BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perilaku seksual remaja kini semakin mencengangkan banyak kalangan. Hasil‐hasil kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa hubungan remaja dengan pacarnya telah sampai pada sexual intercourse. Bahkan temuan PKBI mengungkap semakin dininya usia remaja yang terlibat sexual intercourse, yaitu telah merambah pada remaja usia 14 tahun dengan tingkat pendidikan SMP (Sugiarto, 2006). Sementara itu dari hasil penelitian yang penulis lakukan (Lestari, 2007) terhadap 551 remaja di Surakarta diperoleh data yang lebih terperinci tentang perilaku seksual remaja dalam berpacaran Dari jumlah responden tersebut, terdapat 30.9% yang duduk berdampingan, berpegangan tangan, dan berbincang‐bincang, 28.1% remaja yang perilaku pacarannya pada tahap merangkul atau mencium kening dan pipi, 38,8% remaja yang perilakunya telah mengarah pada stimulasi seksual seperti berciuman bibir, berpelukan erat sambil berciuman, meraba/diraba area sensitif, dan stimulasi area erogen, serta 2,2% remaja yang telah melakukan hubungan seksual. dengan pacarnya.
Penelitian tersebut juga menemukan adanya korelasi yang signifikan antara perilaku seksual remaja dalam berpacaran dengan komunikasi seksualitas dengan orang tua. Remaja yang komunikasi seksualitas dengan orangtuanya rendah, memiliki kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual yang tahapannya lebih tinggi dalam berpacaran. Adapun remaja yang orangtuanya memiliki kesediaan untuk mengkomunikasikan topik‐topik seksualitas memiliki kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual yang tahapannya lebih rendah dalam berpacaran.
tuanya (Fisher dalam Allgeier dan Allgeier, 1991). Kondisi tersebut dapat terjadi karena ketika orang tua dan anak berkomunikasi tentang seksualitas, umumnya juga mengkomunikasikan sikap dan nilai, tidak sekedar fakta tentang seksualitas (Bennett dan Dickinson; Fisher, dalam Allgeier dan Allgeier, 1991).
Sayangnya penelitian penulis (Lestari, 2007) juga mengungkapkan masih rendahnya intensitas maupun kualitas komunikasi seksualitas orang tua – remaja. Oleh karena itu perlu diadakan program untuk mendorong sikap proaktif dan keterbukaan orang tua dalam mengomunikasikan seksualitas dengan remaja. Dalam penelitian ini akan dikaji apakah model komunikasi seksualitas orang tua – remaja dapat meningkatkan sikap proaktif dan keterbukaan orang tua dalam mengomunikasikan seksualitas kepada anak?
Perilaku seksual remaja merupakan cerminan dari kebutuhan untuk memeroleh informasi seksualitas dan hasrat untuk mengekspresikan seksualitas dirinya. Orang tua merupakan sumber informasi seksualitas yang paling penting dan diharapkan oleh anak. Sayangnya kesediaan orang tua untuk mengomunikasikan seksualitas dengan remaja masih tergolong rendah. Bila dibandingkan, peran ibu masih lebih besar daripada ayah, tetapi keduanya sama‐sama lebih menekankan pada penyampaian norma dalam pergaulan dengan lawan jenis, namun kurang bersikap terbuka dan proaktif dalam memberikan informasi tentang seluk‐beluk seksualitas. Bahkan terhadap pengalaman seksual yang khas perempuan, yaitu menstruasi, para ibu masih kurang menunjukkan perhatian dan sikap yang proaktif menyampaikan informasi kepada anak perempuannya.
diwawancarai tanpa ada orang tuanya, mereka dapat mengemukakan pengalaman‐ pengalamannya dalam memeroleh materi seksual maupun perilaku seksual yang pernah dilakukannya secara terbuka.
