• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.)"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN SUWEG

(Amorphophallus campanulatus Bl.)

STACEY ATHALIA GUNAWAN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.)adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Stacey Athalia Gunawan

(3)

ABSTRACT

STACEY ATHALIA GUNAWAN. Glycemic Indices of Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) Products. Under Direction of RIMBAWAN.

The general objective of this study was to analyze the glycemic indices of fried, boiled, and steamed suweg. The specific objectives of this study were: (1) to analyse nutrient composition in processed suweg; (2) to analyse glycemic indices of processed suweg; (3) to analyse any statistical differences of glycemic indices of fried, boiled, and steamed suweg.

This research consisted of three stages covered: (1) processing of suweg into three treatments (fried, boiled, and steamed), (2) analyzing of nutrient contents in suweg products, (3) measuring of glycemic index of three processed.

Treatment affects the moisture(wet based/ wb) content of suweg which were on steamed, boiled, and fried suweg 73.61%, 80.25%, and 55.92% respectively. Protein content (dry based/ db) were 5.38%, 5.67%, and 3.92% respectively. Fat content (db) were 0.27% for steamed, 0.39% for boiled, and 11.41% for fried suweg. Total carbohydrate by difference content (db) for steamed, boiled, and fried suweg were 87.47%, 87.87%, and 79.03% respectively. Total dietary fiber (db) content were 29.02% for steamed, 34.99% for boiled, and 25.58% for fried suweg. Insoluble dietary fiber (db) content for steamed, boiled and fried suweg were 19.67%, 27.06% dan 19.47%, while soluble dietary fiber (db) were 7.93%, 11.72% dan 6.12% respectively.

Glycemic index values of steamed, boiled, and fried suweg were 37.36, 45.58, and 24.68 respectively. Those three products were classified as low glycemic index category. Statistical analysis showed that treatment effected the glycemic index value.

(4)

RINGKASAN

STACEY ATHALIA GUNAWAN. Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.). Dibimbing oleh Dr. RIMBAWAN.

Karbohidrat seringkali dikelompokkan menurut struktur kimia yaitu karbohidrat sederhana dan kompleks. Namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini diketahui bahwa konsep tersebut tidak dapat menggambarkan dampak karbohidrat pada kadar glukosa darah. Konsep indeks glikemik muncul untuk menunjukkan efek karbohidrat terhadap kenaikan kadar gula darah dalam tubuh manusia (Rimbawan dan Siagian 2004). Dengan demikian maka jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat dapat dipilih untuk menjaga kesehatan tubuh.

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai indeks glikemik suatu pangan. Pangan dengan jenis bahan yang sama tetapi menggunakan cara pengolahan yang berbeda dapat menunjukkan nilai indeks glikemik yang berbeda-beda, karena pengolahan dapat merubah karakteristik dan sifat fisiko kimia bahan pangan. Adanya perubahan struktur tersebut dapat mempengaruhi daya cerna dan daya serap pangan tersebut. Lamanya penyerapan karbohidrat berbanding lurus dengan indeks glikemik pangan. Semakin lama waktu yang diperlukan untuk diserap maka semakin rendah pula IG pangan dan sebaliknya.

Suweg merupakan salah satu pangan sumber karbohidrat yang dapat digunakan sebagai pengganti beras. Umbi suweg merupakan umbi terbesar di Indonesia. Suweg merupakan salah satu pangan lokal dengan pembudidayaan yang relatif mudah dan dapat digunakan sebagai alternatif sumber karbohidrat. Pengolahan umbi suweg yang sering dikenal masyarakat adalah dengan pengukusan dan perebusan. Penelitian mengenai indeks glikemik pangan lokal yang dapat dijadikan sumber karbohidrat masih sangat terbatas. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mempelajari nilai indeks glikemik pada berbagai jenis olahan umbi suweg.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisa indeks glikemik produk olahan umbi suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.). Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah (1) mengkaji komposisi zat gizi yang terkandung pada suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus; (2) menganalisis nilai indeks glikemik suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus; (3) menganalisis pengaruh pengolahan terhadap nilai indeks glikemik suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus.

Penelitian ini dilaksanakan pada pertengahan September sampai dengan awal bulan November 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian adalah Laboratorium Percobaan Pangan, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan, serta Teaching Cafetaria, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu pemilihan sampel dan persiapan, pengolahan suweg, analisis kandungan zat gizi, pemilihan subjek penelitian, pengukuran indeks glikemik produk olahan suweg.

(5)

Bermacam jenis pengolahan pangan menghasilkan komposisi zat gizi yang berbeda pada produk olahan suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.). Perbedaan kandungan gizi ini disebabkan oleh penggunaan bahan pangan lain yang ditambahkan (air dan minyak) serta metode pengolahan yang berbeda (mengukus, merebus, dan menggoreng). Kadar air (bb) dalam suweg kukus, rebus dan goreng sebesar 73.61%, 80.25%, dan 55.92%. Kadar protein (bk) pada suweg kukus, rebus dan goreng berturut-turut 5.38%, 5.67%, dan 3.92%. Kadar lemak (bk) pada suweg kukus, rebus dan goreng 0.27%, 0.39%, dan 11.41%. Kandungan karbohidrat by difference (bk) dalam suweg kukus, rebus dan goreng sebesar 87.47%, 87.87%, dan 79.03%. Serat pangan total (bk) yang terkandung pada suweg kukus, rebus dan goreng 29.02%, 34.99%, dan 25.58%. Kadar serat pangan tidak larut (bk )untuk suweg kukus, rebus dan goreng 19.67%, 27.06% dan 19.47%, sedangkan serat pangan larut (bk) sebesar 7.93%, 11.72% dan 6.12%.

Hasil pengukuran indeks glikemik menunjukkan bahwa tiap produk olahan suweg dengan pengolahan yang berbeda, memiliki respon glikemik yang juga berbeda. Nilai indek glikemik suweg kukus (37.36), suweg rebus (45.58), dan suweg goreng (24.68) berada pada kategori pangan dengan indeks glikemik rendah. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pengolahan suweg yang berbeda menunjukkan perbedaan respon glikemik secara nyata (p<0.05).

(6)

NILAI INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN SUWEG

(

Amorphophallus campanulatus Bl.

)

STACEY ATHALIA GUNAWAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

Dari Program Studi Ilmu Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)

Judul : Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.)

Nama : Stacey Athalia Gunawan NIM : I14104025

Disetujui oleh:

Dr. Rimbawan Pembimbing

Diketahui oleh:

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat penyertaan dan hikmat yang senantiasa dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Nilai Indeks Glikemik Produk

Olahan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.)” sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.

Selama penyusunan skripsi ini penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak baik bantuan moril maupun materiil. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Dr. Rimbawan selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan arahan, bimbingan, serta motivasi yang sangat berarti sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. dr. Mira Dewi, S.Ked, M.Si selaku dosen pemandu seminar yang telah memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Dr. Ir. Evy Damayanti, MS selaku dosen penguji sidang yang telah memberikan masukan untuk penyelesaian skripsi ini.

4. Dr. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis selama perkuliahan. 5. Kedua orang tua (Alm. David Ananto dan Vonny Broto Loekito), kakak (Stella

Alvina) dan adik (Stefanus Andre dan Starlyn Angelica) yang senantiasa memberikan dukungan kekuatan, kasih sayang, perhatian, finansial, dan doa yang tulus kepada penulis yang tidak henti-hentinya selama ini.

6. Para teknisi laboratorium Departemen Gizi Masyarakat, Bapak Mashudi, Ibu Ir.Titi Riani, M.Biomed, Ibu Khusnul Rizqywati, B.Sc, Ibu Nina, S.Si yang senantiasa memberikan bantuan, kesediaan untuk berbagi ilmu dan pengalaman kepada penulis selama melakukan penelitian.

7. dr. Naufal Muharram yang telah membantu dalam pengukuran kadar glukosa darah subjek.

8. Para pembahas seminar (Irani Rachmawati, Relina Kusumawardhani, Soni Fauzi dan Nindya Anindita) atas saran dan masuk untuk penyempurnaan skripsi ini.

(9)

10. Sarah Melati Fu, Novita Mulyana, Sri Handayani (Nina), Ine Sunarya, Liliani, Eliza Nathania, Martin Suhendra, Hizkia Michael, dan Annanias Ryan yang selalu menjadi teman terbaik dan memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi.

11. Teman-teman anggota kelompok kesan Titin1 yang selalu memberikan motivasi dan dukungan doa

12. Resita Nurbayani teman seperjuangan dalam penyelesaian skripsi, Relina Kusumawardhani, Erni lestari dan Dwi Rusmawati sahabat semasa kuliah. 13. Teman-teman seperjuangan alih jenis Ilmu Gizi angkatan ke-4.

