• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN

KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN

Oleh

OLAN ASCOREPTA

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas model Problem Sol-ving pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit dalam meningkatkan kete-rampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan siswa. Model problem sol-ving terdiri dari 5 tahapan ,yaitu;(1) mengorientasikan siswa pada masalah, (2) mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, (3 )menetapkan jawaban sementara dari masalah, (4) menguji kebenaran jawaban sementara, (5) menarik kesimpulan

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMAN 1 Talang Padang tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 256 siswa dan tersebar dalam delapan kelas. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas X2 dan X3 semester Genap Tahun Pelajaran yang memiliki karakteristik hampir sama. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan Non Equivalent (Pretest and Posttest) Control Group Design.

(3)

kelas kontrol dan eksperimen masing-masing 0,28 dan 0,74.

Berdasarkan uji hipotesis, diketahui bahwa Model problem solving pada materi Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit efektif dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan.

(4)
(5)
(6)
(7)

Halaman

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran ..………... 7

B. Pembelajaran Konstruktivisme ... . 9

C. Model Pembelajaran Problem Solving... 11

D. Pembelajaran Konvensional... 14

E. Keterampilan Proses Sains……… 17

F. Kerangka Pemikiran………... 22

G. Anggapan Dasar………... 24

(8)

B. Jenis dan Sumber Data ... 25

C. Desain Penelitian dan Metode Penelitian ... 26

D. Variabel Penelitian ... 27

E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya ... 28

F. Pelaksanaan Penelitian ... 29

G. Analisis Data Penelitian ... 30

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian dan Analisis Data ... 36

B. Pembahasan ... 43

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 52

B. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1. Silabus dan Sistem Penilaian Kelas Eksperimen ... 56

2. RPP Kelas Eksperimen ... 62

3. Lembar Kerja Siswa Kelas Eksperimen ... 77

4. Kisi-kisi Soal Pretest/Posttest ... 92

5. Soal Pretest ... 94

6. Soal Posttest ... 96

7. Rubrik Penskoran Pretest/ Posttest ... 98

(9)
(10)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan suatu kegiatan universal dalam kehidupan manusia. Fung-si pendidikan adalah agar anak tersebut bertambah pengetahuan dan keterampilan serta memiliki sikap yang benar. Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan berfungsi untuk me-ngembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

(11)

Proses pembelajaran diperlukan agar tujuan pendidikan tersebut dapat tercapai, karena dalam proses pembelajaranlah siswa diasah dan diarahkan agar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan. Agar proses pembelajaran dapat terlaksana, ada 4 buah komponen utama yang harus terlibat yaitu siswa, guru, lingkungan belajar, dan materi ajar (BSNP, 2006).

Proses belajar mengajar merupakan proses interaksi komunikasi aktif antara siswa dengan guru dalam proses pembelajaran. Menurut Whitehead (Arifin, dkk, 2003), hasil yang nyata dalam pendidikan sebenarnya adalah proses berpikir yang

diperoleh melalui pembelajaran dari berbagai disiplin ilmu. Pembelajaran sains sebagai bagian dari pendidikan, memiliki peranan penting dalam peningkatan mutu pendidikan. Kimia merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif) namun pada perkembangan selanjutnya kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif). Kimia adalah ilmu yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energetika zat (BSNP, 2006).

(12)

akibatnya siswa kurang terampil dalam mengelompokkan dan mengkomunikasikan

kon-sep kimia, oleh karena itu perlu upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran agar

sis-wa agar sissis-wa lebih aktif dan terampil dalam mengelompokkan dan mengkomunikasikan

konsep kimia. Untuk dapat meningkatkan keterampilan tersebut maka perlu adanya

pengembangan model pembelajaran.

Berdasarkan masalah yang dialami, peneliti ingin mengatasi masalah tersebut maka peneliti mengadakan studi pustaka. Studi pustaka tersebut diperoleh bebe-rapa hasil penelitian antaralain: (1) Purwani (2009), yang dilakukan pada siswa SMA kelas X di SMAN 1 Jombang, menunjukkan bahwa pembelajaran dengan melalui model problem solving memberikan kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa. (2) Choiriawat (2012), yang dilakukan pada siswa SMA kelas XI di SMAN 1 Tumijajar menunjukkan bahwa pembelaja-ran model problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan me-ngelompokkan dan mengkomunikasikan siswa pada materi asam-basa.

(13)

merupakan indikator keterampilan mengelompokkan. Selain itu dalam pengama-tan langsung ini juga siswa dituntut agar mampu menjelaskan hasil percobaan; menggambarkan data empiris dengan grafik, tabel/diagram; membaca dan meng-kompilasi informasi dalam grafik atau diagram; menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis dan jelas. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan indikator keterampilan mengkomunikasikan. Hal ini menunjukkan bahwa di-mungkinkan model problem solving mampu dalam meningkatkan keterampilan proses sains siswa yaitu keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan khususnya materi larutan elektrolit dan non elektrolit.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukanlah penelitian ini dengan judul

“Efektivitas Model Problem Solving pada Materi Larutan Elektrolit dan Non

Elektrolit Dalam Meningkatkan Keterampilan Mengelompokkan dan Mengkomunikasikan”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana model Problem Solving pada materi larutan elek-trolit dan non elekelek-trolit efektif dalam meningkatkan keterampilan mengelompok-kan dan mengkomunikasimengelompok-kan siswa

C. Tujuan Penelitian

(14)

non elektrolit dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan meng-komunikasikan siswa.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi siswa

Dengan diterapkannya Model Problem Solving dalam kegiatan belajar menga-jar maka akan memberi pengalaman baru bagi siswa dalam memecahkan ma-salah dalam materi pelajaran kimia khususnya materi larutan elektrolit dan non elektrolit dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan.