Temuan lain yang juga menarik untuk ditindaklanjuti adalah bahwa peringatan atau pemberian rambu‐rambu dalam pergaulan oleh orang tua pada remaja, tidak dapat mencegah remaja untuk memenuhi rasa ingin tahunya tentang seks dari sumber‐sumber lain. Saat melakukan penelitian tentang pola komunikasi seksualitas dalam keluarga, penulis menemukan ayah dan ibu yang telah menyampaikan pesan tentang norma pergaulan dan larangan untuk menyimpan gambar porno maupun melihat VCD porno pada anak laki‐lakinya yang telah menginjak remaja. Suatu hari, ayah memergoki anak laki‐lakinya menyimpan gambar porno di HPnya. Tindakan yang dilakukan ayah adalah memarahi habis‐habisan anak laki‐lakinya tersebut dengan harapan anak laki‐lakinya akan jera untuk mengakses gambar porno lagi. Namun fakta yang terjadi pada anak laki‐laki tersebut tidak sesuai dengan harapan ayah. Anak laki‐laki tersebut mengungkapkan bahwa ia tidak lagi menyimpan gambar porno di HP karena takut dimarahi lagi oleh ayahnya, tetapi ia biasa nonton VCD porno bersama teman‐temannya ketika mendapat ijin untuk bermain pada sore hari. Acara nonton VCD porno tersebut dilakukan rata‐rata tiga hari sekali di rumah teman yang orang tuanya sedang bepergian. Dampak dari sering nonton VCD porno tersebut, ia mudah terangsang ketika melihat ada anak perempuan yang berpakaian seksi atau agak terbuka. Untuk memenuhi hasrat seksualnya yang menggelora, ia kemudian melakukan masturbasi. Ia juga menyatakan bahwa acara nonton VCD porno bersama teman‐teman maupun masturbasi dilakukan tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya.
dulu mengalami menstruasi. Ibu baru menjelaskan tentang seluk‐beluk menstruasi setelah anak perempuan mengalaminya. Akibat dari kekurangsiapan dalam menghadapi menarche tersebut adalah muncul emosi‐emosi negatif seperti kaget, bingung, cemas dan takut. Sementara pada anak perempuan yang telah dipersiapkan untuk menghadapi menarche, emosi‐emosi negatif tersebut tidak muncul.
Bagaimanapun orang tua mempunyai peran penting dalam menanamkan nilai‐nilai yang menjadi panutan bagi remaja dalam berperilaku, termasuk di dalamnya adalah nilai‐nilai yang terkait dengan seksualitas (Allgeier & Allgeier, 1991; Fuhrmann, 1990). Anak memperoleh nilai seksualitas melalui proses sosialisasi pertama yang dialami oleh anak adalah ketika berinteraksi dengan orang tuanya. Pada mulanya anak belajar meniru atau melakukan imitasi terhadap pola‐pola perilaku yang ditunjukkan oleh orang tuanya. Menginjak masa kanak‐kanak, anak mulai berinteraksi dengan teman sebayanya.
Pada usia sekolah, anak mulai mengenal adanya perbedaan perilaku antara dirinya dengan teman sebayanya. Anak juga mulai menemukan adanya perbedaan nilai antara yang diajarkan orang tuanya di rumah dengan yang ditemui di luar rumah, seperti sekolah, masyarakat, media cetak, internet, maupun televisi. Ada perilaku yang dilarang oleh orang tua, tetapi anak melihat orang lain melakukan hal tersebut. Perbedaan tersebut tentunya menimbulkan pertentangan nilai dalam masalah seksualitas pada diri anak. Apabila anak tidak mendapatkan pembelajaran nilai seksualitas yang memadai dari orang tuanya maka kondisi ini akan dapat menyebabkan anak mudah terpengaruh oleh situasi lingkungan yang dihadapinya. Misalnya, anak mudah terpengaruh ajakan dari teman‐teman sebayanya untuk melakukan tindakan yang melanggar norma seperti menonton VCD porno, kecanduan mengakses situs porno, berperilaku seksual yang mengarah pada stimulasi seksual, bahkan melakukan hubungan seksual pada masa remaja.
remaja untuk memenuhi rasa ingin tahunya tentang seks dan sejauhmana orangtua berperan dalam mengomunikasikan topik seks dengan anak‐anaknya pada masa remaja.
B. Urgensi Penelitian
Perilaku seksual remaja merupakan cerminan dari kebutuhan untuk memeroleh informasi seksualitas dan hasrat untuk mengekspresikan seksualitas dirinya. Orang tua merupakan sumber informasi seksualitas yang paling penting dan diharapkan oleh anak. Sayangnya kesediaan orang tua untuk mengomunikasikan seksualitas dengan remaja masih tergolong rendah. Bila dibandingkan, peran ibu masih lebih besar daripada ayah, tetapi keduanya sama‐sama lebih menekankan pada penyampaian norma dalam pergaulan dengan lawan jenis, namun kurang bersikap terbuka dan proaktif dalam memberikan informasi tentang seluk‐beluk seksualitas. Bahkan terhadap pengalaman seksual yang khas perempuan, yaitu menstruasi, para ibu masih kurang menunjukkan perhatian dan sikap yang proaktif menyampaikan informasi kepada anak perempuannya.
