POLA AKTIVITAS DAN PERILAKU NYERI RHEUMATOID ARTHRITIS PADA LANSIA DI KELURAHAN TANJUNG SELAMAT
KECAMATAN PADANG TUALANG KABUPATEN LANGKAT
Skripsi
Dendi Purnama 091101051
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul : Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis pada Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat
Nama : Dendi Purnama
NIM : 091101051
Jurusan : Keperawatan
Tahun Akademik : 2013
Abstrak
Jumlah lansia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Saat ini, di seluruh dunia jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan mencapai 500 juta orang, dengan usia rata-rata 60 tahun, Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang yaitu sebanyak 1.032 orang. Masalah-masalah kesehatan akibat penuaan terjadi pada berbagai sistem tubuh, salah satunya adalah rheumatoid arthritis. Bertambah beratnya gejala penyakit rheumatoid arthritis mengakibatkan terjadi perubahan aktivitas pada pasien. Salah satunya adalah adanya rasa nyeri dan menimbulkan perilaku nyeri yang berbeda-beda pada setiap penderita. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia. Sampel penelitian ini adalah 56 orang lansia dengan rheumatoid arthritis di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang kabupaten langkat yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan mulai 26 Mei-16 Juni 2013. Hasil analisa data menunjukkan 91,1% lansia terganggu aktivitasnya disebabkan oleh keterbatasan gerak pada sendi. Pada perilaku nyeri, 60,8% responden menunjukkan perilaku nyeri sedang. Hasil penelitian ini digunakan sebagai gambaran bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan rheumatoid arthritis.
Title : Activity Pattern and Pain Behavior of Rheumatoid Arthritis
in Old-Aged People at Kelurahan Tanjung Selamat, Padang
Tualang Subdistrict, Langkat District
Name : Dendi Purnama
Std. ID Number : 091101051 Study Program : Nursing Academic Year : 2013
Abstract
The number of old-aged people is increasing each year. Today, the number of old-aged people is estimated to reach 500 million with an average of 60 years old throughout the world. There are 1,032 old-aged people at Kelurahan Tanjung Selamat, Padang Tualang Subdistrict. Health problems, caused by aging, occur in various body systems, and one of them is rheumatoid arthritis. The worst symptom of rheumatoid arthritis will cause the change of activity in patients. One of them is the feeling of pain and causes different kinds of pain in different patients. This descriptive study was aimed to identify activity pattern and pain behavior of rheumatoid arthritis in old-aged people. The samples consisted of 56 old-old-aged people suffered from rheumatoid arthritis at Kelurahan Tanjung Selamat, Padang ualang Subdistrict, Langkat District, taken by using purposive sampling technique. The data were gathered from May 26 to June 16, 2013. The result of the analysis of data showed that 91.1% of old-aged people’s activity was disturbed because the movement of the joints was limited. In the pain behavior, 60.8% respondents indicated moderate pain. The result of the study was used as the example for nurses in providing nursing care to old-aged people who suffer from rheumatoid arthritis.
PRAKATA
Puji syukur peneliti ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya proposal penelitian dengan judul “Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri
Rheumatopid Arthritis pada Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan
Padang Tualang Kabupaten Langkat” sebagai tugas akhir yang harus dipenuhi di
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.
Pada saat penyelesaian proposan penelitian ini peneliti mengucapkan
terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah memberikan
bimbingan serta dorongan kepada peneliti.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada yang terhormat :
1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara
2. Pembantu Dekan I, II, III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan dukungan kepada Penulis.
3. Ka.Kelurahan dan Ka. Puskesmas Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang
yang telah memberikan izin kepada penulis.
4. Bapak Ismayadi, S.Kep, Ns, M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan saran dalam
penulisan skripsi ini.
5. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku dosen pembimbing akademik.
6. Kepada Bapak Mula Tarigan, S.Kp, M.Kes dan Ibu Cholina Trisa Siregar S.Kep,
Ns. M.kep. Sp.KMB selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak nasihat
7. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera
Utara yang telah memberikan dukungan kepada penulis.
8. Kepada kedua orangtua penulis, ayahanda Marsono, Ibunda Radiah dan
saudara-saudara penulis mas Bambang, dek Bowo, yang senantiasa selalu mendoakan,
memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.
9. Kepada sahabat-sahabat chandra, pandi, lukas, tengku, gerhard, eby, dwi, adel,
ginna, debby, irna, lia, bg agung, kak dona, bg ang, bg win serta orang-orang yang
tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dan mendukung
penulis, terima kasih atas segala kritik dan saran yang kalian berikan semuanya.
10.Rekan – rekan stambuk 2009 seperjuangan.
11.Kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu yang
telah mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.
Peneliti menyadari dalam pembuatan proposal penelitian ini masih
dirasakan kurang sempurna. Karena itu peneliti menerima segala kritik dan saran
dari semua pihak guna penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam
penyelesaian skripsi ini.
Medan, Juli 2013
DAFTAR ISI
5.3. Klasifikasi Nyeri ... 26
BAB 3. KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual ... 38
2. Definisi Operasional ... 39
BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 40
2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 40
2.1. Populasi ... 40
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ... 48
1.1. Karakteristik Demografi ... 48
1.2. Pola Aktivitas lansia dengan Rheumatoid Arthritis ... 50
1.3. Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis pada Lansia ... 51
2. Pembahasan ... 51
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 57
2. Saran ... 58
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Persetujuan Responden 2. Kuisioner Data Demografi
3. Kuisioner Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis 4. Lembar Observasi Perilaku Nyeri
5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Pola Aktivitas Lansia dengan Rheumatoid Arthritis
6. Lembar Analisis Data SPSS 7. Lembar Persetujuan Uji Validitas
8. Lembar Persetujuan Menggunakan Instrumen 9. Surat Izin Survey Awal
10. Surat Izin Uji Reabilitas
11. Surat Izin Melakukan Penelitian
12. Surat Pernyataan Telah Melakukan Penelitian 13. Jadwal Penelitian
14. Taksasi Dana
15. Daftar Riwayat Hidup
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Defenisi Operasional ... 39
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Presentase Berdasarkan Karakteristik
Data Demografi ... 49
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Presentase Pola aktivitas Lansia dengan Rheumatoid Arthritis ... 50
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Presentase Perilaku Nyeri Rheumatoid
DAFTAR SKEMA
Skema 3.1. Kerangka Konseptual Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri
Rheumatoid pada Lansia ... 38
Judul : Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis pada Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat
Nama : Dendi Purnama
NIM : 091101051
Jurusan : Keperawatan
Tahun Akademik : 2013
Abstrak
Jumlah lansia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Saat ini, di seluruh dunia jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan mencapai 500 juta orang, dengan usia rata-rata 60 tahun, Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang yaitu sebanyak 1.032 orang. Masalah-masalah kesehatan akibat penuaan terjadi pada berbagai sistem tubuh, salah satunya adalah rheumatoid arthritis. Bertambah beratnya gejala penyakit rheumatoid arthritis mengakibatkan terjadi perubahan aktivitas pada pasien. Salah satunya adalah adanya rasa nyeri dan menimbulkan perilaku nyeri yang berbeda-beda pada setiap penderita. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia. Sampel penelitian ini adalah 56 orang lansia dengan rheumatoid arthritis di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang kabupaten langkat yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan mulai 26 Mei-16 Juni 2013. Hasil analisa data menunjukkan 91,1% lansia terganggu aktivitasnya disebabkan oleh keterbatasan gerak pada sendi. Pada perilaku nyeri, 60,8% responden menunjukkan perilaku nyeri sedang. Hasil penelitian ini digunakan sebagai gambaran bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan rheumatoid arthritis.
