RESIDU PUPUK ORGANIK MENDUKUNG PRODUKSI
DUA VARIETAS KEDELAI ORGANIK (
Glycine max
(L) Merr)
DI LAHAN KERING
Oleh
Tatied Elysa Herwanti
A24070114
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
TATIED ELYSA HERWANTI. Residu Pupuk Organik Mendukung Produksi Dua Varietas Kedelai Organik (Glycine max (L) Merr) Di Lahan Kering (Dibimbing oleh MAYA MELATI).
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh residu berbagai jenis
pupuk organik (pupuk kandang ayam, Tithonia diversifolia Hemsl, dan
Centrosema pubescens Benth) dengan menggunakan setengah dosis pupuk pada
musim tanam sebelumnya terhadap produksi panen kering pada dua verietas
kedelai (Anjasmoro dan Wilis) yang dibudidayakan secara organik. Percobaan
dilakukan dari bulan Oktober 2010 sampai Februari 2011 di Kebun Percobaan
Cikarawang, Dramaga, Bogor.
Percobaan menggunakan rancangan petak terbagi (split plot design),
dengan dua faktor, dan tiga ulangan. Petak utama berupa jenis pupuk organik,
yaitu pupuk kandang ayam (10 ton/ha), Tithonia diversifolia (1.75 ton/ha dengan
penambahan pupuk kandang 5 ton/ha), dan Centrosema pubescens (1.75 ton/ha
dengan penambahan pupuk kandang 5 ton/ha). Anak petak berupa dua varietas
kedelai (Anjasmoro dan Wilis). Pupuk kandang ayam didapatkan dari sisa pada
musim tanam sebelumnya yang disimpan pada gudang kebun, biomass
Centrosema pubescens diperoleh dari budidaya di lahan di luar petak percobaan,
dan Tithonia diversifolia diambil dari lahan di sekitar tempat penelitian.
Aplikasi Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia dilakukan 4
minggu sebelum tanam kedelai, sedangkan aplikasi pupuk kandang ayam
dilakukan 2 minggu sebelum tanam kedelai. Aplikasi pupuk dilakukan pada alur
yang sama dengan alur penanaman kedelai. Jarak tanam yang digunakan yaitu
40 cm x 10 cm dengan 1 benih/lubang. Penanaman tagetes dan serai pada
penelitian ini dijadikan sebagai pengendali Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT). Penanaman tagetes dilakukan 3 minggu sebelum penanaman melalui bibit,
dengan jarak tanam ± 50 cm yang ditanam di tengah-tengah antara dua anak petak
pada petak utama. Serai tidak ditanam ulang pada penelitian ini, karena tanaman
dari musim tanam pertama masih tumbuh baik.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata dari tiga
jenis pupuk organik terhadap tinggi tanaman, jumlah daun 2-8 MST, bobot basah
organik berpengaruh sangat nyata pada intensitas serangan hama dan nyata pada
intensitas keparahan penyakit, yaitu nilainya tertinggi pada tanaman yang
mendapat pupuk kandang ayam dibandingkan dua jenis pupuk organik lainnya.
Intensitas serangan hama pada tanaman yang mendapat pupuk kandang ayam,
Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens berturut-turut adalah 17.51,
14.72, dan 15.17 %.
Jenis pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas
kedelai. Potensi produktivitas tanaman yang mendapat pupuk kandang, Tithonia
diversifolia dan Centrosema pubescens, berturut-turut adalah 2.13, 2.07,1.89
ton/ha. Hal ini sesuai dengan bobot 100 biji dan bobot kering biji dalam petak
bersih (per 4.32 m2) tanaman yang mendapat pupuk kandang ayam lebih banyak di antara pupuk organik lainnya.
Varietas Anjasmoro memiliki morfologi lebih besar dibandingkan Wilis.
Hal tersebut terbukti dari tinggi, bobot basah dan kering (daun, akar, dan bintil
akar) Anjasmoro lebih besar dibandingkan Wilis. Varietas berbeda sangat nyata
pada bobot 100 biji, jumlah polong isi; berbeda nyata pada jumlah buku produktif
dan BK petak pinggir; dan berbeda tidak nyata pada BK biji tanaman contoh,
petak bersih dan potensi produksi. Potensi produksi Anjasmoro juga lebih tinggi
dibandingkan Wilis, masing-masing 2.13 dan 1.94 ton/ha.
Estimasi kadar hara NPK dalam tanah dan serapan hara pada tajuk dari
pupuk kandang ayam tertinggi dibandingkan dua pupuk organik lainnya. Selain
itu serapan hara NPK daun pupuk kandang ayam juga tertinggi di antara Tithonia
diversifolia dan Centrosema pubescens. Serapan hara NPK daun dari varietas
Organic Manure Residues Supports The Production of Two Organic Soybeans Varieties in Dryfield Tatied Elysa Herwanti1, Maya Melati2
1
Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB, A24070114 2
Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB
Abstract
The experiments were conducted at IPB Research Station in Cikarawang, Darmaga,Bogor, from October 2010 to February 2011. The study was conducted to investigate the effect of residues of different organic manures on the production of soybean with 50% dosage in previous experiments. The manure rates were 10 ton chicken manure/ha, 1.75 ton Centrosema pubescens/ha and 1.75 ton Tithonia diversifolia/ha. All treatments were added with 5 ton chicken manure/ha, 1 ton rice husk charcoal/ha and 1 ton dolomite/ha. The experiment used two varieties of soybeans, i.e Anjasmoro and Wilis. This research used Split Plot design with three replication, the organic manure as the main plot and the soybeans varieties as the sub plot. The effect of three organic manure residues were significantly different in number of branch, number of nodule, and filled pod. Organic manure did not significantly affect in productivity of soybeans. The productivity of soybeans with chicken manure, Centrosema pubescens and Tithonia diversifolia were 2.13,1.99 and 2.07 ton/ha. Productivity in the second season was higher than that of first season, it incrased about 83.96%. Varieties were significantly different in filled pod number, 100 seeds weight. The productivity of Anjasmoro was higher than Wilis, they were 2.13 and 1.94 ton/ha, respectively.
RESIDU PUPUK ORGANIK MENDUKUNG PRODUKSI DUA
VARIETAS KEDELAI ORGANIK (
Glycine max
(L.) Merr)
DI LAHAN KERING
Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
TATIED ELYSA HERWANTI
A24070114
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
Judul : RESIDU PUPUK ORGANIK MENDUKUNG PRODUKSI DUA
VARIETAS KEDELAI ORGANIK (Glycine max (L) Merr) DI LAHAN KERING
Nama : TATIED ELYSA HERWANTI
NIM : A24070114
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc NIP: 19640128 199103 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Dr .Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr NIP: 19611101 198703 1 003
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Grobogan, 29 September 1989. Penulis merupakan
anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Bapak Slamet dan Endah Sri Rejeki.
Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1993-1995 di TK
Dharmawanita 3 Krangganharjo, Toroh, Grobogan. Penulis melanjutkan
pendidikan di SDN 3 Krangganharjo, Toroh, Grobogan pada tahun 1995-2001,
SLPTN 1 Purwodadi pada tahun 2001-2004 dan SMAN 1 Purwodadi, Grobogan
pada tahun 2004-2007. Penulis diterima di Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk Mahasiswa IPB (USMI) pada tahun 2007.
Selama di Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti kepanitian BEM
Keluarga Mahasiswa (KM) IPB (2007/2008), anggota Dewan Perwakilan
Mahasiswa (2008/2009), koordinator divisi HRD Agrifarma IPB (2007-2009),
dan aktif dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dari Dikti. Program
Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKMP)” Pengaruh Aplikasi Foliar
Metanol terhadap Peningkatan Pertumbuhan Vegetatif dan Generatif
Tanaman Cabai (Capsicum annum L) (2008). Program Kreativitas
εahasiswa bidang Kewirausahaan (PKεK) “Kreasi εiniatur Taman dalam
Lampu Hias (Sin Ta Lahs) sebagai Alternatif Dunia Suvenir yang
Potensial” (2009). Program Kreativitas εahasiswa bidang Kemasyarakatan (PKεε) “εeningkatkan Peran Akademis dalam Mengkampanyekan
Perluasan Ruang Hijau melalui Taman Sayur Vertikultur” (2010). PKεK “εpek-Mpek Sayuran MPERAN Berbahan Ubi Jalar (Ipomea batatas) sebagai Kudapan Cepat Saji, Praktis, Sehat, dan Ekonomis Ala Kuliner
Dalam Negeri”(2010). Program Kreativitas Mahasiswa bidang Gagasan Tertulis (PKMGT) “Pengolahan Air δimbah Rumah Tangga (Grey Water) dengan
Sistem Biofilter untuk Ecotech Farm”(2010). PKεP “Pengoptimalan
Ketersediaan Fosfor dengan Penggunaan PGPR terhadap Peningkatan
Produksi Pepaya (Carica papaya)” (2010-2011). PKεK ”Nasi Jagung Bakar
Ayam Pencok sebagai Sajian Baru untuk Pengembangan Diversifikasi Pangan
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kekuatan, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini yang berjudul “Residu Pupuk Organik Mendukung
Produksi Dua Varietas Kedelai (Glycine Max(L) Merr) Di Lahan Kering”.