2. Bagi guru dan calon guru

Memberi inspirasi dan pengalaman secara langsung bagi guru dalam membe-lajarkan materi kimia dengan diterapkannya Model Problem Solving,

terutama pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit memperoleh model pembela-jaran yang efektif dalam meningkatkan keterampilan

mengelompokkan dan mengkomunikasikan.

3. Bagi sekolah

(15)

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah :

1. Model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukan perbedaan yang signifikan antara pemahaman awal dengan pemahaman setelah

pembelajaran (ditunjukan dengan n-Gain yang signifikan) (Nuraini, 2010). 2. Model Problem solving yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

Problem Solving menurut Depdiknas (2008). Model ini terdiri dari 5 tahap, yaitu; ( 1) mengorientasikan siswa pada masalah, (2) mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, (3) menetapkan jawaban sementara dari masalah, (4) menguji kebenaran jawaban sementara, dan ( 5) menarik kesimpulan.

3. Pembelajaran konvensional adalah proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai pentransfer ilmu, sementara siswa lebih pasif sebagai penerima ilmu (Sukardi,2003).

4. Keterampilan mengelompokkan meliputi kemampuan mencatat setiap pe-ngamatan secara terpisah, mencari perbedaan dan persamaan (memban-dingkan), mengontraskan ciri-ciri, serta mencari dasar pengelompokkan atau penggolongan (Dimyati dan Mudjiono, 2002).

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Efektivitas Pembelajaran

Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Menurut Nuraeni (2010), model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pemahaman awal dengan pemahaman setelah pembelajaran (ditunjukkan dengan gain yang signifikan).

Menurut Wicaksono (2008), kriteria keefektifan dalam suatu penelitian adalah Model pembelajaran di-katakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaaan yang signifikan anta-ra pemahaman awal sebelum pembelajaanta-ran dan pemahaman setelah pembelajaanta-ran (gain yang signifikan).

(17)

Kriteria keefektifan menurut Wicaksono (2008) mengacu pada:

a. Ketuntasan belajar, pembelajaran, dapat dikatakan tuntas apabila sekurang-kurangnya 75% dari jumlah siswa telah memperoleh nilai = 60 dalam peningkatan hasil belajar.

b. Model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pemahaman awal dengan pemahaman setelah pembelajaran (gain yang signifikan).

c. Model pembelajaran dikatakan efektif jika dapat meningkatkan minat dan motivasi apabila setelah pembelajaran siswa menjadi lebih termotivasi untuk belajar lebih giat dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Serta siswa belajar dalam keadaan yang menyenangkan

Jadi, efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukan perbedaan yang signifikan antara pemahaman awal dengan pemahaman setelah pembelajaran.

B. Pembelajaran Konstruktivisme

(18)

pe-ngalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemu-kan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus meng-konstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruk-tivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik sendiri (Trianto, 2007).

Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses ’mengkonstruksi’ bukan ’menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun

sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer dari orang yang mempunyai pengetahuan kepada orang yang belum mempunyai pengetahu-an. Bahkan, bila seorang guru bermaksud mentransfer konsep, ide, dan pengertiannya kepada siswa, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa itu lewat

pengalamannya (Trianto, 2007).

Menurut Von Glasersfeld dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu (2001), agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan, maka diperlukan:

(19)

2. Kemampuan siswa untuk membandingkan, dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan suatu hal. Kemampuan membanding-kan sangat penting agar siswa mampu menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaan-nya untuk selanjutperbedaan-nya membuat klasifikasi dan mengkonstruksi pengeta-huannya.

3. Kemampuan siswa untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain (selective conscience). Melalui “suka dan tidak suka” inilah muncul penilaian siswa terhadap pengalaman, dan menjadi landasan bagi pemben- tukan pengetahuannya.

Prinsip-prinsip konstruktivisme menurut Suparno (1997), antara lain: 1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif;

2. Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa; 3. Mengajar adalah membantu siswa belajar;

4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir; 5. Kurikulum menekankan partisipasi siswa;

6. Guru adalah fasilitator.

(20)

secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan mengonstruksikan penge-tahuannya sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi berevolusi dan berubah secara konstan selama pelajar mengkonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka untuk mendasarkan diri pada dan memodifikasi pengetahuan sebelumnya.

Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Asimilasi ialah pema-duan data baru dengan stuktur kognitif yang ada. Akomodasi ialah penyesuaian stuktur kognitif terhadap situasi baru, dan equilibrasi ialah penyesuaian kembali yang terus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Bell, 1994).

