FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGGUNAAN VASEKTOMI DI KECAMATAN PADANG HILIR KOTA TEBING TINGGI
TAHUN 2014
TESIS
Oleh
SILVIA SAFITRI HASIBUAN 127032235/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGGUNAAN VASEKTOMI DI KECAMATAN PADANG HILIR KOTA TEBING TINGGI
TAHUN 2014
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
OLEH
SILVIA SAFITRI HASIBUAN 127032235/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGGUNAAN VASEKTOMI DI KECAMATAN PADANG HILIR KOTA TEBING TINGGI
TAHUN 2014
Nama Mahasiswa : Silvia Safitri Hasibuan Nomor Induk Mahasiswa : 127032235
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D Ketua
) (Asfriyati, S.K.M., M.Kes Anggota
)
Dekan
Telah diuji
Pada Tanggal : 29 Oktober 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D Anggota : 1. Asfriyati, S.K.M., M.Kes
2. dr. Heldy BZ, M.P.H
PERNYATAAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGGUNAAN VASEKTOMI DI KECAMATAN PADANG HILIR KOTA TEBING TINGGI
TAHUN 2014
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Januari 2015
ABSTRAK
Data akseptor vasektomi di Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi pada tahun 2013 sampai dengan Mei 2014 berjumlah 37 orang dari 4.697 Pasangan Usia Subur merupakan persentase terendah setelah Kecamatan Padang Hulur yaitu 18 orang. Faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap), faktor pemungkin (ketersediaan pelayanan vasektomi dan keterjangkauan sarana kesehatan), serta faktor penguat (dukungan istri dan peran petugas kesehatan) diduga memengaruhi penggunaan akseptor vasektomi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap), faktor pemungkin (ketersediaan pelayanan vasektomi dan keterjangkauan sarana kesehatan), serta faktor penguat (dukungan istri dan peran petugas kesehatan) yang memengaruhi penggunaan vasektomi di Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi Tahun 2014. J
Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh ketersediaan pelayanan vasektomi (p=0,013), dukungan istri (p=0,021), dan peran petugas kesehatan (p=0,003) terhadap penggunaan vasektomi. Tidak ada pengaruh pengetahuan, sikap, dan keterjangkauan sarana kesehatan terhadap penggunaan vasektomi.
enis penelitian adalah observasional dengan rancangan case control study. Populasi adalah suami sebagai Pasangan Usia Subur pengguna vasektomi sebanyak 37 orang (kasus) dan bukan sebagai akseptor vasektomi sebanyak 37 orang (kontrol), sehingga jumlah sampel 74 orang dengan matching jumlah anak dan tempat tinggal. Pengumpulan data dengan wawancara berpedoman kepada kuesioner. Data dianalisis secara univariat, bivariat dengan uji statistik chi square dan multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda pada taraf kemaknaan 95%.
Disarankan agar pemerintah Kota Tebing Tinggi lebih mengoptimalkan petugas kesehatan dan kader dalam memberikan pendidikan kesehatan, menyelenggarakan KB Safari sebulan sekali dan melibatkan tokoh agama dan lainnya sebagai penyuluh tentang kontrasepsi vasekotmi.
ABSTRACT
The Data of vasectomy acceptors in Padang Hilir Subdistrict, Tebing Tinggi, from 2013 to May, 2014 showed that of 4,697 productive-aged couples, only 37 of them participated as vasectomy acceptors; the lowest percentage in Padang Hilir Subdistrict was 18 acceptors. The factor of predisposition (knowledge and attitude), the factor of possibility (availability of vasectomy service and affordability of health facility), and the factor of strengthening (support from wives and the role of health care providers) influenced the use of vasectomy.
The objective of the research was to find out and to analyze disposition factor (knowledge and attitude), possibility factor (availability of vasectomy service and affordability of health facility) and strengthening facility (support from wives and the role of health care providers) which influenced the use of vasectomy in Padang Hilir Subdistrict, Tebing Tinggi, in 2014. The research used observational method with case control study. The population was 37 productive-aged couples (case) and 37 vasectomy acceptors (control) so that there were 74 respondents with matching the number of children and dwelling. The data were gathered by conducting interviews, guided by questionnaires and analyzed by using univatriate analysis, bivatriate analysis with chi square test, and multivatriate analysis with multiple logistic regression tests at the significance level of 95%.
The result of the research showed that there were the influences of the availability of vasectomy service (p = 0.013), support from wives (p = 0.021), and the role of health care providers (p = 0.003) on the use of vasectomy. There was no influence of knowledge, attitude, and affordability of health facility on the use of vasectomy.
It is recommended that Tebing Tinggi City Administration optimize health care providers and cadres in providing health education, organizing KB Safari once a month and involve religious figures as counselors in vasectomy contraception.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT, atas berkat dan limpahan rahmatNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Vasektomi di Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi Tahun 2014”.
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan
pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan
Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.
Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc (CTM).,Sp.A.,(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan penulis menjadi mahasiswa Program
Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
4. Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D sekaligus Ketua Pembimbing atas segala
ketulusannya dalam menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan,
dorongan, saran dan perhatian selama proses proposal hingga penulisan tesis ini
selesai
5. Asfriyati, S.K.M., M.Kes selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala
ketulusannya dalam menyediakan waktu untuk memberikan motivasi selama
proses proposal hingga penulisan tesis ini selesai.
6. dr. Heldy BZ, M.P.H dan Drs. Abdul Jalil A.A., M.Kes selaku Tim Penguji yang
telah banyak memberikan saran, bimbingan dan perhatian selama penulisan tesis.
7. Dedi P. Siagian, S.STP., M.Si, selaku Kepala Camat Padang Hilir Kota Tebing
Tinggi yang telah memberikan izin penelitian dan memberikan dukungan kepada
penulis dalam rangka menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara Medan.
8. Para Dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2
Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas
Kesehatan masyarakat Universitas Sumatera Utara.
9. Ucapan terima kasih yang tulus saya tujukan kepada ayahanda Chairul Anwar
Hasibuan dan Ibunda Hj. Salmiah dan seluruh keluarga besar penulis yang telah
memberikan dukungan moril serta doa dan motivasi selama penulis menjalani
10.Buat suami tercinta Arif Susanto, S.T yang telah memberikan motivasi dan
dukungan moril maupun materi selama penulis mengikuti pendidikan hingga
selesai.
11.Teristimewa buat anakku Safhira Atsil Arviannisa yang telah menjadi motivator
untuk menyelesaikan studi ini.
12.Teman-teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Universitas Sumatera Utara, atas bantuannya dan memberikan semangat dalam
penyusunan tesis ini.
Akhirnya saya menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu, saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan
harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Medan, Januari 2015 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Silvia Safitri Hasibuan, lahir pada tanggal 30 Juli 1981 di Kelurahan Bandar
Sakti Kecamatan Kecamatan Bajenis Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara,
beragama Islam, anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Chairul Anwar
Hasibuan dan Ibunda Hj. Salmiah, bertempat tinggal di Jalan Kf. Tandean Kelurahan
Bandar Sakti Kecamatan Kecamatan Bajenis Kota Tebing Tinggi. Penulis menikah
tanggal 22 Juli 2007 dengan Arif Susanto, S.T dan dikaruniai seorang putri Safhira
Atsil Arviannisa.
