• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Produksi Usahatani dan Gender dalam Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Sawah Studi Kasus di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Produksi Usahatani dan Gender dalam Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Sawah Studi Kasus di Kabupaten Bogor"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR

SOEPRIATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya

yang berjudul:

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER

DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya send iri dengan pembimbingan dari

Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum

pernah diajukan untuk memeperoleh gelar pada program sejenis pada Perguruan Tinggi

lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat

diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2006

Soepriati

(3)

SOEPRIATI. Peranan Produksi Usahatani dan Gender dalam Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Sawah: Studi Kasus di Kabupaten Bogor (RINA OKTAVIANI sebagai Ketua, SJAFRI MANGKUPRAWIRA dan EKAWATI SRI WAHYUNI sebagai anggota Komisi Pembimbing).

Alokasi waktu anggota rumahtangga dibedakan menjadi dua, yaitu: kegiatan produktif dan domestik. Alokasi waktu produktif meliputi: curahan kerja usahatani dan non usahatani. Hasil analisa deskriptif menunjukkan bahwa peran anggota rumahtangga yang terdiri dari suami, istri, anak laki, dan anak perempuan memberikan kontribusi curahan kerja bagi keluarga pada kegiatan usahatani masing- masing sebesar 65.77 persen, 11.65 persen, 21.43 persen, dan 1.15 persen. Kontribusi curahan kerja istri pada usahatani lebih kecil dibandingkan suami dan anak laki- laki, disebabkan oleh dominasi peran istri sebagian besar melakukan pekerjaan domestik. Curahan kerja non usahatani yang dilakukan oleh anggota rumahtangga yang terdiri dari suami, istri, anak perempuan, dan anak laki, masing- masing sebesar 28.94 persen, 19.07 persen, 36.98 persen, dan 15.01 persen.

Alokasi waktu kerja reproduktif yang dilakukan oleh anggota rumahtangga yang terdiri dari suami, istri, anak laki dan anak perempuan masing- masing sebesar 77.87 persen, 91.64 persen, 84.03 persen dan 95 persen dari total waktu dalam setahun sebesar 8 760 jam. Peran istri dalam kegiatan reproduktif lebih tinggi dari pada suami, karena istri melakukan pekerjaan rumahtangga, kegiatan sosial dan kegiatan pribadi termasuk didalamnya mengurus anak, memasak, pengaturan konsumsi pangan dan non pangan. Hal yang sama juga berlaku bagi anak perempuan dewasa yang dituntut untuk melakukan pekerjaan domestik.Alokasi waktu reproduktif suami dan anak laki lebih banyak untuk kegiatan sosial dan waktu luang.

Besarnya kontribusi pendapatan suami, istri, anak laki, dan anak perempuan sebesar 71.09 persen, 10.19 persen, 18.03 persen, dan 0.67 persen dari total penghasilan keluarga rata-rata dari kegiatan usahatani selama satu tahun sebesar Rp.3 982 880.25. Sedangkan kontribusi pendapatan yang diperoleh suami, istri, anak laki dan anak perempuan dari kegiatan non usahatani masing- masing sebesar 35.42 persen, 15.04 persen, 25.36 persen dan 24.17 persen dari rata-rata pendapatan total rumahtangga sebesar Rp.5 851 208.30 per tahun.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa keterbatasan sumberdaya lahan dapat mempengaruhi produksi yang dilakukan oleh petani lahan sawah dengan sistem usahatani sub sisten. Berdasarkan luas kepemilikan lahan dan pendapatan yang diperoleh masing- masing sebagai berikut: kurang dari 0.25 ha, 0.25–0.50 ha dan lebih dari 0.50 ha dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp. 6 172 000, Rp. 9 191 000, dan Rp. 14 365 000. Kemampuan produksi dan pendapatan yang diperoleh dari usahatani tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumsi terutama bagi petani berlahan sempit. Sebagai alternatif peningkatan daya beli ekonomi rumahtangga, petani lahan sawah bekerja diluar usahatani dan usaha ternak.

(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

(5)

STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR

Oleh :

SOEPRIATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Nama : Soepriati

Nomor Pokok : A 151020461

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1.Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Ketua

Prof.Dr.Ir.Sjafri Mangkuprawira Dr.Ir.Ekawati Sri Wahyuni, MS

Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Prof.Dr.Ir.Bonar M. Sinaga, MA Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS

(7)

Penulis dilahirkan di Kota Pati, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 10 April

1972. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara dari Bapak Moestamin, SM

dan Ibu Hj.Sudarmisih.

Pada tahun 1984 penulis lulus dari SD Keluarga I Pati, tahun 1987 lulus dari

SMP Negeri III Pati dan tahun 1990 lulus dari SMA Negeri I Pati. Pada tahun 1994

Penulis memperoleh gelar Ahli Madya dari Akademi Akuntansi YKPN Yogyakarta,

dan pada tahun 1996 Penulis telah menyelesaikan studi Ilmu Akuntansi di Sekolah

Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta.

Pada tahun 1997 penulis bekerja sebagai auditor di Kantor Jasa Audit di

Semarang, kemudian tahun 1999 penulis diterima bekerja pada Badan Ketahanan

Pangan Departemen Pertanian. Pada tahun 2002 penulis mendapatkan kesempatan

untuk melanjutkan pendidikan pada program Magister Sains di IPB dengan biaya

sendiri. Sampai sekarang penulis masih bekerja sebagai staff di Badan Ketahanan

(8)

PRAKATA

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah Subhana Wata’ala atas

Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul

: ”Peranan Produksi Usahatani dan Gender dalam Ekonomi Rumahtangga Petani

Lahan Sawah Studi Kasus di Kabupaten Bogor.

Penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan

dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima

kasih dan rasa hormat yang mendalam terutama kepada Dr.Ir. Rina Oktaviani, MS

selaku ketua, Prof.Dr.Ir. Sjafri Mangkuprawira dan Dr.Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS

selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan berbagai masukan dan

arahan yang sangat konstruktif bagi penyempurnaan tulisan ini. Selain itu, ucapan

terima kasih kepada Dr.Ir. Nunung Kusnadi, MSi selaku penguji luar komisi pada

ujian tesis tanggal 28 Februari 2006 yang telah memberikan koreksi dan saran

konstruktif untuk kesempurnaan tesis ini.

Selanjutnya pada kesempatan ini, Penulis juga menyampaikan rasa terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta staf yang telah memberikan

berbagai kemudahan selama mengikuti kegiatan akademis.

2. Bapak Ir. Djodi Tjahjadi K, MM selaku Kepala Pusat Pemberdayaan Ketahanan

Pangan Masyarakat, yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk melanjutkan

studi pada Program Pascasarjana IPB.

3. Bapak Dr.Ir. Ardi Jayawinata, MASc, selaku Kepala Bidang Kerawanan Pangan

(9)

4. Yayasan Pengembangan Sumber Daya Manusia Indonesia (Foundation For

Indonesian Human Resources Development), selaku penyandang dana Beasiswa

Bank of Tokyo Mitsubishi yang telah memberikan bantuan dana untuk

penyelesaian tesis.

5. Rekan-rekan Bidang Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan dan

rekan-rekan Program Studi EPN angkatan 2002 yang telah memberikan motivasi dan

pada penulis untuk menyelesaikan tesis ini .

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang

mendalam kepada Bapak dan Ibu serta kakak-kakakku Naning, Wahyu dan Nunuk

yang telah memberikan dukungan, perhatian, kasih sayang dan doa yang tulus ikhlas

sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

Besar harapan penulis agar berbagai pemikiran yang tertuang dalam tulisan

ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah, khususnya dalam menyikapi

masalah ekonomi rumahtangga petani. Penulis menyadari, sebagai bagian dari suatu

proses tentunya dalam menyusun tesis ini masih menemui berbagai kekurangan.

Bogor, September 2006

(10)
(11)

xi 5.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat dengan Pendekatan Gender... ... 5.5. Kondisi Ketahanan Pangan Wilayah...

ALOKASI WAKTU KERJA, KONTIBUSI PENDAPATAN, DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH

6.1. Curahan Tenaga Kerja Rumahtangga Petani Lahan Sawah ... 6.1.1. Alokasi Waktu Kerja pada Usahatani...

(12)

xii

8.1. Validasi Model Keputusan Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Sawah.. 8.2. Dampak Perubahan Kebijakan Harga Input dan Output Usahatani Terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Sawah ... 8.2.1. Penurunan Luas Lahan Pertanian Sebesar 25 Persen... 8.2.2. Perubahan Harga Urea...

8.2.2.1. Penurunan Harga Urea Sebesar 15 Persen... 8.2.2.2. Kenaikan Harga Urea Sebesar 52 Persen... 8.2.3. Peningkatan Harga Jual Padi, Ubi Jalar, dan Ubi Kayu... 8.2.4. Dampak Perubahan Harga Urea, TSP, Padi, Ubi Jalar, dan Ubi Kayu... 8.3. Rekapitulasi Hasil Skenario Kebijakan Terhadap Ekonomi Rumahtangga

(13)
(14)

xiv

(15)

xv

Nomor Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Nilai Kepuasan Maksimum... Fungsi Kepuasan, Efek Pendapatan, Efek Substitusi, dan Efek Total... Penawaran Tenaga Kerja ... Kerangka Pikir Konseptual Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Sawah... Proporsi Pekerjaan Responden... Karakteristik Tingkat Pendidikan Anggota Rumahtangga Petani...