Penelitian ini sebagian besar didanai melalui program I-MHERE B.2.C IPB tahun
2009-2011 dengan judul “Good Agricultural Practices (GAP) of Rice and
Soybean Production under Organic Farming System” yang diterima oleh Dr. Ir.
Maya Melati, MS, MSc
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Maya Melati, M.S, M.Sc. selaku pembimbing skripsi yang telah
memberikan masukan dan saran untuk pelaksanaan penelitian.
2. Dr. Ir. Suwarto, MSi dan Ir. Sofyan Zaman, MP. selaku dosen penguji.
3. Dr. Desta Wirnas, selaku dosen pembimbing akademik.
4. Seluruh staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura atas ilmu dan
bimbingan selama perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.
5. Bapak dan Ibu beserta seluruh keluarga besar yang selalu mendukung dalam
segala aktivitas penulis.
6. Rizkiana Anggayuhlin, Trianne Novriska, Annita Arraafi, dan Indah Retnowati
yang senantiasa memberi motivasi.
7. Teman-teman AGH 44, Tim Organik (Pak Baso, Bu Ema, Ka Risa, Mery,
Kajum), dan Pak Sarta yang telah memberikan motivasi dan masukan.
8. Teman-teman kost Ukhwah dan Jayawijaya yang senantiasa senasib dan
sepenanggungan.
9. Keluarga Purwodadi (PERMADI) yang selalu memberi warna baru.
10. Keluarga Karya Salemba Empat (KSE) yang senantiasa memberikan
dampingannya.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terimakasih atas
Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan ilmu
pengetahuan kepada pihak-pihak yang memerlukan.
Bogor, September 2011
Halaman PENDAHULUAN
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
Hipotesis ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Botani Kedelai ... 4
Syarat Tumbuh Kedelai ... 5
Hama dan Penyakit ... 6
Deskripsi Varietas Kedelai ... 7
Kedelai Organik ... 8
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 14
Bahan dan Alat ... 14
Metode Penelitian ... 14
Pelaksanaan Penelitian ... 15
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum ... 20
Hasil ... 30
Pembahasan ... 43
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 50
Saran ... 50
DAFTAR PUSTAKA ... 51
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kandungan Hara dari Pupuk Kandang padat atau Segar ... 10
2. Perbandingan Perlakuan Dosis Pupuk Organik dan Varietas pada Musim Tanam 1 dan Musim Tanam 2 ... 16
3. Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit ... 18
4. Kandungan Hara dalam Tiga Jenis Pupuk Organik (Centrosema pubescens, Pupuk Kandang Ayam, dan Tithonia diversifolia ... 24
5. Sumbangan Unsur Hara Tiga Jenis Pupuk Organik per Hektar ... 26
6. Perbandingan Hasil Analisis Hara setelah Musim Tanam (MT)1 dan Musim Tanam (MT) 2... 27
7. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Tiga Perlakuan Jenis Pupuk Organik serta Varietas ... 30
8. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Tiga Jenis Pupuk Organik... 32
9. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Varietas ... 35
10.Estimasi Ketersediaan Hara dan Serapan ... 37
11.Komponen Produksi Kedelai pada Perlakuan Jenis Pupuk Organik ... 38
12.Komponen Produksi Kedelai pada Perlakuan Dua Varietas Kedelai ... 40
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Cuaca MT 1 dan MT 2 ... 56
2. Hubungan Korelasi Antar Peubah terhadap Komponen Hasil Kedelai ... 56
3. Kriteria Penilaian Hasil Analisis Tanah ... 57
4. Deskripsi Kedelai Varietas Anjasmoro dan Wilis ... 58
5. Layout Petak Percobaan ... 59
6. Jenis Organisme Pengganggu Tanaman selama Budidaya ... 60
7. Kondisi Tanaman Kedelai pada 7 MST ... 61
Latar Belakang
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan utama di Indonesia.
Kebutuhan kedelai rata-rata Indonesia sekitar 2.20 juta ton/tahun, sedangkan
produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencukupi 35-40 % dari jumlah
tersebut, sehingga 60-65 % dipenuhi dari impor (Marwoto dan Suharsono, 2008).
Kedelai banyak digunakan masyarakat Indonesia dalam berbagai
pemenuhan kebutuhan dalam bentuk olahan (protein kedelai) dan minyak kedelai.
Biji kedelai kaya protein (35-42 %), lemak (18-32 %), karbohidrat (12-30 %), air
(7 %), vitamin (asam fitat) dan lesitin. Produk olahan dalam bentuk protein
kedelai yang dikenal masyarakat dan digunakan sebagai bahan industri makanan
yaitu susu, vetsin, kue-kue, permen dan daging nabati. Kedelai juga dapat
digunakan sebagai bahan industri bukan makanan, seperti : kertas, cat cair, tinta
cetak, dan tekstil. Industri makanan dari minyak kedelai yang digunakan sebagai
bahan industri makanan berbentuk gliserida sebagai bahan untuk pembuatan
minyak goreng, margarin, dan bahan lemak lainnya. Kedelai dalam bentuk
lecithin diolah menjadi produk margarin, kue, tinta, kosmetik, insektisida dan
farmasi (Ristek, 2010).
Perkembangan produksi kedelai Indonesia sejak tahun 2007 mengalami
kenaikan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statiska (2009), produksi kedelai
tahun 2009 sebesar 974 512 ton kering atau naik 198.80 ribu ton (25.63 %) dari
tahun 2008. Kenaikan ini berbanding lurus dengan naiknya luas panen dan
produktivitas. Produktivitas kedelai nasional pada tahun 2008 sebesar 13.13 ku/ha
dan tahun 2009 meningkat menjadi 13.48 ku/ha. Luas panen kedelai tahun 2008
sebesar 590 956 ha dan 722 791 ha pada tahun 2009. Tahun 2009 luas panen
meningkat seluas 131.84 ribu ha (22.31 %) (BPS, 2009). Menurut Komalasari
(2008), luas panen kedelai di Indonesia pada periode 1970-2008 cenderung
berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0.59 % per tahun. Selain itu
berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0.59 % per tahun. Selain itu
tahun 2009 adanya peningkatan produktivitas sebesar 0.35 kuintal/ha.
Budidaya kedelai organik mempunyai prospek ke depan yang baik.
Adanya lahan yang belum termanfaatkan (49.8 juta ha) dan kekayaan sumberdaya
hayati merupakan modal dalam pengembangan pertanian organik Indonesia
(Deptan, 2002). Barus (2005); Melati dan Andriyani (2005); Sinaga (2005);
Kurniasih (2006); Melati et al. (2008) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk
kandang dan pupuk hijau (juga) dapat memenuhi kebutuhan hara untuk produksi
kedelai sayur secara organik.
Penggunaan pupuk organik seperti pupuk kandang, pupuk hijau dan
limbah panen dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, disamping mengurangi
penggunaan pupuk N, P dan K kimia sintetis dan meningkatkan efisiensinya
Karama (1990) dalam Kariada dan Aribawa (2004). Pupuk organik adalah pupuk
yang berasal dari bahan-bahan organik seperti pangkasan daun tanaman, kotoran
ternak, sisa tanaman, dan sampah organik yang telah dikomposkan (Balittan,
2004). Sumber bahan organik, antara lain pupuk kandang ayam, pupuk hijau
(Centrosema pubescens dan Tithonia difersifolia). Kandungan pupuk kandang
ayam, antara lain kadar air 57 %, bahan organik 29 %, N 1.5 %, P2O5 1.3 %, K2O
0.8 %, CaO 4.0 % dan rasio C/N sebesar 9 (Hartatik dan Widowati, 2005).
Tithonia difersifolia mengandung 3.50 % nitrogen, 0.37 % fosfor, dan 4.10 %
kalium (Hartatik, 2007). Centrosema pubescens mengandung 3.49 % N, 0.36 % P,
1.05 % K (Melati et al., 2008).
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mencapai swasembada
pangan. Salah satunya yaitu meningkatkan efisiensi faktor produksi (Simatupang
et al., 2000). Peningkatan mutu intensifikasi, dengan menerapkan teknologi
pemupukan yang tepat dan efisien. Efisiensi faktor produksi dapat ditingkatkan
melalui pemanfaatan residu pupuk dalam sistem rotasi pertanaman
(Makarim et al., 2003 dalam Kariada dan Aribawa, 2004).
