• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Permintaan Kereta Rel Listrik Commuter Line bagi Kalangan Pekerja Tahun 2011-2013 (Studi Kasus: Stasiun Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Permintaan Kereta Rel Listrik Commuter Line bagi Kalangan Pekerja Tahun 2011-2013 (Studi Kasus: Stasiun Bogor)"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERMINTAAN KERETA REL LISTRIK

COMMUTER

LINE

JABODETABEK BAGI KALANGAN PEKERJA

TAHUN 2011-2013 (STUDI KASUS: STASIUN BOGOR)

TAMIYAH ALATAS

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Permintaan Kereta Rel Listrik Commuter Line Jabodetabek bagi Kalangan Pekerja Tahun 2011-2013 (Studi Kasus: Stasiun Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

Tamiyah Alatas

(4)

ABSTRAK

TAMIYAH ALATAS. Analisis Permintaan Kereta Rel Listrik Commuter Line

Jabodetabek bagi Kalangan Pekerja Tahun 2011-2013 (Studi Kasus: Stasiun Bogor). Dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A.

Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line merupakan salahsatu transportasi masal yang beroperasi di DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Pekerja adalah pengguna terbanyak jasa transportasi ini. Stasiun Bogor merupakan stasiun dengan jumlah penumpang KRL Commuter Line

terbanyak di Jabodetabek. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi karakteristik penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor dan faktor-faktor yang memengaruhi permintaannya. Karakteristik penumpang kalangan pekerja diterangkan dari segi pendapatan, jenis pekerjaan, tujuan penggunaan, usia, tingkat pendidikan terakhir, dan jumlah permintaan KRL

Commuter Line. Hasil regresi berganda menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R2) sebesar 0.885522 yang berarti 88.55% keragaman dari permintaan KRL Commuter Line Jabodetabek bagi kalangan pekerja di Stasiun Bogor diterangkan oleh variabel pendapatan, tujuan penggunaan, usia, dan tingkat pendidikan terakhir. Faktor yang memengaruhi permintaan KRL Commuter Line

secara signifikan yaitu usia dan tujuan penggunaan.

Kata kunci: KRL Commuter Line, pekerja, permintaan, Stasiun Bogor

ABSTRACT

TAMIYAH ALATAS. Analysis of Workers Demand for Jabodetabek Commuter Line Electric Train in period 2011-2013 (Study Case: Bogor Station). Supervised by MUHAMMAD FINDI A.

Commuter Line Electric Train (Kereta Rel Listrik/KRL Commuter Line) is one of the public mass transportation that operates through DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi (Jabodetabek). Most passengers of this this transportation are workers. Bogor Station has the largest number of passengers for Commuter Line Electric Train in Jabodetabek. This study aims to identify the characteristic of Commuter Line Electric Train passengers in Bogor Station which are workers and factors influencing their demand for Commuter Line Electric Train. The characteristics are explained by their income, profession, purpose of using Commuter Line Electric Train, age, education degree, and demand number for Commuter Line Electric Train. Through a multiple linear regression process, the result shows that 88.55% variety of demand for Commuter Line Electric Train are explained by income, purpose of using Commuter Line Electric Train, age, and education degree variable. Factors significantly influencing demand for Commuter Line Electric Train are age and purpose of using Commuter Line Electric Train.

(5)

Skripsi

sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

ANALISIS PERMINTAAN KERETA REL LISTRIK

COMMUTER

LINE

JABODETABEK BAGI KALANGAN PEKERJA

TAHUN 2011-2013 (STUDI KASUS: STASIUN BOGOR)

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

(6)
(7)

Judul Skripsi : Analisis Permintaan Kereta Rel Listrik Commuter Line bagi Kalangan Pekerja Tahun 2011-2013 (Studi Kasus: Stasiun Bogor) Nama : Tamiyah Alatas

NIM : H14090065

Disetujui oleh

Dr. Muhammad Findi A, M.E. Pembimbing

Diketahui oleh

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah permintaan, dengan judul Analisis Permintaan Kereta Rel Listrik Commuter Line

bagi Kalangan Pekerja Tahun 2011-2013 (Studi Kasus: Stasiun Bogor).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Muhammad Findi A, M.E. selaku pembimbing, Dr. Sahara selaku penguji utama, dan Ranti Wiliasih, M.Si selaku penguji komisi pendidikan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada P.T. KAI Commuter Jabodetabek dan pihak Stasiun Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Abubakar Alatas (ayah), Henny Helyani (ibu), Hilda Alatas, Juminah, dan seluruh keluarga. Terima kasih kepada Rifka, Assrianti, Ovilla, Stannia, Desy, Karlina, Malla, Wida, Meutia, Syafira, Ari dan seluruh teman-teman Ilmu Ekonomi 46 atas doa, motivasi, dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 7

Ruang Lingkup Penelitian 7

Hipotesis 7

TINJAUAN PUSTAKA 7

Transportasi Kereta Api 7

Komuter 8

Teori Permintaan 10

Penelitian Terdahulu 10

Kerangka Pemikiran 12

METODE PENELITIAN 12

Lokasi dan Waktu Penelitian 12

Jenis dan Sumber Data 13

Populasi dan Sampel 13

Metode Analisis Data 14

Pengujian Parameter Persamaan Regresi 15

Uji Pelanggaran Asumsi 17

HASIL DAN PEMBAHASAN 19

Gambaran Umum 19

Karakteristik Penumpang KRL Commuter Line Jabodetabek Kalangan

Pekerja di Stasiun Bogor 20

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan KRL Commuter Line

Jabodetabek di Stasiun Bogor 26

SIMPULAN DAN SARAN 29

Simpulan 29

Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 30

LAMPIRAN 32

(10)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah penumpang kereta api tahun 2006-2012 1 2 Hubungan antara aktivitas dengan frekuensi penggunaan KRL

Jabodetabek dalam satu minggu Error! Bookmark not defined. 3 Hasil estimasi regresi faktor-faktor yang memengaruhi permintaan

KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor 26

DAFTAR GAMBAR

1 Jumlah penumpang KRL Jabodetabek tahun 2006-2012 2 2 Sepuluh stasiun di Jabodetabek berdasarkan jumlah penumpang KRL

Jabodetabek terbanyak tahun 2011-2012 4

3 Jumlah penumpang KRL Commuter Line dan KRL Ekonomi

Jabodetabek, Juli 2011-Desember 2012 5

4 Sepuluh stasiun di Jabodetabek berdasarkan jumlah penumpang KRL

Commuter Line terbanyak tahun 2012 5

5 Kurva permintaan 10

6 Perbandingan jumlah penumpang KRL Commuter Line dan KRL Ekonomi Jabodetabek di Stasiun Bogor, Juli 2011-Desember 2012 19 7 Sebaran pendapatan responden penumpang KRL Commuter Line

kalangan pekerja di Stasiun Bogor 20

8 Sebaran jenis pekerjaan responden penumpang KRL Commuter Line

kalangan pekerja di Stasiun Bogor 21

9 Sebaran tujuan penggunaan responden penumpang KRL Commuter

Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor 22

10 Sebaran usia responden penumpang KRL Commuter Line kalangan

pekerja di Stasiun Bogor 23

11 Sebaran tingkat pendidikan terakhir responden penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor 24 12 Sebaran jumlah permintaan (frekuensi) responden penumpang KRL

Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Variabel-variabel yang memengaruhi permintaan KRL Commuter Line

Jabodetabek bagi kalangan pekerja di Stasiun Bogor 32

2 Uji multikolinearitas 35

3 Uji heteroskedastisitas 36

4 Uji autokolerasi 37

5 Uji normalitas 38

6 Kuisioner 39

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kereta api merupakan salahsatu bentuk transportasi masal yang digunakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat. Di Indonesia, kereta api berada di bawah naungan P.T. Kereta Api Indonesia (Persero) yang beroperasi di Pulau Jawa dan Sumatera. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang perkeretaapian mengamanatkan agar perkeretaapian di Indonesia diselenggarakan berdasarkan pada asas manfaat, adil, dan merata, keseimbangan kepentingan umum, keterpaduan dan kepercayaan diri. Tujuan penyelenggaraan perkeretaapian nasional adalah untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara masal, menunjang pemerataan, pertumbuhan stabilitas, serta sebagai pendorong dan penggerak pembangunan nasional (Dikun, 2003:189)

Tabel 1 Jumlah penumpang kereta api tahun 2006-2012

(ribu orang) Tahun

Jawa

Sumatera Total Jabodetabek Nonjabodetabek Jabodetabek dan

Nonjabodetabek

Sumber: BPS RI, 2013 (diolah).1

Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas penumpang kereta api di Indonesia berada di Pulau Jawa. Kereta api di Pulau Jawa terbagi menjadi dua jenis, yaitu Jabodetabek (DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) dan Nonjabodetabek. Kereta api Jabodetabek merupakan kereta yang beroperasi di sekitaran wilayah tersebut saja, sedangkan kereta api Nonjabodetabek adalah kereta yang beroperasi antarkota dan antar provinsi di Pulau Jawa. Jumlah penumpang kereta api Jabodetabek lebih banyak dibandingkan dengan penumpang kereta api Nonjabodetabek maupun kereta api di Pulau Sumatera.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Bab III Pasal 5 Ayat 2 menyebutkan bahwa perkeretaapian umum terdiri dari perkeretaapian perkotaan dan antarkota. Kondisi perkotaan yang padat umumnya memerlukan sistem transportasi masal agar efisiensi mobilitas angkutan dapat dicapai. Peran angkutan perkeretaapian Indonesia di wilayah perkotaan masih

1 [BPSRI] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2013. Jumlah Penumpang

(12)

2

terbatas, kecuali di Jabodetabek. Tingginya tingkat urbanisasi di Pulau Jawa, khususnya di wilayah sekitar ibukota DKI Jakarta mengakibatkan penduduk di wilayah tersebut memiliki tingkat aktivitas yang tinggi. Hal inilah yang menjadikan kereta api merupakan salahsatu transportasi umum yang memiliki peran penting untuk menunjang aktivitas masyarakat di Jabodetabek.

