HUBUNGAN INFORMASI, MOTIVASI DAN KETERAMPILAN BERPERILAKU DENGAN TINDAKAN PENGGUNAAN
KONDOM PADA LSL UNTUK MENCEGAH HIV/AIDS DI WILAYAH KERJA KLINIK
VETERAN TAHUN 2012
TESIS
Oleh
ETY SOFIA RAMADHAN 107032077/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
HUBUNGAN INFORMASI, MOTIVASI DAN KETERAMPILAN BERPERILAKU DENGAN TINDAKAN PENGGUNAAN
KONDOM PADA LSL UNTUK MENCEGAH HIV/AIDS DI WILAYAH KERJA KLINIK
VETERAN TAHUN 2012
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
ETY SOFIA RAMADHAN 107032080/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : HUBUNGAN INFORMASI, MOTIVASI DAN KETERAMPILAN BERPERILAKU DENGAN TINDAKAN PENGGUNAAN KONDOM PADA LSL UNTUK MENCEGAH HIV/AIDS DI
WILAYAH KERJA KLINIK VETERAN MEDAN TAHUN 2012
Nama Mahasiswa : Ety Sofia Ramadhan Nomor Induk Mahasiswa : 107032077
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H) (drh. Hiswani, M.Kes) Ketua Anggota
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 10 Oktober 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H. Anggota : 1. drh. Hiswani, M.Kes
2. Drs. Tukiman, M.K.M.
PERNYATAAN
HUBUNGAN INFORMASI, MOTIVASI DAN KETERAMPILAN BERPERILAKU DENGAN TINDAKAN PENGGUNAAN
KONDOM PADA LSL UNTUK MENCEGAH HIV/AIDS DI WILAYAH KERJA KLINIK
VETERAN TAHUN 2012
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2012
ABSTRAK
Berdasarkan data dari Kemenkes RI tahun 2011, jumlah kasus HIV tahun 2011 meningkat 24,48 kali dibanding tahun 2005, Penyebab penularan HIV paling tinggi adalah melalui hubungan seksual (70-80%). Salah satu kelompok yang berperilaku seksual berisiko tersebut adalah Lelaki Suka Seks Lelaki (LSL) dengan kasus HIV sebanyak 4,8%. Hal ini diperparah dengan masih rendahnya pemakaian kondom secara konsisten pada kelompok-kelompok berperilaku seksual berisiko. dimana pemakaian kondom konsisten hanya 22%, Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana hubungan Informasi, Motivasi dan Keterampilan Berperilaku dengan tindakan penggunaan kondom pada LSL untuk mencegah HIV/AIDS di wilayah kerja klinik Veteran Medan.
Desain penelitian ini adalah cross sectional. Sampel berjumlah 96 orang dan diperoleh secara consecutive sampling. Dilakukan Analisis Univariat, analisis Bivariat dengan Uji statistik yang dipakai adalah chi square. Hubungan antara variabel bebas dan terikat ditentukan berdasarkan Prevalence Ratio (PR) pada Confidence Interval (CI) 95%, kemudian dilakukan analisis multivariat dengan regresi logistik berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi penggunaan kondom pada LSL masih rendah (34,4%). Uji statistik chi-square menunjukkan ketiga variabel berhubungan signifikan dengan tindakan penggunaan kondom yaitu variabel Informasi (RP=5,838), Motivasi (RP=2,571), Keterampilan Berperilaku (RP=2,064) Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa Informasi merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan tindakan penggunaan kondom pada LSL di wilayah kerja Klinik Veteran Tahun 2012.
Rekomendasi untuk meningkatkan tindakan penggunaan kondom di kalangan LSL adalah dengan penyebarluasan Informasi yang berkaitan dengan HIV/AIDS pada kelompok yang berisiko, peningkatan motivasi dan kemampuan LSL dalam negosiasi penggunaan kondom, penyadaran penggunaan kondom bagi LSL serta peran semua pihak untuk mendukung kegiatan yang lebih bermanfaat bagi LSL itu sendiri dan melindungi orang lain dari HIV.
ABSTRACT
Base on the data of the Indonesian Ministry of health in 2011, The number of cases of HIV in 2011 increased 24,48 times as much as that of 2005. The main cause of HIV spread is through sexual intercourse (70-80%). One of the sexual-risk behavior group is the Man Sex Man (MSM) with case of HIV 4,8%. This becomes worse due to the less consistent use condom in the group with sexually risked behavior, in which the consistent use of condom only 22%. The purpose of this descriptive study with cross-sectional design was to describe the relationship between information, motivation and skill of behavior and the act of using condom in MSM to prevent HIV/AIDS in the working area of Veteran Clinic Medan.
The samples for this study were 96 persons selected through consecutive sampling technique. The data of obtained were analyzed through univariate analysis and bivariate analysis with Chi-square test. The relationship between independent and dependent variables was determined based on Prevalence Ration (PR) at Confidence Interval (CI) 95% then this relationship was analyzed through multivariate with multiple logistic regression tests.
The result of this study showed that the proportion of the use of condom in MSM was still low (34.4%). Statistically, The result of Chi-square test showed that the there variables, namely, Information (PR = 5.838 ), Motivation (PR = 2.571), and Skill of Behavior (PR = 2.064) had a significant relationship with the act of using condom in the MSM. The result of multiple logistic regression test showed that Information was the most dominant factor related to the act of using condom in the MSM in the working area of Veteran Clinic in 2012.
To increase the act using condom in the MSM, it is recommended that the Information related to HIV/AIDS should be socialized, Motivation and ability of the MSM in negotiating the use of condom should be improved, and the awareness of using condom in the MSM and the role of all of the parties involved in supporting the more useful activity should also be increased for MSM and protected the other people from HIV.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tiada henti-hentinya dan tak terhingga Penulis ucapkan
kepada Allah SWT atas berkah dan rahmat serta pertolongan-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Hubungan Informasi, Motivasi dan
Keterampilan Berperilaku dengan Tindakan Penggunaan Kondom pada LSL untuk
Mencegah HIV/AIDS di Wilayah Kerja Klinik Veteran Medan Tahun 2012”.
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat
dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan baik moral maupun material dari banyak
pihak. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
4. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H. selaku ketua komisi pembimbing yang
dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan
meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga
penulisan tesis selesai.
5. drh. Hiswani, M.Kes selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh
perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu
untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
6. Drs. Tukiman, M.K.M dan dr. Muhammad Rusda, Sp.OG (K) sebagai komisi
penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan
penulisan tesis ini.
7. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
8. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, dr. R.r Siti Hatati Surjantini,
M.Kes dan Sekretaris Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, drg.
Wahid Khusyairi, M.Kes yang telah berkenan memberikan izin penulis
melakukan penelitian di lingkungan kerja Dinas Kesehatan Medan.
9. Andi Ilham Lubis, SKM, M.K.M, Project Officer Global Fund Komponen AIDS
Sumatera Utara, Kepala Klinik Veteran Medan, dr. Yulia Maryani dan staf
Klinik Veteran ( Ibu Odi, Ibu Afni, Tari, Satri dan Trisna) serta Ferry, Mas Adi,
Bang Herman dan Lala yang dengan penuh keikhlasan membantu penulis dalam
10. Rekan di FHI, dek Gita, yang telah membantu penulis menyediakan referensi dan
rujukan buku-buku keperluan penelitian.
11. Rekan-rekan mahasiswa S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi
Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi tahun 2010 yang telah
memberikan semangat dalam menyelesaikan pendidikan di Program Magister
IKM FKM-USU.
