12
Kuesioner data demografi pasien terdiri dari inisial nama, usia, agama, jenis
kelamin, status, dan pendidikan.
Kuesioner untuk mengidentifikasi pemenuhan kebutuhan spiritual pasien
bersumber dari kuesioner penelitian sebelumnya (Rahmadani, 2013) yang terdiri
dari 12 pertanyaan, kemudian dimodifikasi oleh peneliti. Dalam penentuan
scoring, pernyataan diberi pilihan jawaban Tidak Pernah=0, Kadang-kadang=1,
Selalu=2, Sering=3. Total scoring untuk pernyataan pemenuhan kebutuhan
adalah nilai terendah adalah 0 dan nilai tertinggi adalah 36. Selanjutnya dianalisa
dengan skala likert (baik, cukup dan buruk). Dikatakan baik jika skor =25-36,
4.6 Uji Validitas Dan Reabilitas
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kesahihan suatu
instrument. Suatu instrument dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang
diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat
(Arikunto, 2005).
Uji validitas yang digunakan pada pengujian ini adalah validitas isi, yakni
sejauh mana instrumen penelitian memuat rumusan-rumusan sesuai dengan isi
yang dikehendaki menurut tujuan tertentu. Uji validitas dilakukan dengan cara
mengkoreksi instrumen dilakukan penilaian oleh 1 orang tenaga ahli yang
berkompeten dari bagian Keperawatan Jiwa. Berdasarkan uji validitas tersebut,
kuesioner disusun kembali dengan bahasa yang lebih efektif dan dengan item-item
pertanyaan yang akan mengukur sasaran yang ingin diukur sesuai dengan tinjauan
pustaka dan kerangka konsep.
Untuk mengukur kepercayaan (realibilitas) instrument maka dilakukan uji
reliabilitas. Uji reabilitas adalah suatu kesamaan hasil apabila pengukuran
dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda (Setiadi,
2007). Uji reabilitas instrument ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan alat ukur. Alat ukur yang baik adalah alat ukur yang memberikan
hasil yang relative sama bila digunakan beberapa kali pada kelompok subjek yang
sama (Azwar, 2004). Uji reabilitas penelitian ini dilakukan terhadap responden
yang memenuhi kriteria sampel penelitian. Kemudian jawaban dari responden
diolah dengan menggunakan bantuan komputerisasi. Menurut Polit & Hungler
lebih maka instrument dinyatakan reliabel. Uji reliabilitas dilakukan sebelum
pengumpulan data terhadap 20 orang perawat di ruang penyakit dalam dan bedah
RSUD Dr.Pirngadi Medan dan 20 orang pada pasien yang dirawat inap di ruang
penyakit dalam dan bedah RSUD Dr. Pringadi Medan. Hasil uji reabilitas untuk
kuesioner perawat yaitu 0,969 sedangkan hasil uji reabilitas untuk kuesioner
pasien yaitu 0,727
4.7Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara:
a. Pengumpulan Data pada Perawat
1) Melakukan permohonan izin pelaksanaan penelitian kepada pendidikan
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
2) Mengirim surat izin penelitian dari fakultas ke RSUD Dr. Pirngadi Medan
3) Setelah mendapat izin penelitian dari RSUD Dr. Pirngadi Medan, peneliti
mendatangi ruangan Kepala Bagian Keperawatan untuk menjelaskan
tujuan, manfaat, dan prosedur penelitian kepada Kepala Bagian
Keperawatan
4) Peneliti mendatangi ruangan untuk bertemu dengan kepala ruangan.
5) Peneliti menjelaskan tujuan, manfaat, dan prosedur penelitian kepada
kepala ruangan. Pengambilan data penelitian perawat dibantu oleh kepala
ruangan kemudian peneliti memberikan kuesioner kepada perawat
pelaksana melalui kepala ruangan.
