HUBUNGAN KONSENTRASI DAN WAKTU PEMAPARAN
FUMIGAN FOSFIN TERHADAP MORTALITAS
LARVA DAN IMAGO Tribolium castaneum (Herbst)
(COLEOPTERA: TENEBRIONIDAE)
BAMBANG GURITNO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : ” Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan Fumigan Fosfin terhadap Mortalitas Larva dan Imago Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae)” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
ABSTRACT
BAMBANG GURITNO. The Relationship between Concentration and Exposure Time of Phosphine to mortality of larva and adult of Triboilium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) under supervised DADANG and PURNAMA HIDAYAT.
Fumigation is one of plant quarantine treatments to rid agricultural commodities from plant pest organisms. Phospine is usually used to treat
agricultural products at storage and is effective to several strorage insect pests.
T. castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) is one of important storage insect pests that can cause high economic loss. This study was aimed to determine the relationship between concentration and exposure time of phospine to mortality of larva and adults of T.castaneum. The research was conducted in BULOG Jakarta, started from Oktober 2009 until Februari 2010.
Four dosage treatments (0,1, 2, 3 g/m3) and the exposure time (48,72, 96, 120 h) were used to monitor mortality of larvae and adults of T.castaneum. The interaction between dosages and time exposure to insect mortality was significant.
LD95 larvae mortality with exposure time of 48 hours required dosage of
7.22 g/m3, while the adult mortality with exposure time 48, 72 and 96 hours required dosage of 118.25; 2.07 and 1.60 g/m3 respectively.
RINGKASAN
BAMBANG GURITNO. Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan Fumigan Fosfin terhadap Mortalitas Larva dan Imago Tribolium castaneum
(Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae), Dibawah bimbingan DADANG dan PURNAMA HIDAYAT.
Fumigasi sebagai salah satu perlakuan karantina tumbuhan bertujuan untuk membebaskan komoditi pertanian dari Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Bahan fumigasi telah banyak diketahui yang salah satunya adalah fumigan fosfin. Fosfin sering digunakan untuk perlakuan hasil pertanian di tempat penyimpanan dan efektif terhadap beberapa jenis serangga gudang.
Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae), merupakan hama perusak berbagai komoditi hasil pertanian. Kumbang ini merupakan hama gudang penting yang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan konsentrasi dan waktu pemaparan fumigan fosfin terhadap mortalitas berbagai fase T. castaneum
Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2009 sampai Februari 2010 di gudang penyimpanan beras Bulog Jakarta. Metode Penelitian dengan menggunakan 4 perlakuan dosis termasuk kontrol yaitu 0, 1, 2, dan 3 g/m3
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan dosis dan waktu pemaparan terhadap mortalitas serangga. Interaksi antara dosis dengan waktu pemaparan terhadap mortalitas memberikan hasil yang berbeda nyata.
dengan waktu pemaparan yang digunakan adalah 48, 72, 96, dan 120 jam.
Berdasarkan LD95 mortalitas optimum larva dengan waktu pemaparan 48
jam membutuhkan 7,22 g/m3, sedangkan mortalitas optimum imago dengan waktu pemaparan 48, 72 dan 96 jam berturut-turut membutuhkan dosis 118,25; 2,07 dan 1,60 g/m3
.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
HUBUNGAN KONSENTRASI DAN WAKTU PEMAPARAN
FUMIGAN FOSFIN TERHADAP MORTALITAS
LARVA DAN IMAGO Tribolium castaneum (Herbst)
(COLEOPTERA: TENEBRIONIDAE)
BAMBANG GURITNO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Entomologi/Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan Fumigan Fosfin terhadap Mortalitas Larva dan Imago Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae)
Nama Mahasiswa : Bambang Guritno Nomor Pokok : A451064034
Program Studi : Entomologi-Fitopatologi
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dadang, M.Sc.
Ketua Anggota
Dr.Ir. Purnama Hidayat, M.Sc.
Diketahui :
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Entomologi-Fitopatologi
Dr. Ir. Sri Hendrastuti M.Sc. Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan Fumigan Fosfin terhadap Mortalitas Larva dan Imago Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) dengan tujuan untuk mempelajari hubungan konsentrasi dan waktu pemaparan fumigan fosfin terhadap mortalitas berbagai fase T. castaneum.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Dr. Ir. Dadang, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr.Ir. Purnama Hidayat, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan dan arahan selama penelitian hingga penulisan tesis. Terima kasih disampaikan pula kepada Ketua Program Studi Entomologi/Fitopatologi serta staf pengajar Departemen Proteksi Tanaman IPB yang telah memberikan ilmu selama penulis mengikuti pendidikan sehingga dapat dijadikan bekal penulisan tesis. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa Program Khusus Karantina pada Sekolah Pascasarjana IPB dan Perum Bulog Divre DKI Jakarta. Selain itu terima kasih kepada teman-teman satu angkatan (2007-2008) atas bantuan dan dukungannya.
Tidak lupa terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada kedua orang tua, kakak dan adik-adik tercinta serta keluarga yang telah memberikan doa dan dukungannya kepada penulis. Akhir kata penulis persembahkan untuk isteri tercinta dan ananda Nadya Berliana Guritno.
Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkannya.
Bogor, Juli 2011
RIWAYAT HIDUP
Bambang Guritno dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Nopember 1972, sebagai anak kedua dari enam bersaudara pasangan Bapak Sutrisno dan Ibu Mamah Sa’amah.
Penulis menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di SMAN 2 Banjarbaru tahun 1991. Pada tahun 1991, penulis melanjutkan pendidikan pada Fakultas Pertanian, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan (HPT), Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarbaru, dan berhasil meraih gelar Sarjana Pertanian pada tahun 1998.
Penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil di Badan Karantina Pertanian tahun 2003 sampai sekarang, ditempatkan di Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta. Tahun 2007 penulis mendapat beasiswa dari Badan Karantina Pertanian pada Program Magíster Sains Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Pengaruh Lingkungan terhadap Perkembangan Serangga……….... 10
BAHAN DAN METODE……… 11
Waktu dan Tempat…..……… 11
Bahan dan Metode…..……… 11
Penyiapan Serangga………... 11
Pelaksanaan Fumigasi………... 12
Pengamatan dan Analisis Data……….. 12
HASIL DAN PEMBAHASAN………... 13
Hasil…..……….. 13
Pembahasan..……….. 13
Mortalitas Larva…..……….. 13
Konsentrasi Sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Larva.….. 16
Mortalitas Imago………..………..……… 19
Konsentrasi Sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Imago….. 22
Waktu Pemaparan Sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Imago………. 23
Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan terhadap Mortalitas Imago.……… 24
KESIMPULAN DAN SARAN………... 27
Kesimpulan…..……… 27
Saran.……….. 27
DAFTAR PUSTAKA……….. 29
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Deskripsi fumigan fosfin... 4
2. Rata-rata mortalitas larva (%)... 13
3. Uji nilai tengah pengaruh dosis terhadap mortalitas larva (%) ... 15
4. Uji nilai tengah pengaruh waktu pemaparan terhadap mortalitas
larva (%)... 16
5. Rata-rata mortalitas imago (%)... 19
6. Uji nilai tengah pengaruh dosis terhadap mortalitas imago (%) ... 21
7. Uji nilai tengah pengaruh waktu pemaparan terhadap mortalitas
imago (%)... 21
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Grafik rata-rata mortalitas larva...………... 14
2. Respon mortalitas larva T. castaneum pada berbagai dosis fumigan fosfin...………... 16
3. Respon mortalitas larva T. castaneum pada berbagai
waktu pemaparan fumigan fosfin... 17
4. Grafik rata-rata mortalitas imago... 19
5. Respon mortalitas imago T. castaneum pada berbagai dosis fumigan fosfin...………... 22
6. Respon mortalitas imago T. castaneum pada berbagai
waktu pemaparan fumigan fosfin... 23
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Hasil analisis sidik ragam mortalitas imago dan larva (Minitab.14)... 33
2. Data mortalitas (%) larva T. castaneum ...…………... 34
3. Data mortalitas (%) imago T. castaneum..…... 35
4. Hasil analisis korelasi larva dan imago T. castaneum ... 36
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerugian produk pertanian berupa biji-bijian dan/atau bahan pangan di
gudang penyimpanan di beberapa negara tropik disebabkan oleh berbagai faktor
salah satunya adalah serangga gudang. Setiap tahun kehilangan hasil akibat
serangga gudang dapat mencapai 2 – 9 % (Sunjaya dan Widayanti S. 2006).
Beberapa serangga hama penting yang sering merusak produk atau bahan pangan
di penyimpanan adalah dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, dan Psocoptera.
Salah satu serangga gudang yang umum dijumpai adalah T. castaneum.
(Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) Serangga ini dapat ditemukan hampir
disemua komoditas biji-bijian dan tepung yang disimpan, memiliki
perkembangan populasi yang sangat tinggi, sehingga secara ekonomi
keberadaannya sangat merugikan.
