DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Amiruddin dan H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2006.
Anoraga, Pandji dan Piji Pakarti. Pengantar Pasar Modal Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
Anwar, Jusuf. Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi (Edisi Pertama). Bandung: PT. Alumni. 2008.
____________, Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar Modal Indonesia. Bandung : PT Alumni. 2008.
Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius. 2000.
Bursa Efek Indonesia. Sekolah Pasar Modal Bursa Efek Indonesia Kelas Basic (Struktur Pasar Modal, Pengetahuan Umum tentang Efek, Reksadana).
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. 2005.
De Smalen, B. Bursa Efek, Perusahaan Efek dan Lalu Lintas Efek. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. 1997.
Dahlan Al Barry, M. Kamus Indonesia modern Bahasa Indonesia. Yogyakarta : Arkola. 1995.
Edilius dan Sudarsono. Kamus Ekonomi Uang dan Bank. Jakarta : Rineka Cipta. 1994.
F.K., Reilly. Investment Analysis and Portofolio Management, Second Edition. The Drydan Press. 1984.
Fuady, Munir. Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum). Bandung : Citra Aditya Bakti. 1996.
___________. Dinamika Teori Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia. 2007.
Gede Ary Suta, I Putu. Menuju Pasar Modal Modern. Jakarta : Sad Satria Bhakti. 2000.
Hadibroto, H.S., dan Oemar Witarsa. Sistem Pengawasan Intern. Jakarta : BPFE. 1984.
Hartini, Rahayu. Hukum Komersial. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang. 2005.
Iskandar, Irfan. Pengantar Hukum Pasar Modal Bidang Kustodian. Jakarta : Djambatan. 2000.
Kansil, C.S.T., dan Christine S.T. Kansil. Modul Hukum Dagang. Jakarta: Djambatan. 2001.
Kusumaatmadja, Mochtar. Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional. Bandung : Bina Cipta. Tanpa Tahun.
Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta : Rajawali Pers. 2010.
Katoppo, Aristides, dkk. Pasar Modal Indonesia : Retrospeksi Lima Tahun Swastanisasi BEJ. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 1997.
Manurung, Mandala, dan Prathama Rahardja. Uang, Perbankan dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia). Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004.
Martin, Jhon D. (Haris Munandar Penterjemah). Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, Cet.2. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. 1993.
M. Friedman, Lawrence. American Law An Introduction (Second Edition). Jakarta: PT Tata Nusa. 2001.
M. Hadjon, Philipus. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu.1987.
Nasarudin, M. Irsan dan Indra Surya. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta : Prenada Media. 2004.
Nasution, Bismar. Keterbukaan dalam Pasar Modal, Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.
_______________. Hukum Kegiatan Ekonomi (I). Bandung : BooksTerrace & Library. 2007.
Prasetio, Gunawan. Etika Bisnis. Yogyakarta : Simon & Schuster. 1997.
Purwaningsih, Endang. Hukum Bisnis. Bogor : Ghalia Indonesia. 2010.
Ratih Sulistyastuti, Dyah. Saham dan Obligasi Ringkasan Teori dan Soal Jawab. Yogyakarta : Universitas Atmajaya. 2002.
Ridwan, Juniarso, dan Achmad Sodik Sudrajat. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung : Nuansa, Cetakan I. 2009.
Rindjin, Ketut. Pengantar Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2000.
R.J., Shook, and L. Shook Robert. The Wall Sreet Dictionary. New York: New York Institute of Finance. 1990.
Rokhmatussa’dyah, Ana, dan Suratman. Hukum Investasi dan Pasar Modal. Jakarta : Sinar Grafika. 2010.
Rusdin. Pasar Modal. Bandung : Alfabeta. 2005.
Salim, Peter. The Contemporary English-Indonesia. Jakarta : Dictionary Modern English Press. 1989.
Saliman, Abdul R., Hermansyah dan Ahmad Jalis. Hukum Bisnis untuk Perusahaan (Teori dan contoh kasus). Jakarta : Kencana. 2008.
Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh Kasus). Jakarta: Kencana. 2010.
Sembiring, Sentosa. Hukum Investasi. Bandung : Nuansa Aulia, Cetakan II. 2010.
Setiawan, Albab. Otoritas Jasa Keuangan. jakarta: jas and partner lawyer office. 2012.
Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan (Kebijakan Moneter dan Perbankan). Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2005.
Silondae, Arus Akbar dan Wirawan B. Ilyas. Pokok-Pokok Hukum Bisnis. Jakarta: Salemba Empat. 2011.
Simatupang, Mangasa. Pengetahuan Praktis Investasi Saham dan Reksa Dana. Jakarta : Mitra Wacana Media. 2010.
Simorangkir, O.P. Etika : Bisnis, Jabatan, dan Perbankan. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.
Sitompul, Asril, Zulkarnain Sitompul, dan Bismar Nasution. Insider Trading, Kejahatan Di Pasar Modal. Jakarta: Books Terrace & Library. 2007.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2003.
Sri Imaniyati, Neni. Hukum Bisnis ( Telaah tentang pelaku dan kegiatan ekonomi). Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009.
Sumantoro. Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal di indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia. 1990.
Sunarmi. Modul Perkuliahan: Hukum Pasar Modal. Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. 2009.
Surya, Indra, dan lvan Yustiavandana. Penerapan Good Corporate Governanance Mengesampingkan Hak-Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008.
Sutedi, Andrian. Segi-Segi Hukum Pasar Modal. Jakarta : Ghalia Indonesia. 2009.
Tavinayati dan Yulia Qamariyanti. Hukum Pasar Modal Di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. 2009.
Tjager, I Nyoman, dkk. Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta : Prenhallindo. 2003.
Triandaru, Sigit, dan Totok Budisantoso. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya : Edisi 2. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. 2006.
Umar, Husein. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2005.
WargaKusumah, Mohammad Hasan. Ensiklopedia Umum. Yogyakarta : Kanisius. 1980.
Widoatmodjo, Sawidji. Cara Cepat Memulai Investasi Saham. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. 2004.
___________________. Pasar Modal Indonesia : Pengantar dan Studi Kasus. Bogor : Ghalia Indonesia. 2009.
Winardi. Manajer dan Manajemen. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2000.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Pedoman Kerja dan Wajib dijalankan oleh Konsultan Hukum Pasar Modal, Keputusan HKHPM No. 01/HKH/1995, tanggal 30 maret 1995.
Naskah Akademik RUU Otoritas Jasa Keuangan
C. Jurnal dan Artikel
Bapepam, Laporan Tahunan 2002, Bapepam dan Departemen Keuangan, Jakarta, 2002.
