• Tidak ada hasil yang ditemukan

Residu pupuk organik mendukung produksi dua varietas kedelai organik (Glycine max (l) merr) di lahan kering

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Residu pupuk organik mendukung produksi dua varietas kedelai organik (Glycine max (l) merr) di lahan kering"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

RESIDU PUPUK ORGANIK MENDUKUNG PRODUKSI

DUA VARIETAS KEDELAI ORGANIK (

Glycine max

(L) Merr)

DI LAHAN KERING

Oleh

Tatied Elysa Herwanti

A24070114

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

TATIED ELYSA HERWANTI. Residu Pupuk Organik Mendukung Produksi Dua Varietas Kedelai Organik (Glycine max (L) Merr) Di Lahan Kering (Dibimbing oleh MAYA MELATI).

Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh residu berbagai jenis

pupuk organik (pupuk kandang ayam, Tithonia diversifolia Hemsl, dan

Centrosema pubescens Benth) dengan menggunakan setengah dosis pupuk pada

musim tanam sebelumnya terhadap produksi panen kering pada dua verietas

kedelai (Anjasmoro dan Wilis) yang dibudidayakan secara organik. Percobaan

dilakukan dari bulan Oktober 2010 sampai Februari 2011 di Kebun Percobaan

Cikarawang, Dramaga, Bogor.

Percobaan menggunakan rancangan petak terbagi (split plot design),

dengan dua faktor, dan tiga ulangan. Petak utama berupa jenis pupuk organik,

yaitu pupuk kandang ayam (10 ton/ha), Tithonia diversifolia (1.75 ton/ha dengan

penambahan pupuk kandang 5 ton/ha), dan Centrosema pubescens (1.75 ton/ha

dengan penambahan pupuk kandang 5 ton/ha). Anak petak berupa dua varietas

kedelai (Anjasmoro dan Wilis). Pupuk kandang ayam didapatkan dari sisa pada

musim tanam sebelumnya yang disimpan pada gudang kebun, biomass

Centrosema pubescens diperoleh dari budidaya di lahan di luar petak percobaan,

dan Tithonia diversifolia diambil dari lahan di sekitar tempat penelitian.

Aplikasi Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia dilakukan 4

minggu sebelum tanam kedelai, sedangkan aplikasi pupuk kandang ayam

dilakukan 2 minggu sebelum tanam kedelai. Aplikasi pupuk dilakukan pada alur

yang sama dengan alur penanaman kedelai. Jarak tanam yang digunakan yaitu

40 cm x 10 cm dengan 1 benih/lubang. Penanaman tagetes dan serai pada

penelitian ini dijadikan sebagai pengendali Organisme Pengganggu Tanaman

(OPT). Penanaman tagetes dilakukan 3 minggu sebelum penanaman melalui bibit,

dengan jarak tanam ± 50 cm yang ditanam di tengah-tengah antara dua anak petak

pada petak utama. Serai tidak ditanam ulang pada penelitian ini, karena tanaman

dari musim tanam pertama masih tumbuh baik.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata dari tiga

jenis pupuk organik terhadap tinggi tanaman, jumlah daun 2-8 MST, bobot basah

(3)

organik berpengaruh sangat nyata pada intensitas serangan hama dan nyata pada

intensitas keparahan penyakit, yaitu nilainya tertinggi pada tanaman yang

mendapat pupuk kandang ayam dibandingkan dua jenis pupuk organik lainnya.

Intensitas serangan hama pada tanaman yang mendapat pupuk kandang ayam,

Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens berturut-turut adalah 17.51,

14.72, dan 15.17 %.

Jenis pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas

kedelai. Potensi produktivitas tanaman yang mendapat pupuk kandang, Tithonia

diversifolia dan Centrosema pubescens, berturut-turut adalah 2.13, 2.07,1.89

ton/ha. Hal ini sesuai dengan bobot 100 biji dan bobot kering biji dalam petak

bersih (per 4.32 m2) tanaman yang mendapat pupuk kandang ayam lebih banyak di antara pupuk organik lainnya.

Varietas Anjasmoro memiliki morfologi lebih besar dibandingkan Wilis.

Hal tersebut terbukti dari tinggi, bobot basah dan kering (daun, akar, dan bintil

akar) Anjasmoro lebih besar dibandingkan Wilis. Varietas berbeda sangat nyata

pada bobot 100 biji, jumlah polong isi; berbeda nyata pada jumlah buku produktif

dan BK petak pinggir; dan berbeda tidak nyata pada BK biji tanaman contoh,

petak bersih dan potensi produksi. Potensi produksi Anjasmoro juga lebih tinggi

dibandingkan Wilis, masing-masing 2.13 dan 1.94 ton/ha.

Estimasi kadar hara NPK dalam tanah dan serapan hara pada tajuk dari

pupuk kandang ayam tertinggi dibandingkan dua pupuk organik lainnya. Selain

itu serapan hara NPK daun pupuk kandang ayam juga tertinggi di antara Tithonia

diversifolia dan Centrosema pubescens. Serapan hara NPK daun dari varietas

(4)

Organic Manure Residues Supports The Production of Two Organic Soybeans Varieties in Dryfield Tatied Elysa Herwanti1, Maya Melati2

1

Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB, A24070114 2

Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

Abstract

The experiments were conducted at IPB Research Station in Cikarawang, Darmaga,Bogor, from October 2010 to February 2011. The study was conducted to investigate the effect of residues of different organic manures on the production of soybean with 50% dosage in previous experiments. The manure rates were 10 ton chicken manure/ha, 1.75 ton Centrosema pubescens/ha and 1.75 ton Tithonia diversifolia/ha. All treatments were added with 5 ton chicken manure/ha, 1 ton rice husk charcoal/ha and 1 ton dolomite/ha. The experiment used two varieties of soybeans, i.e Anjasmoro and Wilis. This research used Split Plot design with three replication, the organic manure as the main plot and the soybeans varieties as the sub plot. The effect of three organic manure residues were significantly different in number of branch, number of nodule, and filled pod. Organic manure did not significantly affect in productivity of soybeans. The productivity of soybeans with chicken manure, Centrosema pubescens and Tithonia diversifolia were 2.13,1.99 and 2.07 ton/ha. Productivity in the second season was higher than that of first season, it incrased about 83.96%. Varieties were significantly different in filled pod number, 100 seeds weight. The productivity of Anjasmoro was higher than Wilis, they were 2.13 and 1.94 ton/ha, respectively.

(5)

RESIDU PUPUK ORGANIK MENDUKUNG PRODUKSI DUA

VARIETAS KEDELAI ORGANIK (

Glycine max

(L.) Merr)

DI LAHAN KERING

Skripsi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

TATIED ELYSA HERWANTI

A24070114

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(6)

Judul : RESIDU PUPUK ORGANIK MENDUKUNG PRODUKSI DUA

VARIETAS KEDELAI ORGANIK (Glycine max (L) Merr) DI LAHAN KERING

Nama : TATIED ELYSA HERWANTI

NIM : A24070114

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc NIP: 19640128 199103 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Dr .Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr NIP: 19611101 198703 1 003

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Grobogan, 29 September 1989. Penulis merupakan

anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Bapak Slamet dan Endah Sri Rejeki.

Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1993-1995 di TK

Dharmawanita 3 Krangganharjo, Toroh, Grobogan. Penulis melanjutkan

pendidikan di SDN 3 Krangganharjo, Toroh, Grobogan pada tahun 1995-2001,

SLPTN 1 Purwodadi pada tahun 2001-2004 dan SMAN 1 Purwodadi, Grobogan

pada tahun 2004-2007. Penulis diterima di Departemen Agronomi dan

Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk Mahasiswa IPB (USMI) pada tahun 2007.

Selama di Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti kepanitian BEM

Keluarga Mahasiswa (KM) IPB (2007/2008), anggota Dewan Perwakilan

Mahasiswa (2008/2009), koordinator divisi HRD Agrifarma IPB (2007-2009),

dan aktif dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dari Dikti. Program

Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKMP)” Pengaruh Aplikasi Foliar

Metanol terhadap Peningkatan Pertumbuhan Vegetatif dan Generatif

Tanaman Cabai (Capsicum annum L) (2008). Program Kreativitas

εahasiswa bidang Kewirausahaan (PKεK) “Kreasi εiniatur Taman dalam

Lampu Hias (Sin Ta Lahs) sebagai Alternatif Dunia Suvenir yang

Potensial” (2009). Program Kreativitas εahasiswa bidang Kemasyarakatan (PKεε) “εeningkatkan Peran Akademis dalam Mengkampanyekan

Perluasan Ruang Hijau melalui Taman Sayur Vertikultur” (2010). PKεK “εpek-Mpek Sayuran MPERAN Berbahan Ubi Jalar (Ipomea batatas) sebagai Kudapan Cepat Saji, Praktis, Sehat, dan Ekonomis Ala Kuliner

Dalam Negeri”(2010). Program Kreativitas Mahasiswa bidang Gagasan Tertulis (PKMGT) “Pengolahan Air δimbah Rumah Tangga (Grey Water) dengan

Sistem Biofilter untuk Ecotech Farm”(2010). PKεP “Pengoptimalan

Ketersediaan Fosfor dengan Penggunaan PGPR terhadap Peningkatan

Produksi Pepaya (Carica papaya)” (2010-2011). PKεK ”Nasi Jagung Bakar

Ayam Pencok sebagai Sajian Baru untuk Pengembangan Diversifikasi Pangan

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan kekuatan, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian ini yang berjudul “Residu Pupuk Organik Mendukung

Produksi Dua Varietas Kedelai (Glycine Max(L) Merr) Di Lahan Kering”.

