• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan, Pengaturan Dan Pemanfaatan Wilayah Udara Dan Ruang Angkasa Nasional Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kedudukan, Pengaturan Dan Pemanfaatan Wilayah Udara Dan Ruang Angkasa Nasional Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN, PENGATURAN DAN PEMANFAATAN WILAYAH UDARA DAN RUANG ANGKASA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI

NEGARA KHATULISTIWA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

OLEH

SYAHREZA

050200068

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KEDUDUKAN, PENGATURAN DAN PEMANFAATAN WILAYAH UDARA DAN RUANG ANGKASA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI

NEGARA KHATULISTIWA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

OLEH

SYAHREZA 050200068

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL KETUA DEPARTEMEN

HUKUM INTERNASIONAL

SUTIARNOTO MS, S.H., M.HUM. NIP. 195610101986031003

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

SUTIARNOTO MS, S.H., M.HUM. CHAIRUL BARIAH, S.H., M.HUM. NIP. 195610101986031003 NIP. 195612101986012001

FAKULTAS HUKUM

(3)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Alhamdulilllah. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam atas limpahan nikmat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada Penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam atas Rasulullah Muhammad

Shallallahu ‘alaihi Wassalam teladan utama, kepada para keluarga dan para

sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in serta seluruh pengikutnya yang setia di jalan Islam hingga akhir zaman.

Skripsi ini diberi judul KEDUDUKAN, PENGATURAN DAN PEMANFAATAN WILAYAH UDARA DAN RUANG ANGKASA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI NEGARA KHATULISTIWA. Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Huku m.

(4)

Penulisan skripsi ini disadari oleh Penulis tidak lepas dari bantuan, arahan, petunjuk, dorongan dan perhatian dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua, Ayahanda Drs. Panyabungan Pohan dan Ibunda tercinta Evaramola yang selalu memberikan dan mendedikasikan cintanya, juga mencurahkan segenap kasih sayangnya, pengorbanannya, serta doanya bagi penulis;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan II, dan Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III;

4. Bapak Sutiarnoto MS, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Internsional yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini;

5. Bapak Sutiarnoto MS, S.H, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang telah sangat peduli dan perhatian serta banyak memberikan pedoman bagi Penulis dalam penulisan skripsi ini;

6. Ibu Chairul Bariah, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah sangat peduli dan perhatian serta banyak memberikan pedoman bagi Penulis dalam penulisan skripsi ini sehingga penulisan skripsi dapat diselesaikan; 7. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum. selaku Dosen Wali/Penasihat

(5)

8. Bapak/Ibu Dosen Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik Penulis selama Penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Teman-teman mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2005, antara lain: Fakhrul Arif Siregar, Andrie, Erwin Harris Rahman Marpaung, Ahmad Fauzi Arham, Arfan Adha Nasution, Budi Prakarsa Ketaren, Imam Wahyudi, teman-teman mahasiswa/i anggota kelompok pendidikan klinis, teman-teman-teman-teman mahasiswa/i Departemen Hukum Internasional, para senior dan juga untuk seluruh teman-teman mahasiswa/i yang tidak dapat disebutkan semuanya di sini, namun tetap selalu ada di dalam hati Penulis;

10.Untuk keluarga besar Penulis, yang telah banyak memberikan dukungan kepada Penulis baik moral maupun materi;

11.Seluruh pihak yang telah membantu dan memberikan sumbangan moral maupun materi demi selesainya penulisan skripsi ini.

Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya, khususnya bagi perkembangan dan kemajuan Hukum Udara dan Ruang Angkasa di Indonesia tanah air kita yang tercinta ini. Amin.

Wassalam Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penulisan ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penulisan... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA ... 12

A. Pembagian Hukum Udara dan Ruang Angkasa Internasional ... 12

B. Perkembangan Hukum Udara dan Ruang Angkasa Internasional ... 17

1. Perkembangan Hukum Udara Internasional ... 17

1.1.Konvensi Paris 1919 ... 17

(7)

1.3.Konvensi Chicago 1944 ... 19

2. Perkembangan Hukum Ruang Angkasa Internasional .... 21

2.1. Outer Space Treaty 1967 ... 21

2.2. Konvensi I.T.U. 1973 ... 23

2.3. Liability Convention 1973 ... 24

2.4. Deklarasi Bogota 1976 ... 25

2.5. Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space 1976 ... 26

C. Perkembangan Hukum Udara dan Ruang Angkasa Indonesia ... 29

BAB III KEDUDUKAN DAN PENGATURAN HUKUM DI WILAYAH UDARA DAN RUANG ANGKASA NASIONAL INDONESIA TERHADAP BERBAGAI AKTIFITAS ... 32

A. Pengaturan Hukum Tentang Udara dan Ruang Angkasa... 32

B. Kedudukan Udara dan Ruang Angkasa dalam Hukum Nasional dan Internasional ... 39

C. Pengaturan Hukum Angkasa Tentang Peluncuran Benda-benda Angksa ... 46

D. Kedudukan Indonesia dalam Perjanjian Internasional Tentang Udara dan Ruang Angkasa ... 52

(8)

BAB IV PEMANFAATAN WILAYAH UDARA DAN RUANG ANGKASA NASIONAL INDONESIA DALAM BERBAGAI AKTIFITAS SEBAGAI NEGARA KHATULISTIWA DAN NEGARA GSO (NEGARA

KOLONG) ... 63

A. Pemanfaatan Wilayah Udara dan Ruang Angkasa Nasional Indonesia dalam Berbagai Aktifitas ... 63

1. Pengaturan Hukum Tentang Pemanfaatan Udara dan Ruang Angkasa ... 63

2. Sistem Transportasi Ruang Angkasa dalam Hukum Udara dan Ruang Angkasa ... 68

3. Penggunaan Ruang Angksa Untuk Kepentingan Militer ... 72

B. Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa dan Negara GSO (Negara Kolong)... 82

1. GSO Sebagai Kawasan Internasional ... 82

2. Aspek-aspek Pemanfaatan GSO ... 84

3. Perangkat Hukum Khusus Bagi Pemanfaatan GSO ... 85

4. Kemungkinan Perkembangan di dalam Pemanfaatan GSO ... 93

5. Kedaulatan Negara-negara GSO (Negara-negara Kolong) ... 95

6. Kepentingan Internasional dalam Pemanfaatan GSO ... 104

(9)
(10)

ABSTRAKSI

Syahreza1

Sutiarnoto MS, S.H., M.Hum.2 Chairul Bariah, S.H., M.Hum.3

Hukum Udara dan Ruang Angkasa sebagai suatu cabang ilmu Hukum Internasional yang masih sangat muda tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi penerbangan. Sejak ditemukannya balon udara pada abad ke-18 dan kemudian pesawat udara yang lebih berat dari udara pada awal abad ke-20, maka sejak itu pula timbul peraturan mengenai pemanfaatan ruang udara, terlebih sejak pesawat udara digunakan sebagai alat transportasi dan bagi kepentingan peperangan (militerisasi).

Perkembangan terakhir teknologi penerbangan pada abad ke-21 ini bukan saja telah berhasil menciptakan pesawat-pesawat udara yang sangat canggih, melainkan manusia juga telah berhasil mendaratkan manusia di bulan. Sejalan dengan itu timbul pula keperluan akan adanya pengaturan kegiatan dan pemanfaatan ruang angkasa.

Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang wilayahnya sangat luas terletak pada jalur penerbangan internasional dari Australia atau Selandia Baru ke Asia dan Eropa, sudah barang tentu ketentuan-ketentuan Hukum Udara dan Ruang Angkasa baik dalam skala nasional maupun internasional mempunyai arti yang sangat penting. Ditambah pula bahwa secara geografis Indonesia terletak pada daerah khatulistiwa yang diatasnya (di ruang angkasa dengan ketinggian + 35.000 Km dari permukaan bumi) terdapat Geostationary Orbit (GSO) yang memiliki sifat khusus dan sangat cocok bagi penempatan satelit-satelit buatan, terutama satelit komunikasi, dimana Indonesia mempunyai kepentingan khusus terhadap

Geostationary Orbit (GSO) tersebut.

1

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 2

(11)

ABSTRAKSI

Syahreza1

Sutiarnoto MS, S.H., M.Hum.2 Chairul Bariah, S.H., M.Hum.3

Hukum Udara dan Ruang Angkasa sebagai suatu cabang ilmu Hukum Internasional yang masih sangat muda tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi penerbangan. Sejak ditemukannya balon udara pada abad ke-18 dan kemudian pesawat udara yang lebih berat dari udara pada awal abad ke-20, maka sejak itu pula timbul peraturan mengenai pemanfaatan ruang udara, terlebih sejak pesawat udara digunakan sebagai alat transportasi dan bagi kepentingan peperangan (militerisasi).

Perkembangan terakhir teknologi penerbangan pada abad ke-21 ini bukan saja telah berhasil menciptakan pesawat-pesawat udara yang sangat canggih, melainkan manusia juga telah berhasil mendaratkan manusia di bulan. Sejalan dengan itu timbul pula keperluan akan adanya pengaturan kegiatan dan pemanfaatan ruang angkasa.

Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang wilayahnya sangat luas terletak pada jalur penerbangan internasional dari Australia atau Selandia Baru ke Asia dan Eropa, sudah barang tentu ketentuan-ketentuan Hukum Udara dan Ruang Angkasa baik dalam skala nasional maupun internasional mempunyai arti yang sangat penting. Ditambah pula bahwa secara geografis Indonesia terletak pada daerah khatulistiwa yang diatasnya (di ruang angkasa dengan ketinggian + 35.000 Km dari permukaan bumi) terdapat Geostationary Orbit (GSO) yang memiliki sifat khusus dan sangat cocok bagi penempatan satelit-satelit buatan, terutama satelit komunikasi, dimana Indonesia mempunyai kepentingan khusus terhadap

Geostationary Orbit (GSO) tersebut.

1

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 2

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 3

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Aspek Huku m Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam upaya pemilihan judul skripsi ini. Sebab dunia internasional dihadapkan kepada beragam aspek dan kepentingan yang berbeda antara kepentingan satu negara dengan kepentingan negara lain. Juga kepentingan-kepentingan tersebutlah yang terkadang menimbulkan suatu perselisihan antar suatu negara dengan negara lain, ataupun antar hukum yang digunakan oleh suatu negara dengan negara lain. Dalam hal tersebut maka menjadi berlakulah suatu tatanan kaedah Hukum Internasional yang ada dan kemudian mengaturnya.

Suatu konsep Hukum Internasional adalah berlaku apabila telah diterima sebagai suatu ketentuan yang mengatur oleh Masyarakat Internasional itu sendiri. Hal ini dapat berupa suatu Kebiasaan Internasional yang telah lama ada, maupun berdasarkan atas suatu landasan hukum yang dilakukan oleh dua atau lebih negara sebagai salah satu subjek Hukum Internasional yang telah diakui keberadaannya. Dalam bukunya yang berjudul, “An Introduction to International Law”, J. G. Starke memberikan definisi Hukum Internasional sebagai berikut: “Adapun Hukum Internasional dapat dirumuskan sebagai sekumpulan hukum (body of law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan negara-negara satu sama lain.”4

(13)

Seorang sarjana hukum Belanda yang sangat terkenal terutama dalam Hukum Internasional, Grotius (Hugo de Groot: 1583-1645) menulis secara sistematis tentang kebijaksanaan perang dan damai dalam bukunya, “De Jure Belli

ac Pacis” (The Law of War and Peace = Perihal Hukum Perang dan Damai),

membahas mengenai kebiasaan-kebiasaan (customs) yang diikuti negara-negara dari zamannya. Ia juga memperkenalkan beberapa doktrin Hukum Internasional, misal doktrin “Hukum Kodrat” (Law of Nature) yang menjadi sumber dari Hukum Internasional itu di samping kebiasaan dan traktat. Dan hubungan dengan karangannya ini, maka Grotius dianggap sebagai “Bapak dari Hukum Internasional” (Father of The Law of Nations).5

Untuk penerbangan di ruang angkasa diawali pada tanggal 4 Oktober 1957, dimana pada saat itu Uni Soviet (sekarang telah berubah/pecah menjadi beberapa negara yang berdiri sendiri) berhasil meluncurkan satelit buminya yang pertama. Keberhasilan ini menimbulkan penghargaan dan pandangan terhadap Secara khusus mengenai latar belakang pemilihan judul skripsi ini adalah erat berhubungan dengan konsep dan kaedah yang terdapat di dalam Hukum Internasional dengan mengamati dan meneliti aspek perkembangannya. Dan saat ini telah dirasakan pula arti pentingnya suatu bagian dari Hukum Internasional itu, yakni mengenai Hukum Udara dan Ruang Angkasa Internasional yang keberadaannya perlu dicermati. Mengingat bahwa wilayah udara dan ruang angkasa telah menjadi suatu sumber daya yang penting bagi pertahanan dan keamanan, juga bernilai ekonomis tinggi di dalam pemanfaatannya.

5

(14)

Uni Soviet membumbung tinggi, sekaligus menurunkan gengsi Amerika Serikat yang merupakan negara saingannya.

Sejak keberhasilan Uni Soviet meluncurkan satelitnya yang diberi nama

Sputnik I, maka Amerika Serikat berusaha pula untuk menyaingi atau

setidak-tidaknya mensejajarkan kedudukannya dengan pihak Uni Soviet dalam berbagai kemajuan khususnya teknologi ruang angkasa.

Pendaratan yang dilakukan oleh astronot Amerika Serikat di bulan dengan mulus merupakan kejadian yang menggemparkan dunia internasional dan sekaligus menaikkan gengsi Amerika Serikat di forum internasional.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang telah dicapai di bidang keantariksaan telah memungkinkan dan membuka kesempatan yang cukup besar bagi berbagai pihak maupun negara tertentu untuk melakukan kegiatan di ruang angkasa. Kegiatan dalam bidang keantariksaan ini nampaknya akan terus meningkat baik mengenai jumlah negara yang terlibat di dalamnya maupun mengenai ruang lingkupnya. Priyatna Abdurrasyid juga mengemukakan bahwa:

“Kini kita hidup dalam abad angkasa (Space Age). Ilmu pengetahuan yang selamanya bergerak maju, berkembang pesat dalam 50 tahun terakhir ini, terutama sejak Perang Dunia II. Kemajuan teknologi khususnya teknologi penerbangan pada abad kini memberi akibat yang positif kepada tingkat kehidupan manusia yang sekarang telah mampu melakukan penerbangan-penerbangan ke dan di ruang angkasa.”

(15)

telah dimanfaatkan guna peningkatan kualitas dan taraf hidup manusia, penelitian ilmu pengetahuan dan pencarian sumber-sumber alam baru.6

Adanya prinsip “Common Heritage of Mankind” (Warisan bagi Seluruh Manusia) dan “First Come First Served” (Kebebasan Mengeksploitasi)

Berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Maka tidaklah berlebihan bila aspek pemanfaatan dari wilayah udara dan ruang angkasa Indonesia juga mendapat suatu perhatian khusus. Hal ini berkaitan dengan adanya kesadaran bahwa wilayah udara dan ruang angkasa suatu negara merupakan salah satu sumber daya yang sifatnya terbatas dan berperan penting bagi stabilitas pertahanan keamanan dan ekonomi suatu negara.

Salah satu bagian khusus yang termasuk di dalam wilayah udara dan ruang angkasa Indonesia itu adalah suatu kawasan yang disebut sebagai Geo Stationary

Orbit (GSO). Adapun GSO ini adalah merupakan suatu kawasan terbatas yang

terletak di sekitar garis khatulistiwa (Equator), dan hanya “dimiliki” oleh beberapa negara saja yang wilayah udaranya tepat berada di bawah kawasan GSO. Dan hanya di dalam kawasan GSO inilah dapat diletakkan posisi dari satelit-satelit agar dapat tetap pada orbitnya guna melakukan suatu fungsi tertentu.

7

6

Juajir Sumardi, Hukum Ruang Angkasa, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, Hal. 2-3. 7

Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982 Pasal 136.

(16)

menimbulkan suatu ketidakadilan bagi negara-negara lain yang belum lagi memiliki kemampuan dalam usaha pemanfaatan wilayah udara dan ruang angkasa, khususnya GSO tersebut.

Namun, di samping hasil-hasil yang positif dari aplikasi teknologi ruang angkasa, tidak dapat diabaikan begitu saja kenyataan yang telah menimbulkan masalah bagi masyarakat internasional. Negara-negara maju, terutama kedua

space power yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet (pada saat masih berada pada

situasi Perang Dingin) tampak berlomba-lomba dalam usaha pemanfaatan ruang angkasa tanpa memperhatikan negara-negara yang sedang berkembang. Pada umumnya kebijakan keantariksaan kedua negara space power itu banyak didasarkan pada kehausan untuk dominasi politik dan militer.

Atas dasar kehausan dan dominasi politik dan militer tersebut, maka nampaklah bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ruang angkasa itu dapat menimbulkan dua arah dampak, yaitu di samping memberikan dampak positif juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap umat manusia itu sendiri. Hal ini bergantung pada sudut mana dampak tersebut dilihat.

Sesuai uraian di atas, penulis merasa sangat tertarik untuk memilih judul

skripsi: “KEDUDUKAN, PENGATURAN DAN PEMANFAATAN

(17)

B. Perumusan Masalah

Dari beberapa penjelasan yang telah diberikan sebelumnya di dalam tulisan ini, maka penulis mencoba mengangkat beberapa permasalahan yang terjadi yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan dan pengaturan hukum di wilayah udara dan ruang angkasa nasional Indonesia terhadap berbagai aktifitas?

2. Bagaimanakah pemanfaatan wilayah udara dan ruang angkasa nasional Indonesia dalam berbagai aktifitas sebagai negara khatulistiwa dan negara

GSO (negara kolong)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kedudukan dan pengaturan hukum di wilayah udara dan ruang angkasa nasional Indonesia terhadap berbagai aktifitas.

2. Untuk mengetahui pemanfaatan wilayah udara dan ruang angkasa nasional Indonesia dalam berbagai aktifitas sebagai negara khatulistiwa dan negara

GSO (negara kolong).

Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

(18)

2. Manfaat secara praktis, yakni menjadi sumbangsih pada peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya di bidang kedirgantaraan dan keantariksaan, penelitian ilmu pengetahuan dan pencarian sumber-sumber alam baru.

Manfaat yang diharapkan oleh penulis dari penulisan skripsi ini juga adalah untuk menyelesaikan masa pendidikan penulis. Dan tentunya untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakulltas Hukum Universitas Sumatera Utara.

D. Keaslian Penulisan

Sehubungan dengan judul skripsi ini, maka telah dilakukan pemeriksaan di arsip yang ada pada Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan hasil pemeriksaan, judul skripsi di atas tidak ada yang sama dengan judul skripsi lainnya baik yang ditulis sekarang maupun yang terdahulu.

Dengan demikian judul skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

Ditinjau dari judulnya, “Kedudukan, Pengaturan dan Pemanfaatan Wilayah Udara dan Ruang Angkasa Nasional Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa”, maka mengandung makna sebagai berikut:8

8

(19)

1. Kedudukan artinya tingkatan atau martabat, keadaan yang sebenarnya, status (keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara, dsb).

2. Pengaturan artinya proses, cara, perbuatan mengatur. 3. Pemanfaatan artinya proses, cara, perbuatan memanfaatkan.

4. Wilayah artinya daerah (kekuasaan, pemerintahan, pengawasan, dsb).

5. Udara artinya campuran berbagai gas yang tidak berwarna dan tidak berbau (seperti oksigen dan nitrogen) yang memenuhi ruang di atas bumi seperti yang kita hirup apabila kita bernapas, hawa, ruang di atas bumi yang berisi hawa, angkasa, segala sesuatu yang berhubungan dengan penerbangan.

6. Ruang artinya rongga yang berbatas atau terlingkung oleh bidang rongga yang tidak berbatas, tempat segala yang ada.

7. Angkasa artinya lapisan udara yang melingkupi bumi, awang-awang, langit. 8. Nasional artinya bersifat kebangsaan, berkenaan atau berasal dari bangsa

sendiri, meliputi suatu bangsa.

9. Indonesia artinya nama negara kepulauan di Asia Tenggara yang terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia.

(20)

11.Khatulistiwa artinya garis khayal keliling bumi, terletak melintang pada nol derajat (yang membagi bumi menjadi dua belahan yang sama, yaitu belahan bumi utara dan belahan bumi selatan), garis lintang nol derajat, ekuator.

F. Metode Penulisan

Dalam rangka untuk mengumpulkan data-data dan bahan-bahan dalam penyusunan skripsi ini, dan agar suatu penulisan mempunyai suatu manfaat, maka penulis merasakan perlu adanya suatu metode tertentu yang dipakai dalam pengumpulan data guna mencapai tujuan dari penulisan itu sendiri.

Di dalam penulisan skripsi ini penulis memakai metode pengumpulan data yang bersumber dari perpustakaan, berbagai literatur dan berbagai media informasi yang ada, yang mengangkat permasalahan khusus mengenai judul skripsi ini.

Dengan melakukan suatu metode penggabungan data-data yang telah diperoleh melalui library research, yaitu dengan menggunakan buku-buku, literatur-literatur, data-data dari berbagai media informasi yang dapat mendukung selesainya penulisan skripsi ini.

(21)

G. Sistematika Penulisan

Untuk menguraikan rangkaian materi dari skripsi ini penulis berusaha membuat suatu model-model penulisan sehingga menjadi suatu sistematika dari skripsi ini. Tujuan dari penentuan model-model tersebut adalah untuk mempermudah penguraiannya dan sekaligus pula untuk pemahamannya.

Oleh karena itu penulis membagi skripsi ini ke dalam 5 bab dan dilengkapi dengan sub-sub bab dari setiap babnya, yakni sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis hendak menguraikan beberapa uraian hal-hal yang bersifat umum, yaitu tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II: PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG

ANGKASA

Pada bab ini penulis mencoba menyampaikan dan menguraikan tentang Sejarah Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Pengertian Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Prinsip-prinsip Hukum Udara dan Ruang Angkasa serta Perkembangan Hukum Udara dan Ruang Angkasa, baik itu secara nasional maupun internasional.

(22)

Pada bab ini terdiri dari 5 (lima) sub bab, yaitu: Pengaturan Hukum Tentang Udara dan Ruang Angkasa, Kedudukan Udara dan Ruang Angkasa dalam Hukum Nasional dan Internasional, Pengaturan Hukum Angkasa Tentang Peluncuran Benda-benda Angkasa, Keduduka n Indonesia dalam Perjanjian Internasional Tentang Udara dan Ruang Angkasa, Pengaturan Hukum Tentang Jatuhnya Satelit atau Benda-benda Angkasa di Wilayah Republik Indonesia.

BAB IV: PEMANFAATAN WILAYAH UDARA DAN RUANG

ANGKASA NASIONAL INDONESIA DALAM BERBAGAI AKTIFITAS SEBAGAI NEGARA KHATULISTIWA DAN NEGARA GSO (NEGARA KOLONG)

Pada bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab, yaitu: Pemanfaatan Wilayah Udara dan Ruang Angkasa Nasional Indonesia dalam Berbagai Aktifitas, Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa dan Negara GSO (Negara Kolong).

BAB V: PENUTUP

(23)

BAB II

PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG

ANGKASA

A. Pembagian Hukum Udara dan Ruang Angkasa

Hukum Udara dan Ruang Angkasa merupakan bagian komponen dari Hukum Angkasa, untuk itu perlu diteliti apa saja yang menjadi ruang lingkup Hukum Angkasa, yakni:9

1. Sifat dan luas wilayah di ruang angkasa dimana Hukum Angkasa diterapkan dan berlaku.

2. Bentuk kegiatan manusia yang diatur di ruang tersebut.

3. Bentuk peralatan penerbangan (flight instrumentalities) seperti pesawat udara dalam penerbangan di ruang udara dan pesawat ruang angkasa untuk ruang angkasa yang mempunyai sangkut-paut dan diatur oleh Hukum Angkasa, atau dengan perkataan lain segala peralatan penerbangan yang menjadi objek Hukum Angkasa.

Hukum Angkasa sebagai salah satu cabang dari ilmu hukum yang relatif muda, oleh para ahli hukum maupun masyarakat internasional dirasakan perlu untuk lebih dikembangkan. Pengembangan yang dilakukan bertujuan agar Hukum Angkasa dapat menjadi cabang ilmu hukum yang mantap dan mapan terutama dalam mengantisipasi kemajuan teknologi yang sangat pesat.

9

(24)

Berbagai upaya telah dilakukan dalam mencapai tujuan tersebut antara lain dengan mengidentifikasi berbagai permasalahan yang timbul dari ditemukannya dimensi ruang angkasa hingga menelaah berbagai dampak hukum atas dimanfaatkannya dimensi tersebut oleh manusia. Hal inilah yang mendasari adanya pembagian Hukum Angkasa itu sendiri secara umum pada saat ini.

Setelah meneliti peristilahan-peristilahan terdahulu dapat dikemukakan di sini bahwa Ernest NYS merupakan orang pertama yang menggunakan istilah khusus bagi bidang ilmu hukum untuk ruang udara ini. Istilah yang ia gunakan ialah “Droit Aerien” dan dipakainya di dalam laporan-laporannya kepada Institute

de Droit Internationale pada rapat di tahun 1902 dan kemudian di dalam

tulisan-tulisan ilmiahnya. Oleh karena itulah istilah-istilah yang ditemukan sebelum tahun 50-an dan sesudahnya ialah misalnya istilah “Luchtrecht, Luftrecht atau Air Law” yang banyak digunakan orang.

Di Indonesia sendiri dipakai istilah Hukum Udara, istilah yang telah membaku di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran sejak tahun 1963. Setelah Uni Soviet berhasil meluncurkan satelit buatannya yang pertama maka timbullah istilah hukum yang lebih luas lagi, yakni Air and Space Law, Lucht en Ruimte

Recht atau Hukum Angkasa. Ada pula digunakan orang istilah Aerospace Law.

Semua istilah ini memang menunjukkan adanya suatu bidang ilmu hukum yang mempersoalkan berbagai macam pengaturan terhadap medium ruang.

(25)

ini dipakai istilah “Hukum Angkasa”, “Air and Space Law” di Kanada, “Aerospace Law” di Amerika Serikat, “Lucht en Ruimte Recht” di Belanda, “Droit

Aerien et de l’espace” di Perancis, “Luft und Weltraumrecht” di Jerman, yang

mencakup dua bidang ilmu hukum dan mengatur 2 sarana wilayah penerbangan yakni hukum udara yang mengatur sarana penerbangan di ruang udara yaitu ruang di sekitar bumi yang berisi gas-gas udara. Kemudian Hukum Ruang Angkasa yakni hukum yang mengatur ruang yang hampa udara (outer space).10

Tata surya kita secara geografis yuridis dapat kita klasifikasikan sebagai berikut:

Istilah Hukum Angkasa (yang terdiri dari Hukum Udara dan Ruang Angkasa) telah dipergunakan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Sesko AU di Bandung sejak tahun 1963. Seringkali istilah ruang angkasa ini (outer space) dicampuradukkan dengan istilah angkasa luar atau antariksa. Secara legalistis, dapat disimpulkan bahwa antariksa itu ialah ruang angkasa dengan segala isinya.

