• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Paprika Hidroponik di Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Paprika Hidroponik di Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat"

Copied!
231
0
0

Teks penuh

(1)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Subsektor hortikultura merupakan bagian dari sektor pertanian yang mempunyai peran penting dalam menunjang peningkatan perekonomian nasional dewasa ini. Subsektor ini meliputi kelompok komoditas buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan biofarmaka. Kontribusi subsektor hortikultura dapat dilihat dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah rumah tangga yang mengandalkan sumber pendapatan dari subsektor hortikultura, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian RI (2012), nilai PDB subsektor hortikultura mengalami peningkatan setiap tahunnya dari tahun 2006 sampai 2009. Akan tetapi nilai PDB subsektor hortikultura mengalami penurunan sebesar 2,69 persen dari 88,33 triliun rupiah pada tahun 2009 menjadi 85,96 triliun pada tahun 2010. Secara keseluruhan, rata-rata tingkat pertumbuhan PDB subsektor hortikultura dari tahun 2006 sampai 2010 sebesar 5,94 persen per tahun. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2007 yang meningkat sebesar 11,88 persen dari tahun 2006.

Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode 2006-2010

Kelompok Komoditas

Nilai PDB (Milyar Rp)

2006 2007 2008 2009 2010

Buah-buahan 35.448 42.362 47.060 48.437 45.482

Sayuran 24.694 25.587 28.205 30.506 31.244

Tanaman Hias 4.734 4.741 5.085 5.494 6.174

Biofarmaka 3.762 4.105 3.853 3.897 3.665

Total 68.639 76.795 84.202 88.334 85.958

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2012)

(2)

2 menempati urutan kedua setelah kelompok komoditas buah-buahan. Kontribusi PDB komoditas sayuran pada tahun 2010 mencapai 31,24 triliun rupiah atau sekitar 36,35 persen terhadap total PDB hortikultura. Nilai PDB kelompok komoditas sayuran yang terus mengalami peningkatan mengindikasikan bahwa komoditas ini masih berpeluang untuk terus tumbuh.

Pengembangan agribisnis sayuran di Indonesia memiliki prospek yang baik dilihat dari potensi pasar yang besar. Jumlah penduduk yang semakin bertambah menuntut tersedianya bahan pangan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk untuk kelangsungan hidupnya. Menurut data Kementerian Pertanian, tingkat konsumsi sayuran masyarakat Indonesia pada tahun 2007 sebesar 40,90 kg per kapita, meningkat 20 persen dibandingkan dengan tahun 2006. Akan tetapi, tingkat konsumsi sayuran masyarakat Indonesia tersebut masih rendah jika dibandingkan dengan standar konsumsi sayur yang direkomendasikan FAO sebesar 73 kg per kapita per tahun dan standar kecukupan untuk sehat sebesar 91,25 kg per kapita per tahun1. Kesenjangan ini diharapkan dapat menjadi peluang bagi para pelaku usaha agribisnis sayuran.

Tabel 2 menyajikan data produksi sayuran di Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2010. Berdasarkan data, terdapat 15 jenis sayuran yang mengalami pertumbuhan produksi yang positif dalam satu tahun terakhir, yaitu bawang merah, kubis, kembang kol, petsai/sawi, wortel, lobak, kacang merah, kacang panjang, cabe besar, paprika, jamur, tomat, terung, buncis, dan labu siam. Paprika merupakan salah satu sayuran yang mengalami pertumbuhan secara signifikan. Pertumbuhan produksi paprika tahun 2009 hingga tahun 2010 sebesar 24 persen, menempati urutan kedua terbesar setelah komoditi jamur. Sementara rata-rata pertumbuhan produksi paprika tahun 2008-2010 adalah sebesar 67,54 persen.

Paprika memiliki peluang pasar yang besar karena banyak diminati, baik di dalam negeri maupun di luar negeeri. Sejalan dengan menjamurnya restauran-restauran dan hotel yang menyajikan menu makanan asing maka peluang pasar untuk jenis sayuran eksklusif seperti paprika di dalam negeri masih terbuka lebar. Di Jabodetabek, terdapat 56-60 outlet pizza yang setiap hari membutuhkan

1

Dinas Peternakan Banten. 2011. Gema Sayuran untuk Tingkatkan Konsumsi Sayuran.

(3)

pasokan hingga 20 ton2. Selain memenuhi kebutuhan dalam negeri, paprika juga berpotensi untuk diekspor. Negara tujuan utama ekspor paprika Indonesia adalah Singapura. Kondisi tersebut diharapkan dapat menjadi peluang bagi petani untuk dapat meningkatkan jumlah produksi.

Tabel 2. Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2006-2010

Jenis Sayuran

Bawang Merah 794.929 802.810 853.615 965.164 1.048.934 8,68

Bawang Putih 21.052 17.312 12.339 15.419 12.295 -20,26

Bawang Daun 571.264 479.924 547.743 549.365 541.374 -1,45

Kentang 1.011.911 1.003.732 1.071.543 1.176.304 1.060.805 -9,82

Kubis 1.267.745 1.288.738 1.323.702 1.358.113 1.385.044 1,98

Kembang Kol 135.517 124.252 109.497 96.038 101.205 5,38

Petsai/Sawi 590.400 564.912 565.636 562.838 583.770 3,72

Wortel 391.370 350.170 367.111 358.014 403.827 12,80

Lobak 49.344 42.076 48.376 29.759 32.381 8,81

Kacang Merah 125.251 112.271 115.817 110.051 116.397 5,77

Kacang Panjang 461.239 488.499 455.524 483.793 489.449 1,17

Cabe Besar 736.019 676.828 695.707 787.433 807.160 2,51

Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura Keterangan : - ) Data tidak tersedia

2

(4)

4 Paprika termasuk dalam komoditi yang umumnya dibudidayakan di bawah naungan, yang merupakan teknik penanaman sayuran yang dapat mengatasi masalah yang berhubungan dengan penanaman sayuran di lahan terbuka. Teknik ini merupakan usaha perlindungan fisik pada tanaman dengan tujuan utama untuk mengendalikan faktor cuaca yang mengganggu perkembangan tanaman. Beberapa keuntungan penggunaan budidaya tanaman di bawah naungan adalah hasil tanaman lebih tinggi, kualitas produk lebih baik, masa panen lebih panjang dibandingkan dengan produksi sayuran di lahan terbuka, efisiensi penggunaan pupuk dan pestisida, serta produksi tanaman lebih terencana (Gunadi et al 2006).

Tiga daerah penghasil paprika yang berada di Indonesia antara lain Sumatera, Jawa, dan Bali. Berdasarkan Tabel 3, Pulau Jawa merupakan pusat produksi paprika di Indonesia, dengan total produksi tahun 2010 mencapai 92,17 persen dari total produksi paprika nasional. Provinsi penghasil paprika terbesar di Pulau Jawa adalah Jawa Barat, selanjutnya diikuti oleh Jawa Timur. Pada tahun 2010, kontribusi Provinsi Jawa Barat terhadap produksi paprika di Pulau Jawa sebesar 91,39 persen dengan produktivitas yang tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain, yaitu sebesar 43,97 ton per hektar. Hal tersebut menggambarkan kontribusi Provinsi Jawa Barat yang sangat besar terhadap produksi paprika di Pulau Jawa maupun di Indonesia.

(5)

Kabupaten Bandung Barat, yang merupakan kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Bandung sejak tahun 2007, adalah sentra produksi paprika di Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2010, luas panen paprika di Kabupaten Bandung Barat mencapai 68 hektar dengan rata-rata hasil per hektar sekitar 59,58 ton. Dengan produktivitas dan luas panen yang tinggi tersebut, Kabupaten Bandung Barat mampu memberikan kontribusi sebesar 86,93 persen terhadap total produksi paprika di Provinsi Jawa Barat. Dalam hal luas areal tanam, Kabupaten Bandung Barat terus mengalami peningkatan luas tanam dari tahun 2008 hingga tahun 2010 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 61,14 persen setiap tahunnya (Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2011).

Tabel 4. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Paprika di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010

Kabupaten/Kota Luas Panen (Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

Sukabumi 11 58 5,27

Cianjur 4 16 4

Bandung 12 218 18,17

Garut 4 180 45

Sumedang 1 5 5

Subang 3 72 24

Purwakarta 3 60 20

Bandung Barat 68 4.052 59,58

Jawa Barat 106 4.661 43,97

Sumber: Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2011)

(6)

6 1.2. Perumusan Masalah

Kabupaten Bandung Barat merupakan kawasan pengembangan komoditi paprika di Provinsi Jawa Barat. Program pengembangan kawasan ini diarahkan pada pemilihan komoditi prioritas atau komoditi unggulan daerah sesuai potensi dan kekhasan wilayah.Sentra produksi paprika Kabupaten Bandung Barat berada di Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua. Topografi Desa Pasirlangu yang berada pada ketinggian 900-2.050 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 20-250 C sangat mendukung untuk budidaya tanaman paprika.

