A
spergillus parasiticus
DAN REDUKSI AFLATOKSIN
OLEH KAPANG DAN KHAMIR RAGI TAPE
DYAH SISTA RAHARJANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
PENGHAMBATAN PERTUMBUHAN Aspergillus parasiticus DAN REDUKSI
AFLATOKSIN OLEH KAPANG DAN KHAMIR RAGI TAPE adalah benar
merupakan karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber
data dan informasi telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Bogor, Januari 2006
parasiticus dan reduksi Aflatoksin oleh Kapang dan Khamir Ragi Tape. Dibimbing oleh RATIH DEWANTI-HARIYADI, C.C. NURWITRI dan ENI KUSUMANINGTYAS.
Kontaminasi aflatoksin di Indonesia tergolong cukup tinggi dan sulit dihindari mengingat iklim tropis di Indonesia dengan tingkat kelembaban, curah hujan dan suhu yang tinggi sangat menunjang pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin. Berbagai teknik pengendalian aflatoksin telah banyak dilakukan meliputi pengendalian secara fisik, kimiawi dan biologis, namun pengendalian secara fisik dan kimiawi dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap komposisi zat gizi bahan pangan dan akan meninggalkan residu yang mungkin berbahaya bagi kesehatan. Oleh sebab itu, diupayakan teknik pengendalian secara biologis dengan menggunakan mikroorganisme untuk mengendalikan pertumbuhan Aspergillus
parasiticus dan mencegah biosintesis aflatoksin.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendapatkan isolat kapang dan khamir dari ragi tape yang berpotensi untuk mereduksi aflatoksin dan (2) Mengevaluasi
kemampuan isolat kapang dan khamir dalam menghambat pertumbuhan
A. parasiticus, menghambat biosintesis aflatoksin dan mendegradasi aflatoksin.
Metode penelitian dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan yang meliputi isolasi dan identifikasi kapang dan khamir serta uji kemampuan isolat kapang/khamir dalam mereduksi kandungan aflatoksin. Selanjutnya dipilih satu isolat kapang/khamir yang berpotensi tinggi dalam mereduksi aflatoksin tertinggi untuk digunaka n dalam penelitian utama yang meliputi uji kemampuan isolat kapang/khamir terpilih dalam menghambat pertumbuhan A. parasiticus, biosintesis aflatoksin dan mendegradasi aflatoksin.
Hasil penelitian menunjukkan seluruh sampel ragi tape memiliki keragaman mikroorganisme yang cukup tinggi, di mana Chlamydomucor oryzae
dan Mucor rouxii merupakan kapang yang sering dijumpai sedangkan khamir
yang sering ditemukan adalah Saccharomycopsis sp. Dari semua isolat kapang/khamir yang teridentifikasi memiliki kemampuan yang bervaria si dalam mereduksi aflatoksin. M. rouxii asal Ragi Gedang merupakan kapang yang memiliki kemampuan tertinggi mereduksi aflatoksin sebesar 99,7% sedangkan isolat khamir adalah Saccharomyces sp. asal Ragi NKL yakni sebesar 98,1%.
Isolat kapang dan khamir yang digunakan dalam penelitian utama adalah
M. rouxii dan Saccharomyces sp. Kedua mikroorganisme mampu menghambat
pertumbuhan A. parasiticus, namun aktivitas penghambatan Saccharomyces sp. lebih tinggi dibandingkan M. rouxii.
Baik filtrat M. rouxii maupun Saccharomyces sp. mampu menghambat pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin. Namun filtrat M. rouxii
dan Saccharomyces sp. yang disuplementasi dengan MEB (1:1) ternyata menstimulir pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin. Kapang
M. rouxii mampu mendegradasi aflatoksin lebih baik dibandingkan khamir
Saccharomyces sp. yakni sebesar 76,9 % AFB1; 83,3 % AFB2 ; 77,8 % AFG1;
PENGHAMBATAN PERTUMBUHAN
A
spergillus parasiticus
DAN REDUKSI AFLATOKSIN
OLEH KAPANG DAN KHAMIR RAGI TAPE
DYAH SISTA RAHARJANTI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NIM : F. 225010171
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc K e t u a
Ir. C. C. Nurwitri, DAA Eni Kusumaningtyas, S.Si, M.Sc
Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie,MS Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto,M.Sc
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah, SWT karena berkat rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul : ”Penghambatan Pertumbuhan Aspergillus parasiticus dan Reduksi Aflatoksin oleh Kapang dan Khamir Ragi Tape” .sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana IPB.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Ir. C.C. Nurwitri, DAA dan Ibu Eni Kusumaningtyas, S.Si, M.Sc selaku
anggota komisi pembimbing serta Ibu Dra. Istiana, Ms. (Alm.) yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran selama penelitian hingga penyusunan tesis ini, serta Ibu Dr. Ir. Yulin Lesta ri selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini.
Penulis menyampaikan terima kasih pula kepada Kepala Balai Penelitian Veteriner, Bogor dan Kelti Laboratorium Toksikologi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Lab. Mikologi dan
Toksikologi, staf peneliti (mbak Dra. Romsyah Maryam, M.Sc, Bapak Drh. Djaenuddin Gholib dan Ibu Dr. R. Widiastuti, B.Sc) dan staf teknisi
(Pak Wawan, Bu Ning, Bu Lilis, Pak Usman, Pak Agus, Bu Juariah dan Pak Rahmat) yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman seperjuangan di Lab, mbak Ekawati Purwijantiningsih, ibu Asriani, mbak Rifda, mbak Yusfi, Tri ; serta teman-teman IPN khususnya Pak Gino, Eve, Nanik dan mbak Ani atas bantuan dan kerja samanya; mbak Ariyanti FM atas bantuannya selama di lab. mikro SEAFAST khususnya pengambilan foto mikroskop.
Doa dan ungkapan terima kasih yang tiada terhingga penulis sampaikan untuk kedua orang tua Bapak H. Tanto Rahardjo (Alm) ( Pah .... akhirnya mba Ita
selesai juga ) dan Ibu Hj. Dyah Siswana Setiawati, Eyang Hj. Marwati Oemar
Said serta adik-adikku Nina dan Dito. Kepada suamiku Wiedyanto Andri Kusumo, S.Pi, terima kasih atas segala doa, dukungan, dan pengertiaanya serta ananda Nadhira Widyaniswari atas segala keceriaannya yang selalu menghibur penulis, semoga menjadi anak yang sholehah.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, namun penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, Januari 2006
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 1977 sebagai anak
pertama dari tiga bersaudara dari orang tua Bapak H. Tanto Rahardjo, SH (Alm)
dan Ibu Hj. Dyah Siswana Setiawati. Penulis menikah dengan Wiedyanto Andri
Kusumo, S.Pi pada tanggal 18 Februari 2003 dan telah dikaruniai seorang putri
bernama Nadhira Widyaniswari.
Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN XI Padang, kemudian
melanjutkan pendidikan menengah di SMPN 29 Jakarta dan SMU 70 Jakarta.
