HUBUNGAN PENGETAHUAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH
SAKIT JIWA PROVSU MEDAN
DESTINY OCTRINA BUTAR BUTAR
SKRIPSI
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Yang Maha Esa atas
berkat dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “ hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat
pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah
memberikan bantuan, bimbingan, dan dukungan dalam proses penyelesaian
skripsi ini, sebagai berikut :
1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Erniyati,SKp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara dan selaku penguji I
3. Terima Kasih kepada Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan yang telah
memberikan saya kesempatan melakukan penelitian yang mendukung
dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Sri Eka Wahyuni S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing yang
senantiasa memberikan waktu untuk membimbing dan memberikan
masukan yang berharga dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibu Wardiyah Daulay,S.Kep,Ns, M.Kep sebagai dosen penguji II yang
senantiasa memberikan waktu untuk membimbing dan memberikan
6. Terima Kasih kepada Ayahanda H. Jawakil.Butar Butar, SH, M.Hum dan
Ibunda Hj. Ir. Nurma Ani, MP tercinta yang selalu mendoakan,
menyayangiku, dan memberikan dukungan baik moril maupun materil,
serta senantiasa memberikan yang terbaik untukku. Terima kasih juga
kuucapkan untuk kakakku Dina Maya Sarah Butarbutar, SS, abangku
Denny Umri Butarbutar,SH dan adikku Devi Olisa Butarbutar yang selalu
membantuku .
7. Terima kasih kepada seseorang yang selalu membantu dan mendukungku
dalam penyelesaian skripsi ini Rahmat Aditya S.Keliat, S.Ked
8. Teman-teman Fakultas Keperawatan Jalur B stambuk 2010 khususnya Era
Zana Nisa, Faturrahma Aini dan Azizah Ummi Yanna
9. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per
satu yang telah mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT selalu mencurahkan berkat dan kasih karuniaNya
kepada semua pihak yang telah membantu mendukung penulis. Penulis menerima
saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Medan, Januari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Halaman Pengesahan ... i
Prakata ... ii
Daftar isi ... iv
Daftar Skema ... vii
Daftar Tabel ... viii
Lampiran . ... ix
Abstrak ... . x
BAB 1. Pendahuluan ... 1
1. Latar belakang ... 1
2. Tujuan Penelitian ... 5
2.1.Tujuan Umum ... 5
2.2.Tujuan Khusus ... 6
3. Pertanyaan Penelitian ... 6
4. Manfaat Penelitian ... 6
BAB 2. Tinjauan Pustaka ... 8
1. Konsep Skizofrenia ... 8
1.1.Definisi Skizofrenia ... 8
1.2.Tipe-Tipe Skizofrenia ... 8
1.3.Epidemiologi ... 14
1.4.Etiologi ... 15
2. Pengetahuan Keluarga ... 18
3. Kepatuhan ... 25
BAB 3. Kerangka Konseptual ... 32
1. Kerangka Konsep ... 32
2. Definisi Operasional ... 33
3. Hipotesa ... . 34
BAB 4. Metodologi Penelitian ... 35
1. Desain Penelitian ... 35
2. Populasi dan Sampel ... 35
3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37
4. Pertimbangan Etik ... 38
5. Instrumen Penelitian ... 38
6. Uji Validitas dan Reabilitas ... 40
7. Pengumpulan Data ... 42
8. Analisa Data ... 43
BAB 5. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian ... . 46
1.1 Karakteristik Responden ... . 46
1.2 Pengetahuan Keluarga tentang Pngobatan ... . 48
1.3Tingkat Kepatuhan Pasien Minum Obat ... . 49
2. Pembahasan ... . 50
2.1Pengetahuan Keluarga tentang pengobatan pasien Skizofrenia ... . 50
2.2Tingkat Kepatuhan Pasien Skizofrenia minum obat ... . 52
2.3 Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Tingkat Kepatuhan Minum ObatPasien Skizofrenia ... . 54
BAB 6.Kesimpulan dan Saran ... . 58
1.Kesimpulan ... . 58
2. Saran... . 59
DAFTAR SKEMA
Skema 1. Kerangka Konseptual hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat pasien
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Definisi Operasional
Tabel 5.1 Gambaran data demograsi keluarga yang salah satu anggota keluarganya berobat jalan di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan.
Tabel 5.2 Gambaran pengetahuan keluarga tentang pengobatan pasien skizofrenia di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan.
Tabel 5.3 Gambaran tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan
Lampiran
Lampiran 1 Lembar persetujuan menjadi responden
Lampiran 2 Instrumen penelitian
Lampiran 3 Tabel Distribusi Frekuensi Pengetahuan dan Kepatuhan
Lampiran 4 Curricculum Vitae
Lampiran 5 Lembar Survey awal Penelitian
Lampiran 6 Lembar Izin Survey Awal Penelitian
Lampiran 7 Lembar Pengambilan Data
Lampiran 8 Lembar Izin Pengambilan Data
Lampiran 8 Lembar Selesai Penelitian
Lampiran 10 Rencana Anggaran Penelitian
Lampiran 11 Hasil Reliabilitas, Data Demografi, dan Hasil Penelitian
Judul :Hubungan Pengetahuan Keluarga Dengan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan
Penulis : Destiny Octrina Butar Butar
Program Studi : Ilmu Keperawatan
Tahun Akademik : 2011/2012
Abstrak
Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah. Keluarga yang salah satu anggota keluarganya mengalami skizofrenia perlu mempunyai pengetahuan tentang pengobatan pasien skizofrenia.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia dengan menggunakan desain deskriptif korelasional sebagai desain penelitian. Instrumen dibuat dalam bentuk kuesioner dan dibagi dalam 2 bagian yaitu bagian untuk mengukur pengetahuan keluarga tentang pengobatan pasien skizofrenia dan bagian untuk mengukur tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia dengan menggunakan skala guttman. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 39 orang dengan menggunaka accidental sampling sebagai teknik pengambilan data. Hasil penelitian menggambarkan bahwa 56,4% responden memiliki pengetahuan yang baik mengenai pengobatan pasien skizofrenia, 43,5% responden memiliki pengetahuan sedang mengenai pengobatan pasien skizofrenia, 84,6% responden patuh dalam menjalankan pengobatan dan sebanyak 15,4% tidak patuh dalam
pengobatan. Analisa statistik korelasi Spearman dengan derajat kebebasan ( α ) = 0,05 diperoleh nilai ρ = 0,343 dan nilai p = 0,033 untuk hubungan pengetahuan dengan kepatuhan, terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia. Untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia, di pandang perlu untuk meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pasien skizofrenia.
Judul :Hubungan Pengetahuan Keluarga Dengan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan
Penulis : Destiny Octrina Butar Butar
Program Studi : Ilmu Keperawatan
Tahun Akademik : 2011/2012
Abstrak
Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah. Keluarga yang salah satu anggota keluarganya mengalami skizofrenia perlu mempunyai pengetahuan tentang pengobatan pasien skizofrenia.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia dengan menggunakan desain deskriptif korelasional sebagai desain penelitian. Instrumen dibuat dalam bentuk kuesioner dan dibagi dalam 2 bagian yaitu bagian untuk mengukur pengetahuan keluarga tentang pengobatan pasien skizofrenia dan bagian untuk mengukur tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia dengan menggunakan skala guttman. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 39 orang dengan menggunaka accidental sampling sebagai teknik pengambilan data. Hasil penelitian menggambarkan bahwa 56,4% responden memiliki pengetahuan yang baik mengenai pengobatan pasien skizofrenia, 43,5% responden memiliki pengetahuan sedang mengenai pengobatan pasien skizofrenia, 84,6% responden patuh dalam menjalankan pengobatan dan sebanyak 15,4% tidak patuh dalam
pengobatan. Analisa statistik korelasi Spearman dengan derajat kebebasan ( α ) = 0,05 diperoleh nilai ρ = 0,343 dan nilai p = 0,033 untuk hubungan pengetahuan dengan kepatuhan, terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia. Untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia, di pandang perlu untuk meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pasien skizofrenia.
