RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI
KEDELAI (Glycine max L. (Merill)) DI LAHAN KERING TERHADAP INOKULASI Bradyrhizobium japonicum YANG DIINDUKSI GENISTEIN
DAN PEMBERIAN PUPUK ORGANIK
SKRIPSI
Oleh :
YUDA PRAMUDYATAMA SURBAKTI 080301033
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI
KEDELAI (Glycine max L. (Merill)) DI LAHAN KERING TERHADAP INOKULASI Bradyrhizobium japonicum YANG DIINDUKSI GENISTEIN
DAN PEMBERIAN PUPUK ORGANIK
SKRIPSI Oleh :
YUDA PRAMUDYATAMA SURBAKTI 080301033
Skripsi merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
Judul Skripsi : Respons Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L. (Merill)) di Lahan Kering Terhadap
Inokulasi Bradyrhizobium japonicum yang Diinduksi Genistein dan Pemberian Pupuk Organik
Nama : Yuda Pramudyatama Surbakti
NIM : 080301033
Program Studi : Agroekoteknologi
Minat : Agronomi
Disetujui Oleh :
Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing
(Ir.Yaya Hasanah, MSi) (Ir.Lisa Mawarni, MP
NIP. 19690110 200502 2 003 NIP. 19640326 198903 2 003 )
Mengetahui,
Ketua Program Studi Agroekoteknologi
(Ir. T. Sabrina, M. Agr. Sc., Ph.D. NIP. 1964 062 019980 32001
ABSTRACT
YUDA PRAMUDYATAMA SURBAKTI, Response of Growth and Production of Soybean (Glycine max L. Merill.) on dryland with application of inoculation of B.japonicum induced by genistein and organic fertilizer. Guided by YAYA HASANAH and LISA MAWARNI.
The aim of this research was know the response of growth and production of soybean (Glycine max L. Merill.) on dryland with application of inoculation B.japonicum induced genistein and organic fertilizer. This research was conducted at Desa Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat on June - October 2012, using a randomized block design factorial with two factors. The first factor was isoflavon (genistein) consisted of without genistein and with genistein. The second factor was combination of B.japonicum with organic fertilizer consisted of without B.japonicum, B.japonicum, B.japonicum + fertilizer organic, B.japonicum + rice straw compost, B.japonicum + fertilizer organic + rice straw compost. Parameters observed were plant height, stem diameter, total of leaf area, number of pods, number of filled pods, number of nodules, number of effective nodules, number of productive branches, root length, weight of nodules, shoot dry weight, root dry weight, seed dry weight per plant, and dry weight of 100 seeds.
The result showed that genistein showed significantly difference for plant height. Combination B.japonicum and organic fertilizer were significantly effect on 100 seeds dry weight. Interaction between genistein and B.japonicum were significantly effect only on root length.
ABSTRAK
YUDA PRAMUDYATAMA SURBAKTI: Respons Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L. (Merill)) di Lahan Kering Terhadap Inokulasi
Bradyrhizobium japonicum yang Diinduksi Genistein dan Pupuk Organik. Dibimbing oleh YAYA HASANAH dan LISA MAWARNI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan kering terhadap inokulasi B.japonicum yang diinduksi genistein dan pupuk organik. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sambirejo Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat dengan ketinggian tempat ± 25 meter di atas permukaan laut pada bulan Juni - Oktober 2012 dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama isoflavon (genistein) dengan 2 taraf yaitu tanpa genistein, dan dengan genistein. Faktor kedua kombinasi Brady dengan pupuk organik 5 jenis yaitu tanpa B.japonicum,
B.japonicum, B.japonicum + pupuk kandang, B.japonicum + kompos jerami,
B.japonicum + kompos jerami + pupuk kandang. Peubah amatan adalah tinggi tanaman, diameter batang, total luas daun, jumlah polong, jumlah polong berisi, jumlah bintil akar, jumlah bintil akar efektif, jumlah cabang produktif, panjang akar, bobot bintil akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar, bobot kering biji per tanaman, dan bobot kering 100 biji.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa genistein berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Kombinasi B.japonicum dan pupuk organik berpengaruh nyata terhadap bobot kering 100 biji. Interaksi kedua perlakuan hanya berpengaruh nyata terhadap panjang akar.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Kedelai (Glycine max L.) bukan tanaman baru bagi masyarakat Indonesia
walaupun budidaya kedelai pertama dilakukan di Cina sejak tahun 2800 SM.
Hingga sekarang kedelai merupakan salah satu sumber protein penting, baik
sebagai bahan pangan yang diolah secara sederhana seperti direbus, digoreng dan
disayur untuk dimakan sehari-hari. Kedelai biji besar digunakan sebagai bahan
baku industri pangan, susu, dan kecap (Sumarno, dkk, 2010).
Kebutuhan masyarakat terhadap kedelai terus meningkat seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk. Sebagai sumber protein nabati, kedelai berperan
penting dalam meningkatkan gizi masyarakat. Kebutuhan kedelai terus meningkat
seiring dengan berkembangnya industri pangan. Produk pangan berupa tahu,
tempe, dan kecap memerlukan kedelai dalam jumlah besar. Namun peningkatan
produksi kedelai belum dapat dipenuhi oleh produk dalam negeri sehingga masih
mengimpor dari luar negeri (Sebayang, 2000).
Produksi kedelai nasional dari tahun ke tahun terus meningkat.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik tahun 2008 s/d 2009
produksi kedelai mulai meningkat yaitu sebesar 775.710 ton (2008) menjadi
974.512 ton (2009) dengan luas areal panen sebesar 590.956 Ha (2008) dan
722.791 Ha (2009). Tetapi tahun 2010 turun kembali menjadi 908.111 ton dengan
luas areal panen sebesar 661.771 Ha. Produksi kedelai tahun 2008, 2009, dan
2010 di Sumatera Utara berturut-turut yaitu 11.647 ton, 14.206 ton, dan 9.439 ton
Usaha yang dilakukan untuk meningkatkan produksi kedelai banyak
menemui kendala, salah satunya adalah makin berkurangnya luas lahan produktif
yang dapat ditanami kedelai. Oleh karena itu produksi kedelai diarahkan ke lahan
kering. Lahan kering merupakan areal potensial untuk dikembangkan sebagai
lahan pertanian ditinjau dari luasannya. Luas lahan kering untuk pertanian di
Indonesia diperkirakan mencapai 55,6 juta ha (Hidayat dan Mulyani, 2002).
Sebaran lahan kering tersebut meliputi 41% di Sumatera, 28% di Kalimantan dan
24% di Sulawesi dan Jawa dan kira-kira 24,3% lahan kering tersebut didominasi
oleh podsolik merah kuning (ultisol). Akan tetapi lahan kering ini mempunyai
masalah pada umumnya yaitu tingkat kemasaman tanah yang tinggi yang
disebabkan oleh pencucian akibat curah hujan tinggi, defisiensi hara tumbuhan,
serta populasi mikroba tanah yang rendah.
Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi defisiensi N adalah
dengan inokulasi B.japonicum. B.japonicum yang bersimbiosis dengan akar
tanaman kedelai mampu menambat nitrogen bebas di atmosfir, yang selanjutnya
N ini dapat dimanfaatkan oleh tanaman inangnya. Dalam simbiosis ini tanaman
mendapatkan nitrogen yang diikat oleh B.japonicum, sedangkan B japonicum
mendapatkan makanan dari tanaman inangnya, sehingga simbiosis ini merupakan
simbiosis mutualisme (Soedarjo, 1998).
Dalam simbiosis antara kedelai dan B.japonicum diperlukan isoflavon
yang merupakan sinyal molekul bagi nodulasi bintil akar. Pada tanaman, isoflavon
berperan dalam menstimulasi hubungan simbiosis antara tanaman legum dan
rhizobia yang membentuk formasi bintil akar pada proses fiksasi N. Isoflavon
Kandungan utama isoflavon pada kedelai adalah genistein dan daidzein. Genistein
sebagai signal bakteri terhadap tanaman memberikan peranan penting dalam
nodulasi bintil akar oleh B.japonicum pada akar tanaman kedelai
(Zhang and Smith, 1997).
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang respons pertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max L.) di lahan kering terhadap inokulasi B.japonicum yang dinduksi genistein dan pupuk
organik.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui respons pertumbuhan dan produksi
kedelai (Glycine max L.) di lahan kering terhadap inokulasi B.japonicum yang
diinduksi genistein dan pupuk organik.