Peluang pasar paprika yang dihasilkan petani Desa Pasirlangu sangat besar. Selain banyak diserap oleh pasar dalam negeri, paprika yang dihasilkan petani juga dibutuhkan untuk ekspor. Di dalam negeri, paprika banyak diminati khususnya di daerah perkotaan, seperti restauran, hotel, dan supermarket. Sementara untuk ekspor, pasar utama paprika adalah ke Singapura. Permintaan paprika untuk ekspor bisa mencapai 10 ton per minggu, sementara petani di Desa Pasirlangu baru mampu memenuhi pasokan paprika sebanyak 4-6 ton karena keterbatasan produksi3. Dengan demikian, petani Desa Pasirlangu masih belum mampu memenuhi kebutuhan pasar ekspor sehingga potensi pasar paprika belum sepenuhnya tergarap dengan baik.

Teknik budidaya paprika yang sebagian besar digunakan oleh para petani Desa Pasirlangu yaitu sistem hidroponik dalam rumah plastik dengan menggunakan media tanam berupa arang sekam. Dalam teknik hidroponik dibutuhkan nutrisi sebagai sumber makanan bagi tanaman. Penggunaan sistem hidroponik bertujuan agar pertumbuhan tanaman lebih terkontrol, tanaman dapat berproduksi dengan kuantitas dan kualitas yang tinggi, dan tanaman bebas dari gulma (Prihmantoro dan Indriani 1998). Akan tetapi sampai saat ini petani paprika di Desa Pasirlangu masih mengalami keterbatasan produksi yang salah satunya disebabkan oleh produktivitas paprika yang belum optimal.

Luas lahan dan produktivitas paprika hidroponik di Desa Pasirlangu tahun 2008-2011 terus mengalami peningkatan yang berimplikasi terhadap peningkatan produksi setiap tahunnya. Walaupun jumlah produksinya meningkat, tetapi

3

(7)

produksi paprika hidroponik di Desa Pasirlangu masih belum sesuai harapan. Menurut Gunadi (2006), berdasarkan penelitian dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, tanaman paprika hidroponik yang dibudidayakan sesuai dengan kondisi di Indonesia dapat memiliki produktivitas yang optimal hingga mencapai 8-9 kilogram per meter persegi. Namun pada kenyataannya produktivitas rata-rata paprika hidroponik yang mampu dicapai oleh petani di Desa Pasirlangu hanya sebesar 5,7 kilogram per meter persegi atau 57 ton per hektar.

Tabel 5. Luas Lahan, Produksi, dan Produktivitas Paprika di Desa Pasirlangu Tahun 2008-2011

Tahun Luas Lahan (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)

2008 15 750 50

2009 25 1.375 55

2010 26 1.482 57

2011 26 1.482 57

Sumber: Laporan Profil Desa Pasirlangu (Diolah)

Kesenjangan antara produktivitas riil dan produktivitas potensial yang diharapkan diduga karena para petani paprika hidroponik di Desa Pasirlangu masih menghadapi kendala di lapang khususnya terkait dengan penggunaan input produksi. Kondisi di lapang menunjukkan bahwa masih ada beberapa petani yang kesulitan mencukupi kebutuhan input-input usahatani karena kurangnya modal sehingga efisiensi dan produktivitasnya menjadi kurang optimal. Sebaliknya, ada pula petani yang memberikan input seperti insektisida yang berlebih dengan asumsi pemberian insektisida yang banyak akan semakin cepat membasmi hama tanaman. Namun pada kenyataannya, pemberian input berlebih justru akan menurunkan kualitas tanaman dan hanya akan menambah beban biaya. Penggunaan insektisida yang berlebih juga sempat mengakibatkan penolakan ekspor paprika ke Singapura karena kandungan residu melebihi batas minimum yang ditetapkan importir.

(8)

8 dengan pengalokasian faktor-faktor produksi. Tenaga kerja yang terampil merupakan faktor yang penting karena pengusahaan paprika hidroponik dalam

greenhouse berbeda dengan pembudidayaan paprika konvensional di lahan terbuka, terutama berkaitan dengan pengelolaan atau penanganan yang lebih detail.

Teknik budidaya paprika hidroponik yang diterapkan oleh petani akan mempengaruhi tingkat efisiensi teknis usahatani. Petani yang mampu mengelola penggunaan sumberdaya (input) yang ada untuk mencapai produksi (output) maksimum atau meminimumkan penggunaan input untuk mencapai output dalam jumlah yang sama, maka dapat dikatakan petani tersebut telah efisien. Informasi mengenai tingkat efisiensi teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis diperlukan untuk mengevaluasi kinerja para petani paprika hidroponik serta dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Keberhasilan pengembangan usahatani paprika hidroponik baik dari segi kualitas maupun kuantitas produksi sangat ditentukan oleh penguasaan teknologi dan keterampilan petani dalam pemeliharaannya yang pada akhirnya akan berpengaruh kepada pendapatan yang diperoleh. Tingkat efisiensi teknis yang dicapai akan mempengaruhi besar kecilnya pendapatan yang diterima petani.

Mengacu pada permasalahan yang telah diuraikan, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi paprika hidroponik di Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua?

2. Bagaimana efisiensi teknis serta faktor apa saja yang mempengaruhi inefisiensi teknis usahatani paprika hidroponik di Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua?

3. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani paprika hidroponik di Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, penelitian ini bertujuan untuk:

(9)

2. Menganalisis tingkat efisiensi teknis serta faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis usahatani paprika hidroponik di Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua.

3. Menganalisis tingkat pendapatan usahatani paprika hidroponik di Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

1. Bagi petani sebagai bahan masukan dan tambahan informasi dalam upaya peningkatan produktivitas pada pengelolaan usahatani paprika hidroponik di Desa Pasirlangu, Kecamatan cisarua, Kabupaten Bandung Barat.

2. Bagi pemerintah daerah sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan terkait dengan efisiensi teknis usahatani paprika hidroponik.

3. Bagi pihak-pihak berkepentingan lainnya sebagai bahan informasi dan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(10)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum Paprika

Paprika (Capsicum annuum var grossum) tergolong ke dalam keluarga tomat dan terung, yaitu famili Solanaceae karena mempunyai bentuk bunga seperti terompet. Berbeda dengan tanaman cabai lainnya, tanaman paprika tumbuh lebih kompak dan rimbun. Daun umumnya berukuran lebih besar dan berwarna hijau gelap. Bentuk buahnya unik karena mirip dengan lonceng sehingga dinamakan bell pepper. Meskipun aroma buah paprika pedas menusuk, namun rasanya tidak pedas, bahkan cenderung manis, sehingga disebut sweet pepper.

Buah paprika mengandung sedikit protein, lemak dan gula, tetapi mengandung banyak karoten dan sebagai sumber vitamin C (sampai 340 mg/100 g buah segar). Jika dibandingkan dengan buah jeruk yang mengandung vitamin C sekitar 146 mg/100 g, maka kandungan vitamin C pada paprika jauh lebih tinggi daripada buah jeruk (Morgan dan Lennard 2000 diacu dalam Gunadi et al 2006). Selain itu paprika juga mengandung zat antosianin yang dapat digunakan sebagai zat pewarna alami.

Paprika berasal dari Amerika tropis yaitu Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Dalam pertumbuhannya, paprika memerlukan kondisi tertentu yang mirip dengan daerah asalnya. Faktor lingkungan yang menjadi syarat tumbuh paprika adalah ketinggian tempat 500-1.500 meter di atas permukaan laut; tanah dengan pH 5,5-6,5; suhu udara 16-25 C; cahaya matahari yang cukup sepanjang hari; serta kelembapan udara 80-90%. Tanaman paprika sangat responsif terhadap pemberian air. Kondisi air yang berlebihan dapat menyebabkan kelayuan pada tanaman dan kerontokan bunga. Hal yang sama juga dapat terjadi bila tanaman kekurangan air pada saat pembungaan (Prihmantoro dan Indriani 2003).

2.2. Tinjauan Empiris Paprika Hidroponik

(11)

dari beberapa pihak, kini para petani paprika telah mengembangkan paprika secara hidroponik di bawah naungan seperti rumah plastik atau greenhouse.