Penulis menempuh pendidikan S1 di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi,
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB dan lulus tahun 2000. Pada tahun 2000,
penulis pernah bekerja sebagai Staf Quality Control di PT. PUREFOODS
Suba Indah dan tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa di
Halaman Aspergillus parasiticus dan Aflatoksin ... 6
Dampak Aflatoksin terhadap Kesehatan ... 9
Kontaminasi Aflatoksin pada Produk Pertanian dan Pakan Ternak ... 10
Teknik Pengendalian Aflatoksin ... 13
Ragi Tape ... 16 Isolasi dan Identifikasi Kapang dan Khamir Ragi Tape ... 31
Kemampuan Isolat Kapang dan Khamir dalam Mereduksi Kandungan Aflatoksin ... 36
Kemampuan PenghambatanKapang dan Khamir terhadap Pertumbuhan A. parasiticus ... 38
Pengaruh Filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp. terhadap Pertumbuhan A. parasiticus dan Biosintesis Aflatoksin ... 43
Pengaruh Filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp. yang Disuplementasi MEB (1:1) terhadap Pertumbuhan A. parasiticus dan Biosintesis Aflatoksin ... 47
Kemampuan M. rouxii dan Saccharomyces sp dalam Mendegradasi Aflatoksin ... 52
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 56
Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 58
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Kandungan aflatoksin maksimum yang diizinkan pada
bahan pangan di berbagai negara ... 11
2. Bahan-bahan tambahan pada ragi ... 16
3. Mikroba dalam ragi tape di Indonesia ... 17
4. Hasil isolasi dan identifikasi kapang dan khamir ragi tape ... 31
5. Karakteristik isolat kapang ragi tape ... 32
6. Karakteristik isolat khamir ragi tape ... 34
7. Peranan mikroorganisme dalam ragi tape ... 36
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Foto mikrograf A. parasiticus ... 7
2. Rumus kimia struktur aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 ... 8
3. Ragi Tape ... 20
4. Diagram alir tahap penelitian ... 22
5. Foto mikrograf isolat kapang ... 32
6. Foto mikrograf isolat khamir ... 33
7. Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh M. rouxii ... 39
8. Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh Saccharomyces sp. ... 40
9. Pengaruh M. rouxii dan Saccharomyces sp terhadapmorfologi A. parasiticus setelah inkubasi bersama selama 9 hari ... 41
10. Interaksi Langsung Saccharomyces sp. dengan A. paras iticus ... 43
11. Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap berat kering miselia ... 44
12. Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap berat kering miselia ... 44
13. Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap kadar aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4) G2 dari A. parasiticus ... 45
14. Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 dari A. parasiticus ... 46
15. Pengaruh filtrat M. rouxii yang Disuplementasi MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus ... 47
16. Pengaruh filtrat Saccharomyces sp.yang Disuplementasi MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus ... 48
17. Pengaruh filtrat M. rouxii yang Disuplementasi MEB (1:1) terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 ... 49
18. Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. yang Disuplementasi MEB (1:1) terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 ... 50
19. Degradasi aflatoksin(1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 oleh M. rouxii ... 52
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Formulasi media pertumbuhan kapang ... 67
2. Komposisi medium fermentasi dan asimilasi khamir ... 67
3. Kunci untuk penentuan Genus dari Ordo Mucorales ... 68
4. Kunci untuk penentuan spesies dari Genus Mucor, golongan Racemus ... 69
5. Kunci untuk penentuan spesies dari Genus Rhizopus ... 69
6. Kunci untuk penentuan spesies dari grup Aspergillus ... 70
7. Hasil uji identifikasi khamir yang berasal dari ragi tempe ... 72
8. Hasil Kemampuan Isolat Kapang/Khamir dalam Mereduksi Aflatoksin ... 73
9. Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus (log CFU/ml) oleh Mucor rouxii ... 75
10. Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus (log CFU/ml) oleh Saccharomyces sp. ... 75
11. Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap pertumbuhan A. parasiticus ... 76
12. Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap pertumbuhan A. parasiticus ... 76
13. Pengaruh filtrat M. rouxii dan MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus... 77
14. Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus... 77
15. Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium MEB ... 78
16. Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang berisi filtrat M. rouxii ... 78
17. Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium MEB ... 79
18. Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang berisi filtrat M. rouxii dan MEB (1:1) ... 79
19. Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium MEB ... 80
20. Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang berisi filtrat Saccharomyces sp. ... 80
21. Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium MEB ... 81
22. Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang berisi filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) ... 81
23. Nilai pH dari medium yang ditumbuhi A. parasiticus ... 82
24. Nilai pH dari medium hasil degradasi aflatoksin ... 82
25. Stabilitas kandungan aflatoksin yang diproduksi oleh A. parasiticus ... 83
26. Degradasi aflatoksin oleh M. rouxii ... 83
27. Stabilitas kandungan aflatoksin yang diproduksi oleh A. parasiticus ... 84
Latar Belakang
Aflatoksin adalah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang sering mengkontaminasi
produk pangan maupun pakan. Sampai saat ini masalah kontaminasi aflatoksin
masih menjadi perhatian dunia karena dampaknya tidak hanya kepada kesehatan
manusia atau hewan, akan tetapi dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang
cukup besar.
Kontaminasi aflatoksin di Indonesia te rgolong cukup tinggi dan sulit
dihindari mengingat iklim tropis di Indonesia dengan tingkat kelembaban, curah
hujan dan suhu yang tinggi sangat menunjang pertumbuhan dan
perkembangbiakan kapang penghasil aflatoksin. Beberapa komoditi pertanian
seperti beras, jagung, kacang tanah dan kacang kedelai dilaporkan telah
terkontaminasi aflatoksin. Hasil penelitian Dharmaputra et al. (1991)
menunjukkan bahwa sekitar 80% dari 35 sampel kacang tanah yang diperoleh dari
15 pedagang di tiga pasar di kota Bogor bulan September 1988 mengandung
aflatoksin lebih dari 30 ppb dengan kisaran 0-1154 ppb. Roedjito et al. (1994)
juga melaporkan bahwa hampir seluruh sampel komoditi beras, jagung, kedelai
dan kacang tanah yang berasal dari toko, pasar, warung dan rumah tangga di kota
Semarang dan Bogor memiliki kadar aflatoksin lebih dari 15 ppb.
Kontaminasi aflatoksin pada komoditi pertanian sebenarnya telah terjadi
pada masa prapanen mengingat ada beberapa komoditi yang sudah mengandung
aflatoksin pada saat baru dipanen. Has il survei Dharmaputra et al. (2005a)
mengenai kontaminasi aflatoksin B1 pada kacang tanah di tingkat petani,
pengumpul, dan pedagang pengecer dan pedagang besar (grosir) di daerah Cianjur
sekitar bulan Februari 2004 menunjukkan bahwa kontaminasi aflatoksin B1
tertinggi terjadi di tingkat grosir yaitu sebesar 80% dari sampel, diikuti oleh di
tingkat pedagang pengecer sebesar 75,6%, di tingkat petani sebesar 38,5% dan di
tingkat pengumpul sebesar 30% (kacang tanah utuh) dan 14,3% (kacang tanah
polong). Kandungan aflatoksin pada sampel kacang tanah berkisar antara < 3,6 –
pengecer yang memiliki kandungan aflatoksin tertinggi yaitu masing-masing
sebesar 6065,9 ppb dan 6073 ppb.
Tingkat kontaminasi aflatoksin yang cukup tinggi pada produk pertanian di
Indonesia akan membawa dampak yang besar bagi sistem keamanan pangan dan
kesehatan manusia di Indonesia. Pada tahun 1991, Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta melaporkan bahwa sebanyak 20% kasus kanker
hati tidak berkorelasi dengan infeksi hepatitis B maupun hepatitis C, namun
diduga disebabkan oleh aflatoksin B1 (Noer, 2002). Pitt dan Hocking (1996)
menyebutkan bahwa kadar aflatoksin pada beberapa bahan pangan di negara
tropis telah melampaui batas toleransi bahkan diperkirakan jumlah kematian
karena kanker hati yang disebabkan oleh aflatoksin di Indonesia lebih dari 20000
orang per tahun. Selanjutnya Pitt dan Hocking (1997) mengemukakan bahwa
dari data epidemiologi dari bebe rapa negara Afrika dan Thailand, ada hubungan
antara logaritmik konsumsi aflatoksin dengan kejadian kanker hati.
Kontaminasi aflatoksin juga ditemukan pada bahan pakan dan pakan ternak.
Purwoko et al. (1991) melaporkan bahwa 91% sampel jagung yang berasa l dari
industri pakan ternak di Jakarta dan Bogor mengandung aflatoksin B1 sebesar
22-4074 ppb. Hasil-hasil penelitian lain menyebutkan bahwa 98% ransum itik
terkontaminasi aflatoksin B1 rata-rata sebesar 46±49 ppb (Sutikno et al. 1993)
dan 80% pakan unggas komersial terkontaminasi aflatoksin B1 (Bahri 1998).
Tingkat kontaminasi aflatoksin yang cukup tinggi pada pakan ternak dan bahan
pakan sangat merugikan di bidang peternakan. Hal ini dikarenakan aflatoksin
dapat mempengaruhi kesehatan hewan ternak yaitu menimbulkan aflatoksikosis
sehingga dapat menghambat produksi ternak. Di samping itu, hewan ternak yang
mengkonsumsi pakan terkontaminasi aflatoksin akan meninggalkan residu
aflatoksin pada produk turunannya sehingga bila dikonsumsi oleh manusia , maka
residu aflatoksin akan masuk ke dalam tubuh manusia dan memberikan dampak
negatif bagi kesehatan.
Mengingat kerugian dan bahaya yang ditimbulkan oleh aflatoksin, maka
perlu dilakukan suatu pengendalian yang efektif baik secara fisik, kimia ma upun
biologis untuk mencegah kontaminasi A. parasiticus maupun mereduksi
Upaya pengendalian kontaminasi kapang dan aflatoksin secara fisik di
antaranya perlakuan pemanasan seperti pengukusan selama 125 menit, perebusan
selama 50 menit dan pema nasan bertekanan selama 25 menit dapat menurunkan
kandungan aflatoksin sekitar 30-70% (Novia 1994). Metode pengendalian secara
kimia meliputi penggunaan bahan pengikat natrium kalsium aluminosilikat 0,5%
(terhidrasi) (Kubena et al. 1993), bahan-bahan kimia seperti kombinasi asam
propionat 0,1% dan nisin 1000 ppm (Paster et al. 1999) , dan ekstrak
rempah-rempah seperti ekstrak bawang merah khas Cina (Onion Welsh) 10mg/ml (Fan
dan Chen 1999), minyak cengkeh, kayu manis, oregano dan minyak kembang pala
(Jugla l et al. 2002).
