• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Kebun Plasma Dalam Pengembangan Kemandirian Petani Plasma Kelapa Sawit Di Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sistem Kebun Plasma Dalam Pengembangan Kemandirian Petani Plasma Kelapa Sawit Di Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM KEBUN PLASMA DALAM PENGEMBANGAN

KEMANDIRIAN PETANI PLASMA KELAPA SAWIT DI

KEBUN BUNUT UNIT X SUNGAI BAHAR JAMBI

(Survey Pada Petani Binaan PTPN VI Jambi)

Disusun Oleh

Hilal Thantowi Tagor Lubis

(100901054)

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

ABSTRACT ... iii

BAB I: PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat Penelitian ... 13

BAB II: KERANGKA TEORI ... 14

2.1 Teori Fungsional Struktural Robert K. Merton ... 14

2.2 Kemandirian Petani ... 18

2.3 Alex Inkles: Manusia Modern ... 22

2.4 Perubahan Sosial: Difusi dan Transformasi Nilai ... 25

2.5 Penelitian Terdahulu ... 29

2.6 Hipotesis ... 34

2.7 Definisi Konsep ... 35

2.8 Operasional Variabel ... 36

2.9 Bagan Operasional Variabel ... 38

BAB III: METODE PENELITIAN ... 44

3.1 Jenis Penelitian ... 44

3.2 Lokasi Penelitian ... 44

3.3 Populasi dan Sampel ... 45

(3)

3.3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 46

3.3.4 Instrumen dan Aspek Pengukuran ... 48

3.3.5 Pengolahan dan Analisis Data ... 49

BAB IV: TEMUAN DAN ANALISIS DATA ... 52

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 52 Meningkatkan Kemandirian Petani Kelapa Sawit ... 64

(4)

4.3.2 Tanggapan Responden Tentang Sistem Kebun Plasma Dalam Meningkatkan Kemandirian Petani di Tingkat SMA

... 71

4.4 Korelasi Variabel Sistem Kebun Plasma Dengan Variabel Kemandirian Petani Kelapa Sawit ... 78

4.5 Pembahasan ... 95

BAB V: PENUTUP ... 98

5.1 Kesimpulan ... 98

5.2 Saran ...100

(5)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 55

2. Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Kebun Bunut Jambi Berdasarkan Mata Pencaharian ... 56

3. Tabel 3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 57

4. Tabel 4. Desa Kebun Bunut Jambi Berdasarkan Agama ... 58

5. Tabel 5. Penduduk Desa Kebun Bunut Jambi Berdasarkan Jenis Suku .. 58

6. Tabel 6. Sarana Umum di Desa Kebun Bunut Jambi ... 59

7. Tabel 7. Kelompok Tani Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi ... 60

8. Tabel 8. Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 61

9. Tabel 9. Identitas Responden Berdasarkan Usia ... 62

10. Tabel 10. Identitas Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 63

11. Tabel 11. Data Responden Berdasarkan Manajemen Sistem Kebun Plasma ... 65

12. Tabel 12. Data Responden Berdasarkan Permodalan Sistem Kebun Plasma ... 65

13. Tabel 13. Data Responden Berdasarkan Pembinaan dan Pengembangan SDM Sistem Kebun Plasma ... 66

14. Tabel 14. Data Responden Berdasarkan Teknologi Sistem Kebun Plasma ... 67

15. Tabel 15. Data Responden Berdasarkan Pemasaran Sistem Kebun Plasma ... 68

16. Tabel 16. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Teknis ... 68

17. Tabel 17. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Sosial Budaya Petani ... 69

(6)

19. Tabel 19. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Kelompok Petani ... 70

20. Tabel 20. Data Responden Berdasarkan Manajemen Sistem Kebun Plasma ... 71

21. Tabel 21. Data Responden Berdasarkan Permodalan Sistem Kebun plasma ... 72

22. Tabel 22. Data Ressponden Berdasarkan Pembinaan dan Pengembangan SDM Sistem Kebun Plasma ... 73

23. Tabel 23. Data Responden Berdasarkan Teknologi Sistem Kebun Plasma ... 73

24. Tabel 24. Data Responden Berdasarkan Pemasaran Sistem Kebun

Plasma ... 74

25. Tabel 25. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Teknis ... 75

26. Tabel 26. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Sosial Budaya Petani ... 75

27. Tabel 27. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Keuangan Petani ... 76

28. Tabel 28. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Kelompok Petani ... 77

29. Tabel 29. Korelasi Pembinaan dan Pengembangan SDM (X3) dengan Kemandirian Sosial dan Budaya (Y2) Tingkat SD dan SMP.. 78

30. Tabel 30. Korelasi Pembinaan dan Pengembangan SDM (X3) dengan Kemandirian Sosial dan Budaya (Y2) Tingkat SMA dan S1 .. 78

31. Tabel 31. Korelasi Pembinaan dan Pengembangan (X3) dengan

Kemandirian Kelompok (Y4) Tingkat SD dan SMP ... 80

32. Tabel 32. Korelasi Pembinaan dan Pengembangan (X3) dengan

Kemandirian Kelompok (Y4) Tingkat SMA dan S1 ... 80

33. Tabel 33. Korelasi Teknologi (X4) dengan Kemandirian Teknis (Y1) Tingkat SD dan SMP... 82

(7)

35. Tabel 35. Korelasi Pemasaran (X5) dengan Kemandirian Keuangan (Y3) Tingkat SD dan SMP... 85

36. Tabel 36. Korelasi Pemasaran (X5) dengan Kemandirian Keuangan (Y3) Tingkat SMA dan S1 ... 85

37. Tabel 37. Korelasi Manajemen (X1) dengan Kemandirian Sosial dan Budaya (Y2) Tingkat SD dan SMP ... 87

38. Tabel 38. Korelasi Manajemen (X1) dengan Kemandirian Sosial dan Budaya (Y2) Tingkat SMA dan S1 ... 88

39. Tabel 39. Korelasi Manajemen (X1) dengan Kemandirian Kelompok (Y4) Tingkat SD dan SMP... 89

40. Tabel 40. Korelasi Manajemen (X1) dengan Kemandirian Kelompok (Y4) Tingkat SMA dan S1 ... 91

41. Tabel 41. Korelasi Permodalan (X2) dengan Kemandirian Keuangan (Y3) Tingkat SD dan SMP... 93

(8)

ABSTRAK

Pola kemitraan sistem kebun plasma adalah suatu bentuk kerja sama pembangunan dan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, saling mengisi, utuh dan berkesinambungan.

Kehadiran PT Perkebunan Nusantara VI (PTPN VI) di wilayah Jambi mengandung arti strategis yang pada umumnya berdampak memberikan pertumbuhan bagi wilayah itu. Dampak khusus bagi petani plasma adalah akan tercipta suatu hubungan yang saling menguntungkan dari kerjasama yang dibangun antara perusahaan inti dan plasma. Dampaknya terhadap masyarakat di sekitar wilayah perkebunan pastilah mengalami dampak perubahan dan kehadiran PTPN VI dan seluruh kegiatan yang dilakukan. Kerja sama strategis antara perusahaan inti dan petani plasma harus dijalin dengan baik agar semakin kuat dan bisa bersaing dengan pasar.

Penelitian ini bertujan untuk menganalisis sistem kebun plasma dalam pengembangan kemandirian petani plasma kelapa sawit, metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan pengumpulan data secara random sampling kepada petani plasma. Analisis data yang digunakan adalah rank correlation atau korelasi tata jenjang dari Spearman.

(9)

Tingkat pendidikan menengah atas lebih mampu mengelola kebun plasma dibandingkan tingkat pendidikan menengah ke bawah.

Kata kunci :kemitraan, petani, inti, plasma, kemandirian.

ABSTRACT

The partnership pattern smallholding system is a form of development cooperation and the development of plantations using large estates as a core guiding the people in the surrounding plantations as plasma in a system of mutual cooperation, complementary, holistic and continuous.

The presence of PT Nusantara Plantation VI (PTPN VI) in the region Jambi strategic means, which generally affects provide growth for the region. Special impact for farmers are going to create a mutually beneficial relationship of cooperation between the company and the plasma core. Impact on communities around the plantation area must be affected by the changes and the presence of PTPN VI and all activities are carried out. The strategic cooperation between the core and the farmers should be entered into with both to be more robust and able to compete with the market.

This study bertujan to analyze plasma plantation system in the development of oil palm smallholders independence, methods of research used quantitative data collection by random sampling to farmers. Analysis of the data used is rank correlation or Spearman correlation of the level system.

(10)

secondary education are better able to manage smallholding compared to lower secondary level.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Luas areal perkebunan di Indonesia, baik perkebunan besar maupun

perkebunan rakyat, cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari seluruh

komoditas utama perkebunan (karet, kopi, teh, kelapa, kakao, tebu dan kelapa

sawit), komoditas karet dan kelapa sawit adalah areal pertanaman yang terluas.