Pemanfaatan residu pupuk organik pada musim tanam sebelumnya dapat
meningkatkan produktivitas tanaman. Penelitian Melati et al. (2008) menunjukkan
bahwa pupuk organik, kombinasi dan residunya dapat digunakan untuk memenuhi
menunjukkan peran residu pupuk organik pada jagung bahwa dengan aplikasi
pupuk kandang ayam sebesar 2 ton/ha meningkatkan produksi jagung
sebanyak 6 % pada musim pertama sedangkan pada musim kedua sebesar 40 %.
Pupuk organik memiliki sifat yang kurang mudah tersedia untuk tanaman
dibandingkan dengan pupuk anorganik. Teknologi yang tepat dalam
memanfaatkan residunya dapat mengoptimalkan produksi tanaman. Adanya hasil
penelitian sebelumnya yang melaporkan tentang keberhasilan dalam
memproduksi kedelai sayur organik mendorong peneliti untuk mengetahui
produksi kedelai biji kering pada musim tanam dua. Penelitian ini merupakan
lanjutan dari Kurniansyah (2010) dengan dosis yang digunakan untuk percobaan
lanjutan adalah setengah dari sebelumya. Dua varietas kedelai digunakan dalam
percobaan untuk mempelajari respon kedelai berbiji besar dan biji sedang.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu
1. Mempelajari pengaruh residu berbagai jenis pupuk organik.
2. Mempelajari respon varietas terhadap budidaya organik
3. Mempelajari pengaruh kombinasi antara pupuk organik dan varietas dalam
produksi kedelai.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini, antara lain :
1. Terdapat residu jenis pupuk organik tertentu untuk produksi kedelai organik
tertinggi.
2. Terdapat varietas yang berproduksi lebih tinggi.
3. Terdapat kombinasi terbaik antara varietas dan pupuk organik tertentu dalam
Botani Kedelai
Tanaman kedelai umumnya tumbuh tegak, berbentuk semak, dan
merupakan jenis tanaman semusim. Klasifikasi tanaman kedelai menurut Ristek
(2010) sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Familia : Papilionaceae
Genus : Glycine
Species : Glycine max (L.) Merill
Morfologi tanaman kedelai terdiri dari akar, batang, cabang, daun, bunga,
dan polong. Kedelai mempunyai sistem perakaran terdiri dari akar tunggang, akar
sekunder (serabut), dan akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil.
Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua macam, yaitu tipe
determinate dan indeterminate. Selain itu terdapat jenis yang lain yaitu semi
determinate atau semi indeterminate. Tipe determinate, pertumbuhan vegetatif
berhenti setelah fase berbunga, batang normal dan tidak melilit. Tipe
indeterminate, pertumbuhan vegetatif berlanjut setelah berbunga dan batang
melilit. Tipe pertumbuhan kedelai lainnya yaitu semi determinate atau semi
indeterminate(Adie dan Krisnawati, 2007).
Kedelai memiliki daun berwarna hijau berbentuk bulat (oval), yang
mempunyai bulu. Panjang bulu bisa mencapai 1 mm dan lebar 0,0025 mm, serta
kepadatan bulu berkisar 3-20 buah/mm. Lebat-tipisnya bulu pada daun kedelai
berkait dengan tingkat toleransi varietas kedelai terhadap serangan jenis hama
tertentu (misalnya hama penggerek batang). Contoh varietas yang berbulu lebat
yaitu IAC 100, sedangkan varietas yang berbulu jarang yaitu Wilis, Dieng,
Anjasmoro, dan Mahameru (Irwan, 2006).
Fase reproduktif kedelai ditandai saat tunas aksilar berkembang menjadi
kelompok bunga dengan 2 hingga 35 kuntum dalam setiap kelompok. Periode
pada buku ke lima atau ke enam dan atau buku di atasnya. Bunga muncul ke arah
ujung batang utama atau ujung cabang. Tingkat keguguran bunga mencapai
20-80%. Adanya kecenderungan, varietas dengan jumlah bunga banyak pada per
buku memiliki presentasi keguguran bunga lebih tinggi daripada yang berbunga
lebih sedikit. Jumlah bunga kedelai di Indonesia dari 20 varietas berkisar antara
45-75 buah (rata-rata 57 bunga). Kedelai varietas Wilis memiliki jumlah bunga
6% lebih banyak dibandingkan Anjasmoro (Adie dan Krisnawati, 2007).
Setiap biji kedelai mempunyai ukuran bervariasi. Pengelompokan ukuran
biji di Indonesia, yaitu biji berukuran kecil (<10 g/100 biji), sedang (10-14 g/100
biji), dan besar (>14 g/100 biji). Biji juga dikategorikan berdasarkan bentuk
tampilannya, antara lain bulat hingga lonjong (Adie dan Krisnawati, 2007).
Kedelai dapat dipanen sekitar umur 75-110 hari, tergantung pada varietas
dan ketinggian tempat. Ciri-ciri kedelai siap panen, antara lain daun tua atau
berwarna kuning buah mulai berubah warna dari hijau menjadi kuning kecoklatan
dan retak-retak atau polong sudah kelihatan tua, batang berwarna kuning agak
coklat (Deptan, 2010).
Syarat Tumbuh Kedelai
Iklim
Tanaman kedelai cocok ditanam di daerah tropis dan subtropis. Iklim
kering lebih disukai tanaman kedelai dibandingkan iklim lembab. Curah hujan
100-400 mm/bulan dan pertumbuhan optimal pada curah hujan 100-200
mm/bulan. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai 21-34 ºC, suhu optimum
23-27 ºC. Pada proses perkecambahan benih kedelai memerlukan suhu
sekitar 30 ºC (Ristek, 2010). Produktivitas menurun jika pada saat fase generatif
tanaman kedelai, suhu lingkungan mencapai 40 ºC, hal tersebut menyebabkan
bunga rontok akibatnya jumlah biji polong dan kedelai menurun (Irwan, 2006).
Media tanam
Kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah (alluvial, regosol,
grumosol, latosol, dan andasol) dengan drainase, aerasi tanah cukup baik, dan
tumbuh kedelai yaitu pH 5.8-7.0. Jika pH tanah kurang dari 5.5 akan menghambat
pertumbuhan karena keracunan aluminium. Selain itu juga akan menghambat
bakteri bintil dan proses nitrifikasi (proses oksidasi amoniak menjadi nitrit atau
proses pembusukan). Ketinggian tempat yang sesuai untuk varietas kedelai berbiji
kecil cocok adalah ketinggian 0.5-300 m dpl, sedangkan untuk varietas kedelai
berbiji besar cocok ditanam di lahan ketinggian 300-500 m dpl (Ristek, 2010).
Hama dan Penyakit
Hama utama kedelai adalah lalat bibit (Agrozyma sp), penggerek polong
(Etiella zickenella) dan pengisap polong (Nezara viridula) (Deptan, 2010).
Jenis-jenis hama dan penyakit yang sering menggagu tanaman kedelai menurut Irwan
(2006), antara lain :
1. Aphis spp. (Aphis glycine)
Kutu dewasa ukuran kecil 1-1.5 mm berwarna hitam, ada yang bersayap
dan tidak. Kutu ini dapat dapat menularkan virus SMV (Soybean Mosaik Virus).
Menyerang pada awal pertumbuhan dan masa pertumbuhan bunga dan polong.
Gejala : layu, pertumbuhannya terhambat.
2. Ulat polong (Etiela zinchenella)
Ulat yang berasal dari kupu-kupu ini bertelur di bawah daun buah, setelah
menetas, ulat masuk ke dalam buah sampai besar, memakan buah muda.
Gejalanya pada buah terdapat lubang kecil. Waktu buah masih hijau, polong
bagian luar berubah warna, di dalam polong terdapat ulat gemuk hijau dan
kotorannya.
3. Ulat grayak (Prodenia litura)
Serangan: mendadak dan dalam jumlah besar, bermula dari kupu-kupu
berwarna keabu-abuan, panjang 2 cm dan sayapnya 3-5 cm, bertelur di permukaan
daun. Tiap kelompok telur terdiri dari 350 butir. Gejala : kerusakan pada daun,
ulat hidup bergerombol, memakan daun, dan berpencar mencari rumpun lain.
4. Penyakit anthraknosa (Cendawan Colletotrichum glycine Mori)
Penyakit ini menyerang daun dan polong yang telah tua. Penularan dengan
perantaraan biji-biji yang telah kena penyakit, lebih parah jika cuaca cukup
paling rendah rontok, polong muda yang terserang hama menjadi kosong dan isi
polong tua menjadi kerdil.
5. Penyakit karat (Cendawan Phachyrizi phakospora)
Penyakit ini menyerang daun. Penularan dengan perantaraan angin yang
menerbangkan dan menyebarkan spora. Gejala: daun tampak bercak dan bintik
cokelat.
6. Virus mosaik (virus)
Penyakit ini menyerang daun dan tunas. Penularan vektor penyebar virus
ini adalah Aphis glycine (sejenis kutu daun). Gejala: perkembangan dan
pertumbuhan lambat, tanaman menjadi kerdil.
