• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keefektifan berbagai formulasi plant growth promoting Rhizobacteria (PGPR) dan Bakteri endofit terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh ralstonia solanacearum pada tomat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keefektifan berbagai formulasi plant growth promoting Rhizobacteria (PGPR) dan Bakteri endofit terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh ralstonia solanacearum pada tomat"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

KEEFEKTIFAN BERBAGAI FOMULASI PLANT GROWTH

PROMOTING RHIZOBACTERIA (PGPR) DAN BAKTERI

ENDOFIT TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI YANG

DISEBABKAN OLEH Ralstonia solanacearum PADA TOMAT

NOVRA ERNALIANA SINAGA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

NOVRA ERNALIANA SINAGA. Keefektifan Berbagai Formulasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan Bakteri Endofit terhadap Penyakit Layu Bakteri yang Disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada Tomat. Dibimbing oleh ABDJAD ASIH NAWANGSIH.

Ralstonia solanacearum adalah penyebab penyakit layu bakteri yang paling serius pada tanaman Solanaceae. Berbagai pengendalian telah dilakukan tetapi patogen masih sulit dikendalikan. Aplikasi formulasi plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) dan bakteri endofit diharapkan menjadi alternatif dalam mengendalikan penyakit layu bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keefektifan berbagai formulasi PGPR dan bakteri endofit terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada tanaman tomat di lapangan. Formulasi biokontrol dilakukan dengan menyiram bibit tomat setelah pindah tanam. Bakteri PGPR yang digunakan pada penelitian adalah Bacillus subtilis AB89, diperoleh dari koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bakteri endofit yang digunakan yaitu Staphylococcus epidermidis dengan kode isolat BC4. Formulasi yang digunakan sebagian mengandung carboxy methyl celullose (CMC) 1%. Berdasarkan nilai Area Under Disease Progress Curve

(AUDPC), aplikasi formulasi bakteri PGPR dan bakteri endofit tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan index penekanan penyakit, perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) memberikan penekanan yang

paling baik terhadap penyakit layu bakteri. Index penekanan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) sebesar 40.96%. Data AUDPC, bobot kering tajuk, bobot kering

akar, dan bobot hasil panen buah menunjukkan bahwa perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan formulasi bakteri tanpa penambahan CMC.

(3)

ABSTRACT

NOVRA ERNALIANA SINAGA. Effectiveness of Various Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) Formulations and Endophytic Bacteria on Bacterial Wilt Disease Caused by Ralstonia solanacearum in Tomato. Supervised by ABDJAD ASIH NAWANGSIH.

Ralstonia solanacearum causes the most serious bacterial wilt disease in Solanaceae plants. Various attempts have been made but pathogen is still difficult to be controlled. Aplication of plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) and endophytic bacterial formulation are expected as an alternative in controlling wilt disease. The aim of this research was to evaluate the effectiveness of various PGPR and endophytic bacterial based formulations on bacterial wilt caused by

Ralstonia solanacearum in tomato plants in the field. Biocontrol formulations were applied by pouring to the tomato seedling after transplanting. PGPR bacteria used in this experiment was Bacillus subtilis AB89, which belonged to the collection of Plant Bacteriology Laboratory, Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University, which the endophytic bacteria used was Staphylococcus epidermidis BC4. Some of the formulation of bacteria were added with carboxy methyl celullose (CMC) 1%. Based on the value of Area Under Disease Progress Curve (AUDPC), the treatment of PGPR and endophytic bacterial formulations did not significantly different compare with control. Based on the index of disease suppression, single treatment of S. epidermidis (B0S100) gave the best suppression to the bacterial wilt. Single

treatment of S. epidermidis (B0S100) had a suppression index of 40.96%. Data of

AUDPC, heading dry weight, root dry weight and harvested tomato fruit weight showed that bacterial formulations with CMC treatment did not significantly different compare with treatment of bacterial formulations without CMC.

(4)

PROMOTING RHIZOBACTERIA (PGPR) DAN BAKTERI

ENDOFIT TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI YANG

DISEBABKAN OLEH Ralstonia solanacearum PADA TOMAT

NOVRA ERNALIANA SINAGA

A34080036

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Keefektifan Berbagai Formulasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan Bakteri Endofit terhadapPenyakit Layu Bakteri yang Disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada Tomat

Nama Mahasiswa: Novra Ernaliana Sinaga

NIM : A34080036

Disetujui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. Ketua Departemen

(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Keefektifan Berbagai Formulasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan Bakteri Endofit terhadap Penyakit Layu Bakteri yang Disebabkan oleh Ralstonia Solanacearum pada Tomat”.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di kebun percobaan Kampung Pasir Cane, Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Cianjur.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberikan waktu, ilmu, nasihat, masukan, serta saran kepada penulis.

2. Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam skripsi ini.

3. Orang tua tercinta yang selalu mendoakan penulis dan memberikan motivasi serta dukungan.

4. Saut Jhon Frengki Sinaga, Toman Tua Teophilus Sinaga, dan Lasma Uli Leonarda Sinaga yang selalu mendoakan serta memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Teman-teman yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian hingga skripsi (Sherly, Yuke, Syaiful, Fitri, Rizky P, Icut, Melisa, Monica, Hana, Dyan, Lynn, Lestari, Maeni, Riska DO, Ijah, Miranti, Yasin, Rado, Bush, Jack, Venny, Yudia, Efrat, Bolang, Nengah, Koku, Nurul, Isma, Adnan, Rizky I, Wira, Iva, Eche, dll.)

Penelitian ini didanai dari DIPA IPB melalui Program Penelitian Desentralisasi Hibah Bersaing dengan Nomor Kontrak 03/I3.24.4/SPK-HB/IPB/2012 tanggal 01 Maret 2012 yang diketuai oleh Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.

Penulis berharap semoga skripsi ini bisa memberikan banyak manfaat kepada semua pihak yang membaca dan terutama dalam bidang proteksi tanaman.

Bogor, Januari 2013

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

BAHAN DAN METODE 4

Tempat dan Waktu Penelitian 4

Penyiapan Tanaman Uji 4

Peremajaan Bakteri PGPR dan Bakteri Endofit 4

Penyiapan Suspensi PGPR, Bakteri Endofit, dan Larutan Carboxy

Methyl Cellulose (CMC) 1% 5

Aplikasi Formulasi Bakteri 5

Rancangan Percobaan dan Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Pengaruh Formulasi Bakteri terhadap Kejadian Penyakit 8 Pengaruh Formulasi Bakteri terhadap Bobot Kering Tajuk dan Akar 14 Pengaruh Formulasi Bakteri terhadap Bobot Hasil Panen Buah Tomat 15

Jenis Hubungan B. subtilis dan S. epidermidis 17

SIMPULAN DAN SARAN 19

Simpulan 19

Saran 19

DAFTAR PUSTAKA 20

(8)