(16)

xvi

Nomor Halaman

1.

2.

3.

4.

5. 6. 7. 8.

9.

Program Pendugaan Model Peranan Produksi Usahatani dan Gender dalam Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Sawah... Hasil Pendugaan Parameter Model Peranan Produksi Usahatani dan Gender dalam Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Sawah...

Program Simulasi Dasar dan Validasi Model Peranan Produksi Usahatani dan Gender dalam Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Sawah di Kabupaten Bogor... Hasil Analisis Nilai Simulasi Dasar dan Validasi Model Peranan Produksi Usahatani dan Gender dalam Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Sawah di Kabupaten Bogor... Program Simulasi Penurunan Luas Lahan Sawah Sebesar 25 Persen... Program Simulasi Penurunan Harga Urea Sebesar 15 Persen... Program Simulasi Kenaikan Harga Urea Sebesar 52 Persen... Program Simulasi Kenaikan Harga Kenaikan Harga Jual Padi Naik 33 Persen, Harga Ubi Jalar Naik 20 Persen, dan Harga Ubi Kayu Naik 50 Persen... Program Simulasi Kenaikan Harga Urea, TSP, Padi, Ubi Jalar, dan Ubi Kayu ...

109

111

117

119 121 123 125

127

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Produksi usahatani adalah kegiatan yang dilakukan petani untuk mengelola

lahan, sarana produksi yang terdiri dari: benih atau bibit, pupuk, pestisida, tenaga

kerja serta modal untuk menghasilkan komoditas pangan. Komoditas pangan yang

dihasilkan berupa tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan perkebunan. Sebagian

besar komoditas yang dihasilkan rumahtangga petani lahan sawah adalah padi, ubi

jalar, dan ubi kayu. Kecenderungan untuk memilih tanaman tersebut dipengaruhi oleh

biaya produksi, tingkat upah, harga jual, luas lahan, dan permintaan pasar. Selain itu,

aktivitas ekonomi rumahtangga petani lahan sawah dipengaruhi oleh alokasi waktu

dan curahan kerja untuk memperoleh kepuasan dan pendapatan.

Kegiatan ekonomi rumahtangga petani lahan sawah terdiri dari kegiatan

produksi usahatani dan non usahatani. Pilihan kegiatan tersebut dipengaruhi tingkat

upah atau pendapatan yang ditawarkan, luas kepemilikan lahan, tingkat pendidikan,

usia, pengalaman, dan faktor sosial budaya. Selain itu, adanya fregmentasi lahan dan

alih fungsi lahan pertanian untuk perumahan, industri, dan lainnya sangat

mempengaruhi pendapatan rumahtangga petani lahan sawah. Lahan yang semakin

sempit menyebabkan hasil produksi menurun dan kemampuan daya beli petani

menjadi rendah. Rendahnya daya beli petani berpengaruh terhadap kemampuan akses

rumahtangga untuk konsumsi pangan dan non pangan.

Kemampuan daya beli unt uk mengakses pangan merupakan indikasi

ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya

pangan di tingkat rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup

(18)

ketahanan pangan rumahtangga petani lahan sawah dilihat dari aspek ketersediaan

dan konsumsi pangan, adalah luas kepemilikan lahan untuk melakukan kegiatan

produksi sehingga memperoleh pendapatan yang digunakan untuk konsumsi

rumahtangga. Secara konsepsional ketahanan pangan yang telah diterima Sidang

Komite Pangan Dunia ke 18 tahun 1993 mencakup tiga aspek penting yaitu:

(1) ketersediaan pangan, (2) stabilisasi harga dan penyediaan bahan pangan, dan

(3) akses individu dan rumahtangga untuk mendapatkan pangan. Untuk memenuhi

ketiga aspek tersebut, arah pengukuran ketahanan pangan tidak hanya pada tingkat

agregatif nasional tetapi juga diukur pada tingkat rumahtangga.

Ketahanan pangan rumahtangga petani lahan sawah ditentukan oleh sektor

pertanian sebagai sumber pendapatan. Sumber pendapatan tersebut berasal dari hasil

produksi usahatani, nilai upah, dan harga jual komoditas yang dihasilkan. Apabila

sektor pertanian mampu sebagai penyerap tenaga kerja dan penghasil bahan pangan

untuk memenuhi kebutuhan yang layak maka kecenderungan petani selalu bertumpu

pada sektor pertanian sebagai sumber pendapatan.

Menurut data BPS Propinsi Jawa Barat, penyerapan tenaga kerja terutama

sektor pertanian lebih tinggi daripada sektor lainnya, namun pada tahun 1996

mengalami penurunan. Hal ini disebabkan adanya perpindahan tenaga kerja dari

sektor pertanian ke sektor industri, bangunan, perdagangan, transportasi, dan jasa

kemasyarakatan. Perpindahan tersebut diakibatkan adanya daya tarik perkotaan yang

memberikan tingkat upah lebih tinggi daripada pedesaan. Pada tahun 1997

penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian lebih tinggi daripada sektor pertanian

karena alasan pendapatan yang diperoleh diluar sektor pertanian lebih tinggi.

Penyerapan tenaga kerja terbesar pada sektor perdagangan dan sektor industri

(19)

pertanian terus bertambah dan jumlah tenaga kerja pedesaan juga meningkat karean

terjadi pergeseran ke sektor bangunan dan sektor lainnya. Perubahan struktur

penyerapan tenaga kerja sektor pertanian khususnya di Jawa Barat dapat dilihat pada

Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Perubahan Struktural Penyerapan Tenaga Kerja Pedesaan di Jawa Barat, Tahun 1986-2004

Sumber : Keadaan Angkatan Kerja Indonesia , BPS 1986, 1991, 1997, 2002, 2004

Keterangan : ( ) adalah proporsi jumlah tenaga kerja masing-masing sektor perekonomian terhadap jumlah tenaga kerja pedesaan dan proporsi tenaga kerja pedesaan dan perkotaan terhadap jumlah total tenaga kerja di Propinsi Jawa Barat.

Perubahan struktur penyerapan tenaga kerja juga terjadi di Kabupaten Bogor.

Hal ini ditunjukkan oleh persentase jenis pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kerja

pria dan wanita di perkotaan dan pedesaan. Di perkotaan, jumlah pekerja sektor jasa

sebanyak 26.7 persen dilakukan oleh tenaga kerja pria, sedangkan tenaga kerja wanita

bergerak di sektor industri pengolahan sebanyak 34.3 persen. Sedangkan di wilayah

(20)

tanaman pangan, masing- masing sebanyak 21.3 persen dan 16.4 persen (BPS

Kabupaten Bogor, 2003). Kondisi ini menunjukkan bahwa curahan kerja pria dan

wanita di pedesaan sebagai petani masih cukup besar. Hal ini dipengaruhi

kepemilikan sumberdaya berupa lahan pertanian yang merupakan lahan warisan,

faktor pengalaman bertani dari orang tua serta keterbatasan tingkat pendidikan

masyarakat pedesaan rata-rata berpendidikan sekolah dasar menjadi alasan untuk

melakukan kegiatan usahatani. Sektor penyerapan tenaga kerja menurut jenis kelamin

di perkotaan dan pedesaan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sektor Penyerapan Tenaga Kerja Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kelamin dan Wilayah di Kabupaten Bogor, Tahun 2003

Jumlah Tenaga Kerja di Kota Jumlah Tenaga Kerja di Desa

Pria Wanita Pria Wanita

untuk me ningkatkan ketahanan pangan masyarakat dan aktivitas ekonomi

rumahtangga petani. Untuk itu pengembangan sektor pertanian masih perlu

mendapatkan perhatian melalui penerapan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada

kepentingan petani, seperti: kebijakan pertanahan, pembangunan sarana prasarana

(21)

Teori ekonomi mengungkapkan bahwa perubahan struktur tenaga kerja diikuti

oleh peningkatan luas penguasaan lahan pertanian per tenaga kerja. Sehingga

dimungkinkan penggunaan teknologi modern akan memberikan kenaikan pada total

produksi pertanian, akan tetapi luas penguasaan lahan pertanian per tenaga kerja

pertanian terdapat kecenderungan menurun. Penurunan luas lahan disebabkan oleh

alih fungsi lahan dan perubahan kepemilikan lahan dari pemilik dan penggarap

menjadi buruhtani.

Petani pemilik lahan sawah akan berusaha memaksimumkan sumberdaya

yang dimilikinya dengan mengusahakan tanaman pangan sebagai produksi utama.

Hasil panen dari produksi tersebut sebagian dijual dan sebagian lainnya untuk

konsumsi rumahtangga. Akibat menyempitnya lahan berpengaruh terhadap hasil

panen, produktivitas sektor pertanian dan menurunnya pendapatan. Tingkat

produktivitas pertanian berpengaruh terhadap ekonomi rumahtangga petani. Selain

luas kepemilikan lahan, produktivitas ekonomi rumahtangga juga dipengaruhi oleh

tingkat pendidikan, umur, jumlah angkatan kerja rumahtangga, harga input, harga

output, serta faktor sosial budaya lainnya yang tidak dapat terukur.