Title : Activity Pattern and Pain Behavior of Rheumatoid Arthritis
in Old-Aged People at Kelurahan Tanjung Selamat, Padang
Tualang Subdistrict, Langkat District
Name : Dendi Purnama
Std. ID Number : 091101051 Study Program : Nursing Academic Year : 2013
Abstract
The number of old-aged people is increasing each year. Today, the number of old-aged people is estimated to reach 500 million with an average of 60 years old throughout the world. There are 1,032 old-aged people at Kelurahan Tanjung Selamat, Padang Tualang Subdistrict. Health problems, caused by aging, occur in various body systems, and one of them is rheumatoid arthritis. The worst symptom of rheumatoid arthritis will cause the change of activity in patients. One of them is the feeling of pain and causes different kinds of pain in different patients. This descriptive study was aimed to identify activity pattern and pain behavior of rheumatoid arthritis in old-aged people. The samples consisted of 56 old-old-aged people suffered from rheumatoid arthritis at Kelurahan Tanjung Selamat, Padang ualang Subdistrict, Langkat District, taken by using purposive sampling technique. The data were gathered from May 26 to June 16, 2013. The result of the analysis of data showed that 91.1% of old-aged people’s activity was disturbed because the movement of the joints was limited. In the pain behavior, 60.8% respondents indicated moderate pain. The result of the study was used as the example for nurses in providing nursing care to old-aged people who suffer from rheumatoid arthritis.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia dalam hidupnya akan mengalami perkembangan dalam
serangkaian periode yang berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lansia.
Semua individu mengikuti pola perkembangan dengan pasti yang diramalkan.
Setiap masa yang dilalui merupakan tahap-tahap yang yang saling berkaitan dan
tidak dapat diulang kembali. Hal-hal yang terjadi di masa awal perkembangan
individu akan memberikan pengaruh terhadap tahap-tahap selanjutnya. Salah satu
tahap yang akan dilalui oleh individu tersebut adalah masa lanjut usia atau lansia
(Hurlock, 1999).
Jumlah lansia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Saat ini, di seluruh
dunia jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan mencapai 500 juta, dengan usia
rata-rata 60 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar
(Nugroho, 2000). Berdasarkan data penduduk mutakhir, jumlah lansia di
Indonesia sekarang sekitar 16 juta jiwa (Sabdono, 2007). Pada tahun 2025, jumlah
penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 273 juta jiwa, dan hampir
seperempat dari jumlah penduduk tersebut atau sekitar 62,4 juta jiwa tergolong
sekelompok penduduk lanjut usia. Bahkan, jika menggunakan model proyeksi
penduduk PBB, jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2050 menjadi dua kali lipat
atau sekitar 120 juta jiwa lebih (Sardjunani, 2007). Sedangkan di Sumatera Utara
60 tahun ke atas mencapai 693.494 jiwa, atau 5,4% dari jumlah penduduk di
Sumatera Utara (12.834.371 jiwa). Peningkatan jumlah lansia yang tinggi tersebut
berpotensi menimbulkan berbagai macam permasalahan baik dari aspek sosial,
ekonomi, budaya, maupun kesehatan (Nugroho, 2002).
Masalah-masalah kesehatan akibat penuaan terjadi pada berbagai sistem
tubuh, salah satunya adalah penyakit rematik (Chairuddin, 2006). Rematik yang
terbanyak terdapat diseluruh dunia adalah osteoarthritis. Gangguan lain adalah
osteoporosis, tendinitis/nursitis, lumbago, atropati kristal, rheumatoid arthritis,
polymyalgia reumatica, dan arthritis karena keganasan (Darmojo & Martono,
2006). Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis, yang berarti dapat
berlangsung selama bertahun-tahun, pasien mungkin mengalami waktu yang lama
tanpa gejala. Penyakit ini telah lama dikenal dan tersebar luas di seluruh dunia
serta melibatkan ras dan kelompok etnik. (Reeves, Roux & Lockhart, 2001).
Walaupun arthritis bukan merupakan penyakit yang mendapat sorotan
seperti penyakit jantung, kanker, atau AIDS, namun arthritis adalah masalah
kesehatan yang terjadi di mana-mana. Fakta statistik mengenai arthritis sangat
mengejutkan yaitu 14,3 % dari populasi Amerika Serikat (Gordon, 2002). Data di
Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi dari rheumatoid
arthritis adalah pada suku Amerika Indian dibanding dengan yang Non Indian.
Lebih dari 36 juta penduduk Amerika menderita 1 dari 100 jenis artritis (Reeves,
Roux & Lockhart, 2001). Selain itu, rheumatoid arthritis mempengaruhi sekitar
580.000 orang di Inggris, dengan kejadian 26.000 kasus baru yang didiagnosis
kasus rheumatoid arthritis berkisar 0,1 % sampai dengan 0,3 % dari jumlah
penduduk Indonesia (Smeltzer & Bare, 2002).
Gangguan yang terjadi pada pasien rheumatoid arthritis lebih besar
kemungkinannya untuk terjadi pada suatu waktu tertentu dalam kehidupan pasien.
Bertambah beratnya gejala penyakit rheumatoid arthritis sehingga mengakibatkan
terjadi perubahan aktivitas pada pasien (Smeltzer & Bare, 2002). Bahkan kasus
rheumatoid arthritis yang tidak begitu parah pun dapat menghilangkan
kemampuan seseorang untuk produktif dan fungsional seutuhnya. Rheumatoid
arthritis dapat mengakibatkan tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari
seutuhnya (Gordon, 2002). Sebuah laporan dari British Journal of Nursing 2012
menyebutkan bahwa kelelahan merupakan gambaran utama pada banyak pasien,
yaitu 42-80% dari mereka yang menderita rheumatoid arthritis. Kelelahan tersebut
mengakibatkan hambatan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Repping Wuts et
al, 2009 dalam Walker, 2012).
Aktivitas merupakan suatu energi atau keadaaan bergerak di mana
manusia memerlukan hal tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan hidup
(Tarwoto,& Wartonah, 2004). Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi,
tergantung pada tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang,
penyakit ini aktif. Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif.
Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan pengobatan dan pada
minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Ketika penyakit ini aktif gejala dapat
termasuk kelelahan, kehilangan energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas
eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk
rheumatoid arthritis (Smeltzer & Bare, 2002).
Nyeri merupakan sensasi ketidaknyamanan yang bersifat individual
(Potter & Perry, 2001). Klien merespon nyeri yang dialaminya dengan beragam
cara, misalnya berteriak, meringis, dan lain-lain (Potter & Perry, 2001). Nyeri
bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri yang sama dan
tidak ada dua kejadian nyeri yang sama menghasilkan respons atau perasaan yang
identik pada seorang individu (Brunner & Suddarth, 2001).
Perilaku nyeri merupakan beberapa dan semua produksi dari individu yang
mana observasi itu layak akan digolongkan sebagai nyeri yang berkesan seperti:
gerakan tubuh, ekspresi wajah , pernyataan verbal, perebahan badan, minum obat,
pencarian resep obat dan menerima kerugian (Fordyce, 1976 dalam Harahap,
2007). Hasil penelitian epidemiologi reumatik di Malang menunjukkan, 64%
penduduk malang yang mengalami nyeri persendian akibat rematik melakukan
berobat sendiri, baik menggunakan obat bebas, jamu atau mencampurnya, yang
berobat ke dokter hanya 26% dan 16,6% sisanya berobat ke bukan dokter.
Banyaknya masyarakat khususnya lansia yang mengobati nyeri rematik dengan
cara yang dianggap mampu mengatasi atas meringankan nyeri persendian
(Handoko, 2000 dalam Putra, 2009).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Waters dkk, (2009) menyebutkan
104 pasien rheumatoid arthritis (81,5% perempuan), yang terdiri dari orang kulit
putih dan Afrika-Amerika. Kemudian enam perilaku nyeri diobservasi, yaitu
wajah (grimacing), menghela napas (sighing), dan kekakuan (rigidity). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada subkelompok homogen dalam populasi pasien
rheumatoid arthritis yang menunjukkan perilaku nyeri yang berbeda . (Waters
dkk, 2009).
Kelurahan Tanjung Selamat adalah salah satu kelurahan binaan
Kecamatan Padang Tualang. Di kelurahan yang terdiri dari 2.325 KK ini umlah
lansia sebanyak 1.032 orang. Berdasarkan survey awal yang telah dilakukan di
Puskesmas Kecamatan Padang Tualang, jumlah lansia yang menderita rheumatoid
arthritis di kelurahan tanjung selamat yaitu sebanyak 224 orang, dan menurut
hasil wawancara dari 5 orang yang mengalami rheumatoid arthritis, mereka
mengeluhkan tidak dapat melakukan aktivitas saat nyerinya kambuh seperti
berjalan, bangun dari tempat tidur, juga sholat.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pola
aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia di Kelurahan Tanjung
Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dari penelitian ini adalah: Bagaimana pola aktivitas dan perilaku
nyeri rheumatoid arhritis pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut :
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid
arthritis pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang
Tualang Kabupaten Langkat.
1.3.2 Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui gambaran pola aktivitas lansia dengan rheumatoid
arthritis di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang
Kabupaten Langkat.
b) Untuk mengetahui gambaran perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada
lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang
Kabupaten Langkat.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang digunakan adalah :
1.2.1. Bagi praktek keperawatan, hasil penelitian ini dapat dijadikan
media informasi tentang pola aktivitas dan perilaku nyeri
rheumatoid arthritis pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat
Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat.
1.2.2. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan
pengetahuan mengenai pola aktivitas dan perilaku nyeri
rheumatoid arthritis pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Lanjut Usia
1.1. Pengertian Lanjut Usia
Menurut Undang- Undang No.4 tahun 1965, lanjut usia adalah seseorang
yang mencapai usia 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari- hari (Nugroho, 2000).
Menurut Undang- Undang No.13 tahun 1998, lanjut usia adalah mereka yang
mencapai usia 60 tahun ke atas (Nugroho, 2000). Sedangkan menurut Hurlock
(1980), lanjut usia adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang yaitu
suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang
lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat.
1.2. Klasifikasi Lansia
Terdapat beberapa pendapat dari berbagai sumber tentang klasifikasi
lansia, diantaranya menurut Maryam (2008) yang menklasifikasikan lansia dalam
lima kelompok yaitu pralansia, lansia, lansia resiko tinggi, lansia potensial, dan
lansia tidak potensial. Pralansia yaitu seseorang yang berusia antara 45–59 tahun.
Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Lansia resiko tinggi yaitu
seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih. Lansia potensial yaitu lansia yang
barang/jasa. Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari
nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Selain itu, menurut World Health Organitation (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu usia usia pertengahan (middle age), lanjut usia (elderly),
lanjut usia tua (old), usia sangat tua (very old). Usia pertengahan (middle age)
adalah 45 -59 tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2000).
Menurut Hurlock (1980) dalam Nugroho (2000), lansia dibagi dalam 2 tahap, yaitu early old age (usia 60-70 tahun), advanced old age ( usia 70 tahun ke atas). Burnside (1979, dalam Nugroho, 2000) membagi lansia menjadi 4 tahap,
yaitu : young old (usia 60-69 tahun), middle age old (usia 70-79 tahun), old-old
(usia 80-89 tahun), dan veryold-old (usia 90 tahun ke atas).
1.3.Karakteristik Lansia
Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahun
(sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan), kebutuhan dan
masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan
biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi
1.4. Tipe Lansia
Beberapa lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan,
kondisi fisik, sosial dan ekonominya (Nugroho, 2000). Tipe lansia tersebut
sebagai berikut :
Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman,
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, beresikap
ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi
panutan.
Tipe mandiri, yaitu menggantikan kegiatan yang hilang dengan yang baru,
selektif dan mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani,
pengkritik, dan banyak menuntut.
Tipe pasrah, yaitu menerima dan menungggu nasib baik, mengikuti
kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.
Tipe bingung, yaitu kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri,
minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
1.5. Teori – Teori Proses Menua
Teori Aktivitas. Teori ini berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang
sukses adalah dengan cara tetap aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
Havighurst yang pertama kali menulis tentang pentingnya tetap aktif secara sosial
sebagal alat untuk penyesuain diri yang sehat untuk€ lansia pada tahun 1952
dan Lemon et al (1972) yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung dari bagaiman seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas
serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan
aktivitas yang dilakukan. Di satu sisi aktivitas lansia dapat menurun, akan tetapi di
lain sisi dapat dikembangkan (Maryam, 2008).
Teori Kesinambungan. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan
dalam siklus kehidupan lansia (Potter and Perry, 2005). Pengalaman hidup
seseorang pada suatu saat merupakan gambaran saat ia menjadi lansia (Maryam,
2008).