Secara umum dapat pula dikatakan bahwa terdapat gap dalam komunikasi seksualitas orang tua‐anak akibat kurang adanya sikap terbuka dari orang tua. Kurangnya keterbukaan antara orang tua dan remaja dalam komunikasi seksualitas penulis temukan ketika melakukan wawancara tentang komunikasi seksualitas dalam keluarga. Ketika penulis mewawancarai orang tua dan remaja bersama‐sama dalam satu forum, remaja mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan‐ pertanyaan yang penulis ajukan terkait dengan pemerolehan informasi tentang materi seksual maupun perilaku seksual mereka. Akan tetapi ketika remaja diwawancarai tanpa ada orang tuanya, mereka dapat mengemukakan pengalaman‐ pengalamannya dalam memeroleh materi seksual maupun perilaku seksual yang pernah dilakukannya secara terbuka.
seks dari sumber‐sumber lain. Saat melakukan penelitian tentang pola komunikasi seksualitas dalam keluarga, penulis menemukan ayah dan ibu yang telah menyampaikan pesan tentang norma pergaulan dan larangan untuk menyimpan gambar porno maupun melihat VCD porno pada anak laki‐lakinya yang telah menginjak remaja. Suatu hari, ayah memergoki anak laki‐lakinya menyimpan gambar porno di HPnya. Tindakan yang dilakukan ayah adalah memarahi habis‐habisan anak laki‐lakinya tersebut dengan harapan anak laki‐lakinya akan jera untuk mengakses gambar porno lagi. Namun fakta yang terjadi pada anak laki‐laki tersebut tidak sesuai dengan harapan ayah. Anak laki‐laki tersebut mengungkapkan bahwa ia tidak lagi menyimpan gambar porno di HP karena takut dimarahi lagi oleh ayahnya, tetapi ia biasa nonton VCD porno bersama teman‐temannya ketika mendapat ijin untuk bermain pada sore hari. Acara nonton VCD porno tersebut dilakukan rata‐rata tiga hari sekali di rumah teman yang orang tuanya sedang bepergian. Dampak dari sering nonton VCD porno tersebut, ia mudah terangsang ketika melihat ada anak perempuan yang berpakaian seksi atau agak terbuka. Untuk memenuhi hasrat seksualnya yang menggelora, ia kemudian melakukan masturbasi. Ia juga menyatakan bahwa acara nonton VCD porno bersama teman‐teman maupun masturbasi dilakukan tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya.
Bagaimanapun orang tua mempunyai peran penting dalam menanamkan nilai‐nilai yang menjadi panutan bagi remaja dalam berperilaku, termasuk di dalamnya adalah nilai‐nilai yang terkait dengan seksualitas (Allgeier & Allgeier, 1991; Fuhrmann, 1990). Anak memperoleh nilai seksualitas melalui proses sosialisasi pertama yang dialami oleh anak adalah ketika berinteraksi dengan orang tuanya. Pada mulanya anak belajar meniru atau melakukan imitasi terhadap pola‐pola perilaku yang ditunjukkan oleh orang tuanya. Menginjak masa kanak‐kanak, anak mulai berinteraksi dengan teman sebayanya.
Pada usia sekolah, anak mulai mengenal adanya perbedaan perilaku antara dirinya dengan teman sebayanya. Anak juga mulai menemukan adanya perbedaan nilai antara yang diajarkan orang tuanya di rumah dengan yang ditemui di luar rumah, seperti sekolah, masyarakat, media cetak, internet, maupun televisi. Ada perilaku yang dilarang oleh orang tua, tetapi anak melihat orang lain melakukan hal tersebut. Perbedaan tersebut tentunya menimbulkan pertentangan nilai dalam masalah seksualitas pada diri anak. Apabila anak tidak mendapatkan pembelajaran nilai seksualitas yang memadai dari orang tuanya maka kondisi ini akan dapat menyebabkan anak mudah terpengaruh oleh situasi lingkungan yang dihadapinya. Misalnya, anak mudah terpengaruh ajakan dari teman‐teman sebayanya untuk melakukan tindakan yang melanggar norma seperti menonton VCD porno, kecanduan mengakses situs porno, berperilaku seksual yang mengarah pada stimulasi seksual, bahkan melakukan hubungan seksual pada masa remaja.