Selama masa penyimpanan, biji-bijian atau bahan pangan lainnya akan
mengalami penyusutan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Beberapa faktor
yang langsung dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan yang disimpan adalah
serangga, cendawan, burung, dan tikus. Di daerah tropika penyebab utama
kerusakan pada biji-bijian atau bahan pangan yang disimpan adalah serangga
(Sunjaya dan Widayanti 2006).
Fumigasi sebagai salah satu perlakuan karantina tumbuhan bertujuan untuk
membebaskan komoditas pertanian dari Organisme Pengganggu Tumbuhan
(OPT). Hal ini sesuai dengan tujuan penyelenggaraan kegiatan karantina
tumbuhan yaitu mencegah masuk dan tersebarnya OPT sehingga fumigasi
sebagai perlakuan karantina harus dapat membunuh serangga hama secara
sempurna.
Fumigan metil bromida telah digunakan selama 40 tahun terakhir sebagai
bahan utama fumigasi dalam pengendalian serangga-serangga hama pada bahan
simpanan, kemasan kayu, dan pengolahan pangan (UNEP 1998). Saat ini metil
bromida telah dimasukkan kedalam daftar bahan yang harus dihapus (phasing out)
karena termasuk salah satu bahan kimia yang dapat menyebabkan menipisnya
2
1998 beberapa negara telah mengurangi bahkan menghapus penggunaan metil
bromida sebagai bahan fumigasi.
Fumigan alternatif sebagai alternatif pengganti metil bromida telah banyak
diketahui, diantaranya alil isotiosianat, karbonil sulfida, kloropikrin, etanedinitril
(sianogen), etilen oksida, hidrogen sianida, metil iodida (iodometan), metil
isotiosianat (MITC), fosfin, dan sulfuril fluorida (Field & White 2002). Zhang et
al. (2004) menyatakan bahwa fumigan alternatif dari metil bromida yang telah
digunakan untuk fumigasi hasil hutan di New Zealand yaitu fumigan fosfin.
Fosfin sering digunakan untuk perlakuan bahan hasil pertanian di tempat
penyimpanan, efektif terhadap beberapa jenis serangga gudang, dimungkinkan
dapat menjadi alternatif yang tepat namun masih diperlukan berbagai percobaan–
percobaan terutama terhadap serangga yang memiliki ketahanan yang tinggi.
Pada beberapa jenis serangga memerlukan waktu paparan yang
berbeda-beda pada setiap jenis serangga gudang. Waktu pemaparan pada suhu di bawah
20 oC memerlukan 5 – 16 hari, sedangkan pada suhu diatas 20 o
Tujuan
C memerlukan
5 – 12 hari (Anonimous 2007).
Hubungan konsentrasi dan waktu paparan fumigan fosfin terhadap
T. castaneum belum banyak diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian tentang
hubungan konsentrasi dan waktu pemaparan fumigan fosfin terhadap
T. castaneum.
Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari dan menentukan hubungan
konsentrasi dan waktu pemaparan fumigan fosfin terhadap mortalitas pada fase
TINJAUAN PUSTAKA
Fosfin
Fumigasi merupakan tindakan/perlakuan dengan menggunakan gas/fumigan
dalam suatu ruang atau fumigasi yang kedap udara/gas. Fumigan bila diberikan
dalam konsentrasi yang sesuai akan dapat membunuh hama dan organisme
tertentu, khususnya sering digunakan untuk mengendalikan serangga dan
hama-hama lain dari golongan vertebrata (Anonimous 2007).
Fosfin dengan nama kimia Hidrogen fosfida (PH3
Fosfin merupakan gas yang sangat beracun, baik terhadap serangga, hewan
mamalia maupun manusia. Walaupun secara kimia memiliki sifat berbahaya
yaitu mudah terbakar, metode aplikasi yang aman dan tepat telah dikembangkan.
Metode aplikasi tersebut yaitu dengan menggunakan bentuk pelet, sachet kecil
atau tablet yang mengandung aluminium fosfida yang dapat memperlambat reaksi
keluarnya gas fosfin dari fosfida (Monro 1969).
) telah dikenal sebagai
salah satu fumigan yang efektif untuk mengendalikan serangga pada biji-bijian,
tepung, hasil tanaman, dan makanan olahan (Monro 1969).
Formulasi pellet, sachet atau tablet juga mengandung ammonium karbamat
yang melepaskan karbondioksida dan ammonium pada saat bersamaan, membantu
menipiskan/mencairkan fosfin dan mengurangi bahaya kebakaran ketika fosfin
terdifusi dari tablet. Gas fosfin dari reaksi antara aluminium fosfida atau
magnesium fosfida dengan uap air di udara menurut reaksi dibawah ini
(Monro 1969).
AIP + 3 H2O PH3 + AI(OH)3
4
Aluminium fosfida bila bereaksi dengan uap air di udara akan melepaskan
gas fosfin, sedangkan amonium karbamat akan mengurai menjadi amoniak dan
karbondioksida. Fosfin hanya diserap sedikit oleh komoditi pangan pada
umumnya dan mudah dihilangkan pada proses aerasi yang dilakukan setelah
fumigasi.
Karakteristik Fosfin
Fosfin hanya sedikit lebih berat daripada udara dan lebih cepat menyebar
dari pada fumigan lainnya, sehingga lebih mudah menembus komoditas tempat
infestasi hama (Anonimous 2007).
Tabel 1. Deskripsi fumigan fosfin
No Deskripsi Fosfin
1 Rumus kimia PH3
2 Bau Karbit/bawang putih
3 Titik didih - 87,4 oC
9 Kelarutan dalam air Sangat larut
10 Rekomendasi WHO/FAO
a. Biji-bijian yang belum diolah b. Biji-bijian yang telah diolah
0,1 ppm 0,01 ppm 11 Efek pada serangga
a. Telur
12 Efek pada lingkungan Tidak ada
13 Waktu pemaparan (Exposure time) Minimal 5 x 24 jam atau sesuai spesifikasi produk
14 Alat bantu aplikasi Relatif tidak perlu
15 Faktor konversi (g/m3 ke ppm) 730
5
Toksisitas Fosfin
Fosfin diketahui sangat beracun terhadap mamalia yang pengaruhnya dapat
secara kumulatif. Konsentrasi 2,8 mg/l (2000 ppm di udara) dapat menyebabkan
kematian dalam waktu singkat (Monro 1969). Pengaruh paparan (exposure) gas
tergantung pada konsentrasi gas, jangka waktu dan intensitas terkena paparan.
Pengaruh yang buruk dapat terjadi tidak hanya oleh paparan pada konsentrasi
yang tinggi, tetapi juga oleh paparan yang terus menerus atau berulang-ulang
walaupun dalam konsentrasi yang rendah.
Gejala umum keracunan yang dapat dirasakan seperti mual, muntah , diare,
pusing, dan sakit pada bagian dada yang dapat menyebabkan kematian karena
”Pulmonary Oedema” (Anonimous 2006). Belum dilaporkan adanya pengaruh
fosfin pada manusia yang dapat mengakibatkan mutasi gen (mutagenik),
embryotoksisitas (keracunan pada organ reproduksi), dan karsinogenik
Fosfin juga sangat beracun terhadap serangga (Lindgren dan Vincent 1966).
Hal ini telah diamati pada satu jenis yaitu kumbang granarius (Sitophilus
granarius (L.) (Coleoptera: Curculionidae) yang dapat mematikan dalam waktu
singkat yaitu sebanyak 80 % tetapi 20 % sisanya dibuktikan sukar dibunuh dengan
paparan diatas 48 jam (Qureshi et al. 1965). Reynolds et al. (1967) melaporkan
kerentanan pada semua fase serangga tersebut pada konsentrasi rendah dengan
lama pemaparan diatas 14 hari. Hasil ini memberi kesan bahwa pada fase
pradewasa dan beberapa serangga yang resisten terhadap fumigan kemungkinan
menjadi rentan terhadap fumigasi selama 10 hari, sehingga lama pemaparan
menjadi faktor penting terhadap mortalitas (Monro 1969).
Pengaruh Fosfin terhadap Komoditas
Fosfin hanya diserap sedikit oleh bahan makanan sehingga pengaruh buruk
akibat residu yang ditinggalkan pada komoditas yang difumigasi relatif rendah
(tidak berbahaya). Pada umumnya sisa gas fosfin dalam komoditas akan mudah
dibuang pada saat dilakukan aerasi setelah fumigasi (Monro 1969).
Dalam melaksanakan fumigasi dengan menggunakan fosfin yang perlu
diperhatikan adalah kadar air komoditas yang akan difumigasi, karena sifat fosfin
6
difumigasi dengan fosfin kurang dari 22 % atau umumnya sama dengan kadar air
untuk komoditas yang akan disimpan (Anonimous 2006). Rekomendasi kadar air
maksimum pada beberapa komoditas yang direkomendasikan seperti pada buncis
15 %, biji coklat 7 %, kopra 7 %, jagung 13,5 %, gabah 15 %, beras 13,5 %, dan
sorghum/gandum 13,5 % ( ACIAR 1999).