1 Pertumbuhan bakteri PGPR dan bakteri endofit pada media NA 5

2 Suspensi bakteri PGPR dan bakteri endofit dalam media NB yang

digunakan untuk aplikasi di lapangan 5

DAFTAR TABEL

1 Kode perlakuan dan perbandingan proposi formulasi bakteri pada uji

penekanan kejadian penyakit di lapangan 6

2 Kejadian penyakit pada berbagai perlakuan formulasi bakteri dari minggu

pertama hingga minggu ke-13 dan nilai AUDPC 11

3 Hasil uji-t AUDPC, bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan

CMC dan tanpa penambahan CMC 13

4 Bobot kering tajuk dan bobot kering akar tanaman tomat pada berbagai

perlakuan formulasi bakteri di lapangan 15

5 Bobot hasil panen buah tomat pada berbagai perlakuan formulasi bakteri di

lapangan 16

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis ragam tingkat kejadian penyakit layu bakteri tanaman

tomat pada minggu kedua hingga ke-13 di lapangan 24

2 Hasil analisis ragam AUDPC pada perlakuan formulasi bakteri 25

3 Hasil uji-t AUDPC pada perlakuan formulasi bakteri dengan

penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC di lapangan 26

4 Hasil analisis ragam bobot kering tajuk tanaman tomat berumur 15

MST pada perlakuan formulasi bakteri di lapangan 26

5 Hasil uji-t bobot kering tajuk tanaman tomat berumur 15 MST pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa

penambahan CMC di lapangan 26

6 Hasil analisis ragam bobot kering akar tanaman tomat berumur 15 MST

pada perlakuan formulasi bakteri di lapangan 26

7 Hasil uji-t bobot kering akar tanaman tomat berumur 15 MST pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa

penambahan CMC di lapangan 26

8 Hasil analisis ragam bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan

formulasi bakteri di lapangan 27

9 Hasil uji-t bobot hasil panaen buah tomat pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC di

lapangan 27

10 Persemaian benih tomat di lapangan 27

11 Formulasi bakteri B. subtilis dan S. epidermidis 27

12 Aplikasi formulasi bakteri pada tanaman tomat di lapangan 28

13 Keadaan pertanaman tomat di lapangan 28

(10)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tomat (Lycopersicum esculentum) merupakan tanaman hortikultura yang memiliki arti ekonomi penting di Indonesia maupun di dunia. Produksi tomat meningkat sejalan dengan bertambahnya luas pertanaman tomat. Pada tahun 2010, produksi tomat di Indonesia mencapai 891.616 ton dan pada tahun 2011 produksinya meningkat menjadi 954.046 ton (Badan Pusat Statistik 2012). Peningkatan ini terjadi karena banyaknya permintaan buah tomat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi serta tumbuhnya berbagai industri pengolahan buah tomat. Untuk memenuhi kebutuhan permintaan tersebut, diperlukan upaya dalam peningkatan produksi tomat. Tomat mengandung 0.4% protein, 2.5% karbohidrat, 1.5 mg zat besi dan 2 mg vitamin C dalam 100 g berat segar sehingga baik bagi penderita sembelit, penyakit kuning, dan gangguan pencernaan (Kumar 2007).

Tanaman tomat dapat dibudidayakan di dataran tinggi dan dataran rendah, akan tetapi budidaya tanaman tomat di dataran rendah lebih sering mengalami gangguan penyakit layu bakteri dibandingkan dengan budidaya tanaman tomat di dataran tinggi. Selain itu, tempat pertanaman tomat harus terbuka dan cukup mendapat sinar matahari (Winarni 1984). Layu bakteri adalah salah satu penyakit penting pada tanaman tomat yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum dan dapat menghambat produksi tomat. Patogen ini memiliki kemampuan bertahan hidup dalam waktu yang lama di dalam tanah sehingga sulit dikendalikan dan dapat menurunkan hasil antara 5-100% (Nurjanani 2011). Patogen dapat ditularkan melalui tanah, air irigasi, peralatan pertanian, dan bantuan manusia. Gejala penyakit ini diawali dengan kelayuan pada bagian atas tanaman, kemudian tanaman menjadi layu seluruhnya setelah beberapa hari. Pembuluh pada bagian pangkal batang tanaman yang terinfeksi berwarna coklat jika dipotong melintang dan akan mengeluarkan oose jika dicelupkan pada air (Vanitha et al. 2009).

Kendala utama dalam pengendalian penyakit layu bakteri adalah banyaknya ras yang dimiliki oleh patogen R. solanacearum dan kisaran inang yang luas. Beberapa diantaranya adalah tomat, cabai, terung dan tembakau (Nasrun et al. 2007). Maka strategi pengendalian penyakit harus dilakukan secara terpadu dengan menerapkan semua potensi yang ada, seperti: (1) pencegahan; (2) pemusnahan; (3) modifikasi lingkungan yang dapat menekan perkembangan patogen di dalam tanah; (4) penanaman tanaman resisten; dan (5) pengendalian dengan agens hayati (Supriadi 2011). Pengendalian layu bakteri yang sering dilakukan adalah penggunaan varietas resisten dan rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang, namun belum memberikan hasil yang memuaskan (Paath 2005). Aplikasi pestisida juga sering dilakukan, akan tetapi pengendalian ini tidak disarankan karena dapat merusak lingkungan dan membahayakan konsumen. Oleh karena itu, penggunaan formulasi bakteri PGPR dan bakteri endofit dapat menjadi salah satu alternatif dalam pengendalian penyakit layu bakteri.

(11)

2

sasaran serta tidak menimbulkan resistensi patogen. Selain itu, penggunaan PGPR mampu mengurangi penggunaan pestisida kimiawi yang dapat merusak lingkungan dan membahayakan konsumen. Tetapi metode ini kurang praktis apabila diaplikasikan secara luas di lapangan karena mengalami kesulitan dalam hal penanganan, transportasi, dan penyimpanan (Vidyasekaran et al. 1997). Keefektifan pengendalian dengan agens biokontrol dapat ditingkatkan antara lain dengan mengkombinasikan dua atau lebih agens biokontrol dengan mekanisme yang berbeda. Salah satu bakteri PGPR yang dapat menekan pertumbuhan patogen dalam tanah secara alami adalah kelompok Bacillus (Wuryandari et al. 2008). Diantara sekian banyak jenis agens hayati yang telah diuji keamanannya B. subtilis adalah salah satu agens hayati yang aman bagi manusia maupun lingkungan (Supriadi 2006). B. subtilis sering digunakan sebagai agens biokontrol komersial pada pertanaman yang mengandung patogen. Menurut Nawangsih (2006), aplikasi B. subtilis AB89 dapat menekan penyakit layu bakteri di lapangan. Menurut Mena dan Olalde (2007), B. subtilis dapat meningkatkan kualitas buah dalam kondisi rumah kaca, tomat menjadi lebih berat dan lebih tahan lama. Penelitian mengenai kombinasi bakteri PGPR dan bakteri endofit telah dilakukan oleh Handini (2011) pada proporsi 50:50. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, aplikasi kombinasi bakteri PGPR dan bakteri endofit dengan perbandingan 50% PGPR dan 50% bakteri endofit kurang efektif dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri di lapangan.