Hipotesis Penelitian
1. Ada pengaruh induksi genistein terhadap pertumbuhan dan produksi
kedelai.
2. Ada pengaruh B.japonicum dan pupuk organik terhadap pertumbuhan
dan produksi kedelai (Glycine max L.).
3. Ada interaksi antara B.japonicum, pupuk organik dan induksi genistein
terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai bahan
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman
Menurut van Steenis (2003), tanaman kedelai diklasifikasikan ke dalam
Kingdom Plantae dengan divisi Spermatophyta. Kedelai merupakan tanaman
berbiji terbuka dengan subdivisi Angiospermae. Tanaman kedelai termasuk ke
dalam kelas Dicotyledonae, berordo Polypetales dengan famili Papilionaceae
(Leguminosae). Nama spesies dari tanaman ini adalah Glycine max (L.) Merill
dengan genus Glycine.
Akar kedelai merupakan akar tunggang yang dapat mencapai kedalaman
2 meter sesuai dengan kedalaman lapisan oleh tanah, cara pengolahan tanah,
tekstur tanah, sifat kimia dan fisik tanah. Sistem perakaran umumnya berbentuk
serabut dan berada pada lapisan atas tanah. Pada akar tersebut terdapat bintil akar
berupa koloni dari bakteri Rhizobium japonicum (Lamina, 1989). Akar tersebut
telah diketahui mengandung beberapa senyawa isoflavon yang bermanfaat bagi
kesehatan.
Batang kedelai berbatang pendek (30-100 cm), berbentuk tanaman perdu,
dan berkayu. Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe
determinate dan indeterminate, keduanya dibedakan berdasarkan atas keberadaan
bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang determinate ditunjukkan dengan
batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sedangkan
pertumbuhan indeterminate dicirikan dengan pucuk batang tetap tumbuh daun,
walaupun tanaman sudah mulai berbunga (Adisarwanto, 2005).
Daun kedelai mempunyai ciri-ciri antara lain helai daun (lamina) oval dan
(Rukmana dan Yuniarsih, 1996). Umumnya, bentuk daun kedelai ada dua yaitu
bulat (oval) dan lancip (lanceolate). Kedua bentuk daun tersebut dipengaruhi oleh
faktor genetik (Adisarwanto, 2005).
Tanaman kedelai mempunyai dua periode tumbuh, yaitu periode vegetatif
dan periode reproduktif. Periode vegetatif adalah periode tumbuh dari mulai
munculnya tanaman di permukaan tanah sampai terbentuk bunga pertama. Di
daerah tropis, dengan panjang hari sekitar 12 jam dan suhu tinggi, periode
vegetatif sebagian besar kultivar berkisar antara 4-5 minggu. Periode reproduktif
menyusul periode vegetatif; kuncup-kuncup ketiak daun berkembang membentuk
kelompok-kelompok bunga. Bunga kedelai tergolong bunga sempurna, yaitu
setiap bunga memiliki alat jantan dan alat betina (Islami dan Utomo, 1995).
Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya
bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm dan jumlah polong yang
terbentuk pada setiap daun sangat beragam, mulai 1-10 polong. Kecepatan
pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat saat pembungaan
berhenti. Di dalam polong terdapat biji yang berjumlah 2-3 biji dan mempunyai
ukuran yang bervariasi. Biji kedelai berbentuk bulat, agak gepeng dan bulat telur
dan terbagi menjadi dua bagian utama, pertama kulit biji dan janin (embrio). Pada
kulit biji terdapat bagian yang disebut hilum dan mikrofil yang terbentuk saat
proses pembentukan biji (Adisarwanto, 2005).
Syarat Tumbuh Iklim
Pada awalnya kedelai merupakan tanaman subtropika hari pendek, namun
terhadap lintang yang berbeda. Kemampuannya untuk ditanam dimana saja adalah
keunggulan utama tanaman ini. Pertumbuhan optimum tercapai pada suhu
20-25 0C. Suhu 12-20 0C adalah suhu yang sesuai bagi sebagian besar proses pertumbuhan tanaman, tetapi dapat menunda proses perkecambahan benih dan
pemunculan biji. Pada suhu yang lebih tinggi dari 30 0C, fotorespirasi cenderung mengurangi hasil fotosintesis (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Kedelai merupakan tanaman hari pendek, yakni tidak akan berbunga bila
lama penyinaran (panjang hari) melampaui batas kritis. Setiap varietas
mempunyai panjang hari kritik. Apabila lama penyinaran kurang dari batas kritik,
maka kedelai akan berbunga. Dengan lama penyinaran 12 jam, hampir semua
varietas kedelai dapat berbunga dan tergantung dari varietasnya, umumnya
berbunga beragam dari 20 hingga 60 hari setelah tanam. Apabila lama penyinaran
melebihi periode kritik, tanaman tersebut akan meneruskan pertumbuhan
vegetatifnya tanpa berbunga (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Tanah
Kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah asal drainase dan
aerasi tanah cukup baik. Tanah-tanah yang cocok yaitu alluvial, regosol,
grumosol, latosol, dan andosol. Pada tanah-tanah podsolik merah kuning dan
tanah yang mengandung banyak pasir kwarsa, pertumbuhan kedelai kurang baik,
kecuali bila diberi tambahan pupuk organik atau kompos dalam jumlah yang
cukup (Andrianto dan Indarto, 2004).
Jika pH terlalu rendah dapat menimbulkan keracunan aluminium dan
Pengapuran juga dapat meningkatkan pH tanah dan memperkaya tanah akan
kalsium dan magnesium (Suprapto, dkk, 1992).
Bradyrhizobium japonicum
Bradyrhizobium japonicum merupakan bakteri tanah penambat nitrogen
(N2) melalui simbiosisnya dengan tanaman kedelai dengan cara membentuk bintil
akar. Simbiosis yang efektif dapat memasok kebutuhan nitrogen tanaman hingga
50%. Umumnya bakteri ini tumbuh optimum pada pH sekitar 7,0. Namun
demikian, kondisi tanah asam dapat menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan
bakteri bintil akar kedelai B. japonicum. Hal ini karena dapat menghambat
pertumbuhan dan nodulasi oleh B. japonicum yang akhimya dapat menghambat
simbiosisnya dengan tanaman kedelai (Mubarik, dkk, 2009).
B japonicum yang efektif dalam menambat nitrogen dapat memenuhi
lebih kurang 74% pasokan nitrogen yang dibutuhkan tanaman kedelai tanaman
kedelai (Suryantini, 1994).
Bradyrhizobium adalah bakteri tanah termasuk divisi protophyta kelas
Schizomycetes, ordo Eubacteriales, famili Rhizobiaceae mempunyai kemampuan
membentuk bintil akar pada tanaman legum, kriteria ini sering digunakan untuk
mengenal bakteri bintil akar. Bradyrhizobium memiliki pertumbuhan yang lambat.
B japonicum merupakan rhizobia tumbuh lambat (5-7 hari) pada medium SKM
(sari kamir manitol), bereaksi basa pada medium manitol-garam mineral,
memiliki koloni berbentuk bundar, berdiameter tidak lebih dari 1 mm dalam masa
inkubasi 5-7 hari pada medium SKM pada suhu 28° C, dan umumnya resisten
terhadap streptomisin, penisilin G, tetrasiklin, viomisin, vancomisin
Isoflavon
Senyawa isoflavon adalah satu golongan senyawa metabolit sekunder yang
banyak terdapat pada tumbuh – tumbuhan, khususnya dari golongan
Leguminoceae. Isoflavon tergolong kelompok flavonoid, senyawa polifenolik
yang banyak ditemukan pada buah–buahan, sayur–sayuran, dan biji – bijian.
Kandungan senyawa flavonoid sendiri dalam tanaman sangat rendah, yaitu sekitar
0,25 %. Senyawa – senyawa tersebut pada umumnya dalam keadaan terikat atau
terkonjugasi dengan senyawa gula (Zhang and Smith, 1997).
Kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada tanaman leguminosa,
khususnya tanaman kedelai. Pada tanaman kedelai, kandungan isoflavon yang
lebih tinggi terdapat pada biji kedelai, khususnya pada bahagian hipokotil (germ)
yang akan tumbuh menjadi bahagian tanaman, sebagian lagi terdapat pada
kotiledon yang akan menjadi daun pertama pada tanaman. Kandungan isoflavon
pada kedelai berkisar 2–4 mg/g kedelai (Leclerg and Heuson, 1999).