Ucapan terima kasih paling istimewa penulis hadiahkan kepada orang tua
tercinta, Alm. Bpk. D.N Meidi dan Ibu Rusmi, Suami tercinta Yadi Hermanto,
anak-anakku tersayang, Adit, Agung, Vira dan Adek Ageng atas cinta, dukungan dan doa
yang tidak pernah putus kepada penulis.
Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan,
semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan bagi peneliti selanjutnya.
Medan, Oktober 2012 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Ety Sofia Ramadhan, lahir pada tanggal 18 November 1969 di Medan, anak
keempat dari delapan bersaudara dari pasangan ayahanda Alm. D.N. Meidi dan
ibunda Rusmi.
Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri
No.060868/71 Medan, selesai tahun 1981, Sekolah Menengah Pertama di SMP
Negeri 12 Medan, selesai tahun 1984, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 9
Medan, selesai tahun 1987, S-1 Kedokteran Gigi USU, selesai tahun 1993.
Penulis bekerja Sebagai Staff Pengajar di Sekolah Pengatur Rawat Gigi
(SPRG) Depkes RI Banda Aceh dari tahun 1993 sampai tahun 1998, di SPRG
Depkes RI Medan tahun 1998 yang kemudian berkompersi menjadi Politeknik
Kesehatan Medan, Kementerian Kesehatan RI sampai dengan sekarang.
Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT……….. ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP………. vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL……….. x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ………. xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Hipotesis ... 8
1.5. Manfaat Penelitian ... 8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1. HIV/AIDS ... 10
2.1.1. Pengertian HIV/AIDS ... 10
2.1.2. Epidemi HIV/AIDS ... 10
2.1.3. Etiologi dan Patogenesis ... 13
2.1.4. Gejala Klinis ... 14
2.1.5. Penularan ... 15
2.1.6. Diagnosis ... 18
2.1.7. Pencegahan ... 19
2.2. Perilaku ... 27
2.2.1. Pengertian Perilaku ... 27
2.2.2. Determinan Perilaku Kesehatan ... 28
2.2.3. Determinan Perilaku Terkait Penelitian ... 31
2.3.Kondom ... 36
2.3.1. Pengertian dan Sejarah Kondom ... 36
2.3.2. Jenis-Jenis Kondom ... 39
2.3.3. Efektifitas Kondom ... 41
2.4.Landasan Teori ... 43
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 46
3.1. Jenis Penelitian ... 46
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46
3.3. Populasi dan Sampel ... 46
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 48
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 51
3.5.1. Variabel Independen ... 51
3.5.2. Variabel Dependen ... 52
3.6. Metode Pengukuran ... 52
3.6.1. Variabel Independen ... 52
3.6.2. Variabel Dependen ... 53
3.7. Metode Analisis Data ... 54
3.7.1. Analisis Univariat... 54
3.7.2. Analisis Bivariat ... 54
3.7.3. Analisis Multivariat ... 55
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 56
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 56
4.2. Analisis Univariat ... 58
4.2.1. Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Informasi di Wilayah Kerja Klinik Veteran Medan Tahun 2012 ... 58
4.2.2. Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Motivasi di Wilayah Kerja Klinik Veteran Medan Tahun 2012 ... 64
4.2.3. Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Keterampilan Berperilaku di Wilayah Kerja Klinik Veteran Tahun 2012 ... 66
4.2.4. Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Tindakan Penggunaan Kondom di Wilayah Kerja Klinik Veteran Tahun 2012 ... 69
4.3. Analisis Bivariat ... 70
4.3.1. Hubungan Informasi dengan Tindakan Penggunaan Kondom ... 70
4.3.2. Hubungan Motivasi dengan Tindakan Penggunaan Kondom ... 71
4.3.3. Hubungan Keterampilan Berperilaku dengan Tindakan Penggunaan Kondom ... 72
4.4. Analisis Multivariat ... 73
BAB 5. PEMBAHASAN ... 76
5.1 Tindakan Penggunaan Kondom ... 76
5.2 Analisis Bivariat ... 78
5.2.1 Informasi ... 78
5.2.2 Motivasi ... 79
5.3 Analisis Multivariat ... 82
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 86
6.1 Kesimpulan ... 86
6.2 Saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 88
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1 Hasil Uji Validitas ... 49
3.2 Hasil Uji Reliabilitas ... 50
4.1 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Informasi di Wilayah
Kerja Klinik Veteran Tahun 2012 ... 61
4.2 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Kategori Informasi
di Wilayah Kerja Klinik Veteran Tahun 2012 ... 63
4.3 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Motivasi
di Wilayah Kerja Klinik Veteran Tahun 2012 ... 65
4.4 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Kategori Motivasi
di Wilayah Kerja Klinik Veteran Tahun 2012 ... 66
4.5 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Keterampilan
Berperilaku di Wilayah Kerja Klinik Veteran Tahun 2012 ... 67
4.6 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Kategori Keterampilan
Berperilaku di Wilayah Kerja Klinik Veteran Tahun 2012 ... 69
4.7 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Penggunaan Kondom
di Wilayah Kerja Klinik Veteran Tahun 2012 ... 69
4.8 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Kategori Penggunaan
Kondom di Wilayah Kerja Klinik Veteran Tahun 2012 ... 70
4.9 Hubungan Informasi dengan Tindakan Penggunaan Kondom
di Wilayah Kerja Klinik Veteran Tahun 2012 ... 71
4.10 Hubungan Motivasi dengan Tindakan Penggunaan Kondom
di Wilayah Kerja Klinik Veteran Tahun 2012 ... 72
4.11 Hubungan Keterampilan Berperilaku dengan Tindakan Penggunaan
4.12 Seleksi Variabel yang Berhubungan dengan Tindakan Penggunaan
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Jumlah Kasus HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2005-2011 ... 12
2.2 Bagan Precede Lawrence W. Greean ... 29
2.3 Kondom Laki-laki ... 39
2.4. Information-Motivation-Behavioral Skills Model (IMB Model) ... 44
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Daftar Singkatan... 92
2 Kuesioner Penelitian ... 95
3 Master Data ... 101
4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 104
5 Hasil Univariat ... 107
6 Frekuensi Tabel Kategori ... 112
7 Hasil Bivariat ... 113
8 Hasil Multivariat ... 116
8 Uji Normalitas dan NPar Tes ... 119
9 Surat Permohonan Izin Penelitian ... 122
ABSTRAK
Berdasarkan data dari Kemenkes RI tahun 2011, jumlah kasus HIV tahun 2011 meningkat 24,48 kali dibanding tahun 2005, Penyebab penularan HIV paling tinggi adalah melalui hubungan seksual (70-80%). Salah satu kelompok yang berperilaku seksual berisiko tersebut adalah Lelaki Suka Seks Lelaki (LSL) dengan kasus HIV sebanyak 4,8%. Hal ini diperparah dengan masih rendahnya pemakaian kondom secara konsisten pada kelompok-kelompok berperilaku seksual berisiko. dimana pemakaian kondom konsisten hanya 22%, Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana hubungan Informasi, Motivasi dan Keterampilan Berperilaku dengan tindakan penggunaan kondom pada LSL untuk mencegah HIV/AIDS di wilayah kerja klinik Veteran Medan.
Desain penelitian ini adalah cross sectional. Sampel berjumlah 96 orang dan diperoleh secara consecutive sampling. Dilakukan Analisis Univariat, analisis Bivariat dengan Uji statistik yang dipakai adalah chi square. Hubungan antara variabel bebas dan terikat ditentukan berdasarkan Prevalence Ratio (PR) pada Confidence Interval (CI) 95%, kemudian dilakukan analisis multivariat dengan regresi logistik berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi penggunaan kondom pada LSL masih rendah (34,4%). Uji statistik chi-square menunjukkan ketiga variabel berhubungan signifikan dengan tindakan penggunaan kondom yaitu variabel Informasi (RP=5,838), Motivasi (RP=2,571), Keterampilan Berperilaku (RP=2,064) Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa Informasi merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan tindakan penggunaan kondom pada LSL di wilayah kerja Klinik Veteran Tahun 2012.