Penulis mulai melaksanakan pendidikan SD Negeri No 163099 Tebing Tinggi
tamat pada tahun 1992, melanjutkan pendidikan SMP Negeri 5 Tebing Tinggi tamat
pada tahun 1995, melanjutkan pendidikan SMA Negeri 1 Tebing Tinggi tamat tahun
1998, melanjutkan pendidikan D III Akademi Kebidanan Pemko Tebing Tinggi tamat
tahun 2003, selanjutnya menamatkan D IV Bidan Pendidik Universitas Sumatera
Utara tahun 2007. Kemudian pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan
Pascasarjana Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan
Reproduksi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis mulai bekerja sebagai PNS tahun 2003 di Dinas Kesehatan Kota
Tebing Tinggi dan menjadi pengajar di Akademi Kebidanan Pemko Tebing Tinggi
DAFTAR ISI
2.2. Program Keluarga Berencana (KB) ... 16
2.2.1. Pengertian, Visi, dan Misi ... 16
2.2.2. Tujuan dan Manfaat KB ... 17
2.2.3. Sasaran Program KB ... 19
2.3. Metode Kontrasepsi KB Pria ... 20
2.3.1. Pengertian Kontrasepsi ... 20
2.3.2. Metode Kontrasepsi Vasektomi ... 24
2.4. Landasan Teori ... 34
3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 43
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 44
3.5.2. Definisi Operasional ... 45
3.6. Metode Pengukuran ... 45
3.7. Metode Analisis Data ... 47
3.7.1. Analisis Univariat ... 47
3.7.2. Analisis Bivariat ... 47
3.7.3. Analisis Multivariat ... 48
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 50
4.1 Gambaran Umum Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi ... 50
4.2 Analisis Univariat ... 51
4.2.1. Karakteristik Pengguna vasektomi ... 51
4.2.2. Faktor Predisposisi ... 53
5.1 Pengaruh Pengetahuan terhadap Penggunaan Vasektomi ... 62
5.2 Pengaruh Sikap terhadap Penggunaan Vasektomi ... 64
5.3 Pengaruh Ketersediaan Pelayanan Vasektomi terhadap Penggunaan Vasektomi ... 65
5.4 Pengaruh Keterjangkauan Sarana Kesehatan terhadap Penggunaan Vasektomi ... 67
5.5 Pengaruh Dukungan Istri terhadap Penggunaan Vasektomi .. 68
5.6 Pengaruh Peran Petugas Kesehatan terhadap Penggunaan Vasektomi ... 70
5.7 Pengaruh Ketersediaan Pelayanan Vasektomi, Dukungan Istri dan Peran Petugas terhadap Penggunaan Vasektomi ... 72
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75
6.1 Kesimpulan ... 75
6.2 Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 78
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
3.1. Definisi Operasional Variabel ... 45 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Penelitian ... 46 4.1. Karakteristik Pengguna Vasektomi Kasus dan Kontrol ... 52 4.2. Distribusi Pengguna Vasektomi Kasus dan Kontrol Berdasarkan
Faktor Predisposisi ... 53 4.3. Distribusi Pengguna Vasektomi Kasus dan Kontrol Berdasarkan
Faktor Pemungkin ... 54 4.4. Distribusi Pengguna Vasektomi Kasus dan Kontrol Berdasarkan
Faktor Penguat ... 55 4.5. Tabulasi Silang Faktor Predisposis (Pengetahuan dan Sikap)
dengan Penggunaan Vasektomi ... 58
4.6. Pengaruh Faktor Pemungkin (Ketersediaan Pelayanan
Vasektomi), dan Faktor Penguat (Dukungan Istri dan Peran Petugas Kesehatan) yang Memengaruhi terhadap Penggunaan
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 80
2. Hasil Pengolahan Data ... 86
3. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Medan 110
4. Surat Izin Penelitian dari Badan Kesbang Pol dan Linmas Tebing Tinggi ... 111
5. Surat Izin Penelitian dari Bappeda Tebing Tinggi ... 112
6. Surat Telah Melakukan Penelitian dari Kantor Camat Padang Hilir Tebing Tinggi ... 113
7. Surat Telah Melakukan Penelitian dari Badan Kesbang Pol dan Linmas ... 114
ABSTRAK
Data akseptor vasektomi di Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi pada tahun 2013 sampai dengan Mei 2014 berjumlah 37 orang dari 4.697 Pasangan Usia Subur merupakan persentase terendah setelah Kecamatan Padang Hulur yaitu 18 orang. Faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap), faktor pemungkin (ketersediaan pelayanan vasektomi dan keterjangkauan sarana kesehatan), serta faktor penguat (dukungan istri dan peran petugas kesehatan) diduga memengaruhi penggunaan akseptor vasektomi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap), faktor pemungkin (ketersediaan pelayanan vasektomi dan keterjangkauan sarana kesehatan), serta faktor penguat (dukungan istri dan peran petugas kesehatan) yang memengaruhi penggunaan vasektomi di Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi Tahun 2014. J
Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh ketersediaan pelayanan vasektomi (p=0,013), dukungan istri (p=0,021), dan peran petugas kesehatan (p=0,003) terhadap penggunaan vasektomi. Tidak ada pengaruh pengetahuan, sikap, dan keterjangkauan sarana kesehatan terhadap penggunaan vasektomi.
enis penelitian adalah observasional dengan rancangan case control study. Populasi adalah suami sebagai Pasangan Usia Subur pengguna vasektomi sebanyak 37 orang (kasus) dan bukan sebagai akseptor vasektomi sebanyak 37 orang (kontrol), sehingga jumlah sampel 74 orang dengan matching jumlah anak dan tempat tinggal. Pengumpulan data dengan wawancara berpedoman kepada kuesioner. Data dianalisis secara univariat, bivariat dengan uji statistik chi square dan multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda pada taraf kemaknaan 95%.
Disarankan agar pemerintah Kota Tebing Tinggi lebih mengoptimalkan petugas kesehatan dan kader dalam memberikan pendidikan kesehatan, menyelenggarakan KB Safari sebulan sekali dan melibatkan tokoh agama dan lainnya sebagai penyuluh tentang kontrasepsi vasekotmi.
ABSTRACT
The Data of vasectomy acceptors in Padang Hilir Subdistrict, Tebing Tinggi, from 2013 to May, 2014 showed that of 4,697 productive-aged couples, only 37 of them participated as vasectomy acceptors; the lowest percentage in Padang Hilir Subdistrict was 18 acceptors. The factor of predisposition (knowledge and attitude), the factor of possibility (availability of vasectomy service and affordability of health facility), and the factor of strengthening (support from wives and the role of health care providers) influenced the use of vasectomy.
The objective of the research was to find out and to analyze disposition factor (knowledge and attitude), possibility factor (availability of vasectomy service and affordability of health facility) and strengthening facility (support from wives and the role of health care providers) which influenced the use of vasectomy in Padang Hilir Subdistrict, Tebing Tinggi, in 2014. The research used observational method with case control study. The population was 37 productive-aged couples (case) and 37 vasectomy acceptors (control) so that there were 74 respondents with matching the number of children and dwelling. The data were gathered by conducting interviews, guided by questionnaires and analyzed by using univatriate analysis, bivatriate analysis with chi square test, and multivatriate analysis with multiple logistic regression tests at the significance level of 95%.
The result of the research showed that there were the influences of the availability of vasectomy service (p = 0.013), support from wives (p = 0.021), and the role of health care providers (p = 0.003) on the use of vasectomy. There was no influence of knowledge, attitude, and affordability of health facility on the use of vasectomy.
It is recommended that Tebing Tinggi City Administration optimize health care providers and cadres in providing health education, organizing KB Safari once a month and involve religious figures as counselors in vasectomy contraception.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Upaya menurunkan hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui Millenium Development Goals (MDG’s) dengan 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaksanakan 8 (delapan) tujuan pembangunan yaitu menanggulangi
kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak,
meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyebab Human Immuno Deficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome
Prinsip ke 4 (empat) International Conference Population and Development
(ICPD) yang berbunyi yaitu peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan dan penghapusan segala kekerasan terhadap perempuan untuk mengontrol
fertilitasnya adalah kunci dari program yang mengkaitkan masalah kependudukan
dan pembangunan. Peningkatan partisipasi pria dalam Keluarga Berencana (KB) dan
kesehatan reproduksi adalah langkah yang tepat dalam upaya mendorong kesetaraan
gender (Kumalasari, 2012).
(HIV/AIDS), malaria dan penyakit
menular lainnya, kelestarian lingkungan hidup, serta pembangunan kemitraan global
dalam pembangunan (Prasetyawati, 2012).
Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) tahun
tidak disertai peningkatan kualitas hidupnya. Penduduk Indonesia berjumlah 224,9
juta pada tahun 2007, sebelumnya 205,8 juta jiwa (Sensus Penduduk, 2000) dan
berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sudah
mencapai sekitar 237,6 juta jiwa dan berada di peringkat ke 4 (empat) di dunia
berpenduduk tertinggi, berdasarkan kuantitasnya penduduk Indonesia tergolong
sangat besar namun dari segi kualitasnya masih memprihatinkan dan tertinggal
dibandingkan negara Asean lainnya.
Dalam rangka upaya pengendalian jumlah penduduk, maka pemerintah
menerapkan program KB. Program KB dan kesehatan reproduksi saat ini tidak hanya
ditujukan sebagai upaya penurunan angka kelahiran (pengendalian penduduk), namun
dikaitkan pula dengan tujuan untuk pemenuhan hak-hak reproduksi, promosi,
pencegahan, dan penanganan masalah-masalah kesehatan reproduksi dan seksual,
serta kesehatan dan kesejahteraan ibu, bayi, dan anak.