Pertambahan luas yang paling spektakuler dialami oleh perkebunan kelapa sawit

yang dalam 10 tahun terakhir luasnya meningkat rata-rata 14% per tahun, jauh di

atas peningkatan perkebunan karet yang hanya rata-rata 2% per tahun. Pada tahun

1986, luas perkebunan kelapa sawit baru mencapai 606.800 ha, tetapi pada tahun

1997 meningkat pesat menjadi 2,25 juta Ha. Saat ini pusat perkebunan kelapa

sawit terletak di propinsi Sumatera Utara (905.000 ha), provinsi Riau (544.700

Ha), propinsi Kalimantan Barat (211.400 Ha) dan propinsi Sumatera Selatan

(206.000 ha). Di masa mendatang akan dikembangkan secara cepat di Kalimantan

Timur, Sulawesi dan Irian Jaya.

Subsektor perkebunan memegang peranan penting bagi perekonomian

Indonesia dan perlu dikembangkan terus dimasa mendatang. Berdasarkan harga

konstan tahun 2000, kontribusi sector pertanian terhadap Produk Domestik Bruto

(PDB) nasional sebesar 2,31 persen setelah subsektor tanaman bahan makanan

(12)

sebagai salah satu sumber devisa non migas, sumber kesempatan kerja serta

lapangan investasi bagi investor nasional maupun internasional.

Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan yang pembudidayaannya

berkembang pesat sejak decade 1990-an yang tercatat 1,1 juta hektar, dan pada

tahun 2007 berkembang menjadi sekitar 6,78 juta hektar dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) sebanyak 17,37 ton. Perkebunan kelapa sawit rakyat (PR) menempati urutan pertama dengan luas sekitar 2,565 juta hektar dan rata-rata

pertumbuhan luas tanam sekitar 25,2 persen (Departemen Pertanian, 2008).

Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat sejak tahun 1978

dengan laju pertumbuhan luas pertahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7%

(perkebunan swasta), 2,9% (perkebunan negara) dan 19,3% (perkebunan rakyat).

Untuk mendapatkan lahan yang dibutuhkan, cara yang paling sering ditempuh

oleh pengusaha adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme

untukmendapatkannya relatif mudah dan mereka memperoleh keuntungan dari

hasil tebangan kayu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hampir seluruh

pertanaman kelapa sawit yang ada sekarang merupakan areal pertanaman baru

(new planting) dari areal hutan produksi yang dapat dikonversi.

Perkembangan perkebunan kelapa sawit sangat cepat, namun berkurang

sejak awal pertengahan tahun 1998. Salah satu penyebabnya adalah tingginya

pajak ekspor, berkurangnya minat investor asing akibat kondisi politik yang tidak

stabil, dan takut tingginya pasokan. Dengan tingkat produktivitas 18-21 ton TBS

(13)

meningkat dengan laju pertumbuhan 8-10% per tahun pada periode 1995-2000

dan 5-7% per tahun pada periode 2000-2005. Tingkat konsumsi minyak sawit

dunia akan meningkat sebesar 5% per tahun antara tahun 1995-2000 dan pada

tahun 2000 diproyeksikan konsumsi akan mencapai 18,2 juta ton, walaupun harga

minyak sawit diproyeksikan menurun menjadi US$ 415/ton pada tahun 2000.

Pada awal 1998 terdapat 50 perusahaan asing yang sedang melaksanakan

pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan investasi US$ 3 miliar. Rencana

perkebunan yang akan dikelola seluas 926.650 ha di Sumatera, Kalimantan,

Sulawesi, dan Irian Jaya. Khusus untuk Propinsi Riau dan Sumatera Utara,

pemerintah telah menyatakan daerah ini telah tertutup untuk investasi baru

pengembangan perkebunan. Perusahaan asing yang sangat berambisi untuk

mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Malaysia. Hal ini

disebabkan keterbatasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan

letak Indonesia yang paling dekat dengan lokasi fasilitas pabrik pengolahan di

Malaysia. Investor asing lainnya seperti dari Inggris dan Singapura sudah

mengincar perkebunan milik negara yang kinerjanya baik. Pemerintah Indonesia

memang bermaksud melakukan program privatisasi perkebunan negara dengan

menjual sebagian saham kepada pihak swasta nasional maupun asing. Akan tetapi,

agar pihak asing tidak menjadi pemegang saham mayoritas, pemerintah tidak

menjual keseluruhan saham, karena yang dibutuhkan perkebunan hanya

pengembangan produk derivatif dan jaringan pemasaran internasional. Untuk

investor dalam negeri, keinginan berinvestasi di perkebunan kelapa sawit tidak

terbatas pada perusahaanyang sudah biasa mengelola perkebunan, tetapi juga

(14)

III misalnya, sudah menargetkan untuk membangun perkebunan kelapa sawit

seluas 500 hingga 1.000 ha per tahun. Sementara itu PT INHUTANI I juga akan

memasuki bisnis perkebunan, terutama tanaman karet dan kelapa sawit. Pada

akhir Februari 1998, Menhutbun secara resmi telah mengizinkan Perum Perhutani

dan PT Inhutani I s/d V melakukan ekspansi ke sektor perkebunan seperti kelapa

sawit. Alasannya adalah usaha hutan merupakan investasi jangka panjang.

Sedangkan perkebunan merupakan investasi jangka pendek yang diharapkan bisa

memperbaiki cashflow Badan Usaha Milik Negara tersebut.

Banyak perusahaan Indonesia yang belum mempunyai pengalaman di

bidang perkebunan mencoba berbisnis kelapa sawit. Pada umumnya mereka

memanfaatkan skema kredit khusus untuk pengembangan perkebunan rakyat

dengan pola kemitraan, misalnya Pola Perusahaan Inti Rakyat-Transmigrasi

(PIR-Trans) dan Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Walaupun

perusahaan besar mempunyai beban harus bermitra dan membina petani, dengan

menggunakan pola-pola tersebut mereka berkesempatan untuk menjadi kontraktor

pembangunan kebun milik petani, dapat memanfaatkan kayu tebangan hutan dan

mendapatkan fee khusus untuk pengurusan kredit petani.Berbagai kalangan

menyebutkan bahwa dengan mekanisme kerja seperti ini, perusahaan besar tidak

membantu petani, tetapi mereka justru memanfaatkan skema kredit petani.

Meskipun perkembangan investasi perkebunan melemah, terdapat indikasi bahwa

investasi sektor ini akan segera meningkat. Diproyeksikan bahwa luas areal

perkebunan kelapa sawit di Indonesia akan mencapai 2,97 juta ha pada tahun

2000. Sampai dengan tahun 1997, persetujuan dan pelepasan hutan produksi

(15)

permohonan pembangunan perkebunan yaitu 9 juta ha (Dephutbun 1998).

Indonesia sebagai Negara yang besar dan memiliki kekayaan yang

berlimpah terutama di bidang perkebunan tentu memberikan dampak yang

banyak dari segi ekonomi terutama bagi perusahaan-perusahaan yang

mengelolanya, tetapi pemerintah juga membuat kebijakan agar

perkebunan-perkebunan besar juga memberikan kontribusi bagi masyarakat luas, sehingga

hasilnya tidak hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja tetapi juga harus di

rasakan oleh masyarakat luas. Untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan

sosial maka setiap pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah harus berbasis

untuk kepentingan rakyat, sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial yang

mengakibatkan suasana yang tidak kondusif antara suatu perusahaan dengan

masyarakat sekitar. Tujuan penggunaan tanah sebagai bagian dari bumi yang

harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk mencapai

tujuan tersebut, pemerintah harus mengatur penggunaan tanah baik untuk

keperluan Negara, masyarakat maupun bagi kepentingan pengembangan usaha

perekonomian. Untuk itulah UUPA (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960)

sebagai prlaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan perlunya

perencanaan penggunaan tanah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 14 dan Pasal 15

UUPA (Mustofa dan Suratman, 105-106).

Pembangunan sebagai usaha manusia Indonesia untuk mencapai cita-cita

masayarakat yang adil dan makmur harus terus ditingkatkan. Pembangunan yang

terus meningkat jelas menuntut tersedianya tanah sebagai sarananya. Dan dilain

(16)

tanah bagi perusahaan-perusahaan yang menunjang perekonomian negara tidak

diatur, maka akhirnya tanah akan menjadi faktor penghambat dalam proses

pembangunan.

Pengadaan tanah diselenggarakan dengan memperhatikan keseimbangan

antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.Dengan demikian,

berbagai ketentuan Dalam Undang-Undang PTKU harus dapat menjamin bahwa

kegiatan pembangunan itu ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Tolak ukur

capaiannya paling tidak harus dapat dilihat dari kemanfaatan pembangunan untuk

kepentingan umum ini bagi rakyat dan tingkat pemerataan kemanfaatannya serta

pemghormatan terhadap hak rakyat.

Menurut Supancana (dalam Indah Kartika, 2013) salah satu yang menjadi kegagalan pada pelaksanaan pembangunan pada masa lalu adalah titik berat pembangunan ekonomi yang tidak diimbangi dengan pemerataan keadilan. Pertumbuhan ekonomi yang tidak diimbangi oleh pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang telah menciptakan kesenjangan yang amat lebar antara segelintir orang yang sangat kaya dibandingkan dengan besarnya jumlah orang-orang yang kurang sejahtera, dan bahkan sebagian miskin. Besarnya jumlah masyarakat miskin pada akhirnya akan menimbulkan berbagai bentuk permasalahan sosial yang bermuara pada instabilitas politik dan keamanan. Agar keadaan tersebut tidak terjadi, maka di perlukan pertimbangan yang matang untuk mencari alternatif solusinya, salah satunya adalah dengan menetapkan kebijakan dan regulasi yang lebih mendekatkan antara dunia usaha dengan masyarakat melalui berbagai program dan inisiatif.