Deskripsi Varietas Kedelai
Varietas Wilis
Varietas Wilis dilepas pada tahun 1983 dengan umur masak 85 hari, kadar
protein 37%, kadar minyak 18%, dan potensi hasil 1.60 ton/ha (Suhartina, 2003
dalam Irwan, 2006). Balitkabi (2008) mendeskripsikan bahwa varietas Wilis
memiliki warna hipokotil, warna batang hijau, warna daun hijau, warna bulu
coklat tua, warna bunga unggu, warna polong masak cokelat kehitaman, warna
kulit biji kuning, warna hilum cokelat tua. Tipe pertumbuhan determinate, tinggi
tanaman 40-50 cm, jumlah cabang 2.9-5.6. Umur berbunga 39 hari. Berat 100 biji
10.0 g. Tahan rebah, agak tahan karat daun dan virus.
Varietas Anjasmoro
Varietas Anjasmoro dilepas pada tahun 2001, dengan umur masak 88 hari,
kadar protein 42.1 %, kadar minyak 18.6 %, dan potensi hasil 2.25 ton/ha
(Suhartina, 2003 dalam Irwan, 2006). Puslitbangtan (2010) mendeskripsikan
bahwa varietas Anjasmoro memiliki nama galur MANSURIA 395-49-4, dengan
warna hipokotil dan epikotil ungu, warna daun hijau, warna bulu putih, warna
bunga unggu, warna polong masak cokelat muda, warna kulit biji kuning, warna
hilum kuning kecoklatan. Tipe pertumbuhan determinate, bentuk daun oval,
ukuran daun lebar, perkecambahan 76-78 %, tinggi tanaman 64-68 cm, jumlah
35.7-39.4 hari. Berat 100 biji 14.8-15.3 g. Tahan rebah, toleransi karat daun sedang,
dan ketahanan pecah polong.
Kedelai Organik
Pertanian Organik
Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan
terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem
secara alami, sehingga menghasilkan pangan berkualitas dan berkelanjutan
(Balitan, 2004). Ditambahkan Blake (1994) bahwa sistem pertanian organik
adalah sistem pertanian dengan input atau masukan eksternal yang rendah, tetapi
input internal tersebut optimum.
Kriteria lahan yang digunakan untuk produksi pertanian organik harus
bebas dari bahan kimia sintetis (pupuk dan pestisida). Jenis lahan dalam kriteria
tersebut antara lain lahan pertanian yang baru dibuka atau lahan pertanian intensif
yang telah dikonversi menjadi lahan pertanian organik. Lama masa konversi
tergantung sejarah penggunaan lahan, pupuk, pestisida, dan jenis tanaman
(Balitan, 2004). Delate (2004) menjelaskan bahwa diperlukan tiga musim
penanaman kedelai secara intensif untuk lahan yang sebelumnya digunakan
budidaya konvensional agar memenuhi kriteria pertanian organik.
Pupuk Organik
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik
seperti pangkasan daun tanaman, kotoran ternak, sisa tanaman, dan sampah
organik yang telah dikomposkan (Balittan, 2004). Pupuk organik bersifat bulky
dengan kandungan hara makro dan mikro rendah sehingga perlu diberikan dalam
jumlah banyak.
Terdapat 13 unsur hara yang dibutuhkan tanaman, baik unsur hara makro
maupun unsur hara mikro. Unsur hara makro adalah unsur yang dibutuhkan
tanaman dalam jumlah banyak, jenisnya antara lain nitrogen, fosfor, kalium,
kalsium, magnesium, dan belerang. Hal yang berbeda untuk jenis unsur hara besi,
digunakan tanaman dalam jumlah sedikit oleh tanaman sehingga disebut unsur
hara mikro (Soepardi, 1983). Nitrogen merupakan penyusun protein dan enzim,
nitrogen juga terkandung dalam klorofil, hormon sitokinin, serta auksin. Unsur
hara fosfor (P) berperan dalam reaksi-reaksi fase gelap fotosintesis, respirasi, dan
merupakan bagian dari nukleotida (RNA dan DNA) dan fosfolipida penyusun
membran. Sulfur di dalam tanaman merupakan penyusun amino sistein dan
methionin. Kalium (K) berperan sebagai aktivator berbagai enzim (fotosintesis,
respirasi, sintesis protein dan pati) serta dalam pengaturan turgor sel pada proses
membuka dan menutupnya stomata (Lakitan, 1993). Ditambahkan oleh
Leiwakabessy et al., (2003) bahwa N, P, dan S merupakan unsur-unsur penyusun
protein ataupun protoplasma.
Manfaatutama pupuk organik adalah dapat memperbaiki kesuburan kimia,
fisik dan biologis tanah, selain sebagai sumber hara bagi tanaman. Pupuk organik
dimanfaatkan tanaman dalam bentuk bahan organik hasil dekomposisi
mikroorganisme dalam tanah (Balittan, 2005). Sumber bahan organik dapat
berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan,
tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri
yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota (Balittan, 2006).
Bahan organik berfungsi sebagai “pengikat” butiran primer tanah menjadi
butiran sekunder dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan ini
berpengaruh besar pada porositas, penyimpanan dan penyediaan air serta aerasi
dan temperatur tanah (Balittan, 2005). Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan pupuk organik seperti pupuk kandang, pupuk hijau dan limbah panen
dapat dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, disamping mengurangi penggunaan
pupuk N, P dan K dan meningkatkan efisiensinya (Karama, 1990 dalam Kariada
dan Aribawa, 2004).
Pupuk hijau merupakan tanaman atau bagian-bagian tanaman yang masih
muda terutama yang termasuk famili leguminosa, yang dibenamkan ke dalam
tanah dengan maksud agar meningkatkan tersediannya bahan-bahan organik dan
unsur-unsur hara bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang diusahakan
kedelai sayur organik dilakukan antara lain oleh Andriyani (2005), Kurniasih
(2006), Melati et al. (2008), dan Kurniansyah (2010).
Pemberian pupuk kandang selain dapat menambah tersedianya unsur hara,
juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Beberapa sifat fisik tanah yang dapat
dipengaruhi pupuk kandang antara lain kemantapan agregat, bobot volume, total
ruang pori, plastisitas dan daya pegang air (Soepardi, 1983). Pupuk kandang
adalah semua produk buangan dari binatang peliharaan yang digunakan untuk
menambah hara, memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah (Hartatik dan
Widiowati, 2005).
Komposisi Hara Pupuk Organik
1. Pupuk Kandang Ayam
Keunggulan yang dimiliki pupuk kandang ayam, antara lain pupuk
kandang ayam memiliki C/N rasio rendah dibandingkan dengan lainnya, sehingga
mudah terdekomposisi, selain itu pupuk kandang ayam memiliki kandungan
unsur hara lebih banyak dibandingkan pupuk kandang lainnya dalam jumlah unit
yang sama (Hartatik dan Widowati, 2005). Kandungan pupuk kandang ayam,
antara lain kadar air 57 %, bahan organik 29 %, N 1.5 %, P2O5 1.3 %, K2O 0.8 %,
CaO 4.0 % dan rasio C/N sebesar 9 (Hartatik dan Widowati, 2005).
Tabel 1. Kandungan Hara dari Pupuk Kandang Padat atau Segar
Sumber Pupuk
Sumber : Pinus Lingga (1991) dalam Hartatik dan Widowati (2005).
Kandungan hara yang terkandung dalam pupuk kandang ayam cukup
optimal memenuhi kebutuhan hara dan meningkatkan produksi kedelai. Barus
(2005); Melati dan Andriyani (2005); Sinaga (2005); Kurniasih (2006)
menunjukkan bahwa produksi kedelai sayur dengan perlakuan pupuk kandang
pupuk hijau. Sinaga (2005) juga menunjukkan bahwa dengan pemberian pupuk
kandang ayam 20 ton/ha meningkatkan jumlah polong isi/tanaman lebih besar 329
% dan 86 % berturut-turut lebih tingggi dibandingkan dengan pemberian
Calopogonium mucunoides dan Centrosema pubescens.
Kadar P dalam pupuk kandang ayam memiliki jumlah lebih tinggi 225 %
dibandingkan pupuk kandang kambing dan 550 % lebih banyak daripada pupuk
kandang sapi (Lingga, 1991 dalam Hartatik dan Widowati, 2005).
Melati et al. (2008) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang ayam dapat
meningkatkan ketersediaan P dalam tanah dan daun. Pada penelitian tersebut
pemberiaan pupuk kandang ayam dengan dosis 15 ton pupuk kandang ayam/ha
dapat meningkatkan produksi 4 kali lebih banyak dibandingkan tanaman tanpa
mendapatkan pupuk kandang.