Menurunnya angka Total Fertility Rate (TFR) atau rata-rata kemampuan seorang perempuan melahirkan bayi selama masa reproduksinya sebesar 0,1 selama
kurun waktu 5 tahun (2002/2003-2007), dibarengi dengan angka Contraceptive Prevalence Rate (CPR) hanya sebesar 1,1%. Untuk mengurangi jumlah kelahiran setiap tahunnya diupayakan meningkatkan penggunan metode kontrasepsi baik bagi
wanita berstatus menikah dan juga pasangannya. CPR diharapkan meningkat menjadi
65% dengan bertambahnya pengguna kontrasepsi yang merata pada tahun 2014
Saat ini diperkirakan masih ada sekitar tiga setengah juta Pasangan Usia
Subur (PUS) di Indonesia yang ingin menunda, menjarangkan dan membatasi
kelahiran untuk masa dua tahun berikutnya, namun tidak menggunakan metoda
kontrasepsi apapun. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012
menunjukkan kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi (unmet need) mencapai 8,5% dari jumlah PUS, dengan rincian untuk menjarangkan kelahiran (spacing) 3,9% dan membatasi kelahiran (limiting) 4,6%. Terjadi peningkatan dibanding dengan hasil SDKI 2007 yang mencatat unmet need sebesar 9,1%, 4,3% untuk penjarangan dan 4,7% untuk pembatasan kelahiran. Unmet need ini sangat bervariasi antara provinsi, terendah 3,2% di provinsi Bangka Belitung dan tertinggi 22,4% di provinsi Maluku.
Unmet need KB diharapkan menurun menjadi 5,0% pada tahun 2014 (BKKBN, 2012).
Selama ini masyarakat menganggap Program KB Nasional identik dengan
kaum perempuan. Anggapan ini tidak berlebihan karena kenyataannya selama ini
sasaran utama program KB sebagian besar adalah perempuan. Namun semua itu
mulai berubah, kaum pria pun kini ikut menjadi akseptor KB. Dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), salah satu indikator keberhasilan BKKBN
adalah tercapainya kesetaraan KB pria sebesar 4,5% pada tahun 2010 (BKKBN,
2012). Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi pria dalam
ber-KB dan kesehatan reproduksi diantaranya adalah rendahnya pengetahuan dan
kontrasepsi pria, faktor sosial budaya masyarakat, dan adanya rumor tentang
vasektomi serta pengunaan kondom untuk hal yang bersifat negatif.
Berdasarkan data SDKI tahun 2012, partisipasi suami dalam ber-KB secara
nasional hanya mencapai 2% di antaranya 1,8% akseptor kondom dan 0,2% akseptor
vasektomi. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa partisipasi suami dalam
ber-KB masih rendah jika dibandingkan dengan sasaran nasional pada tahun
2012 yaitu 4,5%. Jika dibandingkan dengan pencapaian angka partisipasi suami
dalam ber-KB pada tahun 2006 di negara-negara berkembang seperti Pakistan
sebanyak 5,2%, Bangladesh sebanyak 13,9%, Nepal sebanyak 24%, Malaysia
sebanyak 16,8% dan Jepang sebanyak 80%. Dari data ini dapat dilihat bahwa
Indonesia menempati angka partisipasi suami dalam ber-KB yang paling rendah.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Puslitbang Biomedis dan Reproduksi
Manusia pada tahun 1999 di DKI Jakarta dan DIY mengungkapkan bahwa rendahnya
peran suami dalam ber KB disebabkan karena kurangnya informasi tentang metode
KB pria, terbatasnya jenis kontrasepsi, dan terbatasnya tempat pelayanan KB pria.
Studi di Jawa Barat dan Sumatera Selatan pada tahun 2001 juga mengungkapkan
penyebab rendahnya suami ber KB sebagian besar disebabkan oleh faktor keluarga
yaitu istri tidak mendukung (66%), adanya rumor di masyarakat bahwa vaksektomi
sama dengan kebiri (47%), kurangnya informasi metode kontrasepsi pria dan
terbatasnya tempat pelayanan serta terbatasnya pilihan KB (6,2%). Dari studi tersebut
sebanyak 41% pria mengatakan bahwa kondom tidak disukai karena mengurangi
kenikmatan dalam berhubungan seksual (BKKBN, 2010).
Menurut BKKBN (2010), hal yang mendasar dalam pelaksanaan
pengembangan program partisipasi suami untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan
gender adalah dalam bentuk perubahan kesadaran, sikap, dan perilaku pria atau suami
maupun isterinya tentang keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Untuk
meningkatkan kesertaan KB pria, yang utama hendaklah diberi pengetahuan yang
cukup tentang KB dan kesehatan reproduksi. Pengelola seyogyanya memahami
pengetahuan, sikap dan perilaku dalam berbagai isu serta memahami dalam hubungan
pembagian kekuasaan antara suami dan istri.
Dari data yang ada di BKKBN Sumatera Utara untuk Kota Medan pada bulan
Agustus 2012 diperoleh 1.982.810 pasangan yang menjadi peserta KB aktif sebanyak
1.266.071 atau 63,8% %. Dari jumlah pasangan usia subur yang berhasil dibina
menjadi peserta KB dengan menggunakan kondom dan metode operasi pria (MOP)
masih sangat rendah yaitu kondom 4,62% dan MOP 0,30% sebagai alat kontrasepsi.
peserta KB dengan menggunakan kondom dan metode operasi pria (MOP) masih
sangat rendah yaitu kondom 4,62% dan MOP 0,30% sebagai alat kontrasepsi
(BKKBN SUMUT, 2012).
Permasalahan yang berkembang pada saat pelaksanaan program KB setelah
ditetapkannya desentralisasi adalah menurunnya kapasitas kelembagaan Program KB,
perangkat daerah adalah kelembagaan program KB di kabupaten atau kota menjadi
sangat beragam. Akibat lain dari ditetapkannya kebijakan desentralisasi yaitu jumlah
institusi KB tingkat lini lapangan berkurang, dan jumlah serta kualitas tenaga
pengelola dan pelaksanaan program KB di tingkat lapangan menurun karena banyak
yang dimutasi atau pensiun, serta dukungan sarana, prasarana dan anggaran kurang
memadai (BKKBN, 2012).
Kota Tebing Tinggi yang merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera
Utara yang memiliki jumlah penduduk 147.771 jiwa dengan jumlah PUS sebesar
23.550 orang. Peserta KB aktif tahun 2013 berjumlah 17.450 orang dengan jumlah
akseptor KB pria yaitu 200 akseptor vasektomi (1,15%) dan 610 akseptor kondom
(3,50%) pada umur 30-45 tahun. Cakupan PUS akseptor vasektomi terbesar
ditemukan di Kecamatan Rambutan tahun 2013 yaitu 52 orang (1,32%) dari 5.578
PUS, kemudian Kecamatan Bajenis yaitu 49 orang (1,23%) dari 5.081 PUS,
Kecamatan Tebing Tinggi Kota 48 orang (1,85%) dari 3,539 PUS, Kecamatan
Padang Hilir yaitu 33 orang (0,97%) dari 4.697 PUS, dan Kecamatan Padang Hulu
yaitu 18 orang (0,51%) dari 4.655 PUS.
Pada bulan Januari–Mei 2014 akseptor vasektomi di Kota Tebing Tinggi
bertambah sebanyak 50 orang dengan rincian Kecamatan Rambutan yaitu 7 orang,
Kecamatan Bajenis yaitu 5 orang, Kecamatan Tebing Tinggi Kota 31, Kecamatan
Padang Hilir yaitu 4 orang, dan Kecamatan Padang Hulu yaitu 3 orang. Kondisi ini
menjelaskan bahwa Kecamatan Tebing Tinggi Kota merupakan Kecamatan terbesar
penggunan vasektomi dan terkecil adalah Kecamatan Padang Hulu. Apabila ditinjau
vasektomi di Kota Tebing Tinggi belum sasaran nasional pengguna vasektomi yang
diharapkan yaitu 4,5%.