Teori Perkembangan. Teori ini menekankan pentingnya mempelajari apa
yang telah dialami oleh lansia pada saat muda hingga dewasa, dengan demikian
perlu dipahami teori Freud, Buhler, Jung, dan Erickson. Sigmund Freud meneliti
tentang psikoanalisis serta perubahan psikososial anak dan balita (Maryam, 2008).
Erickson (1930), membagi kehidupan menjadi delapan fase, yaitu lansia yang
menerima apa adanya, lansia yang takut mati, lansia yang merasakan hidup penuh
arti, lansia yang menyesali diri, lansia yang bertanggung jawab dengan merasakan
kesetian, lansia yang kehidupannya berhasil, lansia yang merasa terlambat untuk
memperbaiki diri, lansia yang menemukan integritas diri melawan keputusasaan
(Stanley, 2006).
1.6. Tugas Perkembangan Lansia
Adapun tugas perkembangan pada lansia dalam adalah: beradaptasi
terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa
menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang
memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa,
menemukan cara mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2005).
2. Rheumatoid Arthritis
2.1. Pengertian Rheumatoid Arthritis
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana
persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga
terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan
bagian dalam sendi (Gordon, 2002).
Menurut WHO dalam Atiqah (2010), rheumatoid artritis adalah suatu
penyakit sistemik kronik yang melibatkan persendian, jaringan penghubung, otot,
tendon, dan jaringan fibrosa. dan merupakan kondisi kecacatan kronik yang
biasanya menyebabkan rasa nyeri dan deformitas.
2.2. Klasifikasi Rheumatoid Arthritis
Buffer (2010) dalam Nasution (2009) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu: Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus
terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus,
paling sedikit dalam waktu 6 minggu. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini
menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. Probable rheumatoid arthritis
pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. Possible
rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.
2.3. Etiologi
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti,
namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi),
faktor metabolik, dan infeksi virus (Suratun, Heryati, Manurung & Raenah, 2008).
2.4. Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun, terutama terjadi dalam jaringan
sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim
tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran
sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang
rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya
permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena
karena serabut otot akan mengalami perubahan degenerative dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer & Bare,
2002).
Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan
adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang
sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan
sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus (Long, 1996).
2.5. Manifestasi Klinis
Rasa nyeri merupakan gejala penyakit reumatik yang paling sering
menyebabkan seseorang mencari pertolongan medis (Brunner & Suddarth, 2001).
Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat
peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika
jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara
spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan
atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya
merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala kembali
(Reeves, Roux & Lockhart, 2001).
Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan
energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan
kekakuan. Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping
itu juga manifestasi klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya
mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan,
panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik
untuk rheumatoid arthritis (Smeltzer & Bare, 2002). Gejala sistemik dari
rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan
menurun, anemia (Long, 1996).
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu stadium
perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi, edema karena
kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan. Pada
stadium destruksi, selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada
jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon. Sedangkan pada
stadium deformitas, terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi secara menetap (Smeltzer & Bare, 2002).
Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi
pada lanjut usia menurut Buffer (2010) dalam Nasution (2009), yaitu: sendi terasa
kaku pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku,
pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah
beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa
sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi
berulang.
2.6. Evaluasi Diagnostik
Beberapa faktor yang turut dalam memeberikan kontribusi pada
penegakan diagnosis rheumatoid arthritis, yaitu nodul rheumatoid, inflamasi sendi
yang ditemukan pada saat palpasi dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaaan laboratorium menunjukkan peninggian laju endap darah dan factor
rheumatoid yang positif sekitar 70%; pada awal penyakit faktor ini negatif.
Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun. Pemeriksaan C-
reaktifprotein (CRP) dan antibody antinukleus (ANA) dapat menunjukan hasil
yang positif. Artrosentesis akan memperlihatkan cairan sinovial yang keruh,
seperti leukosit dan komplemen (Smeltzer & Bare, 2002). Pemeriksaan sinar-X
dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis dan memantau perjalanan
penyakitnya. Foto rongen akan memperlihatkan erosi tulang yang khas dan
penyempitan rongga sendi yang terjadi dalam perjalanan penyakit tersebut
(Smeltzer & Bare, 2002).
2.7. Penatalaksanaan
2.7.1. Penatalaksanaan Farmakologis
Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah
OAINS, coxib, analgetika opioid atau non opioid, dan analgetika adjuvan. Nyeri
akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada
penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan
cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada
penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat (Adnan, 2008
dalam Wisdanora, 2005).
Pengobatan secara simpomatik terdiri dari: Simple analgesik, misalnya:
paracetamol, aminopyrin, acetophenethidin. Obat anti inflamasi non-steroid,
misalnya: Indomethacin, phenylbutazon, ketoprofen, sodium diclofenac,
indoprofen. Obat anti inflamasi golongan steroid, misalnya: prednison. Pada
pengobatan secara simptomatik hanya bertujuan untuk mengurangi rasa sakit,
sedangkan progresivitas penyakitnya akan berjalan terus. Obat-obat simptomatik
ini seringkali dipakai sampai berbulan-bulan sambil menunggu sampai obat
remitif cukup tinggi kadar yang diperlukannya di dalam darah untuk memberikan
darah dan alat-alat badan yang lain secara laboratoris pada waktu-waktu tertentu
amat penting guna melihat adanya efek samping sedini mungkin. Efek samping
yang paling umum terjadi pada alat pencernaan, misalnya gastritis, nausea,
muntah maupun diare ringan.
Pemakaian obat-obat simptomatik golongan steroid secara sistemik tidak
dianjurkan karena dapat mengalami ketergantungan. Sedangkan pemakaiannya
dalam jangka waktu yang lama akan lebih banyak merugikan penderita. Penderita
dapat mengalami super-infeksi oleh kuman lain yang dapat membahayakan
penderita yang memang sudah dalam keadaan lemah, lebih-lebih bila didapati
infeksi dengan virus. Juga akan timbul moonface, tulang-tulang semakin menjadi
porotik, iritasi terhadap lambung makin hebat. Bila pemakaian steroid dihentikan,
obat analgetika jenis apapun tak akan mampu menghilangkan rasa sakit pada
sendi-sendinya. Dalam keadaan-keadaan tertentu memang digunakan golongan
steroid, misalnya untuk menyelamatkan hidup penderita rheumatoid arthritis yang
berat atau pemakaian suntikan setempat (local/intra-articular) (Shiel, 1999 dalam
Wisdanora, 2007).
Selain pengobatan simtomatik, pengobatan remitif juga dapat menghambat
faktor rheumatoid arthritis menjadi negatif, sehingga perjalan penyakitnya ikut
dihambat dan dalam waktu yang lama penderita akan sembuh atau remisi penuh.