Direktur Penetapan Sanksi dan Keberatan Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan. “Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengawasan, Pengenaan Sanksi, dan Penanganan Keberatan di Industri Pasar Modal Indonesia”. Disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 21 September 2013.
Gandhi, L.M. “Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif”, (Jakarta: Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, 1995).
Hasan, Hasbi. 2012. “Efektivitas Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Lembaga Perbankan Syariah”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.
Ibrahim,Sofyan. “Pelaksanaan Fungsi Hukum Sebagai Sarana Social Control Dalam Suatu Negara”. Majalah Hukum Universitas Sumatera Utara, Volume 8, Nomor 2, Agustus 2003.
Khopiatuziadah. 2012. “Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor Perbankan: Perspektif Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan”. Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.
Lubis, Mulya T. dan Alexander Lay. 2008. “Penegakan Hukum Pasar Modal dan Civil Penalty”. Jurnal Bisnis Indonesia, Jakarta, tanggal 26 Februari 2008.
Mulyono, Ignatius. “Kebijakan Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Peraturan Perundang-undangan, Khususnya Pengharmonisasian RUU Di DPR Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011”, disampaikan dalam acara Forum Koordinasi Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 04 November 2011, diselenggarakan oleh Kementrian Hukum dan HAM RI.
Nasution, Anwar. “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda Kedepan”. Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Masalah-Masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 2003.
Nasution, Bismar. “Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan”. Seminar tentang Sosialisasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Medan 19 Juni 2012.
______________. “Struktur Regulasi Independen Otoritas Jasa Keuangan, Seminar tentang Eksistensi dan Tantangan OJK Dalam Menata Industri Jasa Keuangan Untuk Pembangunan Ekonomi”. Bening Institute, Jakarta 23 April 2013.
______________. “Fungsi dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Industri Jasa Keuangan”. Sosialisasi Kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Peralihan Fungsi Pengawasan Industri Keuangan, Medan 29 November 2013.
Pakpahan, Rudy Hendra. 2012. “Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa Keuangan Di Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.
Palayukan, Tandi Pada. 2013. “Analisis Terhadap Larangan Praktik Insider Trading Di Pasar Modal”. USU Law Journal, Volume II-No. 2, November 2013.
Putra, I.B. Priyanta, Ni Ketut Supasti Darmawan dan I ketut Westra, “Insider Trading Dalam Kegiatan Pasar Modal Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995”, Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali.
Rahardjo, Satjipto. “Keadilan, Hukum dan Masyarakat”, Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, Nomor 1, Jakarta, Tahun 1988.
Sitompul, Zulkarnain. 2012. “Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.
Sri Rahyani, Wiwin. 2012. “Indepensi Otoritas Jasa Keuangan Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal Legislasi indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.
Standar Penilaian dan Kode Etik Profesi, Gabungan Perusahaan Penilai Indonesia (GAPPI).
Tim Panitia antar Departemen Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta, 2010.
Usman, Marzuki. 1989. “Pasar Modal Sebagai Piranti untuk Mengalokasi Sumber Daya Ekonomi Secara Optimal”. Jurnal Keuangan dan Moneter, Volume 1, Nomor 1, Juli 1989.
Wiriadinata,Wahyu. 2012. “Masalah Penyidik Dalam Tindak Pidana Jasa Keuangan Di Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.
D. Skripsi, Tesis, dan Disertasi
Alkamra, “Perlindungan Hukum Bagi Investor Dalam Perdagangan Saham Setelah Listing di Pasar Modal”, (Tesis : Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2011).
Feraldi, Fikri, “Akibat Hukum Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Fungsi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral”, (Skripsi : Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 2012).
Frandoni, Andri, “Penegakan Hukum Terhadap Praktek Perdagangan Orang Dalam (Insider Trading) Oleh Badan Pengawasn Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), Studi : Badan Pengawas Pasar Modal dan lembaga Keuangan”, (Skripsi: Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2011).
Dengan undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan Pengaruhnya Terhadap Kontrak Kerjasama BPMigas dengan PT.Pertamina EP”, (Tesis: Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum USU, 2010).
Nalole, Masri, “Kedudukan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Dalam Mengatasi Praktik Insider Trading Di Pasar Modal Indonesia”, (Tesis: Fakultas Hukum, Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan, Universitas Hasanuddin).
Sigalingging, Bisdan, “Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia”, (Tesis: Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum USU, 2013).
Tumanggor, M.S., “Kajian Hukum Atas Insider Trading Di Pasar Modal Suatu Antisipasi Terhadap Pengembangan Ekonomi Indonesia (Suatu Telaah Singkat)”, (Disertasi: Universitas Padjajaran, 2005).
E. Website
14 Februari 2014).
tanggal 12 Februari 2014).
(Diakses tanggal 12 Februari 2014).
(Diakses tanggal 12 Februari 2014).
(Diakses tanggal 28 januari 2014).
(Diakses tanggal 14 Februari 2014).
tanggal 26 januari 2014).
(Diakses tanggal 27 januari 2014).
tanggal 7 Februari 2014).
BAB III
URGENSI UPAYA HARMONISASI UNDANG-UNDANG PASAR MODAL NO. 8 TAHUN 1995 TERHADAP UNDANG-UNDANG OJK NO. 21
TAHUN 2011 DALAM PENGAWASAN PERUSAHAAN PUBLIK
A. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Lembaga Baru dalam Pengawasan Sektor Jasa Keuangan
Secara teoritis, terdapat dua aliran (school of thought) dalam hal
pengawasan sektor jasa keuangan. Di satu pihak terdapat aliran yang mengatakan
bahwa pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan sebaiknya dilakukan oleh institusi tunggal. Di pihak lain ada
aliran yang berpendapat pengawasan sektor jasa keuangan lebih tepat apabila
dilakukan oleh beberapa institusi.192
Sementara itu, di Indonesia pada awalnya menerapkan sistem pengawasan
terhadap sektor jasa keuangan dilakukan oleh beberapa institusi, berubah menjadi
sistem pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan oleh satu institusi setelah lahirnya UUOJK yang berlaku
tanggal 22 November 2011. Dengan itu pengawasan keseluruhan sektor jasa
keuangan di Indonesia dilakukan oleh institusi tunggal OJK. Pasal 5 UUOJK
menentukan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan.193
Sistem pengawasan jasa keuangan secara terintegrasi pada awalnya
dimulai di Skandinavia pada pertengahan tahun 1980-an. Inggris dan Jepang
192
Bismar Nasution, “Struktur Regulasi Independen Otoritas Jasa Keuangan”, Seminar tentang Eksistensi dan Tantangan OJK Dalam Menata Industri Jasa Keuangan Untuk Pembangunan Ekonomi”, Bening Institute, Jakarta 23 April 2013, hlm. 1.