Penggunaan metode fisik dan kimiawi umumnya menggunakan bahan kimia
dan teknologi yang membutuhkan biaya yang tidak murah. Di samping itu,
metode fisik maupun kimiawi dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap
komposisi gizi suatu bahan pangan atau meninggalkan residu senyawa kimia yang
mungkin berbahaya bagi kesehatan manusia. Oleh sebab itu dicari alternatif
teknik pengendalian lain yang diharapkan lebih baik dibandingkan kedua teknik
pengendalian sebelumnya.
Metode alternatif tersebut adalah pengendalian secara biologis di mana
digunakan mikroorganisme untuk berkompetisi melawan pertumbuhan
A. parasiticus sehingga diharapkan dapat mencegah biosintesis aflatoksin.
Aplikasi mikroorganisme untuk pengendalian A. parasiticus dan aflatoksin
diasumsikan tidak membutuhkan biaya yang cukup besar mengingat pertumbuhan
mikroorganisme relatif cepat dengan waktu generasi yang singkat sehingga
mampu diproduksi dalam skala besar dan komersial.
Saccharomyces cerevisiae yang banyak digunakan untuk pembuatan
makanan fermentasi, diketahui memiliki keunggulan dan aktivitas yang tinggi
dalam pengikatan aflatoksin. Selain menambah nutrisi, penggunaan khamir ini
dalam bahan pangan/pakan terbukti dapat menurunkan tingkat kontaminasi
aflatoksin dan mencegah aflatoksikosis. Kultur ragi (YeaSacc 1026) dan Mannan
Oligosakarida (berasal dari dinding sel khamir) dapat mengurangi aflatoksikosis
Pichia anomala WRL-076 dilaporkan memiliki daya hambat paling tinggi
terhadap biosintesis aflatoksin (Hua et al. 1999).
Negara Amerika Serikat telah memiliki produk-produk biokontrol komersial
yang ditujukan untuk mengendalikan patogen pada tanaman khususnya A. flavus.
Produk tersebut adalah ”AF36” yang merupakan biji gandum steril yang
dikolonisasi dengan A. flavus AF36 untuk mengatasi serangan A. flavus penghasil
aflatoksin pada tanaman kapas dan produk ”afla -guard” yakni berupa granula
yang mengandung 0,01% A. flavus NRRL 21882 yang diaplikasikan pada
tanaman kacang tanah (Gardener 2005).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas, perlu dilakukan suatu kajian
tentang potensi produk tradisional Indonesia, dalam hal ini ragi tape yang
mengandung berbagai macam mikroorganisme yang bersifat nontoksigen dan
relatif lebih aman untuk diaplikasikan. Saono (1982) mengemukakan bahwa ragi
tape mengandung berbagai jenis mikroorganisme di antaranya Genus
Amylomyces, Mucor, Rhizopus, Endomycopsis (Saccharomycopsis),
Saccharomyces, Hansenula, Candida, Pediococcus dan Bacillus.
Mikroorganisme pada ragi tape khususnya kapang dan khamir berpeluang
untuk dijadikan biokompetitor bagi kapang A. parasiticus dan mengendalikan
masalah kontaminasi aflatoksin. Penggunaan kapang untuk mengatasi masalah
aflatoksin dapat dilakukan cara menginokulasi kapang pada tanah atau benih
sedangkan khamir dapat diaplikasikan dengan menyemprotkan larutan khamir
atau menyebarkan khamir dalam bentuk bubuk ke gudang penyimpanan komoditi
pertanian. Selain itu, me tabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang dan khamir
juga dapat diaplikasikan untuk mengendalikan masalah aflatoksin.
Perumusan Masalah
a. Kandungan aflatoksin beberapa produk pertanian dan pakan ternak relatif
tinggi
b. Teknik pengendalia n aflatoksin secara fisik maupun kimiawi belum optimal
mereduksi aflatoksin dan dikhawatirkan meninggalkan residu yang berbahaya
dan berpengaruh terhadap komponen gizi bahan pangan
c. Ragi tape Indonesia diketahui mengandung berbagai macam mikroorganisme
nontoksigen yang diharapkan berpotensi sebagai biokompetitor bagi
A. parasiticus dan pereduksi aflatoksin , namun sejauh ini penelitian mengenai
hal tersebut belum pernah dilaporkan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
a. Mendapatkan isolat kapang dan khamir dari ragi tape yang berpotensi untuk
mereduksi kandungan aflatoksin yang dihasilkan oleh A. parasiticus
b. Mengevaluasi kemampuan isolat kapang dan khamir dalam menghambat
pertumbuhan A. parasiticus, menghambat biosintesis aflatoksin dan
mendegradasi aflatoksin
Hipotesis
a. Isolat kapang atau khamir dari ragi tape dapat mereduksi kandungan
aflatoksin
b. Isolat kapang atau khamir dari ragi tape dapat menghambat pertumbuhan
A. parasiticus
c. Isolat kapang atau khamir dari ragi tape dapat menghambat biosintesis
aflatoksin
d. Isolat kapang atau khamir dari ragi tape dapat mendegradasi aflatoksin
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah diperolehnya isolat kapang atau khamir dari ragi
tape yang mampu mengendalikan masalah aflatoksin di bidang pertanian,
Aspergillus parasiticus dan Aflatoksin
Aspergillus tersebar luas di alam dan kebanyakan spesies ini sering
menyebabkan kerusakan makanan, tetapi beberapa spesies bahkan digunakan
dalam fermentasi makanan (Fardiaz 1992). A. flavus dan A. parasiticus dikenal
sebagai kapang Aspergillus yang sangat berbahaya karena tidak hanya merusak
makanan tetapi juga menghasilkan toksin yang sangat berbahaya bagi manusia
dan hewan. Spesies Aspergillus lain yang juga merupakan kapang perusak adalah
A. nomius, namun kapang ini jarang sekali dibicarakan karena umumnya
menyerang pada saat pra-panen pada tanaman jagung dan kapas.
Karakteristik ketiga spesies Aspergillus ini hampir sama, namun yang
membedakan adalah jenis toksin yang diproduksi. A. flavus dapat memproduksi
aflatoksin B1 dan B2 serta asam siklopiazonat dan hanya sebagian isolat alami
yang bersifat toksigenik. Kapang A. parasiticus selain menghasilkan aflatoksin B1
dan B2, juga memproduksi aflatoksin G1 dan G2 namun tidak menghasilkan asam
siklopiazonat dan hampir seluruh isolat bersifat toksigenik. Sedangkan A. nomius,
dari segi morfologi mirip dengan A. flavus, tetapi toksin yang dihasilkan hampir
sama dengan toksin yang dihasilkan A. parasiticus (Bhatnagar et al. 2000).
Di samping itu, A. parasiticus dapat dibedakan dengan A. flavus
berdasarkan karakteristik morfologinya. A. flavus memproduksi konidia dengan
ukuran dan bentuk yang bervariasi, dinding sel konidia tipis dan teksturnya
bervariasi dari halus hingga kasar. Sedangkan konidia yang diproduksi oleh
A. parasiticus berbentuk bulat, dinding sel konidia tebal dan bertekstur kasar.
Selain itu vesikel pada A. flavus lebih besar dengan diameter > 50µm, sedangkan
A. parasiticus jarang ditemukan lebih dari 30 µm (Pitt dan Hocking 1997).
A. parasiticus memiliki konidiafora yang muncul dari permukaan hifa
dengan ukuran panjang 250-500 µm, tidak berwarna atau coklat muda dan
berdinding halus ; vesikel berbentuk bulat dengan diameter 20-35 µm dan hanya
¾ bagian permukaan vesikel yang subur (fertile) ; vesikel membentuk phialide
berdiameter 4-6 µm, dinding selnya bertekstur kasar dan biasanya akan
membentuk kepala konidia yang bulat (Pitt dan Hocking 1997). Foto mikrograf
A. parasiticus dapat dilihat pada Gambar 1. A. parasiticus dapat tumbuh pada
suhu antara 12-42 oC dengan suhu optimum pertumbuhan 32oC ; nilai aw
minimum untuk pertumbuhan adalah 0,82 pada suhu 25oC, 0,81 pada suhu 30oC
dan 0,80 pada suhu 37oC serta pH antara 2,4-10,5 pada ketiga suhu tersebut (Pitt
dan Hocking 1997).
Gambar 1. Foto mikrograf A. parasiticus (perbesaran 400x)
Aflatoksin dapat diproduksi oleh A. parasiticus pada suhu antara 12-40oC,
aw 0,86 dan pH 3-8 (Pitt dan Hocking 1997). Menurut Jay (2000), pembentukan
aflatoksin pada kacang tanah terjadi pada aw optimum 0,93-0,98 dengan RH 83%
atau lebih tinggi pada suhu 30oC. Kemampuan kapang untuk membentuk dan
menyimpan aflatoksin tergantung beberapa faktor yaitu potensial genetik kapang,
persyaratan-persyaratan lingkungan (substrat, kelembaban, suhu, pH) dan
lamanya kontak antara kapang dengan substrat.
