• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Komunikasi Seksualitas Orangtua-Remaja Sebagai Prevensi Terhadap Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Komunikasi Seksualitas Orangtua-Remaja Sebagai Prevensi Terhadap Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I 

PENDAHULUAN 

 

A. Latar Belakang Masalah 

Perilaku  seksual  remaja kini  semakin  mencengangkan  banyak  kalangan.  Hasil‐hasil kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa hubungan remaja dengan  pacarnya telah sampai pada sexual intercourse. Bahkan temuan PKBI mengungkap  semakin dininya usia remaja yang terlibat sexual intercourse, yaitu telah merambah  pada  remaja  usia  14  tahun  dengan  tingkat  pendidikan  SMP  (Sugiarto,  2006).  Sementara itu dari hasil penelitian yang penulis lakukan (Lestari, 2007) terhadap 551  remaja di Surakarta diperoleh data yang lebih terperinci tentang perilaku seksual  remaja dalam berpacaran Dari jumlah responden tersebut, terdapat 30.9% yang  duduk berdampingan, berpegangan tangan, dan berbincang‐bincang, 28.1% remaja  yang perilaku pacarannya pada tahap merangkul atau mencium kening dan pipi,  38,8% remaja  yang  perilakunya  telah  mengarah pada  stimulasi seksual  seperti  berciuman bibir, berpelukan erat sambil berciuman, meraba/diraba area sensitif,  dan stimulasi area erogen, serta 2,2% remaja yang telah melakukan hubungan  seksual. dengan pacarnya.  

Penelitian tersebut juga menemukan adanya korelasi yang signifikan antara  perilaku seksual remaja dalam berpacaran dengan komunikasi seksualitas dengan  orang  tua.  Remaja  yang  komunikasi  seksualitas  dengan  orangtuanya  rendah,  memiliki kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual yang tahapannya lebih  tinggi dalam berpacaran. Adapun remaja yang orangtuanya memiliki kesediaan  untuk mengkomunikasikan topik‐topik seksualitas memiliki kecenderungan untuk  melakukan aktivitas seksual yang tahapannya lebih rendah dalam berpacaran. 

(2)

tuanya (Fisher dalam Allgeier dan Allgeier, 1991). Kondisi tersebut dapat terjadi  karena ketika orang tua dan anak berkomunikasi tentang seksualitas, umumnya juga  mengkomunikasikan sikap dan nilai, tidak sekedar fakta tentang seksualitas (Bennett  dan Dickinson; Fisher, dalam Allgeier dan Allgeier, 1991). 

Sayangnya penelitian penulis (Lestari, 2007) juga mengungkapkan masih  rendahnya intensitas maupun kualitas komunikasi seksualitas orang tua – remaja.  Oleh  karena itu perlu diadakan  program untuk  mendorong sikap proaktif dan  keterbukaan orang tua dalam mengomunikasikan seksualitas dengan remaja. Dalam  penelitian ini akan dikaji apakah model komunikasi seksualitas orang tua – remaja  dapat  meningkatkan  sikap  proaktif  dan  keterbukaan  orang  tua  dalam  mengomunikasikan seksualitas kepada anak? 

Perilaku  seksual  remaja  merupakan  cerminan  dari  kebutuhan  untuk  memeroleh informasi seksualitas dan hasrat untuk mengekspresikan seksualitas  dirinya. Orang tua merupakan sumber informasi seksualitas yang paling penting dan  diharapkan oleh anak. Sayangnya kesediaan orang tua untuk mengomunikasikan  seksualitas dengan remaja masih tergolong rendah. Bila dibandingkan, peran ibu  masih lebih besar daripada ayah, tetapi keduanya sama‐sama lebih menekankan  pada penyampaian norma dalam pergaulan dengan lawan jenis, namun kurang  bersikap terbuka dan proaktif dalam memberikan informasi tentang seluk‐beluk  seksualitas.  Bahkan terhadap  pengalaman  seksual yang khas perempuan,  yaitu  menstruasi, para ibu masih kurang menunjukkan perhatian dan sikap yang proaktif  menyampaikan informasi kepada anak perempuannya. 

(3)

diwawancarai tanpa ada orang tuanya, mereka dapat mengemukakan pengalaman‐ pengalamannya dalam memeroleh materi seksual maupun perilaku seksual yang  pernah dilakukannya secara terbuka. 