Kondisi ekonomi rumahtangga petani lahan sawah mempunyai karakteristik

spesifik. Karakteristik rumahtangga petani lahan sawah antara lain: tingkat

pendapatannya rendah, alokasi curahan tenga kerja anggota rumahtangga lebih besar,

tingkat pendidikannya rata-rata lulusan SD dan SLTP, sehingga kemampuan

penyerapan teknologi masih rendah. Keterbatasan kemampuan SDM menyebabkan

daya tawar pekerjaan di luar sektor pertanian yang menuntut ketrampilan lebih tidak

dapat terpenuhi. Oleh karena itu, sebagian besar rumahtangga petani di pedesaan

masih mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber pendapatan. Sebagian tenaga

(22)

Tinggi semakin mengurangi jam kerja di sawah dan melakukan migrasi untuk

mendapatkan upah dan hasilnya ditransfer ke rumah untuk memenuhi kebutuhan

rumahtangga.

Rumahtangga petani lahan sawah dalam mengalokasikan waktu berbagai

kegiatan dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar keluarga serta pembagian peran

dalam rumahtangga. Faktor dalam keluarga adalah usia, pengalaman, jenis kelamin,

pengetahuan, ketrampilan, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan kepala keluarga,

lahan, dan aset lainnya. Faktor di luar keluarga adalah tingkat upah, harga barang,

jenis pekerjaan, teknologi, dan struktur sosial. Faktor dalam dan luar keluarga tidak

saja mempengaruhi jenis kegiatan yang akan dipilih tetapi juga mempengaruhi hasil

yang diperoleh.

Untuk memperoleh pendapatan rumahtangga yang maksimum, perlu adanya

pembagia n peran dalam pekerjaan domistik dan pekerjaan di luar rumah dalam

melakukan aktivitas ekonomi. Pembagian kerja antar anggota keluarga tidak saja

ditentukan oleh investasi sumber insani dan produksi, tetapi juga oleh gender. Secara

biologis, hakekatnya kaum wanita tidak hanya berperan dalam fungsi reproduksi saja

tetapi juga dalam produksi. Jika wanita mempunyai keuntungan komparatif lebih

besar daripada pria dalam pekerjaan rumahtangga, dibandingkan dengan investasi

serupa dalam kapital sosial maka alokasi waktu digunakan untuk pekerjaan keluarga,

sedangkan pria sebagai pencari nafkah keluarga. Jika substitusi waktu terjadi dalam

keadaan sempurna, misalnya karena opportunity cost tidak sama dengan nol (positif)

dan terdapat anggota lain yang mampu mengambil alih pekerjaan keluarga maka

kaum wanita berkontribusi secara langsung dalam pendapatan keluarga sebagai

(23)

1.2. Perumusan Masalah

Produksi usahatani yang dihasilkan petani di lokasi penelitian berupa: padi,

ubi jalar, dan ubi kayu. Hasil produksi tersebut, sebagian dikonsumsi dan sebagian

dijual untuk melakukan aktivitas ekonomi rumahtangga. Aktivitas ekonomi

rumahtangga petani antara lain: aktivitas yang menghasilkan pendapatan, memenuhi

kepuasan, konsumsi pangan, dan non pangan. Konsumsi pangan merupakan aktivitas

ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup manusia

sekaligus merupakan unsur penting dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia.

Sedangkan konsumsi non pangan merupakan aktivitas penunjang seperti: kesehatan,

sandang, perumahan, dan pendidikan.

Dalam melakukan aktivitas ekonomi rumahtangga petani lahan sawah,

terdapat banyak permasalahan, antara lain dipengaruhi: tingkat pendidikan anggota

rumahtangga perempuan rata-rata lebih rendah dibandingkan laki- laki, faktor sosial

budaya dan gender yang berpengaruh terhadap pembagian peran. Serta adanya

penyempitan luas lahan untuk usaha pertanian yang kurang didukung oleh

peningkatan teknologi menyebabkan rendahnya produksi yang dihasilkan, dan harga

jual komoditas pertanian di tingkat petani yang kurang layak karena tidak seimbang

dengan tingginya harga input produksi.

Faktor perbedaan peran antara perempuan dan laki- laki menyebabkan

kurangnya pengetahuan perempuan dalam hal kegiatan produksi dan pemasaran

karena tidak dilibatkan dalam aktivitas tersebut. Keterlibatan peran perempuan dalam

usahatani terbatas pada kegiatan tanam dan panen. Masalah lain akibat dari

penyempitan lahan dan harga jual komoditas pertanian yang kurang layak

menyebabkan motivasi bagi petani lahan sawah menjadi berkurang untuk bertanam

(24)

pada aktivitas pertanian menurun sehingga produksi berkurang. Bagi sebagian petani

pemilik modal yang berpengalaman akan melakukan alih fungsi lahan pertanian

untuk usaha kolam perikanan atau berusahatani diluar tanaman pangan. Namun petani

yang kurang memiliki modal akan beralih menjadi buruh bangunan atau bekerja di

sektor jasa. Perubahan struktur tenaga kerja di pedesaan yang tidak diikuti

peningkatan ketrampilan menyebabkan kesempatan berusaha di sektor pertanian

berkurang dan menimbulkan pengangguran di pedesaan, sehingga daya beli petani

rendah dan dapat menimbulkan kemiskinan di pedesaan.

Kemiskinan ditunjukkan oleh lemahnya daya beli untuk memenuhi kebutuhan

rumahtangga. Jumlah penduduk miskin yang telah menurun hingga sebelum krisis

ekonomi, telah meningkat lagi sejak tahun 1998. Pada tahun 1996 proporsi penduduk

miskin sebesar 17.7 persen (34.5 juta jiwa), pada Desember 1998 yang merupakan

puncak krisis naik menjadi 24.2 persen (49.5 juta jiwa). Pembangunan nasional pasca

krisis telah menampakkan hasilnya dengan berkurangnya penduduk miskin menjadi

23.5 persen pada 1999, jauh semakin berkurang menjadi 18.1 persen setara 37.9 juta

jiwa pada tahun 2001. Namun data terakhir menurut BPS, jumlah penduduk miskin

pada tahun 2005 meningkat menjadi 40 juta jiwa. Tingginya angka kemiskinan

tersebut berdampak terhadap kegiatan ekonomi rumahtangga untuk mewujudkan

ketahanan pangan karena rendahnya daya beli masyarakat untuk konsumsi pangan

yang merupakan kebutuhan pokok.

Berdasarkan hasil analisis tingkat ketahanan pangan di Propinsi Jawa Barat

khususnya Kabupaten Bogor termasuk salah satu wilayah yang dikategorikan kurang

tahan pangan (Khomsan, 1999). Data yang digunakan untuk melakukan analisis

ketahanan pangan wilayah dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi

(25)

wilayah dan konsumsi pangan penduduk. Ukuran ketersediaan pangan penduduk,

berasal dari hasil produksi padi dibandingkan konsumsi penduduk rata-rata adalah

beras. Kebutuhan beras dicukupi dari luar daerah, karena sebagian besar produksi

petani di Bogor adalah ubi jalar dan ubi kayu. Rendahnya harga jual ubi jalar dan ubi

kayu kurang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi. Hal tersebut menyebabkan

rendahnya kemampuan daya beli petani dan dapat menimbulkan ketidaktahanan

pangan rumahtangga, karena masih sering ditemui seiring dengan meningkatnya

jumlah penduduk miskin yang menunjukkan adanya hambatan terhadap akses pangan

dan kegiatan ekonomi rumahtangga.

Kemampuan akses pangan rumahtangga petani dilakukan melalui produksi

sendiri atau membeli pangan dengan harga yang dapat terjangkau oleh kemampuan

daya beli. Kemampuan daya beli untuk melakukan akses pangan dan memenuhi

kebutuhan konsumsi merupakan bagian dari aktivitas ekonomi rumahtangga.

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi aktivitas ekonomi rumahtangga petani lahan

sawah adalah curahan waktu kerja, luas kepemilikan lahan, harga input (berupa biaya

upah tenaga kerja, biaya sarana produksi, pupuk, dan benih) serta sumber-sumber

pendapatan anggota rumahtangga. Faktor lainnya adalah sumberdaya rumahtangga

dengan karakteristik seperti: tingkat pendidikan, tingkat usia, dan jumlah anggota

rumahtangga yang menjadi tanggungan keluarga.

Salah satu faktor input produksi usahatani adalah kepemilikan lahan. Kondisi

petani di Kabupaten Bogor adalah petani berlahan sempit dengan rata-rata skala

penguasaan usahatani padi hanya 0.3 hektar. Terdapat sekitar 70 persen petani padi

terutama buruh tani dan petani skala kecil termasuk golongan masyarakat miskin dan

berpendapatan rendah. Berdasarkan data Susenas maupun Patanas menunjukkan

(26)

pengeluaran konsumsi. Proporsi pengeluaran pangan untuk padi-padian, ikan, dan

daging masing- masing sebesar 36.9 persen, 9.5 persen dan 3.1 persen (BKP, 2003).

Perbedaan pengeluaran jenis pangan tersebut disebabkan adanya kekhasan

agroekosistem dengan ciri dominan usahatani padi. Sebagian besar petani

menghasilkan dan mengkonsumsi beras yang diproduksinya.

Achmad (1988), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pengeluaran

konsumsi makanan adalah luas lahan, kehadiran anak, kualitas irigasi sawah, dan

jarak tempat tinggal ke pusat perekonomian, berpengaruh nyata pada taraf nyata 1

persen. Variabel- variabel yang berkaitan dengan karakteristik rumahtangga petani

ditunjukkan oleh tingkat pendidikan istri berpengaruh nyata pada taraf 5 persen,

sedangkan umur istri secara statistik tidak berpengaruh nyata. Luas lahan

berpengaruh positif terhadap besarnya pengeluaran untuk makanan jadi. Artinya

semakin luas pengusahaan lahan suatu rumahtangga semakin tinggi pengeluaran

untuk makanan jadi. Luas lahan dimaksudkan sebagai proksi terhadap pendapatan

rumahtangga. Asumsi ini didukung bukti empiris dalam Tabel 3, baik dari pendekatan

pendapatan maupun pengeluaran. Dengan demikian peningkatan pendapatan keluarga

akan menyebabkan peningkatan pengeluaran pangan.