Isoflavon daidzein dan genistein merupakan komponen utama dari
tanaman kedelai. Genistein sebagai signal bakteri terhadap tanaman memberikan
peranan penting dalam nodulasi bintil akar oleh B japonicum pada akar tanaman
kedelai (Zhang and Smith, 1997).
Isoflavon merupakan bagian dari flavonoid yang banyak ditemukan di
dalam kedelai. Yang termasuk isoflavon di antaranya adalah genistin, daidzin.
Kandungan utama isoflavon pada kedelai adalah genistein dan daidzein walaupun
sebenarnya ada banyak kandungan isoflavon lain seperti glycitein dan
biochanin A. Isoflavon berperan sebagai kemoatraktan bagi rhizobia dan sebagai
yang berperan bagi perkembangan bintil akar pada tanaman legum. Gambar1
berikut menjelaskan model sekresi flavonoid dari akar kedelai dan simbiosis
antara legum dan rhizobium (Sugiyama and Yazaki, 2008)
Gambar1 : Model sekresi flavonoid dari akar kedelai dan simbiosis antara legum dan rhizobium (sumber: Sugiyama and Yazaki, 2008)
Simbiosis antara tanaman kacang-kacangan dengan bakteri bintil akar
memerlukan koordinasi antara ekspresi gen bakteri yang diatur melalui pertukaran
signal molecule. Tanaman legum mengeluarkan signal yang sebagian besar
berupa isoflavon yang menginduksi transkipsi dari gen nodulasi bakteri bintil akar
(seperti nod, nol atau noe genes) yang produk proteinnya diperlukan dalam proses
infeksi (Sumunar, 2003).
Simbiosis B japonicum dengan Akar Kedelai
Tanaman kedelai telah diketahui bersimbiosis dengan bakteri B japonicum
yang mampu memfiksasi N2 bebas dari udara. Hasil dari fiksasi N simbiotik dapat
memenuhi sebagian besar kebutuhan N tanaman. Untuk menambah populasi
bakteri ke dalam tanah dilakukan melalui inokulasi dengan bakteri yang aktif
sehingga diharapkan fiksasi N dapat berlangsung dengan efektif.
Infeksi bakteri kedalam akar tanaman inang merupakan awal dari mulai
dikeluarkannya asam-asam amino dan lainnya pada rhizosfer oleh akar legum,
sehingga meningkatkan jumlah Bradyrhizobium disekitar akar. Pengenalan akar
makrosimbion (akar rambut kedelai) oleh mikrosimbion (bakteri Bradyrhizobium)
dapat terjadi karena akar kedelai mengeluarkan lectiin (protein) yang dapat
dikenal oleh receptor spesifik pada permukaan bakteri, sehingga bakteri dapat
menempel pada rambut akar kedelai. Pelekat Bradyrhizobium pada bulu-bulu akar
bergantung pada ketepatan senyawa makromolekul yang dikeluarkan oleh
tanaman dengan polisakarida yang terdapat pada permukaan sel bakteri
Bradyrhizobium. Triptofan yang dikeluarkan bakteri kemudian diubah menjadi
Indoleacetic acid (IAA). Senyawa inilah yang merangsang pembengkokan bulu
akar, setelah terjadi pembengkokan Bradyrhizobium akan masuk kedalam
bulu-bulu akar dan segera membentuk benang-benang saluran infeksi. Bradyrhizobium
akan masuk kedalam sel kortek dari akar, didalam sel kortek bakteri akan
menempati sitoplasma, membentuk sel yang disebut bakteroid, dan menghasilkan
stimulan yang menyebabkan sel kortek aktif membelah sehingga menghasilkan
sel-sel poliploid. Pembentukan sel ini akan menyebabkan pembengkakan jaringan,
kemudian membentuk struktur bintil yang berisi bakteri Bradyrhizobium, dan
menonjol sampai diluar akar tanaman inangnya. Struktur ini berasosiasi sangat
erat dengan jaringan pembuluh akar disebut sebagai bintil akar atau nodul
Proses pembentukan bintil akar pada tanaman legume dapat dilihat pada
Gambar 2 berikut:
Gambar 2 : Mekanisme pembentukan bintil akar pada sistem perakaran tanaman leguminosa oleh Rhizobium (sumber: Soedarjo, 1998)
Keberhasilan simbiosis antara kedelai dengan rhizobia terjadi jika berada
dalam kondisi tanah yang menguntungkan dan galur rhizobium tersebut mampu
membentuk bintil akar dan efektif dalam menambat N2 udara. B japonicum adalah
bakteri tanah yang pertumbuhannya lambat namun efektif dan efisien dalam
menambat N2. Tanaman kedelai tidak selamanya mengandalkan N yang berasal
dari penambatan N2 secara hayati, karena bintil baru efektif setelah berumur 23
hari. Inokulasi B.japonicum secara nyata meningkatkan berat kering bintil, berat
kondisi antara lain : apabila legume yang akan ditanam belum pernah ditanam di
suatu lahan atau paling tidak 3 - 4 tahun lebih, lahan belum pernah ditanami,
apabila tidak ada bakteri indogenous yang menyebabkan terbentuknya bintil dan
jika keadaan suhu tanah tersebut ekstrem, sehingga tinggi atau rendah dapat
menurunkan populasi rhizobia di dalam tanah (Soedarjo, 1998)
Pupuk Organik
Penggunaan pupuk organik lebih menguntungkan dibandingkan pupuk
anorganik karena tidak menimbulkan sisa asam organik di dalam tanah dan tidak
akan merusak tanah bila pemberiannya berlebihan. Salah satu jenis pupuk organik
adalah kompos. Kompos diperoleh dari hasil pelapukan bahan-bahan tanaman
atau limbah organik seperti jerami, sekam, daun-daunan, rumput-rumputan,
limbah organik pengolahan pabrik, dan sampah organik yang terjadi karena
perlakuan manusia. Perlakuan yang umum dilakukan berupa penciptaan
lingkungan mikro yang dikondisikan untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Perlakuan pengomposan tersebut dapat dipercepat dengan cara penambahan
mikroorganisme decomposer atau aktivator (Anindyawati, 2010).
Penggunaan mulsa jerami pada mulanya ditujukan untuk kepentingan
agronomi, yaitu mempertahankan tingkat kelembaban tanah, menjaga suhu
permukaan tanah, mengurangi erosi, memperlambat pemiskinan K dan Si,
meningkatkan C-organik, Mg dan KTK, meningkatkan serapan hara P dan K, dan
meningkatkan stabilitas agregat tanah serta translokasi N dan P
(Purwani et al., 2000).
Berdasarkan hasil analisis laboratorium didapat kandungan hara kompos
1.99%; K2O 0,66%. Pemanfaatan jerami padi sebagai pupuk organik diantaranya
memiliki kandungan C organik yang tinggi, serta kandungan bahan organik tanah
dapat dinaikkan dan kesuburan tanah dapat dikembalikan dengan pemakaian
kompos jerami padi secara konsisten (Anindyawati, 2010). Seperti nitrogen juga
dibutuhkan untuk membentuk senyawa penting seperti klorofil, asam nukleat, dan
enzim. Karena itu, nitrogen dibutuhkan dalam jumlah relatif besar pada setiap
tahap pertumbuhan tanaman, khususnya pada tahap pertumbuhan vegetatif, seperti
pembentukan tunas, atau perkembangan batang dan daun (Novizan, 2005 ).
Masalah utama dalam pengomposan bahan organik secara alami adalah
lamanya waktu pengomposan. Untuk membuat pupuk kompos dibutuhkan waktu
2-3 bulan. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk mempercepat proses
pengomposan. Berdasarkan hasil penelitian BPTP Sukarami (2000), penggunaan
Trichoderma harzianum sangat efektif dalam proses pengomposan jerami padi.
Pemakaian Trichoderma harzianum dapat mempercepat proses pelapukan
(dekomposisi) jerami padi dalam waktu relative pendek, yaitu selama 3 minggu.