Kecamatan Padang Hulu tidak dipilih sebagai tempat penelitian karena jumlah
wanita pasangan usia subur menggunakan metode kontrasepsi lebih tinggi tahun 2014
yaitu 3,529 orang dari 4.655 PUS (75,8%), sedangkan Kecamatan Padang Hilir yaitu
3.407 orang dari 4.697 PUS (72,54%) dan penggunan vasektomi (0,97%) masih jauh
berada dibawah sasaran nasional (4,5%). Kecamatan Padang Hulu mempunyai
kondisi permukiman lebih rendah sering mengalami banjir sehingga pria mengguna
vasektomi ada yang tidak berdomisili lagi di daerah tersebut.
Cakupan akseptor KB pria di Kota Tebing Tinggi masih perlu ditingkatkan
seoptimal mungkin sehingga target keikutsertaan suami dalam ber-KB dapat tercapai
sesuai dengan standar nasional yaitu sebesar 4,5%. Pada umumnya akseptor
vasektomi memiliki ekonomi pra sejahtera dengan jenis pekerjaan buruh bangunan,
tukang becak, pedagang keliling, petani, pemulung dan supir. Adanya pemberian
dana sebesar Rp. 200.000, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan bagi suami
pasangan usia subur yang memilih vasektomi merupakan promosi yang diberikan
pemerintah Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi (Profil Kota Tebing Tinggi,
2012).
Penyebab rendahnya partisipasi suami dalam ber-KB adalah keterbatasan
pengetahuan suami tentang kesehatan reproduksi dan paradigma yang berkaitan
dengan budaya patriarki dimana peran suami lebih besar dari pada wanita.
penggunaan kontrasepsi adalah urusan wanita saja. Wahyuni (2013), menyebutkan
faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya penggunaan kontrasepsi vasektomi di
Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng yaitu pengetahuan dan sikap tentang
vasektomi dan dukungan keluarga.
Penelitian yang dilakukan Budisantoso (2009), menunjukkan bahwa
dukungan istri berhubungan dengan suami dalam ber KB (vasektomi dan kondom) di
Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul. Penelitian Rustam (2006), partisipasi pria dalam
praktik metode KB modern di Indonesia dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi yang
meliputi pengetahuan, umur istri, pendidikan suami, jumlah anak masih hidup dan
sikap terhadap program KB. Penelitian tentang penggunaan vasektomi telah
dilakukan Budisantoso dan Rustam, namun penelitian ini dilakukan sebagai
pengembangan lanjutan pada lokasi yang berbeda yaitu Kota Tebing Tinggi.
Rendahnya penggunaan kontrasepsi oleh pria terutama karena keterbatasan
macam dan jenis kontrasepsi pria serta rendahnya pengetahuan dan pemahaman
tentang hak-hak reproduksi serta rendahnya partisipasi pria dalam pelaksanaan
program KB baik dalam praktik KB, mendukung istri dalam menggunakan
kontrasepsi, sebagai motivator atau promotor dan merencanakan jumlah anak. Faktor
lain adalah (a) Kondisi lingkungan sosial, budaya, masyarakat dan keluarga yang
masih menganggap partisipasi pria belum atau tidak penting dilakukan, (b)
Pengetahuan dan kesadaran pria dan keluarganya dalam ber KB rendah, dan (c)
Keterbatasan penerimaan dan aksesibilitas pelayanan kontrasepsi pria, selain itu juga
karena pelayanan KIP/Konseling kontrasepsi pria masih terbatas, (d) Adanya
menyerahkan tanggung jawab KB sepenuhnya kepada para istri atau perempuan
(BKKBN, 2008).
Dalam mewujudkan metode vasektomi, tidak terlepas kaitannya dengan peran
petugas kesehatan (konseling) yang berperan langsung dalam pengembangan
program vasektomi. Namun apabila tempat-tempat pelayanan kesehatan yang dapat
memberikan pelayanan KB untuk pria masih sangat terbatas, kurangnya sarana dan
prasarana puskesmas dalam pelayanan metode vasektomi dapat menghambat
penjaringan program kontrasepsi pria. Selain itu, keberadaan tokoh masyarakat
cenderung kurang mendukung dalam melaksanakan program KB khususnya tokoh
agama yang masih kontraversi dalam menggunakan vasektomi dalam menjarangkan
kelahiran karena melanggar agama (Winardi, 2007).
Menurut Notoatmodjo (2010), yang mengutip teori Green, faktor yang
memengaruhi pria dalam penggunaan kontrasepsi vasektomi dapat menggunakan
pendekatan faktor perilaku pada kerangka kerja dari teori Green (1991) yaitu faktor
predisposisi (predisposing factors) meliputi pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, budaya), Faktor pemungkin (enabling factors) meliputi tersedianya pelayanan kesehatan, keterjangkauan, dan faktor penguat (reinforcing factors) meliputi perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas
kesehatan).
Hasil survei pendahuluan pada 10 orang pria pasangan usia subur pengguna
vasektomi berdomisili di Kecamatan Padang Hilir berumur antara 30-45 tahun dan
sebagai penarik becak, buruh bangunan (kebun), dan pedagang keliling. Temuan hasil
wawancara pengguna vasektomi menyebutkan pada umumnya alasan mengikuti
vasektomi dikarenakan adanya insentif berupa uang (Rp.200.000) yang diberikan
pemerintah setelah mengikuti vasektomi, ada juga menyatakan istrinya mengalami
sakit sehingga tidak dapat menggunakan metode kontrasepsi dan tidak ingin
menambah anak lagi atau apabila menambah anak akan menambah beban hidup
keluarga. Jumlah anak menjadi salah satu faktor penting seseorang untuk menjadi
akseptor vasektomi. Semakin banyak jumlah anak, maka semakin besar kemungkinan
seseorang untuk menjadi akseptor KB vasektomi atau tidak. Petugas kesehatan
menganjurkan persyaratan suami pasangan usia subur menjadi akseptor vasektomi
telah memiliki 2 anak. Suami pasangan usia subur yang memakai metode kontrasepsi
vasektomi menyatakan didukung istri sepenuhnya.
Temuan hasil wawancara dengan 10 orang suami PUS tidak menggunakan
metode vasektomi cenderung kurang paham tentang metode vasektomi dan mereka
tidak didukung oleh istri untuk menjadi akseptor vasektomi. Istri merasa
sewaktu-waktu ada keinginan untuk menambah anak lagi dan takut suami terganggu dalam
bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu suami PUS merasa bahwa
urusan anak atau melahirkan bukan urusan laki-laki tetapi merupakan urusan wanita.
Namun, selain faktor pasangan usia subur, petugas kesehatan juga
berkontribusi terhadap rendahnya penggunaan KB pada pria. Sering sekali
kompetensi dan motivasi petugas kesehatan yang rendah menyebabkan proses
sosialisasi penggunaan KB pada pria jadi terhalang. Hal ini sesuai dengan hasil
memberikan pendidikan kesehatan kepada suami pasangan usia subur tentang metode
vasektomi karena keterbatasan klien yang ingin mengetahui metode tersebut dan
promosi kesehatan ke rumah-rumah terkait vasektomi jarang dilaksanakan.
Kurangnya informasi kesehatan yang diterima suami tentang metode
vasektomi oleh petugas kesehatan (konseling) menyebabkan kejelasan cara, proses
dan dampak yang akan terjadi masih merupakan persepsi negatif karena vasektomi
dapat membahayakan dan menimbulkan impotensi apabila terjadi kesalahan proses
operasi, menurunnya kegairahan seks, dan kemampuan ereksi. Ditambah lagi dengan
istilah operasi membuat suami merasa takut dan cemas. Selain itu, tempat-tempat
khusus pelayanan KB pria untuk memperoleh informasi kesehatan tentang vasektomi
sangat terbatas, bahkan apabila ingin memperoleh informasi kesehatan tentang
vasektomi harus ke puskesmas yang jaraknya cukup jauh. Sedangkan keberadaan
petugas KB dalam melakukan penyuluhan di wilayah kerjanya belum berjalan dengan
baik karena kekurangan tenaga kesehatan.
Selain itu, ada tanggapan masyarakat bahwa kontrasepsi vasektomi tidak
sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang berlaku di masyarakat serta vasektomi
dianggap bukan merupakan kebutuhan suami. Selain itu, tanggapan dari suami
menyebutkan bahwa vasektomi dapat menyebabkan gangguan terhadap ejakulasi, dan
menganggap vasektomi sama dengan kebiri, serta vasektomi merupakan tindakan
operasi yang menyeramkan.