C. Model Pembelajaran Problem Solving

Salah satu pembelajaran konstruktivisme adalah pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran problem solving. Model pembelajaran problem solving ada-lah model pembelajaran yang menuntut siswa belajar untuk memecahkan masaada-lah baik secara individu maupun kelompok. Oleh karena itu dalam pembelajaran sis-wa harus aktif agar dapat memecahkan masalah yang diberikan oleh guru.

(21)

Nasution (2006) menyatakan, :

“memecahkan masalah memerlukan pemikiran dengan menggunakan dan meng -hubungkan berbagai aturan-aturan yang telah kita kenal menurut kombinasi yang berlainan. Dalam memecahkan masalah sering harus dilalui berbagai langkah seperti mengenal setiap unsur dalam masalah itu, mencari aturan-aturan yang berkenaan dengan masalah itu dan dalam segala langkah perlu ia berpikir”.

Menurut Nasution (2006) mempelajari aturan perlu terutama untuk memecahkan masalah. Pemecahan masalah merupakan perluasan yang wajar dari belajar atur-an. Dalam pemecahan masalah prosesnya terletak dalam diri siswa. Variabel dari luar hanya berupa instruksi verbal yang membantu atau membimbing siswa untuk memecahkan masalah itu. Namun memecahkan masalah tidak sekedar menerap-kan aturan-aturan yang diketahui, amenerap-kan tetapi juga menghasilmenerap-kan pelajaran baru.

Tahap-tahap model problem solving (Depdiknas, 2008) yaitu meliputi :

1. Ada masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.

2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya dan lain-lain.

3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada tahap kedua di atas.

(22)

jawaban ini tentu saja diperlukan modelmodel lainnya seperti demonstrasi, tugas, diskusi, dan lain-lain.

5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi

Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan model problem solving menurut Djamarah dan Zain (2002) adalah sebagai berikut:

1. Kelebihan model problem solving

a. Dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan.

b. Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil. c. Merangsang pengembangan kemampuan berfikir siswa secara kreatif dan

menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak melakukan mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya.

2. Kekurangan model problem solving

(23)

b. Proses belajar mengajar dengan menggunakan metode ini sering memerlu-kan waktu yang cukup banyak dan sering terpaksa mengambil waktu pel-ajaran lain

c. mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak berfikir memecahkan permasalah sendiri atau kelompok, yang kadang-kadang memerlukan ber-bagai sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa.

D. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran tradisional, karena sejak dulu model pembelajaran ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran (Djamarah dan Zain , 2006).

Mendeskripsikan bahwa pembelajaran konvensional ditandai dengan guru lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Di sini terlihat bahwa pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai pentransfer ilmu, sementara siswa lebih pasif sebagai penerima ilmu (Sukardi, 2003).

(24)

dengan pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya kepada situasi ke-hidupan nyata. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pembelajaran konvensional me-miliki ciri-ciri, yaitu: (1) pembelajaran berpusat pada guru, (2) terjadi passive learning, (3) interaksi di antara siswa kurang, (4) tidak ada kelompok-kelompok kooperatif, dan (5) penilaian bersifat sporadis.

Menurut Brooks dan Brooks (Juliantara, 2009) Penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih menekan-kan kepada tujuan pembelajaran berupa penambahan pengetahuan, sehingga bela-jar dilihat sebagai proses “meniru” dan siswa dituntut untuk dapat mengungkap-kan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari melalui kuis atau tes terstandar.

Metode yang digunakan dalam pembelajaran konvensional adalah metode cera- mah, tanya jawab, latihan, diskusi dan pemberian tugas. Dalam hal ini yang sering digunakan adalah metode ceramah.

(25)

Menurut Jusuf Djajadisastra (Sudaryo, 1991), prosedur penggunaan ceramah antara lain:

a. Merumuskan tujuan khusus pemgajaran yang akan dipelajari siswa. Dengan tujuan tersebut dapat ditetapkan apakah metode ceramah benar-benar merupakan metode yang tepat.

b. Menyusun bahan ceramah secara sistematis.

c. Mengidentifikasi istila-istilah yang sukar dan perlu diberi penjelasan dalam ceramah.

d. Melaksanakan ceramah dengan memperhatikan:

1) Sajikan kerangka materi dan pokok-pokok yang akan diuraikan dalam ceramah.

2) Uraikan pokok-pokok tersebut dengan jelas dan usahakan istilah yang sukar dijelaskan secara khusus.

3) Diupayakan bahan pengait atau advance organizer agar pengajaran lebih bermakna.

4) Dapat dilakukan dengan pendikator deduktif atau induktif. 5) Gunakan multi metode dan multi media.

e. Menyimpulkan pokok-pokok isi materi yang diceramahkan dikaitkan dengan tujuan pengajaran.

Menurut Djamarah dan Zain (2006) Kelebihan metode ceramah : a. Guru mudah menguasai kelas.

(26)

d. Mudah mempersiapkan dan melaksanakannya. e. Guru mudah menerangkan pelajaran dengan baik.