Temuan  lain  yang  juga  menarik  untuk  ditindaklanjuti  adalah  bahwa  peringatan atau pemberian rambu‐rambu dalam pergaulan oleh orang tua pada  remaja, tidak dapat mencegah remaja untuk memenuhi rasa ingin tahunya tentang  seks dari sumber‐sumber lain. Saat melakukan penelitian tentang pola komunikasi  seksualitas  dalam  keluarga,  penulis  menemukan  ayah  dan  ibu  yang  telah  menyampaikan pesan tentang norma pergaulan dan larangan untuk menyimpan  gambar  porno  maupun  melihat  VCD  porno  pada  anak  laki‐lakinya  yang  telah  menginjak remaja. Suatu hari, ayah memergoki anak laki‐lakinya menyimpan gambar  porno di HPnya. Tindakan yang dilakukan ayah adalah memarahi habis‐habisan anak  laki‐lakinya tersebut dengan harapan anak laki‐lakinya akan jera untuk mengakses  gambar porno lagi. Namun fakta yang terjadi pada anak laki‐laki tersebut tidak  sesuai dengan harapan ayah. Anak laki‐laki tersebut mengungkapkan bahwa ia tidak  lagi menyimpan gambar porno di HP karena takut dimarahi lagi oleh ayahnya, tetapi  ia biasa nonton VCD porno bersama teman‐temannya ketika mendapat ijin untuk  bermain pada sore hari. Acara nonton VCD porno tersebut dilakukan rata‐rata tiga  hari sekali di rumah teman yang orang tuanya sedang bepergian. Dampak dari sering  nonton  VCD  porno  tersebut,  ia  mudah  terangsang  ketika  melihat  ada  anak  perempuan   yang berpakaian seksi atau agak terbuka. Untuk memenuhi hasrat  seksualnya  yang  menggelora,  ia  kemudian  melakukan  masturbasi.  Ia  juga  menyatakan  bahwa  acara  nonton  VCD  porno  bersama  teman‐teman  maupun  masturbasi dilakukan tanpa sepengetahuan  kedua orang tuanya. 

(4)

dulu mengalami menstruasi. Ibu baru menjelaskan tentang seluk‐beluk menstruasi  setelah  anak  perempuan  mengalaminya.  Akibat  dari  kekurangsiapan  dalam  menghadapi menarche tersebut adalah muncul emosi‐emosi negatif seperti kaget,  bingung,  cemas  dan  takut.  Sementara  pada  anak  perempuan  yang  telah  dipersiapkan  untuk  menghadapi  menarche,  emosi‐emosi  negatif  tersebut  tidak  muncul. 

Bagaimanapun orang tua mempunyai peran penting dalam menanamkan  nilai‐nilai yang menjadi   panutan bagi remaja   dalam berperilaku,   termasuk   di  dalamnya adalah nilai‐nilai yang terkait dengan seksualitas (Allgeier & Allgeier, 1991;  Fuhrmann, 1990). Anak memperoleh nilai seksualitas  melalui proses sosialisasi  pertama yang dialami oleh anak adalah ketika berinteraksi dengan orang tuanya.  Pada mulanya  anak belajar  meniru  atau melakukan imitasi terhadap pola‐pola  perilaku yang ditunjukkan oleh orang tuanya. Menginjak masa kanak‐kanak, anak  mulai berinteraksi dengan teman sebayanya. 

Pada usia sekolah, anak mulai mengenal adanya perbedaan perilaku antara  dirinya dengan teman sebayanya. Anak juga mulai menemukan adanya perbedaan  nilai antara yang diajarkan orang tuanya di rumah dengan yang ditemui di luar  rumah, seperti sekolah, masyarakat, media cetak, internet, maupun televisi.   Ada  perilaku yang dilarang oleh orang tua, tetapi anak melihat orang lain melakukan hal  tersebut.  Perbedaan tersebut  tentunya  menimbulkan  pertentangan  nilai  dalam  masalah seksualitas pada diri anak. Apabila anak tidak mendapatkan pembelajaran  nilai seksualitas yang memadai dari orang tuanya maka kondisi ini akan dapat  menyebabkan anak mudah terpengaruh oleh situasi lingkungan yang dihadapinya.   Misalnya,  anak mudah  terpengaruh ajakan  dari teman‐teman  sebayanya  untuk  melakukan  tindakan  yang  melanggar  norma  seperti  menonton  VCD  porno,  kecanduan  mengakses  situs  porno,  berperilaku  seksual  yang  mengarah  pada  stimulasi seksual, bahkan melakukan hubungan seksual pada masa remaja. 

