PERILAKU MEREKA
Kasus Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, Kelurahan Jati Padang, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan
LAILA SAKINA
I34070070DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
ABSTRACT
This study describes the assessment by street children toward the open house’s
services. This assessment based on the street childreen’s satisfaction toward the
open house’s services. The objective of this study is to analyse: (1) The
assessment towards the open house’s services, (2) The factors that affect the street
children’s assessment and (3) the correlation between the assessment of the open
house’s services toward the street children’s behaviour. The functions of the open house are meeting point, assessment and referral center, facilitator, protection, curative-rehabilitative, information center,and providing access to social services and social reintegration. The result of this study showed most of the respondent
(street children) were satisfied toward the open house’s services. Yet, there are
two of open house’s functions, as a facilitator and as an assessment and referral
center, that considered with low level of satisfaction. Then, the factors that
affecting the assessment of the street children toward the open house’s services is
the level of interaction of the street children at the open house. This means that the higher level of interaction happened, the higher level of assessment will be given by the street children to the open house services. After all, it was proved that the level of satisfaction give an influential effect toward their behavior. That is, the higher level of assessment will provide the better behavior of street children.
RINGKASAN
LAILA SAKINA. Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah dan Hubungannya dengan Perilaku Anak Jalanan: Kasus Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi. (Di bawah bimbingan DJUARA P. LUBIS)
Krisis moneter yang berlangsung di Indonesia sejak pertengahan tahun
1997 telah memporak-porandakan seluruh aspek kehidupan bangsa terutama
sendi-sendi perekonomian bangsa. Kemiskinan akibat krisis ekonomi yang
berkepanjangan diyakini juga telah mengakibatkan meningkatnya eksploitasi
terhadap anak. Fenomena ini terutama terjadi di daerah urban dan menyebabkan
munculnya anak jalanan.
Upaya untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak jalanan
dengan memenuhi hak-haknya yang dirumuskan di dalam UU No.4 tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak dan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Realisasi dari peraturan negara ini adalah dengan dilaksanakannya rumah
singgah untuk anak jalanan. Rumah singgah adalah suatu wahana yang
dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan
membantu mereka. Rumah singgah memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai
tempat pertemuan, pusat asesmen dan rujukan, fasilitator, rehabilitasi-kuratif,
perlindungan, pusat informasi, akses terhadap pelayanan sosial, dan resosialisasi.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan penilaian anak jalanan
terhadap pelayanan rumah singgah, (2) menganalisis faktor yang mempengaruhi
penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah, dan (3) menganalisis
hubungan penilaian anak jalanan terhadap rumah singgah dengan perilaku
mereka. Populasi dalam penelitian ini adalah anak jalanan yang mendapat
pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi. Penetapan sampel dilakukan
dengan teknik simple random sampling. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Data kuantitatif yang
dikumpulkan selanjutnya diolah secara statistik melalui uji Chi-square,
Rank-spearman dan Mann-whitney dengan mengunakan software SPSS for
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas anak jalanan memiliki penilaian
yang positif yakni mereka merasa puas terhadap fungsi rumah singgah sebagai
tempat pertemuan, perlindungan, pusat informasi, kuratif-rehabilitatif, pelayanan
sosial dan resosialisasi. Namun, terdapat dua fungsi rumah singgah yang dinilai
tidak memuaskan anak jalanan yaitu fungsi rumah singgah sebagai pusat asesmen
dan rujukan dan sebagai fasilitator.
Penilaian anak jalanan terhadap pelayanan Rumah Singgah Bina Anak
Pertiwi tidak berhubungan dengan usia anak jalanan, tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan, alasan menjadi anak jalanan, tipe anak jalanan, pengalaman anak
jalanan di rumah singgah dan tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan.
Pelayanan yang diberikan rumah singgah disesuaikan dengan karakteristik anak
jalanan, sehingga tingkat kepuasan tidak dipengaruhi oleh faktor tersebut. Faktor
yang mempengaruhi penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah
adalah tingkat interaksi anak jalanan di rumah singgah. Semakin tinggi tingkat
interaksi anak jalanan di dalam rumah singgah semakin baik pula penilaiannya
terhadap pelayanan rumah singgah.
Penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah berkorelasi
positif dengan perilaku anak jalanan. Artinya, semakin baik penilaian anak jalanan
terhadap pelayanan rumah singgah maka semakin baik perilaku mereka.
Pelaksanaan rumah singgah dapat dikatakan efektif untuk menangani
permasalahan anak jalanan. Oleh karena itu, pembina rumah singgah seharusnya
memperhatikan pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah anak jalanan
PENILAIAN ANAK JALANAN TERHADAP PELAYANAN
RUMAH SINGGAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN
PERILAKU MEREKA
Kasus Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, Kelurahan Jatipadang, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan
LAILA SAKINA
I34070070SKRIPSI
Sebagai bagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini kami menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh:
Nama : Laila Sakina
NRP : I34070070
Judul : Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah
dan Hubungannya dengan Perilaku Mereka (Kasus Rumah
Singgah Bina Anak Pertiwi)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. NIP. 19600315 198503 1 002
Mengetahui,
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENILAIAN ANAK JALANAN TERHADAP PELAYANAN RUMAH SINGGAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERILAKU MEREKA” BELUM PERNAH DIAJUKAN DAN DITULIS PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH TULISAN INI.
Bogor, Februari 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 27 Mei 1989. Penulis merupakan
anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Dede
Purnawarman dan Ibu Resmuni Yuliati. Pendidikan formal ditempuh penulis di
SMA Negeri 3 Bogor pada tahun 2004 hingga 2007. Setelah lulus SMA, penulis
menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) Tahun 2007 dan diterima di Departemen Sains Komunikasi
dan Pengembangan Mayarakat, Fakutas Ekologi Manusia.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler, seperti UKM Music Agriculture X-pression!! (MAX!!), UKM
Gentra Kaheman, dan Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA). Dalam organisasi, penulis pernah
memegang jabatan sebagai Bendahara UKM MAX!! periode 2008/2009, Divisi
Seni Tari UKM Gentra Kaheman periode 2009/2010 dan Bendahara Divisi Public
Relation HIMASIERA periode 2009/2010. Penulis juga dipercaya untuk terlibat
dalam berbagai kepanitiaan, diantaranya sebagai Bendahara Festival Musik
MIXMAX!!, Divisi Acara ETNIX!!, Divisi Acara FRESH, Divisi Basket OMI
dan berbagai kepanitiaan lainnya.
Penulis pernah mengikuti program magang pada divisi Editing di PT
Mirage Rabbani. Sebagai bentuk pengabdian terhadap bidang pendidikan, penulis
menjalankan amanah menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Dasar-dasar
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, petunjuk, dan nikmat-Nya dalam mengerjakan skripsi ini,
sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul “Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah dan Hubungannya dengan Perilaku
Mereka” ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan mengenai penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah dan pengaruhnya terhadap
perilaku anak jalanan.
Penulisan skripsi ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat, khususnya bagi pmerintah, pengelola rumah singgah dan masyarakat
dalam upaya pemberdayaan anak jalanan. Penulis menyadari bahwa penulisan
skripsi masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran perbaikan dan masukan yang membangun demi kemajuan ilmu
pengetahuan.
Bogor, Februari 2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
ridho-Nya akhirnya skripsi berjudul “Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah dan Hubungannya dengan Perilaku Mereka” dapat terselesaikan. Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi ini, yaitu:
1. Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. selaku dosen pembimbing studi
pustaka dan skripsi yang telah memberikan masukan dan bimbingan
dengan sabar kepada penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan.
2. Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS. DEA. selaku penguji utama dan Ibu
Ir. Yatri I. Kusumastuti, MSi. selaku penguji perwakilan departemen yang
telah memberikan saran dan kritik yang membangun bagi penulis.
3. Bapak Martua Sihaloho, SP. MSi. selaku dosen pembimbing akademik
yang telah memberikan dukungan demi kelancaran kegiatan akademik
penulis.
4. Ibunda tercinta Resmuni Yuliati dan ayahanda terkasih Dede
Purnawarman yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, dan doa
tiada henti kepada penulis.
5. Kakak dan adik tersayang, Ridwan Mukorrobin dan Hanif Alghifary yang
memberikan doa dan semangat kepada penulis.
6. Faiz Nasrullah Samara beserta keluarga yang senantiasa memberikan doa,
semangat dan motivasi kepada penulis.
7. Kak Abdus Saleh Maller selaku pimpinan Rumah Singgah Bina Anak
Pertiwi, Ali Santoso sebagai pendamping selama penelitian dan seluruh
anak binaan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi.
8. Keluarga Besar Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
angkatan 44 atas kebersamaan dan persahabatan yang telah terjalin selama
9. Navalinesia, Dimitra, Asri, Biola, Fera, Karina, Maya, Astri dan seluruh
sahabat penulis yang memberikan keceriaan dan kebersamaannya.
10.Seluruh teman-teman seperjuangan akselerasi, Astri, Dina, Maya, Zuhaida,
Amanda, Bio, Navalinesia, Syifa, Frisca, Debos, Nyimas, Nendy, Thresa,
Isma, Yunita, Ummi, MV dan Geidy, yang senantiasa memberikan
motivasi kepada penulis.
11.Keluarga Kuliah Kerja Profesi A1, Bio, Dewi, Adiarti, Dida, dan Gilang
atas perhatian, kerjasama, dan kebersamaan.
12.Keluarga baru di Griya Biru dan Zulfa yang memberikan pengalaman dan
keceriaan selama masa kuliah.
13.Teman-teman UKM MAX!! dan HIMASIERA atas kerjasama,
pengalaman, dan ilmu yang bermanfaat.
14.Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Masalah Penelitian ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.4 Kegunaan Penelitian ... 3
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 4
2.1 Tinjauan Pustaka ... 4
2.1.1 Anak Jalanan ... 4
2.1.2 Model Penanganan Anak Jalanan ... 9
2.1.3 Rumah Singgah... 10
2.1.4 Pemberdayaan ... 14
2.1.5 Perilaku ... 15
2.1.6 Penilaian ... 17
2.2 Kerangka Pemikiran ... 20
2.3 Hipotesis Penelitian ... 23
2.4 Definisi Operasional ... 24
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ... 29
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29
3.2 Metode Penelitian... 29
3.3 Teknik Pemilihan Responden dan Informan ... 30
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 30
3.5 Teknik Analisis Data ... 31
BAB IV GAMBARAN UMUM ... 33
4.1 Gambaran Umum Lokasi... 33
4.2 Gambaran Umum Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi ... 34
4.2.1. Sejarah ... 34
4.2.2. Visi, Misi dan Tujuan ... 35
4.2.4. Anak Binaan ... 37
4.2.5. Rekruitment Anak Binaan ... 38
4.2.6. Model Layanan ... 39
4.2.7. Program Kegiatan ... 40
4.2.8. Fasilitas ... 43
BAB V PROFIL RESPONDEN ... 45
5.1. Usia... 45
5.2. Tingkat Pendidikan ... 45
5.3. Jenis Pekerjaan ... 48
5.4. Alasan Menjadi Anak Jalanan ... 50
5.5. Tipe Anak Jalanan ... 53
5.6. Pengalaman Menjadi Anak Jalanan ... 54
5.7. Tingkat Kekerasan yang Dialami ... 55
5.8. Perilaku Menyimpang ... 57
5.9. Ikhtisar ... 60
BAB VI PENILAIAN ANAK JALANAN TERHADAP PELAYANAN RUMAH SINGGAH ... 62
6.1 Tempat Pertemuan (Meeting Point) ... 62
6.2 Pusat Asesmendan Rujukan ... 64
6.3 Fasilitator ... 65
6.4 Perlindungan ... 67
6.5 Pusat Informasi ... 68
6.6 Kuratif-Rehabilitatif ... 70
6.7 Akses Terhadap Pelayanan ... 72
6.8 Resosialisasi ... 73
6.9 Ikhtisar ... 74
BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENILAIAN ANAK JALANAN TERHADAP PELAYANAN RUMAH SINGGAH ... 77
7. 1 Faktor Internal ... 77
7.1.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Penilaian Anak
Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah ... 79
7.1.3 Hubungan Jenis Pekerjaan dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah ... 80
7.1.4 Hubungan Alasan Utama Menjadi Anak Jalanan dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah.... 82
7.1.5 Hubungan Tipe Anak Jalanan dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah ... 84
7.1.6 Hubungan Pengalaman di Rumah Singgah dengan Penilaian Anak Jalanan Terhadap Pelayanan Rumah Singgah... 86
7. 2 Faktor Eksternal ... 87
7.2.1 Hubungan Tingkat Kekerasan dengan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah ... 87
7.2.2 Hubungan Tingkat Interaksi dalam Rumah Singgah dengan Penilaian Anak Jalanan Terhadap Pelayanan Rumah Singgah .. 89
7.2.3 Ikhtisar ... 91
BAB VIII HUBUNGAN PENILAIAN ANAK JALANAN TERHADAP PELAYANAN RUMAH SINGGAH DENGAN PERILAKU MEREKA ... 92
8.1 Hubungan Penilaian Anak Jalanan Terhadap Pelayanan Rumah Singgah dengan Perilaku Anak Jalanan ... 93
8.2 Perubahan Perilaku Anak Jalanan ... 95
8.3 Ikhtisar ... 97
BAB IX PENUTUP ... 99
9.1 Kesimpulan ... 99
9.2 Saran ... 100
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Status Pendidikan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi,
2010………. 46
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Tingkat Pendidikan Anak Jalanan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010……… 47 Tabel 3. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Jenis
Pekerjaan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010………… 49 Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan Tipe
Anak Jalanan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010…….. 53 Tabel 5. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan
Pengalaman Menjadi Anak Jalanan, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010…..………...……. 55 Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan
Pernah Tidaknya Mengkonsumsi Minuman Keras, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010………... 58 Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan
Pernah Tidaknya Mengkonsumsi Narkoba, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010……… 58 Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan
Pernah Tidaknya Melakukan Hubungan Seksual Sebelum Menikah, Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010………….. 59 Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia dan
Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010………. 77 Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat
Pendidikan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010.………..…… 79 Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat
Pendidikan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010……….. 81 Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Alasan
Menjadi Anak Jalanan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010….……… 83 Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tipe Anak
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tipe Anak Jalanan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010….……….. 86 Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat
Kekerasan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010……….. 88 Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat
Kekerasan dan Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010……….. 90 Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perilaku dan
Penilaian Anak Jalanan terhadap Pelayanan Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, 2010………. 93 Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perilaku Anak
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Gambar 1. Kerangka Berpikir……….. 23 Gambar 2. Jumlah Anak Jalanan yang Dibina Rumah Singgah Bina
Anak Pertiwi Berdasarkan Kelompok Usia……….. 37 Gambar 3. Distribusi Responden Berdasarkan Usia……….. 45 Gambar 4. Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Utama Menjadi
Anak Jalanan……… 51
Gambar 5. Distribusi Responden Berdasakan Tingkat Kekerasan
Non-fisik……… 56
Gambar 6. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kekerasan Fisik... 57
Gambar 7. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah Sebagai Tempat Pertemuan……….. 63 Gambar 8. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah
Sebagai Pusat Asesmen dan Rujukan………... 64 Gambar 9. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah
sebagai Fasilitator………..... 66 Gambar 10. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah
Sebagai Tempat Perlindungan……….. 67 Gambar 11. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah
Sebagai Pusat Informasi……….……….. 69 Gambar 12. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah
dalam Upaya Kuratif-Rehabilitatif….……….. 70 Gambar 13. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah
Sebagai Akses Pelayanan Sosial……….. 72 Gambar 14. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Fungsi Rumah Singgah
Melakukan Resosialisasi………... 73 Gambar 15. Penilaian Anak Jalanan Terhadap Pelayanan Rumah
1.1 Latar Belakang
Krisis moneter yang berlangsung di Indonesia sejak pertengahan tahun
1997 telah memporak-porandakan seluruh aspek kehidupan bangsa terutama
sendi-sendi perekonomian bangsa. Krisis moneter mengakibatkan meningkatnya
jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan menjadi sekitar 80 juta
penduduk dan diperkirakan sekitar 20 juta angkatan kerja menganggur. Akibatnya
mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Kemiskinan
akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan diyakini telah mengakibatkan
peningkatan eksploitasi terhadap anak dalam melakukan pekerjaan yang tidak
memerlukan pendidikan dan keahlian tertentu, seperti pemulung, pedagang
asongan, dan prostitusi. Fenomena ini terutama terjadi di daerah urban dan
menyebabkan munculnya anak jalanan dan terlantar (Depdiknas, 2002).