DKI Jakarta merupakan ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi barometer pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Daerah tersebut memegang peranan vital dalam berbagai aktivitas sosial, ekonomi, budaya, dan politik nasional. Hal ini menyebabkan DKI Jakarta menjadi kutub pertumbuhan bagi daerah sekitarnya, seperti Jawa Barat (Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, dan Kabupaten Bogor), Banten (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang Selatan, Kabupaten Serang, dan Kota Cilegon). Tersedianya berbagai aktivitas di DKI Jakarta menjadi daya tarik bagi masyarakat di daerah sekitarnya tersebut untuk menuju ke sana dengan tujuan melakukan berbagai aktivitas (DPNLIPI, 2009).

Penumpang Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek termasuk dalam kategori masyarakat yang melakukan mobilitas nonpermanen. Mobilitas nonpermanen dapat dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan aspek rutinitas, yaitu sirkuler (mobilitas sirkulasi) dan komuter (mobilitas ulang-alik). Penumpang KRL Jabodetabek termasuk dalam kategori komuter (penglaju) yang melakukan perjalanan dan meninggalkan rumah untuk pergi ke tempat lain, namun akan selalu berusaha kembali pada hari itu juga (BPS, 2005:2).

Gambar 1 Jumlah penumpang KRL Jabodetabek tahun 2006-2012 Sumber: BPS RI, 2013 (diolah).2

2

[BPSRI] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2013. Jumlah Penumpang Kereta Api, 2006-2012 [internet]. [diunduh 2013 Januari 17]. Tersedia dari: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=17&n

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

(13)

3 Analisis keterkaitan antara aktivitas dengan kereta api terkait erat dengan frekuensi. Faktor aktivitas secara langsung mempengaruhi frekuensi. Aktivitas yang dilakukan oleh responden sangat menentukan jumlah frekuensi menggunakan KRL. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh nilai pearson chi square yang signifikan sebesar 0.000 (di bawah level signifikan 0.05-uji dua arah 0.025). Dapat disimpulkan bahwa aktivitas mempengaruhi frekuensi (DPNLIPI, 2009:59).

Tabel 2 Hubungan antara aktivitas dengan frekuensi penggunaan KRL Jabodetabek dalam satu minggu

Aktivitas

Sumber: DPNLIPI, 2009.

Tabel di atas menjelaskan bahwa aktivitas penumpang yang menggunakan KRL beragam, seperti kerja, kuliah, sekolah, mengunjungi lokasi wisata, mengunjungi saudara, dan keperluan lainnya. Penelitian yang dilakukan terhadap 121 penumpang KRL di wilayah Jabodetabek ini menunjukkan bahwa 74 penumpang memiliki aktivitas kerja rutin setiap hari. Aktivitas tersebut memiliki frekuensi penggunaan KRL sebanyak 5 hingga 7 kali dalam seminggu.

Pelayanan KRL di wilayah Jabodetabek dilakukan oleh P.T. KAI Commuter

Jabodetabek (P.T. KCJ). P.T. KCJ awalnya merupakan salahsatu anak perusahaan P.T. Kereta Api Indonesia (Persero) yang dibentuk sesuai Inpres No. 5 Tahun 2008 dan Surat Menneg BUMN No. S-653/MBU/2008. Pembentukan anak perusahaan ini berawal dari keinginan para stakeholdernya untuk lebih fokus dalam memberikan pelayanan yang berkualitas dan menjadi bagian dari solusi permasalahan transportasi perkotaan yang kompleks. Selama menjadi anak perusahaan, P.T. KCJ bertanggung jawab atas penjualan tiket KRL Ekonomi, KRL Ekonomi AC, dan KRL Ekspres.

P.T. KCJ yang semula berperan sebagai anak perusahaan P.T. Kereta Api Indonesia (Persero), kini menjadi sebuah perseroan terbatas.Setelah menjadi independen, P.T. KCJ memperoleh izin usaha No. KP 51 Tahun 2009 dan izin operasi penyelenggara sarana perkeretaapian No. KP 53 Tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan Republik Indonesia. Tugas pokok perusahaan ini adalah menyelenggarakan pengusahaan pelayanan jasa angkutan kereta api komuter dengan menggunakan sarana Kereta Rel Listrik di wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang (Serpong), dan Bekasi serta pengusahaan di bidang usaha non-angkutan penumpang.3

3

(14)

4

Terdapat enam puluh tiga stasiun di wilayah Jabodetabek yang aktif digunakan oleh P.T. KCJ. Sepuluh stasiun dengan jumlah penumpang terbanyak selama tahun 2011-2012, antara lain: (1) Bogor, (2) Jakarta, (3) Bojong Gede, (4) Depok Baru, (5) Bekasi, (6) Tanah Abang, (7) Depok, (8) Citayam, (9) Tebet, dan (10) Manggarai.

Gambar 2 Sepuluh stasiun di Jabodetabek berdasarkan jumlah penumpang KRL Jabodetabek terbanyak tahun 2011-2012

Sumber: P.T. KCJ, 2013 (diolah).

P.T. KCJ mempunyai beberapa program kerja dalam pelaksanaan tugasnya. Salahsatu program kerjnya adalah penerapan Single Operation sejak 2 Juli 2011. Single Operation merupakan perubahan perjalanan KRL di Jabodetabek, yakni perjalanan KRL Ekspres yang semula hanya berhenti di beberapa stasiun menjadi berhenti di semua stasiun. Hal ini mengakibatkan tidak adanya perbedaan kelas dalam lintas trayek karena semua KRL berjalan sesuai urutan dan tidak ada yang didahulukan, sehingga perbedaan antara KRL Ekonomi AC dan KRL Ekspres menjadi hilang. Hasil peleburan kedua KRL tersebut dikenal dengan KRL

Commuter Line.

Grafika Perjalanan Kereta Api 2011 (GAPEKA 2011) yang di dalamnya mencakup pembahasan Perubahan Pola Operasi KRL Jabodetabek, diberlakukan pada 22 November 2011. Program ini merupakan kelanjutan dari program perubahan pola operasi Single Operation. Sasaran jangka panjang program ini adalah mewujudkan target pemerintah yaitu dapat mengangkut sebanyak 1.2 juta penumpang per hari di tahun 2019 dengan jumlah armada yang beroperasi minimal 1,440 unit armada KRL. Tujuan program GAPEKA 2011 adalah menyederhanakan pola operasi, mengurangi overlapping di antara rute kereta api dan mengurangi perpotongan di antara perjalanan KRL serta untuk meningkatkan kapasitas angkut.4

4

(15)

http://www.kereta-api.co.id/informasi-media/press-release/278-perubahan-5

Gambar 3 Jumlah penumpang KRL Commuter Line dan KRL Ekonomi Jabodetabek, Juli 2011-Desember 2012

Sumber: P.T. KCJ, 2013 (diolah).

Sejak diberlakukannya KRL Commuter Line di Jabodetabek dalam selang satu tahun, Juli 2011-Juli 2012, jumlah penumpang KRL tersebut berfluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan. Penumpang KRL Commuter Line merupakan gabungan dari penumpang KRL Jabodetabek yang sebelumnya menggunakan KRL Ekonomi AC dan KRL Ekspres. Hal inilah yang menjadikan penumpang KRL Commuter Line lebih banyak dibandingkan dengan KRL Ekonomi. Banyaknya ketersediaan jadwal dan fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan KRL Ekonomi menjadi alasan lain bagi penumpang KRL Jabodetabek lebih memilih KRL Commuter Line meskipun tarifnya lebih mahal. Total penumpang KRL Commuter Line selama tahun 2012 sebanyak 87,575,757 jiwa, sedangkan penumpang KRL Ekonomi yang hanya 46,511,307.

Gambar 4 Sepuluh stasiun di Jabodetabek berdasarkan jumlah penumpang KRL

(16)

6

Penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Bogor jumlahnya juga lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun keberangkatan utama lainnya, seperti Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang. Stasiun Tangerang sendiri sebagai stasiun keberangkatan utama tidak termasuk ke dalam sepuluh stasiun dengan jumlah penumpang KRL Commuter Line terbanyak di wilayah Jabodetabek bahkan tidak termasuk ke dalam sepuluh stasiun dengan jumlah penumpang KRL Jabodetabek terbanyak. Stasiun Bogor merupakan stasiun di wilayah Jabodetabek dengan jumlah penumpang KRL Commuter Line paling banyak. Hal ini membuktikan bahwa Stasiun Bogor memiliki jumlah penumpang KRL Jabodetabek terbanyak, khususnya jumlah penumpang KRL Commuter Line.