Penelitian Adiyoga et al (2007) menunjukkan bahwa paprika merupakan jenis sayuran utama yang diusahakan di rumah plastik di Kabupaten Bandung Barat. Dua varietas paprika yang paling sering dipilih petani adalah Edison dan Spartacus. Kedua varietas ini banyak dibudidayakan karena pertumbuhan dan hasilnya yang baik, disamping itu bentuk dan ukuran buah dari kedua varietas paprika tersebut mudah untuk dijual di pasar lokal maupun ekspor. Pada umumnya petani responden menggunakan populasi tiga tanaman per m2 (59%), tetapi beberapa petani reponden mencoba menanam lebih tanaman per m2 yaitu empat tanaman per m2 (41%).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari keseluruhan total biaya produksi tanaman paprika, ternyata alokasi biaya untuk nutrisi mendominasi biaya produksi secara keseluruhan. Biaya untuk nutrisi adalah 35,2% dari biaya total produksi secara keseluruhan, diikuti oleh biaya untuk tenaga kerja yaitu sebesar 25% dari biaya total produksi secara keseluruhan. Biaya untuk pestisida, benih atau bibit dan media tanam berturut-turut sebesar 20,5%, 10,6%, dan 8,6% dari biaya total produksi secara keseluruhan.

Para petani di Indonesia pada umumnya menggunakan naungan berupa konstruksi bangunan rumah plastik dari bambu yang sederhana. Alasan penggunaan rumah plastik dari bambu dibanding dengan material lainnya seperti kayu dan besi, yaitu karena harganya relatif lebih murah dan mudah didapat di semua daerah. Namun demikian, konstruksi rumah plastik bambu sebenarnya merupakan konstruksi bangunan yang umumnya relatif lebih berat dan berdampak banyak mengurangi intersepsi sinar matahari yang sangat diperlukan untuk tanaman paprika (Gunadi et al 2008).

Pada umumnya, produksi paprika di dalam rumah plastik atau greenhouse

(12)

12 penting. Hal ini disebabkan dalam media yang digunakan tidak ada penunjang air dan makanan lainnya, berbeda halnya dengan tanah (Prihmantoro dan Indriani 2003).

Berdasarkan penelitian Gunadi et al (2008) diketahui bahwa media tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Tanaman paprika yang ditanam pada media arang sekam selalu lebih tinggi dan berbeda nyata dengan tanaman paprika yang ditanam pada media perlite. Keadaan pH yang lebih tinggi pada media tanam arang sekam daripada pH media tanam perlite menyebabkan kondisi lingkungan sekitar perakaran lebih baik untuk menyerap unsur hara sehingga tanaman paprika yang ditanam pada media arang sekam lebih tinggi. Selain itu, media tanam juga berpengaruh terhadap bobot buah dan jumlah buah per tanaman paprika. Media tanam arang sekam memberikan bobot buah dan jumlah buah per tanaman paprika lebih tinggi daripada media tanam perlite.

Penelitian mengenai komoditi paprika juga dilakukan oleh Kartikasari (2006). Penelitian yang berlangsung di Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung (sekarang Kabupaten Bandung Barat) ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi usahatani paprika hidroponik dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Selain itu Kartikasari juga menganalisis efisiensi pengunaan faktor-faktor produksi berdasarkan nilai perbandingan Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM).

(13)

penggunaan input belum efisien, agar penggunaan input efisien maka penggunaannya perlu ditambah.

Penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor produksi paprika dapat dijadikan acuan dalam penelitian yang dilakukan penulis. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu bahwa untuk menganalisis tingkat efisiensi teknis usahatani paprika hidroponik, penulis menggunakan alat analisis fungsi produksi

stochastic frontier karena selain dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh juga dapat melihat tingkat efisiensi teknis serta faktor-faktor penyebab inefisiensi yang berkaitan.

Penelitian mengenai pendapatan usahatani paprika hidroponik di Desa Pasirlangu sebelumnya pernah dilakukan oleh Kusnanto (2000). Perhitungan usahatani paprika hidroponik dalam penelitian tersebut dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan kategori luas lahan rumah plastik yang dimiliki yaitu petani golongan I dan petani golongan II. Petani golongan I adalah petani yang memiliki luas lahan rumah plastik lebih kecil dari rata-rata luas lahan rumah plastik seluruh petani contoh. Petani golongan II adalah petani yang memiliki luas lahan rumah plastik lebih besar dari rata-rata luas lahan rumah plastik seluruh petani contoh. Analisis pendapatan usahatani golongan II berdasarkan analisis R/C atas biaya total lebih besar daripada pendapatan usahatani golongan I. R/C atas biaya total golongan II mencapai 1,36 sedangkan golongan I sebesar 1,13.

(14)

14 2.3. Tinjauan Empiris Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani

Efisiensi teknis dan pendapatan usahatani dapat dijadikan sebagai indikator kinerja yang dilakukan oleh petani sehingga topik tersebut menarik untuk dianalisis. Sejumlah penelitian empiris mengenai efisiensi teknis dan pendapatan usahatani beberapa komoditas pertanian telah dilakukan. Beberapa komoditas pertanian yang telah diteliti terkait dengan efisiensi teknis dan pendapatan usahatani antara lain kentang, cabai merah, dan padi.

Tanjung (2003) melakukan penelitian mengenai efisiensi teknis dan pendapatan usahatani kentang di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Alat analisis yang digunakan untuk menganalisis pendapatan usahatani yaitu analisis pendapatan dan analisis R/C. Dalam penelitiannya, Tanjung membandingkan tingkat pendapatan usahatani yang menggunakan benih unggul Granola F2 dan yang menggunakan benih lokal. Dari hasil penelitian diketahui bahwa R/C usahatani yang menggunakan benih Granola F2 lebih besar dari R/C usahatani yang menggunakan benih lokal. R/C atas biaya tunai dan biaya total dari usahatani kentang yang menggunakan benih Granola F2 adalah 1,8 dan 1,4. Sementara R/C atas biaya tunai dan biaya total usahatani yang menggunakan benih lokal adalah 1,2 dan 0,7. Hal tersebut menunjukkan bahwa usahatani kentang dengan benih lokal tidak menguntungkan untuk dijalankan berdasarkan analisis R/C atas biaya total.

Alat yang digunakan untuk menganalisis efisiensi teknis yaitu fungsi produksi stochastic frontier, yang juga digunakan untuk menganalisis efisiensi alokatif dan ekonomis. Hasil analisis menunjukkan bahwa petani kentang telah mencapai efisiensi teknis dengan nilai rata-rata sebesar 0,756. Faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi tingkat efisiensi teknis petani adalah usia, pengalaman, keikutsertaan petani dalam kelompok tani, dan jenis benih. Namun, keikutsertaan petani di dalam kelompok tani berhubungan negatif dengan efisiensi teknis petani. Sementara hasil analisis efisiensi alokatif dan ekonomis petani responden menggambarkan bahwa petani responden belum efisien.

(15)

meneliti tingkat efisiensi teknis dari usahatani kentang yang menggunakan benih varietas Granola dari beberapa generasi. Berdasarkan analisis fungsi produksi

stochastic frontier menunjukkan bahwa variabel yang bernilai positif dan berpengaruh signifikan terhadap produksi kentang per hektar yaitu benih dan pupuk organik, sedangkan unsur S dalam pupuk anorganik berpengaruh negatif dan signifikan terhadap produksi kentang.

Usahatani kentang di lokasi penelitian secara keseluruhan telah mencapai efisiensi secara teknis dengan nilai rata-rata 0,75. Usahatani kentang benih G3-G6 telah mencapai efisiensi secara teknis karena rata-rata efisiensinya telah mencapai lebih dari 70 persen, sedangkan usahatani kentang benih G7 belum mencapai efisiensi secara teknis. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh negatif dan signifikan terhadap inefisiensi teknis usahatani kentang antara lain pengalaman usahatani, pendidikan formal, dan luas lahan yang dikuasai. Sementara faktor umur berpengaruh positif dan signifikan terhadap inefisiensi teknis usahatani kentang. Berdasarkan hasil kedua penelitian mengenai efisiensi teknis kentang, dapat disimpulkan bahwa benih berpengaruh terhadap efisiensi teknis usahatani kentang. Dengan demikian penggunaan benih berkualitas tinggi harus diupayakan agar usahatani berjalan efisien dan pendapatan usahatani lebih maksimal.

(16)

16 99,48 persen. Lebih jauh, secara keseluruhan rata-rata efisiensi teknis yang dicapai oleh petani yaitu sebesar 64,86 persen. Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya pendidikan formal yang berpengaruh nyata terhadap tingkat efisiensi teknis. Maryono (2008) meneliti tentang efisiensi teknis dan pendapatan usahatani padi program benih bersertifikat di Desa Pasirtalaga, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk melihat pengaruh dari adanya program benih bersertifikat terhadap efisiensi teknis dan pendapatan usahatani. Peneliti menggunakan fungsi produksi stochastic frontier untuk menganalisis efisiensi teknis, sedangkan untuk menganalisis pendapatan usahatani digunakan analisis pendapatan serta analisis R/C. Enam variabel yang dimasukkan dalam fungsi produksi frontier yaitu luas lahan, jumlah benih, urea, TSP, obat, dan tenaga kerja. Akan tetapi, variabel luas lahan menimbulkan multikolinearitas pada model sehingga variabel tersebut dijadikan pembobot bagi variabel dependen dan independen. Sementara variabel yang diperkirakan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis adalah pengalaman, pendidikan formal, umur bibit, rasio urea-TSP, dummy bahan organik, dan dummy legowo.