6) Peneliti berada di ruang rawat inap untuk mengamati tindakan pemenuhan
7) Peneliti mengumpulkan kuesioner yang telah diisi melalui kepala ruangan
dan memastikan bahwa semua pertanyaan kuesioner telah diisi.
b. Pengumpulan Data pada pasien
1) Melakukan permohonan izin pelaksanaan penelitian kepada pendidikan
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
2) Mengirim surat izin penelitian dari fakultas ke RSUD Dr. Pirngadi Medan,
setelah mendapat izin penelitian dari RSUD Dr. Pirngadi Medan, peneliti
mendatangi ruangan untuk bertemu dengan kepala ruangan.
3) Peneliti menjelaskan tujuan, manfaat, dan prosedur penelitian kepada
kepala ruangan. Pengambilan data penelitian perawat dibantu oleh kepala
ruangan
4) Peneliti mendatangi ruangan pasien yang dirawat inap di ruang penyakit
dalam dan bedah.
5) Peneliti menjelaskan kepada keluarga tentang tujuan, manfaat penelitian,
dan cara pengisian kuesioner.
6) Peneliti meminta kesediaan kepada pasien untuk mengikuti penelitian
dengan menandatangani surat persetujuan (informed consent) menjadi
responden dan mengisi kuesioner sesuai dengan petunjuk.
7) Peneliti mengumpulkan data dari responden dan memastikan bahwa semua
pertanyaan kuesioner telah diisi.
4.8 Analisa Data
Setelah data semua terkumpul maka dilakukan analisa data melalui beberapa
a. Editing yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas maupun data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk.
b. Tahap kedua coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa.
c. Tahap ketiga processing yaitu memasukkan data dari kuesioner ke dalam program komputer secara manual.
d. Tahap ke empat atau tahap terakhir cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah dimasukkan, untuk memastikan ada kesalahan atau tidak.
e. Metode Statistik untuk analisa data yang digunakan adalah:
1. Statistik univariat, untuk mendeskripsikan data demografi data disajikan
dalam bentuk table distribusi frekuensi dan persentase dan untuk
menganalisa variabel independen dan dependen akan ditampilkan dalam
tabel frekuensi.
2. Bivariat Statistik, pada penelitian ini analisa data dengan metode statistik bivariat digunakan untuk menganalisa hubungan antara variabel
independen (spritualitas perawat), dengan variabel dependen (pemenuhan
kebutuhan spiritual pada pasien rawat inap). Keduanya variabel ini diuji
memakai skala ordinal dengan uji korelasi Spearman Rank (Rho) dengan
tingkat kepercayaan 95% (α=0,05). Hasilnya dengan membandingkan nilai
Untuk penafsiran hasil pengujian statistik tersebut digunakan kriteria penafsiran
korelasi menurut Burns dan Grove (2001), sebagai berikut:
Tabel.4.8 Penafsiran korelasi
Nilai r Penafsiran
-0,1 sampai -0,3 Korelasi negatif rendah:
Hubungan negatif dengan interpretasi lemah
-0,3 sampai -0,5 Korelasi negatif sedang:
Hubungan negatif dengan interpretasi memadai
Di atas -0,5 Korelasi negatif tinggi:
Hubungan negatif dengan interpretasi kuat
0,1 sampai 0,3 Korelasi positif rendah:
Hubungan positif dengan interpretasi lemah
0,3 sampai 0,5 Korelasi positif sedang:
Hubungan positif dengan interpretasi memadai
Di atas 0,5 Korelasi positif tinggi:
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian
Bab ini menjelaskan hasil penelitian dan pembahasan mengenai
karakteristik responden dan variabel spiritualitas perawat dan pemenuhan
kebutuhan spiritualitas pada pasien yang dirawat di ruang penyakit dalam dan
bedah yang dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada bulan Mei-Juni 2014.
Jumlah sampel yang dianalisis sebanyak 63 orang perawat dan 206 pasien yang
dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah di RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Data hasil penelitian dipaparkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan
persentase.
5.1.1 Karakteristik Responden Perawat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar perawat berusia antara
18-40 tahun, yaitu 45 orang (71,4 %), responden berjenis kelamin perempuan
sebanyak 56 orang (88,9%), mayoritas beragama Islam, yaitu 39 orang (61,9%).
Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar pendidikan terakhir perawat
adalah diploma, yaitu 44 orang (69,8%), sedangkan S1 keperawatan, yaitu 15
orang (23,8%) dan sebagian besar perawat bekerja di ruang penyakit dalam dan
bedah selama 5-10 tahun, yaitu 24 orang (38,1%). Distribusi karakteristik
Tabel 5.1.Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Demografi Perawat di Ruang Penyakit Dalam Dan Bedah di RSUD Dr. Pirngadi Medan Bulan Mei-Juni 2014 (n=63)
5.1.2 Karakteristik Responden Pasien
Sementara karakteristik demografi pasien menunjukkan bahwa sebagian
besar pasien yang dirawat inap adalah perempuan yaitu 108 orang (52,4%),
sebagian besar pasien berusia antara 18-40 tahun yaitu 119 orang (57,8%),
tingkat pendidikan, sebagian besar pendidikan terakhir keluarga pasien yaitu SMA
sebanyak 63 orang (30,6%). Sebagian besar lama perawatan pasien yaitu 3-5 hari
sebanyak 156 orang (75,7%). Distribusi karakteristik demografi pasien yang
dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2.Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Demografi Pasien yang Dirawat Inap di Ruang Penyakit Dalam dan Bedah RSUD Dr.Pirngadi Medan Bulan Mei-Juni Tahun 2014(n =206)
Karakteristik Demografi
Frekuensi(n) Persentase (%)
Lama Rawat Inap 3-5 hari
>6 hari
24,3%
5.1.3 Spiritualitas Perawat yang bekerja di ruang Penyakit Dalam dan Bedah.
Diperoleh data bahwa sebagian besar dikategorikan pada spiritualitas baik
yaitu sebanyak 54 responden (85,7 %), sedangkan yang dikategorikan spiritualitas
cukup sebanyak 9 responden (14,3 %) dan tidak ada responden pada kategori
Tabel 5.3. Distribusi frekuensi dan data persentase spiritualitas perawat yang bekerja di ruang Penyakit Dalam dan Bedah RSUD Dr. Pirngadi Medan (n=63)
Spiritualitas perawat yang bekerja diruang penyakit dalam
dan bedah
Frekuensi (n) Persentase (%)
5.1.4 Pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien yang dirawat inap di ruang
Penyakit Dalam dan Bedah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pemenuhan
kebutuhan spiritual pada pasien rawat inap dikategorikan baik yaitu sebanyak 153
responden (74,3%), sedangkan yang dikategorikan cukup sebanyak 53 responden
(25,7 %) dan tidak ada responden pada pemenuhan kebutuhan spiritual buruk.
Tabel 5.4. Distribusi frekuensi dan data persentase pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien oleh perawat yang dirawat inap di ruang Penyakit Dalam dan Bedah RSUD Dr. Pirngadi Medan (n=206)
Pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien yang dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah
Frekuensi (n)
Pemenuhan spiritual baik
Pemenuhan spiritual cukup 153
53
74,3%
25,7%
Total 206 100%
5.1.5 Hubungan spiritualitas perawat dengan pemenuhan spiritual pada pasien
yang dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah.
Dari tabel 5.5 dapat dilihat bahwa dalam penelitian ini, didapatkan nilai
koefisien korelasi Spearman’s rho atau r sebesar 0,306. Berdasarkan tabel kriteria
penafsiran korelasi menurut Burns dan Grove (2004) bahwa kedua variabel
memiliki hubungan positif dengan interpretasi hubungan memadai (r pada 0.3
sampai 0.5), artinya jika semakin tinggi spiritualitas perawat maka pemenuhan
kebutuhan spiritual pasien semakin tinggi. Kemudian hubungan antara kedua
variabel tersebut dapat dikatakan signifikan, dimana p< 0.05. Hal ini berarti Ha
diterima, yaitu ada hubungan spiritualitas perawat dengan pemenuhan kebutuhan
spiritual pada pasien yang dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah di
RSUD Dr.Pirgandi Medan.