Kelemahan metode ceramah :

a. Mudah menjadi verbalisme (pengertian kata-kata).

b. Bila selalu digunakan dan terlalu lama akan membosankan.

c. Guru sukar sekali menyimpulkan bahwa siswa mengerti dan tertarik pada ceramahnya ini.

d. Menyebabkan siswa menjadi pasif.

E. Keterampilan Proses Sains

Hakikat IPA secara utuh, yakni IPA sebagai proses, produk, dan aplikasi, siswa harus memiliki kemampuan KPS (Keterampilan Proses Sains). Dalam pembelaja-ran IPA aspek proses perlu ditekankan bukan hanya pada hasil akhir dan berpikir benar lebih penting dari pada memperoleh jawaban yang benar. Dengan kata lain bila seseorang telah memiliki KPS, IPA sebagai produk akan mudah dipahami, bahkan mengaplikasikan dan mengembangkannya. KPS adalah semua keterampi-lan yang terlibat pada saat proses berketerampi-langsungnya sains. KPS penting dimiliki guru untuk digunakan sebagai jembatan untuk menyampaikan penge-tahuan/ informasi baru kepada siswa atau mengembangkan pengetahuan atau informasi yang telah dimiliki siswa.

(27)

mengembangkan sains serta diharapkan memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki (Cartono, 2007).

Menurut Gagne dalam Dahar (1998) keterampilan proses sains adalah kemampu-an-kemampuan dasar tertentu yang dibutuhkan untuk menggunakan dan mema-hami sains. Setiap keterampilan proses merupakan keterampilan yang khas yang digunakan oleh semua ilmuwan, serta dapat digunakan untuk memahami fenome-na apapun juga. KPS mempunyai cakupan yang sangat luas, sehingga aspek-aspek keterampilan proses sains dapat digunakan dalam beberapa pendekatan dan model pembelajaran. Demikian halnya dalam model pembelajaran yang di-kembangkan yaitu Problem Solving, KPS menjadi bagian yang tidak terpisah dalam kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan.

Menurut Funk (Dimyati dan Mudjiono, 2002) ada berbagai keterampilan dalam keterampilan proses sains, keterampilan-keterampilan tersebut terdiri dari kete-rampilan dasar (basic skills) dan keterampilan terintegrasi (integrated skills). Keterampilan dasar terdiri dari enam keterampilan yaitu mengamati (mengobser-vasi), mengklasifikasi, mengukur, memprediksi, menyimpulkan, dan mengkom-unikasikan. Sedangkan yang termasuk dalam keterampilan terintegrasi yaitu me-ngidentifikasi variabel, membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk grafik, menggambarkan hubungan antar variabel, mengumpulkan dan mengolah data, menganalisa penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel secara operasional, merancang penelitian, dan melaksanakan eksperimen.

(28)

Tabel 1. Indikator keterampilan proses sains dasar Keterampilan dasar Indikator

Mengamati(observing) Mampu menggunakan semua indera untuk mengamati, mengidentifikasi, dan menamai sifat benda dan kejadian secara teliti dari hasil pengamatan.

Inferensi (inferring) Mampu membuat suatu kesimpulan tentang suatu benda atau fenomena setelah

mengumpulkan, menginterpretasi data dan informasi.

Klasifikasi(classifying) Mampu menentukan perbedaan,

mengontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan dan menentukan dasar penggolongan terhadap suatu obyek.

Meramalkan (prediksi) Menggunakan pola/pola hasil pengamatan, mengemukakan apa yang mungkin terjadi pada keadaan yang belum diamati.

Berkomunikasi (Communicating)

Memberikan/menggambarkan data empiris hasil percobaan atau pengamatan dengan grafik/ tabel/ diagram, menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis, menjelaskan hasil percobaan atau penelitian, membaca grafik/ tabel/ diagram,

mendiskusikan hasil kegiatan suatu masalah atau suatu peristiwa.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2002), tiap-tiap keterampilan proses dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Mengamati

(29)

keterampilan paling dasar dalam proses dan memperoleh ilmu pengetahuan serta merupakan hal terpenting untuk mengembangkan keterampilan-keterampil-an proses yang lain. Mengamati memiliki dua sifat yang utama, yakni sifat kualitatif dan sifat kuantitatif. Mengamati bersifat kualitatif apabila dalam pelaksanaannya hanya menggunakan pancaindra untuk memperoleh informasi. Mengamati bersifat kuantitatif apabila dalam pelaksanaannya selain menggunakan pancaindra, juga menggunakan peralatan lain yang memberikan informasi khusus dan tepat.

2. Mengklasifikasikan

Mengklasifikasikan merupakan keterampilan proses untuk memilah ber-bagai objek peristiwa berdasarkan sifat-sifat khususnya, sehingga didapat-kan golongan/ kelompok sejenis dari objek peristiwa yang dimaksud. Con-toh kegiatan yang menampakkan keterampilan mengklasifikasikan adalah mengklasifikasikan makhluk hidup selain manusia menjadi dua kelompok: binatang dan tumbuhan , mengklasifikasikan cat berdasarkan warna dan kegiatan lain yang sejenis.