(5)

remaja untuk memenuhi rasa ingin tahunya tentang seks dan sejauhmana orangtua  berperan dalam mengomunikasikan topik seks dengan anak‐anaknya pada masa  remaja.  

B. Urgensi Penelitian 

Perilaku  seksual  remaja  merupakan  cerminan  dari  kebutuhan  untuk  memeroleh informasi seksualitas dan hasrat untuk mengekspresikan seksualitas  dirinya. Orang tua merupakan sumber informasi seksualitas yang paling penting dan  diharapkan oleh anak. Sayangnya kesediaan orang tua untuk mengomunikasikan  seksualitas dengan remaja masih tergolong rendah. Bila dibandingkan, peran ibu  masih lebih besar daripada ayah, tetapi keduanya sama‐sama lebih menekankan  pada penyampaian norma dalam pergaulan dengan lawan jenis, namun kurang  bersikap terbuka dan proaktif dalam memberikan informasi tentang seluk‐beluk  seksualitas.  Bahkan terhadap  pengalaman  seksual yang khas perempuan,  yaitu  menstruasi, para ibu masih kurang menunjukkan perhatian dan sikap yang proaktif  menyampaikan informasi kepada anak perempuannya. 

Secara umum dapat pula dikatakan bahwa terdapat gap dalam komunikasi  seksualitas orang tua‐anak akibat kurang adanya sikap terbuka dari orang tua.  Kurangnya keterbukaan antara orang tua dan remaja dalam komunikasi seksualitas  penulis  temukan  ketika  melakukan  wawancara  tentang  komunikasi  seksualitas  dalam keluarga. Ketika penulis mewawancarai orang tua dan remaja bersama‐sama  dalam  satu  forum,  remaja  mengalami  kesulitan  untuk  menjawab  pertanyaan‐ pertanyaan yang penulis ajukan terkait dengan pemerolehan informasi tentang  materi  seksual  maupun  perilaku  seksual  mereka.  Akan  tetapi  ketika  remaja  diwawancarai tanpa ada orang tuanya, mereka dapat mengemukakan pengalaman‐ pengalamannya dalam memeroleh materi seksual maupun perilaku seksual yang  pernah dilakukannya secara terbuka. 

(6)

seks dari sumber‐sumber lain. Saat melakukan penelitian tentang pola komunikasi  seksualitas  dalam  keluarga,  penulis  menemukan  ayah  dan  ibu  yang  telah  menyampaikan pesan tentang norma pergaulan dan larangan untuk menyimpan  gambar  porno  maupun  melihat  VCD  porno  pada  anak  laki‐lakinya  yang  telah  menginjak remaja. Suatu hari, ayah memergoki anak laki‐lakinya menyimpan gambar  porno di HPnya. Tindakan yang dilakukan ayah adalah memarahi habis‐habisan anak  laki‐lakinya tersebut dengan harapan anak laki‐lakinya akan jera untuk mengakses  gambar porno lagi. Namun fakta yang terjadi pada anak laki‐laki tersebut tidak  sesuai dengan harapan ayah. Anak laki‐laki tersebut mengungkapkan bahwa ia tidak  lagi menyimpan gambar porno di HP karena takut dimarahi lagi oleh ayahnya, tetapi  ia biasa nonton VCD porno bersama teman‐temannya ketika mendapat ijin untuk  bermain pada sore hari. Acara nonton VCD porno tersebut dilakukan rata‐rata tiga  hari sekali di rumah teman yang orang tuanya sedang bepergian. Dampak dari sering  nonton  VCD  porno  tersebut,  ia  mudah  terangsang  ketika  melihat  ada  anak  perempuan   yang berpakaian seksi atau agak terbuka. Untuk memenuhi hasrat  seksualnya  yang  menggelora,  ia  kemudian  melakukan  masturbasi.  Ia  juga  menyatakan  bahwa  acara  nonton  VCD  porno  bersama  teman‐teman  maupun  masturbasi dilakukan tanpa sepengetahuan  kedua orang tuanya. 