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang
mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam
memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah
(Stuart, 2002). Skizofrenia merupakan bentuk gangguan psikotik (penyakit mental
berat) yang relatif sering. Prevalensi seumur hidup hampir mencapai 1 %,
insidens setiap tahunnya sekitar 10-15 per 100.000 dan skizofrenia merupakan
sindrom dengan berbagai presentasi dan satu variabel, perjalanan penyakit
umumnya jangka panjang, serta sering mengalami kambuh (Davies, 2009).
Skizofrenia sering disalah artikan sebagai “Kepribadian terbelah (Split personality)”, diagnosisnya memiliki kesahihan yang baik, bahkan pada berbagai usia dan budaya, meskipun tidak ada penanda biokimia. Biasanya onset timbul
sebelum usia 30 tahun, laki – laki menunjukkan gejala empat tahun lebih awal
dari pada perempuan. Bukti keterlibatan genetik sebagai penyebab skizofrenia
semakin kuat hingga 50% kembar identik (homozigotik) menderita diagnosis
yang sama, di bandingkan dengan sekitar 15% kembar non-identik (dizigotik).
Kekuatan faktor genetik bervariasi pada setiap keluarga, tetapi sekitar 10%
skizofrenia, demikian pula pada 50% anak yang kedua orang tuanya menderita
skizofrenia. Data statistik yang dikemukakan oleh WHO menyebutkan bahwa
setiap 1% dari penduduk di dunia berada dalam keadaan membutuhkan
pertolongan untuk suatu gangguan jiwa. Sementara itu 10% dari penduduk
memerlukan pertolongan kedokteran jiwa pada suatu waktu dalam hidupnya
(Hawari, 2001).
Skizofrenia mempunyai faktor penyebab diantaranya faktor biologis,
genetika, dan faktor psikososial. Penyebab faktor biologis skizofrenia tidak
diketahui. Tetapi dalam dekade yang lalu semakin banyak penelitian telah
melibatkan peranan patofisiologis untuk daerah tertentu di otak, termasuk system
limbic, korteks frontalis, dan ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling
berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah mungkin melibatkan
patologi primer lainnya (Kaplan & Sadock, 2010). Sedangkan faktor genetik
skizofrenia adalah menurut Durand (2007) ketidakseimbangan neurotransmitter,
kerusakan struktural otak yang disebabkan oleh infeksi virus prenatal atau
kecelakaan dalam proses persalinan, dan stressor psikologis.
Pasien skizofrenia sering mengalami kekambuhan dimana setiap tahunnya
35% penderita penyakit skizofrenia mengalami kekambuhan , kekambuhan
tersebut di alami pasien akibat tidak teraturnya pasien untuk minum obat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 25 persen sampai 50 persen pasien yang pulang
dari rumah sakit jiwa tidak memakan obat secara teratur Appleton, (1982 dalam
Keliat,1996). Dan hal inilah yang sering menyebabkan kekambuhan / relaps pada
Penyebab pasien skizofrenia tidak teratur memakan obatnya adalah karena
adanya gangguan realitas dan ketidakmampuan mengambil keputusan. Di mana
hospitalisasi yang lama memberi konsekuensi kemunduran pada klien yang di
tandai dengan hilangnya motivasi dan tanggung jawab, apatis, menghindar dari
kegiatan dan hubungan sosial, kemampuan dasar sering terganggu, seperti
perawatan mandiri dan aktifitas hidup seharian (ADL). Situasi tersebut
mengakibatkan klien gangguan jiwa kronis tidak dapat berperan sesuai harapan
lingkungan dimana ia berada (Keliat, 1996). Oleh sebab itu pentingnya keluarga
berperan dalam merawat pasien gangguan jiwa agar pasien teratur dalam
melaksanakan terapi dan untuk kesembuhan pasien tersebut.
Keluarga yang merupakan orang terdekat dengan pasien mempunyai
peranan penting dalam kesembuhan pasien salah satunya yaitu dukungan
informasi dimana jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung
jawab bersama yaitu termasuk di dalamnya memberikan solusi dari masalah,
memberikan nasehat, pengarahan, saran atau umpan balik tentang apa yang
dilakukan seseorang, selain itu keluarga sebagai menyediakan informasi untuk
melakukan konsultasi yang teratur ke rumah sakit dan terapi yang baik bagi
dirinya dan tindakan spesifik bagi pasien untuk melawan stressor (Niven, 2002).
Keluarga sebagai orang yang dekat dengan pasien harus mengetahui
prinsip 5 benar dalam minum obat yaitu pasien yang benar, obat yang benar, dosis
yang benar, cara/rute pemberian yang benar, dan waktu pemberian obat yang
benar dimana kepatuhan terjadi bila aturan pakai dalam obat yang diresepkan serta
setelah pasien pulang penting agar pasien mengerti dan dapat meneruskan terapi
tersebut dengan benar tanpa pengawasan, ini sangat penting terutama pada
penyakit-penyakit menahun termasuk salah satunya adalah penyakit gangguan
jiwa (Tambayong, 2002). Oleh karena itu di perlukan peran keluarga untuk selalu
memonitor pasien dalam mengkonsumsi obat secara teratur dan rutin setiap hari
sehingga pasien patuh dalam mengkonsumsi obatnya.
Ketidakpatuhan terhadap minum obat merupakan masalah utama dalam
pengobatan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dalam
minum obat yaitu kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak
mengertinya tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang di tetapkan
sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat diluar rumah sakit,
mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang
mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat itu kepada
pasien (Tambayong, 2002).
Menurut data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2010, pasien gangguan jiwa yang dirawat
jalan berjumlah 15.720 orang, dari jumlah tersebut pasien yang menderita
skizofrenia adalah sebanyak 12.021 orang, pasien yang mengalami gannguan jiwa
di rawat inap berjumlah 1.949 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia
sebanyak 1.758 orang, dan peneliti mengambil data pada bulan mei bahwa pasien
skizofrenia yang berobat jalan di unit rawat jalan pada bulan mei 2011 adalah
sebanyak 949 orang. Dari data di atas dapat dilihat tingginya angka pasien yang
tersebut di unit rawat jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan. (Medical
Record RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara, 2010).
Pada survey awal yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provsu Medan pada bulan Maret 2011 pada keluarga pasien skizofrenia, peneliti
menemukan pengetahuan keluarga tentang pengobatan pasien skizofrenia
menunjukkan bahwa sejumlah keluarga tidak memahami seluruhnya tentang
pengobatan pasien skizofrenia tersebut dan pada sejumlah pasien yang dalam
pengobatannya harus di kontrol oleh keluarga dalam minum obat.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik melakukan
penelitian tentang “Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Tingkat Kepatuhan
Minum Obat Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan”
2. Tujuan Penelitian
2.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan pasien
skizofrenia minum obat.
2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengetahuan keluarga tentang pengobatan pasien skizofrenia.
2.Untuk mengetahui tingkat kepatuhan pasien skizofrenia dalam minum obat.
3. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan tingkat kepatuhan minum
3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin mengetahui “adakah
hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat pasien
skizofrenia Di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan banyak manfaat kepada
berbagai pihak yaitu:
4.1 Praktek Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber bagi pengembangan
penelitian lanjutan yang berkaitan dengan hubungan pengetahuan keluarga dengan
tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia.