Tabel 3. Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Contoh di Pedesaan Kabupaten Bogor Berdasarkan Luas Penguasaan Lahan, Tahun 2004

Pendapatan Pertanian

Total Pengeluaran

Pangan

Total Kelas

Penguasaan Lahan

Rp. (000) (%) Rp.(000) Rp.(000) (%) Rp.(000)

Kurang dari 0.25 ha 949 0.15 6 172 1 855 0.35 5 261

0.25 ha – 0.50 ha 2 864 0.31 9 191 3 534 0.48 7 385

Lebih dari 0.5 ha 7 597 0.53 14 365 4 691 0.51 9 159

Sumber: data diolah

Apabila ditelaah lebih lanjut berdasarkan subsektor pertanian, maka pertanian

tanaman pangan merupakan subsektor yang paling besar angka kemiskinannya

(27)

peternakan, perikanan, dan kehutanan). Pendapatan rata-rata kelompok miskin

subsektor tanaman pangan berada dibawah garis kemiskinan relatif yaitu sebesar

Rp. 95 003 per kapita/bulan dibanding pendapatan per kapita kelompok miskin

subsektor lainnya (Ikhsan, 2001). Data lain dari BPS memperlihatkan bahwa secara

agregat penduduk miskin mempunyai pendidikan formal yang lebih rendah.

Rendahnya pendidikan formal menyebabkan daya kompetitif petani dan angka

partisipasi di pasar tenaga kerja rendah.

Rendahnya daya kompetitif masyarakat pedesaan menimbulkan banyak

pengangguran. Menurut data BPS, 2002 menunjukkan bahwa angka partisipasi

angkatan kerja di Bogor sebesar 62.9 persen dan angka pengangguran terbuka

sebanyak 13.3 persen. Tingginya pengangguran disebabkan oleh keterbatasan

lapangan kerja dan belum optimalnya memanfaatkan waktu untuk kegiatan produktif.

Sehingga banyak waktu luang yang tidak digunakan untuk meningkatkan pendapatan.

Selain itu pembagian kerja dalam aktivitas ekonomi rumahtangga masih dipengaruhi

oleh budaya setempat dan adanya perbedaan peran antara pria dan wanita. Sehingga

aktivitas wanita dalam kegiatan domistik tidak dihitung sebagai waktu produktif

untuk menghasilkan pendapatan. Pengambilan keputusan yang berkaitan dengan

aktivitas usahatani menjadi mayoritas suami sedangkan istri hanya mengelola sumber

pendapatan yang diperoleh. Keterbatasan pengetahuan istri mengenai harga jual dan

pemasaran menyebabkan istri tidak punya peran dalam pengambilan keputusan dalam

aktivitas usahatani.

Menurut data BPS kabupaten Bogor, tenaga kerja produktif di wilayah

pedesaaan masih tinggi, namun kurang didukung oleh ketersediaan lapangan kerja

yang sesuai dan kemampuan sumberdaya manusia terbatas. Hal tersebut akan

(28)

Kegiatan ekonomi rumahtangga petani menjadi menarik untuk diteliti dengan

mengkaitkan unsur perilaku rumahtangga petani lahan sawah dalam melakukan

kegiatan produksi berdasarkan curahan waktu, cara perolehan pendapatan, dan

pengeluaran atau konsumsi yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, karakteristik

rumahtangga petani serta pengaruh kebijakan harga input dan output produksi.

Berdasarkan uraian di atas permasalahannya adalah:

1. Bagaimana alokasi waktu yang dilakukan rumahtangga petani lahan sawah?

2. Bagaimana pengaruh produksi, curahan kerja, pendapatan dan pengeluaran

rumahtangga petani lahan sawah untuk mencukupi konsumsi pangan dan non

pangan?

3. Kontribusi peran gender antara suami dan istri dalam pengambilan keputusan

produksi dan penge lolaan ekonomi rumahtangga petani lahan sawah.

4. Dampak perubahan harga input dan output usahatani petani terhadap ekonomi

rumahtangga petani lahan sawah.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk :

1. Menganalisis alokasi waktu, kontribusi pendapatan dan pola pengeluaran

rumahtangga petani lahan sawah.

2. Menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi produksi, curahan tenaga kerja,

pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani untuk konsumsi pangan dan non

pangan.

3. Menganalisis peran gender dalam pengambilan keputusan produksi dan

pengeluaran konsumsi rumahtangga petani lahan sawah.

4. Menganalisis dampak perubahan perubahan harga input dan output usahatani

(29)

1.4. Batasan Penelitian

Penelitian ini memberikan gambaran mengenai fenomena ekonomi

rumahtangga yang berkaitan dengan alokasi waktu anggota rumahtangga, kegiatan

produksi dan konsumsi yang dilakukan petani lahan sawah sebagai upaya mencukupi

kebutuhan pangan dan non pangan. Variabel-variabel ekonomi diklasifikasikan

menjadi aktivitas usahatani rumahtangga petani lahan sawah, pendapatan dari

usahatani dan diluar usahatani yang digunakan untuk konsumsi pangan dan non

pangan, serta pengaruh kebijakan harga input berupa subsidi pupuk dan kebijakan

harga output berupa pembelian Harga Dasar Gabah (HDG) dan komoditas pangan

lainnya khususnya ubi jalar dan ubi kayu.

Lingkup penelitian ini terbatas pada perilaku anggota rumahtangga petani

pada kegiatan produksi pada lahan sawah yang berpengaruh terhadap perolehan

pendapatan untuk konsumsi pangan dan non pangan. Rumahtangga yang dimaksud

adalah rumahtangga yang memiliki luas garapan untuk usahatani padi monokultur

maupun untuk usahatani ubi jalar dan ubi kayu. Penelitian ini berdasarkan data primer

serta dukungan data sekunder untuk mengetahui karakteristik rumahtangga petani

lahan sawah di Kabupaten Bogor. Karakteristik rumahtangga petani lahan sawah akan

mempengaruhi aktivitas ekonomi rumahtangga untuk mewujudkan ketahanan pangan

dengan melihat sisi produksi, faktor input diantaranya kepemilikan lahan,

sumberdaya manusia, dan alokasi waktu. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat

keterlibatan peran wanita dalam aktivitas produksi dan pengeloaan ekonomi

rumahtangga. Faktor lainnya adalah dampak perubaha n harga input dan output

produksi terhadap pola konsumsi pangan dan non pangan rumahtangga serta curahan

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Aktivitas ekonomi rumahtangga petani lahan sawah erat kaitannya denga n

upaya meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan

rumahtangga sebagaimana hasil rumusan Internasional Congres of Nutrition (ICN)

yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefinisikan bahwa ketahanan pangan

rumahtangga (household food security) adalah kemampuan rumahtangga untuk

memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat

dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Dalam sidang Committee on World Food

Security 1995, didefinisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan harus

diterima budaya setempat (acceptable within given culture). Hal tersebut dinyatakan

Hasan (1995), bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumahtangga antara lain

tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan

terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi

pangan yang beragam dan memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya

setempat.

2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga

Menurut Soetrisno (1995), dua komponen penting dalam ketahanan pangan

adalah ketersediaan dan kemampuan akses terhadap pangan. Tingkat ketahanan

pangan suatu negara/wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi,

kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan, dan kondisi yang membedakan

tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Sawit dan Ariani (1997),

menyatakan bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumahtangga adalah akses

(31)

ketersediaan pangan. Ketahanan pangan rumahtangga dapat dicapai dengan

peningkatan daya beli dan produksi pangan yang cukup. Resiko ketidaktahanan

pangan tingkat rumahtangga timbul karena faktor rendahnya pendapatan atau

rendahnya produksi dan ketersediaan pangan maupun faktor geografis. Sedangkan

menurut Susanto (1996), kondisi ketahanan pangan rumahtangga dipengaruhi tidak

hanya oleh ketersediaan pangan dan kemampuan daya beli tetapi oleh faktor sosial

budaya.

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga

dibedakan menjadi 3 macam: faktor produksi, daya beli, dan karakteristik

rumahtangga tani. Kapasitas bahan pangan dapat bertambah dengan meningkatkan

produksi pangan sendiri. Namun sebaliknya, jika kebutuhan pangan lebih banyak

tergantung pada apa yang dibelinya, maka penghasilan (daya beli) harus dapat

digunakan untuk membeli bahan makanan yang mencukupi baik kuantitas maupun

kualitasnya. Daya beli merupakan indikator tingkat sosial ekonomi seseorang atau

rumahtangga untuk membeli panga n dan non pangan. Pembelian merupakan fungsi

dari faktor kemampuan dan kemauan membeli yang saling berkaitan. Menurut Widya

Karya Nasional Pangan dan Gizi IV (LIPI, 1988) kurangnya ketersediaan pangan

keluarga mempunyai hubungan positif dengan pendapatan keluarga, ukuran keluarga,

dan potensi desa. Rendahnya pendapatan menyebabkan orang tidak mampu membeli

pangan dalam jumlah yang diperlukan. Sedangkan besarnya porsi makanan yang

dimakan berkurang sejalan dengan meningkatnya biaya untuk mendapatkan makanan.