Salah satu kunci keberhasilan bagi orang tua dalam mengomunikasikan seksualitas dengan anak adalah merasa nyaman dengan topik seksualitas (Whitaker, Miler, May, & Levin, 1999), serta memiliki pengetahuan yang cukup akurat dan memiliki ketrampilan komunikasi (Atwater, 1992). Dalam penelitian yang penulis lakukan (Lestari, 2002; Lestari & Lestari, 2006) pemberian intervensi pada ibu melalui pelatihan komunikasi seksualitas dapat meningkatkan perasaan nyaman terhadap topik seksualitas.
DAFTAR
PUSTAKA
Allgeier, E.R., & Allgeier, A.R. (1991). Sexual Interactions. Third Edititon.
Massachusetts: D. C. Heath and Company.
Atwater, E. (1992). Adolescence. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
Anganthi, N.R.N & Lestari, S. (2007). Pola komunikasi seksualitas pada keluarga muslim di Surakarta. Laporan Penelitian Fundamental. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, tidak diterbitkan.
Baumeister, L.M., Flores, E., & Marín, B. V. (1995). Sex information given to Latina adolescents by parents. Health Education Research, 10, 233‐239.
Donnelly, J., Goldfarb, E., Duncan, D. F., Young, M., Eadie, C., & Castiglia, D., (1999). Self‐esteem and sex attitudes as predictors of sexual abstinence by inner‐city early adolescents. North American Journal of Psychology, 1, 205‐212.
Eastman, K. L., Corona, R., Ryan, G. W., Warsofsky, A. L. & Schuster, M. A. (2005). Worksite‐based parenting programs to promote healthy adolescent sexual development: A qualitative study of feasibility and potential content.
Perspectives on Sexual and Reproductive Health, 37, 62–69.
Fisher, J. D. (1987). Family communication and the sexual behavior and attitudes of college students. Journal of Youth and Adolescence, 16, 481‐495.
Fisher, T. D. (1986). An exploratory study of parent‐child communication about sex and the sexual attitudes of early, middle, and late adolescents. Journal of Genetic Psychology, 147, 543‐557.
Forehand, R., Miller, K.S., Dutra, R., and Change, M.W. 1997. Role of parenting in adolescent deviant behaviour: Replication accros and within two ethnic group. Journal of Consulting and Clinical Phychology, 65, 1036‐1041.
French, D. C., & Dishion, T. J. (2003). Predictors of early initiation of sexual intercourse among high‐risk adolescents. Journal of Early Adolescence, 23,
295‐315.
Fuhrmann, B.S. (1990). Adolescence, Adolescents. Second Edition. Illinois: Scott,
Foresman and Company.
Hayes, N. (2000). Doing psychological research: Gathering and analysing data.
Buckingham: Open University Press.
Hutchinson, M. K, & Cooney, T.M. (1998). Patterns of parent‐teen sexual risk communication: Implications for intervention. Family Relations, 47, 185‐194.
Izugbara, C. O. (2005). The socio‐cultural context of adolescents’ notions of sex and sexuality in Rural South‐Eastern Nigeria. Sexualities, 8, 600‐617.
Jaccard, J., Dittus, P.J., & Gordon, V.V. (2000). Parent‐teen communication about premarital sex: Factors associated with the extent of communication. Journal of Adolescent Research, 15, 187‐208.
Karofsky, P. S., Zeng, L., & Kosorok, M. R. (2001). Relationship between adolescent‐ parental communication and initiation of first intercourse by adolescents.
Journal of Adolescent Health, 28, 41‐45.
Katchadourian, H.A. (1987). Fundamentals of human sexuality. Fifth Edition.
Orlando, Florida: Holt, Rinehart & Winston Inc.
Lefkowitz, E. S., Sigman, M., & Au, T. K. (2000). Helping mothers discuss sexuality and AIDS with adolescents. Child Development, 71, 1383‐1394.
Lestari, S. (2007). Perilaku pacaran ditinjau dari intensitas mengakses situs porno dan komunikasi seksualitas dengan orangtua. Laporan penelitian dosen muda. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, tidak diterbitkan.