Fosfin dapat bereaksi dengan beberapa logam khususnya tembaga atau
bahan yang mengandung tembaga yang dapat menyebabkan korosif, diwujudkan
dengan perubahan warna dan formasi asam. Reaksi ini disebabkan karena
terdapatnya ammonia yang terjadi selama dekomposisi bahan fumigan
(Anonimous 2007).
Pengaruh terhadap daya kecambah dari beberapa uji menunjukkan bukti
yang kuat bahwa fosfin tidak mempengaruhi daya kecambah pada kondisi normal
(Monro 1969).
Beberapa tahun ini fosfin telah banyak digunakan secara luas di beberapa
negara untuk pengendalian serangga pada hasil tanaman. Selama ini akibat
penggunaan fosfin sebagai perlakuan yang direkomendasikan belum terdapat
laporan yang merugikan (Monro 1969).
Mayer dan Hild (1966 dalam Monro 1969) menyatakan bahwa fumigasi
normal dengan fosfin tidak berpengaruh terhadap kandungan vitamin A dan B2
(riboflavin) pada biji-bijian. Fumigasi pada gandum dengan fosfin dibawah
kondisi normal tidak terdapat pengaruh yang merugikan pada kualitas tepung
gandum (Monro 1969).
Residu Fosfin
Ketika aluminium fosfida dalam bentuk tablet atau pellet diaplikasikan pada
bahan pangan akan meninggalkan sedikit bahan sisa setelah perlakuan (Monro
1969). Pada perlakuan bahan yang lain seperti terhadap pangan olahan, disarankan
untuk memberi wadah pada tablet atau pellet yang digunakan, sehingga tidak
terkena langsung dengan komoditi yang akan difumigasi (Monro 1969). Menurut
Atmawijaya (2000) bahwa residu fosfin dalam beras yang difumigasi pada hari
keempat setelah fumigasi 0,038 ppm dan menurun sampai 0,0056 ppm pada hari
7
Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae)
Ordo : Coleoptera
Famili : Tenebrionidae
Genus : Tribolium
Species : Tribolium castaneum
Morfologi
Ukuran tubuh 2,3 – 4,4 mm, bentuk tubuh membujur datar, berwarna coklat
kemerahan, antena dengan 3 ruas membentuk club (capitate), bagian mata
dipotong oleh bagian sisi kepala dengan meninggalkan 3 – 4 mata facet. Serangga
ini mampu menginfestasi hampir semua komoditas yang disimpan dalam gudang
dengan kondisi optimum temperatur 33 oC dan RH 70% (Kalshoven 1981).
Kumbang ini biasa disebut “flour beetle”, karena serangga ini lebih utama
menyerang bahan simpan olahan seperti tepung dan kacang-kacangan. Imago dan
larva memakan sisa bahan simpan padi, pecahan biji-bijian, tetapi tidak merusak
atau menghancurkan seluruh biji.
Kumbang T. castaneum merupakan hama perusak berbagai komoditas hasil
pertanian. Perbedaan morfologi jantan dan betina dapat terlihat pada lubang
sub-basal setiferous pada anterior femurnya. Pada anterior femur serangga jantan
terdapat lubang sub-basal setiferous sedangkan pada serangga betina tidak
terdapat (Hope 1953 dalam Halstead 1962).
Telur berwarna putih dan berukuran kecil, diletakkan di antara partikel
makanan. Ketika diletakkan, telur-telur tersebut ditutupi oleh cairan perekat yang
dapat menyebabkan partikel makanan menempel padanya sehingga telur sulit
dilihat (Harahap 1993).
Larva berbentuk memanjang (tipe campodeiform), berwarna putih
kekuningan. Pada ujung abdomen terdapat tonjolan berbentuk garpu
(urogomphi), berukuran kecil dan berwarna gelap (Harahap 1993). Panjang larva
8
Imago T. castaneum yang dikenal sebagai kumbang tepung merah (red flour
beetle) berwarna coklat kemerahan, panjang tubuhnya antara 2,3 – 4,4 mm,
dengan bentuk agak pipih. Imago mempunyai antena berbentuk clavate (Imdad
dan Nawangsih 1995).
Biologi
Pada kondisi lingkungan yang mendukung imago betina mampu meletakan
telur rata-rata 27,7 butir / dua hari (Abdelsamad et al. 1987). Masa inkubasi telur
berkisar antara tiga sampai enam hari, selama hidupnya imago meletakkan
telurnya 500 butir atau lebih (Shazali & Smith 1985).
Jumlah instar larva diketahui sangat bervariasi. Good (1936) dalam
Abdelsamad et al. (1987) mencatat bahwa terdapat lima sampai sebelas instar
larva. Pada penelitian Abdelsamad et al. (1987) larva T. castaneum melalui 6 - 8
instar sebelum menjadi pupa, tergantung pada keadaan suhu dengan instar
pertama biasanya yang terpendek dan instar terakhir yang terpanjang.
Menurut Grist dan Lever (1969) dalam Sidabutar (1994) larva akan menuju
ke permukaan beras atau komoditas lainnya menjelang fase pupa. Pupa terbentuk
pada beras tanpa adanya kokon (Suyono & Sukarna 1991). Masa pupa
berlangsung selama enam hari (Sidabutar 1994).
Siklus hidup serangga ini relatif pendek yaitu 25 – 35 hari, sehingga laju
peningkatan populasinya relatif cepat. Masa pertumbuhan serangga dari telur
sampai imago berkisar antara 40 sampai lebih dari 100 hari tergantung dari
makanan, kelembaban, dan suhu. Lama hidup imago dapat mencapai 2-3 tahun
(Harahap 1993). Total perkembangan serangga dari telur sampai menjadi imago
yang optimum adalah pada suhu 35 o
T. castaneum dan T. confusum merupakan hama penting yang sering
dijumpai pada gudang penyimpanan biji-bijian dan bahan pangan. Serangga ini
dapat menyerang bahan kering yang berasal dari hewan atau tanaman, tetapi C yaitu hanya berlangsung 19,1 hari
(Abdelsamad et al. 1987). Perkembangan serangga dapat menjadi lebih panjang
apabila keadaan pakan dan lingkungan kurang sesuai (Suyono & Sukarna 1991).
9
khususnya merupakan hama yang penting pada bahan serealia dan biji-biji olahan
dan sebagai hama mayor pada tepung atau beras giling.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan serangga dapat berupa
kerusakan fisik dan kimiawi. Kerusakan secara fisik terjadi akibat kontaminasi
bahan pakan oleh kotoran, jaringan bagian tubuh dan bau kotoran. Serangga
memakan dan merusak struktur fisik bahan pakan, seperti berlubang, hancur dan
memicu pertumbuhan mikroorganisme lain. Aktivitas makan yang dilakukan oleh
serangga menyebabkan bahan pakan kehilangan berat (Harahap 1993, Yuliarni
1994).
Kerusakan secara kimiawi menyebabkan penurunan kualitas bahan. Bahan
pakan yang disimpan dapat mengalami beberapa perubahan kimiawi yang dapat
merubah rasa dan nilai nutrisi. Serangga hama mampu mempercepat perubahan
kimiawi berbahaya. Sekresi enzim lipase oleh serangga mampu meningkatkan
proses kerusakan secara kimiawi.
T. castaneum mampu bertahan pada bahan pangan dengan kadar air rendah
dan terutama menimbulkan kerusakan pada pakan dan serealia yang berkadar air
rendah, masih utuh dan beras dari serpihan. Serangga ini merupakan hama yang
paling banyak ditemukan di gudang penyimpanan biji-bijian serealia, khususnya
pada produk olahan seperti tepung dan beras giling. Bahan pangan yang terserang
berat biasanya tercemar oleh benzokuinon (ekskresi T. castaneum) sehingga
tidak layak untuk dikonsumsi (Sunjaya & Widayanti 2006 ).
Perilaku Serangga
Sejak tahun 1948 penelitian mengenai ekologi serangga telah menunjukkan
bahwa pertumbuhan populasi T. castaneum dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
antara lain kondisi media dan kanibalisme (Li & Arbogast 1991). Serangga ini
memiliki siklus hidup yang relatif pendek sehingga laju peningkatan populasinya
relatif cepat. Mekanisme yang membatasi pertumbuhan populasi yang cepat
adalah dengan tingkah laku kanibalisme yang dilakukan oleh imago dan larva
(Cotton & Wilbur 1974 dalam Yuliarni 1994).
Sebagian besar kanibalisme terjadi terhadap telur, pupa, dan imago yang
10
larva juga dapat dimakan (Yuliarni 1994). Penelitian pada jagung oleh Li &
Arbogast (1991) juga menunjukkan bahwa pada jagung yang tidak rusak,
kanibalisme lebih intensif daripada tepung jagung dan jagung yang sudah pecah
karena sulit bagi larva untuk memakan biji jagung tersebut, disamping itu telur
yang diletakkannya juga lebih mudah ditemukan.