Sementara Purwaka (1994), menyatakan walaupun pendapatan per kapita rata-rata

meningkat, harga akan tetap menjadi kendala bagi masyarakat berpenghasilan rendah

untuk dapat mengkonsumsi pangan sumber hayati laut. Menurut Sen (1982), pada

(32)

kondisi rawan pangan dapat bersifat intelektual, biologi/fisik maupun material yang

dapat digunakan sebagai alat tukar (exchange properties) sebagai upaya mendapatkan

pangan (food entitlement).

2.2. Teori Ekonomi Rumahtangga Pertanian

Hingga saat ini penelitian perilaku rumahtangga petani dalam mengkonsumsi

pangan ataupun dalam memproduksi telah banyak dilakukan, namun sebagian besar

dari penelitian tersebut dilakukan secara partial yaitu melihat rumahtangga petani

sebagai unit konsumen murni atau produsen murni. Hasil penelitian Rachman dan

Suryana (1988), menganggap rumahtangga tani sebagai konsumen murni. Subsidi

input, tingkat upah, luas tanah pertanian, dan kapital tidak pernah dikaitkan memiliki

pengaruh langsung pada konsumsi rumahtangga pedesaan.

Penelitian mengenai perilaku rumahtangga petani dilakukan oleh Barnum dan

Squire (1978) dalam Ellis (1988) dengan menggunakan model ekonometrika

mencoba mengkaitkan perilaku produksi usahatani, konsumsi, dan suplai tenaga kerja

untuk menelaah pertanian semi komersial pada situasi pasar tenaga kerja yang

bersaing. Tujuannya menganalisis dampak migrasi, intervensi harga, dan perubahan

teknologi sektor pertanian. Kesimpulan penting penelitian ini, adanya saling

keterkaitan yang erat antara keputusan produksi dan konsumsi dalam rumahtangga

petani.

Hardono (2002), menggunakan model ekonomi rumahtangga untuk

menganalisis ketahanan pangan rumahtangga pertanian di pedesaan. Penelitiannya

lebih difokuskan pada perilaku rumahtangga pertanian dalam memanfaatkan

sumberdaya yang dimiliki dan merespon berbagai perubahan faktor ekonomi. Data

yang dipergunakan adalah data Patanas (Panel Petani Nasional) tahun 1999. Hasil

(33)

rumahtangga adalah indikator- indikator: produksi usahatani, pendapatan, ketersediaan

dan pengeluaran pangan. Hasil penelitian ini menunjukakan bahwa ketersediaan

pangan akan meningkat seiring dengan kenaikan harga padi dan pendapatan yang

semakin tinggi. Sedangkan kenaikan harga pupuk dan upah buruh tani akan

menurunkan ketahanan pangan.

2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas dan Efisiensi Usahatani

Ishikawa (1975) dalam Ellis (1988), menyatakan bahwa rendahnya tingkat

upah dan produktivitas sektor pertanian antara lain disebabkan terbatasnya

penguasaan lahan dan terbatasnya kesempatan kerja diluar sektor pertanian. Dalam

sejarah pertumbuhan ekonomi, perkembangan yang cepat berasal dari sektor non

pertanian dan peningkatan penguasaan aset produktif pertanian per tenaga kerja.

Kondisi ini akan meningkatkan efisiensi sistem produksi pertanian. Dengan demikian

pendapatan dan kualitas hidup masyarakat pedesaan akan meningkat secara

berimbang. Peningkatan pendapatan dan kualitas hidup tenaga kerja pertanian

ditentukan oleh: (1) kesempatan kerja dan kesempatan berusaha diluar sektor

pertanian, (2) kepadatan agraris, (3) pertambahan penduduk, (4) tingkat

perkembangan teknologi, (5) produktivitas lahan, (6) distribusi penguasaan lahan,

serta (7) intensitas pola tanam. Selama upah tenaga kerja pedesaan relatif rendah,

maka petani berlahan sempit akan berusaha meningkatkan produktivitas dan efisiensi

usahataninya dibandingkan dengan petani berlahan luas, melalui proses transformasi

struktural tenaga kerja pedesaan. Tingkat upah di pedesaan meningkat seiring dengan

tercapainya tingkat full employment di pedesaan, maka penggunaan tenaga kerja,

(34)

2.4. Konsep Produksi Ekonomi Rumahtangga

Konsep produksi dalam ekonomi rumahtangga telah diperkenalkan secara

formal pertama kali oleh Reid (1934) dalam Goldschmidt dan Clermont (2000),

dengan istilah jasa ibu rumahtangga (housewives services). Reid menjelaskan bahwa

produksi dalam rumahtangga merupakan aktivitas atau pekerjaan yang tidak dibayar

(unpaid work) yang dilakukan untuk anggota rumahtangga. Aktivitas tersebut dapat

digantikan dengan barang pasar atau jasa yang dibayar jika pendapatan yang

diperole h dapat menutupi biaya produksi atau penggunaan waktu yang dilakukan.

Goldschmidt dan Clermont (2000), mengutip beberapa paragraf tentang

aktivitas yang didefinisikan Reid, produksi ekonomi didefinisikan sebagai aktivitas

yang menggunakan input tenaga kerja, modal, barang, dan jasa untuk menghasilkan

output barang dan jasa. Aktivitas tersebut meliputi: mencuci, menyiapkan hidangan,

perawatan anak, merawat orang sakit atau lanjut usia yang sepenuhnya dalam batasan

produksi. Batasan produksi secara umum adalah semua barang yang dihasilkan oleh

rumahtangga untuk konsumsi sendiri dengan mengabaikan semua jasa, kecuali jasa

perumahan dimana pemilik sebagai pekerja untuk memenuhi keperluannya sendiri

yang dihasilkan oleh anggota rumahtangga yang dibayar.

Becker (1965), telah memperkenalkan The New Household Economics, dalam

teori ini rumahtangga dianggap sebagai sektor produksi dengan bentuk aktivitas

menyerupai serangkaian aktivitas di pabrik. Rumahtangga memproduksi komoditas

dengan tujuan untuk memuaskan sebagian keinginan seperti rasa haus, lapar,

perlindungan, kebutuhan emosi, relaksasi, dan lainnya. Ciri atau keinginan untuk

memuaskan kualitas komoditas yang dihasilkan dan digunakan, dikenal dengan

(35)

pendapatan dan harga maka rumahtangga masih mempunyai pilihan terhadap

pengeluaran. Dalam teori ini rumahtangga penting untuk mengatur perilaku cara

mereka menghasilkan komoditas dan manfaatnya dalam proses produksi

rumahtangga.

2.5. Analisis Gender Ekonomi Rumahtangga Petani

Terdapat beberapa pengertian atau definisi mengenai gender, diantaranya

menurut Women’s Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa gender merupakan suatu

konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran,

perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara pria dan wanita yang

berkembang dalam masyarakat. Sementara Donnel (1986) dan Eviota (1992) dalam

Mugniesyah (2001), menyatakan gender adalah dikotomi sifat wanita dan pria yang

tidak berdasarkan pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan pada hubungan atau

relasi sosial budaya antara wanita dan pria yang dipengaruhi oleh struktur

masyarakatnya yang lebih luas dan negara.

Pengertian gender mengidentifikasi perbedaan pria dan wanita dari segi sosial

budaya sementara seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan

pria dan wanita dari segi anatomi biologi (Mugniesyah, 2001). Lebih lanjut

dinyatakan adanya tiga peranan gender yang dilakukan wanita dan pria sesuai status,

lingkungan, budaya dan struktur masyarakat. Peranan-peranan tersebut meliputi: (1)

peranan produktif, yaitu peranan yang dikerjakan wanita dan pria untuk memperoleh

bayaran/upah secara tunai atau sejenisnya, termasuk produksi pasar dengan suatu

nilai tukar dan produksi rumahtangga/sistem dengan nilai guna, tetapi juga suatu nilai

tukar potensial, (2) peranan reproduktif, yaitu peranan yang berhubungan dengan

tanggungjawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domistik yang dibutuhkan untuk

(36)

keluarga, dan (3) peranan pengelolaan masyarakat dan politik, dibagi menjadi: (1)

kegiatan sosial yang meliputi: semua aktivitas yang dilakukan pada komunitas

sebagai peranan reproduktif, volunter dan tanpa upah, dan (2) kegiatan masyarakat

politik, yaitu peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada

tingkat formal secara politik Moser dan Caroline (1993) dalam Mugniesyah (2001).

Untuk mengetahui bagaimana ketidakadilan gender, maka harus dipahami

definisi dan perbedaan antara kesetaraan gender (gender equality) dengan keadilan

gender (gender equity). Kesetaraan gender menyatakan bahwa pria dan wanita

keduanya memiliki kebebasan untuk mengembangkan kemampuan personal mereka

dan membuat pilihan-pilihan tanpa pembatasan oleh seperangkat stereotip, prasangka

dan peranan gender yang kaku. Adapun keadilan gender adalah keadilan perlakuan

bagi pria dan wanita berdasarkan pada kebutuhan mereka, mencakup perlakukan

setara atau perlakuan yang berbeda akan tetapi dalam koridor pertimbangan kesamaan

dalam hak-hak, kewajiban, kesempatan dan manfaat ILO (2000) dalam Mugniessyah

(2001).