2. Centrosema pubescens
Centrosema pubescens merupakan terna tahunan berkayu. Daun beranak
tiga; tiap anak daun berbentuk elips, bulat telur-memanjang atau bulat telur-lanset,
panjang 1-7 cm dan lebar 0.5-4.5 cm, dasar daun membulat, ujung daun
meruncing tajam, daun berwarna hijau tua, berambut; panjang tangkai daun
5.5 cm. Bunga dapat melakukan fertilisasi sendiri walau belum mekar
(cleistogamous), muncul dari tandan aksiler, tiap tandan mendukung 3 - 5 bunga,
terdapat 2 daun tangkai; daun kelopak berbentuk lonceng, berukuran 1.5-3 mm.
Buah kering polong, panjang 4-17 cm dan lebar 6-7 mm, pipih, ujung buah
meruncing, mengandung hingga 20 biji. Biji berbentuk kecil memanjang,
berukuran panjang 4-5 mm dan lebar 3-4 mm x 2 mm, berwarna coklat kehitaman
(Prohati, 2010).
Pupuk hijau lebih berpengaruh pada fase vegetatif dibandingkan dengan
generatif. Hal tersebut diduga karena tingginya kadar N dan rendahnya kadar hara
P dan K pada pupuk hijau dibandingkan dengan pupuk kandang (Barus, 2005;
Melati dan Andriyani, 2005, dan Sinaga, 2005). Hal ini ditunjukkan dengan hasil
analisis kandungan hara dalam Centrosema pubescens, yaitu 3.49 % N, 0.36 % P,
3. Tithonia diversifolia
Tithonia diversifolia adalah tumbuhan semak family Asteraceae yang
diduga berasal dari Meksiko. Tanaman ini dikenal sebagai gulma tahunan yang
banyak tumbuh sebagai semak di pinggir jalan, tebing, dan sekitar lahan
pertanian. Morfologi tanaman ini agak besar, bercabang sangat banyak, berbatang
lembut dan tumbuh sangat cepat (Jama et al., 2000). Ditambahkan oleh Hartatik
(2007) bahwa Tithonia difersifolia dapat tumbuh pada jenis tanah yang kurang
subur dan mudah dikembangbiakkan secara vegetatif dan generatif.
Tithonia diversifolia berpotensi sebagai sumber hara. Daun kering
Tithonia diversifolia mengandung 3.50 % N, 0.37 % P, dan 4.10 % K. Selain itu
Tithonia diversifolia juga dapat meningkatkan pH tanah, menurunkan Al-dd serta
kandungan P, Ca, dan Mg tanah (Hartatik, 2007). Tithonia diversifolia di Kenya
menghasilkan bahan kering sekitar 1 kg/m2/tahun dengan penanaman yang sebagai pagar dari dari petak-petak kebun. Oleh karena itu jika ditanam sepanjang
pagar 1.000 m/ha diakumulasi sekitar 35 kg N, 4 kg P dan 40 kg K, sehingga jika
ditanam pada 1/3 lahan per hektar dapat dihasilkan 90 kg N, 10 kg P dan 108 kg
K (Ng‟injaet al., 1998).
Kandungan hara pada Tithonia diversifolia memenuhi kebutuhan hara
tanaman selama pertumbuhan. Jama et al. (1999) menjelaskan bahwa tanaman
jagung yang dipupuk Tithonia diversifolia setara dengan 60 kg N/ha dapat
menghasilkan pipilan jagung kering 4 ton/ ha sedangkan yang dipupuk dengan
urea 60 kg N/ha hanya 3.7 ton/ha. Kurniansyah (2010) juga menjelaskan bahwa
produksi kedelai panen kering dengan aplikasi Tithonia diversifolia mempunyai
produksi tertinggi dibandingkan yang mendapat Centrosema pubescens dan pupuk
kandang ayam, berturut-turut 1.48, 1.13, 1.16 ton/ha.
Residu Pupuk Organik
Pengaruh pemberian pupuk kandang umumnya terlihat pada musim tanam
ke dua (residu). Pemberian pupuk kandang ayam sebesar 2 ton/ha dengan kadar
N, P2O5, dan K sebesar berturut-turut 0.76 %, 14.13 %, dan 0.15 % pada lahan
kering di Pleihari-Kalimantan Selatan meningkatkan produksi biji kering pipilan
bahwa dengan aplikasi pupuk kandang ayam sebesar 2 ton/ha meningkatkan
produksi jagung sebanyak 6 % pada musim pertama dan 40 % pada musim
kedua. Hal yang sama juga ditunjukkan Melati et al. (2008) bahwa pupuk organik,
kombinasi dan residunya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hara tanah
untuk produksi kedelai panen muda. Jumlah dan bobot polong pada pupuk hijau
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Darmaga,
Bogor. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Oktober 2010 sampai Februari 2011.
Analisis tanah dan hara dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Departemen
Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas
Anjasmoro dan Wilis. Kebutuhan benih Anjasmoro dan Wilis per hektar yaitu
berturut-turut 41.25 dan 27.5 kg untuk populasi 250 000 tanaman. Kedelai
varietas Anjasmoro mewakili kedelai jenis biji besar dan Wilis biji kecil.
Pupuk organik yang diaplikasikan adalah jenis pupuk kandang dan pupuk
hijau. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang ayam, Centrosema
pubescens, dan Tithonia diversifolia, arang sekam, dan dolomit.
Pengendalian hama dan penyakit dalam budidaya kedelai organik
memanfaatkan bahan dasar alam. Pestisida nabati yang digunakan adalah serai,
tagetes (Tagetes erecta), dan Tithonia diversifolia. Sereh selain sebagai
pengendali OPT juga dimanfaatkan untuk bahan dasar pestisida nabati.
Pemanfaatan jerami diperlukan untuk mengurangi serangan lalat biji.
Metode Penelitian
Perlakuan dengan dua faktor yaitu pupuk organik dan varietas. Pupuk yang
digunakan adalah pupuk kandang ayam sebanyak 10 ton/ha, Centrosema
pubescens, dan Tithonia diversifolia masing-masing 1.75 ton/ha. Petak yang
mendapat perlakuan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia ditambah
dengan pupuk kandang ayam sebanyak 5 ton/ha untuk membantu dekomposisi,
serta 1 ton arang sekam/ha, dan 1 ton dolomit/ha sebagai pupuk dasar. Pada
perlakuan pupuk kandang ayam juga ditambahkan 1 ton arang sekam/ha,
digunakan yaitu Wilis dan Anjasmoro. Penelitian ini menggunakan Rancangan
Petak Terbagi (Split Plot) dengan dua faktor yakni pupuk organik dan varietas
kedelai. Pupuk organik sebagai petak utama dan varietas sebagai anak petak.
Model rancangan yang digunakan adalah:
Yijk= µ + αi+ €k+ ik+ βj+ (αβ)ij+ ijk
Keterangan :
Yijk : nilai pengamatan pada perlakuan petak utama ke-i, anak petak ke-j dan
ulangan ke-k
µ : nilai rata-rata umum
αi : pengaruh perlakuan pemupukan pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3) €k : pengaruh ulangan ke-k (k = 1, 2, 3)
ik : galat petak utama
βj : pengaruh perlakuan varietas pada taraf ke-j (j = 1, 2)
(αβ)ij : pengaruh interaksi antara pemupukan ke-i dengan variets ke-j
ijk : pengaruh galat karena pengaruh pemupukan taraf ke-i dan varietas ke-j
pada ulangan ke-k
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berbeda nyata
akan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf
kesalahan 5%.
Pelaksanaan
Persiapan Media Tanam
Jumlah petakan yang digunakan selama penelitian sebanyak 18 buah.
Ukuran masing-masing anak petak yaitu 2 m x 4 m. Pupuk diberikan dengan cara
dialur pada lokasi lubang tanam pada setiap anak petak. Hal tersebut dilakukan
agar tepat sasaran yaitu untuk memenuhi kebutuhan hara kedelai atau
meminimalkan hara dipergunakan oleh gulma.
Bahan pupuk hijau berasal dari lokasi yang dekat dari penanaman kedelai.
Tithonia diversifolia tersedia di daerah sekitar lokasi penanaman kedelai, karena
sesuai habitatnya yang tergolong gulma. Centrosema pubescens didapatkan dari
hasil penanaman menjelang akhir musim pertama, pada lahan yang berbeda dan
adalah benih Centrosema pubescens sebanyak 25 kg/ha hanya dapat
menghasilkan biomassa rata-rata sebanyak 6.30 kg bobot basah/18 m2 atau sekitar 3.50 ton bobot basah/ha. Hasil biomassa tersebut menjadi dasar penentuan dosis
pupuk hijau yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 1.75 ton/ha
(50% dari musim tanam sebelumnya).
Petak yang mendapat perlakuan Centrosema pubescens dan Tithonia
diversifolia ditambah dengan pupuk kandang ayam sebanyak 5 ton/ha untuk
membantu dekomposisi, serta 1 ton arang sekam/ha, dan 1 ton dolomit/ha sebagai
pupuk dasar. Lahan dengan perlakuan pupuk kandang ayam diberikan sebanyak
10 ton/ha, juga ditambah 1 ton arang sekam/ha, dan 1 ton dolomit/ha untuk
membantu dekomposisi.