T. castaneum yang dapat merusak beras di penyimpanan adalah fase larva
dan imago (Abdelsamad et al. 1987, Suyono & Sukarna 1991). Kehadiran
serangga lain seperti Sitophilus zeamais (Coleoptera: Curculionidae) menurut
penelitian Li & Arbogast (1991) diketahui tidak mempengaruhi perkembangan
populasi T. castaneum.
Pengaruh Lingkungan terhadap Perkembangan T. castaneum
T. castaneum lebih banyak ditemukan dari pada T. confusum di Sudan,
kemungkinan hal ini menunjukkan bahwa T. confusum kurang toleran terhadap
suhu tinggi (Shazali & Smith 1985). Kondisi optimum untuk perkembangan T.
castaneum adalah pada suhu sekitar 35 oC (Shazali & Smith 1985), dan
kelembaban udara 70 % (Suyono & Sukarna 1991). Menurut Peng dan Rejesus
(1987), populasi T. castaneum meningkat lebih cepat selama bulan-bulan hangat
yaitu bulan Agustus dan September.
Peletakan telur oleh serangga betina juga dipengaruhi oleh suhu. Menurut
penelitian Abdelsamad et al. (1987), suhu optimum untuk peletakan dan
penetasan telur adalah pada 35 oC.
Kelembaban udara tidak mempengaruhi peletakan dan penetasan telur.
Penelitian oleh Shazali & Smith (1985) menunjukkan bahwa pada suhu 30 oC
dengan kelembaban 60, 70, dan 80% tidak mempengaruhi peletakan telur
serangga tersebut. Kelembaban baru berpengaruh nyata terhadap peletakan telur
kalau nilainya lebih rendah dari 40%. Dilaporkan juga bahwa walaupun masa
inkubasi telur menurun dengan naiknya suhu tetapi hal tersebut tidak dipengaruhi
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian di lakukan pada bulan Oktober 2009 hingga Februari 2010
bertempat di Perum Bulog Divisi Regional DKI Jakarta
Bahan dan Metode
Dalam penelitian ini formulasi fosfin yang digunakan berbentuk tablet
dengan volume ruang fumigasi berdimensi meter kubik sebagai tempat
pelaksanaan fumigasi. Ruang fumigasi yang di dalamnya berisi beras ditutup
dengan menggunakan plastik (plastic sheet), terbuat dari poly ethylene (PE) yang
memiliki ketebalan 150 – 250 mikron dan berat 300 – 500 gr/m2. Setelah itu
pada bagian sisi dilakukan penutupan dengan guling pasir (sandsnake) pada
bagian sisa lembaran plastik agar tidak terjadi kebocoran.
Penyiapan Serangga
Serangga (T. castaneum) yang didapat dari tempat penyimpanan/gudang
beras di Desa Situ Gede Kecamatan Bogor Barat dilakukan perbanyakan pada
wadah plastik (plastic box) ukuran diameter 12 x 15 cm. Pengembangbiakan
populasi serangga dilakukan pada beras yang tidak utuh dan tepung beras.
Stoples-stoples perbanyakan yang telah berisi serangga diletakkan dalam kotak
perbanyakan. Perbanyakan dilaksanakan selama 4 bulan hingga diperoleh
generasi ketiga.
Serangga uji yang digunakan adalah serangga uji hasil perbanyakan yang
telah memenuhi syarat dan layak dilakukan untuk penelitian yaitu memiliki umur
yang relatif sama. Serangga-serangga yang digunakan sebagai hewan uji adalah
serangga pada larva yaitu larva instar 5 – 6 dan dewasa (imago) yang berumur
12
Pelaksanaan Fumigasi
Penelitian dilakukan dengan tiga ulangan, menggunakan masing-masing
30 ekor larva dan imago serangga pada setiap satuan percobaan dengan
masing-masing tabung uji berisikan 10 ekor serangga yang ditempatkan pada bagian atas,
tengah, dan bawah tumpukan beras. Perlakuan menggunakan 4 dosis termasuk
kontrol yaitu : 0, 1, 2, dan 3 g/m3. Waktu pemaparan yang digunakan adalah 48,
72, 96, dan 120 jam. Tabung kecil (tube) ukuran diameter 3 x 5 cm yang telah
diberi lubang udara dan berisi serangga uji diletakkan/disimpan di antara beras
yang telah disusun dalam kotak fumigasi. Kotak fumigasi/stapel berukuran 1 m3
yang di dalamnya terdapat karung beras, masing masing berisi beras 15 kg
sebanyak 55 karung, dimana jumlah 1 stapel adalah 825 kg.
Suhu dan kelembaban dalam kotak fumigasi diukur selama berlangsung fumigasi.
Pemeriksaan konsentrasi gas dilakukan pada jam ke- 6, 12, 24, 48, 72 dan
96 setelah peletakan fosfin pada kotak fumigasi bagian tengah. Selang
pengamatan ditempatkan di tengah-tengah kotak fumigasi untuk memantau
konsentrasi gas. Fumigasi dapat dinyatakan berhasil apabila konsentrasi gas dapat
dipertahankan sebesar 200 ppm atau lebih.
Deteksi kebocoran gas dilakukan untuk memastikan ruang fumigasi kedap
gas. Pelaksanaan deteksi kebocoran gas menggunakan alat pendeteksi kebocoran
(leak detector) gas fosfin yang dilakukan 2 jam setelah peletakkan fosfin.
Pengamatan dan Analisis
Parameter pengamatan adalah mortalitas serangga uji dari masing-masing
perlakuan setelah fumigasi. Pengamatan serangga yang mampu bertahan hidup
dilakukan setiap hari dan penghitungan serangga yang mati dilakukan setelah
waktu pemaparan.
Analisis statistik menggunakan program Minitab versi 14. Hubungan
antara konsentrasi dan waktu pemaparan terhadap mortalitas larva dan imago
T. castaneum dengan menggunakan analisis probit sehingga dapat diketahui nilai
HASIL DAN PEMBAHASAN
HasilPelaksanaan fumigasi dilakukan di gudang beras Bulog Jakarta pada suhu
ruang fumigasi berkisar antara 34 – 35 0
Rata-rata konsentrasi gas pada dosis 1 , 2, dan 3 g/m
C, sedangkan kelembaban relatif (RH)
berkisar antara 76 – 78 %.
3
pada 24 dan 48 jam
setelah peletakkan fosfin berturut-turut adalah 612; 1.168; dan 1.818 ppm, 565;
1.090; dan 1.717 ppm. Hasil pelaksanaan fumigasi disajikan pada Tabel 2 dan
Tabel 5. Hasil lain dari penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan yang nyata
terhadap mortalitas imago dan larva dengan penempatan serangga pada karung,
baik pada penempatan posisi di atas, di tengah maupun di bawah.
Pembahasan
Mortalitas Larva
Pada Tabel 2 disajikan nilai rata-rata mortalitas larva berdasarkan perlakuan
dosis dan waktu pemaparan fumigan fosfin. Tampak bahwa makin tinggi dosis
dan makin lama waktu pemaparan fumigan memberikan nilai rata-rata mortalitas
larva yang semakin tinggi.
Tabel 2. Rata-rata mortalitas larva (%).
Dosis (g/m3) Persen mortalitas larva T.castaneum pada waktu paparan
48 jam 72 jam 96 jam 120 jam
0 0 0 0 0
1 52,22 82,22 98,89 100,00
2 65,56 100,00 100,00 100,00
3 85,56 100,00 100,00 100,00
Pada dosis 1 g/m3 berturut-turut pada waktu pemaparan 48, 72, 96 dan 120
jam persen rata-rata mortalitas larva adalah 52,22; 82,22; 98,89 dan 100%,
sedangkan pada dosis 2 g/m3 dengan waktu pemaparan 48 jam persen rata-rata
mortalitas sebesar 65,56% dan mulai waktu pemaparan 72, 96 dan 120 jam
14
waktu pemaparan 48 jam nilai rata-rata mortalitas sebesar 85,56%, dan mulai
waktu pemaparan 72, 96, dan 120 jam memberikan nilai 100%.
Gambar 1. Grafik rata-rata mortalitas larva
Pada gambar 1 perlakuan dosis 1 g/m3 pada waktu pemaparan 48, 72 dan 96
jam memberikan persen rata-rata mortalitas larva kurang dari 100%. Perlakuan
dosis rendah memerlukan waktu pemaparan yang lebih lama agar tercapai
mortalitas larva yang optimum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Reynolds et al.
(1967) bahwa kerentanan pada semua fase serangga pada konsentrasi rendah
membutuhkan waktu pemaparan yang lebih lama.