Lestari, S. & Pratisti, W. D. (2008). Makna menarche dan pengalaman psikologis yang menyertainya. Arkhe, 13, 1‐8.
Lestari, S. & Hertinjung, W.S. (2007). Sikap ibu terhadap pertanyaan anak tentang seksualitas. Psikologika. No 24, Tahun XII, 147‐155.
Lestari, S. & Purwandari, E. (2002). Kemampuan komunikasi ibu – anak tentang seksualitas ditinjau dari tingkat pengetahuan ibu. Indigenous, 6, 32‐39.
Lestari, S. & Lestari, R. (2006). Pelatihan komunikasi sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan komunikasi seksualitas pada ibu. Makalah.
Dipresentasikan dalam Temu Ilmiah Nasional V Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (IPPI), 25‐26 Agustus di Malang.
Lestari, S. (2002). Peningkatan kemampuan ibu dalam mengkomunikasikan seksualitas kepada anak melalui pemberian informasi. Tesis. Yogyakarta:
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan.
Lieberman L.D. (2006). Early predictors of sexual behavior: implications for young adolescents and their parents. Perspectives on Sexual and Reproductive Health, 38, 112‐114.
Luster, T., & Small, S. A. (1994). Factors associated with sexual risk‐taking behaviors among adolescents. Journal of Marriage & the Family, 56, 622‐632.
Masters, W. H., Johnson, V. E., & Kolodny, R. C. (1992). Human Sexuality. Fourth
Edition. New York: Harper Collins Publishers.
McNeely, C., Shew, M. L., Beuhring, T., Sieving, R., Miller, B. C., & Blum, R. W. (2002). Mothers' influence on the timing of first sex among 14‐ and 15‐year‐olds.
Miller, B. C., Norton, M. C., Fan, X., & Christopherson, C. R, 1998. Pubertal development, parental communication, and sexual values in relation to adolescent sexual behaviors. Journal of Early Adolescence, Vol 18, 27‐52. Moore, S., & Rosenthal, D. 1991. Adolescents' perceptions of friends' and parents'
attitudes to sex and sexual risk‐taking. Journal of Community and Applied Social Psychology, Vol 1, 189‐200.
Mudijana, D. 1993. Need assessment reproduksi sehat remaja di Kodya Yogyakarta.
Makalah. Yogyakarta: Kerjasama YKB dengan Kantor Menteri
Kependudukan/BKKBN. Tidak diterbitkan
PKBI (2001). Kebutuhan akan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja.
Laporan need assesment di Kupang, Palembang, Singkawang, Cirebon dan Tasikmalaya. Diakses dari: www.PKBI.or.id.
Ryu, E., Kim, K., and Kwon, H., 2007. Predictors of sexual intercourse among Korean adolescents. The Journal of School Health, 77, 615‐622.
Shaughnessy, J.J. and Zechmeister, E.B., 1990. Research methods in Psychology.
Second edition. New York: McGraw‐Hill, Inc.
SIECUS (2002). Innovative innovative approaches to increase parent‐child communication about sexuality: Their impact and examples from the field. Retrieved from www.siecus.org.
Somers, C.L. and Canivez, G.L. 2003. The sexual communication scale: a measure of frequency of sexual communication between parents and adolescents.
Adolescence, 38, 43‐56.