4.2 Penelitian Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar bagi pengembangan
penelitian lanjutan yang berkaitan dengan hubungan pengetahuan keluarga dengan
tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia.
4.3Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi peserta didik di
institusi pendidikan dan diintegrasikan pada ilmu keperawatan jiwa yang
berkaitan dengan hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Defenisi Skizofrenia
Menurut Stuart (2002) Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten
dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan
kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta
memecahkan masalah sedangkan menurut Hawari (2001) skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian.
Skizofrenia adalah suatu sindroma klinis yang bervariasi, dan sangat
mengganggu. Manifestasi yang terlibat bervariasi pada setiap individu dan
berlangsung sepanjang waktu. Pengaruh dari penyakit skizofrenia ini selalu berat
dan biasanya dalam jangka panjang . Skizofrenia merupakan sebuah sindroma
kompleks yang mau tak mau menimbulkan efek merusak pada kehidupan
penderita maupun anggota – anggota keluarganya. Gangguan ini dapat
mengganggu persepsi, pikiran, pembicaraan, dan gerakan seseorang. Nyaris
hampir semua aspek fungsinya sehari – hari terganggu (Durand, 2007).
1.2 Tipe Skizofrenia
Berikut ini adalah tipe-tipe dari skizofrenia dari DSM-IV-TR .
1.2.1 Tipe Paranoid
Ini adalah jenis skizofrenia yang paling sering dijmpai di negara
manapun. Gambaran klinis di dominasi oleh waham-waham yang secara relatif
stabil, sering kali bersifat paranoid, biasanya disertai oleh halusinasi-halusinasi,
terutama halusinasi pendengaran, dan gangguan-gangguan persepsi. Gangguan
afektif, dorongan kehendak (volition) dan pembicaraan serta gejala-gejala katatonik tidak menonjol.
Beberapa contoh dari gejala-gejala paranoid yang paling umum :
1.2.1.1Waham-waham kejaran, rujukan (reference), “exalted birth”
(merasa dirinya tinggi, istimewa), misi khusus, perubahan tubuh
atau kecemburuan;
1.2.1.2Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing);
1.2.1.3Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,
atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada
tetapi jarang menonjol.
Gangguan pikiran mungkin jelas dalam keadaan-keadaan yang akut, tetapi
sekalipun demikian kelainan itu tidak menghambat diberikannya deskripsi secara
jelas mengenai waham atau halusinasi yang bersifat khas. Keadaan afektif
biasanya kurang menumpul di bandingkan jenis skizofrenia lain, tetapi suatu
seperti juga gangguan suasana perasaan (mood) seperti iritabilitas, “negatif” seperti pendataran afektif, dan hendaya dalam dorongan kehendak (volition)
sering dijumpai tetapi tidak mendominasi gambaran klinisnya (PPDGJ III, 1993).
Perjalanan penyakit skizofrenia paranoid dapat terjadi secara episodic,
dengan remisi sebagian atau sempurna, atau bersifat kronis. Pada kasus-kasus
yang kronis, gejala yang nyata menetap selama bertahun-tahun dan sukar untuk
membedakan episode-episode yang terpisah. Onset cenderung terjadi pada usia
yang lebih tua dari pada bentuk-bentuk hebefrenik dan katatonik (PPDGJ III,
1993).
1.2Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)
Kontras dengan skizofrenia tipe paranoid, para penderita skizofrenia tipe
terdisorganisasi memperlihatkan disrupsi yang tampak nyata dalam pembicaraan
dan perilakunya. Mereka juga memperlihatkan afek datar atau afek tidak pas,
seperti tertawa dungu pada saat yang tidak tepat (American Psychiatric Association dalam Durand, 2007). Bila ada delusi atau halusinasi, mereka cenderung tidak di organisasikan diseputar vena sentral tertentu, seperti pada tipe
paranoid, tetapi lebih terfragmentasi. Tipe ini sebelumnya disebut tipe hebefrenik.
Individu-individu dengan diagnosis ini menunjukkan tanda-tanda kesulitan sejak
usia dini, dan masalah mereka sering kali bersifat kronis, jarang menunjukkan
remisi (perbaikan gejala) yang menjadi ciri bentuk-bentuk lain gangguan ini
1.3Tipe Katatonik
Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang
essensial dan dominan dan dapat bervariasi antara kondisi ekstrem seperti
hiperkinesis dan stupor, atau antara sifat penurut yang otomatis dan negativisme.
Sikap dan posisi tubuh yang dipaksakan (constrained) dapat di pertahankan untuk jangka waktu yang lama. Episode kegelisahan disertai kekerasan (violent)
mungkin merupakan gambaran keadaan yang mencolok. Gejala katatonik
terpisah yang bersifat sementara dapat terjadi pada saat setiap subtipe skizofrenia,
tetapi untuk diagnosis skizofrenia katatonik satu adalah lebih dari perilaku berikut
ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
1.3.1 Stupor (amat berkurangnya reaktivitas terhadap lingkungan
dan dalam gerakan serta aktivitas spontan ) atau autisme;
1.3.2 Kegelisahan (aktivitas motor yang tampak tak bertujuan,
yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal);
1.3.3 Berpose (secara sukarela mengambil dan mempertahankan
sikap tubuh tertentu tang tidak wajar atau “bizarre”);
1.3.4 Negativisme (perlawanan yang jelas tidak bermotif
terhadap semua intruksi atau upaya untuk digerakkan, atau bergerak
kearah yang berlawanan );
1.3.5 Rigiditas (rigidity : mempertahankan sikap tubuh yang kaku melawan upaya untuk menggerakkannya);
1.3.7 Gejala-gejala lain seperti otomatisme terhadap perintah
(command automatism : ketaatan secara otomatis terhadap perintah), dan perseverasi kata-kata serta kalimat-kalimat.
Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan bersifat
suatu petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Suatu gejala atau gejala-gejala
katatonik dapat juga diprovokasikan oleh penyakit otak, gangguan metabolic, atau
alhokol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan suasana perasaan
(mood) (PPDGJ III, 1993).
1.4Tipe Undifferentiated (Tak Terbedakan)
Orang-orang yang tidak pas benar dengan tipe-tipe di atas
diklasifikasikan mengalami skizofrenia tipe tak terbedakan. Mereka meliputi
orang-orang yang memiliki gejala-gejala utama skizofrenia tetapi tidak memenuhi
kriteria tipe paranoid, terdisorganisasi/hebefrenik, atau katatonik (Durand, 2007).
1.5 Tipe Residual
Suatu stadium kronis dalam perkembangan suatu gangguan skizofrenik
dimana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal ke stadium lebih lanjut
yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala “negatif” jangka panjang, walaupun
belum tentu irreversible.
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan brikut ini
1.5.1.1 Gejala “negatif” skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan
psikomotor, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi nonverbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak
mata, modulasi suara dan sikap tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial
yang buruk;
1.5.1.2 Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa
lampau yang memenuhi kriteria diagnostik untuk skizofrenia;
1.5.1.3 Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun di mana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi
telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif”
skizofrenia;
1.5.1.4 Tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan hendaya
negatif tersebut (PPDGJ III, 1993).
1.6 Epidemiologi
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di
berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar
hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi
dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa.
Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25
skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di
daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003).
Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia
prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan
perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa
ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan,
perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas. Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur
36 tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih
banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila
dibandingkan dengan laki-laki (Durand, 2007).
1.7 Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa
penyebabskizofrenia, antara lain :
1.7.1 Faktor Genetik
Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia, dilakukan di tahun
1930-an, menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika
anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia dan kemungkinan seseorang
menderita skizofrenia adalah berhubungan dekatnya persaudaraa tersebut.
Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang tertinggi. Penelitian pada
kembar monozigotik yang di adopsi menunjukkan bahwa kembar yang diasuh
besarnya seperti saudara kembarnya yang dibesarkan oleh saudara kandungnya
(Kaplan&Sadock, 2010).
Faktor genetik skizofrenia adalah Menurut Durand (2007) Sejumlah
faktor kausatif terimplikasi untuk skizofrenia, termasuk pengaruh genetik,
ketidakseimbangan neurotransmitter, kerusakan struktural otak yang disebabkan
oleh infeksi virus prenatal atau kecelakaan dalam proses persalinan, dan stressor
psikologis. Penting untuk mempelajari seberapa banyak stress macam apa yang
membuat seseorang memiliki predisposisi skizofrenia mengembangkan
gangguan stresss. Stressor (tekanan yang mengakibatkan stres) dari orang-orang
di sekitar adalah juga faktor penting yang tak boleh dilupakan. Skizofrenia
melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga
mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang
yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko
untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah
anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand, 2007).
Kallman menunjukkan bahwa tingkat keparahan gangguan orangtua
mempengaruhi kemungkinan anaknya untuk mengalami skizofrenia. Semakin
parah skizofrenia orangtuanya, semakin besar kemungkinan anak-anaknya untuk
mengembangkan gangguan yang sama. Memiliki keluarga yang mengalami
memiliki gangguan yang sama di banding seseorang dalam populasi secara umum
yang tidak memiliki keluarga semacam itu (hanya sekitar 1%) (Durand, 2007).
1.7.2 Faktor Biologis
Pada penderita skizofrenia di temukan perubahan-perubahan atau
gangguan pada sistem tranmisi sinyal penghantar syaraf (neuro-transmitter) dan reseptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi zat neuro-kimia seperti dopamine dan serotonin; yang ternyata mempengaruhi fungsi-fungsi kognitif
(alam fikir), afektif (alam perasaan) dan psikomotor (perilaku) yang menjelma
dalam bentuk gejala-gejala positif maupun negatif Skizofrenia.
1.7.3 Faktor Psikososial
Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan jiwa
adalah adanya stressor psikososial. Stressor Psikososial adalah setiap keadaan atau
peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang (anak, remaja
atau dewasa) sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi dan mampu
menanggulanginya, sehingga timbullah keluhan – keluhan di bidang kejiwaan
berupa gangguan jiwa dari yang ringan hingga yang berat (Hawari, 2001).
Pada sebahagian orang perubahan-perubahan sosial yang serba cepat
dapat merupakan stressor psikososial, yaitu antara lain :
1.7.3.1Pola kehidupan masyarakat dari semula sosial-religius cenderung ke
1.7.3.2Pola hidup sederhana dan produktif cenderung ke arah pola hidup
mewah dan konsumtif.
1.7.3.3Struktur keluarga yang semula keluarga besar (extended family)
cenderung ke arah keluarga inti (nuclear family) bahkan sampai pada pola orang tua tunggal (single parent family).
1.7.3.4Hubungan kekeluargaan (silaturahmi) yang semula erat dan kuat
cenderung menjadi longgar dan rapuh. Masing-masing anggota
keluarga seolah-olah berjalan sendiri-sendiri (nafsi-nafsi); sehingga
seakan-akan hidup dalam keterasingan (alienation).
1.7.3.5Nilai-nilai moral-etika agama dan tradisional masyarakat, cenderung
berubah menjadi masyarakat sekuler dan moder serta serba boleh
(permissive society).
1.7.3.6Lembaga perkawinan mulai diragukan dan masyarakat cenderung
untuk memilih hidup bersama tanpa nikah.
1.7.3.7Ambisi karier dan materi yang tak terkendali dapat menggangu
hubungan interpersonal baik dalam keluarga maupun masyarakat
(Hawari, 2001).
2.1 Pengetahuan Keluarga
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan adalah merupakan hasil dari
“tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu dimana penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indra
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah
tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling
berinteraksi satu dengan lainnya, mempunyai peran masing- masing dan
menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Bailon&Maglaya dalam
Rasmun, 2001).
Pengetahuan keluarga adalah apa yang diketahui oleh keluarga dalam
memenuhi kebutuhan pemeliharaan dan perawatan dan menjaga kesehatan fisik
dan mental dimana keluarga memiliki fungsi yaitu dalam memberikan kasih
sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan kepada anggota keluarga sehingga
memungkinkan keluarga tumbuh dan berkembang sesuai usia dan kebutuhannya
karena keluarga memberikan pengaruh yang sangat bermakna bagi keadaan
anggota keluarganya.
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal,
sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu, dalam posisi dan situasi
tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku
dari keluarga, kelompok dan masyarakat.Berbagai peranan yang terdapat didalam
keluarga menurut Effendy (1998), sebagai berikut:
2.1.1 Peranan ayah, ayah sebagai suami dari istri dan ayah bagi
anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan
pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai angghota dari
kelompok sosial serta sebagai anggota masyarakat dari
2.1.2 Peranan ibu, sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu
mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai
pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai
anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu
dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam
keluarganya.
2.1.3 Peranan anak, anak-anak melaksanakan peranan psikologis sesuai
dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan
spiritual
Menurut Keliat (1996) Pentingnya peran serta keluarga dalam perawatan
pasien gangguan jiwa sangat penting maknanya karena :
2.1.1 Keluarga adalah tempat klien belajar dan mengembangkan
berbagai perilaku.
2.1.2 Keluarga merupakan lingkungan yang dikenal klien.
2.1.3 Keluarga merupakan system pendukung utama yang merawat
klien.
2.1.4 Program pendidikan klien dan keluarga dapat mengurangi angka
kambuh.
2.1.5 Perawatan paripurna menyangkut pasien dan system yang terkait
Selain itu pengetahuan yang harus di miliki keluarga dalam pengobatan
pasien gangguan jiwa adalah sebagai berikut (siregar, 2006) :
2.1.1 Terapi Multi Obat
Pada umumnya, makin banyak jenis dan jumlah obat yang
digunakan pasien, semakin tinggi resiko ketidakpatuhan. Bahkan, apabila
instruksi dosis tertentu untuk obat telah diberikan, masalah masih dapat
terjadi. Kesamaan penampilan (misalnya, ukuran, warna, dan bentuk)
obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan yang dapat terjadi
dalam penggunaan multi obat.
2.1.2 Frekuensi Pemberian
Pemberian obat pada jangka waktu yang sering membuat
ketidakpatuhan lebih mungkin karena jadwal rutin normal atau jadwal
kerja pasien akan terganggu untuk pengambilan satu dosis obat dan dalam
banyak kasus pasien akan lupa, tidak ingin susah atau malu berbuat
demikian.
Sikap pasien terhadap kesakitan dan regimen pengobatan mereka
juga perlu diantisipasi dan diperhatikan. Dalam kebanyakan situasi adalah
wajar mengharapkan bahwa pasien akan setuju dan lebih cenderung patuh
dengan suatu regimen dosis yang sederhana dan menyenangkan. Oleh
karena itu pasien perlu di yakinkan bahwa suatu obat yang kerja lebih lama
obat dalam jangka waktu yang kurang sering tidak hanya tepat, tetapi juga
di inginkan.