Golongan obat remitif ini memang lebih bermanfaat bagi penderita, namun
tergolong jenis obat yang lambat bekerjanya. Harus hati-hati karena jangka
pemeriksaan laboratorium pada waktu-waktu tertentu (Adnan, 2008 dalam
Wisdanora 2005).
2.7.2. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Fisioterapi perlu dalam menangani kasus rheumatoid arthritis, yakni
mencegah kerusakan sendi, mencegah kehilangan fungsi sendi, mengurangi nyeri,
dan mencapai remisi secepat mungkin. Sendi yang meradang harus dilatih secara
lembut dan perlahan sehingga tidak terjadi kekakuan atau cedera. Setelah
peradangan mereda, bisa dilakukan latihan yang lebih aktif secara rutin, tetapi
jangan sampai berlebihan supaya tidak terlalu lelah (Junaidi, 2006). Pada pengobatan fisioterapi pembidaian sering dilakukan untuk meregangkan sendi secara perlahan (Adnan, 2008 dalam Wisdanora 2005).
Bila berbagai cara pengobatan sudah dilakukan namun belum berhasil juga
dan alasan untuk tindakan operatif cukup kuat, maka dilakukanlah pembedahan.
Berbagai jenis pembedahan ini pada penderita rheumatoid arthritis umumnya
bersifat ortopedik misalnya: synovectomia, arthrodese, total hip replacement,
memperbai-ki deviasi ulnar (Junaidi, 2006).
Peranan ahli psikologi dan petugas sosial medis (social worker) diperlukan untuk menangani mental penderita agar tetap gigih dan sabar dalam pengobatan
serta tidak merasa rendah diri sehingga penderita mampu melakukan tugas
sehari-hari terutama untuk mengurus dirinya sendiri. Juga petugas sosial medis yang ikut
membuat penilaian terhadap suasana lingkungan, penilaian kamampuan penderita
Terapi panas atau dingin dapat digunakan untuk mengurangi nyeri
rheumatoid arthritis. Pada prinsipnya cara kerja terapi panas pada rheumatoid
arthritis meningkatkan aliran darah ke daerah sendi yang terserang sehingga
proses inflamasi berkurang (Junaidi, 2006). Selain itu terapi panas akan
melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan kelenturan jaringan sehingga
mengurangi rasa nyeri serta memungkinkan hasil terapi didapat secara optimal
(Kusumaastuti, 2008 dalam Wisdanora 2005). Terapi panas dapat dilakukan
dengan air panas. Bisa dengan handuk hangat atau kantong panas yang
ditempelkan pada sendi yang meradang atau dapat juga dengan mandi atau
berendam dalam air yang panas. Terapi dingin bertujuan untuk membuat baal
bagian yang terkena rheumatoid arthritis sehingga mengurangi nyeri, peradangan,
serta kaku atau kejang otot. Cara terapi dingin adalah dengan menggunakan
kantong dingin, atau minyak yang mendinginkan kulit dan sendi (Junaidi, 2006).
Pola diet dapat digunakan untuk mendapatkan berat badan yang ideal
dengan menerapkan pola makan secukupnya sesuai dengan energi yang
diperlukan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Pola makan pada pasien
rheumatoid arthritis adalah sayur dengan porsi yang lebih banyak, buah, rendah
lemak, dan kolesterol (Junaidi, 2006 dalam Wisdanora, 2005).
3. Pola Aktivitas
3.1. Pengertian Aktivitas
Aktivitas adalah suatu energi atau keadaaan bergerak di mana manusia
Wartonah, 2004). Menurut Asmadi (2008), Aktivitas fisik (mekanik tubuh)
merupakan irama sikardian manusia. Tiap individu mempunyai irama atau pola
tersendiri dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan kerja, rekreasi, makan,
istirahat, dan lain-lain (Asmadi, 2008).
3.2. Jenis-jenis Aktivitas
Aktivitas sehari-hari terbagi dua yaitu, aktivitas sehari-hari dasar, yang
meliputi kegiatan membersihkan diri, mandi, berpakaian, berhias, makan,
toileting, berpindah, dan aktivitas sehari-hari instrumental meliputi kegiatan
pekerjaan rumah, menyediakan makanan, minum obat, menggunakan telepon
(Darmojo, 2006).
Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI (2006)
dalam Rizky (2011), Ada 3 tipe/macam/sifat aktivitas fisik yang dapat kita
lakukan untuk mempertahankan kesehatan tubuh yaitu ketahanan (endurance),
kelenturan (flexibility), dan kekuatan (strength).
Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan, dapat membantu jantung,
paru-paru, otot, dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat kita lebih
bertenaga. Untuk mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang dilakukan
selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat
dipilih seperti: Berjalan kaki, lari ringan, berenang, senam, bermain tenis,
berkebun dan kerja di taman.
Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membantu pergerakan
lebih mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur) dan sendi berfungsi
selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat
dipilih seperti: Peregangan, mulai dengan perlahan-lahan tanpa kekuatan atau
sentakan, lakukan secara teratur untuk 10-30 detik, senam taichi, yoga, mencuci pakaian, mobil, dan mengepel lantai.
Aktifitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot
tubuh dalam menahan sesuatu beban yang diterima, tulang tetap kuat, dan
mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan
terhadap penyakit seperti osteoporosis. Untuk mendapatkan kelenturan maka
aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (2-4 hari per minggu). Contoh
beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti: Push-up, naik turun tangga, angkat
berat/beban, membawa belanjaan, mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur
(fitness). Aktivitas fisik tersebut akan meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi (pembakaran kalori), misalnya: Berjalan kaki (5,6-7 kkal/menit), berkebun
(5,6 kkal/menit), menyetrika (4,2 kkal/menit), menyapu rumah (3,9 kkal/menit),
membersihkan jendela (3,7 kkal/menit), mencuci baju (3,56 kkal/menit),
mengemudi mobil (2,8 kkal/menit). Aktivitas yang dapat dilakukan antara lain:
Berdiri, berrbaring, menyapu, mengepel, mencuci baju, menimba air,
berkebun/bercocok tanam, membersihkan kamar mandi, mengangkat kayu atau
memikul beban, mencangkul, dan kegiatan lain dalam kehidupan sehari-hari
(Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006 dalam Rizky, 2011).
3.3. Mekanika Tubuh
Mekanika tubuh adalah penggunaan organ secara efisien dan efektif sesuai
meningkatkan kesehatan (Tarwoto & Wartonah, 2004). Melakukan aktivitas
secara benar dan beristirahat dalam proses yang benar dapat meningkatkan
kesehatan tubuh dan mencegah timbulnya penyakit. Gangguan mekanika tubuh
dapat terjadi pada individu yang menjalani tirah baring lama karena dapat menjadi
penurunan kemampuan tonus otot. Tonus otot sendiri adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan kemampuan kontraksi otot rangka (Mubarok,
Nurul & Chayatin, 2007).