Untuk mengatasi ketakutan dan kecemasan karena daerah kemaluan mendapat
deferens dan menggunakan anestesi lokal (Suratun, 2008). Apabila terjadi peningkatkan akseptor vasektomi sebagai bentuk kesetaraan gender bagi kaum istri
dapat meningkatkan derajat kesehatan keluarga (istri dan anak), meningkatkan
pendapat keluarga, dan mendapatkan kemudahan dalam memperoleh layanan
kesehatan.
Berdasarkan fenomena di atas, perlu dilakukan penelitian tentang
faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan vasektomi di Kecamatan Padang Hilir Kota
Tebing Tinggi Tahun 2014.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dilihat bahwa keikutsertaan suami
pasangan usia subur dalam vasektomi masih rendah disebabkan kurangnya
pemahaman suami dan persepsi bahwa urusan melahirkan merupakan tanggung
jawab istri. Faktor dukungan istri yang tidak ingin suaminya menggunakan
kontrasepsi vasektomi karena dapat mengganggu pekerjaan serta ketersediaan
pelayanan vasektomi atau keterjangkauan sarana kesehatan dirasa kurang terjangkau
sehingga penggunan vasektomi di Kecamatan Padang Hilir tahun 2013 yaitu 1,15%
belum mencapai target nasional (4,5%). Maka dirumuskan permasalahan sebagai
berikut: apakah faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap), faktor pemungkin
(ketersediaan pelayanan vasektomi dan keterjangkauan sarana kesehatan), serta faktor
penguat (dukungan istri dan peran petugas kesehatan) berpengaruh terhadap
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui dan menganalisis faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap), faktor pemungkin (ketersediaan pelayanan vasektomi dan keterjangkauan sarana kesehatan), serta faktor penguat (dukungan istri dan peran petugas kesehatan) terhadap penggunaan vasektomi di Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi Tahun 2014.
1.4. Hipotesis
Ada pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap), faktor pemungkin (ketersediaan pelayanan vasektomi dan keterjangkauan sarana kesehatan), serta faktor penguat (dukungan istri dan peran petugas kesehatan) yang memengaruhi terhadap penggunaan vasektomi di Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi Tahun 2014.
1.5. Manfaat Penelitian
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku Kesehatan 2.1.1 Teori Perilaku
a. Teori Carl Rogers
Perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang. Sebelum
orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan,
yakni:
1) Kesadaran (Awareness), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
2) Tertarik (Interest), yakni orang mulai tertarik kepada stimulus
3) Evaluasi (Evaluation), yakni menimbang-nimbang baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4) Mencoba (Trial), yakni orang telah mencoba perilaku baru
5) Adopsi (Adoption), yakni subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2010).
b. Teori Lawrence Green
Faktor yang memengaruhi pria dalam penggunaan kontrasepsi vasektomi
dapat menggunakan pendekatan faktor perilaku pada kerangka kerja dari teori Green
1) Faktor predisposisi (predisposing factors) `
2) Faktor pemungkin (enabling factors), dan 3) Faktor penguat (reinforcing factors).
Menurut Green yang dikutip Notoatmodjo (2010), bahwa faktor-faktor yang
menentukan pemanfaatan pelayanan kesehatan (penggunaan kontrasepsi vasektomi)
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Faktor Predisposisi (predisposing factors), faktor ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan
menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan
karena adanya ciri-ciri individu yang digolongkan ke dalam ciri-ciri:
a) Demografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah anggota
keluarga).
b) Struktur Sosial (tingkat pendidikan, jumlah pendapatan pekerjaan, ras,
kesukuan, agama, tempat tinggal)
c) Sikap, keyakinan, persepsi, pandangan individu terhadap pelayanan
kesehatan
2. Faktor pemungkin (enabling factors) adalah faktor antesenden terhadap perilaku yang memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk di dalam
faktor pemungkin adalah keterampilan dan sumber daya pribadi atau komuniti,
seperti tersedianya pelayanan kesehatan, keterjangkauan, kebijakan, peraturan
3. Faktor penguat (reinforcing factors) merupakan faktor penyerta (yang datang sesudah) perilaku yang memberikan ganjaran, insentif, atau hukuman atas
perilaku dan berperan bagi menetap atau lenyapnya perilaku itu, yang termasuk
ke dalam faktor ini adalah faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh
agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Faktor
penguat adalah faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan memperoleh
dukungan atau tidak. Sumber penguat tentu saja tergantung pada tujuan dan jenis
program. Apakah penguat ini positif ataukah negatif tergantung pada sikap dan
perilaku orang lain yang berkaitan, diantaranya lebih kuat dari pada yang lain
dalam memengaruhi perilaku.
2.2 Program Keluarga Berencana (KB) 2.2.1 Pengertian, Visi, dan Misi
Keluarga berencana adalah program yang bertujuan membantu pasangan
suami istri untuk mendapatkan objektif-objektif tertentu, menghindari kelahiran yang
tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval diantara
kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami
dan istri dan menentukan jumlah anak dalam keluarga (Hartanto, 2010).
Paradigma baru KB Nasional (KBN) telah diubah visinya dari mewujudkan
Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk
mewujudkan “Keluarga Berkualitas Tahun 2015”. Menurut Saifuddin (2010),
memiliki anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Paradigma baru program KB ini
menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi sebagai upaya
integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. Visi tersebut dijabarkan ke dalam 6
(enam) misi, yaitu:
1. Memberdayakan masyarakat untuk membangun keluarga kecil berkualitas;
2. Menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteraan, kemandirian, dan ketahanan keluarga;
3. Meningkatkan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi;
4. Meningkatkan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak
reproduksi;
5. Meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan
dan keadilan jender melalui program KB; dan
6. Mempersiapkan SDM berkualitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai
dengan usia lanjut.
2.2.2 Tujuan dan Manfaat KB
Menurut Mochtar (2011), keluarga berencana bertujuan untuk membentuk
keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara
mengatur kelahiran anak agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun manfaat KB antara lain yaitu
terjadi di usia tua, menjarangkan kehamilan dan persalinan dan mencegah terlalu
sering hamil dan melahirkan.
Selanjutnya Mochtar (2011) menjelaskan
1. Untuk kepentingan orang tua
manfaat dari program KB tersebut
adalah:
Orang tua (ayah dan ibu) yang paling bertanggung jawab atas keselamatan
dirinya dan keluarganya (anak-anak), karena itu orang tua haruslah sadar akan
batas-batas kemampuannya selama masa baktinya dalam memenuhi kebutuhan
anak-anaknya sampai menjadi orang yang berguna. Walaupun manusia dapat
mengharapkan pertolongan dan rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa, namun mereka
sebagai makhluk insan diberi akal, ilmu dan pikiran sehat, karena itu mereka wajib
memakai akal, ilmu dan pikiran sehat tersebut untuk mendapatkan jalan dan hidup
yang sehat pula supaya jangan berbuat lebih kemampuan yang ada. Dengan demikian
terciptalah keselamatan keluarga dan terbentuklah keluarga yang bahagia.
2. Untuk kepentingan anak-anak
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan yang harus dijunjung tinggi sebagai
pemberian yang tidak ternilai harganya. Maka mengatur kelahiran merupakan salah
satu cara dalam menghargai kepentingan anak. Dengan demikian orang tua
mempunyai persiapan yang matang agar dapat memberikan kehidupan yang baik
kepada anak-anaknya agar mereka kelak menjadi anggota masyarakat yang berguna
3. Untuk kepentingan masyarakat
Keluarga merupakan kumpulan terpadu dari satu komunitas atau masyarakat.
Kepentingan masyarakat meminta agar setiap orang tua sebagai kepala keluarga
memelihara dengan baik keluarga dan anak-anaknya agar dapat membantu
terlaksananya kesejahteraan seluruh komunitas sehingga secara makro telah ikut
memelihara keseimbangan penduduk dan pelaksanaan pembangunan nasional. Tanpa
bantuan kesungguhan keluarga-keluarga dalam menekan pertambahan penduduk
dengan cepat, pembangunan tidak akan berarti. Orangtua yang menentukan jumlah
anak yang ingin mereka miliki sesuai dengan kemampuanya dan tidak melupakan
tanggung jawab anak-anak yang telah dilahirkan, tanggung jawab masyarakat dan
Negara di mana mereka hidup dan berbakti.
2.2.3 Sasaran Program KB
Sasaran program KB adalah bagaimana supaya segera tercapai dan
melembaganya Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) pada
masyarakat Indonesia. Yang menjadi sasaran Gerakan KB Nasional ialah 1) PUS
dengan prioritas muda dan paritas rendah, 2) generasi muda dan purna PUS, 3)
pelaksana dan pengelola KB, 4) sasaran wilayah adalah wilayah dengan laju
pertumbuhan penduduk tinggi dari wilayah khusus seperti sentral industri,
pemukiman padat, daerah kumuh, daerah pantai dan daerah terpencil (Arum, 2008).