3. Mengkomunikasikan

Mengkomunikasikan dapat diartikan sebagai menyampaikan dan mempero-leh fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan dalam bentuk suara, visual, atau suara visual. Contoh-contoh kegiatan dari keterampilan

(30)

4. Mengukur

Mengukur dapat diartikan sebagai membandingkan yang diukur dengan satuan ukuran tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Contoh-contoh kegiatan yang menampakkan ketermpilan mengukur antara lain: mengukur panjang garis, mengukur berat badan, mengukur temperature kamar, dan kegiatan sejenis yang lain.

5. Memprediksi

Memprediksi dapat diartikan sebagai mengantisipasi atau membuat ramalan tentang segala hal yang akan terjadi pada waktu mendatang, berdasarkan perkiraan pada pola atau kecenderungan tertentu, atau hubungan antara fak-ta, konsep, dan prinsip dalam ilmu pengetahuan.

6. Menyimpulkan

Menyimpulkan dapat diartikan sebagai suatu keterampilan untuk memutus-kan keadaan suatu objek atau peristiwa berdasarmemutus-kan fakta, konsep dan prinsip yang diketahui.

Keterampilan proses bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak didik men-yadari, memahami, dan menguasai rangkaian bentuk kegiatan yang berhubungan dengan hasil belajar yang telah dicapai anak didik.

(31)

Oleh karena itu, penilaian terhadap keterampilan proses siswa harus dilakukan terhadap semua keterampilan proses sains baik secara parsial maupun secara utuh.

Salah satu KPS adalah keterampilan mengkomunikasikan. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan (ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya. Adapun keterampilan komunikasi menurut Dimyati dan Mudjiono (2002) adalah sebagai berikut. ”Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain merupakan dasar untuk segala yang kita kerjakan. Grafik, bagan, peta, lambang-lambang, diagram, persamaan matematik, dan demonstrasi visual, sama baiknya dengan kata-kata yang ditulis atau dibicarakan, semuanya adalah cara-cara komunikasi yang seringkali diguna-kan dalam ilmu pengetahuan. Komunikasi efektif yang jelas, tepat, dan tidak samar-samar menggunakan keterampilan-keterampilan yang perlu dalam komu-nikasi, hendaknya dilatih dan dikembangkan pada diri siswa. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa semua orang mempunyai kebutuhan untuk mengemukakan ide, pearasaan, dan kebutuhan lain pada diri kita. Manusia mulai belajar pada awal-awal kehidupan bahwa komunikasi merupakan dasar untuk memecahkan masalah. Mengkomunikasikan dapat diartikan sebagai pengetahuan dalam bentuk suara, visual, atau suara visual. Contoh-contoh kegiatan dari keterampilan

mengkomunikasikan adalah mendiskusikan suatu masalah, membuat laporan, membaca peta, dan kegiatan lain yang sejenis”

F. Kerangka Pemikiran

(32)

dua siswa diminta mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk me-mecahkan masalah. Pada tahap ini terjadi proses akomodasi yaitu terjadi penye-suaian stuktur kognitif siswa terhadap situasi baru. Siswa ingin memahami kon-sep baru atau permasalahan yang timbul melalui kegiatan akomodasi ini. Pada tahap tiga siswa diminta menetapkan jawaban sementara dari masalah. Pada tahap ini, setelah melalui kegiatan asimilasi dan akomodasi siswa akan meng-alami ketidakseimbangan struktur kognitif yaitu ada fakta-fakta yang telah di-miliki siswa sebelumnya (pengetahuan lama siswa) yang tidak sesuai dengan pe-ngetahuan baru siswa. Pada tahap empat siswa diminta menguji kebenaran ja-waban sementara. Pada tahap ini siswa akan mencari tahu jaja-waban atas pertanya-an mengapa dpertanya-an bagaimpertanya-ana dengpertanya-an cara membuktikpertanya-annya melalui praktikum dpertanya-an menjawab pertanyaan yang ada pada LKS. Sehingga terjadi proses menuju ke-seimbangan antara konsep yang telah dimiliki siswa dengan konsep-konsep yang baru dipelajari, begitu seterusnya sehingga terjadi keseimbangan antara struktur kognitif dengan pengetahuan yang baru (ekuilibrasi). Pada tahap lima siswa diminta untuk menarik kesimpulan dari pemecahan masalah. Pada tahap ini terlihat apakah siswa sudah mencapai proses ekuilibrasi atau belum.

(33)

perbedaan serta persamaan (membandingkan) data hasil pengamatan;

mengontraskan ciri-ciri dari data-data yang didapat; serta mencari dasar penge-lompokkan atau penggolongan. Selain itu siswa juga diminta menjelaskan hasil percobaan; menggambarkan data empiris dengan tabel/diagram; menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis dan jelas. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan keterampilan proses sains yaitu keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan.

G. Anggapan Dasar

Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:

1. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi peningkatan keterampilan mengelom-pokkan dan mengkomunikasikan pada materi Larutan Elektrolit dan Non elektrolit siswa kelas X semester genap SMAN 1 Talang Padang Tahun Pelajaran 2012/2013 diabaikan.