Penelitian dilakukan dengan membandingkan hasil pada musim tanam I dan musim tanam II. Berdasarkan hasil perhitungan produksi stochastic frontier

dengan metode MLE, pada masa tanam I bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap produksi yaitu jumlah pupuk urea, tenaga kerja, dan benih. Faktor produksi seperti urea dan tenaga kerja memiliki nilai yang positif, sebaliknya koefisien jumlah benih bernilai negatif. Pada masa tanam II diperoleh hasil bahwa selain urea dan tenaga kerja, faktor produksi obat-obatan juga memiliki nilai positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi. Sementara faktor produksi selain benih yang bernilai negatif serta berpengaruh nyata terhadap produksi yaitu TSP.

(17)

dan dummy legowo. Sementara pada masa tanam II faktor-faktor yang nyata berpengaruh dalam menjelaskan inefisiensi teknis di dalam proses produksi adalah pengalaman, pendidikan, dan rasio urea-TSP. Hasil analisis pendapatan menunjukkan bahwa R/C atas biaya total setelah program secara nominal mengalami peningkatan dibandingkan dengan sebelum program, namun secara riil mengalami penurunan. R/C atas biaya total sebelum program sebesar 1,64 sedangkan setelah program nilai nominalnya sebesar 1,91 dan nilai riilnya sebesar 1,62.

Penelitian mengenai efisiensi usahatani padi di Kecamatan Telagasari Kabupaten Karawang juga dilakukan oleh Hutauruk (2008). Serupa dengan penelitian Maryono, penelitian Hutauruk ini juga mengkaji tentang pengaruh program pemerintah dengan membandingkan efisiensi dan pendapatan usahatani padi benih bersubsidi sebelum dan setelah program. Akan tetapi, penelitian Hutauruk tidak hanya menganalisis efisiensi teknis tetapi juga menganalisis efisiensi alokatif dan ekonomis. Variabel yang digunakan dalam fungsi produksi

frontier sama dengan penelitian sebelumnya hanya menambahkan variabel lain seperti pupuk KCL dan NPK serta memecah variabel tenaga kerja menjadi dua yaitu tenaga kerja luar keluarga dan dalam keluarga. Di dalam model inefisiensi, Hutauruk tidak menggunakan variabel rasio urea-TSP dan dummy bahan organik seperti penelitian sebelumnya, melainkan menggunakan variabel besar pendapatan di luar usahatani dan dummy status kepemilikan lahan.

(18)

18 harga gabah menurun. Ini ditunjukkan oleh R/C atas biaya tunai dan total yang menurun. Dilihat dari struktur biaya, bantuan benih bersubsidi kurang berperan dalam membantu petani karena biaya benih hanya menyumbang sebesar 1,21 persen.

Terdapat persamaan dan perbedaan antara penelitian terdahulu dan penelitian yang dilakukan penulis, khususnya yang terkait dengan variabel-variabel produksi dan variabel-variabel-variabel-variabel inefisiensi teknis. Sama halnya dengan penelitian terdahulu, penulis juga memasukkan variabel atau faktor produksi seperti lahan, benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja dalam penelitian ini. Akan tetapi, dalam penelitian ini variabel luas lahan akan dijadikan pembobot pada variabel dependen maupun variabel independen. Sementara variabel inefisiensi teknis yang digunakan dalam penelitian ini dan juga yang telah digunakan pada penelitian terdahulu antara lain variabel umur petani, pengalaman, pendidikan formal, umur bibit, dummy keikutsertaan dalam kelompok tani, dan dummy status kepemilikan lahan. Variabel lainnya yang akan dianalisis yaitu variabel dummy

(19)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Konsep Usahatani

Definisi usahatani telah banyak diuraikan oleh beberapa pakar. Usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di suatu tempat atau permukaan bumi yang diperlukan untuk produksi pertanian (Mosher 1968, diacu dalam Mubyarto 1989). Sementara Rifai (1980), diacu dalam Hernanto (1996) mendefinisikan usahatani sebagai organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Usahatani sebagai organisasi dimaksudkan bahwa usahatani harus ada yang mengorganisir dan ada yang diorganisir, yang mengorganisir usahatani adalah petani dibantu oleh keluarga dan yang diorganisir adalah faktor-faktor produksi yang dikuasai. Soekartawi (2006) menjelaskan bahwa ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan usahatani adalah memperoleh hasil produksi yang optimal agar menghasilkan pendapatan yang maksimal.

Suratiyah (2008) mengklasifikasikan usahatani menurut corak dan sifat, organisasi, pola, dan tipe usahataninya. Penjelasan mengenai klasifikasi usahatani tersebut adalah sebagai berikut:

1) Corak dan Sifat

Berdasarkan corak dan sifat, usahatani dibagi menjadi usahatani subsisten dan usahatani komersil. Usahatani subsisten adalah usahatani yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sedangkan usahatani komersil adalah usahatani yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan dan telah memperhatikan kualitas dan kuantitas produk.

2) Organisasi

(20)

20 kelompok kemudian hasilnya dibagi dalam bentuk natura maupun keuntungan. Usahatani kooperatif adalah usahatani yang tiap prosesnya dikerjakan secara individual hanya pada beberapa kegiatan yang dianggap penting dikerjakan oleh kelompok.

3) Pola

Berdasarkan polanya, usahatani dibagi menjadi usahatani khusus, tidak khusus dan campuran. Usahatani khusus merupakan usahatani yang hanya mengusahakan satu cabang usahatani saja. Usahatani tidak khusus merupakan usahatani yang mengusahakan beberapa cabang usaha bersama-sama namun terdapat batas yang tegas. Usahatani campuran merupakan usahatani yang mengusahakan beberapa cabang secara bersama-sama dalam sebidang lahan tanpa batas yang tegas, contohnya tumpang sari dan mina padi.

4) Tipe

Berdasarkan tipenya, usahatani dibagi menjadi beberapa jenis usahatani berdasarkan komoditas yang diusahakan, seperti: usahatani ayam, usahatani kambing, dan usahatani jagung.

Dalam usahatani, proses produksi dapat berjalan dengan baik apabila semua faktor-faktor produksi yang mendukung kegiatan produksi tersebut sudah terpenuhi. Terdapat empat faktor produksi yang selalu ada dalam usahatani, yaitu tanah (lahan), modal, tenaga kerja, dan manajemen. Keempat faktor produksi tersebut mempunyai fungsi yang berbeda namun saling terkait satu sama lain. 1) Tanah atau Lahan

(21)

2) Modal

Modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan produk pertanian. Hernanto (1996) membedakan modal berdasarkan sifatnya yaitu modal tetap dan modal bergerak. Modal tetap adalah modal yang tidak habis pakai pada satu periode produksi, seperti tanah dan bangunan. Modal bergerak adalah jenis modal yang habis atau dianggap habis dalam satu periode proses produksi. Berdasarkan sumbernya modal dapat dibedakan menjadi modal milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pelepas uang, famili, dan lain-lain), hadiah warisan, usaha lain, dan kontrak sewa.

3) Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan pelaku dalam usahatani yang bertugas menyelesaikan berbagai macam kegiatan produksi. Tiga jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, dan tenaga kerja mekanik (Hernanto 1996). Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kecukupan, tingkat kesehatan, dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan usahatani. Tenaga kerja usahatani dapat diperoleh dari dalam maupun luar keluarga. Dalam analisa ketenagakerjaan di bidang pertanian, penggunaan tenaga kerja dinyatakan oleh besarnya curahan tenaga kerja (Soekartawi 2002). Skala usaha akan mempengaruhi besar-kecilnya tenaga kerja yang dibutuhkan dan juga menentukan jenis tenaga kerja yang diperlukan.

4) Manajemen

(22)

22 Keberhasilan usahatani dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Hernanto 1996). Faktor internal terdiri dari petani pengelola, tanah usahatani, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petani mengalokasikan penerimaan keluarga, dan jumlah keluarga. Faktor internal ini dapat dikendalikan oleh petani itu sendiri. Sementara faktor eksternal terdiri dari sarana transportasi dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usahatani, fasilitas kredit, dan sarana penyuluhan bagi petani.