Model Komunikasi Seksualitas Orangtua-Remaja
Sebagai Prevensi Terhadap Perilaku Seksual Berisiko
pada Remaja
DIBIAYAI OLEH DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL RI
DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN HIBAH PENELITIAN NOMOR KONTRAK: 089/SP2H/PP/DP2M/III/2010, TERTANGGAL 01 MARET 2010
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
Summary ... vii
Prakata ... ix
Daftar tabel ... xi
Daftar bagan ... xii
Daftar lampiran ... xiii
Bab I. Pendahuluan ... 1
A. Latar belakang masalah ... 1
B. Urgensi penelitian ... 5
Bab II. Tinjauan pustaka ... 9
A. Kebutuhan remaja tentang informasi seksualitas ... 9
B. Perilaku seksual remaja... 10
C. Komunikasi orangtua‐anak tentang seksualitas ... 11
D. Sumber informasi seksualitas bagi remaja ... 15
E. Pertanyaan penelitian ... 15
Bab III. Tujuan dan manfaat penelitian ... 16
Bab IV. Metode penelitian ... 17
A. Informan penelitian ... 17
B. Strategi pengambilan sampe ... 17
C. Instrumen dan prosedur pengumpulan data ... 18
D. Metode analisis data ... 19
Bab V. Hasil dan pembahasan ... 20
A. Data wawancara kelompok terarah ... 20
B. Data survei ... 23
C. Pembahasan ... 50
D. Temuan penelitian ... 56
Sinopsis proposal tahun kedua ... 90
Perilaku seksual yang semakin meningkat dalam aktivitas pacaran remaja
dan pornografi yang semakin mudah untuk diakses anak telah menginspirasi
dilakukannya penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kebutuhan
remaja akan informasi seksualitas. Agar memperoleh pemahaman terhadap
kebutuhan remaja secara komprehensif, proses pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan teknik wawancara kelompok dan survei. Partisipan dalam
wawancara kelompok adalah 23 orang remaja, yang terdiri dari 11 remaja laki‐laki
a. Peristiwa haid dan mimpi basah tidak hanya merupakan peristiwa biologis
semata, tetapi juga disertai dengan pengalaman psikologis yang unik.
b. Sebagian besar remaja telah mengetahui tentang haid/mimpi basah sebelum
mereka mengalaminya
c. Sumber informasi seksualitas bagi remaja yang utama adalah internet dan
teman, peran orangtua sebagai sumber informasi seksualitas belum optimal. d. Lebih dari dua pertiga remaja pernah mengakses materi pornografi terutama
melalui internet dan hp.
e. Bentuk materi pornografi yang disukai oleh remaja laki‐laki adalah gambar dan video porno, sedangkan remaja perempuan lebih menyukai cerita porno.
f. Topik informasi seksualitas yang dibutuhkan oleh remaja adalah pengertian seks, sistem reproduksi, perilaku seksual, hubungan seksual, dan psikoseksual.
g. Haid/mimpi basah pertama dimaknai remaja sebagai proses transisi dari anak‐ anak menjadi remaja, muncul kesadaran bahwa organ reproduksi telah aktif. Mimpi basah pertama juga dihayati sebagai pengalaman seksual oleh remaja laki‐laki.
h. Setelah mengalami haid/mimpi basah pertama, remaja menerima nasihat
orangtua yang berisi pesan agar lebih menjaga diri, lebih dewasa, lebih merawat diri, dan memberikan batasan‐batasan pada anak.
i. Kata seks dikonotasikan oleh remaja sebagai hubungan intim, dan hanya sedikit remaja yang mengartikannya sebagai jenis kelamin.
j. Sebagian besar remaja menyatakan tidak setuju hubungan seks dengan pacar yang dilandasi oleh alasan normatif dan sikap antisipatif.
Temuan dalam penelitian ini mendukung penelitian‐penelitian terdahulu
bahwa orangtua belum bersikap proaktif dalam menjalin komunikasi seksualitas
This researh was inspired by the increasing of adolescent’s sexual behavior in students and twelve female student, participated in the focus group interviews. Whereas the survey was participated by 530 adolescents, which consisted of 261 biological event, but also recognized as a unique psychological experience. b. The most of teens already know about menstruation and wet dreams before
they experience it.
c. The main sources of sexuality information for teens are internet and friends, since the role of parents as a source of sexuality information is not optimal. d. More than two‐thirds of teenagers had access to pornographic material,
especially via internet and mobile phones.
e. Adolescent boys prefer to see pornographic materials such as pictures and videos, while girls prefer to read porn stories.
f. Adolescent’s need of sexuality information include five themes, that are the meaning of sex, the reproductive systems, sexual behavior, intercourse, and
psychosexual.
g. Several adolescent comprehend menarche and pollutio as transition phase into adulthood, while others identify menarche and pollutio as beginning time of the reproductive organs being active.
h. After experiencing menarche or pollutio, teenagers receive notification from parent that they should be more careful, have mature attitude, keep themselves clean and healthy. Parent also confirm some limitations.
i. The term of sex was connotated by adolescent as intercourse, and only a few teenagers who interpret it as a person’s genital.
j. Generally adolescent state that having sex in dating is unacceptable, because of normative reason and anticipatory behavior.