14. Seluruh teman-teman dan pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan bantuan doa kepada Penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Penulis harapkan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, menambah keragaman ilmu pengetahuan terutama mengenaiindeks glikemik.

Bogor, Februari 2013

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1989. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara pasangan David Ananto dan Vonny Broto Loekito. Jenjang pendidikan yang telah ditempuh penulis yaitu taman kanak-kanak di TK Kartini Kecamatan Bangunsari, Caruban (1993-1995), Sekolah Dasar di SDN Kerajan 02 Kecamatan Mejayan, Caruban (1995-2001), Sekolah Menengah Pertama di SMPK Santo Yusuf Madiun (2001-2004), dan Sekolah Menengah Atas di SMAK St. Louis 1 Surabaya (2004-2007).

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Regular (Test) di Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi Diploma IPB. Penulis melakukan Praktek Usaha Jasa Boga di Hotel Kartika Chandra sejak tanggal 7 Oktober 2009 sampai tanggal 7 Januari 2010. Penulis Praktek Kerja Lapang di RS Angkatan Darat Salak Bogor sejak tanggal 2 Maret 2010 sampai tanggal 18 Juni 2010. Setelah menempuh pendidikan diploma, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya di program alih jenis (ekstensi) ilmu gizi IPB pada tahun 2010. Selama kuliah di program alih jenis, penulis pernah menjadi panitia Divisi Sponsorship dalam kegiatan Seminar

Pangan dan Gizi Nasional ”FIT FESTIVAL” yang dilaksanakan di Hotel

Brajamustika. Selain itu, penulis pernah melakukan kuliah kerja profesi di Kecamatan Margasari Kabupaten Tegal selama 2 bulan.

(11)

DAFTAR ISI

Prosedur Penentuan Indeks Glikemik Pangan 9

Prinsip Pengukuran Indeks Glikemik 9

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan 10

METODE PENELITIAN 14

Waktu dan Tempat 14

Bahan dan Alat 14

Tahapan Penelitian 15

Pemilihan Sampel dan Persiapan 15

Pengolahan Suweg 15

Analisis Kandungan Zat Gizi Produk Olahan Suweg 15

Pengukuran Derajat Gelatinisasi, Kadar Amilosa dan Amilopektin 16

Penentuan dan Pemilihan Subjek Penelitian 16

Pengukuran Indeks Glikemik Suweg Goreng, Suweg Rebus, dan

Suweg Kukus 16

Pengolahan dan Analisis Data 18

(12)

Halaman

Pengolahan Produk Olahan Suweg 19

Komposisi Zat Gizi Produk Olahan Suweg 20

Kadar Air 21

Kadar Abu 22

Kadar Protein 23

Kadar Lemak 24

Kadar Karbohidrat (by difference) 25

Kadar Serat Pangan Total 26

Derajat Gelatinisasi Pati Produk Olahan Suweg 28

Kadar Amilosa dan Amilopektin 30

Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg 31

Subjek Penelitian 31

Penentuan Jumlah Pangan Uji dan Acuan 32

Respon Glikemik 34

Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg 37

KESIMPULAN DAN SARAN 43

Kesimpulan 43

Saran 43

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kandungan gizi 100 g suweg, uwi dan ubi jalar 5

2 Klasifikasi indeks glikemik 8

3 Jumlah subjek penelitian 17

4 Hasil uji proksimat dan serat pangan total pada suweg mentah, suweg

kukus, suweg rebus dan suweg goreng. 21

5 Jumlah pangan uji dan acuan yang diberikan kepada subjek penelitian

setara dengan 25 gram karbohidrat tersedia. 34

6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks Glikemik 38

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tanaman Suweg 3

2 Pengukuran glycemic index pangan 9

3 Berbagai produk olahan suweg 19

4. Kadar air (%b/b) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan

suweg goreng 21

5. Kadar abu (% b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan

suweg goreng 22

6. Kadar Protein (%b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan

suweg goreng. 23

7. Kadar Lemak (%b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan

suweg goreng. 24

8. Kadar karbohidrat by difference (%bk) suweg mentah, suweg kukus,

suweg rebus, dan suweg goreng. 26

9. Kadar serat pangan (%b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg

rebus, dan suweg goreng. 27

10. Derajat gelatinisasi pada produk suweg mentah, suweg kukus,

suweg rebus, dan suweg goreng 28

11. Kadar total pati, amilosa, amilopektin (%b/k) pada produk suweg

mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng. 30 12. Perbandingan pengaruh glukosa murni 25 gram dan 50 gram 33 13. Kurva respon glikemik salah satu subjek terhadap suweg kukus 35 14. Kurva respon glikemik salah satu subjek terhadap suweg rebus 36 15. Kurva respon glikemik salah satu subjek terhadap suweg goreng 36

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Cara Pengolahan Suweg Goreng, Suweg Kukus, dan Suweg Rebus 48

2 Uji Proksimat 50

3 Analisis kadar serat metode enzimatik (Fardiaz et al 1984) 54

4 Metode Analisis Derajat Gelatinisasi 57

5 Analisis kadar amilosa metode spektrofotometer 59

6Informed Consent 60

7 Dokumentasi 61

8 Contoh Perhitungan Pangan Uji yang Diberikan 62

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) atau lebih dikenal dengan penyakit kencing manis merupakan salah satu penyakit degeneratif sebagai akibat dari kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemi). Kadar gula tinggi dapat disebabkan karena jumlah hormon insulin yang cukup atau bahkan kadang-kadang lebih tetapi kurang efektif (resistensi insulin) (Waspadji 2003). Hasil berbagai penelitian menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kejadian DM yaitu 171 juta orang di belahan bumi pada tahun 2003 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 2 kali lipat pada tahun 2030 (World Health Organization 2003). Di Indonesia jumlah penyakit DM mencapai 8.426.000 orang pada tahun 2000 atau prevalensi sekitar 4% dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlahnya akan mencapai 21.257.000 orang (World Health Organization 2005). Salah satu penyebab timbulnya diabetes melitus adalah karena konsumsi zat gizi khususnya karbohidrat yang tidak seimbang atau melebihi kebutuhan.

Orang dengan diabetes mellitus disarankan untuk membatasi konsumsi karbohidrat. Karbohidrat pada dasarnya dikelompokkan menurut struktur kimianya yaitu karbohidrat sederhana dan kompleks. Namun dengan perkembangan ilmu sekarang ini diketahui bahwa konsep tersebut tidak dapat menggambarkan dampak karbohidrat pada gula darah. Dari pemahaman tersebut muncul konsep indeks glikemik yang menunjukkan efek karbohidrat terhadap kenaikan kadar gula darah dalam tubuh manusia (Rimbawan dan Siagian 2004). Penerapan konsep ini dapat digunakan untuk memilih jumlah dan jenis pangan yang tepat untuk menjaga kesehatan tubuh. Orang dengan diabetes melitus sebaiknya memilih konsumsi makanan yang memiliki nilai indeks glikemik rendah

(17)

Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) merupakan salah satu pangan sumber karbohidrat yang dapat digunakan sebagai pengganti beras. Menurut Pitodjo (2007) pada zaman penjajahan Jepang, umbi suweg berjasa mendukung ketahanan pangan keluarga bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi mereka yang kesulitan untuk menyediakan beras atau pangan sumber karbohidrat lainnya.

Penelitian mengenai indeks glikemik pangan lokal yang dapat dijadikan sumber karbohidrat masih sangat terbatas. Suweg merupakan salah satu pangan lokal dengan pembudidayaan yang relatif mudah dan dapat digunakan sebagai alternatif sumber karbohidrat. Pengolahan umbi suweg yang sering dikenal masyarakat adalah dikukus dan direbus. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mempelajari nilai indeks glikemik pada berbagai jenis olahan umbi suweg.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari pengukuran indeks glikemik produk olahan umbi suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.).

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini meliputi:

1. Mengkaji komposisi zat gizi yang terkandung pada suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus.

2. Menganalisis nilai indeks glikemik suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus.

3. Menganalisis pengaruh pengolahan terhadap nilai indeks glikemik suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus.