Pupuk kandang didefinisikan sebagai semua produk buangan dari binatang
peliharaan yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik,
dan biologi tanah. Apabila dalam memelihara ternak tersebut diberi alas seperti
sekam pada ayam, jerami pada sapi, kerbau dan kuda, maka alas tersebut akan
dicampur menjadi satu kesatuan dan disebut sebagai pukan pula. Beberapa petani
di beberapa daerah memisahkan antara pukan padat dan cair (Anindyawati, 2010)
Jenis pupuk kandang berdasarkan jenis ternak atau hewan yang
kuda, pupuk kandang kambing atau domba, pupuk kandang babi, dan pupuk
kandang unggas (Novizan, 2005)
Di antara jenis pupuk kandang, pupuk kandang sapilah yang mempunyai
kadar serat yang tinggi seperti selulosa, pupuk kandang sapi dapat memberikan
beberapa manfaat yaitu menyediakan unsure hara makro dan mikro bagi tanaman,
menggemburkan tanah, memperbaiki tekstur dan struktur tanah, meningkatkan
porositas, aerase dan komposisi mikroorganisme tanah, memudahkan
pertumbuhan akar tanaman, daya serap air yang lebih lama pada tanah. Tingginya
kadar C dalam pupuk kandang sapi menghambat penggunaan langsung ke lahan
karena akan menekan pertumbuhan tanaman utama. Penekanan pertumbuhan
terjadi karena mikroba decomposer akan menggunakan N yang tersedia untuk
mendekomposisi bahan organic tersebut sehingga tanaman utama akan
kekurangan N. Untuk memaksimalkan penggunaan pupuk kandang sapi harus
dilakukan pengomposan dengan rasio C/N di bawah 20 (Novizan, 2005)
Adapun komposisi unsure hara yang terkandung dalam pupuk organik
yang berasal dari kompos ternak sapi, yaitu : N (0,7 – 1,3 %), P2O5 (1,5 – 2,0 %),
K2O (0,5 – 0,8 %), C organik (10,0 – 11,0 %), MgO (0,5 – 0,7 %), dan C/N ratio
BAHAN DAN METODA PENELITIAN Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sambirejo Kecamatan Binjai
Kabupaten Langkat, dengan ketinggian tempat ± 25 m dpl, mulai
bulan Juni - Oktober 2012.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas
Anjasmoro,kompos jerami, isoflavon (genistein), isolat B japonicum, pupuk
kandang, pupuk TSP dan KCl, air untuk menyiram.
Alat yang digunakan adalah cangkul, gembor, tali plastik, meteran,
timbangan, pacak sampel, plakat nama, kalkulator, Leaf Area Meter, amplop
coklat, oven, label dan jangka sorong.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK)
faktorial yang terdiri dua faktor perlakuan, yaitu:
1. Faktor perlakuan isoflavon (genistein) dengan 2 taraf yaitu :
I0 = Tanpa genistein (0 µM)
I1 = Dengan genistein (50 µM)
2. Faktor perlakuan kombinasi B.japonicum dengan pupuk organik yaitu:
B0 = Tanpa B.japonicum
B1 = B.japonicum
B2 = B.japonicum + pupuk kandang (10 ton/ha)
B3 = B.japonicum + kompos jerami (10 ton/ha)
Sehingga diperoleh 10 kombinasi perlakuan sebagai berikut :
I0B0 I1B0
I0B1 I1B1
I0B2 I1B2
I0B3 I1B3
I0B4 I1B4
Jumlah ulangan : 3 ulangan
Jumlah plot : 30 plot
Jumlah tanaman/plot : 50 tanaman
Jumlah tanaman seluruhnya : 1500 tanaman
Jumlah sampel/plot : 5 tanaman
Jumlah sampel seluruhnya : 150 tanaman
Jarak Tanam : 40 x 20 cm
Data dari hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam model linier
sebagai berikut :
Yijk = µ + ρi + αj + βk+ (αβ)jk+ εijk
i = 1, 2, 3 j = 1, 2 k = 1, 2, 3,4,5
Yij = Hasil pengamatan pada blok ke-i terhadap penggunaan genistein pada
taraf ke-j dan kombinasi B.japonicum + pupuk organik dengan taraf
ke-k
µ = Nilai tengah
ρi = Efek dari blok ke-i
βk = Efek kombinasi B.japonicum dengan pupuk organik pada
taraf ke-k
(αβ)jk = Efek interaksi antara Genistein dengan B.japonicum
εijk = Galat percobaan dari blok ke-i akibat penggunaan genistein pada taraf
ke-j dan kombinasi B.japonicum dengan pupuk organik pada taraf ke-k
Data hasil penelitian pada perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan
dengan Uji Beda Rataan berdasarkan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada
PELAKSANAAN PENELITIAN Persiapan Lahan
Areal pertanaman terlebih dahulu dibersihkan dari gulma. Kemudian
lahan diolah dan digemburkan menggunakan cangkul dengan kedalaman kira-kira
20 cm. Kemudian dibuat plot-plot dengan ukuran 200 cm x 200 cm serta jarak
antar plot 50 cm dan jarak antar blok 50 cm dan parit drainase sedalam 30 cm
untuk menghindari genangan air.
Pengapuran
Pengapuran dolomit dilakukan 2 minggu sebelum tanam (MST) dengan
menggunakan dosis 500 kg/ha karena dari hasil analisis tanah menunjukkan pH
tanah 5,0. (Lampiran 59)
Pengomposan Jerami
Pengomposan dilakukan dengan menggunakan bioaktivator
Trichoderma harzianum. Lama pengomposan dilakukan kurang lebih selama 1
bulan. (Lampiran 60).
Inokulasi B japonicum
Isolat dibuat terlebih dahulu dengan teknik biakan murni. Setelah isolat
dibuat, maka isolat dicampur dengan benih kedelai, dilakukan pada pagi hari
sesaat sebelum tanam di tempat teduh. Benih kedelai yang telah dicampur isolat
B.japonicum ditanam dilahan sebanyak 2 benih/lubang tanam.
Perlakuan isoflavon (genistein)
Isoflavon (genistein) dilarutkan pada labu erlemeyer dengan beberapa tetes
magnetic stirer selama 1 jam. Aplikasi isoflavon sesuai perlakuan dilakukan pada
saat tanam.
Penanaman Benih
Sebelum penanaman dilakukan dibuat lubang tanam yang ditugal sedalam
± 2 cm dengan jarak tanam 40 x 20 cm, kemudian dimasukkan 2 benih per lubang
tanam lalu ditutup dengan selapis tanah.
Penjarangan
Penjarangan dilakukan pada 1 MST dengan cara menggunting tanaman
yang pertumbuhannya kurang baik dan meninggalkan 1 tanaman/lubang tanam.
Aplikasi pupuk organik
Pupuk organik yang digunakan adalah kompos jerami dan pupuk kandang.
Pengaplikasian kompos jerami dan pupuk kandang dilakukan pada saat tanam
sesuai perlakuan diberikan dengan cara mencampur pupuk tersebut dengan media
tanam. Dosis pupuk kandang yang diberikan 10 ton/ha atau setara dengan
4 kg/plot.
Pemeliharaan Tanaman Penyiangan
Penyiangan dilakukan apabila ditemukan gulma di areal penelitian.
Penyiangan dilakukan secara manual yaitu mencabut langsung dengan tangan.
Pemupukan P dan K
Pemberian pupuk P dan K dilakukan untuk semua tanaman pada saat
tanam dengan dosis yang sama (dosis rekomendasi pupuk K dan P bagi tanaman
Pengendalian Hama dan Penyakit
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan menyemprotkan
pestisida organik. Penyemprotan pestisida dilakukan sesuai dengan kondisi di
lapangan yaitu apabila terjadi serangan hama dan penyakit pada tanaman.
Panen
Panen dilakukan dengan cara dipetik satu persatu dengan menggunakan
tangan atau menggunakan pisau. Adapun kriteria panennya adalah ditandai
dengan kulit polong sudah berwarna kuning kecoklatan sebanyak 95%.
Pengamatan Parameter Tinggi Tanaman (cm)
Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang sampai dengan titik
tumbuh dengan menggunakan meteran. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan
pada interval waktu 2-6 MST.
Diameter Batang (mm)
Diameter batang diukur pada bagian batang bawah pada ketinggian 1 cm
diatas permukaan tanah dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran
dilakukan pada akhir fase vegetatif (6 MST).
Total Luas Daun (cm2)
Luas semua daun untuk tanaman sampel diukur pada 6 MST
menggunakan leaf area meter.