Berdasarkan hasil survei dan pemetaan sosial anak jalanan pada tahun
1999 yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dan Departemen Sosial dengan
dukungan Asia Development Bank, jumlah anak jalanan adalah 39.861 orang, yang tersebar di 12 kota besar. Pada tahun 2004, menurut Pusat Data dan
Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, jumlah anak jalanan sebesar
98.113 orang, yang tersebar di 30 provinsi. Khusus di wilayah Bandung kurang
lebih berjumlah 5.500 anak jalanan; di wilayah Bogor 3.023 orang; dan di Daerah
Khusus Ibukota Jakarta kurang lebih berjumlah 8.000 orang (Sugiharto, 2004).
Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan waktu sebagian besar
waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari baik untuk mencari nafkah
atau berkeliaran di jalan atau tempat umum lainya (Departemen Sosial, 2005).
Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang
menyenangkan. UNDP & Departemen Sosial sebagaimana dikutip Saripudin dkk
(2009) menjelaskan bahwa anak jalanan menghadapi situasi di mana hak-hak
sebagai anak kurang terpenuhi, baik dari aspek pendidikan, kelangsungan hidup,
Triyanti (2001) menjelaskan bahwa anak jalanan berada dalam lingkungan yang
tidak kondusif baik bagi fisik maupun kejiwaan sebagai anak, sebab anak jalanan
rentan terhadap berbagai bentuk penindasan, baik yang secara nyata maupun
terselubung.
Melihat permasalahan yang dihadapi anak jalanan tersebut maka
diperlukan upaya perlindungan dan kesejahteraan anak jalanan dengan memenuhi
hak-haknya. Di Indonesia, untuk mewujudkan hak-hak anak telah dikeluarkan UU
No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No. 23 Tahun2002 tentang
Perlindungan Anak. UU tersebut menjelaskan bahwa anak berhak untuk tumbuh
kembang secara wajar serta memperoleh perawatan, pelayanan, asuhan dan
perlindungan yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan anak. Rumah
singgah merupakan model penangan anak jalanan sebagai perwujudan daru UU
tersebut (Krismiyarsi dkk, 2004).
Munajat (2001) menjelaskan rumah singgah merupakan salah satu
pendekatan untuk mengatasi masalah anak jalanan. Rumah singgah adalah suatu
wahana yang dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dengan
pihak-pihak yang akan membantu mereka. Tujuan umum diselenggarakannya rumah
singgah adalah membantu anak jalanan dalam mengatasi masalah-masalahnya dan
menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Adapun tujuan
khusus rumah singgah antara lain: (1) membentuk kembali sikap dan perilaku
anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, (2)
mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau di panti dan
lembaga pengganti lainya jika diperlukan dan (3) memberikan berbagai alternatif
pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak.
Rumah Singgah memiliki beberapa fungsi, yaitu tempat pertemuan, pusat
asesmen dan rujukan, fasilitator, rehabilitasi-kuratif, perlindungan, pusat
informasi, akses terhadap pelayanan, dan resosialisasi. Untuk mengetahui
keberfungsian rumah singgah maka dapat dilihat dari segi proses maupun hasil
proses rumah singgah, salah satunya yaitu dengan melihat penilaian anak jalanan
terhadap pelayanan rumah singgah dan perilaku anak jalanan setelah mendapat
mengenai penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah dan
hubungannya dengan perilaku mereka perlu dilakukan.
1.2 Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi penialaian anak jalanan terhadap
pelayanan rumah singgah?
3. Bagaimana hubungan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah
singgah dengan perilaku mereka?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah
singgah.
2. Menganalisis faktor yang mempengaruhi penilaian anak jalanan terhadap
pelayanan rumah singgah.
3. Menganalisis hubungan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah
singgah dengan perilaku mereka.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang
berminat maupun yang terkait dengan masalah anak jalanan, yaitu:
1. Kalangan akademisi yang ingin mengkaji lebih jauh mengenai anak
jalanan dan rumah singgah terkait dengan pemberdayaan masyarakat
2. Praktisi, pemerintah, dan swasta dapat bermanfaat sebagai sebuah
pertimbangan dalam mengambil kebijakan mengenai penanganan dan
pelayanan anak jalanan melalui rumah singgah
3. Masyarakat, dapat memperluas wawasan mengenai pelaksanaan rumah
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Anak Jalanan
UNICEF mendefinisikan anak jalanan sebagai those who have abandoned their home, school, and immediate communities before they are sixteen yeas of
age have drifted into a nomadic street life (anak-anak berumur di bawah 16 tahun
yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat
terdekat, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah). Anak jalanan merupakan
anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau
berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya (Departemen Sosial,
2005).
Hidup menjadi anak jalanan bukanlah pilihan yang menyenangkan,
melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu.
Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum
mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang
sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung
berpengaruh bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek
psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Penampilan anak jalanan yang
kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap
anak jalanan yang diidentikan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka
mencuri, dan sampah masyarakat yang harus diasingkan (Arief, 2002).
Pusdatin Kesos Departemen Sosial RI sebagaimana dikutip oleh Zulfadli
(2004) menjelaskan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar
waktunya dihabiskan di jalanan atau di tempat-tempat umum, dengan usia antara
6 sampai 21 tahun yang melakukan kegiatan di jalan atau di tempat umum seperti:
pedagang asongan, pengamen, ojek payung, pengelap mobil, dan
lain-lain.Kegiatan yang dilakukan dapat membahayakan dirinya sendiri atau
mengganggu ketertiban umum. Anak jalananan merupakan anak yang berkeliaran
yang tidak bersekolah. Kebanyakan mereka berasal dari keluarga yang tidak
mampu.