Mekanika Tubuh mempunyai aspek-aspek penting. Menurut Mubarok,
Nurul & Chayatin (2007), aspek penting dalam mekanika tubuh adalah
kesejajaran tubuh dan postur, keseimbangan, dan gerakan tubuh yang
terkoordinasi.
Kesejajaran tubuh (body alignment) adalah susunan geometrik bagian-bagian tubuh dalam hubungannya dengan bagian-bagian-bagian-bagian tubuh lainnya.
Kesejajaran tubuh dan postur tubuh yang baik akan menempatkan tubuh pada
posisi tubuh yang meningkatkan keseimbangan yang optimal dan fungsi tubuh
yang maksimal, baik dalam posisi berdiri, duduk maupun tidur. Kesejajaran tubuh
yang baik dilihat dari keseimbangan persendian, otot, tendon dan ligamen.
Kesejajaran tubuh penting untuk meningkatkan fungsi tangan yang baik,
mengurangi jumlah energi yang digunakan dalam mempertahankan
keseimbangan, mengurangi kelelahan, memperluas ekspansi paru, meningkatkan
sirkulasi ginjal dan fungsi pencernaan. Sedangkan kesejajaran tubuh yang buruk
dapat mengganggu penampilan dan mempengaruhi kesehatan karena ada beberapa
kesejajaran tubuh yaitu pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan fisik, status
mental, gaya hidup, sikap dan nilai personal, nutrisi, stress, dan faktor sosial.
Mekanisme yang berperan dalam mempertahankan keseimbangan dan
postur tubuh cukup rumit untuk dipahami. Secara umum perasaan seimbang
bergantung pada input informasi yang diterima dari labirin (telinga bagian dalam),
penglihatan (input vestibulo-okular), dan dari reseptor otot dan tendon (input
verstibulospinalis). Pada keadaan normal, reseptor keseimbangan di apparatus
vestibular mengirimkan sinyal menuju otak yang akan mengawali refleks yang
dibutuhkan untuk mengubah posisi. Sedangkan pada keadaan lain, misalnya pada
perubahn posisi kepala informasi yang diterima langsung dikirim ke pusat refleks
di batang otak sehingga memungkinkan respon refleks yang lebih cepat guna
mempertahankan keseimbangan tubuh. Selain mekanisme di atas, keseimbangan
tubuh juga dipengaruhi oleh pusat gravitasi, dan fondasi penyokong seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya.
Gerakan yang halus dan seimbang merupakan hasil dari kerjasama yang
baik antara korteks serebri, serebrum, dan ganglia basalis. Dalam mekanisme ini
korteks serebri bertugas melakukan aktivitas motorik volunter, sedangkan
serebrum bertugas mengatur aktivitas gerakan motorik, dan ganglia basalis
bertugas mempertahankan postur tubuh. Misalnya serebrum, gerakan menjadi
kaku, tidak terarah, dan tidak terkoordinasi (Mubarok, Nurul & Chayatin, 2007).
3.4. Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis
Berdasarkan dari pengalaman para pasien rheumatoid arthritis aktivitas
aktivitas ini adalah rasa tidak nyaman pada fisik penderita rheumatoid arthritis
karena sendi yang kaku dan sakit. Saat pasien mengeluh rasa lemah dan lelah pada
dokter mereka, mereka disarankan untuk mengurangi jumlah kegiatan mereka,
dan bukannya mendorong untuk menambahnya tetapi untuk istirahat yang banyak.
Fakta lain menunjukkan bahwa istirahat yang berlebihan dapat merusak
kesehatan. (Gordon, 2002).
Menurut laporan Repping wuts (2009) dalam Walker (2012), kelelahan
adalah keluhan yang paling banyak dirasakan, dimana kelelahan itu
mempengaruhi kemampuan individu untuk mengelola aktivitas sehari-hari yang
berdampak besar pada kualitas hidup.
Pola aktivitas pasien rheumatoid arthritis yang tergaggu diterjemahkan
dalam kapasitas fungsional yang semakin rendah atau kemampuan melakukan
aktivitas semakin berkurang. Kemampuan yang menurun seperti : membungkuk
untuk memungut sesuatu, membersihkan kebun, menyisir rambut, bangun dari
tempat tidur pada pagi hari, berjalan, dan berdiri (Gordon, 2002).
4. Perilaku
4.1. Pengertian Perilaku
Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakikatnya adalah
suatu aktivitas dari manusia itu sendiri (Notoatmojo, 2007).
4.2. Domain Perilaku
Perilaku dalam konteks pendidikan kesehatan memiliki tiga ranah atau
dan ranah keterampilan (psikomotor). Ranah perilaku ini dapat dijadikan sebagai
indikator untuk mengidentifikasi atau mengamati perubahan yang terjadi di
masyarakat.Benyamin Bloom membagi tiga ranah menjadi tiga tahap sebagai
berikut: (1) enam tahap ranah kognitif, yaitu pengetahuan, pemahaman,
penerapan, analisa, sintesa, dan evaluasi, (2) empat tahap ranah afektif yaitu
menerima, merespon, menghargai, dan bertanggung jawab, dan (3) empat tahap
ranah psikomotor, yaitu persepsi, respon terpimpin, mekanisme, dan adopsi
(Nurhidayah, 2010).
Ranah kognitif berorientasi kepada kemampuan berpikir, mencakup
kemampuan intelektual, yang paling sederhana yaitu mengingat, sampai dengan
kemampuan untuk memecahkan suatu masalah (problem solving). Semakin tinggi tahapan dari ranah kognitif ini menunjukkan semakin sulitnya tingkat berpikir
atau tuntutan berpikir sesorang. Ranah afektif yang berhubungan dengan
perasaan, emosi, sistem nilai dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan
penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Tahapan ranah afektif dari dari yang
paling sederhana, yaitu memperhatikan fenomena sampai dengan yang kompleks
yang merupakan faktor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani.
Ranah psikomotor berorientasi pada keterampilan motorik yang Berhubungan
dengan anggota tubuh, atau tindakan (action) yang memerlukan koordinasi antara saraf dan otot. Biasanya dihubungkan dengan kemampuan mengungkapkan
pendapat, mendemonstrasikan kembali, serta hal-hal yang berhubungan dengan
5. Nyeri
5.1. Pengertian Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emsional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Brunner & Suddarth,
2003). Menurut Potter & Perry (2005), nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan
yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah
mengalaminya. Sedangkan menurut pendapat Kozier dan Erb (1983) dalam
Tamsuri (2007), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan
sebagai penderitaan yang diakibatkan persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan
fantasi luka.
5.2. Fisiologi Nyeri
Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Cara yang
paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu menjelaskan tiga
komponen fisiologis berikut yakni: resepsi, persepsi, dan reaksi. Stimulus
penghasil nyeri mengirimkan implus melalui serabut saraf perifer. Serabut saraf
memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan
akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat
pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus
nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks
serebral. Sekali stimulus mencapai korteks cerebral, maka otak
dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan dalam upaya
mempersepsikan nyeri (Mc. Nair, 1990 dalam Potter dan Perry, 2005).