(7)

Bagaimanapun orang tua mempunyai peran penting dalam menanamkan  nilai‐nilai yang menjadi   panutan bagi remaja   dalam berperilaku,   termasuk   di  dalamnya adalah nilai‐nilai yang terkait dengan seksualitas (Allgeier & Allgeier, 1991;  Fuhrmann, 1990). Anak memperoleh nilai seksualitas  melalui proses sosialisasi  pertama yang dialami oleh anak adalah ketika berinteraksi dengan orang tuanya.  Pada mulanya  anak belajar  meniru  atau melakukan imitasi terhadap pola‐pola  perilaku yang ditunjukkan oleh orang tuanya. Menginjak masa kanak‐kanak, anak  mulai berinteraksi dengan teman sebayanya. 

Pada usia sekolah, anak mulai mengenal adanya perbedaan perilaku antara  dirinya dengan teman sebayanya. Anak juga mulai menemukan adanya perbedaan  nilai antara yang diajarkan orang tuanya di rumah dengan yang ditemui di luar  rumah, seperti sekolah, masyarakat, media cetak, internet, maupun televisi.   Ada  perilaku yang dilarang oleh orang tua, tetapi anak melihat orang lain melakukan hal  tersebut.  Perbedaan tersebut  tentunya  menimbulkan  pertentangan  nilai  dalam  masalah seksualitas pada diri anak. Apabila anak tidak mendapatkan pembelajaran  nilai seksualitas yang memadai dari orang tuanya maka kondisi ini akan dapat  menyebabkan anak mudah terpengaruh oleh situasi lingkungan yang dihadapinya.   Misalnya,  anak mudah  terpengaruh ajakan  dari teman‐teman  sebayanya  untuk  melakukan  tindakan  yang  melanggar  norma  seperti  menonton  VCD  porno,  kecanduan  mengakses  situs  porno,  berperilaku  seksual  yang  mengarah  pada  stimulasi seksual, bahkan melakukan hubungan seksual pada masa remaja. 

Salah satu kunci  keberhasilan bagi orang tua dalam mengomunikasikan  seksualitas dengan anak adalah merasa nyaman dengan topik seksualitas (Whitaker,  Miler, May, & Levin, 1999), serta memiliki pengetahuan yang cukup akurat dan  memiliki ketrampilan komunikasi (Atwater, 1992). Dalam penelitian yang penulis  lakukan  (Lestari, 2002; Lestari & Lestari, 2006) pemberian  intervensi pada  ibu  melalui pelatihan komunikasi seksualitas dapat meningkatkan perasaan nyaman  terhadap topik seksualitas. 

(8)
(9)

   

DAFTAR

 

PUSTAKA

 

 

Allgeier,  E.R.,  &  Allgeier,  A.R.  (1991).  Sexual  Interactions.  Third  Edititon. 

Massachusetts: D. C. Heath and Company.  

Atwater, E. (1992). Adolescence. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. 

Anganthi, N.R.N & Lestari, S. (2007). Pola komunikasi seksualitas pada keluarga  muslim di Surakarta. Laporan Penelitian Fundamental. Surakarta: Universitas  Muhammadiyah Surakarta, tidak diterbitkan. 

Baumeister, L.M., Flores, E., & Marín, B. V. (1995). Sex information given to Latina  adolescents by parents. Health Education Research10, 233‐239. 

Donnelly, J., Goldfarb, E., Duncan, D. F., Young, M., Eadie, C., & Castiglia, D., (1999).  Self‐esteem and sex attitudes as predictors of sexual abstinence by inner‐city  early adolescents. North American Journal of Psychology, 1, 205‐212. 

Eastman, K. L., Corona, R., Ryan, G. W., Warsofsky, A. L. & Schuster, M. A. (2005).  Worksite‐based parenting programs to promote healthy adolescent sexual  development:  A  qualitative  study  of  feasibility  and  potential  content. 

Perspectives on Sexual and Reproductive Health, 37, 62–69. 

Fisher, J. D. (1987). Family communication and the sexual behavior and attitudes of  college students. Journal of Youth and Adolescence16, 481‐495. 

Fisher, T. D. (1986). An exploratory study of parent‐child communication about sex  and the sexual attitudes of early, middle, and late adolescents. Journal of  Genetic Psychology, 147, 543‐557. 

Forehand, R., Miller, K.S., Dutra, R., and Change, M.W. 1997. Role of parenting in  adolescent deviant behaviour: Replication accros and within two ethnic  group. Journal of Consulting and Clinical Phychology65, 1036‐1041. 

French,  D.  C.,  &  Dishion,  T. J.  (2003).  Predictors  of  early  initiation of sexual  intercourse among high‐risk adolescents. Journal of Early Adolescence23, 

295‐315. 