Bakteri endofit adalah bakteri yang bertahan hidup dalam jaringan tanaman dan bersimbiosis dengan tanaman sehingga tanaman terhindar dari serangan penyakit (Melliawati et al. 2006). Pemanfaatan bakteri endofit merupakan pengendalian yang tidak menimbulkan efek negatif terhadap kehidupan manusia dan lingkungan (Zinniel et al. 2002). Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikroorganisme endofit merupakan suatu antibiotik yang mampu melindungi tanaman dari serangan patogen sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agens biokontrol (Firmansyah 2012). Damayanti (2010) melakukan isolasi bakteri endofit sebanyak 49 isolat dari batang atas tanaman tomat dan 17 diantaranya diisolasi dari tanaman asal Bogor, Cipanas dan Lembang. Berdasarkan uji reaksi hipersensitif bakteri BC4 menimbulkan reaksi negatif pada uji tersebut dan memberikan penekanan penyakit paling tinggi yaitu sebesar 66.7%. Oleh karena itu, bakteri ini akan diuji pada penelitian ini. Berdasarkan hasil sekuens 16S rRNA, isolat BC4 merupakan spesies dari S. epidermidis (Nawangsih et al. 2011).

Bakteri S. epidermidis memiliki karakter fisiologi dan karakter morfologi. Karakter fisiologi dari bakteri ini yaitu: gram negatif, bentuk batang, tidak berspora, non motil, dapat tumbuh dalam kondisi anaerob dan anaerob fakultatif, katalase positif, oksidase positif. Karakter morfologi dari S. epidermidis yaitu: permukaan cembung, tepian rata, bentuk bulat licin, ukuran sedang, dan ciri lain yaitu tidak lengket serta pertumbuhannya cepat pada medium King’s B (Damayanti 2010). Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Damayanti (2010) pada tahap in planta. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, bakteri endofit yang diisolasi dari batang tanaman tomat dapat menekan kejadian penyakit, akan tetapi tidak dapat memacu pertumbuhan tanaman tomat.

(12)

organisme dalam bahan pembawa yang dilengkapi dengan bahan tambahan untuk memaksimalkan kemampuan bertahan hidup di penyimpanan, mengoptimalkan aplikasi organisme target dan melindungi organisme pengendali hayati setelah aplikasi. Adapun fungsi dasar dari formulasi adalah untuk stabilisasi organisme selama produksi, distribusi dan penyimpanan, mengubah aplikasi produk, melindungi agens dari faktor lingkungan yang dapat menurunkan kemampuan bertahan hidupnya serta meningkatkan aktivitas dari agens untuk mengendalikan organisme target. Formulasi terdiri dari dua tipe, yaitu produk berbentuk padatan (tepung dan butiran) serta berbentuk suspensi (berbahan dasar minyak atau air, dan emulsi) (Jones dan Burges 1998 dalam Sulistiani 2009).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai keefektifan berbagai formulasi PGPR dan bakteri endofit untuk mengendalikan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum pada tanaman tomat.

Manfaat Penelitian

(13)

4

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga September 2012 di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di kebun petani, Kampung Pasir Cane, Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Cianjur.

Penyiapan Tanaman Uji

Varietas tomat yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas Martha. Benih tomat diperoleh dari toko pertanian. Benih disemai dengan menggunakan “pocis” yang terbuat dari daun pisang yang dilingkarkan dengan diameter 5 cm pada masing-masing “pocis” ditanam satu benih. Setiap pagi dan sore hari bibit disiram hingga pindah tanam. Media tanam pada saat persemaian terdiri dari tanah yang dicampur kapur dan pupuk kandang dengan perbandingan 4:4:1. Persemaian dilakukan selama 18-20 hari.

Setelah dilakukan persemaian, kemudian bibit tanaman dipindahkan ke lapangan. Tanah digemburkan dengan cara dicangkul, kemudian dibentuk bedengan. Lebar bedeng 110 cm, jarak antar bedeng 20 cm, panjang bedeng 620 cm dan terdiri dari 3 blok. Blok 1 ditanam 20 tanaman/bedeng, blok 2 ditanam 28 tanaman/bedeng dan blok 3 ditanam 30 tanaman/bedeng. Setiap perlakuan terdiri dari 2 bedeng. Setelah tanaman tomat berumur hampir 3 minggu di persemaian, dilakukan pindah tanam ke lapangan yang tanahnya mengandung bakteri R. solanacearum dengan jarak tanam 60x50 cm. Satu lubang tanam ditanami 1 bibit tomat.

Peremajaan Bakteri PGPR dan Bakteri Endofit

Bakteri PGPR yang digunakan adalah B. subtilis AB89 yang diperoleh dari koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Nawangsih 2006). Bakteri endofit yang digunakan yaitu S. epidermidis dengan kode isolat BC4, berasal dari penelitian sebelumnya yang diisolasi dari batang tanaman tomat sehat di wilayah Bogor, Cipanas, dan Lembang (Damayanti 2010). Bakteri disimpan dalam eppendorf yang berisi air steril dan gliserol 20% dengan perbandingan 1:1 pada suhu -4 0C. B. subtilis dan S. epidermidis diremajakan berulang-ulang pada media nutrient agar (NA) dalam cawan petri untuk mendapatkan koloni tunggal.

(14)

Gambar 1 Petumbuhan bakteri PGPR dan bakteri endofit pada media NA; (a) bakteri PGPR B. subtilis (AB89), (b) bakteri endofit S. epidermidis (BC4)

Penyiapan Suspensi PGPR, Bakteri Endofit, dan Larutan Carboxy Methyl

Cellulose (CMC) 1%

Penyiapan suspensi PGPR dan bakteri endofit dilakukan dengan cara sebagai berikut: media agar dalam cawan petri yang yang telah ditumbuhi masing-masing B. subtilis dan S. epidermidis disiram air steril sebanyak 10 ml. Kemudian bakteri yang telah tumbuh digosok menggunakan jarum ose hingga membentuk suspensi. Masing-masing suspensi tersebut diambil sebanyak 8 ml menggunakan mikropipet dan diinokulasikan ke dalam 2000 ml media cair nutrient broth (NB) dalam labu erlenmeyer kemudian diinkubasikan pada suhu ruang dan digoyang menggunakan “shaker” dengan kecepatan 100 rpm selama 24 jam.

Penyiapan larutan CMC 1% dilakukan dengan cara mencampurkan 70 gr CMC dalam 7 liter air, kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf selama 15 menit dengan suhu 1210C.

Gambar 2 Suspensi bakteri PGPR dan bakteri endofit dalam media NB yang digunakan untuk aplikasi di lapangan; (a) B. subtilis AB89, (b) S. epidermidis BC4 dan (c) larutan CMC 1%.

