• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Harmonisasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Perusahaan Publik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Upaya Harmonisasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Perusahaan Publik"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amiruddin dan H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2006.

Anoraga, Pandji dan Piji Pakarti. Pengantar Pasar Modal Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

Anwar, Jusuf. Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi (Edisi Pertama). Bandung: PT. Alumni. 2008.

____________, Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar Modal Indonesia. Bandung : PT Alumni. 2008.

Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius. 2000.

Bursa Efek Indonesia. Sekolah Pasar Modal Bursa Efek Indonesia Kelas Basic (Struktur Pasar Modal, Pengetahuan Umum tentang Efek, Reksadana).

Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. 2005.

De Smalen, B. Bursa Efek, Perusahaan Efek dan Lalu Lintas Efek. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. 1997.

Dahlan Al Barry, M. Kamus Indonesia modern Bahasa Indonesia. Yogyakarta : Arkola. 1995.

Edilius dan Sudarsono. Kamus Ekonomi Uang dan Bank. Jakarta : Rineka Cipta. 1994.

F.K., Reilly. Investment Analysis and Portofolio Management, Second Edition. The Drydan Press. 1984.

Fuady, Munir. Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum). Bandung : Citra Aditya Bakti. 1996.

___________. Dinamika Teori Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia. 2007.

Gede Ary Suta, I Putu. Menuju Pasar Modal Modern. Jakarta : Sad Satria Bhakti. 2000.

(2)

Hadibroto, H.S., dan Oemar Witarsa. Sistem Pengawasan Intern. Jakarta : BPFE. 1984.

Hartini, Rahayu. Hukum Komersial. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang. 2005.

Iskandar, Irfan. Pengantar Hukum Pasar Modal Bidang Kustodian. Jakarta : Djambatan. 2000.

Kansil, C.S.T., dan Christine S.T. Kansil. Modul Hukum Dagang. Jakarta: Djambatan. 2001.

Kusumaatmadja, Mochtar. Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional. Bandung : Bina Cipta. Tanpa Tahun.

Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta : Rajawali Pers. 2010.

Katoppo, Aristides, dkk. Pasar Modal Indonesia : Retrospeksi Lima Tahun Swastanisasi BEJ. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 1997.

Manurung, Mandala, dan Prathama Rahardja. Uang, Perbankan dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia). Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004.

Martin, Jhon D. (Haris Munandar Penterjemah). Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, Cet.2. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. 1993.

M. Friedman, Lawrence. American Law An Introduction (Second Edition). Jakarta: PT Tata Nusa. 2001.

M. Hadjon, Philipus. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu.1987.

Nasarudin, M. Irsan dan Indra Surya. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta : Prenada Media. 2004.

Nasution, Bismar. Keterbukaan dalam Pasar Modal, Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.

_______________. Hukum Kegiatan Ekonomi (I). Bandung : BooksTerrace & Library. 2007.

Prasetio, Gunawan. Etika Bisnis. Yogyakarta : Simon & Schuster. 1997.

Purwaningsih, Endang. Hukum Bisnis. Bogor : Ghalia Indonesia. 2010.

(3)

Ratih Sulistyastuti, Dyah. Saham dan Obligasi Ringkasan Teori dan Soal Jawab. Yogyakarta : Universitas Atmajaya. 2002.

Ridwan, Juniarso, dan Achmad Sodik Sudrajat. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung : Nuansa, Cetakan I. 2009.

Rindjin, Ketut. Pengantar Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2000.

R.J., Shook, and L. Shook Robert. The Wall Sreet Dictionary. New York: New York Institute of Finance. 1990.

Rokhmatussa’dyah, Ana, dan Suratman. Hukum Investasi dan Pasar Modal. Jakarta : Sinar Grafika. 2010.

Rusdin. Pasar Modal. Bandung : Alfabeta. 2005.

Salim, Peter. The Contemporary English-Indonesia. Jakarta : Dictionary Modern English Press. 1989.

Saliman, Abdul R., Hermansyah dan Ahmad Jalis. Hukum Bisnis untuk Perusahaan (Teori dan contoh kasus). Jakarta : Kencana. 2008.

Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh Kasus). Jakarta: Kencana. 2010.

Sembiring, Sentosa. Hukum Investasi. Bandung : Nuansa Aulia, Cetakan II. 2010.

Setiawan, Albab. Otoritas Jasa Keuangan. jakarta: jas and partner lawyer office. 2012.

Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan (Kebijakan Moneter dan Perbankan). Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2005.

Silondae, Arus Akbar dan Wirawan B. Ilyas. Pokok-Pokok Hukum Bisnis. Jakarta: Salemba Empat. 2011.

Simatupang, Mangasa. Pengetahuan Praktis Investasi Saham dan Reksa Dana. Jakarta : Mitra Wacana Media. 2010.

Simorangkir, O.P. Etika : Bisnis, Jabatan, dan Perbankan. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

(4)

Sitompul, Asril, Zulkarnain Sitompul, dan Bismar Nasution. Insider Trading, Kejahatan Di Pasar Modal. Jakarta: Books Terrace & Library. 2007.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2003.

Sri Imaniyati, Neni. Hukum Bisnis ( Telaah tentang pelaku dan kegiatan ekonomi). Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009.

Sumantoro. Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal di indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia. 1990.

Sunarmi. Modul Perkuliahan: Hukum Pasar Modal. Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. 2009.

Surya, Indra, dan lvan Yustiavandana. Penerapan Good Corporate Governanance Mengesampingkan Hak-Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008.

Sutedi, Andrian. Segi-Segi Hukum Pasar Modal. Jakarta : Ghalia Indonesia. 2009.

Tavinayati dan Yulia Qamariyanti. Hukum Pasar Modal Di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. 2009.

Tjager, I Nyoman, dkk. Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta : Prenhallindo. 2003.

Triandaru, Sigit, dan Totok Budisantoso. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya : Edisi 2. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. 2006.

Umar, Husein. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2005.

WargaKusumah, Mohammad Hasan. Ensiklopedia Umum. Yogyakarta : Kanisius. 1980.

Widoatmodjo, Sawidji. Cara Cepat Memulai Investasi Saham. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. 2004.

___________________. Pasar Modal Indonesia : Pengantar dan Studi Kasus. Bogor : Ghalia Indonesia. 2009.

Winardi. Manajer dan Manajemen. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2000.

(5)

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

Pedoman Kerja dan Wajib dijalankan oleh Konsultan Hukum Pasar Modal, Keputusan HKHPM No. 01/HKH/1995, tanggal 30 maret 1995.

Naskah Akademik RUU Otoritas Jasa Keuangan

C. Jurnal dan Artikel

Bapepam, Laporan Tahunan 2002, Bapepam dan Departemen Keuangan, Jakarta, 2002.

Direktur Penetapan Sanksi dan Keberatan Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan. “Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengawasan, Pengenaan Sanksi, dan Penanganan Keberatan di Industri Pasar Modal Indonesia”. Disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 21 September 2013.