Dalam hal ini telah disadari bahwa perjalinan hubungan serasi antara

pengembangan industri dengan pengembangan masyarakat, terutama masyarakat

lokal menjadi hal yang urgen. Pengembangan industri pada dasarnya ditujukan

untuk memberikan dampak bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan

baik melalui pembukaan lapangan kerja, peningkatan pendidikan, peningkatan

kesehatan dan lainya yang akhirnya mendatangkan devisa Negara.

(17)

kesejahteraan masyarakat, maka industri memiliki industri sosial baik secara internal maupun eksternal. Kondisi kehidupan masyarakat yang semakin baik akan memberikan dampak yang cukup berarti terhadap keberlangsungan industri itu sendiri. Kegiatan pengembangan masyarakat yang diselenggarakan oleh industri menunujukan adanya kepedulian industri terhadap masyarakat disekitarnya. Hal ini akan memunculkan adanya kepedulian masyarakat terhadap industri dan memandang industri sebagai pihak yang harus didukung dan dijaga oleh masyarakat.

Dengan demikian, kegiatan pengembangan masyarakat tidak hanya akan

memberikan manfaat untuk masyarakat, namun juga akan memberikan

keuntungan sangat besar bagi industri dengan adanya pandangan positif dari

masyarakat. Selain memberikan manfaat pada tingkat makro dan tidak langsung,

industri juga harus menjalin hubungan baik dengan masyarakat lokal tempat

industri berada. Selama ini mungkin sudah dilakukan partisipasi industri melalui

bantuan dana, yang biasanya diserahkan kepada pemerintah lokal baik untuk

kegiatan pembangunan maupun aktivitas kemasyarakatan. Namun demikian

dalam banyak kasus, warga masyarakat tidak mengetahuinya, sehingga

menganggap keberadaan industri hanya mengganggu kehidupan masyarakat

sekitar. Keberadaan tersebut diperburuk dengan adanya pihak-pihak tertentu yang

memiliki kepentingan mendapatkan keuntungan dari konflik masyarakat lokal

dengan industri. Dengan demikian dibutuhkan kegiatan yang tidak hanya bersifat

bantuan sosial, melainkan juga program bimbingan sosial yang berkelanjutan,

yang melibatkan partisipasi dan peran masyarakat secara penuh.

Wujud dari komitmen pemerintah itu salah satunya adalah membuat

peraturan kepda perusahaan untuk membangun kebun inti-plasma. Pada awal

gagasan perkebunan inti-plasma tahun 1970-an, kebijakan investasi perkebunan

(18)

inti. Padahal ratusan ribu petani/pekebun bahkan tak punya akses untuk memiliki

2 sampai 5 hektare lahan untuk berkebun. Kondisi initerjadi karena dalam

Undang-Undang Perkebunan dan turunannya tidak dijelaskan secara rinci tentang

inti-plasma. Maka pengaturan tetang inti-plasma menjadi sangat penting, selain

untuk memberikan akses kepada masyarakat terhadap lahan, juga memberikan

jaminan kepastian hukum terhadap investasi yang telah ditanamkan oleh investor.

Kebijakan plasma mulai diperkenalkan di indonesia dengan nama PIR

(Perusahaan Inti Rakyat) khusus sejak tahun 1977, dengan nama nucleus estate small holding (NES), yang diujicobakan pertama kali di daerah Alue merah (D.I. Aceh) dan Tabalong (Sumatra Selatan). Kemudian pada tahun 1986 mengalami

perkembangan menjadi PIR- transmigrasi, dan terus berlanjut sampai dengan

KKPA (Koperasi Kredit Primer Anggota) pada tahun 1995. Di Revisi, saat

inimenjadi Keputusan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.140/2/2007

tentang kewajiban BUMN Perkebunan untuk membangun kebun plasma di sekitar

perkebunan minimal 20 % dari luas perkebunan.

(http://www.academia.edu/3776399/REVISI_UNDANG-UNDANG_PERKEBUNAN)

Perkebunan kelapa sawit plasma adalah perkebunan rakyat, dalam

pengembangannya diintegrasikan pada Perkebunan Besar Swasta Nasional

(PBSN) maupun Perkebunan Besar Nasional (PBN), dana ditalangi oleh

pemerintah. Program ini dimulai sejak tahu 1977 dengan dikeluarkannya pola

Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang meliputi PIR-Lokal dan PIR-Khusus

(19)

Kebun plasma yang dibangun dan dikembangkan oleh perusahaan

perkebunan (kebun inti) yang nantinya dikelola dan dimanfaatkan oleh petani

rakyat yang nantinya hasilnya dijual kepada kebun inti dengan harga pasar

dikurangi cicilan/angsuran pembayaran hutang kepada kebun inti berupa modal

yang dikeluarkan kebun inti membangun kebun plasma tersebut.

Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi penghasil kelapa sawit di

Indonesia, sub sektor perkebunan memegang peranan yang sangat penting

terhadap perekonomian di Provinsi Jambi, baik sebagai penyerap tenaga kerja

yang cukup besar maupun sebagai penghasil devisa. Kenyataan ini

ditambahkannya, seperti pada tahun 2006, dimana tercatat volume ekspor

komoditas perkebunan sebanyak 290.722 ton, dengan nilai US$ 473.846.372.

Pengembangan kelapa sawit di Jambi diperkirakan telah dimulai pada tahun

60-an, pengusahaan perkebunan kelapa sawit mulai diusahakan oleh PTPN tahun

1993/1994 dengan sistem Perusahaan Inti Rakyat (PIR) di kecamatan Sungai

Bahar, Buntut, Sungai Merkanding dan Tanjung Lebar. Selanjutnya perusahaan

swasta juga termotivasi untuk meningkatkan modalnya di bidang perkebunan

kelapa sawit, sehingga luas kebun kelapa sawit di Jambi terus bertambah hingga

mencapai 515.300 hektare.

PT Perkebunan Nusantara VI (PTPN VI) di wilayah Jambi sejak tahun

1996 telah memberikan perubahan kepada masyarakat setempat. Bahkan PTPN

VI yang merupakan peleburan dari proyek-proyek pengembangan PT Perkebunan

PTP III, PTP IV, PTP VI, dan PTP VIII telah hadir sejak tahun 1978. Oleh karena

(20)

itu peran sebagai pembawa inovasi baru dan perubahan pada masyarakat setempat

sesungguhnya sudah terjadi sejak lama. Kontribusi yang dihadirkan PTPN VI

secara umum adalah penyediaan lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja.

Penyediaan lapangan usaha kepada masyarakat setempat berlangsung menurut

pola PIR (Perkebunan Inti Plasma) dimana perusahaan perkebunan sebagai inti dan petani sebagai plasma. Terkait peran perusahaan dalam memfasilitasi dan membina usaha kebun kelapa sawit masyarakat, belakangan ini terdapat gejala

menurun hubungan plasma dan inti karena beragam faktor yang mempengaruhinya. Pentingnya sebuah model pengelolaan “strategic alliance” antar keduanya ke dalam satu model yang lebih dapat bekerja (workable relationship), yang mana sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas plasma dan inti.

Selain kontribusi lapangan kerja kebun kelapa sawit masyarakat, kehadiran

PTPN VI di wilayah Jambi dengan mengembangkan industri hulu dan hilir

perkebunan, akan dapat menyediakan output dan penciptaan lapangan kerja

berbasis di pedesaan dam wilayah. Dengan demikian, hubungan inti-plasma

memiliki makna strategis untuk mengurangi kemiskinan dan arus urbanusasi.

Subsektor perkebunan mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai

tambah produk dan ekspor. Peningkatan nilai tambah produk dan ekspor

berkontribusi pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kontribusi

perkebunan dapat semakin diperbesar karena industri hulu dan hilir memiliki

(21)

konstruksi, dan perdagangan yang pada akhirnya menciptakan pertumbuhan

ekonomi di wilayah (Tambunan, 2013).

Dengan adanya peraturan pemerintah dimana setiap pembangunan harus

berbasiskan kepentingan rakyat maka PTPN VI menjalankan peraturan tersebut

yang salah satunya adalah membangun perkebunan plasma, program ini

diharapkan dapat mewujudkan keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan masyarakat

sekitar serta menciptakan lingkungan yang kondusif antara masyarakat

sekitardengan pihak perusahaan sehingga masing-masing pihak saling

melindungi. Program kebun inti-plasma yang telah dilakukan oleh PTPN VI memiliki relasi terhadap pengembangan kemandirian petani. Dimana dengan

adanya program ini masyarakat petani dapat lebih mengembangkan kemandirian

mereka. Kemandirian itu merupakan tujuan dari adanya pembangunan kebun

plasma sehingga terwujudnya pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan sosial.