Jumlah Polong (polong)
Jumlah polong dihitung pada setiap tanaman, yaitu dilakukan pada saat
Jumlah Polong Berisi (polong)
Jumlah polong dihitung pada setiap tanaman yaitu polong yang telah
berisi, dilakukan pada saat tanaman telah dipanen.
Jumlah Bintil Akar (bintil)
Pengamatan jumlah seluruh bintil akar dilakukan pada akhir fase vegetatif
(6 MST). Jumlah bintil akar diamati dengan menghitung jumlah seluruh bintil
akar yang ada.
Jumlah Bintil Akar Efektif (bintil)
Pengamatan jumlah bintil akar efektif tanaman sampel dilakukan pada 6
MST. Pengamatan dilakukan dengan cara membelah bintil akar dan menghitung
jumlah bintil akar efektif yang ada, dengan ciri-ciri bernas dan jika dilukai/dibelah
berwarna merah muda.
Jumlah Cabang Produktif (cabang)
Jumlah cabang produktif yang dihitung adalah cabang yang berasal dari
batang utama pada setiap tanaman. Pengamatan dilakukan akhir masa generatif
atau pada saat tanaman telah dipanen.
Panjang Akar (cm)
Panjang akar dilakukan pada saat panen dengan cara diukur panjang dari
leher akar sampai ujung akar dengan menggunakan meteran.
Bobot Bintil Akar (g)
Bobot bintil akar dilakukan dengan menimbang bobot semua bintil akar
tanaman sampel yang didestruksi pada 6 MST.
Bobot Kering Akar (g)
Akar yang ditimbang adalah akar yang sudah dipisahkan dari tajuk dan
bobotnya konstan, lalu ditimbang dengan timbangan analitik. Pengukuran
dilakukan dengan cara destruksi akar pada 6 MST.
Bobot Kering Tajuk (g)
Tajuk yang diukur adalah tajuk yang sudah dipisahkan dari akar dan
dibersihkan dari kotoran yang ada lalu diovenkan dengan suhu 1050 C hingga bobotnya konstan, lalu ditimbang dengan timbangan analitik. Pengukuran
dilakukan dengan cara destruksi tajuk pada 6 MST.
Bobot Kering Biji per Tanaman (g)
Biji kedelai dilepaskan dari polongnya dan dijemur di bawah sinar
matahari selama 2-3 hari kemudian ditimbang tiap tanaman.
Bobot Kering 100 Biji (g)
Penimbangan dilakukan dengan menimbang 100 biji kedelai yang telah
dijemur di bawah sinar matahari selama 2-3 hari dari seluruh sampel setiap
ulangan.
Bobot kering biji / tanaman
Jumlah biji / tanaman
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Tinggi Tanaman
Data hasil pengamatan tinggi tanaman 2 - 6 MST dan sidik ragamnya
dapat dilihat pada Lampiran 1 - 10. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
perlakuan induksi genistein berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 2-4 dan 6
MST. Sedangkan perlakuan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik , interaksi
pada kedua perlakuan tersebut berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman.
Data rataan tinggi tanaman kedelai karena perlakuan induksi genistein dan
kombinasi B.japonicum dan pupuk organik dapat dilihat
pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa tinggi tanaman 6 MST pada
perlakuan dengan genistein berbeda nyata terhadap perlakuan tanpa genistein.
Perlakuan B.japonicum + kompos jerami memberikan tinggi tanaman tertinggi
dibandingkan perlakuan lainnya. Interaksi antara perlakuan dengan genistein dan
B3 memberikan tinggi tanaman tertinggi sedangkan perlakuan tanpa genistein dan
Tabel 1. Rataan Tinggi Tanaman kedelai karena perlakuan induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik
Isoflavon Rhizobium Rataan
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada multiple kolom/range test yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji Duncan
B0 = Tanpa B,japonicum I0 = Tanpa genistein
B1 = B.japonicum I1 = Dengan genistein
B2 = B.japonicum + pupuk kandang
B3 = B.japonicum + kompos jerami
Hubungan perlakuan induksi genistein terhadap tinggi tanaman dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan antara induksi genistein dengan tinggi tanaman
Berdasarkan Gambar 1, dapat dilihat bahwa perlakuan induksi genistein
meningkatkan tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa
genistein.
Diameter Batang
Data hasil pengamatan diameter batang dan sidik ragamnya dapat dilihat
pada Lampiran 11 dan 12. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa induksi
genistein dan perlakuan kombinasi B. japonicum dan pupuk organik serta
interaksi pada kedua perlakuan tersebut berpengaruh tidak nyata terhadap
diameter batang.
Data rataan diameter batang kedelai karena perlakuan induksi genistein
Tabel 2. Rataan Diameter Batang kedelai karena perlakuan induksi genistein dan kombinasi B japonicum dan pupuk organik
Isoflavon Rhizobium Rataan
B1 = B.japonicum I1 = Dengan genistein
B2 = B.japonicum + pupuk kandang
B3 = B.japonicum + kompos jerami
B4 = B.japonicum + kompos jerami + pupuk kandang
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa perlakuan dengan genistein
memberikan diameter batang yang lebih besar dibandingkan tanpa genistein.
Perlakuan B. japonicum + kompos jerami + pupuk kandang(B4) meningkatkan
diameter batang jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa
B. japonicum(B0), pemberian B. Japonicum(B1) , pemberian
B. japonicum + pupuk kandang(B2), dan pemberian B. japonicum + kompos
jerami(B3). Interaksi antara perlakuan dengan genistein dan B1 memberikan
diameter batang tertinggi sedangkan perlakuan tanpa genistein dan B2
memberikan diameter batang terendah.
Total Luas Daun
Data hasil pengamatan total luas daun pada 3-6 MST dan sidik ragamnya
dapat dilihat pada Lampiran 13 - 20. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
tanaman kedelai pada perlakuan induksi genistein , perlakuan kombinasi
B. japonicum dan pupuk organik serta interaksi pada kedua perlakuan
berpengaruh tidak nyata terhadap total luas daun.
Data rataan total luas daun (cm2) kedelai karena perlakuan induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik dapat dilihat
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa perlakuan isoflavon (genistein),
meningkatkan total luas daun 6 MST. Perlakuan B. japonicum + kompos jerami +
pupuk kandang memberikan total luas daun tertinggi dibandingkan perlakuan
lainnya. Interaksi antara genistein dan B3 memberikan total luas daun tertinggi
sedangkan interaksi antara tanpa genistein dan B2 memberikan total luas daun
terendah.
Tabel 3. Rataan Total Luas Daun kedelai karena perlakuan induksi genistein dankombinasi B.japonicum dan pupuk organik
Isoflavon Rhizobium Rataan
B1 = B.japonicum I1 = Dengan genistein
B2 = B.japonicum + pupuk kandang
B3 = B.japonicum + kompos jerami
B4 = B.japonicum + kompos jerami + pupuk kandang
Jumlah Polong
Data hasil pengamatan jumlah polong dan sidik ragamnya dapat dilihat
pada Lampiran 21 dan 22. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan
induksi genistein dan perlakuan kombinasi B. japonicum dan pupuk organik serta
Data rataan jumlah polong (polong) kedelai karena perlakuan induksi
genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik dapat dilihat
pada Tabel 4.
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa perlakuan dengan genistein
meningkatkan jumlah polong dibandingkan perlakuan tanpa genistein. Perlakuan
B. japonicum + kompos jerami + pupuk kandang memberikan jumlah polong
tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Interaksi antara genistein dan B1
memberikan jumlah polong tertinggi sedangkan interaksi tanpa genistein dan B0
memberikan jumlah polong terendah.
Tabel 4. Rataan Jumlah Polong kedelai karena perlakuan induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik
Isoflavon Rhizobium Rataan
B1 = B.japonicum I1 = Dengan genistein
B2 = B.japonicum + pupuk kandang
B3 = B.japonicum + kompos jerami
B4 = B.japonicum + kompos jerami + pupuk kandang
Jumlah Polong Berisi
Data hasil pengamatan jumlah polong berisi dan sidik ragamnya dapat
dilihat pada Lampiran 23 dan 24. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
perlakuan induksi genistein dan perlakuan kombinasi B.japonicum dan pupuk
organik serta interaksi antara genistein dan B. japonicum berpengaruh tidak nyata
Data rataan jumlah polong berisi (polong) kedelai karena perlakuan
induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik dapat dilihat
pada Tabel 5.
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa perlakuan induksi genistein
meningkatkan jumlah polong berisi dibandingkan perlakuan tanpa genistein.