Tabel 5.5 Hasil analisa hubungan antara spiritualitas perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pasien yang dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah RSUD Dr. Pirngadi Medan(n=63, n=206)
Variabel 1 Variabel 2 r p-value Keterangan
perawat yang yang dirawat inap di ruang penyakit dalam dan bedah
dengan hubungan yang memadai
5.2 Pembahasan
5.2.1 Karakteristik Data Demografi Perawat
Berdasarkan usia, sebagian besar perawat berada pada usia dewasa dini
(18-40), yaitu sebanyak 45 orang (71,4%). Kelompok usia dewasa dini merupakan
usia produktif yang mendukung dalam melaksanakan pelayanan keperawatan
yang baik. Menurut Kozier et al. (2010), individu dewasa dapat mengemukakan
pertanyaan yang bersifat filosofi mengenai spiritualitas dan menyadari akan hal
spiritual tersebut. Ajaran-ajaran agama dewasa awal/muda semasa kecil dapat
diterima atau didefinisikan kembali. Heber (1978 dalam Rohman, 2009)
menyatakan bahwa pada rentang dewasa awal/muda telah benar-benar mengetahui
konsep benar dan salah, menggunakan keyakinan moral, agama dan etik sebagai
dasar dari sistem nilai, sudah merencanakan kehidupan, mengevaluasi apa yang
sudah dikerjakan terhadap kepercayaan dan nilai spiritualitasnya. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Riyadi dan Kusnanti (2007) yang menemukan bahwa ada
hubungan signifikan antara umur perawat dengan kinerja perawat dalam
memberikan pelayanan kesehatan pada setiap klien (P= 0.023 < 0.05). Hal ini
dapat diartikan bahwa semakin dewasa usia seorang perawat maka semakin
Perawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan diruang penyakit dalam dan bedah
sebagian besar adalah perempuan sebanyak 56 orang (88,9%), sedangkan
laki-laki yaitu 7 orang (11,1%). Hal ini dapat dilihat dari sejarah perkembangan
keperawatan dengan adanya perjuangan seorang Florence Nightingale yang
menerapkan prinsip “Mother Instink”, sehingga dunia keperawatan identik dengan
pekerjaan seorang perempuan. Namun dengan kondisi sekarang sudah berubah,
banyak laki-laki yang menjadi perawat, tapi kenyataannya proporsi perempuan
masih lebih banyak dari laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan
memiliki kesempatan yang lebih banyak dalam melakukan pemenuhan kebutuhan
spiritualitas pada pasien.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar perawat beragama Islam yaitu
39 orang (61,9%), sedangkan beragama K. Katolik yaitu 3 orang (4,8 %) dan K.
Protestan yaitu orang 21 (33,3%). Menurut Hamid (1999) bahwa agama
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perawatan spiritualitas pada
klien. Perbedaan agama antara perawat dan klien menyebabkan perawat terkadang
menghindar untuk memberi asuhan keperawatan spiritualitas.
Berdasarkan latar belakang pendidikan, sebagian besar perawat berlatar
belakang pendidikan diploma yaitu 44 orang (69,8%). Menurut Notoatmodjo
(2002), bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
sangat diperlukan untuk mengembangkan diri sehingga semakin tinggi pendidikan
semakin mudah menerima dan mengembangkan pengetahuan. Seperti
mengembangkan diri dalam penyelenggaraan pelayanan spiritual pada pasien.