193
kemudian menerapkan sistem pengawasan terintegrasi pada tahun 1998 dengan
mendirikan United Kingdom Financial Services Authority dan Japan Financial
Services Agency.194
Pembentukan OJK merupakan bentuk atau model “single-regulator
supervision” dimana kontrol atas sektor keuangan diserahkan pada satu otoritas
tunggal dan lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan
kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan
laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat.195
Model pengawasan sektor keuangan yang berlaku di Indonesia selama ini
pada dasarnya lebih condong pada pendekatan institusional (institusional
approach), dimana regulator yang mengawasi suatu institusi didasarkan pada
status badan hukum dari institusi yang diawasi tersebut. Bank diatur dan diawasi
oleh BI, sedangkan perusahaan sektor keuangan nonbank diatur dan diawasi oleh
Bapepam-LK. Kelebihan dari model ini adalah bahwa masing-masing otoritas
menjadi lebih fokus dalam mengatur dan mengawasi industrinya. Namun, model
ini juga memiliki kekurangan, terutama ketika terjadi suatu aktivitas yang saling
bersinggungan.
1. Latar belakang berdirinya OJK dan asas-asas pembentukan OJK
196
194
Zulkarnain Sitompul, “Peralihan Fungsi, Tugas, dan Wewenang Pengawasan Bank Dari Bank Indonesia Ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Op.cit., hlm. 2.
195
Wisnu Indaryanto, “ Pembentukan dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan “, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 333.
196
Hasbi Hasan, “Efektivitas Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Lembaga Perbankan Syariah”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 381.
Aktivitas yang bersinggungan maksudnya adalah telah terjadi
konvergensi pada industri keuangan. Konvergensi yang dalam akan menyebabkan
munculnya masalah kewenangan regulasi. Sebagai contoh yaitu adanya produk
perbankan, asuransi atau pasar modal. Di Indonesia, produk-produk tersebut
masih merupakan produk asuransi atau pasar modal murni sehingga dalam hal ini
bank hanya berfungsi sebagai penjual (agent) dan mendapatkan komisi (fee) dari
jasanya tersebut. Ambil contoh produk hybrid yang baru dikenal di Indonesia
yaitu bancassurance Di Indonesia produk ini masih murni produk perusahaan
asuransi yang ditawarkan atau dijual melalui jalur distribusi (distribution channel)
perbankan. Hal ini sesuai dengan undang-undang perbankan yang melarang bank
melakukan kegiatan asuransi. Keuntungan bank menjual produk hybrid tersebut
adalah selain menerima komisi juga sekaligus dapat memperbesar customer base
dan menjaga loyalitas nasabah.197
Maka hal tersebut menunjukkan produk-produk yang dihasilkan
lembaga-lembaga keuangan sudah sedemikian menyatunya sehinga sulit menentukan
apakah suatu produk keuangan tertentu dihasilkan oleh industri perbankan
sehingga diregulasi oleh bank sentral atau produk perusahaan sekuritas dan harus
tunduk pada regulasi Bapepam. Oleh karena itu, dengan diserahkannya
kewenangan pengawasan kepada satu institusi maka masalah kewenangan
regulasi tersebut akan terpecahkan.198
Adapun hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya OJK yaitu199
197
Zulkarnain Sitompul “Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pilars No.02/Th.VII/12-18 Januari 2004, hlm. 2-3.
198
Ibid., hlm. 2.
199
Rudy Hendra Pakpahan, Op.cit., hlm. 416.
: Terjadinya
proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang
teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan
yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik
memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi)
telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan
di dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa
keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan
konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.
Ditinjau secara yuridis disamping hal-hal disebut diatas, latar belakang
berdirinya OJK adalah berdasarkan amanat Pasal 34 UUBI. Adapun keseluruhan
Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:
(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.200
Dalam pembentukan OJK yang mandiri/independen dilakukan
berlandaskan asas-asas, yaitu
Berdasarkan hal tersebut diatas maka dibentuklah lembaga baru dalam
pengawasan sektor jasa keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan.
201
a. Independesi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku; :
b. Kepastian hukum, yakni azas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;
200
Khopiatuziadah, “Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor Perbankan: Perspektif Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 427.
201
c. Kepentingan umum, yakni azas yang membela dan melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan
kesejahteraan umum;
d. Keterbukaan, yakni azas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan,
serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan;
e. Profesionalitas, yakni azas yang mengutamakan keahlian dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan
tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
f. Integritas, yakni azas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral
dalam setiap tindakan dan keputusan yanng diambil dalam
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan
g. Akuntabilitas, yakni azas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa
Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
2. Tujuan, Tugas, Fungsi, dan Wewenang OJK
Mengikuti trend yang serupa di berbagai negara, OJK dibentuk dan
dilandasi oleh prinsip-prinsip tata kelola (governance) yang baik. Pasal 4 UUOJK
menentukan, bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di
akuntabel; (b) mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil; dan (c) mampu melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat.202 Dalam mencapai tujuannya, OJK mendukung kepentingan sektor
jasa keuangan nasional dan meningkatkan daya saing nasional serta OJK
diharapkan dapat menjaga kepentingan nasional.203
Pasal 5 UUOJK menentukan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan
sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan
kegiatan di sektor jasa keuangan.
Lembaga Otoritas Jasa Keungan (OJK) didirikan dengan tugas untuk
mengawasi lembaga keuangan baik bank maupun non bank. Pengaturan mengenai
tugas OJK diatur dalam Pasal 6 UUOJK. Dalam pasal tersebut menyebutkan
bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
204
202
Bismar Nasution, “Fungsi dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Industri Jasa Keuangan”, Sosialisasi Kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Peralihan Fungsi Pengawasan Industri Keuangan, Medan 29 November 2013, hlm. 3.
203
Direktur Penetapan Sanksi dan Keberatan Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan, “Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengawasan, Pengenaan Sanksi, dan Penanganan Keberatan di Industri Pasar Modal Indonesia”, Disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 21 September 2013, hlm. 7.
204
Bismar Nasution, “Fungsi dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Industri Jasa Keuangan”, Op.cit., hlm. 4.
Untuk melaksanakan fungsi OJK dalam pengaturan dan pengawasan
tersebut, ketentuan Pasal 7 UUOJK menyatakan, bahwa untuk melaksanakan
tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud
a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1) perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,
rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
2) kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1) likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2) laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3) sistem informasi debitur;
4) pengujian kredit (credit testing); dan 5) standar akuntansi bank;
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1) manajemen risiko;
2) tata kelola bank;
3) prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4) pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan d. Pemeriksaan bank.