Berdasarkan intensitasnya di jalanan, anak jalanan dapat dikelompokkan
menjadi tiga kategori utama (Depdiknas, 2002), yaitu:
1. Chidren of the street
Anak yang hidup/tinggal di jalanan dan tidak ada hubungan dengan
keluarganya. Kelompok ini biasanya tinggal di terminal, stasiun kereta api,
emperan toko dan kolong jembatan.
2. Children on the street
Anak yang bekerja di jalanan. Umumnya mereka adalah anak putus
sekolah, masih ada hubungannya dengan keluarga namun tidak teratur
yakni mereka pulang ke rumahnya secara periodik.
3. Vulberable children to be street children
Anak yang rentan menjadi anak jalanan. Umumya mereka masih sekolah
dan putus sekolah, dan masih ada hubungan teratur (tinggal) dengan orang
tuanya.
Jenis pekerjaan anak jalanan oleh Departemen Sosial yang dikutip oleh
Yudi (2006) dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu:
1. Usaha dagang yang terdiri atas pedagang asongan, penjual koran, majalah,
serta menjual sapu atau lap kaca mobil.
2. Usaha di bidang jasa yang terdiri atas pembersih bus, pengelap kaca mobil,
pengatur lalu lintas, kuli angkut pasar, ojek payung, tukang semir sepatu dan kenek.
3. Pengamen. Dalam hal ini menyanyikan lagu dengan berbagai macam alat
musik seperti gitar, kecrekan, suling bambu, gendang, radio karaoke dan lain-lain.
4. Kerja serabutan yaitu anak jalanan yang tidak mempunyai pekerjaan tetap,
dapat berubah-ubah sesuai dengan keinginan mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh Suhartini (2008) memaparkan bahwa pola
kerja anak jalanan dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk strategi bertahan hidup
jalanan memiliki strategi bertahan hidup kompleks dan sedang dengan jenis
pekerjaan pengamen.
Menurut Sanusi sebagaimana dikutip Yudi (2006), latar belakang anak
turun ke jalan secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kondisi ekonomi keluarga
Kegiatan anak-anak di jalanan berhubungan dengan kemiskinan keluarga
di mana orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar (sandang,
pangan, papan) dari anggota keluarganya sehingga dengan terpaksa
ataupun sukarela mencari penghidupan di jalan untuk membantu orangtua.
2. Konflik dengan/antar orangtua
Selain faktor ekonomi, perselisihan dengan orangtua ataupun antar
orangtua (disharmoni keluarga) menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan anak turun ke jalan dan akhirnya menjadi anak jalanan.
3. Mencari pengalaman
Tidak jarang anak melakukan aktivitas di jalan dengan alasan mencari
pengalaman untuk memperoleh penghasilan sendiri. Kebanyakan dari
mereka berasal dari luar Jakarta yang pergi ke Jakarta untuk mencari
pengalaman baru dan kehidupan baru yang lebih baik. Sebagian besar dari
mereka tidak datang bersama orangtua, melainkan saudara atau teman
sebaya.Hal ini berhubungan dengan motivasi untuk bekerja.
Menurut Suhartini (2008) karakter anak jalanan dapat dilihat berdasarkan
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan alasan anak turun ke
jalan. Usia anak jalanan berusia 13 sampai 18 tahun. Sebagian besar anak jalanan
adalah laki-laki dengan jenis pekerjaan sebagai pengamen. Alasan anak turun ke
jalan sangat bervariasi, sebagian dari mereka turun ke jalan karena kesulitan
ekonomi dan sebagian lagi untuk tambahan uang saku dan rekreasi. Sebagian
besar anak jalanan hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah
Pertama (SMP), diantara SD dan SMP tersebut ada yang tidak tamat sekolah.
Pada kategori pekerjaan, mayoritas anak jalanan adalah pengamen.
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam proses tumbuh dan
berkembangnya seorang anak. Menurut Zulfadli (2004) keluarga adalah unit
dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
latar belakang keluarga berkaitan erat dengan perginya anak ke jalanan.
Pada anak jalanan, salah satu permasalahan yang dihadapi mereka adalah
telah bergesernya fungsi keluarga, salah satu contohnya fungsi ayah sebagai
pencari nafkah yang digantikan oleh anak-anak mereka. Orang tua sangat
mempengaruhi keputusan anak dalam rangka mencari nafkah. Dukungan ini dapat
berupa dukungan langsung maupun tidak langsung. Dukungan ini ditunjukkan dengan perilaku orang tua yang meminta uang „setoran‟ pada anak jalanan. Keadaan sosial ekonomi keluarga yang serba kekurangan mendorong anak jalanan
untuk mendapatkan penghasilan lebih. Keadaan sosial ekonomi keluarga dapat
dilihat salah satunya melalui pekerjaan orang tua (Purwaningsih, 2003). Selain itu,
berdasarkan penelitian Suhartini (2008) tingkat ekonomi keluarga anak jalanan
dapat dilihat dari jumlah penghasilan orangtua anak jalanan.
Hartini dkk. sebagaimana dikutip oleh Pramuchtia (2008) menyatakan
bentuk-bentuk tindakan kekerasan yang dialami anak jalanan dibagi ke dalam empat
jenis, yaitu:
1. Kekerasan ekonomi
Kekerasan ekonomi cenderung dilakukan oleh anak jalanan laki-laki yang
lebih tua darinya dan atau oleh aparat keamanan. Secara tidak langsung kekerasan
ekonomi juga dilakukan oleh orang tua mereka. Kekerasan ekonomi yang
dilakukan oleh orang tua mereka sendiri dapat berupa pemaksaan terhadap
anak-anaknya yang masih di bawah usia untuk ikut serta memberi sumbangan secara
ekonomi bagi keluarga. Kekerasan orang tua biasanya dilakukan dengan
memarahi anak mereka jika beristirahat atau harus cepat-cepat berlari mendekati
mobil apabila lampu merah menyala agar mendapat uang lebih banyak.
Kekerasan ekonomi juga dilakukan oleh aparat yang sering dilakukan
cakupan pada anak jalanan. Cakupan dilakukan oleh petugas keamanan seperti
Polisi Kotamadya (maksud Satpol PP) dan Hansip. Penangkapan yang dilakukan
oleh petugas sebagai wujud pemerintah kota untuk menjaga ketertiban dan salah
satu solusi yan dapat menyelesaikan permasalahan kota besar, sebaliknya justru
dianggap sebagai tindak kekerasan ekonomi dan psikis bagi anak jalanan karena
uang, anak jalanan tersebut diancam akan dimasukkan ke tempat
penampungan-penampungan yang ada di daerah tersebut.
2. Kekerasan psikis
Bentuk kekerasan ini adalah berupa ancaman tidak diperbolehkan
beroperasi/mengamen/mengemis di tempat tertentu, dimaki-maki dengan kata
kasar sampai ancaman dengan menggunakan senjata tajam. Kekerasan psikis yang
dilakukan baik oleh sesama anak jalanan atau aparat, cenderung memberikan
dampak yang sangat traumatik.
3. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang sangat mudah
diketahui dengan melihat akibat yang ditimbulkan. Kekerasan fisik ini biasanya
berupa tamparan, tendangan, gigitan, benturan dengan benda keras, sampai luka
akibat terkena senjata tajam.
4. Kekerasan seksual
Kekerasa seksual merupakan bentuk pelecehan seksual yang dialami anak
jalanan mulai yang sangat sederhana seperti mencolek pantat, pegang-pegang
payudara sampai diajak ke tempat-tempat yang biasa digunakan untuk melakukan
hubungan seksual (losmen atau hotel-hotel kecil). Kekerasan seksual yang sering
terjadi pada anak jalanan perempuan di Surabaya lebih sering dilakukan pada anak
jalanan perempuan yang telah menginjak remaja (12 tahun ke atas).