5.3. Klasifikasi Nyeri
Menurut Asmadi (2008), Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa
golongan berdasarkan pada tempat, sifat, berat dan ringannya nyeri, dan waktu
lamanya serangan.
Berdasarkan tempatnya nyeri dibedakan menjadi pheriperal pain, deep
pain, refered pain, dan central pain. Pheriperal pain adalah nyeri yang terasa pada
permukaan tubuh, misalnya kulit, dan mukosa. Deep pain adalah nyeri yang
terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh
visceral. Refered pain adalah nyeri yang disebabkan karena penyakit
organ/struktur dalam tubuh yang ditransimisikan ke bagian tubuh di daerah yang
berbeda, bukan daerah asal nyeri. Central pain adalah nyeri yang terjadi karena
perangsangan pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus, dan
lain-lain.
Berdasarkan sifatnya, nyeri dibedakan menjadi incidental pain, yaitu
incidental pain, steady pain, dan paroxysmal pain. Incidental pain adalah nyeri
yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang. Steady pain adalah nyeri yang
timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama. Paroxymal pain
adalah nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut
biasanya menetap lebih kurang 10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul
Berdasarkan berat ringannya nyeri dibedakan menjadi nyeri ringan, nyeri
sedang, dan nyeri berat. Nyeri ringan adalah nyeri dengan intensitas rendah. Nyeri
sedang adalah nyeri yang menimbulkan reaksi. Nyeri berat adalah nyeri dengan
intensitas tinggi.
Berdasarkan waktu lamanya serangan, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut
dan nyeri kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang dirasakan dalam waktu yang
singkat dan berakhir kurang dari enam bulan. Sumber dan daerah nyeri diketahui
dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti luka operasi,
ataupun pada suatu penyakit arteriosklerosis pada arteri koroner. Nyeri kronis
adalah nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri kronis ini polanya
beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ragam pola
tersebut ada yang nyeri timbul dengan periode yang diselingi interval bebas dari
nyeri lalu timbul kembali, nyeri lagi, dan begitu seterusnya. Ada pula nyeri kronis
yang konstan, yang artinya nyeri tingkat tersebut terus menerus terasa makin lama
semakin meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan. Misalnya
pada nyeri karena neoplasma (Asmadi, 2008).
5.4. Stimulasi Nyeri
Ada beberapa jenis stimulus nyeri menurut Alimul (2006), diantaranya
adalah: (1) Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah (operasi) akibat
terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor, (2)
Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya
nyeri, (4) Iskemia pada jaringan, misalnya terjado blockade pada arteria koronaria
yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat, (5) Spasme
otot, dapat menstimulasi mekanik.
5.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri.
Menurut Potter & Perry (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
terdiri atas usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, dan ansietas.
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya
pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara
kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi
terhadap nyeri. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus
mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri
jika sudah patologis dan mengalamia kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal
alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat
atau meninggal jika nyeri diperiksakan (Potter&Perry, 2005).
Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara
signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya dan
faktor biokimia. (Gil, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Beberapa kebudayaan
yang mempengaruhi jenis kelamin. Misalnya, €menganggap bahwa seorang anak
laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh
Budaya dan etnisitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang
berespons terhadap nyeri, bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku
dalam berespons terhadap nyeri. (Zatzick&Dimsdale, 1990 dalam
Brunner&Sudart, 2003). Menurut Calvillo & Flaskerud (1991) dalam Potter &
Perry (2005), Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang
diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap
nyeri.
Riwayat sebelumnya berpengaruh terhadap persepsi seseorang tentang
nyeri. Orang yang sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap
menerima perasaan nyeri. Sehingga dia merasakan nyeri lebih ringan dari
pengalaman pertamanya (Taylor, 1997 dalam Wardani, 2007).
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri., perhatian yang meningkat dihubungkan dengan
nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon
nyeri yang menurun. Konsep ini merupakan salah satu konsep yang digunakan
dalam keperawatan (Gill 1990 dalam Potter&Perry, 2005).
Ansietas pada umumnya akan meningkatkan nyeri, penggunaan rutin
medikasi ansietas pada seseorang dengan nyeri dapat merusak kemampuan
pasieen untul melakukan napas dalam. Secara umum, cara yang lebih efektif
untuk menghilangkan nyeri adalh dengan mengarahkan pengobatan pada nyeri
5.6. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Seseorang dalam mengekspresikan nyeri mereka hanya mampu menilai
suatu intensitas nyeri secara akurat, dua jenis skala penilaian intenstas nyeri yang
digunakan adalah skala verbal dan skala numerical (Suza, 2007).
5.7. Intensitas Pengukuran Nyeri
Skala intensitas nyeri menurut Agency for Health Care Policy dan
Research (AHCPR). Acute Pain Management: Operative or medical Prosedures
and Trauma, 1992, dalam Brunner dan Suddart, 2001 terdiri atas tiga bentuk,
yaitu:
Keterangan: Pada skala verbal : 0 = tidak nyeri, 1-3 = nyeri ringan, 4-6 =
nyeri sedang, 7-9 = nyeri terkontrol, 10 = nyeri hebat tidak terkontrol.
Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda
bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk
dipastikan. Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang
tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking
dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat
menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas
nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri
terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri (Tamsuri, 2007).
Keterangan: 0 = tidak nyeri, 1-9 = nyeri sedang yang kriterianya dapat
ditentukan, 10 = nyeri hebat tak tertahankan.
Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji
intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan
skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992
dalam Tamsuri, 2007).
c. Skala analog visual
Keterangan: 0 = tidak nyeri, 10 = nyeri sangat hebat.
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan
penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata
atau satu angka. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah
Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan
lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat
keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat
menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai
apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter Perry, 2005).
5.8. Perilaku Nyeri
5.8.1. Pengertian Perilaku Nyeri
Perilaku nyeri merupakan suatu aspek dari pengalaman nyeri. Ini
merupakan perilaku jelas dan kelihatan seperti lemah atau ekspresi wajah yang
meringis (Fordyce 1976 dalam Harahap 2007). Nyeri yang muncul sering ditandai
dengan beberapa jenis perilaku dari kelihatan atau kedengaran yang ditafsirkan
sebagai perilaku nyeri (Pilowski, 1994 dalam Harahap, 2007). Perilaku nyeri
mungkin atau juga tidak mungkin dianggap sebagi kesesuaian untuk tingkatan
dari ilmu penyakit tubuh yang diobservasi (Lofvander, 2002 dalam Harahap,
2007).