Didalam Pasal 8 UUOJK menyebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
1) menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
2) menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; 3) menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
4) menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; 5) menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
6) menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
7) menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
8) menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
9) menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Dalam Pasal 9 UUOJK menyebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
e. Melakukan penunjukan pengelola statuter; f. Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h. Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan Usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran, dan penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
B. Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Lembaga Keuangan
Terbentuknya Lembaga OJK merupakan sebuah solusi yang terbaik bagi
kebaikan sistem keuangan dengan mengedepankan efektivitas dan efiensi dalam
melakukan pengawasan lembaga keuangan di Indonesia. Selama ini, pengawasan
lembaga keuangan dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda yaitu Bank
Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan melalui Badan Pengawas Pasar Modal
(Bapepam). Namun pada prakteknya BI dan Bapepam dalam melakukan
pengawasan tersebut belum optimal.205
Untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara terintegrasi,
langkah-langkah persiapan dan periode transisi telah ditetapkan sehingga pada 1 Januari
2014 OJK telah siap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga
pengawas jasa keuangan secara terintegrasi. Proses transisi pengawasan industri
jasa keuangan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, kegiatan jasa keuangan
di sektor pasar modal dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana
pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya (disingkat
lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang dilakukan oleh Bapepam-LK
205
dialihkan pada akhir tahun 2012. Tahap kedua, pengawasan bank dialihkan dari
Bank Indonesia kepada OJK pada akhir tahun 2013.206
Perlunya suatu lembaga pengawasan yang mampu berfungsi sebagai
pengawas yang mempunyai otoritas terhadap seluruh lembaga keuangan, dimana
lembaga pengawas tersebut bertanggung jawab terhadap kegiatan usaha yang
dilakukan oleh bank maupun lembaga keuangan non bank.207
Sebagai lembaga negara independen yang baru di Indonesia, OJK
diharapkan dapat melaksanakan salah satu tugas Bank Indonesia dalam
melakukan pengawasan sektor perbankan di negara kita. Berdirinya lembaga
independen baru ini sebenarnya sudah lama diamanatkan oleh UUBI, yaitu paling
lambat tanggal 31 Desember 2002 dan kemudian menjadi paling lambat tanggal
31 Desember 2010. Tugas pengawasan bank merupakan tugas yang penting
khususnya dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan pada
akhirnya dapat mendorong efektivitas kebijakan moneter.
sehingga apabila
misalnya terjadi suatu bank gagal karena kegiatannya di pasar modal maka tidak
akan ada lagi saling melempar tanggung jawab terhadap pengawasannya. Maka
dengan dibentuknya OJK akan memberi akibat hukum bagi masing-masing
lembaga keuangan.
1. Akibat hukum pembentukan OJK terhadap pengawasan perbankan
208
206
Zulkarnain Sitompul, Op.cit., hlm.345.
207
Fikri Feraldi, “Akibat Hukum Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Fungsi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral”, (Skripsi, Ilmu Hukum, Universitas Padjajaran, 2012), diunduh dari
208
Dalam melakukan tugasnya lembaga ini melakukan koordinasi dan
kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam
UUOJK. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank
Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data
makro yang diperlukan.209
Selanjutnya, dalam Pasal 39 UUOJK terkait koordinasi dan kerjasama
dalam menjalankan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan BI dalam membuat
peraturan pengawasan di bidang perbankan meliputi: kewajiban pemenuhan
modal minimum bank, sistem informasi perbankan yang terpadu, kebijakan
penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing dan pinjaman
komersial luar negeri, produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank
lainnya dan penentuan institusi bank yang masuk kategori Systemically important
bank serta data lain yang dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan informasi.
210
Beralihnya fungsi pengawasan perbankan ini kepada OJK sejak tanggal 31
Desember 2013 juga mengakibatkan pejabat dan /atau pegawai Bank Indonesia
yang melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan di
sektor perbankan dialihkan untuk dipekerjakan pada OJK. Adapun pejabat
dan/atau pegawai yang berasal dari Bank Indonesia ini wajib bekerja di OJK
untuk jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun.211
Pejabat dan/atau pegawai BI wajib menetapkan pilihan status sebagai
pejabat dan/atau pegawai OJK atau tetap sebagai pejabat dan/atau pegawai BI,
209
Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
210
Rudy Hendra Pakpahan, Op.cit., hlm. 419.
211
paling lama 2 (dua) tahun sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UUOJK. Sejak beralihnya fungsi, tugas,
dan wewenang pengawasan kepada OJK, kekayaan dan dokumen yang dimiliki
dan/atau digunakan Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan dapat digunakan oleh
OJK.212
Kemudian dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UUOJK disebutkan bahwa BI
dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank dengan menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis terlebih dahuli kepada OJK, tetapi dalam
pemeriksaan tersebut BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat
kesehatan bank. Laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh BI tersebut
disampaikan kepada OJK, kemudian OJK menginformasikan kepada Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya
penyehatan oleh OJK. Apabila bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas
dan/atau kondisi kesehatannya semakin memburuk, OJK segera
menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuai kewenangan
BI sebagai bank sentral.213
Akibat hukum setelah dibentuknya Lembaga OJK mengakibatkan peranan
BI dalam menjalankan tugasnya hanya sebatas fungsi independen sebagai bank
sentral selaku otoritas moneter dan sistem pembayaran. OJK diberi tugas dalam
hal mikro (micro-prudential supervision) yakni mengawasi bank-bank yang ada di
Indoensia. Sementara Bank Indonesia sendiri akan lebih bertanggung jawab dalam
menangani masalah yang lebih makro ( macro-prudential supervision) misalnya
212
Ibid., hlm. 346-347.
213
terkait dengan kebijakan moneter dan penanganan di saat krisis. BI tetap
berwenang mengatur dan mengawasi seluruh aspek perbankan dalam rangka
perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter dan sistem pembayaran.214 Dalam
pelaksanaannya, BI melakukan kebijakan moneter melalui penetapan uang
beredar atau suku bunga, dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang
ditetapkan oleh pemerintah menggunakan instrumen-instrumen, antara lain
operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan
tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau
pembiayaan. Selain itu, BI juga menciptakan efisiensi sistem pembayaran,
kesetaraan akses dan perlindungan konsumen. OJK dan BI akan bekerjasama
dalam pengawasan bank terkait penentuan institusi bank yang masuk kategori
systemically important bank. Dibantu oleh LPS.215
Otoritas Jasa Keuangan merupakan hasil dari suatu proses penataan
kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan
fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan. Lembaga ini
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur
tangan pihak lain.
2. Akibat hukum pembentukan OJK terhadap pengawasan pasar modal,
perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa
keuangan lainnya
216
214
Anwar Nasution, “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda Kedepan”, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Masalah-Masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 2003.
215
Rudy Hendra Pakpahan, Op.cit., hlm. 120.
