• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Potensi Sumberdaya Terumbu Karang Pulau Puhawang Untuk Pemanfaatan Wisata Bahari, Di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Potensi Sumberdaya Terumbu Karang Pulau Puhawang Untuk Pemanfaatan Wisata Bahari, Di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

 

KAJIAN POTENSI SUMBERDAYA TERUMBU KARANG

PULAU PUHAWANG UNTUK PEMANFAATAN

WISATA BAHARI, DI KABUPATEN PESAWARAN,

PROVINSI LAMPUNG

R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

 

  PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

 

“Kajian Potensi Sumberdaya Terumbu Karang Pulau Puhawang Untuk Pemanfaatan Wisata Bahari, Di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung” 

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitet al

kan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tulisan ini.

                

Bogor, Agustus 2011

(3)

 

  RINGKASAN

R. Restama Gustar Hastosaptyadhan. C24053033. Kajian Potensi Sumberdaya Terumbu Karang Pulau Puhawang Untuk Pemanfaatan Wisata Bahari, Di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung”. Dibawah bimbingan Fredinan Yulianda, dan Gatot Yulianto

Pulau Puhawang yang secara administratif termasuk dalam wilayah Desa Puhawang Kecamatan Punduh Pidada – Kabupaten Pesawaran. Memiliki topografi yang landai dan berbukit dengan ketinggian maksimum mencapai 131 m diatas permukaan laut. Kurangnya peran pemerintah dan promosi daerah, minimnya ketersediaan dan perawatan fasilitas yang ada menyebabkan belum berkembangnya kawasan ini. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi potensi sumberdaya alam dan untuk wisata kawasannya dan penyusunan strategi pengelolaan wisata bahari di Pulau Puhawang.

Data primer terdiri dari data persepsi masyarakat, data komunitas terumbu karang, dan data lingkungan perairan. Pengambilan data sosial ekonomi dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling melalui wawancara dengan masyarakat sekitar, pengunjung, dan pemerintah setempat untuk mengetahui permasalahan pengelolaan sumberdaya alam, kependudukan, dan persepsi masyarakat di Pulau Puhawang. Pengamatan komunitas karang yang terdiri dari komunitas terumbu karang, ikan karang, dan penutupan karang dilakukan dengan metode Line Intercept Transect (LIT) terhadap bentuk hidup (life form) dari komunitas karang yang dijumpai sepanjang 20 meter transek garis pada kedalaman 4 meter. Data sekunder yang digunakan berasal dari studi pustaka, data dari penelitian sebelumnya, dan buku-buku yang terkait dengan penelitian ini.

Potensi wisata selam pada Desa Pangetahan termasuk ke dalam kategori S2 yakni sebesar 72,22% dan desa Jelerangan untuk stasiun 1, dan 2 masuk kedalam kategori S1 sebesar 88,89%, dan stasiun 3 sebesar 83,33%. Untuk potensi wisata snorkeling pada desa Pangetahan termasuk ke dalam kategori S2 sebesar 70,18% dan desa Jelerangan termasuk ke dalam kategori S1 untuk stasiun 1 dan 2 sebesar 87,72%, stasiun 3 sebesar 82,46%. Daya dukung pemanfaatan untuk wisata selam di desa Pangetahan adalah 11 orang per hari dan untuk wisata

snorkeling adalah 8 orang per hari. Daya dukung pemanfaatan wisata selam di desa Jelerangan adalah 13 orang per hari dan wisata snorkeling adalah 8 orang per hari.

Alternatif strategi pengelolaan yang tepat untuk pengembangan ekowisata bahari di Pulau Puhawang terdiri dari tiga prioritas. Prioritas pertama adalah meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui penyuluhan teknologi pengolahan limbah dari pemerintah dan semakin meningkatkan kesadaran akan kelestarian bahari untuk kelangsungan ekowisata yang berkelanjutan. Prioritas kedua adalah memaksimalkan potensi sumberdaya, dan aksesibilitas kawasan oleh Pemerintah Desa untuk menarik wisatawan dan investor. Prioritas ketiga adalah memaksimalkan promosi kawasan wisata strategis yang didukung oleh pemerintah, masyarakat, dan wisatawan.

(4)

 

 

KAJIAN POTENSI SUMBERDAYA TERUMBU KARANG

PULAU PUHAWANG UNTUK PEMANFAATAN

WISATA BAHARI, DI KABUPATEN PESAWARAN,

PROVINSI LAMPUNG

R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN

C24053033

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(5)

 

  PENGESAHAN SKRIPSI

Judul Skripsi : Kajian Potensi Sumberdaya Terumbu Karang Pulau Puhawang Untuk Pemanfaatan Wisata Bahari,

Di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung Nama Mahasiswa : R. Restama Gustar Hastosaptyadhan

Nomor Pokok : C24053033

Departemen : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc NIP. 19630731 198803 1 002

Ir. Gatot Yulianto, M.Si NIP. 19650706 199203 1 002

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,

(6)

 

  PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan. Adapun judul skripsi ini adalah “Kajian Potensi Sumberdaya Terumbu Karang Pulau Puhawang Untuk Pemanfaatan Wisata Bahari, Di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung”. Penelitian yang dilakukan merupakan kajian terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan untuk kegiatan ekowisata bahari, agar tercapai pemanfaatan yang optimal dan pembangunan yang berkelanjutan di Pulau Puhawang, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

(7)

 

  UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillah kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala karunia dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis persembahkan skripsi ini kepada Ayah dan Bunda tercinta, sebuah karya kecil bila dibandingkan dengan kasih sayang, rasa cinta, doa, kesabaran, dan pengorbanan mereka yang begitu besar. Semoga karya ini dapat membuahkan kebahagiaan bagi Ayah dan Bunda tercinta.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, khususnya kepada :  

1. Bapak Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. dan Bapak Ir. Gatot Yulianto, M.Si. selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak bersabar dalam membimbing penulis, memberikan banyak masukan dan arahan

2. Bapak Ir. Agustinus Samosir M.Phil selaku penguji tamu dalam sidang skripsi atas masukan dan koreksi pada skripsi ini

3. Ibunda Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.S selaku penguji tamu dalam sidang skripsi dan pembimbing akademik atas bimbingan yang diberikan kepada penulis baik saran maupun nasehat yang bermanfaat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

4. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung

5. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung

6. Ibunda Dr.Ir. Endang Linirin Widiastuti M.Sc selaku pembimbing saat melakukan penelitian lapang di Pulau Puhawang

7. Mas Dodo, Universitas Lampung selaku pendamping pengambilan data bawah air

8. Kepala Desa Pangetahan di Pulau Puhawang

9. Kedua orang tua saya atas doa, semangat, dukungan, perhatian dan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis

(8)

 

  11.Mbak Widar yang telah banyak bersabar dan memberikan kontribusi

yang luar biasa selama perkuliahan

12.Mas Dedi yang banyak membantu dalam kesuksesan perkuliahan 13.Aris Sutrisna yang dengan sabar memberikan motivasi, bantuan

(9)

 

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu pada tanggal 16 Mei 1987, sebagai anak tunggal pasangan Ir. Agus Tridoso Pantjastadi Nurtjahjo M.P dan Dr. Ir. Pamuji Lestari M.Sc. Pendidikan formal diawali di SDN Sinduadi III. Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada tahun 1993 yang kemudian dilanjutkan di SDN Polisi I Bogor pada tahun 1994 dan lulus tahun 1999. Pada tahun itu pula penulis diterima di SMP Negeri 4 Bogor dan menyelesaikan studi pada tahun 2002. Penulis menyelesaikan pendidikan SMU pada tahun 2005 di SMU Negeri 3 Bogor.

Penulis kemudian melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), diterima sebagai mahasiswa S1 Program Studi Biologi pada tahun 2005 dan pindah ke Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun 2006.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Organisasi Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (MPMKM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (DPMKM) periode 2005-2006, Unit Kegiatan Mahasiswa Music Agriculture X-pression (2005).