3.1.2. Konsep Fungsi Produksi

Produksi adalah kegiatan menghasilkan barang atau jasa. Pada suatu proses produksi, fungsi produksi menunjukkan berapa output yang dapat diperoleh dengan menggunakan sejumlah variabel input yang berbeda. Soekartawi

et al. (1986) mendefinisikan fungsi produksi sebagai hubungan fisik antara masukan (input) dan produksi. Beberapa input seperti tanah, pupuk, tenaga kerja, modal, iklim, dan sebagainya akan mempengaruhi jumlah output yang diperoleh.

Dapat dimisalkan Y adalah produksi dan Xi adalah input ke-i, maka besar kecilnya Y juga tergantung dari besar kecilnya X1, X2, X3, ..., Xm yang dipakai. Hubungan Y dan X secara aljabar dapat ditulis sebagai berikut:

Y = f (X1, X2, X3, ..., Xm)

Fungsi produksi yang telah diketahui dapat digunakan untuk menduga hasil produksi dan dapat pula dimanfaatkan untuk menentukan kombinasi input yang terbaik. Soekartawi et al. (1986) menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bentuk aljabar fungsi produksi, yaitu:

1) Bentuk fungsi produksi harus dapat menggambarkan dan mendekat keadaan usahatani sebenarnya.

2) Bentuk fungsi produksi yang digunakan mudah diukur atau dihitung secara statistik.

3) Fungsi produksi mudah diartikan secara ekonomi dari parameter yang menyusun fungsi produksi tersebut.

(23)

hasil itu sendiri. Hubungan input dan output tersebut dapat digambarkan dari produk marjinal (PM) dan produk rata-rata (PR).

PM menunjukkan banyaknya penambahan atau pengurangan output Y yang dihasilkan dari setiap penambahan satu-satuan input X, dengan kondisi input lainnya tetap. Hubungan Y dan X ini dapat terjadi dalam tiga situasi, yaitu bila PM konstan, bila PM menurun, dan bila PM meningkat (Soekartawi 2002). PM konstan dapat diartikan bahwa setiap tambahan satu-satuan unit input X dapat menyebabkan tambahan satu-satuan unit output Y secara proporsional. Bila terjadi suatu peristiwa tambahan satu-satuan unit input X menyebabkan satu-satuan unit output Y yang menurun atau decreasing productivity, maka PM menurun. Sebaliknya, bila penambahan satu-satuan unit input X menyebabkan satu-satuan output Y yang semakin meningkat secara tidak proporsional, maka disebut dengan

increasing productivity yang menyebabkan PM meningkat. Produk Marjinal (PM) =

Produk rata-rata adalah perbandingan antara output total dengan input produksi. Dimana output total atau produk total (PT=Y) adalah jumlah output elastisitas produksi yang sekaligus juga akan diketahui apakah proses produksi yang sedang berjalan dalam keadaan elastisitas produksi yang rendah atau sebaliknya. Elastisitas produksi (Ep) adalah presentase perubahan dari output akibat dari presentase perubahan dari input.

Ep =

(24)

24 Gambar 1. Kurva Fungsi Produksi

Sumber: Soekartawi (2002)

Stage I dimulai dari penggunaan X sebesar 0 unit sampai PR mencapai maksimum dan berpotongan dengan PM. Daerah ini memiliki nilai elastisitas produksi lebih besar dari satu (Ep > 1), dimana PT meningkat pada tahapan

increasing rate dan PR juga meningkat. Kondisi tersebut terjadi saat nilai PM lebih besar dari nilai PR. Petani belum mencapai keuntungan maksimum karena masih mampu memperoleh sejumlah produksi jika menambah sejumlah input tertentu. Oleh karena itu, daerah ini disebut daerah irrasional atau inefisien.

Stage II dimulai pada PR maksimum dan berakhir pada PM = 0, dengan nilai elastisitas produksi (0 < Ep < 1). Dalam keadaan demikian, tambahan sejumlah input tidak diimbangi secara proporsional oleh tambahan output yang diperoleh atau mengalami penambahan hasil produksi yang semakin menurun

Y

Stage I Stage II Stage III

TP

Ep>1 0<Ep<1 Ep<0

Y

PR

PM

(25)

(decreasing rate). Penggunaan input pada daerah ini telah optimal sehingga disebut daerah rasional atau efisien.

Stage III merupakan daerah dimana PM pada posisi negatif dan turun secara tajam serta PR dan PT berada pada kondisi menurun, dengan nilai elastisitas lebih kecil dari nol (Ep < 0). Pada daerah ini upaya penambahan sejumlah input akan merugikan bagi petani karena akan menurunkan produksi. Penggunaan input dalam jumlah berlebih menyebabkan daerah ini sudah tidak efisien sehingga disebut daerah irrasional.

3.1.3. Konsep Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Metode stochastic frontier adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi relatif suatu usahatani (Seiford dan Thrall 1990, diacu dalam Coelli et al. 2005). Dalam metode tersebut digunakan data hasil survei untuk menentukan produksi frontier terbaik. Dugaan stokastik berkaitan dengan pengukuran kesalahan acak (random error) yang meliputi dugaan fungsi produksi frontier dimana keluaran dari suatu usahatani merupakan fungsi dari faktor-faktor produksi, kesalahan acak, dan inefisiensi.

Greene (1993), diacu dalam Sukiyono (2005) menjelaskan bahwa model produksi frontier dimungkinkan untuk menduga atau memperkirakan efisiensi relatif suatu kelompok atau usahatani tertentu yang didapatakan dari hubungan antara produksi dan potensi produksi yang dapat dicapai. Karakterisitik model produksi frontier untuk menduga efisiensi teknis adalah adanya pemisah dampak dari goncangan peubah eksogen terhadap keluaran melalui kontribusi ragam yang menggambarkan efisiensi teknis (Giannakas et al. 2003, diacu dalam Sukiyono 2005). Dengan demikian, metode frontier dapat menduga ketidakefisienan suatu proses produksi tanpa mengabaikan galat dari modelnya.

Aigner et al. (1977); Meeusen & van den Broeck (1977), diacu dalam Coelli et al. (2005) menjelaskan bahwa fungsi produksi stochastic frontier

(26)

26 ln yi = xi + (vi - ui); i = 1,2,3,...,N

dimana:

yi = produksi yang dihasilkan pada waktu ke-i xi = vektor input yang digunakan pada waktu ke-i

= vektor parameter yang akan diestimasi

vi = variabel acak yang bebas dan secara identik terdistribusi normal (independent-identically distributed, iid.) N (0, v2), berkaitan dengan faktor eksternal (iklim, hama)

ui = variabel acak non negatif yang diasumsikan iid., yang menggambarkan inefisiensi teknis dalam produksi, dengan sebaran bersifat setengah normal

N (0, u2)

Model yang dinyatakan dalam persamaan di atas disebut sebagai fungsi produksi stochastic frontier karena nilai output dibatasi oleh variabel acak (stochastic), yaitu nilai harapan dari xiβ + vi atau exp(xiβ + vi). Random error (vi) dapat bernilai positif dan negatif dan begitu juga output stochastic frontier

bervariasi sekitar bagian tertentu dari model frontier, exp(xiβ).

Gambar 2. Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Sumber: Coelli et al. (2005)

Struktur dasar dari model stochastic frontier dapat dilihat pada Gambar 2. Sumbu x mewakili input dan sumbu y mewakili output. Komponen dari model

x y

xi xj

yi

yj

Fungsi produksi, y=f(exp(xβ))

Output frontier (yj*)

exp(xjβ+vj), jika vj < 0

Output frontier (yi*)

(27)

frontier yaitu f(xβ), digambarkan sesuai asumsi diminishing return to scale, dimana jika variabel faktor produksi dengan jumlah tertentu ditambahkan secara terus-menerus dengan jumlah yang tetap maka akhirnya akan tercapai suatu kondisi dimana setiap penambahan satu unit faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang semakin menurun.

Gambar 2 menjelaskan aktivitas produksi dari dua petani yang diwakili simbol i dan j. Petani i menggunakan input sebesar xi dan menghasilkan output sebesar yi, sedangkan petani j menggunakan input sebesar xj dan menghasilkan output sebesar yj. Berdasarkan output batas, terlihat bahwa output frontier petani i melampaui fungsi produksi f(xβ) sedangkan nilai output frontier petani j berada di bawah fungsi produksi f(xβ). Hal tersebut dapat terjadi karena aktivitas produksi petani i dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan dimana variabel vi bernilai positif. Sebaliknya, aktivitas produksi petani j dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan dimana variabel vj bernilai negatif. Output frontier i dan j tidak dapat diamati atau diukur karena random error dari keduanya tidak teramati. Output frontier yang tak teramati tersebut dapat berada di atas atau di bawah bagian deterministik dari model stochastic frontier, sedangkan output yang teramati hanya dapat berada di bawah bagian deterministik dari model stochastic frontier. Output yang teramati dapat berada di atas fungsi deterministik

frontiernya apabila random error bernilai positif dan lebih besar dari efek inefisiensinya (misalnya yi > exp(xiβ) jika vi > ui) (Coelli et al. 2005).