2. Perbedaan gain keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan pada materi Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit semata-mata terjadi karena perbe-daan perlakuan dalam proses pembelajaran.

H. Hipotesis Umum

Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah:

(34)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMAN 1 Talang Padang tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 256 siswa dan tersebar dalam delapan kelas. Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai sampel adalah siswa kelas X2 dan X3 SMAN 1 Talang Padang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampel purposif, yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya, maka ditentukan kelas X2 dan X3 sebagai sampel. Kelas X2 sebagai kelas eksperimen yang mengalami pembelajaran Problem Solving, sedangkan kelas X3 sebagai kelas kontrol yang mengalami pembelajaran konvensio-nal.

B. Jenis dan Sumber Data

(35)

C. Desain dan Metode Penelitian

1. Desain penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah non equivalent control group design yaitu desain kuasi eksperimen dengan melihat perbedaan pretest maupun posttest antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Tabel 2. desain penelitian

Pretest Perlakuan Posttest

Kelas eksperimen O1 X1 O2

Kelas kontrol O1 X2 O2

Keterangan:

X1 : Pembelajaran kimia dengan menggunakan model pembelajaran problem solving.

X2 : Pembelajaran kimia dengan menggunakan model pembelajaran non problem solving (konvensional).

O1 : Kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi pretest. O2 : Kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi posttest.

2. Metode penelitian

(36)

Gambar 1. Alur penelitian

D. Variabel Penelitian

Sebagai variabel bebas adalah model pembelajaran yang digunakan, yaitu model Problem Solving dan konvensional. Sebagai variabel terikat adalah keterampilan

Konvensional Validasi instrumen penelitian

Penetapan popilasi dan sampel

Penyusunan Instrumen Penelitian

Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

Pretest

Problem solving

Postest

Analisis Data

Pembahasan

Kesimpulan Persiapan dan Observasi

Pembelajaran Problem solving

(37)

mengelompokkan dan mengkomunikasikan pada materi elektrolit dan non elektrolit siswa SMAN 1 Talang Padang.

E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya

Instrumen adalah alat yang berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan sesuatu. Instrumen pengumpulan data merupakan alat yang digunakan oleh pengumpul data untuk melaksanakan tugasnya mengumpulkan data (Arikunto, 1997). Pada peneliti-an ini, instrumen ypeneliti-ang digunakpeneliti-an berupa soal-soal pretest dan posttest keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan dalam bentuk soal uraian.

Dalam pelaksanaannya kelas kontrol dan kelas eksperimen diberikan soal yang sama. Soal pretest adalah materi elektrolit dan non elektrolit yang terdiri dari 6 soal uraian untuk mengukur keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan se-belum penerapan pembelajaran. Sedangkan soal posttest sama dengan soal pretest terdiri dari 6 soal uraian untuk mengukur keterampilan mengelompokkan dan meng-komunikasikan setelah penerapan pembelajaran.

Agar data yang diperoleh sahih atau dapat dipercaya, maka instrumen yang diguna-kan harus valid. Suatu instrumen dikatadiguna-kan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Dalam konteks pengujian kevalidan instrumen dapat dilakukan dengan dua macam cara, yaitu cara judgment atau penilaian, dan pengujian empirik.

(38)

Adapun pengujian kevalidan isi ini dilakukan dengan cara judgment. Dalam hal ini pengujian dilakukan dengan menelaah kisi-kisi, terutama kesesuaian antara tujuan penelitian, tujuan pengukuran, indikator, dan butir-butir pertanyaannya. Bila antara unsur-unsur itu terdapat kesesuaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen dianggap valid untuk digunakan dalam mengumpulkan data sesuai kepentingan penelitian yang bersangkutan. Oleh karena dalam melakukan judgment diperlukan ketelitian dan keahlian penilai, maka peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Dalam hal ini dilakukan oleh dua dosen pembimbing.

F. Pelaksanaan Penelitian

1) Tahap Prapenelitian

a. Membuat surat izin pendahuluan penelitian ke sekolah.

b. Meminta izin kepada kepala sekolah SMAN 1 Talang Padang dan menyampaikan surat izin penelitian yang telah dibuat.

c. Mengadakan observasi ke sekolah untuk mendapatkan informasi tentang keadaan sekolah, data siswa, data nilai, jadwal dan tata tertib sekolah, serta sarana prasarana di sekolah.

d. Menentukan dua kelas yang akan dijadikan sampel penelitian.

e. Menyiapkan perangkat pembelajaran yang digunakan selama proses pem-belajaran di kelas.