Marliana (2006) membagi kekerasan ke dalam dua kategori yaitu
kekerasan fisik dan kekerasan non-fisik. Emotional abuse dan verbal ebuse dapat dikategorikan sebagai kekerasan non-fisik yang dapat berakibat pada psikis anak,
sehingga dapat menghambat pertumbuhan anak. Sedangkan physical abuse dan
sexual abuse dapat dikategorikan sebagai kekerasa fisik yang berakibat pada
jasmani anak. Tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan dalam penelitiannya
tegolong dalam kategori rendah. Bentuk kekerasan yang dialami anak jalanan
antara lain diejek teman, dimarahi teman karena melewati batas wilayah, dipaksa
teman untuk menuruti kata-katanya, dipukul orang tua karena tidak memberi
2.1.2 Model Penanganan Anak Jalanan
Departemen Sosial sebagaimana dikutip Krismiyarsi dkk (2004)
menjelaskan bahwa penanganan anak jalanan dilakukan dengan metode dan
teknik pemberian pelayanan yang meliputi:
1. Street based
Street based merupakan pendekatan di jalanan untuk menjangkau dan
mendampingi anak di jalanan. Tujuannya yaitu mengenal, mendampingi anak,
mempertahankan relasi dan komunikasi, dari melakukan kegiatan seperti:
konseling, diskusi, permainan, literacy dan lain-lain. Pendampingan di jalanan terus dilakukan untuk memantau anak binaan dan mengenal anak jalanan yang
baru. Street based berorientasi pada menangkal pengaruh-pengaruh negatif dan membekali mereka nilai-nilai dan wawasan positif.
2. Community based
Community based adalah pendekatan yang melibatkan keluarga dan
masyarakat tempat tinggal anak jalanan. Pemberdayaan keluarga dan sosialisasi
masyarakat, dilaksanakan dengan pendekatan ini yang bertujuan mencegah anak
turun ke jalanan dan mendorong penyediaan sarana pemenuhan kebutuhan anak.
Community based mengarah pada upaya membangkitkan kesadaran, tanggung
jawab dan partisipasi anggota keluarga dan masyarakat dalam mengatasi anak
jalanan.
3. Bimbingan sosial
Metode bimbingan sosial untuk membentuk kembali sikap dan perilaku
anak jalanan sesuai dengan norma, melalui penjelasan dan pembentukan kembali
nilai bagi anak, melalui bimbingan sikap dan perilaku sehari-hari dan bimbingan
kasus untuk mengatasi masalah kritis.
4. Pemberdayaan
Metode pemberdayaan dilakukan untuk meningkatkan kapasitas anak
jalanan dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Kegiatannya berupa pendidikan,
2.1.3 Rumah Singgah
Munajat (2001) menjelaskan rumah singgah merupakan perantara antara
anak jalanan dengan pihak-pihak yang membantu mereka. Rumah singgah
bertujuan membantu anak jalanan dalam mengatasi masalah-masalahnya dan
menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dengan demikian
rumah singgah bukan merupakan lembaga pelayanan sosial yang membantu
menyelesaikan masalah, namun merupakan lembaga pelayanan sosial yang
memberikan proses informal dengan suasana resosialisasi bagi anak jalanan
terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Direktorat Jendral Bina Kesejahteraan Sosial Depsos sebagaimana dikutip
oleh Krismiyarsi (2004) mendefinisikan rumah singgah sebagai berikut:
a. Anak jalanan boleh tinggal sementara untuk tujuan perlindungan,
misalnya: karena tidak punya rumah, ancaman di jalan,
ancaman/kekerasan dari orang tua dan lain-lain. Biasanya hal ini dihadapi
anak yang hidup di jalanan dan tidak mempunyai tempat tinggal.
b. Pada saat tinggal sementara mereka memperoleh intervensi yang intensif
dari pekerja sosial sehingga tidak tergantung terus kepada rumah singgah.
c. Anak jalanan datang sewaktu-waktu untuk bercakap-cakap, istirahat,
bermain, mengikuti kegiatan dan lain-lain.
d. Rumah singgah tidak memperkenankan anak jalanan untuk tinggal
selamanya.
e. Anak jalanan yang masih tinggal dengan orang tua atau saudaranya atau
sudah mempunyai tempat tinggal tetap sendirian maupun berkelompok
tidak diperkenankan menetap di rumah singgah, kecuali ada beberapa
situasi yang bersifat darurat.
f. Anak jalanan yang sudah mempunyai tempat tinggal tetap merupakan
kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang membutuhkan
rumah singgah sebagai tempat tinggal sementara, seperti: kelompok anak
yang hidup di jalanan.
Melalui proses informal dalam resosialisasi anak jalanan terhadap sistem
nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, diharapkan mampu mencapai tujuan
sendiri ada dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum
rumah singgah adalah membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya
dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Adapun tujuan
khusus rumah singgah adalah:
a. Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai
dan norma yang berlaku di masyarakat.
b. Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau di
panti dan lembaga pengganti lainya jika diperlukan.
c. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan
anak.
Departemen Sosial RI sebagaimana dikutip oleh Triyanti (2001)
mengemukakan fungsi rumah singgah sebagai berikut:
1. Tempat pertemuan (meeting point) pekerja sosial dengan anak jalanan Dalam fungsi ini, rumah singgah merupakan merupakan tempat bertemu
antara pekerja sosial dengan anak jalanan untuk menciptakan
persahabatan, assessment dan melakukan program kegiatan. 2. Pusat assessment dan rujukan
Rumah singgah menjadi tempat asesmen (assessment) terhadap masalah dan kebutuhan anak jalanan serta melakukan rujukan (refeal) pelayanan sosial bagi anak jalanan.
3. Fasilitator
Rumah singgah memiliki fungsi sebagai perantara anak jalanan dengan
keluarga, panti, keluarga pengganti, dan lembaga lainnya. Anak jalanan
diharapkan tidak terus-menerus bergantung pada rumah singgah,
melainkan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui atau
setelah proses yang dijalani.
4. Perlindungan
Rumah singgah dianggap sebagai tempat perlindungan anak dari
kekerasan, penyimpangan seks dan bentuk-bentuk lain yang terjadi di
5. Pusat informasi
Dalam fungsi ini, Rumah singgah menyediakan informasi tentang berbagai
hal yang berkaitan dengan kepentingan anak jalanan seperti data dan
informasi tentang anak jalanan, bursa kerja, pendidikan, kursus
keterampilan dan lain-lain.
6. Kuratif-Rehabilitatif
Rumah singgah diharapkan mampu mengatasi permasalahan anak jalanan
dan memperbaiki sikap dan perilaku sehari-hari yang akhirnya akan dapat
menumbuhkan keberfungsian anak.
7. Akses terhadap pelayanan
Sebagai persinggahan, rumah singgah menyediakan akses kepada berbagai
pelayanan sosial. Pekerja sosial membantu anak mencapai pelayanan
tersebut.
8. Resosialisasi
Lokasi rumah singgah berada di lingkungan masyarakat sebagai upaya
mengenalkan kembali norma, situasi dan kehidupan bermasyarakat bagi
anak jalanan. Dengan harapan adanya pengakuan, tujuan dan upaya dari
warga masyarakat terhadap penanganan masalah anak.