Aplikasi Formulasi Bakteri

Perlakuan setiap tanaman disiram sebanyak 50 ml formulasi bakteri per tanaman. Misalnya untuk perbandingan formulasi agens biokontrol B25BC75 25:75, artinya kebutuhan bakteri PGPR B. subtilis sebanyak 12.5 ml dan bakteri endofit S. epidermidis sebanyak 37.5 ml. Setelah tanaman tomat berumur 5 MST, tanaman tomat disiram kembali sebanyak 100 ml formulasi bakteri per tanaman. Aplikasi formulasi agens biokontrol dilakukan dua minggu sekali hingga tanaman berumur 9 MST. Populasi bakteri PGPR yang digunakan yaitu 8.25x109 cfu/ml. Untuk pelakuan kontrol, bibit tomat disiram dengan air tanpa diberi perlakuan agens biokontrol. Perlakuan yang diberikan terdiri dari 10 perlakuan.

a b

(15)

6

Tabel 1 Kode perlakuan dan perbandingan proporsi formulasi bakteri pada uji penekanan kejadian penyakit di lapangan

Kode Perlakuana

Perbandingan proporsi formulasi bakteri dalam perlakuan (%) B. subtilis S. epidermidis CMC

Kode perlakuan: B= B. subtilis AB89, BC= S. epidermidis BC4, C= Carboxy Methyl Cellulose

Pengamatan kejadian penyakit dilakukan seminggu sekali. Peubah yang diamati adalah kejadian penyakit layu bakteri, bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot hasil panen buah tomat. Kejadian penyakit dihitung dengan rumus:

KP = kejadian penyakit

n = jumlah tanaman yang terserang N = jumlah tanaman yang diamati

Setelah kejadian penyakit diketahui, kemudian dihitung pula nilai AUDPC (Area Under Disease Progress Curve). AUDPC adalah area di bawah kurva perkembangan penyakit. AUDPC dihitung dengan menggunakan rumus (Van der Plank 1963 dalam Cooke 1998):

AUDPC =

yi = persentase kejadian penyakit pada pengamatan ke-i

ti = waktu pengamatan ke-i

Setelah nilai AUDPC diketahui, kemudian index penekanan penyakit dihitung dengan menggunakan rumus (Nawangsih 2006):

Indeks penekanan penyakit = x 100%

DIc = AUDPC pada kontrol

DIb = AUDPC pada perlakuan agens biokontrol

Jenis hubungan antara dua agens biokontrol dapat diketahui dengan menggunakan rumus Abbott’s (Guetsky et al. 2002), yaitu:

(16)

a = keefektifan pengendalian oleh agens biokontrol I b = keefektifan pengendalian oleh agens biokontrol II

E(exp) = keefektifan pengendalian dugaan oleh campuran agens biokontrol

E(obs) = keefektifan pengendalian oleh campuran berdasarkan hasil pengamatan

SF = Synergy Factor

Nilai SF = 1 ; interaksi antar agens biokontrol bersifat additif SF < 1 ; interaksi antar agens biokontrol bersifat antagonis SF > 1 ; interaksi antar agens biokontrol bersifat sinergis

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

(17)

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Formulasi Bakteri terhadap Kejadian Penyakit

Kejadian penyakit adalah jumlah tanaman yang terserang dalam satu populasi. Berdasarkan data kejadian penyakit (Tabel 2), tingkat kejadian penyakit layu bakteri di lapangan cukup rendah mencapai 7.8% (kontrol) pada pengamatan minggu ke-13. Hal ini dapat disebabkan karena populasi R. solanacearum di lapangan relatif sedikit, tingkat virulensi R. solanacearum di lapangan relatif rendah atau lingkungan yang kurang mendukung bagi perkembangan R. solanacearum. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Handini (2011) dimana tingkat kejadian penyakit layu bakteri di lapangan cukup tinggi mencapai 96% pada pengamatan minggu ke-9. Perbedaan ini dapat disebabkan karena pengaruh perbedaan lingkungan pada saat penelitian. Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) stasiun klimatologi Darmaga Bogor, rata-rata suhu dan kelembaban di Cianjur pada saat pengujian yaitu sebesar 20.5 0C dan 77%. Menurut Supriadi (2011), bakteri ini berkembang pesat pada suhu 24-35 °C dan kelembaban mencapai 90%.

Pengamatan kejadian penyakit layu bakteri di lapangan dilakukan setiap minggu dimulai dari minggu pertama hingga minggu ke-13, tetapi data yang disajikan dimulai dari pengamatan minggu ke-2 karena pada minggu pertama terdapat beberapa tanaman yang mati sehingga dilakukan penyulaman. Nilai rata-rata tingkat kejadian penyakit layu bakteri pada minggu 2 hingga minggu ke-13 tidak jauh berbeda. Pada pengamatan minggu ke-2, tanaman yang sudah menunjukkan adanya kejadian penyakit layu bakteri adalah tanaman pada aplikasi kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75), kombinasi B. subtilis

25% dan S. epidermidis 75% dengan penambahan CMC (B25S75C), kombinasi B.

subtilis 75% dan S. epidermidis 25% (B75S25), B. subtilis secara tunggal (B100S0),

kontrol, CMC secara tunggal (C), kombinasi B. subtilis 75% dan S. epidermidis 25% dengan penambahan CMC (B75S25C), B. subtilis 100% dengan penambahan

CMC (B100S0C), yaitu masing-masing sebesar 3.94%, 2.62%, 2.60%, 2.56%,

1.95%, 1.90%, 1.42% dan 1.24%.

Pada pengamatan minggu ke-3, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%). Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan

perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai

kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) sebanyak 1.15% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan

kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75) sebesar 5.28%.

Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B100S0C) memberikan penekanan penyakit lebih baik

dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis

100% dengan penambahan CMC (B100S0C) sebesar 1.24%

(18)

tunggal (B0S100) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan

perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai

kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) sebesar 2.47% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan

kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75) sebesar 8.54%.

Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B100S0C) memberikan penekanan penyakit lebih baik

dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis

100% dengan penambahan CMC (B100S0C) sebesar 2.39%. Hal ini juga sama

pada pengamatan minggu ke-5, dimana perlakuan formulasi bakteri juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (analisis ragam α=5%).

Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Duncan 5% (Tabel 2), perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri pada pengamatan minggu ke-6. Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) memberikan penekanan penyakit

lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S.

epidermidis secara tunggal (B0S100) sebesar 3.20% dan nilai kejadian penyakit

layu bakteri pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75) sebesar 9.99%. Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis

100% dengan penambahan CMC (B100S0C) memberikan penekanan penyakit

lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B.

subtilis 100% dengan penambahan CMC (B100S0C) sebesar 3.49%.

Pada pengamatan minggu ke-7, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%). Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan

perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai

kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) sebesar 3.92% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan

kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75) sebesar 11.14%.

Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B100S0C) memberikan penekanan penyakit lebih baik

dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis

100% dengan penambahan CMC (B100S0C) sebesar 3.99%. Kejadian penyakit

layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B0S100C) juga memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan

perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai

kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B0S100C) sebesar 4.56%.

(19)

10

perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai

kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) sebesar 3.92% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan

kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75) sebesar 12.48%.

Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B100S0C) memberikan penekanan penyakit lebih baik

dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis

100% dengan penambahan CMC (B100S0C) sebesar 4.72%. Kejadian penyakit

layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B0S100C) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan

perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai

kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B0S100C) sebesar 4.56%.

Pada pengamatan minggu ke-9, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%). Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan

perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai

kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) sebesar 3.92% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan

kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75) sebesar 12.48%.

Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B0S100C) memberikan penekanan penyakit lebih baik

dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis

100% dengan penambahan CMC (B0S100C) sebesar 4.56%.

Pada pengamatan minggu ke-10, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%). Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) memberikan penekanan penyakit lebih baik

dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis

secara tunggal (B0S100) sebesar 3.92% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri

pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75)

sebesar 12.48%. Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis 100% (B0S100) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan

perlakuan kombinasi B. subtilis 100% (B100S0). Nilai kejadian penyakit layu

(20)

Tabel 2 Kejadian penyakit pada berbagai perlakuan formulasi bakteri dari minggu ke-2 hingga minggu ke-13 dan nilai AUDPC

Perlakuan

Kejadian penyakit (%)

2 MSTa 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST

B100S0C 1.24 ± 1.11bcb 1.24 ± 1.11b 2.39 ± 0.96 b 3.49 ± 1.53a 3.49 ± 1.53b 3.99 ± 2.39b 4.72 ± 1.82b

B0S100C 0.00 ± 0.00c 1.95 ± 1.85ab 3.91 ± 3.71ab 4.56 ± 2.74a 4.56 ± 2.74ab 4.56 ± 2.74b 4.56 ± 2.74b

B75S25C 1.42 ± 1.28bc 2.02 ± 1.83ab 4.28 ± 3.86ab 4.28 ± 3.86a 4.88 ± 4.23ab 6.27 ± 4.23ab 7.46 ± 5.03ab

B25S75C 2.62 ± 1.49ab 4.51 ± 1.74ab 7.03 ± 1.88ab 7.03 ± 1.88a 7.03 ± 1.88ab 8.21 ± 1.36ab 8.83 ± 2.22ab

C 1.90 ± 1.71abc 4.36 ± 4.17ab 5.71 ± 5.15ab 6.50 ± 5.64a 6.50 ± 5.64ab 7.06 ± 6.21ab 7.06 ± 6.21ab B100S0 2.56 ± 1.54ab 2.56 ± 1.54ab 3.28 ± 2.80ab 7.12 ± 5.19a 7.12 ± 5.19ab 8.24 ± 4.24ab 10.07 ± 4.53ab

B0S100 0.00 ± 0.00c 1.15 ± 0.99b 2.47 ± 0.98b 3.20 ± 1.38a 3.20 ± 1.38b 3.92 ± 2.44b 3.92 ± 2.44b

B75S25 2.60 ± 1.51ab 2.60 ± 1.51ab 5.20 ± 3.03ab 7.03 ± 1.87a 7.03 ± 1.87ab 8.35 ± 4.11ab 8.95 ± 3.55ab

B25S75 3.94 ± 2.37a 5.28 ± 2.96a 8.54 ± 4.06a 9.26 ± 5.27a 9.99 ± 6.51a 11.14 ± 5.45a 12.48 ± 6.14a

Kontrol 1.95 ± 1.85abc 2.59 ± 0.96ab 5.20 ± 1.92ab 5.20 ± 1.92a 5.92 ± 1.85ab 5.92 ± 1.85ab 5.92 ± 1.85ab

(21)

12

Tabel 2 Lanjutan

Perlakuan Kejadian penyakit (%)

9 MST 10 MST 11 MST 12 MST 13 MST AUDPC (%hari)c

B100S0C 6.29 ± 1.77ab 6.29 ± 1.77ab 6.81 ± 2.51abc 6.81 ± 2.51abc 6.81 ± 2.51abc 351.85 ± 74 .40ab

B0S100C 4.56 ± 2.74b 4.56 ± 2.74ab 4.56 ± 2.74bc 4.56 ± 2.74bc 4.56 ± 2.74bc 311.61 ± 201.04b

B75S25C 8.01 ± 4.07ab 8.01 ± 4.07ab 8.01 ± 4.07bc 8.01 ± 4.07bc 8.01 ± 4.07bc 454.40 ± 283.24ab

B25S75C 8.83 ± 2.22ab 8.83 ± 2.22ab 8.83 ± 2.22abc 8.83 ± 2.22abc 8.83 ± 2.22abc 585.77 ± 129.50ab

C 7.06 ± 6.21ab 7.06 ± 6.21ab 7.06 ± 6.21abc 7.06 ± 6.21abc 7.06 ± 6.21abc 489.67 ± 430.90ab B100S0 10.07 ± 4.53ab 11.74 ± 3.01a 11.74 ± 3.01ab 11.74 ± 3.01ab 11.74 ± 3.01ab 622.62 ± 284.49ab

B0S100 3.92 ± 2.44b 3.92 ± 2.44b 3.92 ± 2.44c 3.92 ± 2.44c 3.92 ± 2.44c 268.85 ± 156.48b

B75S25 9.67 ± 4.81ab 9.67 ± 4.81ab 9.67 ± 4.81abc 9.67 ± 4.81abc 9.67 ± 4.81abc 583.56 ± 292.21ab

B25S75 12.48 ± 6.14a 12.48 ± 6.14a 12.48 ± 6.14a 12.48 ± 6.14a 12.48 ± 6.14a 803.53 ± 412.00a

Kontrol 7.16 ± 3.67ab 7.89 ± 3.70ab 7.89 ± 3.70abc 7.89 ± 3.70abc 7.89 ± 3.70abc 455.38 ± 189.25ab a

MST = Minggu setelah tanam.

b

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

c

AUDPC= Area Under Disease Progress Curve.

(22)

Pada pengamatan minggu ke-11, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%). Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) memberikan penekanan penyakit lebih baik

dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis

secara tunggal (B0S100) sebesar 3.92% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri

pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75)

sebesar 12.48%. Hal ini juga sama pada pengamatan minggu ke-12 dan minggu ke-13, dimana perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%).

AUDPC adalah area di bawah kurva perkembangan penyakit. Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5 %, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap AUDPC (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa formulasi bakteri yang diaplikasikan tidak memberikan penekanan perkembangan penyakit layu bakteri di lapangan. Handini (2011) menyatakan bahwa perlakuan tunggal PGPR dan bakteri endofit maupun perlakuan kombinasi antara PGPR dan bakteri endofit (B25S75, B50S50 dan B75S25)

tidak dapat menghambat kejadian penyakit layu bakteri. Akan tetapi, perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh yang negatif terhadap tanaman karena perkembangan dan pertumbuhan tanaman tidak terganggu. Keefektifan PGPR dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kelembaban, tekanan oksigen, suhu, pH, kandungan lempung, daya larut ion, dan tahap organik tanah (Khalimi dan Wirya 2010). Nilai AUDPC pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75) berbeda nyata dengan perlakuan S. epidermidis secara

tunggal (B0S100). Nilai AUDPC pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S.

epidermidis 75% (B25S75) yaitu sebesar 803.53%hari dan nilai AUDPC pada

perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) yaitu sebesar 268.85%hari. Hal

ini menunjukkan bahwa perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100)

memberikan penekanan penyakit yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Perlakuan S.

epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B0S100C) juga memberikan

penekanan penyakit yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75). Nilai AUDPC pada perlakuan S.

epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B0S100C) sebesar 311.61%hari.