Penelitian ini sebagian besar didanai melalui program I-MHERE B.2.C IPB tahun

2009-2011 dengan judul “Good Agricultural Practices (GAP) of Rice and

Soybean Production under Organic Farming System” yang diterima oleh Dr. Ir.

Maya Melati, MS, MSc

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Maya Melati, M.S, M.Sc. selaku pembimbing skripsi yang telah

memberikan masukan dan saran untuk pelaksanaan penelitian.

2. Dr. Ir. Suwarto, MSi dan Ir. Sofyan Zaman, MP. selaku dosen penguji.

3. Dr. Desta Wirnas, selaku dosen pembimbing akademik.

4. Seluruh staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura atas ilmu dan

bimbingan selama perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.

5. Bapak dan Ibu beserta seluruh keluarga besar yang selalu mendukung dalam

segala aktivitas penulis.

6. Rizkiana Anggayuhlin, Trianne Novriska, Annita Arraafi, dan Indah Retnowati

yang senantiasa memberi motivasi.

7. Teman-teman AGH 44, Tim Organik (Pak Baso, Bu Ema, Ka Risa, Mery,

Kajum), dan Pak Sarta yang telah memberikan motivasi dan masukan.

8. Teman-teman kost Ukhwah dan Jayawijaya yang senantiasa senasib dan

sepenanggungan.

9. Keluarga Purwodadi (PERMADI) yang selalu memberi warna baru.

10. Keluarga Karya Salemba Empat (KSE) yang senantiasa memberikan

dampingannya.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terimakasih atas

(9)

Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan ilmu

pengetahuan kepada pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, September 2011

(10)

Halaman PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kedelai ... 4

Syarat Tumbuh Kedelai ... 5

Hama dan Penyakit ... 6

Deskripsi Varietas Kedelai ... 7

Kedelai Organik ... 8

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

Bahan dan Alat ... 14

Metode Penelitian ... 14

Pelaksanaan Penelitian ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum ... 20

Hasil ... 30

Pembahasan ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 50

Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan Hara dari Pupuk Kandang padat atau Segar ... 10

2. Perbandingan Perlakuan Dosis Pupuk Organik dan Varietas pada Musim Tanam 1 dan Musim Tanam 2 ... 16

3. Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit ... 18

4. Kandungan Hara dalam Tiga Jenis Pupuk Organik (Centrosema pubescens, Pupuk Kandang Ayam, dan Tithonia diversifolia ... 24

5. Sumbangan Unsur Hara Tiga Jenis Pupuk Organik per Hektar ... 26

6. Perbandingan Hasil Analisis Hara setelah Musim Tanam (MT)1 dan Musim Tanam (MT) 2... 27

7. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Tiga Perlakuan Jenis Pupuk Organik serta Varietas ... 30

8. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Tiga Jenis Pupuk Organik... 32

9. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Varietas ... 35

10.Estimasi Ketersediaan Hara dan Serapan ... 37

11.Komponen Produksi Kedelai pada Perlakuan Jenis Pupuk Organik ... 38

12.Komponen Produksi Kedelai pada Perlakuan Dua Varietas Kedelai ... 40

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Cuaca MT 1 dan MT 2 ... 56

2. Hubungan Korelasi Antar Peubah terhadap Komponen Hasil Kedelai ... 56

3. Kriteria Penilaian Hasil Analisis Tanah ... 57

4. Deskripsi Kedelai Varietas Anjasmoro dan Wilis ... 58

5. Layout Petak Percobaan ... 59

6. Jenis Organisme Pengganggu Tanaman selama Budidaya ... 60

7. Kondisi Tanaman Kedelai pada 7 MST ... 61

(14)

Latar Belakang

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan utama di Indonesia.

Kebutuhan kedelai rata-rata Indonesia sekitar 2.20 juta ton/tahun, sedangkan

produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencukupi 35-40 % dari jumlah

tersebut, sehingga 60-65 % dipenuhi dari impor (Marwoto dan Suharsono, 2008).

Kedelai banyak digunakan masyarakat Indonesia dalam berbagai

pemenuhan kebutuhan dalam bentuk olahan (protein kedelai) dan minyak kedelai.

Biji kedelai kaya protein (35-42 %), lemak (18-32 %), karbohidrat (12-30 %), air

(7 %), vitamin (asam fitat) dan lesitin. Produk olahan dalam bentuk protein

kedelai yang dikenal masyarakat dan digunakan sebagai bahan industri makanan

yaitu susu, vetsin, kue-kue, permen dan daging nabati. Kedelai juga dapat

digunakan sebagai bahan industri bukan makanan, seperti : kertas, cat cair, tinta

cetak, dan tekstil. Industri makanan dari minyak kedelai yang digunakan sebagai

bahan industri makanan berbentuk gliserida sebagai bahan untuk pembuatan

minyak goreng, margarin, dan bahan lemak lainnya. Kedelai dalam bentuk

lecithin diolah menjadi produk margarin, kue, tinta, kosmetik, insektisida dan

farmasi (Ristek, 2010).

Perkembangan produksi kedelai Indonesia sejak tahun 2007 mengalami

kenaikan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statiska (2009), produksi kedelai

tahun 2009 sebesar 974 512 ton kering atau naik 198.80 ribu ton (25.63 %) dari

tahun 2008. Kenaikan ini berbanding lurus dengan naiknya luas panen dan

produktivitas. Produktivitas kedelai nasional pada tahun 2008 sebesar 13.13 ku/ha

dan tahun 2009 meningkat menjadi 13.48 ku/ha. Luas panen kedelai tahun 2008

sebesar 590 956 ha dan 722 791 ha pada tahun 2009. Tahun 2009 luas panen

meningkat seluas 131.84 ribu ha (22.31 %) (BPS, 2009). Menurut Komalasari

(2008), luas panen kedelai di Indonesia pada periode 1970-2008 cenderung

berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0.59 % per tahun. Selain itu

(15)

berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0.59 % per tahun. Selain itu

tahun 2009 adanya peningkatan produktivitas sebesar 0.35 kuintal/ha.

Budidaya kedelai organik mempunyai prospek ke depan yang baik.

Adanya lahan yang belum termanfaatkan (49.8 juta ha) dan kekayaan sumberdaya

hayati merupakan modal dalam pengembangan pertanian organik Indonesia

(Deptan, 2002). Barus (2005); Melati dan Andriyani (2005); Sinaga (2005);

Kurniasih (2006); Melati et al. (2008) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk

kandang dan pupuk hijau (juga) dapat memenuhi kebutuhan hara untuk produksi

kedelai sayur secara organik.

Penggunaan pupuk organik seperti pupuk kandang, pupuk hijau dan

limbah panen dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, disamping mengurangi

penggunaan pupuk N, P dan K kimia sintetis dan meningkatkan efisiensinya

Karama (1990) dalam Kariada dan Aribawa (2004). Pupuk organik adalah pupuk

yang berasal dari bahan-bahan organik seperti pangkasan daun tanaman, kotoran

ternak, sisa tanaman, dan sampah organik yang telah dikomposkan (Balittan,

2004). Sumber bahan organik, antara lain pupuk kandang ayam, pupuk hijau

(Centrosema pubescens dan Tithonia difersifolia). Kandungan pupuk kandang

ayam, antara lain kadar air 57 %, bahan organik 29 %, N 1.5 %, P2O5 1.3 %, K2O

0.8 %, CaO 4.0 % dan rasio C/N sebesar 9 (Hartatik dan Widowati, 2005).

Tithonia difersifolia mengandung 3.50 % nitrogen, 0.37 % fosfor, dan 4.10 %

kalium (Hartatik, 2007). Centrosema pubescens mengandung 3.49 % N, 0.36 % P,

1.05 % K (Melati et al., 2008).

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mencapai swasembada

pangan. Salah satunya yaitu meningkatkan efisiensi faktor produksi (Simatupang

et al., 2000). Peningkatan mutu intensifikasi, dengan menerapkan teknologi

pemupukan yang tepat dan efisien. Efisiensi faktor produksi dapat ditingkatkan

melalui pemanfaatan residu pupuk dalam sistem rotasi pertanaman

(Makarim et al., 2003 dalam Kariada dan Aribawa, 2004).

Pemanfaatan residu pupuk organik pada musim tanam sebelumnya dapat

meningkatkan produktivitas tanaman. Penelitian Melati et al. (2008) menunjukkan

bahwa pupuk organik, kombinasi dan residunya dapat digunakan untuk memenuhi

(16)

menunjukkan peran residu pupuk organik pada jagung bahwa dengan aplikasi

pupuk kandang ayam sebesar 2 ton/ha meningkatkan produksi jagung

sebanyak 6 % pada musim pertama sedangkan pada musim kedua sebesar 40 %.