Aflatoksin merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan
kapang A. flavus dan A. parasiticus. Ada empat macam aflatoksin yang dikenal
yaitu aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Istilah B dan G berasal dari warna biru
(blue) dan hijau (green) sinar fluoresens di bawah lampu UV pada plat
Kromatografi Lapis Tipis. Angka 1 dan 2 menunjukkan perbedaan antara
senyawa utama dan minor (Pitt dan Hocking 1997). Aflatoksin B2 merupakan
derivat dari dihidroaflatoksin B1, sedangkan aflatoksin G2 merupakan derivat dari
dihidroaflatoksin G1. Rumus struktur kimia aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 dapat
O O OCH3 O O
O
O O
O O OCH3
O O
O O OCH3
O O
O O
O O OCH3
O O
O
Aflatoksin B2 Aflatoksin G2
Aflatoksin G1 Aflatoksin B1
tidak nampak adanya perbedaan sama sekali, demikian halnya dengan aflatoksin
G1 dan aflatoksin G2. Namun bila diperhatikan secara baik -baik terdapat
perbedaan pada ikatan rangkapnya (Syarief et al. 2003).
Gambar 2. Rumus kimia struktur aflatoksin B1, B2, G1, dan G2
Keempat jenis aflatoksin memiliki toksisitas yang berbeda -beda, namun
yang paling berbahaya adalah aflatoksin B1. Karakteristik fisikokimia dan
biokimia molekul aflatoksin B1 dipengaruhi oleh dua sisi penting dalam struktur
aflatoksin B1 yaitu ikatan rangkap pada posisi 8,9 cincin furofuran dan cincin
lakton kumarin. Oleh sebab itu, perlakuan detoksifikasi aflatoksin B1 diharapkan
mampu memindahkan ikatan rangkap pada ujung cincin furan atau membuka
cincin lakton sehingga toksisitas senyawa aflatoksin B1 menjadi berkurang
(Mishra dan Das 2003)
Aflatoksin bersifat tahan panas, pada suhu 60 dan 80oC jumlah aflatoksin
yang rusak tidak berarti dan hanya sedikit yang rusak pada suhu 100oC. Laju
kadar air bahan , waktu dan suhu pemanasan (Syarief et al. 2003). Aflatoksin
dapat didegradasi oleh larutan asam kuat dan basa kuat (Marth dan Doyle 1979).
Hasil penelitian Tabata et al. (1994), larutan asam klorida dan asam sulfat dengan
konsentrasi 1% dapat mendegradasi aflatoksin B1 dan G1, sedangkan larutan basa
Na2CO3, NaOH dan NaOCl masing-masing konsentrasi 1% dapat mendegradasi
keempat jenis aflatoksin (B1, B2, G1, dan G2).
Dampak Aflatoksin terhadap Kesehatan
Aflatoksin merupakan mikotoksin yang paling toksik dan mendapat
perhatian dalam dunia kesehatan karena aflatoksin bersifat hepatotoksik,
mutagenik, teratogenik karsinogenik dan imunosupresif. Toksisitas aflatoksin
umumnya bersifat kronis, tetapi dapat juga bersifat akut apabila toksin yang
terkonsumsi dalam jumlah besar. Pada tahun 1974, dari 400 orang India yang
menderita hepatitis, 100 orang di antaranya meninggal, hal ini disebabkan karena
keracunan aflatoksin yang terdapat pada jagung yang terkontaminasi berat oleh
aflatoksin mencapai 15 mg/kg (15 ppm) (Krisnamachari et al. 1975 di dalam
Bahri dan Maryam 2004).
Kasus aflatoksikosis pada manusia banyak dilaporkan di beberapa negara
tropis, yang kebanyakan terjadi pada masyarakat pedesaan dengan kondisi gizi
yang rendah dan makanan pokoknya terdiri dari jagung. Kejadian pada anak-anak
yang kekurangan gizi lebih se ring dijumpai dari pada yang bergizi baik. Hal ini
dapat dibuktikan bahwa eliminasi aflatoksin pada anak-anak yang kekurangan gizi
(kwashiokor) berlangsung secara perlahan-lahan (De Vries et al. 1990).
Organ target utama dari aflatoksin adalah hati sehingga sering
menimbulkan hepatokarsinogenik. Aflatoksin terutama aflatoksin B1 dapat
menyebabkan hepatokarsinoma, hal ini dibuktikan berdasarkan analisis gen p53
(indikator gen termutasi pada penderita kanker) di mana telah terjadi mutasi
sebesar 55% pada penderita hepatokarsinoma yang mengkonsumsi pangan
tercemar AFB1 (Pitt et al. 2000). Di Indonesia juga pernah dilaporkan tentang
hubungan kejadian karsinoma hati pada pasien (manusia) dengan banyaknya
mengkonsumsi aflatoksin. Peluang kejadian kanker ha ti akan lebih tinggi apabila
terjadi karena efek sinergisme dari kedua agen penyebab tersebut (Bahri dan
Maryam 2004). Jackson (1999) melaporkan hasil studi epidemiologi di Asia dan
Afrika sekitar tahun 1960-an dan 1970-an bahwa peningkatan konsumsi makanan
yang mengandung aflatoksin sebesar 3-222 ng/kg BB per hari akan menyebabkan
peningkatan kejadian kanker hati minimum 2 kasus sampai maksiumum 35 kasus
per 100000 populasi per tahun.
Selain itu aflatoksin juga menyebabkan aflatoksikosis pada produk
peternakan. Huff et al. (1986) melaporkan hasil penelitiannya mengenai progresi
aflatoksikosis pada ayam broiler, di mana aflatoksin dapat menyebabkan
penurunan berat badan, peningkatan berat proventrikulus, limfa dan ginjal, terjadi
liver atropi sampai hepatomegaly akibat akumulasi lemak pada hati. Selain itu
Sutikno et al. (1993) juga melaporkan bahwa kerugian di bidang peternakan
akibat aflatoksin yaitu menurunnya kualitas dan kuantitas produksi telur,
terganggunya fungsi metabolisme dan absorpsi lemak, tembaga, besi, kalsium
fosfor dan beta karoten serta memperlemah sistem kekebalan. Hal serupa juga
disampaikan oleh Bahri dan Maryam (2004) bahwa aflatoksin dapat memberikan
dampak negatif bagi performan unggas di antaranya terjadi penurunan kekebalan
tubuh dan kegagalan program vaksinasi (efek imunosupresif), menurunnya
produktivitas yang ditandai dengan pertambahan berat badan rendah dan
gangguan reproduksi unggas berupa penurunan bobot telur dan daya tetas telur.
Kontaminasi Aflatoksin pada Produk Pertanian dan Pakan Ternak
Kontaminasi aflatoksin pada pangan maupun pakan sampai saat ini masih
menjadi masalah besar karena tidak hanya berkaitan erat dengan kesehatan
manusia tetapi juga memberi dampak di bidang ekonomi khususnya perdagangan
internasional. Dari beberapa hasil penelitian tentang survei kontaminasi
aflatoksin pada beberapa komoditi pertanian dan pakan ternak di Indonesia tahun
1990 sampai sekarang menunjukkan bahwa kandungan aflatoksin pada jagung dan
kacang tanah, pakan ayam (dibeli di pasar) dan pakan itik relatif tinggi dan di atas
standar internasional (Dharmaputra 2002).
FDA di Amerika Serikat menetapkan batas maksimum aflatoksin yang
et al. 2000), EuropeanEconomic Community (EEC) menetapkan batas kandungan
aflatoksin sebesar 2 ppb untuk aflatoksin B1 dan 4 ppb untuk aflatoksin total
(Mishra dan Das 2003), sedangkan Codex Alimentarius Commission
merekomendasikan kandungan aflatoksin maksimum sebesar 15 ppb
(B1+B2+G1+G2) pada kacang tanah dan 0,05 ppb aflatoksin M1 pada susu
(Dharmaputra 2002). Sementara Badan POM Indonesia sejak tanggal
9 September 2004 telah menetapkan kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total
pada kacang tanah olahan sebesar 20 dan 35 ppb (Dharmaputra et al. 2005).
Batas kandungan aflatoksin maksimum yang diizinkan pada bahan pangan
berbeda -beda di berbagai negara (Tabel 1).