Gandhi, L.M. “Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif”, (Jakarta: Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, 1995).

Hasan, Hasbi. 2012. “Efektivitas Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Lembaga Perbankan Syariah”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.

Ibrahim,Sofyan. “Pelaksanaan Fungsi Hukum Sebagai Sarana Social Control Dalam Suatu Negara”. Majalah Hukum Universitas Sumatera Utara, Volume 8, Nomor 2, Agustus 2003.

(6)

Khopiatuziadah. 2012. “Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor Perbankan: Perspektif Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan”. Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.

Lubis, Mulya T. dan Alexander Lay. 2008. “Penegakan Hukum Pasar Modal dan Civil Penalty”. Jurnal Bisnis Indonesia, Jakarta, tanggal 26 Februari 2008.

Mulyono, Ignatius. “Kebijakan Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Peraturan Perundang-undangan, Khususnya Pengharmonisasian RUU Di DPR Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011”, disampaikan dalam acara Forum Koordinasi Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 04 November 2011, diselenggarakan oleh Kementrian Hukum dan HAM RI.

Nasution, Anwar. “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda Kedepan”. Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Masalah-Masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 2003.

Nasution, Bismar. “Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan”. Seminar tentang Sosialisasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Medan 19 Juni 2012.

______________. “Struktur Regulasi Independen Otoritas Jasa Keuangan, Seminar tentang Eksistensi dan Tantangan OJK Dalam Menata Industri Jasa Keuangan Untuk Pembangunan Ekonomi”. Bening Institute, Jakarta 23 April 2013.

______________. “Fungsi dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Industri Jasa Keuangan”. Sosialisasi Kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Peralihan Fungsi Pengawasan Industri Keuangan, Medan 29 November 2013.

Pakpahan, Rudy Hendra. 2012. “Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa Keuangan Di Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.

Palayukan, Tandi Pada. 2013. “Analisis Terhadap Larangan Praktik Insider Trading Di Pasar Modal”. USU Law Journal, Volume II-No. 2, November 2013.

(7)

Putra, I.B. Priyanta, Ni Ketut Supasti Darmawan dan I ketut Westra, “Insider Trading Dalam Kegiatan Pasar Modal Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995”, Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali.

Rahardjo, Satjipto. “Keadilan, Hukum dan Masyarakat”, Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, Nomor 1, Jakarta, Tahun 1988.

Sitompul, Zulkarnain. 2012. “Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.

Sri Rahyani, Wiwin. 2012. “Indepensi Otoritas Jasa Keuangan Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal Legislasi indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.

Standar Penilaian dan Kode Etik Profesi, Gabungan Perusahaan Penilai Indonesia (GAPPI).

Tim Panitia antar Departemen Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta, 2010.

Usman, Marzuki. 1989. “Pasar Modal Sebagai Piranti untuk Mengalokasi Sumber Daya Ekonomi Secara Optimal”. Jurnal Keuangan dan Moneter, Volume 1, Nomor 1, Juli 1989.

Wiriadinata,Wahyu. 2012. “Masalah Penyidik Dalam Tindak Pidana Jasa Keuangan Di Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.

D. Skripsi, Tesis, dan Disertasi

Alkamra, “Perlindungan Hukum Bagi Investor Dalam Perdagangan Saham Setelah Listing di Pasar Modal”, (Tesis : Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2011).

Feraldi, Fikri, “Akibat Hukum Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Fungsi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral”, (Skripsi : Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 2012).

Frandoni, Andri, “Penegakan Hukum Terhadap Praktek Perdagangan Orang Dalam (Insider Trading) Oleh Badan Pengawasn Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), Studi : Badan Pengawas Pasar Modal dan lembaga Keuangan”, (Skripsi: Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2011).

(8)

Dengan undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan Pengaruhnya Terhadap Kontrak Kerjasama BPMigas dengan PT.Pertamina EP”, (Tesis: Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum USU, 2010).

Nalole, Masri, “Kedudukan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Dalam Mengatasi Praktik Insider Trading Di Pasar Modal Indonesia”, (Tesis: Fakultas Hukum, Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan, Universitas Hasanuddin).

Sigalingging, Bisdan, “Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia”, (Tesis: Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum USU, 2013).

Tumanggor, M.S., “Kajian Hukum Atas Insider Trading Di Pasar Modal Suatu Antisipasi Terhadap Pengembangan Ekonomi Indonesia (Suatu Telaah Singkat)”, (Disertasi: Universitas Padjajaran, 2005).

E. Website

14 Februari 2014).

tanggal 12 Februari 2014).

(Diakses tanggal 12 Februari 2014).

(Diakses tanggal 12 Februari 2014).

(Diakses tanggal 28 januari 2014).

(9)

(Diakses tanggal 14 Februari 2014).

tanggal 26 januari 2014).

(Diakses tanggal 27 januari 2014).

tanggal 7 Februari 2014).

(10)

BAB III

URGENSI UPAYA HARMONISASI UNDANG-UNDANG PASAR MODAL NO. 8 TAHUN 1995 TERHADAP UNDANG-UNDANG OJK NO. 21

TAHUN 2011 DALAM PENGAWASAN PERUSAHAAN PUBLIK

A. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Lembaga Baru dalam Pengawasan Sektor Jasa Keuangan

Secara teoritis, terdapat dua aliran (school of thought) dalam hal

pengawasan sektor jasa keuangan. Di satu pihak terdapat aliran yang mengatakan

bahwa pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam

sektor jasa keuangan sebaiknya dilakukan oleh institusi tunggal. Di pihak lain ada

aliran yang berpendapat pengawasan sektor jasa keuangan lebih tepat apabila

dilakukan oleh beberapa institusi.192

Sementara itu, di Indonesia pada awalnya menerapkan sistem pengawasan

terhadap sektor jasa keuangan dilakukan oleh beberapa institusi, berubah menjadi

sistem pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam

sektor jasa keuangan oleh satu institusi setelah lahirnya UUOJK yang berlaku

tanggal 22 November 2011. Dengan itu pengawasan keseluruhan sektor jasa

keuangan di Indonesia dilakukan oleh institusi tunggal OJK. Pasal 5 UUOJK

menentukan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan

pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa

keuangan.193

Sistem pengawasan jasa keuangan secara terintegrasi pada awalnya

dimulai di Skandinavia pada pertengahan tahun 1980-an. Inggris dan Jepang

192

Bismar Nasution, “Struktur Regulasi Independen Otoritas Jasa Keuangan”, Seminar tentang Eksistensi dan Tantangan OJK Dalam Menata Industri Jasa Keuangan Untuk Pembangunan Ekonomi”, Bening Institute, Jakarta 23 April 2013, hlm. 1.