Rekomendasi untuk meningkatkan tindakan penggunaan kondom di kalangan LSL adalah dengan penyebarluasan Informasi yang berkaitan dengan HIV/AIDS pada kelompok yang berisiko, peningkatan motivasi dan kemampuan LSL dalam negosiasi penggunaan kondom, penyadaran penggunaan kondom bagi LSL serta peran semua pihak untuk mendukung kegiatan yang lebih bermanfaat bagi LSL itu sendiri dan melindungi orang lain dari HIV.
ABSTRACT
Base on the data of the Indonesian Ministry of health in 2011, The number of cases of HIV in 2011 increased 24,48 times as much as that of 2005. The main cause of HIV spread is through sexual intercourse (70-80%). One of the sexual-risk behavior group is the Man Sex Man (MSM) with case of HIV 4,8%. This becomes worse due to the less consistent use condom in the group with sexually risked behavior, in which the consistent use of condom only 22%. The purpose of this descriptive study with cross-sectional design was to describe the relationship between information, motivation and skill of behavior and the act of using condom in MSM to prevent HIV/AIDS in the working area of Veteran Clinic Medan.
The samples for this study were 96 persons selected through consecutive sampling technique. The data of obtained were analyzed through univariate analysis and bivariate analysis with Chi-square test. The relationship between independent and dependent variables was determined based on Prevalence Ration (PR) at Confidence Interval (CI) 95% then this relationship was analyzed through multivariate with multiple logistic regression tests.
The result of this study showed that the proportion of the use of condom in MSM was still low (34.4%). Statistically, The result of Chi-square test showed that the there variables, namely, Information (PR = 5.838 ), Motivation (PR = 2.571), and Skill of Behavior (PR = 2.064) had a significant relationship with the act of using condom in the MSM. The result of multiple logistic regression test showed that Information was the most dominant factor related to the act of using condom in the MSM in the working area of Veteran Clinic in 2012.
To increase the act using condom in the MSM, it is recommended that the Information related to HIV/AIDS should be socialized, Motivation and ability of the MSM in negotiating the use of condom should be improved, and the awareness of using condom in the MSM and the role of all of the parties involved in supporting the more useful activity should also be increased for MSM and protected the other people from HIV.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency
Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini
berkembang secara pandemik. Obat dan Vaksin untuk mengatasi masalah tersebut
belum ditemukan, yang dapat mengakibatkan kerugian tidak hanya di bidang
kesehatan tetapi juga di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya dan demografi
(Depkes RI 2006).
Berdasarkan case report United Nations Programme on HIV/AIDS
(UNAIDS) tahun 2011 jumlah orang yang terjangkit HIV didunia sampai akhir tahun
2010 terdapat 34 juta orang, dua pertiganya tinggal di Afrika kawasan Selatan Sahara,
di kawasan itu kasus infeksi baru mencapai 70 persen, di Afrika Selatan 5,6 juta
orang terinfeksi HIV, di Eropa Tengah dan Barat jumlah kasus infeksi baru
HIV/AIDS sekitar 840 ribu, di Jerman secara kumulasi ada 73 ribu orang, kawasan
Asia Pasifik merupakan urutan kedua terbesar di dunia setelah Afrika Selatan dimana
terdapat 5 juta penderita HIV/AIDS.
Menurut World Health Organization (WHO) dilaporkan bahwa pada tahun
2011 terdapat 3,5 juta orang di Asia Tenggara hidup dengan HIV/AIDS. Beberapa
Negara seperti Myanmar, Nepal dan Thailand menunjukkan Tren penurunan untuk
pencegahan HIV/AIDS melalui program Condom use 100 persen (CUP). Trend
kematian yang disebabkan oleh AIDS antara tahun 2001 sampai 2010 berbeda
disetiap bagian Negara. Di Eropa Timur dan Asia Tengah sejumlah orang meninggal
karena AIDS meningkat dari 7.800 menjadi 90.000, di Timur Tengah dan Afrika
Utara meningkat dari 22.000 menjadi 35.000, di Asia Timur juga meningkat dari
24.000 menjadi 56.000 (WHO, Progress Report 2011).
Di setiap wilayah di dunia, prevalensi HIV 5% atau lebih terjadi pada
laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki-laki-laki, pekerja seks dan orang-orang
transgender, kasus ini tidak hanya di negara yang dikenal memiliki epidemi
terkonsentrasi tetapi juga di negara-negara sebagian besar di timur dan selatan Afrika
( Report UNAIDS, 2011). Sebuah studi multi-kota di Amerika Serikat ditemukan
bahwa 1 dari 5 laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lainnya terinfeksi
HIV. Di Amerika Latin, seks antara laki-laki adalah perjalanan utama penularan
HIV, prevalensi HIV di beberapa kota di Kolombia berkisar antara 10% sampai 25% .
Di Asia, tingkat prevalensi HIV diantara laki-laki yang berhubungan seks dengan
laki-laki telah mencapai 18% (Peter Piot, Forum Global 2008)
Laporan Kementerian Kesehatan RI tentang perkembangan HIV/AIDS di
Indonesia pada Triwulan IV (dari bulan Oktober sampai dengan Desember tahun
2011) jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 5.442 kasus, rasio kasus HIV
antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1, persentase faktor risiko HIV tertinggi
adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (49,5%), penggunaan jarum
Lelaki suka seks Lelaki (LSL) (5,7%). Jumlah kasus baru AIDS sebanyak 2.357
kasus, Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1, persentase
faktor risiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual
(65,0%), penggunaan jarum suntik tidak steril pada Penasun (25,9%), pada LSL
(4,8%) dan dari Ibu (positif HIV) ke anak (2,2%).
Berdasarkan data dari bulan Januari sampai Desember tahun 2011, di
Indonesia jumlah kasus baru HIV yang dilaporkan sebanyak 21.031 kasus.
Berdasarkan data yang ada saat ini dibandingkan dengan tahun 2010 terjadi
penurunan sebanyak 560 kasus (tahun 2010 : 21.591 kasus). Jumlah kasus AIDS
dilaporkan sebanyak 4.162 kasus, dibandingkan tahun 2010 juga terjadi penurunan
kasus AIDS sebanyak 1.582 kasus (tahun 2010 : 5.774 kasus). Angka Kematian/Case
Fatality Rate (CFR) AIDS menurun dari 4,5% pada tahun 2010 menjadi 2,4% pada
tahun 2011. Rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan juni 2011 adalah
11,09 per 100.000 penduduk (berdasarkan data BPS 2011, jumlah penduduk
Indonesia 238.893.400 jiwa. Sampai dengan 2011, sebanyak 368 kabupaten/kota di
Indonesia tertular HIV/AIDS, yang tidak ditemukan/belum dilaporkan kasus
HIV/AIDS sebanyak 130 kabupaten/kota.
Jumlah kasus HIV di Sumatera Utara pada tahun 2011 terdapat 1.251 kasus,
jumlah kumulatif AIDS s/d 2011 ada 515 kasus, di kota Medan jumlah kasus
HIV/AIDS dari tahun 2006 sampai tahun 2011 terdapat 2.904 penderita (HIV 2.153
/AIDS 751) , diantaranya terjadi pada kelompok Homoseksual (3,68%), berdasarkan
usia pada umur 25-34 tahun prevalensi paling tinggi (57%), CFR (18,53%) (Komisi
Penanggulangan AIDS kota Medan, 2011).