(10)

xi 

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Permasalahan ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.4. Manfaat Penelitian ... 2

II.TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1.Definisi dan Kriteria Wisata ... 3

2.2.Prinsip Ekowisata Nasional ... 3

2.3.Penerapan Ekowisata di Pulau-pulau Kecil ... 5

2.3.1. Prinsip konservasi bahari ... 5

2.3.2. Prinsip partisipasi masyarakat ... 6

2.3.3. Prinsip ekonomi ... 7

2.3.4. Prinsip edukatif ... 7

2.4.Karakteristik dan Potensi Sumber Daya Pulau-pulau Kecil ... 8

2.4.1. Potensi sumber daya hayati Pulau-pulau Kecil ... 8

2.4.1.1. Ekosistem terumbu karang ... 8

2.4.1.2. Ekosistem lamun (Seagrass) ... 9

2.4.1.3. Ekosistem mangrove ... 10

2.4.1.4. Pantai ... 10

2.5.5. Kecepatan arus ... 13

2.5.6. DO (Dissolved Oxygen) / Oksigen terlarut ... 13

2.5.7. COD (Chemical Oxygen Demand)... 14

2.5.8. BOD (Biochemical Oxygen Demand) ... 14

2.5.9. Derajat keasaman (pH) ... 14

III. METODE PENELITIAN ... 16

3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian ... 16

3.2.Alat dan Bahan ... 17

3.3.Jenis Data dan Informasi yang Diperlukan ... 17

3.4.Metode Pengambilan dan Pengumpulan Data ... 17

(11)

xii 

3.4.3. Metode wawancara... 18

3.5.Analisis Data ... 18

3.5.1. Indeks kesesuaian wisata... 18

3.5.2. Daya dukung kawasan (DDK) ... 20

3.6.Analisis SWOT ... 21

3.7.Analisa dan Pembuatan Matriks EFE (Eksternal Factor Evaluation) 22 3.8.Analisa dan Pembuatan Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) 22 3.9.Pembuatan Tabel Rangking Alternatif Strategi ... 25

IV. HASILDAN PEMBAHASAN ... 27

4.1.Kondisi Umum Pulau Puhawang ... 27

4.1.1. Sejarah Pulau Puhawang ... 27

4.1.2. Letak, luas, dan keadaan geografi ... 27

4.2.Potensi Sumber Daya Alam Pulau Puhawang ... 28

4.2.1. Potensi umum Pulau Puhawang ... 28

4.2.2. Potensi sumber daya terumbu karang ... 30

4.2.3. Potensi Perikanan Pulau Puhawang ... 31

4.3.Kualitas Air ... 33

4.3.1. Parameter fisika ... 34

4.3.2. Parameter kimia ... 37

4.4.Karakteristik Sosial Ekonomi ... 41

4.4.1. Karakteristik masyarakat sekitar ... 41

4.4.1.1. Karakteristik demografi ... 41

4.4.1.2. Karakteristik psikografi ... 45

4.4.2. Karakteristik wisatawan ... 52

4.4.2.1. Karakteristik demografi ... 52

4.4.2.2. Karakteristik psikografi ... 57

4.5.Kesesuaian Wisata ... 71

4.5.1. Indeks kesesuaian wisata selam ... 71

4.5.2. Indeks kesesuaian wisata snorkeling ... 72

4.5.3. Indeks kesesuaian wisata Pulau Puhawang ... 73

4.5.4. Daya dukung kawasan ( DDK ) ... 75

4.6.Strategi Pemanfaatan Kawasan ... 77

4.6.1. Penentuan Kekuatan, Kelemahan, Ancaman dan Peluang Kawasan Pulau Puhawang ... 77

4.6.2. Analisis dan penilaian faktor internal dan eksternal ... 81

4.6.3. Pembuatan matriks Internal Factor Evaluation ( IFE ) dan matriks External Factor Evaluation ( EFE ) ... 82

4.6.4. Pembuatan matriks SWOT ... 83

4.6.5. Alternatif strategi pengelolaan ... 84

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

5.1.Kesimpulan ... 91

5.2.Saran ... 92

(12)

xiii 

(13)

xiv 

Tabel Halaman

1. Pengaruh TSS terhadap kepentingan perikanan ... 13

2. Matriks kesesuaian area untuk ekowisata bahari kategori wisata selam ... 19

3. Matriks kesesuaian area untuk ekowisata bahari kategori wisata snorkeling ... 20

4. Potensi ekologis pengunjung ( K ) dan luas area kegiatan ( Lt ) .... 21

5. Matriks penentuan bobot berdasarkan metode paired comparison 24 6. Matriks Internal Factor Evaluation ( IFE ) dan matriks External Factor Evaluation ( EFE ) ... 25

7. Parameter fisika stasiun I Pangetahan ... 34

8. Parameter fisika stasiun II Jelerangan ... 34

9. Parameter kimia stasiun I Pangetahan ... 37

10. Parameter kimia stasiun II Jelerangan ... 37

11. Tingkat kepentingan faktor internal kawasan ekowisata bahari Pulau Puhawang ... 81

12. Tingkat kepentingan faktor eksternal kawasan ekowisata bahari Pulau Puhawang ... 82

13. Penilaian bobot faktor strategis internal kawasan ekowisata bahari Pulau Puhawang ... 82

14. Penilaian bobot faktor strategis eksternal kawasan ekowisata bahari Pulau Puhawang ... 83

15. Matriks penentuan skor faktor strategis internal dan eksternal kawasan ekowisata bahari Pulau Puhawang ... 83

16. Matriks SWOT ... 83

17. Peringkat alternatif strategi ... 85

(14)

xv 

Gambar Halaman

1. Peta lokasi penelitian ... 16

2. Kondisi ekosistem terumbu karang di Desa Pangetahan kedalaman 6 meter ... 30

3. Kondisi ekosistem terumbu karang di Desa Jelerangan kedalaman 6 meter ... 31

4. Kelimpahan ikan karang sepanjang garis transek Desa Pangetahan ... 32

5. Kelimpahan ikan karang sepanjang garis transek Desa Jelerangan ... 33

6. Usia responden ... 42

7. Komposisi jenis kelamin responden ... 42

8. Tingkat pendidikan responden... 43

9. Jenis Pekerjaan ... 44

10. Rata-rata pendapatan responden di Pulau Puhawang ... 45

11. Pengetahuan masyarakat ( responden ) mengenai ekowisata ... 46

12. Pengetahuan masyarakat ( responden ) tentang konservasi ... 46

13. Aspirasi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata ... 47

14. Persepsi positif masyarakat pulau terhadap pengembangan ekowisata ... 48

15. Persepsi negatif masyarakat pulau terhadap pengembangan ekowisata ... 48

16. Dampak sosial ekowisata terhadap masyarakat pulau ... 49

17. Distribusi kesempatan bantuan kepada masyarakat ... 50

18. Sikap masyarakat terhadap pengembangan ekowisata ... 50

19. Preferensi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata ... 51

20. Dukungan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata ... 52

21. Komposisi jenis kelamin wisatawan ... 53

22. Usia wisatawan ... 53

23. Daerah asal wisatawan ... 54

(15)

xvi 

26. Pendapatan wisatawan ( per bulan ) ... 56

27. Biaya yang dikeluarkan wisatawan untuk berwisata ... 57

28. Persepsi perbaikan fasilitas ... 58

29. Kawasan pesisir dan terumbu karang Pulau Puhawang ... 59

30. Aktivitas wisatawan ... 59

31. Persepsi terhadap aksesibilitas ekowisata di Pulau Puhawang ... 60

32. Persepsi terhadap pelayanan ekowisata ... 61

33. Persepsi terhadap keamanan ekowisata ... 61

34. Persepsi terhadap kenyamanan berekowisata ... 62

35. Persepsi terhadap kebersihan lingkungan ekowisata ... 63

36. Persepsi terhadap keindahan alam kawasan wisata ... 63

37. Keaslian lingkungan wisata ... 64

38. Persepsi terhadap keaslian lingkungan wisata ... 64

39. Persepsi terhadap sistem tata ruang dan tata letak fasilitas ... 65

40. Persepsi terhadap sarana dan prasarana tempat sampah ... 66

41. Persepsi terhadap sarana dan prasarana MCK ... 67

42. Persepsi terhadap sarana dan prasarana air bersih ... 67

43. Persepsi terhadap sarana dan prasarana tempat duduk ... 68

44. Persepsi terhadap sarana dan prasarana tempat beribadah ... 68

45. Persepsi terhadap sarana dan prasarana papan informasi ... 69

46. Persepsi terhadap sarana dan prasarana tempat penginapan ... 70

47. Manfaat terhadap pengembangan ekowisata ... 71

48. Peta kesesuaian wisata selam Pulau Puhawang ... 72

49. Peta kesesuaian wisata snorkeling Pulau Puhawang ... 73

50. Overlay kesesuaian wisata ... 75

51. Kondisi Pulau Puhawang ... 89

52. Rencana pengelolaan penataan kawasan wisata ... 90

(16)

xvii 

1. Foto-foto penelitian ... 95

2. Kuesioner untuk masyarakat ... 97

3. Kuesioner untuk wisatawan ... 99

4. Tabel indeks kesesuaian wisata selam di Desa Pangetahan ... 103

5. Tabel indeks kesesuaian wisata selam di Desa Jelerangan ... 103

6. Tabel indeks kesesuaian wisata snorkeling di Desa Pangetahan ... 104

(17)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang sangat kaya akan sumberdaya alam. Pulau yang dimiliki Indonesia berjumlah sekitar 17.504 pulau. Negara kita mempunyai kekhasan dengan pulau- pulaunya yang tersebar membentang dari Sabang sampai Merauke. Salah satu pulau yang memiliki potensi bahari untuk dikembangkan adalah Pulau Puhawang. Pulau Puhawang yang terletak di Provinsi Lampung, memiliki jarak sekitar 46 km, atau sekitar 45 menit dari kota Lampung melalui jalan darat yang kemudian dilanjutkan lagi dengan perahu motor dari Desa Ketapang – Kecamatan Padang Cermin – Kabupaten Pesawaran dengan waktu tempuh sekitar 20 menit. Jika ditempuh dari Bandar Lampung dapat ditempuh dengan perahu bermotor 1-2 jam. Secara administratif, Pulau Puhawang termasuk dalam wilayah Desa Puhawang Kecamatan Punduh Pidada – Kabupaten Pesawaran yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2007.