Findings in this study support previous studies that parents
teladan Rasulullah Muhammad SAW. Walaupun penelitian ini tidak terlepas dari sejumlah keterbatasan, namun harapan penulis semoga hasil penelitian ini dapat
menjadi gerbang untuk semakin memahami dinamika kehidupan remaja, khususnya
dalam menjalani perkembangan seksualitasnya. Perkembangan seksualitas
yang paling pesat pada remaja ternyata telah mendorong remaja untuk
bereklsplorasi dalam mencari informasi seksualitas yang dibutuhkannya. Rasa ingin tahu tentang seks yang tidak terjawab, tanggapan orangtua ketika ditanya tentang
seks yang kurang memuaskan remaja, dan minimnya sumber informasi tentang
seksualitas yang khusus dirancang bagi remaja telah mengakibatkan sebagian besar remaja terpapar oleh media pornografi. Berpijak dari fenomena tersebut, penelitian ini dilakukan untuk memahami informasi seksualitas yang dibutuhkan oleh para remaja.
Penelitian ini dapat terlaksana atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis sampaikan terima kasih kepada pihak‐pihak yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini, yakni:
1. Departemen Pendidikan nasional Republik Indonesia, dalam hal ini DP2M
Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi.
2. Rektor Universitas Muhammdiyah Surakarta, dalam hal ini Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk kegiatan ini.
3. Para Kepala Sekolah SMP dan SMK yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di insitusi yang beliau pimpin.
4. Bapak dan ibu guru yang telah membantu dalam proses pengumpulan data
dengan kerjasama yang sangat baik.
5. Adik‐adik remaja yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini dengan
8. Keluarga penulis, Mochammad Mustachir yang telah bersedia menjalani share
parenting dengan berbagi tugas dalam pengasuhan anak ketika penulis
melaksanakan pengumpulan data dan penulisan laporan. Juga anak‐anak – Azka, Akhyar, dan Allifna yang telah terkurangi waktu kebersamaan dengan bundanya ketika penulis berkutat dengan data‐data penelitian.
9. Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan kemudahan demi terlaksananya penelitian ini.
Tak ada gading yang tak retak, demikian kata pepatah. Penelitian ini masih memiliki sejumlah keterbatasan. Oleh karena itu saran, masukan, dan kritik untuk meningkatkan kualitas penelitian sangat penulis nantikan. Harapan penulis, semoga
karya ini dapat bermanfaat dalam menambah setitik pemahaman terhadap
kehidupan para remaja sebagai generasi masa depan bangsa Indonesia.
Tabel 4. Pengertian remaja perempuan tentang haid ... 35 Tabel 5. Isi nasihat yang disampaikan orangtua kepada remaja setelah mengalami
Grafik 4. Hubungan remaja perempuan dengan ayah dan ibu ... 26
Grafik 5. Hubungan remaja laki‐laki dengan ayah dan ibu ... 26
Grafik 6. Usia remaja ketika mengalami mimpi basah pertama kali ... 28
Grafik 7. Perbandingan remaja yang memperoleh informasi sebelum dan sesudah mengalami mimpi basah ... 28
Grafik 8. Sumber pertama pemerolehan informasi tentang mimpi basah ... 29
Grafik 9. Figur dalam berbagi pengalaman mimpi basah pertama ... 30
Grafik 10. Usia remaja ketika mengalami haid pertama kali ... 32
Grafik 11. Perbandingan remaja yang memperoleh informasi sebelum dan sesudah mengalami haid ... 32
Grafik 12. Sumber pertama pemerolehan informasi tentang haid ... 33
Grafik 13. Figur yang dipercaya remaja untuk dibagi pengalaman haid pertamanya 34 Grafik 14. Sumber informasi tentang seks yang dipilih remaja ... 40
Grafik 15. Sumber informasi tentang seks yang dipilih remaja berdasarkan jenis kelamin ... 41
Grafik 16. Perbandingan remaja laki‐laki dan perempuan dalam pengalaman bertanya tentang seks pada orangtua ... 42
Grafik 21. Perbandingan frekuensi remaja laki‐laki dan perempuan dalam mengakses materi pornografi ... 47
Grafik 22. Frekuensi akses materi pornografi pada remaja berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis kelamin ... 48
Grafik 23. Bentuk materi pornografi yang diakses remaja laki‐laki dan perempuan Grafik 24. Media yang digunakan untuk mengakses pornografi pada remaja laki‐laki dan perempuan ... 49
Angket untuk remaja putri ... 74