Fuhrmann, B.S. (1990). Adolescence, Adolescents. Second Edition. Illinois: Scott, 

Foresman and Company. 

Hayes, N.  (2000).  Doing psychological research: Gathering  and  analysing  data. 

Buckingham: Open University Press. 

Hutchinson,  M. K, &  Cooney, T.M. (1998). Patterns  of parent‐teen  sexual risk  communication: Implications for intervention. Family Relations47, 185‐194. 

(10)

Izugbara, C. O. (2005).  The socio‐cultural context of adolescents’ notions of sex and  sexuality in Rural South‐Eastern Nigeria. Sexualities8, 600‐617. 

Jaccard, J., Dittus, P.J., & Gordon, V.V. (2000). Parent‐teen communication about  premarital sex: Factors associated with the extent of communication. Journal  of Adolescent Research15, 187‐208. 

Karofsky, P. S., Zeng, L., & Kosorok, M. R. (2001). Relationship between adolescent‐ parental communication and initiation of first intercourse by adolescents. 

Journal of Adolescent Health, 28, 41‐45. 

Katchadourian,  H.A.  (1987).  Fundamentals  of  human  sexuality.  Fifth  Edition. 

Orlando, Florida: Holt, Rinehart & Winston Inc. 

Lefkowitz, E. S., Sigman, M., & Au, T. K. (2000). Helping mothers discuss sexuality and  AIDS with adolescents. Child Development, 71, 1383‐1394. 

Lestari, S. (2007). Perilaku pacaran ditinjau dari intensitas mengakses situs porno  dan  komunikasi  seksualitas  dengan  orangtua.  Laporan  penelitian  dosen  muda. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, tidak diterbitkan. 

Lestari, S. & Pratisti, W. D. (2008). Makna menarche dan pengalaman psikologis yang  menyertainya. Arkhe13, 1‐8. 

Lestari, S. & Hertinjung, W.S. (2007). Sikap ibu terhadap pertanyaan anak tentang  seksualitas. Psikologika. No 24, Tahun XII, 147‐155. 

Lestari, S. & Purwandari, E. (2002). Kemampuan komunikasi ibu – anak tentang  seksualitas ditinjau dari tingkat pengetahuan ibu. Indigenous, 6, 32‐39. 

Lestari,  S.  &  Lestari,  R.  (2006).  Pelatihan  komunikasi  sebagai  sarana  untuk  meningkatkan  kemampuan  komunikasi  seksualitas  pada  ibu.  Makalah

Dipresentasikan  dalam  Temu  Ilmiah  Nasional  V  Ikatan  Psikologi  Perkembangan Indonesia (IPPI),  25‐26 Agustus di Malang. 

Lestari,  S.  (2002).  Peningkatan  kemampuan  ibu  dalam  mengkomunikasikan  seksualitas kepada anak melalui pemberian informasi. Tesis. Yogyakarta: 

Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan. 

Lieberman L.D. (2006). Early predictors of sexual behavior: implications for young  adolescents and their parents. Perspectives on  Sexual and  Reproductive  Health38, 112‐114. 

Luster, T., & Small, S. A. (1994). Factors associated with sexual risk‐taking behaviors  among adolescents.  Journal of Marriage & the Family56, 622‐632. 

Masters,   W. H., Johnson, V. E., & Kolodny, R. C. (1992). Human Sexuality. Fourth 

Edition. New York: Harper Collins Publishers. 

McNeely, C., Shew, M. L., Beuhring, T., Sieving, R., Miller, B. C., & Blum, R. W. (2002).  Mothers' influence on the timing of first sex among 14‐ and 15‐year‐olds. 

(11)

Miller,  B.  C.,  Norton,  M.  C.,  Fan,  X.,  &  Christopherson,  C.  R,  1998.  Pubertal  development, parental communication, and sexual values  in relation to  adolescent sexual behaviors. Journal of Early Adolescence, Vol 18, 27‐52.  Moore, S., & Rosenthal, D. 1991. Adolescents' perceptions of friends' and parents' 

attitudes to sex and sexual risk‐taking. Journal of Community and Applied  Social Psychology, Vol 1, 189‐200. 

Mudijana, D. 1993. Need assessment reproduksi sehat remaja di Kodya Yogyakarta. 

Makalah.  Yogyakarta:  Kerjasama  YKB  dengan  Kantor  Menteri 

Kependudukan/BKKBN. Tidak diterbitkan 

PKBI (2001). Kebutuhan akan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja. 