Hasil sidik ragam (Lampiran 1) pengaruh dosis dan waktu pemaparan fosfin
terhadap mortalitas larva menunjukkan bahwa perlakuan dosis dan waktu
pemaparan fosfin berpengaruh sangat nyata (F-hit > F-tab) terhadap mortalitas
larva dan terdapat interaksi yang sangat nyata (F-hit > F-tab) antara perlakuan
dosis dengan waktu pemaparan fosfin terhadap mortalitas larva.
Tabel 3 disajikan uji nilai tengah perlakuan dengan selang keparcayaan
(5%). Tampak bahwa pada waktu pemaparan 48 jam jika dibandingkan
masing-masing antara dosis 1, 2 dan 3 g/m3 memberikan hasil yang berbeda nyata. Pada
waktu pemaparan 72 jam jika dibandingkan antara dosis 1 g/m3 dengan 2 dan 3
g/m3 terdapat perbedaan yang nyata, namun antara dosis 2 g/m3 dengan 3 g/m3
15
Pada waktu pemaparan 96 jam, antara dosis 1 g/m3 dengan 2 dan 3 g/m3
memberikan hasil yang berbeda nyata, namun antara dosis 2 g/m3 dengan 3 g/m3
tidak terdapat perbedaan yang nyata. Demikian pula halnya pada waktu
pemaparan 120 jam, antara dosis 1 g/m3 dengan 2 dan 3 g/m3 memberikan hasil
yang berbeda nyata, namun antara dosis 2 g/m3 dengan 3 g/m3
Dosis (g/m
tidak terdapat
perbedaan yang nyata.
Tabel 3. Uji nilai tengah pengaruh dosis terhadap mortalitas larva (%)
3 Lama waktu pemaparan fumigan fosfin (jam)
)
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% dengan uji DMRT
Pada Tabel 4 menyajikan uji nilai tengah pengaruh perlakuan waktu
pemaparan pada masing-masing dosis terhadap mortalitas larva. Tampak bahwa
pada dosis 1 g/m3, jika dibandingkan antara waktu pemaparan 48 jam dengan
waktu pemaparan 72, 96, dan 120 jam menunjukkan perbedaan yang nyata.
Perbandingan antara waktu pemaparan 72 jam dengan 96 dan 120 jam
menunjukkan perbedaan yang nyata, namun antara waktu pemaparan 96 jam
dengan 120 jam tidak terdapat perbedaan yang nyata.
Pada dosis 2 dan 3 g/m3, antara waktu pemaparan 48 jam dengan waktu
pemaparan 72, 79 dan 120 jam memberikan hasil yang berbeda nyata.
Sedangkan perbandingan antara masing-masing waktu pemaparan, yaitu pada 72,
16
Tabel 4. Uji nilai tengah pengaruh waktu pemaparan terhadap mortalitas larva (%)
Waktu Pemaparan (jam) Dosis (g/m
3
)
0 1 2 3
48 0,00 a 52,22 c 65,56 b 85,56 b
72 0,00 a 82,22 b 100,00 a 100,00 a
96 0,00 a 98,89 b 100,00 a 100,00 a
120 0,00 a 100,00 a 100,00 a 100,00 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% dengan uji DMRT
Konsentrasi Sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Larva
Pada Gambar 2 disajikan hubungan antara dosis fumigan dengan mortalitas
larva menurut lamanya waktu pemaparan fumigan. Hubungan tersebut
menunjukkan pola hubungan antara dosis dengan mortalitas larva adalah searah
(positif), dimana bertambahnya dosis diikuti dengan meningkatnya nilai
mortalitas larva.
Gambar 2. Respon mortalitas larva T.castaneum pada berbagai dosis fumigan fosfin
Berdasarkan Gambar 2 menurut waktu pemaparan 48 jam pada dosis 1, 2
dan 3 g/m3 menunjukkan pola peningkatan mortalitas larva yang cukup tinggi,
yaitu 52,22; 65,56; dan 85,56%. Berdasarkan waktu pemaparan 72, 96 dan 120
jam menunjukkan pola peningkatan mortalitas larva yang sangat tinggi, dimana
17
Berdasarkan konsentrasi sebagai faktor respon terhadap mortalitas larva,
maka dosis yang dapat digunakan adalah 2 g/m3
Waktu Pemaparan Sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Larva
, dimana dengan menggunakan
dosis tersebut pada waktu pemaparan minimal 72 jam mortalitas larva dapat
mencapai 100%.
Gambar 3 menyajikan pola hubungan antara waktu pemaparan fumigan
terhadap mortalitas larva menurut dosis fumigan. Hubungan tersebut
menunjukkan pola hubungan antara waktu pemaparan dengan mortalitas larva
adalah searah (positif), dimana makin lama waktu pemaparan diikuti dengan
meningkatnya mortalitas larva.
Gambar 3. Respon mortalitas larva T.castaneum pada berbagai waktu pemaparan fumigan fosfin.
Berdasarkan gambar 3, menurut dosis 1 g/m3 dengan lama waktu pemaparan
48, 72, 96 dan 120 jam tampak peningkatan mortalitas larva yang cukup tinggi,
yaitu 52,22; 82,22; 98,89 dan 100%, pada perlakuan dosis 2 dan 3 g/m3
menunjukkan peningkatan mortalitas yang sangat tinggi, dimana dengan waktu
pemaparan 96 dan 120 jam mortalitas larva mencapai 100%.
Berdasarkan waktu pemaparan sebagai faktor respon terhadap mortalitas
larva, maka lamanya waktu pemaparan yang dapat digunakan adalah minimal 72
jam, dimana dengan lama waktu pemaparan tersebut pada dosis 2 g/m3 mortalitas
18
Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan terhadap Mortalitas Larva Berdasarkan hasil analisis probit (Lampiran 5) nilai LD50 dan LD95
menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan fumigan semakin rendah
nilai LD50 dan LD95 tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu
pemaparan, maka dosis/konsentrasi fumigan yang dibutuhkan semakin rendah
Analisis probit pada LD50 dan LD95 dengan waktu pemaparan 48 jam
adalah 1,00 dan 7,22, yang berarti bahwa untuk mematikan 50% dan 95% larva
T.castaneum pada waktu pemaparan 48 jam membutuhkan dosis sebesar 1 dan
7,22 g/m3.
Analisis probit LD50 dan LD95 untuk waktu waktu pemaparan 72, 96 dan
120 jam tidak dapat dilakukan analisis probit, hal ini dikarenakan telah terjadi
kematian larva yang sangat tinggi yaitu mencapai 100% mortalitas.
Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 4) dapat dilakukan analisis
korelasi untuk variabel dosis, waktu pemaparan dan mortalitas larva untuk
mengukur derajat keeratan hubungan antar variabel prediktor dan variabel respon.
Koefisien korelasi (Lampiran 4) antara mortalitas larva dengan dosis adalah
sebesar 0,815, yang berarti antara mortalitas larva dengan dosis memiliki
hubungan yang erat. Berdasarkan kaidah derajat keeratan hubungan (Sarwono
2006), dapat dikatakan antara mortalitas larva dengan dosis memiliki hubungan
korelasi yang sangat kuat. Hal ini sesuai dengan kenyataan dengan meningkatnya
dosis akan memberikan persentase mortalitas larva yang tinggi.
Koefisien korelasi antara mortalitas larva dengan waktu pemaparan sebesar
0,308 yang berarti antara mortalitas larva dengan waktu pemaparan memiliki
keeratan hubungan, yang berarti antara dua variabel tersebut memiliki hubungan
19
Mortalitas Imago
Pada Tabel 5 disajikan persen rata-rata mortalitas imago berdasarkan
perlakuan dosis dan waktu paparan fumigan fosfin. Tampak bahwa makin tinggi
dosis dan makin lama waktu paparan fumigan memberikan rata-rata mortalitas
imago yang semakin tinggi.
Tabel 5. Rata-rata mortalitas imago (%).
Dosis (g/m3) Persen mortalitas imago T.castaneum pada waktu paparan
48 jam 72 jam 96 jam 120 jam
0 0 0 0 0
1 38,89 65,56 76,67 96,67
2 48,89 92,22 100,00 100,00
3 56,67 100,00 100,00 100,00
Pada dosis 1 g/m3 berturut-turut pada waktu pemaparan 48, 72, 96 dan 120
jam persen rata-rata mortalitas imago adalah 38,89; 65,56; 76,67 dan 96,67%,
sedangkan pada dosis 2 g/m3 berturut-turut yaitu 48,89; 92,22; 100,00 dan 100%.
Pada dosis 3 g/m3 dengan waktu pemaparan 48 jam persen rata-rata mortalitas
sebesar 56,67%, dan mulai waktu pemaparan 72, 96 dan 120 memberikan
mortalitas 100%.
Pada gambar 4 perlakuan dosis 1 dan 2 g/m3 pada waktu pemaparan
dibawah 72 jam memberikan persen rata-rata mortalitas imago kurang dari 100%.