PTPN VI Jambi pertama kali membangun perkebunan plasma pada tahun

1983 dan berlanjut di beberapa areal lain sampai tahun 1994. Salah satu kebun

plasma yang dimiliki oleh PTPN VI adalah Kebun Bunut yang terletak di desa

Berkah dengan luas areal plasma 842 Hektare, yang terdiri dari 411 kepala

keluarga.

Masing-masing petani diberikan lahan 2 Hektare per kepala keluarga dan

mereka juga dibina dan diberi pelatihan. Pada awalnya pengelolaan kebun plasma

kepada petani berjalan lancer, dimana petani diberikan pembinaan dan pelatihan

oleh pihak perusahaan dalam pengelolaan kebun kelapa sawit, mulai dari

menanam, pemupukan hingga perawatan tanaman yang benar sesuai dengan

(22)

pengelolaannya diserahkan kepada petani. Dilapangan ditemukan adanya petani

yang berhasil dan ada yang gagal. Berdasarkan data yang ada di lapangan banyak

petani yang berhasil dan hanya sedikit yang gagal. Berdasarkan masalah ini, maka

perlu dilakukan penelitian mengapa para petani sawit plasma ada yang berhasil

danada yang gagal dalam mengelola lahan plasma?

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan yang telah dikemukakan di atas maka yang menjadi

perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana penerapan sistem kebun inti- plasma dalam meningkatkan

kemandirian petani?

2. Faktor- faktor apa yang mempengaruhi keberhasilan petani dalam

meningkatkan (kemandirian teknis, kemandirian sosial budaya,

kemandirian keuangan dan kemandirian kelompok) ?

3. Faktor apa yang menyebabkan kegagalan petani dalam (kemandirian

teknis, kemandirian sosial budaya, kemandirian keuangan dan

kemandirian kelompok) ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan yang

diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah :

1. Ingin mengetahui manfaat kebun plasma PTPN VI dalam peningkatan

kemandirian petani

2. Mengetahui sejauh mana keberhasilan sistem kebun plasma terhadap

(23)

budaya, kemandirian keuangan dan kemandirian kelompok) di Kebun

Bunut desa Berkah Jambi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan sesuatu yang diharapkan ketika sebuah

penelitian sudah selesai. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini

adalah :

a. Manfaat teoritis

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang

masyarakat perkebunan dan sumbangan pemikiran bagi peneliti lain

sebagai bahan rujukan untuk perbandingan atas masalah yang sama

terutama dalam bidang kajian Sosiologi Masyarakat Perkebunan dan

Kebijakan Publik khususnya tentang studi perkebunun plasma yang sedikit

referensinya.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan dan memberikan manfaat

bagi pemerintah, dinas pertanian, perusahaan perkebunan, petani plasma

dan peneliti tentunya, selanjutnya dalam menjadikan sebuah referensi

tentang sistem perkebunan inti-plasma dalam pengembangan kemandirian

(24)

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Teori Fungsionalisme Struktural Robert Merton

Merton (dalam Margaret, 2010:35-37) mengemukakan bahwa

fungsionalisme struktural awal memusatkan perhatian pada fungsi satu struktur

sosial atau pada fungsi satu institusi sosial tertentu saja. Menurut teori ini

masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari atas bagian-bagian

atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam

keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa

perubahan pula terhadap bagian lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap

struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau

tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya.

Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan satu sistem

atau peristiwa terhadap sistem yang lain dan karena itu mengabaikan

kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau sistem dapat menentang fungsi-fungsi

lainnya dalam suatu sistem sosial.

Menurut Merton, fungsi didefenisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi

yang dapat diamati dan menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem

tertentu”. Tetapi jelas ada bias ideologis bila orang hanya memusatkan perhatian

pada adaptasi atau penyesuaian diri, karena daptasi dan penyesuaian diri selalu

mempunyai akibat positif. Perlu diperhatikan bahwa satu factor sosial dapat

mempunyai akibat negatif terhadap fakta sosial lain. Untuk meralat serius dalam

(25)

disfungsi. Sebagaimana srtuktur atau institusi dapat menyumbang pemeliharaan

bagian-bagian lain dari sistem sosial, struktur, atau institusi pun dapat

menimbulkan akibat negatif terhadap sistem sosial, misalnya perbudakan di

bagaian selatan Amerika Serikat jelas mempunyai perekonomian, dan status

sosial. Tetapi perbudakan juga mempunyai aspek pada perekonomian agraris dan

arena itu tidak siap untuk pengembangan industrialisasi.

Merton memulai analisa fungsionalnya dengan menunjukkan

perbendaharaan yang tidak tepat serta beberapa asumsi atau postulat kabur yang

terkandung dalam teori fungsionalisme. Merton mengeluh terhadap kenyataan

bahwa “sebuah istilah terlalu sering digunakan untuk melambangkan

konsep-konsep yang berbeda-beda, seperti halnya dengan konsep-konsep yang sama yang

digunakan sebagai simbol dari istilah-istilah yang berbeda. Konsep-konsep

sosiologi seharusnya memiliki batasan yang jelas bilamana mereka harus

berfungsi sebagai bangunan dasar dari proposisi-proposisi yang dapat diuji. Lebih

daripada itu, proposisi-proposisi harus dinyatakan dengan jelas tanpa berwayuh

arti. Model Merton mencoba membuat batasan beberapa konsep analisis dasar

bagi analisa fungsional dan menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang

terdapat di dalam postulat-postulat kaum fungsional.

Merton menyatakan kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi

sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama

dalam satu tingkat tingkat keselarasan atau kosistensi internal yang memadai

tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur.

Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari suatu

(26)

beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat fungsional bagi suatu

kelompok ( menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi

disfungsional (mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain.

Berdasarkan teori Merton, kita dapat melihat bahwa dalam kehidupan

sehari-hari, jika dilihat berdasarkan teori struktural fungsional merupakan sebuah

sistem besar yang selalu bergerak dan memproduksi individu-individu dari dalam

sistem tersebut. Parson juga menyebutkan bahwa individu adalah bentukan dari

sebuah sistem yang ada. Pada teori ini juga, muncul sebuah pernyataan yang

mengatakan ketika sesuatu tidak lagi mempunyai fungsi signifikan pada

masyarakat, hal itu akan hilang, sementara segala sesuatu yang dibutuhkan oleh

masyarakat, akan tetap eksis.

Untuk analisa pada penelitian ini, peneliti akan memberikan contoh pada

petani plasma binaan PTPN VI Jambi. Ketika sistem kebun plasma berjalan,

semua akan berjalan seperti sistem. Dalam teori struktural fungsional, kerusakan

pada sistem adalah suatu yang harus dihindari, karena begitu suatu elemen dalam

sistem rusak, maka sistem itu akan berakhir. Hal iniah yang dikhawatirkan pihak

PTPN VI Jambi dalam menjalankan program sistem kebun plasma. Maka dari itu,

segala bentuk hambatan dari elemen perusahaan dan petani yang ada dalam sistem

jika mengalami gangguan maka harus segera ditangani agar tidak merusak sistem

yang ada.

Dalam teori Parson, muncul istilah yang kita sebut sebagai AGIL. AGIL

merupakan singkatan dari elemen-elemen penting yang diperlukan agar sebuah

sistem tetap eksis. Elemen itu adalah Adaptation, Goal Attaintment, Integration,

(27)

kebun plasma yang dijalankan oleh PTPN VI Jambi pada petani binaan di Kebun

Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi.

Pada Adaptation (adaptasi), sistem dituntut harus mampu mengatasi

kebutuhan yang datang dari luar sistem itu. Ia harus mampu beradaptasi agar tidak

kandas di tengah jalan. Adaptasi, dilakukan oleh perusahaan dengan cara

membuat program-program yang bisa memenuhi kebutuhan petani dan dapat

melepaskan petani dari ketergantungan. Program yang diterapkan bisa dengan

program-program yang pernah dilakukan atau pun dengan program baru yang

dibuat oleh dinas pertanian.

Goal (tujuan) merupakan syarat yang perlu dimiliki oleh sebuah sistem

agar dapat terus mempertahankan eksistensinya. Tanpa adanya goal yang jelas,

tidak bisa muncul sinergi antar sub sistem dalam sistem yang ada. Pada contoh

kasus ini, goal yang ingin dicapai adalah mewujudkan hubungan yang harmonis

antara petani dan perusahaan dan saling menguntungkan serta berkesinambungan

juga mewujudkan petani yang mandiri dan mapan secara sosial dan ekonomi

hingga terwujudnya kesejahteraan sosial.

Integration (integrasi) adalah fungsi yang mengatur hubungan antara

bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Bisa dikatakan, integrase adalah

faktor yang menciptakan sinergi antara satu sub dengan sub sistem lainnya.

Fungsi ini juga bertugas mengatur hubungan antara fungsi Adaptation, Goal dan

Latency. Ketika fungsi ini gagal tercapai, maka tak dapat dihindari kerusakan

(28)

dirugikan dengan pihak lain, sehingga dengan terwujudnya pola keuntungan yang

adil maka sinergi antara petani dan perusahaan akan terwujud.