3.1.4. Konsep Efisiensi dan Inefisiensi

Dalam usahatani, peranan hubungan input atau faktor produksi dengan output merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Peranan input bukan saja dapat dilihat dari segi macamnya atau tersedianya dalam waktu yang tepat, tetapi juga dapat ditinjau dari segi efisiensi penggunaan faktor produksi tersebut. Petani yang rasional akan bersedia menambah input tertentu selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama atau lebih besar dibandingan dengan tambahan biaya yang diakibatkan oleh penambahan sejumlah input tersebut.

(28)

28 Efisiensi teknis memperlihatkan kemampuan usahatani atau perusahaan untuk memperoleh hasil yang maksimal dari penggunaan sejumlah faktor produksi tertentu. Sementara efisiensi alokatif memperlihatkan kemampuan usahatani atau perusahaan dalam menggunakan faktor produksi secara proporsional pada tingkat harga dan teknologi tertentu. Penggabungan efisiensi teknis dan efisiensi alokatif akan menghasilkan efisiensi ekonomi.

Gambar 3 menunjukkan hubungan efisiensi teknis dan alokatif dengan pendekatan input. Garis SS’ menunjukkan kurva isoquant yang menghubungkan titik-titik kombinasi optimum dari sejumlah input satu (x1) dengan input lainnya (x2) untuk menghasilkan sejumlah produksi tertentu. Sedangkan garis AA’ menunjukkan kurva isocost yaitu garis yang menghubungkan titik-titik kombinasi penggunaan input satu (x1) dengan input lainnya (x2) yang didasarkan pada tersedianya biaya modal.

Gambar 3. Efisiensi Teknis dan Alokatif Sumber: Coelli et al. (2005)

Titik Q pada kurva merupakan titik yang efisien secara teknis karena titik tersebut berada pada kurva isoquant. Jarak sepanjang QP adalah inefisiensi teknis, sehingga sejumlah faktor produksi sepanjang garis tersebut dapat dikurangi tanpa mengurangi jumlah produk yang dihasilkan. Secara matematis, efisiensi teknis (TE) ditulis sebagai TEi = 0Q/0P.

Notasi i menunjukkan nilai efisiensi teknis dengan pendekatan orientasi input. Nilai TEi menunjukkan derajat efisiensi teknis yang dapat dicapai dimana

x1/y x2/y

O A

Q’

A’ Q

P S

R

(29)

besaran nilainya berkisar antara 0 dan 1. Jarak sepanjang RQ pada kurva adalah inefisiensi alokatif yang menunjukkan biaya yang dapat dikurangi untuk mencapai efisiensi alokatif. Adapun nilai efisiensi alokatif dirumuskan sebagai AEi = 0R/0Q.

Efisiensi ekonomis dicapai pada saat kurva isocost bersinggungan dengan kurva isoquant. Efisiensi ekonomis ditunjukkan oleh titik Q’ yang merupakan perpaduan antara efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Selain itu kurva QQ’ juga merupakan kurva isoquant yang menunjukkan kondisi efisien secara penuh. Secara matematis efisiensi ekonomis dirumuskan sebagai berikut :

EE = TE x AE = (0Q/0P) x (0R/0Q) = 0R/0P

Penggunaan faktor produksi yang tidak efisien dapat menyebabkan senjang produktivitas antara produktivitas yang seharusnya dan produktivitas riil yang dihasilkan petani. dalam menangani masalah tersebut diperlukan penelitian untuk mengetahui sumber-sumber inefisiensi tersebut (Soekartawi 2002). Sumber-sumber inefisiensi dapat diuji melalui dengan dua alternatif pendekatan (Daryanto 2002, diacu dalam Khotimah (2010). Pendekatan pertama adalah prosedur dua tahap, yang mana tahap pertama terkait pendugaan terhadap skor efisiensi (efek inefisiensi) bagi individu perusahaan dan tahap kedua merupakan pendugaan terhadap regresi dimana skor efisiensi (ineifisiensi duaan) dinyatakan sebagai fungsi dari variabel sosial ekonomi yang diasumsikan mempengaruhi efek inefisiensi. Pendekatan kedua adalah prosedur satu tahap, dimana efek inefisiensi dalam stochastic frontier dimodelkan dalam bentuk variabel yang dianggap relevan dalam menjelaskan inefisiensi dalam proses produksi.

Model inefisiensi yang digunakan pada penelitian ini merujuk pada model Coelli et al. (2005). Dalam mengukur inefisiensi teknis digunakan variabel ui yang diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan N (μ, σ2). Nilai parameter distribusi (µ) efek inefisiensi teknis dapat diperoleh melalui perhitungan sebagai berikut :

μ = δ0 + Zitδ + wit

(30)

30 3.1.5. Konsep Pendapatan Usahatani

Usahatani merupakan kegiatan ekonomi sehingga analisis pendapatan usahatani sangat penting dilakukan untuk mengukur keberhasilan kegiatan ekonomi tersebut. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan seluruh pengeluaran. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual, sedangkan pengeluaran usahatani adalah nilai korbanan yang dicurahkan dalam proses produksi atau disebut juga sebagai biaya. Pendapatan usahatani dibagi menjadi dua yaitu pendapatan tunai usahatani dan pendapatan total usahatani.

Pendapatan tunai usahatani merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk menghasilkan uang tunai, dihitung dari selisih antara penerimaan tunai dengan pengeluaran tunai. Penerimaan tunai usahatani (farm receipt) merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani, sedangkan pengeluaran tunai usahatani (farm payment) merupakan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian barang dan jasa usahatani. Penerimaan dan pengeluaran tunai usahatani tidak mencakup yang berbentuk benda.

Pendapatan total usahatani merupakan selisih antara penerimaan total dengan pengeluaran total. Penerimaan total usahatani (total farm revenue) adalah penerimaan dari semua sumber usahatani yang meliputi nilai penjualan hasil, nilai penggunaan untuk konsumsi keluarga, dan jumlah penambahan inventaris. Pengeluaran atau biaya total usahatani adalah semua biaya yang dikeluarkan dalam usahatani, baik biaya tunai maupun biaya yang diperhitungkan seperti penyusutan dan nilai tenaga kerja keluarga.

Biaya usahatani biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap ini umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya atau besarnya tidak tergantung pada faktor-faktor produksi yang digunakan dan jumlah produksi yang diperoleh, contohnya pajak. Sementara biaya tidak tetap atau biaya variabel besarnya dipengaruhi oleh jumlah produksi yang diperoleh, meliputi biaya untuk sarana produksi.

(31)

besarnya penerimaan usahatani yang diperoleh petani untuk setiap satuan biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani. Selain itu, nilai R/C juga dapat menjadi alat ukur kelayakan suatu usahatani. Suatu usahatani dikatakan layak jika usahatani tersebut memperoleh balas jasa yang sesuai atau dengan kata lain penerimaan usahatani yang diperoleh dapat menutupi semua pengeluaran usahatani. Nilai R/C lebih besar dari satu, maka setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya. Sebaliknya nilai R/C lebih kecil dari satu, maka setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya. Jika nilai R/C sama dengan satu, maka tambahan biaya yang dikeluarkan akan sama besar dengan tambahan penerimaan yang didapat sehingga diperoleh keuntungan normal. Nilai R/C dapat dihitung atas biaya tunai (riil) dan biaya total.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Paprika merupakan salah satu komoditi eksklusif yang bersifat komersial. Permintaan akan komoditi yang berasal dari Amerika Latin ini sangat tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Menjamurnya restauran-restauran dan hotel yang menyajikan menu makanan asing di dalam negeri, memberikan peluang pasar yang begitu lebar bagi komoditi paprika. Sementara untuk pasar luar negeri, paprika sebagian besar diekspor ke Singapura.

Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua merupakan sentra produksi paprika hidroponik di Kabupaten Bandung Barat. Hampir seluruh petani paprika di desa tersebut membudidayakan paprika di bawah naungan (protected cultivation) berupa rumah plastik dengan menggunakan sistem hidroponik. Peluang pasar paprika Desa Pasirlangu sangat besar karena diserap oleh pasar dalam negeri dan juga ekspor. Permintaan paprika untuk ekspor mencapai 10 ton per minggu, sementara petani di Desa Pasirlangu baru mampu memenuhi pasokan paprika sebanyak 4-6 ton.

