EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI LAJU REAKSI DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN
BERTANYA DAN MENJAWAB PERTANYAAN
Oleh
RENDI SAPUTRA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PENDIDIKAN
Pada
Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI LAJU REAKSI DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN
BERTANYA DAN MENJAWAB PERTANYAAN
Oleh
RENDI SAPUTRA
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran
problem solving pada materi laju reaksi dalam meningkatkan keterampilan bertanya dan menjawab pertanyaan. Efektivitas model pembelajaran problem solving pada penelitian ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan n-gain yang signifikan antara kelas kontrol dengan kelas eksperimen.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMAN 7 Bandar
Lampung tahun pelajaran 2012-2013 yang berjumlah 200 siswa dan tersebar
dalam lima kelas yaitu XI IPA1, XI IPA2, XI IPA3, XI IPA4 dan XI IPA5. Sampel
penelitian yaitu kelas XI IPA1 dan XI IPA3 yang memiliki karakteristik hampir
sama. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Pene-litian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan Non Equivalent (Pretest and Posttest) Control Group Design. Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata
Berdasarkan uji hipotesis, diketahui bahwa pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan bertanya dan menjawab pertanyaan.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila ternyata kelak dikemudian hari terbukti ada ketidakbenaran dalam
v
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR... ix
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah... 5
C. Tujuan Penelitian... 6
D. Manfaat Penelitian... 6
E. Ruang Lingkup Penelitian... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme... 8
B. Model Pembelajaran Problem Solving... 12
C. Keterampilan Berfikir Kritis... 13
D. Keterampilan Bertanya dan Menjawab Pertanyaan……… 16
E. Kerangka pemikiran…………... 16
F. Anggapan Dasar... 18
vi
III. METODOLOGI PENELITIAN
A.Penentuan Populasi dan Sampel Penelitian... 19
B. Jenis dan Sumber Data... 20
C. Desain dan Metode Penelitian... 20
D.Variabel Penelitian... 21
E. Instrumen Penenelitian dan validitasnya ………... 21
F. Langkah-langkah Penelitian ... 22
G.Teknik Analisis Data …………... 24
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian dan Analisis Data ... 29
B. Pembahasan ... 35
V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 45
B. Saran ... 46
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1. Silabus Kelas Eksperimen ... 49
2. RPP Kelas Eksperimen ... 59
3. Lembar Kerja Siswa Kelas Eksperimen ... 98
4. Kisi-kisi Soal Pretest/Posttest ... 146
5. Soal Pretest ... 150
vii
7. Rubrik Penskoran Pretest/ Posttest ... 158
8. Tabel data Nilai Pretest, Nilai Posttest dan n-Gain ……….. 169
9. Table data Rata-rata Nilai Pretest, Nilai Posttest dan n-Gain……... 173
10.Perhitungan dan Analisis Data Penelitian ………. 174
viii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Keterampilan Berpikir Kritis Menurut Ennis ... 15
2. Desain Penelitian ... 20
3. Data Nilai Pretes, Nilai Postes dan n-Gain Keterampilan Menjawab
Pertanyaan Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ... 169
4. Data Nilai Pretes, Nilai Postes dan n-Gain Keterampilan Menyebutkan
Contoh di Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ... 171
5. Rata – rata Nilai Pretest, Nilai Posttest dan n-Gain Keterampilan Memberikan Penjelasan Sederhana dan Keterampilan Menyebutkan
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Prosedur Penelitian ... 23
2. Diagram Rata-rata Nilai Pretest dan Posttest Keterampilan
Menjawab Pertanyaan di Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ... 30
3. Diagram Rata-rata Nilai Pretest dan Postest Keterampilan Menyebutkan Contoh di Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ... 31
4. Diagram Rata-rata n-Gain Keterampilan Menjawab Pertanyaan dan
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan dan membina potensi
sumber daya melalui berbagai kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan
pada semua jenjang pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Pendidikan di sekolah memiliki tujuan untuk membimbing siswa ke arah yang
lebih baik, yaitu agar anak tersebut bertambah pengetahuan, keterampilan dan
memiliki sikap yang benar.
Proses pembelajaran diperlukan agar tujuan pendidikan tersebut dapat tercapai,
karena dalam proses pembelajaranlah siswa diasah dan diarahkan agar memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan. Agar proses pembelajaran dapat
terlaksana, ada 4 buah komponen utama yang harus terlibat yaitu siswa, guru,
lingkungan belajar, dan materi ajar (BSNP, 2006).
Proses belajar mengajar merupakan proses interaksi komunikasi aktif antara siswa
dengan guru dalam proses pembelajaran. Menurut Whitehead (Arifin, dkk, 2003),
hasil yang nyata dalam pendidikan sebenarnya adalah proses berpikir yang
dipero-leh melalui pembelajaran dari berbagai disiplin ilmu. Pembelajaran sains sebagai
bagian dari pendidikan, memiliki peranan penting dalam peningkatan mutu
2
dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif) namun pada perkembangan
selanjutnya kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif).
Kimia adalah ilmu yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan
bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat,
perubahan, dinamika, dan energetika zat (BSNP, 2006).