Pupuk organik memiliki sifat yang kurang mudah tersedia untuk tanaman

dibandingkan dengan pupuk anorganik. Teknologi yang tepat dalam

memanfaatkan residunya dapat mengoptimalkan produksi tanaman. Adanya hasil

penelitian sebelumnya yang melaporkan tentang keberhasilan dalam

memproduksi kedelai sayur organik mendorong peneliti untuk mengetahui

produksi kedelai biji kering pada musim tanam dua. Penelitian ini merupakan

lanjutan dari Kurniansyah (2010) dengan dosis yang digunakan untuk percobaan

lanjutan adalah setengah dari sebelumya. Dua varietas kedelai digunakan dalam

percobaan untuk mempelajari respon kedelai berbiji besar dan biji sedang.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu

1. Mempelajari pengaruh residu berbagai jenis pupuk organik.

2. Mempelajari respon varietas terhadap budidaya organik

3. Mempelajari pengaruh kombinasi antara pupuk organik dan varietas dalam

produksi kedelai.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini, antara lain :

1. Terdapat residu jenis pupuk organik tertentu untuk produksi kedelai organik

tertinggi.

2. Terdapat varietas yang berproduksi lebih tinggi.

3. Terdapat kombinasi terbaik antara varietas dan pupuk organik tertentu dalam

(17)

Botani Kedelai

Tanaman kedelai umumnya tumbuh tegak, berbentuk semak, dan

merupakan jenis tanaman semusim. Klasifikasi tanaman kedelai menurut Ristek

(2010) sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Classis : Dicotyledoneae

Ordo : Rosales

Familia : Papilionaceae

Genus : Glycine

Species : Glycine max (L.) Merill

Morfologi tanaman kedelai terdiri dari akar, batang, cabang, daun, bunga,

dan polong. Kedelai mempunyai sistem perakaran terdiri dari akar tunggang, akar

sekunder (serabut), dan akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil.

Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua macam, yaitu tipe

determinate dan indeterminate. Selain itu terdapat jenis yang lain yaitu semi

determinate atau semi indeterminate. Tipe determinate, pertumbuhan vegetatif

berhenti setelah fase berbunga, batang normal dan tidak melilit. Tipe

indeterminate, pertumbuhan vegetatif berlanjut setelah berbunga dan batang

melilit. Tipe pertumbuhan kedelai lainnya yaitu semi determinate atau semi

indeterminate(Adie dan Krisnawati, 2007).

Kedelai memiliki daun berwarna hijau berbentuk bulat (oval), yang

mempunyai bulu. Panjang bulu bisa mencapai 1 mm dan lebar 0,0025 mm, serta

kepadatan bulu berkisar 3-20 buah/mm. Lebat-tipisnya bulu pada daun kedelai

berkait dengan tingkat toleransi varietas kedelai terhadap serangan jenis hama

tertentu (misalnya hama penggerek batang). Contoh varietas yang berbulu lebat

yaitu IAC 100, sedangkan varietas yang berbulu jarang yaitu Wilis, Dieng,

Anjasmoro, dan Mahameru (Irwan, 2006).

Fase reproduktif kedelai ditandai saat tunas aksilar berkembang menjadi

kelompok bunga dengan 2 hingga 35 kuntum dalam setiap kelompok. Periode

(18)

pada buku ke lima atau ke enam dan atau buku di atasnya. Bunga muncul ke arah

ujung batang utama atau ujung cabang. Tingkat keguguran bunga mencapai

20-80%. Adanya kecenderungan, varietas dengan jumlah bunga banyak pada per

buku memiliki presentasi keguguran bunga lebih tinggi daripada yang berbunga

lebih sedikit. Jumlah bunga kedelai di Indonesia dari 20 varietas berkisar antara

45-75 buah (rata-rata 57 bunga). Kedelai varietas Wilis memiliki jumlah bunga

6% lebih banyak dibandingkan Anjasmoro (Adie dan Krisnawati, 2007).

Setiap biji kedelai mempunyai ukuran bervariasi. Pengelompokan ukuran

biji di Indonesia, yaitu biji berukuran kecil (<10 g/100 biji), sedang (10-14 g/100

biji), dan besar (>14 g/100 biji). Biji juga dikategorikan berdasarkan bentuk

tampilannya, antara lain bulat hingga lonjong (Adie dan Krisnawati, 2007).

Kedelai dapat dipanen sekitar umur 75-110 hari, tergantung pada varietas

dan ketinggian tempat. Ciri-ciri kedelai siap panen, antara lain daun tua atau

berwarna kuning buah mulai berubah warna dari hijau menjadi kuning kecoklatan

dan retak-retak atau polong sudah kelihatan tua, batang berwarna kuning agak

coklat (Deptan, 2010).

Syarat Tumbuh Kedelai

Iklim

Tanaman kedelai cocok ditanam di daerah tropis dan subtropis. Iklim

kering lebih disukai tanaman kedelai dibandingkan iklim lembab. Curah hujan

100-400 mm/bulan dan pertumbuhan optimal pada curah hujan 100-200

mm/bulan. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai 21-34 ºC, suhu optimum

23-27 ºC. Pada proses perkecambahan benih kedelai memerlukan suhu

sekitar 30 ºC (Ristek, 2010). Produktivitas menurun jika pada saat fase generatif

tanaman kedelai, suhu lingkungan mencapai 40 ºC, hal tersebut menyebabkan

bunga rontok akibatnya jumlah biji polong dan kedelai menurun (Irwan, 2006).

Media tanam

Kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah (alluvial, regosol,

grumosol, latosol, dan andasol) dengan drainase, aerasi tanah cukup baik, dan

(19)

tumbuh kedelai yaitu pH 5.8-7.0. Jika pH tanah kurang dari 5.5 akan menghambat

pertumbuhan karena keracunan aluminium. Selain itu juga akan menghambat

bakteri bintil dan proses nitrifikasi (proses oksidasi amoniak menjadi nitrit atau

proses pembusukan). Ketinggian tempat yang sesuai untuk varietas kedelai berbiji

kecil cocok adalah ketinggian 0.5-300 m dpl, sedangkan untuk varietas kedelai

berbiji besar cocok ditanam di lahan ketinggian 300-500 m dpl (Ristek, 2010).

Hama dan Penyakit

Hama utama kedelai adalah lalat bibit (Agrozyma sp), penggerek polong

(Etiella zickenella) dan pengisap polong (Nezara viridula) (Deptan, 2010).

Jenis-jenis hama dan penyakit yang sering menggagu tanaman kedelai menurut Irwan

(2006), antara lain :

1. Aphis spp. (Aphis glycine)

Kutu dewasa ukuran kecil 1-1.5 mm berwarna hitam, ada yang bersayap

dan tidak. Kutu ini dapat dapat menularkan virus SMV (Soybean Mosaik Virus).

Menyerang pada awal pertumbuhan dan masa pertumbuhan bunga dan polong.

Gejala : layu, pertumbuhannya terhambat.

2. Ulat polong (Etiela zinchenella)

Ulat yang berasal dari kupu-kupu ini bertelur di bawah daun buah, setelah

menetas, ulat masuk ke dalam buah sampai besar, memakan buah muda.

Gejalanya pada buah terdapat lubang kecil. Waktu buah masih hijau, polong

bagian luar berubah warna, di dalam polong terdapat ulat gemuk hijau dan

kotorannya.

3. Ulat grayak (Prodenia litura)

Serangan: mendadak dan dalam jumlah besar, bermula dari kupu-kupu

berwarna keabu-abuan, panjang 2 cm dan sayapnya 3-5 cm, bertelur di permukaan

daun. Tiap kelompok telur terdiri dari 350 butir. Gejala : kerusakan pada daun,

ulat hidup bergerombol, memakan daun, dan berpencar mencari rumpun lain.

4. Penyakit anthraknosa (Cendawan Colletotrichum glycine Mori)

Penyakit ini menyerang daun dan polong yang telah tua. Penularan dengan

perantaraan biji-biji yang telah kena penyakit, lebih parah jika cuaca cukup

(20)

paling rendah rontok, polong muda yang terserang hama menjadi kosong dan isi

polong tua menjadi kerdil.

5. Penyakit karat (Cendawan Phachyrizi phakospora)

Penyakit ini menyerang daun. Penularan dengan perantaraan angin yang

menerbangkan dan menyebarkan spora. Gejala: daun tampak bercak dan bintik

cokelat.

6. Virus mosaik (virus)

Penyakit ini menyerang daun dan tunas. Penularan vektor penyebar virus

ini adalah Aphis glycine (sejenis kutu daun). Gejala: perkembangan dan

pertumbuhan lambat, tanaman menjadi kerdil.

Deskripsi Varietas Kedelai

Varietas Wilis

Varietas Wilis dilepas pada tahun 1983 dengan umur masak 85 hari, kadar

protein 37%, kadar minyak 18%, dan potensi hasil 1.60 ton/ha (Suhartina, 2003

dalam Irwan, 2006). Balitkabi (2008) mendeskripsikan bahwa varietas Wilis

memiliki warna hipokotil, warna batang hijau, warna daun hijau, warna bulu

coklat tua, warna bunga unggu, warna polong masak cokelat kehitaman, warna

kulit biji kuning, warna hilum cokelat tua. Tipe pertumbuhan determinate, tinggi

tanaman 40-50 cm, jumlah cabang 2.9-5.6. Umur berbunga 39 hari. Berat 100 biji

10.0 g. Tahan rebah, agak tahan karat daun dan virus.