Klinik Veteran merupakan salah satu dari beberapa tempat yang memberi
layanan konseling dan tes HIV di Indonesia, Klinik Veteran berada dibawah naungan
Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, terletak di kota Medan tepatnya di jalan
Veteran Medan, Klinik Veteran merupakan klinik Infeksi Menular seksual dan klinik
VCT (Voluntary Counselling Testing), Berdasarkan Data layanan konseling dan tes
HIV di Klinik Veteran Medan tahun 2011, jumlah yang berkunjung ke layanan 339,
jumlah yang di tes HIV 338, berdasarkan hasil tes jumlah yang positif menderita HIV
ada 16 orang (4,7%) (Kemenkes RI, 2011). berdasarkan data yang ada di Klinik
Veteran selama bulan Januari sampai April 2012, dari seluruh LSL yang datang
berobat ke klinik yang positif HIV sebanyak 4,82%.
Widoyono (2005) menjelaskan bahwa penularan kasus HIV/AIDS
disebabkan hubungan seksual (70-80%). Kasus HIV/AIDS terus mengalami
peningkatan, fenomena peningkatan dan penyebaran kasus yang terjadi pada
kelompok risiko tinggi demikian cepat. Salah satu kelompok risiko tinggi adalah LSL
(KPAN 2011), Risiko LSL terkena AIDS lebih besar daripada bila lelaki
berpasangan seks dengan wanita karena seks anal yang dilakukan oleh LSL akan
memungkinkan terjadinya luka pada rectum disebabkan tidak adanya cairan lubrican
seperti yang ada pada vagina, ditambah lagi mengingat daya serap rectum yang besar
maka deposisi semen dalam rectum tersebut dapat mengakibatkan resiko yang tinggi
Lelaki suka Seks dengan Lelaki (LSL) adalah pria yang mengakui dirinya
sebagai orang yang biseksual/homoseksual. LSL cenderung memiliki banyak
pasangan seks, baik laki-laki maupun perempuan dan banyak diantara mereka juga
membeli dan menjual seks, mereka mengaku berhubungan seks dengan banyak
pasangan dalam tahun terakhir, baik perempuan maupun laki-laki. Hampir 87% LSL
melakukan seks kasual (tanpa memberi atau menerima pembayaran) dengan pasangan
pria dan 40% dengan pasangan wanita dalam setahun. Hanya 16% melakukan seks
dengan Waria dalam setahun. Sebanyak 20% mengaku membeli seks dari lelaki lain
dan 47% menjual seks kepada lelaki dalam tahun terakhir, sedangkan yang membeli
dan menjual dengan wanita terakhir masing-masing 10% dan 14%. Sepertiga LSL
melaporkan memiliki pasangan pria tetap dan 16% memiliki pasangan wanita tetap,
dan 22% pasangan tetapnya memiliki pasangan lain.
Jaringan seksual yang luas ini meningkatkan risiko penularan pada LSL dan
pasangan seksualnya. Jika ada LSL yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya
sekaligus maka LSL itu pun menyebarkan HIV di komunitasnya. Yang beristri
menularkan ke istrinya, perempuan lain atau PSK. Jika istrinya tertular HIV maka ada
pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak ketika di
kandungan, saat persalinan atau menyusui dengan air susu ibu (ASI). Karena hal itu
LSL dikhawatirkan akan menjadi salah satu mata rantai penyebaran HIV yang
potensial (Survey Terpadu Biologis Perilaku (STBP), 2007).
Berdasarkan data Komisi penanggulangan AIDS (KPA) Propinsi Sumatera
sendiri terdapat 6.348 orang LSL yang tersebar dibeberapa Kecamatan kota Medan,
fenomena gunung es juga berlaku pada komunitas ini, dalam kenyataannya di
masyarakat komunitas ini terselubung dan lebih tertutup keberadaannya, hal ini
sangat menjadi kekhawatiran akan dapat meningkatnya risiko seseorang yang
berhubungan seks dengannya terkena HIV/AIDS.
Walaupun HIV/AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme, namun ternyata dalam penyebarannya sangat dipengaruhi oleh pola
perilaku dan gaya hidup seseorang (Yuwono, 2007 dalam Widodo, E. 2009). Upaya
pencegahan HIV/AIDS terutama didasarkan pada upaya untuk melakukan perubahan
perilaku seksual seseorang yang berisiko tertular dan Promosi penggunaan kondom
(Depkes RI, 2010).
Penelitian yang dilakukan Herman (1992) diperkirakan kondom 10.000 kali
memberi perlindungan terhadap paparan HIV selama hubungan seksual dari pada
tidak menggunakan kondom. Pada penelitian Devincenzy (1994) menyimpulkan
penggunaan kondom secara konsisten mempunyai kemampuan mencegah transmisi
HIV sebesar 90% ( Kalicchman, 1998).
Berdasarkan laporan Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP)
tahun 2011 pada LSL, Prevalensi HIV tertinggi di kota Jakarta (17%) dan terendah di
kota Semarang (2,4%). Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian HIV adalah
penggunaan kondom konsisten selama sebulan terakhir. Sebanyak 88% LSL
mengaku pernah menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seks anal
terakhir dengan pria, dan 22% menggunakan kondom secara konsisten pada seks anal
1 bulan terakhir. Kurang dari satupertiga LSL menggunakan kondom secara konsisten
pada setiap tipe pasangan seksualnya.
Berdasarkan laporan dari Klinik Veteran Medan, persentase penggunaan
kondom dalam praktek berhubungan seksual pada pasien yang datang ke klinik
Veteran tahun 2011, persentase rata-rata yang selalu menggunakan kondom
(19,10%), persentase rata-rata yang kadang-kadang menggunakan kondom (19,40%),
persentase rata-rata tidak pernah/tidak menjawab saat ditanya menggunakan kondom
(63,70%), LSL yang selalu menggunakan kondom 23%.
Menurut Fisher dan Fisher (1992) perilaku pencegahan seseorang terhadap
penyakit dipengaruhi oleh berbagai faktor. Berdasarkan
Information-Motivation-Behavioral Skills Model (IMB model) yang dikembangkannya, Fisher dan Fisher
berpendapat bahwa informasi, motivasi, dan keterampilan berperilaku merupakan
faktor utama yang dapat mempengaruhi perilaku pencegahan seseorang terhadap
HIV/AIDS (Kalichman, 1998).
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
hubungan informasi, motivasi dan keterampilan berperilaku dengan tindakan
penggunaan kondom pada LSL untuk mencegah HIV/AIDS di wilayah kerja Klinik
1.2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah masih rendahnya penggunaan
kondom untuk mencegah HIV/AIDS pada LSL yang berkunjung ke Klinik Veteran
Medan tahun 2011.
1.3. Tujuan Penelitian
Menganalisis hubungan informasi, motivasi dan keterampilan berperilaku
dengan tindakan penggunaan kondom pada LSL untuk mencegah HIV/AIDS di
wilayah kerja Klinik Veteran Medan tahun 2012.
1.4. Hipotesis
Informasi, motivasi dan keterampilan berperilaku berhubungan dengan
tindakan penggunaan kondom untuk mencegah HIV/AIDS di wilayah kerja Klinik
Veteran Medan tahun 2012.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1 Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kotamadya Medan dalam
menentukan kebijakan untuk pencegahan HIV/AIDS.