Perilaku nyeri merupakan beberapa dan semua produksi-produksi dari
individu yang mana observasi itu layak akan digolongkan sebagai nyeri yang
berkesan seperti: (1) gerakan tubuh, (2) ekspresi wajah, (3) pernyataan verbal, (4)
perebahan badan, (5) minum obat, (6) pencarian resep obat dan (7) menerima
kerugian. Perilaku-perilaku nyeri adalah tindakan-tindakan yang berhubungan
dengan ketidakmampuan (kecacatan) dan kegelisahan (contoh: kejang, lemas,
dalam penurunan fungsi dari tingkatan yang dimiliki individu dan menambah
kondisi nyeri (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007)..
Perilaku nyeri merupakan tanda-tanda dari nyeri dan kekuatan dalam
memperoleh perhatian dan respon dari yang lain. Anderson, Keefe, dan Bradkley
dan kolega (1985) dalam Harahap (2007) telah mengobervasi bahwa pasien
dengan penderita nyeri sering sekali menunjukkan penjagaan (guarding), menggosok pasif (passive rubbing) dan kekakuan (rigidity) sebagai ekspresi-ekspresi dari rasa nyeri mereka. Perilaku nyeri ini mungkin dipelihara, paling
sedikit sebagian, oleh konsekuensi kekebelannya mungkin luar biasa, seperti
perilaku rasa khawatir dari yang lain, atau fakta dari pengalaman menentang,
seperti situasi pekerjaan yang tertekan atau konflik dengan kepentingan lainnya.
5.8.2. Jenis-jenis Perilaku Nyeri
Perilaku nyeri kronis secara khusus berdasarkan atas dasar pikiran
sekurang-kurangnya di bagi dua jenis yaitu: perilaku responden dan perilaku
operant (Harahap, 2007).
Perilaku responden merupakan salah satu jenis perilaku refleks sebagai
respon terhadap stimulus yang datang (Kats, 1998 dalam Harahap, 2007) apakah
individu itu menyadarinya atau tidak (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007).
Stimulus yang muncul biasanya spesifik dan dapat diprediksi (Fordyce, 1976
dalam Harahap, 2007). Perilaku responden merupakan perilaku secara spontan.
Ketika stimulus muncul dengan adekuat seperti stimulus nosiseptif, respon
perilaku kemungkinan akan terjadi. Dalam perbandingan, ketika stimulus muncul
perilaku responden secara keras merupakan faktor-faktor dari stimuli (Harahap,
2007).
Perilaku operant biasanya tidak berhubungan dengan spesifik respon
terhadap stimulus (Kats, 1998 dalam Harahap, 2007). Ini akan muncul sebagai
respon secara langsung dan otomatis terhadap stimulus yang muncul, sama juga
sebagai perilaku responden. Tetapi perilaku operant mungkin muncul karena
perilaku-perilaku tersebut telah diikuti dengan positif atau konsekuensi yang kuat
(Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007). Perilaku operant sering kali tidak
berhubungan dengan spesifik respon terhadap stimulus yang muncul (Kats, 1998
dalam Harahap, 2007).
5.8.3. Respon Perilaku Nyeri
Respon perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat
bermacam-macam. Menurut Brunner dan Suddart (2003) bahwa, respon perilaku
yang biasa terhadap nyeri mencakup: (1) Pernyataan verbal seperti mengaduh,
menangis, sesak nafas, mendengkur, (2) Ekspresi wajah seperti meringis,
menggeletukkan gigi, menggigit bibir, (3) Gerakan tubuh seperti gelisah,
imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan, (4) kontak
dengan orang lain/interaksi sosial seperti menghindari percakapan, menghindari
kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan
nyeri. Dimensi perilaku nyeri mencakup berbagai perilaku yang dapat diamati
berkaitan dengan rasa sakit dan bertindak sebagai sarana komunikasi dengan
dalam Harahap 2007). Gambaran perilaku nyeri tersebut yaitu menjaga,
menguatkan, meringis, keluhan verbal dan mencari pengobatan (Harahap, 2007).
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi
sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau
menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu
letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri
hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi
mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri( Brunner&Suddart, 2001).
Meinhart & McCaffery (1983) dalam Potter & Perry (2005)
mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri, yaitu fase antisipasi, fase sensasi, dan
fase akibat.
Fase antisipasi terjadi sebelum nyeri diterima. Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase
lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya
untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting,
terutama dalam memberikan informasi pada klien.
Fase sensasi terjadi saat nyeri terasa. Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subjektif, maka tiap orang dalam
menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda
antara satu orang dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi
tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya
stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu
menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya
rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Fase akibat terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,
sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien
mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh
kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
5.8.4. Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis menyediakan model yang sangat baik untuk
mempelajari variasi dalam perilaku nyeri. Rheumatoid arthritis menyebabkan
timbulnya rasa sakit, kelemahan, dan berhubungan dengan berbagai perilaku nyeri
yang dapat dikodekan secara handal dan valid. Selain itu, ada bukti bahwa pasien
dengan rheumatoid arthritis sangat bervariasi dalam cara mereka mengekspresikan
perilaku nyeri (Waters, 2008).
Perilaku nyeri rheumatoid arthritis yang dapat diperiksa yaitu, terjaga
(guarding), menahan nyeri (bracing), menggosok bagian yang nyeri (active rubbing), meringis (grimacing), mendesah (sighing), dan kekakuan (rigidity) (Waters, 2008).
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka Konseptual
Kerangka konsep dalam penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthriris pada lansia di Kelurahan
Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang. Bertambah beratnya gejala
penyakit rheumatoid arthritis mengakibatkan terjadinya perubahan aktivitas pada
penderitanya. Salah satu penyebabnya adalah adanya rasa nyeri yang
menampilkan perilaku nyeri yang berbeda-beda pada setiap orang. Berdasarkan
keterangan di atas, maka dapat dibuat kerangka penelitian yang menjelaskan
tentang pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthriris pada lansia di
Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang. yang dijabarkan dalam
skema dibawah ini :
Skema 3.1.Kerangka Konseptual Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis pada Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat
Lansia dengan
Rheumatoid Arthritis
Pola Aktivitas
Perilaku Nyeri
-Terganggu
-Tidak Terganggu
-Tinggi
-Sedang
2. Defenisi Operasional
Defenisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini
dijelaskan sebagai berikut:
Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
BAB 4
METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
yang bertujuan untuk mengidentifikasi pola aktivitas dan perilaku nyeri
rheumatoid arthritis pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan
Padang Tualang, Kabupaten Langkat.
2. Populasi dan Sampel Penelitian
2.1. Populasi
Populasi penelitian adalah Keseluruhan subjek penelitian yang diteliti
(Notoatmodjo, 2005). Populasi lansia yang menderita rheumatoid arthritis dirada
di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat
pada tahun 2012 berjumlah 224 orang.
2.2. Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dari karakteristik yang dimiliki populasi (Hidayat, 2009). Karena jumlah
populasi lebih dari 100, maka peneliti mengambil 25% dari jumlah populasi