216
Wiwin Sri Rahyani, “Indepensi Otoritas Jasa Keuangan Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal Legislasi indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 361.
akibat hukum terhadap kewenangan Bapepam. Dimana sebelum terbentuknya
OJK, pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Non Bank berada pada
Bapepam-LK. Setelah berlakunya UUOJK maka beralihlah fungsi pengawasan dan
pengaturan tersebut yang dulunya berada pada Bapepam-LK kini menjadi tugas
dan tanggung jawab dari Lembaga OJK.
Beralihnya fungsi pengawasan pasar modal dan Lembaga Keuangan
Bukan Bank (LKBB) ini kepada OJK juga mengakibatkan pejabat dan /atau
pegawai Badan Pengawas Pasar Modal yang melaksanakan fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor pasar modal dan LKBB
dialihkan untuk dipekerjakan pada OJK. Adapun pejabat dan/atau pegawai yang
berasal dari Bapepam dan Lembaga Keuangan ini wajib bekerja di OJK untuk
jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun.217
Pejabat dan/atau pegawai Kementerian Keuangan wajib menetapkan
pilihan status sebagai pejabat dan/atau pegawai OJK atau tetap sebagai pejabat
dan/atau pegawai Kementerian Keuangan, paling lama 2 (tiga) bulan sejak
beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
UUOJK. Sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengawasan kepada OJK,
kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan kementerian keuangan
dan Bapepam-LK dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan di sektor pasar modal dan LKBB dapat digunakan
oleh OJK.218
Resiko terbesar yang dihadapi oleh OJK pada masa peralihan adalah
kemungkinan hilangnya kompetensi pengawasan yang sangat penting. Oleh
217
Zulkarnain Sitompul, Loc.cit.
218
karena itu, pada masa-masa transisi, penting untuk memastikan bahwa modal
manusia dan pengetahuan kelembagaan yang telah dibina oleh BI dan
Bapepam-LK tidak hilang, tetapi dialihkan ke OJK.219 Periode peralihan ini menjadi lebih
krusial karena dilakukan pada saat perekonomian dunia sedang dilanda krisis yang
dalam sehingga menimbulkan banyak ketidakpastian.220
Harmonisasi dalam peraturan perundang-undangan dapat dibagi atas
harmonisasi vertikal dan harmonisasi horizontal. Harmonisasi vertikal peraturan
perundang-undangan mempunyai peranan penting, selain berfungsi membentuk
peraturan perundang-undangan yang saling terkait dan tergantung berdasarkan
hirarki peraturan perundang-undangan serta membentuk suatu kebulatan yang
utuh. Harmonisasi vertikal berfungsi sebagai tindakan preventif guna mencegah
terjadinya Judicial Review suatu peraturan perundang-undangan karena jika hal
ini terjadi akan timbul beberapa kerugian, baik dari segi biaya, waktu maupun
tenaga.
C. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam Perspektif Ilmu Hukum
221
Harmonisasi horizontal adalah Penyusunan peraturan perundang-undangan
yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang sama atau sederajat,
berawal dari azas lex posterior delogat legi priori yang artinya suatu peratuan
perundang-undangan yang baru mengesampingkan/mengalahkan peraturan
219
PS Srinivas, “Daya Tahan Sektor Keuangan”, Harian Kompas, 14 Agustus 2012, hlm.7.
220
Zulkarnain Sitompul, Loc.cit.
221
perundang-undangan yang lama dan azas lex specialist delogat legi generalis
yang berarti suatu perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan
peraturan yang bersifat umum.222
Harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan keserasian antara
peraturan perundang-undangan antara yang satu dengan yang lainnya, baik yang
berbentuk vertikal (hierarki perundang-undangan) ataupun horizontal
(perundang-undangan yang sederajat). Keserasian tersebut, yakni tidak ada pertentangan
antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi peraturan yang satu
dengan yang lainnya saling memperkuat ataupun mempertegas dan memperjelas
(PP Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden).
1. Definisi harmonisasi peraturan perundang-undangan
223
Istilah harmonisasi secara etimologi berasal dari kata dasar harmoni, yaitu
menunjuk pada proses yang bermula dari suatu upaya untuk menuju atau
merealisasikan sistem harmoni. Istilah harmoni juga diartikan, keselarasan,
kecocokan, keserasian, keseimbangan yang menyenangkan.224 Dalam “the
contemporary English-Indonesia Dictionery” kata harmoni diartikan sebagai
selaras, serasi, dan harmonis. Dengan kata lain bisa diartikan sebagai keselarasan,
persesuaian, “harmoni” menjadikan serasi atau menyerasikan.225
222
Ibid.
223
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH),” Pentingnya Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan”, diunduh dari http://jdih.den.go.id/17/pentingnya-harmonisasi-peraturan-perundangundangan, (diakses pada tanggal 12 Februari 2014).
224
M. Dahlan Al Barry, Kamus Indonesia modern Bahasa Indonesia, (Yogyakarta : Arkola, 1995), hlm. 185.
225
Selanjutnya L.M Gandhi menarik unsur-unsur dari harmonisasi, yaitu
adanya hal yang bertentangan secara proporsional agar membentuk satu
keseluruhan yang menarik, sebagai bagian dari satu sistem itu, atau masyarakat
dan terciptanya suasana persahabatan dan damai.226
Makna dari harmonisasi adalah baik yang artinya sebagai upaya maupun
dalam arti sebagai proses, diartikan sebagai upaya atau proses yang hendak
mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal yang bertentangan dan kejanggalan.
Upaya atau proses untuk merealisasikan keselarasan, kesesuaian, kecocokan dan
keseimbangan antara berbagai faktor yang sedemikian rupa hingga faktor-faktor
tersebut menghasilkan kesatuan atau membentuk satu keseluruhan yang luhur
sebagai bagian dari suatu sistem.
227
Menurut L.M. Gandhi, dalam harmonisasi hukum menuju hukum
responsif:
228
Bertitik tolak dari perumusan diatas, harmonisasi hukum merupakan suatu
upaya atau proses melakukan pembatasan-pembatasan perbedaan yang berkenaan
dengan adanya kejanggalan dan bertentangan dengan hukum.
Harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan azas-azas hukum dengan tujuan meningkatkan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum tanpa mengamburkan dan mengorbankan pluralisme hukum.
229
226
L.M. Gandhi, ”Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, dalam Mohammad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia Umum, Yogyakarta : Kanisius, 1980, hlm. 28.
227
Ahmad Jabbar, “Harmonisasi Pengaturan Badan Pelaksana Migas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Dengan undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan Pengaruhnya Terhadap Kontrak Kerjasama BPMigas dengan PT.Pertamina EP”, (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana, USU, 2010), hlm. 67.