(18)

1.2. Rumusan Permasalahan

Pulau Puhawang memiliki sumberdaya alam yang sangat indah dan dapat dijadikan sebagai objek wisata potensial yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke kawasan ini. Wilayah pesisir yang bersubstrat pasir putih, terumbu karang dan vegetasi pantai yang masih baik, air tawar yang bersih sepanjang tahun dapat menjadi daya tarik yang sangat berpotensi untuk menarik minat wisatawan.

Pulau Puhawang tidaklah lepas dari berbagai permasalahan yang hadir sebagai sebuah konsekuensi untuk terjadinya perubahan bagi masyarakat. Berbagai persoalan yang dihadapi antara lain: penangkapan biota laut dengan menggunakan bom, penangkapan rebon dengan potasium, pengambilan terumbu karang, penebangan mangrove, rendahnya produksi dan murahnya hasil pertanian.

Permasalahan yang ada di Desa Pulau Puhawang merupakan suatu perwujudan dari besar dan kompleksnya proses pembangunan yang harus dilakukan di Desa Pulau Puhawang. Keragaman masalah ini muncul menjadi permasalahan bersama masyarakat Desa Pulau Puhawang mengingat kepentingan masyarakat yang sangat kuat terhadap keselamatan sumberdaya alam baik di darat maupun di laut terlebih dengan potensi hutan mangrove yang memiliki fungsi yang sangat besar bagi keselamatan Pulau Puhawang.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Melakukan identifikasi potensi sumberdaya alam dan untuk wisata kawasannya

2. Menyusun strategi pengelolaan wisata bahari

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi wisata Pulau Puhawang, sumberdaya yang dimiliki, dan strategi pengelolaannya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan arahan bagi

(19)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Kriteria Wisata

Wisata merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan manusia untuk kepentingan wisata dikenal juga dengan pariwisata. Pariwisata merupakan kegiatan perpindahan / perjalanan orang secara temporer dari tempat biasanya mereka bekerja dan menetap ke tempat luar, guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau di tempat tujuan (Holloway & Plant 1989 in Yulianda 2007).

Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Ekowisata merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam / lingkungan dan industri kepariwisataan (Meta 2002 in

Yulianda 2007). Menurut Wood (199) in Yulianda (2007) mendefinisikan ekowisata merupakan bentuk baru dari perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami dan berpetualang, serta dapat menciptakan industri pariwisata. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan wisata pantai dan wisata bahari.

Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olahraga, menikmati pemandangan dan iklim. Kegiatan ekowisata bahari yang dapat dikembangkan dari wisata pantai adalah rekreasi pantai, panorama, resorti / peristirahatan, berenang, berjemur, olahraga pantai (volley pantai, jalan pantai, dan lempar cakram), berperahu, memancing, dan wisata mangrove (Yulianda 2007 ).

2.2. Prinsip Ekowisata Nasional

(20)

Meningkatnya intensitas penyelenggaraan kegiatan pariwisata dan berkembangnya kawasan-kawasan wisata baru diberbagai daerah di tanah air maka lingkup wilayah yang terjamah juga semakin meluas. Bersamaan dengan itu, tekanan terhadap lingkungan makin tinggi dan pengaruh yang ditimbulkan makin besar.

Kondisi Objektif dilapangan menunjukkan banyak kawasan-kawasan wisata yang sudah berkembang mengalami penurunan mutu lingkungan. Kecenderungan tersebut harus ditanggapi sebagai suatu kondisi yang kontra-produktif terhadap masa depan pariwisata Indonesia. Untuk mencegah berlanjutnya permasalahan dimaksud, dibutuhkan konsep operasional dalam pengembangan dan penyelenggaraan pariwisata nasional.

Ada empat prinsip yang diangkat dan dikembangkan sebagai konsep pengembangan dan penyelenggaraan pariwisata berbasis lingkungan dan pemberdayaan masyarakat yang populer dikenal dengan istilah ekowisata, yaitu:

1. Prinsip pemanfaatan yang berlanjut.

Ekowisata terkait dengan pemanfaatan lingkungan secara lestari, mengingat lingkungan adalah salah satu modal dasar pengembangan dan menjadi daya tarik bagi ekowisata.

2. Prinsip pengakuan hak akses masyarakat adat dan lokal.

Ekowisata diselenggarakan dengan tetap mengakui hak akses masyarakat adat lokal untuk peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup. Ekowisata berpihak pada pembentukan masyarakat madani dan sensitif terhadap tata nilai budaya masyarakat adat dan masyarakat lokal serta nilai-nilai sosial masyarakat.

3. Prinsip sinergi antar para pihak

Ekowisata harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan “

Stakeholders “ untuk mendapatkan nilai tambah terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ekowisata mampu menjawab pergeseran nilai, minat, dan preferensi yang berkembang di sisi pasar.

(21)

Ekowisata harus mampu menciptakan keselarasan hubungan antar kepentingan dan perlindungan konsumen. Ekowisata mampu memberikan kontribusi pembangunan ekonomi daerah dan nasional.

2.3. Penerapan Ekowisata di Pulau-pulau Kecil

Pulau-pulau kecil didefinisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu luasan pulau dan jumlah penduduk yang menghuninya. Definisi pulau-pulau kecil yang dianut secara nasional adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa (Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No.41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No.67/2002). Disamping kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular; mempunyai sejumlah besar jenis endemic dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; tidak mampu mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.

Berdasarkan tipenya, pulau-pulau kecil dibedakan menjadi pulau benua, pulau vulkanik dan pulau karang. Masing-masing tipe pulau tersebut memiliki kondisi lingkungan biofisik yang khas, sehingga perlu menjadi pertimbangan dalam kajian dan penentuan pengelolaanya agar berkelanjutan.

2.3.1. Prinsip konservasi bahari

(22)

1. Memperhatikan kualitas daya dukung lingkungan Daerah Tujuan Ekowisata (DTE) melalui zonasi.

2. Mengelola dan menciptakan kegiatan wisata yang berdampak negatif rendah dan ramah lingkungan.

3. Menyisihkan hasil keuntungan untuk kegiatan konservasi DTE dan meningkatkan sumberdaya manusia (SDM) setempat.

4. Menjaga kualitas DTE melalui pengelolaan penunjang, sarana dan fasilitas.

5. Mengembangkan kegiatan interpretasi untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi para pelaku dan pengunjung terhadap lingkungan alam dan budaya.

6. Melakukan monitoring untuk meminimumkan dampak negatif yang ditimbulkan.

7. Mengelola usaha secara sehat.

Pengelolaan ekowisata bahari di kawasan konservasi laut disesuaikan dengan Pedoman Pengembangan Wisata Bahari Berbasis Masyarakat di Kawasan Konservasi Laut.

2.3.2. Prinsip partisipasi masyarakat

Pengembangan ekowisata harus didasarkan atas musyawarah dan persetujuan masyarakat setempat serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan yang dianut masyarakat di sekitar kawasan pulau-pulau kecil yaitu:

1. Melibatkan masyarakat setempat dan pihak-pihak yang terkait dalam proses perencanaan dan pengembangan ekowisata.

2. Membuka kesempatan dan mengoptimalkan peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan keuntungan dan berperan aktif dalam kegiatan ekowisata.

(23)

4. Meningkatkan keterampilan masyarakat setempat dalam bidang-bidang yang berkaitan dan menunjang pengembangan ekowisata. 5. Mengutamakan peningkatan ekonomi lokal serta meningkatkan

pendapatan masyarakat. Contoh terdapatnya / terwujudnya suatu aliran perekonomian yang berbasis masyarakat dan berpola kemitraan.

2.3.3. Prinsip ekonomi

Pengembangan ekonomi harus mampu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya, untuk memastikan bahwa daerah yang masih alami dapat mengembangkan pembangunan yang berimbang (balanced development ) antara kebutuhan pelestarian lingkungan dan kepentingan semua pihak. Contoh pertumbuhan ekonomi lokal melalui investasi penyediaan sarana pariwisata dan usaha ekonomi masyarakat.