(23)

14

kaca. Aplikasi B. subtilis dengan penambahan CMC 1%, 0.75% dan 0.5% dapat menekan kejadian penyakit layu bakteri pada nilam masing-masing sebesar 50%, 41%, dan 33% di rumah kaca. Berdasarkan hasil penelitian Nurjanani (2010), aplikasi B. subtilis dengan penambahan CMC 1% dapat menekan kejadian layu bakteri pada tanaman tomat. Perbedaan ini disebabkan karena suhu di lapangan yang berubah-ubah (Nawangsih 2006). Aktivitas enzim selulase dipengaruhi oleh faktor derajat kemasaman (pH), suhu, dan senyawa penghambat. Bacillus sp. secara aktif mendegradasi CMC 1% pada pH 7 (Hidayat 2005) dan suhu 50 0C. Logam berat seperti Hg2+, Ag+, dan Cu2+ dapat menghambat kerja enzim selulase (Deng dan Tabatai 1994).

Tabel 3 Hasil uji-t AUDPC, bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC

Peubah p-Valueb

AUDPCa

Bobot kering tajuk

0.28 0.31

Bobot kering akar 0.15

Bobot panen hasil buah tomat 0.32

a

AUDPC= Area Under Disease Progress Curve.

b

p-Value > 0.05 artinya formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa CMC tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Pengaruh Formulasi Bakteri terhadap Bobot Kering Tajuk dan Akar

Salah satu parameter uji pemacuan pertumbuhan adalah perhitungan bobot kering tanaman. Bobot kering tanaman yang dihitung adalah bobot kering tajuk dan bobot kering akar. Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5% (Tabel 4), perlakuan formulasi bakteri memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering tajuk. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan formulasi bakteri dapat meningkatkan bobot kering tajuk tanaman. Agens biokontrol dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil panen (Nakkeeran dan Fernando 2005). Menurut Gholami et al. (2009), PGPR menghasilkan fitohormon seperti auksin, sitokinin dan giberelin. B. subtilis adalah salah satu PGPR yang yang dapat menginduksi pertumbuhan tanaman. Menurut Khairani (2009), bakteri endofit dapat berperan sebagai biofertilizer dengan menghasilkan hormon Indol Acetic Acid (IAA) yang dapat memacu pertumbuhan tanaman. Hampir semua spesies bakteri endofit dapat berperan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman, terutama yang menghasilkan hormon pertumbuhan seperti etilen, auksin dan sitokinin (Bacon dan Hinton 2006 dalam Damayanti 2010). Bobot kering tajuk tertinggi terdapat pada perlakuan CMC secara tunggal yaitu sebesar 3.15 gram/ tanaman.

(24)

agens biokontrol yang diaplikasikan (Nawangsih 2006). Bobot kering akar pada perlakuan CMC secara tunggal (C) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Nilai bobot kering akar pada perlakuan CMC secara tunggal (C) yaitu sebesar 0.25 gram/tanaman dan nilai bobot kering akar pada kontrol sebesar 0.13 gram/tanaman.

Tabel 4 Bobot kering tajuk dan bobot kering akar tanaman tomat pada berbagai perlakuan formulasi bakteri di lapangan

Perlakuana Bobot kering tajuk (gram/tanaman)b

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Berdasarkan uji-t pada taraf 5% (Tabel 3), perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC tidak berbeda nyata dengan perlakuan formulasi bakteri tanpa penambahan CMC terhadap bobot kering tajuk. Perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC juga tidak berbeda nyata dengan perlakuan formulasi bakteri tanpa penambahan CMC terhadap bobot kering akar (uji-t pada taraf 5%). Hal ini menunjukkan bahwa formulasi bakteri dengan penambahan CMC tidak dapat meningkatkan bobot kering tajuk dan bobot kering akar. Palupi et al. (2012) mengemukakan bahwa CMC 1.5% dapat meningkatkan vigor tanaman padi dibandingkan dengan kontrol. Hal ini dapat disebabkan karena perubahan suhu dan pH di lapangan yang menyebakan viskositas CMC tidak stabil. Menurut (Rachmanita 2006), viskositas CMC dipengaruhi oleh pH dan suhu. CMC kehilangan viskositas dan mempunyai kecenderungan untuk mengendap pada pH rendah. Stabilitas maksimum CMC terjadi pada pH 7-9.

Pengaruh Formulasi Bakteri terhadap Bobot Hasil Panen Buah Tomat

(25)

16

kontrol pada tanaman padi. Bobot hasil panen buah tomat tertinggi terdapat pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75) sebesar 1.26 kg/tanaman.

Tabel 5 Bobot hasil panen total buah tomat pada berbagai perlakuan formulasi bakteri di lapangan

Perlakuana Bobot buah tomat (kg/tanaman)b

B100S0C 0.97 ± 0.19b

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B.

subtilis 100% dengan penambahan CMC (B100S0C). Bobot hasil panen buah tomat

pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75)

sebesar 1.26 kg/tanaman dan bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B100S0C) sebesar 0.97 kg/tanaman. Hal

ini menunjukkan bahwa aplikasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75)

memberikan hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan aplikasi B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B100S0C). Bobot hasil panen buah tomat

pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75), CMC

secara tunggal (C), kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% dengan penambahan CMC (B25S75C) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B.

subtilis 100% dengan penambahan CMC (B100S0C). Bobot hasil panen buah tomat

pada masing-masing perlakuan secara berurutan sebesar 1.26 kg/tanaman, 1.23 kg/tanaman, 1.21 kg/tanaman dan 0.97 kg/tanaman.

(26)

Jenis Hubungan B. subtilis dan S. epidermidis

Berdasarkan hasil perhitungan index penekanan (Tabel 6), perlakuan formulasi bakteri yang memberikan penekanan yang paling baik terhadap perkembangan penyakit layu bakteri adalah perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) yaitu sebesar 40.96%. Index penekanan penyakit ini lebih kecil

jika dibandingkan dengan index penekanan penyakit pada penelitian yang dilakukan Wardani (2012) di rumah kaca yaitu sebesar 41.18% dan lebih besar jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Handini (2011) di lapangan yaitu sebesar 10.33%. Perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B100S0C), perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B0S100C),

perlakuan kombinasi B. subtilis 75% dan S. epidermidis 25% dengan penambahan CMC (B75S25C) memberikan penekanan terhadap perkembangan penyakit layu

bakteri masing-masing sebesar 22.73%, 31.57%, dan 0.21%. Perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% dengan penambahan CMC (B25S75C),

perlakuan CMC secara tunggal (C), perlakuan B. subtilis secara tunggal (B100S0),

perlakuan B. subtilis 75% dan S. epidermidis 25% (B75S25), B. subtilis 25% dan S.

epidermidis 75% (B25S75) tidak dapat menekan kejadian penyakit layu bakteri di

lapangan tetapi justru meningkatkan kejadian penyakit.

Tabel 6 Index penekanan penyakit, nilai Sinergy Factor (SF) dan jenis hubungan antara B. subtilis dan S. epidermidis berdasarkan nilai AUDPC

Perlakuana Index penekanan

Keefektifan pengendalian dugaan oleh kombinasi B. subtilis dan S. epidermidis.

Perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B0S100) menekan penyakit layu

bakteri lebih baik dibandingkan dengan perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B100S0C), S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC

(B0S100C), dan perlakuan kombinasi B. subtilis 75% dan S. epidermidis 25%

dengan penambahan CMC (B75S25C). Dari hasil analisis terhadap jenis hubungan

(27)

18

kompetisi nutrisi atau agens biokontrol yang satu mengeluarkan senyawa yang dapat menghambat populasi maupun kinerja agens biokontrol yang lain.

(28)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perlakuan formulasi bakteri yang diaplikasikan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap AUDPC dan bobot kering akar. Perlakuan formulasi bakteri yang diaplikasikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering tajuk dan bobot hasil panen buah tomat. Berdasarkan index penekanan penyakit, S. epidermidis secara tunggal (B0S100) memberikan penekanan kejadian penyakit

yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan kombinasi karena dari hasil analisis terhadap jenis hubungan antar agens biokontrol diketahui bahwa antara S. epidermidis dan B. subtilis memiliki jenis hubungan antagonis. Perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC tidak berpengaruh nyata terhadap AUDPC, bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot hasil panen buah tomat.

Saran

(29)

20

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi tomat pada tahun 2000-2009 [Internet]. Jakarta [ID] : Kementrian Pertanian Republik Indonesia; [diunduh 2013 Februari 5]. Tersedia pada: http://www.deptan.go.id.

Chrisnawati. 2011. Pengujian formula agensia hayati Bacillus sp. dan Pseudomonad fluorescen untuk mengendalikan penyakit layu bakteri nilam. J Embrio 4(2):99-107.

Cooke BM. 1998. Disease assessment and yield loss. Di dalam: Jones DG, editor. The Epidemiology of Plant Diseases. Ed ke-2. London [GB]: Kluwer Academic Publishers. hlm 42-72.

Damayanti I. 2010. Seleksi dan karakterisasi bakteri endofit untuk menekan kejadian penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tanaman tomat [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Deng SP, Tabatai MA. 1994. Cellulase activity of soil. Soil Biol. 26(1):20-25.

Fikrinda. 2000. Isolasi dan karakterisasi bakteri penghasil selulase ekstremofilik dari ekosistem air hitam [tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Firmansyah R. 2012. Potensi bakteri endofit dan filoplen asal daun Mucuna pruriens Linn. dalam memacu pertumbuhan tanaman dan menekan penyakit bercak daun Cercospora sp. pada tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L Mer) [internet]. Bandung (ID): Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran; [diunduh 2012 Mei 15]. Tersedia pada:

http://www.scribd.com/doc/7681332/-Potensi-Bakteri-Endofit-Dan-

Filoplen-Asal-Daun-Mucuna-Pruriens-Linn-Dalam-Memacu- Pertumbuhan-Tanaman-dan-Menekan-Penyakit-Bercak-Daun-Cercospora-sp-p.

Guetsky R, Shtienberg D, Elad Y, Fischer E, Dinoor A. 2002. Improving biological control by combining biocontrol agents each with several mechanisms of disease suppression. Phytopatholy 92(9):976-985.

Gholami S, Shahsavani S, Nezarat S. 2009. The effect of plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) on germination, seedling growth and yield of maize. Eng Technol. 49:19-24.

Handini ZVT. 2011. Keefektifan bakteri endofit dan plant growth promoting rhizobacteria dalam menekan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(30)

Janousek CN, Lorber JD, Gubler WD. 2009. Combination and rotation of bacterial antagonists to control powdery mildew on pumpkin. J Plant Diseases and Protection 116(6): 260-262.

Khairani G. 2009. Isolasi dan uji kemampuan bakteri endofit penghasil hormon IAA (Indole Acetic Acid) dari akar tanaman jagung [skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Khalimi K, Wirya GNAS. 2010. Pemanfaatan plant growth promoting rhizobacteria untuk biostimulants dan bioprotectans. Ecotrophic 4(2): 131-135.

Kumar B. 2007. Indian Horticulture Database 2006. India: National Hort.

Melliawati R, Widyaningrum DN, Djohan AC, Sukiman H. 2006. Pengkajian bakteri endofit penghasil senyawa bioaktif untuk proteksi tanaman. Biodiversitas 7(3):221-224.

Mena HG, Olalde V. 2007. Alteration of tomato fruit quality by root inoculation with plant growth promoting rhizobacteria (PGPR): Bacillus subtilis BEB-13bs. J Sci Hort. 113(1):103–106.

Nakkeeran S, Fernando WGD. 2005. Plant growth promoting rhizobacteria formulations and its scope in commercialization for the management of pests and diseases. Di dalam: Siddiqui ZA, editor. PGPR: Biocontrol and Biofertilization. Berlin (DE): Springer. hlm 257-296.

Nasrun, Christanti, Arwiyanto T, Mariska I. 2007. Karakteristik fisiologis Ralstonia solanacearum penyebab penyakit layu bakteri nilam. J Littri 13(2):43–48.

Nawangsih AA. 2006. Seleksi dan karakterisasi bakteri biokontrol untuk mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Nawangsih AA, Damayanti I, Wiyono S, Kartika JG. 2011. Selection and Characterization of endophytic bacteria as biological control agents of tomato bacteria wilt disease. Hayati 18(2):66-70.

Nurjanani. 2011. Kajian pengendalian penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) menggunakan agens hayati pada tanaman tomat. J Suara Perlind Tan. 1(4):1-8.

Paath JM. 2005. Pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman tomat dengan pestisida nabati. Eugenia 11(1):47-55.

Palupi T, Ilyas S, Machmud M, Widajati E. 2012. Pengaruh formula coating terhadap viabilitas dan vigor serta daya simpan benih padi (Oryza sativa L.). J Agron 40(1):21-28.

Rachmanita. 2006. Sintesis dan optimalisasi gel kitosan-karboksimetil selulosa [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(31)

22

rhizobacteria in crop plants against pests and diseases. Crop Protection 20 (2001):1-11.

Ramadhan ML. Buwono ID. Mulyani Y. 2012. Analisis potensi dan karakterisasi gen 16S rRNA bakteri selulolitik yang diisolasi dari makroalga Euchema sp. Dan Sargassum sp. sebagai penghasil enzim selulase. J Perikanan dan Kelautan 3(3):61-67.

Sulistiani. 2009. Formulasi spora Bacillus subtilis sebagai agens hayati dan PGPR (plant growth promoting rhizobacteria) pada berbagai bahan pembawa [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Supriadi. 2006. Analisis risiko agens hayati untuk pengendalian patogen tanaman. J Litbang Pertan. 25(3):75-80.

Supriadi. 2011. Penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum): dampak, bioekologi, dan peranan teknologi pengendaliannya. Pengemb Inov Pertan. 4(4):279-293.

Vanitha SC, Niranjana SR, Mortense CN, Umesha S. 2009. Bacterial wilt of tomato in Karnataka and its management by Pseudomonas fluorescens. BioControl 4:685–695.