Hasil observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap guru kimia dan siswa di
kelas XI IPA 1 SMA Negeri 7 Bandar Lampung, proses pembelajaran kimia
masih didominasi dengan penggunaan metode ceramah dan kegiatan lebih
berpusat pada guru. Siswa hanya sebatas mendengarkan penjelasan guru dan
mencatat hal-hal yang dianggap penting, siswa hanya dituntut untuk
menghafal-kan informasi yang disampaimenghafal-kan oleh guru. Pada pembelajaran ini siswa
cende-rung hanya bertindak sesuai dengan apa yang diinstruksikan oleh guru. Akibatnya
siswa tidak dapat menjadi seorang pelajar mandiri yang dapat menyelesaikan
masalah-masalah yang ada dengan pengetahuan yang dimilikinya (BSNP, 2006).
Hal ini tentu saja tidak membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan
berpikirnya, tetapi hanya memindahkan informasi pengetahuan dari guru ke siswa.
Dalam pembelajaran yang berbasis hafalan, siswa tidak dituntut untuk bertanya
dan berpikir, sehingga kemampuan berpikir kritis kurang terpacu. Dengan
pembelajaran seperti ini, siswa tidak memperoleh pengalaman untuk
mengem-bangkan keterampilan berpikir kritis (Redhana, 2008).
Oleh karena itu diperlukan model pembelajaran yang tepat dan dapat mengatasi
masalah tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan
3
dengan menggunakan model pembelajaran yang banyak melibatkan siswa secara
langsung. Model pembelajaran yang dapat digunakan salah satunya adalah
problem solving. Dari hasil penelitian Saputra (2011), yang dilakukan pada siswa SMA kelas XI IPA di SMA Negeri 9 Bandar lampung, menunjukkan bahwa
pembelajaran dengan menggunakan model Problem Solving dapat meningkatkan
keterampilan berpikir kritis siswa, salah satu contohnya pada sub indikator
mengapa pada materi kesetimbangan kimia. Penelitian lainnya adalah Purwani
(2009), yang dilakukan pada siswa SMA kelas X di SMAN 1 Jombang,
menun-jukkan bahwa pembelajaran dengan melalui strategi problem solving memberikan kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa.
Berdasarkan hasil penelitian Saputra dan purwani tersebut, model pembelajaran
problem solving dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Model
problem solving adalah suatu penyajian materi pelajaran dengan menghadapkan siswa kepada persoalan yang harus dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Dengan adanya masalah yang dihadapkan kepada siswa
dalam pembelajaran ini, siswa diharuskan melakukan penyelidikan otentik untuk
mencari penyelesaian terhadap masalah yang diberikan.
Model problem solving terdiri dari 5 tahapan. Tahap 1 yaitu mengorientasikan siswa pada masalah, tahap 2 yaitu mencari data atau keterangan yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah, tahap 3 yaitu menetapkan jawaban
sementara dari masalah, tahap 4 yaitu menguji kebenaran jawaban sementara, dan
4
Pada tahap 4 model problem solving siswa diminta untuk menguji kebenaran jawaban sementara, pada fase ini siswa harus cakap menelaah dan membahas data
hasil pengamatan, menghitung, menghubungkan dan menjawab pertanyaan, serta
memiliki keterampilan dalam mengambil keputusan untuk membuktikan jawaban
sementara yang mereka kemukakan. Kemudian siswa diminta untuk menjelaskan
berdasarkan pengamatan atau percobaan yang telah dilakukan sebelumnya.
Sehingga diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa
khususnya keterampilan bertanya dan menjawab pertanyaan pada materi pokok
laju reaksi.
Pelajaran kimia adalah pelajaran yang erat hubungannya dengan kehidupan
sehari-hari. Salah satu contohnya ialah materi laju reaksi. Materi ini merupakan
materi yang menyajikan fakta-fakta tentang peristiwa yang terjadi dalam
kehidup-an sehari-hari, misalnya mengapa pada massa ykehidup-ang sama serpihkehidup-an kayu akkehidup-an lebih
cepat terbakar dibandingkan kayu gelondongan, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu dalam mempelajarinya siswa harus mampu mendeskripsikan konsep-konsep
materi yang ada dalam pelajaran tersebut. Namun yang terjadi selama ini, materi
laju reaksi dalam pembelajaran kimia di SMA lebih cenderung untuk dihafal.
Keterkaitan berpikir kritis dalam pembelajaran adalah perlunya mempersiapkan
siswa agar menjadi pemecah masalah yang tangguh, pembuat keputusan yang
matang, dan orang yang tidak pernah berhenti belajar. Penting bagi siswa untuk
menjadi pemikir kritis dan mandiri sejalan dengan meningkatnya jenis pekerjaan
dimasa yang akan datang yang membutuhkan para pekerja handal yang memiliki
5
pertanyaan, sekilas keterampilan ini tidak begitu penting, tapi banyak pekerjaan
yang memerlukan keterampilan ini, seperti surveyor, wartawan, peneliti, serta
guru juga perlu memiliki keterampilan bertanya dan menjawab pertanyaan ini.
Salah satu upaya untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa adalah
mengkondisikan pembelajaran sedemikian rupa sehingga mereka memperoleh
pengalaman-pengalaman dalam pengembangan keterampilan berpikir kritis
(Lipmen, 2008). Sebagai salah satu mata pelajaran sains, kimia diharapkan dapat
menjadi sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa melalui
beberapa tahapan untuk sampai kepada sebuah kesimpulan atau penilaian. Maka
dipandang perlu mengadakan penelitian guna melihat efektivitas model
pembela-jaran problem solving dalam upaya meningkatkan keterampilan bertanya dan menjawab pertanyaan khususnya pada materi laju reaksi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukanlah penelitian dengan judul
“Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving Pada Materi Laju Reaksi Dalam Meningkatkan Keterampilan Bertanya Dan Menjawab Pertanyaan”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah :
Bagaimanakah efektivitas pembelajaran Problem Solving pada materi laju reaksi dalam meningkatkan keterampilan bertanya dan menjawab pertanyaan pada siswa
6
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
Untuk mendeskripsikan efektivitas pembelajaran Problem Solving pada materi laju reaksi dalam meningkatkan keterampilan bertanya dan menjawab
pertanyaan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Siswa
Pembelajaran Problem Solving memberikan pengalaman kepada siswa untuk melatih kemampuan berpikir kritis khususnya pada materi laju reaksi.