Perumusan Masalah

Frekuensi penumpang dalam menggunakan KRL dipengaruhi oleh aktivitasnya. Pekerja adalah pengguna KRL terbanyak di Jabodetabek, di mana pekerja yang memang menggunakan transportasi tersebut setiap hari untuk menunjang rutinitas pekerjaannya setiap hari memiliki frekuensi lebih tinggi dibandingkan dengan penumpang yang menggunakan KRL untuk menunjang aktivitas lain. Permintaan tertinggi penumpang kalangan pekerja yang rutin menggunakan KRL terjadi pada pagi dan sore hari. Pada waktu-waktu tersebut sering terjadi ketidaksesuaian antara jumlah KRL dan permintaan penumpang kalangan pekerja sehingga menimbulkan kepadatan penumpang.

Pola operasi Single Operation KRL Jabodetabek merupakan bentuk upaya P.T. KCJ dalam meningkatkan kapasitas angkut dan pelayanan. Penerapan program tersebut diiringi oleh pemberlakuan KRL Commuter Line. Permintaan KRL Commuter Line di Jabodetabek lebih tinggi dibandingkan permintaan KRL Ekonomi. Permintaan tertinggi terhadap KRL Commuter Line terjadi di Stasiun Bogor yang merupakan salah satu stasiun keberangkatan utama di wilayah Jabodetabek.

Beberapa permasalahan yang dapat ditarik dari uraian di atas yaitu:

1. Bagaimana karakteristik penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor?

2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi permintaan penumpang KRL

Commuter Line Jabodetabek kalangan pekerja di Stasiun Bogor?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu: 1. Mengidentifikasi karakteristik penumpang KRL Commuter Line kalangan

pekerja di Stasiun Bogor.

(17)

7 Manfaat Penelitian

1. Memberikan masukan yang bersifat ilmiah bagi P.T. KAI Commuter

Jabodetabek sebagai penyedia jasa transportasi agar dapat menjadi dasar pertimbangan untuk menetapkan regulasi dari segi permintaan.

2. Dapat memberikan informasi bagi pihak yang tertarik dan berkepentingan dengan masalah ini serta dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian lain yang melakukan penelitian serupa.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah yang hal-hal yang berkaitan dengan karakteristik penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja dan faktor-faktor yang memengaruhi permintaannya.

Hipotesis

1. Pendapatan, tujuan penggunaan, dan tingkat pendidikan terakhir berpengaruh positif terhadap permintaan penumpang KRL Commuter Line

Jabodetabek kalangan pekerja di Stasiun Bogor.

2. Usia berpengaruh negatif terhadap permintaan penumpang KRL Commuter Line Jabodetabek kalangan pekerja di Stasiun Bogor.

TINJAUAN PUSTAKA

Transportasi Kereta Api

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Bab I Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan bahwa perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumberdaya manusia, serta norma, kriteria, persyaratan, dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta api. Karakteristik sistem pengoperasian teknologi transportasi jalan rel meliputi dua hal, secara umum dan khusus. Secara umum, dibangun oleh manusia dan dioperasikan, dikelola, dan dipelihara oleh manusia secara terjadwal dan terkendali. Secara khusus, manajemen penyelenggaraan operasi transportasi jalan rel dilakukan oleh satu badan atau otoritas yang sekaligus menyediakan jalan baja, lahan, jembatan, stasiun, gedung kantor, perumahan, gaji pegawai, dan sarana (lokomotif dan gerbong) yaitu P.T. KAI. Prestasi penyelenggaraan juga dilihat dari besarnya keuntungan (Miro, 2012:24).

Miro (2012:86), Kereta api mempunyai keunggulan dalam hal: 1. Kecepatan rata-rata tinggi, terutama untuk jarak sedang dan jauh. 2. Jalan rel pada umumnya dibangun melalui pusat kota.

3. Efektif dalam penggunaan lahan.

(18)

8

5. Kapasitas angkut (satu kali perjalanan) besar, sehingga biaya angkut murah. 6. Pemakaian energi (bahan bakar) efisien.

7. Lebih aman dan nyaman khususnya untuk perjalanan jauh yang dilengkapi fasilitas restoran, kompartemen tidur, dan lain-lain.

8. Tidak terlalu dipengaruhi oleh cuaca.

Kereta api juga memiliki kelemahan, antara lain:

1. Operasi tidak fleksibel, bukan pelayanan buka pintu, hanya sampai di stasiun saja.

2. Memerlukan kendaraan lain (jalan raya) untuk sampai ke tujuan akhir. Kelemahan ini dikurangi dengan penyediaan lahan parkir yang luas untuk menarik calon penumpang dalam program parkir-dan-naik di mana para calon penumpang hanya menggunakan kendaraan pribadi sebagai alat transportasi dari rumah ke stasiun, dan sebaliknya.

3. Rentan terhadap pemogokan.

Miro (2012:114), Moda transportasi jalan rel (kereta api), baik untuk antarkota maupun dalam kota masih mempunyai masalah dalam melayani masyarakat, misalnya:

1. Bertambahnya biaya menuju stasiun kereta api, misalnya biaya angkutan jalan raya dari rumah ke stasiun kereta api, biaya masuk stasiun (peron), biaya parkir di stasiun, dan lain-lain biaya yang tidak diduga sebelumnya. 2. Sering terjadinya pembatalan jadwal keberangkatan oleh pihak penyedia jasa

(P.T. KAI) tanpa pemberitahuan terlebih dulu kepada penumpang yang akan berangkat.

3. Ketidakpastian dalam mendapatkan tiket untuk perjalanan jarak jauh (antarkota) terutama pada kondisi puncak (seperti Hari Lebaran dan pada saat libur panjang).

4. Keselamatan moda transportasi kereta api yang sangat rentan terhadap gangguan di rel dan terhadap gangguan di persilangan sebidang antara jalan rel dengan jalan raya.

Komuter

Komuter didefinisikan sebagai penduduk yang biasanya (secara rutin) melakukan perjalanan pergi dan pulang melintasi batas kabupaten atau kota dalam kurun waktu sehari. Melintasi batas tidak lagi memermasalahkan jarak dimana penduduk yang tinggal di daerah perbatasan sangat dengan mudah dikatakan komuter apabila telah melewati batas-batas administratif kabupaten atau kota, artinya melintasi batas mungkin sekali untuk jarak yang sangat dekat. Rutin di sini tidak harus setiap hari, melakukan kegiatannya di luar kabupaten atau kota, tetapi bisa juga dua hari sekali atau tiga hari sekali, asalkan kegiatan tersebut sudah menjadi kebiasaan (BPS, 2005:12).

(19)

9 sekali, misalnya dalam jangka waktu satu hari. Mobilitas ini banyak terjadi antara daerah kota yang pekerja-pekerjanya berulang balik dari tempat tinggal ke tempat kerja (biasanya pagi berangkat ke tempat kerja dan sore kembali ke rumah) yang dilakukan secara terus-menerus.

BPS (2005:10), Bentuk mobilitas nonpermanen dalam Teori Transisi Zelinsky tahun 1971, mobilitas penduduk menunjukkan adanya pola keteraturan dalam proses pertumbuhan mobilitas merupakan bagian penting dari modernisasi. Zelinsky membagi transisi mobilitas penduduk ke dalam lima tahap yang oleh Skeldon pada tahun 1990 tahap ini disempurnakan dengan mengembangkan transisi mobilitas menjadi tujuh tahap dengan menganalisis pola migrasi penduduk negara-negara berkembang, yaitu:

1. Tahap masyarakat pratransisi (pretransitional society). Pada tahap ini sebagian besar migrasi yang terjadi merupakan migrasi nonpermanen, yang tidak bertujuan untuk menetap, tetapi migrasi ini tidak harus berlangsung dalam jangka pendek. Pada tahap ini dapat juga menjadi mobilitas permanen dalam bentuk kolonisasi atau pembukaan daerah-daerah pertanian baru. 2. Tahap masyarakat transisi awal (early transitional society). Pada tahap ini

terjadi percepatan migrasi nonpermanen ke daerah perkotaan, daerah perkebunan, atau daerah pertambangan. Pada tahap ini terlihat juga adanya migrasi penduduk dari suatu daerah perkotaan ke daerah perkotaan lain, di mana kota besar menjadi tujuan utama migrasi penduduk kota kecil dan menengah.

3. Tahap masyarakat transisi menengah (intermediate transitional society). Pada tahap ini terlihat adanya migrasi dari daerah yang berdekatan dengan kota besar. Migrasi daerah sekitar kota besar ini menyebabkan stagnasi pada daerah sekitar kota besar tersebut. Migrasi dari daerah pedesaan ke pedesaan menurun dan mobilitas dari perkotaan ke perkotaan terus meningkat, disertai pula dengan mobilitas penduduk perempuan.

4. Tahap masyarakat transisi akhir (late transitional society). Pada tahap ini ditandai dengan munculnya megacity. Migrasi dari desa ke kota meningkat, dengan kota besar menjadi tujuan utama. Migrasi tidak lagi dari pedesaan ke kota kecil, kota menengah baru ke kota besar, tetapi dari pedesaan langsung ke kota besar, sehingga proporsi penduduk pedesaan pun menurun.

5. Tahap masyarakat mulai maju (early advanced society). Pada tahap ini urbanisasi telah melampaui 50% dan mobilitas dari pedesaan ke perkotaan mulai menurun. Mulai terjadi suburbanisasi dan dekonsentrasi penduduk perkotaan. Bersamaan dengan gejala tersebut, mobilitas nonpermanen lebih meningkat.