Varietas Anjasmoro

Varietas Anjasmoro dilepas pada tahun 2001, dengan umur masak 88 hari,

kadar protein 42.1 %, kadar minyak 18.6 %, dan potensi hasil 2.25 ton/ha

(Suhartina, 2003 dalam Irwan, 2006). Puslitbangtan (2010) mendeskripsikan

bahwa varietas Anjasmoro memiliki nama galur MANSURIA 395-49-4, dengan

warna hipokotil dan epikotil ungu, warna daun hijau, warna bulu putih, warna

bunga unggu, warna polong masak cokelat muda, warna kulit biji kuning, warna

hilum kuning kecoklatan. Tipe pertumbuhan determinate, bentuk daun oval,

ukuran daun lebar, perkecambahan 76-78 %, tinggi tanaman 64-68 cm, jumlah

(21)

35.7-39.4 hari. Berat 100 biji 14.8-15.3 g. Tahan rebah, toleransi karat daun sedang,

dan ketahanan pecah polong.

Kedelai Organik

Pertanian Organik

Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan

terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem

secara alami, sehingga menghasilkan pangan berkualitas dan berkelanjutan

(Balitan, 2004). Ditambahkan Blake (1994) bahwa sistem pertanian organik

adalah sistem pertanian dengan input atau masukan eksternal yang rendah, tetapi

input internal tersebut optimum.

Kriteria lahan yang digunakan untuk produksi pertanian organik harus

bebas dari bahan kimia sintetis (pupuk dan pestisida). Jenis lahan dalam kriteria

tersebut antara lain lahan pertanian yang baru dibuka atau lahan pertanian intensif

yang telah dikonversi menjadi lahan pertanian organik. Lama masa konversi

tergantung sejarah penggunaan lahan, pupuk, pestisida, dan jenis tanaman

(Balitan, 2004). Delate (2004) menjelaskan bahwa diperlukan tiga musim

penanaman kedelai secara intensif untuk lahan yang sebelumnya digunakan

budidaya konvensional agar memenuhi kriteria pertanian organik.

Pupuk Organik

Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik

seperti pangkasan daun tanaman, kotoran ternak, sisa tanaman, dan sampah

organik yang telah dikomposkan (Balittan, 2004). Pupuk organik bersifat bulky

dengan kandungan hara makro dan mikro rendah sehingga perlu diberikan dalam

jumlah banyak.

Terdapat 13 unsur hara yang dibutuhkan tanaman, baik unsur hara makro

maupun unsur hara mikro. Unsur hara makro adalah unsur yang dibutuhkan

tanaman dalam jumlah banyak, jenisnya antara lain nitrogen, fosfor, kalium,

kalsium, magnesium, dan belerang. Hal yang berbeda untuk jenis unsur hara besi,

(22)

digunakan tanaman dalam jumlah sedikit oleh tanaman sehingga disebut unsur

hara mikro (Soepardi, 1983). Nitrogen merupakan penyusun protein dan enzim,

nitrogen juga terkandung dalam klorofil, hormon sitokinin, serta auksin. Unsur

hara fosfor (P) berperan dalam reaksi-reaksi fase gelap fotosintesis, respirasi, dan

merupakan bagian dari nukleotida (RNA dan DNA) dan fosfolipida penyusun

membran. Sulfur di dalam tanaman merupakan penyusun amino sistein dan

methionin. Kalium (K) berperan sebagai aktivator berbagai enzim (fotosintesis,

respirasi, sintesis protein dan pati) serta dalam pengaturan turgor sel pada proses

membuka dan menutupnya stomata (Lakitan, 1993). Ditambahkan oleh

Leiwakabessy et al., (2003) bahwa N, P, dan S merupakan unsur-unsur penyusun

protein ataupun protoplasma.

Manfaatutama pupuk organik adalah dapat memperbaiki kesuburan kimia,

fisik dan biologis tanah, selain sebagai sumber hara bagi tanaman. Pupuk organik

dimanfaatkan tanaman dalam bentuk bahan organik hasil dekomposisi

mikroorganisme dalam tanah (Balittan, 2005). Sumber bahan organik dapat

berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan,

tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri

yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota (Balittan, 2006).

Bahan organik berfungsi sebagai “pengikat” butiran primer tanah menjadi

butiran sekunder dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan ini

berpengaruh besar pada porositas, penyimpanan dan penyediaan air serta aerasi

dan temperatur tanah (Balittan, 2005). Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa

penggunaan pupuk organik seperti pupuk kandang, pupuk hijau dan limbah panen

dapat dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, disamping mengurangi penggunaan

pupuk N, P dan K dan meningkatkan efisiensinya (Karama, 1990 dalam Kariada

dan Aribawa, 2004).

Pupuk hijau merupakan tanaman atau bagian-bagian tanaman yang masih

muda terutama yang termasuk famili leguminosa, yang dibenamkan ke dalam

tanah dengan maksud agar meningkatkan tersediannya bahan-bahan organik dan

unsur-unsur hara bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang diusahakan

(23)

kedelai sayur organik dilakukan antara lain oleh Andriyani (2005), Kurniasih

(2006), Melati et al. (2008), dan Kurniansyah (2010).

Pemberian pupuk kandang selain dapat menambah tersedianya unsur hara,

juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Beberapa sifat fisik tanah yang dapat

dipengaruhi pupuk kandang antara lain kemantapan agregat, bobot volume, total

ruang pori, plastisitas dan daya pegang air (Soepardi, 1983). Pupuk kandang

adalah semua produk buangan dari binatang peliharaan yang digunakan untuk

menambah hara, memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah (Hartatik dan

Widiowati, 2005).

Komposisi Hara Pupuk Organik

1. Pupuk Kandang Ayam

Keunggulan yang dimiliki pupuk kandang ayam, antara lain pupuk

kandang ayam memiliki C/N rasio rendah dibandingkan dengan lainnya, sehingga

mudah terdekomposisi, selain itu pupuk kandang ayam memiliki kandungan

unsur hara lebih banyak dibandingkan pupuk kandang lainnya dalam jumlah unit

yang sama (Hartatik dan Widowati, 2005). Kandungan pupuk kandang ayam,

antara lain kadar air 57 %, bahan organik 29 %, N 1.5 %, P2O5 1.3 %, K2O 0.8 %,

CaO 4.0 % dan rasio C/N sebesar 9 (Hartatik dan Widowati, 2005).

Tabel 1. Kandungan Hara dari Pupuk Kandang Padat atau Segar

Sumber Pupuk

Sumber : Pinus Lingga (1991) dalam Hartatik dan Widowati (2005).

Kandungan hara yang terkandung dalam pupuk kandang ayam cukup

optimal memenuhi kebutuhan hara dan meningkatkan produksi kedelai. Barus

(2005); Melati dan Andriyani (2005); Sinaga (2005); Kurniasih (2006)

menunjukkan bahwa produksi kedelai sayur dengan perlakuan pupuk kandang

(24)

pupuk hijau. Sinaga (2005) juga menunjukkan bahwa dengan pemberian pupuk

kandang ayam 20 ton/ha meningkatkan jumlah polong isi/tanaman lebih besar 329

% dan 86 % berturut-turut lebih tingggi dibandingkan dengan pemberian

Calopogonium mucunoides dan Centrosema pubescens.

Kadar P dalam pupuk kandang ayam memiliki jumlah lebih tinggi 225 %

dibandingkan pupuk kandang kambing dan 550 % lebih banyak daripada pupuk

kandang sapi (Lingga, 1991 dalam Hartatik dan Widowati, 2005).

Melati et al. (2008) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang ayam dapat

meningkatkan ketersediaan P dalam tanah dan daun. Pada penelitian tersebut

pemberiaan pupuk kandang ayam dengan dosis 15 ton pupuk kandang ayam/ha

dapat meningkatkan produksi 4 kali lebih banyak dibandingkan tanaman tanpa

mendapatkan pupuk kandang.

2. Centrosema pubescens

Centrosema pubescens merupakan terna tahunan berkayu. Daun beranak

tiga; tiap anak daun berbentuk elips, bulat telur-memanjang atau bulat telur-lanset,

panjang 1-7 cm dan lebar 0.5-4.5 cm, dasar daun membulat, ujung daun

meruncing tajam, daun berwarna hijau tua, berambut; panjang tangkai daun

5.5 cm. Bunga dapat melakukan fertilisasi sendiri walau belum mekar

(cleistogamous), muncul dari tandan aksiler, tiap tandan mendukung 3 - 5 bunga,

terdapat 2 daun tangkai; daun kelopak berbentuk lonceng, berukuran 1.5-3 mm.

Buah kering polong, panjang 4-17 cm dan lebar 6-7 mm, pipih, ujung buah

meruncing, mengandung hingga 20 biji. Biji berbentuk kecil memanjang,

berukuran panjang 4-5 mm dan lebar 3-4 mm x 2 mm, berwarna coklat kehitaman

(Prohati, 2010).