Perlakuan dosis rendah memerlukan waktu pemaparan yang lebih lama agar
tercapai mortalitas imago yang optimum. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Reynolds et al. (1967) bahwa kerentanan pada semua fase serangga pada
konsentrasi rendah membutuhkan waktu pemaparan yang lebih lama.
20
Perlakuan dosis 1, 2 dan 3 gr/m3 pada waktu pemaparan 48 jam
menunjukkan persen rata-rata mortalitas imago yang rendah. Hal ini disebabkan
fosfin yang diletakkan dalam ruang fumigasi belum menyebar secara menyeluruh
atau belum terjadi kesetimbangan. Namun setelah 48 jam waktu pemaparan
menunjukkan peningkatan nilai rata-rata mortalitas imago yang sangat tinggi.
Hasil sidik ragam (Lampiran 1) pengaruh dosis dan waktu pemaparan fosfin
terhadap mortalitas imago menunjukkan bahwa perlakuan dosis dan waktu
pemaparan fosfin berpengaruh sangat nyata (F-hit > F-tab) terhadap mortalitas
imago dan terdapat interaksi yang sangat nyata (F-hit > F-tab) antara perlakuan
dosis dengan waktu pemaparan fosfin terhadap mortalitas imago.
Tabel 6 menyajikan uji nilai tengah pengaruh perlakuan dosis pada
masing-masing waktu pemaparan terhadap mortalitas imago. Tampak bahwa pada waktu
pemaparan 48 jam, jika dibandingkan antara dosis 1 g/m3 dengan dosis 2 dan 3
g/m3 memberikan hasil yang berbeda nyata, namun antara dosis 2 g/m3 dengan
dosis 3 g/m3 tidak terdapat perbedaan yang nyata, walaupun nilai rata-rata
mortalitas pada dosis 3 g/m3 lebih tinggi. Pada waktu pemaparan 72 jam pada
masing-masing perlakuan dosis yang digunakan, yaitu antara dosis 1, 2 dan 3 g/m3
memberikan hasil yang berbeda nyata.
Pada waktu pemaparan 96 jam, antara dosis 1 gr/m3 dengan dosis 2 dan 3
g/m3 memberikan hasil yang berbeda nyata, namun antara dosis 2 g/m3 dengan
dosis 3 g/m3 tidak terdapat perbedaan yang nyata. Demikian pula halnya pada
waktu pemaparan 120 jam antara dosis 1 gr/m3 dengan dosis 2 dan 3 g/m3
memberikan hasil yang berbeda nyata, namun antara dosis 2 g/m3 dengan dosis 3
21
Tabel 6. Uji nilai tengah pengaruh dosis terhadap mortalitas imago (%)
Dosis (g/m3
Lama waktu pemaparan fumigan fosfin (jam)
) 48 72 96 120
0 0,00 c 0,00 d 0,00 c 0,00 c
1 38,89 b 65,56 c 76,67 b 96,67 b
2 48,89 a 92,22 b 100,00 a 100,00 a 3 56,67 a 100,00 a 100,00 a 100,00 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% dengan uji DMRT
Tabel 7 menyajikan uji nilai tengah pengaruh perlakuan waktu pemaparan
pada masing-masing dosis terhadap mortalitas imago. Tampak bahwa pada dosis
1 g/m3, jika dibandingkan antara waktu pemaparan 48 jam dengan waktu
pemaparan 72, 96, dan 120 jam memberikan hasil yang berbeda nyata, sedangkan
antara masing-masing waktu pemaparan antara 72, 96 dan 120 jam tidak terdapat
perbedaan yang nyata. Demikian pula halnya pada dosis 2 dan 3 g/m3
Waktu pemaparan (jam)
, antara
waktu pemaparan 48 jam dengan 72, 96 dan 120 jam memberikan hasil yang
berbeda nyata, sedangkan perbandingan antara masing-masing waktu pemaparan
yaitu pada 72, 96 dan 120 jam tidak terdapat perbedaan yang nyata.
Tabel 7. Uji nilai tengah pengaruh waktu pemaparan terhadap mortalitas
22
Konsentrasi sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Imago
Gambar 5 menyajikan pola hubungan antara dosis fumigan dengan
mortalitas imago menurut lamanya waktu pemaparan fumigan. Gambar tersebut
menunjukkan pola hubungan antara dosis dengan mortalitas imago adalah searah
(positif), dimana bertambahnya dosis diikuti dengan meningkatnya mortalitas
imago.
Gambar 5. Respon mortalitas imago T.castaneum pada berbagai dosis fumigan fosfin
Berdasarkan Gambar 6, menurut waktu pemaparan 48 jam, pada dosis 1,
2 dan 3 g/m3 menunjukkan pola peningkatan mortalitas imago yang cukup tinggi,
yaitu 38,89 ; 48,89 dan 56,67. Berdasarkan waktu pemaparan 72, 96 dan 120 jam
menunjukkan pola peningkatan mortalitas imago yang sangat tinggi, dimana
mortalitas imago dapat mencapai lebih dari 50%, bahkan dengan perlakuan dosis
3 g/m3 mencapai 100%.
Berdasarkan konsentrasi sebagai faktor respon terhadap mortalitas imago,
maka dosis yang dapat digunakan adalah 3 g/m3, dimana dengan menggunakan
dosis tersebut dengan waktu pemaparan minimal 72 jam mortalitas optimum
23
Waktu Pemaparan sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Imago
Gambar 6 menyajikan pola hubungan antara waktu pemaparan fumigan
dengan mortalitas imago menurut dosis fumigan. Gambar tersebut menunjukkan
pola hubungan antara waktu pemaparan dengan mortalitas imago adalah searah
(positif), dimana makin lama waktu pemaparan diikuti dengan kenaikan persen
mortalitas imago.
Gambar 6. Respon mortalitas imago T.castaneum pada berbagai waktu pemaparan fumigan fosfin
Berdasarkan gambar 6, menurut perlakuan dosis 1 g/m3 dengan lama waktu
pemaparan 48, 72, 96 dan 120 jam terlihat peningkatan mortalitas imago yang
cukup tinggi, yaitu 38,89; 65,56; 76,67 dan 96,67, pada perlakuan dosis 2 dan 3
g/m3 menunjukkan pola peningkatan mortalitas imago yang sangat tinggi, dimana
dengan waktu pemaparan yang lebih lama yaitu 120 jam mortalitas imago
mencapai 100%.
Berdasarkan waktu pemaparan sebagai faktor respon terhadap mortalitas
imago, maka lamanya waktu pemaparan yang dapat digunakan adalah 72 jam,
dimana dengan menggunakan lama waktu pemaparan tersebut dengan dosis
24
Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan terhadap Mortalitas Imago
Berdasarkan hasil analisis probit (Lampiran 5) nilai LD50 dan LD95
menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan fumigan semakin rendah
nilai LD50 dan LD95 tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu
pemaparan, maka dosis/konsentrasi fumigan yang di butuhkan semakin rendah.
Nilai LD50 dan LD95 berturut-turut pada waktu pemaparan 48, 72 dan 96
jam adalah 2,04; 118,25, 0,81; 2,07 dan 0,69; 1,60.
Berdasarkan hasil analisis probit pada nilai LD95 tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa untuk mematikan 95% imago T.castaneum pada waktu
pemaparan 48, 72 dan 96 jam maka dibutuhkan dosis berturut-turut 118,25, 2,07
dan 1,60 g/m3.
Hasil analisis probit LD95 yaitu 2,07 g/m3 denganwaktu pemaparan 72 jam
tidak berbeda jauh dengan dosis standar penggunaan fumigan fosfin oleh Badan
Karantina Pertanian untuk berbagai jenis hama gudang yang bersifat kosmopolit
dalam rangka memenuhi persyaratan karantina negara lain yaitu 2 g/m3
selama 72 jam (Anonimous 2007), sedangkan dosis yang digunakan oleh perum
BULOG untuk pemeliharaan beras terhadap serangga gudang pada pengujian
efikasi fumigan fosfin terhadap Sithopillus sp. dan T. castaneum adalah 2 g/ton
selama 5 hari (Anonimous 2010), sedangkan jika dibandingkan terhadap dosis
standar perlakuan fumigasi fosfin yang digunakan oleh USDA-APHIS terdapat
perbedaan yaitu sebesar 0,35 g/m3, tetapi tidak terlalu besar yaitu untuk komoditi
kapas-kapasan adalah 1,72 g/m3 selama 72 jam dengan konsentrasi 225 ppm
(USDA-APHIS 2007).
Hasil analisis probit LD95 yaitu 1,60 g/m3 dengan waktu pemaparan 96 jam
terdapat perbedaan sebesar 0,43 g/m3 dengan dosis standar yang digunakan oleh
USDA-APHIS yaitu untuk komoditi tembakau 1,17 g/m3 selama 96 jam dengan
konsentrasi 200 ppm (USDA-APHIS 2007).