6. Tahap masyarakat maju lanjut (late advanced society). Pada tahap ini ditandai dengan terus terjadinya dekonsentrasi penduduk perkotaan. Penduduk perkotaan makin menyebar ke daerah perkotaan yang lebih kecil. Pada saat ini juga terjadi peningkatan arus masuk pekerja asing, terutama migran dari 52 negara yang masih berada pada tahap ke empat. Arus ulang-alik terjadi dengan pesat. Semua arus migrasi ini dilakukan oleh penduduk laki-laki maupun perempuan.

(20)

10

nonpermanen semakin meningkat. Sistem transportasi diganti dengan sistem komunikasi. Orang tidak perlu lagi pindah tempat untuk saling komunikasi.

Teori Permintaan

Salvatore (2001), Permintaan terhadap suatu komoditi timbul karena keinginan konsumen dan kemampuannya (dari hasrat atau keinginan yang didukung dengan pendapatan) untuk membeli suatu komoditi. Teori permintaan konsumen (consumer demand theory) mempostulatkan bahwa jumlah komoditi yang diminta merupakan fungsi dari, atau bergantung pada harga komoditi barang tersebut, pendapatan konsumen, harga komoditi yang berhubungan (komplementer atau substitusi), dan selera konsumen. Bentuk matematis fungsi permintaan:

��� =�(�,�,�,�)

��� = kuantitas komoditi X yang diminta oleh individu per periode waktu

�� = harga per unit dari komoditi X

I = pendapatan konsumen

�� = harga dari komoditi yang berhubungan (substitusi atau komplementer)

T = selera konsumen

Gambar 5 Kurva permintaan Sumber: Nicholson, 2001.

Nicholson (2001), Kurva permintaan memperlihatkan hubungan antara harga dengan jumlah barang yang diminta. Terdapat tiga faktor dasar yang dianggap konstan dalam menderivasikan kurva permintaan, yaitu pendapatan, harga barang lain (Py), dan preferensi individu tersebut. Gerakan di sepanjang kurva permintaan yang disebabkan berubahnya harga (Px). Hal ini berbeda dengan pergeseran kurva permintaan yang disebabkan perubahan pendapatan, perubahan salahsatu dari harga barang lain, atau perubahan preferensi orang tersebut.

Penelitian Terdahulu

(21)

11 statistik (chisquare) dan crosstab serta analisis kualitatif berupa deskripsi dan pemaparan data primer dan sekunder. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa permintaan angkutan KRL di Jabodetabek masih sangat tinggi kerena keunggulannya yang bebas macet dan tarif murah dibandingkan moda transportasi lain, terutama kelas ekonomi; permintaan dipengaruhi oleh segi internal (konsumen pengguna jasa KRL) dan segi eksternal (P.T. KCJ); hanya variabel gender dan tarif yang signifikan berpengaruh terhadap jenis KRL yang digunakan, preferensi terhadap KRL dipengaruhi melalui jalur aktivitas-frekuensi-tarif-jenis KRL yang digunakan; rasa nyaman, aman, dan kebersihan gerbong KRL sangat signifikan berpenaruh terhadap jenis KRL yang digunakan..

(22)

12

Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data primer terhadap penumpang kalangan pekerja KRL Commuter Line di Stasiun Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan stasiun keberangkatan dengan jumlah penumpang KRL Commuter Line Jabodetabek terbanyak, yaitu penumpang dengan keberangkatan dari Stasiun Bogor. Waktu penelitian dilakukan selama Bulan April 2013.

P.T KAI Commuter Jabodetabek

KRL Ekonomi KRL Ekonomi AC KRL Ekspres

KRL Commuter Line

Stasiun Bogor Pekerja

Karakteristik penumpang KRL

Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan KRL Commuter Line

Jabodetabek bagi Kalangan Pekerja di Stasiun Bogor

Analisis Deskriptif Analisis Kuantitatif

Single Operation

Metode Regresi Linier Berganda

(23)

13 Jenis dan Sumber Data

1. Data Primer

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor melalui kuisioner dan wawancara.

2. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari media perantara yaitu P.T. KCJ, buku, literatur, dan artikel-artikel yang berhubungan dengan penelitian.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Bogor. Penelitian ini menggunakan teknik penarikan contoh tanpa peluang (Non-Probability Sampling). Teknik ini merupakan prosedur penarikan contoh yang tidak memungkinkan penghitungan peluang terpilihnya anggota tertentu populasi ke dalam contoh (sampel). Jenis sampel pada teknik ini tidak dipilih secara acak, tidak semua unsur atau elemen populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Unsur populasi yang terpilih menjadi sampel disebabkan karena faktor yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti.

Teknik penarikan contoh tanpa peluang yang digunakan dalam penelitian ini adalah Judgement (Purposive) Sampling. Penarikan contoh dengan teknik ini dilakukan berdasarkan pertimbangan tentang beberapa karakteristik yang cocok berkaitan dengan anggota contoh yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian. Responden yang dipilih adalah responden kalangan pekerja atau sudah memiliki pendapatan per bulan.

Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap unsur atau elemen populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Ketika banyaknya populasi diketahui dan misalkan � adalah ukuran contoh, N adalah banyaknya unit contoh dalam populasi, � adalah taraf nyata (0.05). Penentuan ukuran sampel suatu populasi diperoleh dengan menggunakan persamaan Slovin dengan rumus sebagai berikut (Siregar, 2010):

� = �

Menurut data yang diperoleh dari P.T. KCJ, jumlah penumpang KRL

(24)

14

Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan kuantitatif.

1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk mendeskripsikan hal-hal yang bersifat deskriptif, seperti karakteristik penumpang dan koefisien variasi masing-masing variabel.

2. Analisis Kuantitatif

Analisis kuantitatif dilakukan untuk mendeskripsikan data yang berupa angka. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi berganda (Ordinary Least Square) dengan menggunakan software Eviews 6. Model dasar penelitian dengan regresi linier berganda yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi permintaan penumpang kalangan pekerja terhadap KRL Commuter Line Jabodetabek di Stasiun Bogor yaitu:

lnPCL = �0 + ln�1PEN+ �R2DTUJ+ ln�R3US+ �R4DTPT + e

Keterangan:

PCL = Jumlah Permintaan KRL Commuter Line (kali/bln)

b0 = Konstanta b1-b4 = Koefisien regresi PEN = Pendapatan (Rp/bln)

TUJ = Tujuan Penggunaan (1 = Kerja; 0 = Bukan Kerja) US = Usia (tahun)

TPT = Tingkat Pendidikan Terakhir (1 = ≥ Sarjana; 0 = < Sarjana)

e = Error

Variabel dependen merupakan variabel tak bebas yang menjadi akibat karena adanya variabel independen.Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel permintaan KRL Commuter Line Jabodetabek di Stasiun Bogor. Permintaan yang dimaksud adalah frekuensi penggunaan KRL Commuter Line Jabodetabek oleh penumpang kalangan pekerja di Stasiun Bogor dalam waktu satu bulan.

Variabel independen merupakan variabel bebas yang menjadi penyebab timbulnya variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini, yaitu: 1. Pendapatan

Pendapatan merupakan jumlah seluruh uang yang diterima oleh seseorang selama jangka waktu satu bulan. Pendapatan penumpang diukur dalam satuan rupiah (Rp).

2. Tujuan Penggunaan

Tujuan penggunaan adalah untuk melihat fungsi KRL Commuter Line

terhadap penumpang kalangan pekerja. Pengukuran tujuan dinyatakan dalam bentuk: “1” untuk tujuan kerja dan “0”untuk bukan tujuan kerja.

3. Usia Penumpang

(25)

15 4. Tingkat Pendidikan Terakhir Penumpang

Pendidikan terakhir biasanya memengaruhi pola pemikir, gaya hidup, dan kematangan seseorang dalam memutuskan, memilih atau menentukan sesuatu pilihan. Tingkat pendidikan terakhir berdasarkan karakteristik responden penelitian yang banyak menggunakan KRL Commuter Line

adalah sarjana. Hal ini mengakibatkan perhitungan dinyatakan dalam bentuk: “1” untuk tingkat pendidikan terakhir sarjana ke atas dan “0” untuk tingkat pendidikan terakhir di bawah sarjana.

Pengujian Parameter Persamaan Regresi

1. Koefisien Determinasi (�2)

Koefisien determinasi memberikan proporsi atau presentase variasi total dalam variabel dependen yang dijelaskan oleh variabel independen. Gujarati (2006:161), �2 memiliki dua sifat, yaitu: �2 merupakan besaran nonnegatif; batasnya adalah 0≤ �2 ≤ 1. �2 sebesar 1 berarti “kecocokan sempurna”, karena seluruh variasi Y dapat dijelaskan oleh regresi. �2 sebesar 0 berarti tidak ada hubungan antara Y dan X. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

TSS = Jumlah Total Kuadrat

ESS = Jumlah Kuadrat yang Dijelaskan RSS = Jumlah Kuadrat Residu

Winaryo (2011), Ada beberapa masalah dalam penggunaan �2, yaitu: 1. �2 hanya mengukur kedekatan antara �� atau Y prediksi dengan nilai Y

yang diobservasi. Apabila digunakan untuk memperkirakan data yang tidak (atau belum) ada (di dalam observasi), belum tentu cocok.