Tabel 1. Kandungan aflatoksin maksimum yang diizinkan pada bahan pangan di berbagai negara *)
Negara Batas aflatoksin (µg/kg)
Jenis aflatoksin Bahan pangan
5 B1 Semua bahan pangan
Afrika Selatan
10 B1+B2+G1+G2 Semua bahan pangan
Belanda 5 B1 Semua bahan pangan
5 B1 Semua bahan pangan
Belgia
0,1 M1 Susu
Britain 10 B1+B2+G1+G2 Semua bahan pangan
Denmark 10 B1+B2+G1+G2 Kacang tanah
India 30 B1 Semua bahan pangan
Inggris 5 B1 Semua bahan pangan
10 B1+B2+G1+G2 Semua bahan pangan
Italia 50 B1+B2+G1+G2 Kacang tanah
Jepang 10 B1 Semua bahan pangan
Jerman 2 B1 Kacang-kacangan, serealia
Malawi 35 B1+B2+G1+G2 Semua bahan pangan
Malaysia 35 B1+B2+G1+G2 Semua bahan pangan
Nigeria 20 B1 Semua bahan pangan
kecuali makanan bayi
Perancis 10 B1+B2+G1+G2 Semua bahan pangan
0,2 M1 Susu bubuk bayi
Spanyol 5 B1 Semua bahan pangan
10 B1+B2+G1+G2 Semua bahan pangan
Singapura 0 B1, B2, G1, G2 Semua bahan pangan
USA 20 B1+B2+G1+G2 Semua bahan pangan,
Survei yang dilakukan Roedjito et al. (1994) pada kacang tanah yang
berasal dari toko, pasar, warung, rumah tangga di kota Bogor dan Semarang
menunjukkan bahwa kacang tanah asal Bogor memiliki kandungan aflatoksin
antara 112-826 ppb, sedangkan kacang tanah asal Semarang antara 37-357 ppb.
Hasil survei Dharmaputra et al (2005b) terhadap sampel kacang tanah di tingkat
pertani, penebas, pengumpul dan pedagang eceran sekitar musim hujan dan
kemarau tahun 2003 di kota Wonogiri dan Surakarta menunjukkan bahwa
kontaminasi aflatoksin B1 tertinggi ditemukan pada sampel kacang tanah utuh di
tingkat pedagang pengecer di pasar tradisional dengan kandungan aflatoksin
berkisar antara <3,6-1859,3 di musim hujan dan <3,6-55115, di musim kemarau.
Persentase sampel kacang tanah utuh yang mengandung aflatoksin lebih dari 15
ppb adalah 33% di musim hujan dan 76% di musim kemarau. Selanjutnya
Dharmaputra et al. (2002) mengemukakan bahwa dari beberapa komoditi
pertanian, kacang tanah merupakan produk yang paling mudah terkontaminasi
aflatoksin.
Jagung merupakan komoditi pertanian dengan kandungan aflatoksin relatif
tinggi. Purwoko et al (1991) melaporkan bahwa 91% dari 34 sampel jagung yang
berasal dari industri pakan ternak di daerah Jakarta dan Bogor mengandung
aflatoksin terutama aflatoksin B1. Total konsentrasi aflatoksin berkisar antara
22-6171 ppb. Kandungan aflatoksin jagung asal Bogor sangat tinggi yaitu antara
185-558 ppb dari toko, warung, pasar atau rumah tangga, sedangkan jagung asal
Semarang bervariasi antara 75-1576 ppb (Roedjito et al. 1994). Dharmaputra
et al. (1996) melaporkan bahwa dari 11 sampel produk olahan jagung yang
diambil dari beberapa supermarket di Bogor, beberapa di antaranya mengandung
aflatoksin B1 yaitu satu sampel popcorn (15 ppb), satu sampel tepung maizena
(20 ppb) dan satu sampel keripik jagung (10 ppb).
Tingkat kontaminasi aflatoksin pada kacang kedelai lebih rendah
dibandingkan pada jagung dan kacang tanah. Rata-rata kandungan aflatoksin
kacang kedelai di toko, warung, pasar, dan rumah tangga di Bogor bervariasi
antara 13-161 ppb, sedangkan lokasi di Semarang antara 21-127 ppb. Namun
kandungan aflatoksin pada tempe di Bogor lebih tinggi dibandingkan bahan
Kontaminasi aflatoksin pada pakan ternak juga sulit dihindari mengingat
bahan baku pakan seperti jagung tercemar aflatoksin dengan level yang relatif
tinggi . Bahri dan Maryam (2004) melaporkan bahwa pakan ternak/pakan unggas
yang ada di Indonesia hampir selalu ditemukan terkontaminasi aflatoksin karena
sekitar 50% dari komposisi pakan tersebut adalah jagung.
Hasil penelitian Sutikno et al (1993) menunjukkan bahwa dari 919 ransum
itik yang diperiksa kandungan aflatoksinnya, 98% sampel positif mengandung
aflatoksin B1 dengan kisaran 0-398 ppb. Sebanyak 68% di antaranya
mengandung aflatoksin di bawah 50 ppb, 20% tercemar di antara 51-100 ppb,
sedangkan sisanya (10%) berada pada tingkat yang berbahaya untuk itik muda
(> 100 ppb). Dharmaputra dan Putri (1996) melaporkan bahwa kandungan total
aflatoksin B1 dari 39 sampel pakan ayam dari 3 pasar di Bogor selama musim
kemarau dan hujan antara 0-201 ppb. Sebanyak 67% dari sampel mengandung
aflatoksin lebih dari 30 ppb. Data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan
oleh Balitvet pada tahun 1984-1995 mengenai cemaran aflatoksin menunjukkan
bahwa lebih dari 80% pakan unggas komersial terkontaminasi aflatoksin B1.
Kadar aflatoksin B1 lebih dari 200 ppb sebanyak 13,5% ; 23,2% dengan kadar
aflatoksin B1 100-200 ppb, sedangkan kadar < 100 ppb sebesar 63,2 % (Bahri
1998).
Teknik Pengendalian Aflatoksin
Teknik pengendalian aflatoksin dapat dilakukan secara fisik, kimiawi dan
biologis. Perlakuan dengan air mengalir dapat menurunkan aflatoksin total jagung
sebesar 11%, pencucian dengan air suhu 50oC dapat mengurangi 47% dan
perendaman selama 24 jam dapat mengurangi aflatoksin 75%. Sementara itu
perlakuan pemanasan dengan pengukusan dapat menurunkan aflatoksin total
sebesar 35%, sedangkan perebusan dapat menurunkan aflatoksin total sebesar
63% (Roedjito et al. 1994). Menurut Novia (1994) pengukusan 125 menit dapat
menurunkan kadar aflatoksin rata-rata 37,38%, perebusan selama 50 menit
sebesar 68,25% dan pemanasan bertekanan selama 25 menit sebesar 42,74%.
Metode pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan
asam benzoat 0,2% pada pakan ternak mampu menghambat biosintesis aflatoksin
oleh A. parasiticus sebesar 100%, sedangkan urea konsentrasi 0,2-0,5% hanya
sebesar 96-97% dan asam sitrat 0,5-1,0% sebesar 91-95% (Gowda et al. 2004).
Kombinasi 0,1% asam propionat dengan nisin 1000 ppm dapat menghambat
pertumbuhan A. parasiticus dan produksi aflatoksin (Paster et al. 1999).
Penggunaan senyawa kimia lain misalnya insektisida Chlobenthiazone
[4-kloro-3-metil-2-(3H) -benzothiazon] dengan konsentrasi 1-15 µg/ml yang
mampu menghambat pertumbuhan miselium A. parasiticus dan biosintesis
aflatoksin (Wheeler et al. 1991). Pemberian 0,5% natrium kalsium aluminosilikat
(terhidrasi) ke dalam pakan ayam broiler akan melindungi ayam dari pengaruh
negatif aflatoksin (Kubena et al. 1993)
Lebih lanjut Gowda et al. (2004) melaporkan penggunaan rempah-rempah
untuk menghambat biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus. Hasil penelitian
menunjukkan minyak cengkeh merupakan senyawa anti-kapang terbaik bagi
A. parasiticus dengan penghambatan produksi aflatoksin sebesar 100%, diikuti
oleh kunyit, bawang putih, bawang merah dengan konsentrasi masing-masing
0,5-1,0% berturut-turut sebesar 77-85%, 80-84% dan 73-77%. Juglal et al. (2002)
di dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa minyak cengkeh memberikan
aktivitas penghambatan tertinggi terhadap pertumbuhan A. parasiticus dan
F. moniliforme, selanjutnya berturut -turut kayu manis, oregano, dan minyak
kembang pala. Rempah-rempah lain yang dapat digunakan untuk menghambat
pertumbuhan A. parasiticus yaitu ekstrak etanol bawang merah khas Cina
(Onion Welsh) konsentrasi 10 mg/ml (Fan dan Chen 1999), minyak esensial
thyme spesies Thyme eriocalyx dan T. X-porlock dengan nilai MIC (Minimum
inhibitory concentration) pada tingkat kelarutan 1/8 dan MFC (Minimum
fungicidal concentration) pada tingkat kelarutan 1/4 (Rasooli dan Abyaneh 2004).
Metode alternatif lain adalah pengendalian secara biologis yang
menggunakan mikroorganisme untuk berkompetisi dengan A. parasiticus
sehingga diharapkan dapat mencegah pertumbuhan dan biosintesis aflatoksin
A. parasit icus.
Nannocytis exedens Reichenbach yang merupakan bakteri tanah diketahui
Draughon 2001). Munimbazi dan Bullerman (1998) melaporkan hasil
penelitiannya mengenai penghambatan pertumbuhan dan produksi aflatoksin oleh
Bacillus pumillus. Hasil penelitian menunjukkan keenam isolat B. pumillus yang
ditumbuhkan bersama -sama dengan A. parasiticus dalam medium YES (Yeast
Extract Sucrose)mampu menghambat pertumbuhan miselium sebesar 34,4-56,4%
dan produksi aflatoksin sebesar 98,4-99,9%. Penghambatan pertumbuhan dan
produksi aflatoksin diduga berasal dari metabolit B. pumillus karena medium
YES yang mengandung supernatan bebas sel juga mampu menghambat
pertumbuhan miselium sebesar 35,3-55,7% dan produksi aflatoksin sebesar
98,2-99,9%.