1.5.2 Sebagai bahan masukan bagi instansi dan stakeholder terkait dalam
meningkatkan penyuluhan KIE terutama dalam perilaku penggunaan
kondom dikalangan yang berisiko terkena HIV/AIDS juga sebagai referensi
1.5.3 Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HIV/AIDS
2.1.1. Pengertian HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis virus yang tergolong
familia retrovirus, sel-sel darah putih yang diserang oleh HIV pada penderita yang
terinfeksi adalah sel-sel limfosit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem imun
(kekebalan) tubuh. HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya dan
merusak sel-sel tersebut, sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan daya
tahan tubuh berangsur-angsur menurun (Daili, F.S., 2009).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan
gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh, bukan penyakit bawaan tetapi
dibuat dari hasil penularan. Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency
Virus (HIV). Penyakit ini telah menjadi masalah Internasional karena dalam waktu
yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah pasien dan semakin melanda banyak
Negara. Saat ini belum ditemukan vaksin atau obat yang efektif untuk pencegahan
HIV/AIDS sehingga menimbulkan keresahan di dunia (Widoyono, 2005).
2.1.2. Epidemi HIV/AIDS a. Epidemi Global
Sejarah tentang HIV/AIDS dimulai ketika tahun 1979 di Amerika Serikat
dengan Sarcoma Kaposi. Pada tahun 1981 ditemukan seorang gay muda dengan
kerusakan sistem kekebalan tubuh.
Di Amerika Utara dan Inggris, epidemik pertama terjadi pada kelompok
laki-laki homoseksual, selanjutnya pada saat ini epidemik terjadi juga pada pengguna obat
suntikan dan pada populasi heteroseksual. Seks tanpa kondom adalah modus utama
penularan HIV di Karibia. Survey menunjukkan persentase prevalensi HIV pada
beberapa kelompok yaitu : 80-90% PSK, 30% kelompok laki-laki konsumennya, 30%
pada kelompok mereka yang datang berobat di klinik penyakit menular seksual, 10%
pada pendonor darah dan 10% pada kelompok wanita yang diperiksa di klinik
perawatan antenatal. Sampai dengan tahun 2010 jumlah penderita HIV di seluruh
dunia sebanyak 34 juta orang (UNAIDS, 2011).
Men Sex Men (MSM) Report World Bank (2011) melaporkan Di seluruh
dunia diperkirakan bahwa seks antar laki-laki termasuk kelompok penyumbang
kejadian infeksi HIV, situasinya bervariasi antar negara, tahun 2008 di Mexico
(25,60%), Jamaica (31,80%), pada tahun 2005 di Thailand tepatnya di Bangkok
(28,3%). Penelitian yang lain di Indonesia (4%), Bangladest (7,5%), Srilanka (7,5%),
Nepal (7,5%) (Adam et al (2009), dalam World Bank (2011)).
b. Epidemi HIV/AIDS di Indonesia
Di Indonesia, HIV pertama kali dilaporkan di Bali pada bulan April 1987,
terjdi pada orang berkebangsaan Belanda. Sejak pertama kali ditemukan sampai
dengan tahun 2011, kasus HIV/AIDS tersebar di 368 (73,9%) dari 498
HIV/AIDS terus meningkat, berikut disajikan data kasus HIV/AIDS di Indonesia
berdasarkan laporan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011.
Gambar 2.1 Jumlah Kasus HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2005-2011 (Kemenkes RI, 2011)
Kasus HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun terutama dari tahun
2009 ke tahun 2010 terjadi peningkatan yang cukup tajam hal ini disebabkan sudah
semakin baiknya teknologi informasi sehingga pencatatan dan pelaporan kasus
HIV/AIDS yang terjadi di masyarakat sudah semakin baik, serta kerjasama yang baik
dari pemerintah dan masyarakat sehingga populasi komunitas yang beresiko dapat
dijangkau dan diketahui. Kemudian di tahun 2011 terjadi sedikit penurunan kasus
HIV/AIDS hal ini dapat disebabkan penderita yang sudah meninggal dunia dan efek
dari diperkenalkan dan dijalankannya program CUP (Condom Use 100 Persen).
Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang dilaporkan sampai dengan tahun
[image:32.612.150.469.175.379.2]tertinggi yaitu DKI Jakarta (19.899 kasus), diikuti Jawa Timur (9.950 kasus), Papua
(7.085 kasus), Jawa Barat (5.741 kasus) dan Sumatera Utara (5.027 kasus). Jumlah
kasus AIDS tertinggi yaitu DKI Jakarta (5.177 kasus), diikuti Jawa Timur (4.598
kasus), Papua (4.449 kasus), Jawa Barat (3.939 kasus) dan Bali (2.428
kasus).Persentase kasus AIDS pada laki-laki sebanyak 70,8% dan perempuan 28,2%.
Angka kematian (CFR) menurun dari 40% pada tahun 1987 menjadi 2,4% pada tahun
2011
2.1.3. Etiologi dan Patogenesis
AIDS disebabkan oleh Virus yang di sebut HIV, Virus ini ditemukan oleh
Montagnier, seorang ilmuan Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang
mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala Limfadenopati, sehingga pada
waktu itu dinamakan Lymhadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo (National
Institute of health, USA 1984) menemukan virus HTL-III (Human T Lymphotropic
Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan
bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International
Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO memberikan nama resmi HIV
(Widoyono, 2005).
Daili, F.S. (2009) menyatakan bahwa virus masuk ke dalam tubuh manusia
terutama melalui perantara darah, semen dan sekret Vagina. Sebagian besar (75%)
penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV tergolong retrovirus yang
mempunyai materi genetik RNA. Bilamana virus masuk ke dalam tubuh penderita
yang dimiliki oleh HIV. DNA pro-virus tersebut kemudian diintregasikan ke dalam
sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus.
HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai
antigen permukaan CD4, terutama sekali limfosit T4 yang memegang peranan
penting dalam mengatur dan mempertahankan system kekebalan tubuh. Selain
limfosit T4, virus juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel Langerhans
pada kulit, sel dendrite folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel
retina, sel serviks uteri dan sel-sel microglia otak. Virus yang masuk ke dalam
limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya
menghancurkan sel limfosit itu sendiri.
HIV juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur replikasi maupun
pertumbuhan virus yang baru. Salah satu gen tersebut ialah tat yang dapat
mempercepat replikasi virus sedemikian hebatnya sehingga terjadi penghancurkan
limfosit T4 secara besar-besaran yang akhirnya menyebabkan system kekebalan
tubuh menjadi lumpuh. Kelumpuhan system kekebalan tubuh ini mengakibatkan
timbulnnya infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala AIDS.
2.1.4. Gejala Klinis
Masa inkubasi 6 bulan sampai 5 tahun, Window period selama 6-8 minggu
adalah waktu saat tubuh sudah terinfeksi HIV tetapi belum terdeteksi oleh
pemeriksaan laboratorium, seorang dengan HIV dapat bertahan sampai dengan 5
klinis muncul sebagai penyakit yang tidak khas seperti : Diare, Kandidiasis mulut
yang luas, Pneumonia interstisialis limfositik, Ensefalopati kronik.
Ada beberapa gejala dan tanda mayor (menurut WHO) antara lain :kehilangan
berat badan (BB) > 10%, Diare Kronik > 1 bulan, Demam > 1 bulan. Sedangkan
tanda minornya adalah : Batuk menetap > 1 bulan, Dermatitis pruritis (gatal), Herpes
Zoster berulang, Kandidiasis orofaring, Herpes simpleks yang meluas dan berat,
Limfadenopati yang meluas. Tanda lainnya adalah : Sarkoma Kaposi yang meluas,
Meningitis kriptokokal.