Pasangan Usia Subur (PUS) perlu memperhatikan pelayanan keluarga
1. Terlalu muda
Wanita umur di bawah 20 tahun lebih sering mengalami kematian karena
persalinan dan tubuh belum cukup matang untuk melahirkan. Bayi-bayi mereka
lebih sering meninggal sebelum mencapai umur 1 tahun.
2. Terlalu banyak melahirkan
Seorang wanita dengan anak lebih dari 3 akan lebih sering mengalami kematian
karena perdarahan setelah persalinan dan penyebab lain.
3. Terlalu rapat jarak kelahiran (di bawah 2 tahun)
Tubuh wanita memerlukan waktu untuk memulihkan tenaga dan kekuatan
diantara kehamilan.
4. Terlalu tua untuk mempunyai anak (di atas 35 tahun)
Wanita usia subur yang sudah tua akan mengalami bahaya, terutama bila mereka
mempunyai masalah kesehatan lain atau sudah terlalu banyak melahirkan.
2.3 Metode Kontrasepsi KB Pria 2.3.1 Pengertian Kontrasepsi
Kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti ”melawan”
atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan sel telur yang matang
dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Kontrasepsi menghindari/mencegah
terjadinya kehamilan sebagai akibat adanya pertemuan antara sel telur dan sel
sperma. Maka dari itu, metode kontrasepsi dibutuhkan oleh pasangan yang aktif
tidak menghendaki kehamilan (Suratun, dkk, 2008). Sedangkan Prawirohardjo (2008)
mendefinisikan kontrasepsi merupakan upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan.
Upaya ini dapat bersifat sementara dapat pula bersifat permanen, penggunaan
kontrasepsi merupakan salah satu variabel yang memenuhi fertilitas.
Menurut Hartanto (2010), ada dua pembagian cara kontrasepsi yaitu :
1. Kontrasepsi Sederhana. Kontrasepsi sederhana terbagi atas kontrasepsi tanpa alat
dan kontrasepsi dengan alat/obat. Kontrasepsi sederhana tanpa alat dapat
dilakukan dengan senggama terputus dan pantang berkala. Kontrasepsi dengan
alat/obat dapat dilakukan dengan menggunakan kondom, diafragma atau cup,
cream, jelly atau tablet berbusa (vaginal tablet).
2. Kontrasepsi Modern/Metode Efektif. Cara kontrasepsi modern antara lain : pil,
AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim), suntikan, implant, serta metode
mantap, yaitu dengan operasi tubektomi (sterilisasi pada wanita) dan vasektomi
(sterilisasi pada pria).
Menurut Siswosudarmo (2006), ada beberapa komponen keefektifan alat
kontrasepsi, antara lain :
1. Keefektifan teoritis, adalah kemampuan sebuah cara kontrasepsi untuk mencegah
kehamilan apabila cara tersebut digunakan sebagaimana mestinya.
2. Keefektifan praktis (pemakaian), adalah keefektifan yang terlihat dalam
yang mempengaruhi pemakaian, seperti kesalahan, penghentian, kelalaian, dan
lain-lain.
3. Keefektifan program, adalah keefektifan sebuah cara dalam sebuah program baik
di tingkat lokal, propinsi, maupun nasional.
4. Keefektifan biaya (cost effectiveness), adalah perbandingan antara sebuah cara atau program dengan hasil yang diharapkan, baik berupa jumlah akseptor, jumlah
yang terus memakai, efek samping, penurunan angka kesuburan, dan lain-lain.
Saifuddin (2010) menjelaskan tidak ada satu pun metode kontrasepsi yang
aman dan efektif bagi semua klien, karena masing-masing mempunyai kesesuaian
dan kecocokan individual bagi setiap klien. Namun secara umum persyaratan metode
kontrasepsi ideal adalah sebagai berikut:
1. Aman, artinya tidak akan menimbulkan komplikasi berat bila digunakan.
2. Berdaya guna, artinya bila digunakan sesuai dengan aturan akan dapat mencegah
terjadinya kehamilan.
3. Dapat diterima, bukan hanya oleh klien melainkan juga oleh lingkungan budaya
di masyarakat.
4. Terjangkau harganya oleh masyarakat.
5. Bila metode tersebut dihentikan penggunaannya, klien akan segera kembali
kesuburannya.
Adapun metode kontrasepsi yang tersedia bagi pria adalah :
Metode koitus interuptus juga dikenal dengan metode senggama terputus. Teknik
ini dapat mencegah kehamilan dengan cara sebelum terjadi ejakulasi pada pria,
seorang pria harus menarik penisnya dari vagina sehingga tidak setetespun
sperma masuk kedalam rahim wanita. Dengan cara ini kemungkinan terjadinya
perubahan (kehamilan) bisa dikurangi (Meilani dkk, 2010).
b. Kondom
Kondom dibuat dari selubung lateks yang dipasang dan membungkus
keseluruhan panjang penis yang ereksi. Kondom merupakan barang disposal,
hanya boleh sekali pakai, dan tersedia dalam berbagai warna dan tampilan.
Kondom bekerja sebagai sawar yang mencegah pertemuan sperma dan ovum dan
terjadinya kehamilan (Glasier, 2006).
c. Sterilisasi Pria
Sterilisasi pria telah menjadi pilihan kontrasepsi pemanen yang popular untuk
banyak pasangan, prosedur bedah tersebut dikenal dengan vasektomi (Everett,
2008).
Sterilisasi pria telah menjadi pilihan kontrasepsi permanen yang populer
untuk banyak pasangan, prosedur bedah tersebut dikenal sebagai vasektomi.
Eksperimen pertama dengan melakukan sumbatan pada vasdeferens dilakukan pada
awal tahun 1830 oleh Sir Astley Cooper, dan kemudian pada abad ke-20 seiring
kemajuan di bidang pembedahan dan anastesi, vasektomi tersedia bagi pria. Hal ini
2.3.2 Metode Kontrasepsi Vasektomi
1. Pengertian Vasektomi
Vasektomi merupakan operasi kecil yang dilakukan untuk menghalangi
keluarnya sperma dengan cara mengangkat dan memotong saluran mani (vas
different) sehingga sel sperma tidak keluar pada saat senggama. Vasektomi ini tidak
sama dengan kebiri atau kastrasi mengangkat buah pelir. Bekas operasi hanya berupa
satu luka kecil di tengah atau di antara kiri dan kanan kantong zakar (Suratun, 2008).
Senada dengan pendapat tersebut, Indiarti (2009) mengatakan vasektomi kontrasepsi
permanen yang dilakukan pada pria dengan cara mengikat saluran sperma sehingga
sel-sel sperma tidak dapat keluar saat ejekulasi.
Kontrasepsi mantap pria atau vasektomi merupakan suatu metode konrasepsi
operatif minor pada pria yang sangat aman, sederhana dan sangat efektif,
memerlukan waktu yang singkat dan tidak memerlukan anastesi umum. Prinsip dasar
vasektomi adalah ovulasi vas deferen, sehingga menghambat perjalanan spermatozoa
dan tidak didapatkan spermatozoa di dalam semen/ejekulasi (Hartanto, 2010).
2. Macam-macam vasektomi
Saifuddin, (2010) mengelompokkan dua cara teknik vasektomi yang
dilakukan kepada akseptor yaitu:
a. Vasektomi dengan pisau operasi
Teknik pemasangan vasektomi ini dilakukan pada daerah kulit skrotum pada
penis dan daerah tersebut dibersihkan dengan cairan yang tidak merangsang seperti
larutan Iodofor (betadine) 0,75 %. Menutup daerah yang telah dibersihkan tersebut
dengan kain steril berlubang pada tempat skrotum ditonjolkan keluar. Tepat di linea mediana di atas vas deferens, kulit skrotum diberi anestasi lokal (prokain atau novakain atau xilokain 1%) 0,5 ml, lalu jarum diteruskan masuk dan di daerah distal
serta proksimal vas deferens dideponir lagi masing-masing 0,5 ml. Kulit skrotum
diiris longitudinal 1–2 cm, tepat di atas vas deferens yang telah ditonjolkan ke permukaan kulit. Setelah kulit dibuka, vas deferens dipegang dengan klem, disiangi sampai tampak vas deferens mengkilat seperti mutiara, perdarahan dirawat dengan cermat. Sebaiknya ditambah lagi obat anestasi ke dalam fasia disayat longitudinal sepanjang 0,5 cm. Usahakan tepi sayatan rata (dapat dicapai jika pisau cukup tajam)
hingga memudahkan penjahitan kembali.
dipotong dulu. Tariklah benang yang mengikat kedua ujung vas deferens tersebut untuk melihat kalau ada perdarahan yang tersembunyi. Jepitan hanya pada titik
perdarahan, jangan terlalu banyak, karena dapat menjepit pembuluh darah lain seperti
arteri testikularis atau deferensialis yang berakibat kematian testis itu sendiri. Potonglah diantara 2 ikatan tersebut sepanjang 1 cm.