Kegunaan Penelitian

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Suweg

Tanaman suweg merupakan salah satu jenis bunga bangkai dan memiliki nama latin Amorphophallus campanulatus BI. yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tanaman ini biasa disebut suweg oleh masyarakat Jawa dan Sunda, sedangkan di daerah Madura orang menyebutnya sobek (Lingga 1986). Tanaman suweg tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl di daerah tropis dan subtropis, dengan pertumbuhan vegetatif aktif pada kondisi udara yang hangat dan lembab, dan kondisi dorman terjadi pada musim kering (Sakai 1993). Tanaman suweg tumbuh liar di lahan atau tanpa sentuhan teknologi budidaya yang memadai. Suweg dapat hidup menahun dan bertahan lama di lahan. Umbi suweg merupakan umbi terbesar di Indonesia. Pada budi daya intensif, tanaman suweg mampu menghasilkan lebih dari 7.5 kg umbi pada umur 3 tahun dan mencapai 11 kg pada umur 4 tahun (Pitodjo 2007).

Bunga tanaman ini mengeluarkan aroma yang tidak sedap dan menyengat. Tanaman suweg tampak seperti sebatang tonggak dengan sedikit daun. Tanaman suweg dalam taksonomi dapat diklasifikasikan sebagai:

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotilrdonae

Ordo : Aracales

Genus : Amorphophallus

Spesies : Amorphophallus campanulatus Bl.

Tanaman suweg hidup selama satu musim dengan satu umbi yang berada di bawah tanah (Pitodjo 2007).

Gambar 1 Tanaman Suweg

(19)

suweg termasuk umbi batang, merupakan perubahan bentuk dari batang yang memiliki fungsi sebagai penyimpan cadangan makanan berupa karbohidrat. Bagian teratas umbi suweg biasanya berada sekitar 10-15 cm di bawah tanah. Umbi suweg terdiri dari kulit umbi dan daging umbi. Kulit luar umbi suweg merupakan lapisan kutikula yang bersifat melindungi daging umbi. Kulit umbi suweg saat dipanen berwarna kuning muda dan setelah didiamkan beberapa saat di dalam tanah akan berwarna kuning kecoklatan. Pada kulit suweg melekat beberapa organ tanaman di bawah tanah, yaitu tunas tanaman, tunas akar, akar aktif, dan akar yang telah mati. Bagian kulit umbi yang terkupas akan mengeluarkan getah licin yang mengandung kalsium oksalat sehingga menimbulkan rasa gatal pada kulit. Daging umbi berwarna putih kemerah-merahan, dan terasa licin dan berlendir. Menurut fase perkembangan tanaman, daging umbi bersifat pulen, kenyal namun terkadang bertekstur keras (Pitodjo 2007).

Menurut Lazenby (1998) seperti dikutip oleh Kurdi (2002), timbulnya rasa gatal terutama disebabkan oleh kalsium oksalat berbentuk raphide (jarum halus)

yang tidak terbungkus atau dikelilingi oleh semacam getah, sehingga dapat melakukan kontak secara langsung dengan lidah, bibir, dan langit-langit mulut ketika dikunyah. Kandungan kalsium oksalat tersebut dapat dikurangi dengan perlakuan perendaman dalam air beberapa lama, juga dengan pemanasan (pemasakan) yang intensif (Sakai 1993).

Pada masa penjajahan Jepang, Negara Indonesia mengalami kesulitan bahan pangan sehingga sebagian masyarakat khususnya daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah menggunakan umbi suweg sebagai makanan pokok. Selain itu umbi suweg dipercaya baik dikonsumsi oleh orang dengan diabetes mellitus. Perkembangan ilmu dan teknologi sekarang ini, umbi suweg telah banyak digunakan dalam industri makanan seperti tepung suweg, dan minuman jelly (konyaku) (Pitodjo 2007).

(20)

Tabel 1 Kandungan gizi 100 g suweg, uwi dan ubi jalar

Sumber: DepKes. RI dalam Pitodjo (2007)

Karbohidrat

Karbohidrat merupakan gugusan yang terdiri dari dua unsur karbon dan hidrogen (Prijatmoko 2007). Karbohidrat dibagi berdasarkan struktur kimianya menjadi monosakarida, disakarida, oligosakarida, dan polisakarida (Hardjasasmita 2010).

Monosakarida adalah karbohidrat yang sederhana, sehingga zat tersebut tidak dapat diuraikan menjadi karbohidrat yang lebih sederhana. Monosakarida dibagi menurut banyaknya atom karbon, misalnya diosa (mengandung 2 atom karbon), triosa, tetrosa, pentose hingga nanosa. Selain itu dapat juga dibagi atas aldose (mempunyai gugus aldehid) dan ketosa (mempunyai gugus keton). Heksosa merupakan bentuk monosakarida yang banyak terdapat dalam makanan, yaitu terdiri dari glukosa, fruktosa, galaktosa, dan mannosa (Prijatmoko 2007).

Disakarida terbentuk dari dua molekul monosakarida. Kedua molekul tersebut dihubungkan dengan ikatan kovalen. Sukrosa mempunyai salah satu contoh dari disakarida yang popular di masyarakat dengan sebutan gula meja. Sukrosa terbentuk dari satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Contoh lain disakarida adalah laktosa, yaitu jenis karbohidrat yang merupakan komponen penting pada air susu mamalia. Satu molekul laktosa terbentuk dari satu molekul galaktosa dan satu molekul glukosa (Rimbawan dan Siagian 2004).

(21)

hemiselulosa, pektin, dan lignin) dan sebagai sumber energi (pati, dekstrin, glikogen, dan fruktan). Polisakarida penguat tekstur ini tidak dapat dicerna oleh tubuh, tetapi merupakan serat-serat (dietary fiber) yang dapat menstimulasi enzim-enzim pencernaan (Winarno 1997).

Karbohidrat terdapat pada hewan dan manusia dalam bentuk glikogen yang banyak terdapat di dalam hati dan jaringan otot. Glikogen merupakan salah satu bentuk simpanan energi di dalam tubuh yang dapat dihasilkan melalui konsumsi karbohidrat dan dapat dikonversi kembali menjadi glukosa pada saat tubuh membutuhkannya (Rimbawan dan Siagian 2004).

Pati

Pati merupakan senyawa polisakarida yang terdiri dari monosakarida yang berikatan melalui ikatan oksigen. Pati merupakan zat tepung dari karbohidrat dengan suatu polimer senyawa glukosa yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu amilosa dan amilopektin. Polimer linier dari D-glukosa membentuk amilosa dengan 1,4-glukosa, sedangkan polimer amilopektin adalah terbentuk ikatan 1,4-glukosida dan membentuk cabang pada ikatan 1,6-glukosida. Pati dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman yang dibentuk (disintesa) di dalam daun (plastid) dan amiloplas seperti umbi, akar atau biji dan merupakan komponen terbesar pada singkong, beras, sagu, jagung, kentang, talas, dan ubi jalar (Hartati 2003).

Jumlah unit glukosa dan susunannya dalam satu jenis pati berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman asalnya. Bentuk butiran pati ini berbeda satu sama lain dengan sifat tersendiri dalam daya larut, daya mengentalkan dan rasa. Amilosa merupakan unit glukosa dengan rantai panjang yang tidak bercabang, sedangkan amilopektin memiliki susunan yang bercabang-cabang.rantai glukosa terikat dengan ikatan alfa yang dapat dipecah dalam proses pencernaan. Komposisi amilosa dan amilopektin berbeda-beda dalam setiap jenis pangan. Rantai amilosa dan amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal sehingga tidak larut dalam air dan memperlambat pencernaan oleh amylase pankreas (Almatsier 2004).

(22)

pembengkakan ini granula pati akan kembali pada keadaan semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa namun tidak dapat kembali pada kondisi semula. Proses perubahan tersebut yang disebut sebagai gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah adalah suhu gelatinisasi (Winarno 1997).

Serat Pangan

Serat terdapat pada berbagai tumbuhan, biji-bijian dan buah-buahan yang secara fisis terdapat dua bentuk yaitu serat larut air dan serat tidak larut air. Serat akan membentuk lapisan pada saluran pencernaan yang akan menghambat proses pencernaan dan absorbsi. Serat dapat terdiri atas selulosa, lignin, pentosan, asam uronat dan lain-lain yang dapat dianalisis. Ada sebagian serat yang mempunyai hubungan dengan indeks glikemik yang rendah seperti leguminosa, guar dan tragacantha (Waspadji 2007).