2. Guru
Memperoleh model pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan
keteram-pilan berpikir kritis khususnya keteramketeram-pilan bertanya dan menjawab
pertanyaan
3. Sekolah
Penelitian ini dapat meningkatkan mutu pembelajaran kimia di sekolah.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah :
1. Menurut Nuraeni dkk (2010), model pembelajaran dikatakan efektif
mening-katkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa
7
2. Pembelajaran Problem solving yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Problem Solving menurut Depdiknas (2008). Model ini terdiri dari 5 tahap. Tahap 1 yaitu mengorientasikan siswa pada masalah, tahap 2 yaitu
mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah, tahap 3 yaitu menetapkan jawaban sementara dari masalah, tahap 4
yaitu menguji kebenaran jawaban sementara, dan tahap 5 yaitu menarik
kesimpulan.
3. Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang selama ini
di-gunakan di SMA N 7 Bandar Lampung. Pembelajaran konvensional yang
diterapkan diawali dengan guru memberi apersepsi, guru menyampaikan
indikator dari materi yang disampaikan, guru mengajarkan konsep secara
langsung tanpa membimbing siswa untuk menemukan konsep (metode
ceramah), guru melakukan tanya jawab dengan siswa, lalu guru memberi
latihan.
4. Keterampilan berpikir kritis yang akan diteliti adalah keterampilan bertanya
dan menjawab menjawab pertanyaan, yang meliputi keterampilan menjawab
pertanyaan (Mengapa? Apa? Apakah? Bagaimana?) dan keterampilan
menye-butkan contoh.
5. Sub materi pokok yang dibahas adalah konsep laju reaksi, faktor-faktor yang
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas
melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diingat.
Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pe-ngalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah,
menemu-kan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak
akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
meng-konstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri (Trianto, 2007).
Pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi pengetahuan bukan
menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri
pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar.
Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Setiap siswa membangun
penge-tahuannya sendiri, sehingga transfer pengetahuan akan sangat mustahil terjadi.
Von Glasersfeld dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu (2001) menegaskan
9
peroleh adalah hasil konstruksi sendiri, maka sangat kecil kemungkinan adanya
transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain”.
Menurut Von Glasersfeld dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu (2001), agar
siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan, maka diperlukan:
1. Kemampuan siswa untuk mengingat dan mengungkapkan kembali
penga-laman. Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pe-ngalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan inter-aksi individu siswa dengan pengalaman-pengalaman tersebut.
2. Kemampuan siswa untuk membandingkan, dan mengambil keputusan
mengenai persamaan dan perbedaan suatu hal. Kemampuan membanding-kan sangat penting agar siswa mampu menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaan-nya untuk selanjutperbedaan-nya membuat klasifikasi dan mengkonstruksi pengeta-huannya.
3. Kemampuan siswa untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang
lain (selective conscience). Melalui “suka dan tidak suka” inilah muncul penilaian siswa terhadap pengalaman, dan menjadi landasan bagi pemben- tukan pengetahuannya.
Prinsip-prinsip konstruktivisme menurut Suparno (1997), antara lain:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif; 2. Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa; 3. Mengajar adalah membantu siswa belajar;
4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir; 5. Kurikulum menekankan partisipasi siswa;
6. Guru adalah fasilitator.
Secara keseluruhan pengertian atau maksud pembelajaran secara konstruktivisme
adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Guru hanya berperan sebagai
penghubung yang membantu siswa mengolah pengetahuan baru, menyelesaikan
suatu masalah dan guru berperan sebagai pembimbing pada proses pembelajaran.
Ciri atau prinsip dalam belajar menurut Suparno (1997) sebagai berikut: 1. Belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa
10
2. Konstruksi makna adalah proses yang terus menerus,
3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pe- ngembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru. Belajar bukan- lah hasil perkembangan tetapi perkembangan itu sendiri,
4. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya,
5. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui, subjek belajar, tujuan, motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari.
Perspektif kognitif-konstruktivis, yang menjadi landasan Pembelajaran Problem Solving, banyak meminjam pendapat Piaget (1954,1963). Perspektif ini mengata-kan bahwa pelajar dengan umur berapapun terlibat secara aktif dalam proses
men-dapatkan informasi dan mengonstruksikan pengetahuannya sendiri. Pengetahuan
tidak statis, tetapi berevolusi dan berubah secara konstan selama pelajar
mengkon-struksikan pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka untuk
mendasar-kan diri pada dan memodifikasi pengetahuan sebelumnya.
Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang
anak dengan kegiatan asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Asimilasi ialah
pemaduan data baru dengan stuktur kognitif yang ada. Akomodasi ialah
penye-suaian stuktur kognitif terhadap situasi baru, dan equilibrasi ialah penyepenye-suaian
kembali yang terus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Bell, 1994). Selain
teori belajar menurut Piaget, teori belajar yang juga berlandaskan kontruktivisme
adalah teori belajar Ausubel. David Ausubel terkenal dengan teori belajar yang
dibawanya yaitu teori belajar bermakna (meaningful learning). Menurut Ausubel belajar bermakna terjadi jika suatu proses dikaitkannya informasi baru pada
konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang,
11
pengertian baru pada konsep-konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur
kognitif, maka akan terjadi belajar hafalan. Ia juga menyebutkan bahwa proses
belajar tersebut terdiri dari dua proses yaitu proses penerimaan dan dan proses
penemuan. (Dahar, 1989).
Belajar bermakna Ausubel erat kaitannya dengan model pembelajaran problem solving, karena pengetahuan tidak diberikan dalam bentuk jadi tetapi pemahaman konsep diperoleh siswa melalui penemuan dengan mengkaitkan informasi baru
dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya. Keaktifan siswa menemukan
konsep baik sendiri maupun diskusi kelompok membuat proses belajar menjadi
bermakna.
Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berpikir akan menyebabkan
terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Berdasarkan teori
Vygotsky, dapat disimpulkan beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam
proses pembelajaran, yaitu :
1. Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan
yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau
potensinya melalui belajar dan berkembang.
2. Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya
daripada perkembangan aktualnya.
3. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk
12
4. Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan
deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk
melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah.
5. Proses belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih
merupakan konstruksi.
B. Model Pembelajaran Problem Solving
Salah satu pembelajaran konstruktivisme adalah pembelajaran yang menggunakan
model problem solving. Model problem solving adalah suatu penyajian materi pelajaran dengan menghadapkan siswa kepada persoalan yang harus dipecahkan
atau diselesaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu dalam
pembelajaran siswa harus aktif agar dapat memecahkan masalah yang diberikan
oleh guru. Problem solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan suatu masalah dan memecahkannya berdasarkan data dan informasi
yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat. Proses
problem solving memberikan kesempatan siswa berperan aktif dalam mempe-lajari, mencari, dan menemukan sendiri informasi untuk diolah menjadi konsep,
prinsip, teori, atau kesimpulan. Dengan kata lain, problem solving menuntut kemampuan memproses informasi untuk membuat keputusan tertentu (Hidayati
dalam Atika, 2011).
Menurut Nasution (2006) mempelajari aturan perlu, terutama untuk memecahkan
masalah. Pemecahan masalah merupakan perluasan yang wajar dari belajar
atur-an. Dalam pemecahan masalah prosesnya terletak dalam diri siswa. Variabel dari
13
memecahkan masalah itu. Namun memecahkan masalah tidak sekedar
menerap-kan aturan-aturan yang diketahui, amenerap-kan tetapi juga menghasilmenerap-kan pelajaran baru.
Tahap-tahap model problem solving (Depdiknas, 2008) yaitu meliputi :
1. Ada masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.
2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya dan lain-lain.
3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada tahap kedua di atas.
4. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam tahap ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jawaban tersebut itu betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran
jawaban ini tentu saja diperlukan modelmodel lainnya seperti demonstrasi, tugas, diskusi, dan lain-lain.
5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi.
C. Keterampilan Berpikir Kritis
Keterampilan adalah kecakapan untuk melaksanakan tugas, dimana keterampilan
tidak hanya meliputi gerakan motorik, tetapi juga melibatkan fungsi mental yang
bersifat kognitif, yaitu suatu tindakan mental dalam usaha memperoleh
penge-tahuan. Proses berpikir berhubungan dengan pola perilaku yang lain dan
mem-butuhkan keterlibatan aktif pemikir (Costa dan Presseisen, 1985).
Arifin (2003) menyatakan,
14
Costa (1985) membagi keterampilan berpikir menjadi dua, yaitu keterampilan
berpikir dasar dan keterampilan berpikir kompleks atau tingkat tinggi. Berpikir
kompleks atau tingkat tinggi dapat dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu
pemecahan masalah, pembuatan keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif.
Diantara proses berpikir tingkat tinggi, salah satu yang digunakan dalam
pem-bentukan sistem konseptual IPA adalah berpikir kritis.
Presseisen dalam Costa (1985) mengatakan bahwa berpikir kritis diartikan sebagai keterampilan berpikir yang menggunakan proses berpikir dasar, untuk
menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi, mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis, me-mahami asumsi yang mendasari tiap-tiap posisi, memberikan model
presentasi yang dapat dipercaya, ringkas dan meyakinkan.
Menurut Ennis (1985),
Berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekan-kan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau tentang apa yang harus dilakukan.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah cara berpikir
yang lebih kompleks dalam mengorganisasi, menganalisis, dan mengevaluasi
informasi dengan fokus untuk menentukan apa yang harus dipercayai atau apa
yang harus dilakukan.
Menurut Ennis (1985) terdapat 12 indikator keterampilan berpikir kritis (KBKr)
yang dikelompokkan dalam lima kelompok keterampilan berpikir. Kelima
kelompok keterampilan tersebut adalah:
15
Adapun kedua belas indikator tersebut adalah:
1. Memfokuskan pertanyaan.
2. Menganalisis argumen.
3. Bertanya dan menjawab pertanyaan.
4. Mempertimbangkan kredibilitas sumber.
5. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi.
6. Membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi.
7. Membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi.
8. Membuat dan mempertimbangkan hasil keputusan.
9. Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi.