Tabel 2. Perbandingan Perlakuan Dosis Pupuk Organik dan Varietas pada
Musim Tanam 1 dan Musim Tanam 2
Aplikasi Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia dilakukan 4
minggu sebelum tanam, sedangkan aplikasi pupuk kandang ayam dilakukan 2
minggu sebelum tanam kedelai. Aplikasi Centrosema pubescens dan Tithonia
lama dibandingkan pupuk kandang ayam. Setelah diletakkan di dalam alur, pupuk
hijau dan bahan tambahannya dicampur merata, kemudian ditutup kembali dengan
lapisan tanah tipis.
Analisis Tanah
Pengambilan tanah untuk dianalisis dilakukan sebanyak dua kali, yaitu
sebelum penanaman dan sesudah panen. Teknik pengambilannya yaitu diambil
dari tiga titik dalam setiap anak petak atau perlakuan secara komposit dari tiga
ulangan.
Penanaman
Penanaman dilakukan pada alur pupuk setelah 4 atau 2 minggu dari
aplikasi pupuk organik. Rhizobium ditambahkan pada benih sebelum ditanam,
dengan dosis 50 g/8 kg kedelai. Jarak tanam yang digunakan yaitu 40 cm x 10 cm
(2 benih per lubang) dan dicapai populasi kedelai per hektar yaitu 250 000
(setelah dijarangkan).
Pemeliharaan
Pemeliharaan yang dilakukan meliputi pemeliharaan serai dan penanaman
tagetes sebagai pengendali OPT, penyiangan gulma, serta pengendalian hama dan
penyakit. Kategori penyiangan gulma dibedakan menjadi dua, yaitu pra tanam
(setelah aplikasi pupuk hijau atau 4 minggu dari penanaman kedelai) dan pasca
tanam. Penyiangan gulma pra tanam dilakukan dua minggu sekali sedangkan
pasca tanam satu minggu sekali. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara
manual dan semi mekanik (kored).
Pengendalian hama selama penelitian menggunakan jenis pestisida hayati
berbahan serai dan Tithonia diversifolia. Pemilihan bahan-bahan tersebut
didasarkan pada penelitian sebelumnya dan mencoba menciptakan paduan
pestisida hayati yang baru.
Tanaman serai pada penelitian ini merupakan lanjutan dari penanaman
musim tanam pertama. Pemeliharaan serai dilakukan secara rutin dua minggu
minggu sebelum penanaman melalui bibit. Tagetes ditanam di tengah-tengah
antara dua anak petak pada petak utama. Jumlah tagetes yang ditanam dalam tiap
petak utama yaitu delapan tanaman. Jarak tanam yang dipakai disesuaikan ± 50
cm, hal ini sesuai dengan yang diterapkan pada penelitian sebelumnya
(Kusheryani dan Aziz, 2006).
Pemanenan
Pemanenan dilakukan setelah masak fisiologis, dicirikan dengan daun,
batang, dan polong sudah menguning atau kering (Ristek, 2010). Pemanenan
dilakukan pada 13 MST, setelah polong terisi penuh dan mengeras atau 95% telah
matang (berwarna kuning kecoklatan-kehitaman) (stadia R8).
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada 10 tanaman contoh dari setiap petak
percobaan.
a. Pengamatan vegetatif
Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai dengan titik tumbuh,
dilakukan tiap minggu mulai dari 2 MST.
Jumlah daun trifoliate yang dihitung adalah daun yang telah terbentuk
secara sempurna (terbuka), dilakukan tiap minggu mulai dari 2 MST.
Bobot tanaman (bobot basah dan kering) dari 4 tanaman pinggir pada 7
MST.
Analisis daun (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, Fe, Mn) kedelai pada 7 MST. Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit tanaman dilakukan setiap
minggu dengan memperhatikan bagian tanaman yang terserang (Tabel 3)
serta metode pengamatannya membentuk huruf Z.
Tabel 3. Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit
Skor Keterangan
0 Tidak ada serangan
Skor Keterangan
4 Bagian tanaman yang terserang >50%-75% 5 Bagian tanaman yang terserang >75%
Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
IP = n.vi k i =0
NV x 100%
Keterangan :
IP = Intensitas serangan hama atau keparahan penyakit.
n = Jumlah tanaman yang mempunyai skor serangan ke-i.
vi = Skor tanaman 0, 1, 2, 3, 4, 5.
V = Skor tanaman tertinggi.
N = Jumlah seluruh sampel tanaman yang diamati.
b. Pengamatan Komponen Produksi (saat panen)
Jumlah tanaman yang dipanen (petak bersih dan petak pinggir) Jumlah cabang per tanaman
Jumlah buku produktif per tanaman Jumlah polong isi per tanaman Jumlah polong hampa per tanaman Bobot kering 100 biji (g)
Analisis hara biji (N, P, K, Fe, Zn) setelah panen Kadar air biji (%)
Kondisi Umum
Tipe Tanah Cikarawang, Kecamatan Darmaga
Penelitian ini dilakukan di daerah Cikarawang, Darmaga, Bogor. Jenis
tanah di wilayah tersebut yaitu latosol-inceptisol (Nursyamsi dan Suprihati, 2005).
Menurut Buringh (1983); Darmawijaya (1980) dalam Nuryani et al. (2006), tanah
latosol yang kaya seskuiosksida, miskin unsur-unsur kimia dengan sifat kimia
yang baik. Ciri lainnya adalah mineral lempung tipe 1:1 dari golongan kaolinit,
dan haloisit, mempunyai kapasitas pertukaran kation rendah, kejenuhan kation
rendah (kurang dari 35%) dan kadar bahan terlarut juga rendah karena adanya
proses pelapukan dan pelindian yang telah berjalan lanjut.
Tipe tanah di daerah Cikarawang, Darmaga berdasarkan analisis tanah
yang dilakukan bertekstur liat. Menurut Soepardi (1983), tanah yang digolongkan
sebagai liat mengandung paling sedikit (35 % separat liat) dan biasanya lebih
dari (40 %). Hasil dari analisis tanah, yaitu persentase kadar pasir, debu, liat
masing-masing adalah 8.51 %, 19.55 %, dan 71.95 %. Nilai Kapasitas Tukar
Kation (KTK) yaitu 21.18 me/100g. Nilai KTK bertambah seiring dengan tingkat
kehalusan tekstur tanah. Tanah bertekstur halus mengandung lebih banyak liat dan
juga mengandung banyak humus.
Data Cuaca selama Pertumbuhan Kedelai
Faktor abiotik berpengaruh terhadap pertumbuhan kedelai, salah satunya
yaitu cuaca. Kondisi temperatur selama fase vegetatif pada penelitian ini, yaitu
rata-rata 24.19 ºC dan fase generatif yaitu 24.85 ºC (Lampiran 1). Suhu ini
menunjang pertumbuhan kedelai karena berdasarkan Ristek (2010), suhu
optimum pertumbuhan kedelai yaitu 23-27 ºC. Curah hujan rata-rata per bulan
yaitu 275.13 mm (Lampiran 1). Kondisi ini masih dalam rentang syarat tumbuh
kedelai (Ristek, 2010), yaitu 100-400 mm/bulan.
Tingkat curah hujan pada fase vegetatif lebih banyak dibandingkan fase
dalam penelitian ini, kebutuhan air tercukupi, sehingga pertumbuhan vegetatif
optimal. Memasuki fase generatif (7-8 MST) curah hujan menurun, sehingga
kerontokan bunga diduga berkurang, selain itu fotosintesis juga lebih optimal
pada saat pengisian polong.
Gambar 1. Kondisi cuaca selama percobaan yaitu curah hujan (a), intensitas sinar matahari (b), dan kecepatan angin (c)
Curah hujan pada musim tanam pertama lebih rendah dibandingkan
menjadi faktor pembatas selama pertumbuhan kedelai pada percobaan (musim
tanam 2) (Gambar 1 a). Hal tersebut dikarenakan curah hujan merata tiap MST,
kecuali 1 MST yang berpengaruh pada daya tumbuh. Curah hujan pada penelitian
ini cukup memadai, karena berdasarkan Van Doren and Recosky (1987) dalam
Sumarno dan Manshuri (2007), kebutuhan air pada kedelai yang dipanen umur
100-190 hari yaitu 4.5 mm per hari atau sekitar 31.5 mm per MST. Lampiran 1
menunjukkan bahwa rata-rata kondisi curah hujan pada tiap MST lebih dari 31.5
mm per MST sehingga air sebagai salah satu syarat tumbuh pertumbuhan kedelai
pada penelitian ini terpenuhi.
Air menjadi faktor pembatas daya tumbuh kedelai pada 1 MST yang hanya
sebesar 64 %. Hal tersebut ditunjukkan pada Lampiran 1, curah hujan pada satu
MST lebih rendah dibandingkan waktu-waktu lainnya, karena terhambatnya
proses imbibisi benih, maka daya kecambah kedelai rendah. Selain itu, adanya
serangan cendawan Asperigullus flavus yang menyebabkan benih busuk atau mati.