Fakih (1996), menjelaskan lima wujud ketidakadilan gender, yaitu:

marginalisasi, subordinasi, stereotip, tindak kekerasan dan beban kerja. Dinyatakan

bahwa marginalisasi terjadi karena adanya diskriminasi terhadap pembagian kerja

secara gender, sementara subordinasi terjadi karena adanya anggapan bahwa wanita

mempunyai sifat emosional sehingga dianggap tidak bisa memimpin, karena itu

ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Pengertian stereotip adalah pelabelan

negatif terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu, sementara tindak

kekerasan adalah tindakan kekerasan terhadap wanita baik secara fisik maupun

mental psikologis seseorang, yang terkahir yaitu beban kerja terjadi karena adanya

(37)

kepala rumahtangga akibatnya semua pekerjaan domistik menjadi tanggung jawab

wanita.

Pendapat Cott (1987) dalam Grijns (1999), dalam membahas wanita perlu

mengidentifikasi empat dimensi utama, yaitu: (1) penyingkiran dari pekerjaan

produktif, (2) pemusatan wanita kepada pinggiran-pinggiran pasar tenaga kerja,

wanita dalam hal ini dilihat bekerja di sektor informal dengan status rendah, (3)

pemisahan kegiatan tertentu atas dasar jenis kelamin di sektor-sektor produktif diukur

dengan peningkatan atau penurunan rasio wanita pada setiap jabatan dan (4)

pelebaran ketimpangan ekonomi antara laki- laki dan wanita yang dinilai dari

perbedaan upah dan tidaksamaan akses terhadap fasilitas-fasilitas atau sumberdaya.

Mugniesyah (1995), mengacu pada Bergen Conference on Gender Training

and Development Planning mengemukakan adanya beberapa pertanyaan penting

dalam analisis gender yaitu: (1) siapa melakukan apa ? pertanyaan ini diajukan untuk

mempelajari pembagian kerja (kualitatif) dan curahan waktu (kuantitatif), serta beban

kerja, (2) siapa mempunyai apa? pertanyaan ini untuk mempelajari sejauh mana akses

pria dan wanita terhadap kekayaan, pemilikan benda-benda berharga, dan hak-hak

dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan sumberdaya pribadi dan

publik dalam masyarakat, (3) faktor- faktor apa yang mempengaruhi pengaturan

gender tersebut? pertanyaan ini ditujukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor

budaya, hukum, kebijaksanaan ekonomi dan politik yang akan mempengaruhi

konstruksi gender dan bagaimana hal- hal tersebut bisa berubah serta yang mana yang

dapat dimanipulasi, dan (4) bagaimana sumberdaya pribadi dan publik didistribusikan

dan siapa yang memperoleh apa dari pendistribusian? pertanyaan ini memusatkan

(38)

digunakan, tingkat efisiensi, keadilannya, serta bagaimana membuat kelembagaan

tersebut responsif terhadap wanita dan pria.

Analisis gender perlu dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu: keluarga atau

rumahtangga, masyarakat, dan negara. Pada tingkat keluarga atau rumahtangga

analisis gender dilakukan untuk mempelajari pembagian kerja dan curahan waktu

antara wanita dan pria dalam beragam peranan baik reproduktif, produktif,

pengelolaan masyarakat, akses, dan kontrol anggota keluarga antara pria dan wanita

terhadap beragam sumberdaya seperti: aset produksi, pendidikan, harta, dan lainnya.

Pada tingkat masyarakat analisis gender digunakan untuk mengetahui akses dan

kontrol anggota rumahtangga terhadap beragam sumberdaya seperti: informasi,

kredit, pendidikan, pelatihan, penyuluhan, teknologi, sumberdaya alam, peluang

bekerja dan berusaha, serta program pembangunan lainnya. Adapun pada tingkat

negara, dilakukan dengan mempelajari kebijaksanaan yang melatarbelakangi semua

program atau intervensi pembangunan (Mugniesyah, 2001).

Dalam konteks pembangunan untuk mengidentifikasi ada tidaknya

kesenjangan gender, terdapat empat faktor utama yaitu: (1) akses, (2) kontrol, (3)

partisipasi, dan (4) manfaat. Akses adalah apakah wanita dan pria memperoleh,

melaksanakan, menikmati beragam sumberdaya yang sama dalam pembangunan,

kontrol adalah apakah wanita dan pria mampu menentukan, bertanggungjawab,

mengambil keputusan, dan memiliki penguasaan yang sama terhadap sumberdaya

pembangunan, partisipasi adalah bagaimana wanita dan pria berpartisipasi dalam

program-program pembangunan, dan manfaat adalah apakah wanita dan pria

(39)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Teoritis

Becker (1965), mengembangkan teori yang mempelajari tentang perilaku

rumahtangga (household behavior). Teori tersebut memandang rumahtangga sebagai

pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi, serta hubungannya

dengan alokasi waktu dan pendapatan rumahtangga yang dianalisis secara simultan.

Asumsi yang digunakan adalah konsumsi kepuasan rumahtangga bukan hanya dari

barang dan jasa yang dapat diperoleh di pasar, tetapi juga dari berbagai komoditas

yang dihasilkan rumahtangga. Selain itu ada beberapa asumsi yang dipakai dalam

agriculture household model yaitu: (1) waktu, barang atau jasa merupakan unsur

kepuasan, (2) waktu, barang atau jasa dapat dipakai sebagai input dalam fungsi

produksi rumahtangga, dan (3) rumahtangga bertindak sebagai produsen dan sebagai

konsumen. Becker pertama kali mengembangkan dan menerapkan fungsi utilitas

sederhana dari konsumsi barang-barang ke dalam New Household Economics dan

menyatakan bahwa ada dua proses dalam perilaku rumahtangga yaitu proses produksi

yang digambarkan oleh fungsi produksi dan proses konsumsi yang merupakan

pemilihan terhadap barang dan waktu yang akan dikonsumsi.

Konsep pemikiran ekonomi rumahtangga berdasarkan alokasi curahan waktu

dan pendapatan anggota rumahtangga untuk melakukan kegiatan produksi, konsumsi

pangan, dan non pangan. Alokasi waktu kegiatan produktif anggota rumahtangga

untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan dengan memaksimalkan waktu

luang guna meningkatkan pendapatan. Hal ini berkaitan dengan faktor pilihan utilitas

antara waktu santai dan substitusi pendapatan. Alokasi pemanfaatan waktu untuk

(40)

3.1.1. Curahan Tenaga Kerja

Analisis tentang curahan waktu tenaga kerja merupakan analisis tentang

penawaran tenaga kerja yang pada prinsipnya membahas keputusan anggota

rumahtangga dalam pilihan jam kerjanya. Anggota rumahtangga dalam

mengalokasikan jam kerja bertindak rasional, yaitu memaksimalkan utilitasnya.

Maksimisasi utilitas anggota rumahtangga dilakukan dengan mengkombinasikan

waktu santai dan barang konsumsi untuk memaksimumkan kepuasan. Tiap angkatan

kerja anggota rumahtangga dihadapkan pada pilihan bekerja atau tidak. Apabila

memilih bekerja akan memberikan nilai guna pendapatan yang lebih tinggi,

sebaliknya jika tidak bekerja yang dipilih, maka waktu santai akan mempunyai nilai

guna lebih tinggi daripada pendapatan (Mangkuprawira, 1985). Adanya kedua pilihan

tersebut akan menghasilkan kombinasi untuk menghasilkan berbagai kombinasi

untuk mencapai kepuasan maksimum (Gambar 1). Anggota rumahtangga akan

mengkonsumsi Bo dan Wo untuk mendapatkan tingkat kepuasan Uo. Jika makin

banyak B dan W yang dikonsumsi, makin tinggi tingkat kepuasan U yang dicapai

(U2>U1>U0).

Sumber: Simanjuntak, 2001

Gambar 1. Nilai Kepuasan Maksimum

U2

U1

U0

W0 W1 W2

B0

B1

B2

(41)

D3 D1 D2

E2

E1

E3

Kesempatan mengkonsumsi barang dan waktu santai bagi anggota

rumahtangga menghadapi dua kendala, yaitu kendala pertama adalah waktu yang

jumlahnya terbatas 24 jam per hari dan kendala kedua adalah keterbatasan anggaran.

Agar diperoleh kombinasi maksimum dengan mempertimbangkan kendala yang ada,

maka kombinasi optimum terletak pada garis anggaran dan menyinggung kurva

indeference. Bila terjadi kenaikan tingkat upah berarti terdapat tambahan pendapatan.

Seseorang yang mempunyai status ekonomi lebih tinggi cenderung meningkatkan

konsumsi dan menikmati waktu santai lebih banyak yang berarti pengurangan jam

kerja (efek pendapatan). Dilain pihak kenaikan tingkat upah berarti harga waktu

santai menjadi lebih mahal dan mendorong keluarga mensubstitusi waktu santai

dengan lebih banyak bekerja untuk menambah konsumsi barang (efek substitusi).

Efek total dari perubahan tingkat upah adalah selisih dari efek pendapatan dan efek

substitusi. Jelasnya dikemukakan pada Gambar 2.