Perlakuan B. japonicum + kompos jerami + pupuk kandang memberikan jumlah
polong berisi tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Interaksi genistein dan B1
memberikan jumlah polong berisi tertinggi sedangkan interaksi genistein dan B0
memberikan jumlah polong berisi terendah.
Tabel 5. Rataan Jumlah Polong Berisi kedelai karena perlakuan induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik
Isoflavon Rhizobium Rataan
Data hasil pengamatan jumlah bintil akar dan sidik ragamnya dapat dilihat
pada Lampiran 25 dan 26. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tanaman
kedelai pada perlakuan induksi genistein dan perlakuan kombinasi B. japonicum
dan pupuk organik serta interaksi pada kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata
Data rataan jumlah bintil akar (bintil) kedelai karena perlakuan induksi
genistein dan kombinasi B. japonicum dan pupuk organik dapat dilihat pada
Tabel 6.
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa perlakuan genistein meningkatkan
jumlah bintil akar. Perlakuan B. japonicum + kompos jerami + pupuk kandang
memberikan jumlah bintil akar tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya.
Interaksi antara genistein dan B0 memberikan jumlah bintil akar tertinggi
sedangkan interaksi antara perlakuan tanpa genistein dan B0 memberikan jumlah
bintil akar terendah.
Tabel 6. Rataan Jumlah Bintil Akar kedelai karena perlakuan induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik
Isoflavon Rhizobium Rataan
B1 = B.japonicum I1 = Dengan genistein
B2 = B.japonicum + pupuk kandang
B3 = B.japonicum + kompos jerami
B4 = B.japonicum + kompos jerami + pupuk kandang
Jumlah Bintil Akar Efektif
Data hasil pengamatan jumlah bintil akar efektif dan sidik ragamnya
dapat dilihat pada Lampiran 27 dan 28. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
tanaman kedelai pada perlakuan induksi genistein dan perlakuan kombinasi
B. japonicum dan pupuk organik serta interaksi pada kedua perlakuan
Data rataan jumlah bintil akar efektif (bintil) kedelai karena perlakuan
induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik dapat dilihat
pada Tabel 7.
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa perlakuan dengan genistein
meningkatkan jumlah bintil akar efektif. Perlakuan B. japonicum + kompos jerami
memberikan jumlah bintil akar efektif tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya.
Interaksi tanpa genistein dan B3 memberikan jumlah bintil akar efektif tertinggi,
sedangkan interaksi tanpa genistein dan B0 memberikan jumlah bintil akar efektif
terendah.
Tabel 7. Rataan Jumlah Bintil Akar Efektif kedelai karena perlakuan induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik
Isoflavon Rhizobium Rataan
B1 = B.japonicum I1 = Dengan genistein
B2 = B.japonicum + pupuk kandang
B3 = B.japonicum + kompos jerami
B4 = B.japonicum + kompos jerami + pupuk kandang
Jumlah Cabang Produktif
Data hasil pengamatan jumlah cabang produktif dan sidik ragamnya dapat
dilihat pada Lampiran 29 dan 30. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tanaman
kedelai pada perlakuan induksi genistein dan perlakuan kombinasi B. japonicum
dan pupuk organik serta interaksi pada kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata
Data rataan jumlah cabang produktif (cabang) kedelai karena perlakuan
induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik dapat dilihat
pada Tabel 8.
Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa perlakuan tanpa genistein
meningkatkan jumlah cabang produktif. Perlakuan B. japonicum + kompos jerami
+ pupuk kandang memberikan jumlah cabang produktif tertinggi dibandingkan
perlakuan lainnya. Interaksi antara perlakuan tanpa genistein dan B4 memberikan
jumlah cabang produktif tertinggi dan interaksi antara perlakuan tanpa genistein
dan B0 memberikan jumlah cabang produktif terendah.
Tabel 8. Rataan Jumlah Cabang Produktif kedelai karena perlakuan induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik
Isoflavon Rhizobium Rataan
B1 = B.japonicum I1 = Dengan genistein
B2 = B.japonicum + pupuk kandang
B3 = B.japonicum + kompos jerami
B4 = B.japonicum + kompos jerami + pupuk kandang
Panjang Akar
Data hasil pengamatan panjang akar dan sidik ragamnya dapat dilihat
pada Lampiran 31 dan 32. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tanaman
kedelai pada perlakuan induksi genistein dan perlakuan kombinasi B. japonicum
dan pupuk organik berpengaruh tidak nyata dan interaksi pada kedua perlakuan
berpengaruh nyata terhadap panjang akar.
Data rataan panjang akar (cm) kedelai karena perlakuan induksi genistein
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa pelakuan dengan genistein
meningkatkan panjang akar. Perlakuan B. japonicum + kompos jerami
memberikan panjang akar tertinggi daripada perlakuan lainnya. Interaksi antara
perlakuan genistein dan B4 memberikan panjang akar tertinggi berbeda nyata
dengan perlakuan I0B1 (18,50 cm), I1B0 (19,97 cm) dan berbeda tidak nyata
dengan perlakuan I0B1, I0B2, I0B3, I1B0, I1B2, I1B3, I1B4.
Tabel 9. Rataan Panjang Akar kedelai karena perlakuan induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik
Isoflavon Rhizobium Rataan
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada multiple kolom/range test yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji Duncan
B0 = Tanpa B,japonicum I0 = Tanpa genistein
B1 = B.japonicum I1 = Dengan genistein
B2 = B.japonicum + pupuk kandang
B3 = B.japonicum + kompos jerami
B4 = B.japonicum + kompos jerami + pupuk kandang
Bobot Bintil Akar
Data hasil pengamatan bobot bintil akar dan sidik ragamnya dapat dilihat
pada Lampiran 33 dan 34. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tanaman
kedelai pada perlakuan induksi genistein dan perlakuan kombinasi B. japonicum
dan pupuk organik serta interaksi pada kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata
terhadap bobot bintil akar.
Data rataan bobot bintil akar (g) kedelai karena perlakuan induksi
genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik dapat dilihat
pada Tabel 10.
Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa perlakuan dengan genistein
memberikan bobot bintil akar tertinggi daripada perlakuan lainnya. Interaksi
antara genistein dan B3 memberikan bobot bintil akar sedangkan interaksi
perlakuan tanpa genistein dan B0 memberikan bobot bintil akar terendah.
Tabel 10. Rataan Bobot Bintil Akar kedelai karena perlakuan induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik
Isoflavon Rhizobium Rataan
B1 = B.japonicum I1 = Dengan genistein
B2 = B.japonicum + pupuk kandang
B3 = B.japonicum + kompos jerami
B4 = B.japonicum + kompos jerami + pupuk kandang
Bobot Kering Tajuk
Data hasil pengamatan bobot kering tajuk pada umur 3 – 6 MST dan
analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 35 – 42. Hasil sidik ragam
menunjukkan bahwa pada 6 MST tanaman kedelai pada perlakuan induksi
genistein, perlakuan kombinasi B. japonicum dan pupuk organik serta interaksi
pada kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering tajuk.
Data rataan bobot kering tajuk (g) kedelai karena perlakuan induksi
genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik dapat dilihat
pada Tabel 11.
Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa perlakuan dengan genistein
meningkatkan bobot kering tajuk 6 MST. Perlakuan B. japonicum + kompos
jerami + pupuk kandang memberikan bobot kering tajuk tertinggi daripada
perlakuan lainnnya. Interaksi antara perlakuan genistein dan B3 memberikan
bobot kering tajuk tertinggi sedangkan interaksi tanpa genistein dan B3
Tabel 11. Rataan Bobot Kering Tajuk kedelai karena perlakuan induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik
Isoflavon Rhizobium Rataan
B1 = B.japonicum I1 = Dengan genistein
B2 = B.japonicum + pupuk kandang
B3 = B.japonicum + kompos jerami
B4 = B.japonicum + kompos jerami + pupuk kandang
Bobot Kering Akar
Data hasil pengamatan bobot kering akar pada umur 3 – 6 MST dan
analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 43 – 50. Hasil sidik ragam
menunjukkan bahwa pada perlakuan induksi genistein dan perlakuan kombinasi
B.japonicum dan pupuk organik serta interaksi pada kedua perlakuan berpengaruh
tidak nyata terhadap bobot kering akar.