2.1.3 Durasi dan Terapi
Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi
lebih besar, apabila periode pengobatan lama. Seperti telah disebutkan,
suatu risiko yang lebih besar dari ketidakpatuhan perlu diantisipasi dalam
pasien yang mempunyai penyakit kronik, terutama jika penghentian terapi
mungkin tidak berhubungan dengan terjadinya kembali segera atau
memburuknya kesakitan. Ketaatan pada pengobatan jangka panjang lebih
sulit dicapai. Walaupun tidak ada intervensi tunggal yang berguna untuk
meningkatkan ketaatan, kombinasi instruksi yang jelas, pemantauan
sendiri oleh pasien, dukungan sosial, petunjuk bila menggunakan obat, dan
diskusi kelompok.
2.1.4 Efek Merugikan
Perkembangan dari efek suatu obat tidak menyenangkan,
memungkinkan menghindar dari kepatuhan, walaupun berbagai studi
menyarankan bahwa hal ini tidak merupakan faktor penting sebagaimana
diharapkan. Dalam beberapa situasi adalah mungkin mengubah dosis atau
menggunakan obat alternatif untuk meminimalkan efek merugikan.
Namun, dalam kasus lain alternatif dapat ditiadakan dan manfaat yang
mutu kehidupan yang diakibatkan efek, seperti mual dan muntah yang
hebat, mungkin begitu penting bagi beberapa individu sehingga mereka
tidak patuh dengan suatu regimen.
Kemampuan beberapa obat tertentu menyebabkan disfungsi
seksual, juga telah disebut sebagai suatu alasan untuk ketidakpatuhan oleh
beberapa pasien dengan zat antipsikotik dan antihipertensi. Bahkan, suatu
peringatan tentang kemungkinan reaksi merugikan dapat terjadi pada
beberapa individu yang tidak patuh dengan instruksi.
2.1.5 Pasien Asimtomatik (Tidak Ada Gejala) atau Gejala Sudah Reda
Dapat dimengerti adalah sulit meyakinkan seorang pasien tentang
nilai terapi obat, apabila pasien tidak mengalami gejala sebelum memulai
terapi. Pada situasi lain, manfaat terapi obat tidak secara langsung nyata,
termasuk keadaan bahwa suatu obat digunakan berbasis profilaksis,
dimana ketidakpatuhan ditemukan pada anak-anak yang mendapatkan
penissilin dan di tulis sebagai profilaksis mencegah terjadinya demam
rematik.
Dalam keadaan lain, pasien dapat merasa baik setelah
menggunakan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama
menggunakan obatnya setelah reda. Situasi sering terjadi ketika seorang
pasien tidak menghabiskan obatnya ketika menghabiskan obatnya selama
terapi antibiotik, setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Praktik
wajib diberi nasihat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi
antibiotik.
2.1.6 Harga Obat
Walaupun ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat
yang relatif tidak mahal, dapat diantisipasi bahwa pasien akan lebih
enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal. Biaya
yang terlibat telah disebut oleh beberapa pasien sebagai alasan untuk
tidak menebus resepnya sama sekali, sedang dalam kasus lain obat
digunakan kurang sering dari yang dimaksudkan atau penghentian
penggunaan sebelum waktunya disebabkan harga.
2.1.7 Pemberian/Konsumsi Obat
Walau seorang pasien mungkin bermaksud secara penuh untuk
patuh pada instruksi, ia mungkin kurang hati-hati menerima kuantitas
obat yang salah disebabkan pengukuran obat yang tidak benar atau
penggunaan alat ukur yang tidak tepat. Misalnya, sendok teh mungkin
volumenya berkisar antara 2mL sampai 9mL. Ketidakakurasian
penggunaan sendok teh untuk mengkonsumsi obat cair dipersulit oleh
kemungkinan tumpah apabila pasien diminta mengukur dengan sendok
teh. Walaupun masalah ini telah lama diketahui, masih belum
diperhatikan secara efektif dan pentingnya menyediakan mangkok ukur
penggunaan cairan oral adalah jelas. Akurasi dalam pengukuran obat,
harus ditekankan dan apoteker mempunyai suatu tanggung jawab penting
untuk memberikan informasi serta jika perlu, menyediakan alat yang
tepat untuk memastikan pemberian jumlah obat yang dimaksudkan.
3.2.8. Rasa Obat
Rasa obat-obatan adalah yang paling umum dihadapi dengan
penggunaan cairan oral. Oleh karena itu, dalam formulasi obat cair oral,
penambah penawar rasa, dan zat warna adalah praktik yang umum
dilakukan oleh industri farmasi untuk daya tarik serta pendekatan
formulasi demikian dapat mempermudah pemberian obat kepada pasien.
Masalah kepatuhan berkaitan dengan rasa obat-obatan tidak
terbatas . Keberatan terhadap rasa sediaan cair kalium klorida sering di
ajukan, sejumlah pasien menghentikan penggunaan obat ini karena alasan
rasa.
3.1 Kepatuhan Pasien
Kepatuhan (Compliance), juga dikenal sebagai ketaatan (adherence)
adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang
mengobatinya. Contoh dari kepatuhan adalah mematuhi perjanjian, mematuhi
dan menyelesaikan program pengobatan , menggunakan medikasi secara tepat,
tergantung pada situasi klinis tertentu, sifat penyakit dan program pengobatan
(Kaplan & Sadock, 2010).
Kepatuhan dalam pengobatan (medication compliance) adalah mengkonsumsi obat-obatan yang di resepkan dokter pada waktu dan dosis yang
tepat dan pengobatan hanya akan efektif apabila anda mematuhi peraturan dalam
penggunaan obat (Maharani, 2007).
Sackett dalam Niven (2002) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai
“Sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh
professional kesehatan”. Berikut ini 5 faktor yang mendukung kepatuhan pasien,
Feuerstein et al, 1986 dalam Niven (2002) juga menyampaikan suatu program
tindakan yang terdiri dari 5 elemen :
3.1.1 Pendidikan
Pendidikan dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan
tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku
dan kaset oleh pasien secara mandiri.
3.1.2 Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang
dapat mempengaruhi kepatuhan.
3.1.3 Modifikasi faktor lingkungan dan Sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman.
Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu
kepatuhan terhadap program-program pengobatan.
Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan
pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini
komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat
diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang
lebih kompleks.
3.1.5 Meningkatkan Interaksi professional kesehatan dengan pasien.
Merupakan suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien
setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien mebutuhkan
penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat
mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.
Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang di resepkan serta
pemberiannya di ikuti dengan benar. Jika terapi ini akan di lanjutkan setelah
pasien pulang, penting agar pasien mengerti dan dapat meneruskan terapi itu
dengan benar dan tanpa pengawasan. Ini terutama penting untuk
penyakit-penyakit menahun. Menurut Tambayong (2002) terdapat 5 faktor ketidakpatuhan
terhadap pengobatan yaitu kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan
tersebut, tidak mengertinya tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang
di tetapkan sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat diluar
rumah sakit, mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian
keluarga yang mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat
itu kepada pasien.
Menurut Siregar (2006) yang dimaksud dengan kepatuhan dalam
dosis yang tepat. Kepatuhan dapat didefenisikan sebagai tingkat ketepatan
perilaku seorang individu dengan nasihat media atau kesehatan, pasien yang
berpengetahuan tentang obatnya menunjukkan ketaatan yang meningkat terhadap
regimen obat yang ditulis sehingga menghasilkan hasil terapi yang meningkat.
Dibawah ini terdapat jenis kepatuhan, akibat dari ketidakpatuhan dan peningkatan
kepatuhan yaitu sebagai berikut :
3.1.1 Jenis Ketidakpatuhan
Pengobatan akan efektif apabila mematuhi aturan dalam pengobatan,
Menurut Siregar (2006) adapun beberapa jenis ketidakpatuhan yang terjadi
adalah disebabkan oleh sebagai berikut :
3.1.2 ketidakpatuhan pada terapi obat, mencakup kegagalan menebus
resep, melalaikan dosis, kesalahan dosis, kesalahan dalam waktu
pemberian / konsumsi obat, dan penghentian obat sebelum
waktunya.