Sumber: Simanjuntak, 2001

Gambar 2 . Fungsi Kepuasan, Efek Pendapatan, Efek Substitusi dan Efek Total 0

A C1

C” C2

Upah

H B B” U1

U2

(42)

E4

E3

E2

E1

Misalkan tingkat upah naik sehingga garis anggaran berubah dari BC1 menjadi

BC2. Perubahan tingkat upah menghasilkan pertambahan pendapatan yang dilukiskan

dengan garis B”C” yang sejajar dengan BC1. Pertambahan pendapatan mendorong

keluarga untuk mengurangi jumlah jam kerja dari HD1 menjadi HD2 atau dari titik E1

ke titik E2 (efek pendapatan). Kenaikan tingkat upah berarti harga waktu menjadi

lebih mahal. Nilai waktu yang lebih tinggi mendorong keluarga mensubstitusi waktu santai untuk lebih banyak bekerja guna menambah konsumsi barang. Penambahan waktu bekerja tersebut dinamakan efek substitusi, yang ditunjukkan oleh penambahan

jam kerja dari HD2 ke HD3 atau dari titik E2 ke titik E3. Efek total dari perubahan

tingkat upah adalah selisih dari efek pendapatan dengan efek subsitusi.

Sebaliknya kenaikan tingkat upah akan mengakibatkan pengurangan waktu

bekerja, apabila efek substitusi lebih kecil dari efek pendapatan. Hal ini ditunjukkan

oleh perubahan upah dari BC3 menjadi BC4 yang mengakibatkan waktu bekerja

berkurang dari HD3 menjadi HD4 (Gambar 3). Besarnya penyediaan waktu bekerja

sehubungan dengan perubahan tingkat upah seperti ditunjukkan oleh grafik

BE1E2E3E4En yang disebut fungsi penawaran (Simanjuntak, 2001).

Sumber: Layard and Walters (1987) dalam Simanjuntak (2001) Gambar 3. Penawaran Tenaga Kerja

En

B

H

D1

D2

D4

D3

0 A

C1

C2

C3

C4

(43)

3.1.2. Alokasi Waktu

Pendekatan analisis perilaku ekonomi rumahtangga menggunakan teori

alokasi waktu. Peningkatan produktivitas ekonomi rumahtangga dipengaruhi oleh

peran anggota rumahtangga dalam melakukan curahan waktu bekerja yang optimum.

Dalam suatu rumahtangga kegiatan produksi dan konsumsi berkaitan erat. Menurut

Becker (1965), memandang rumahtangga sebagai pengambil keputusan dalam

kegiatan produksi dan konsumsi serta berhubungan dengan alokasi waktu dan

pendapatan rumahtangga yang dianalisis secara simultan. Asumsi yang digunakan

yaitu: (1) waktu dan barang atau jasa merupakan unsur kepuasan, (2) waktu dan

barang atau jasa dapat dipakai sebagai input dalam fungsi produksi rumahtangga dan

rumahtangga bertindak sebagai produsen dan konsumen. Fungsi kepuasan

rumahtangga pada teori ekonomi rumahtangga yang dikemukakan oleh Becker

adalah:

U = U (Z1, Z2,…Zm)... (3.1)

dimana: Z1 = produk yang dihasilkan rumahtangga (i = 1,2,…m)

Setiap komoditas yang dihasilkan menurut fungsi produksi sebagai berikut

Z = Zi (Xi, Thi) ... (3.2)

dimana:

Xi = barang dan jasa

Th = jumlah waktu yang dipakai untuk memproduksi barang Z ke i

i = 1,2, ...n

Pada dasarnya Zi adalah barang abstrak atau tidak dijual oleh karena itu

barang tersebut dinilai dalam bentuk harga bayangan (? i) yang sama dengan biaya

produksi yang dirumuskan sebagai berikut:

Zi wThi Zi

PiXi

i= +

(44)

Dengan menggunakan (? i) maka dinyatakan kendala pendapatan penuh

sebagai berikut:

S iZi Thi

w

PiXi+ Σ =ΣΠ =

Σ ... (3.4)

Bila fungsi kepuasan (3.1) dimaksimumkan dengan kendala penuh (3.4) maka

kondisi keseimbangan terjadi bila rasio utilitas marginal dari komoditas yang berbeda

sama dengan rasio harga bayangan masing- masing komoditas tersebut.

Gronau (1977), menyempurnakan formula Becker, sebab dalam formula

Becker tidak memperlihatkan perbedaan waktu luang dan waktu bekerja di rumah.

Gronau berpendapatan bahwa Becker mempunyai asumsi perilaku rumahtangga

untuk aktivitas rumahtangga dan waktu luang bereaksi sama terhadap perubahan

lingkungan, sehingga terhapusnya waktu kerja di rumah dalam formulasi Becker

dikarenakan kesulitan dalam membedakan secara eksplisit antara waktu kerja di

rumah dan waktu luang dalam aktivitas lingkungan sosial ekonomi.

Gronau (1977), fungsi kepuasan terhadap komoditas Z merupakan kombinasi

barang dan jasa (X) serta waktu luang (L). Formulanya sebagai berikut:

Z = z (X,L) ... (3.5)

Total barang dan jasa (X) terbagi atas barang dan jasa yang dibeli di pasar (Xm) dan

barang dan jasa yang diproduksi di rumah (Xh). Rumahtangga dalam hal ini tidak

hanya bertindak sebagai konsumen, tetapi juga sebagai produsen, sehingga Xh

dihasilkan dari bekerja di rumah (H) dengan persamaan sebagai berikut :

X = Xm + Xh ... (3.6)

(45)

Dalam memaksimumkan kepuasan (Z), rumahtangga dibatasi dua kendala

yaitu kendala angggaran dan kendala waktu, sehingga persamaannya dapat ditulis

sebagai berikut:

Xm = wN +V ... (3.8)

T = L + H + N ... (3.9)

dimana:

Xm= Barang dan jasa yang dibeli dipasar

w = Tingkat upah

N = Waktu bekerja di pasar

V = Sumber pendapatan lain

T = Total waktu yang tersedia

L = Waktu luang

H = Waktu berproduksi dalam rumahtangga

Persamaan kendala anggaran (3.8) menunjukkan bahwa barang dan jasa yang

dibeli di pasar (Xm) sama dengan penghasilan dari sumber lain (V) ditambah

penghasilan dari bekerja sebesar N jam, sedangkan persamaan kendala waktu (3.9)

menunjukkan total waktu yang tersedia (T) sama dengan waktu luang (L), waktu

untuk berproduksi dalam rumahtangga (H) dan waktu untuk bekerja di pasar (N).

Rumahtangga sebagai produsen dan konsumen diasumsikan bersifat rasional

dalam memaksimumkan kepuasannya. Sebagai produsen, rumahtangga akan

memproduksi lebih banyak barang yang harganya relatif lebih mahal. Sebaliknya

sebagai konsumen, rumahtangga akan mengkonsumsi lebih banyak barang yang

harganya relatif lebih murah dan mengkonsumsi lebih sedikit barang yang harganya

(46)

3.1.3. Model Ekonomi Rumahtangga

Model ekonomi rumahtangga meliputi alokasi waktu dan konsumsi barang

yang dapat dibeli di pasar atau dihasilkan di rumahtangga. Ciri utama yang

membedakan perilaku rumahtangga sebagai produsen dan konsumen adalah perilaku

ekonomi rumahtangga, pada saat yang sama anggota rumahtangga juga sebagai

produsen sebagaimana suatu perusahaan Everson (1976) dalam Ellis (1988).

Becker (1965), secara mendasar melihat perilaku konsumsi rumahtangga

sebagai proses dalam dua tingkat yaitu: (1) menjelaskan perilaku rumahtangga

sebagai fungsi produksi, dimana waktu dan modal yang tersedia dalam rumahtangga

digunakan untuk memproduksi barang dan jasa yang dapat dikonsumsi rumahtangga

dan (2) menjelaskan proses keputusan pilihan konsumsi anggota rumahtangga

berperilaku sebagaimana perilaku individu konsumen konvensional. Dengan

demikian, rumahtangga dalam memaksimumkan kepuasannya dibatasi oleh kendala

produksi, waktu, dan pendapatan. Konsep dasar ekonomi rumahtangga dalam

mempelajari perilaku rumahtangga pertanian dikembangkan oleh Singh, et al. (1986)

serta Barnum dan Squire (1978) dalam Ellis (1988).

Pengembangan teori adanya saling ketergantungan produksi dan konsumsi

dalam model ekonomi rumahtangg pertanian melahirkan dua kelompok model, yaitu

model rekursif dan model non rekursif. Model rekursif dibangun berdasarkan asumsi

bahwa antara keputusan konsumsi dan produksi terjadi saling ketergantungan

sekuensial. Dalam hal ini diasumsikan bahwa keputusan konsumsi dipengaruhi

keputusan produksi tetapi tidak berlaku sebaliknya. Sedangkan model non rekursif

terjadi saling ketergantungan antara produksi dan konsumsi. Keputusan produksi

mempengaruhi pendapatan rumahtangga, demikian juga sebaliknya keputusan

(47)

menganalisis keputusan produksi dan konsumsi rumahtangga pertanian harus

dilakukan secara simultan (Skoufias, 1993), hal ini disebabkan: (1) ada kendala waktu

yang relatif mengikat (binding) pada kesempatan kerja non usahatani sehingga

mencegah penyesuaian sempurna dalam pasar tenaga kerja, (2) substitusi tenaga kerja

dalam keluarga oleh tenaga kerja luar keluarga tidak sempurna, atau (3) petani

mempunyai preferensi untuk bekerja dalam usahatani atau non usahatani.