10. Mengidentifikasi asumsi.
11. Memutuskan suatu tindakan.
12. Berinteraksi dengan orang lain.
Tabel 1. Keterampilan Berpikir Kritis Menurut Ennis
Kelompok Indikator Sub Indikator
Memberikan penjelasan sederhana
Memfokuskan pertanyaan
a. Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan b. Mengidentifikasi atau
merumuskan kriteria untuk
mempertimbangkan kemungkinan jawaban
c. Menjaga kondisi berpikir
Menganalisis argumen
a. Mengidentifikasi kesimpulan b. Mengidentifikasi
kalimat-kalimat pertanyaan c. Mengidentifikasi
kalimat-kalimat bukan bukan pertanyaan d. Mengidentifikasi dan menangani
ketidaktepatan
e. Melihat struktur dari suatu argumen
f. Membuat ringkasan
Bertanya dan menjawab pertanyaan
a. Menyebutkan contoh
b. Mengapa? Apa ide utamamu?
Apa yang anda maksud..? Apa yang membuat perbedaan....?
Dalam penelitian ini indikator yang dikembangkan adalah keterampilan bertanya
16
D. Keterampilan Bertanya dan Menjawab Pertayaan
Dari indikator ini, terdapat dua sub indikator yaitu menjawab pertanyaan
(Mengapa? Apa? Apakah? Bagaimana?) dan menyebutkan contoh. Menurut
Ennis ( 1985) sub indikator menjawab pertanyaan (Mengapa? Apa? apakah?
Bagaimana?) dianggap penting karena dapat menunjang proses pembelajaran
yang diterapkan, dimana didalamnya terdapat proses pemecahan masalah dalam
bentuk pertanyaan-pertanyaan. Begitu juga sub indikator menyebutkan contoh,
dari sub indikator ini diharapkan siswa dapat menyebutkan contoh, seperti dalam
praktikum laju reaksi, siswa diharapkan dapat menyebutkan contoh dari
faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi.
E. Kerangka Pemikiran
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Model problem solving adalah suatu penya-jian materi pelajaran dengan menghadapkan siswa kepada persoalan yang harus
dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Problem solving terdiri atas lima tahap. Pada tahap pertama, siswa diorientasikan pada masalah. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf
kemampuan-nya, sehinggga diharapkan siswa dapat melatih keterampilan menjawab
perta-nyaan. Lalu pada tahap dua siswa diminta mencari data atau keterangan yang
dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut sehingga siswa pun
di-harapkan dapat melatih keterampilan menyebutkan contoh. Pada tahap ketiga,
dari data atau keterangan yang telah diperoleh, siswa menetapkan jawaban
sementara dari masalah yang ada, sehingga diharapkan siswa dapat melatih
17
kebenaran jawaban sementara. Pada tahap ini siswa akan mencari tahu kebenaran
jawaban sementara dengan cara membuktikannya melalui praktikum,
menyebut-kan contoh serta menjawab pertanyaan-pertanyaan (Mengapa? Apa? apakah?
Bagaimana?) yang ada pada LKS dan mengajukan pertanyaan untuk pemecahan
masalah. Proses menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan dapat
melatih keterampilan berpikir kritis siswa salah satunya keterampilan bertanya
dan menjawab pertanyaan. Pada tahap kelima yakni menarik kesimpulan, ketika
siswa telah mendapatkan kesimpulan dari permasalahan diharapkan siswa dapat
mengkomunikasikan hasilnya dengan yang lain dan memberikan penjelasan
sederhana dari data yang didapat untuk menyelesaikan masalah.
Pada tahap dua, tiga, empat, dan lima ini terjadi proses akomodasi yaitu
penyesuaian stuktur kognitif terhadap situasi baru. Siswa akan mencari tahu
jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana sehingga terjadi proses menuju
kesetimbangan antara konsep yang telah dimiliki siswa dengan
konsep-konsep yang baru dipelajari, begitu seterusnya sehingga terjadi kesetimbangan
antara struktur kognitif dengan pengetahuan yang baru (ekuilibrasi). Hal ini
menunjukkan bahwa siswa harus berpikir kritis untuk menyelesaikan masalah
yang ada. Sehingga dapat disimpulkan model pembelajaran problem solving
dapat mengingkatkan keterampilan berpikir kritis siswa khususnya keterampilan
18
F. Anggapan Dasar
Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:
1. Semua siswa-siswi kelas XI IPA semester ganjil SMA N 7 Bandar Lampung
tahun pelajaran 2012/2013 yang menjadi subyek penelitian mempunyai
kemampuan dasar yang sama.
2. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi peningkatan keterampilan bertanya dan
menjawab pertanyaan pada materi laju reaksi siswa kelas XI IPA semester
ganjil SMA N 7 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013 diabaikan.
3. Perbedaan gain keterampilan bertanya dan menjawab pertanyaan pada materi
laju reaksi semata-mata terjadi karena perbedaan perlakuan dalam proses
pembelajaran.
G. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
19
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Penentuan Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMA N 7 Bandar
Lampung tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 200 siswa dan tersebar dalam
lima kelas yaitu XI IPA1, XI IPA2, XI IPA3, XI IPA4 dan XI IPA5.
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA1 dan XI IPA3 SMA N 7
Bandar Lampung. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampling purposif,
yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu
berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Pada
teknik sampling purposif menurut Sudjana (2005), hanya mereka yang dianggap ahli
yang patut memberikan pertimbangan untuk pengambilan sampel yang diperlukan.