(32)

32 Tanaman Sayuran Lembang, tanaman paprika hidroponik yang dibudidayakan sesuai dengan kondisi di Indonesia dapat memiliki produktivitas yang optimal hingga mencapai 8-9 kilogram per meter persegi. Namun pada kenyataannya produktivitas tertinggi paprika hidroponik yang mampu dicapai oleh petani di Desa Pasirlangu hanya sebesar 5,7 kilogram per meter persegi atau 57 ton per hektar (Laporan Profil Desa Pasirlangu 2011). Kesenjangan antara produktivitas riil dan produktivitas potensial yang diharapkan diduga karena para petani paprika hidroponik di Desa Pasirlangu masih menghadapi kendala di lapang khususnya terkait dengan penggunaan faktor produksi.

Dalam penelitian ini akan dianalisis pengaruh penggunaan faktor-faktor produksi atau input terhadap produksi paprika hidroponik dengan menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas Stochastic Frontier. Variabel-variabel independen yang dimasukkan ke dalam model pendugaan fungsi produksi paprika hidroponik adalah luas lahan greenhouse, jumlah benih, nutrisi, insektisida, fungisida, pupuk daun, pupuk pelengkap cair, dan tenaga kerja. Namun, dalam pendugaan model fungsi produksi, variabel luas lahan hanya digunakan sebagai pembobot pada variabel dipenden (produksi) dan independen lainnya sehingga variabel dependen dan semua variabel independen dibagi dengan luas lahan untuk melihat produksi paprika hidroponik per satuan lahan dan penggunaan input-input produksi per satuan lahan.

Selanjutnya, dilakukan dianalis inefisiensi teknis yang bertujuan untuk mengetahui efek inefisiensi teknis pada model. Variabel yang diduga mempengaruhi inefisiensi teknis pada usahatani paprika hidroponik yaitu umur petani, pengalaman usahatani paprika, pendidikan formal, umur bibit, dummy

keikutsertaan dalam kelompok tani, dummy status usahatani, dummy status kepemilikan lahan, dan dummy kredit bank. Hasil analisis fungsi produksi

stochastic frontier akan memberikan gambaran tingkat efisiensi dari masing-masing petani yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam pengkombinasian input-input usahatani yang optimal.

(33)

dalam penelitian ini meliputi pengukuran tingkat pendapatan dan analisis R/C. Kerangka operasional penelitian ini disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional

Pemenuhan permintaan pasar paprika hidroponik Desa Pasirlangu masih terkendala dengan keterbatasan produksi

Produktivitas paprika hidroponik Desa

Pasirlangu belum optimal

Bagaimana tingkat efisiensi teknis dan pendapatan usahatani paprika hidroponik di Desa Pasirlangu?

Analisis Efisiensi Teknis (Fungsi Produksi Stochastic

Frontier)

Analisis Pendapatan Usahatani:

1. Pendapatan Usahatani

2. Analisis R/C

Pendapatan Usahatani Efisiensi Teknis

Rekomendasi Permintaan pasar terhadap paprika

hidroponik yang tinggi menuntut hasil produksi yang maksimal

Desa Pasirlangu sebagai sentra

(34)

IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) yang didasarkan pertimbangan bahwa Desa Pasirlangu merupakan sentra produksi paprika hidroponik di Kabupaten Bandung Barat yang berpotensi untuk dikembangkan. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2012.

4.2. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Data primer dikumpulkan dari petani responden melalui pengamatan dan wawancara secara langsung dengan menggunakan kuisioner yang meliputi karakteristik petani responden dan karakteristik usahatani. Data primer berupa karakteristik petani responden seperti umur, tingkat pendidikan, pengalaman usahatani paprika, dan lain sebagainya digunakan untuk mendapat gambaran umum mengenai petani paprika di Desa Pasirlangu. Data mengenai karakteristik usahatani seperti penggunaan faktor produksi, produksi paprika dalam satu musim tanam, dan pertanyaan lain digunakan untuk menganalisis efisiensi teknis dan pendapatan usahatani paprika di tempat penelitian.

Data sekunder digunakan sebagai data penunjang pada penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari artikel, jurnal, buku, literatur internet, serta dari berbagai instansi terkait seperti Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian RI, Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Desa Pasirlangu, serta beberapa sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

4.3. Metode Pengambilan Sampel

(35)

purposive sampling. Purposive sampling dapat diartikan pengambilan sampel berdasarkan kesengajaan dimana pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri atau sifat tertentu (Soekartawi 2006). Penelitian ini berfokus untuk melihat efisiensi teknis petani pada tingkat teknologi tertentu sehingga petani yang menjadi sampel adalah petani yang menggunakan sistem fertigasi manual dan membudidayakan paprika dengan sistem hidroponik (menggunakan arang sekam sebagai media tanamannya). Penentuan sampel tidak dilakukan secara acak karena tidak tersedia sampel frame petani paprika di lokasi penelitian.

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data primer dan sekunder yang diperoleh diolah dan dinalisis dengan metode kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan keragaan petani paprika hidroponik di Desa Pasirlangu. Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis efisiensi teknis dan pendapatan usahatani paprika hidroponik di Desa Pasirlangu. Pada pengolahan data, jumlah total sampel sebanyak 60 petani diseleksi menjadi 59 petani karena jumlah 59 petani inilah yang memenuhi kriteria untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini. Data yang diperoleh diolah menggunakan program Microsoft Excel,

Minitab 14, dan Frontier 4.1.

4.4.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Fungsi produksi yang digunakan pada penelitian ini adalah fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada kerangka pemikiran, dalam penelitian ini variabel dependen (produksi) dan seluruh variabel independen yang digunakan dibagi dengan luas lahan, sehingga dalam model sudah tidak terdapat variabel luas lahan. Model persamaan penduga fungsi produksi frontier dari usahatani paprika hidroponik adalah sebagai berikut:

Ln Y = 0 + 1 ln B + 2 ln Nut + 3 ln Ins + 4 ln Fu + 5 ln Pd + 6 ln Pc + 7 ln TK + vi - ui

dimana:

(36)

36 Nut = jumlah nutrisi per per luas lahan (liter/m2)

Ins = jumlah insektisida per luas lahan (liter/m2) Fu = jumlah fungisida per luas lahan (liter/m2) Pd = jumlah pupuk daun per luas lahan (kg/m2) Pc = jumlah pupuk cair per luas lahan (liter/m2) TK = jumlah tenaga kerja per luas lahan (HOK/m2)

0 = intersep

j = koefisien parameter penduga, dimana j= 1,2,3,...,7 0< j<1 (diminishing return)

ui = efek inefisiensi teknis dalam model vi = variabel acak

vi - ui = error term total

Nilai koefisien yang diharapkan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 > 0. Nilai koefisien positif memiliki arti dengan meningkatnya jumlah input yang digunakan dalam produksi maka akan meningkatkan jumlah produksi paprika hidroponik. Dalam fungsi produksi Cobb-Douglas, jumlah elastisitas dari masing-masing faktor produksi yang diduga merupakan pendugaan skala usaha (return to scale). Produksi berada pada kondisi decreasing return to scale jika j < 1, dan sebaliknya produksi berada pada kondisi increasing return to scale jika j > 1. Pada produksi yang memiliki kondisi contant return to scale, maka j = 1. Namun fungsi Cobb-Douglas hanya beroperasi pada daerah I (increasing return to scale) dan daerah II (decreasing return to scale) (Beattie et al. 1985).

4.4.2. Analisis Efisiensi Teknis dan Inefisiensi Teknis

Analisis efisiensi teknis dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

TEi yi exp xi

exp xi ui

exp xi exp ui

(37)

efek inefisiensi teknis dan hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah ouput dan input tertentu (cross section data).

Pada penelitian ini, model efek inefisiensi yang digunakan mengacu pada model efek inefisiensi teknis yang dikembangkan oleh Coelli et al. (2005). Variabel ui yang digunakan untuk mengukur efek inefisiensi teknis, diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan N ( i, 2). Parameter distribusi ( i) efek inefisiensi teknis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

i = δ0+ δ1Z1+ δ2Z2+ δ3Z3+ δ4Z4+ δ5Z5+ δ6Z6+ δ7Z7+ δ8Z8 + wit dimana faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis petani paprika hidroponik adalah:

Z1 = umur petani (tahun)

Z2 = pengalaman usahatani paprika (tahun) Z3 = pendidikan formal (tahun)

Z4 = umur bibit (hari)

Z5 = dummy keikutsertaan dalam kelompok tani Z6 = dummy status usahatani

Z7 = dummy status kepemilikan lahan Z8 = dummy kredit bank

wit = error term

Nilai koefisien parameter yang diharapkan δ1 > 0 dan δ2, δ3, δ4, δ5, δ6, δ7,

δ8 < 0. Adapun hipotesis yang diajukan untuk model inefisiensi teknis adalah sebagai berikut:

1. Semakin tua umur petani diduga akan berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis karena dengan semakin bertambahnya umur, kondisi fisik akan semakin melemah.