Serat larut dan tidak larut mempunyai manfaat berbeda tetapi keduanya bekerja saling melengkapi. Di dalam lambung, serat yang larut air akan menimbulkan rasa kenyang dan menyebabkan makanan tinggal lebih lama. Serat tidak larut air, selain menimbulkan rasa kenyang, juga bermanfaat menjaga kesehatan usus besar, serta mencegah timbulnya tumor dan kanker. Di dalam saluran pencernaan, serat akan mengikat asam empedu (produk akhir kolesterol) dan kemudian dikeluarkan bersama tinja. Semakin tinggi konsumsi serat, akan semakin banyak asam empedu dan lemak yang dikeluarkan oleh tubuh. Hal tersebut secara otomatis akan mengurangi kadar kolesterol. Selain untuk mengendalikan kolesterol, serat juga sangat berguna mencegah diabetes melitus dan terjadinya kanker kolon (Sutanto 2007).

Indeks Glikemik

(23)

Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki Indeks Glikemik tinggi. Respon gula darah terhadap jenis pangan karbohidrat ini cepat dan tinggi. Dengan kata lain, glukosa dan aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki Indeks Glikemik rendah (slow release carbohydrate) sehingga melepaskan glukosa dalam darah dengan lambat. Indeks glikemik glukosa murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentuan Indeks Glikemik pangan lain (Rimbawan dan Siagian 2004).

Makanan yang sedikit atau tidak mengandung karbohidrat, seperti daging, keju, dan gajih memiliki indeks glisemik mendekati nol. Semakin sedikit makanan mengandung pati dan gula yang mudah dicerna, semakin kecil indeks glikemiknya. Makanan berserat, meskipun mengandung karbohidrat, membutuhkan waktu untuk melewati sistem pencernaan, sehingga cenderung memiliki indeks glikemik rendah. Serat juga membantu memperlambat masuknya gula ke dalam aliran darah Anda (Wylio 2011).

Pangan dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan indeks glikemiknya. Kategori pertama, pangan dengan Indeks Glikemik rendah adalah pangan yang memiliki rentang IG < 55. Kategori kedua, pangan dengan Indeks Glikemik sedang adalah pangan yang berada pada rentang IG 55-70. Kategori ketiga, pangan dengan Indeks Glikemik tinggi adalah pangan dengan rentang IG>70. Klasifikasi indeks glikemik dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi indeks glikemik

Penderita diabetes mellitus dianjurkan paling sedikit mengkonsumsi 50% dari total asupan nasi berupa makanan yang memiliki indeks glikemik rendah. Berdasarkan hal tersebut informasi tentang nilai indeks suatu makanan sangat dibutuhkan oleh penderita diabetes (Prijatmoko 2007).

Beban Glikemik

(24)

tidak perlu dihindari karena tidak mungkin orang tersebut dapat mengkonsumsi 50 g karbohidrat dari wortel dalam sekali makan. Maka untuk hal itulah beban glikemik (BG) dari pangan perlu diketahui (Rimbawan dan Siagian 2004).

Muatan glikemik (glycemic load atau GL) digunakan untuk mengukur dampak potensial makanan terhadap gula darah. Makanan mungkin memiliki indeks glikemik tinggi tetapi jika tidak mengandung banyak karbohidrat per rata-rata penyajian, tidak akan banyak dampaknya pada gula darah. Perhitungan dari muatan glikemik makanan, yaitu mengalikan indeks glikemik dengan jumlah karbohidrat non-serat dalam satu porsi, kemudian dibagi dengan 100. Angka muatan glikemik 20 ke atas dikategorikan tinggi, 10-19 kategori menengah dan kurang dari 10 menunjukan nilai GL yang rendah (Kindo 2011).

Prosedur Penentuan Indeks Glikemik Pangan

Prosedur penentuan Indeks Glikemik pangan adalah sebagai berikut (Miller et al., 1996):

a. Glukosa darah puasa diambil secara prick-test pada pengambilan sampel darah pertama.

b. Pangan tunggal yang akan ditentukan IG-nya (yang mengandung 25 gram karbohidrat) diberikan kepada subjek.

c. Sampel darah diambil untuk setiap 15 menit pada jam pertama kemudian setiap 30 menit pada jam kedua untuk diukur kadar glukosanya.

d. Kadar glukosa darah diplot pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu (X) dan glukosa darah (Y). Indeks Glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan uji dengan pangan acuan.

Gambar 2 Pengukuran glycemic index pangan

Prinsip Pengukuran Indeks Glikemik

(25)

seluruh subyek penelitian. Pangan tersebut diberikan kepada subyek setelah melakukan puasa selama 10 jam (overnight fasting). Hal ini dilakukan untuk mengurangi cadangan gula darah dalam tubuh yang dapat digunakan untuk mengasilkan energi sehingga gula darah yang diukur benar-benar merupakan respon terhadap pangan uji yang diberikan. Setelah itu, subyek diambil darahnya menggunakan fringer prick pada menit ke 0 (sebelum diberi pangan uji), 15, 30, 45, 60, 90, dan menit ke 120. Kadar gula yang ditunjukkan oleh alat tersebut dibuatkan grafik menurut sumbu X dan Y, lalu dihitung luas daerah di bawah kurva baik menggunakan rumus integral maupun trapezoid. Nilai yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan luas kurva untuk pangan standar (dalam hal ini digunakan glukosa murni) untuk mendapatkan nilai indeks glikemik pangan tersebut (Miller 1996).

Pengukuran kadar glukosa melalui plasma darah dilakukan menggunakan

finger-prick capillary blood samples dan terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah persiapan sebelum pengambilan darah dan dilanjutkan proses pengambilan darah. Tahapan-tahapan selama proses sebelum dan saat pengambilan darah terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan. Hal tersebut diantaranya meliputi keadaan ruangan yang nyaman, keadaan subyek dalam kondisi rileks selama lima menit sebelum pengambilan darah, serta pemberian intervensi pangan harus dapat dihabiskan dalam waktu 10 menit sebelum proses pengambilan darah (Reinaeur et al, 2002). Subyek mengkonsumsi pangan harus dengan berkelanjutan agar respon glikemik yang diakibatkan teratur.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan

Faktor-faktor yang mempengaruhi indeks glikemik pangan adalah: (1) cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), (2) perbandingan amilosa dan amilopektin, (3) tingkat keasaman dan daya osmotic, (4) kadar serat, (5) kadar lemak dan protein, serta (6) kadar zat anti-gizi pangan (Rimbawan dan Siagian 2004).

(26)

Liljeberg dalam buku Indeks Glikemik Pangan, makin kecil ukuran partikel maka IG pangan makin tinggi.

Butiran utuh serealia, seperti gandum menghasilkan glukosa dan insulin yang rendah. Namun ketika biji-bijian digiling sebelum direbus, respon glokusa dan insulin mengalami peningkatan yang bermakna. Proses pemasakan atau pemanasan akan menyebabkan terjadinya proses gelatinisasi pada pati sehingga pati akan lebih mudah dicerna karena enzim pencernaan pada usus mendapatkan tempat bekerja yang lebih luas. Berdasarkan hal inilah, proses pemasakan atau pemanasan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan indeks glikemik pangan (Rimbawan dan Siagian 2004).

Hasil penelitian Karimah (2011) menunjukkan bahwa bubur instan memiliki nilai indeks glikemik yang tinggi karena ukuran granula pati singkong yang digunakan sebagai bahan utama relatif kecil. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rasdiyanti (2010) pada berbagai produk olahan sukun, sukun kukus yang memiliki tingkat gelatinisasi lebih tinggi dibandingkan dengan sukun goreng, sukun rebus dan kukis sukun memiliki nilai indeks glikemik yang tertinggi pula.

Kadar Amilosa dan Amilopektin. Amilosa adalah polimer gula sederhana yang tidak bercabang. Struktur yang tidak bercabang ini membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi akibatnya sulit cerna. Sementara amilopektin-polimer adalah gula sederhana memiliki ukuran molekul lebih besar dan lebih terbuka sehingga mudah tergelatinisasi akibatnya mudah cerna. Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan respon insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi. Sebaliknya bila kadar amilopektin pangan lebih tinggi daripada amilosa,respon gula darah lebih tinggi (Rimbawan dan Siagian 2004). Pada penelitian Rasdiyanti (2010) semua produk olahan sukun termasuk ke dalam kriteria pangan dengan indeks glikemik tinggi, yang diduga karena pati sukun berkadar amilosa rendah dan berkadar amilopektin tinggi.

(27)

Kadar Serat Pangan. Pengaruh serat pada indeks glikemik pangan tergantung pada jenis seratnya. Bila masih utuh serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya indeks glikemik cenderung menjadi lebih rendah. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kacang-kacangan atau tepung biji-bijian memiliki indeks glikemik rendah (30-40). Serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan. Hal ini memperlambat lewatnya makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian proses pencernaan menjadi lambat dan akhirnya respon gula darah menjadi lebih rendah (Waspadji 2003).