2. Dalam membandingkan dua �2 (atau lebih), variabel dependennya harus sama.

3. �2 tidak berkurang nilainya bila variabel independen ditambahkan lagi ke dalam persamaan.

2. Uji t-Statistik

Gujarati (2006:102), Uji signifikansi merupakan pendekatan alternatif, namun bersifat melengkapi dan mungkin merupakan pendekatan yang lebih singkat dalam pengujian hipotesis. Gagasan utama uji signifikansi adalah statistik uji – yakni statistik t- dan distribusi probabilitasnya menurut nilai �� yang dihipotesiskan. Pengujiannya disebut uji t karena menggunakan distribusi t.

Uji t-statistik digunakan untuk menguji secara statistik apakah koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas yang digunakan secara terpisah berpengaruh nyata (signifikan) atau tidak terhadap variabel tidak bebas. Uji t

(26)

16

��� = Nilai Koefisien Regresi Dugaan �� = Parameter Hipotesis

����̂�� = Standar Error Parameter �� Kriteria uji:

- |thitung| > tα/2(n-k), maka tolak H0. Kesimpulannya, koefisien dugaan β≠0 dan variabel yang diuji berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas. - |thitung| < tα/2(n-k), maka terima H0. Kesimpulannya, koefisien dugaan β=0 dan

variabel yang diuji tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas.

3. Uji F-Statistik

Gujarati (2006:107), Pemilihan dua variabel secara acak dari dua populasi normal, X dan Y, masing-masing dengan m dan n observasi, maka variabel mengikuti distribusi F dengan d.k. (m - 1) dan (n - 1), asalkan varians dari kedua populasi normal itu sama. Dengan kata lain, H0-nya adalah

��2 = ��2. Untuk menguji hipotesis ini, digunakan uji F-statistik.

Uji F-statistik digunakan untuk menguji bagaimanakah pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas secara keseluruhan. Pengujian uji F ini dapat dilihat dari nilai probabilitas F-statistiknya. Dengan melihat nilai probabilitas F-statistik akan diketahui apakah suatu persamaan akan lulus uji atau tidak. Pengujian secara statistik sebagai berikut:

1. Hipotesis pengujian:

k = Banyak Parameter Termasuk Konstanta n = Jumlah Sampel

Kriteria uji:

- |Fhitung| > Fα(k-1, n-k), maka tolak H0. Kesimpulannya, minimal ada satu variabel bebas yang memengaruhi variabel tidak bebas.

(27)

17 Uji Pelanggaran Asumsi

1. Multikoliniearitas

Salahsatu asumsi model linier klasik adalah tidak adanya multikoliniearitas sempurna, tidak adanya hubungan linier yang benar-benar pasti di antara variabel-variabel penjelas, X, yang tercakup dalam regresi berganda (Gujarati, 2006:61).

Juanda (2009:115), Multikolinearitas adalah tidak adanya hubungan linier sempurna antara peubah bebas. Multikolinearitas muncul jika ada dua atau lebih peubah (atau kombinasi peubah) babas berkolerasi tinggi antara peubah yang satu dengan yang lainnya.

Multikoliniearitas terdiri atas dua jenis. Pertama, multikolinearitas tidak sempurna terjadi jika korelasi antar variabel Xi tidak sempurna (|r|<1) yang mengakibatkan intrepretasi dari koefisien dugaan regresi (βi) menjadi sulit, nilai varian dari koefisien regresi menjadi lebih besar, dan koefisien dugaan regresi menjadi lebih sensitif jika terjadi perubahan nilai Xi. Kedua, multikolinearitas sempurna terjadi jika korelasi antar variabel Xi sempurna (|r|=±1) sehingga mengakibatkan koefisien regresi tidak dapat diduga.

Winarno (2011), Apabila model prediksi memiliki multikolinearitas, akan memunculkan akibat-akibat berikut ini:

1. Estimator masih bisa bersifat BLUE, tetapi memiliki varian dan kovarian yang besar, sehingga sulit dipakai sebagai alat estimasi.

2. Internal estimasi cenderung lebar dan nilai statistik uji-t akan kecil, sehingga menyebabkan variabel independen tidak signifikan secara statistik dalam memengaruhi variabel independen.

Ada beberapa alternatif dalam menghadapi masalah multikolinearitas, yaitu:

1. Biarkan model mengandung multikolinearitas, karena astimatornya masih dapat bersifat BLUE. Sifat BLUE tidak terpengaruh oleh ada tidaknya korelasi antarvariabel independen. Namun multikolinearitas dapat menyebabkan standard error yang besar.

2. Tambahkan data bila memungkinkan, karena masalah multikolinearitas biasanya muncul karena jumlah observasi sedikit.

3. Hilangkan salah satu variabel independen, terutama yang memiliki hubungan linier yang kuat dengan variabel lain.

4. Transformasikan salah satu (atau beberapa) variabel. 2. Heteroskedastisitas

Asumsi penting model regresi linier klasik adalah bahwa gangguan ui

yang tercakup dalam fungsi regresi populasi bersifat homoskedastisitas, artinya semua memiliki varians yang sama, �2. Jika tidak demikian, berarti menghadapi situasi heteroskedastisitas, atau varians tidak sama, atau nonkonstan (Gujarati, 2006:82).

(28)

18

Masalah ini sering terjadi dalam data cross-section. Salahsatu cara mengidentifikasi heteroskedastisitas adalah dengan Uji White.

Winarno (2011), Pengaruh apabila residual bersifat heteroskedastisitas, antara lain:

1. Estimator metode kuadrat terkecil tidak mempunyai varian yang minimum (tidak lagi best), sehingga hanya memenuhi karakteristik LUE (Linear Unbiased Estimator). Meskipun demikian, estimator metode kuadrat terkecil masih bersifat linier dan tidak bias.

2. Perhitungan Standard Error tidak dapat lagi dipercaya kebenarannya, karena varian tidak minimum. Varian yang tidak minimum mengakibatkan estimasi regresi tidak efisien.

3. Uji hipotesis yang didasarkan pada uji-t dan uji-F tidak dapat lagi dipercaya, karena standard error-nya tidak dapat dipercaya.

Untuk menghilangkan heteroskedastisitas, ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan. Namun alternatif tersebut sangat tergantung kepada ketersediaan informasi tentang varian dan residual. Jika varian dan residual diketahui, maka heteroskedastisitas dapat diatasi dengan metode WLS (Weighted Least Square). Seandainya varian tidak diketahui, dapat diatasi dengan metode White.

3. Autokorelasi

Gujarati (2006:112), Salahsatu asumsi model linier klasik adalah tidak adanya korelasi berantai atau autokolerasi di antara gangguan ui yang memasuki fungsi regresi populasi. Juanda (2009:141), Salahsatu asumsi dari model regresi linier adalah bahwa tidak ada autokorelasi atau korelasi serial antara sisaan (��). Dengan pengertian lain, sisaan menyebar bebas atau

������,���=����,���= 0 untuk semua i≠j, dan dikenal juga sebagai bebas

serial (serial independence). Jika semua asumsi klasik dalam model regresi liniear mengalami masalah autokorelasi, maka mengakibatkan dugaan parameter koefisiensi regresi dengan metode OLS: masih tetap tidak bias; masih konsisten; mempunyai standar error yang bias ke bawah, atau lebih kecil dari nilai yang sebenarnya, sehingga nilai statistik uji-t tinggi; penduga OLS tidak efisien lagi atau ragamnya tidak lagi minimum. Salah satu cara untuk megidentifikasi Autokorelasi adalah dengan Uji Breusch-Godfrey.

Winarno (2001), Apabila data mengalami masalah autokolerasi, data harus segera diperbaiki agar model tetap dapat digunakan. Untuk menghilangkan masalah autokorelasi, terlebih dahulu harus diketahui besarnya koefisien autokorelasi (�). Setelah � diketahui, baru autokorelasi dapat dihilangkan dengan beberapa alternatif sebagai berikut:

1. Bila struktur autokorelasi (�) diketahui, masalah autokorelasi dapat diatasi dengan melakukan transformasi terhadap persamaan. Metode ini sering juga disebut dengan Generalized Difference Equation.

2. Bila struktur autokorelasi (�) tidak diketahui:

a. Nilai � tinggi, masalah autokorelasi dapat diatasi dengan Metode Diferensiasi Tingkat Pertama.

b. Nilai � rendah, masalah autokorelasi dapat diatasi dengan Metode OLS. c. Nilai � tidak diketahui, masalh autokorelasi dapat diatasi dengan

(29)

19 4. Normalitas

Gujarati (2006:164), Prosedur pengujian statistik didasarkan pada asumsi bahwa faktor kesalahan ui didistribusikan secara normal. Uji normalitas yang popular adalah uji Jarque-Bera. Ini merupakan uji asimtotis, atau sampel besar, dan di dasarkan atas residu OLS.

Winarno (2011), Salah satu asumsi dalam analisis statistika adalah data berdistribusi normal. Salah satu cara untuk menguji normalitas adalah dengan menggunakan histogram dan melihat nilai dari Jarque-Bera serta nilai probabilitasnya. Kriteria untuk melihat normalitas, yaitu:

1. Jika nilai Jarque-Bera tidak signifikan (lebih kecil dari 2), maka data berdistribusi normal.

2. Jika probabilitasnya lebih besar dari tingkat signifikansi, maka data berdistribusi normal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum

Gambar 8 Perbandingan jumlah penumpang KRL Commuter Line dan KRL Ekonomi Jabodetabek di Stasiun Bogor, Juli 2011-Desember 2012 Sumber: P. T. KCJ, 2013 (diolah).