1. Membuka kesempatan kepada masyarakat setempat untuk berusaha dan menjadi pelaku-pelaku ekonomi kegiatan ekowisata baik secara aktif maupun prinsip.

2. Memberdayakan masyarakat dalam upaya peningkatan usaha ekowisata untuk kesejahteraan penduduk setempat.

2.3.4. Prinsip edukatif

Meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya, serta memberikan nilai tambah dan pengetahuan bagi pengunjung, masyarakat dan para pihak yang terkait.

Kriteria yang digunakan sebagai berikut:

1. Mengoptimalkan keunikan dan kekhasan daerah sebagai daya tarik wisata.

(24)

3. Mengoptimalkan peran masyarakat sebagai interpreter lokal dari produk ekowisata.

4. Memberikan pengalaman yang berkualitas dan bernilai bagi pengunjung.

2.4. Karakteristik dan Potensi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil

Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem khas tropis dengan produktivitas hayati tinggi yaitu terumbu karang (coral reef), padang lamun (seagrass), dan hutan bakau (mangrove). Ketiga ekosistem tersebut saling berinteraksi baik secara fisik maupun dalam bentuk bahan organic terlarut, bahan organic partikel, migrasi fauna, dan aktivitas manusia.

2.4.1. Potensi sumberdaya hayati pulau-pulau kecil 2.4.1.1. Ekosistem terumbu karang

Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan kalsium karbonat (CaCo3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia yang hidup bersimbiose dengan alga bersel satu Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat.

Manfaat yang terkandung dalam terumbu karang sangat besar dan beragam. Manfaat langsung yaitu sebagai habitat bagi sumberdaya ikan (tempat mencari makan, memijah, dan asuhan), batu karang, pariwisata, wahana penelitian, dan pemanfaatan biota perairan lainnya. Manfaat tidak langsung seperti fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati dan lain sebagainya.

(25)

terumbu karang juga menjadi daya tarik tersendiri serta menjadi perhatian bagi para ahli, mahasiswa, dan perusahaan farmasi sebagai obyek penelitian.

Ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan, karang, moluska dan krustasea bagi masyarakat di kawasan pesisir, dan bersama ekosistem pantai lainnya menyediakan makanan dan menjadi tempat memijah bagi berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi.

Di kawasan pulau-pulau kecil banyak dijumpai karang dari berbagai jenis yang terdapat pada rataan terumbu tepi (fringing reef), sedangkan di kawasan Indonesia bagian Timur sering dijumpai terumbu karang dengan tipe terumbu cincin (atoll).

Ekosistem terumbu karang dikatakan buruk apabila mempunyai karang hidup sebesar 0 – 24,9 %, sedang apabila tutupan karang hidup 25 – 49,9 %, dikatakan bagus apabila tutupan karang hidup 50 – 74,9 % dan dikatakan sangat bagus apabila mempunyai tutupan karang hidup > 75 % (Gomez & Alcala 1984 in

Yuniarti 2007).

2.4.1.2. Ekosistem lamun (Seagrass)

Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizome, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara seksual (dioecious). Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari untuk mendukung pertumbuhannya, biasanya hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2-12 meter, dengan sirkulasi air yang baik. Substrat lumpur-berpasir merupakan substrat yang paling disukai oleh lamun dan berada diantara ekosistem mangrove dan terumbu karang.

(26)

melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari. Disamping itu, padang lamun juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan budidaya berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram, tempat rekreasi dan sumber pupuk hijau. Pada kawasan pulau-pulau kecil banyak dijumpai lamun dari jenis

Enhalus dan Thalassia, karena di kawasan ini kandungan sedimen organiknya relatif rendah dan didominasi oleh substrat pasir.

2.4.1.3. Ekosistem mangrove

Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrient bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahanan abrasi, pergerakan angin, topan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya. Sedangkan secara ekonomis berfungsi sebagai penyedia kayu, bahan baku obat-obatan dan lain-lain. Disamping itu, ekosistem hutan mangrove juga memberikan manfaat tidak langsung, terutama sebagai habitat bagi bermacam-macam binatang seperti binatang laut (udang, kepiting, dan beberapa jenis ikan), dan binatang melata lainnya.

Di kawasan pulau-pulau kecil jenis mangrove yang banyak ditemukan adalah jenis Avicennia, karena wilayah pulau-pulau kecil merupakan daerah yang ketersediaan air tawarnya terbatas, pasolan sedimen (bahan organiknya) relatif rendah dan memiliki substrat pasir.

2.4.1.4. Pantai

Ekosistem pantai atau daerah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut. Sumberdaya pantai terdiri dari pantai itu sendiri dan perairan laut dangkal di depannya. Tipe pantai dapat dibedakan berdasarkan tipe substrat yang membentuk hamparan pantainya, yaitu pantai berpasir, pantai berlumpur, dan pantai berbatu.

(27)

dibatasi hanya di daerah dimana gerakan air yang kuat mengangkut partikel-partikel yang halus dan ringan dan terendap pada daratan pantai yang landai.

Partikel yang kasar dari pantai berpasir ini menyebabkan hanya sebagian kecil permukaanya yang menyerap bahan organic baik yang terlarut maupun yang berukuran sangat kecil, serta yang tersedia untuk bakteri. Total bahan organik dan organisme hidup di pantai berpasir jauh lebih sedikit dibandingkan jenis pantai lainnya. Sedimen yang kasar tidak dapat menahan air dengan baik, akibatnya lapisan permukaan bias menjadi kering sampai sedalam beberapa centimeter di bagian atas pantai yang terbuka terhadap matahari pada saat air surut. Begitu juga dengan organisme yang hidup di habitat pasir sangat sedikit karena tempat tinggalnya tidak stabil dan makanan yang tersedia sedikit. Hal ini menyebabkan kesuburan perairan pantai berpasir sangat rendah dibandingkan habitat lainnya di wilayah pesisir. Meskipun demikian tempat ini merupakan tempat beberapa biota untuk meletakkan telurnya sebelum menetas dan berenang dalam air. Parameter utama yang menonjol di daerah pantai berpasir adalah (1) pola arus yang dinamis, (2) gelombang yang akan melepaskan energinya di pantai, (3) angin yang juga merupakan pengangkut pasir, (4) kisaran suhu yang luas, (5) kekeringan, (6) partikel yang padat / kekeruhan, dan (7) substrat yang tidak stabil.

2.5. Kualitas Air 2.5.1. Suhu

(28)

terlarut di perairan sehingga oksigen di perairan terkadang tak mampu memenuhi peningkatan oksigen yang dibutuhkan oleh organisme. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20oC – 30oC.

2.5.2. Kecerahan

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan perairan berhubungan erat dengan jumlah intensitas sinar matahari yang masuk ke suatu perairan. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi dalam perairan, kepadatan plankton, jasad renik, dan detritus (Wardoyo 1975 in

Lukfiana, 1999). Nilai kadar alamiah untuk kecerahan adalah sebesar 50-90 cm (Effendi 2003).

2.5.3. Salinitas

Salinitas adalah konsentrasi semua ion-ion terlarut dalam air yang dinyatakan dalam gram/liter atau bagian perseribu atau promil (Boyd 1979 in

Nurlatifah 1999). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida telah digantikan klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi 2003). Nilai kadar alamiah dari salinitas sebesar < 0,5 ‰ untuk perairan tawar, 0,5 - 30 ‰ untuk perairan payau, dan 30 - 40 ‰ untuk perairan laut (Effendi 2003)

2.5.4. Total Suspended Solid (TSS)

(29)

cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis di perairan.

Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi ditunjukan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh TSS terhadap kepentingan perikanan

Nilai TSS (mg/liter) Pengaruh terhadap kepentingan Perikanan

<25 Tidak berpengaruh

25 – 80 Sedikit berpengaruh

81 – 400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan >400 Tidak baik bagi kepentingan perikanan Sumber: Alabaster dan Lloyd (1982) in Effendi, 2003

2.5.5. Kecepatan arus

Arus merupakan gerakan horizontal atau vertikal dari massa air menuju kestabilan yang terjadi secara terus menerus. Gerakan yang terjadi merupakan hasil resultan dari berbagai macam gaya yang bekerja pada permukaan, kolom, dan dasar perairan. Hasil dari gerakan massa air adalah vector yang mempunyai besaran kecepatan dan arah. Ada dua jenis gaya yang bekerja yaitu eksternal dan internal Gaya eksternal antara lain adalah gradien densitas air laut, gradient tekanan mendatar dan gesekan lapisan air (Gross 1990)

2.5.6. DO (Dissolved Oxygen) / Oksigen terlarut

(30)

2.5.7. Chemical Oxygen Demand (COD)

Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimiawi menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi secara biologis menjadi CO2 dan H2O.

Keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga dan industri, misalnya pabrik bubur kertas (pulp), pabrik kertas, dan industri makanan. Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/liter, sedangkan pada perairan yang tercemar terdapat lebih dari 200 mg/liter dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/liter (Effendi 2003). Baku mutu COD adalah 150 mg/L (Anonim, 2007).

2.5.8. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biokimiawi merupakan gambaran kadar bahan organik, sejumlah kadar oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk oksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Davis and Conwell, 1991 in Effendi 2003). Dengan kata lain, BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20oC selama lima hari, dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd, 1988 in Effendi, 2003).

Pada perairan alami, yaitu berperan sebagai sumber bahan organik adalah pembusukan tanaman. Perairan alami memiliki nilai BOD antara 0,5 – 7,0 mg/liter (Jeffries dan Mills, 1996 in Effendi, 2003). Perairan yang memiliki nilai BOD lebih dari 10 mg/liter dianggap telah mengalami pencemaran.

2.5.9. Derajat keasaman (pH)

(31)
(32)

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Pulau Puhawang yang termasuk dalam wilayah Desa Puhawang Kecamatan Punduh Pidada – Kabupaten Pesawaran yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lampung Selatan. Secara astronomis berada pada posisi koordinat 5o22’00 BT – 5o27’00 BT dan 93o71’00 LS – 93o75’00 LS. Wilayah Desa Puhawang terdiri dari 2 buah pulau kecil yaitu Puhawang Besar dan Puhawang Kecil dan sebagian lagi terdapat di daratan pulau Sumatera.

Wilayah yang diamati adalah Desa Pangetahan dan Desa Jelerangan. Pada kedua Desa tersebut terdapat masing-masing 3 stasiun untuk pengambilan sampel data. Lokasi stasiun pengambilan data sebagai berikut:

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

(33)

daerah penelitian dan mempersiapkan perlengkapan untuk pengambilan data. Pengambilan data primer dan sekunder dilakukan pada pertengahan Oktober 2010.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah alat tulis, kamera digital (DSLR dan kamera bawah air), alat selam, GPS. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, dan bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini.

3.3. Jenis Data dan Informasi yang Diperlukan

Jenis data dan informasi yang diperlukan adalah data sumber daya alam, sumberdaya manusia, serta keadaan umum lokasi di Pulau Puhawang. Untuk jenis data yang digunakan adalah data text dan image (Fauzi 2001 in Nancy 2007). Data

text adalah data yang berbentuk alfabet ataupun numerik. Data text yang digunakan dalam penelitian ini adalah data keadaan umum Pulau Puhawang, sumberdaya manusia, isu dan permasalahan yang berkembang, seta kebijakan pengelolaan dan data pengunjung. Sedangkan data image adalah data yang memberikan informasi secara spesifik mengenai keadaan tertentu melalui foto, diagram, tabel dan sebagainya. Data image yang digunakan dalam penelitian ini adalah data foto kondisi umum Pulau Puhawang, foto fasilitas yang ada di Pulau Puhawang, lokasi pengambilan sampel, dan gambar penunjang lainnya.

3.4. Metode Pengambilan dan Pengumpulan Data 3.4.1. Data primer

(34)

komunitas karang yang dijumpai sepanjang 20 meter transek garis pada kedalaman 6 meter.

3.4.2. Data sekunder

Data sekunder yang digunakan antara lain Profil Pulau Puhawang yang berasal dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Pesawaran 2010, data dari penelitian sebelumnya, dan buku-buku yang terkait dengan penelitian ini. Data yang dikumpulkan meliputi keadaan umum fisik Pulau Puhawang, kebijakan pemerintah Lampung Selatan yang saat ini sudah mengalami pemekaran menjadi Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran, keadaan sosial masyarakat Pulau Puhawang, dan isu-isu yang berkembang di masyarakat.

3.4.3. Metode wawancara

Penentuan responden untuk wawancara digunakan metode purposive sampling, yaitu anggota populasi dipilih untuk memenuhi tujuan tertentu mengandalkan logika atas kaidah-kaidah yang berlaku didasari semata-mata dari judgement peneliti yakni sampel yang diambil diharapkan mampu menjawab pertanyaan yang diajukan, digunakan untuk situasi dimana persepsi orang pada sesuatu sudah terbentuk (Fauzi 2001 in Nancy 2008).

Pertimbangan yang diambil terhadap responden adalah berdasarkan hubungan para stake holder tersebut dengan Pulau Puhawang secara langsung maupun tidak langsung. Pengumpulan data diperolah dari hasil pengisian kuesioner,wawancara langsung, observasi. Jumlah sampel yang diambil terdiri dari 30 orang pengunjung dan 30 orang masyarakat setempat.

3.5. Analisis Data

3.5.1. Indeks kesesuaian wisata

(35)

IK W = ∑ [ Ni/Nmaks] x 100 % Keterangan:

IKW = Indeks Kesesuaian Wisata

Ni = Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor)

Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata

Nilai dari indeks kesusuain wisata yang di dapat kemudian disesuaikan dengan kategori berikut:

S1 = Sangat Sesuai, dengan IKW 83 – 100 % S2 = Sesuai bersyarat, dengan IKW 50 - < 83 % N= Tidak bersyarat, dengan IKL <50%

Penentuan kesesuaian berdasarkan perkalian skor dan bobot yang diperoleh dari setiap parameter. Kesesuaian kawasan dilihat dari tingkat persentase kesesuaian yang diperoleh penjumlah nilai dari seluruh parameter.

Kategori wisata yang akan dikaji di Pulau Puhawang ini meliputi wisata selam dan wisata snorkeling yang masing-masing disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2. Matriks kesesuaian area untuk ekowisata bahari kategori wisata selam

(36)

Tabel 3. Matriks kesesuaian area untuk ekowisata bahari kategori wisata snorkling

No Parameter Bobot Kategori S1 Skor Kategori S2

Skor Kategori S3 Skor Kategori N

3.5.2. Daya dukung kawasan (DDK)

Daya Dukung Kawasan (DDK) adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Perhitungan DDK menurut Yulianda (2007) dalam bentuk rumus:

DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp Keterangan:

DDK = Daya dukung kawasan

K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu

Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu

(37)

Tabel 4. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt)

Jenis Kegiatan ∑ Pengunjung (orang) Unit Area (Lt) Keterangan

Selam 2 2000 m2

Setiap 2 org dalam 200 m x 10 m

Snorkling 1 500 m2

Setiap 1 org dalam 100 m x 5 m

Sumber: Yulianda (2007)

Daya dukung kawasan disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya dan peruntukkan. Untuk wisata selam dan snorkeling ditentukan oleh sebaran dan kondisi terumbu karang. Kebutuhan manusia akan ruang diasumsikan dengan keperluan untuk dapat bergerak bebas dan tidak merasa terganggu oleh pengunjung lainnya.

Berdasarkan PP No.18/1994 maka luas areal yang dikembangkan adalah 10% dari luas zona pemanfaatan, Sehingga daya dukung kawasan dalam kawasan konservasi perlu dibatasi dengan Daya Dukung Pemanfaatan (DDP) dengan rumus: DDP = 0.1 x DDK (Yulianda 2007)

3.6. Analisis SWOT

Untuk mendapatkan arahan dalam menentukan strategi pengelolaan yang tepat, maka data primer dan data sekunder yang telah didapatkan selanjutnya dievaluasi dengan menggunakan analisis swot. Menurut Rangkuti (1997) analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats).

Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisa SWOT adalah sebagai berikut:

1. Analisa dan pembuatan matriks IFE (Internal Factor Evaluation) 2. Analisa dan pembuatan matrik EFE (External Factor Evaluation) 3. Pembuatan matriks SWOT

(38)

3.7. Analisa dan Pembuatan Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFF) Pembuatan matriks faktor strategi eksternal, perlu diketahui terlebih dahulu faktor strategi eksternal yang ada, berdasarkan Rangkuti (1997) terdapat beberapa ketentuan:

1. Menyusun peluang dan ancaman yang ada dalam kolom 1

2. Memberi bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai 0 (tidak penting). Faktor-faktor tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor strategis.

3. Menghitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi yang bersangkutan. Pemberian nilai rating untuk faktor peluang bersifat positif (peluang yang semakin besar diberi rating +4, tetapi jika peluangnya kecil diberi rating +1). Pemberian nilai rating ancaman adalah kebalikannya. Misalnya, jika nilai ancamannya sangat besar, ratingnya adalah 1. Sebaliknya, jika nilai ancamannya sedikit, ratingnya 4.

4. Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan pada kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).

5. Menjumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan.

3.8. Analisa dan Pembuatan Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)

Faktor-faktor strategi internal disusun berdasarkan kerangka kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), yang berdasarkan Rangkuti (1997) terdapat beberapa ketentuan yaitu:

(39)

2. Memberi bobot masing-masing faktor tersebut dengan skala mulai dari 1,0 (paling penting) sampai 0 (tidak penting) dengan ketentuan semua bobot tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1,0

3. Menghitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor). Variabel yang bersifat positif (semua variabel yang termasuk kategori kekuatan) diberi nilai mulai dari +1 sampai dengan +4 (sangat baik), sedangkan variabel yang bersifat negatif kebalikannya.

4. Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan pada kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).

5. Menjumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan.

Bobot yang diberikan pada setiap faktor disesuaikan dengan skala kepentingan terhadap pengelolaan ekosistem pesisir Pulau Puhawang. Bobot setiap faktor internal dan eksternal ditentukan dengan metode Paired Comparison

(Basuki 2005 in Yuni 2006) seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Skala yang digunakan untuk mengisi kolom dalam menentukan bobot setiap faktor adalah:

1. Bobot 1, jika indikator faktor horizontal kurang penting dibandingkan indikator faktor vertikal

2. Bobot 2, jika indikator faktor horizontal sama penting dibandingkan indikator faktor vertikal

3. Bobot 3, jika indikator faktor horizontal lebih penting dibandingkan indikator faktor vertikal

(40)

Tabel 5. Matriks penentuan bobot berdasarkan metode paired comparison Faktor Strategis

A B C … Total Bobot

Internal/Eksternal

A 0 X1 σ1

B 0 X2 σ2

C 0 X3 σ3

… 0 Xi σ4

Total ∑xi ∑σi

Sumber: Basuki (2005) in Yuni (2006)

Bobot setiap faktor diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan faktor dengan menggunakan rumus (Basuki 2005 in Yuni 2006):

Keterangan:

σi = Bobot faktor ke-i Xi = Nilai faktor ke-i i = 1,2,3,...n

n = Jumlah faktor

(41)

Tabel 6. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan matriks External Factor Evaluation (EFE).

IFE STRENGTHS (S) WEAKNESS (W)

S1 W1

EFE dst. dst.

OPPORTUNITIES (O) STRATEGI S-O STRATEGI W-O

O1 (strategi menggunakan (strategi meminimalkan

dst. kekuatan untuk kelemahan untuk

memanfaatkan peluang) memanfaatkan peluang)

THREATS (T) STRATEGI S-T STRATEGI W-T

T1 (strategi menggunakan (strategi meminimalkan

dst. kekuatan untuk kelemahan untuk

mengatasi ancaman) menghindari ancaman)

Sumber: Rangkuti, 1997

Menurut Rangkuti 1997 keempat alternatif strategi yang didapatkan berdasarkan matriks SWOT yaitu:

a. Strategi SO (strengths-opportunities)

Strategi ini dibuat berdasarkan kekuatan internal yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.

b. Strategi ST (strengths-threats)

Strategi ini dibuat dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman.

c. Strategi WO (weakness-opportunities)

Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan yang ada.

d. Strategi WT (weakness-threats)

Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif, yaitu berusaha bertahan dengan cara mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman.

3.9. Pembuatan tabel rangking alternatif strategi

(42)
(43)

IV.

Hasil dan Pembahasan

4.1. Kondisi Umum Pulau Puhawang 4.1.1. Sejarah Pulau Puhawang

Sejarah Pulau ini dimulai dari datangnya Ki Nokoda pada tahun 1.700-an yang diikuti pula oleh datangnya Hawang yang merupakan keturunan Cina. Hawang, menetap di sebuah pulau sampai memiliki seorang anak perempuan yang kerap kali dipanggil “Pok Hawang”. Kelaziman memanggil Pok Hawang akhirnya menjadi nama dimana Hawang menetap dengan sebutan Puhawang pada tahun 1850-an. Perkembangan Desa Puhawang diawali menetapnya H. Muhammad bin H. Ibrahim Hulubalang dari Kalianda yang tinggal di Kalangan. Kemudian Ki Mandara dari Sulawesi Selatan tahun 1920-an. Perkembangan selanjutnya dimulai sejak tahun 1930 dengan datangnya Datuk Jahari yang menetap dan menikah dengan anak Ki Mandara di Pangetahan dan H. Dulmalik dari Putih Doh yang menetap di Suak Buah. Puhawang.

Puhawang semakin berkembang dengan masuknya masyarakat keturunan Lampung dari Putih Doh (saat ini masuk dalam Kabupaten Tanggamus) dan diikuti pula oleh pendatang dari Bugis untuk menetap sebagai nelayan yang pada akhirnya terjadi asimilasi antara kedua keturunan ini.

Pada perkembangannya Desa Puhawang memiliki Desa Puhawang, Kalangan, Suak Buah, Pengetahan, Jelerangan dan berkembang dengan hadirnya pendukuhan-pendukuhan Suak Gebang, Suak Latak, Cukuh Nyai, Cukuh Kunda, Cukuh Bedil dan Suak Panjang.

4.1.2. Letak, luas, dan keadaan geografi

(44)

berada pada posisi koordinat 5o22’00 BT – 5o27’00 BT dan 93o71’00 LS – 93o75’00 LS. Wilayah Desa Puhawang terdiri dari 2 buah pulau kecil yaitu Puhawang Besar dan Puhawang Kecil dan sebagian lagi terdapat di daratan pulau Sumatera.

Topografi pulau ini landai dan berbukit. Ketinggian maksimum mencapai 131 m diatas permukaan laut. Sebagian besar ekosistem daratan terdiri dari hutan sekunder, sebagian lain digunakan masyarakat sebagai lahan berkebun atau ladang. Di daerah pantai terdapat daerah rawa payau dan mangrove yang relatif masih baik. PulauPuhawang memiliki luas lahan / daratan 1.020 Ha dan jumlah penduduk 1664 jiwa / 427 kepala keluarga dengan jumlah laki-laki 715 jiwa dan perempuan 949 jiwa, dengan mayoritas suku, adat dan bahasa yaitu Jawa, Sunda dan Lampung. Namun, terdapat pula suku Bugis yang mendiami pulau tersebut.

Pulau Puhawang memiliki potensi geografis yang terdapat di wilayah darat maupun lautnya. Vegetasi yang terdapat di Pulau Puhawang sebagian besar beerupa kebun kelapa yang merupakan peninggalan zaman penjajahan dan sebagian lagi berupa tanaman kakao, mangga, pisang, cengkeh (buah-buahan) dan ada yang masih dalam bentuk semak belukar serta hutan terutama pada kawasan Gunung Puhawang. Di beberapa tempat terdapat pantai yang landai dengan substrat pasir putih dan substrat berlumpur.

Pulau Puhawang memiliki 5 Desa, yaitu Desa Jelerangan, Desa Puhawang, Desa Kalangan, Desa Suak Buah, dan Desa Pangetahan yang merupakan pusat pemerintahan Pulau Puhawang. Pulau Puhawang memiliki sarana dan prasarana seperti dermaga yang digunakan sebagai tambatan perahu di Desa Pangetahan, Sekolah Dasar, mesjid, balai desa, serta 2 villa yang berada di Puhawang Lunik dan Desa Pangetahan.

4.2. Potensi Sumberdaya Alam Pulau Puhawang

4.2.1. Potensi umum Pulau Puhawang

(45)

perkebunan kelapa dan kakao. Kawasan Pulau Puhawang terdiri dari kawasan bukit, kawasan perkebunan dan kawasan pantai berupa hutan mangrove yang memiliki fungsi ekologis bagi keutuhan Pulau Puhawang. Luas areal persawahan ±27 ha, areal perkebunan ±773 ha, tanah hutan ±4,5 ha. Keindahan Pulau Puhawang yang dapat dinikmati dari kejauhan merupakan suatu komposisi ekologis yang memiliki nilai intrinsik yang utuh.

Pada kawasan darat Pulau Puhawang masih tercukupi ketersediaan air tawarnya oleh terjaganya kawasan bukit yang ditumbuhi dengan pepohonan hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan. Bukit yang ada di Pulau Puhawang memiliki nama “Hutan Tua” yang dipercayai oleh masyarakat sekitar sebagai daerah keramat.

Pulau Puhawang memiliki kualitas air tanah yang baik (jernih, tawar, dingin), salah satu faktor utama dari baiknya kualitas air tanah adalah adanya Bukit Puhawang yang mampu menyerap air hujan dengan baik karena kondisi pohonnya juga masih terjaga. Untuk memanfaatkan air tanah, masyarakat menggunakan sumur gali sebanyak 353 unit, dan ketersediaan air mencukupi untuk sepanjang tahun. Dengan adanya air tanah yang baik sebagai sumber kehidupan maka diharapkan masyarakat dapat hidup makmur.