Kadar Lemak dan Protein Pangan. Pangan berkadar lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung. Dengan demikian laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu pangan berkadar lemak tinggi cenderung memiliki IG lebih rendah daripada sejenis berkadar lemak lebih rendah (Rimbawan dan Siagian 2004). Lemak dalam jumlah besar (50 gram lemak) dapat menurunkan respon glukosa darah dan respon insulin. Pada subjek normal pemberian 16 gram protein dapat mempengaruhi respon glukosa darah dan insulin (Wolever et al. 1996). Pada penelitian Maulana (2012) keripik ubi cilembu memiliki kandungan protein dan lemak tertinggi dibandingkan ubi cilembu yang dikukus dan dipanggang serta memiliki indeks glikemik terendah.

Kadar Anti Gizi Pangan. Beberapa pangan secara alamiah mengandung zat yang dapat menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat tersebut dinamakan zat anti gizi. Beberapa zat anti gizi tetap aktif walaupun sudah melalui proses pemasakan. Zat anti gizi pada biji-bijian dapat memperlambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya IG pangan menurun (Rimbawan dan Siagian 2004).

Metode Pengolahan

(28)

Perebusan merupakan cara memasak dalam air mendidih cepat dan bergolak. Air mendidih pada temperatur 100ºC. Air yang mendidih dengan cepat akan mengurai kehalusan makanan (Wijayanti 2010).

Pengukusan merupakan pemasakan bahan pangan pada uap air mendidih bersuhu 100ºC. Keuntungan dari metode ini antara lain pada proses kehilangan komponen larut air lebih sedikit dibandingkan dengan metode perebusan (Fellowss 2000).

(29)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian mengenai Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) dilaksanakan pada pertengahan September sampai dengan awal bulan November 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian adalah Laboratorium Percobaan Makanan yang digunakan untuk memperoleh standar pengolahan produk suweg, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan yang digunakan untuk menganalisis zat gizi produk olahan suweg, serta Teaching Cafetaria yang digunakan untuk mengukur respon glukosa darah subjek penelitian. Keseluruhan ruangan tersebut berada di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.), minyak goreng, air. Suweg yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Desa Kawu Pilang Patok, Caruban, Jawa Timur. Bahan yang digunakan untuk uji proksimat produk olahan suweg (suweg goreng, suweg rebus, suweg kukus) adalah air destilata atau aquades, selenium mix, HCl (0.03 N; 0.1 M dan 6 M), NaOH 30%, asam borat (H3BO3 3%), etanol 95%, alumunium, cawan porselen, desikator, oven, timbangan analitik, sudip, tanur, labu lemak, Soxhlet, labu Kjeldahl, labomixer, alat destruksi, alat destilasi, buret, tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, labu takar, penangas air, Erlenmeyer, labu semprot, corong, pompa vakum, dan pipet volumetric. Peralatan yang digunakan untuk uji derajat gelatinisasi antara lain timbangan analitik, blender, pipet, sentrifuge, tabung reaksi, pipet volumetric dan Spektrofotometer UV-VIS 6505 (Jenway).

(30)

baskom, piring, panci, panci kukus, penggorengan, pisau, talenan, spatula dan mangkuk. Alat yang digunakan pada pengukuran pengaruh glukosa darah adalah glucometerOne Touch UltraTM.

Tahapan Penelitian

Kegiatan ini dilaksanakan dalam enam tahapan, yaitu tahap pemilihan sampel dan persiapan, tahap pengolahan suweg menjadi produk olahannya (suweg goreng, suweg rebus, suweg kukus), tahap analisis komposisi zat gizi produk olahan suweg, tahap pengukuran derajat gelatinisasi, tahap penentuan dan pemilihan subjek penelitian, dan tahap pengukuran indeks glikemik.

Pemilihan Sampel dan Persiapan

Suweg yang digunakan pada penelitian ini memiliki kulit umbi suweg berwarna kuning kecoklatan dan daging umbi yang berwarna putih kemerahan. Suweg yang digunakan memiliki umur tanam 3 tahun 2 bulan dengan berat setiap umbi sekitar 4-7 kg. Umbi suweg memalui tahap pengolahan antara lain pengupasan kulit umbi, pemotongan bentuk dadu, pencucian bahan dengan penambahan kapur sirih. Tujuan pada tahap persiapan ini adalah untuk mempersiapkan bahan baku, yaitu suweg yang selanjutnya akan diolah menjadi suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus.

Pengolahan Suweg

Tahapan ini dilakukan untuk mengolah suweg menjadi tiga produk olahan suweg dengan tiga metode pengolahan. Produk olahan tersebut adalah suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus. Proses pembuatan suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus dapat dilihat pada Lampiran 1.

Analisis Kandungan Zat Gizi

(31)

Pengukuran Derajat Gelatinisasi, Kadar Amilosa dan Amilopektin

Pengukuran selanjutnya terhadap ketiga produk olahan suweg adalah uji derajat gelatinisasi. Analisis dilakukan dengan dua kali pengulangan yang kemudian dirata-rata untuk memperoleh kadar pada produk olahan. Prosedur analisis pengukuran derajat gelatinisasi dapat dilihat pada Lampiran 4. Prosedur analisis pengukuran amilosa dan amilopektin pada Lampiran 5.

Penentuan dan Pemilihan Subjek Penelitian

Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara purposive dikarenakan alasan kemudahan dalam melakukan penelitian. Mahasiswa Institut Pertanian Bogor yang bersedia mengikuti penelitian sebanyak sepuluh orang (5 orang perempuan dan 5 orang laki-laki) dan telah memenuhi kriteria menjadi subjek penelitian.

Subjek penelitian harus memenuhi dua kriteria, yaitu kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi terdiri atas subjek berumur 18-30 tahun, subjek memiliki indeks massa tubuh (IMT) normal antara 18.5-22.9 kg/m2 (WHO untuk Asia Pasifik 2000), dan subjek dalam kondisi yang sehat. Kriteria eksklusi subjek penelitian antara lain: memiliki riwayat penyakit DM, sedang mengalami gangguan pencernaan, menjalani pengobatan, menggunakan obat-obatan terlarang, meminum minuman beralkohol, dan perokok.

Penentuan dan pemilihan dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu (a) perekrutan calon subjek penelitian (dilakukan dengan sosialisasi verbal kepada calon subjek dan meminta kesediaan menjadi subjek penelitian), (b) penyeleksian calon subjek (calon subjek penelitian yang terdaftar kemudian diukur tinggi dan berat badan serta tekanan darah), (c) penjelasan rinci mengenai penelitian (subjek yang terpilih mendapatkan penjelasan mengenai penelitian, termasuk kompensasi yang akan diterima subjek dan hak untuk mengundurkan diri dari penelitian yang pada akhirnya subjek mengisi surat pernyataan kesediaan untuk informed consent).

Pengukuran Indeks Glikemik Suweg Goreng, Suweg Rebus, dan Suweg Kukus

(32)

meminimalisasi adanya bias antar kelompok subjek. Rincian jumlah subjek penelitian terhadap tiga jenis produk olahan suweg disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah subjek penelitian

Pangan Uji Jumlah Subjek Total (orang)

Suweg goreng 5 wanita + 5 pria 10

Suweg kukus 5 wanita + 5 pria 10

Suweg rebus 5 wanita + 5 pria 10

Glukosa 5 wanita + 5 pria 10

Total Subjek 5 wanita + 5 pria

Keterangan: masing-masing subjek penelitian mengalami 4 kali perlakuan intervensi, yaitu minggu pertama mengkonsumsi glukosa, minggu kedua mengkonsumsi suweg goreng, minggu ketiga mengkonsumsi suweg kukus, dan minggu keempat mengkonsumsi suweg rebus.

Setelah produk olahan suweg dikonsumsi oleh subjek penelitian, langkah selanjutnya adalah pengambilan sampel darah subjek untuk mengetahui indeks glikemik produk olahan suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.). Prosedur penentuan Indeks Glikemik pangan adalah sebagai berikut (Miller 1996 diacu dalam Rimbawan & Siagian 2004):

a) Pangan yang akan ditentukan kadar Indeks Glikemik-nya setara dengan 25 g karbohidrat diberikan kepada subjek yang telah mengalami puasa penuh (kecuali air) selama semalam.

b) Selama dua jam setelah pemberian pangan acuan (subjek sehat), sampel darah (1-2 µL) dengan menggunkan finger-prick capillary blood samples method berturut-turut, diambil pada menit ke-0 (sebelum pemberian), 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 setelah pemberian pangan uji.

c) 7 hari kemudian hal yang sama dilakukan dengan pemberian pangan uji ke-1, 7 hari berikutnya diberikan pangan uji ke-2, dan 7 hari berikutnya pangan uji ke-3.

d) Kadar glukosa darah (pada setiap waktu pengambilan sampel), ditebar pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu dan kadar gula darah.

e) Indeks Glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang akan diukur indeks glikemiknya dengan pangan acuan (glukosa).