Laporan need assesment di Kupang, Palembang, Singkawang, Cirebon dan  Tasikmalaya. Diakses dari: www.PKBI.or.id. 

Ryu, E., Kim, K., and Kwon, H., 2007. Predictors of sexual intercourse among Korean  adolescents. The Journal of School Health, 77, 615‐622. 

Shaughnessy, J.J. and Zechmeister, E.B., 1990. Research methods in Psychology

Second edition. New York: McGraw‐Hill, Inc. 

SIECUS  (2002).  Innovative  innovative  approaches  to  increase  parent‐child  communication about sexuality: Their impact and examples from the field.  Retrieved from www.siecus.org. 

Somers, C.L. and Canivez, G.L. 2003. The sexual communication scale: a measure of  frequency  of  sexual  communication  between  parents  and  adolescents. 

Adolescence, 38, 43‐56.  

(12)

 

Model Komunikasi Seksualitas Orangtua-Remaja

Sebagai Prevensi Terhadap Perilaku Seksual Berisiko

pada Remaja

DIBIAYAI OLEH DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI  DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL RI 

DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN HIBAH PENELITIAN   NOMOR KONTRAK: 089/SP2H/PP/DP2M/III/2010, TERTANGGAL 01 MARET 2010   

UNIVERSITAS

 

MUHAMMADIYAH

 

SURAKARTA

 

(13)
(14)

Summary ... vii 

Prakata ... ix 

Daftar tabel ... xi 

Daftar bagan ... xii 

Daftar lampiran ... xiii 

Bab I. Pendahuluan ... 1 

A. Latar belakang masalah ... 1 

B. Urgensi penelitian ... 5 

Bab II.  Tinjauan pustaka ... 9 

A. Kebutuhan remaja tentang informasi seksualitas ... 9 

B. Perilaku seksual remaja... 10 

C. Komunikasi orangtua‐anak tentang seksualitas ... 11 

D. Sumber informasi seksualitas bagi remaja ... 15 

E. Pertanyaan penelitian ... 15 

Bab III. Tujuan dan manfaat penelitian ... 16 

Bab IV. Metode penelitian ... 17 

A. Informan penelitian ... 17 

B. Strategi pengambilan sampe ... 17 

C. Instrumen dan prosedur pengumpulan data ... 18 

D. Metode analisis data ... 19 

Bab V. Hasil dan pembahasan ... 20 

A. Data wawancara kelompok terarah ... 20 

B. Data survei ... 23 

C. Pembahasan ... 50 

D. Temuan penelitian ... 56 

(15)

Sinopsis proposal tahun kedua ... 90   

(16)

Perilaku seksual yang semakin meningkat dalam aktivitas pacaran remaja 

dan  pornografi  yang  semakin  mudah  untuk  diakses  anak  telah  menginspirasi 

dilakukannya penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kebutuhan 

remaja  akan  informasi  seksualitas.  Agar  memperoleh  pemahaman  terhadap 

kebutuhan  remaja  secara  komprehensif,  proses  pengumpulan  data  dilakukan 

dengan menggunakan teknik wawancara kelompok dan survei. Partisipan dalam 

wawancara kelompok adalah 23 orang remaja, yang terdiri dari 11 remaja laki‐laki 

a. Peristiwa haid dan  mimpi  basah  tidak hanya  merupakan peristiwa  biologis 

semata, tetapi juga disertai dengan pengalaman psikologis yang unik. 

b. Sebagian besar remaja telah mengetahui tentang haid/mimpi basah sebelum 

mereka mengalaminya 

c. Sumber informasi  seksualitas bagi  remaja yang utama  adalah  internet dan 

teman, peran orangtua sebagai sumber informasi seksualitas belum optimal.  d. Lebih dari dua pertiga remaja pernah mengakses materi pornografi terutama 

melalui internet dan hp. 

e. Bentuk materi pornografi yang disukai oleh remaja laki‐laki adalah gambar dan  video porno, sedangkan remaja perempuan lebih menyukai cerita porno. 

f. Topik informasi seksualitas yang dibutuhkan oleh remaja adalah pengertian seks,  sistem reproduksi, perilaku seksual, hubungan seksual, dan psikoseksual. 

g. Haid/mimpi basah pertama dimaknai remaja sebagai proses transisi dari anak‐ anak menjadi remaja, muncul kesadaran bahwa organ reproduksi telah aktif.  Mimpi basah pertama juga dihayati sebagai pengalaman seksual oleh remaja  laki‐laki. 