Meskipun secara empiris pendekatan simultan sulit dilakukan, tetapi

Sigh, et al. (1986), mengembangkan model simultan yang digunakan untuk

menganalisis rumahtangga pertanian yang dikenal sebagai Agricultural Household

Model. Menurut Sigh, et al. (1986), diasumsikan bahwa dalam memaksimumkan

fungsi kepuasan:

U = U (Xh, Xm, L) ... (3.10)

Diasumsikan bahwa rumahtangga petani sebagai konsumen akan

memaksimumkan kepuasannya. Untuk memperoleh kepuasan maksimum tersebut,

rumahtangga petani menghadapi kendala produksi, kendala waktu, dan kendala

pendapatan. Kendala poduksi digambarkan dalam persamaan sebagai berikut:

Z = z (D, A) ... (3.11)

Rumahtangga dihadapkan pada kendala produksi yang menggambarkan

hubungkan antara input dan output yang dihasilkan. Dimana kendala produksi

rumahtangga (Z) adalah fungsi dari jumlah faktor produksi tetap rumahtangga (A)

dan total input tenaga kerja. Kendala waktu digambarkan dalam persamaan sebagai

berikut:

L + Dh = T... (3.12)

Kendala pendapatan digambarkan dalam persamaan sebagai berikut:

(48)

dimana:

Pm = Harga barang dan jasa yang dibeli di pasar. Ph = Harga barang yang dihasilkan oleh rumahtangga. (Z-Xh) = Surplus produksi untuk dipasarkan.

w = Upah pasar.

D = Total input tenaga kerja.

Dh = Total input tenaga kerja rumahtangga.

Kendala-kendala yang dihadapi rumahtangga tersebut dapat disatukan dengan

mensubstitusikan kendala produksi dan waktu ke dalam kendala pendapatan,

sehingga akan menghasilkan bentuk kendala tunggal yaitu:

PmXm + PhXh + wL = wT + ? ... ... (3.14)

dimana:

? = Phz (D,A) – w (D – Dh)

(? merupakan ukuran dari keuntungan produksi)

Persamaan (3.14) menunjukkan bahwa sisi kiri merupakan pengeluaran total

rumahtangga untuk barang (Xm dan Xh) dan waktu luang (L) yang digunakan,

sedangkan sisi kanan adalah pengembangan dari konsep pendapatan Becker (1965),

dimana nilai waktu yang tersedia dicatat secara eksplisit. Selain itu pengembangan

yang dilakukan adalah memasukkan pengukuran keuntungan (PhZ – wD) dimana

semua tenaga kerja dihitung berdasarkan upah pasar.

Dalam memaksimumkan kepuasan rumahtangga dapat memilih tingkat

konsumsi dari barang (Xm dan Xh), waktu luang (L), dan input tenaga kerja (Dh)

yang digunakan dalam kegiatan produksi. Syarat turunan pertama untuk

mengoptimalkan penggunaan input tenaga kerja adalah:

(49)

Rumahtangga akan menyamakan penerimaan produk marjinal dari tenaga

kerja dengan upah pasar. Selanjutnya dari persamaan (3.15) dapat diturunkan

penggunaan input tenaga kerja D sebagai fungsi dari Ph, w, A seperti pada persamaan

berikut:

D* = D* (w, Ph, A)... (3.16)

Apabila persamaan (3.16) disubstitusikan ke sisi kanan persamaan (3.14)

maka akan diperoleh suatu persamaan sebagai berikut:

PmXm + PhXh + wL = Y*... ... (3.17)

dengan menggunakan kendala yang ada berdasarkan pada syarat turunan pertama

sebagai berikut:

Pm Xm

U =λ

∂ ∂

... (3.18)

Ph Xh

U =λ

∂ ∂

... (3.19)

w

λ = ∂ ∂

L U

... ... (3.20)

PmXm + PhXh + wL = Y*... ... (3.21)

Solusi dari persamaan (3.18) sampai (3.21) menghasilkan persamaan standar

(perilaku konsumsi dalam permintaan) sebagai berikut:

Xi = xi (Pm, Ph, w, Y*)... ... (3.22)

Dari persamaan (3.22) permintaan Xm, Xh, dan L tergantung pada harga dan

pendapatan. Untuk kasus rumahtangga petani, pendapatan ditentukan oleh aktivitas

produksi rumahtangga. Selanjutnya perubahan faktor- faktor yang mempengaruhi

(50)

3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual

Rumahtangga pertanian adalah rumahtangga yang menghasilkan produk pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual, ditukar atau untuk memperoleh pendapatan dan keuntungan atas resiko sendiri (BPS, 1995). Dari batasan tersebut produksi usahatani merupakan sumber pendapatan tunai dan sumber ketersediaan pangan natura rumahtangga pertanian dalam mewujudkan ketahanan pangan. Ketahanan pangan di tingkat rumahtangga hakekatnya menunjukkan kemampuan rumahtangga memenuhi kecukupan pangan. Kemampuan tersebut dipengaruhi banyak faktor yang secara kompleks terkait dengan perubahan aspek perilaku produksi pangan, konsumsi, dan alokasi sumberdaya dalam rumahtangga.

Sumberdaya rumahtangga yang digunakan untuk melakukan kegiatan produksi usahatani dipengaruhi oleh curahan kerja anggota rumahtangga berdasarkan karakteristik petani lahan sawah, yang meliputi: jumlah anggota rumahtangga, struktur umur, jenis kelamin , pendidikan, dan lapangan kerja . Berdasarkan karakteristik tersebut,

anggota rumahtangga petani lahan sawah melakukan curahan kerja untuk melakukan proses

produksi. Curahan kerja dipengaruhi oleh luas kepemilikan lahan, perubahan harga pupuk,

dan harga jual komoditas tanaman yang dihasilkan. Adanya kebijakan tersebut, berpengaruh

terhadap kegiatan produksi dalam rumahtangga untuk menghasilkan pendapatan. Pendapatan

yang diperoleh digunakan untuk konsumsi pangan dan non pangan.

(51)

pertanian pedesaan, pertumbuhan angkatan kerja, dan mobilitas tenaga kerja pedesaan. Proses kegiatan produksi dan konsumsi rumahtangga digambarkan dalam kerangka pikir konseptual sebagai berikut:

Gambar 4. Kerangka Pikir Konseptual Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Sawah

Kesempatan kerja di sektor pertanian dipengaruhi oleh luasan lahan pertanian, produktivitas lahan, intensitas dan pola tanam serta teknologi yang digunakan. Penyediaan tenaga kerja antara lain dipengaruhi oleh tingkat upah, kenyamanan kerja, mobilitas tenaga kerja, dan tingkat sumberdaya manusia yang dimiliki. Kelembagaan pertanian pedesaan juga dapat berpengaruh pada pasar tenaga kerja pedesaan. Di negara berkembang tingkat upah ditentukan pula oleh kebutuhan dasar minimum regional yang besarnya ditentukan oleh tingkat harga bahan pangan utama dan tingkat perkembangan ekonomi.

Pendapatan petani yang berasal dari usahatani merupakan selisih antara penerimaan dari usahataninya dengan biaya yang dikeluarkan. Penerimaan usahatani

Produksi rumahtangga

- Produksi Usahatani :

Padi, Ubi Jalar, dan Ubi Kayu

- Produksi Non Usahatani

- Produksi Ternak

Curahan KerjaAnggota

Rumahtangga

Pengaruh Kebijakan Input dan Output:

- Penurunan Luas Lahan

- Perubahan Harga Pupuk

- Perubahan Harga Komoditas

Padi, Ubi Jalar, dan Ubi Kayu

Pendapatan

Karakteristik Rumahtangga Petani Lahan Sawah

- Jumlah Anggota Rumahtangga

- Struktur Umur

- Jenis Kelamin

- Pendidikan

- Lapangan Kerja

Konsumsi Rumahtangga

Gambar

Gambar 1. Nilai Kepuasan Maksimum
Gambar 3. Penawaran Tenaga Kerja
Gambar  4. Kerangka Pikir Konseptual Ekonomi Rumahtangga
Tabel 4. Pembagian Blok dan Sistem Persamaan Model Ekonomi Rumahtangga    Petani Lahan Sawah
+7

Referensi

Dokumen terkait

20000000 bcm/yr Production Working hours 6000 hrs/yr Support unit working hours 3000 hrs/yr.

Berdasarkan analisis data dengan menggunakan dan pembahasan hasil penelitian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan hal-hal untuk menjawab permasalahan sebagai

Dari uraian singkat di atas, dapat dilihat bahwa dasar utama proses pelaksanaan likuidasi bank adalah PP Nomor 25 Tahun 1999 dan SK Direksi BI Nomor

nota retour, lalu kedua nota tersebut dibawa ke perusahaan roti dan di masukkan ke komputer oleh petugas administrasi, sedangkan untuk pendistribusian roti

Pelaksanaan Administrasi Keuangan dan Umum merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan Pabrik Gula Tasikmadu Karanganyar untuk mengolah data dan mengkoordinasi di

Adapun Hornsby (Oktafiani et al., 2018) mentakrifkan disleksia sebagai bentuk kesulitan belajar membaca dan menulis terutama belajar mengeja (mengujar) secara betul

Cinta adalah sesuatu yang amat indah Tiada yagn lebih indah daripada cinta Tanpa cinta tidak ada kasih sayang Tanpa cinta tiada ketulusan hati. Oi saat kita

Oleh itu, kajian ini bertujuan untuk menyelidiki sejauhmanakah Undang-undang mengenai Pemerdagangan Wanita dan Kanak-Kanak yang ada sudah mencukupi untuk menghalang