(33)

Cara perhitungan beban glikemik:

Pengolahan dan Analisis Data

Data terdiri dari data hasil analisis zat gizi, serat pangan, dan amilosa, serta data respon glikemik. Data hasil analisis zat gizi, serat pangan, dan amilosa diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2010 untuk memperoleh nilai rata-rata. Data respon glukosa darah masing-masing subyek disebar pada sumbu x (waktu) dan sumbu y (respon glikemik), kemudian dibandingkan luas area dibawah kurva antara pangan acuan dan pangan uji dengan bantuan Microsoft Excel 2010 untuk mendapatkan nilai indeks glikemik. Nilai indeks glikemik setiap subyek dirata-ratakan untuk memperoleh nilai indeks glikemik pangan sebenarnya. Pengaruh pengolahan terhadap nilai indeks glikemik dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (one way anova) dan uji lanjut Duncan.

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengolahan Produk Olahan Suweg

Pengolahan umbi suweg menjadi produk olahan yang dilakukan pada penelitian ini dengan menggunakan metode pengolahan yang umum dilakukan oleh masyarakat. Pengolahan umbi suweg yang sering dikenal oleh masyarakat adalah pengukusan dan perebusan, namun pada penelitian ini dilakukan pula dengan metode penggorengan. Sebelum pembuatan produk olahan, umbi suweg dicuci, dikupas dan dipotong dadu 2 x 2 cm terlebih dahulu agar diperoleh ukuran yang homogen dan merata. Pengolahan umbi suweg dilakukan dengan menggunakan beberapa metode pengolahan yang berbeda, yaitu: perebusan (suweg rebus), pengukusan (suweg kukus), dan penggorengan (suweg goreng). Berikut gambar produk olahan umbi suweg:

Gambar 3 Berbagai produk olahan suweg

Perbedaan metode pengolahan pada produk suweg membuat terjadinya proses fisiko kimia yang berbeda pula pada masing-masing produk olahan. Pengolahan menggunakan metode perebusan dengan bahan pangan yang direndam air dalam jumlah yang relatif banyak dan mengalami pemanasan menggunakan suhu yang tinggi (mendidih). Air yang digunakan adalah sebanyak 700 ml untuk setiap 250 gram. Bahan pangan suweg dimasukkan ke dalam air saat air sudah mendidih. Proses perebusan untuk umbi suweg ini dilakukan selama 23 menit. Waktu ini merupakan waktu yang diperlukan agar suweg

Suweg Mentah Suweg Rebus

(35)

benar-benar matang dengan kriteria warna umbi menjadi bkuning muda dan memiliki tekstur yang lebih lunak.

Metode pengukusan adalah proses pemasakan dengan menggunakan air panas atau uap air panas sebagai media penghantar panas. Bahan pangan tidak dimasukkan ke dalam air. Air yang digunakan adalah sebanyak 700 ml untuk setiap 250 gram. Dalam proses pengukusan sebisa mungkin diupayakan agar tidak terjadi penumpukan bahan. Bila bahan pangan tertumpuk akan mengalami proses pematangan yang kurang merata. Pada bagian luar tumpukan akan mengalami pematangan lebih dahulu dibandingkan bagian dalam, sehingga mengakibatkan perbedaan dalam tekstur pangan olahan. Proses pengukusan pada bahan pangan umbi suweg dilakukan selama 22 menit. Ciri-ciri suweg kukus yang telah matang antara lain suweg berubah warna menjadi kuning pucat dan warna kemerahan tak lagi Nampak dan memiliki tekstur yang lunak.

Prinsip pengolahan dengan metode penggorengan adalah proses pamasakan bahan yang direndam dalam minyak dan menggunakan suhu yang relatif tinggi. Minyak yang digunakan adalah sebanyak 200 ml untuk setiap 250 gram. Bahan pangan dimasukkan ke dalam minyak saat minyak sudah benar-benar memiliki suhu yang cukup panas. Bila minyak belum cukup panas dapat mengakibat bahan menyerap minyak lebih banyak karena memerlukan waktu pamasakan yang lebih lama. Hal ini dapat terjadi karena semakin luas permukaan suweg yang berhadapan dengan minyak sawit. Suweg goreng memiliki cita rasa yang lebih gurih dan mengandung kalori yang lebih tinggi. Proses penggorengan pada suweg dilakukan selama 5 menit. Suweg goreng yang telah matang memiliki warna kuning keemasan menyerupain kentang goreng dan memiliki tekstur yang lunak.

Komposisi Zat Gizi Produk Olahan Suweg

(36)

Tabel 4 Hasil uji proksimat dan serat pangan total pada suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus dan suweg goreng.

Sampel Basis

Tabel 4 menunjukkan hasil analisis proksimat air merupakan komponen terbesar yang ada pada masing-masing sampel. Terjadi perubahan kadar air dari suweg mentah menjadi suweg yang telah mengalami tahap pengolahan. Hasil analisis kandungan air suweg mentah dan ketiga produk olahan suweg disajikan pada Gambar 4.

(37)

Suweg yang diolah dengan metode penggorengan memiliki kadar air yang lebih rendah dari suweg mentah. Hal ini dikarenakan pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi serta penggunaan minyak sebagai media penghantar panas yang memungkinkan banyak kandungan air dari bahan pangan yang menguap. Sebaliknya terjadi pada suweg dengan metode pengolahan direbus. Suweg rebus memiliki kadar air yang lebih tinggi dari suweg mentah, karena suweg rebus dihasilkan melalui pemasakan dengan menggunakan media penghantar panas adalah air. Hal ini memungkinkan air terserap lebih banyak oleh suweg yang direbus. Kandungan air tertinggi pada suweg rebus yaitu sebesar 80.25%, dan terendah pada suweg goreng dengan nilai 55.92%. Hal serupa terjadi pada penelitian Rasdiyanti (2010) pada produk olahan sukun dengan kadar air sukun rebus sebesar 79.91%, sukun kukus 71.75%, dan sukun goreng sebesar 54.01%.

Kadar Abu

Abu merupakan zat anorganik dari sisa hasil pembakaran bahan organik. Kadar abu berhubungan dengan kadar mineral yang terkandung pada suatu bahan. Kandungan dan komposisi abu atau mineral suatu bahan tergantung dari jenis bahan dan cara pengabuannya. Hasil analisis kadar abu pada suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng dapat dilihat pada Gambar 5.

(38)

Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui proses pengolahan mengakibatkan kecenderungan berubahnya kadar abu. Berkurangnya kadar abu terbesar terjadi pada suweg yang diolah dengan metode penggorengan yaitu dengan kadar abu sebesar 5.65%, yang pada mulanya suweg mentah memiliki kadar abu sebesar 9.83%. Kadar abu menggambarkan banyaknya zat anorganik atau mineral dalam bahan pangan tersebut.

Kadar Protein

Analisis protein dilakukan dengan menggunakan metode Kjedahl. Metode ini digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar secara tidak langsung, karena yang dianalisis adalah kadar nitrogennya. Hasil analisis tersebut dikali dengan angka konversi 6.25 untuk memperoleh kadar protein dalam bahan makanan tersebut. Angka 6.25 berasal dari angka konversi serum albumin yang biasanya mengandung 16% nitrogen. Namun cara ini masih digunakan dan dianggap cukup teliti untuk pengukuran kadar protein (Winarno 1997).

Protein merupakan zat gizi yang digunakan sebagai zat pembangun dan disamping itu juga sebagai sumber energi bagi tubuh. Kandungan protein dalam bahan pangan berbeda-beda. Hasil analisis kadar protein suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Kadar Protein (%b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng.

(39)

cenderung lebih tinggi pada produk olahan suweg kukus dan suweg rebus, sedangkan pada suweg goreng memiliki kadar protein yang cenderung lebih rendah dari suweg mentah. Menurut Palupi et.al (2007), proses pemanasan bahan pangan kacang-kacangan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi yang terkandung di dalamnya, misalnya pemanasan kacang-kacangan (kedelai) mentah dapat meningkatkan daya cerna dan ketersediaan protein yang terkandung di dalamnya.