Data rataan bobot kering akar (g) kedelai karena perlakuan induksi
genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik dapat dilihat
Tabel 12. Rataan Bobot Kering Akar kedelai karena perlakuan induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik
Isoflavon Rhizobium Rataan
B1 = B.japonicum I1 = Dengan genistein
B2 = B.japonicum + pupuk kandang
B3 = B.japonicum + kompos jerami
B4 = B.japonicum + kompos jerami + pupuk kandang
Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa perlakuan dengan genistein
meningkatkan bobot kering akar 6 MST. Perlakuan B. japonicum + B0
memberikan bobot kering akar tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya.
Interaksi antara perlakuan genistein dan B0 memberikan bobot kering akar
tertinggi sedangkan interaksi perlakuan tanpa genistein dan B1 memberikan bobot
kering akar terendah.
Bobot Kering Biji per Tanaman
Data hasil pengamatan bobot kering biji per tanaman dan sidik ragamnya
dapat dilihat pada Lampiran 51 dan 52. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
tanaman kedelai pada perlakuan induksi genistein dan perlakuan kombinasi
berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering biji per tanaman. Gambar hasil
bobot kering biji per tanaman tersaji pada lampiran 61.
Data rataan bobot kering biji per tanaman (g) kedelai karena perlakuan
induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik dapat dilihat
pada Tabel 13.
Tabel 13. Rataan Bobot Kering Biji per Tanaman kedelai karena perlakuan induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik
Isoflavon Rhizobium Rataan
B1 = B.japonicum I1 = Dengan genistein
B2 = B.japonicum + pupuk kandang
B3 = B.japonicum + kompos jerami
B4 = B.japonicum + kompos jerami + pupuk kandang
Berdasarkan Tabel 13 diketahui bahwa perlakuan dengan genistein
meningkatkan bobot kering biji per tanaman. Perlakuan B. japonicum + kompos
jerami memberikan bobot kering biji tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya.
Interaksi antara perlakuan tanpa genistein dan B3 memberikan bobot kering biji
per tanaman tertinggi sedangkan interaksi perlakuan tanpa genistein dan B0
memberikan bobot kering biji per tanaman terendah.
Bobot Kering 100 Biji
Data hasil pengamatan bobot kering 100 biji dan sidik ragamnya dapat
dilihat pada Lampiran 53 dan 54. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tanaman
kedelai pada perlakuan induksi genistein, perlakuan kombinasi
B. japonicum dan pupuk organik serta interaksi pada kedua perlakuan
Data rataan bobot kering 100 biji (g) kedelai karena perlakuan induksi
genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik dapat dilihat
pada Tabel 14.
Tabel 14. Rataan Bobot Kering 100 Biji kedelai karena perlakuan induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dan pupuk organik
Isoflavon Rhizobium Rataan
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada multiple kolom/range test yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji Duncan
B0 = Tanpa B,japonicum I0 = Tanpa genistein
B1 = B.japonicum I1 = Dengan genistein
B2 = B.japonicum + pupuk kandang
B3 = B.japonicum + kompos jerami
B4 = B.japonicum + kompos jerami + pupuk kandang
Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa perlakuan dengan genistein
meningkatkan bobot kering 100 biji. Perlakuan B. japonicum + kompos jerami
memberikan bobot kering 100 biji berbeda nyata dengan perlakuan tanpa
B.japonicum. Interaksi antara perlakuan genistein dan B3 memberikan bobot
kering 100 biji tertinggi sedangkan interaksi perlakuan tanpa genistein dan B0
memberikan bobot kering 100 biji terendah.
Pembahasan
Respons Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merill) terhadap Induksi Genistein
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa genistein berpengaruh nyata
hanya terhadap tinggi tanaman.
Perlakuan dengan genistein dapat meningkatkan tinggi tanaman. Hal ini
karena genistein yang berperan sebagai sinyal molekul dalam nodulasi bintil akar
antara B.japonicum dan akar kedelai memberikan pengaruh positif dalam
mengakibatkan pertumbuhan vegetatif meningkat. Hal ini sejalan dengan
pendapat Harjowigeno (2003) bahwa pupuk N dapat meningkatkan pertumbuhan
vegetatif tanaman dan meningkatkan protein.
Perlakuan genistein memberikan hasil tidak nyata terhadap berat kering
akar, berat kering tajuk, panjang akar, jumlah polong berisi, bobot bintil akar,
bobot kering biji karena adanya pengaruh faktor lingkungan seperti suhu,
kekeringan yang dapat menghambat peran dari genistein sebagai sinyal molekul
dalam nodulasi bintil akar antara B.japonicum dan akar kedelai. Hal ini sejalan
dengan pendapat (Napoles, 2009) bahwa kondisi lingkungan seperti suhu
kekeringan dapat berpengaruh negatif terhadap simbiosis antara legum dan
rhizobia.
Respons Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merill) Terhadap Kombinasi Inokulasi B japonicum dan Pupuk Organik
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kombinasi B.japonicum dan
pupuk organik hanya berpengaruh nyata terhadap bobot kering 100 biji.
Pemberian inokulasi B.japonicum berpengaruh nyata terhadap bobot
kering 100 biji, hal ini diduga bakteri B.japonicum mengikat nitrogen dari udara
dan mengubahnya menjadi nitrogen yang dapat digunakan dalam pertumbuhan
tanaman. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Padmini dkk (1998) bahwa bakteri
rhizobium mengikat nitrogen dari udara dan mengubahnya menjadi nitrogen yang
dapat digunakan dalam pertumbuhan tanaman dan mencapai puncaknya pada saat
pengisian polong.
Pemberian inokulasi B.japonicum dan kombinasi pupuk organik
memberikan hasil tidak nyata terhadap tinggi tanaman, panjang akar, berak kering
disebabkan karena efektivitas dari B.japonicum juga bergantung kepada faktor
lingkungan seperti suhu dan kekeringan.
Respons Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merill) Terhadap Interaksi Induksi Genistein dan Kombinasi Inokulasi B japonicum dan Pupuk Organik
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa interaksi antara genistein
dan kombinasi B.japonicum dengan pupuk organik secara umum berpengaruh
nyata terhadap panjang akar.
Pemberian genistein dan kombinasi B.japonicum dengan pupuk organik
menunjukkan hasil yang nyata terhadap panjang akar karena adanya pengaruh
sinergi antara kedua faktor yaitu genistein yang berperan sebagai sinyal molekul
dalam nodulasi bintil akar dan kombinasi B.japonicum dengan pupuk organik
memberikan pengaruh positif dalam peningkatan ketersediaan N bagi tanaman.
Peningkatan ketersediaan N mengakibatkan pertumbuhan vegetatif meningkat,
karena hara N diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif tanaman. Hal ini sejalan
dengan pendapat Hardjowigeno (2003) bahwa pupuk N dapat meningkatkan
pertumbuhan dan reproduksi tanaman.
Bakteri B.japonicum yang bersimbiosis dengan akar kedelai dapat
membentuk bintil akar dan memanfaatkan nitrogen yang difiksasi untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai. Bakteri ini mampu menambat
nitrogen bebas (N2) dari udara yang kemudian dilepaskan kembali untuk
pertumbuhan tanaman. Simbiosis antara bakteri Rhizobium dengan tanaman
kedelai merupakan simbiosis mutualistik yaitu hubungan yang saling
menguntungkan, dimana unsur nitrogen tersebut dimanfaatkan untuk
pertumbuhan tanaman kedelai, sedangkan bakteri Rhizobium memerlukan
Pemberian genistein dan kombinasi B.japonicum dengan pupuk organik
memberikan hasil tidak nyata terhadap tinggi tanaman, berat kering akar, berat
kering tajuk, jumlah polong berisi, bobot bintil akar, bobot kering biji karena
adanya pengaruh faktor lingkungan seperti suhu, kekeringan yang dapat
menghambat pengaruh sinergi antara kedua faktor yaitu genistein sebagai sinyal
molekul dalam nodulasi bintil akar dan kombinasi B.japonicum dengan pupuk
organik. Hal ini sejalan dengan pendapat (Serraj et al, 2003) bahwa kondisi
lingkungan seperti kekeringan dapat berpengaruh negatif terhadap simbiosis
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pemberian B.japonicum dan kombinasi pupuk organik berpengaruh nyata
terhadap bobot kering 100 biji.