3.1.3 tidak menebus resep obatnya , yaitu karena pasien/keluarga pasien
tidak merasa memerlukan obat atau tidak menghendaki
mengambilnya. Ada juga pasien tidak menebus resepnya karena
tidak mampu membelinya.
3.1.4 Kesalahan pada waktu konsumsi obat, yaitu dapat mencakup
situasi yang obatnya di konsumsi tidak tepat dikaitkan dengan
waktu makan. contohnya : 1 jam sebelum makan dan 2 jam setelah
3.1.5 Penghentian pemberian obat sebelum waktunya,pasien harus di
beritahu pentingnya penggunaan obat antibiotik yang di konsumsi
sampai habis selama terapi
3.1.6 Pemberian obat kurang dari dosis yang tertulis dan penghentian
obat sebelum waktunya, faktor lain yaitu ketidakpatuhan
mencakup pengetiketan yang tidak benar dan penggunaan “sendok
teh” yang mempunyai berbagai volume yang berbeda.
3.1.7 pasien rawat jalan yang tidak patuh karena tidak mengerti instruksi
penggunaan dengan benar dan ada yang salah
menginterpretasikan, Selain itu kemungkinan ketidakpatuhan
pasien rawat jalan karena kurangnya pengawasan terapi.
3.1.2 Akibat Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang
kurang. Dengan cara demikian, pasien kehilangan manfaat terapi yang
diantisipasi dan kemungkinan mengakibatkan kondisi yang diobati secara
bertahap menjadi buruk.
Seorang pasien menghentikan penggunaan antibiotik untuk
pengobatan suatu infeksi apabila gejala telah mereda, dan karenanya tidak
menggunakan semua obat yang ditulis, Hal ini menyebabkan kembali
kekambuhan, penyakit kambuh lagi karena diakibatkan oleh
Ketidakpatuhan juga dapat berakibat dalam penggunaan suatu obat
berlebih. Apabila dosis berlebih digunakan atau apabila obat diberikan
lebih sering dari pada yang dimaksudkan, akan ada resiko reaksi
merugikan yang meningkat. Masalah yang berkaitan dengan salah
penggunaan dan penyalahgunaan obat, baik tidak disengaja maupun
disengaja telah benar-benar diketahui. walaupun biasanya tidak di anggap
berkaitan dengan ketidakpatuhan, masalah penyalahgunaan obat
kadang-kadang adalah akibat penggunaan obat yang berlebihan yang ditulis untuk
suatu penyakit tertentu.
Implikasi lain berkenaan dengan penyimpanan obat yang tidak
digunakan sepenuhnya selama periode pengobatan yang dimaksudkan.
Menyimpan obat-obatan dapat mengakibatkan ketidaktepatan
penggunaannya dikemudian hari.
3.1.3 Peningkatan Kepatuhan
Dalam meningkatkan kepatuhan komunikasi merupakan cara
antara tim medis dan pasien dalam berbicara mengenai obat yang di tulis.
Keefektifan komunikasi akan menjadi penentu utama kepatuhan pasien.
Dibawah ini merupakan peranan dalam menghadapi masalah
ketidakpatuhan yaitu :
3.1.3.1mengidentifikasi faktor resiko yaitu mengenal individu yang
mungkin tidak patuh, sebagaimana di duga oleh suatu pertimbangan
merencanakan terapi pasien, agar regimen sejauh mungkin
kompatibel dengan kegiatan normal pasien.
3.1.3.2Pengembangan rencana pengobatan yaitu rencana pengobatan harus
di dasarkan pada kebutuhan pasien, apabila mungkin pasien harus
menjadi partisipan dalam keputusan pemberian regimen terapi.
Untuk membantu ketidaknyamanan dan kelalaian, regimen harus
disesuaikan agar dosis yang diberikan pada waktu yang sesuai
dengan jadwal pasien.
3.1.3.3Alat bantu kepatuhan yang meliputi pemberian label dan kalender
pengobatan dan kartu pengingat obat sehingga pasien mengerti
tentang penggunaan dalam membantu pasien mengerti obat yang
digunakan, kapan digunakan, dan mengenai dosis obat yang
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan hubungan
pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia
di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kerangka penelitian dapat dilihat
pada skema di bawah ini :
Skema 3.1. Kerangka penelitian hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia
Pengetahuan Keluarga Tingkat Kepatuhan Minum
2. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Defenisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Skala
Pengetahuan Keluarga
Apa yang diketahui keluarga tentang pengobatan pasien skizofrenia dengan prinsip
5 benar minum obat yaitu - pasien obat yang benar; dosis yang benar; cara/rute; pemberian yang benar, dan; waktu pemberian obat.
Efek yang merugikan
,harga obat, pemberian/konsumsi obat,
dan rasa obat.
Kuesioner dengan 10 pertanyaan tertutup 7-10= Baik 4-6= Cukup 0-3= Kurang Ordinal Tingkat kepatuhan Minum obat Ketaatan pasien skizofrenia dalam minum
obat . dimana kepatuhan terjadi apabila terapi obat, waktu konsumsi obat, dosis obat di taati dengan benar dan pasien mengerti
tentang instruksi penggunaan obat dengan
3. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan tujuan dan pertanyaan yang telah di jelaskan pada bab
sebelumnya, maka dapat di rumuskan hipotesa penelitian, yaitu :
Ada hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian korelasi yang merupakan penelitian
atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada situasi atau sekelompok
subjek (Notoadmodjo, 2010). Penelitian ini merupakan penelitian korelasi yaitu
mengetahui hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum
obat pasien skizofrenia di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu
Medan.
4.2. Populasi dan Sampel
4.2.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah keluarga pasien skizofrenia yang
menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan selama satu
bulan yaitu 949 orang.
2.2. Teknik Sampling
Teknik sampling dalam penelitian ini adalah accidental sampling dimana yang menjadi responden adalah yang kebetulan ada atau tersedia (Notoadmodjo, 2010).
Jadi, sampel dalam penelitian ini adalah pasien yang kebetulan ada atau tersedia di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan,
Kriteria sampel yang digunakan peneliti dalam menentukan sampel pada
penelitian ini adalah kriteria inklusi, yaitu karakteristik calon sampel yang layak
ayah, ibu, kakak, abang dan adik, tinggal serumah dengan pasien, dan usia 20-50
tahun.
2.3. Jumlah Sampel
Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat di pergunakan
sebagai subjek penelitain (Nursalam, 2003). Menurut Nursalam (2003) jika besar
populasi < 1000 maka rumus yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel
adalah :
Keterangan :
n = Perkiraan jumlah sampel
N= Perkiraan besar populasi
z= Nilai standar normal untuk α = 0,05 (1,96)
p= perkiraan proporsi, jika tidak diketahui di anggap 50%
q= 1 – p (100% - p)
d= Tingkat kesalahan yang dipilih (d=0,05) n= N.z ² p.q
n= N.z ² p.q
d (N-1) + z. p. q
n = 949. (1,96) ². o,5 . 0,25
(0,05) (948) + (1,96). 0,5 . 0,25
n= 47,4 √ 1860,04
n= 39,22
Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 39 orang
4.3. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu
Medan dengan pertimbangan belum pernah dilakukan penelitian hubungan
pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia
di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan. Selain itu, pada
lokasi ini tersedia sampel yang memadai dan lokasinya mudah dijangkau oleh
peneliti. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan yaitu pada tanggal 23 Agustus
4. Pertimbangan Etik
Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan surat permohonan kepada
Dekan Fakultas Keperawatan untuk mendapatkan izin persetujuan penelitian.