11

1. Ruang udara ialah ruang di sekitar bumi yang berisikan gas-gas udara yang dibutuhkan manusia demi kelangsungan hidupnya.

2. Antariksa mempunyai arti sebagai berikut:

Ruang angkasa yakni ruang yang kosong/hampa udara (aero space) dan

berisikan langit.

 Bulan dan benda-benda (planet-planet) lainnya.  Orbit geostasioner (Geo Stationary Orbit - GSO).

10

Ibid, Hal. 6. 11

(26)

Di dalam rangka penafsiran secara logika yuridis terhadap istilah ruang udara (air space) seperti yang tercantum di dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, perlu diteliti dahulu yakni asal usul penggunaan istilah ruang udara (air

space) di dalam Konvensi Chicago 1944 dan pengertian istilah pesawat udara

(aircraft) oleh Lampiran (Annexes) Konvensi. Lampiran yang merupakan pelengkap dan pemenuhan kebutuhan konvensi akan penjelasan-penjelasan yang ternyata diperlukan kemudian. Teks bagi istilah ruang udara (air space) di dalam bahasa Perancis dan disetujui oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) itu adalah istilah l’espace aerien dan istilah ini merupakan istilah yang otentik dan sesuai dengan istilah otentik dalam bahasa Inggris “air space”.

Istilah ini seringkali menimbulkan salah pengertian mengenai batas jarak ketinggian di ruang udara dimana negara itu memiliki kedaulatan. Penggunaan tersebut mencontoh suatu pengaturan Konvensi Paris 1919 dan yang telah disusun di dalam Konvensi Paris 1919 ini untuk ruang udara dipakai istilah dalam bahasa Perancis “l’espace atmospherique”, teks bahasa Italia dipakai istilah “spazio

atmozferico” (atmospheric space atau ruang atmosfir), sedangkan teks bahasa

Inggris mempergunakan istilah “air space” yang berarti ruang udara. Konvensi Chicago 1944 menggunakan istilah “air space” dan ini sesuai dengan istilah yang dipakai dalam bahasa Perancis yakni istilah “l’espace atmospherique” dalam Konvensi Paris 1919.12

(27)

Pakar-pakar hukum memberikan definisi-definisi sebagai berikut:13

 Hukum Udara adalah serangkaian ketentuan nasional dan internasional

mengenai pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan internasional.

 Hukum Ruang Angkasa adalah hukum yang ditujukan untuk mengatur

hubungan antar negara, untuk menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari segala aktifitas yang tertuju kepada ruang angkasa dan di ruang angkasa aktifitas itu demi kepentingan seluruh umat manusia, untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan, terrestrial dan non terrestrial, dimana pun aktifitas itu dilakukan.

Dalam definisi yang terakhir itu ruang angkasa dipandang sebagai suatu keseluruhan yang utuh, yang dalam lingkupnya mencakup benda-benda langit lainnya.

Juga terdapat definisi Hukum Angkasa (Aerospace Law) yang berusaha untuk mencakup kedua bidang ilmu hukum itu, secara gabungan menjadi bagian hukum tunggal. Karena itulah, dalam sebuah glossary yang diterbitkan tahun 1955 oleh

Research Studies Institutes pada Maxwell Air Force Base, dapat ditemui sebuah

definisi istilah “aerospace”. Istilah tersebut didukung oleh mereka yang berkeyakinan bahwa Hukum Udara dan Ruang Angkasa hanya disatukan dalam suatu cabang hukum tunggal, karena bidang tersebut mewakili bidang hukum

13

Diederiks - Verschoor, Persamaan dan Perbedaan Antara Hukum Udara dan Hukum

(28)

yang secara langsung maupun tidak langsung berlaku pada penerbangan-penerbangan yang dilakukan manusia.

B. Perkembangan Hukum Udara dan Ruang Angkasa Internasional 1. Perkembangan Hukum Udara Internasional

1.1. Konvensi Paris 1919 (Convention Relating to The Regulation of Aerial Navigation)

Di dalam Konvensi Paris 1919 pada Pasal 1 memberikan suatu negara kedaulatan yang lengkap dan eksklusif di atas wilayahnya (termasuk dengan wilayah perairannya). Dan kedaulatan negara juga mencakup pula terhadap ruang udara yang berada di atas wilayah kedaulatannya.

Pengaturan tentang kedaulatan negara di ruang udara di dalam Konvensi Paris 1919 belum mampu menentukan mengenai batas dan ketinggian wilayah udara suatu negara. Namun, yang ditetapkan di dalam konvensi ini adalah mengenai kedaulatan masing-masing negara atas wilayah udaranya.

Adanya dalil Hukum Romawi yang berbunyi, “Cuius est solom, eius usgue

ad coelum et ad inferos” melandasi dibentuknya Konvensi Paris 1919. Dalil itu

berarti: “Barangsiapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah tersebut”.14

Dengan berakhirnya Perang Dunia I maka banyak negara-negara semakin mengembangkan teknologi ruang udara, yakni berupa usaha pengembangan

14

(29)

teknologi penerbangan jarak jauh yang cepat, serta berusaha mencapai jarak ketinggian yang maksimal di ruang udara.

Pesawat udara yang pada awalnya hanya dimiliki negara dan hanya dipakai untuk kepentingan militer saja, kemudian mulai menjadi suatu sarana perhubungan komersial yang umum. Dan pemilikannya bukan lagi sebatas oleh negara saja, melainkan telah pula dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta. Hal ini terjadi ketika pada tahun 1919 perusahaan penerbangan pertama memulai pengoperasian penerbangan berjadwal (scheduled) pertama antara kota London dan Paris.

1.2. Protokol Paris 1929

Protokol Paris 1939 adalah kelanjutan dari hasil-hasil Konvensi Paris 1919, dan mengangkat permasalahan-permasalahan khusus yang melekat dalam kategori kerugian yang timbul terhadap orang-orang di atas permukaan bumi akibat aktifitas-aktifitas yang dilakukan di ruang udara.

Ketentuan dasar yang mengatur tanggung jawab untuk kerugian dalam Hukum Udara kemudian dimuat dalam perjanjian-perjanjian internasional yang sebelumnya belum disepakati dalam Protokol Paris 1929 ini. Perjanjian-perjanjian internasional itu kemudian mengalami berbagai perkembangan, yang secara kronologis dapat diuraikan sebagai berikut:

Convention for The Unification of Certain Rules Relating to International

Carriage by Air (sering disebut dengan Konvensi Warsawa 1929). Pada tahun

(30)

oleh Guadalajara Convention (1961), Guatemala Protocol (1971) dan

Montreal Protocol (1975), sebagai tambahan: Montreal Protocol (1966) dan

Malta Agreement (1976).

Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on The

Surface (sering disebut dengan Konvensi Roma (1952), yang menggantikan

Konvensi Roma (1933) mengenai pokok masalah yang sama), dan protokol yang ditambahkan kepada Konvensi Roma (1952), yaitu Montreal Protocol (1978).

Permasalahan-permasalahan khusus yang melekat dalam kategori kerugian yang timbul terhadap orang-orang di atas permukaan bumi telah dikenal sejak tahun 1927. Beberapa studi mengenai persoalan itu telah dilakukan, yang pada akhirnya berpuncak dalam Konvensi Roma (1933) dan Protokol Brussels (1938).

Akan tetapi tidak pernah ada usaha yang dapat dikatakan berhasil sepenuhnya, ketentuan-ketentuan Konvensi Roma (1933) juga segera menjadi ketinggalan di belakang perkembangan-perkembangan yang pesat di bidang penerbangan, dan konvensi itu hanya berhasil menarik sejumlah kecil persetujuan bagi ratifikasi oleh beberapa negara saja.

(31)

November dan berakhir pada 7 Desember 1944 di Chicago, Amerika Serikat, dan kemudian menjadi dasar hukum bagi penerbangan sipil internasional dewasa ini.

Adapun maksud dari konferensi ini adalah untuk menentukan pola dari penerbangan sipil setelah perang dunia berakhir. Meskipun ada asal usul mengenai kebebasan di udara, namun pada akhirnya prinsip “absolute and

exclusive sovereignity”15

15

E. Suherman, Hukum Udara Indonesia dan Internasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1983, Hal. 168.

(kedaulatan yang mutlak dan absolut sifatnya) tetap dipertahankan. Prinsip tersebut adalah prinsip yang dianut sebelumnya dalam Konvensi Paris 1919.

Namun, terdapat perbedaan penting yakni mengenai alasan untuk kedaulatan suatu negara di udara yang dahuluya adalah lebih menitikberatkan pada masalah keamanan negara, maka pada Konferensi Internasional Chicago 1944 lebih mengutamakan pada perlindungan ekonomi bagi industri angkutan udara nasional masing-masing negara yang menentukan.