Latency, atau latensi bisa dipahami juga sebagai pemeliharaan pola.

Sistem yang ada harus mampu menciptakan motivasi dan pola budaya yang

kemudian tertanam pada diri setiap individu dalam sistem tersebut. Hal ini juga

tampak pada sistem kebun plasma, dimana petani harus dibina secara

berkelanjutan baik mulai dari cara penanaman, perawatan tanaman dan

penggunaan teknologi. pembinaan yang dilakukan oleh perusahaan harus

terus-menerus sehingga petani benar-benar mampu dalam mengelola kebun plasma

mereka dan terwujudnya petani yang mandiri.

Berdasarkan teori Merton, tampak bahwa PTPN VI Jambi telah melakukan

fungsi-fungsi yang diperlukan agar suatu sistem tetap dapat berjalan. Tetapi dalam

pelaksanaanya apakah perusahaan telah benar-benar menjalankan program inti-plasma sesuai dengan seharusnya, mulai dari manajemen, teknik penanaman, perawatan tanaman dan penggunaan teknologi, sehingga bisa mewujudkan petani

yang mandiri?

2.2 Kemandirian Petani

Dalam Indah Kartika (2013) Pembangunan pertanian diketahui banyak

menyumbangkan devisa bagi Negara dan disaat krisis pertanian mampu bertahan

bahkan sebagai penguat ekonomi Indonesia. Oleh karena itu pembangunan

pertanian hendaknya sebagai kunci utama pembangunan ekonomi Indonesia disaat

situasi krisis global saat ini dan pembangunan yang akan datang. Pembangunan

(29)

dan control yang dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu juga hendaknya

pembangunan pertanian tertuju pada pembangunan kemndirian petani yang

berkelanjutan.

Dimana konsep kemandirian sendiri menunjuk pada adanya kepercayaan

akan kemampuan diri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan

khusus dari orang lain, keengganan untuk dikontrol orang lain, dapat melakukan

sendiri kegiatan-kegiatan dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang

dihadapi.

Kemandirian petani harus dicirikan dengan kemandirian yang dilihat

dalam beberapa hal yaitu:

a. Kemandirian teknis

Pembangunan pertanian selama ini tertuju pada pendidikan praktis petani,

yakni dimana petani hanya diajarkan bagaimana mengolah tanah, bercocok

tanam, memupuk, penyemprotan yang baik, pengairan yang benar dan

panen yang tinggi. Hal ini tidak mendidik petani menuju kemandirian,

melainkan ketergantungan petani yang semakin berkelanjutan. Oleh

karena itu hendaknya pembangunan petani ke depan secara teknis di

ajarkan bagaimana melakukan pengembangan akan kemampuan akan

keahlian pertanian dan mengorganisir diri agar petani terdorong untuk

berkreasi sendiri dengan terus di motivasi untuk berkarya dan diberikan

penghargaan buat petani yang berkarya.

b. Kemandirian sosial dan budaya

Hilangnya sifat gotong royong di desa saat ini dan hilangnya upacara

(30)

masyarakat petani Indonesia. Sifat individual yang terjadi di desa saat ini

adalah bukti ketidakseriusan pemerintah dalam pembangunan pertanian di

bidang sosial budaya. Hendaknya petani di dorong untuk membentuk

kelompok tani yang kuat dan mendorong untuk menghidupkan kembali

budaya-budaya menanam yang sudah di wariskan oleh orang-orang

terdahulu. Dengan demikian kekuatan budaya dapat mendorong

kebersamaan petani dan memotivasi serta merangsang petani untuk

bercocok tanam secara kebersamaan.

c. Kemandirian keuangan

Selama ini, manajemen keuangan petani belum di sentuh dalam

pembangunan pertanian. Selama ini yang terjadi adalah jika hasil panen

petani tinggi, maka petani dianggap berhasil dan pemerintah lepas tangan

dalam hal ini. Padahal manajemen keuangan petani sangat penting untuk

ditindaklanjuti demi kesejahteraan dan kemakmuaran petani. Oleh karena

itu pemerintah dalam hal ini yang dibantu dengan penyuluh pertanian

diharapkan mendorong petani untuk membuat koperasi sendiri dengan

modal dari petani sendiri, pengelolaanya dari petani sendiri dan

manajemennya dari petani sendiri, sehingga dengan demikian petani bisa

berbuat yang terbaik untuk dirinya sendiri (Hasbullah, 2009).

Adapun yang dibutuhkan dalam pengembangan kemandirian petani adalah

sebagai berikut:

a. Pengorganisasian komunitas

Proses dialog untuk memperkuat rasa percaya diri dan kritis kesadaran

(31)

masyarakat dan alam serta kebutuhan untuk bersatu. Melalui proses ini,

kesadaran masyarakat meningkat pada perlu kemandirian dan melepaskan

ketergantungan mereka untuk lain pihak. Setelah petani menyadari pada

kondisi, mereka cepat dewasa akan mengetahui alternatif melalui kerja

kolektif.

b. Kerja tim yang efektif

c. Menghindari untuk berbicara tentang uang di awal pengembangan, karena

apa yang mereka butuhkan pada dasarnya adalah untuk mengubah mental.

Kemudian melalui suatu program pengembangan petani, yang diharapkan

menjadi hasil utama dengan adanya program tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tumbuhnya rasa percaya diri sebagai petani yang kecil, sehingga dapat

mandiri.

b. Memberdayakan ekonomi rumah tangga petani

c. Merasakan manfaat dari pelatihan kemampuan petani

d. Penguatan kapasitas petani kecil laki-laki dan perempuan dalam pertanian

menggunakan lokal sumber daya pertanian yang tersedia.

e. Mengatasi ketergantungan petani kecil untuk input eksternal yang

menyebabkan hilangnya pengalaman mereka, pengetahuan dan budaya

serta memburuknya sumber daya alam (Astuti, 2010).

Dari teori kemandirian petani ini akan dilihat bagaimana kemandirian

petani plasma di Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi yang telah

diberikan pelatihan pembinaan dan dampingan oleh pihak perusahaan PTPN

VI Jambi. Apakah mampu mandiri secara teknis, sosial dan budaya, keuangan

(32)

2.3 Alex Inkles dan David H. Smith : Manusia Modern

Alex Inkles dan David Smith pada dasarnya juga berbicara tentang

pentingnya faktor manusia sebagai komponen penting penopang pembangunan.

Pembangunan bukan sekedar perkara pemasokan modal dan teknologi saja. Tetapi

dibutuhkan manusia yang dapat mengembangkan sarana material tersebut supaya

menjadi produktif untuk ini, dibutuhkan apa yang disebut Inkles sebagai manusia

modern.

Apakah manusia modern itu? Dalam buku mereka yang terkenal,

Becoming Modern, kedua tokoh itu mencoba memberikan ciri-ciri dari manusia

yang dimaksud, yang antara lain meliputi hal-hal seperti keterbukaan terhadap

pengalaman dan ide baru, berorientasi ke masa sekarang dan masa depan, punya

kesanggupan merencanakan, percaya bahwa manusia menguasai alam dan bukan

sebaliknya, dan sebagainya. Ciri-ciri yang diberikannya tentu saja ditambah lagi,

atau dikurangi, atau dikritik ketepatannya. Dalam hal ini, Inkles dan Smith tidak

berbeda dengan Weber dengan konsep etika protestannya, atau Mclelland dengan

konsep n-Achnya. Bedanya, Inkeles dan Smith menguraikan secara lebih rinci

dan menguji konsep-konsep ini dalam sebuah penelitian emperis yang meliputi

penduduk di enam negara berkembang.

Untuk tujuan buku ini, yang lebih penting adalah teori Inkeles dan Smith

tentang proses pembentukan manusia modern. Pertama-tama, mereka menyatakan

“kami beranggapan bahwa, bagaimanapun juga, manusia bisa diubah secara

mendasar setelah dia menjadi dewasa, dan karena itu tak ada manusia yang tetap

menjadi manusia tradisional dalam pandangan dan kepribadiannya hanya karena

(33)

memberikan lingkungan yang tepat, setiap orang bisa diubah menjadi manusia

modern setelah dia mencapai usia dewasa.

Dari hasil penelitiannya, Inkeles dan Smith menjumpai bahwa pendidikan

adalah paling efektif untuk mengubah manusia. Dampak pendidikan tiga kali lebih

kuat dibandingkan dengan usaha-usaha lainnya. Kemudian, pengalaman kerja dan

pengenalan terhadap media massa merupakan cara kedua yang efektif. Penemuan

ini mendukung pendapat Daniel Lerner yang menekankan pentingnya media

massa sebagai lembaga yang mendorong proses modernisasi.

Inkeles dan Smith kemudian menekankan faktor pengamatan kerja,

terutama pengalaman kerja di pabrik, sebagai peran dalam mengubah manusia

tradisional menjadi modern. Dengan kata lain, seorang manusia tradisional bisa

diubah menjadi manusia modern bila dia diterjunkan dalam lembaga-lembaga

kerja yang modern. Seorang yang bekerja di pabrik misalnya, dipaksa bekerja

untuk menepati waktu, untuk membuat perencanaan, untuk bekerja sama dengan

orang lain, dan sebagainya. Dalam penelitiannya, Inkeles dan Smith menemukan

bahwa seorang manusia tradisional yang diterjunkan dalam lembaga kerja yang

modern bukan saja bisa melakukan adaptasi yang cepat (berbeda dengan

persangkaan bahwa dia menjadi bingung dan kehilangan orientasi), tetapi dia juga

bisa menyerap nilai-nilai kerja ini kedalam sikap, nilai dan tingkah lakunya.