Pupuk hijau lebih berpengaruh pada fase vegetatif dibandingkan dengan

generatif. Hal tersebut diduga karena tingginya kadar N dan rendahnya kadar hara

P dan K pada pupuk hijau dibandingkan dengan pupuk kandang (Barus, 2005;

Melati dan Andriyani, 2005, dan Sinaga, 2005). Hal ini ditunjukkan dengan hasil

analisis kandungan hara dalam Centrosema pubescens, yaitu 3.49 % N, 0.36 % P,

(25)

3. Tithonia diversifolia

Tithonia diversifolia adalah tumbuhan semak family Asteraceae yang

diduga berasal dari Meksiko. Tanaman ini dikenal sebagai gulma tahunan yang

banyak tumbuh sebagai semak di pinggir jalan, tebing, dan sekitar lahan

pertanian. Morfologi tanaman ini agak besar, bercabang sangat banyak, berbatang

lembut dan tumbuh sangat cepat (Jama et al., 2000). Ditambahkan oleh Hartatik

(2007) bahwa Tithonia difersifolia dapat tumbuh pada jenis tanah yang kurang

subur dan mudah dikembangbiakkan secara vegetatif dan generatif.

Tithonia diversifolia berpotensi sebagai sumber hara. Daun kering

Tithonia diversifolia mengandung 3.50 % N, 0.37 % P, dan 4.10 % K. Selain itu

Tithonia diversifolia juga dapat meningkatkan pH tanah, menurunkan Al-dd serta

kandungan P, Ca, dan Mg tanah (Hartatik, 2007). Tithonia diversifolia di Kenya

menghasilkan bahan kering sekitar 1 kg/m2/tahun dengan penanaman yang sebagai pagar dari dari petak-petak kebun. Oleh karena itu jika ditanam sepanjang

pagar 1.000 m/ha diakumulasi sekitar 35 kg N, 4 kg P dan 40 kg K, sehingga jika

ditanam pada 1/3 lahan per hektar dapat dihasilkan 90 kg N, 10 kg P dan 108 kg

K (Ng‟injaet al., 1998).

Kandungan hara pada Tithonia diversifolia memenuhi kebutuhan hara

tanaman selama pertumbuhan. Jama et al. (1999) menjelaskan bahwa tanaman

jagung yang dipupuk Tithonia diversifolia setara dengan 60 kg N/ha dapat

menghasilkan pipilan jagung kering 4 ton/ ha sedangkan yang dipupuk dengan

urea 60 kg N/ha hanya 3.7 ton/ha. Kurniansyah (2010) juga menjelaskan bahwa

produksi kedelai panen kering dengan aplikasi Tithonia diversifolia mempunyai

produksi tertinggi dibandingkan yang mendapat Centrosema pubescens dan pupuk

kandang ayam, berturut-turut 1.48, 1.13, 1.16 ton/ha.

Residu Pupuk Organik

Pengaruh pemberian pupuk kandang umumnya terlihat pada musim tanam

ke dua (residu). Pemberian pupuk kandang ayam sebesar 2 ton/ha dengan kadar

N, P2O5, dan K sebesar berturut-turut 0.76 %, 14.13 %, dan 0.15 % pada lahan

kering di Pleihari-Kalimantan Selatan meningkatkan produksi biji kering pipilan

(26)

bahwa dengan aplikasi pupuk kandang ayam sebesar 2 ton/ha meningkatkan

produksi jagung sebanyak 6 % pada musim pertama dan 40 % pada musim

kedua. Hal yang sama juga ditunjukkan Melati et al. (2008) bahwa pupuk organik,

kombinasi dan residunya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hara tanah

untuk produksi kedelai panen muda. Jumlah dan bobot polong pada pupuk hijau

(27)

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Darmaga,

Bogor. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Oktober 2010 sampai Februari 2011.

Analisis tanah dan hara dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Departemen

Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas

Anjasmoro dan Wilis. Kebutuhan benih Anjasmoro dan Wilis per hektar yaitu

berturut-turut 41.25 dan 27.5 kg untuk populasi 250 000 tanaman. Kedelai

varietas Anjasmoro mewakili kedelai jenis biji besar dan Wilis biji kecil.

Pupuk organik yang diaplikasikan adalah jenis pupuk kandang dan pupuk

hijau. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang ayam, Centrosema

pubescens, dan Tithonia diversifolia, arang sekam, dan dolomit.

Pengendalian hama dan penyakit dalam budidaya kedelai organik

memanfaatkan bahan dasar alam. Pestisida nabati yang digunakan adalah serai,

tagetes (Tagetes erecta), dan Tithonia diversifolia. Sereh selain sebagai

pengendali OPT juga dimanfaatkan untuk bahan dasar pestisida nabati.

Pemanfaatan jerami diperlukan untuk mengurangi serangan lalat biji.

Metode Penelitian

Perlakuan dengan dua faktor yaitu pupuk organik dan varietas. Pupuk yang

digunakan adalah pupuk kandang ayam sebanyak 10 ton/ha, Centrosema

pubescens, dan Tithonia diversifolia masing-masing 1.75 ton/ha. Petak yang

mendapat perlakuan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia ditambah

dengan pupuk kandang ayam sebanyak 5 ton/ha untuk membantu dekomposisi,

serta 1 ton arang sekam/ha, dan 1 ton dolomit/ha sebagai pupuk dasar. Pada

perlakuan pupuk kandang ayam juga ditambahkan 1 ton arang sekam/ha,

(28)

digunakan yaitu Wilis dan Anjasmoro. Penelitian ini menggunakan Rancangan

Petak Terbagi (Split Plot) dengan dua faktor yakni pupuk organik dan varietas

kedelai. Pupuk organik sebagai petak utama dan varietas sebagai anak petak.

Model rancangan yang digunakan adalah:

Yijk= µ + αi+ €k+ ik+ βj+ (αβ)ij+ ijk

Keterangan :

Yijk : nilai pengamatan pada perlakuan petak utama ke-i, anak petak ke-j dan

ulangan ke-k

µ : nilai rata-rata umum

αi : pengaruh perlakuan pemupukan pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3) €k : pengaruh ulangan ke-k (k = 1, 2, 3)

ik : galat petak utama

βj : pengaruh perlakuan varietas pada taraf ke-j (j = 1, 2)

(αβ)ij : pengaruh interaksi antara pemupukan ke-i dengan variets ke-j

ijk : pengaruh galat karena pengaruh pemupukan taraf ke-i dan varietas ke-j

pada ulangan ke-k

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berbeda nyata

akan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf

kesalahan 5%.

Pelaksanaan

Persiapan Media Tanam

Jumlah petakan yang digunakan selama penelitian sebanyak 18 buah.

Ukuran masing-masing anak petak yaitu 2 m x 4 m. Pupuk diberikan dengan cara

dialur pada lokasi lubang tanam pada setiap anak petak. Hal tersebut dilakukan

agar tepat sasaran yaitu untuk memenuhi kebutuhan hara kedelai atau

meminimalkan hara dipergunakan oleh gulma.

Bahan pupuk hijau berasal dari lokasi yang dekat dari penanaman kedelai.

Tithonia diversifolia tersedia di daerah sekitar lokasi penanaman kedelai, karena

sesuai habitatnya yang tergolong gulma. Centrosema pubescens didapatkan dari

hasil penanaman menjelang akhir musim pertama, pada lahan yang berbeda dan

(29)

adalah benih Centrosema pubescens sebanyak 25 kg/ha hanya dapat

menghasilkan biomassa rata-rata sebanyak 6.30 kg bobot basah/18 m2 atau sekitar 3.50 ton bobot basah/ha. Hasil biomassa tersebut menjadi dasar penentuan dosis

pupuk hijau yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 1.75 ton/ha

(50% dari musim tanam sebelumnya).

Petak yang mendapat perlakuan Centrosema pubescens dan Tithonia

diversifolia ditambah dengan pupuk kandang ayam sebanyak 5 ton/ha untuk

membantu dekomposisi, serta 1 ton arang sekam/ha, dan 1 ton dolomit/ha sebagai

pupuk dasar. Lahan dengan perlakuan pupuk kandang ayam diberikan sebanyak

10 ton/ha, juga ditambah 1 ton arang sekam/ha, dan 1 ton dolomit/ha untuk

membantu dekomposisi.

Tabel 2. Perbandingan Perlakuan Dosis Pupuk Organik dan Varietas pada

Musim Tanam 1 dan Musim Tanam 2

Aplikasi Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia dilakukan 4

minggu sebelum tanam, sedangkan aplikasi pupuk kandang ayam dilakukan 2

minggu sebelum tanam kedelai. Aplikasi Centrosema pubescens dan Tithonia

(30)

lama dibandingkan pupuk kandang ayam. Setelah diletakkan di dalam alur, pupuk

hijau dan bahan tambahannya dicampur merata, kemudian ditutup kembali dengan

lapisan tanah tipis.

Analisis Tanah

Pengambilan tanah untuk dianalisis dilakukan sebanyak dua kali, yaitu

sebelum penanaman dan sesudah panen. Teknik pengambilannya yaitu diambil

dari tiga titik dalam setiap anak petak atau perlakuan secara komposit dari tiga

ulangan.