Daya tumbuh kedelai mengalami peningkatan menjadi 94% setelah dilakukan
penyulaman. Peningkatan tersebut salah satunya dipengaruhi ketersediaan air
tercukupi karena adanya kenaikan intensitas curah hujan pada 2 MST
(Gambar 1a).
Masa mulai berbunga pada penelitian ini mengalami kemunduran 1 MST
dibandingkan Andriyani (2005) dan 2 MST jika dibandingkan Kurniasih (2006),
sehingga masa panen pada penelitian ini juga mengalami kemunduran satu
minggu lebih lama (13 MST) jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Andriyani (2005). Kemunduran masa panen tersebut diduga karena
perbedaan kondisi cuaca. Curah hujan pada percobaan ini lebih tinggi daripada
saat percobaan Andriyani (2005) dan Kurniasih (2006), sehingga pertumbuhan
vegetatif tanaman lebih baik dan memasuki fase generatif lebih lambat. Sebagai
akibatnya, umur panen juga lebih panjang dibandingkan kedua penelitian tersebut.
Kedelai termasuk tanaman golongan strata A, yang memerlukan
penyinaran matahari secara penuh. Faktor yang mempengaruhi efisiensi
penerimaan dan pemanfaatan energi sinar matahari, antara lain total luasan daun,
kandungan N dalam sel daun, status air dalam sel daun, suhu dan kandungan CO2
Tingkat intensitas matahari pada musim tanam (MT) 1 lebih tinggi dibandingkan
MT 2 (Gambar 1b). Intensitas matahari pada fase vegetatif MT 1 lebih tinggi
20.05 % dibandingkan MT 2, dan 7.69 % pada fase generatif lebih besar daripada
MT 2.
Tingkat kecepatan angin pada musim tanam (MT) 2 lebih tinggi
dibandingkan musim tanam 1. Kondisi ini menyebabkan varietas kedelai, baik
Wilis maupun Anjasmoro mengalami rebah. Tingkat kecepatan angin mulai
meningkat pada 7-12 MST (Gambar 1c). Masa-masa tersebut (7 MST) morfologi
kedelai memasuki fase generatif, sehingga faktor kerebahan diduga berdampak
pada penghambatan pembungaan serta penyebab terjadinya etiolasi.
Organisme penggangu tanaman merupakan faktor biotik yang
mempengaruhi produksi kedelai. Jenis hama yang menggangu selama
pertumbuhan kedelai, antara lain ulat api (Setora nitens), lalat pucuk
(Melanagromiza dolicostigma), belalang (Valanga sp. dan Nympahea sp.), kepik
polong (Riptortus linearis), dan rayap (Macrotermes gilvus). Jenis penyakit yang
menyerang tanaman kedelai dalam penelitian ini, yaitu karat daun. Organisme
pengganggu tanaman, jenis gulma yang dominan yaitu teki dan gulma daun lebar.
Kandungan Hara pada Pupuk Organik (Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam, dan Tithonia diversifolia)
Analisis kandungan hara makro dan mikro dilakukan pada tiga jenis pupuk
organik (Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam, dan Tithonia diversifolia)
yang digunakan. Tabel 4 menunjukkan bahwa kandungan C, N, P dari Tithonia
diversifolia tertinggi di antara dua jenis pupuk organik lainnya, yaitu 54.88; 3.64;
0.34 %. Dibandingkan dengan pupuk kandang ayam, kandungan hara C dari
Tithonia diversifolia lebih besar 143.6 %. Hara N dan P Tithonia diversifolia juga
lebih besar berturut-turut 766.7 dan 61.9 % dibandingkan pupuk kandang ayam.
Hal yang berbeda pada unsur hara K, pupuk kandang ayam lebih tinggi sebesar
23.08 % dan 14.29 % dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia
Tabel 4. Hasil Analisis Kandungan Hara dalam Tiga Jenis Pupuk Organik
Pengomposan adalah dekomposisi bahan organik segar menjadi bahan
yang menyerupai humus (C/N mendekati 10). Faktor yang mempengaruhi
pengomposan, antara lain kelembaban, sirkulasi udara, penghalusan dan
pencampuran bahan, nisbah C/N, nilai pH, dan suhu (Sutanto, 2002). Temperatur
dan curah hujan (Lampiran 1) selama satu bulan (Oktober) cukup mendukung
proses dekomposisi dengan metode penimbunan, yaitu berturut-turut 23.51 ºC dan
18.39 mm/hari. Sutanto (2002) menjelaskan bahwa pH tanah sebagai syarat
optimum dekomposisi yaitu 5.0-8.0, sehinggga pH 6.57 (pada tanah penelitian)
masih dalam rentang tersebut. Adanya proses pencacahan pada bahan pupuk hijau
(Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia) menunjang untuk mempercepat
proses pengomposan.
Dilihat dari nisbah C/N, Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam,
Tithonia diversifolia, masing-masing 18.25, 53.64, dan 15.08 (Tabel 4). Nisbah
C/N merupakan indikator yang menunjukkan tingkat dekomposisi dari bahan
organik (Indranada, 1989). Nisbah C/N dari bahan kompos yang optimal yaitu
20-35. Pupuk kandang ayam yang digunakan untuk bahan dasar kompos memiliki
nisbah C/N besar, yaitu 53.64. Nisbah C/N pupuk kandang ayam ini tergolong
lebih tinggi dibandingkan Hartatik dan Widowati (2005), perbedaannya mencapai
387.6 %. Perbedaan yang signifikan tersebut diduga karena faktor sejarah pupuk Jenis Pupuk Organik Nisbah C/N
Centrosema pubescens 18.25
Pupuk kandang ayam 53.64
kandang ayam yang digunakan. Bahan pupuk kandang ayam yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan pupuk organik tersimpan di gudang kebun sejak
musim tanam pertama, sehingga diduga N dalam pupuk kandang ayam berkurang
karena penguapan atau melalui denitrifikasi. Dugaan tersebut ditunjang oleh
penjelasan Soepardi (1983) bahwa adanya pelapukan aerob dan anaerob
menyebabkan kehilangan nitrogen yang cepat dalam bentuk amonia, nitrat, dan
gas nitrogen. Tidak adanya kegiatan preventif untuk mengurangi kehilangan
nitrogen dengan cara memadatkan dan membasahkan diduga mempengaruhi
kehilangan N secara cepat. Hal tersebut ditunjang dengan data analisis kandungan
hara makro pada penelitian musim pertama yang dilakukan oleh Kurniansyah
(2010) bahwa kadar N pupuk kandang mencapai 1.14 % atau lebih besar 171.4 %
dibandingkan musim tanam kedua (penelitian ini). Nisbah C/N yang tinggi pada
pupuk kandang ayam dalam penelitian ini mungkin tidak diartikan terjadinya
penghambatan proses dekomposisi tetapi karena terbatasnya jumlah nitrogen.
Sumbangan Hara Potensial
Sumbangan hara potensial didapatkan dari perhitungan perkalian antara
sumber hara dari kadar unsur hara makro (%) tiga jenis pupuk organik (Tabel 4)
dan bobot kering dan jumlah dosis pupuk organik yang digunakan (ton/ha). Hasil
tersebut merupakan dugaan karena adanya pengaruh faktor lingkungan berupa
pencucian dan denitrifikasi yang mempengaruhi kandungan hara sumbangan
potensial.
Tabel 5 menunjukkan bahwa sumbangan hara P dan K potensial tertinggi
yaitu dari perlakuan 10 ton pupuk kandang ayam sebesar 9.03 kg/ha
dan 27.52 kg/ha. Unsur P ini lebih besar 31.3 % dibandingkan Centrosema
pubescens dan 33.6 % dari Tithonia diversifolia. Kandungan K pada sumbangan
hara potensial pupuk kandang ayam juga lebih besar 57.3 dan 57.6 %
berturut-turut dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia. Hal yang
sebaliknya terjadi pada kandungan unsur N, pupuk kandang ayam memiliki hara
N nilai terendah dibandingkan perlakuan 1.75 ton Centrosema pubescens + 5 ton
pupuk kandang ayam dan 1.75 ton Tithonia diversifolia + 5 ton pupuk kandang
atas lebih besar berturut-turut 67.99 dan 83.33 % dibandingkan pupuk kandang
ayam.
Tabel 5. Sumbangan Unsur Hara Tiga Jenis Pupuk Organik per hektar
Pupuk Kandungan Hara (kg)
N P K
1.75 ton Centrosema pubescens + 5 ton pupuk kandang ayam 30.34 6.88 17.49
10 ton Pupuk kandang ayam 18.06 9.03 27.52
1.75 ton Tithonia diversifolia +5 ton pupuk kandang ayam 33.11 6.76 17.46
Kandungan Hara dari Analisis Tanah sebelum Tanam
Analisis tanah bersifat kualitatif dan kuantitatif. Analisa kualitatif
dijabarkan dengan variable dan kuantitatif melalui angka (Notohadiprawiro,
2006). Berdasarkan hasil analisis tanah awal penelitian dapat diketahui bahwa pH
tanah netral agak masam, yaitu 6.57.