Pulau Puhawang memiliki potensi bahari yang baik. Pantai yang dilingkupi hutan mangrove merupakan suatu sabuk pengaman pulau yang juga memiliki fungsi ekologis mencegah terjadinya abrasi pantai. Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrient bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahanan abrasi, pergerakan angin, topan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya. Sedangkan secara ekonomis berfungsi sebagai penyedia kayu, bahan baku obat-obatan dan lain-lain. Disamping itu, ekosistem hutan mangrove juga memberikan manfaat tidak langsung, terutama sebagai habitat bagi bermacam-macam binatang seperti binatang laut (udang, kepiting, dan beberapa jenis ikan), dan binatang melata lainnya. Hutan mangrove yang ada di Pulau Puhawang memiliki total luasan ha meliputi: ±170 ha kondisi yang baik dan ±39 kondisi yang rusak.

(46)

di Desa Jelerangan ± 51.452m2 dengan jenis antara lain Coral folios, Coral heliopora, Coral massive, Coral mushroom, dan Coral submassive serta Coral

branching.

4.2.2. Potensi sumberdaya terumbu karang

Stasiun I berada di perairan Desa Pangetahan, yaitu bagian utara Pulau Puhawang. Terumbu karang terdapat hingga kedalaman 25 meter, namun yang memiliki kerapatan relatif baik adalah kedalam 1 – 15 meter. Dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT), kondisi terumbu karang ditentukan pada kedalaman 6 meter.

Persentase tutupan karang hidup pada perairan Desa Pangetahan ini sebesar 55.16% (Gambar 2).Hasil tersebut menunjukkan kondisi ekosistem terumbu karang yang sedang (Yuniarti 2007). Jenis karang yang hidup pada stasiun I ini adalah coral folios sebesar 48.18%, coral mushroom sebesar 3.32%, coral heliopora sebesar 2,1%, dan coral massive sebesar 0,7%. Ekosistem yang terkait adalah ekosistem lamun. Di Desa Pangetahan ini sepuluh tahun yang lalu merupakan dusun yang aktif melakukan tangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Daerah tangkapan tidak saja di perairan sekitar namun juga hingga perairan pulau – pulau lain nya baik yang berada di Teluk Lampung dan di luar teluk. Namun dengan adanya kegiatan pemberdayaan masyarakat sejak tahun 1999/2000 aktivitas pengrusakan terumbu karang telah terhentikan.

(a) (b)

(47)

Stasiun II berada di perairan Desa Jelerangan. Pada stasiun ini kondisi terumbu karang terdapat pada kedalaman 1 hingga 20 meter, namun kerapatan terumbu karang terdapat pada kedalaman 1 – 10 meter. Sedimen perairan merupakan lumpuran-pasir. Kondisi terumbu karang yang diamati dengan metode LIT dilakukan pada kedalaman 6 meter.

Persentase tutupan karang hidup sebesar 85.06% (Gambar 3). Hal ini menunjukkan kondisi ekosistem terumbu karang yang sangat baik (Yuniarti 2007). ). Kondisi tersebut ditujang dengan perairan yang relatif jernih. Jenis karang hidup yang ada pada stasiun II ini adalah coral branching sebesar 33.6%, coral folios sebesar 26.54%, coral submassive sebesar 24.48%, dan coral massive sebesar 0.44%.

(a) (b)

Gambar 3. Kondisi ekosistem t di Desa Jelerangan dengan kedalaman 6 meter, (a) kondisi coral reefs, (b) komposisi karang hidup (CB: coral branching, CF: coral folios, CM: coral massive, CS: coral submassive)

4.2.3. Potensi perikanan Pulau Puhawang

(48)

Chelmon rostratus, Heniochus acuminatus, Amphriprion sp, Pterois volitans, Epinephelus merra, Chaetodon bennetti, Heniochus diphreutes. Jenis ikan yang paling banyak ditemui adalah Acanthurus dussumieri, Abudefduf vaigiensis, Heniochus diphreutes.

Gambar 4. Kelimpahan ikan karang sepanjang garis transek Desa Pangetahan

Pada Desa Jelerangan terdapat kelimpahan total ikan karang sebanyak 182 ekor pada stasiun 1, 254 ekor pada stasiun 2, dan 170 ekor pada stasiun 3. Pada stasiun 1 dan 3 memiliki jumlah jenis yang sama yaitu sebesar 22 jenis, antara lain (Gambar 5.): Chaetodon octofasciatus, Siganus vulpinus, Caranx saxfasciatus, Chaetodon falcula, Apogon compressus, Abudefduf vaigiensis, Acanthurus

leucosternon, Calloplesiops altivelis, Ecsenius lineatus, Acanthurus dussumieri, Scarus sp., Chelmon rostratus, Heniochus acuminatus, Amphriprion sp, Pterois

volitans, Epinephelus merra,  Hemirhampus far, Aulostomus maculatus,  Pseudanthias evansi,  Chaetodontoplus septentrionalis, Chelmon rostratus, Chaetodon bennetti,. Jenis ikan yang paling banyak ditemui adalah Acanthurus dussumieri, Caranx saxfasciatus, Pseudanthias evansi. Pada stasiun 2 terdapat 23 jenis (Gambar 5.) antara lain: Chaetodon octofasciatus, Siganus vulpinus, Caranx saxfasciatus, Chaetodon falcula, Apogon compressus, Abudefduf vaigiensis,

Acanthurus leucosternon, Calloplesiops altivelis, Ecsenius lineatus, Acanthurus

(49)

dussumieri, Scarus sp., Chelmon rostratus, Heniochus acuminatus, Amphriprion

sp, Pterois volitans, Epinephelus merra,  Hemirhampus far, Aulostomus maculatus,  Pseudanthias evansi,  Chaetodontoplus septentrionalis, Chelmon rostratus, Chaetodon bennetti, Heniochus diphreutes. Jenis ikan yang paling banyak ditemui adalah Acanthurus dussumieri, Abudefduf vaigiensis, Caranx saxfasciatus.

Gambar 5. Kelimpahan ikan karang sepanjang garis transek Desa Jelerangan

4.3. Kualitas Air

Pengkajian kondisi biofisik perairan yang mencakup kualitas perairan (fisika dan kimia) dilakukan dengan tujuan untuk melihat keseimbangan ekosistem perairan dan menentukan kesesuaian kondisi perairan untuk kawasan wisata perairan Pulau Puhawang. Parameter kualitas perairan yang diamati adalah suhu, kecerahan, salinitas, TSS, DO, COD, BOD, pH. Parameter-parameter tersebut dapat mempengaruhi kondisi perairan kawasan wisata. Perubahan nilai parameter dapat dipengaruhi oleh aktifitas masyarakat Pulau Puhawang seperti: pembuangan sampah, pembuangan limbah rumah tangga, pencemaran pertanian.

Pengambilan contoh air dilakukan pada 2 stasiun, dan setiap stasiun memiliki 3 substasiun. Stasiun I adalah daerah Pangetahan, dan stasiun II adalah Jelerangan. Berikut adalah tabel data hasil analisis parameter fisika (Tabel 7 dan Tabel 8) dan parameter kimia (Tabel 9 dan 10) dari tiap stasiun:

(50)

4.3.1. Parameter fisika A. Desa Pangetahan

Tabel 7. Parameter fisika stasiun I Pangetahan

No. Parameter Kisaran

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

1 Suhu (oC) 30 30 30

2 Kecerahan (%) 82 84 81

3 Salinitas (‰) 31 32 31

4 TSS (mg/L) 9 19 15

5 Kedalaman (m) 4.1 4.2 4.05

B. Desa Jelerangan

Tabel 8. Parameter fisika stasiun II Jelerangan

No. Parameter Kisaran

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

1 Suhu (oC) 30 30 30

2 Kecerahan (%) 82 84 83

3 Salinitas (‰) 31 31 31

4 TSS (mg/L) 9 15 10

5 Kedalaman (m) 4.1 4.2 4.15

Berdasarkan parameter fisika untuk masing-masing desa dengan 3 (tiga) stasiun yang berbeda dapat dijelaskan hasilnya sebagai berikut :

A. Suhu

(51)

Kecepatan metabolisme dan respirasi dari suatu organisme juga meningkat seiring dengan naiknya suhu yang selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen. Terjadinya peningkatan suhu ini bersamaan dengan menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan sehingga oksigen di perairan terkadang tak mampu memenuhi peningkatan oksigen yang dibutuhkan oleh organisme.

Dari tabel 7 parameter fisika Desa Pangetahan dan tabel 8 parameter fisika Desa Jelerangan terlihat bahwa pada tiap stasiun desa tersebut memiliki nilai kisaran suhu yang sama yaitu sebesar 30oC. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20oC – 30oC. Perairan di Pangetahan dan Jelerangan masih berada pada nilai baku mutu aman dan ini menandakan bahwa suhu di perairan tersebut optimum bagi perikanan dan bagi organisme akuatik di dalamnya karena fitoplankton masih hidup dan aktif di dalam perairan tersebut.