umum pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh pengalaman hidup sebagai
pengetahuan sejati, tingkat pendidikan yaitu semakin tinggi pendidikan seseorang
semakin tinggi pula pengetahuannya, kesehatan fisik terutama kesehatan panca
indra, usia yang berhubungan dengan daya tangkap dan ingatan terhadap suatu
materi, dan media masa/buku sebagai sumber informasi. Untuk itu penting untuk
meningkat tingkat pendidikan seseorang terutama perawat untuk
mengembangkan pengetahuan diri dalam membarikan pelayanan spiritual kepada
pasien.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar perawat berpengalaman kerja
selama 5-10 tahun yaitu 24 orang (38,1%). Menurut Megawati (2004), lama kerja
seseorang mempunyai pengaruh terhadap mutu pekerjaan. Karena masa kerja
yang semakin lama maka perawat akan semakin paham terhadap asuhan
keperawatan yang dilakukan. Dikatakan juga bahwa perawat ataupun karyawan
yang mempunyai masa kerja lama punya kesempatan yang besar untuk
meningkatkan produktivitas karena mereka sudah paham mengenai pola kerjanya,
mengetahui lingkungan kerja dengan baik, dan memiliki keterampilan yang
memadai termasuk dalam pemenuhan kebutuhan spiritualitas (Anoraga & Suyati,
5.2.2 Karakteristik Data Demografi Pasien
Berdasarkan usia, sebagian besar pasien berusia dewasa dini, yaitu 119
orang (57,8%). Hal ini dinyatakan oleh Hurlock (2004), bahwa kelompok usia
dewasa dini lebih memperhatikan hal-hal keagamaan dan aktif dalam kegiatan
keagamaan Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Arini (2013) terkait hubungan
spiritualitas dengan kompetensi perawat dalam asuhan spiritual pasien bahwa
usia responden terbanyak adalah usia dewasa awal 55 orang (93,2%).
Berdasarkan status, sebagian besar pasien dengan status menikah yaitu
156 orang (75,7%). Menurut Aziz (2006), keluarga memliki peran yang cukup
strategis dalam memenuhi kebutuhan spiritual, karena keluarga memiliki ikatan
emosional yang kuat dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
Didukung teori Taylor (2002), bahwa keluarga berfungsi untuk mendukung
dengan bantuan doa, membacakan buku, atau bernyanyi, menghibur, ambil bagian
dalam penyembuhan, atau menumpahkan segenap empati. Karena keluarga
mempunyai ikatan emosional dengan pasien, mereka mampu memberikan
dukungan tertentu yang tak mampu disediakan oleh orang lain.
Menurut peneliti pasien dengan status menikah dan dengan adanya
dukungan dari pasangan, pasien dapat mengembangkan koping yang adekuat dan
adaptif terhadap stressor. Dengan keberadaan pasangan yang selalu mendampingi
dan memberi dukungan ataupun bantuan saat pasien mengalami masalah-masalah
terkait dengan kondisi kesehatannya, maka pasien akan merasa optimis dalam
menjalani kehidupannya. Hal itu akan mempengaruhi keseluruhan aspek kualitas
Berdasarkan data sebagian besar pasien menjalani rawat inap 3-5 hari
(75,7%). Menurut Hamid (2009) bahwa ketika individu menderita suatu penyakit,
kekuatan spiritualitas sangat berperan penting dalam proses penyembuhan.
Selama sakit, individu menjadi kurang mampu untuk merawat diri mereka dan
lebih bergantung pada orang lain. Spiritualitas sangat diperlukan untuk dapat
menerima keadaan sakit yang dialaminya, khususnya jika penyakit tersebut
memerlukan proses penyembuhan dalam waktu yang lama dengan hasil yang
belum pasti.
5.2.3 Spiritualitas Perawat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa spiritualitas perawat yang bekerja
diruang penyakit dalam dan bedah RSUD Dr. Pirngadi Medan berada pada
rentang kategori baik, yaitu 85,7%. Spiritualitas di tempat kerja adalah tentang
pekerjaan yang lebih bermakna, tentang hubungan antara jiwa dan pekerjaan
(Ashmos, 2000). Pada sisi keterampilan sosial (social skill), orang-orang dengan
spiritualitas yang berkembang menunjukkan keterbukaan sosial yang lebih besar,
mudah beradaptasi dengan perubahan, memiliki hubungan yang baik dengan
rekan kerja dan atasan, dan baik dalam menanggapi kritikan. Keterampilan ini
dibutuhkan perawat untuk menjalani peran-perannya dengan baik. Peran-peran
yang membutuhkan keterampilan ini antara lain, peran perawat sebagai pelaksana
dalam hal ini sebagai communicator, peran sebagai pengelola (Gaffar dalam
Praptianingsih, 2006). Menurut Widyarini (2008) gerakan spiritualitas di tempat
dilihat dari merebaknya publikasi tertulis seperti jurnal cetak maupun on line,
buku dan konferensi-konferensi dengan tema spiritualitas di tempat kerja.