Penanaman

Penanaman dilakukan pada alur pupuk setelah 4 atau 2 minggu dari

aplikasi pupuk organik. Rhizobium ditambahkan pada benih sebelum ditanam,

dengan dosis 50 g/8 kg kedelai. Jarak tanam yang digunakan yaitu 40 cm x 10 cm

(2 benih per lubang) dan dicapai populasi kedelai per hektar yaitu 250 000

(setelah dijarangkan).

Pemeliharaan

Pemeliharaan yang dilakukan meliputi pemeliharaan serai dan penanaman

tagetes sebagai pengendali OPT, penyiangan gulma, serta pengendalian hama dan

penyakit. Kategori penyiangan gulma dibedakan menjadi dua, yaitu pra tanam

(setelah aplikasi pupuk hijau atau 4 minggu dari penanaman kedelai) dan pasca

tanam. Penyiangan gulma pra tanam dilakukan dua minggu sekali sedangkan

pasca tanam satu minggu sekali. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara

manual dan semi mekanik (kored).

Pengendalian hama selama penelitian menggunakan jenis pestisida hayati

berbahan serai dan Tithonia diversifolia. Pemilihan bahan-bahan tersebut

didasarkan pada penelitian sebelumnya dan mencoba menciptakan paduan

pestisida hayati yang baru.

Tanaman serai pada penelitian ini merupakan lanjutan dari penanaman

musim tanam pertama. Pemeliharaan serai dilakukan secara rutin dua minggu

(31)

minggu sebelum penanaman melalui bibit. Tagetes ditanam di tengah-tengah

antara dua anak petak pada petak utama. Jumlah tagetes yang ditanam dalam tiap

petak utama yaitu delapan tanaman. Jarak tanam yang dipakai disesuaikan ± 50

cm, hal ini sesuai dengan yang diterapkan pada penelitian sebelumnya

(Kusheryani dan Aziz, 2006).

Pemanenan

Pemanenan dilakukan setelah masak fisiologis, dicirikan dengan daun,

batang, dan polong sudah menguning atau kering (Ristek, 2010). Pemanenan

dilakukan pada 13 MST, setelah polong terisi penuh dan mengeras atau 95% telah

matang (berwarna kuning kecoklatan-kehitaman) (stadia R8).

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada 10 tanaman contoh dari setiap petak

percobaan.

a. Pengamatan vegetatif

 Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai dengan titik tumbuh,

dilakukan tiap minggu mulai dari 2 MST.

 Jumlah daun trifoliate yang dihitung adalah daun yang telah terbentuk

secara sempurna (terbuka), dilakukan tiap minggu mulai dari 2 MST.

 Bobot tanaman (bobot basah dan kering) dari 4 tanaman pinggir pada 7

MST.

 Analisis daun (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, Fe, Mn) kedelai pada 7 MST.  Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit tanaman dilakukan setiap

minggu dengan memperhatikan bagian tanaman yang terserang (Tabel 3)

serta metode pengamatannya membentuk huruf Z.

Tabel 3. Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit

Skor Keterangan

0 Tidak ada serangan

(32)

Skor Keterangan

4 Bagian tanaman yang terserang >50%-75% 5 Bagian tanaman yang terserang >75%

Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit dapat dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :

IP = n.vi k i =0

NV x 100%

Keterangan :

IP = Intensitas serangan hama atau keparahan penyakit.

n = Jumlah tanaman yang mempunyai skor serangan ke-i.

vi = Skor tanaman 0, 1, 2, 3, 4, 5.

V = Skor tanaman tertinggi.

N = Jumlah seluruh sampel tanaman yang diamati.

b. Pengamatan Komponen Produksi (saat panen)

 Jumlah tanaman yang dipanen (petak bersih dan petak pinggir)  Jumlah cabang per tanaman

 Jumlah buku produktif per tanaman  Jumlah polong isi per tanaman  Jumlah polong hampa per tanaman  Bobot kering 100 biji (g)

 Analisis hara biji (N, P, K, Fe, Zn) setelah panen  Kadar air biji (%)

(33)

Kondisi Umum

Tipe Tanah Cikarawang, Kecamatan Darmaga

Penelitian ini dilakukan di daerah Cikarawang, Darmaga, Bogor. Jenis

tanah di wilayah tersebut yaitu latosol-inceptisol (Nursyamsi dan Suprihati, 2005).

Menurut Buringh (1983); Darmawijaya (1980) dalam Nuryani et al. (2006), tanah

latosol yang kaya seskuiosksida, miskin unsur-unsur kimia dengan sifat kimia

yang baik. Ciri lainnya adalah mineral lempung tipe 1:1 dari golongan kaolinit,

dan haloisit, mempunyai kapasitas pertukaran kation rendah, kejenuhan kation

rendah (kurang dari 35%) dan kadar bahan terlarut juga rendah karena adanya

proses pelapukan dan pelindian yang telah berjalan lanjut.

Tipe tanah di daerah Cikarawang, Darmaga berdasarkan analisis tanah

yang dilakukan bertekstur liat. Menurut Soepardi (1983), tanah yang digolongkan

sebagai liat mengandung paling sedikit (35 % separat liat) dan biasanya lebih

dari (40 %). Hasil dari analisis tanah, yaitu persentase kadar pasir, debu, liat

masing-masing adalah 8.51 %, 19.55 %, dan 71.95 %. Nilai Kapasitas Tukar

Kation (KTK) yaitu 21.18 me/100g. Nilai KTK bertambah seiring dengan tingkat

kehalusan tekstur tanah. Tanah bertekstur halus mengandung lebih banyak liat dan

juga mengandung banyak humus.

Data Cuaca selama Pertumbuhan Kedelai

Faktor abiotik berpengaruh terhadap pertumbuhan kedelai, salah satunya

yaitu cuaca. Kondisi temperatur selama fase vegetatif pada penelitian ini, yaitu

rata-rata 24.19 ºC dan fase generatif yaitu 24.85 ºC (Lampiran 1). Suhu ini

menunjang pertumbuhan kedelai karena berdasarkan Ristek (2010), suhu

optimum pertumbuhan kedelai yaitu 23-27 ºC. Curah hujan rata-rata per bulan

yaitu 275.13 mm (Lampiran 1). Kondisi ini masih dalam rentang syarat tumbuh

kedelai (Ristek, 2010), yaitu 100-400 mm/bulan.

Tingkat curah hujan pada fase vegetatif lebih banyak dibandingkan fase

(34)

dalam penelitian ini, kebutuhan air tercukupi, sehingga pertumbuhan vegetatif

optimal. Memasuki fase generatif (7-8 MST) curah hujan menurun, sehingga

kerontokan bunga diduga berkurang, selain itu fotosintesis juga lebih optimal

pada saat pengisian polong.

Gambar 1. Kondisi cuaca selama percobaan yaitu curah hujan (a), intensitas sinar matahari (b), dan kecepatan angin (c)

Curah hujan pada musim tanam pertama lebih rendah dibandingkan

(35)

menjadi faktor pembatas selama pertumbuhan kedelai pada percobaan (musim

tanam 2) (Gambar 1 a). Hal tersebut dikarenakan curah hujan merata tiap MST,

kecuali 1 MST yang berpengaruh pada daya tumbuh. Curah hujan pada penelitian

ini cukup memadai, karena berdasarkan Van Doren and Recosky (1987) dalam

Sumarno dan Manshuri (2007), kebutuhan air pada kedelai yang dipanen umur

100-190 hari yaitu 4.5 mm per hari atau sekitar 31.5 mm per MST. Lampiran 1

menunjukkan bahwa rata-rata kondisi curah hujan pada tiap MST lebih dari 31.5

mm per MST sehingga air sebagai salah satu syarat tumbuh pertumbuhan kedelai

pada penelitian ini terpenuhi.

Air menjadi faktor pembatas daya tumbuh kedelai pada 1 MST yang hanya

sebesar 64 %. Hal tersebut ditunjukkan pada Lampiran 1, curah hujan pada satu

MST lebih rendah dibandingkan waktu-waktu lainnya, karena terhambatnya

proses imbibisi benih, maka daya kecambah kedelai rendah. Selain itu, adanya

serangan cendawan Asperigullus flavus yang menyebabkan benih busuk atau mati.

Daya tumbuh kedelai mengalami peningkatan menjadi 94% setelah dilakukan

penyulaman. Peningkatan tersebut salah satunya dipengaruhi ketersediaan air

tercukupi karena adanya kenaikan intensitas curah hujan pada 2 MST

(Gambar 1a).

Masa mulai berbunga pada penelitian ini mengalami kemunduran 1 MST

dibandingkan Andriyani (2005) dan 2 MST jika dibandingkan Kurniasih (2006),

sehingga masa panen pada penelitian ini juga mengalami kemunduran satu

minggu lebih lama (13 MST) jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Andriyani (2005). Kemunduran masa panen tersebut diduga karena

perbedaan kondisi cuaca. Curah hujan pada percobaan ini lebih tinggi daripada

saat percobaan Andriyani (2005) dan Kurniasih (2006), sehingga pertumbuhan

vegetatif tanaman lebih baik dan memasuki fase generatif lebih lambat. Sebagai

akibatnya, umur panen juga lebih panjang dibandingkan kedua penelitian tersebut.