228
L.M. Gandhi, Op.cit., hlm. 30.
229
2. Pengaturan mengenai harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam
ketentuan hukum Indonesia
Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan
peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan,
persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan, dan penyebarluasan. Di antara rangkaian proses di atas ada proses
yang tidak disebutkan secara tegas tetapi mempunyai peran yang sangat penting,
yaitu proses pengharmonisasian. Dengan demikian, pengharmonisasian
merupakan salah satu dari rangkaian proses pembentukan peraturan
perundang-undangan. Proses pengharmonisasian dimaksudkan agar tidak terjadi atau
mengurangi tumpang tindih peraturan perundang-undangan.230
Rudolf Stammler mengemukakan bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah
harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan
individu dan individu dengan masyarakat.
231
Prinsip-prinsip hukum yang adil
mencakup harmonisasi antara maksud dan tujuan serta kepentingan perseorangan,
dan maksud dan tujuan serta kepentingan perseorangan, dan maksud dan tujuan
serta kepentingan umum.232
Kebijakan mengenai harmonisasi peraturan perundang-undangan
sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor
15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan
Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, namun pengaturannya tidak
230
Turiman Fachturahman Nur, “Masalah Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, diunduh dari
231
Komunitas Wajo Peduli, “Harmonisasi Undang-Undang”, (Jumat, 13 Juli 2012), Kawali News, Diunduh dari
232
secara tegas dan rinci. Pengaturan lebih tegas terkait harmonisasi kemudian diatur
berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang, yang merupakan pengganti Inpres Nomor 15/1970
tersebut.233
Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun
1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.234 Hal ini sejalan dengan Pasal
22A UUD 1945.235
Di Indonesia konteks harmonisasi hukum, dapat diketahui juga dalam
pasal 21 dan Pasal 22 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 68 Tahun 2005
tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden,
Oleh karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam
tataran praktik empirikal masih banyak mengandung kelemahan, maka DPR
bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali dan melakukan
penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai pengganti Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004.
236
yang isi pasal tersebut adalah:
233
Ignatius Mulyono, “Kebijakan Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Peraturan Perundang-undangan, Khususnya Pengharmonisasian RUU Di DPR Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011”, (Jakarta : Makalah disampaikan dalam acara Forum Koordinasi Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, 04 November 2011).
234
Ibid.
235
Pasal 22A UUD 1945 mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
236
Pasal 21
(1) Dalam rangka penyusunan konsepsi Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemrakarsa wajib mengkonsultasikan konsepsi tersebut kepada Menteri.
(2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang.
Pasal 22
(1) Untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) menteri mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya.
(2) Apabila dipandang perlu, koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula melibatkan perguruan tinggi dan/atau organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5).
Sasaran program pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yangs sesuai dengan
aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan.237
Kehidupan bernegara dan bermasyarakat mengenal aturan atau norma
tertentu yang sejiwa dengan asas dan nilai yang menjadi sumber norma itu yang
berkembang menjadi sistem hukum meliputi hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis. Sistem hukum nasional menganut azas, nilai yang bersumber pada
pandangan hidup bangsa dan merasakan sebagai sistem hukum yang selaras dan Dalam ketentuan Pasal 48
ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyebutkan bahwa :
“Usul Rancangan Undang-Undang sebagaiman dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang”
237
serasi dengan perasaan keadilan dan cita hukum, serta selaras dan serasi dengan
anggapan dan pandangan masyarakat tentang keadilan.238
Dalam rangka menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan
terintegrasi, penting dilakukan harmonisasi hukum dengan maksud melakukan
penataan dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum nasional, dengan
meletakkan pola pikir yang melandasi penyusunan kerangka sistem hukum
nasional yang dijiwai Pancasila dan UUD 1945. Dalam perspektif demikian,
harmonisasi hukum dimaksud, koheren dengan sasaran program pembentukan
peraturan undangan, yaitu terciptanya harmonisasi
perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan
pembangunan.239
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan memiliki pengaruh yang
besar bagi penegakan hukum. Tujuan dari pengharmonisasian peraturan Bidang hukum sebagai landasan dalam menghadapi peningkatan
pengawasan perusahaan publik pada pasar modal, seperti halnya dalam
peraturan-peraturan yang dapat meningkatkan efektivitas pasar modal sebagai alat
pembangunan ekonomi nasional. Maka dapat ditempuh langkah-langkah
harmonisasi hukum untuk mewujudkan pelaksanaan pengawasan di pasar modal
yang lebih maksimal dan memberi dampak yang besar untuk pertumbuhan pasar
modal Indonesia.
3. Tujuan dan manfaat harmonisasi peraturan perundang-undangan bagi
penegakan hukum
238
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, (Bandung : Nuansa, 20009), hlm. 223.
239
perundang-undangan adalah sebagai upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan,
memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu peraturan perundang-undangan
atau rancangan peraturan undangan dengan peraturan
perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun yang lebih rendah,
sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih
(overlaping).240
Dengan kata lain, harmonisasi dalam pembentukan undang-undang
bertujuan untuk mengharmoniskan aturan yang terdapat di dalam materi muatan
undang-undang. Apabila terjadi tumpang tindih antara materi undang-undang
yang satu dengan yang lainnya, maka akan terjadi kekacauan dalam penegakan
hukumnya (law enforcement). Selain itu, terjadi “dualisme” hukum, yang akan
mengacaukan prosedur penegakan hukum itu sendiri.241
Manfaat lain dari pengharmonisasian peraturan perundang-undangan
adalah dapat mencegah terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan Harmonisasi dalam pembentukan undang-undang mempunyai manfaat
yang sangat penting. Agar dalam pemberlakuannya nanti tidak terjadi tumpang
tindih (overlap) kewenangan antara undang yang satu dengan
undang-undang lainnya dan peraturan perundang-undang-undang-undangan juga tidak saling
bertentangan. Sehingga tidak akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan
ambiguitas dalam penerapannya.
240
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, diunduh dari (diakses pada tanggal 12 Februari 2014).
241 “Pentingnya Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan “ (13 Agustus 2010),
adhonknow’s blog, d
undang-undang tersebut, peraturan perundang-undangan dapat terlaksana secara
efektif dan efisien, dan hukum dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku
kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai
sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur.
Peraturan perundang-undangan yang baik merupakan pondasi Negara
Hukum yang akan menjamin hak-hak warga negara, membatasi kekuasaan
penguasa, menjamin kepastian dan keadilan hukum untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.242
Berdasarkan teori tujuan, pada prinsipnya hukum dibentuk bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban (order) dan ketertiban merupakan syarat mendasar dan Melalui harmonisasi peraturan
perundang-undangan akan membantu dalam pelaksanaan dan/atau mewujudkan
hal-hal tersebut.