2. Pengaruh induksi genistein meningkatkan tinggi tanaman.
3. Interaksi antara induksi genistein dan kombinasi B.japonicum dengan pupuk
organik berpengaruh nyata terhadap panjang akar.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian peubah amatan produksi (bobot kering 100
biji) disarankan penanaman kedelai dengan penggunaan genistein, dan
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T, 2005. Budidaya dengan Pemupukan Yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar Kedelai. Seri Agribisnis. Penebar Swadaya, Malang.
Andrianto, T. T., dan Indarto, N., 2004. Budidaya dan Analisis Usaha Tani Kedelai. Penerbit Absolut, Yogyakarta.
Anindyawati, T., 2010. Potensi Selulase dalam Mendegradasi Lignoselulosa Limbah Pertanian untuk Pupuk Organik. Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Bogor.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sukarami 2000. Pengomposan Jerami Padi dengan T. harzianum. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sukarami. Solok. Sumatera Barat. 18 hal.
Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta : Akademika Presindo
Hidayat A, Mulyani A. 2002. Lahan Kering untuk Pertanian. Di dalam : Adimihardja A, Mappaona, Saleh A (Penyunting). Teknologi pengelolaan lahan kering menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Bogor : Puslitbangtanak. hlm 1-34.
Diakses pada tanggal 2 september 2012
Islami, Titiek dan Utomo, Wani H., 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. Semarang. IKIP Semarang Press
Jordan, D. C., 1982, Transfer of Rhizobium japonicum Buchanan 1980 to
Bradyrhizobium gen., nov., a genus of slow-growing, root nodule bacteria from leguminous plants, Int. J. Sys. Bacteriol 32: 136 – 139
Lamina, 1989. Kedelai dan Pengolahannya. Simpleks, Jakarta
Leclerq, G and Heuson JC., 1999. Physiological and Pharmacological Effect of esterogens in Breast Cancer. Biochim Biophys Acta. 560;427-55.
Manitto, P., 1980. Biosynthesis of Natural Products. Penerjemah Koensoemardiyah. IKIP Semarang Press, Semarang.
Mubarik, N. R., A. T. Wahyudi, Dan T. Imas, 2009, Potensi B japonicum Toleran Asam-Aluminium Sebagai Inokulan Pada Tanaman Kedelai, Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB 2009, Hal: 655 – 665
Padmini. O. S., F. Rumawas., H. Aswidinoor., dan E. L. Sisworo., 1998. Pengaruh Nitrogen dan Bradyrhizobium japonicum Terhadap Pertumbuhan Kedelai (Glycine max (L.) Merr) Umur Dalam dengan Metode N. Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi. IPB Bogor
Purwani, J., A. Kentjanasari, dan T. Prihatini. 2000. Serapan hara dan hasil padi serta populasi bakteri pada tanah sawah setelah pembenaman jerami dan pemberian pupuk hayati. Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Lahan. Editor Las, I., O. Harijaya, D.D. Tarigan, dan F. Agus, halaman 269. Cisarua Bogor 9 11 Februari 1999. Puslit Tanah dan Agroklimat.
Rao, N.S.R., 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. UI Press, Jakarta. Hal 307-310.
Rubatzky, V.E dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia, Prinsip, Produksi, dan
Gizi. Edisi kedua. Penerjemah Catur Herison. ITB Press, Bandung. Hal: 262.
Sebayang, dkk. 2000. Pengaruh Beberapa Metode Pengendalian Gulma terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glycine Max L.). Malang: Habitat FPUB.
Soedarjo, M. 1998. Komunikasi Intim Antara (Brady) Rhizobium dengan Tanaman Kacang-kacangan Mengawali Nodulasi. Di dalam Prosiding Seminar Nasional dan pertemuan Tahunan KOMDA HITI hlm: 371- 379.
Sugiyama, A., Nobukazu Shitan and K. Yazaki. 2008. Signaling from soybean roots to rhizobium. An ATP-inding casette-type transporter mediates genistein secretion. Adendum. Plant Signaling & Behaviour 3:1, January 2008. Landes Bioscience. http: //www.landes-bioscience.com /journals/ psb/article/4819.
Sumunar, A.I. 2003. Kompatibilitas dan Daya Kompetisi Rhizobium yang diberi penginduksi Gen Nod pada Berbagai Varietas Kedelai di Lahan Kering Masam. Warta Balitbio No. 21, April 2003.
Sumarno, A. Prasongko, dan H. Soewanto. 2010. Agribisnis Edamame untuk Ekspor. Balai Pustaka, Jakarta.
Suprapto, H; Machmud, M;Soewito, T;Pasaribu, D; Sutrisno; Adang, K; Nono, M;., 1992. Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor.
Suryantini, 1994. Inokulasi Rhizobium pada Kacang-kacangan. Malang:Balittan
Lampiran 56. Bagan Penanaman Pada Plot
X X X X X
X X X X X
X X X X X
X X X X X
X X X X X
X X X X X
X X X X X
X X X X X
X X X X X
X X X X X
200 cm
200 cm
40 cm
Lampiran 58. Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Penelitian
Rencana Penelitian Minggu ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Persiapan Lahan X
Pengomposan Jerami X
Inokulasi Bradyrhizobium
Penanaman Benih X
Penjarangan X
Aplikasi pupuk organik X
Pemeliharaan Tanaman
Disesuaikan Dengan Kondisi Di Lapangan
PenyiramanPenyiangan
Pemupukan P dan K X
Pengendalian Hama dan Penyakit
Disesuaikan Dengan Kondisi Di Lapangan
Panen X
Pengamatan Parameter
Tinggi Tanaman (cm) X X X X X X
Diameter Batang (mm) X
Total Luas Daun (cm2) X
Jumlah Polong (polong) X
Jumlah Polong Berisi (polong)
X
Jumlah Bintil Akar (bintil) X
Jumlah Bintil Akar Efektif (bintil)
Bobot Polong per Tanaman (g)
X
Bobot Polong Berisi (g) X
Bobot Kering Biji per Tanaman (g)
X
Lampiran 55. Deskripsi Kedelai Varietas Anjasmoro
Dilepas Tahun : 22 Oktober 2001
SK Mentan : 537/Kpts/TP.240/10/2001
Nomor galur : Mansuria 395-49-4
Asal : Seleksi massa dari populasi galur murni Mansuria
Daya hasil : 2,03-2,25 t/ha
Umur berbunga : 35,7-39,4 hari
Umur polong masak : 82,5-92,5 hari
Tinggi tanaman : 64-68 cm
Percabangan : 2,9-5,6 cabang
Jumlah buku batang utama : 12,9-14,8
Bobot 100 biji : 14,8-15,3 g
Kandungan protein : 41,8-42,1%
Kandungan lemak : 17,2-18,6%
Kerebahan : Tahan rebah
Ketahanan terhadap penyakit : Moderat terhadap karat daun Sifat-sifat lain : Polong tidak mudah pecah
Lampiran 59. Hasil Analisis Tanah
PT NUSA PUSAKA KENCANA RESEARCH AND DEVELOPMENT
SOIL ANALYSIS REPORT
Jenis Contoh : Tanah Tanggal Terima : 20/1/2012 Tanggal Analisis : 09/2/2012
No. Analisis Metode 6. KTK (Exchangeable Cation)
Lampiran 60. Prosedur Pembuatan Kompos Jerami
Bahan-bahan yang diperlukan :
Jerami padi, Pupuk Urea 2kg, TSP 2kg, KCL 2kg, Pupuk Kandang 20kg, Trichoderma harzianum
Cara Pembuatan :
1. Siapkan jerami padi seperlunya
2. Campur secara merata Pupuk urea, TSP, KCL dan pupuk kandang 3. Jerami ditumpuk dibagi menjadi 4 bagian/lapisan
4. Setelah bagian/lapisan pertama dibuat, kemudian diatas jerami ditaburi pupuk yang sudah dicampur secara merata, kemudian setelah itu ditaburi Trichoderma harzianum
5. Kemudian aduk jerami sampai merata menggunakan cangkul
6. Ulangi langkah ke 4 dan ke 5 sampai 4 bagian/lapisan
7. Setelah selesai 4bagian/lapisan tumpukan jerami ditutup menggunakan terpal, jerami ditutup terpal selama kurang lebih 1bulan, selama 1bulan, dilakukan pengecekan kelembapan jerami, jika kering, jerami harus disiram. Setelah 1bulan, kompos jerami sudah jadi, seperti gambar.