Stasiun Bogor terletak di Jalan Nyi Raja Permas No. 1 Bogor. Stasiun ini dibangun pada tahun 1881 dan terletak pada ketinggian +246 m. Bangunan stasiun ini merupakan salahsatu peninggalan bersejarah di Kota Bogor.

Terdapat dua relasi KRL Jabodetabek yang terdapat pada Stasiun Bogor. Kedua relasi tersebut yaitu Bogor-Jakarta dan Bogor-Jatinegara. Sejak 2 Juli 2011,

(30)

-20

jenis KRL yang melayani kedua relasi tersebut adalah KRL Commuter Line dan KRL Ekonomi. Jumlah penumpang KRL Commuter Line lebih banyak dibandingkan KRL Ekonomi karena penumpang KRL jenis ini merupakan gabungan dari KRL Ekspres dan KRL Eknomi AC.

Tarif KRL Commuter Line sama untuk kedua relasi yang berada di Stasiun Bogor, Bogor-Jakarta dan Bogor-Jatinegara, yaitu Rp9 000 dan tarif KRL Ekonomi tarifnya sebesar Rp2 000. Penetapan tarif KRL Commuter Line ini berdasarkan kebijakan perubahan tarif yang telah dilakukan oleh P.T. KCJ sejak tanggal 1 Oktober 2012 lalu yang semula sebesar Rp7 000.

Karakteristik Penumpang KRL Commuter Line Jabodetabek Kalangan

Pekerja di Stasiun Bogor

Penentuan karakteristik penumpang KRL Commuter Line Jabodetabek di Stasiun Bogor diperoleh berdasarkan hasil wawancara dan penyebaran kuesioner terhadap 105 responden. Responden yang dipilih adalah kalangan pekerja atau responden yang sudah memiliki pendapatan per bulan.

1. Pendapatan Penumpang

Gambar 9 Sebaran pendapatan responden penumpang KRL Commuter Line

kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor yang memiliki pendapatan antara Rp2 500 000 hingga Rp5 000 000 per bulan jumlahnya 69%, penumpang dengan pendapatan kurang dari Rp2 500 000 per bulan sebanyak 10% dan pendapatan lebih dari Rp5 000 000 per bulan sebanyak 21%. Teori permintaan menyatakan bahwa salahsatu faktor yang memengaruhi permintaan adalah pendapatan. Jika pendapatan meningkat,

10%

69% 21%

< Rp2 500 000

Rp2 500 000 - Rp5 000 000

(31)

21 maka permintaan akan meningkat. Pendapatan dapat memengaruhi permintaan penumpang dalam menggunakan KRL Commuter Line. Penumpang dengan pendapatan di atas Rp2 500 000 per bulan lebih memertimbangkan aspek kenyamanan dan keamanan sehingga lebih memilih KRL Commuter Line

dibandingkan dengan KRL Ekonomi.

Kebutuhan akan jasa KRL Commuter Line menunjukkan bahwa penumpang dengan pendapatan di bawah Rp2 500 000 pun menggunakan transportasi tersebut. Ketersediaan jadwal yang lebih banyak dibandingkan KRL Ekonomi menjadikan timbulnya rasa kebutuhan bagi mereka terhadap KRL Commuter Line sehingga mengakibatkan mereka mengalokasikan pendapatannya lebih besar untuk transportasi.

2. Jenis Pekerjaan Penumpang

Gambar 10 Sebaran jenis pekerjaan responden penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Jenis pekerjaan ini hanya digunakan untuk menunjukkan bahwa penumpang KRL Commuter Line sudah memiliki pendapatan sendiri atau status pekerja, terlepas alasan mereka untuk menggunakan KRL ini adalah untuk menunjang pekerjaannya atau tidak. 40% Penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Bogor adalah pegawai /swasta. Jumlah terbanyak selanjutnya adalah pegawai negeri sebesar 25%, wiraswasta 19%, dan lainnya sebesar 16%.

DPNLIPI (2009: 55), Jenis pekerjaan merupakan salahsatu faktor yang mempengaruhi permintaan KRL. Akan tetapi, hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara variabel jenis pekerjaan dengan jenis KRL yang digunakan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai pearson chi square sebesar 0.581 (lebih besar dari nilai level signifikan sebesar 0.025; dengan kata lain Ho ditolak). Dapat ditarik kesimpulan bahwa jenis pekerjaan

40%

25% 19%

16%

(32)

22

tidak menentukan jenis KRL yang digunakan. Bisa saja responden dengan jenis pekerjaan karyawan swasta akan memilih menggunakan KRL ekonomi. Sebaliknya PNS akan memilih menggunakan KRL AC Ekonomi ataupun Eksekutif.

3. Tujuan Penggunaan bagi Penumpang

Gambar 11 Sebaran tujuan penggunaan responden penumpang KRL

Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Tujuan penggunaan KRL Commuter Line per bulan oleh penumpang kalangan pekerja di Stasiun Bogor dibagi menjadi dua jenis, yakni bekerja dan bukan bekerja. Penumpang dengan tujuan bekerja sebesar 69%, sisanya sebesar 31% penumpang yang menggunakan KRL Commuter Line bukan dengan tujuan untuk bekerja.

Penumpang kalangan pekerja dengan tujuan bekerja memiliki frekuensi lebih banyak dalam menggunakan KRL Commuter Line setiap bulannya. Jumlah perjalanan yang dilakukan penumpang dengan tujuan bekerja kira-kira sekitar 40 kali per bulan. Tingginya permintaan terhadap KRL ini terjadi pada pagi dan sore selama hari Senin hingga Jumat. Lebih singkatnya waktu yang dibutuhkan untuk sampai tempat tujuan dan biaya lebih murah dibandingkan dengan alat transportasi lain, seperti bus, menjadi alasan bagi penumpang dengan tujuan bekerja memilih KRL Jabodetabek untuk menunjang rutinitas pekerjaanya. Beberapa penumpang memiliki alasan lain karena kedekatan lokasi bekerjanya dengan stasiun tujuan. Pemilihan jenis KRL Commuter Line

selanjutnya dilakukan oleh penumpang tersebut karena ketersediaan jadwal yang lebih banyak dan sarana yang lebih baik bila dibandingkan dengan KRL Ekonomi.

Penumpang kalangan pekerja dengan tujuan penggunaan bukan untuk bekerja biasanya hanya sesekali menggunakan KRL Commuter Line. Mereka

69% 31%

Kerja

(33)

23 biasanya menggunakan KRL hanya untuk menunjang kegiatan yang bukan rutinitasnya. Contoh kegiatan yang dimaksud adalah mengunjungi lokasi wisata, keluarga, teman, tempat ibadah, dan keperluan lain. Penumpang dengan tujuan bukan bekerja biasanya menggunakan KRL di luar jam permintaan tertinggi untuk memeroleh kenyamanan dari tingginya kepadatan penumpang dengan tujuan bekerja.

4. Usia Penumpang

Gambar 12 Sebaran usia responden penumpang KRL Commuter Line

kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor 41% berusia antara 21 tahun hingga 30 tahun. Penumpang yang berusia antara 31 tahun hingga 40 tahun sekitar 29% dan sisanya sebesar 30% adalah penumpang dengan usia antara 41 tahun hingga 40 tahun. Hal ini mempresentasikan keadaan di lapangan bahwa penumpang KRL Commuter Line adalah penumpang berusia produktif di bawah 40 tahun tahun.

Penumpang yang berusia di atas 40 tahun totalnya 32 responden, di mana 31 responden memiliki pendapatan Rp2 500 000 ke atas dan 1 responden memiliki pendapatan kurang dari Rp2 500 000. Semakin bertambah usia dan pendapatan seseorang, mereka akan lebih memertimbangkan aspek kenyamanan dan keamanan dalam memilih moda transportasi. Kondisi KRL

Commuter Line lebih baik dibandingkan dengan kondisi pada KRL Ekonomi sebagai substitusinya. Inilah yang mendasari penumpang di atas 40 tahun juga memilih KRL Commuter Line.

41%

29% 30%

(34)

24

5. Tingkat Pendidikan Terakhir Penumpang

Gambar 13 Sebaran pendidikan terakhir responden penumpang KRL

Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor terdiri dari berbagai jenis tingkat pendidikan akhir. Tingkat pendidikan terakhir dari penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Bogor dengan permintaan tertinggi adalah sarjana sebesar 38%. Penumpang dengan tingkat pendidikan terakhir SMA 20%, Diploma 26%, dan pascasarjana 16%. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka mereka akan lebih memertimbangkan aspek kenyamanan dan keamanan dalam memilih moda transportasi. Kondisi KRL Commuter Line lebih baik dibandingkan dengan KRL Ekonomi sebagai substitusinya. Inilah yang mendasari penumpang dengan tingkat pendidikan akhir pascasarjana dan sarjana milih KRL

Commuter Line.