Selanjutnya menggunakan benang sutra No. 00,0, atau 1 cm untuk mengikat
vas tersebut. Ikatan tidak boleh terlalu longgar tetapi juga jangan terlalu keras karena dapat memotong vas deferens. Untuk mencegah rekanalisasi spontan yang dianjurkan adalah dengan melakukan interposisi fasia vas deferens, yakni menjahit kembali fasia
yang terluka sedemikian rupa, vas deferens bagian distal (sebelah ureteral dibenamkan dalam fasia dan vas deferens bagian proksimal (sebelah testis) terletak di luar fasia. Cara ini akan mencegah timbulnya kemungkinan rekanalisasi. Lakukan kembali tindakan untuk vas deferens yang sebelahnya. Dan setelah selesai, tutuplah kulit dengan 1-2 jahitan plain catgut No. 000 kemudian rawat luka operasi sebagaimana mestinya, tutup dengan kasa steril dan diplester.
b. Vasektomi tanpa pisau operasi
Penis diplester ke dinding perut. Daerah kulit skrotum dibersihkan dengan cairan yang merangsang seperti larutan Iodofor (betadine). Tutuplah daerah yang telah dibersihkan tersebut dengan kain steril berlubang pada tempat skrotum
masuk dan di daerah distal, kemudian dideponir lagi masing-masing 3-4 ml. Prosedur
ini dilakukan sebelah kanan dan kiri. Vas deferens dengan kulit skrotum yang ditegangkan difiksasi di dalam lingkaran klem fiksasi pada garis tengah skrotum.
Kemudian klem direbahkan ke bawah sehingga vas deferens mengarah ke bawah kulit. Kemudian tusuk bagian yang paling menonjol dari vas deferens, tepat di sebelah distal lingkaran klem sebelah ujung klem diseksi dengan membentuk sudut
45 derajat.
Sewaktu menusuk vas deferens sebaiknya sampai kena vas deferens kemudian klem diseksi ditarik, tutupkan ujung-ujung klem dan dalam keadaan tertutup ujung
klem dimasukkan kembali dalam lobang tusukan, searah jalannya vas deferens.
Renggangkan ujung-ujung klem pelan-pelan. Semua lapisan jaringan dari kulit
sampai dinding vas deferens akan dapat dipisahkan dalam satu gerakan. Setelah itu dinding vas deferens yang telah telanjang dapat terlihat. Dengan ujung klem diseksi menghadap ke bawah, tusukkan salah satu ujung klem ke dinding vas deferens dan ujung klem diputar menurut arah jarum jam, sehingga ujung klem menghadap ke atas.
Ujung klem pelan-pelan dirapatkan dan pegang dinding anterior vas deferens.
Lepaskan klem fiksasi dari kulit dan pindahkan untuk memegang vas deferens yang sudah telanjang dengan klem fiksasi lalu lepaskan klem diseksi.
Pada tempat vas deferens yang melengkung, jaringan sekitarnya dipisahkan pelan-pelan ke bawah dengan klem diseksi. Kalau lobang telah cukup luas, lalu klem
pelan-pelan paralel dengan arah vas deferens yang diangkat. Diperlukan kira-kira 2 cm vas deferens yang bebas. Vas deferens di-crush secara lunak dengan klem diseksi, sebelum dilakukan ligasi dengan benang sutra 3-0. Diantara dua ligasi kira-kira 1-1,5
cm vas deferens dipotong dan diangkat. Benang pada putung distal sementara tidak dipotong. Kontrol perdarahan dan kembalikan putung-putung vas deferens dalam skrotum. Tarik pelan-pelan benang pada puntung yang distal. Pegang secara halus
fasia vas deferens dengan klem diseksi dan tutup lobang fasia dengan mengikat sedemikian rupa sehingga puntung bagian epididimis tertutup dan puntung distal ada di luar fasia. Apabila tidak ada perdarahan pada keadaan vas deferens tidak tegang. Maka benang yang terakhir dapat dipotong dan vas deferens dikembalikan dalam skrotum. Untuk vas deferens sebelah yang lain, melalui luka di garis tengah yang sama. Kalau tidak ada perdarahan, luka kulit tidak perlu dijahit hanya aproksimasikan
dengan band aid atau tensoplas.
3. Persyaratan menjadi akseptor vasektomi
Pelayanan vasektomi ini hanya diberikan kepada akseptor yang memenuhi
syarat sebagai berikut, yaitu: 1) Tidak ingin memiliki anak lagi di kemudian hari;
2)Telah memiliki jumlah anak yang ideal, sehat jasmani dan rohani; 3) Rumah tangga
bahagia dan harmonis; 4) Telah persetujuan dari istri; dan (5) Sukarela tanpa paksaan.
4. Keuntungan vasektomi
Hartanto (2010), menyebutkan keuntungan vasektomi antara lain: (1)Tidak
mondok di rumah sakit; (4)Waktu operasi hanya 15 menit dan dilakukan dengan
pembiusan setempat; (5)Sangat efektif (kemungkinan gagal tidak ada) karena dapat
diperiksa kepastiannya di laboratorium; dan (6)Tidak membutuhkan biaya yang
besar. Hal senada juga diungkapkan Meilani dkk (2010) bahwa metode vasektomi
bersifat permanen dan memiliki kelebihan antara lain:
a. Tidak akan mengganggu ereksi, potensi seksual dan produksi hormon.
b. Perlindungan terhadap terjadinya kehamilan sangat tinggi dan dapat digunakan
seumur hidup.
c. Tidak mengganggu kehidupan seksual suami istri.
d. Lebih aman atau keluhan lebih sedikit.
e. Lebih praktis, hanya memerlukan satu tindakan.
f. Lebih efektif karena tingkat kegagalannya sangat kecil.
g. Lebih ekonomis, hanya memerlukan biaya untuk sekali tindakan.
h. Tidak ada mortalitas/kematian dan tidak ada risiko kesehatan.
i. Pasien tidak perlu dirawat di rumah sakit.
4. Kerugian Vasektomi
Meliani dkk (2010) berpendapat ada kerugian suami melakukan vasektomi
antara lain yaitu harus ada tindakan pembedahan, tidak dilakukan pada suami yang
masih ingin memiliki anak, kadang-kadang terasa nyeri atau terjadi perdarahan
setelah operasi, dan kadang-kadang timbul infeksi pada kulit skrotum, apabila
5. Indikasi dan Kontra Indikasi
Vasektomi merupakan upaya untuk menghentikan fertilitas dimana fungsi
reproduksi merupakan ancaman atau gangguan kesehatan pria dan pasangannya serta
melemahkan ketahanan dan kualitas keluarga (Arum, 2008). Sedangkan
kontra-indikasi menurut Everett (2008) adalah : a. Ketidakmampuan fisik yang serius; b.
Masalah urologi; c. Masalah hubungan; d. Tidak didukung oleh pasangan.
Adapun kontraindikasi yang lain menurut Meilani dkk (2010), adalah :
a.Penderita hernia; b. Penderita kencing manis; c. Penderita kelainan pembekuan darah; d. Penderita penyakit kulit atau jamur di daerah kemaluan; e. Tidak tetap pendiriannya; f.Infeksi di daerah testis; g. Varikokel (varises pada pembuluh darah balik buah zakar); h.Buah zakar membesar karena tumor; i. Hidrokel (penumpukan cairan pada kantong zakar); j. Buah zakar tidak turun (kriptokismus); k. Penyakit kelainan pembuluh darah.