193

(11)

kemudian menerapkan sistem pengawasan terintegrasi pada tahun 1998 dengan

mendirikan United Kingdom Financial Services Authority dan Japan Financial

Services Agency.194

Pembentukan OJK merupakan bentuk atau model “single-regulator

supervision” dimana kontrol atas sektor keuangan diserahkan pada satu otoritas

tunggal dan lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan

kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan

laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat.195

Model pengawasan sektor keuangan yang berlaku di Indonesia selama ini

pada dasarnya lebih condong pada pendekatan institusional (institusional

approach), dimana regulator yang mengawasi suatu institusi didasarkan pada

status badan hukum dari institusi yang diawasi tersebut. Bank diatur dan diawasi

oleh BI, sedangkan perusahaan sektor keuangan nonbank diatur dan diawasi oleh

Bapepam-LK. Kelebihan dari model ini adalah bahwa masing-masing otoritas

menjadi lebih fokus dalam mengatur dan mengawasi industrinya. Namun, model

ini juga memiliki kekurangan, terutama ketika terjadi suatu aktivitas yang saling

bersinggungan.

1. Latar belakang berdirinya OJK dan asas-asas pembentukan OJK

196

194

Zulkarnain Sitompul, “Peralihan Fungsi, Tugas, dan Wewenang Pengawasan Bank Dari Bank Indonesia Ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Op.cit., hlm. 2.

195

Wisnu Indaryanto, “ Pembentukan dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan “, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 333.

196

Hasbi Hasan, “Efektivitas Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Lembaga Perbankan Syariah”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 381.

Aktivitas yang bersinggungan maksudnya adalah telah terjadi

konvergensi pada industri keuangan. Konvergensi yang dalam akan menyebabkan

munculnya masalah kewenangan regulasi. Sebagai contoh yaitu adanya produk

(12)

perbankan, asuransi atau pasar modal. Di Indonesia, produk-produk tersebut

masih merupakan produk asuransi atau pasar modal murni sehingga dalam hal ini

bank hanya berfungsi sebagai penjual (agent) dan mendapatkan komisi (fee) dari

jasanya tersebut. Ambil contoh produk hybrid yang baru dikenal di Indonesia

yaitu bancassurance Di Indonesia produk ini masih murni produk perusahaan

asuransi yang ditawarkan atau dijual melalui jalur distribusi (distribution channel)

perbankan. Hal ini sesuai dengan undang-undang perbankan yang melarang bank

melakukan kegiatan asuransi. Keuntungan bank menjual produk hybrid tersebut

adalah selain menerima komisi juga sekaligus dapat memperbesar customer base

dan menjaga loyalitas nasabah.197

Maka hal tersebut menunjukkan produk-produk yang dihasilkan

lembaga-lembaga keuangan sudah sedemikian menyatunya sehinga sulit menentukan

apakah suatu produk keuangan tertentu dihasilkan oleh industri perbankan

sehingga diregulasi oleh bank sentral atau produk perusahaan sekuritas dan harus

tunduk pada regulasi Bapepam. Oleh karena itu, dengan diserahkannya

kewenangan pengawasan kepada satu institusi maka masalah kewenangan

regulasi tersebut akan terpecahkan.198

Adapun hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya OJK yaitu199

197

Zulkarnain Sitompul “Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pilars No.02/Th.VII/12-18 Januari 2004, hlm. 2-3.

198

Ibid., hlm. 2.

199

Rudy Hendra Pakpahan, Op.cit., hlm. 416.

: Terjadinya

proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang

teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan

yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik

(13)

memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi)

telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan

di dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa

keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan

konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.

Ditinjau secara yuridis disamping hal-hal disebut diatas, latar belakang

berdirinya OJK adalah berdasarkan amanat Pasal 34 UUBI. Adapun keseluruhan

Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:

(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.200

Dalam pembentukan OJK yang mandiri/independen dilakukan

berlandaskan asas-asas, yaitu

Berdasarkan hal tersebut diatas maka dibentuklah lembaga baru dalam

pengawasan sektor jasa keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan.

201

a. Independesi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan

pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku; :

b. Kepastian hukum, yakni azas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan

dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;

200

Khopiatuziadah, “Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor Perbankan: Perspektif Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 427.

201

(14)

c. Kepentingan umum, yakni azas yang membela dan melindungi

kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan

kesejahteraan umum;

d. Keterbukaan, yakni azas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif

tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap

memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan,

serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan;

e. Profesionalitas, yakni azas yang mengutamakan keahlian dalam

pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan

tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

f. Integritas, yakni azas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral

dalam setiap tindakan dan keputusan yanng diambil dalam

penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan

g. Akuntabilitas, yakni azas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan

hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa

Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

2. Tujuan, Tugas, Fungsi, dan Wewenang OJK

Mengikuti trend yang serupa di berbagai negara, OJK dibentuk dan

dilandasi oleh prinsip-prinsip tata kelola (governance) yang baik. Pasal 4 UUOJK

menentukan, bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di

(15)

akuntabel; (b) mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil; dan (c) mampu melindungi kepentingan konsumen dan

masyarakat.202 Dalam mencapai tujuannya, OJK mendukung kepentingan sektor

jasa keuangan nasional dan meningkatkan daya saing nasional serta OJK

diharapkan dapat menjaga kepentingan nasional.203

Pasal 5 UUOJK menentukan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan

sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan

kegiatan di sektor jasa keuangan.

Lembaga Otoritas Jasa Keungan (OJK) didirikan dengan tugas untuk

mengawasi lembaga keuangan baik bank maupun non bank. Pengaturan mengenai

tugas OJK diatur dalam Pasal 6 UUOJK. Dalam pasal tersebut menyebutkan

bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga

Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

204

202

Bismar Nasution, “Fungsi dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Industri Jasa Keuangan”, Sosialisasi Kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Peralihan Fungsi Pengawasan Industri Keuangan, Medan 29 November 2013, hlm. 3.

203

Direktur Penetapan Sanksi dan Keberatan Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan, “Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengawasan, Pengenaan Sanksi, dan Penanganan Keberatan di Industri Pasar Modal Indonesia”, Disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 21 September 2013, hlm. 7.

204

Bismar Nasution, “Fungsi dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Industri Jasa Keuangan”, Op.cit., hlm. 4.

Untuk melaksanakan fungsi OJK dalam pengaturan dan pengawasan

tersebut, ketentuan Pasal 7 UUOJK menyatakan, bahwa untuk melaksanakan

tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud

(16)

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1) perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,

rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan

2) kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;

b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

1) likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;

2) laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3) sistem informasi debitur;

4) pengujian kredit (credit testing); dan 5) standar akuntansi bank;

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1) manajemen risiko;

2) tata kelola bank;

3) prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan

4) pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan d. Pemeriksaan bank.