h. Setelah  mengalami  haid/mimpi  basah  pertama,  remaja  menerima  nasihat 

orangtua yang berisi pesan agar lebih menjaga diri, lebih dewasa, lebih merawat  diri, dan memberikan batasan‐batasan pada anak. 

i. Kata seks dikonotasikan oleh remaja sebagai hubungan intim, dan hanya sedikit  remaja yang mengartikannya sebagai jenis kelamin. 

j. Sebagian besar remaja menyatakan tidak setuju hubungan seks dengan pacar  yang dilandasi oleh alasan normatif dan sikap antisipatif. 

Temuan  dalam penelitian  ini mendukung  penelitian‐penelitian  terdahulu 

bahwa orangtua belum bersikap proaktif dalam menjalin komunikasi seksualitas 

(17)
(18)

This researh was inspired by the increasing of adolescent’s sexual behavior in  students and twelve female student, participated in the focus group interviews.  Whereas the survey was participated by 530 adolescents, which consisted of 261  biological event, but also recognized as a unique psychological experience.  b. The most of teens already know about menstruation and wet dreams before 

they experience it. 

c. The main sources of sexuality information for teens are internet and friends,  since the role of parents as a source of sexuality information is not optimal.  d. More  than  two‐thirds  of  teenagers  had  access  to  pornographic  material, 

especially via internet and mobile phones. 

e. Adolescent boys prefer to see pornographic materials such as pictures and  videos, while girls prefer to read porn stories. 

f. Adolescent’s need of sexuality information include five themes, that are the  meaning of sex, the reproductive systems, sexual behavior, intercourse, and 

psychosexual. 

g. Several adolescent comprehend menarche and pollutio as transition phase into  adulthood, while others identify menarche and pollutio as beginning time of the  reproductive organs being active.  

h. After experiencing menarche or pollutio, teenagers receive notification from  parent that they should be more careful, have mature attitude, keep themselves  clean and healthy. Parent also confirm some limitations. 

i. The term of sex was connotated by adolescent as intercourse, and only a few  teenagers who interpret it as a person’s genital. 

j. Generally adolescent state that having sex in dating is unacceptable, because of  normative reason and anticipatory behavior. 

Findings  in  this  study  support  previous  studies  that  parents 

(19)
(20)

teladan Rasulullah Muhammad SAW. Walaupun penelitian ini tidak terlepas dari  sejumlah keterbatasan, namun harapan penulis semoga hasil penelitian ini dapat 

menjadi gerbang untuk semakin memahami dinamika kehidupan remaja, khususnya 

dalam menjalani perkembangan seksualitasnya.  Perkembangan  seksualitas 

yang  paling  pesat  pada  remaja  ternyata  telah  mendorong  remaja  untuk 

bereklsplorasi dalam mencari informasi seksualitas yang dibutuhkannya. Rasa ingin  tahu tentang seks yang tidak terjawab, tanggapan orangtua ketika ditanya tentang 

seks yang kurang memuaskan remaja, dan minimnya sumber informasi tentang 

seksualitas yang khusus dirancang bagi remaja telah mengakibatkan sebagian besar  remaja terpapar oleh media pornografi. Berpijak dari fenomena tersebut, penelitian  ini dilakukan untuk memahami informasi seksualitas yang dibutuhkan oleh para  remaja.  

Penelitian ini dapat terlaksana atas bantuan dan dukungan dari berbagai  pihak. Oleh karena itu penulis sampaikan terima kasih kepada pihak‐pihak yang telah  mendukung pelaksanaan penelitian ini, yakni: 

1. Departemen  Pendidikan  nasional  Republik  Indonesia,  dalam  hal  ini  DP2M 

Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi. 

2. Rektor Universitas Muhammdiyah Surakarta, dalam hal ini Lembaga Penelitian  dan Pengabdian Masyarakat yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas  untuk kegiatan ini. 

3. Para Kepala Sekolah SMP dan SMK yang telah memberikan ijin kepada penulis  untuk melakukan penelitian di insitusi yang beliau pimpin.  

4. Bapak dan ibu guru yang telah membantu dalam proses pengumpulan data 

dengan kerjasama yang sangat baik. 