2. Semakin lama pengalaman petani dalam menjalani usahatani paprika diduga akan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis karena pengalaman akan memberikan pembelajaran bagi para petani dalam melakukan usahatani. 3. Semakin lama pendidikan formal petani diduga akan berpengaruh negatif

(38)

38 tinggi diduga akan lebih mudah dalam mengadopsi teknologi dan menyerap informasi tentang input-input produksi.

4. Semakin tua umur bibit diduga akan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis karena bibit berumur tua akan mencegah peluang terjadinya kematian pada tanaman.

5. Dummy keikutsertaan dalam kelompok tani diduga akan berpengaruh terhadap inefisiensi teknis. Nilai satu untuk petani anggota kelompok dan nol untuk petani bukan anggota kelompok. Petani anggota kelompok akan memperoleh banyak informasi melalui penyuluhan sehingga diduga akan lebih efisien. 6. Dummy status usahatani diduga akan berpengaruh terhadap inefisiensi teknis.

Nilai satu untuk petani dengan status usahatani paprika sebagai pekerjaan utama dan nol untuk petani dengan status usahatani paprika sebagai pekerjaan sampingan. Petani yang menjadikan usahatani paprika hidroponik sebagai pekerjaan utama akan memiliki curahan waktu yang lebih banyak untuk mengelola usahataninya sehingga diduga akan lebih efisien.

7. Dummy status kepemilikan lahan diduga akan berpengaruh terhadap inefisiensi teknis karena akan mempengaruhi keseriusan petani dalam menjalankan usahatani. Nilai satu untuk petani dengan lahan bagi hasil dan nol untuk petani dengan lahan milik sendiri. Petani dengan status kepemilikan lahan bagi hasil diduga akan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih tinggi sehingga akan lebih efisien secara teknis dibandingkan dengan petani dengan lahan bagi hasil.

8. Dummy kredit bank diduga akan berpengaruh terhadap inefisiensi teknis. Nilai satu untuk petani yang memperoleh kredit bank dan nol untuk petani yang tidak memperoleh kredit bank. Petani yang memperoleh kredit bank akan memiliki kemampuan menggali modal yang lebih banyak untuk membiayai faktor produksi sehingga diduga akan lebih efisien.

Pengujian inefisiensi teknis dapat dilakukan dengan metode statistik. Hasil pengujian Frontier 4.1 akan memberikan nilai perkiraan varians dari parameter dalam bentuk sebagai berikut:

(39)

dimana s2 adalah varians dari distribusi normal, v2 adalah varians dari vi, dan u2 adalah varians dari ui. Nilai parameter ( ) merupakan kontribusi dari efisiensi teknis di dalam residual error ( ) yang nilainya berkisar antara nol dan satu.

4.4.3. Uji Hipotesis

Pengujian parameter fungsi produksi stochastic frontier dan efek inefisiensi teknis model dilakukan dengan dua tahap. Tahap yang pertama dilakukan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk menduga parameter input-input produksi ( i). Tahap kedua dilakukan menggunakan metode

Maximum Likelihood Estimated (MLE) untuk menduga keseluruhan parameter

faktor produksi ( i), intersep ( 0), serta varians dari kedua komponen error ( v2 dan u2) pada taraf nyata sebesar .

Hipotesis pertama :

H0 : = δ0 = δ1 = δ2 = δ3 = δ4 = ... δ8 = 0 H1 : = δ0 = δ1 = δ2 = δ3 = δ4 = ... δ8 > 0

Hipotesis nol berarti efek inefisiensi teknis tidak ada dalam model. Jika hipotesis ini diterima maka model fungsi produksi rata-rata sudah cukup mewakili data empiris. Uji yang digunakan adalah uji chi-square, dengan persamaan :

LR = -2 {ln[L(H0)/L(H1)]}

Dimana L(H0) dan L(H1) masing-masing adalah nilai fungsi likelihood dari hipotesis nol dan hipotesis alternatif.

Kriteria uji :

LR galat satu sisi > 2restriksi (table Kodde dan Palm) maka tolak H0 LR galat satu sisi < 2restriksi (table Kodde dan Palm) maka terima H0

Hipotesis Kedua : H0 : δ1 = 0

H1 : δ1 ≠ 0 ; i = 1,2,3,...,n

(40)

40 Uji Statistik yang digunakan :

t-rasio = i 0

S i

t-tabel = t(α, n-k-1) Kriteria uji :

| t-rasio| > t-tabel t(α, n-k-1) : tolak H0 | t-rasio| < t-tabel t(α, n-k-1) : terima H0 dimana: k = jumlah variabel bebas

n = jumlah pengamatan (responden)

S (δi) = simpangan baku koefisien efek inefisiensi

4.4.4. Analisis Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai yaitu pendapatan yang diperoleh atas biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh petani, sedangkan pendapatan atas biaya total yaitu pendapatan yang memperhitungkan semua input milik keluarga yang juga dianggap sebagai biaya (Soekartawi 2002). Secara matematis, penerimaan total, biaya, dan pendapatan usahatani dapat ditulis sebagai berikut:

TR = Py x Y TC = TFC + TVC π tunai = TR total– TC tunai

π total = TR total– (TC tunai + Bd) dimana :

TR total = Total penerimaan usahatani (Rupiah) TC tunai = Total biaya tunai usahatani (Rupiah)

π = Pendapatan (Rupiah)

Bd = Biaya yang diperhitungkan (Rupiah) Py = Harga output (Rupiah)

Y = Jumlah output (Kg)

(41)

Analisis R/C digunakan untuk menganalisis pendapatan usahatani paprika hidroponik. R/C membandingkan penerimaan kotor dengan pengeluaran usahataninya. Perhitungan R/C dapat dirumuskan sebagai berikut:

R/C atas Biaya Tunai =

Analisis R/C digunakan untuk mengetahui besarnya penerimaan kotor yang diterima petani dari setiap rupiah yang dikeluarkan pada suatu usahatani. Apabila R/C > 1, berarti usahatani dapat dikatakan menguntungkan. Sebaliknya, jika R/C < 1, berarti usahatani tersebut tidak menguntungkan dan tidak efisien.

4.5. Batasan Operasional dan Satuan Pengukuran

Variabel yang diamati merupakan data dan informasi usahatani paprika hidroponik yang diusahakan oleh petani. Variabel tersebut terlebih dahulu didefinisikan untuk mempermudah pengumpulan data yang mengacu pada konsep di bawah ini:

1. Produksi paprika hidroponik per luas lahan atau produktivitas paprika hidroponik (Y) adalah jumlah panen total paprika hidroponik (paprika hijau, merah, dan kuning) dalam setiap satu satuan luas lahan selama satu musim tanam, dengan satuan pengukuran yang digunakan yaitu kilogram per meter persegi (kg/m2). Harga hasil produksi paprika (Py) adalah harga rata-rata di tingkat petani pada saat panen berdasarkan jenis paprika.

2. Benih per luas lahan (B) adalah jumlah benih paprika yang digunakan dalam setiap satu satuan luas lahan selama satu musim tanam, dengan satuan pengukuran yang digunakan yaitu biji per meter persegi (biji/m2).

3. Nutrisi per luas lahan (Nut) adalah jumlah cairan nutrisi campuran (larutan pekat dengan air) yang digunakan dalam setiap satu satuan luas lahan selama satu musim tanam, dengan satuan pengukuran yang digunakan yaitu liter per meter persegi (liter/m2).

Gambar

Tabel 2.  Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2006-2010
Tabel 3.  Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Paprika Indonesia Tahun
Tabel 4.  Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Paprika di Provinsi Jawa
Gambar 1.  Kurva Fungsi Produksi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tingginya pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh petani peserta KKPA dikarenakan penerimaan total usahatani petani peserta KKPA (Rp 35 745 362) lebih besar dari

Tujuan penelitian ini adalah : (1) Untuk mengetahui besarnya biaya yang dikeluarkan dalam usahatani cabe paprika melalui sistem green house; (2) Untuk

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui jumlah biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam penggunaan faktor-faktor produksi usahatani padi semi organik dari pengolahan

Pendapatan petani sampel pada usahatani kelapa diperoleh dari selisih antara penerimaan usahatani kelapa dengan total biaya produksi yang dikeluarkan dalam

Pendapatan petani sampel pada usahatani kelapa diperoleh dari selisih antara penerimaan usahatani kelapa dengan total biaya produksi yang dikeluarkan dalam

Analisis penerimaan atas biaya yang dikeluarkan (R/C ratio) mencerminkan keberhasilan usahatani padi tadah hujan petani responden di Desa Sebubus, Kecamatan Paloh,

5.739.253/ha/MT, hal ini berarti penerimaan petani dapat menutupi semua biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi usahatani kedelai di daerah penelitian dan usahatani

5.739.253/ha/MT, hal ini berarti penerimaan petani dapat menutupi semua biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi usahatani kedelai di daerah penelitian dan usahatani