Hasil penelitian Arini (2013) diperoleh bahwa spiritualitas perawat dengan
skor spiritualitas sangat baik dan baik sebanyak 30 orang (50,8%). Artinya
mayoritas responden memiliki skor spiritualitas lebih dari cukup. Sumiati et al.
(2007) menyatakan, seseorang atau individu yang mempunyai spiritualitas sangat
baik, mereka dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap pelayanan
kesehatan khususnya adalah perawat.
Seseorang yang memiliki spiritualitas tinggi akan memiliki kecenderungan
untuk tidak menyakiti orang lain, menjaga lingkungan mereka dan penuh cinta
kasih. Spiritualitas yang tinggi dapat membantu seseorang untuk menentukan
langkah dengan baik, akan lebih memaknai hidup, dapat mengambil hikmah dari
pengalaman hidupnya, serta selalu berintrospeksi diri (Wardhani &
Wahyuningsih, 2008). Spiritualitas meyakini keadilan sosial dan menyadari
bahwa tidak ada seorang pun yang dapat hidup tanpa interaksi dengan orang lain,
berempati, kesadaran mendalam terhadap kesakitan, penderitaan, serta kematian
dan menghargai satu sama lain bahwa hidup itu bernilai (Smith, 1994 dalam
Wardhani & Wahyuningsih, 2008).
Manusia memelihara atau meningkatkan spiritualitas mereka dalam
banyak cara. Beberapa orang berfokus pada perkembangan bagian dalam diri dan
dunia, yang lain berfokus pada ekspresi energi spiritual mereka dengan orang lain
atau dunia luar. Berhubungan dengan bagian dalam diri atau jiwa seseorang dapat
dengan cara berdoa atau meditasi, dengan menganalisis mimpi, dengan
komunikasi dengan alam, atau dengan mengalami inspirasi seni (misalnya, drama,
musik, dansa). Ekspresi energi spiritual seseorang terhadap orang lain
dimanifestasikan dalam hubungan saling mencintai dengan dan melayani orang
lain, kesenangan dan tawa, partisipasi dalam layanan keagamaan dan
perkumpulan dengan ekspresi kasih sayang, empati, pengampunan, dan harapan.
Perawat yang menjunjung spiritualitas mereka sendiri mampu bekerja lebih baik
dengan klien yang memiliki kebutuhana spiritualitas, perawat juga perlu merasa
nyaman dengan spiritualitas seseorang (Kozier, 2010).
5.2.4 Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Pasien Oleh Perawat
Data menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan pasien yang dilakukan
oleh perawat berada dalam rentang kategori baik, yaitu 153 orang (74,3%) dan
sebanyak 53 orang pasien (25,7%) dengan kategori cukup. Menurut Hamid
(2009), bahwa perawat sebagai tenaga kesehatan yang professional mempunyai
kesempatan yang paling besar untuk memberikan pelayanan kesehatan khususnya
asuhan keperawatan yang komprehensif dengan membantu klien memenuhi
kebutuhan bio-psikososio-kultural dan spiritual secara holistik dan unik terhadap
perubahan kesehatan atau pada keadaan krisis. Asuhan keperawatan yang
diberikan oleh perawat tidak bisa terlepas dari aspek spiritualitas yang merupakan
bagian integral dari interaksi perawat dengan klien. Perawat berupaya untuk
membantu memenuhi kebutuhan spiritual pasien sebagai bagian dari kebutuhan