Dengan lain perkataan dia menjadi manusia modern.

Untuk menjelaskan hal ini, Inkeles dan Smith mengambil teori Karl Marx

menyatakan bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh lingkungan materialnya.

Hubungan manusia dengan alat produksinya memberi bentuk dan isi pada

(34)

dan Smith, di mana manusia tradisional berubah menjadi manusia modern karena

bekerja pada lembaga-lembaga kerja yang modern, seperti misalnya di

pabrik-pabrik.

Bahkan kedua peneliti ini menemukan bahwa perbedaan etnis dan

perbedaan agama, yang dianggap sebagai faktor penting dalam mengubah tingkah

laku manusia oleh para ahli ilmu sosial yang menekankan faktor kebudayaan,

ternyata kurang berperan penting dalam pembentukan manusia modern. Lebih

penting, seperti sudah diungkapkan di atas, adalah faktor pendidikan dan

pengalaman kerja di lembaga kerja yang modern. (Arief, 2000: 34-36)

Seperti yang dikatakan oleh Alex Inkeles pendidikan merupakan hal yang

paling efektif untuk merubah manusia. Dalam penelitian ini Perusahaan PTPN VI

Jambi memberikan pendidikan kepada petani plasma melalui pembinaan dan

pelatihan kepada petani plasma mulai dari pelatihan manajemen hingga pelatihan

teknis. Disini akan dilihat bagaimana hasil dari pelatihan dan pembinaan yang

dilakukan Perusahaan kepada petani, apakah petani mampu menyerap pendidikan

dan pelatihan yang diajarkan?, serta apakah petani mampu menerapkan apa yang

telah diajarkan perusahaan, seperti penggunaan alat dan mesin pertanian untuk

perkebunan kelapa sawit. Inkeles juga menyatakan bahwa manusia tradisional bila

diterjukan pada lembaga kerja dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja dan

menjadi manusia modern, disini akan dilihat apakah petani plasma yang dilibatkan

oleh pihak perusahaan dalam pengelolaan perbunan kelapa sawit mulai dari

penggunaan teknologi hingga melakukan perencanaan, pengambilan keputusan

dan berdiskusi melalui kelompok tani oleh pihak perusahaan bisa merubah pola

(35)

Menurut Inkeles, manusia modern memiliki karakteristik sebagai berikut:

memiliki sikap hidup untuk menerima hal-hal yang baru dan terbuka untuk

perubahan; menyatakan pendapat atau opini mengenai lingkungan sendiri atau

kejadian yang terjadi jauh diluar lingkungan serta dapat bersikap demokratis,

menghargai waktu dan lebih banyak berorientasi ke masa depan daripada masa

lalu, memiliki perencanaan dan pengorganisasian, percaya diri, perhitungan,

menghargai harkat hidup manusia lain, lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan

teknologi dan menjunjung tinggi suatu sikap bahwa imbalan yang diterima

seseorang haruslah sesuai dengan prestasinya di masyarakat. (Nanang, 2011;

60-61).

2.4 Perubahan Sosial : Difusi dan Transformasi Nilai

A.Difusi

Masyarakat yang paling inventif pun hanya menemukan sendiri sebagaian

dari seluruh inovasi yang ada dalam masyarakat itu. Kebanyakan perubahan sosial

pada masyarakat yang dikenal merupakan hasil dari proses difusi, yakni

penyebaran unsur-unsur budaya dari suatu kelompok ke kelompok lainnya. Difusi

berlangsung baik di dalam masyarakat maupun antar masyarakat. Difusi terjadi

manakala beberapa masyarakat saling berhubungan. Masyarakat juga dapat

mengelakan diri dari difusi dengan cara mengeluarkan larangan dilakukannya

kontak dengan masyarakat lain. (Suwarsono, 1990: 76)

Difusi selalu merupakan proses dua-arah. Unsur-unsur budaya tidak dapat

menyerap tanpa adanya kontak terntentu antar manusia dan kontak tersebut selalu

melahirkan difusi pada kedua belah pihak. Dengan adanya sistem kebun plasma,

(36)

komunikasi, hal ini terjadi melalui pelatihan dan pembinaan yang dilakukan

perusahaan kepada pihak petani plasma, dimana petani plasma menyerap

nilai-nilai yang diajarkan oleh pihak perusahaan. Seperti pengajaran bagaimana cara

menanam, memupuk dan merawat tanaman kelapa sawit dengan benar sesuai

dengan standar operasional. Manakala terjadi kontak budaya antar dua

masyarakat, maka pada umumnya masyarakat yang tingkat teknologinya

sederhanalah yang lebih banyak menyerap unsur budaya masyarakat lainnya.

Kelompok sosial berstatus rendah biasanya menyerap lebih banyak unsur budaya

dari kelompok berstatus tinggi, bukan sebaliknya. Sepertinya halnya perusahaan

dengan petani plasma. Dimana petani plasma lebih banyak menyerap nilai-nilai

yang diajarkan perusahaan kepada petani, seperti penggunaan dan penerapan

teknologi pertanian. Maka akan dilihat apakah petani mampu mengadopsi

teknologi yang diajarkan oleh perusahaan kepada petani untuk meningkatkan hasil

produksi mereka.

Difusi merupakan suatu proses selektif. Sebuah kelompok menerima

beberapa unsur budaya dari kelompok lainnya, dan pada saat bersamaan

kelompok itu menolak unsur-unsur budaya dari kelompok lain tersebut. Difusi

biasanya disertai dengan modifikasi tertentu terhadap unsur-unsur serapan.

Sebagaimana yang telah disinggung terdahulu, setiap unsur budaya memiliki

prinsip, bentuk, fungsi, dan makna. Salah satu atau bahkan semua segi tersebut

dapat mengalami perubahan ketika suatu unsur budaya diserap. Maka melalui

teoti difusi akan dilihat apakah ada terjadinya proses difusi antara perusahaan

PTPN VI Jambi dengan petani plasma Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi

(37)

Transformasi menurut Kuntowijoyo adalah konsep ilmiah atau alat analisis

untuk memahami dunia. Karena dengan memahami perubahan setidaknya dua

kondisi/keadaan yang dapat diketahui yakni keadaan pra perubahan dan keadaan

pasca perubahan.

Transformasi merupakan perpindahan atau pergeseran suatu hal ke arah

yang lain atau baru tanpa mengubah struktur yang terkandung didalamnya,

meskipun dalam bentuknya yang baru telah mengalami perubahan. Kerangka

transformasi budaya adalah struktur dan kultur. Sementara itu menurut Capra,

transformasi melibatkan perubahan jaring-jaring hubungan sosial dan ekologis.

Apabila struktur jaring-jaring tersebut diubah, maka akan terdapat didalamnya

sebuah transformasi lembaga sosial, nilai-nilai dan pemikiran-pemikiran.

Transformasi budaya berkaitan dengan evolusi budaya manusia. Transformasi ini

secara tipikal didahului oleh bermacam-macam indikator sosial. Transformasi

budaya semacama ini merupakan langkah-langkah esensial dalam perkembangan

peradaban. Semua peradaban berjalan melalui kemiripan siklus proses-proses

kejadian, pertumbuhan, keutuhan dan integritas. (Elly dan Usman, 2011: 670)

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa transformasi

adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain, dan menyebabkan

perubahan pada satu objek yang telah dihinggapi oleh sesuatu tersebut.Jadi

transformasi dapat menyebabkan perubahan pada satu objek tertentu. Perubahan

tersebut terjadi pula pada masyarakat yang mampu mentransformasi nilai-nilai

budaya lokal.

Dalam teori moral socialization atau teori moral sosialisasi dari Hoffman

(38)

norma dan nilai-nilai dari masyarakat kepada anak agar anak tersebut kelak

menjadi anggota masyarakat yang memahami nilai dan norma yang terdapat

dalam budaya masyarakat. Teori ini menekankan pada nilai dan norma yang

tadinya terdapat dalam budaya masyarakat ditransformasikan atau disampaikan

kepada masyarakat lain agar masyarakat secara umum memiliki dan memahami

nilai-nilai budaya dan dapat dijadikan dasar dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara.