Pada waktu pemaparan 48 jam dengan menggunakan analisis probit
diperoleh persamaan regresi yaitu Y = 4,58 + 0,54x, pada waktu pemaparan 72
jam persamaan regresinya adalah Y = 5,24 + 3,40x, sedangkan pada waktu
25
Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 4) dapat dilakukan analisis
korelasi untuk variabel dosis, waktu pemaparan dan mortalitas imago untuk
mengukur derajat keeratan hubungan antar variabel prediktor dan variabel respon.
Koefisien korelasi (Lampiran 4) antara mortalitas imago dengan dosis
adalah sebesar 0,804, yang berarti antara mortalitas imago dengan dosis memiliki
hubungan yang erat. Berdasarkan kaidah derajat keeratan hubungan (Sarwono
2006), dapat dikatakan bahwa antara mortalitas imago dengan dosis memiliki
hubungan korelasi yang sangat kuat. Hal ini sesuai dengan kenyataan dengan
meningkatnya dosis akan memberikan persentase mortalitas imago yang tinggi.
Sedangkan koefisien korelasi antara mortalitas imago dengan waktu pemaparan
sebesar 0,203, yang berarti antara dua variabel tersebut memiliki hubungan
korelasi sangat lemah.
Tabel 8. Rata-rata konsentrasi (ppm) pada saat perlakuan
Dosis (g/m3) Konsentrasi gas fosfin (ppm)
48 jam 72 jam 96 jam 120 jam
1 565,75 295,11 220,67 205,67
2 1090,00 550,11 351,67 298,33
3 1717,17 851,33 495,67 399,33
Berdasarkan hasil pengamatan konsentrasi (ppm) pada tabel 8 di atas terlihat
bahwa rata-rata konsentrasi tertinggi terdapat waktu pemaparan 48 jam. Hal ini
menunjukkan bahwa dekomposisi optimal fosfin terjadi pada waktu
26
Berdasarkan Gambar 7, menunjukkan bahwa konsentrasi tertinggi terdapat
pada saat waktu pemaparan 24 jam dan setelah waktu pemaparan 48 jam
konsentrasi mulai turun. Hal ini dapat dijelaskan bahwa fumigan mulai menyebar
di dalam seluruh ruangan fumigasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dosis dan waktu pemaparan memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap mortalitas larva dan imago Tribolium castaneum. Berdasarkan LD95
mortalitas imago dengan waktu pemaparan 72 dan 96 jam membutuhkan dosis
2,07 dan 1,60 g/m3
Dosis 1, 2 dan 3 g/m .
3
dengan mortalitas larva 100% berturut-turut
membutuhkan waktu 120, 72, dan 72 jam. Dosis 2 dan 3 g/m3
Rekomendasi dosis yang dapat digunakan untuk perlakuan fumigasi fosfin
terhadap T.castaneum untuk keperluan Karantina Tumbuhan adalah 3 g/m dengan mortalitas
imago 100% membutuhkan waktu 96 dan 72 jam.
3
dengan waktu pemaparan 72 jam atau 2 g/m3 dengan waktu pemaparan 96 jam
Saran
Perlu dilakukan penelitian terhadap jenis serangga gudang yang lain pada
DAFTAR PUSTAKA
Abdelsamad RME, Elhag EA, Eltayeb YM. 1987. Studies of the phenology of Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) in the Sudan Gezira. J Stored Product 24(2):101-105.
ACIAR. 1999. Rekomendasi yang diusulkan untuk fumigasi biji-bijian regional ASEAN. : Buku 3 (Fumigasi tumpukan karung dengan fosfin yang disegel dalam plastik tertutup : petunjuk operasional.) Canberra. Australia
Anonimous. 2006. Modul Pelatihan Fumigasi Fosfin yang Baik dan Benar. SEAMEO BIOTROP. Bogor.
Anonimous. 2007. Manual Fumigasi Fosfin. Badan Karantina Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Anonimous. 2010. Laporan Pengujian Efikasi Fumigan Fosfin untuk Pengendalian Hama di Gudang Perum Bulog. Perum Bulog 2010.
Atmawijaya S. 2000. Analisis residu fosfin dalam beras yang telah difumigasi oleh Phostoxin-R. J. Acta Pharma. Indonesia. FMIPA ITB. 22 (2): 31 - 39
Fields PG, White DG. 2002. Alternatives to methyl bromide treatments for stored-product and quarantine insect. Annu. Rev. Entomol. 2002. (47): 331-359
Halstead DGH. 1962. External sex differences in stored-products Coleoptera. Buletin of Entomologi Research. 54: 119-134
Harahap IS. 1993. Penuntun Praktikum Ilmu Hama Gudang. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
Imdad H dan Nawangsih AA. 1995. Menyimpan Bahan Pangan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kalshoven, LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Revised and Translated by P.A van der Laan. PT. Ichtiar Baru – van Hoeve. Jakarta
Li L, Arbogast RT 1991. The Effect of grain breakage on fecundity, development, survival and population increase in maize of Tribolium castaneum (Herbst). (Coleoptera: Tenebrionidae) J. Stored Product Res. 27(2): 87-94.
Lindgren DL, Vincent LE. 1966. Relative toxicity of hydrogen phospide to various stored-product insect. J. Stored. Prod. Res. 2: 141 – 146
30
Qureshi AH, Bond EJ, Monro HAU. 1965. Toxicity of hydrogen phospide to the Granary weevil, Sitophilus granarius (L.) and other insect. J. Eco. Entomol. 58: 324 – 331
Peng WK dan Rejesus BM. 1987. Grain Storage Insects 163-178. Rice Seed Health. Di dalam proseding : International Workshop on Rice Seed Health, 16-20 March 1987. International Rice Research Institute. Manila Philippines.
Reynolds EM, Robinson JM, Howells C. 1967. The effect on Sitophilus granaries (L). of exposure to low concentration of phosphine. J. Stored Products Res. 2:177-186
Sarwono J. 2006. Analisis Data Penelitian. Andi offset. Jakarta
Shazali MEH dan Smith RH. 1985. Life history studies of externally feeding pests of stored sorghum: Corcyra cephalonica (Staint) and Tribolium castaneum (Herbst.). J. Stored Product Res. 22: 55-61
Sidabutar O. 1994. Pengaruh perlakuan tepung dan ekstrak rimpang lima Jenis tanaman Zingiberaceae terhadap perkembangan Tribolium castaneum Herbst (Coleoptera : Tenebrionidae). Laporan Masalah Khusus. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Diterjemahkan oleh Soemantri B. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Sunjaya, Widayanti S. 2006. Pengenalan Serangga Hama Gudang. Didalam Modul; Pengelolaan Hama gudang Terpadu. Editor oleh Djoko Prijono dkk. SEAMEO BIOTROP. Bogor 2006
Suyono, Sukarna D. 1991. Hama Pascapanen dan Pengendaliannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor 3: 801-814.
UNEP. 1998. Report of the Methyl Bromide Technical Options Comitte. Assessment of alternatives to Methyl Bromide. United Nations Enviroment Programme. Nairobi. ISBN: 92-807-1730-8
USDA-APHIS. 2007. Treatment Manual : Fumigation Phosphine. Amerika Serikat
Yuliarni R. 1994. Pengaruh Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) terhadap serangan cendawan pascapanen pada beras . Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor.
33
Lampiran 1. Hasil Analisis Sidik Ragam Mortalitas Larva dan Imago T.castaneum
Sidik ragam pengaruh dosis dan waktu pemaparan fosfin terhadap mortalitas larva.
SK DB JK KT F-hit F-tab
0,05 0,01 Dosis (D) 3 74041,2 24680,4 1501,89** 2,92 4,51 Waktu Pemaparan
(T) 3 4669,4 1556,5 94,72** 2,92 4,51 D x T 9 2724,5 302,7 18,42** 2,21 3,07 Galat 32 525,9 16,4
Total 47 81961,0
Keterangan : **) berbeda sangat nyata pada taraf 1%
Sidik ragam pengaruh dosis dan waktu pemaparan fosfin terhadap mortalitas imago.
SK DB JK KT F-hit F-tab
0,05 0,01 Dosis (D) 3 61112,6 20370,9 502,94** 2,92 4,51 Waktu Pemaparan
(T) 3 9456 3152 77,82** 2,92 4,51
D x T 9 3590,9 399 9,85** 2,21 3,07
Galat 32 1296,1 40,5
Total 47 75455,6
34
Lampiran 2. Data mortalitas (%) larva T. Castaneum
35
Lampiran 3. Data mortalitas (%) imago T. Castaneum
36
Lampiran 4. Hasil analisis korelasi larva dan imago T.castaneum
Analisis Korelasi Pada Imago dan Larva Keluaran Minitab 14
...imago...