Penumpang dengan tingkat pendidikan akhir di bawah sarjana menggunakan KRL Commuter Line. Kegiatan penumpang KRL Commuter Line yang beragam di tempat tujuan dan kebutuhan akan transportasi tersebut sebagai penunjangnya menjadikan penumpang KRL Commuter Line tidak saja berasal dari latar belakang pendidikan akhir sarjana, tetapi juga di bawahnya. Ketersediaan jadwal yang lebih banyak dibandingkan KRL Ekonomi menjadikan timbulnya rasa kebutuhan bagi penumpang dengan pendidikan di bawah sarjana pun menggunakan jenis transportasi ini.

20%

26% 38%

16%

(35)

25 6. Jumlah Permintaan KRL Commuter Line

Gambar 14 Sebaran jumlah permintaan (frakuensi) responden penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Jumlah permintaan penumpang kalangan pekerja terhadap KRL

Commuter Line bervariasi dalam waktu satu bulan. Pengklasifikasian terhadapnya dibagi menjadi dua, yaitu kurang dari 40 kali (< 40 kali) dan lebih dari sama dengan 40 kali (≥ 40 kali). Hal ini berdasarkan jumlah permintaan tertinggi dari KRL Commuter Line. Jumlah permintaan tertinggi terjadi setiap hari Senin hingga Jumat. Bila diasumsikan penumpang menggunakan KRL pulang-pergi, berarti penumpang menggunakan KRL 10 kali selama lima hari tersebut. Penumpang dengan frekuensi tersebut dalam satu bulan akan menggunakan KRL Commuter Line sebanyak 40 kali.

Sebanyak 64% penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Bogor

menggunakan jasa transportasi tersebut lebih dari sama dengan 40 kali (≥ 40

kali) dalam satu bulan, sedangkan 36% lainnya menggunakannya kurang dari 40 (< 40 kali) dalam satu bulan. Jumlah tersebut diluar anggapan bahwan penumpang dengan jumlah kurang dari 40 kali bukan dengan tujuan untuk bekerja karena terdapat pula penumpang dengan tujuan bekerja yang jumlah penggunaan KRL Commuter Line kurang dari 40 kali tergantung dari jenis pekerjaannya.

36%

64%

< 40 kali

(36)

26

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Penumpang KRL Commuter

Line Jabodetabek Kalangan Pekerja di Stasiun Bogor

Tabel 3 Hasil estimasi regresi faktor-faktor yang memengaruhi permintaan KRL

Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2.623689 1.629527 1.610092 0.1105

LNPEN 0.012475 0.123420 0.101075 0.9197

TUJ 2.256733 0.083851 26.91372 0.0000

LNUS -0.391460 0.170732 -2.292838 0.0240

TPT 0.009108 0.093169 0.097753 0.9223

R-squared 0.885522 Mean dependent var 3.001504 Adjusted R-squared 0.880942 S.D. dependent var 1.118696 S.E. of regression 0.386003 Akaike info criterion 0.980504 Sum squared resid 14.89982 Schwarz criterion 1.106883 Log likelihood -46.47647 Hannan-Quinn criter. 1.031715 F-statistic 193.3819 Durbin-Watson stat 1.750069 Prob(F-statistic) 0.000000

Keterangan: *Signifikan pada taraf nyata 5% (�=5%)

Berdasarkan hasil regresi tersebut, didapatkan persamaan permintaan penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor sebagai berikut:

lnPCL = 2.624 + ln0.012PEN + 2.257TUJ - ln0.391US + 0.009TPT Variabel pendapatan berpengaruh positif yang tidak signifikan pada taraf

nyata (α=5%) terhadap permintaan KRL Commuter Line per bulan dengan koefisien 0.012. Artinya, bila pendapatan penumpang meningkat 1%, maka permintaan terhadap KRL Commuter Line akan meningkat 0.012% saat variabel yang lain dianggap konstan. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa pendapatan penumpang berpengaruh positif terhadap permintaan KRL Commuter Line. Tanda yang dimiliki koefien adalah positif, hal ini menunjukkan bahwa KRL Commuter Line merupakan barang normal. Kebutuhan akan jasa KRL

Commuter Line, menunjukkan bahwa penumpang dengan pendapatan rendah pun menggunakan transportasi tersebut. Ketersediaan jadwal yang lebih banyak dibandingkan KRL Ekonomi menjadikan timbulnya rasa kebutuhan bagi mereka terhadap KRL Commuter Line. Hal inilah yang menimbulkan ketidaksignifikanan variabel pendapatan terhadap permintaan KRL Commuter Line.

Variabel tujuan penggunaan berpengaruh positif yang signifikan pada taraf

nyata (α=5%) terhadap permintaan KRL Commuter Line per bulan dengan

(37)

27 2.257 kali per bulan saat variabel yang lain dianggap konstan. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa tujuan berpengaruh positif terhadap permintaan KRL

Commuter Line.

Variabel usia penumpang berpengaruh negatif yang signifikan pada taraf

nyata (α=5%) terhadap permintaan KRL Commuter Line per bulan dengan koefisien 0.391. Artinya, bila usia penumpang bertambah 1%, maka permintaan terhadap KRL Commuter Line akan berkurang 0.391% saat variabel yang lain dianggap konstan. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa usia berpengaruh negatif terhadap permintaan KRL Commuter Line.

Variabel tingkat pendidikan terakhir berpengaruh positif yang tidak

signifikan pada taraf nyata (α=5%) terhadap permintaan KRL Commuter Line per bulan dengan koefisien 0.009. Artinya, selisih permintaan terhadap KRL

Commuter Line antara penumpang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir sarjana ke atas dengan tingkat pendidikan terakhir di bawah sarjana adalah sebesar 0.009 kali per bulan saat variabel yang lain dianggap konstan. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap permintaan KRL Commuter Line. Kegiatan penumpang KRL Commuter Line

yang beragam di tempat tujuan dan kebutuhan akan transportasi tersebut sebagai penunjangnya menjadikan penumpang KRL Commuter Line tidak saja berasal dari latar belakang pendidikan akhir sarjana, tetapi juga di bawahnya. Ketersediaan jadwal yang lebih banyak dibandingkan KRL Ekonomi menjadikan timbulnya rasa kebutuhan bagi penumpang dengan pendidikan di bawah sarjana pun menggunakan jenis transportasi tersebut. Hal inilah yang menimbulkan ketidaksignifikanan variabel tingkat pendidikan akhir terhadap permintaan KRL

Commuter Line.

Hasil pengujian parameter persamaan regresi dijelaskan sebagai berikut: 1. Uji Koefisien Determinasi (�2)

Berdasarkan hasil estimasi model penelitian pada Tabel 3 diperoleh nilai koefisien determinasi (�2) sebesar 0.885522. Ini berarti 88.55% variasi dari permintaan KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor diterangkan oleh keempat variabel yang digunakan, yaitu pendapatan, tujuan penggunaan, usia, dan tingkat pendidikan terakhir. Sisanya 11.55% diterangkan oleh variabel lain di luar model.

2. Uji t-Statistik

Uji t-statistik dilakukan dengan melihat probabilitas masing-masing variabel bebas. Jika nilai probabilitas variabel bebas kurang dari taraf nyata (�=5%), maka variabel bebas signifikan memengaruhi variabel tak bebasnya. Jika probabilitas variabel bebas lebih besar taraf nyata (�=5%), maka variabel bebas tidak signifikan berpengaruh terhadap variabel tak bebasnya.

Hasil estimasi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa variabel tujuan

penggunaan dan usia memiliki probabilitas kurang dari taraf nyata (α=5%)

sehingga dapat disimpulkan variabel-variabel tersebut berpengaruh signifikan terhadap permintaan KRL Commuter Line. Variabel pendapatan dan tingkat pendidikan terakhir penumpang memiliki probabilitas lebih besar dari taraf

nyata (α=5%) sehingga dapat disimpulkan kedua variabel tersebut tidak

(38)

28

3. Uji F-Statistik

Uji F-statistik dilakukan dengan melihat probabilitas F-statistik pada model. Jika nilai probabilitas F-statistik kurang dari taraf nyata (�=5%), maka disimpulkan minimal ada satu variabel bebas yang terdapat dalam model penelitian memengaruhi variabel tak bebasnya secara signifikan. Jika probabilitas F-statistik lebih besar dari taraf nyata (�=5%), maka disimpulkan tidak ada variabel bebas yang terdapat dalam model penelitian memengaruhi variabel tak bebasnya.

Nilai Probabilitas F-statistik yang diperoleh dari hasil regresi adalah sebesar 0.000000. Ini menunjukkan hasil yang baik karena nilai probabilitas F-hitung kurang dari taraf nyata (�=5%). Hal ini menunjukkan bahwa keabsahan model yang dibentuk dapat diterima, di mana minimal ada satu variabel bebas yang terdapat dalam model penelitian memengaruhi permintaan KRL Commuter Line secara signifikan.

Hasil uji pelanggaran asumsi terhadap model di atas dijelaskan sebagai berikut:

1. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan kondisi adanya hubungan linier antarvariabel independen. Jika coefficient matrix antar variabel bebas dalam persamaan regresi kurang dari |0.8| (rule of thumbs), maka dalam persamaan regresi tidak terjadi gejala multikolinearitas. Jika coefficient matrix

antarvariabel bebas dalam persamaan regresi lebih besar dari |0.8| (rule of thumbs), maka pada persamaan regresi terjadi gejala multikolinearitas.

Hasil pengujian (Lampiran 2) menunjukkan bahwa tidak ada coefficient matrix yang melebihi rule of thumbs sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa model tersebut tidak mengalami masalah multikolinearitas.