5. Adik‐adik remaja yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini dengan 

(21)

8. Keluarga penulis, Mochammad Mustachir yang telah bersedia menjalani share 

parenting  dengan  berbagi  tugas  dalam  pengasuhan  anak  ketika  penulis 

melaksanakan pengumpulan data dan penulisan laporan. Juga anak‐anak – Azka,  Akhyar, dan Allifna yang telah terkurangi waktu kebersamaan dengan bundanya  ketika penulis berkutat dengan data‐data penelitian. 

9. Berbagai pihak yang tidak dapat  penulis sebutkan satu persatu yang telah  memberikan bantuan dan kemudahan demi terlaksananya penelitian ini. 

Tak ada gading yang tak retak, demikian kata pepatah. Penelitian ini masih  memiliki sejumlah keterbatasan. Oleh karena itu saran, masukan, dan kritik untuk  meningkatkan kualitas penelitian sangat penulis nantikan. Harapan penulis, semoga 

karya  ini  dapat  bermanfaat  dalam  menambah  setitik  pemahaman  terhadap 

kehidupan para remaja sebagai generasi masa depan bangsa Indonesia.     

(22)

Tabel 4. Pengertian remaja perempuan tentang haid ... 35  Tabel 5. Isi nasihat yang disampaikan orangtua kepada remaja setelah mengalami 

(23)

Grafik 4. Hubungan remaja perempuan dengan ayah dan ibu ... 26 

Grafik 5. Hubungan remaja laki‐laki dengan ayah dan ibu ... 26 

Grafik 6. Usia remaja ketika mengalami mimpi basah pertama kali ... 28 

Grafik 7. Perbandingan remaja yang memperoleh informasi sebelum dan sesudah  mengalami mimpi basah  ... 28 

Grafik 8. Sumber pertama pemerolehan informasi tentang mimpi basah ... 29 

Grafik 9. Figur dalam berbagi pengalaman mimpi basah pertama ... 30 

Grafik 10. Usia remaja ketika mengalami haid pertama kali ... 32 

Grafik 11. Perbandingan remaja yang memperoleh informasi sebelum dan sesudah  mengalami haid ... 32 

Grafik 12. Sumber pertama pemerolehan informasi tentang haid ... 33 

Grafik 13. Figur yang dipercaya remaja untuk dibagi pengalaman haid pertamanya 34  Grafik 14. Sumber informasi tentang seks yang dipilih remaja  ... 40 

Grafik 15. Sumber informasi tentang seks yang dipilih remaja berdasarkan jenis  kelamin ... 41 

Grafik 16. Perbandingan remaja laki‐laki dan perempuan dalam pengalaman  bertanya tentang seks pada orangtua ... 42 

Grafik 21. Perbandingan frekuensi remaja laki‐laki dan perempuan dalam mengakses  materi pornografi  ... 47 

Grafik 22. Frekuensi akses materi pornografi pada remaja berdasarkan tingkat  pendidikan dan jenis kelamin ... 48 

Grafik 23. Bentuk materi pornografi yang diakses remaja laki‐laki dan perempuan  Grafik 24. Media yang digunakan untuk mengakses pornografi pada remaja laki‐laki  dan perempuan ... 49 

(24)

Angket untuk remaja putri ... 74   

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian korelasi atau pengaruh Financial Leverage terhadap Return On Equity (ROE) menunjukkan pengaruh yang negatif dan pengaruh tingkat perubahan Financial Leverage

Pasien Hipertensi Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.. Deskripsi Karakteristik Penderita, Lama Dirawat

model regresi pertama yang merupakan hasil dari analisis metode stepwise cukup baik digunakan untuk menduga besar jumlah impor beras di Sulawesi Utara, dengan nilai

Suatu penelitian telah dilakukan yang bertujuan 1) mengetahui kontribusi usaha babi terhadap pendapatan rumah tangga nelayan tradisional di Kabupaten Rote Ndao dan

Suku-suku bangsa pribumi ini tergolong ras Nusantara, yang oleh orang Barat disebut Austronesia, dan yang sejak 600.000 tahun dahulu kala telah bermigrasi ke

Mikrofilaria hidup di dalam aliran darah dan saluran pembuluh limfe, dan sampai saat ini belum jelas sumber nutrisi cacing mikrofilaria, apakah cacing mikrofilria

1) Tungku gasifikasi menggunakan tipe downdraft continue. 2) Bahan bakar yang digunakan adalah sekam padi. 3) Massa bahan bakar yang digunakan adalah 2,5 kg. 4) Indikator

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di setiap Badan Publik wajib melakukan pengujian tentang konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan seksama dan penuh