Vasudevan P, Kavitha S, Pryadarisini VB, Babujee L, Gnanamanickam SS. 2002. Biological Control of Rice Diseases. New York (USA): Marcel Dekker Inc.

Vidyasekaran P, Rabindran R, Muthamilan M, Nayar K, Rajappan K, Subramian N, Vasumathi K. 1997. Development of powder formulation of Pseudomonas fluorescens for control of rice blast. Plant Pathol. 46:291-297.

Wardani FF. 2012. Efikasi bakteri endofit dan plant growth promoting rhizobacteria dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Wartono. 2010. Studi keefektifan formulasi spora Bacillus subtilis sebagai agens pengendali hayati penyakit hawar daun bakteri dan hawar daun pelepah serta pemicu pertumbuhan pada tanaman padi [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Winarni S. 1984. Pengamatan penyakit pada tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) di kecamatan Cisaat dan kecamatan Sukabumi kabupaten Dati II Sukabumi Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Wuryandari Y, Purnawati A, Arwiyanto T, Hadisutrisno B. 2008. Efektifitas dosis dan pengenceran pseudomonad fluorescen pada benih tomat terhadap Ralstonia solanacearum secara in vitro. J Pertanian Mapeta 10(2):72-78.

(32)

p

(33)

24

Lampiran 1 Hasil analisis ragam tingkat kejadian penyakit layu bakteri tanaman tomat pada minggu ke-2 hingga minggu ke-13 di lapangan

Sumber DB JK KT Fhit Pr > F Error/ galat 18 191.7504867 10.6528048

Total Error/ galat 18 185.1155267 10.2841959

Total Error/ galat 18 221.5491400 12.3082856

Total Terkoreksi

(34)

Lampiran 1 Lanjutan

Sumber DB JK KT Fhit Pr > F

Minggu 9

Blok 2 86.3673867 43.1836933 3.03 0.0736 Perlakuan 9 181.4294133 20.1588237 1.41 0.2540 Error/ galat 18 256.8199467 14.2677748

Total Error/ galat 18 199.0523400 11.0584633

Total Error/ galat 18 245.1972467 13.6220693

Total Error/ galat 18 245.1972467 13.6220693

Total Error/ galat 18 245.1972467 13.6220693

Total Terkoreksi

29 531.7358667

Lampiran 2 Hasil analisis ragam AUDPC pada perlakuan formulasi bakteri di lapangan

Sumber DB JK KT Fhit Pr > F

Blok 2 479535.0207 239767.5104 4.45 0.0270 Perlakuan 9 708054.3286 78672.7032 1.46 0.2363 Error/galat 18 970700.422 53927.801

(35)

26

Lampiran 3 Hasil uji-t AUDPC pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC di lapangan

Peubah Output Penambahan CMC Tanpa CMC

AUDPC Mean 438.6 239.34

St Dev 546.7 301.02

t-Value - 1.08

p-Value 0.28

Lampiran 4 Hasil analisis ragam bobot kering tajuk tanaman tomat berumur 15 MST pada perlakuan formulasi bakteri di lapangan

Sumber DB JK KT Fhit Pr > F

Blok 2 1.22370667 0.61185333 2.61 0.1010

Perlakuan 9 5.68301333 0.63144593 2.69 0.0351

Error/galat 18 4.21882667 0.23437926

Total terkoreksi 29 11.12554667

Lampiran 5 Hasil uji-t bobot kering tajuk tanaman tomat berumur 15 MST pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC di lapangan

Peubah Output Penambahan CMC Tanpa CMC

Bobot kering tajuk Mean 2.55 2.31

St Dev 0.58 0.65

t-Value 1.02

p-Value 0.31

Lampiran 6 Hasil analisis ragam bobot kering akar tanaman tomat berumur 15 MST pada perlakuan formulasi bakteri di lapangan

Sumber DB JK KT Fhit Pr > F

Blok 2 0.00768667 0.00384333 1.56 0.2375 Perlakuan 9 0.02663000 0.00295889 1.20 0.3529 Error/galat 18 0.04438000 0.00246556

Total terkoreksi 29 0.07869667

Lampiran 7 Hasil uji-t bobot kering akar tanaman tomat berumur 15 MST pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC di lapangan

Peubah Output Penambahan CMC Tanpa CMC

Bobot kering akar Mean 0.20 0.05

St Dev 0.17 0.04

t-Value 1.46

(36)

Lampiran 8 Hasil analisis ragam bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan formulasi bakteri di lapangan

Sumber DB JK KT Fhit Pr > F

Blok 2 0.59210667 0.29605333 20.46 0.0001

Perlakuan 9 0.62541667 0.06949074 4.80 0.0023

Error/galat 18 0.26049333 0.01447185

Total terkoreksi 29 1.47801667

Lampiran 9 Hasil uji-t bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC di lapangan

Peubah Output Penambahan CMC Tanpa CMC

Bobot hasil panen buah tomat

Mean 1.15 0.20

St Dev 1.04 0.36

t-Value 1.01

p-Value 0.32

Lampiran 10 Persemaian benih tomat di lapangan

Lampiran 11 Formulasi bakteri B. subtilis dan S. epidermidis; (a) suspensi agens biokontrol sebanyak 1 liter dimasukkan ke dalam 11 liter air, (b) larutan CMC 1% sebanyak 3 liter dimasukkan ke dalam 9 liter air, (c) kontrol

(37)

28

Lampiran 12 Aplikasi formulasi bakteri pada tanaman tomat di lapangan

Lampiran 13 Keadaan pertanaman tomat di lapangan; (a) umur 5 MST, (b) umur 9 MST

Lampiran 14 Gejala layu bakteri di lapangan

(38)

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1 Petumbuhan bakteri PGPR dan bakteri endofit pada media NA;  (a)
Tabel 2  Kejadian penyakit pada berbagai perlakuan formulasi bakteri dari minggu ke-2 hingga minggu ke-13 dan nilai AUDPC
Tabel 4  Bobot kering tajuk dan bobot kering akar tanaman tomat pada berbagai  perlakuan formulasi bakteri di lapangan

Referensi

Dokumen terkait

Asam humat adalah zat organik makromolekul polielektrolit, diketahui berkemampuan untuk berinteraksi sangat kuat dengan berbagai logam membentuk kompleks logam

Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk mengetahui (1) tingkat substitusi terbaik tepung bonggol pisang terhadap tepung terigu dalam pembuatan mie, (2) mengetahui

Bertolak dari dari permasalahan tersebut di perlukan suatu wadah yang dapat mewadahi segala kegiatan dan memfasilitasi seniman dalama berkarya selain itu meningkatakan taraf

proses pembauran antar komunitas etnis/ras, maka juga perlu ditilik lebih seksama hubungan kota ini secara khusus dan Sumenep Kota secara umum dengan wilayah kepulauan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan parameter mutu, menentukan parameter mutu kritis dan menduga waktu kedaluwarsa pendistribusian manisan

bagaimana hubungan antara bahasa yang digunakan dengan pikiran manusia. sehingga menghasilkan perubahan yang

Tahap ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan tahap instruksional; kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap ini antara lain : mengajukan pertanyaan kepada kelas