Aktivitas khamir sebagai anti kapang dan anti aflatoksin telah dilaporkan
oleh beberapa peneliti. Candida krusei WRL-038 dan Pichia anomala memiliki
daya hambat paling tinggi terhadap biosintesis aflatoksin (Hua et al. 1999).
Saccharomyces cerevisiae efektif mengurangi pengaruh negatif aflatoksin pada
ayam (Stanley et al. 1993). Pada uji in vitro yang dilakukan pada pakan ternak
yang disuplementasi S. cerevisiae menunjukkan terjadinya degradas i aflatoksin
sebesar 88% (Devegowda et al. 1994). Lebih lanjut Galvano et al. (2001)
melaporkan modifikasi mannan dan glukan yang terdapat dalam dinding sel
S. cerevisiae dapat mengikat aflatoksin B1 95%, zearalenon 77%, fumonisin 59%
dan deoksinivalenol 12%.
S. cerevisiae galur N 826 dan N 831 serta Zygosaccharomyces galur
N F30 memiliki spektrum antagonistik yang luas terhadap kapang-kapang patogen
pada buah-buahan dan tanah (Suzzi et al. 1995). Kemampuan S. cerevisiae
sebagai antimikroba disebabkan khamir ini mengeluarkan protein yang disebut
juga dengan killer toxin atau zymocins (Ray 2001). Selitrennikoff (2001)
menyebutkan S. cerevisiae, Ustilago maydis, Hanseniaspora uvarum, Z. Bailii,
Phaffia rhodozyma, Kluveromyces lactis dan spesies Pichia mengeluarkan protein
killer. Telah berhasil diidentifikasi 20 killer toxin memiliki berat molekul
10,7-156,5 kDa. Selanjutnya Ray (2001) menyebutkan bahwa sel khamir dapat
menempel dengan kuat pada miselia kapang dan memproduksi enzim β-glukanase
Ragi Tape
Ragi tape adalah inokulum padat yang mengandung mikroba seperti
kapang, khamir, bakteri yang berfungsi sebagai starter fermentasi. Variasi
mikroba di dalam ragi sangat tinggi, sehingga ada bermacam-macam ragi
misalnya ragi untuk tempe, oncom, kecap, tape, roti, dll.
Menurut Saono (1982), ragi tape adalah starter tradisional yang terdapat di
Indonesia, digunakan untuk fermentasi substrat yang kaya akan pati, seperti
singkong dan beras ketan menjadi tape, brem cair dan brem padat. Di desa-desa
ragi ini digunakan sebagai campuran jamu dan ramuan seperti obat cacing, obat
pencegah kehamilan dan obat tradisional lainnya.
Tabel 2. Bahan-bahan tambahan pada ragi *)
Nama Bahan Jumlah (% terhadap beras)
Beras 100
Bawang putih (Allium sativum Linn.) 0,50-18,70
Lengkuas (Alpinia galanga SW.) 2,50-50,00
Lada putih (Piper nigrum Linn.) 0,05-6,20
Cabe merah (Capsicum frustescens Linn.) 0,25-6,20
Kayu manis (Cinnamomum burmanii Bl.) 0,05-3,50
Lada hitam (Piper retrofractum Vahl) 0,30-2,50
Adas (Foeniculum vulgare Mill.) 2,50-3,00
Tebu (Saccharum officinarum Linn.) 1,00-12,50
Air jeruk (Citrus auranticum aurantifolia var.
fusca Linn.)
2,5
Air kelapa (Cocos nucifera Linn.) 50,00
*) Saono (1982)
Bahan utama pembuatan ragi adalah tepung beras. Pembuatan ragi tape
secara tradidional adalah dengan mencampur tepung beras yang bersih dengan
bahan-bahan lain seperti bawang putih, lengkuas, lada putih, dan cabe merah.
Penggunaan rempah-rempah bertujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri
dan beberapa jenis rempah-rempah dapat merangsang pertumbuhan kapang dan
khamir yang dikehendaki dalam proses fermentasi (Saono 1982). Selanjutnya
menstimulir petumbuhan semua mikrofolora ragi. Selain itu dilaporkan pula
bahwa bawang putih dengan konsentrasi 9% dan laos dengan konsentrasi 16,5%
dapat menghambat pertumbuhan mikroflora-mikroflora ragi ini.
Jenis kapang dan khamir yang terdapat dalam ragi tape bermacam-macam,
tergantung asal dan cara ragi dibuat. Saono (1982) menyatakan bahwa ragi yang
digunakan bervariasi mutunya pada setiap pembuatan, sehingga sulit untuk
mendapatkan mutu produk yang seragam walaupun dari ragi yang sama.
Aktivitas ragi akan menurun selama penyimpanan dan batas waktu penyimpanan
maksimum adalah selama 2-3 bulan.
Mikroba yang diduga paling berperan dalam fermentasi tape biasanya
didominasi oleh kapang dari genus Amylomyces, Mucor dan Rhizopus, serta
khamir dari genus Saccharomycopsis (Endomycopsis), Saccharomyces,
Hansenula dan Candida (Suliantari dan Rahayu 1990),. Beberapa jenis mikroba
yang terdapat di dalam ragi tape dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Mikroba dalam ragi tape di Indonesia
Genus Spesies Referensi
Amylomyces A. rouxii a
(Endomycopsis) S. fibulgera e
C. melinii b, e
C. parapsilosis b
C. lactosa nov sp. b
C. krusei e
C. lipolytica var deformis e
C. guiliermondii e
C. scottii e
C. humicola e
C. valida e
Candida
Genus Spesies Referensi
S. wilianus e
Saccharomyces
S. cerevisiae d
H. anomala b, d
H. subpelliculosa b
Hansenula
H. malanga nov. sp b
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikologi dan Toksikologi -
Balai Penelitian Veteriner Bogor, Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan
– SEAFAST IPB, Laboratorium Kimia Pangan – Jurusan Ilmu dan Teknologi
Pangan pada bulan Mei 2003 sampai Agustus 2005.
B. Bahan dan Alat
Ragi tape diperoleh dari pasar tradisional di beberapa daerah di Pulau
Jawa yaitu DKI Jakarta, Bandung (Jawa Barat), Semarang, Rembang (Jawa
Tengah), Yogyakarta, dan Madiun (Jawa Timur) (Gambar 3). Kapang
toksigen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aspergillus parasiticus
F. 010 yang diperoleh dari Balitvet Culture Collection (BCC), Balai Penelitian
Veteriner Bogor. Sedangkan media yang digunakan adalah Potato Dextrose
Agar (OXOID), Potato Dextrose Broth (DIFCO), Malt Extract Broth
(DIFCO), Pepton (DIFCO), dan Yeast Nitrogen Base (DIFCO), Corn Meal
Agar (DIFCO), Czapek Yeast Extract Agar, Malt Extract Agar dan 25
Glycerol Nitrate Agar.
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam pe nelitian ini adalah
aquades, larutan Tween 80, asam tartarat 10%, alcohol, bromocresol purple,
lactophenol cotton blue, larutan iod, beberapa jenis gula untuk uji fermentasi
dan asimilasi khamir seperti dektrosa, galaktosa, laktosa, maltosa, sukrosa,
rafinosa dan trehalosa. Bahan-bahan kimia seperti kloroform, aseton, natrium
sulfat anhidrat, dietil eter dan strandar aflatoksin B1, B2, G1 dan G2
digunakan untuk ekstraksi dan analisis aflatoksin.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat gelas
seperti cawan Petri, tabung reaksi, labu Erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur,
pipet Mohr, corong gelas ; kertas saring Whatman 41, 42, membran filter
obyek dan cover glass, hemasitometer Neubaeur improved, mikroskop, vortex,
autoklaf, oven, waterbath, peralatan sentrifugasi, neraca analitik, pHmeter,
peralatan rotavapor, shaker, pelat TLC, bejana kaca untuk elusi TLC, UV
chamber CAMAG.
(1) (2)
(3)
Gambar 3. Ragi Tape (1) Daerah DKI Jakarta dan Jawa Barat ; (2) Daerah Yogyakarta dan Jawa Timur (3) Daerah Jawa Tengah
C. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap yaitu penelitian
pendahuluan yang meliputi isolasi serta identifikasi kapang dan khamir,
kemudian uji kemampuan isolat kapang/khamir dalam mereduksi aflatoksin.
Selanjutnya dipilih satu isolat kapang/khamir yang berpotensi tinggi dalam
mereduksi aflatoksin tertinggi untuk digunakan dalam penelitian utama.