Sampling purposif akan baik hasilnya di tangan seorang ahli yang mengenal populasi
dan dapat segera mengetahui lokasi masalah-masalah yang khas, yakni guru kimia
kelas XI IPA dan mendapatkan kelas XI IPA 1 dan XI IPA 3 sebagai sampel
pene-litian. Maka ditentukan kelas XI IPA3 sebagai kelas eksperimen yang mengalami
pembelajaran Problem Solving dan XI IPA1 sebagai kelas kontrol yang mengalami
20
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang berupa data
hasil tes sebelum pembelajaran diterapkan (pretest) dan hasil tes setelah pembela-jaran diterapkan (posttest) siswa. Sedangkan sumber data adalah siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol.
C. Desain dan Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu (quasi experiment) dengan menggunakan desain penelitian Nonequivalent Control Group Design menurut Cohen (2007). Di dalamnya terdapat langkah-langkah yang menunjukkan suatu
[image:30.595.118.419.424.488.2]urutan kegiatan penelitian yaitu:
Tabel 2. Desain penelitian
Kelas Pretest Perlakuan Postest
Kelas kontrol O1 - O2
Kelas eksperimen O1 X O2
Sebelum diterapkan perlakuan kedua kelompok sampel diberikan pretest (O1) yang
terdiri dari 8 soal esay terlebih dahulu. Kemudian pada kelas eksperimen diterapkan
perlakuan model pembelajaran problem solving (X) dan pada kelas kontrol diterap- kan pembelajaran konvensional. Selanjutnya, kedua kelompok sampel diberikan
21
D. Variabel Penelitian
Menurut Sugiyono (2010), variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu
yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga
diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Dalam
penelitian ini yang bertindak sebagai variabel bebas adalah model pembelajaran yang
digunakan, sedangkan yang bertindak sebagai variabel terikat adalah keterampilan
menjawab pertanyaan dan keterampilan menyebutkan contoh pada materi laju reaksi
kelas XI IPA SMA Negeri 7 Bandar Lampung.
E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya
Instrumen adalah alat yang berfungsi mempermudah pelaksanaan sesuatu. Instrumen
pengumpulan data merupakan alat yang digunakan oleh pengumpul data untuk
me-laksanakan tugasnya mengumpulkan data (Arikunto, 1997). Pada penelitian ini,
instrumen yang digunakan antara lain adalah silabus, Rencana Pelaksanaan
Pembe-lajaran (RPP), LKS kimia yang menggunakan metode problem solving pada materi
laju reaksi sejumlah 7 LKS, soal pretest, dan soal postes yang berupa soal uraian yang mewakili keterampilan menjawab pertanyaan dan keterampilan menyebutkan
contoh.
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan kesahihan suatu instrumen. Sebuah
instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat
mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Dalam konteks pengujian
kevalidan instrumen dapat dilakukan dengan dua macam cara, yaitu cara judgment
22
menggunakan validitas isi. Validitas isi adalah kesesuaian antara instrumen dengan
ranah atau domain yang diukur (Ali, M. 1992). Adapun pengujian kevalidan isi ini dilakukan dengan cara judgment. Dalam hal ini pengujian dilakukan dengan
menelaah kisi-kisi, terutama kesesuaian antara tujuan penelitian, tujuan pengukuran,
indikator, dan butir-butir pertanyaannya. Bila antara unsur-unsur itu terdapat
kesesuaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen dianggap valid untuk digunakan
dalam mengumpulkan data sesuai kepentingan penelitian yang bersangkutan. Oleh
karena dalam melakukan judgment diperlukan ketelitian dan keahlian penilai, maka peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Dalam hal ini dilakukan oleh Ibu Dra.
Chansyanah Diawati, M. Si sebagai dosen pembimbing penelitian untuk mengujinya.
F. Langkah-langkah Penelitian
Langkah-langkah yang digunakan penelitian ini adalah:
1. Observasi Pendahuluan
Tujuan observasi pendahuluan:
a. Mengadakan observasi ke sekolah tempat penelitian untuk mendapatkan
informasi tentang data siswa, karakteristik siswa, jadwal dan sarana-prasarana
yang ada di sekolah yang dapat digunakan sebagai sarana pendukung
pelaksanaan penelitian.
b. Menentukan populasi dan sampel penelitian.
2. Pelaksanaan Penelitian
Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
a. Tahap persiapan, menyusun silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
23
b. Tahap pelaksanaan penelitian, adapun prosedur pelaksanaan penelitian adalah
(1) melakukan pretes dengan soal-soal yang sama pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol; (2) melaksanakan kegiatan pembelajaran pada materi laju reaksi
sesuai dengan pembelajaran yang telah ditetapkan di masing-masing kelas,
pembelajaran problem solving diterapkan di kelas eksperimen serta
pembelajaran konvensional diterapkan di kelas kontrol; (3) melakukan postes
dengan soal-soal yang sama pada kelas eksperimen dan kelas kontrol; dan (4)
melakukan tabulasi dan analisis data.
Langgkah-langkah penelitian tersebut dapat digambarkan dalam bentuk bagan di
[image:33.595.68.532.373.725.2]bawah ini:
Gambar 1. Prosedur Penelitian Analisis data
Kesimpulan Observasi pendahuluan
Penetapan populasi dan sampel
Pembuatan perangkat
pembelajaran dan instrumen
Validitas instrumen
Pretest Kelas eksperimen dengan
model pembelajaran
problem solving
Kelas kontrol dengan pembelajaran
24
G. Teknik Analisis Data
Tujuan analisis data yang dikumpulkan adalah untuk memberikan makna atau arti
yang digunakan untuk menarik suatu kesimpulan yang berkaitan dengan masalah,
tujuan, dan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.
Nilai pretest dan postest dirumuskan sebagai berikut:
1. Penentuan Nilai Akhir Siswa
... (1)
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menghitung n-Gain yang selanjutnya digunakan untuk menguji hipotesis.
2. Gain ternormalisasi (n-Gain)
Gain ternormalisasi (n-Gain) merupakan perbandingan antara selisih skor pretest
dan skor posttest dengan selisih skor maksimum dan skor pretest. n-Gain
digunakan untuk mengukur efektivitas suatu pembelajaran. Melalui perhitungan
ini didapatkan data n-Gain sejumlah siswa yang mengikuti tes tersebut. Dalam hal ini 40 data pada kelas XI IPA3 (kelas eksperimen) dan 40 data pada kelas XI
IPA1 (kelas kontrol). n-Gain dirumuskan sebagai berikut:
Rumus − = ( )
( ) ...(2)
Data gain ternormalisasi yang diperoleh kemudian diuji homogenitasnya yang
kemudian digunakan sebagai dasar dalam menguji hipotesis penelitian. 100
x maksimal
skor
benar yang jawaban skor
Siswa
25
3. Pengujian Hipotesis
a. Uji normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok sampel
berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dalam
penelitian ini adalah berdasarkan pendapat yang dikemukakan Sudjana (2005),
untuk ukuran sampel yang relatif besar dimana jumlah sampel ≥30, maka
distribusi selisih nilai dari data akan mendekati distribusi normal. Pernyataan ini
berlaku untuk sembarang bentuk atau model populasi asalkan simpangan
bakunya terhingga besarnya. Jadi bagaimanapun model populasi yang disampel,
asal variansnya terhingga maka rata-rata sampel mendekati distribusi normal.
b. Uji homogenitas dua varians
Uji homogenitas dilakukan untuk memperoleh asumsi bahwa sampel penelitian
homogen, yang selanjutnya untuk menentukan statistik t yang akan digunakan
dalam pengujian hipotesis. Uji homogenitas dilakukan dengan menyelidiki
apakah kedua sampel mempunyai varians yang sama atau tidak. Hipotesis yang
digunakan dalam uji homogenitas adalah sebagai berikut:
H0 = s 12 s= 22 (sampel mempunyai variansi yang homogen)
H1 = s 12 s¹ 22 (sampel mempunyai variansi yang tidak homogen)
Untuk uji homogenitas dua peubah terikat digunakan rumus yang terdapat dalam
Sudjana (2005) :
kecil Varian ter
terbesar Varians
F= ...(3)
26
Kriteria : Pada taraf 0,05, tolak Ho hanya jika F hitung ³ F ½a (u 1,u 2)
Jika Fhitung < Ftabel maka H0 diterima. Yang berarti kedua kelompok tersebut
mempunyai varians yang sama atau dikatakan homogen.
c. Uji perbedaan dua rata-rata
Untuk data sampel yang berasal dari populasi berdistribusi normal, maka uji
hipotesis yang digunakan adalah uji parametik (Sudjana, 2005). Pengujian
hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik yaitu uji perbedaan
dua rata - rata, hipotesis dirumuskan dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0)
dan hipotesis alternatif (H1).
Rumusan hipotesis untuk uji ini adalah:
1. Hipotesis pertama (keterampilan menjawab pertanyaan)
H0 µ1x≤ µ2x : Rata-rata n-Gain keterampilan menjawab pertanyaanpada materi
laju reaksi pada kelas yang diterapkan pembelajaran problem solving lebih rendah atau sama dengan rata-rata n-Gain
keterampilan menjawab pertanyaan pada kelas yang diterapkan
pembelajaran konvensional.
H1µ1x> µ2x : Rata-rata n-Gain keterampilan menjawab pertanyaan pada materi
laju reaksi pada kelas yang diterapkan pembelajaran problem solving lebih tinggi daripada rata-rata n-Gain keterampilan menjawab pertanyaan pada kelas yang diterapkan pembelajaran
27
2. Hipotesis kedua (keterampilan menyebutkan contoh)
H0 µ1x≤ µ2x : Rata-rata n-Gain keterampilan menyebutkan contoh pada materi
laju reaksi pada kelas yang diterapkan pembelajaran problem solving lebih rendah atau sama dengan rata-rata n-Gain
keterampilan menyebutkan contoh pada kelas yang diterapkan
pembelajaran konvensional.
H1µ1x> µ2x : Rata-rata n-Gain keterampilan menyebutkan contoh pada materi laju
reaksi pada kelas yang diterapkan pembelajaran problem solving
lebih tinggi daripada rata-rata n-Gain keterampilan menyebutkan contoh pada kelas yang diterapkan pembelajaran konvensional.
Keterangan:
µ1 : Rata-rata n-Gain (x) pada materi pokok laju reaksi pada kelas yang
diterapkan pembelajaran problem solving
µ2 : Rata-rata n-Gain (x) pada materi pokok laju reaksi pada kelas yang
diterapkan pembelajaran konvensional
x: keterampilan menjawab pertanyaan/keterampilan menyebutkan contoh
Uji statistik ini sangatlah bergantung pada homogenitas kedua varians data, karena
kedua varians kelas sampel homogen ( = ), maka uji yang dilakukan
mengguna-kan rumus sebagai berikut : (Sudjana, 2005):
t = dengan S = ( ) ( ) ...(4)
Keterangan :
28
= Rata-rata n-Gain keterampilan menjawab pertanyaan/keterampilan menyebutkan contoh pada materi laju reaksi yang diterapkan model
pembelajaran problem solving.