Selain itu peneliti mengajukan surat permohonan tersebut ke Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provsu Medan untuk pengambilan data awal dan pengambilan data selama
proses penelitian.
Penelitian ini memilki beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan
etik, yaitu memberikan penjelasan kepada calon responden peneliti tentang tujuan
penelitian dan prosedur pelaksanaan penelitian. Calon responden yang bersedia
dipersilahkan untuk menandatangani informed consent. Dan responden tidak bersedia, calon responden berhak untuk menolak dan mengundurkan diri selama
proses pengumpulan data berlangsung. Penelitian ini tidak menimbulkan resiko
bagi individu yang menjadi responden, baik resiko fisik maupun psikologis.
Kerahasiaan catatan mengenai data responden (confidentially) dijaga dengan cara menuliskan inisial pada instrument dan hanya menuliskan nomor kode yang
digunakan untuk menjaga kerahasiaan semua informasi yang diberikan. Data-data
yang diperoleh dari responden juga hanya digunakan untuk kepentingan
5. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan
instrumen penelitian berupa kuesioner yang dibuat peneliti dengan berpedoman
kepada tinjauan pustaka dan kerangka konsep. Kuesioner penelitian ini terdiri dari
tiga bagian yaitu kuesioner data demografi, kuesioner pengetahuan keluarga dan
kuesioner tingkat kepatuhan minum obat.
a. Kuesioner Data Demografi
Kuesioner ini meliputi nomor responden, nama responden, umur
responden, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, pengeluaran untuk pasien
dalam 1 bulan, hubungan dengan pasien, dan sudah berapa lama pasien/anggota
keluarga mengalami sakit.
b. Kuesioner pengetahuan keluarga.
Kuesioner penelitian mengidentifikasi pengetahuan keluarga mengenai
pengobatan pasien skizofrenia yang terdiri dari 10 pertanyaan. Penilaian
menggunakan skala Guttman dengan pilihan jawaban Ya dan Tidak (Hidayat,
2009). Bobot nilai yang diberikan untuk setiap pernyataan positif Ya bernilai 1
dan Tidak bernilai 0. Nilai terendah yang dicapai adalah 0 dan nilai tertinggi
adalah 10. Semakin tinggi jumlah skor maka semakin tinggi pengetahuan keluarga
mengenai pengobatan pasien skizofrenia.
Data untuk faktor kuesioner pengetahuan keluarga dikategorikan atas
kelas interval sebagai berikut :
4-6 = Pengetahuan Keluarga Cukup
7-10 = Pengetahuan Keluarga Baik
C. Kuesioner kepatuhan minum obat.
Kuesioner penelitian mengidentifikasi kepatuhan minum obat yang
terdiri dari 10 pertanyaan. Penilaian menggunakan skala Guttman dengan pilihan
jawaban Ya dan Tidak (Hidayat, 2009). Bobot nilai yang diberikan untuk setiap
pernyataan positif Ya bernilai 1 dan Tidak bernilai 0. Nilai terendah yang dicapai
adalah 0 dan nilai tertinggi adalah 10. Pernyataan negatif terdapat pada pernyataan
nomor 7 apabila responden menceklist jawaban “tidak” maka berbobot 1.
Semakin tinggi jumlah skor maka semakin patuh pasien dalam pengobatannya.
Data untuk faktor sehubungan dengan obat dikategorikan atas kelas
interval sebagai berikut :
0-5 = Pasien tidak patuh minum obat
6-10 = Pasien Patuh minum obat
4.6. Uji Validitas dan Uji Realibilitas
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kesahihan suatu
instrument. Suatu instrument dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang
diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat
(Arikunto, 2005). Uji validitas yang digunakan pada pengujian ini adalah validitas
isi, yakni sejauh mana instrumen penelitian memuat rumusan-rumusan sesuai
10 sampel di luar responden untuk penelitian. Uji validitas dikonsultasikan kepada
dua dosen ahli keperawatan jiwa maka didapatkan hasil bahwa instrumen
penelitian yang digunakan telah valid dan dapat digunakan untuk penelitian
selanjutnya.
Untuk mengetahui kepercayaan (reliabilitas) instrumen maka dilakukan
uji reliabilitas. Uji realibilitas adalah suatu kesamaan hasil apabila pengukuran
dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda ataupun
waktu yang berbeda (Setiadi, 2007). Uji reliabilitas instrument ini bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar kemampuan alat ukur. Alat ukur yang baik adalah alat
ukur yang memberikan hasil yang relatif sama bila digunakan beberapa kali pada
kelompok subjek yang sama (Azwar, 2003). Uji reliabilitas penelitian ini
dilakukan terhadap responden yang memenuhi kriteria sampel penelitian.
Kemudian jawaban dari responden diolah dengan menggunakan bantuan
komputerisasi. Bila dilakukan uji realiabilitas diperoleh nilai cronbach’s alpha
0,70 maka instrumen dinyatakan reliabel (Polit & Hungler, 1999). Dari hasil uji
reliabilititas yang dilakukan oleh peneliti di dapat nilai reliabilitas untuk kuesioner
pengetahuan keluarga 0,701 dan nilai reliabilitas kuesioner kepatuhan minum obat
4.7. Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara:
4.7.1 Mendapat izin penelitian dari institusi pendidikan (Fakultas
Keperawatan Sumatera Utara)
4.7.2 Mengirimkan permoho nan izin yang diperoleh dari institusi
pendidikan ke tempat penelitian (Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu
Medan).
4.7.3 Mendapat izin dari RSJ Daerah Provsu Medan, peneliti melaksanakan
pengumpulan data penelitian.
4.7.4 Menentukan calon responden yang sesuai dengan kriteria yang
sebelumnya telah dibuat oleh peneliti.
4.7.5 Menjelaskan kepada pasien sebagai responden mengenai maksud,
tujuan, dan prosedur penelitian pengetahuan keluarga tentang
kepatuhan minum obat pasien yang akan diberikan
4.7.6 Peneliti meminta kesediaan calon responden untuk berpartisipasi,
responden diminta untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi
responden.
4.7.7 Melakukan pengumpulan data terkait interview/wawancara terhadap
data demografi, pengetahuan keluarga, dan kepatuhan minum obat
4.8. Analisa Data
Analisa data dilakukan melalui beberapa tahap yang terdiri dari editing
untuk memeriksa kelengkapan dan data responden serta memastikan bahwa semua
pertanyaan telah diisi. Selanjutnya diberi kode pada kuesioner untuk memudahkan
peneliti dalam melakukan tabulasi data, kemudian dilakukan pengolahan data
dengan menggunakan tehnik komputerisasi yaitu dengan menggunakan entri data
dan dan teknis analisis korelasi.
Metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
korelasi spearman yang digunakan untuk mengestimasi atau mengevaluasi
frekuensi yang diselidiki atau menganalisis hasil observasi untuk mengetahui
hubungan yang signifikan antara hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat
kepatuhan minum obat di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu
Menurut Dahlan (2008) panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan
kekuatan korelasi, nilai p dan arah korelasi yaitu pada tabel di bawah ini :
No Parameter Nilai Interpretasi
1 Kekuatan Korelasi (r) 0,00-0,199 Sangat lemah
0,20-0,399 Lemah
0,40-0,599 Sedang
0,60-0,799 Kuat
0,80-1,000 Sangat Kuat
2 Nilai p p < 0,05 Terdapat
Korelasi
bermakna antara dua variabel yang di uji.
p> 0,05 Tidak terdapat
korelasi yang bermakna antara dua variabel yang di uji.