Prinsip-prinsip rumah singgah yang dikemukakan Direktorat Bina
Pelayanan Sosial Anak sebagaimana dikutip oleh Krismiyarsi (2009), yaitu:
1. Semi institusional
Anak jalanan sebagai penerima pelayanan boleh bebas keluar masuk baik
untuk tinggal sementara maupun hanya untuk mengikuti kegiatan.
2. Terbuka 24 jam
Anak jalanan boleh datang kapan saja, siang hari maupun malam hari,
terutama bagi anak jalanan yang baru mengenal rumah singgah. Anak
jalanan yang sedang dibina atau dilatih datang pada jam yang telah
ditentukan, misalnya paling malam pukul 22.00 waktu setempat. Hal ini
memberikan kesempatan kepada anak jalanan untuk memperoleh
perlindungan kapan pun. Para pekerja sosial siap dikondisikan untuk
menerima anak dalam 24 jam tersebut, oleh karena itu harus ada pekerja
3. Hubungan informal (kekeluargaan)
Hubungan-hubungan yang terjadi di rumah singgah bersifat informal
seperti perkawanan atau kekeluargaan. Anak jalanan dibimbing untuk
merasa sebagai anggota keluarga besar di mana para pekerja sosial
berperan sebagai teman, saudara atau orang tua. Hubungan ini membuat
anak merasa diperlakukan seperti anak lainnya dalam sebuah keluarga dan
merasa sejajar karena pekerja sosial menempatkan diri sebagai teman dan
sahabat. Dengan cara ini diharapkan anak-anak mudah mengadukan
keluhan, masalah, dan kesulitan sehingga memudahkan penanganan
masalahnya.
4. Bebas terbatas untuk apa saja bagi anak
Anak dibebaskan untuk melakukan apa saja di rumah singgah seperti:
tidur, bermain, bercanda, bercengkrama, mandi, dan sebagainya. Tetapi
anak dilarang untuk perilaku yang negatif, seperti: perjudian, merokok,
minuman, keras dan sejenisnya. Dengan cara ini diharapkan anak-anak
betah dan terjaga dari pengaruh buruk. Peraturan dibuat dan disepakati
oleh anak-anak.
5. Persinggahan dari jalanan ke rumah atau alternatif lain
Rumah singgah merupakan persinggahan anak jalanan dari situasi jalanan
menuju situasi lain yang dipilih dan ditentukan oleh anak, misalnya
kembali ke rumah, mengikuti saudara, masuk panti, kembali ke sekolah,
alih kerja ke tempat lain, dan sebagainya.
6. Partisipasi kegiatan yang dilaksanakan di rumah singgah didasarkan pada
prinsip partisispasi dan kebersamaan. Pekerja sosial dan anak jalanan
memahami masalah, merencanakan dan merumuskan kegiatan
penanganan. Dengan cara ini anak dilatih belajar mengatasi masalahnya
dan merasa memiliki atau memikirkan kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan.
7. Belajar bermasyarakat
Anak jalanan seringkali menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda
dengan norma masyarakat karena lamanya mereka tinggal di jalanan.
kembali belajar norma dan menunjukkan sikap dan perilaku yang berlaku
dan diterima masyarakat
2.1.4 Pemberdayaan
Pemberdayaan secara konseptual pada intinya membahas bagaimana
individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka
sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan
mereka. Pemberdayaan merupakan the missing ingrident dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yang aktif dan kreatif. Secara sederhana, pemberdayaan
mengacu kepada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan
akses dan kontrol atas sumberdaya yang penting. Oleh karena itu, pemberdayaan
dan partisipasi di tingkat komunitas merupakan dua konsep yang erat kaitannya
dalam konteks ini pernyataan Craig dan Mayo, bahwa empowerment is road to
participation adalah sangat relevan (Nasdian, 2006).
Ife sebagaimana dikutip Suharto (2005) pemberdayaan memuat dua
pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Pemberdayaan adalah
sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian
kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam
masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan.
Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang
ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya,
memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan hidunya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial
seperti kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata
pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, mandiri dalam melaksanakan
kegiatan sosial dan tugas-tugas kehidupannya.
Person et.al. sebagimana dikutip Soeharto (2005) menyatakan bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Namun dalam
beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual;
meskipun pada gilirannya strategi ini pun tetap berkaitan dengan kolektivitas;
Pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan
(empowerment setting), yaitu:
1. Aras mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu
melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam
menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai
Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task center approach).
2. Aras mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien.
Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media
intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya
digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan
memecahkan permasalahan yang dihadapinya,
3. Aras makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar
(large sistem strategy), karena sasaran perubahan diarahkan kepada sistem
lingkungan yang lebih luas. Strategi ini memandang klien sebagai orang
yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri.
Dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.
2.1.5 Perilaku
Walgito (2002) menjelaskan perilaku yang dilakukan seseorang disebut
sebagai perilaku yang tampak (overt behavior). Perilaku juga dikaitkan sebagai reaksi yang terjadi karena adanya stimulus atau interaksi antar individu dengan
lingkungannya dan benar-benar dilakukan seseorang dalam bentuk tindakan.
Calhoun dan Joan sebagaimana dikutip Prayifto (2010) menjelaskan bahwasannya
perilaku seseorang terhadap suatu objek dapat dilihat dari beberapa dimensi,
yakni:
1. Frekuensi
Menunjukkan jumlah atau kuantitas dari perilaku seseorang.
2. Kepada siapa berperilaku
Perilaku yang dilakukan biasanya tidak hanya ditujukan untuk diri sendiri
3. Untuk apa
Perilaku yang dilakukan seseorang itu mempunyai manfaat dan tujuan
untuk dirinya sendiri ataupun orang lain.
4. Bagaimana
Menunjukkan upaya atau cara yang dilakukan oleh seseorang dalam
berperilaku untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Perilaku merupakan suatu rangkaian aktivitas, yang dapat berubah apabila
kebutuhan yang ada meningkat kekuatannya, sehingga menjadi motif yang paling
tinggi. Lima konsep penguatan utama yang dapat membantu dalam upaya
mengubah perilaku adalah: penguatan positif (positive reinforcement) terhadap perilaku baru yang diinginkan sesegera mungkin, penguatan negatif (negatif
reinforcement), hukuman (punisment), pemunahan, dan jadwal penguatan. Hal ini
terkait dengan teori modifikasi perilaku yang memusatkan perhatian pada perilaku
yang diamati dan menggunakan tujuan atau ganjaran di luar diri seseorang untuk
memodifikasi dan membentuk perilaku ke arah prestasi yang diinginkan (Hersey
dan Blanchard yang dikutip Sugiharto, 2004).
Perubahan perilaku hanya bisa terjadi apabila dua faktor yaitu pribadi yang
bersangkutan dan orang-orang di sekelilingnya sama-sama dalam situasi
menginginkan perubahan tersebut terjadi. Adapun faktor-faktor yang
memungkinkan timbulnya perubahan perilaku pada diri seseorang pada dasarnya
ada dua, yaitu : a) kesadaran yang timbul dari dirinya sendiri, dengan ini perubahan yang terjadi lebih bersifat menetap, karena perubahan tanpa adanya
kesadaran hanya bersifat sementara (palsu) dan b) pengaruh dari lingkungan dengan cara; ajakan (persuative) dengan menerapkan metode edukatif, bersifat manusiawi tetapi memerlukan waktu yang relatif lama namun hasilnya akan lebih
mantap dan meyakinkan; paksaan dengan menggunakan metode indoktrinasi
(brainwashing) ialah dengan jalan mengisolasi orang yang dikehendaki dari
semua perangsang dan pengaruh, kepadanya hanya diberikan ide-ide tertentu
supaya tumbuh dan merasuk dalam jiwa orang yang bersangkutan (Sugiharto,
2004).