2. Uji Heteroskedastisitas

Model regresi yang baik memiliki variasi pengamatan yang tetap, jika berbeda artinya mengalami masalah heteroskedastisitas. Pengujian dilakukan dengan Uji White yang melihat nilai probalilitas Obs*R-squared terhadap taraf nyatanya. Jika nilai probabilitas Obs* R-squared lebih besar dari taraf

nyata (α = 5%), disimpulkan bahwa model homoskedastisitas. Jika nilai

probabilitas Obs* R-squared kurang dari taraf nyata (α = 5%), disimpulkan

bahwa model mengalami masalah heteroskedastisitas.

Hasil dari uji yang dilakukan pada model di atas menunjukkan bahwa nilai probailitas Obs* R-squared adalah sebesar 0.0000, maka dapat disimpulkan bahwa model mengalami masalah heteroskedastisitas. Masalah ini dapat dihilangkan dengan Metode White. Pemilihan metode ini berdasarkan pada nilai �2 yang tidak diketahui (Lampiran 3).

3. Uji Autokolerasi

Autokorelasi merupakan hubungan antara residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Pengujian autokoelasi dapat dilihat dari nilai probabilitas Obs*R-squared terhadap taraf nyatanya pada Uji Breusch-Godfrey. Jika nilai probabilitas Obs* R-squared lebih besar dari taraf nyata

(α=5%), maka disimpulkan bahwa model tidak mengalami masalah

autokolerasi. Jika nilai probabilitas Obs* R-squared kurang dari taraf nyata (α

(39)

29 Hasil dari uji yang dilakukan pada model di atas (Lampiran 4), nilai probailitasnya sebesar 0.2411, maka dapat disimpulkan bahwa model tidak mengalami masalah autokorelasi karena nilainya yang lebih besar dari taraf

nyata (α=5%).

4. Uji Normalitas

Uji normalitas memiliki dua kriteria, yaitu jika nilai Jarque-Bera kurang dari 2, maka data berdistribusi normal. Selanjutnya, jika probabilitas lebih

besar dari taraf nyata (α=5%), maka data berdistribusi normal. Hasil dari uji

(Lampiran 5) yang dilakukan pada model di atas, nilai Jarque-Bera sebesar 1.913535 dan probailitasnya sebesar 0.384133, maka dapat disimpulkan bahwa model berdistribusi normal.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Karakteristik responden pada penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja adalah berpendapatan sekitar Rp2 500 000 sampai Rp5 000 000, jenis pekerjaannya adalah pegawai swasta, berusia antara 21 sampai 30 tahun, dengan tujuan penggunaan untuk bekerja, tingkat pendidikan terakhir sarjana, dan jumlah permintaan lebih dari sama dengan 40 kali per bulan. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, faktor-faktor yang memengaruhi permintaan KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor secara signifikan adalah variabel tujuan penggunaan dan usia penumpang.

Saran

Kebutuhan akan jasa KRL Commuter Line, menunjukkan bahwa penumpang dengan pendapatan di bawah Rp2 500 000 pun menggunakan transportasi tersebut. Ketersediaan jadwal yang lebih banyak dibandingkan KRL Ekonomi menjadikan timbulnya rasa kebutuhan bagi mereka terhadap KRL

(40)

30

DAFTAR PUSTAKA

Anindita R. 2008. Pendekatan Ekonomi untuk Analisis Harga. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Group.

___________________________________________. 2005. Profil Komuter Hasil Supas 2005. Jakarta(ID): BPS.

[DPNLIPI] Departemen Pendidikan Nasional dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2009. Optimalisasi Peran Jasa Transportasi KeretaApi: Pendekatan Model Diamond’s Porter. Jakarta (ID): Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Dikun S. 2003. Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis. Jakarta(ID): BAPPENAS.

Gujarati DN. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta (ID): Erlangga.

___________. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta (ID): Erlangga.

[IPB] Institut Pertanian Bogor. 2012. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Edisi Ketiga. Bogor (ID): IPB Press.

Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Press. _______. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Bogor (ID): IPB

Press.

Miro F. 2012. Pengantar Sistem Transportasi. Jakarta (ID): Erlangga.

Nicholson W. 2001. Teori Ekonomi Mikro Prinsip Dasar dan pengembangannya. Jakarta(ID): P.T. Raja Grafindo Persada.

Siregar S. 2010. Statistika Deskriptif untuk Penelitian. Jakarta (ID): Rajawali Pers. Salvatore D. 2001. Managerial Economics dalam Perekonomian Global. Jakarta

(ID): Erlangga.

Sunaryo T. 2001. Ekonomi Manajerial Aplikasi Teori Ekonomi Mikro. Jakarta (ID): Erlangga

Menteri Perhubungan Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 28 Tahun 2012 Tentang Pedoman Perhitungan dan Penetapan Tarif Angkukutan Orang dengan Kereta Api. Jakarta (ID): Kementerian Perhubungan.

[PTKCJ] P.T. KAI Commuter Jabodetabek. 2012. Surat Keputusan Direksi P.T. KAI Commuter Jabodetabek Nomor: 004/KCJ/DIR-OPS/V/2012 Tentang Penetapan Tarif Commuter Line. Jakarta (ID): P.T. KCJ.

Pemerintah Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

_________________________. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. _________________________. 2011. Peraturan Presiden Republik Indonesia

(41)

31 Presiden Republik Indonesia. 2008. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5

Tahun 2008 Tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009. Jakarta (ID): Preseiden RI.

Winarno WW. 2011. Analisis Ekomometrika dan Statistika dengan Eviews Edisi 3. Yogyakarta(ID): UPP STIM YKPN.

Hidayat S. 2002. Analisis Permintaan Konsumen Keluarga Terhadap Telur Ayam Ras di Kecamatan Koja Jakarta Utara [skripsi]. Bogor (ID): InstitutPertanian Bogor.

Kurniawan BA, Fitrie A. 2013. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Riil Mobil Toyota Kijang Innova di Kota Semarang. Diponegoro Journal of Economics Vol. 2 No. 1, Tahun 2013: 1-6

Purnama MH. 2010. Elastisitas Permintaan Penumpang Angkutan Udara Rute Jakarta-Denpasar Terhadap Perubahan Tarif. Jurnal Penelitian Perhubungan Udara Vol. 36 No. 3, September 2010: 278-290.

Salma IA, Susilowati I. 2004. Analisis Permintaan Objek Wisata Alam Curug Sewu, Kabupaten Kendal dengan Pendekatan Travel Cost. Jurnal Dinamika Pembangunan Vol. 1 No. 2, Desember 2004: 153-165.

[BPSRI] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2013. Jumlah Penumpang Kereta Api, 2006-2012 (Ribu Orang) [internet]. [diacu 2013 Januari 17]. Tersedia

dari: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=1 7&notab=16.

[PTKAI] P.T. Kereta Api Indonesia (Persero). 2011. Perubahan Pola Operasi KRL Jabodetabek [internet]. [diacu 2013 Januari 17]. Tersedia dari: http://www.kereta-api.co.id/informasi-media/press-release/278-perubahan-pola-operasi-krl-jabodetabek.html.

(42)

32

Lampiran 1 Variabel-variabel yang memengaruhi permintaan KRL Commuter Line Jabodetabek bagi kalangan pekerja di Stasiun Bogor

NO PERMINTAAN PENDAPATAN PENDIDIKAN TUJUAN USIA

(43)

33

NO PERMINTAAN PENDAPATAN PENDIDIKAN TUJUAN USIA

Gambar

Gambar 2 Sepuluh stasiun di Jabodetabek berdasarkan jumlah penumpang
Gambar 3 Jumlah penumpang KRL Commuter Line dan KRL Ekonomi
Gambar 5 Kurva permintaan
Gambar 9   Sebaran pendapatan responden penumpang KRL Commuter Line
+4

Referensi

Dokumen terkait

• rognosis spondylitis T&amp; meningkat dengan diagnosis dan intervensi yang *epat. • ada umumnya prognosis baik pada pasien tanpa de1sit dan

Pembahasan dalam jurnal ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan media boneka tangan dan pengaruhnya terhadap media pembelajaran daring dan ekonomi masyarakat yang

Berdasarkan analisis, Penulis menyimpulan bahwa pemerintah Kabupaten Gowa dalam melaksanakan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama tahun 2020 secara umum sudah

Negara-negara Peserta berkewajiban menyediakan perlindungan hukum yang memadai dan sanksi hukum yang efektif terhadap tindakan pengabaian/pengelakan atas tindakan- tindakan

(2) (a) Sesuai dengan ketentuan-ketentuan sub-ayat (b), masing-masing Kantor Ditunjuk harus dengan syarat biaya nasional (jika ada) telah dibayar dan terjemahan yang

Etiologinya diperkirakan karena disfungsi dari mekanisme kerja hipotalamus – hipofisis yang mengakibatkan anovulasi sekunder. Pada masa ini ovarium masih belum

Transfusi darah yang aman sangat diperlukan oleh pasien, oleh sebab itu pemeriksaan Transfusi darah yang aman sangat diperlukan oleh pasien, oleh sebab itu

Hasil studi menunjukkan Teknologi induced pluripotent stem cell (iPSC) yang dikombinasikan dengan metode kultur sel 3D hanging drop memiliki potensi yang sangat