Salah satu hasil yang tidak kalah pentingnya dari Konferensi Internasional Chicago 1944 adalah terbentuknya suatu badan yang kemudian menjadi suatu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu International Civil Aviation

Organization (ICAO). Organisasi internasional ini mempunyai tugas dalam

(32)

Hasil-hasil lain dari Konferensi Internasional Chicago 1944 adalah berupa lampiran-lampiran (Annexes) sebanyak 16 buah, yang berisikan mengenai standar-standar internasional dan cara-cara yang dianjurkan di dalam bidang teknik penerbangan. Dimana annexes tersebut baru akan berlaku bila sudah dimasukkan dalam perundang-undangan nasional suatu negara. Secara umum annex-annex tersebut mengatur mengenai hal-hal seperti: mengenai ijazah personil udara, mengenai peraturan lalu lintas udara, mengenai meteorologi, mengenai peta-peta penerbangan secara internasional dan lain sebagainya.

2. Perkembangan Hukum Ruang Angkasa Internasional

2.1. Outer Space Treaty 1967 (Treaty on Principles Governing The Activities in The Exploration and Use of Outer Space, Including Moon and Other Celestial Bodies)

Perjanjian mengenai Hukum Ruang Angkasa ini lebih dikenal sebagai

Space Treaty 1967 yang ditandatangani pada tanggal 27 Januari 1967 dan berlaku

sejak 10 Oktober 1967.

(33)

Setelah beberapa resolusi disahkan oleh PBB, maka sebuah traktat khusus mengenai ruang angkasa (space treaty) dibentuk pada tahun 1967, tepatnya sepuluh tahun setelah peluncuran Sputnik milik Rusia. Perjanjian yang diprakarsai oleh PBB didasarkan atas konsep bahwa ruang angkasa (outer space) harus dipertahankan sebagai milik seluruh umat manusia dan harus dieksplorasi dan digunakan bagi keuntungan serta kepentingan semua negara. Definisi yang lebih spesifik tidak berhasil disepakati di dalam Outer Space Treaty 1967 ini. Adapun tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk mencegah tuntutan-tuntutan kedaulatan di ruang angkasa oleh negara-negara secara individu dan untuk membuat ketentuan-ketentuan bagi penggunaan secara damai ruang angkasa tersebut.

Dan menurut Outer Space Treaty 1967 bahwa seluruh aktifitas-aktifitas keruangangkasaan hanya dapat dilakukan sesuai dengan UN Charter (Piagam PBB) dan Prinsip-prinsip Hukum Internasional, namun demikian masalah kedaulatan sangat erat kaitannya dengan beberapa aktifitas keruangangkasaan.16

Di dalam Pasal II Outer Space Treaty 1967 secara khusus terdapat adanya suatu larangan bagi semua negara, terhadap pemilikan secara nasional atas wilayah ruang angkasa oleh suatu negara melalui tuntutan-tuntutan kedaulatan, pemakaian atau pendudukan atau dengan cara-cara lainnya. Dengan kata lain Karena dalam Hukum Ruang Angkasa kita menghadapi suatu fakta bahwa kebebasan eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa berada dalam lingkup hubungan antar negara yang berkedaulatan sama atas wilayah ruang angkasa itu.

16

I. H. Ph. Diederiks – Verschoor, Persamaan dan Perbedaan Antara Hukum Udara dan

(34)

bahwa yang dinamakan sebagai wilayah ruang angkasa tersebut adalah milik semua negara yang tidak dapat dikuasai secara sepihak dengan alasan apa pun juga oleh suatu negara tertentu.

2.2. Konvensi I.T.U. (International Telecommunication Union) 1973

Suatu badan bersama yang sifatnya internasional yakni International

Telecommunication Union (ITU) yang bertugas menjaga dan mengembangkan

kerjasama internasional untuk peningkatan dan pemakaian berbagai sarana telekomunikasi internasional, menandatangani suatu perjanjian bersama di

Malaga – Toremolinos pada tahun 1973.

Didasari oleh perkembangan teknologi satelit yang telah dimiliki oleh negara-negara maju, sebagai salah satu sarana yang vital bagi perkembangan telekomunikasi dunia, maka secara khusus dalam Pasal 33 ayat (2) Konvensi ITU 1973 dipandang oleh banyak negara, terutama oleh negara berkembang, lebih mengakomodasikan kepentingan-kepentingan negara-negara maju yang telah memiliki teknologi dan kemampuan di bidang satelit saja. Maka, pada pertemuan

ITU pada tahun 1982 di Nairobi (Kenya) dibuat suatu perubahan yaitu di dalam

(35)

Ketentuan-ketentuan ITU tersebut oleh negara-negara maju dianggap cukup memadai untuk mengatur pemanfaatan GSO, di samping kemajuan teknologi akan mampu mengatasi kejenuhan yang dikhawatirkan akan terjadi dalam pengembangan sistem telekomunikasi khususnya bidang satelit ruang angkasa.

2.3. Liability Convention 1973

Perkembangan pemanfaatan wilayah ruang angkasa khususnya wilayah orbit geostasioner, menimbulkan kesadaran masyarakat internasional akan timbulnya suatu malapetaka yang kemungkinan timbul di kemudian hari. Malapetaka itu yakni, kemungkinan jatuhnya benda angkasa buatan manusia itu kembali ke bumi, yang membawa dampak buruk bagi negara yang lain karena terjadinya hal tersebut.

Maka, sejak tahun 1960 sebuah badan khusus PBB mengenai ruang angkasa yakni United Nations Committee on The Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS), telah mulai membicarakan hal tersebut dalam forum PBB karena telah ada contoh-contoh kejadian yang nyata dan tidak dapat disangkal lagi oleh masyarakat internasional.

Amerika Serikat kemudian mengusulkan agar bahaya jatuhnya benda buatan manusia dari ruang angkasa itu dapat diselesaikan secara tuntas. Akhirnya pada tanggal 29 Maret 1972 PBB mensahkan “Convention on International

(36)

merupakan syarat dapat berlakunya konvensi ini) meratifikasinya dan hingga tahun 1976 jumlah negara yang telah meratifikasi berjumlah 40 negara.

Konvensi yang didasari oleh beberapa Pasal Space Treaty 1967 mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk membentuk kaidah hukum tentang tanggung jawab internasional terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh benda-benda angkasa.

2. Memberikan tata cara penggantian kerugian secara seketika (prompt) dan setimpal (equitable) kepada korban kerusakan (damage).

Hal tersebut didasari adanya kemungkinan yang besar jatuhnya (kembali ke permukaan bumi) benda-benda yang diluncurkan ke ruang angkasa. Maka, bila terjadi, sistem ganti rugi ditetapkan secara “absolute liability”, dimana merupakan suatu usaha hukum yang berlaku mutlak tanpa pembuktian yang ketat. Dan beberapa tahun kemudian dibuat suatu aturan mengenai cara pengidentifikasian benda-benda angkasa (yang mungkin jatuh), yang diusahakan melalui “Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space” pada tahun 1976.

2.4. Deklarasi Bogota 1976

(37)

kesepakatan/deklarasi tentang tuntutan atas orbit geostasioner yang memang tepat berada di atas wilayah kedaulatan mereka.

Adapun yang menjadi tuntutan dari negara-negara khatulistiwa tadi bukanlah suatu tuntutan mengenai penguasaan atas wilayah (territorial claim), namun hal tersebut didasarkan oleh karena adanya ketidakadilan dalam pemanfaatan orbit geostasioner yang sebelumnya berdasar pada prinsip kebebasan untuk memanfaatkan bagi semua negara (first come first served).17

2.5. Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space 1976 Sebagai akibatnya pemanfaatan orbit geostasioner hanya didominasi oleh negara-negara maju karena memiliki kemampuan untuk itu, baik dari segi teknologi maupun finansialnya. Dan dirasakan pemanfaatan orbit geostasioner itu telah menjadi suatu usaha komersialisasi oleh negara-negara maju tersebut sehiungga cenderung merugikan negara-negara lain yang belum mampu memanfaatkannya.

Deklarasi Bogota 1976 ini banyak mendapat reaksi yang luas oleh banyak negara, namun negara-negara maju menentang isi dari gagasan yang terkandung di dalamnya karena bertentangan dengan kepentingan mereka. Hal itu juga dianggap dapat menimbulkan adanya monopoli dalam pemanfaatan orbit geostasioner (larangan pada Pasal 33 ayat (2) Konvensi ITU 1973), dan terutama bertentangan dengan Pasal II Space Treaty 1967.

Registration Convention berakar kepada ketentuan yang ditetapkan bagi

International Geophysical Year, dalam suatu periode selama 18 bulan dimulai

17

(38)

dari tanggal 1 Juli 1957 sampai dengan 31 Desember 1958. Dimana masyarakat ilmiah melakukan kajian-kajian di seluruh dunia mengenai lingkungan manusia dengan bumi dan lautan, atmosfir dan ruang angkasa. Peluncuran satelit-satelit bumi buatan merupakan salah satu dari proyek-proyek yang direncanakan, dan untuk hal tersebut maka Manual on Rockets and Satellites menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai pendaftaran objek-objek yang diluncurkan ke wilayah ruang angkasa.

Di awal tahun 1961 Majelis Umum PBB meminta agar negara-negara yang meluncurkan objek-objek ke dalam atau di luar orbit dan memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada Committee on The Peaceful Uses of

Outer Space, melalui Sekretaris Jenderal PBB dengan tujuan untuk melakukan

pendaftaran peluncuran-peluncuran ini. Sekretaris Jenderal PBB dengan permohonan diminta untuk mengurus suatu daftar umum informasi tersebut.

Tidak ada kewajiban mengikat di pihak negara-negara peluncur, akibatnya sistem tersebut berjalan hanya berdasarkan kesukarelaan semata-mata. Dan pada umumnya dikatakan bahwa sistem sukarela itu berjalan cukup baik dan hal ini terlihat dari hampir semua negara yang berpartisipasi dalam aktifitas-aktifitas keruangangkasaan telah memberikan informasi mengenai peluncuran-peluncuran yang mereka lakukan.

Di dalam Hukum Ruang Angkasa terdapat ketentuan penting dalam

Registration Convention berkenaan dengan situasi dimana dua negara atau lebih

bersama-sama berpartisipasi dalam suatu peluncuran khusus. Pada Pasal 21

(39)

objek ruang angkasa yang dapat dipergunakan kembali setelah pendaratannya dan akan didaftarkan berdasarkan pada Registration Convention sebagai sebuah objek yang diluncurkan ke ruang angkasa dan bukan sebagai pesawat udara seperti ketentuan di dalam Konvensi Chicago 1967.

Pada tahun 1975 Convention on Registration of Objects into Outer Space ditandatangani dan mulai berlaku pada tanggal 15 Desember 1976 setelah masuknya lima ratifikasi dari negara-negara yang menandatangani sebelumnya. Pada bulan Maret 1981 lebih dari 30 negara telah menandatangani konvensi ini. Hal ini membuat ketentuan mengajukan informasi mengenai pendaftaran telah menjadi suatu kewajiban untuk negara peserta konvensi ini.

Tujuan dari konvensi ini adalah:

1. Membuat ketentuan untuk mendaftar objek-objek ruang angkasa oleh negara-negara peluncur.

2. Menyediakan suatu daftar terpusat mengenai objek-objek ruang angkasa yang akan ditetapkan serta diurus atas dasar kewajiban oleh PBB.

3. Membuat ketentuan tentang cara-cara tambahan untuk membantu mengidentifikasi objek-objek ruang angkasa.

(40)

Registration Convention untuk pertama kalinya di bidang Hukum Ruang

Angkasa memakai bahasa Arab sebagai salah satu bahasa resmi, di samping bahasa Cina, Spanyol, Inggris, Perancis dan Rusia. Dan pada Pasal IV

Registration Convention menetapkan bahwa pendaftaran/pemberitahuan harus

dilakukan kepada Sekretaris Jenderal PBB dan bukan kepada ICAO (seperti yang ditetapkan pada Pasal 21 Konvensi Chicago 1967).

C. Perkembangan Hukum Udara dan Ruang Angkasa Indonesia

Hukum Udara dan Ruang Angkasa Indonesia tidak dapat terlepas dari kaidah Hukum Udara dan Ruang Angkasa Internasional. Apabila di wilayah ruang udara terdapat adanya prinsip kedaulatan mutlak masing-masing negara (complete

and exclusive sovereignity rights), namun di wilayah ruang angkasa terdapat pula

prinsip kepemilikan bersama semua negara atas ruang angkasa (common heritage

of mankind).

(41)

Seperti aturan yang terdapat pada Pasal 2 Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 1958, yakni larangan melakukan penerbangan dengan pesawat udara selain dengan pesawat udara yang mempunyai kebangsaan Indonesia, pada Pasal 8 menetapkan bahwa segala jenis angkutan udara dengan memungut bayaran yang diselenggarakan dalam wilayah Indonesia haruslah dengan konsesi (penetapan izin) dari Menteri Perhubungan Republik Indonesia. Juga terdapat aturan berupa larangan bagi pendaftaran pesawat udara milik bangsa lain/asing di Indonesia, yaitu pada Pasal 12 ayat (1) dalam Undang-undang di atas.

Di dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Repulik Indonesia, dalam penjelasan Pasal 30 ayat (3) yang menyatakan bahwa pengertian “dirgantara” mencakup ruang udara dan antariksa, termasuk GSO yang merupakan sumber daya alam yang terbatas.18

Wawasan nusantara, seperti tercantum di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) kita, menghendaki perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial, satu kesatuan ekonomi dan satu kesatuan pertahanan dan keamanan. Dengan demikian jelas bahwa diterimanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1973 tentang Wawasan Nusantara mengenai bangsa, wilayah dan negara yang memandang Indonesia

Maka, mungkin dapat disebut bahwa Hukum Udara dan Ruang Angkasa Indonesia itu sebagai Hukum Kedirgantaraan Indonesia yang berwawasan nusantara.

18

E. Saefullah Wiradipradja, Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan

(42)

sebagai suatu kesatuan yang meliputi tanah (daratan sebagai dimensi pertama), air (laut atau perairan wilayah sebagai dimensi kedua) dan ruang udara (ruang udara nasional yang tidak terpisahkan dari ruang angkasa sebagai dimensi ketiga). Namun, mengenai dimensi ketiga ini kedaulatan negara atas ruang angkasa diatur melalui prinsip kepemilikan bersama seluruh umat manusia di dunia.

Demi menjamin suatu keutuhan wilayah dirgantara nasional yang dimiliki Indonesia, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan maksud tersebut, yakni:

1. Merupakan hak Indonesia untuk ikut serta di dalam kegiatan eksplorasi (melakukan penelitian) dan eksploitasi (melakukan pemanfaatan) ruang angkasa.

2. Bahwa dalam hak ini termasuk juga hak untuk memupuk potensi nasional (sebagai salah satu faktor ketahanan nasional demi perdamaian) dan memupuk kekuatan pertahanan dan keamanan di kawasan dirgantara (demi kenyamanan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara).

(43)

BAB III

KEDUDUDUKAN DAN PENGATURAN HUKUM DI WILAYAH UDARA DAN RUANG ANGKASA NASIONAL INDONESIA TERHADAP

BERBAGAI AKTIFITAS

A. Pengaturan Hukum Tentang Udara dan Ruang Angkasa

Sejak keberhasilan Uni Soviet meluncurkan Satelit Sputnik I pada tanggal 4 Oktober 1957 dan suksesnya Amerika Serikat mendaratkan Apollo 11 di bulan pada tanggal 20 Juli 1969, manusia telah beralih pada dimensi yang lebih spektakuler yakni dimensi pemanfaatan ruang angkasa. Kegiatan pemanfaatan ruang angkasa oleh berbagai negara itu, terutama oleh kedua Space Power yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), khususnya teknologi penerbangan di ruang angkasa.

(44)

Permasalahan yang muncul berkenaan dengan usaha pemanfaatan ruang angkasa, khususnya di bidang Hukum Internasional telah disadari sejak dini. Sejak keberhasilan Uni Soviet dalam peluncuran Satelit Sputnik I yang sukses itu. Bahwa keberhasilan itu akan menimbulkan berbagai perkembangan di bidang Huku m Internasional.19

Setahun setelah peluncuran Satelit Sputnik I, tepatnya pada tanggal 13 Desember 1958, Majelis Umum PBB mengeluarkan sebuah resolusi, yakni Resolusi 1348 (XIII) dimana resolusi tersebut telah membentuk sebuah komite sementara, yakni Ad Hoc Committee on The Peaceful Uses of Outer Space. Komite ini mempunyai tugas untuk menyelidiki ruang angkasa, dimana Ad Hoc

Proses pembentukan Hukum Ruang Angkasa didasarkan terutama pada Hukum Internasional dan kerjasama internasional. Oleh karena itu, peran Hukum Internasional sangat menentukan dimana Hukum Internasional yang telah ada dan yang berlaku dicoba diterapkan pada bagian-bagian yang masih kurang atau belum diatur mengenai kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang saling berhubungan.

Pembentukan Hukum Internasional mengenai kegiatan di ruang angkasa yang dewasa ini lebih dikenal dengan sebutan Hukum Ruang Angkasa ditandai dengan pengajuan serentetan resolusi oleh Majelis Umum PBB. Resolusi tersebut meliputi petunjuk-petunjuk dan cara-cara meningkatkan kerjasama internasional serta penerapan prinsip-prinsip dasar tentang peraturannya.

19

(45)

Committee sebagai bagian dari Legal Sub Committee pada tahun 1959 telah

melaporkan hasil penelitiannya, yaitu:20

1. The extent to which there was established a general rule, though the practice of States in the satellite programs of the International Geophysical Year, that

within the context of strictly peaceful uses! Outer Space is freely available for

exploration and use by all in accordance with existing of future international

law or agreements.

2. The problem of liability for injury or damage caused by space vehicles.

3. The problem of allocation of radio frequencies to space vehicles.

4. The avoidance of interference between space vehicles and aircraft.

5. The identification and registration of space vehicles and the coordination of launching.

6. The problems associated with the reentry and landing of space vehicles.

Jika kita perhatikan hasil keputusan dari Ad Hoc Committee yang dilaporkan pada tahun 1959, maka dapat diketahuilah bahwa prinsip-prinsip yang perlu ditekankan dalam kerangka pembentukan Hukum Internasional mengenai kegiatan di ruang angkasa, bahwa ruang angkasa yang menjadi objek baru dari kegiatan manusia dalam rangka peningkatan kualitas hidupnya di permukaan bumi ini haruslah bebas untuk dieksplorasi dan dieksploitasi. Juga laporan tersebut telah mampu memberikan gambaran bahwa aktifitas ruang angkasa juga dapat menimbulkan kerugian, baik di darat, ruang udara dan ruang angkasa itu sendiri.

20

(46)

Oleh karena itu perlu adanya mengenai pertanggungjawaban atas kelalaian atau kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh pesawat ruang angkasa. Di samping itu, laporan dari Ad Hoc Committee itu juga mencantumkan masalah penentuan frekuensi radio pesawat ruang angkasa, tanda kebangsaan dari pesawat tersebut beserta pendaftarannya dan diakhiri dengan masalah koordinasi peluncuran pesawat ruang angkasa dan masalah yang berhubungan dengan pengembalian serta pendaratan kembali pesawat ruang angkasa.

Setelah adanya laporan dari Ad Hoc Committee hasil dari Resolusi Majelis Umum PBB 1348 (XIII) tanggal 13 Desember 1958, maka selanjutnya Majelis Umum PBB mengeluarkan suatu resolusi lanjutan, yaitu Resolusi 1472 (XIV). Resolusi ini berhasil membentuk suatu komite, yakni Committee on The Peaceful

Uses of Outer Space,21 yang bertugas mempelajari dan menelaah masalah-masalah hukum yang timbul pada masa mendatang, sebagai akibat adanya eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa. Resolusi 1472 (IV) tanggal 12 Desember 1959 mempersoalkan kerjasama internasional dalam rangka penggunaan ruang angkasa untuk maksud-maksud damai, dimana dalam pelaksanaan kegiatan negara-negara di ruang angkasa haruslah selalu mendasarkan diri pada dua prinsip utama, yaitu:22

1. International Law, including The Charter of United Nations, applies to outer space and celestial bodies.

21

E. Saefullah Wiradipradja & Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan

(47)

2. Outer space and celestial bodies are free for exploration and use by all States in comformity with International Law and are not subject to national

appropriation.

Kedua prinsip yang diajukan oleh komite pemanfaatan ruang angkasa yang dibentuk untuk maksud damai yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 1472 (XIV) tersebut di atas selanjutnya dijadikan sebagai bahan dasar dalam pembicaraan-pembicaraan selanjutnya.

Mengenai rentetan persidangan dari Sub Komite Hukum maka Priyatna Abdurrasyid dalam bukunya Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty

1967, menggambarkan bahwa dalam sidang pertama dan kedua yang

masing-masing dilaksanakan pada tanggal dan tahun yang berbeda yakni tahun 1962 dan 1963 telah menerima usul baik dari pihak Amerika Serikat maupun dari pihak Uni Soviet.

Usul yang diajukan oleh pihak Amerika Serikat yaitu menyangkut masalah pertolongan, pengembalian para awak dan pesawat ruang angkasa, serta masalah pertanggungjawaban atas kerugian yang diakibatkan oleh pesawat ruang angkasa. Sedangkan usulan dari pihak Uni Soviet adalah menyangkut deklarasi prinsip-prinsip dasar pengaturan negara-negara dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa. Kedua usulan ini selanjutnya diserahkan oleh komite kepada Majelis Umum PBB dan setelah diberi pertimbangan dikembalikan lagi kepada komite pada tanggal 14 Desember 1963, dengan Resolusi 1802 (XVII).

(48)

1965 setelah sebelumnya mengajukan usul Amerika Serikat dan Uni Soviet serta menggabungkan kedua usul tersebut dengan Resolusi 1884 (XVIII) menyangkut “Treaty Banning Nuclear Weapons Test in Atmosphere, in Outer Space and

Under Water”, yakni pada tanggal 17 Oktober 1963.

Pada sidang yang dilaksanakan pada tahun 1965, yaitu Resolusi 2130 (XX) yang menyangkut prinsip-prinsip hukum yang menguasai kegiatan di ruang angkasa. Selanjutnya pada tanggal 16 Juni 1966, atas usul Amerika Serikat dan Uni Soviet diajukan konsep “Treaty on Principles Governing The Activities of

States in The Exploration and Use of Outer Space, The Moon and Other Celestial

Bodies”. Dengan aklamasi Majelis Umum PBB tertanggal 9 Desember 1966 telah

menerima sebuah treaty dalam Resolusi 2222 (XX) dan ditandatangani di Washington, London dan Moscow pada tanggal 27 Januari 1967. Sebanyak 60 negara menandatangani treaty tersebut termasuk Amerika Serikat, Uni Soviet dan Kerajaan Inggris.23

Treaty yang ditandatangani pada tanggal 27 Januari 1967 tersebut

mengatur tentang status ruang angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya, serta mengatur usaha-usaha dan kegiatan manusia di ruang angkasa sekaligus menetapkan segala hak dan kewajiban negara-negara. Treaty tersebut selanjutnya disebut Space Treaty 1967 yaitu “Treaty on Principles Governing The Activities

of States in The Exploration and Use of Outer Space, including The Moon and

(49)

Space Treaty 1967 inilah yang merupakan hukum dasar bagi penciptaan

hukum dalam masalah aktifitas manusia di ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya. Atas dasar prinsip-prinsip yang terkandung dalam

Space Treaty 1967 tersebut, hingga kini PBB melalui Komite Pemanfaatan Ruang

Angkasa untuk Tujuan Damai (United Nations Committee on The Peaceful Uses

of Outer Space - UNCOPUOS) telah menciptakan suatu aturan Hukum

Internasional mengenai kegiatan di ruang angkasa, yaitu:24

1. Agreement on The Rescue of Astronauts, The Return of Astronauts and The Return of Objects Launched into Outer Space, yang ditandatangani di London,

Moscow dan Washington pada tanggal 22 April 1968.

2. Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects,

yang ditandatangani pada tanggal 28 Maret 1972.

3. Convention Concerning The Registration of Objects Launched into Space for Exploration or Use of Outer Space, tahun 1975.

4. Moon Agreement, tahun 1980.

Keseluruhan dari perjanjian Hukum Internasional mengenai aktifitas di ruang angkasa tersebut di atas merupakan penjabaran lebih lanjut dari prinsip-prinsip hukum dan kerjasama internasional dalam rangka melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa.

24

(50)

B. Kedudukan Udara dan Ruang Angkasa dalam Hukum Nasional dan Internasional

Meneliti urgensi Hukum Antariksa Nasional bagi Indonesia menghendaki kita untuk melihat jauh ke depan. Salah satu alasan yang menonjol ialah bahwa pokok persoalan kedirgantaraan itu selalu berkisar pada kemampuan memberi apresiasi terhadap 3 hal yang tidak dapat dipisah-pisahkan, yakni:25

1. Ilmu. 2. Teknologi. 3. Tata Tertib.

Apalagi bagi Indonesia yag menganut falsafah Pancasila dan berupaya agar penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Jelaslah bahwa ketiga bidang tersebut di atas, yakni ilmu, teknologi dan tata tertib (Hukum Kedirgantaraan) itu harus kita kuasai secara sempurna dan berkelanjutan, karena penguasaan ketiga bidang itu akan menarik dan memaksa kita menguasai bidang-bidang lain yang merupakan penopang ketiga bidang tadi.

Andaikata sebuah piramida, maka ketiga bidang tadi terletak pada puncaknya yang akan kokoh kalau penopang-penopangnya merupakan pondasi yang dapat diandalkan. Dengan kata lain, ketiga bidang tadi harus mampu menjelmakan suatu kekuatan kedirgantaraan nasional (aerospace power) dari dalam . Untuk jelasnya titik tolak dapat digunakan matriks yang dinamakan

(51)

Kekuatan Kedirgantaraan Nasional tadi, yang secara singkat dapat diringkaskan bahwa kondisi untuk pengembangan kekuatan kedirgantaraan suatu negara adalah sebagai berikut:26

1. Kondisi geografis negara yang dalam hal ini memiliki lokasi, bentuk, luas dan iklim/cuaca yang positif.

2. Adanya kekayaan bumi dan alam termasuk kekayaan bahan-bahan tambang atau kesanggupan negara yang bersangkutan untuk memperolehnya dari daerah lain dengan mudah.

3. Keadaan penduduk seperti kepadatan, sikap mental, dasar kecerdasan, pendidikan dan kesanggupan untuk penyesuaian diri dengan kegiatan kedirgantaraan (ilmu, teknologi dan hukum).

4. Kemajuan industri pada umumnya dan untuk ini perlu diperhatikan tingkatan teknologi negara yang bersangkutan, seperti produksi barang-barang yang berhubungan dengan pemanfaatan dirgantara atau barang-barang teknik lainnya.