Self learning atau belajar mandiri diharapkan anak jalanan dapat
sehingga terjadi perubahan yang terinternalisasi di dalam dirinya. Juga terjadi
pembiasaan dan penyesuaian dalam diri anak jalanan. Diharapkan dengan adanya
kesadaran tersebut pada akhirnya penyandang masalah (termasuk anak jalanan)
dapat mengubah diri atau mengubah perilakunya. Kesediaan anak jalanan untuk
berubah dengan kesadaranya sendiri ini, merupakan langkah awal dalam upaya
mereka kelak menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berada di sekitarnya,
manakala ia tidak lagi hidup di jalanan (Sugiharto, 2004)
Dari kondisi seperti digambarkan di atas, hal yang penting untuk mendapat
perhatian adalah bahwa anak jalanan dapat dirubah perilakunya melalui aktivitas
kegiatan yang modifikasi dengan melibatkan keinginan dan kesadarannya untuk
mau belajar dan mempelajari perubahan yang terjadi dalam kehidupannya secara
mandiri, agar tidak lagi maladjusment dan anormatif. Melalui proses belajar mandiri atau self learning, anak juga dibiasakan untuk dapat mengatasi hambatan yang terjadi dalam upayanya menyesuaikan diri dan merubah perilakunya.
Sehingga diharapkan dihasilkan perilaku baru yang terinternalisasi untuk dapat
digunakan saat mereka keluar dari kehidupannya di jalanan (Sugiharto, 2004).
Penelitian Munajat (2001) mengkaji mengenai efektivitas rumah singgah
terhadap perubahan sikap dan perilaku anak jalanan. Untuk melihat
perkembangan perilaku anak jalanan dapat dilihat dari; lokasi tidur, lama di
jalanan, pekerjaan yang dilakukan, kebiasaan dalam berpakaian, hubungannya
dengan oran tua, status pendidikan, kebiasaan negatif, hubungan sosial, kegiatan
keagamaan, sopan santun, kebiasaan makan, kebiasaan bangun tidur, kebiasaan
mandi, kebiasaan berobat, dan kelompok sosial. Sedangkan perubahan sikap
dilihat dari berbagai aspek, antara lain; pandangan mengenai pendidikan,
pekerjaan, hubungan sosial, perilaku kriminal, perilaku anti sosial, dan kesehatan.
Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan rumah singgah efektif untuk
mengubah sikap dan perilaku anak jalanan.
2.1.6 Penilaian
Penilaian anak jalanan terhadap rumah singgah didasarkan pada kepuasan
yang mereka rasakan ketika menerima pelayanan rumah singgah. Menurut Kotler
kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau
kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya.
Kepuasan merupakan fungsi dari persepsi atau kesan atas kinerja dan harapan.
Jika kinerja berada di bawah harapan, pelanggan tidak puas. Jika kinerja
memenuhi harapan, pelanggan puas. Jika kinerja melebihi harapan, pelanggan
sangat puas atau senang.
Rangkuti (2008) menjelaskan kepuasan pelanggan didefinisikan sebagai
respons pelanggan terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan
sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakan setelah pemakaian. Kepuasan
pelanggan terhadap suatu jasa ditentukan oleh tingkat kepentingan pelanggan
sebelum menggunakan jasa dibandingkan dengan hasil persepsi pelanggan
terhadap jasa tersebut setelah pelanggan merasakan kinerja jasa tersebut.
Tingkat kepentingan pelanggan diukur berdasarkan persepsi pelanggan.
Dari berbagai persepsi tingkat kepentingan pelanggan kita dapat merumuskan
tingkat kepentingan yang paling dominan. Diharapkan dengan memakai konsep
tingkat kepentingan ini, kita dapat menangkap persepsi yang lebih jelas mengenai
pentingnya variabel tersebut di mata pelanggan. Selanjutnya, kita dapat
mengkaitkan pentingnya variabel ini dengan kenyataan yang dirasakan oleh
pelanggan.
Menurut Gerson yang dikutip oleh Listiawati (2010), terdapat tujuh alasan
utama mengapa perlu dilakukan pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu:
a. Mempelajari persepsi pelanggan
b. Menentukan kebutuhan, keinginan, persyaratan dan harapan pelanggan
c. Menutup kesenjangan
d. Memeriksa apakah peningkatan mutu pelayanan dan kepuasan pelanggan
sesuai harapan pelanggan atau tidak
e. Peningkatan kinerja membawa peningkatan laba
f. Mempelajari bagaimana sebenarnya kinerja perusahaan dan apa yang
harus dilakukan perusahaan di masa depan
g. Menerapkan proses perbaikan berkesinambungan
Rangkuti (2008) menjelaskan ada beberapa cara untuk mengukur tingkat
kepuasan, yaitu:
1. Traditional Approach
Berdasarkan pendekatan ini, konsumen diminta memberikan penilaian atas
masing-masing indikator produk atau jasa yang mereka nikmati (pada
umumnya dengan skala Likert), yaitu dengan cara memberikan rating dari
1 (sangat tidak puas) sampai 5 (sangat puas sekali). Selanjutnya konsumen
juga diminta memberikan penilaian atas produk atau jasa tersebut secara
keseluruhan.
2. Analisis secara Deskriptif
Analisis statistik secara deskriptif, misalnya melalui penghitungan nilai
rata-rata, nilai distribusi serta standar deviasi. Analisis ini sebaiknya
dilakukan dengan cara membandingkan hasil kepuasan tahun lalu dengan
tahun ini, sehingga kecenderungan perkembangannya dapat ditentukan.
3. Pendekatan secara Terstruktur (Structured Approach)
Pendekatan ini paling sering digunakan untuk mengukur kepuasan
pelanggan. Salah satu teknik yang paling popular adalah dengan
menggunakan prosedur scaling. Caranya responden diminta untuk memberikan penilaian terhadap suatu produk atu fasilitas dengan produk
atau fasilitas lainnya, dengan variabel yang diukur sama.
4. Analisis Tabel Kontingensi
Jika ingin mengetahui apakah perbedaan jenis kelamin mempengaruhi
tingkat kepuasan yang pelanggan rasakan pada waktu menggunakan suatu
produk atau jasa, maka dapat digunakan analisis tabel kontingensi.
Selanjutnya untuk melihat seberapa jauh hubungan antara jenis kelamin
dan tingkat kepuasan tersebut kita dapat melakukan pengujian dengan
menggunakan analisis Chi-Square.
5. Analisis Importance dan Performance Matrix yang sudah disempurnakan. Tingkat kepentingan pelanggan (customer expectation) diukur dalam kaitannya dengan apa yang seharusnya dikerjakan oleh perusahaan agar
tingkat kepentingan pelanggan dikaitkan dengan kenyataan yang dirasakan
oleh pelanggan.
2.2 Kerangka Pemikiran
Pelayanan sosial rumah singga yang baik menuntut untuk dapat
memberikan kepuasan kepada anak jalanan. Penilaian anak jalanan terhadap
pelayanan rumah singgah dapat diketahui dengan melihat tingkat kepuasan anak
jalanan terhadap fungsi rumah singgah. Penilaian anak jalanan dilakukan terhadap
delapan fungsi rumah singgah, yaitu: sebagai tempat pertemuan, pusat asesmen
dan rujukan, fasilitator, perlindungan, pusat informasi, kuratif-rehabilitatif,
pelayanan sosial dan resosialisasi.
Penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah diduga
dipengaruhi oleh karakteristik anak jalanan. Karakteristik anak jalanan terdiri dari
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan ciri-ciri yang
melekat dalam diri anak jalanan yang terdiri atas usia, tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan, alasan utama menjadi anak jalanan, tipe anak jalanan dan pengalaman
menjadi anak jalanan. Faktor eksternal terdiri atas tingkat kekerasan dan tingkat
interaksi anak jalanan dalam rumah singgah.
Anak jalanan dengan usia yang lebih dewasa memiliki kebutuhan yang
lebih kompleks dibanding dengan anak jalanan berusia lebih muda. Hal ini diduga
akan berpengaruh kepada penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah
singgah. Sebagian besar anak jalanan memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
Anak jalanan sangat membutuhkan pendidikan dan pelatihan keterampilan untuk
meningkatkan pengetahuan. Terdapat kecenderungan semakin rendah tingkat
pendidikan anak jalanan maka penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah
singgah semakin positif.
Jenis pekerjaan anak jalanan oleh Departemen Sosial yang dikutip oleh
Yudi (2006) dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu: usaha dagang, usaha
di bidang jasa, pengamen, dan kerja serabutan. Pekerjaan yang dijalani anak
jalanan memiliki banyak resiko. Diduga terdapat perbedaan penilaian anak jalanan
Terdapat tiga hal yang melatarbelakangi anak turun ke jalan, yakni kondisi
ekonomi keluarga, disharmoni keluarga, dan mencari pengalaman kerja (Sanusi
yang dikutip Yudi, 2006). Alasan menjadi anak jalanan karena ekonomi yang
rendah diduga akan merasa senang mendapatkan pelayanan rumah singgah karena
kebutuhan hidup mereka data tercukupi, seperti kebutuhan makan, pakaian dan
uang saku. Anak jalanan dengan kondisi keluarga yang disharmonis, merasa
rumah singgah ialah keluarga baru mereka di mana mereka dapat merasakan kasih
sayang. Anak jalanan yang dilatarbelakangi oleh motivasi mencari pengalaman
kerja yang tinggi merasa rumah singgah dapat memberikan tempat untuk
berlindung ketika mereka selesai bekerja. Diduga terdapat perbedaan penilaian
anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah berdasarkan alasan utama mereka
turun ke jalan.
Depdiknas (2002) membagi tipe anak jalanan berdasarkan hubungannya
dengan keluarga dan dikategorikan menjadi tiga tipe yaitu children of the street,
children on the street dan vulnerable to be street children. Anak jalanan yang
tidak memiliki keluarga (children of the street) memenuhi segala kebutuhannya sendiri dan sangat membutuhkan perlindungan baik secara fisik maupun
psikologi. Maka terlihat kecenderungan semakin tinggi hubungan anak jalanan
dengan keluarganya maka semakin baik penilaian anak jalanan.
Anak jalanan mendapatkan berbagai pelayanan sosial di dalam rumah
singgah. Semakin lama pengalaman anak jalanan di rumah singgah maka
pelayanan yang didapatkan semakin banyak. Oleh karena itu, diduga semakin
lama pengalaman anak jalanan di rumah singgah maka semakin positif penilaian
anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah.
Anak jalanan menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat umum
untuk tinggal, bekerja dan bermain. Kondisi seperti ini membuat anak jalanan
rentan mendapatkan kekerasan dari berbagai pihak, yakni teman, preman, petugas
keamanan maupun mayarakat umum. Rumah singgah memberikan tempat tinggal
sebagai sarana untuk melindungi dari kekerasan yang ada di jalanan. Diduga
semakin tinggi tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan maka positif penilaian
Anak jalanan sebagai penerima pelayanan rumah singgah bebas keluar
masuk baik untuk tinggal sementara maupun hanya untuk mengikuti kegiatan.
Hubungan-hubungan yang terjadi di rumah singgah bersifat informal seperti
pertemanan atau kekeluargaan. Anak jalanan dibimbing untuk merasa sebagai
anggota keluarga besar di mana para pekerja sosial berperan sebagai teman,
saudara atau orang tua. Hubungan ini membuat anak merasa diperlakukan seperti
anak lainnya dalam sebuah keluarga dan merasa sejajar karena pekerja sosial
menempatkan diri sebagai teman dan sahabat (Direktorat Bina Pelayanan Sosial
Anak sebagaimana dikutip oleh Krismiyarsi, 2009). Pola interaksi yang terjadi di
rumah singgah berupa kehadiran dalam kegiatan rumah singgah maupun
keakraban dengan pembina maupun dengan anak binaan lainnya tersebut diduga
berhubungan dengan tingkat kepuasan anak jalanan terhadap pelayanan rumah
singgah. Semakin tinggi tingkat interaksi anak jalanan di dalam rumah singgah
maka semakin positif pula penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah
Keterangan
: berhubungan
2.3 Hipotesis Penelitian
1. Faktor internal anak jalanan (usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,
alasan menjadi anak jalanan, tipe anak jalanan, pengalaman di rumah
singgah) diduga berhubungan dengan penilaiannya terhadap pelayanan
rumah singgah.
2. Faktor eksternal anak jalanan (tingkat interaksi dalam rumah singgah dan
tingkat kekerasan) diduga berhubungan dengan penilaiannya terhadap
pelayanan rumah singgah.
Faktor Eksternal a. Tingkat kekerasan b. Tingkat interaksi
Gambar 1. Kerangka Berpikir Faktor Internal
a. Usia
b. Tingkat pendidikan c. Jenis pekerjaan d. Alasan menjadi anak
jalanan
e. Tipe anak jalanan f. Pengalaman di rumah
singgah
Penilaiam Anak Jalanan a. Tempat pertemuan
b. Pusat assessment dan rujukan c. Fasilitator
d. Perlindungan e. Pusat informasi f. Kuratif-Rehabilitatif g. Akses terhadap pelayanan h. Resosialisasi
3. Penilaian anak jalanan terhadap rumah singgah diduga berhubungan
dengan perilaku anak jalanan.
2.4 Definisi Operasional
1. Usia adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada
saat penelitian dilaksanakan. Usia responden berada pada selang 15 tahun
sampai 22 tahun dan dibagi ke dalam dua kategori, yaitu:
a. 15 sampai 18 tahun
b. 19 sampai 22 tahun
2. Tingkat pendidikan formal adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang
pernah dilakukan responden. Dan dikategorikan menjadi:
a. Rendah : Tidak lulus SD hingga tamat SD
b. Sedang : Lulus SMP
c. Tinggi : Lulus SMA
3. Jenis pekerjaan adalah cara yang paling sering digunakan reponden untuk
mendapatkan penghasilan. Jenis pekerjaan responden dibagi ke dalam
empat jenis, yaitu:
a. Usaha dagang : pedagang asongan, penjual koran, majalah, serta
menjual sapu atau lap kaca mobil
b. Usaha di bidang jasa : pembersih bus, pengelap kaca mobil, pengatur
lalu lintas, kuli angkut pasar, ojek payung, tukang semir sepatu dan
kenek atau calo
c. Pengamen
d. Kerja serabutan, yaitu berganti-ganti pekerjaan.
4. Alasan utama menjadi anak jalanan adalah hal utama yang
melatarbelakangi responden untuk menghabiskan sebagian besar waktunya
di tempat umum. Alasan utama menjadi anak jalanan dibagi ke dalam tiga
kategori yaitu:
a. Ekonomi keluarga yang rendah
b. Disharmoni keluarga