Correlations: Dosis; Waktu Pemaparan; Mortalitas imago
Dosis Perlakuan Waktu Pemaparan Waktu Pemaparan 0,000
1,000
Mortalitas imago 0,804 0,303 0,000 0,033
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
…………...……...Larva………
Correlations: Dosis; waktu; mortalitas
dosis waktu waktu1 0,000
1,000
mortalitas 1 0,815 0,308 0,000 0,166
37
Lampiran 5. Hasil analisis probit mortalitas larva dan imago
Analisis probit mortalitas larva pada 48 jam
HETEROGENEITY CHI- SQUARED = 2,6849 WITH 1 DF
-2*MAXIMUM LOG-LIKELIHOOD = 2,6682 (DEFICIENCY RELATIVE TO PERFECT FIT THE PARAMETER ESTIMATES ARE
A S(A) B S(B) ED50
PREP.1 4,996 0,1271 1,9197 0,4165 1,0048
95% LIMITS ED95 95% LIMITS G
PREP.1 0,63 1,2665 7,2227 4,5608 21,606 0,1808
Analisis probit mortalitas imago pada 48jam
HETEROGENEITY CHI- SQUARED = 0,0326 WITH 1 DF
-2*MAXIMUM LOG-LIKELIHOOD = 0,0329 (DEFICIENCY RELATIVE TO PERFECT FIT THE PARAMETER ESTIMATES ARE
A S(A) B S(B) ED50
PREP.1 4,711 0,1279 0,933 0,3914 2,0431
95% LIMITS ED95 95% LIMITS G
PREP.1 1,268 5,2715 118,253 17,6492 28678 0,676
Analisis probit mortalitas imago pada 72 jam
HETEROGENEITY CHI- SQUARED = 1,8075 WITH 1 DF
-2*MAXIMUM LOG-LIKELIHOOD = 2,7019 (DEFICIENCY RELATIVE TO PERFECT FIT THE PARAMETER ESTIMATES ARE
A S(A) B S(B) ED50
PREP.1 5,3722 0,1335 4,0341 0,6471 0,8086
95% LIMITS ED95 95% LIMITS G
PREP.1 0,6198 0,9484 2,0672 1,7717 2,6644 0,0988
Analisis probit mortalitas imago pada 96 jam
HETEROGENEITY CHI- SQUARED = 0,2516 WITH 1 DF
-2*MAXIMUM LOG-LIKELIHOOD = 0,4204 (DEFICIENCY RELATIVE TO PERFECT FIT THE PARAMETER ESTIMATES ARE
A S(A) B S(B) ED50
PREP.1 5,7211 0,1447 4,5 0,965 0,694
95% LIMITS ED95 95% LIMITS G
38
39
40
ABSTRACT
BAMBANG GURITNO. The Relationship between Concentration and Exposure Time of Phosphine to mortality of larva and adult of Triboilium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) under supervised DADANG and PURNAMA HIDAYAT.
Fumigation is one of plant quarantine treatments to rid agricultural commodities from plant pest organisms. Phospine is usually used to treat
agricultural products at storage and is effective to several strorage insect pests. T. castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) is one of important storage
insect pests that can cause high economic loss. This study was aimed to determine the relationship between concentration and exposure time of phospine to mortality of larva and adults of T.castaneum. The research was conducted in BULOG Jakarta, started from Oktober 2009 until Februari 2010.
Four dosage treatments (0,1, 2, 3 g/m3) and the exposure time (48,72, 96, 120 h) were used to monitor mortality of larvae and adults of T.castaneum. The interaction between dosages and time exposure to insect mortality was significant.
LD95 larvae mortality with exposure time of 48 hours required dosage of 7.22 g/m3, while the adult mortality with exposure time 48, 72 and 96 hours required dosage of 118.25; 2.07 and 1.60 g/m3 respectively.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerugian produk pertanian berupa biji-bijian dan/atau bahan pangan di
gudang penyimpanan di beberapa negara tropik disebabkan oleh berbagai faktor
salah satunya adalah serangga gudang. Setiap tahun kehilangan hasil akibat
serangga gudang dapat mencapai 2 – 9 % (Sunjaya dan Widayanti S. 2006).
Beberapa serangga hama penting yang sering merusak produk atau bahan pangan
di penyimpanan adalah dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, dan Psocoptera.
Salah satu serangga gudang yang umum dijumpai adalah T. castaneum.
(Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) Serangga ini dapat ditemukan hampir
disemua komoditas biji-bijian dan tepung yang disimpan, memiliki
perkembangan populasi yang sangat tinggi, sehingga secara ekonomi
keberadaannya sangat merugikan.
Selama masa penyimpanan, biji-bijian atau bahan pangan lainnya akan
mengalami penyusutan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Beberapa faktor
yang langsung dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan yang disimpan adalah
serangga, cendawan, burung, dan tikus. Di daerah tropika penyebab utama
kerusakan pada biji-bijian atau bahan pangan yang disimpan adalah serangga
(Sunjaya dan Widayanti 2006).
Fumigasi sebagai salah satu perlakuan karantina tumbuhan bertujuan untuk
membebaskan komoditas pertanian dari Organisme Pengganggu Tumbuhan
(OPT). Hal ini sesuai dengan tujuan penyelenggaraan kegiatan karantina
tumbuhan yaitu mencegah masuk dan tersebarnya OPT sehingga fumigasi
sebagai perlakuan karantina harus dapat membunuh serangga hama secara
sempurna.
Fumigan metil bromida telah digunakan selama 40 tahun terakhir sebagai
bahan utama fumigasi dalam pengendalian serangga-serangga hama pada bahan
simpanan, kemasan kayu, dan pengolahan pangan (UNEP 1998). Saat ini metil
bromida telah dimasukkan kedalam daftar bahan yang harus dihapus (phasing out)
karena termasuk salah satu bahan kimia yang dapat menyebabkan menipisnya
2
1998 beberapa negara telah mengurangi bahkan menghapus penggunaan metil
bromida sebagai bahan fumigasi.
Fumigan alternatif sebagai alternatif pengganti metil bromida telah banyak
diketahui, diantaranya alil isotiosianat, karbonil sulfida, kloropikrin, etanedinitril
(sianogen), etilen oksida, hidrogen sianida, metil iodida (iodometan), metil
isotiosianat (MITC), fosfin, dan sulfuril fluorida (Field & White 2002). Zhang et
al. (2004) menyatakan bahwa fumigan alternatif dari metil bromida yang telah
digunakan untuk fumigasi hasil hutan di New Zealand yaitu fumigan fosfin.
Fosfin sering digunakan untuk perlakuan bahan hasil pertanian di tempat
penyimpanan, efektif terhadap beberapa jenis serangga gudang, dimungkinkan
dapat menjadi alternatif yang tepat namun masih diperlukan berbagai percobaan–
percobaan terutama terhadap serangga yang memiliki ketahanan yang tinggi.
Pada beberapa jenis serangga memerlukan waktu paparan yang
berbeda-beda pada setiap jenis serangga gudang. Waktu pemaparan pada suhu di bawah
20 oC memerlukan 5 – 16 hari, sedangkan pada suhu diatas 20 o
Tujuan
C memerlukan
5 – 12 hari (Anonimous 2007).
Hubungan konsentrasi dan waktu paparan fumigan fosfin terhadap
T. castaneum belum banyak diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian tentang
hubungan konsentrasi dan waktu pemaparan fumigan fosfin terhadap
T. castaneum.
Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari dan menentukan hubungan
konsentrasi dan waktu pemaparan fumigan fosfin terhadap mortalitas pada fase
TINJAUAN PUSTAKA
Fosfin
Fumigasi merupakan tindakan/perlakuan dengan menggunakan gas/fumigan
dalam suatu ruang atau fumigasi yang kedap udara/gas. Fumigan bila diberikan
dalam konsentrasi yang sesuai akan dapat membunuh hama dan organisme
tertentu, khususnya sering digunakan untuk mengendalikan serangga dan
hama-hama lain dari golongan vertebrata (Anonimous 2007).
Fosfin dengan nama kimia Hidrogen fosfida (PH3
Fosfin merupakan gas yang sangat beracun, baik terhadap serangga, hewan
mamalia maupun manusia. Walaupun secara kimia memiliki sifat berbahaya
yaitu mudah terbakar, metode aplikasi yang aman dan tepat telah dikembangkan.
Metode aplikasi tersebut yaitu dengan menggunakan bentuk pelet, sachet kecil
atau tablet yang mengandung aluminium fosfida yang dapat memperlambat reaksi
keluarnya gas fosfin dari fosfida (Monro 1969).
) telah dikenal sebagai
salah satu fumigan yang efektif untuk mengendalikan serangga pada biji-bijian,
tepung, hasil tanaman, dan makanan olahan (Monro 1969).
Formulasi pellet, sachet atau tablet juga mengandung ammonium karbamat
yang melepaskan karbondioksida dan ammonium pada saat bersamaan, membantu
menipiskan/mencairkan fosfin dan mengurangi bahaya kebakaran ketika fosfin
terdifusi dari tablet. Gas fosfin dari reaksi antara aluminium fosfida atau
magnesium fosfida dengan uap air di udara menurut reaksi dibawah ini
(Monro 1969).
AIP + 3 H2O PH3 + AI(OH)3