Didalam Pasal 8 UUOJK menyebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:

1) menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;

2) menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; 3) menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

4) menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; 5) menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;

6) menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;

7) menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;

8) menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

9) menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Dalam Pasal 9 UUOJK menyebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:

a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;

c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

(17)

e. Melakukan penunjukan pengelola statuter; f. Menetapkan penggunaan pengelola statuter;

g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

h. Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan Usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran, dan penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

B. Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Lembaga Keuangan

Terbentuknya Lembaga OJK merupakan sebuah solusi yang terbaik bagi

kebaikan sistem keuangan dengan mengedepankan efektivitas dan efiensi dalam

melakukan pengawasan lembaga keuangan di Indonesia. Selama ini, pengawasan

lembaga keuangan dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda yaitu Bank

Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan melalui Badan Pengawas Pasar Modal

(Bapepam). Namun pada prakteknya BI dan Bapepam dalam melakukan

pengawasan tersebut belum optimal.205

Untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara terintegrasi,

langkah-langkah persiapan dan periode transisi telah ditetapkan sehingga pada 1 Januari

2014 OJK telah siap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga

pengawas jasa keuangan secara terintegrasi. Proses transisi pengawasan industri

jasa keuangan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, kegiatan jasa keuangan

di sektor pasar modal dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana

pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya (disingkat

lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang dilakukan oleh Bapepam-LK

205

(18)

dialihkan pada akhir tahun 2012. Tahap kedua, pengawasan bank dialihkan dari

Bank Indonesia kepada OJK pada akhir tahun 2013.206

Perlunya suatu lembaga pengawasan yang mampu berfungsi sebagai

pengawas yang mempunyai otoritas terhadap seluruh lembaga keuangan, dimana

lembaga pengawas tersebut bertanggung jawab terhadap kegiatan usaha yang

dilakukan oleh bank maupun lembaga keuangan non bank.207

Sebagai lembaga negara independen yang baru di Indonesia, OJK

diharapkan dapat melaksanakan salah satu tugas Bank Indonesia dalam

melakukan pengawasan sektor perbankan di negara kita. Berdirinya lembaga

independen baru ini sebenarnya sudah lama diamanatkan oleh UUBI, yaitu paling

lambat tanggal 31 Desember 2002 dan kemudian menjadi paling lambat tanggal

31 Desember 2010. Tugas pengawasan bank merupakan tugas yang penting

khususnya dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan pada

akhirnya dapat mendorong efektivitas kebijakan moneter.

sehingga apabila

misalnya terjadi suatu bank gagal karena kegiatannya di pasar modal maka tidak

akan ada lagi saling melempar tanggung jawab terhadap pengawasannya. Maka

dengan dibentuknya OJK akan memberi akibat hukum bagi masing-masing

lembaga keuangan.

1. Akibat hukum pembentukan OJK terhadap pengawasan perbankan

208

206

Zulkarnain Sitompul, Op.cit., hlm.345.

207

Fikri Feraldi, “Akibat Hukum Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Fungsi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral”, (Skripsi, Ilmu Hukum, Universitas Padjajaran, 2012), diunduh dari

208

(19)

Dalam melakukan tugasnya lembaga ini melakukan koordinasi dan

kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam

UUOJK. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan

dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank

Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data

makro yang diperlukan.209

Selanjutnya, dalam Pasal 39 UUOJK terkait koordinasi dan kerjasama

dalam menjalankan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan BI dalam membuat

peraturan pengawasan di bidang perbankan meliputi: kewajiban pemenuhan

modal minimum bank, sistem informasi perbankan yang terpadu, kebijakan

penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing dan pinjaman

komersial luar negeri, produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank

lainnya dan penentuan institusi bank yang masuk kategori Systemically important

bank serta data lain yang dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan informasi.

210

Beralihnya fungsi pengawasan perbankan ini kepada OJK sejak tanggal 31

Desember 2013 juga mengakibatkan pejabat dan /atau pegawai Bank Indonesia

yang melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan di

sektor perbankan dialihkan untuk dipekerjakan pada OJK. Adapun pejabat

dan/atau pegawai yang berasal dari Bank Indonesia ini wajib bekerja di OJK

untuk jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun.211

Pejabat dan/atau pegawai BI wajib menetapkan pilihan status sebagai

pejabat dan/atau pegawai OJK atau tetap sebagai pejabat dan/atau pegawai BI,

209

Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

210

Rudy Hendra Pakpahan, Op.cit., hlm. 419.

211

(20)

paling lama 2 (dua) tahun sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UUOJK. Sejak beralihnya fungsi, tugas,

dan wewenang pengawasan kepada OJK, kekayaan dan dokumen yang dimiliki

dan/atau digunakan Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan

wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan dapat digunakan oleh

OJK.212

Kemudian dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UUOJK disebutkan bahwa BI

dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank dengan menyampaikan

pemberitahuan secara tertulis terlebih dahuli kepada OJK, tetapi dalam

pemeriksaan tersebut BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat

kesehatan bank. Laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh BI tersebut

disampaikan kepada OJK, kemudian OJK menginformasikan kepada Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS) mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya

penyehatan oleh OJK. Apabila bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas

dan/atau kondisi kesehatannya semakin memburuk, OJK segera

menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuai kewenangan

BI sebagai bank sentral.213

Akibat hukum setelah dibentuknya Lembaga OJK mengakibatkan peranan

BI dalam menjalankan tugasnya hanya sebatas fungsi independen sebagai bank

sentral selaku otoritas moneter dan sistem pembayaran. OJK diberi tugas dalam

hal mikro (micro-prudential supervision) yakni mengawasi bank-bank yang ada di

Indoensia. Sementara Bank Indonesia sendiri akan lebih bertanggung jawab dalam

menangani masalah yang lebih makro ( macro-prudential supervision) misalnya

212

Ibid., hlm. 346-347.

213

(21)

terkait dengan kebijakan moneter dan penanganan di saat krisis. BI tetap

berwenang mengatur dan mengawasi seluruh aspek perbankan dalam rangka

perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter dan sistem pembayaran.214 Dalam

pelaksanaannya, BI melakukan kebijakan moneter melalui penetapan uang

beredar atau suku bunga, dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang

ditetapkan oleh pemerintah menggunakan instrumen-instrumen, antara lain

operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan

tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau

pembiayaan. Selain itu, BI juga menciptakan efisiensi sistem pembayaran,

kesetaraan akses dan perlindungan konsumen. OJK dan BI akan bekerjasama

dalam pengawasan bank terkait penentuan institusi bank yang masuk kategori

systemically important bank. Dibantu oleh LPS.215

Otoritas Jasa Keuangan merupakan hasil dari suatu proses penataan

kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan

fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan. Lembaga ini

independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur

tangan pihak lain.

2. Akibat hukum pembentukan OJK terhadap pengawasan pasar modal,

perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa

keuangan lainnya

216

214

Anwar Nasution, “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda Kedepan”, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Masalah-Masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 2003.

215

Rudy Hendra Pakpahan, Op.cit., hlm. 120.

216

Wiwin Sri Rahyani, “Indepensi Otoritas Jasa Keuangan Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal Legislasi indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 361.

(22)

akibat hukum terhadap kewenangan Bapepam. Dimana sebelum terbentuknya

OJK, pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Non Bank berada pada

Bapepam-LK. Setelah berlakunya UUOJK maka beralihlah fungsi pengawasan dan

pengaturan tersebut yang dulunya berada pada Bapepam-LK kini menjadi tugas

dan tanggung jawab dari Lembaga OJK.