D. Kepastian Hukum Melalui Harmonisasi Undang-Undang Pasar Modal Terhadap Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
1. Terciptanya tujuan hukum dalam pengawasan pasar modal melalui
harmonisasi Undang-Undang Pasar Modal terhadap Undang-Undang
Otoritas Jasa Keuangan
Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan perubahan
sosial, hukum memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,
damai, adil yang ditunjang dengan kepastian hukum sehingga kepentingan
individu dan masyarakat dapat terlindungi yang pada akhirnya akan memberi
kemanfaatan bagi masyarakat.
242
benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat manusia yang nyata dan
objektif.243 Namun keadilan bukan satu-satunya tujuan hukum melainkan juga
bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare state).244
Sementara itu ada juga aliran utilistis, yakni yang menganggap tujuan
hukum adalah semata-mata untuk mewujudkan kemanfaatan dan kebahagiaan
yang sebesar-besarnya bagi mayoritas umat manusia.245 Teori Utilitiarisme
berpandangan bahwa kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya
tujuan kesejahteraan bersama. Perbuatan yang baik diukur dari hasil yang
bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka tidak pantas disebut baik.246
Terdapat juga aliran yuridis dogmatik yang menganggap bahwa tujuan
hukum adalah semata-mata hanya untuk mewujudkan kepastian hukum. Aliran ini
menganggap bahwa hukum yang telah tertuang dalam rumusan peraturan
perundang-undangan adalah sesuatu yang memiliki kepastian untuk diwujudkan.
Kepastian hukum adalah hal yang mutlak bagi setiap aturan dan karena itu
kepastian hukum itu sendiri merupakan tujuan hukum.247
Tujuan hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch dengan asas
prioritasnya, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Hukum berfungsi
untuk mencapai tujuan hukum demi tercapainya kesejahteraan, kedamaian,
ketertiban dan keamanan dalam suatu negara.248
243
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Bandung : Bina Cipta, Tanpa Tahun), hlm. 2-3.
244
Mochtar Kusumaatmadja, Loc.cit
245
Fazar Fuzhu, ‘pengertian Tujuan Hukum Yang Ada Di Indonesia”, (12 Maret 2013), Diunduh dari (diakses pada tanggal 12 Februari 2014).
246
K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), hlm. 67.
247
Fazar Fuzhu, Loc.cit.
248
Ketiga tujuan hukum tersebut masing-masing ditempatkan ke dalam ajaran
hukum sebagai pandangan legalisme yang menitikberatkan pada keadilan,
pandangan fungsional yang menitikberatkan pada kemanfaatan dan pandangan
yang kritis yang menitikberatkan pada kepastian hukum.249
Secara umum dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum yaitu untuk
mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Dimana keadilan
menurut Plato250 adalah nilai kebijakan yang paling tertinggi. Keadilan menurut
H.L.A. Hart adalah nilai kebajikan yang paling legal atau atribut pribadi (habitus
animi).251
Maka keadilan yang dikemukakan tersebut pada prinsipnya bertujuan
sama bergantung pada sudut pandang masing-masing. Namun menjadi persoalan
adalah ketika terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam
kehidupan, maka sektor hukum jugalah yang berperan untuk menemukan dan
mengembalikan keadilan yang telah hilang (the lost justice) inilah yang disebut
Aristoteles sebagai keadilan korektif.
252
Hukum memegang peranan serta
kedudukan yang tidak kecil dalam proses pelayanan keadilan terhadap
masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena tumbuhnya negara sebagai organisasi
sosial yang semakin kuat dengan alat perlengkapannya yang semakin tersusun
rapi dan lengkap pula. Dengan demikian, hukum akan lebih mampu untuk
menjadi sarana penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat yang efisien.253
249
Bisdan Sigalingging, “Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia”, (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana, USU, 2013), hlm. 20.
250
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 92.
251
Ibid. 252
Ibid.
253
Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai segala bentuk norma maupun
tindakan yang bertujuan memberikan kondisi aman, nyaman dan kepastian hukum
bagi subyek hukum baik orang perorangan maupun badan hukum. Dengan adanya
perlindungan hukum diharapkan dapat menghidarkan terjadinya persengketaan,
seandainyapun terjadi sengketa, sudah terdapat norma hukum untuk
penyelesaiannya.254
Tujuan dari perlindungan hukum adalah untuk mencapai suatu keadilan,
sebab fungsi hukum tidak hanya dalam upaya mewujudkan kepastian hukum,
tetapi juga agar tercapainya jaminan dan keseimbangan yang sifatnya tidak
sekedar adaptif dan fleksibel, akan tetapi berfungsi juga untuk menciptakan
keseimbangan antara kepentingan pengusaha dengan konsumen, penguasa/
pemerintah dengan rakyat. Bahkan hukum sangat dibutuhkan untuk melindungi
mereka yang lemah atau belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk
memperoleh keadilan sosial.255
Harmonisasi UUPM terhadap UUOJK diharapkan dapat melindungi
kepentingan pemodal publik agar mempunyai hak-hak yang seimbang dengan Harmonisasi peraturan perundang-undangan akan sangat membantu dalam
mewujudkan keadilan dalam penegakan hukum. Sebagaimana melalui
harmonisasi UUPM terhadap UUOJK akan diselaraskan dan disesuaikan konsepsi
peraturan yang terdapat di dalam UUPM terhadap UUOJK. Penyelarasan dan
penyesuaian ini pada akhirnya akan memberi pengaruh yang besar dalam
menciptakan keadilan.
254
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu,1987, hlm. 1.
255
emiten dan pentingnya konsistensi dalam penegakan hukum yang diatur dalam
ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pasar Modal. Dalam penerapan sanksi juga
akan semakin tegas apabila ditemukan ada pelanggaran dalam pelaksanaan
kegiatan di pasar modal. Sehingga undang-undang akan menjadi pondasi dan
landasan yang kokoh bagi setiap pihak yang memberi rasa keadilan, aman dan
nyaman dalam melaksanakan kegiatan di pasar modal.
Selanjutnya mengenai tujuan hukum untuk memberi kemanfaatan dalam
masyarakat. Asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana
tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu atau
dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri. Sehingga
tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan akan tercapai.256
Kriteria utilitas (kemanfaatan) menurut Jhon Stuart Mill harus mampu
menunjukkan keadaan sejahtera individual yang lebih awet atau resisten sebagai
hasil yang diinginkan yakni kebahagiaan.