Gejala AIDS timbul 5-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Beberapa orang
tidak mengalami gejala saat terinfeksi pertama kali. Sementara yang lainnya
mengalami gejala-gejala seperti flu, termasuk demam, kehilangan nafsu makan, berat
badan turun, lemah dan pembengkakan saluran getah bening. Gejala-gejala tersebut
biasanya menghilang dalam seminggu sampai sebulan, dan virus tetap ada dalam
kondisi tidak aktif (dormant) selama beberapa tahun. Namun, virus tersebut secara
terus menerus melemahkan sistem kekebalan, menyebabkan orang yang terinfeksi
semakin tidak dapat bertahan terhadap infeksi-infeksi oportunistik.
2.1.5. Penularan
Penyakit ini menular melalui berbagai cara. Antara lain melalui cairan tubuh
seperti darah, cairan genitalia, cairan sperma dan ASI. Virus terdapat juga pada
saliva, air mata dan urin tapi dengan konsentrasi yang sangat rendah. HIV tidak
Terdapat tiga cara penularan HIV yaitu :
a. Hubungan seksual; baik secara vagina, oral, maupun anal dengan seorang
pengidap. Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 70-80% dari total
kasus sedunia. Penularan lebih mudah terjadi apabila terdapat lesi penyakit
kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis,
gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis.
Dari penelitian para pakar ( Yasmin, 1987 dalam Nasution R., 1990) ternyata
bahwa pria homoseks penderita AIDS mempunyai pasangan seksual yang jauh lebih
banyak dibandingkan dengan pria homosekseks sehat, dalam penelitian ini juga
ditunjukkan bahwa pria yang melakukan hubungan seksual melalui anus lebih mudah
terinfeksi. Tampaknya hubungan homoseksual merupakan cara yang paling
berbahaya karena ternyata 90% mitra seksual orang-orang dengan HIV positif
mengalami penularan (Montagnier, 1987 dalam Nasution R., 1990).
Risiko pada seks anal lebih besar dibanding seks vagina, dan risiko lebih besar
pada receptive daripada insertive. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Cáceres & van Griensven, (1994); Ostrow, DiFranceisci, Chmeil, Wagstaff, & Wesch
(1995) bahwa risiko yang ditimbulkan kepada mitra insertif selama hubungan anal
jauh lebih rendah dari risiko terhadap mitra reseptif. Diantara beberapa pola
penularan yang biasa terjadi, yang paling sering adalah hubungan seksual (95%)
(Kalicchman 1998).
Secara teoritis cara penularan melalui hubungan seksual yang paling rawan
terjadinya luka pada rektum. Teknik ini pada dunia barat diperkirakan lebih sering
dilakukan oleh kaum homoseksual, ditambah lagi bila tidak memakai pelindung
(kondom) dalam praktek hubungan seksualnya. . Di berbagai macam sampel dan
metodologi penelitian, studi menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari pria
melaporkan melakukan hubungan seks anal terakhir tanpa kondom (Kelly, St
Lawrence, & Brasfield, 1991; Lemp et al, 1994;.. Ostrow et al, 1995 dalam
Kalicchman 1998). sehingga dapat dimengerti jika insiden pada kelompok ini relatif
tinggi
b. Kontak langsung dengan darah atau produk darah/jarum suntik;
b.1 Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya sangat tinggi
sampai 90%. Ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia
b.2 Pemakaian jarum suntik tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik dan
sempritnya pada para pecandu narkotika suntik. Risikonya sekitar 0,5-1%
dan terdapat 5-10% dari total kasus sedunia
b.3 Penularan lewat kecelakaan, tertusuk jarum pada petuga kesehatan,
risikonya kurang dari 0,5% dan telah terdapat 0,1% dari total kasus sedunia
c. Secara vertikal;, dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selama hamil,
saat melahirkan, atau setelah melahirkan. Risiko sekitar 25-40% dan angka
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis dini untuk menemukan infeksi HIV dewasa ini diperlukan
mengingat kemajuan-kemajuan yang diperoleh dalam hal pathogenesis dan
perjalanan penyakit dan juga perkembangan pengobatan.
Keuntungan menemukan diagnosis dini ialah:
a. Intervensi pengobatan fase infeksi asimtomatik dapat diperpanjang
b. Menghambat perjalanan penyakit ke arah AIDS
c. Pencegahan infeksi oportunistik, Konseling dan pendidikan untuk kesehatan umum
d. Penyembuhan (bila mungkin) hanya dapat terjadi bila pengobatan pada fase dini.
Pada orang yang akan melakukan tes HIV atas kemauan sendiri atau karena
saran dokter, terlebih dahulu perlu dilakukan konseling sebelum dilakukan tes. Bila
semua berjalan baik, maka tes HIV dapat dilaksanakan pada individu tersebut dengan
persetujuan yang bersangkutan.
Diagnosis dini ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium dengan petunjuk
dari gejala-gejala klinis atau dari adanya perilaku risiko tinggi individu tertentu.
Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 metode:
a. Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan
menggunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara
deteksi antigen virus yang makin populer belakangan ini ialah polymerase chain
b. Tidak langsung: dengan melihat respon zat anti spesifik, misalnya dengan ELISA,
Western Blot immunofluorescent assay (IFA), atau radioimmunoprecipitation
assay (RIPA).
AIDS merupakan stadium akhir infeksi HIV, penderita dinyatakan sebagai
AIDS bila dalam perkembangan infeksi HIV selanjutnya menunjukkan infeksi-infeksi
dan kanker oportunistik yang mengancam jiwa penderita, selain infeksi dan kanker
dalam penetapan CDC 1993, juga termasuk ensefalopati, sindrom kelelahan yang
berkaitan dengan AIDS dan hitungan CD4 <200/ml. CDC menetapkan kondisi
dimana infeksi HIV sudah dinyatakan sebagai AIDS.
2.1.7. Pencegahan
Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah
penularan virus HIV melalui perubahan perilaku seksual yang terkenal dengan istilah
“ABC” yang telah terbukti mampu menurunkan percepatan penularan HIV, terutama
di Uganda dan beberapa negara Afrika lain. Prisnip „ABC” ini telah dipakai dan
dibakukan secara internasional, sebagai cara paling efektif mencegah HIV lewat
hubungan seksual. Prinsip “ABC” itu adalah :
“A” : Anda jauhi seks sampai anda kawin atau menjalin hubungan jangka panjang
dengan pasangan (Abstinesia)
“B” : Bersikap saling setia dengan pasangan dalam hubungan perkawinan atau
hubungan jangka panjang tetap (Be faithful)
“C” : Cegah dengan memakai kondom yang benar dan konsisten untuk penjaja seks
Untuk penularan non seksual berlaku prinsip “D” dan “E” yaitu :
“D” : Drug; “say no to drug” atau katakan tidak pada napza/narkoba
“E” : Equipment; “no sharing” jangan memakai alat suntik secara bergantian
Belum ada pengobatan untuk infeksi ini. Obat-obat anti retroviral digunakan
untuk memperpanjang hidup dan kesehatan orang yang terinfeksi. Obat-obat lain
digunakan untuk melawan infeksi oportunistik yang juga diderita.
Konsekuensi yang mungkin terjadi pada orang yang terinfeksi yaitu hampir
semua orang yang terinfeksi HIV akhirnya akan menjadi AIDS dan meninggal karena
komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan AIDS
Konsekuensi yang mungkin terjadi pada janin dan bayi yaitu 20-30% dari bayi
yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV akan terinfeksi HIV juga dan gejala-gejala
dari AIDS akan muncul dalam satu tahun pertama kelahiran. Dua puluh persen dari
bayi-bayi yang terinfeksi tersebut akan meninggal pada saat berusia 18 bulan. Obat
antiretroviral yang diberikan pada saat hamil dapat menurunkan risiko janin untuk
terinfeksi HIV dalam proporsi yang cukup besar.