Kandungan hara makro dan mikro dalam analisis tanah nilainya beragam
dan pada umumnya sedang. Berdasarkan rentan klasifikasi kriteria penilaian hasil
analisis tanah Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994), kandungan
C-organik tergolong sedang (2.74 %). Balittan (2006) menambahkan nilai C-C-organik
tersebut cukup memenuhi syarat tanah guna memperoleh produktivitas yang
optimal, karena jumlahnya > 2.5 %.
Nilai P sebesar 58.40 ppm dan unsur makro lainnya, antara lain Ca, Mg,
K, Na, masing-masing 8.93; 4.01; 0.53; 0.98 me/100g. Berdasarkan rentang
klasifikasi kriteria penilaian hasil analisis tanah Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat (1994) (Lampiran 3), nilai Ca dan Mg tersebut tergolong sedang,
unsur K rendah sedangkan Na termasuk tinggi. Kadar mikro Fe, Cu, Zn, Mn
berturut-turut 19.78; 0.59; 3.13; 11.86 ppm (Tabel 3). Berdasarkan Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994) (Lampiran 3), diantara unsur mikro
Perbandingan Hasil Analisis Kandungan Hara Tanah setelah Musim Tanam (MT) 1 dan MT 2
Perbandingan kandungan hara musim tanam dua dengan musim tanam satu bertujuan untuk mengetahui status hara tanah
setelah adanya aplikasi pupuk organik pada masing-masingnya (Tabel 6).
Tabel 6. Perbandingan Hasil Analisis Hara setelah Musim Tanam (MT) 1 dan MT 2
Perlakuan C-org N-Tot P (Bray I) Ca Mg K Na Fe Cu Zn Mn
...%... ppm ...me/100g... ...ppm... Hasil Analisis Hara setelah Panen Kedelai Musim Pertama
CA 1.57 (R) 0.15 (R) 11.57 (R) 11.67 2.61 0.91(R) 0.63 1.24 0.35 0.24 10.76 Hasil Analisis Hara sebelum Tanam MT 2 (setelah Aplikasi Pupuk Organik)
CA 1.83(S) 0.17(S) 77.0(T) 9.10 4.08 0.42(R) 0.65 17.82 0.64 4.36 15.20 Hasil Analisis Hara setelah Panen Kedelai Musim Kedua
CA 2.07(R) 0.18(R) 8.70(R) 6.60 2.73 0.98(R) 1.01 0.56 0.08 1.95 32.65
Keterangan : CA (Centrosema pubescens + Varietas Anjasmoro) TA (Tithonia diversifolia +Varietas Anjasmoro) CW (Centrosema pubescens + Varietas Wilis) TW (Tithonia diversifolia +Varietas Wilis) PA (Pupuk kandang ayam + Varietas Anjasmoro) PW (Pupuk kandang ayam + Varietas Wilis) (R) = rendah; (S) = sedang; (ST) = sangat tinggi; Sumber : (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994)
Unsur hara makro (C-org, N, P, Mg) umumya mengalami kenaikan dalam
tanah yang mendapat Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam, dan Tithonia
diversifolia (Tabel 6). Hal yang sama juga dilaporkan Kariada dan Aribawa
(2004) bahwa adanya penambahan pupuk organik dapat meningkatkan C-organik
tanah.
Tabel 6 menunjukkan bahwa kadar N musim tanam 2 pada lahan yang
mendapat pupuk kandang ayam lebih tinggi 18.18 % dibandingkan yang
mendapatkan Centrosema pubescens, dan lebih besar 13.04 % daripada dengan
Tithonia diversifolia. Kadar N tanah mengalami peningkatan setelah aplikasi
pupuk organik. Peningkatan kadar N tertinggi yaitu pada tanah dengan pemberian
jenis pupuk kandang ayam. Hakim et al. (1986) dalam Kariada dan Aribawa
(2004) mengemukakan bahwa dekomposisi bahan organik akan menghasilkan
senyawa yang mengandung N, di antaranya amonium, nitrit, nitrat, dan gas
nitrogen. Hasil penelitian yang sama dikemukakan oleh Hairunsyah (1991),
Raihan dan Nurtirtayani (2001) dalam Kariada dan Aribawa (2009) yang
melaporkan bahwa kandungan N-total tanah mengalami peningkatan dengan
pemberian pupuk organik.
Kandungan P meningkat tajam selama proses dekomposisi. Peningkatan
ketersediaan P tanah disebabkan oleh penguraian mikrobiologis dari pupuk
organik yang diberikan oleh mikroba tanah yang melibatkan proses enzimatik,
dimana P organik akan dibebaskan menjadi fosfat anorganik sehingga tersedia
dalam tanah (Hairunsyah, 1991; Raihan dan Nurtirtayani, 2001 dalam Kariada
dan Aribawa, 2004). Kadar P tersedia dalam tanah yang diberi pupuk kandang
ayam lebih tinggi 57.18 % dibandingkan Centrosema pubescens dan 100.37 %
daripada Tithonia diversifolia.
Tabel 6 juga menunjukkan bahwa kandungan N pada pupuk kandang
ayam kontinyu tersedia selama periode pertumbuhan kedelai, hal tersebut terlihat
dari residu hara setelah panen MT 1 yang tidak berbeda jauh dari data analisis
tanah setelah aplikasi. Pupuk kandang ayam memiliki jumlah kandungan hara N
tersisa ditanah (analisis setelah panen MT 2) lebih tinggi sebesar 22.2 dan 29.4 %
berturut-turut dibandingkan dengan Centrosema pubescens dan Tithonia
sehingga menekan kehilangan N melalui penguapan, pencucian, maupun
denitrifikasi. Hal tersebut mengindikasikan sumbangan hara (residu) relatif
banyak untuk musim tanam berikutnya.
Data pada Tabel 6 menunjukkan residu P dan K terbanyak dari musim
tanam sebelumnya yaitu berasal dari pupuk kandang ayam. Tanah dengan
perlakuan pupuk kandang memiliki kandungan hara P lebih tinggi 65.5 %
dibandingkan perlakuan C. pubescens dan 90.3 % daripada tanah yang mendapat
T. diversifolia. Selain itu residu K dari penambahan pupuk kandang ayam juga
lebih tinggi berturut-turut 17.8 dan 9.4 % dibandingkan C. pubescens dan
T. diversifolia. Hal tersebut mengindikatorkan bahwa K dan P dari pupuk kandang
ayam terdekomposisi hingga tersedia secara bertahap dalam tiap musim
tanamnya.
Fase Vegetatif dan Generatif
Fase vegetatif dimulai sejak tanaman tumbuh dan umumnya dicirikan oleh
banyaknya buku pada batang utama yang telah memiliki daun terbuka penuh. Fase
berakhir jika fase generatif dimulai, yaitu dengan munculnya bunga dan diakhiri
jika 95 % polong telah matang (Fehr dan Caviness, 1977 dalam Adie dan
Krisnawati 2007). Fase perkecambahan kedelai varietas Wilis dan Anjasmoro
dimulai 3-4 Hari Setelah Tanam (HST). Fase generatif, mulai saat berbunga pada
7 Minggu Setelah Tanam (MST). Selanjutnya pembentukan polong terjadi
pada 7-8 MST, polong terisi penuh pada 10-11 MST dan mengeras pada 12-13
MST. Umur tanaman tersebut berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya,
terjadi kemunduran waktu lebih lama ± 1-2 minggu. Perbedaan waktu diduga
karena perbedaan perlakuan dan kondisi lingkungan (curah hujan dan temperatur).
Fase generatif penelitian kali ini masuk dalam musim penghujan, dengan
intensitas curah hujan tinggi (39.33 mm/MST atau 275.13 mm/bulan), intensitas
matahari (1716.5 cal/cm2/menit2) dan suhu rendah (24.85 ºC) (Lampiran 1). Kondisi tersebut tergolong optimal menunjang fase generatif. Hal tersebut sesuai
dengan Irwan (2006) yang melaporkan bahwa suhu optimal pembungaan
yaitu 24-25 ºC. Sumarno dan Manshuri (2007) juga menyebutkan bahwa
Hasil
Tabel 7 menunjukkan bahwa kombinasi jenis pupuk organik dengan
varietas tidak berpengaruh nyata terhadap komponen vegetatif maupun generatif.
Jenis pupuk organik umumnya tidak berpengaruh nyata terhadap komponen
vegetatif dan generatif, bobot basah bintil akar, jumlah buku produktif, dan
jumlah cabang. Varietas umumnya berbeda nyata pada komponen vegetatif dan
generatif.
Tabel 7. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada perlakuan Jenis Pupuk Organik serta