B. Kecerahan

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan perairan berhubungan erat dengan jumlah intensitas sinar matahari yang masuk ke suatu perairan. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi dalam perairan, kepadatan plankton, jasad renik, dan detritus (Wardoyo 1975 in

Lukfiana, 1999). Nilai kadar alamiah untuk kecerahan adalah sebesar 50-90 cm (Effendi 2003).

Nilai kecerahan Desa Pangetahan pada stasiun 1, 2, dan 3 memiliki nilai 82, 84, 81. Nilai kecerahan dari ketiga stasiun tersebut masih termasuk dalam kadar alamiah kecerahan perairan. Pada Desa Jelerangan nilai kecerahan stasiun 1, 2, dan 3 adalah 82, 84, 83. Ketiga nilai kecerahan stasiun tersebut masih berada dalam kisaran kadar alamiah kecerahan perairan. Kecerahan perairan Desa Pangetahan dan Desa Jelerangan tergolong baik dan cocok untuk kegiatan wisata

(52)

C. Salinitas

Salinitas adalah konsentrasi semua ion-ion terlarut dalam air yang dinyatakan dalam gram/liter atau bagian perseribu atau promil (Boyd 1979 in

Nurlatifah, 1999). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida telah digantikan klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi 2003). Nilai kadar alamiah dari salinitas sebesar < 0,5 ‰ untuk perairan tawar, 0,5 - 30 ‰ untuk perairan payau, dan 30 - 40 ‰ untuk perairan laut (Effendi 2003).

Pada pengambilan contoh air Desa Pangetahan hasil yang diperoleh dari stasiun 1, 2, dan 3 secara berurutan yaitu 31‰, 32‰, 31 ‰. Nilai dari ketiga setasiun tersebut masih berada dalam kisaran kadar alamiah dari perairan laut sebesar 30 – 40 ‰. Pada pengambilan contoh air Desa Jelerangan hasil yang diperoleh dari stasiun 1, 2, dan 3 yaitu sama sebesar 31‰. Nilai dari ketiga stasiun tersebut masih berada dalam kisaran kadar alamiah dari perairan laut yaitu sebesar 30 - 40‰.

D. Total Suspended Solid (TSS)

Total Suspended Solid (TSS) atau padatan tersuspensi total adalah bahan – bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan miliopore

(53)

berada dalam kisaran aman dan tidak memberikan pengaruh terhadap kepentingan perikanan.

E. Kedalaman

Berdasarkan pengukuran, kedalaman di Perairan Pangetahan berkisar pada 4.05 m – 4.2 m, sedangkan kedalaman di Perairan Jelerangan berkisar pada 4.1 m – 4.2 m. Kedalaman yang relatif dangkal dari perairan di Pangetahan dan Jelerangan mendukung untuk kegiatan wisata selam dan snorkeling.

4.3.2. Parameter Kimia A. Desa Pengetahan

Tabel 9. Parameter kimia stasiun I Pangetahan

No. Parameter Kisaran

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

1 DO (mg/L) 6 6.6 6.5

2 COD (mg/L) 80 125 95

3 BOD (mg/L) 10.2 40.3 25.4

4 pH 7.8 8.2 8.1

B. Desa Jelerangan

Tabel 10. Parameter kimia stasiun II Jelerangan

No. Parameter Kisaran

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

1 DO (mg/L) 6 6.2 6.2

2 COD (mg/L) 80 85 82

3 BOD (mg/L) 9.1 9.4 9.1

4 pH 7.9 7.9 7.9

(54)

A. Dissolved Oxygen(DO)

Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut adalah jumlah miligram oksigen yang terlarut dalam satu liter air. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu, salinitas, dan tekanan atmosfer (Cordova, 2008). Kandungan oksigen berkurang seiring dengan meningkatnya suhu, ketinggian, dan berkurangnya tekanan atmosfer (Effendi 2003). Organisme akuatik membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup. Kadar oksigen terlarut yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologis bagi organisme (Effendi 2003). Nilai kadar alamiah dari oksigen terlarut adalah sebesar 5 mg/l (Nemerow, 1991 in Effendi, 2003) dan baku mutu untuk oksigen terlarut adalah sebesar > 3 mg/l (PP no.82 Tahun 2001).

Nilai DO pada stasiun 1, 2, dan 3 Desa Pangetahan secara berurutan adalah 6 mg/L, 6.6 mg/L, 6.5 mg/L. Nilai DO pada ketiga stasiun tersebut tergolong cukup baik dan fotosintesis yang terjadi di perairan juga baik, karena nilai DO berada dalam kisaran kadar alamiah oksigen terlarut perairan. Pada stasiun 1, 2, dan 3 Desa Jelerangan nilai DO secara berurutan adalah 6 mg/L, 6.2 mg/L, 6.2 mg/L. Nilai DO pada ketiga stasiun tersebut berada dalam kisaran alamiah perairan laut. Nilai oksigen terlarut cukup baik hal ini dikarenakan fotosintesis fitoplankton di perairan Pulau Puhawang baik, kecerahan yang baik juga mendukung proses fotosintesi lebih maksimal, kondisi suhu sebesar 30oC yang masih dalam batas aman juga membuat fitoplankton nyaman untuk berfotosintesis menghasilkan oksigen pada kolom perairan. Nilai DO yang baik juga mempengaruhi metabolisme organisme, dengan dukungan ketersediaan oksigen terlarut yang baik maka kelangsungan hidup organisme perairan akan terjamin dan ekosistem perairan dapat berlangsung baik.

B. Chemical Oxygen Demand(COD)

(55)

Keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga dan industri, misalnya pabrik bubur kertas (pulp), pabrik kertas, dan industri makanan. Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/liter, sedangkan pada perairan yang tercemar terdapat lebih dari 200 mg/liter dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/liter (Effendi 2003).

Nilai COD pada perairan Desa Pangetahan pada stasiun 1, 2, dan 3 secara berurutan adalah 80 mg/L, 125 mg/L, 95 mg/L. Nilai Baku mutu COD adalah 150 mg/L (Anonim, 2007). Nilai kisaran COD pada perairan Desa Pangetahan masih berada pada kisaran aman karena dari ketiga stasiun masih berada nilainya kurang dari 150 mg/L. Pada perairan Desa Jelerangan, nilai COD perairannya pada stasiun 1, 2, dan 3 secara berurutan adalah 78 mg/L, 85 mg/L, 82 mg/L. Nilai kisaran COD pada perairan Desa Jelerangan juga masih tergolong aman karena masih berada pada kisaran kurang dari 150 mg/L. Nilai COD di Pulau Puhawang tergolong baik untuk kepentingan perikanan, karena proses oksidasi bahan organik secara kimiawi dapat berlangsung normal sehingga pasokan CO2 dan H2O bagi ekosistem dapat terjaga dengan baik.

C. Biochemical Oxygen Demand(BOD)

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Tabel 2. Matriks kesesuaian area untuk ekowisata bahari kategori wisata selam
Tabel 3. Matriks kesesuaian area untuk ekowisata bahari kategori wisata snorkling
Tabel 5. Matriks penentuan bobot berdasarkan metode paired comparison
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian teori dan beberapa hasil penelitian terdahulu maka dalam penelitian ini yang menjadi variable independen adalah Current Ratio, Debt to Equity

 pengecatan warna, dan pengecatan clear yang menggunakan teknik pengecatan yang baik dengan memperhatikan jarak semprotan dari spraygun dengan benda

Untuk dapat menjalankan sistem pada alat otomatisasi bel listrik yang perlu diperhatikan bukan hanya perangkat kerasnya saja, tetapi juga perangkat lunaknya ( software ) sebab

Penelitian ini bertujuan mengetahui lama fermentasi yang terbaik dalam fermentasi Jerami padi dengan mikroorganisme lokal terhadap Bahan Kering, dan Bahan Organik, dan Abu

Dalam masa yang sama, penulis juga menyiapkan transkip kajian temubual yang dilakukan oleh pengkaji terhadap responden yang terlibat.. Kaedah

pengaruh dari likuiditas, leverage , dan pertumbuhan perusahaan terhadap financial distress , sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat dalam. mengelola sebuah

Firman Allah SWT di atas tidak memberi pengertian bahwa larangan memaksa mereka melacurkan diri adalah jika mereka tidak menyukainya. Akan tetapi, meskipun mereka menyukainya

( Haliothis squamata ) itu sendiri. Dalam penelitian ini yang dijadikan subjek adalah para teknisi budidaya perikanan dari CV. Dewata Laut yang ada di Desa Penyabangan,