Beralihnya fungsi pengawasan pasar modal dan Lembaga Keuangan

Bukan Bank (LKBB) ini kepada OJK juga mengakibatkan pejabat dan /atau

pegawai Badan Pengawas Pasar Modal yang melaksanakan fungsi, tugas, dan

wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor pasar modal dan LKBB

dialihkan untuk dipekerjakan pada OJK. Adapun pejabat dan/atau pegawai yang

berasal dari Bapepam dan Lembaga Keuangan ini wajib bekerja di OJK untuk

jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun.217

Pejabat dan/atau pegawai Kementerian Keuangan wajib menetapkan

pilihan status sebagai pejabat dan/atau pegawai OJK atau tetap sebagai pejabat

dan/atau pegawai Kementerian Keuangan, paling lama 2 (tiga) bulan sejak

beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55

UUOJK. Sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengawasan kepada OJK,

kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan kementerian keuangan

dan Bapepam-LK dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang

pengaturan dan pengawasan di sektor pasar modal dan LKBB dapat digunakan

oleh OJK.218

Resiko terbesar yang dihadapi oleh OJK pada masa peralihan adalah

kemungkinan hilangnya kompetensi pengawasan yang sangat penting. Oleh

217

Zulkarnain Sitompul, Loc.cit.

218

(23)

karena itu, pada masa-masa transisi, penting untuk memastikan bahwa modal

manusia dan pengetahuan kelembagaan yang telah dibina oleh BI dan

Bapepam-LK tidak hilang, tetapi dialihkan ke OJK.219 Periode peralihan ini menjadi lebih

krusial karena dilakukan pada saat perekonomian dunia sedang dilanda krisis yang

dalam sehingga menimbulkan banyak ketidakpastian.220

Harmonisasi dalam peraturan perundang-undangan dapat dibagi atas

harmonisasi vertikal dan harmonisasi horizontal. Harmonisasi vertikal peraturan

perundang-undangan mempunyai peranan penting, selain berfungsi membentuk

peraturan perundang-undangan yang saling terkait dan tergantung berdasarkan

hirarki peraturan perundang-undangan serta membentuk suatu kebulatan yang

utuh. Harmonisasi vertikal berfungsi sebagai tindakan preventif guna mencegah

terjadinya Judicial Review suatu peraturan perundang-undangan karena jika hal

ini terjadi akan timbul beberapa kerugian, baik dari segi biaya, waktu maupun

tenaga.

C. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam Perspektif Ilmu Hukum

221

Harmonisasi horizontal adalah Penyusunan peraturan perundang-undangan

yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang sama atau sederajat,

berawal dari azas lex posterior delogat legi priori yang artinya suatu peratuan

perundang-undangan yang baru mengesampingkan/mengalahkan peraturan

219

PS Srinivas, “Daya Tahan Sektor Keuangan”, Harian Kompas, 14 Agustus 2012, hlm.7.

220

Zulkarnain Sitompul, Loc.cit.

221

(24)

perundang-undangan yang lama dan azas lex specialist delogat legi generalis

yang berarti suatu perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan

peraturan yang bersifat umum.222

Harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan keserasian antara

peraturan perundang-undangan antara yang satu dengan yang lainnya, baik yang

berbentuk vertikal (hierarki perundang-undangan) ataupun horizontal

(perundang-undangan yang sederajat). Keserasian tersebut, yakni tidak ada pertentangan

antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi peraturan yang satu

dengan yang lainnya saling memperkuat ataupun mempertegas dan memperjelas

(PP Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan

Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden).

1. Definisi harmonisasi peraturan perundang-undangan

223

Istilah harmonisasi secara etimologi berasal dari kata dasar harmoni, yaitu

menunjuk pada proses yang bermula dari suatu upaya untuk menuju atau

merealisasikan sistem harmoni. Istilah harmoni juga diartikan, keselarasan,

kecocokan, keserasian, keseimbangan yang menyenangkan.224 Dalam “the

contemporary English-Indonesia Dictionery” kata harmoni diartikan sebagai

selaras, serasi, dan harmonis. Dengan kata lain bisa diartikan sebagai keselarasan,

persesuaian, “harmoni” menjadikan serasi atau menyerasikan.225

222

Ibid.

223

Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH),” Pentingnya Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan”, diunduh dari http://jdih.den.go.id/17/pentingnya-harmonisasi-peraturan-perundangundangan, (diakses pada tanggal 12 Februari 2014).

224

M. Dahlan Al Barry, Kamus Indonesia modern Bahasa Indonesia, (Yogyakarta : Arkola, 1995), hlm. 185.

225

(25)

Selanjutnya L.M Gandhi menarik unsur-unsur dari harmonisasi, yaitu

adanya hal yang bertentangan secara proporsional agar membentuk satu

keseluruhan yang menarik, sebagai bagian dari satu sistem itu, atau masyarakat

dan terciptanya suasana persahabatan dan damai.226

Makna dari harmonisasi adalah baik yang artinya sebagai upaya maupun

dalam arti sebagai proses, diartikan sebagai upaya atau proses yang hendak

mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal yang bertentangan dan kejanggalan.

Upaya atau proses untuk merealisasikan keselarasan, kesesuaian, kecocokan dan

keseimbangan antara berbagai faktor yang sedemikian rupa hingga faktor-faktor

tersebut menghasilkan kesatuan atau membentuk satu keseluruhan yang luhur

sebagai bagian dari suatu sistem.

227

Menurut L.M. Gandhi, dalam harmonisasi hukum menuju hukum

responsif:

228

Bertitik tolak dari perumusan diatas, harmonisasi hukum merupakan suatu

upaya atau proses melakukan pembatasan-pembatasan perbedaan yang berkenaan

dengan adanya kejanggalan dan bertentangan dengan hukum.

Harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan azas-azas hukum dengan tujuan meningkatkan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum tanpa mengamburkan dan mengorbankan pluralisme hukum.

229

226

L.M. Gandhi, ”Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, dalam Mohammad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia Umum, Yogyakarta : Kanisius, 1980, hlm. 28.

227

Ahmad Jabbar, “Harmonisasi Pengaturan Badan Pelaksana Migas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Dengan undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan Pengaruhnya Terhadap Kontrak Kerjasama BPMigas dengan PT.Pertamina EP”, (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana, USU, 2010), hlm. 67.

228

L.M. Gandhi, Op.cit., hlm. 30.

229

(26)

2. Pengaturan mengenai harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam

ketentuan hukum Indonesia

Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan

peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan,

persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,

pengundangan, dan penyebarluasan. Di antara rangkaian proses di atas ada proses

yang tidak disebutkan secara tegas tetapi mempunyai peran yang sangat penting,

yaitu proses pengharmonisasian. Dengan demikian, pengharmonisasian

merupakan salah satu dari rangkaian proses pembentukan peraturan

perundang-undangan. Proses pengharmonisasian dimaksudkan agar tidak terjadi atau

mengurangi tumpang tindih peraturan perundang-undangan.230

Rudolf Stammler mengemukakan bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah

harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan

individu dan individu dengan masyarakat.