(39)

g. Membuat Lembar Kerja Siswa (LKS) dengan materi pokok yang diteliti yaitu materi Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit

h. Membuat soal pretest dan posttest

2) Tahap Penelitian

Prosedur pelaksanaan di kelas dikelompokkan menjadi dua yaitu pembelajaran Problem Solving dan pembelajaran konvensional. Pada kelas X2 diterapkan model Problem Solving dan kelas X3 diterapkan pembelajaran konvensional. Prosedur pelaksanaannya sebagai berikut:

a. Melakukan pretest dengan soal yang sama pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

b. Melaksanakan pembelajaran pada materi Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit sesuai model pembelajaran yang ditetapkan pada masing-masing kelas.

c. Melakukan posttest dengan soal yang sama pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

G. Analisis Data Penelitian

1) Hipotesis kerja

1. Hipotesis pertama (keterampilan mengelompokkan)

(40)

2. Hipotesis kedua (keterampilan mengkomunikasikan)

Rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan pada materi Larutan Elektrolit dan Non Elektroli di kelas yang diterapkan model Problem Solving lebih tinggi dari rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan di kelas yang diterapkan pembelajaran konvensional.

2) Hipotesis statistik

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik, hipotesis dirumuskan dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1). Rumusan hipotesis untuk uji ini adalah:

1. Hipotesis pertama (keterampilan mengelompokkan)

H0 : Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit dengan model Problem Solving lebih rendah atau sama dengan rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan dengan pembelajaran konvensional.

H0: µ1x ≤ µ2x

H1 : Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan pada materi larutan elektrolit dan non elektrlit dengan pembelajaran Problem Solving lebih tinggi daripada rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan dengan pembelajaran konvensional.

H1 : µ1x > µ2x

2. Hipotesis kedua (keterampilan mengkomunikasikan)

(41)

atau sama dengan rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan dengan pembelajaran konvensional.

H0: µ1x≤ µ2x

H1 : Rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit dengan model Problem Solving lebih tinggi daripada rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan dengan pembelajaran konvensional.

H1 : µ1x > µ2x Keterangan:

µ1 : Rata-rata (x) pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit pada kelas yang diterapkan model Problem Solving.

µ2 : Rata-rata (x) pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit pada kelas dengan pembelajaran konvensional.

x : Keterampilan mengelompokkan/mengkomunikasikan.

3) Teknik Analisis Data

Tujuan analisis data yang dikumpulkan adalah untuk memberikan makna atau arti yang digunakan untuk menarik suatu kesimpulan yang berkaitan dengan masalah, tujuan, dan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.

Nilai akkhir pretest atau posttest dirumuskan sebagai berikut:

(42)

a) Perhitungan Gain Ternormalisasi

Gain ternormalisasi (n-Gain) merupakan perbandingan antara selisih skor pretest dan skor posttest dengan selisih skor maksimum dan skor pretest, n-Gain digunakan un-tuk mengukur efektivitas suatu pembelajaran. Melalui perhitungan ini didapatkan data n-Gain sejumlah siswa yang mengikuti tes tersebut. Dalam hal ini 20 data pada kelas X2 (kelas eksperimen) dan 30 data pada kelas X3 (kelas kontrol). n-Gain dirumuskan sebagai berikut:

Rumus

...(2)

Data gain ternormalisasi yang diperoleh kemudian diuji homogenitasnya yang kemudian digunakan sebagai dasar dalam menguji hipotesis penelitian.

b) Uji normalitas

Hipotesis untuk uji normalitas :

Ho = data penelitian berdistribusi normal H1 = data penelitian berdistribusi tidak normal

Untuk uji normalitas data digunakan rumus sebagai berikut :

...…………(3)

Keterangan : = uji Chi- kuadrat fo = frekuensi observasi fe = frekuensi harapan

(43)

c) Uji homogenitas dua varians

Uji homogenitas dua varians digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok sampel mempunyai varians yang homogen atau tidak.

H0 = data penelitian mempunyai variansi yang homogen H1 = data penelitian mempunyai variansi yang tidak homogen a. Rumusan hipotesis

H0 (Sampel mempunyai varian yang homogen) H1 (Sampel mempunyai varian yang tidak homogen) Keterangan:

varians skor kelompok I

varians skor kelompok II dimana dk1 = (n1-1) dan dk2 = (n2-1)

b. Rumus statistik yang digunakan adalah uji-F:

...(4)

Keterangan :

varians terbesar

varians terkecil c. Kriteria uji

Pada taraf 0.05, tolak Ho hanya jika F hitung  F ½(1 , 2) dan tolak sebaliknya

(44)

d) Teknik Pengujian Hipotesis

Untuk data sampel yang berasal dari populasi berdistribusi normal, maka uji hipo-tesis yang digunakan adalah uji parametrik (Sudjana, 1996). Hipohipo-tesis dirumuskan dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1) seperti yang telah dikemukakan sebelumnya di hipotesis statistik. Teknik pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik uji-t, yakni uji perbedaan dua rata – rata. Uji statistik ini sangatlah bergantung homogenitas kedua varians data,

karena kedua varians kelas sampel homogen ( ) maka uji yang dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut:

̅̅̅̅ ̅̅̅̅

̅̅̅ = rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan/mengkomunikasikan pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit yang diberi pembelajaran menggunakan model problem solving.

̅̅̅ = rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan/mengkomunikasikan pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit yang diberi pembelajaran konvensional.

= Simpangan baku gabungan.

= Jumlah siswa yang pembelajarannya menggunakan model problem solving. = Jumlah siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.