Kadar protein tertinggi terdapat pada suweg yang diolah dengan metode perebusan yaitu sebesar 5.67%. Suweg goreng memiliki kadar protein terendah sebesar 3.92%. Suweg goreng memiliki kadar protein yang cenderung lebih rendah karena penggunaan suhu yang lebih tinggi dibandingkan produk olahan yang lain diduga menyebabkan terjadi denaturasi protein selama proses pengolahan. Demikian pula seperti hasil penelitian Rasdiyanti (2011) pada produk olahan sukun, kadar protein sukun rebus yang tertinggi (3.20%), kemudian sukun kukus (2,11), dan sukun goreng dengan kadar protein terendah (1.22%). Hasil penelitian Wijayanti (2010) menunjukkan bahwa kadar protein jagung manis rebus lebih tinggi (19.69%) daripada jagung manis tumis (15.16%).

Kadar Lemak

Lemak merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh. Selain itu lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan degan kandungan yang berbeda-beda. Hasil analisis kadar lemak pada suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng disajikan pada Gambar 7.

(40)

Hasil analisis kandungan lemak pada empat produk olahan suweg menunjukkan perubahan kadar lemak dari suweg mentah menjadi suweg yang telah melalui tahap pengolahan. Suweg kukus dan suweg rebus memiliki kadar lemak yang cenderung lebih rendah dari suweg mentah, karena lemak yang terdapat pada bahan ke luar selama proses pemanasan.

Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Palupi et.al (2007), bahwa pada umumnya setelah proses pengolahan bahan pangan, akan terjadi kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu yang digunakan serta lamanya waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan lemak akan semakin besar. Suweg goreng memiliki kadar lemak yang cenderung lebih tinggi dari suweg mentah karena penggunaan minyak sebagai media penghantar panas, yang memungkinkan terjadi penyerapan minyak ke dalam suweg yang digoreng. Kadar lemak tertinggi terdapat pada suweg goreng yaitu sebesar 11.41%. suweg kukus memiliki kadar lemak terendah yaitu sebesar 1.11%. Kecenderungan serupa terjadi pada penelitian Rasdiyanti (2011) yang menunjukkan bahwa sukun goreng memiliki kadar lemak yang jauh lebih tinggi (20.07%) dibandingkan dengan produk olahan sukun lainnya yaitu sukun rebus (0.73%) dan sukun kukus (0.61%). Selanjutnya penelitian Wijayanti (2010) memberikan data bahwa jagung manis tumis memiliki kadar lemak yang jauh lebih tinggi (40.41%) daripada jagung manis rebus (9.89%). Pada penelitian Rasdiyanti (2011) dan Wijayanti (2010) tersebut dapat dilihat bahwa pada bahan yang diolah dengan menggunakan minyak sebagai penghantar panas memiliki kadar lemak yang jauh lebih tinggi.

Kadar Karbohidrat (by difference)

(41)

oleh kadar zat gizi lainnya. Berikut adalah perhitungan metode analisis karbohidrat by difference:

Hasil analisis karbohidrat by difference suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Kadar karbohidrat by difference (%bk) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng.

Hasil analisis kadar karbohidrat by difference menunjukkan bahwa terjadi perubahan kadar karbohidrat by difference dari masing-masing pengolahan. Suweg kukus (87.47%) memiliki kadar karbohidrat by difference yang relatif lebih tinggi dari suweg mentah. Hal ini dikarenakan berkurangnya kadar air, abu, dan lemak akibat proses pengolahan dengan metode pengukusan. Kadar karbohidrat

by difference pada suweg rebus paling tinggi, karena memiliki kadar abu dan lemak yang lebih rendah. Kadar karbohidrat by difference terendah pada suweg goreng yang diperkirakan karena memiliki kadar lemak yang sangat tinggi akibat dari penyerapan minyak oleh bahan pangan tersebut. Demikian pula pada penelitian yang dilakukan oleh Rasdiyanti (2011) bahwa bahan yang diolah dengan metode penggorengan memiliki kadar karbohidrat paling rendah bila dibandingkan dengan bahan yang diolah dengan metode perebusan dan pengukusan.

Kadar Serat Pangan Total

Serat pangan (dietary fiber) merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tidak dapat terhidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Serat

(42)

pangan berbeda dengan serat kasar. Serat kasar merupakan fraksi dari karbohidrat yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam kuat dan basa kuat dengan pemanasan. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar yaitu asam sulfat dan natrium hidroksida. Serat kasar juga merupakan kumpulan dari semua serat yang tidak bisa dicerna oleh tubuh, komponen dari serat kasar terdiri dari selulosa, pentosa, lignin dan komponen-komponen lainnya.

Serat pangan total (TDF atau Total Dietary Fiber) terdiri atas komponen serat pangan larut air (Soluble Dietary Fiber atau SDF) dan serat pangan tidak larut air (Insoluble Dietary Fiber atau IDF). SDF adalah serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air: etanol dengan perbandingan 1:4. IDF diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas atau dingin. Serat yang tidak larut dalam air adalah komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut adalah non komponen struktural. Serat yang tidak larut dalam air banyak terdapat pada kulit gandum, biji-bijian, sayuran dan kacang-kacangan. Serat yang larut dalam air biasanya berupa gum dan pelitin (misalnya pelitin kulit jeruk dan apel) (Sudarmadji et al. 1996). Hasil analisis serat suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Kadar serat pangan (%b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng.

(43)

kecenderungan perubahan kadar serat setelah pengolahan bila dibandingkan dengan suweg yang masih mentah (43.69%). Semua produk olahan memiliki kadar yang relatif lebih rendah dari suweg mentah walaupun dalam jumlah yang berbeda-beda. Kadar serat pangan total tertinggi terdapat pada suweg yang diolah dengan metode perebusan. Kadar serat pangan tidak larut untuk berbagai produk olahan suweg berkisar antara 19.47% hingga 27.06%, sedangkan serat pangan larut berkisar antara 6.12% hingga 11.72%. Kadar serat pangan tidak larut dan larut tertinggi terdapat pada suweg rebus. Hal serupa diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Rasdiyanti (2011) bahwa bahan yang diolah dengan metode penggorengan memiliki kadar serat (16.5%) paling rendah bila dibandingkan dengan bahan yang diolah dengan metode perebusan (30.47%) dan pengukusan (25.76%).

Derajat Gelatinisasi Pati Produk Olahan Suweg

Selain analisis proksimat dan kadar serat, dilakukan pula analisis derajat gelatinisasi pati. Analisis derajat gelatinisasi pati dilakukan karena merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai indeks glikemik seperti yang disampaikan oleh Rimbawan dan Siagian (2004). Hasil analisis derajat gelatinisasi pada produk suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng dapat dilihat pada Gambar 10.

(44)

Analisis derajat gelatinisasi pati dilakukan dengan menggunakan metode IRRI (1978). Prinsip metode tersebut adalah reduksi pati oleh iod dalam suasana asam yang ditandai dengan warna nila. Penggunaan NaOH dalam metode ini ditujukan untuk menghidrolisis pati menjadi gula sederhana. HCl berfungsi untuk membuat suasana menjadi asam agar terjadi proses reduksi dari KI menjadi HI (Fardiaz 1984).

Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringence granula pati akibat penambahan air secara berlebihan dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu, sehingga granula pati membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (irreversible) (Belitz dan Grosch 1999). Granula pati disuspensikan dalam air kemudian dipanaskan, granula akan menyerap air, jika dipanaskan secara kontinyu maka ikatan hidrogen granula akan melemah dan secara bertahap granula pati mulai mengembang. Pengembangan granula pati terjadi secara terus menerus sampai pecah sehingga terjadi perubahan yang tak dapat balik (irreversible). Granula pati kehilangan sifat-sifat yang dimilikinya dan terjadi proses gelatinisasi. Tingkat atau derajat gelatinisasi adalah rasio antara pati yang tergelatinisasi dengan total pati.

Hasil analisis derajat gelatinisasi menunjukkan adanya perubahan derajat gelatinisasi pada masing-masing metode pengolahan. Suweg kukus memiliki nilai derajat gelatinisasi sebesar 68.87%. Suweg rebus memiliki derajat gelatinisasi cenderung lebih tinggi yaitu 83.38%. Hal ini mungkin disebabkan karena selama pemasakan digunakan air sebagai penghantar panas, sehingga air dan panas mengakibatkan perbesaran granula pati. Suweg goreng memiliki derajat gelatinisasi yang paling kecil diantara semua produk, karena proses pemasakannya yang lebih singkat dan karena penggunaan minyak sebagai penghantar panas sehingga air yang dapat digunakan untuk proses gelatinisasi hanya terbatas pada kandungan air yang terdapat pada suweg itu sendiri. Demikian pula pada penelitian yang dilakukan oleh Rasdiyanti (2011) bahwa bahan yang diolah dengan metode penggorengan memiliki derajat gelatinisasi paling rendah bila dibandingkan dengan bahan yang diolah dengan metode perebusan dan pengukusan.