231

Prinsip-prinsip hukum yang adil

mencakup harmonisasi antara maksud dan tujuan serta kepentingan perseorangan,

dan maksud dan tujuan serta kepentingan perseorangan, dan maksud dan tujuan

serta kepentingan umum.232

Kebijakan mengenai harmonisasi peraturan perundang-undangan

sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor

15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan

Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, namun pengaturannya tidak

230

Turiman Fachturahman Nur, “Masalah Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, diunduh dari

231

Komunitas Wajo Peduli, “Harmonisasi Undang-Undang”, (Jumat, 13 Juli 2012), Kawali News, Diunduh dari

232

(27)

secara tegas dan rinci. Pengaturan lebih tegas terkait harmonisasi kemudian diatur

berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan

Rancangan Undang-Undang, yang merupakan pengganti Inpres Nomor 15/1970

tersebut.233

Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun

1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.234 Hal ini sejalan dengan Pasal

22A UUD 1945.235

Di Indonesia konteks harmonisasi hukum, dapat diketahui juga dalam

pasal 21 dan Pasal 22 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 68 Tahun 2005

tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan

Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden,

Oleh karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam

tataran praktik empirikal masih banyak mengandung kelemahan, maka DPR

bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali dan melakukan

penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai pengganti Undang-undang

Nomor 10 Tahun 2004.

236

yang isi pasal tersebut adalah:

233

Ignatius Mulyono, “Kebijakan Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Peraturan Perundang-undangan, Khususnya Pengharmonisasian RUU Di DPR Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011”, (Jakarta : Makalah disampaikan dalam acara Forum Koordinasi Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, 04 November 2011).

234

Ibid.

235

Pasal 22A UUD 1945 mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.

236

(28)

Pasal 21

(1) Dalam rangka penyusunan konsepsi Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemrakarsa wajib mengkonsultasikan konsepsi tersebut kepada Menteri.

(2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang.

Pasal 22

(1) Untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) menteri mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya.

(2) Apabila dipandang perlu, koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula melibatkan perguruan tinggi dan/atau organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5).

Sasaran program pembentukan peraturan perundang-undangan adalah

terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yangs sesuai dengan

aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan.237

Kehidupan bernegara dan bermasyarakat mengenal aturan atau norma

tertentu yang sejiwa dengan asas dan nilai yang menjadi sumber norma itu yang

berkembang menjadi sistem hukum meliputi hukum tertulis dan hukum tidak

tertulis. Sistem hukum nasional menganut azas, nilai yang bersumber pada

pandangan hidup bangsa dan merasakan sebagai sistem hukum yang selaras dan Dalam ketentuan Pasal 48

ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan menyebutkan bahwa :

“Usul Rancangan Undang-Undang sebagaiman dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang”

237

(29)

serasi dengan perasaan keadilan dan cita hukum, serta selaras dan serasi dengan

anggapan dan pandangan masyarakat tentang keadilan.238

Dalam rangka menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan

terintegrasi, penting dilakukan harmonisasi hukum dengan maksud melakukan

penataan dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum nasional, dengan

meletakkan pola pikir yang melandasi penyusunan kerangka sistem hukum

nasional yang dijiwai Pancasila dan UUD 1945. Dalam perspektif demikian,

harmonisasi hukum dimaksud, koheren dengan sasaran program pembentukan

peraturan undangan, yaitu terciptanya harmonisasi

perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan

pembangunan.239

Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan memiliki pengaruh yang

besar bagi penegakan hukum. Tujuan dari pengharmonisasian peraturan Bidang hukum sebagai landasan dalam menghadapi peningkatan

pengawasan perusahaan publik pada pasar modal, seperti halnya dalam

peraturan-peraturan yang dapat meningkatkan efektivitas pasar modal sebagai alat

pembangunan ekonomi nasional. Maka dapat ditempuh langkah-langkah

harmonisasi hukum untuk mewujudkan pelaksanaan pengawasan di pasar modal

yang lebih maksimal dan memberi dampak yang besar untuk pertumbuhan pasar

modal Indonesia.

3. Tujuan dan manfaat harmonisasi peraturan perundang-undangan bagi

penegakan hukum

238

Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, (Bandung : Nuansa, 20009), hlm. 223.

239

(30)

perundang-undangan adalah sebagai upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan,

memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu peraturan perundang-undangan

atau rancangan peraturan undangan dengan peraturan

perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun yang lebih rendah,

sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih

(overlaping).240

Dengan kata lain, harmonisasi dalam pembentukan undang-undang

bertujuan untuk mengharmoniskan aturan yang terdapat di dalam materi muatan

undang-undang. Apabila terjadi tumpang tindih antara materi undang-undang

yang satu dengan yang lainnya, maka akan terjadi kekacauan dalam penegakan

hukumnya (law enforcement). Selain itu, terjadi “dualisme” hukum, yang akan

mengacaukan prosedur penegakan hukum itu sendiri.241

Manfaat lain dari pengharmonisasian peraturan perundang-undangan

adalah dapat mencegah terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan Harmonisasi dalam pembentukan undang-undang mempunyai manfaat

yang sangat penting. Agar dalam pemberlakuannya nanti tidak terjadi tumpang

tindih (overlap) kewenangan antara undang yang satu dengan

undang-undang lainnya dan peraturan perundang-undang-undang-undangan juga tidak saling

bertentangan. Sehingga tidak akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan

ambiguitas dalam penerapannya.

240

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, diunduh dari (diakses pada tanggal 12 Februari 2014).

241 “Pentingnya Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan “ (13 Agustus 2010),

adhonknow’s blog, d

(31)

undang-undang tersebut, peraturan perundang-undangan dapat terlaksana secara

efektif dan efisien, dan hukum dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku

kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai

sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur.

Peraturan perundang-undangan yang baik merupakan pondasi Negara

Hukum yang akan menjamin hak-hak warga negara, membatasi kekuasaan

penguasa, menjamin kepastian dan keadilan hukum untuk mewujudkan

kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.242

Berdasarkan teori tujuan, pada prinsipnya hukum dibentuk bertujuan untuk

mewujudkan ketertiban (order) dan ketertiban merupakan syarat mendasar dan Melalui harmonisasi peraturan

perundang-undangan akan membantu dalam pelaksanaan dan/atau mewujudkan

hal-hal tersebut.

D. Kepastian Hukum Melalui Harmonisasi Undang-Undang Pasar Modal Terhadap Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan

1. Terciptanya tujuan hukum dalam pengawasan pasar modal melalui

harmonisasi Undang-Undang Pasar Modal terhadap Undang-Undang

Otoritas Jasa Keuangan

Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan perubahan

sosial, hukum memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,

damai, adil yang ditunjang dengan kepastian hukum sehingga kepentingan

individu dan masyarakat dapat terlindungi yang pada akhirnya akan memberi

kemanfaatan bagi masyarakat.