= Rata-rata n-Gain keterampilan menjawab pertanyaan/keterampilan menyebutkan contoh pada materi laju reaksi yang diterapkan model
pembelajaran konvensional.
= Simpangan baku gabungan
= Jumlah siswa pada kelas yang diterapkan problem solving
= Jumlah siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
= Simpangan baku siswa yang diterapkan problem solving
= Simpangan baku siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
46
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Rata-rata n-Gain keterampilan menjawab pertanyaan dengan model pembe-lajaran problem solving lebih tinggi dari pada rata-rata n-Gain keterampilan menjawab pertanyaan dengan pembelajaran konvensional. Maka penerapan
model pembelajaran problem solving pada materi laju reaksi efektif dalam meningkatkan keterampilan menjawab pertanyaan.
2. Rata-rata n-Gain keterampilan menyebutkan contoh dengan model pembela-jaran problem solving lebih tinggi dari pada rata-rata n-Gain keterampilan menyebutkan contoh dengan pembelajaran konvensional. Maka penerapan
model pembelajaran problem solving pada materi laju reaksi efektif dalam meningkatkan keterampilan menyebutkan contoh
3. Penerapan model pembelajaran problem solving pada materi laju reaksi efektif dalam meningkatkan keterampilan bertanya dan menjawab pertanyaan, karena
pada tahap pembelajarannya dapat melatih dan mengembangkan keterampilan
bertanya dan menjawab pertanyaan, terutama pada tahap menguji kebenaran
jawaban sementara, siswa dilatih menjawab pertanyaan dan menyebutkan
46
B. saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa :
1. Bagi calon peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian serupa hendaknya
membuat perencanaan dan skenario pembelajaran dengan matang sehingga
pembelajaran lebih efektif dan maksimal.
3. Agar penerapan model pembelajaran problem solving berjalan maksimal, sebaiknya guru harus memiliki kemampuan dan keterampilan dalam
mengelola kelas sehingga keributan-keributan kecil yang ditimbulkan siswa
dapat diminimalisir.
4. Untuk dapat memudahkan siswa dalam melakukan praktikum di laboratorium,
hendaknya sekolah menambah alat dan bahan praktikum khususnya alat dan
47
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. 1992. Strategi Penelitian Pendidikan. Angkasa. Bandung.
Arends, R. I. 2008. Learning to Teach. Edisi VII. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Arifin, M,dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar Kimia. Jurusan Pendidikan Kimia
FPMIPA UPI. Bandung.
Arikunto, S. 1997. Penilaian Program Pendidikan. Edisi III. Bina Akasara. Jakarta.
Atika, Y. 2011. Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving pada Materi Kesetimbangan Kimia dalam Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis.
(Skripsi). FKIP. Unila. Bandar Lampung.
Bell, G. M. E. 1994. Belajar dan Membelajarkan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.
Cohen, Louis. 2007. Research methods in education. Routledge. Francis.
Costa, A.L. and Presseisen, B.Z., 1985. Glossary of Thinking Skill, in A.L. Costa (ed). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking,. Alexandria: ASCD.
Dahar, R.W. 1996. Teori – teori Belajar. Erlangga. Jakarta.
Depdiknas. 2008. Rambu – Rambu Pengakuan Pengalaman Kerja dan Hasil
Belajar (PPKHB). Depdiknas. Jakarta.
Djamarah, S.B. dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.
Ennis, R.H. 1985. Goals for A Critical Thiking Curriculum. Costa, A.L. (Ed).
48
Lippmann, R.F. (2008). Science Education Program. Maryland. Departemen of Physics, University of Maryland.
Nasution, S. 2006. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta.
Nuraeni, N. dkk. 2010. Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Generatif untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa dalam Mata Pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi. Makalah. UPI-Bandung. Bandung.
Nur, M. dan ibrahim. 2005. Pendekatan-pendekatan Kontruktivis dalam
Pembelajaran. University Press. Surabaya.
Panen, P.D. Mustafa, dan M. Sekarwinahyu. 2001. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Dikti. Jakarta.
Purba, M. 2006. Kimia SMA Kelas XI. Erlangga. Jakarta.
Purwani, Endah dan Martini. 2009. Implementasi Hasil-Hasil Penelitian untuk Peningkatan Profesionalisme di Bidang Kimia dan Pendidikan Kimia (Prosiding). Unesa University Press. Surabaya.
Redhana dan Liliasari. 2008. Program Pembelajaran Keterampilan Berpikir Kritis Pada Topik Laju Reaksi Untuk Siswa SMA. Diakses tanggal 22 Oktober 2012.
Saputra, A. 2011. Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving dalam Meningkatkan Keterampilan Prediksi Siswa SMA Kelas XI IPA Pada Materi Pokok Asam-Basa. (Skripsi). FKIP Unila. Bandar Lampung.
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Tarsito. Bandung.
Sugiyono. 20010. Statistika untuk Penelitian. CV Alfabeta. Bandung.
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius. Jakarta.
Tim Penyusun. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. UNILA. Bandar
Lampung.