Kehamilan pada ibu-ibu dengan HIV positif akan berpengaruh buruk bagi
bayinya, karena itu Ibu penderita AIDS atau HIV positif, dianjurkan untuk tidak
hamil atau bila hamil perlu dipertimbangkan secara hukum peraturan yang
memperbolehkan dilakukannya pengguguran kandungan (indikasi medis), hal ini
dengan sendirinya akan menurunkan morbiditas pada anak (Nasution,R., 1990)
Berdasarkan situasi epidemic yang dijelaskan sebelumnya, kita ketahui
rangka meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang lebih
intensif, menyeluruh, terpadu, dan terkoordinasi, dibentuklah Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) (Peraturan Presiden/Perpres RI no.75 tahun
2006). Komisi Penanggulangan AIDS Nasional berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada Presiden.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional bertugas :
a. Menetapkan kebijakan dan rencana strategis nasional serta pedoman umum
pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS.
b. Menetapkan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pelaksanaan
kegiatan.
c. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, pencegahan,
pelayanan, pemantauan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS.
d. Melakukan penyebarluasan informasi mengenai AIDS kepada berbagai media
massa, dalam kaitan dengan pemberitaan yang tepat dan tidak menimbulkan
keresahan masyarakat.
e. Melakukan kerjasama regional dan internasional dalam rangka pencegahan
dan penanggulangan AIDS.
f. Mengkoordinasikan pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan
masalah AIDS.
g. mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan pencegahan,
h. memberikan arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan
Kabupaten/Kota dalam rangka pencegahan, pengendalian, dan
penanggulangan AIDS.
Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan instansi Pemerintah Pusat maupun
instansi Pemerintah Daerah, dunia usaha, organisasi non pemerintah, organisasi
profesi, perguruan tinggi, badan Internasional, dan/atau pihak-pihak lain yang
dipandang perlu, serta melibatkan partisipasi masyarakat.
Kecenderungan epidemic HIV ke depan menggambarkan perubahan
penularan HIV, dimana selain populasi kunci (WPS, Pelanggan, LSL dan Penasun)
yang ditangani selama ini, penting pula memperhatikan peningkatan HIV pada LSL,
dengan adanya Perpres no.75 tahun 2006 tersebut menandai terjadinya intensifikasi
penanggulangan AIDS. Keanggotaan KPA Nasional diperluas dengan
mengikutsertakan masyarakat sipil. Perkembangan kebijakan-kebijakan yang terjadi
mendorong berkembangnya layanan pencegahan serta perawatan, dukungan serta
pengobatan. Cakupan program meningkat , namun ternyata masih ada kesenjangan
yang besar untuk mencapai target universal acces. Dengan adanya dukungan dana
tambahan baik di tingkat pusat maupun daerah dan bantuan internasional seperti
Global Fund, tampaknya universal acces diharapkan akan dapat dicapai sekalipun
setelah tahun 2010.
Dalam rangka menghadapi tantangan dimana cakupan dan efektifitas program
dapat dipastikan, sistem layanan kesehatan dan komunitas masih lemah, masih perlu
peningkatan tata kelola kepemerintahan yang baik, masih perlu peningkatan
lingkungan kondusif. Maka KPAN menyusun suatu Strategi dan Rencana Aksi
Nasional (SRAN) penanggulangan HIV/AIDS 2010-2014, Strategi ditujukan untuk
mencegah dan mengurangi resiko penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup, serta
mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu,
keluarga dan masyarakat, agar individu dan masyarakat menjadi produktif dan
bermanfaat untuk pembangunan. Skenario SRAN ini pada 2014 adalah bahwa 80%
populasi kunci terjangkau oleh program yang efektif dan 60% populasi kunci
berperilaku aman.
Kerangka program SRAN penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010-2014
terdiri atas empat area yaitu :
a. Pencegahan. Kegiatan pokok : Pencegahan penularan HIV melalui transmisi
seksual, melalui alat suntik, pencegahan penularan di lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan, pencegahan penularan HIV dari ibu ke
bayi, pencegahan penularan dikalangan pelanggan pekerja seks melalui
tempat kerja, pencegahan penularan HIV pada pelanggan di kalangan pekerja
imigran dan orang muda beresiko usia 15-24 tahun.
b. Perawatan, dukungan dan Pengobatan. Kegiatan pokok : Penguatan dan
pengembangan layanan kesehatan serta koordinasi antar layanan, pencegahan
dan pengobatan infeksi oportunistik, pengobatan antiretroviral (ARV),
c. Program mitigasi dampak. Kegiatan pokok : Mitigasi dampak.
d. Program peningkatan lingkungan yang kondusif. Kegiatan pokok : Penguatan
kelembagaan dan manajemen, manajemen program meliputi kegiatan
perencanaan, implementasi dan evaluasi program dengan memegang prinsip
keterbukaan informasi, peran serta dan partisipasi, sinkronisasi kebijakan,
pengembangan kebijakan baru dan mitigasi kebijakan.
Dalam SRAN juga telah diperhitungkan jumlah kebutuhan prasarana
pencegahan, perawatan dan pengobatan yang meliputi outlet kondom, layanan VCT,
layanan IMS, layanan KTS (Konselling Test Sukarela), layanan KTPK (Konselling
Test yang diprakarsai oleh Petugas Kesehatan), LJJS (Layanan Jarum Suntik Steril)
dan layanan PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon).
Sampai dengan bulan Desember 2011, sudah tersedia layanan HIV/AIDS di
Indonesia sebanyak 500 layanan KTS termasuk layanan KTPK,. 74 layanan PTRM,
194 LJJS, 643 layanan IMS dan VCT, 90 layanan Pencegahan penularan dari ibu ke
anak dan layanan 223 layanan kolaborasi TB-HIV.
Layanan konselling dan tes HIV di Sumatera Utara ada 43 layanan,
diantaranya ada 11 layanan di kota Medan, salah satunya adalah Klinik Veteran
Medan. Penanganam masalah HIV/AIDS juga harus berdasarkan pendekatan
kesehatan masyarakat melalui upaya pencegahan primer, sekunder dan tertier.
Pemerintah sendiri dalam hal ini sudah melakukan banyak program dalam
penanggulangan HIV/AIDS baik untuk kabupaten/kota yang bekerjasama dengan
Ada 6 (enam) program yang dilaksanakan untuk menanggulangi
permasalahan HIV/AIDS yaitu Program KIE (Knowledge, Information dan
Education) = BCC (Behaviour Change Communication) = KPP (Komunikasi
Perubahan Perilaku), Program Kondom 100%, Program Klinik IMS (Infeksi Menular
Seksual), Program Harm Reduction, Program VCT (Voluntary Counselling &
Testing), dan Program CST (Care, Support & Treatment Nasional, 2006).
Salah satu program tersebut yang juga merupakan kerjasama antara
pemerintah dan LSM yang sangat populer di seluruh Indonesia dan sampai saat ini
terus dikembangkan adalah program pengadaan Klinik IMS dan VCT. Salah satunya
adalah Klinik Veteran Medan. Layanan kesehatan IMS merupakan kegiatan
pemeriksaan dan pengobatan rutin masalah IMS bagi pekerja seks perempuan, pria
dan waria. Program ini dilaksanakan di Puskesmas atau klinik yang sudah ada di
wilayah terdekat dengan konsentrasi sebaran populasi beresiko. Layanan kesehatan
IMS memiliki fungsi kontrol terhadap penularan IMS agar penularan IMS dapat
dipersempit dan untuk mengendalikan laju penularan IMS-HIV/AIDS (Depkes RI,
2004). Layanan VCT mencakup pre-test konselling, testing HIV, dan post-test
konselling. Kegiatan tes dan hasil tes pasien harus dijalankan atas dasar prinsip
kerahasiaan (KPA Nasional, 2006).