5. Kondisi dan situasi politik negara tentunya akan menentukan policy negara terhadap masalah-masalah yang ada hubungannya dengan kedirgantaraan. 6. Pengembangan serta pemenuhan tempat negara tersebut di dalam rangka

perkembangan Hukum Udara dan Ruang Angkasa di forum internasional yang dasarnya tentu harus dicari dan dikembangkan di tingkat nasional.

Dalam pada itu, Indonesia jelas merupakan negara yang memenuhi persyaratan untuk menjadi negara bentuk kedirgantaraan. Selanjutnya

26

(52)

pengalaman-pengalaman yang diperoleh sewaktu memperjuangkan Doktrin Wawasan Nusantara di forum internasional melalui Konvensi Hukum Laut akan sangat berguna dalam pengembangan pemanfaatan kedirgantaraan nasional ini. Akan tetapi, untuk itu kita tidak boleh melupakan bahwa eksplorasi dan eksploitasi kedirgantaraan tidak mungkin dilakukan tanpa kerjasama internasional. Oleh karena itu penting kiranya dikembangkan Principle of Joint

Efforts di lingkup internasional.

Pengembangan manfaat kedirgantaraan nasional merupakan salah satu tindak lanjut paparan Menlu di depan Sidang Kabinet Paripurna pada tanggal 19 Mei 1982. Masalah wilayah dirgantara khususnya yang juga mencakup masalah perbatasan ruang udara nasional, merupakan penyelesaian otomatis dengan terselesaikannya masalah perbatasan wilayah laut nasional (masalah perbatasan wilayah laut/perairan nusantara termasuk penyelesaian masalah perbatasan maritim antara RI dengan negara tetangga termasuk juga penyelesaian landas kontinen, batas wilayah laut ZEE dan batas wilayah perikanan antara RI dengan negara tetangga).

Dalam konteks geografis inilah permasalahan Hukum Antariksa Nasional itu hendaknya ditinjau. Dalam rangka ini pula harus dimantapkan sebuah Undang-undang, yakni Undang-undang Pokok yang terletak dalam lingkup Hukum Udara, secara eksplisit dinyatakan bahwa:27

“Negara Republik Indonesia memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayah daratan dan di atas wilayah

(53)

perairan yang menurut Undang-undang Nasional Indonesia merupakan perairan teritorial Indonesia.”

Dengan diundangkannya ketentuan tentang wilayah udara nasional ini, kita memantapkan kedaulatan nasional terhadap ruang udara di atas wilayah daratan dan wilayah perairan yang menurut undang-undang nasional merupakan wilayah perairan Indonesia, sekaligus memperkuat hak Indonesia melakukan manajemen terhadapnya, karena terhadap doktriner internasional ruang udara (nasional) itu merupakan benda ekonomi (hubungkan dengan air agreements).

Dengan bertitik tolak pada pemecahan masalah keruangudaraan ini, ditelitilah hal-hal yang berkaitan dengan ruang angkasa, karena sejak tahun 1959, PBB melalui United Nations Committee on The Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS) dimana Indonesia merupakan anggota dari komite tersebut telah berusaha mencari jalan yang paling sesuai agar eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa dilakukan melalui cara-cara dan usaha-usaha yang paling menguntungkan bukan saja dari negara Space Powers, akan tetapi juga memberi manfaat kepada negara-negara berkembang secara maksimal. Hasil-hasil sidang-sidang

UNCOPUOS telah dituangkan melalui perjanjian-perjanjian internasional, antara

lain:28

1. Space Treaty 1967.

2. Rescue Agreement 1968.

3. Liability Convention 1972.

4. Registration Convention 1974.

28

(54)

5. Moon Treaty 1975.

Jelaslah bahwa pemanfaatan sumber daya ruang angkasa guna kepentingan komersial dewasa ini masih menjadi barang mewah bagi negara-negara berkembang, sehingga oleh karena itu perlu adanya suatu perlindungan hukum dari inflikasi komersial dari pemanfaatan ruang angkasa oleh negara-negara maju yang dapat berakibat fatal.

Adanya perkembangan pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan komersial tersebut harus dapat diikuti oleh perkembangan pengaturan Hukum Internasional agar ketentuan hukum tidak menunjukkan suatu fenomena hukum yang tidur. Namun demikian, para ahli tetap berpendapat bahwa prinsip-prinsip tanggung jawab yang telah disetujui berbagai konvensi internasional tetap berlaku bagi semua aktifitas manusia di ruang angkasa, oleh karena prinsip-prinsip tersebut mendasarkan diri pada prinsip-prinsip yang berkembang dan telah diterima dalam sistem-sistem huku m nasional dari negara-negara beradab di dunia ini.

Kini kegiatan pemanfaatan sumber daya ruang angkasa semakin menjadi lahan baru yang potensial bagi negara berteknologi tinggi seperti negara-negara di Eropa Barat, Jepang, Cina, Uni Soviet dan Perancis yang semua akan menjadi saingan dalam komersialisasi kegiatan ruang angkasa dengan pihak Amerika Serikat pada masa mendatang.

(55)

tetap mendapat perhatian serta direalisasikan dalam bentuk menutup asuransi terhadap kerugian pihak ketiga.

Dari risalah-risalah terdahulu dapat disimpulkan, bahwa keadaan wilayah di ruang angkasa dan selanjutnya situasi antariksa itu masih belum dapat diperlukan secara tegas. Masih banyak masalah yang masih harus diatur, karena begitu banyak usaha-usaha manusia menghendaki penelitian-penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan yang dilakukan UNCOPUOS selama ini sangat bijaksana, dimana pola yang dipakai itu merupakan pendekatan soal demi soal dengan bertitik tolak pada prinsip-prinsip yang tercantum di dalam

Space Treaty 1967, yang kemudian dituangkan dalam pengaturan.

Soal-soal lanjutan berikutnya pun masih dalam tahap diskusi dan negosiasi di dalam sub-sub komite. Memang dalam beberapa hal yang menyangkut keadilan, keamanan dan hak kemanusiaan bersama (common heritage of mankind) seringkali pengaturannya mendahului usaha-usahanya sendiri. Akan tetapi kebijaksanaan UNCOPUOS untuk mengatur masalah-masalah melalui prinsip-prinsip dan baru kemudian bilamana tampak kejelasan diberi penampungan-penampungan melalui hukum. Kiranya pola pemikiran dan pola pengaturan

UNCOPUOS dengan pengalaman menangani pengembangan kedirgantaraan

selama ini dapat dijadikan pedoman oleh Indonesia sehubungan dengan pengaturan kedirgantaraan nasional selanjutnya.

(56)

perubahan-perubahan sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan teknologi penerbangan.

Sebagaimana diketahui, Konvensi Warsawa 1929 merupakan perjanjian internasional pertama di bidang Hukum Udara Perdata dan merupakan salah satu konvensi yang sangat berhasil dalam usaha-usaha terciptanya unifikasi di bidang Hukum Perdata. Pada saat sekarang konvensi ini telah diratifikasi oleh 115 negara.

Namun, hanya beberapa tahun setelah konvensi ini berlaku beberapa kekurangannya mulai terasa dan usul-usul untuk mengadakan perubahan pun bermunculan. Setelah Perang Dunia II, negara-negara yang mengusulkan agar Konvensi Warsawa diubah makin banyak lagi. Maka, akhirnya sejak tahun 1955 Konvensi Warsawa mengalami perubahan-perubahan yang besar. Alasan utama yang mendorong diadakannya perubahan tersebut adalah masalah yang menyangkut tanggung jawab pengangkut udara, baik mengenai limit tanggung jawab maupun mengenai prinsip tanggung jawab. Limit tanggung jawab yang ditentukan dalam Konvensi Warsawa 1929 dipandang terlalu rendah sementara prinsip tanggung jawab yang dianut yang kurang memberikan perlindungan kepada pengguna jasa angkutan dianggap tidak sesuai lagi untuk masa sekarang.29

29

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah yang berisi tentang ketentuan penataan ruang Kota Bandar Lampung merupakan payung hukum

Beragam konvensi internasional yang telah disahkan ke dalam peraturan di Indonesia maupun regulasi yang ada di Indonesia berkenaan dengan pemanfaatan ruang angkasa sampai saat

Tujuan utama penetapan kawasan lindung dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merangin adalah untuk melindungi sumberdaya alam atau buatan yang

Analisis kelembagaan ( legal structure ) digunakan untuk menguji seberapa jauh lembaga-lembaga internasional, termasuk aparat penegak hukum Indonesia melakukan upaya

Berdasarkan hasil penelitian berupa pengumpulan data dan wawancara pada kantor PT.PLN (persero) Wilayah VIII bahwa perlindungan hukum bagi pegawai dan tenaga kerja

Karakteristik pemanfaatan ruang pada wilayah pesisir Kota Makassar perlu dilakukan mengingat daerah tersebut merupakan salah satu Kawasan strategis pariwisata dan kawasan

Hukum internasional adanya suatu wilayah tertentu mutlak bagi pembentukan suatu negara karena wilayah termasuk dalam salah satu karakteristik terbentuknya suatu negara yang diatur dalam

Ruang udara sebagai kedaulatan bagi negara, merupakan aspek yang wajib dijaga terutama integritas wilayah dalam memanfaatkan kedaulatan yaitu kepentingan dalam mengelola ruang udara.20