3 Arah Korelasi + (positif) Searah,semakin
Besar nilai Suatu variabel Semakin besar Pula nilai Variabel lainnya
- (negatif) Berlawanan
Berdasarkan analisa statistik dengan menggunakan formula korelasi
Spearman di peroleh koefisien korelasi (ρ) = 0,343 dan nilai signifikan p= 0,033
untuk hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat
pasien skizofrenia, 0,343 menunjukkan bahwa arah korelasi positif searah dengan
kekuatan korelasi yang lemah, hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi
pengetahuan keluarga maka semakin tinggi tingkat kepatuhan pasien minum obat.
Dari hasil analisa statistik juga di peroleh nilai signifikan (p) sebesar 0,033. Nilai
ini lebih kecil dari level of significant (α) ,ini berarti bahwa terdapat hubungan
bermakna antara pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat
pasien skizofrenia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan
pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian serta pembahasan
mengenai hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat
pasien skizofrenia pada tanggal 23 Agustus – 10 Oktober 2011 di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Provsu Medan.
1.Hasil Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka data penelitian ini akan
menguraikan data demografi responden, pengetahuan keluarga mengenai
pengobatan pasien skizofrenia (gangguan jiwa), tingkat kepatuhan pasien dalam
minum obat dan hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan pasien
skizofrenia minum obat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara
Medan.
1.1Karakteristik Responden
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa distribusi frekuensi pasien
berdasarkan jenis kelamin keseluruhan laki-laki sebanyak 16 orang (41,0 %) dan
Tabel distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, umur, pekerjaan keluarga, tingkat pendidikan, pengeluaran pasien dalam 1 bulan, hubungan dengan pasien, lama pasien sakit (n=39)
Karakteristik Responden Frekuensi (n) Persentase (%)
Jenis Kelamin
a. Laki-laki 16 41,0
b. Perempuan 23 59,0
Pekerjaan Keluarga
a. PNS 4 10,3
b.Petani 4 10,3
c.Karyawan Swasta 4 10,3
d.ABRI/TNI 1 2,6
e.Wiraswasta 12 30,8
f.Lain-lain 14 35,9
Tingkat Pendidikan
a. Pendidikan Tinggi 22 56,4
( SMA,Akademi,s1,s3 )
b. Pendidikan Rendah 17 43,6
( SD,SLTP )
Pengeluaran Pasien dalam 1 bulan
a. > Rp.250.000 24 61,5
b. < Rp.250.000 15 38,5
Hubungan dengan Pasien
a. Keluarga Inti 34 87,2
[image:56.595.113.557.161.607.2]Berdasarkan jenis pekerjaan diketahui bahwa responden terbanyak adalah
lain-lain (38,5%) yaitu ibu rumah tangga dengan tingkat pendidikan terbanyak
adalah berpendidikan tinggi (SMA,Akademi,S1,S3) sebanyak 22 orang (56,4%) .
Berdasarkan hasil penelitian mayoritas pengeluaran pasien dalam 1 bulan untuk
berobat yaitu >Rp.250.000 sebanyak 24 orang (61,5 %) dengan mayoritas
[image:57.595.105.537.319.413.2]hubungan dengan pasien yaitu keluarga inti 34 orang (87,2 %).
Tabel karakteristik Responden Berdasarkan umur dan lama rawat
Karakteristik Mean Median Standar Minimal -Maksimal Deviasi
Umur 43,1 47 8,67 20 - 50 Lama Rawat 9,48 7 1 1 - 30 (tahun)
Berdasarkan tabel karakteristik responden berdasarkan umur dan lama
rawat diketahui rata- rata umur responden yaitu 43 tahun dengan rata – rata lama
rawat 9 tahun.
1.2Pengetahuan Keluarga tentang Pengobatan
Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa pengetahuan keluarga
mengenai gangguan jiwa sebanyak 56,4 % termasuk kedalam kategori baik dan
43,5 % dalam kategori cukup dan tidak ada yang mempunyai pengetahuan kurang.
Tabel Gambaran pengetahuan keluarga tentang pengobatan pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara (n=39)
Pengetahuan Frekuensi Persentasi (%)
Baik 22 56,4
Sedang 17 43,5
Buruk 0 0
1.3Tingkat Kepatuhan Pasien dalam minum obat.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tabel diketahui bahwa kepatuhan pasien
dalam minum obat sebanyak 84,6 % responden mengatakan bahwa pasien patuh
dalam minum obat, 15,4% responden yang tidak patuh dalam menjalankan
pengobatan.
Tabel Gambaran tingkat kepatuhan pasien skizofrenia dalam pengobatan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan.
Kepatuhan Minum Obat Frekuensi Persentase(%)
Patuh 33 84,6
Tidak patuh 6 15,4
1.4Analisa hubungan pengetahuan dengan tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia
Analisa statistik secara komputerisasi untuk mengidentifikasi hubungan
pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia minum obat di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara maka di dapat nilai korelasi
[image:58.595.125.579.488.552.2]dengan kekuatan korelasi yang lemah, hal ini menggambarkan bahwa semakin
tinggi pengetahuan keluarga maka semakin tinggi tingkat kepatuhan pasien
minum obat. Dari hasil analisa statistik juga di peroleh nilai signifikan (p) sebesar
0,033. Nilai ini lebih kecil dari level of significant(α) ,ini berarti bahwa terdapat
hubungan bermakna antara pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan
[image:59.595.113.531.344.430.2]minum obat pasien skizofrenia.
Tabel Hasil analisa korelasi pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.
Variabel 1 Variabel 2 ρ p
Pengetahuan Keluarga Tingkat Kepatuhan 0,343 0,033 Tentang gangguan jiwa pasien minum obat
2. Pembahasan.
Dalam pembahasan ini peneliti mencoba menjawab pertanyaan penelitian
yaitu bagaimana pengetahuan keluarga tentang pengobatan pasien skizofrenia,
bagaimana tingkat kepatuhan pasien skizofrenia dalam minum obat dan
bagaimana hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum
2.1 Pengetahuan Keluarga mengenai pengobatan pasien Skizofrenia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 56,4% pengetahuan keluarga
dikatakan baik hal ini ditunjukkan dengan keluarga mengetahui tentang
pengobatan pasien skizofrenia yang meliputi terapi multi obat, frekuensi
pemberian, durasi dan terapi, efek merugikan, harga obat, pemberian/konsumsi
obat, dan rasa obat (Siregar, 2006)
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu dimana
penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Meningkatnya pengetahuan dapat
menimbulkan perubahan persepsi dan kebiasaan seseorang karena dari
pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang di dasari oleh pengetahuan akan
lebih bertahan lama dari pada yang tidak di dasari oleh pengetahuan
(Notoadmodjo, 2003)
Pengetahuan berkaitan erat dengan pendidikan seseorang. Hal ini sesuai
dengan pendapat Muhazam, (1995 dalam Ade Rahimi, 2006) yang menyatakan
bahwa pendidikan formal pada dasarnya akan memberikan kemampuan kepada
seseorang untuk berpikir rasional dan objektif dalam menghadapi masalah hidup
dan akan berdampak timbulnya suatu proses pengembangan atau pematangan
pandangan hidup pribadi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
diharapkan di ikuti oleh semakin tingginya tingkat pengetahuan seseorang.
Senada dengan hal di atas hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas
56,4% dimana pengetahuan dan pemahaman responden tentang pengobatan pasien
skizofrenia kemungkinan lebih baik dibandingkan yang berpendidikan rendah (SD
dan SMP).
Sesuai dengan hasil kuesioner di dapat sebanyak 74,3% keluarga
mengetahui apa yang harus dilakukan apabil