Penelitian utama meliputi uji kemampuan penghambatan isolat kapang dan
khamir terhadap pertumbuhan A. parasiticus, uji pengaruh filtrat isolat kapang
dan khamir terhadap pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin
serta uji kemampuan isolat kapang dan khamir dalam mendegradasi
1. Isolasi Kapang dan Khamir (Daulay 1989)
Sebanyak 5 g ragi tape berbentuk bubuk ditambah dengan 45 ml
akuades steril, setelah itu dilakukan pengenceran 10-2, 10-3, 10-4 dan
seterusnya. Selanjutnya dilakukan pemupukan cawan sebanyak 1 ml
suspensi ragi tape, kemudian 15 ml medium APDA (PDA+asam tartarat
10%) dituang ke dalam cawan dan diratakan, setelah itu diinkubasi selama
2-3 hari pada suhu 28-30oC. Setiap koloni kapang dan khamir yang
berbeda warna dan penampilannya dipisahkan dan dimurnikan,
selanjutnya digores kembali pada PDA miring dan disimpan di kulkas
sebagai kultur stok.
2. Identifikasi Kapang dari Ragi Tape
a. Pembuatan Kultur Slide (Harrigan 1998)
Untuk membuat kultur slide dibutuhkan cawan petri yang di
dalamnya terdapat gelas obyek yang diletakkan di atas batang U atau
V, perangkat tersebut berada dalam keadaan steril. Potongan medium
PDA steril berukuran 1x1 cm diletakkan di atas gelas obyek yang
berada di dalam cawan petri, selanjutnya dilakukan inokulasi kapang
pada potongan agar tepat di tengah-tengah keempat sisinya
menggunakan jarum ose.
Potongan agar yang telah diinokulasi kemudian ditutup dengan
cover glass. Akuades steril diteteskan ke dalam cawan petri tanpa
membasahi gelas obyek yang ada di dalamnya, selanjutnya kultur slide
diinkubasi pada suhu 28-30oC sekitar 2-4 hari. Bila spora telah
muncul, cover glass diangkat dan diletakkan pada gelas obyek lain
yang telah diberi cairan pewarna lactophenol cotton blue, kemudian
struktur kapang diamati di bawah mikroskop.
Gambar 4 Diagram alir tahap penelitian Koleksi sampel ragi tape
Jakarta, Bandung, Semarang, Rembang, Yogyakarta, Madiun
Isolasi Kapang dan Khamir
Persiapan Spora
A. parasiticus
Seleksi Isolat Kapang dan Khamir dengan Aktivitas Reduksi Aflatoksin terbaik Uji Kemampuan Isolat Kapang dan Khamir untuk Mereduksi Kandungan Aflatoksin
Uji Kemampuan Penghambatan Kapang /Khamir thd Pertumbuhan
A. parasiticus
1. Perhitungan koloni (CFU/ml) 2. Karakteristik morfologi 3. Interaksi Langsung antara
Khamir dgn A. parasiticus
Uji Pengaruh Filtrat Kapang/Khamir terhadap Biosintesis Aflatoksin
1. Pengukuran Berat Kering Miselium 2. Analisis Aflatoksin
3. Pengukuran pH
Uji Kemampuan Kapang/Khamir dalam Mendegradasi Aflatoksin
1. Analisis Aflatoksin 2. Pengukuran pH Identifikasi Kapang dan Khamir
b. Identifikasi Isolat Kapang
Identifikasi isolat kapang dilakukan baik secara makroskopis
maupun mikroskopis. Identifikasi secara makroskopis dilakukan
dengan cara melihat langsung koloni yang tumbuh pada media CYA,
MEA dan G25N setelah 2 hari inkubasi pada suhu 28-30oC. Koloni
yang tumbuh akan memiliki spora dengan bentuk dan warna yang
berbeda-beda tergantung spesies kapang, sedangkan identifikasi secara
mikroskopis dilakukan dengan cara mengamati struktur kapang di
bawah mikroskop setelah sebelumnya ditumbuhkan terlebih dahulu
pada kultur slide selama 3 hari.
Identifikasi spesies kapang ditentukan dengan membandingkan
ciri-ciri makroskopis dan mikroskopis kapang tersebut dengan ciri-ciri
kapang yang terdapat pada pustaka. Berdasarkan kunci identifikasi
Pitt dan Hocking (1997), penggolongan Ordo Mucorales ke dalam
genus berdasarkan pada morfologi sporangiofor dan sporangium
(Lampiran 3). Penggolongan Rhizopus dan Mucor ke dalam spesies
berdasarkan kunci identifikasi Gilman (1957) di mana penggolongan
Mucor ke dalam spesies berdasarkan ukuran sporangium dan
sporangiospora, warna hifa serta suhu optimum pertumbuhan
(Lampiran 4), sedangkan penggolongan Rhizopus ke dalam spesies
berdasarkan perkembangan rhizoid, ukuran spora dan sporangiofor
(Lampiran 5). Deskripsi Chlamydomucor oryzae berdasarkan Heyne
(1987) dan penggolongan Aspergillus ke dalam spesies berdasarkan
warna/pigmentasi konidia Raper dan Fennell (1973) (Lampiran 6).
Konfirmasi beberapa spesies kapang dilakukan di Laboratorium
Fitopatologi, SEAMEO BIOTROP Bogor.
3. Identifikasi Khamir
Identifikasi khamir yang dilakukan dalam penelitian ini hanya
meliputi pengamatan terhadap morfologi serta uji-uji sifat fisiologis
tumbuh pada suhu 37oC serta kemampuan untuk membentuk pati
ekstraseluler (Lampiran 7). Hasil pengamatan morfologi dan uji fisiologis
selanjutnya dicocokkan dengan ciri-ciri khamir pada pustaka Lodder
(1974) dan Barnett et al. (2000).
a. Karakteristik Morfologi Khamir (Lodder 1974)
Isolat khamir digoreskan pada permukaan media CMA kemudian
ditutup dengan cover glass dan diinkubasi pada suhu 28-30oC selama
3 hari. Bagian sisi atau tepi koloni yang tumbuh diamati di bawah
mikroskop dengan perbesaran 400x untuk melihat ada tidaknya
miselium (semu atau sejati), blastospora dan arthrospora.
b. Uji Fermentasi Gula (Lodder 1974)
Mula-mula dilakukan penyegaran isolat khamir pada tabung agar
miring PDA dan diinkubasi selama 2 hari pada suhu 28-30oC.
Selanjutnya secara aseptis dibuat suspensi khamir dengan
menambahkan 5 ml akuades steril ke dalam tabung yang berisi isolat
khamir. Media fermentasi gula di dalam tabung reaksi diinokulasi
dengan menambahkan 0,1 ml suspensi khamir (Lampiran 2). Setelah
dikocok, media diinkubasi pada suhu 28-30oC dan dilakukan
pengamatan terhadap pembentukan gas (pada tabung Durham) dan
pembentukan asam setiap hari ke -3, 7 dan 14.
c. Uji Asimilasi Karbon (Lodder 1974)
Sebanyak 1 ml suspensi khamir diinokulasikan ke dalam cawan
Petri, kemudian dita mbahkan media YNB + agar noble sebanyak
15-20ml. Setelah membeku, sebanyak 5 mg gula-gula yang akan diuji
ditaburkan secara terpisah. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 28-30oC
dan diamati pada hari ke-3 dan 7 untuk mengetahui ada tidaknya
pertumbuhan yang menunjukkan sumber karbon tersebut dapat
d. Uji Pertumbuhan pada Suhu 37oC (Lodder 1974)
Isolat khamir digoreskan pada tabung agar miring PDA dan
diinkubasi pada suhu 37oC untuk menentukan kemampuan tumbuh
khamir pada suhu tersebut.
e. Uji Kemampuan Membentuk Pati Ekstraseluler (Lodder 1974)
Isolat khamir digoreskan pada cawan Petri yang berisi media PDA
dan diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 3 hari, selanjutnya pada
koloni khamir yang terbentuk ditete si larutan iod untuk mengetahui
kemampuan membentuk pati. Apabila terbentuk warna biru, berarti
khamir tersebut membentuk pati.
4. Persiapan Spora Kapang dan Sel Khamir (Kim et al. 2000)
Kultur murni kapang dan khamir disegarkan dengan cara
menggoreskan kembali kultur murni tersebut pada agar miring PDA yang
baru, kemudian kapang diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 7 hari,
sedangkan khamir 2 hari.
Suspensi spora dibuat dengan menambahkan akuades steril yang
mengandung Tween 80 0,1% ke dalam tabung agar miring, sedangkan
suspensi khamir tanpa penambahan Tween 80. Suspensi spora kapang dan
sel khamir dihitung menggunakan hemasitometer kemudian diatur
konsentrasinya menjadi 106 spora kapang/ml atau 106 sel khamir/ml dan
digunakan untuk uji selanjutnya.