(https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&cad=r

ja&uact=8&ved=0CHkQFjAH&url=http%3A%2F%2Fjurnal.upi.edu%2Ffile%2F

rasid_yunus.pdf&ei=PGsYU4OeAYmLrQfKzYDoCg&usg=AFQjCNHknqKgMc

_-k6wQ0sJqhhkrIDIWkg)

Transformasi tidak hanya perubahan berupa mekanisasi dan teknologi

tetapi lebih jauh lagi berdampak pada kemampuan ekonomi dan sosial petani,

seperti pada terjalin gotong royong dan mampunya petani dalam pembentukan

kelompok tani. Penelitian ini akan melihat bagaimana transformasi yang terjadi

antara pihak perusahaan dengan petani plasma. Transformasi bisa terjadi bila

pihak yang menerima terbuka akan perubahan itu dan melalui perubahan itu

apakah masyarakat mampu menghilangkan pikiran negatif sehingga mau

menerima peruabahan itu sendiri. Pada teori transformasi nilai akan dilihat apakah

ada terjadinya transformasi tentang nilai-nilai yang diajarkan oleh pihak

perusahaan kepada petani melalui pelatihan dan pembinaan kepada petani, seperti

bagaimana acara penggunaan teknologi, apakah petani mampu menerapkannya

(39)

pemupukan dan perawatan tanaman kelapa sawit sesuai standar operasional

seperti yang diajarkan oleh pihak perusahaan atau tidak?

2.5 Penelitian Terdahulu

Salah satu pola yang dikembangkan untuk pengembangan Perkebunan

Rakyat adalah Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Perkebunan. Pola ini dianggap dapat

membantu petani pekebun menjadi petani modern yang mengelola kebunnya

secara agrobisnis. Pola ini pula diharapkan mampu mengurangi kesenjangan yang

terjadi antara Perkebunan Besar dan Perkebunan Rakyat. Pola PIR mulai

dikembangkan sejak tahun 1977. Dari data sekunder yang diperoleh BPS, sampai

dengan Desember 1995 tercatat 132 lokasi PIR dengan areal penanaman 923.218

Ha, dengan perincian Kebun Inti 296.180 Ha dan Kebun Plasma 627.038 Ha.

Tetapi dari keseluruhan lokasi tersebut belum semuanya memberikan hasil yang

baik. Salah satu lokasi PIR yang berhasil baik adalah PIR OPHIR di Pasaman

Barat, Kabupaten Pasaman, Propinsi Sumatera Barat.

Dari berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan petani plasma,

faktor keberhasilan pembinaan kelembagaan memegang peranan penting. Sebab

selama masa pengelolaan Perusahaan Inti, peran penting kelembagaan mungkin

belum terasa sekali. Pada masa pasca Konversi dimulai, petani plasma diharapkan

mampu memanajemeni kebun plasmanya sendiri. Pada tahap inilah kelembagaan

terasa manfaatnya.

Namun dalam kenyataannya, kelembagaan petani disebagian besar lokasi

(40)

KUD, dan KUD dengan perusahaan inti. Kondisi tersebut di atas masih ditambah

dengan masalah kebun yang tidak terawat, produksi rendah, penanganan pasca

panen yang kurang baik, rendemen rendah yang pada akhirnya mengakibatkan

pendapatan petani menjadi rendah. Namun kondisi-kondisi negative di atas tidak

terjadi di PIR OPHIR Pasaman, Sumatera Barat. Hal ini diduga disebabkan oleh

pembinaan Kelembagaan Petani Plasma di PIR OPHIR Pasaman, berjalan cukup

baik dan proses pembentukan masing-masing lembaga didasarkan pada kebutuhan

dan keadaan dari para pelakunya, sehingga pada saat pasca koversi, petani plasma

sudah mampu mandiri, dan lembaga-lembaga yang terkait sudah berfungsi dengan

baik.

Kondisi positif di PIR OPHIR Sumatera Barat ini menarik untuk dikaji.

Berdasarkan uraian tersebut diatas rumusan masalahnya dapat di formulasikan

sebagai berikut.

a) Apakah Pembinaan Kelembagaan PIR di OPHIR berfungsi dengan baik,

sehingga mempengaruhi kesejahteraan petani plasma

b) Bagaimana proses pembentukan kelembagaan tersebut

c) Kelembagaan apa saja yang terbentuk

d) Model kelembagaan apa yang dapat dikembangkan dari kajian

kelembagaan OPHIR

Studi kasus ini bertujan untuk mengkaji dan menganalisa model

kelembagaan petani plasma di PIR Ophir dan memberikan alternative model

modifikasi. Metode penelitian yang digunakan adalah Studi Kasus. Jumlah

(41)

diambil secara acak. Data yang diperoleh dari studi kasus digunakan sbagai data

primer, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Waktu

penelitian dilaksanakan antara bulan Juni 1996 sampai dengan Agustus 1996

Metode analisis yang digunakan adalah analisa deskriptif dan perbandingan.

Dari hasil penelitian yang diperoleh, PIR OPHIR Pasaman yang dibiayai

pembangunan dan pembinaannya dari kredit bantuan pemerintah Jerman dan

pemerintah Indonesia sebesar 66,56 milyar dan pembinaan petani serta

kelembagaannya menerapkan metode Andragogi dan partisipatori melului

kegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, anjangsana dan dampingan lapangan

oleh GTZ secara terus menerus selama 12 tahun.

Metode ini diterapkan sejak merencanakan, mengorganisir, mengevaluasi,

memotivasi samapi dengan mendorong partisipatif aktif para petani dalam wadah

kelembagaan yang terbentuk yang dimulai dengan pembentukan kelompok tani

hamparan. Dari hasil wawancara dengan pemimpin kelompok, koperasi dan

pembinaan, ternyata proses pembinaan tersebut tidaklah mudah.

Untuk memberikan pengertian tentang manfaat metode hamparan dengan

pemilikan tanaman secara kelompok dan pemilikan tanah secara individu

memerlukan waktu dan keuletan. Tetapi setelah satu kelompok tani memahami

manfaat dari kesepakatan tersebut dan memberikan hasil yang positif, maka untuk

kelompok tani berikutnya tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk mengadopsi

inovasi tersebut.

Semakin beragam keanggotaan dari satu kelompok tani sebagai lembaga

(42)

selanjutnya diterapkan pada Koperasi Unit Desa. Pembinaan pada KUD relative

lebih mudah. Karena anggotanya yang tergabung dalam kelompok tani telah lebih

dahulu terkonsolidasi. KJUD adalah koperasi sekunder yang beranggotakan

KUD-KUD merupakan tingkatan kelembagaan petani yang terakhir. Secara prinsip tidak

terdapat kesulitan dalam pembinaan KJUB, hanya pada waktu pembentukannya

melalui proses yang cukup sulit. Karena koperasi sekunder pada tingkat pedesaan

belum pernah ada sebelumnya, yang ada adalah induk Koperasi Unit Desa (KUD)

yang berkedudukan di Kabupaten/propinsi. Tetapi hal tersebut dapat diatasi oleh

kegigihan pendirinya.

Dengan berfungsinya kelompok tani, KUD dan KUJB memberikan

dampak positif pada pengelolaan, perawatan dan produksi kebun plasma. Hal ini

terlihat dari rata-rata produksi kebun plasma 25,32 ton/ha/tahun yang melampui

rata-rata nasional yang hanya 22ton/ha/tahun. Dengan tingkat rata-rata produksi

tersebut, maka rata-rata pendapatan yang direncanakan semula sekitar Rp.

262.500,-/kk/bln dapat meningkat menjadi Rp. 419.820,- sampai dengan Rp.

712.474,-/kk/bln.

Indikasi lain mengenai keberhasilan petani PIR Ophir adalah kemampuan

petani dalam mengembalikan kredit. Semula pengembalikan kredit direncanakan

15 tahun dalam pelaksanaannya dalam waktu 10 tahun petani PIR Ophir telah

dapat melunasinya.

Dari hasil studi kasus tersebut, dapat disebutkan bahwa model pembinaan

kelembagaan petani plasma PIR Ophir berhasil baik. Pembinaan dengan

(43)

sebesar Rp. 8,06 milyar atau 12,20% dari total investasi. Pembinaan yang terus

menerus selama 12 tahun dengan metode Androgogi dan partisipatori ternyata

efektif. Model pembinaan kelembagaan petani pada pola PIR Ophir merupakan

alternative yang kemungkinan dapat diterapkan pada PIR lainnya khususnya PIR

perkebunan, khususnya denga komoditi kelapa sawit.

Pada model PIR yang diusulkan, polanya hampir sama dengan pola PIR

Ophir, bedanya model pembinaan kelembagaan PIR Ophir adalah partisipatori,

sedangkan model pembinaan pada model yang diusulkan adalah partisipatori

legalitas dengan menggunakan metode Androgogi dengan kegiatan pendidikan,

pelatihan, studi banding sosialisasi dan lain-lain. pada PIR Ophir pembinaan terus

menerus selama 12 tahun sedangkan pada model yang diusulkan hanya 5 tahun.

Waktu yang diperlukan lebih singkat dangan anggapan pada model yang

diusulkan tidak lagi mencari pola-pola dan cara-cara pembinaan kelembagaan

karena sudah diperoleh dari pengalaman di PIR Ophir.

Waktu pembinaan yang lebih singkat memungkinkan biaya yang

diperlukan untuk pembinaan juga lebih sedikit. Kalau pada pola PIR Ophir biaya

yang diperlukan sekitar 12,20% dari total invastasi maka pada model yang

diusulkan hanya 5% dari total investasi. Dampingan yang digunakan pada model

usulan menggunakan tenaga ahli dalam negeri.