(45)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

1. Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan dengan model problem

solving lebih tinggi dari pada rata-rata n-Gain keterampilan mengelompok-kan dengan pembelajaran konvensional.

2. Penerapan model problem solving pada materi Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit efektif dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan.

3. Rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan dengan model problem solving lebih tinggi dari pada rata-rata n-Gain keterampilan mengkomuni-kasikan dengan pembelajaran konvensional.

(46)

B. saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa :

1. LKS berbasis problem solving sebagai media pembelajaran perlu upaya pe-ngembangan yang lebih baik dan menarik karena mampu menunjang proses pembelajaran.

2. Bagi calon peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian serupa hendak-nya membuat perencanaan dan skenario pembelajaran dengan matang sehingga pembelajaran dapat maksimal.

3. Model problem solving dapat dipakai sebagai model pembelajaran bagi guru dalam kegiatan belajar mengajar dan disesuaikan dengan materi dan

(47)

Ali, M. 1992.Strategi Penelitian Pendidikan. Angkasa. Bandung.

Arikunto, S. 1997.Penilaian Program Pendidikan. Edisi III. Bina Akasara. jakarta

Arends, R.I. 2008.Learning To Teach.Edisi VII. Pustaka pelajar. Yogyakarta Bell, G. M. E. 1994.Belajar dan Membelajarkan. PT Raja Grafindo Persada.

Jakarta.

BSNP. 2006.Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.

Cartono. 2007. Profil Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Program Pendidikan Jarak Jauh S1 PGSD Universitas Sriwijaya.FKIP Universitas Sriwijaya. Palembang.

Choiriawati, F.D. 2012. Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving pada Materi asam-Basa Dalam Meningkatkan Keterampilan Mengelompokkan dan Mengkomunikasikan. Skripsi.UNILA. Bandar Lampung

Dahar, R.W dan Ibrahim. 1998.Teoriteori Belajar. Erlangga. Jakarta. Depdiknas. 2008.RambuRambu Pengakuan Pengalaman Kerja dan Hasil

Belajar (PPKHB). Depdiknas. Jakarta.

Dimyati dan Mudjiono .2002.Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta. Djamarah, S.B. dan Aswan Zain. 2002.Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta.

Jakarta.

Ibrahim dan Nur, M. 2005.Pendekatan-pendekatan Kontruktivis dalam Pembelajaran. University Press. Surabaya.

Juliantara, K. 2009. Pendekatan Pembelajaran Konvensional.

(48)

Nasution, S. 2006. Berbagai Pendekatan dalam proses Belajar dan Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta.

Nur, M. 1996.Proses Belajar Mengajar dengan Metode Pendekatan Keterampilan Proses. SIC. Surabaya.

Nuraeni, N. 2010. Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Generatif untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa dalam Mata Pelajaran Teknologi

Informasi dan Komunikasi. Makalah. UPI-Bandung. Bandung.

Pannen, P., D. Mustafa dan M. Sekarwinahyu. 2001. Konstruktivisme Dalam Pembelajaran.Dikti. Jakarta

Parning, dkk.2007.Kimia 1 SMA/MA kelas X.Yudhistira. Jakarta.

Purwani, Endah dan Martini. 2009.Implementasi Hasil-Hasil Penelitian untuk Peningkatan Profesionalisme di Bidang Kimia dan Pendidikan Kimia (Prosiding).Unesa University Press. Surabaya.

Sagala, S.2003.Konsep dan Makna Pembelajaran. Alfabeta. Bandung.

Sudaryo. 1991. Strategi Belajar Mengajar I.IKIP Semarang Press. Semarang.

Sudjana. 2002. Metode Statistika Edisi keenam. PT. Tarsito. Bandung.

Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta

Suparno, P. 1997.Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius. Jakarta. Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran inovatif Berorientasi konstruktivisme.

Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta.

Trianto. 2010. Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta Bandung.

Tim Penyusun. 2006.Panduan penyusunan Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menegah. Badan Standar Nasional

Pendidikan. Jakarta

Gambar

grafik/ tabel/ diagram, menyusun dan
Tabel 2. desain penelitian
Gambar 1.  Alur penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian asam humat dan interaksi antara asam humat dan pupuk P nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, indeks kehijauan

Dari hasil penelitian Slamet Thohari menyimpulkan bahwa masih banyak fasilitas publik di Kota Malang yang belum ramah bagi penyandang disabilitas atau tidak

Agama Hindu , pandangan agama Hindu tentang kerukunan hidup antar umat beragama dapat diketahui dari tujuan agama Hindu. yakni Moksartham Jagathita Ya Ca Iti

Penilaian ‘indah’ terhadap bunyi yang dihasilkan oleh angklung tersebut tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang berlaku dalam

[r]

Faktor non fisik yang menjadi alasan suatu wilayah menjadi pusat pertumbuhan terdapat pada angka ….. Perhatikan gambar tata ruang

paling tepat atas struktur modal yang paling optimal bagi perusahaan supaya bisa. terus menjalankan operasional perusahaan dan bisa meningkatkan

Flowers for Algernon novel by Daniel Keyes is the most obvious novel, that shows the mentally disabled men who want to be smart.. The story started on 3 March and written by