Harmonisasi UUPM terhadap UUOJK akan memberikan kebijaksanaan
yang masuk akal untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama. Sesuai dengan
tujuan hukum untuk kemanfaatan, maka melalui harmonisasi peraturan
perundang-undangan ini akan menambah kuantitas keuntungan yang dihasilkan
oleh suatu tindakan dan berkurangnya jumlah kerugian dari tindakan sebelum
adanya upaya pengharmonisasian UUPM terhadap UUOJK ini.
257
256
Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia yang bekerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom Institusi, 2006, hlm. 14.
257
Gunawan Prasetio, Etika Bisnis, (Yogyakarta : Simon & Schuster, 1997), hlm. 190-192.
manfaat yang positif untuk bisnis. Baik bermanfaat untuk pelaku bisnis maupun
kepada masyarakat konsumen.258
Tujuan dari hukum yang selanjutnya adalah kepastian hukum. Pendapat
mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana
dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu
mensyaratkan sebagai berikut :259
Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan
bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian
hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat.
Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang
sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan
antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum. 1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah
diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan
5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
260
Kepastian hukum melalui harmonisasi UUPM terhadap UUOJK yakni
memberi adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan
kontradiktif dan dapat dilaksanakan. Harmonisasi UUPM terhadap UUOJK akan
258
O.P. Simorangkir, Etika : Bisnis, Jabatan, dan Perbankan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), hlm. 55.
259
“Memahami Kepastian (Dalam) Hukum”, (05 Februari 2013), diunduh dari pada tanggal 12 Februari 2014).
260
menciptakan hukum yang berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung
keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan
hukum, serta mampu menjamin hak dan kewajiban setiap pihak dalam pasar
modal. Hal ini akan mendorong minat para investor untuk bergabung bersama
pasar modal Indonesia karena adanya kepastian hukum dalam undang-undang
yang menjadi landasan untuk perlindungan hukum di pasar modal.
2. Akibat yang timbul apabila terjadi disharmonisasi Undang-Undang Pasar
Modal terhadap Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
Disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan:261
Arti penting kepastian hukum dikemukakan Sudikno Mertokusumo
yang menjelaskan bahwa:
a. Terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya
Apabila UUPM disharmoni dengan UUOJK, maka akan
berdampak pada pelaksanaan ketentuan kedua Undang-Undang tersebut.
Bahwa akan muncul berbagai penafsiran di dalam masyarakat
berdasarkan pemikiran sendiri mengenai hal yang diatur tersebut.
Masyarakat cenderung akan menafsirkan ketentuan dalam
Undang-Undang tersebut sesuai dengan kepentingan masing-masing. Hal ini dapat
menyebabkan kekacauan dalam pelaksanaanya dan berdampak buruk bagi
kepentingan masyarakat luas.
b. Timbulnya ketidakpastian hukum
262
“masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum berfungsi menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.
261
A.A.Oka Mahendra, Loc.cit.
262
Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan.”
Disharmoni undang-undang dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum. Padahal salah satu tujuan hukum yang umum dikenal adalah untuk
menciptakan kepastian hukum di dalam pelaksanaanya. Maka disharmoni
dalam UUPM terhadap UUOJK tentunya akan sangat berdampak luas bagi
pelaksanaan pasar modal. Ketidakpastian hukum dalam pasar modal akan
mengakibatkan kerugian yang besar bagi perkembangan pasar modal
Indonesia. Banyak pihak terkhususnya investor yang akan ragu untuk
membeli efek pada pasar modal Indonesia mengingat rentannya
perlindungan hukum yang mereka terima akibat ketidakpastian hukum.
c. Peraturan Perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien
Dampak yang lebih signifikan adalah tidak terlaksananya Peraturan
Perundang-undangan secara efektif dan efisien. Ketidakjelasan akibat
disharmoni undang-undang tersebutlah yang melatarbelakangi masyarakat
enggan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang. Munculnya berbagai
penafsiran dalam pelaksanaannya tentu akan mempersulit pencapaian tujuan
atau sasaran sesungguhnya dari undang-undang.
d. Disfungsi hukum
Artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman
berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa
BAB IV
UPAYA UNTUK MENGHARMONISASIKAN UNDANG-UNDANG PASAR MODAL (UUPM) TERHADAP UNDANG-UNDANG OJK
(UUOJK) DALAM PENGAWASAN PERUSAHAAN PUBLIK
A. Sistematika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
1. Sistematika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
a. Landasan filosofis
Pembangunan nasional bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasar Modal mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional
sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi
bagi masyarakat. Agar Pasar Modal dapat berkembang dibutuhkan adanya
landasan hukum yang kukuh untuk lebih menjamin kepastian hukum
pihak-pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal serta melindungi kepentingan
masyarakat pemodal dari praktik yang merugikan. Berdasarkan pertimbangan
tersebut diatas, dipandang perlu membentuk Undang-Undang tentang Pasar
Modal.
b. Tujuan
Peraturan dalam pelaksanaan pasar modal wajib dipatuhi oleh pelaku
pasar. Maka untuk menjamin semua aturan dipatuhi oleh para pelaku pasar,
hukum memainkan peran yang besar. Peran hukum ini penting bukan hanya
apabila terjadi pelanggaran, tetapi juga dalam pelaksanaan kegiatan
aman bagi investor.263 Kegiatan di pasar modal sangatlah kompleks karena
melibatkan begitu banyak pihak maka sangat dibutuhkan suatu perangkat
hukum yang mengaturnya agar pasar tersebut menjadi teratur, wajar dan adil
bagi semua pihak. Atas dasar itu, lahirlah Hukum Pasar Modal (Capital
Market Law).264
Sebagai landasan hukum yang kokoh, UUPM memiliki tujuan agar pasar
modal dapat lebih berkembang, menjamin kepastian hukum pihak-pihak yang
melakukan kegiatan di pasar modal serta melindungi kepentingan masyarakat
dari praktik yang merugikan.265 Lahirnya UUPM yang diundangkan pada
tanggal 10 November 1995 dengan Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64,
diharapkan pasar modal dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam
pembangunan, sehingga sasaran pembangunan di bidang ekonomi dapat
tercapai.266
Bab VI : tentang Lembaga Penunjang Pasar Modal (Pasal 43-54) c. Sistematika
Bab I : tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-2)
Bab II : tentang Badan Pengawas Pasar Modal (Pasal 3-5)
Bab III : tentang Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Serta
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (Pasal 6-17)
Bab IV : tentang Reksa Dana (Pasal 18-29)
Bab V : tentang Perusahaan Efek, Wakil Perusahaan Efek, dan
Penasihat Investasi (Pasal 30-42)
263
Tavinayati dan Yulia Qamariyanti, Op.cit., hlm.6.
264
Ibid., hlm 7.
265
Ibid., hlm. 7-8.
266