Kedelai termasuk tanaman golongan strata A, yang memerlukan

penyinaran matahari secara penuh. Faktor yang mempengaruhi efisiensi

penerimaan dan pemanfaatan energi sinar matahari, antara lain total luasan daun,

kandungan N dalam sel daun, status air dalam sel daun, suhu dan kandungan CO2

(36)

Tingkat intensitas matahari pada musim tanam (MT) 1 lebih tinggi dibandingkan

MT 2 (Gambar 1b). Intensitas matahari pada fase vegetatif MT 1 lebih tinggi

20.05 % dibandingkan MT 2, dan 7.69 % pada fase generatif lebih besar daripada

MT 2.

Tingkat kecepatan angin pada musim tanam (MT) 2 lebih tinggi

dibandingkan musim tanam 1. Kondisi ini menyebabkan varietas kedelai, baik

Wilis maupun Anjasmoro mengalami rebah. Tingkat kecepatan angin mulai

meningkat pada 7-12 MST (Gambar 1c). Masa-masa tersebut (7 MST) morfologi

kedelai memasuki fase generatif, sehingga faktor kerebahan diduga berdampak

pada penghambatan pembungaan serta penyebab terjadinya etiolasi.

Organisme penggangu tanaman merupakan faktor biotik yang

mempengaruhi produksi kedelai. Jenis hama yang menggangu selama

pertumbuhan kedelai, antara lain ulat api (Setora nitens), lalat pucuk

(Melanagromiza dolicostigma), belalang (Valanga sp. dan Nympahea sp.), kepik

polong (Riptortus linearis), dan rayap (Macrotermes gilvus). Jenis penyakit yang

menyerang tanaman kedelai dalam penelitian ini, yaitu karat daun. Organisme

pengganggu tanaman, jenis gulma yang dominan yaitu teki dan gulma daun lebar.

Kandungan Hara pada Pupuk Organik (Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam, dan Tithonia diversifolia)

Analisis kandungan hara makro dan mikro dilakukan pada tiga jenis pupuk

organik (Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam, dan Tithonia diversifolia)

yang digunakan. Tabel 4 menunjukkan bahwa kandungan C, N, P dari Tithonia

diversifolia tertinggi di antara dua jenis pupuk organik lainnya, yaitu 54.88; 3.64;

0.34 %. Dibandingkan dengan pupuk kandang ayam, kandungan hara C dari

Tithonia diversifolia lebih besar 143.6 %. Hara N dan P Tithonia diversifolia juga

lebih besar berturut-turut 766.7 dan 61.9 % dibandingkan pupuk kandang ayam.

Hal yang berbeda pada unsur hara K, pupuk kandang ayam lebih tinggi sebesar

23.08 % dan 14.29 % dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia

(37)

Tabel 4. Hasil Analisis Kandungan Hara dalam Tiga Jenis Pupuk Organik

Pengomposan adalah dekomposisi bahan organik segar menjadi bahan

yang menyerupai humus (C/N mendekati 10). Faktor yang mempengaruhi

pengomposan, antara lain kelembaban, sirkulasi udara, penghalusan dan

pencampuran bahan, nisbah C/N, nilai pH, dan suhu (Sutanto, 2002). Temperatur

dan curah hujan (Lampiran 1) selama satu bulan (Oktober) cukup mendukung

proses dekomposisi dengan metode penimbunan, yaitu berturut-turut 23.51 ºC dan

18.39 mm/hari. Sutanto (2002) menjelaskan bahwa pH tanah sebagai syarat

optimum dekomposisi yaitu 5.0-8.0, sehinggga pH 6.57 (pada tanah penelitian)

masih dalam rentang tersebut. Adanya proses pencacahan pada bahan pupuk hijau

(Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia) menunjang untuk mempercepat

proses pengomposan.

Dilihat dari nisbah C/N, Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam,

Tithonia diversifolia, masing-masing 18.25, 53.64, dan 15.08 (Tabel 4). Nisbah

C/N merupakan indikator yang menunjukkan tingkat dekomposisi dari bahan

organik (Indranada, 1989). Nisbah C/N dari bahan kompos yang optimal yaitu

20-35. Pupuk kandang ayam yang digunakan untuk bahan dasar kompos memiliki

nisbah C/N besar, yaitu 53.64. Nisbah C/N pupuk kandang ayam ini tergolong

lebih tinggi dibandingkan Hartatik dan Widowati (2005), perbedaannya mencapai

387.6 %. Perbedaan yang signifikan tersebut diduga karena faktor sejarah pupuk Jenis Pupuk Organik Nisbah C/N

Centrosema pubescens 18.25

Pupuk kandang ayam 53.64

(38)

kandang ayam yang digunakan. Bahan pupuk kandang ayam yang digunakan

dalam penelitian ini merupakan pupuk organik tersimpan di gudang kebun sejak

musim tanam pertama, sehingga diduga N dalam pupuk kandang ayam berkurang

karena penguapan atau melalui denitrifikasi. Dugaan tersebut ditunjang oleh

penjelasan Soepardi (1983) bahwa adanya pelapukan aerob dan anaerob

menyebabkan kehilangan nitrogen yang cepat dalam bentuk amonia, nitrat, dan

gas nitrogen. Tidak adanya kegiatan preventif untuk mengurangi kehilangan

nitrogen dengan cara memadatkan dan membasahkan diduga mempengaruhi

kehilangan N secara cepat. Hal tersebut ditunjang dengan data analisis kandungan

hara makro pada penelitian musim pertama yang dilakukan oleh Kurniansyah

(2010) bahwa kadar N pupuk kandang mencapai 1.14 % atau lebih besar 171.4 %

dibandingkan musim tanam kedua (penelitian ini). Nisbah C/N yang tinggi pada

pupuk kandang ayam dalam penelitian ini mungkin tidak diartikan terjadinya

penghambatan proses dekomposisi tetapi karena terbatasnya jumlah nitrogen.

Sumbangan Hara Potensial

Sumbangan hara potensial didapatkan dari perhitungan perkalian antara

sumber hara dari kadar unsur hara makro (%) tiga jenis pupuk organik (Tabel 4)

dan bobot kering dan jumlah dosis pupuk organik yang digunakan (ton/ha). Hasil

tersebut merupakan dugaan karena adanya pengaruh faktor lingkungan berupa

pencucian dan denitrifikasi yang mempengaruhi kandungan hara sumbangan

potensial.

Tabel 5 menunjukkan bahwa sumbangan hara P dan K potensial tertinggi

yaitu dari perlakuan 10 ton pupuk kandang ayam sebesar 9.03 kg/ha

dan 27.52 kg/ha. Unsur P ini lebih besar 31.3 % dibandingkan Centrosema

pubescens dan 33.6 % dari Tithonia diversifolia. Kandungan K pada sumbangan

hara potensial pupuk kandang ayam juga lebih besar 57.3 dan 57.6 %

berturut-turut dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia. Hal yang

sebaliknya terjadi pada kandungan unsur N, pupuk kandang ayam memiliki hara

N nilai terendah dibandingkan perlakuan 1.75 ton Centrosema pubescens + 5 ton

pupuk kandang ayam dan 1.75 ton Tithonia diversifolia + 5 ton pupuk kandang

(39)

atas lebih besar berturut-turut 67.99 dan 83.33 % dibandingkan pupuk kandang

ayam.

Tabel 5. Sumbangan Unsur Hara Tiga Jenis Pupuk Organik per hektar

Pupuk Kandungan Hara (kg)

N P K

1.75 ton Centrosema pubescens + 5 ton pupuk kandang ayam 30.34 6.88 17.49

10 ton Pupuk kandang ayam 18.06 9.03 27.52

1.75 ton Tithonia diversifolia +5 ton pupuk kandang ayam 33.11 6.76 17.46

Kandungan Hara dari Analisis Tanah sebelum Tanam

Analisis tanah bersifat kualitatif dan kuantitatif. Analisa kualitatif

dijabarkan dengan variable dan kuantitatif melalui angka (Notohadiprawiro,

2006). Berdasarkan hasil analisis tanah awal penelitian dapat diketahui bahwa pH

tanah netral agak masam, yaitu 6.57.

Kandungan hara makro dan mikro dalam analisis tanah nilainya beragam

dan pada umumnya sedang. Berdasarkan rentan klasifikasi kriteria penilaian hasil

analisis tanah Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994), kandungan

C-organik tergolong sedang (2.74 %). Balittan (2006) menambahkan nilai C-C-organik

tersebut cukup memenuhi syarat tanah guna memperoleh produktivitas yang

optimal, karena jumlahnya > 2.5 %.

Nilai P sebesar 58.40 ppm dan unsur makro lainnya, antara lain Ca, Mg,

K, Na, masing-masing 8.93; 4.01; 0.53; 0.98 me/100g. Berdasarkan rentang

klasifikasi kriteria penilaian hasil analisis tanah Pusat Penelitian Tanah dan

Agroklimat (1994) (Lampiran 3), nilai Ca dan Mg tersebut tergolong sedang,

unsur K rendah sedangkan Na termasuk tinggi. Kadar mikro Fe, Cu, Zn, Mn

berturut-turut 19.78; 0.59; 3.13; 11.86 ppm (Tabel 3). Berdasarkan Pusat

Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994) (Lampiran 3), diantara unsur mikro

(40)

Perbandingan Hasil Analisis Kandungan Hara Tanah setelah Musim Tanam (MT) 1 dan MT 2

Perbandingan kandungan hara musim tanam dua dengan musim tanam satu bertujuan untuk mengetahui status hara tanah

setelah adanya aplikasi pupuk organik pada masing-masingnya (Tabel 6).