5. Uji Kemampuan Isolat Kapang dan Khamir dalam Mereduksi
Kandungan Aflatoksin (Modifikasi Sardjono et al. 1992)
Sebanyak 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus dengn konsentrasi
106 spora/ml dicampur dengan 0,5 ml (106 spora/ml atau 106 sel/ml)
dalam 100 ml medium PDB dan diinkubasi selama 10 hari pada suhu
28-30oC.
Sebagai kontrol, sebanyak 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106
spora/ml diinokulasi pada medium PDB, kemudian diinkubasi pada waktu
dan kondisi yang sama. Setelah itu dilakukan analisis aflatoksin dan
dihitung reduksi aflatoksin dari isolat kapang atau khamir uji
dibandingkan dengan kandungan aflatoksin pada kontrol.
Persentase reduksi aflatoks in ditentukan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
( A – B )
% reduksi aflatoksin = x 100% A
Keterangan :
A : Kandungan aflatoksin yang dihasilkan oleh A. parasiticus (kontrol)
B : Kandungan aflatoksin yang dihasilkan oleh A. parasiticus yang ditumbuhkan bersama-sama dengan isolat kapang/khamir
6. Uji Kemampuan Penghambatan Kapang dan Khamir terhadap
Pertumbuhan A. parasiticus (Modifikasi Gourama dan Bullerman 1995)
Sebanyak 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml dicampur
dengan 0,5 ml suspensi spora isolat kapang 106 spora/ml atau sel khamir
uji, diinokulasikan ke dalam 100 ml medium MEB dan diinkubasi pada
suhu 28-30oC. Sebagai kontrol, 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106
spora/ml dan 0,5 ml suspensi spora isolat kapang 106 spora/ml atau sel
khamir uji masing-masing diinokulasi pada medium MEB, kemudian
diinkubasi pada waktu dan kondisi yang sama.
Inkubasi campuran di atas dilakukan selama 9 hari karena waktu
pertumbuhan optimum kapang umumnya sekitar 5-7 hari dan selanjutnya
kapang memasuki fase pertumbuhan stasioner. Selama inkubasi, pada hari
ke-0, 3, 6 dan 9 dilakukan sampling dan pemupukan cawan pada medium
dilakukan pengamatan dan perhitungan koloni per ml (CFU/ml) dari
A. parasiticus dan isolat kapang/khamir uji.
Pada hari ke-9, terhadap semua campuran di atas dibuat kultur slide
lalu diamati karakteristik morfologinya.
7. Pengamatan Interaksi Langsung Khamir dengan A. parasiticus secara in vitro (Modifikasi Chan dan Tian 2005)
Sebanyak 8 ml medium PDA dituang ke dalam cawan Petri. Setelah
membeku, diletakkan agar (berdiameter 5 mm) yang mengandung
miselium A. parasiticus (berumur 3-4 hari) di atas permukaan agar PDA.
Setelah diinkubasi selama 72 jam pada suhu 28-30oC, 50 µl suspensi
khamir (108 sel khamir/ml) diteteskan pada bagian tepi miselium kapang
yang tumbuh dan diinkubasi kembali selama 48 jam. Selanjutnya terhadap
koloni yang tumbuh di cawan Petri dicuci dengan air mengalir selama
30 detik dan kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya.
8. Uji Pengaruh Filtrat Kapang dan Khamir terhadap Pertumbuhan
A. parasiticus dan Biosintesis Aflatoksin (Modifikasi Sardjono et al. 1992)
Mula-mula disiapkan filtrat kapang atau khamir dengan menumbuhkan
isolat kapang (umur 7 hari) dan isolat khamir (umur 2 hari) pada medium
PDB dan diinkubasi selama 7 hari pada suhu 28-30oC. Selanjutnya
dilakukan pemisahan miselium kapang dengan filtratnya, kemudian filtrat
disaring kembali dengan membran filter Whatman 0,2 µm. Sedangkan
untuk mendapatkan filtrat khamir, sel khamir dipisahkan menggunakan
sentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm 15 menit, selanjutnya filtrat
disaring kembali menggunakan membran filter Whatman 0,2 µm.
Filtrat kapang atau khamir kemudian diinokulasi dengan 0,5 ml
suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml dan selanjutnya diinkubasi pada
suhu 28-30oC selama 12 hari. Selain itu juga dilakukan percobaan
suplementasi medium MEB (Malt Extract Broth) terhadap filtrat
aktivitas filtrat kapang/khamir setelah penambahan nutrisi terhadap
pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin. Filtrat
kapang/khamir yang disuplementasi dengan medium MEB selanjutnya
diinokulasi dengan 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml.
Sebagai kontrol, 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml
diinokulasi ke dalam medium MEB tanpa filtrat kapang/khamir.
Selanjutnya diukur berat kering miselium, kadar aflatoksin dan nilai pH
pada hari ke-3, 6, 9 dan 12.
9. Uji Kemampuan Kapang dan Khamir dalam Mendegradasi
Aflatoksin (Modifikasi Sardjono et al. 1992)
Mula-mula disiapkan filtrat aflatoksin yang diproduksi langsung dari
A. parasiticus dengan cara menumbuhkan kapang A. parasiticus (umur
7 hari) pada medium PDB dan diinkubasi selama 7 hari pada suhu
28-30oC. Selanjutnya dilakukan pemisahan miselium kapang dengan
filtratnya, kemudian filtrat disaring kembali dengan membran filter
Whatman 0,2 µm.
Selanjutnya aflatoksin dicampur dengan medium MEB (1:1) lalu
diinokulasi dengan 0,5 ml suspensi spora kapang uji atau 0,5 ml suspensi
khamir uji, diinkubasi selama 12 hari pada suhu 28-30oC. Se bagai kontrol,
campuran aflatoksin dengan medium MEB diinkubasi dengan suhu dan
waktu yang sama namun tanpa inokulasi spora kapang atau sel khamir.
Selanjutnya diukur kadar aflatoksin dan nilai pH pada hari ke-0, 3, 6, 9
dan 12.
10.Ekstraksi Aflatoksin (Heathcot 1984)
Sebanyak 10 ml filtrat sampel yang mengandung aflatoksin
ditambahkan dengan 10 ml kloroform, lalu dihomogenisasi dengan
blender selama 2 menit selanjutnya dikocok selama 30 menit, dan
kemudian dimasukkan ke dalam labu pemisah sehingga terbent uk dua
Lapisan bawah yang mengandung aflatoksin disaring melalui natrium
sulfat anhidrat, kemudian larutan ekstrak ini diuapkan dengan
menggunakan rotavapor. Residu yang ada dilarutkan kembali
menggunakan kloroform. Hasil ekstraksi tersebut selanjutnya dianalisis
untuk mengetahui kadar aflatoksinnya.
11.Analisis Aflatoksin (AOAC 1995)
Analisis aflatoksin dilakukan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT) satu dimensi dengan fase gerak kloroform : aseton = 9:1. Plat TLC
yang digunakan adalah plat dengan fase diam Silica Gel 60 (MERCK).
Tahap identifikasi dilakukan dengan cara menyuntikkan cairan sampel dan
larutan standar (secara kuantitatif) pada lempeng kromatografi. Setelah itu
lempeng kroma tografi dielusi di dalam bejana berisi fase gerak kloroform :
aseton 9:1, kemudian dikeringanginkan. Hasil elusi yang telah
dikeringkan diamati di bawah lampu UV dengan panjang gelombang 365
nm. Nilai Rf (Rate of Flow) dari fluoresensi bercak sampel dan standar
dibandingkan. Aflatoksin dikatakan positif apabila Rf sampel sama
dengan standar (deteksi aflatoksin secara kualitatif).
Kadar aflatoksin pada sampel (deteksi aflatoksin secara semi
kuantitatif) diperoleh dengan membandingkan intensitas fluoresensinya
dengan deret standar aflatoksin. Kadar aflatoksin ditentukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
S x Y x V x Fp Kadar aflatoksin (ppb) =
W x Z
Keterangan :
S : Volume aflatoksin standar (µl) yang memberikan perpendaran
setara dengan Z µl sampel
Y : Konsentrasi aflatoksin atandar dalam µg/ml
Z : Volume ekstrak sampel yang dibutuhkan untuk memberikan
V : Volume pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel ekstrak
akhir (µl)
W : Volume sampel (ml)
Fp : Faktor pengenceran
12.Pengukuran pH (Apriyantono et al. 1989)
Nilai pH diukur menggunakan alat pHmeter yang sebelumnya telah
dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan 7. Elektroda dibilas dengan akuades
dan dikeringkan dengan tissue. Elektroda yang sudah kering dicelupkan
ke dalam sampel, sehingga beberapa saat kemudian diperoleh pembacaan
yang stabil.
13.Pengukuran Berat Kering Miselium (Gourama dan Bullerman 1995)
Miselium kapang disaring menggunakan kertas saring berdiameter
11 cm (sudah dikeringkan terlebih dahulu) menggunakan alat penyaring
vakum lalu dicuci dua kali dengan akuades dan dikeringkan pada oven
suhu 105oC sampai berat konstan.