Secara dingkat dapat disimpulkan bahwa model Pembinaan Kelembagaan

Petani Plasma PIR Ophir telah dapat meningkatkan pendapatan petani. Hal ini

dapat dilakukan karena berfungsinya lembaga-lembaga petani plasma dan sudah

(44)

Pada model yang disulkan karena pola dan cara-cara pembentukan

kelembagaan petani plasma dama dengan yang terjadi di PIR Ophir maka yang

terjadi di Ophir diharapkan dapat diperoleh lebih baik pada model yang akan di

kembangkan. (Basdabella,1996)

2.6 Hipotesis

Hipotesis dapat didefenisikan sebagai suatu pernyataan tentang hubungan

logis antara dua variabel atau lebih yang dinyatakan dalam bentuk kuantitatif

sehingga dapat diuji kebenarannya. Hipotesis nol yang dilambangkan dengan H0

adalah sebuah proposisi yang menyatakan hubungan yang defenitif dan eksak atau

dua variabel atau lebih. Perlu diperhatikan bahwa secara umum, hipotesis nol

dirumuskan sebagai hubungan kosong dalam arti korelasi ataupun perbedaan

antara populasi variabel-variabel itu tidak ada atau sama dengan nol. Hipotesis

alternatif yang dilambangkan dengan H1 atau HA yang merupakan kebalikan dari

hipotesis nol adalah sebuah pernyataan yang menjelaskan adanya korelasi atau

perbedaan antara populasi dari dua variabel atau lebih (Sukaria, 2011 : 94-104).

H1= Terdapat korelasi positif antara penerapan sistem perkebunan inti-plasma

yang dilakukan oleh PTPN VI Jambiterhadap kemandirian petani kelapa sawit.

H0= Tidak terdapat korelasi positif antara penerapan sistem perkebunan

inti-plasma yang dilakukan oleh PTPN VI Jambi terhadap kemandirian petani kelapa

(45)

2.7 Defenisi Konsep

Dalam penelitian ilmiah, disamping berfungsi untuk memfokuskan dan

mempermudah suatu penelitian, konsep juga berfungsi sebagai panduan yang

nantinya digunakan penelitian untuk menindak lanjuti sebuah kasus yang diteliti

dan menghindari terjadinya kekacauan akibat kesalah penafsiran dalam sebuah

penelitian. Adapun konsep yang digunakan sesuai dengan konteks penelitian ini,

antara lain adalah :

1. Sistem adalah kumpulan dari elemen-elemen yang berinteraksi untuk

mencapai suatu tujuan tertentu. sistem ini menggambarkan suatu

kejadian-kejadian dan kesatuan yang nyata adalah suatu objek nyata, seperti tempat,

benda, dan orang-orang yang betul-betul ada dan terjadi.

2. Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR)adalah pola pengembangan perkebunan

rakyat dengan sistem kemitraan yang memadukan kegiatan produksi,

pengolahan dan pemasaran hasil dalam satu sistem kerjasama terpadu atau

koordinasi vertikal, dimana perkebunan besar bertindak sebagai inti

dengan beberapa petani pada perkebunan rakyat sebagai plasma.

Perusahaan inti disamping mengusahakan kebunnya sendiri juga

berkewajiban membangun kebun plasma dan membeli hasil produksi

kebun plasma untuk diolah lebih lanjut

3. Perusahaan Inti adalah perusahaan perkebunan besar, baik milik swasta

(46)

(http://h0404055.wordpress.com/2010/04/05/inti-plasma-pir-trans-dan-kkpa-perkebunan-kelapa-sawit/).

4. Kebun Plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh

perusahaan Inti dengan tanaman perkebunan.

5. Petani Plasma adalah adalah petani yang memiliki lahan kebun plasma dan

terdaftar sebagai anggota KUD. (http://webcache.googleusercontent.com)

6. Pengembangan adalah upaya mengembangkan suatu kondisi masyarakat

secara berkelanjutan dan aktif berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial

dan saling menghargai.

7. Kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas

sehari-hari sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya.

8. Mutualisme adalah hubungan sesama makhluk hidup yang saling

menguntungkan kedua pihak. (http://id.wikipedia.org/wiki/Simbiosis)

2.8 Operasional Variabel

Operasional Variabel digunakan untuk melihat variabel-variabel yang

menjadi kajian penelitian. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah

pembangunan sistem kebun plasma yang mempengaruhi pengembangan

kemandirian petani kelapa sawit. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah

kemandirian petani kelapa sawit binaan PTPN VI Jambi.

Defenisi operasional adalah spesifikasi kegiatan peneliti dalam mengukur

(47)

suatu variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan peneliti untuk mengukur

variabel tersebut (Sarwono, 2006 : 12). Variabel yang digunakan dalam penelitian

ini adalah :

1. Variabel Bebas (X)

Variabel bebas sebagai pengaruh atau penyebab dari variabel lain.

Variabel bebas merupakan variabel yang diukur, dimanipulasi, atau dipilih oleh

peneliti untuk menentukan hubungannya dengan suatu gejala yang di observasi

(Sarwono, 2006 : 54). Variabel dalam penelitian ini adalah sistem kebun

inti-plasma. Adapun yang menjadi indikator variabel bebas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Manajemen (X1)

2. Permodalan (X2)

3. Pembinaan dan pengembangan SDM (X3)

4. Teknologi (X4)

5. Pemasaran (X5)

2. Variabel Terikat (Y)

Variabel terikat adalah akibat dari variabel yang mendahuluinya, Variabel

terikat adalah variabel yang memberikan reaksi jika dihubungkan dengan variabel

bebas. Variabel terikat adalah variabel yang variabelnya diamati dan diukur untuk

menentukan pengaruh yang disebabkan oleh variabel bebas (Sarwono, 2006 : 54).

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemandirian petani plasma kelapa

(48)

Adapun yang menjadi indikator variabel terikat dalam penelitian ini, yaitu:

1. Kemandirian teknis (Y1)

2. Kemandirian sosial dan budaya (Y2)

3. Kemandirian keuangan (Y3)

4. Kemandirian kelompok (Y4)

Variabel Bebas (X) Variabel Terikat (Y)

2.9 Bagan Operasional Variabel

Kosep Variabel X Indikator

Sistem Kebun

Inti-Plasma

Manajemen 1. Bantuan penyusunan

studi kelayakan

Permodalan 1. Pemberian informasi

(49)

2. Tata cara pengajuan

penjaminan dari

berbagai sumber

lembaga penjaminan

3. Mediator terhadap

sumber-sumber

pembiayaan

4. Informasi dan tata

cara penyertaan

modal

5. membantu akses

permodalan

Pembinaan dan

Pengembangan SDM

1. Pendidikandan

pelatihan

2. Magang

3. Studi banding

4. Konsultasi

Teknologi 1. Membantu perbaikan,

inovasi dan ahli

teknologi pada

penanaman dan

pemeliharaan kebun

(50)

2. Membantu

Pengadaan sarana dan

prasarana produksi

sebagai unit

percontohan

3. Membantu perbaikan

sistem produksi dan

kontrol kualitas

4. Membantu

pengembangan desain

dan rekayasa produk

5. Membantu

meningkatkan

efesiensi pengadaan

bahan baku

Pemasaran 1. Membantu akses

pasar

2. Memberikan bantuan

informasi pasar

3. Memberikan bantuan

promosi

4. Mengembangkan

(51)

5. Membantu

melakukan

identifikasi pasar dan

perilaku konsumen

6. Membantu

peningkatan mutu

produk dan nilai

tambah

Kemandirian Petani Variabel Y Indikator

Kemandirian Teknis Pengajaran

pengembangan

kemampuan pertanian

dalam :

1. Penamaman

2. Pemupukan dengan

komposisi yang

sesuai

3. Pemeliharaan

tanaman

Kemandirian Sosial dan

Budaya

1. Mampu mendorong

kebersamaan petani

Gambar

Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Kebun Bunut Jambi Berdasarkan
Tabel 3.  Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tabel 4.  Desa Kebun Bunut Jambi Berdsarkan Agama
Tabel 6. Sarana Umum di Desa Kebun Bunut Jambi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan dari penelitian ini adalah penambahan vitamin A, vitamin E serta kombinasi keduanya sebanyak 2000 IU/100g dan 20 IU/100g dalam ransum menghasilkan konsumsi

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Majelis Hakim sepakat menilai rumah tangga Pemohon dan Termohon dalam keadaan telah pecah, terbukti

Stock Picks ADRO  1870‐1945. 

Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan melepaskan dinding sel atau komponen  –    komponen membran sel (endotoksin, teichoic acid )

pekerjaan lain yang oleh PIHAK KEDUA dianggap lebih cocok serta sesuai dengan.. keahlian yang dimiliki PIHAK PERTAMA, dengan syarat masih tetap berada

Hasil dari penelitian ini hampir sebagian responden ibu hamil dengan pola makan kurang sebanyak 12 orang atau 40.0 % dan sebagian besar ibu hamil mengalami konstipasi sebanyak 17

[r]

Sebagian responden dengan tingkat pengetahuan cukup hal ini ditunjukkan dengan hasil pengisian kuesioner dari 72 responden yang menjawab tentang pengertian