242

(32)

benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat manusia yang nyata dan

objektif.243 Namun keadilan bukan satu-satunya tujuan hukum melainkan juga

bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare state).244

Sementara itu ada juga aliran utilistis, yakni yang menganggap tujuan

hukum adalah semata-mata untuk mewujudkan kemanfaatan dan kebahagiaan

yang sebesar-besarnya bagi mayoritas umat manusia.245 Teori Utilitiarisme

berpandangan bahwa kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya

tujuan kesejahteraan bersama. Perbuatan yang baik diukur dari hasil yang

bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka tidak pantas disebut baik.246

Terdapat juga aliran yuridis dogmatik yang menganggap bahwa tujuan

hukum adalah semata-mata hanya untuk mewujudkan kepastian hukum. Aliran ini

menganggap bahwa hukum yang telah tertuang dalam rumusan peraturan

perundang-undangan adalah sesuatu yang memiliki kepastian untuk diwujudkan.

Kepastian hukum adalah hal yang mutlak bagi setiap aturan dan karena itu

kepastian hukum itu sendiri merupakan tujuan hukum.247

Tujuan hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch dengan asas

prioritasnya, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Hukum berfungsi

untuk mencapai tujuan hukum demi tercapainya kesejahteraan, kedamaian,

ketertiban dan keamanan dalam suatu negara.248

243

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Bandung : Bina Cipta, Tanpa Tahun), hlm. 2-3.

244

Mochtar Kusumaatmadja, Loc.cit

245

Fazar Fuzhu, ‘pengertian Tujuan Hukum Yang Ada Di Indonesia”, (12 Maret 2013), Diunduh dari (diakses pada tanggal 12 Februari 2014).

246

K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), hlm. 67.

247

Fazar Fuzhu, Loc.cit.

248

(33)

Ketiga tujuan hukum tersebut masing-masing ditempatkan ke dalam ajaran

hukum sebagai pandangan legalisme yang menitikberatkan pada keadilan,

pandangan fungsional yang menitikberatkan pada kemanfaatan dan pandangan

yang kritis yang menitikberatkan pada kepastian hukum.249

Secara umum dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum yaitu untuk

mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Dimana keadilan

menurut Plato250 adalah nilai kebijakan yang paling tertinggi. Keadilan menurut

H.L.A. Hart adalah nilai kebajikan yang paling legal atau atribut pribadi (habitus

animi).251

Maka keadilan yang dikemukakan tersebut pada prinsipnya bertujuan

sama bergantung pada sudut pandang masing-masing. Namun menjadi persoalan

adalah ketika terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam

kehidupan, maka sektor hukum jugalah yang berperan untuk menemukan dan

mengembalikan keadilan yang telah hilang (the lost justice) inilah yang disebut

Aristoteles sebagai keadilan korektif.

252

Hukum memegang peranan serta

kedudukan yang tidak kecil dalam proses pelayanan keadilan terhadap

masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena tumbuhnya negara sebagai organisasi

sosial yang semakin kuat dengan alat perlengkapannya yang semakin tersusun

rapi dan lengkap pula. Dengan demikian, hukum akan lebih mampu untuk

menjadi sarana penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat yang efisien.253

249

Bisdan Sigalingging, “Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia”, (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana, USU, 2013), hlm. 20.

250

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 92.

251

Ibid. 252

Ibid.

253

(34)

Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai segala bentuk norma maupun

tindakan yang bertujuan memberikan kondisi aman, nyaman dan kepastian hukum

bagi subyek hukum baik orang perorangan maupun badan hukum. Dengan adanya

perlindungan hukum diharapkan dapat menghidarkan terjadinya persengketaan,

seandainyapun terjadi sengketa, sudah terdapat norma hukum untuk

penyelesaiannya.254

Tujuan dari perlindungan hukum adalah untuk mencapai suatu keadilan,

sebab fungsi hukum tidak hanya dalam upaya mewujudkan kepastian hukum,

tetapi juga agar tercapainya jaminan dan keseimbangan yang sifatnya tidak

sekedar adaptif dan fleksibel, akan tetapi berfungsi juga untuk menciptakan

keseimbangan antara kepentingan pengusaha dengan konsumen, penguasa/

pemerintah dengan rakyat. Bahkan hukum sangat dibutuhkan untuk melindungi

mereka yang lemah atau belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk

memperoleh keadilan sosial.255

Harmonisasi UUPM terhadap UUOJK diharapkan dapat melindungi

kepentingan pemodal publik agar mempunyai hak-hak yang seimbang dengan Harmonisasi peraturan perundang-undangan akan sangat membantu dalam

mewujudkan keadilan dalam penegakan hukum. Sebagaimana melalui

harmonisasi UUPM terhadap UUOJK akan diselaraskan dan disesuaikan konsepsi

peraturan yang terdapat di dalam UUPM terhadap UUOJK. Penyelarasan dan

penyesuaian ini pada akhirnya akan memberi pengaruh yang besar dalam

menciptakan keadilan.

254

Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu,1987, hlm. 1.

255

(35)

emiten dan pentingnya konsistensi dalam penegakan hukum yang diatur dalam

ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pasar Modal. Dalam penerapan sanksi juga

akan semakin tegas apabila ditemukan ada pelanggaran dalam pelaksanaan

kegiatan di pasar modal. Sehingga undang-undang akan menjadi pondasi dan

landasan yang kokoh bagi setiap pihak yang memberi rasa keadilan, aman dan

nyaman dalam melaksanakan kegiatan di pasar modal.

Selanjutnya mengenai tujuan hukum untuk memberi kemanfaatan dalam

masyarakat. Asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana

tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu atau

dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri. Sehingga

tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan akan tercapai.256

Kriteria utilitas (kemanfaatan) menurut Jhon Stuart Mill harus mampu

menunjukkan keadaan sejahtera individual yang lebih awet atau resisten sebagai

hasil yang diinginkan yakni kebahagiaan.

Harmonisasi UUPM terhadap UUOJK akan memberikan kebijaksanaan

yang masuk akal untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama. Sesuai dengan

tujuan hukum untuk kemanfaatan, maka melalui harmonisasi peraturan

perundang-undangan ini akan menambah kuantitas keuntungan yang dihasilkan

oleh suatu tindakan dan berkurangnya jumlah kerugian dari tindakan sebelum

adanya upaya pengharmonisasian UUPM terhadap UUOJK ini.

257

256

Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia yang bekerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom Institusi, 2006, hlm. 14.

257

Gunawan Prasetio, Etika Bisnis, (Yogyakarta : Simon & Schuster, 1997), hlm. 190-192.

(36)

manfaat yang positif untuk bisnis. Baik bermanfaat untuk pelaku bisnis maupun

kepada masyarakat konsumen.258

Tujuan dari hukum yang selanjutnya adalah kepastian hukum. Pendapat

mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana

dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu

mensyaratkan sebagai berikut :259

Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan

bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan

kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian

hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat.

Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang

sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan

antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum. 1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah

diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;

2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan

5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

260

Kepastian hukum melalui harmonisasi UUPM terhadap UUOJK yakni

memberi adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan

kontradiktif dan dapat dilaksanakan. Harmonisasi UUPM terhadap UUOJK akan

258

O.P. Simorangkir, Etika : Bisnis, Jabatan, dan Perbankan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), hlm. 55.

259

“Memahami Kepastian (Dalam) Hukum”, (05 Februari 2013), diunduh dari pada tanggal 12 Februari 2014).

260

(37)

menciptakan hukum yang berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung

keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan

hukum, serta mampu menjamin hak dan kewajiban setiap pihak dalam pasar

modal. Hal ini akan mendorong minat para investor untuk bergabung bersama

pasar modal Indonesia karena adanya kepastian hukum dalam undang-undang

yang menjadi landasan untuk perlindungan hukum di pasar modal.

2. Akibat yang timbul apabila terjadi disharmonisasi Undang-Undang Pasar

Modal terhadap Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan

Disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan:261

Arti penting kepastian hukum dikemukakan Sudikno Mertokusumo

yang menjelaskan bahwa:

a. Terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya

Apabila UUPM disharmoni dengan UUOJK, maka akan

berdampak pada pelaksanaan ketentuan kedua Undang-Undang tersebut.

Bahwa akan muncul berbagai penafsiran di dalam masyarakat

berdasarkan pemikiran sendiri mengenai hal yang diatur tersebut.

Masyarakat cenderung akan menafsirkan ketentuan dalam

Undang-Undang tersebut sesuai dengan kepentingan masing-masing. Hal ini dapat

menyebabkan kekacauan dalam pelaksanaanya dan berdampak buruk bagi

kepentingan masyarakat luas.

b. Timbulnya ketidakpastian hukum

262

“masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum berfungsi menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.

261

A.A.Oka Mahendra, Loc.cit.

262

(38)

Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan.”

Disharmoni undang-undang dapat menimbulkan ketidakpastian

hukum. Padahal salah satu tujuan hukum yang umum dikenal adalah untuk

menciptakan kepastian hukum di dalam pelaksanaanya. Maka disharmoni

dalam UUPM terhadap UUOJK tentunya akan sangat berdampak luas bagi

pelaksanaan pasar modal. Ketidakpastian hukum dalam pasar modal akan

mengakibatkan kerugian yang besar bagi perkembangan pasar modal

Indonesia. Banyak pihak terkhususnya investor yang akan ragu untuk

membeli efek pada pasar modal Indonesia mengingat rentannya

perlindungan hukum yang mereka terima akibat ketidakpastian hukum.

c. Peraturan Perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien

Dampak yang lebih signifikan adalah tidak terlaksananya Peraturan

Perundang-undangan secara efektif dan efisien. Ketidakjelasan akibat

disharmoni undang-undang tersebutlah yang melatarbelakangi masyarakat

enggan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang. Munculnya berbagai

penafsiran dalam pelaksanaannya tentu akan mempersulit pencapaian tujuan

atau sasaran sesungguhnya dari undang-undang.

d. Disfungsi hukum

Artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman

berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa

(39)

BAB IV

UPAYA UNTUK MENGHARMONISASIKAN UNDANG-UNDANG PASAR MODAL (UUPM) TERHADAP UNDANG-UNDANG OJK

(UUOJK) DALAM PENGAWASAN PERUSAHAAN PUBLIK

A. Sistematika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

1. Sistematika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

a. Landasan filosofis

Pembangunan nasional bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat

adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pasar Modal mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional

sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi

bagi masyarakat. Agar Pasar Modal dapat berkembang dibutuhkan adanya

landasan hukum yang kukuh untuk lebih menjamin kepastian hukum

pihak-pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal serta melindungi kepentingan

masyarakat pemodal dari praktik yang merugikan. Berdasarkan pertimbangan

tersebut diatas, dipandang perlu membentuk Undang-Undang tentang Pasar

Modal.

b. Tujuan

Peraturan dalam pelaksanaan pasar modal wajib dipatuhi oleh pelaku

pasar. Maka untuk menjamin semua aturan dipatuhi oleh para pelaku pasar,

hukum memainkan peran yang besar. Peran hukum ini penting bukan hanya

apabila terjadi pelanggaran, tetapi juga dalam pelaksanaan kegiatan

(40)

aman bagi investor.263 Kegiatan di pasar modal sangatlah kompleks karena

melibatkan begitu banyak pihak maka sangat dibutuhkan suatu perangkat

hukum yang mengaturnya agar pasar tersebut menjadi teratur, wajar dan adil

bagi semua pihak. Atas dasar itu, lahirlah Hukum Pasar Modal (Capital

Market Law).264

Sebagai landasan hukum yang kokoh, UUPM memiliki tujuan agar pasar

modal dapat lebih berkembang, menjamin kepastian hukum pihak-pihak yang

melakukan kegiatan di pasar modal serta melindungi kepentingan masyarakat

dari praktik yang merugikan.265 Lahirnya UUPM yang diundangkan pada

tanggal 10 November 1995 dengan Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64,

diharapkan pasar modal dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam

pembangunan, sehingga sasaran pembangunan di bidang ekonomi dapat

tercapai.266

Bab VI : tentang Lembaga Penunjang Pasar Modal (Pasal 43-54) c. Sistematika

Bab I : tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-2)

Bab II : tentang Badan Pengawas Pasar Modal (Pasal 3-5)

Bab III : tentang Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Serta

Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (Pasal 6-17)

Bab IV : tentang Reksa Dana (Pasal 18-29)

Bab V : tentang Perusahaan Efek, Wakil Perusahaan Efek, dan

Penasihat Investasi (Pasal 30-42)

263

Tavinayati dan Yulia Qamariyanti, Op.cit., hlm.6.

264

Ibid., hlm 7.

265

Ibid., hlm. 7-8.

266

Gambar

Gambar 1 STRUKTUR PASAR MODAL INDONESIA

Referensi

Dokumen terkait

Perlindungan terhadap nasabah dalam transaksi yang mengandung suatu pelanggaran oleh OJK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara preventif, sehingga adanya perlindungan hukum

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen yang mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengaturan dan pengawasan pada setiap sektor lembaga keuangan, salah satunya

Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Menangani Kasus Kejahatan Pasar Modal berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen yang mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengaturan dan pengawasan pada setiap sektor lembaga keuangan, salah satunya

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen yang mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengaturan dan pengawasan pada setiap sektor lembaga keuangan, salah satunya

Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Menangani Kasus Kejahatan Pasar Modal berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Menangani Kasus Kejahatan Pasar Modal berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, Penyidik Pegawai Negeri Sipil

UU OJK pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola OJK yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan, cakupan dan