6. Kegagalan vasektomi
Walaupun vasektomi dinilai paling efektif untuk mengontrol kesuburan pria namun masih mungkin dijumpai suatu kegagalan. Menurut (Saifuddin, 2010)
a. Rekanalisasi spontan, tidak akan terjadi jika kedua ujung dibakar.
b. Jika yang dipotong bukan vas deferens, misalnya pembuluh darah.
c. Akseptor telah bersetubuh dengan istri sebelum benar-benar steril.
7. Komplikasi
Akseptor vasektomi dapat mengalami komplikasi atau gangguan yang
mungkin timbul pasca vasektomi antara lain: perdarahan, apabila perdarahan sedikit
cukup diobservasi saja tetapi apabila perdarahan agak banyak segera rujuk ke RS
yang memiliki fasilitas lengkap. Setiap ada pembengkakan di daerah scrotum harus
dicurigai adanya perdarahan. Adanya hematoma biasanya terjadi apabila di daerah
scrotum diberi beban yang terlalu berat seperti naik sepeda, duduk terlalu lama, atau
naik kendaraan di jalan yang rusak, infeksi biasanya terjadi pada kulit epididimis atau
orkitis, terjadi sekitar 0,1 % (Handayani, 2010).
8. Perawatan Pra Operasi Vasektomi
a. Dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui indikasi, kontra indikasi dan hal-hal
lain yang diperlukan untuk kepentingan calon peserta kontap, sebaiknya
dilakukan oleh yang akan melakukan pembedahan.
1) Anamnesis
Identitas calon peserta serta pasangannya, umur peserta, jumlah anak hidup
dan umur anak terkecil yanga ada, metode kontrasepsi yang pernah
digunakan istri serta metode kontrasepsi yang saat ini digunakannya, riwayat
pasangannya, dan adakah pengalaman perdarahan yang terlalu lama apabila
luka.
2) Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan fisik dengan lengkap termasuk tanda vital,
cardiovaskuler, paru-paru dan ginjal serta genitali. Apabila ditemukan
keadaan yang abnormal lakukan rujukan sesuai dengan keluhan dan kelainan
yang ditemukan.
b). Persiapan pra operasi
1) Jelaskan secara lengkap mengenai tindakan vasektomi termasuk
mekanisme dalam mencegah kehamilan dan efek samping yang mungkin
terjadi.
2) Berikan nasehat untuk perawatan luka bekas pembedahan, kemana minta
pertolongan bila terjadi kelainan atau keluhan sebelum waktu kontrol.
3) Berikan nasehat tentang cara menggunakan obat yang diberikan sesudah
tindakan pembedahan.
4) Klien dianjurkan membawa celana khusus untuk menyangga scrotum.
5) Anjurkan calon peserta puasa sebelum operasi atau sekurang- kurangnya 2
jam sebelum operasi.
c) Perawatan pasca operasi
1) Akseptor diminta untuk beristirahat dengan berbaring selama 15 menit
2) Mengamati perdarahan dan rasa nyeri pada luka.
3) Memberikan nasehat sebelum pulang: istirahat selama 1–2 hari dengan
tidak bekerja berat dan menaiki sepeda, menjaga agar luka operasi jangan
basah dan kotor, gunakan celana dalam yang bersih, anjurkan untuk
menghabiskan obat yang diberikan sesuai dengan petunjuk, datang ke
klinik satu minggu kemudian, satu bulan dan tiga bulan kemudian untuk
pemeriksaan, segera kembali apabila terjadi perdarahan dan panas, nyeri
yang hebat atau ada muntah dan sesak nafas, boleh berhubungan seksual
dengan istri tetapi harus dengan menggunakan kondom paling tidak
sampai 15 kali senggama atau sampai hasil pemeriksaan sperma nol.
Setelah itu boleh berhubungan bebas tanpa kondom (Suratun, dkk, 2008).
9. Reanastomosis atau Rekanalisasi (Pemulihan)
Pemulihan fertilitas pada suami yang telah dioperasi vasektomi bukanlah hal
yang tidak mungkin. Tetapi permintaan pemulihan (Renastomosis/ Rekanalisasi)
demikian sangat jarang. Menurut catatan paling permintaan seperti itu datang dari
pihak suami-istri di India. Banyak dokter yang diminta melakukan operasi
renastomosis/rekanalisasi memerlukan pengecekan berbagai hal terhadap
permohonan sebelum melakukannya. Berdasarkan segi teknis antara lain yang diteliti
adalah seberapa jauh kerusakan vasdeferens yang terjadi pada saat akseptor tersebut
menjadi vasektomi, beberapa lama sudah pasien itu dalam keadaan steril, dan apakah
reanastomatis harus dilakukan, maka hal ini merupakan proses yang lebih lama dan
lebih rumit ketimbang dengan proses vasektomi sebelumnya. Harus dilakukan
pembiusan umum, dan biasanya yang dipulihkan kembali cuma salah satu dari
saluran sperma yang dipotong pada proses vasektomi, kecuali bila ternyata
mengalami kegagalan atau infeksi, maka penyambungan saluran kembarnya akan
dilakukan. Untuk itu diperlukan tenggang waktu beberapa bulan kemudian
(Saifuddin, 2010).
2.4 Landasan Teori
Sesuai dengan teori timbulnya perilaku kesehatan sebagaimana yang
dikemukakan oleh Green, maka ditentukan beberapa variabel yang dapat
memengaruhi perilaku penggunaan kontrasepsi vasektomi antara lain:
a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor predisposisi merupakan faktor yang ada pada diri individu, beberapa
faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1). Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
Menurut Bloom (1908), yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010) pengetahuan
dibagi menjadi beberapa tingkatan yang selanjutnya disebut dengan Taksonomi
Bloom. Menurut Bloom, pengetahuan dibagi atas: tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation).
Menurut pendapat Rogers (1962) yang dikutip Nursalam (2007) bahwa
tindakan dapat timbul melalui kesadaran. Kesadaran yang dimaksud berawal dari
tingkat pengetahuan seseorang. Kesadaran tersebut kemudian akan berlanjut
mengikuti empat tahap berikutnya, yaitu keinginan, evaluasi, mencoba, dan
menerima (penerimaan) atau dikenal juga dengan AIETA (Awareness, Interest, Evaluation, Trial, and Adoption).
Secara umum, tingkat pengetahuan kaum suami tentang kontrasepsi
vasektomi masih sangat rendah. Para suami sering salah kaprah tentang efek
kontrasepsi vasektomi. Malahan mereka sering menganggap vasektomi sama dengan
kebiri. Padahal, vasektomi bukan kebiri. Vasektomi masih memungkinkan pria untuk
memiliki kejantanan dan keturunan, sementara bila pria dikebiri tidak akan memiliki
kejantanan apalagi keturunan karena buah zakar/ testis dipotong, dibuang sehingga
tidak dapat lagi memproduksi sperma dan hormon testoteron (pemberi sifat
kejantanan). Akibatnya pria jadi kewanita-wanitaan, seperti terjadi pada zaman
Romawi dimana laki-laki menjadi penjaga wanita. Sedangkan vasektomi hanya
pada saat ejakulasi tidak lagi mengandung sperma. Pada vasektomi buah zakar/testis
tidak dibuang jadi tetap dapat memproduksi hormon testoteron (kejantanan) (Gema
Pria, 2009).
Menurut hasil penelitian Fitri, I.R (2002) di Kecamatan Karangayar,
Kabupaten Kebumen Bualan dinyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
pengetahuan dengan keikutsertaan suami untuk menggunakan kontrasepsi permanen
(vasektomi ) dengan probabiliti sebesar 0,003.
2). Sikap
Sikap (attitude), adalah evaluasi positif-negatif-ambivalen individu terhadap objek, peristiwa, orang, atau ide tertentu. Sikap merupakan perasaan, keyakinan, dan
kecenderungan perilaku yang relatif menetap. Unsur-unsur sikap meliputi kognisi,
afeksi, dan kecenderungan bertindak. Faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya
sikap adalah pengalaman khusus, komunikasi dengan orang lain, adanya model, iklan
dan opini, lembaga-lembaga sosial dan lembaga keagamaan (Makmun, 2005).
Hubungan perilaku dengan sikap, keyakinan dan nilai tidak sepenuhnya
dimengerti, namun bukti adanya hubungan tersebut cukup banyak. Analisis akan
memperlihatkan misalnya bahwa sikap, sampai tingkat tertentu merupakan penentu,
komponen dan akibat dari perilaku. Hal ini merupakan alasan yang cukup untuk
memberikan perhatian terhadap sikap, keyakinan dan nilai sebagai faktor