Tabel 6. Perbandingan Hasil Analisis Hara setelah Musim Tanam (MT) 1 dan MT 2

Perlakuan C-org N-Tot P (Bray I) Ca Mg K Na Fe Cu Zn Mn

...%... ppm ...me/100g... ...ppm... Hasil Analisis Hara setelah Panen Kedelai Musim Pertama

CA 1.57 (R) 0.15 (R) 11.57 (R) 11.67 2.61 0.91(R) 0.63 1.24 0.35 0.24 10.76 Hasil Analisis Hara sebelum Tanam MT 2 (setelah Aplikasi Pupuk Organik)

CA 1.83(S) 0.17(S) 77.0(T) 9.10 4.08 0.42(R) 0.65 17.82 0.64 4.36 15.20 Hasil Analisis Hara setelah Panen Kedelai Musim Kedua

CA 2.07(R) 0.18(R) 8.70(R) 6.60 2.73 0.98(R) 1.01 0.56 0.08 1.95 32.65

Keterangan : CA (Centrosema pubescens + Varietas Anjasmoro) TA (Tithonia diversifolia +Varietas Anjasmoro) CW (Centrosema pubescens + Varietas Wilis) TW (Tithonia diversifolia +Varietas Wilis) PA (Pupuk kandang ayam + Varietas Anjasmoro) PW (Pupuk kandang ayam + Varietas Wilis) (R) = rendah; (S) = sedang; (ST) = sangat tinggi; Sumber : (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994)

(41)

Unsur hara makro (C-org, N, P, Mg) umumya mengalami kenaikan dalam

tanah yang mendapat Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam, dan Tithonia

diversifolia (Tabel 6). Hal yang sama juga dilaporkan Kariada dan Aribawa

(2004) bahwa adanya penambahan pupuk organik dapat meningkatkan C-organik

tanah.

Tabel 6 menunjukkan bahwa kadar N musim tanam 2 pada lahan yang

mendapat pupuk kandang ayam lebih tinggi 18.18 % dibandingkan yang

mendapatkan Centrosema pubescens, dan lebih besar 13.04 % daripada dengan

Tithonia diversifolia. Kadar N tanah mengalami peningkatan setelah aplikasi

pupuk organik. Peningkatan kadar N tertinggi yaitu pada tanah dengan pemberian

jenis pupuk kandang ayam. Hakim et al. (1986) dalam Kariada dan Aribawa

(2004) mengemukakan bahwa dekomposisi bahan organik akan menghasilkan

senyawa yang mengandung N, di antaranya amonium, nitrit, nitrat, dan gas

nitrogen. Hasil penelitian yang sama dikemukakan oleh Hairunsyah (1991),

Raihan dan Nurtirtayani (2001) dalam Kariada dan Aribawa (2009) yang

melaporkan bahwa kandungan N-total tanah mengalami peningkatan dengan

pemberian pupuk organik.

Kandungan P meningkat tajam selama proses dekomposisi. Peningkatan

ketersediaan P tanah disebabkan oleh penguraian mikrobiologis dari pupuk

organik yang diberikan oleh mikroba tanah yang melibatkan proses enzimatik,

dimana P organik akan dibebaskan menjadi fosfat anorganik sehingga tersedia

dalam tanah (Hairunsyah, 1991; Raihan dan Nurtirtayani, 2001 dalam Kariada

dan Aribawa, 2004). Kadar P tersedia dalam tanah yang diberi pupuk kandang

ayam lebih tinggi 57.18 % dibandingkan Centrosema pubescens dan 100.37 %

daripada Tithonia diversifolia.

Tabel 6 juga menunjukkan bahwa kandungan N pada pupuk kandang

ayam kontinyu tersedia selama periode pertumbuhan kedelai, hal tersebut terlihat

dari residu hara setelah panen MT 1 yang tidak berbeda jauh dari data analisis

tanah setelah aplikasi. Pupuk kandang ayam memiliki jumlah kandungan hara N

tersisa ditanah (analisis setelah panen MT 2) lebih tinggi sebesar 22.2 dan 29.4 %

berturut-turut dibandingkan dengan Centrosema pubescens dan Tithonia

(42)

sehingga menekan kehilangan N melalui penguapan, pencucian, maupun

denitrifikasi. Hal tersebut mengindikasikan sumbangan hara (residu) relatif

banyak untuk musim tanam berikutnya.

Data pada Tabel 6 menunjukkan residu P dan K terbanyak dari musim

tanam sebelumnya yaitu berasal dari pupuk kandang ayam. Tanah dengan

perlakuan pupuk kandang memiliki kandungan hara P lebih tinggi 65.5 %

dibandingkan perlakuan C. pubescens dan 90.3 % daripada tanah yang mendapat

T. diversifolia. Selain itu residu K dari penambahan pupuk kandang ayam juga

lebih tinggi berturut-turut 17.8 dan 9.4 % dibandingkan C. pubescens dan

T. diversifolia. Hal tersebut mengindikatorkan bahwa K dan P dari pupuk kandang

ayam terdekomposisi hingga tersedia secara bertahap dalam tiap musim

tanamnya.

Fase Vegetatif dan Generatif

Fase vegetatif dimulai sejak tanaman tumbuh dan umumnya dicirikan oleh

banyaknya buku pada batang utama yang telah memiliki daun terbuka penuh. Fase

berakhir jika fase generatif dimulai, yaitu dengan munculnya bunga dan diakhiri

jika 95 % polong telah matang (Fehr dan Caviness, 1977 dalam Adie dan

Krisnawati 2007). Fase perkecambahan kedelai varietas Wilis dan Anjasmoro

dimulai 3-4 Hari Setelah Tanam (HST). Fase generatif, mulai saat berbunga pada

7 Minggu Setelah Tanam (MST). Selanjutnya pembentukan polong terjadi

pada 7-8 MST, polong terisi penuh pada 10-11 MST dan mengeras pada 12-13

MST. Umur tanaman tersebut berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya,

terjadi kemunduran waktu lebih lama ± 1-2 minggu. Perbedaan waktu diduga

karena perbedaan perlakuan dan kondisi lingkungan (curah hujan dan temperatur).

Fase generatif penelitian kali ini masuk dalam musim penghujan, dengan

intensitas curah hujan tinggi (39.33 mm/MST atau 275.13 mm/bulan), intensitas

matahari (1716.5 cal/cm2/menit2) dan suhu rendah (24.85 ºC) (Lampiran 1). Kondisi tersebut tergolong optimal menunjang fase generatif. Hal tersebut sesuai

dengan Irwan (2006) yang melaporkan bahwa suhu optimal pembungaan

yaitu 24-25 ºC. Sumarno dan Manshuri (2007) juga menyebutkan bahwa

(43)

Hasil

Tabel 7 menunjukkan bahwa kombinasi jenis pupuk organik dengan

varietas tidak berpengaruh nyata terhadap komponen vegetatif maupun generatif.

Jenis pupuk organik umumnya tidak berpengaruh nyata terhadap komponen

vegetatif dan generatif, bobot basah bintil akar, jumlah buku produktif, dan

jumlah cabang. Varietas umumnya berbeda nyata pada komponen vegetatif dan

generatif.

Tabel 7. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada perlakuan Jenis Pupuk Organik serta

Gambar

Tabel 2. Perbandingan Perlakuan Dosis Pupuk Organik dan Varietas pada
Gambar 1. Kondisi cuaca selama percobaan yaitu curah hujan (a), intensitas sinar
Tabel 6. Perbandingan Hasil Analisis Hara setelah Musim Tanam (MT) 1 dan MT 2
Tabel 7. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

merekam setiap peristiwa dan kegiatan yang dilakukan selama tindakan berlangsung. Adapun hal-hal yang dapat diteliti dengan teknik ini diantaranya aktivitas siswa,

Next, the local community from Bandar Penggaram, Batu Pahat had exposed me to a wide spectrum of opinion and advice on topics like public market scenario, user preference,

penting dalam meningkatkan kemampuan profesionalisme guru. supervisi yang baik harus mampu membuat guru semakin kompeten. Kepala madrasah harus memiliki kemampuan

Hasil pengujian menunjukkan bahwa keaktifan komite audit dengan menggunakan ukuran tingkat kehadiran rapat hanya berpengaruh terhadap akrual negatif.. Pengaruh tersebut

Bursa Indonesia hari ini diperkirakan akan mengalami technical rebound dengan saham-saham blue chip akan yang akan menjadi motornya, indeks EIDO menguat 5,3% yang dapat

[r]

Pada dasarnya Buddhisme adalah tentang terus bertumbuh dan membuat dirimu menjadi orang yang lebih baik dan berfokus pada apa yang Anda mau pada diri Anda dan dunia, dan

Untuk mengetahui apakah perubahan opini audit mempengaruhi reaksi pasar. Untuk mengetahui apakah perubahan laba mempengaruhi