(45)

pati. Granula yang mengembang dan molekul pati bebas ini sangat mudah untuk dicerna karena anzim pencerna pati dalam usus halus memperoleh permukaan lebih luas untuk kontak dengan molekul pati. Reaksi cepat dari enzim ini menghasilkan peningkatan kadar gula darah yang cepat (Rimbawan dan Siagian 2004).

Kadar Amilosa dan Amilopektin

Pati tersusun dari dua molekul yang berbeda karakter yaitu amilosa dan amilopektin. Rasio amilosa dan amilopektin dalam pati akan menentukan sifat pati secara keseluruhan. Amilosa yang merupakan rantai lurus polimer glukosa berkontribusi terhadap sifat pembentukan gel sistem pati yang dipanaskan dan didinginkan, sedangkan amilopektin yang rantainya bercabang lebih berpengaruh terhadap kekentalan (Parker 2003).

Kandungan amilosa dalam bahan pangan berpati digolongkan menjadi empat kelompok yaitu kadar amilosa sangat rendah dengan kadar <10%, kadar amilosa rendah 10-20%, kadar amilosa sedang 20-24%, dan kadar amilosa tinggi >25% (Aliawati 2003). Kandungan amilosa dalam bahan pangan sumber karbohidrat menentukan karakter produk hasil olahannya, salah satunya adalah beras. Kadar amilosa pada beras akan menentukan sifat kepulenan yang dihasilkan, beras dengan kadar amilosa rendah akan menghasilkan nasi yang lebih pulen dibandingkan beras beramilosa tinggi. Hasil analisis kadar amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 11.

(46)

Total pati terdiri dari amilosa dan amilopektin. Pada produk olahan suweg memiliki total pati 49.37%- 51.59%. Suweg goreng memiliki total pati terendah dan suweg rebus tertinggi. Menurut data dan perhitungan hasil analisis kadar amilosa pada suweg kukus 2.95% pati, suweg rebus 4.74% pati, dan suweg goreng 0.62% pati. Suweg goreng memiliki kadar amilosa terendah dan suweg rebus memiliki kadar amilosa tertinggi. Berdasarkan data yang diperoleh suweg termasuk dalam kategori kadar amilosa sangat rendah. Hal ini kurang sesuai dengan data yang diperoleh Mukhis (2003) bahwa kadar amilosa suweg sebesar 8.38% pati dan hasil penelitian Utami (2008) sebesar 15.92% pati, yang tergolong sebagai bahan pangan berkadar amilosa rendah. Setelah dikonversi menjadi kadar amilosa umbi segar dapat dilihat pada Gambar 11, diperoleh hasil kadar amilosa suweg kukus sebesar 1.5%, suweg rebus 2.44%, dan suweg goreng sebesar 0.30%. hal ini sesuai dengan hasil penelitian Utami (2008) bahwa kadar amilosa umbi suweg sebesar 1.49%.

Kadar amilopektin masing-masing jenis ditentukan secara by difference,

yaitu mengurangi nilai 100% dengan kadar amilosa. Kadar amilopektin produk olahan suweg kukus sebesar 97.05% pati, suweg rebus 95.26% pati, dan suweg goreng sebesar 99.38% pati. Selanjutnya hasil konversi umbi segar diperoleh kadar amilopektin suweg kukus sebesar 49.32%, suweg rebus 49.10%, dan suweg goreng sebesar 49.06%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Utami (2008) diperoleh kadar amilopektin umbi suweg sebesar 84.08% pati, sedangkan kadar amilopektin umbi suweg segar sebesar 7.87%. Terdapat perbedaan kadar amilosa dan amilopektin pada hasil analisis dan penelitian sebelumnya, hal ini diduga akibat perbedaan varietas umbi suweg yang digunakan.

Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg Subjek Penelitian

Perekrutan subjek penelitian dilakukan dengan cara melakukan sosialisasi kepada beberapa mahasiswa Departement Gizi Masyarakat, IPB. Kemudian subjek yang berminat diberikan kuesioner untuk diisi dan dilakukan wawancara mengenai riwayat kesehatan individu maupun keluarganya. Calon subjek penelitian diukur berat badan, tinggi badan dan tekanan darah pada saat wawancara.

(47)

dalam Udani et.al 2009). Sebanyak sepuluh orang subjek yang diikutsertakan dalam penelitian terdiri dari lima orang laki-laki dan lima orang perempuan. Pemilihan jumlah subjek penelitian yang berimbang antara laki-laki dan perempuan dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya bias akibat jenis kelamin. Subjek penelitian kemudian memperoleh intervensi makanan berupa pangan acuan dan pangan uji. Jarak dari setiap pemberian pangan yaitu minimal lima hari. Hal ini bertujuan untuk proses pemulihan kondisi subjek.

Pengambilan sampel darah dilakukan melalui pembuluh darah kapiler yang terdapat di jari tangan. Pembuluh darah kapiler dipilih karena darah yang diambil dari pembuluh ini memiliki variasi kadar glukosa darah antar subjek yang lebih kecil dibandingkan dengan diambil dari pembuluh darah vena (Ragnhild et al. 2004). Teknik dalam pengambilan darah prick-test perlu diperhatikan. Menurut Snell (2006) dalam Maulana (2012), secara anatomi aliran darah arteri ulnaris mengalir pada jari kelingking dan arteri radialis mengalir pada ibu jari. Proses pengambilan darah disarankan tidak dilakukan pada jari kelingking dan ibu jari untuk menghindari terjadinya infeksi yang bersifat sistemik.

Volume darah yang dibutuhkan untuk diukur minimal 1 µL. pengukuran glukosa darah dengan menggunakan alat Glukometer One Touch Ultra TM. Sampel darah yang diperoleh pada permukaan kulit setelah sedikit perlukaan dengan menggunakan Lancet (alat penusuk khusus), disentuhkan pada celah sensor di ujung strip uji yang telah terpasang pada detector digital sedemikian sehingga kadar glukosa sampel terbaca.

Penentuan Jumlah Pangan Uji dan Acuan

Nilai indeks glikemik pangan diperoleh dari hasil perbandingan luas kurva pangan uji terhadap luas kurva pangan acuan. Maka dalam penelitian pengukuran nilai indeks glikemik diperlukan pangan acuan yang berguna sebagai pembanding. Pangan acuan yang umum digunakan adalah roti putih atau glukosa murni. Brouns et.al (2005) merekomendasikan glukosa murni yang digunakan sebagai pangan acuan dalam pengukuran nilai indeks glikemik, karena roti putih memiliki komposisi yang berbeda-beda sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan hasil pada setiap penelitian.

Gambar

Tabel 1 Kandungan gizi 100 g suweg, uwi dan ubi jalar
Gambar 3 Berbagai produk olahan suweg
Tabel 4 menunjukkan hasil analisis proksimat air merupakan komponen
Gambar 5.
+7

Referensi

Dokumen terkait

S:-Keluarga sudah tau dan mengerti tentang pencegahan, diet dan resiko penyebaran infeksi dari Hepatitis -Keluarga sudah tau pentingnya kesehatan lingkungan agar

[r]

Masyarakat perlu lebih peka terhadap masalah ini sebelum mendirikan rumah tangga untuk menghindari masalah perselingkuhan ini terus berlaku, seterusnya memelihara sebuah perkawinan

Selanjutnya, untuk memperkenalkan pembaca anak- anak (usia sekitar 7--14 tahun) pad a sajak-sajak yang lebih matang, dalam antologi ini terutama akan ditampilkan sajak-sajak

Finally, the researcher concluded that the use of song lyrics in teaching vocabulary to the kindergarten students to improve the students’ vocabulary mastery is proven

Sistem manajemen barang yang berlaku di Unit Sarana dan Prasarana FTI UKSW saat ini masih menggunakan pencatatan secara manual di dalam file excel. Pelaporan kerusakan

Pada penelitian ini didapatkan dari 40 responden ditemukan bahwa lebih banyak ibu hamil yang tidak memiliki riwayat DM pada keluarga yaitu sebanyak 27 orang

dalam berusaha tani, Rawa Pening memiliki sumber daya yang. lengkap/banyak/tinggi terutama sumber daya airnya, hal ini dapat