Klinik Veteran sebagai klinik IMS dan VCT dibawah naungan Dinas
Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, dalam kegiatannya selain memberi pelayanan di
Klinik juga secara rutin melakukan kegiatan mobile ke lokasi lokasi prostitusi di
mengharuskan datang ke lokasi prostitusi misalnya program pemberian ARV pada
orang-orang yang berisiko. Klinik Veteran juga memberikan kondom gratis kepada
orang-orang yang berisiko.
Layanan klinik IMS pada klinik Veteran mencakup pencegahan seperti
promosi kondom dan seks aman, konselling, pemeriksaan dan pengobatan, kegiatan
penapisan untuk IMS asymptomatic, menjalankan sistem monitoring dan surveilans
serta memberikan layanan KIE tentang mitos penggunaan obat-obat bebas untuk
mencegah atau mengobati IMS.
Tujuan konselling IMS yang dilakukan Agar penderita patuh minum
obat/mengobati sesuai ketentuan, agar kembali untuk follow up secara teratur sesuai
jadwal yang ditentukan, untuk menyakinkan pentingnya pemeriksaan mitra seksual,
serta turut berusaha agar mitra tersebut bersedia diperiksa dan diobati bila perlu,
untuk mengurangi resiko penularan dengan cara abstinensia selama pemeriksaan
terakhir selesai serta tanggap dan memberikan respon cepat terhadap infeksi atau hal
lain yang mencurigakan setelah berhubungan seks.
Layanan VCT yang dilaksanakan oleh klinik Veteran mencakup pre-test
konselling, testing HIV dan post-test konselling, dengan maksud dan tujuan program
VCT untuk membantu masyarakat terutama populasi berisiko dan anggota
keluarganya untuk mengetahui status kesehatan yang berkaitan dengan HIV dimana
hasilnya dapat digunakan sebagai bahan motivasi upaya pencegahan penularan dan
2.2. Perilaku Kesehatan
2.2.1. Pengertian Perilaku Kesehatan
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis,
tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh
pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003),
merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap
stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses
adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons,
maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon.
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan
menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :
a. Perilaku tertutup (covert behavior)
Perilaku tertutup adalah respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi
pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.
Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek,
yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan
pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2010) :
a. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya).
b. Sikap (Attitude)
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,
yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.
c. Tindakan atau praktik (Practice)
Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk
bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk
terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana
dan prasarana.
2.2.2. Determinan Perilaku Kesehatan
Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010) menganalisis faktor perilaku
terdiri atas faktor pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai. Kedua,
faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik seperti
ketersediaan sarana/fasilitas, informasi. Ketiga, faktor pendorong (reinforcing
factors), yag terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok referens, seperti petugas
kesehatan, kepala kelompok atau peer group.
[image:49.612.110.529.250.532.2]
Gambar 2.2 : Bagan Precede Lawrence W. Greean
Didalam proses pembentukan dan atau perubahan perilaku dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri.
Faktor-faktor tersebut antara lain : susunan saraf pusat, persepsi, emosi, proses belajar,
lingkungan dan sebagainya. Perilaku diawali dengan dengan adanya
pengalaman-pengalaman seseorang serta faktor-faktor di luar orang tersebut (lingkungan), baik Pendidikan
Kesehatan
Predisposing Factors - Kebiasaan
- Kepercayaan - Tradisi - Pengetahuan - Sikap
Enabling Factors - Ketersediaan Fasilitas - Ketercapaian Fasilitas
Reinforcing Factors - Sikap dan Perilaku Petugas
- Peraturan Pemerintah
Non Perilaku Perilaku Masalah
fisik maupun non fisik. Kemudian pengalaman dan lingkungan tersebut diketahui,
dipersepsikan, diyakini dan sebagainya sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk
bertindak dan akhirnya terjadilah perwujudan niat yang berupa perilaku
(Notoatmodjo,2005).
Teori Informasi, Motivasi dan Behaviour (IMB) dari Fisher & Fisher
berpendapat bahwa informasi, motivasi, dan keterampilan berperilaku merupakan
faktor utama yang dapat mempengaruhi perilaku pencegahan seseorang terhadap
penyakit. Melalui informasi, motivasi, dan keterampilan berperilaku untuk
mengurangi risiko penularan, perilaku pencegahan terhadap penyakit juga lebih
mudah terwujud.
Informasi berhubungan dengan informasi tentang pengetahuan dasar
mengenai penyakit, kondisi kesehatan, maupun perilaku pencegahan yang
dianjurkan. Sementara itu motivasi dipengaruhi oleh motivasi individu dan
motivasi sosial. Motivasi individu didasarkan pada sikap terhadap perilaku
pencegahan, norma subjektif, persepsi mengenai kerentanan terhadap penyakit,
keuntungan dan hambatan dari perilaku pencegahan, 'biaya' yang ditimbulkan dari
perilaku berisiko . Motivasi sosial didasarkan pada norma sosial, persepsi
individu mengenai dukungan sosial, serta adanya saran dari orang lain.
Sementara itu keterampilan berperilaku merupakan kemampuan indvidu
untuk melakukan tindakan pencegahan, seperti kemampuan merundingkan untuk
tidak melakukan hubungan seksual, mendesak untuk menggunakan kondom,
keterampilan, alat, dan strategi untuk berperilaku yang didasarkan pada
keyakinannya (self efficacy) dan perasaan bahwa ia dapat mempengaruhi
keadaan/situasi (perceived behavioural control) untuk melakukan perilaku tersebut.
Keterampilan berperilaku merupakan prasyarat yang menentukan apakah informasi
dan motivasi yang bagus mampu mendorong tindakan pencegahan atau perubahan
perilaku yang efektif.
Model ini beranggapan bahwa informasi dan motivasi masing-masing dapat
memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku
seseorang. Pengaruh tidak langsung yaitu melalui kerja sama antara informasi dan
motivasi dengan keterampilan berperilaku. Model ini juga berpendapat bahwa
informasi dapat mempengaruhi motivasi seseorang, begitu juga sebaliknya.
2.2.3 Determinan Perilaku Terkait Penelitian
a. Informasi
Informasi, dalam hal ini adalah informasi tentang LSL yang berhubungan
dengan informasi pengetahuan dasarnya tentang HIV/AIDS, kondisi kesehatan
maupun informasi yang diketahuinya tentang pencegahan yang dianjurkan , dapat
mempengaruhi perilaku seksual seseorang. Hasil penelitian Herman Abdullah (2002)
terhadap 150 orang Gay di Denpasar dan Ujung Pandang tentang faktor-faktor yang
berhungan dengan penggunaan kondom pada sex anal menunjukkan hasil bahwa ada
hubungan pengetahuan dengan penggunaan kondom.
Menurut penelitianNurcholis Arif Budiman (2008) terhadap Wanita Pekerja
Prambanan Kabupaten Klaten terdapat faktor pengetahuan berhubungan dengan
upaya pencegahan IMS dan HIV/AIDS.
Menurut Bloom, 1968 (dalam Notoatmodjo, 2005) pengetahuan yang
tercakup dalam domain kognitif ini mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
a.1 Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan