• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Keberhasilan Penangkaran Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) berdasarkan Peubah Sosial Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Keberhasilan Penangkaran Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) berdasarkan Peubah Sosial Masyarakat"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

PEUBAH SOSIAL MASYARAKAT

INTAN PURNAMASARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Keberhasilan Penangkaran Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) berdasarkan Peubah Sosial Masyarakat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Intan Purnamasari

(4)

RINGKASAN

INTAN PURNAMASARI. Model Keberhasilan Penangkaran Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) berdasarkan Peubah Sosial Masyrakat. Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR dan YANTO SANTOSA.

Jalak bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) adalah satwa endemik yang saat ini habitat alaminya hanya terdapat di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Kegiatan pelestarian jalak bali dapat dilakukan di dalam maupun di luar habitat alaminya, salah satunya melalui kegiatan penangkaran. Keberhasilan penangkaran sering dilihat dari aspek ekologi spesies maupun teknik penangkaran, tanpa melibatkan aspek orang yang melakukannya dalam keberhasilan penangkaran. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan peubah sosial yang berhubungan dengan keberhasilan penangkaran, membuat model keberhasilan penangkaran serta menetukan tipologi penangkar jalak bali yang berhasil.

Penelitian dilakukan di Desa Sumberklampok pada Februari sampai Maret 2014 dengan menggunakan metode observasi langsung dan wawancara kepada 14 penangkar secara sensus dan 16 non penangkar yang dipilih secara acak. Peubah yang diamati yaitu peubah keberhasilan penangkaran dan peubah karateristik responden. Data dianalisis dengan menggunakan uji chi square dan regresi linier berganda dengan bantuan software SPSS versi 20. Keberhasilan penangkaran pada penelitian ini dilihat dari jumlah kelahiran dan kematian burung yang ditangkarkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peubah sosial masyarakat berkorelasi dengan keberhasilan penangkaran. Peubah pengetahuan lokal keberadaan jalak bali di Desa Sumberklampok, modal yang dikeluarkan untuk memulai kegiatan penangkaran, lama menangkar dan pengetahuan mengenai jalak bali berkorelasi nyata dengan peubah kelahiran burung. Peubah frekuensi perawatan burung dan biaya operasional berkorelasi nyata dengan kematian burung. Peubah penentu keberhasilan penangkaran jalak bali yaitu pengetahuan jalak bali (X11) dan frekuensi perawatan burung (X7). Model penduga keberhasilan penangkaran jalak bali dibedakan menjadi dua yaitu (1) model kelahiran burung Y1 = -0.097+0.024 X11; dimana peubah pengetahuan memiliki hubungan positif yang signifikan dengan peubah kelahiran burung, dan (2) Model kematian burung yaitu Y2 = 0.025+0,095 X7, dimana peubah frekuensi perawatan burung memiliki hubungan positif yang signifikan dengan peubah kematian burung. Tipologi penangkar jalak bali di Desa Sumberklampok yang berhasil berkaitan dengan aspek: (1)bpengetahuan penangkar terkait cerita keberadaan jalak bali di Desa Sumberklampok, ekologi jalak bali serta teknik penangkaran jalak bali; (2)bpengalaman penangkar dalam memelihara burung yang berkaitan dengan lama waktu menangkar; (3) finansial yang mencakup modal dan biaya operasional yang dikeluarkan oleh penangkar; dan (4) teknis penangkaran yang berkaitan dengan frekuensi perawatan burung.

(5)

INTAN PURNAMASARI. A Model of Successful Bali Mynah (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) Captive Breeding Program Based on Social Variables. Supervised by ARZYANA SUNKAR and YANTO SANTOSA.

Bali mynah (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) is a critically endangered endemic species currently confined only in Bali Barat National Park. Conservation within and outside their natural habitats is necessary, one of such through captive breeding program. The success of the captive breeding program is often studied based on the ecological aspects of the species and the technical aspects of captive breeding, overlooking the ability of the captive breeders in determining such success.

This research was intented to identify variables influencing the performance of bali mynah conservation in captive breeding program, determine a model of successful bali mynah captive breeding, and determine the typology of bali mynah success breeder. Research was conducted at Sumberklampok Village from February to March 2014 using direct observation and interview methods involving 14 breeders and 16 non breeders, whom were selected using random sampling. Respondents’ characteristics and bali mynah conservation variables were observed. Data was analyzed using chi square and regression on SPSS version 20. The success of bali mynah captive breeding was determined by its mortality and natality values.

Results showed that social variables were significantly correlated with preservation variables. Local knowledge about bali mynah in Sumberklampok village, captive breeding’s financial capital, lenght of period in conducting captive breeding; and knowledge of bali mynah had significant correlations with bird natality. Nursing frequency and operational cost in captive breeding had significant correlations with bird mortality. Variables leading to a successful bali mynah captive breeding include knowledge on bali mynah ecology (X11) and

nursing frequency (X7). Knowledge had significant positive correlation with bird

natality (Y1), and nursing frequency had significant positive correlation with bird

mortality (Y2). A model of successful bali mynah captive breeding comprised of

bird’s natality model Y1=0.097+0.024 X11; and bird’s mortality model

Y2=0.025+0,095 X7. Typology of success breeder in Sumberklampok village

related with these aspects: (1) breeder’s knowledge about bali mynah’s local knowledge in Sumberklampok, ecology, and captive breeding technique; (2) breeder’s experience in captive breeding which related to its length of period; (3) financial include financial capital and operational cost per month in captive breeding; and (4) captive breeding technique which related to the nursing frequency.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

MODEL KEBERHASILAN PENANGKARAN JALAK BALI

(

Leucopsar rothschildi

Stresemann, 1912) BERDASARKAN

PEUBAH SOSIAL MASYARAKAT

INTAN PURNAMASARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

NIM : E351130226

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc Ketua

Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Model Keberhasilan Penangkaran Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) berdasarkan Peubah Sosial Masyarakat berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc dan Bapak Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan selama penelitian berlangsung dan dalam penulisan tesis ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Balai Taman Nasional Bali Barat, Kelompok Penangkar Manuk Jegeg, Keluarga Bapak Nana Rukmana, Bapak Ismu, Bapak Abdul Kadi, Mas Andre, Mas Ari, dan Mas Boneng yang telah banyak membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak-kakak ku tercinta, seluruh keluarga besar KVT, KSHE, HIMAKOVA dan anggrek hitam, serta teman-teman seperjuangan fast track dan sahabat-sahabat terbaik saya atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(11)

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan 2

Manfaat 3

Kerangka Pemikiran 3

2 METODE

Lokasi dan Waktu 4

Alat dan Instrumen 4

Jenis Data 4

Teknik Pengumpulan Data 7

Analisis Data 7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penangkaran Jalak Bali di Desa Sumberklampok 10

Peubah Sosial Masyarakat 11

Hubungan Peubah Sosial Masyarakat dengan Keberhasilan Penangkaran 15

Model Keberhasilan Penangkaran 16

Tipologi Penangkar Jalak Bali 21

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 23

Saran 24

DAFTAR PUSTAKA 24

(12)

DAFTAR TABEL

1 Jenis data 5

2 Data kegiatan penangkaran jalak bali 11

3 Hubungan peubah sosial masyarakat dengan kelahiran burung 15 4 Hubungan peubah sosial masyarakat dengan kematian burung 16 5 Hasil analisis regresi linier berganda pada model kelahiran burung 17 6 Hasil analisis regresi linier berganda pada model kematian burung 19

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir 3

2 Lokasi penelitian 4

3 Jenis pakan dan vitamin 13

4 Jenis kandang 14

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Spesies yang termasuk ke dalam kategori terancam punah, terancam dan rentan adalah kategori spesies yang membutuhkan upaya konservasi (IUCN 2010) untuk menurunkan laju kepunahan mereka. Artikel 8 dan 9 dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) menyatakan bahwa terdapat dua macam teknik konservasi spesies yaitu in-situ dan ex-situ (United nations 1992). Konservasi ex-situ bersifat komplementer terhadap konservasi in-ex-situ (Wheater et al. 1993 dalam

Hakansson 2004) dan sering digunakan bagi spesies yang populasinya terancam kepunahan. Penangkaran adalah salah satu teknik konservasi ex-situ yang paling banyak mendapatkan perhatian. Pentingnya penangkaran ditegaskan oleh Earnhardt et al. (2001) dalam Hakansson (2004), dan Leus (2011) yang menyatakan bahwa populasi yang ditangkarkan merupakan strategi asuransi terhadap kepunahan.

Jalak bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) merupakan satwa endemik Bali yang berstatus terancam punah (critically endangered) (IUCN, 2012) dan saat ini habitat alaminya hanya ditemukan di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Jalak bali juga termasuk kedalam satwa dilindungi oleh Pemerintah Indonesia melalui SK Menteri Pertanian No.421/Kpts/Um/8/70 tanggal 26 Agustus 1970. Hasil inventarisasi TNBB pada tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah jalak bali di alam hanya tersisa 32 ekor. Jumlah yang sangat sedikit tersebut menjadi alasan pentingnya upaya penangkaran. Keberhasilan suatu penangkaran dapat diukur dari keberhasilannya meningkatkan populasi dan juga mempertahankan genetik. Upaya pelestarian jalak bali melalui penangkaran di Nusa Penida (Yusuf et al. 2009) dan juga di Kebun Binatang Amerika (Thompson 2001) menunjukkan keberhasilan burung tersebut dalam bereproduksi. Lebih lanjut, hasil penelitian Watiniasih et al. (2011) tidak menunjukkan adanya perbedaan genetik antara jalak bali yang diambil secara liar dari TNBB, hasil penangkaran di luar negeri, maupun di Nusa Penida yang mengindikasikan bahwa penangkaran jalak bali yang dilakukan berhasil.

Frankham et al. (1986) dalam Hakansson (2004) menegaskan pentingnya lokasi penangkaran yang mendekati habitat alami spesies yang ditangkarkan sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan penangkaran. Desa Sumberklampok yang merupakan desa enclave di Taman Nasional Bali Barat (TNBB), dahulu merupakan habitat alami jalak bali. Desa Sumberklampok telah mengembangkan upaya penangkaran jalak bali sejak November 2010. Sampai dengan tahun 2013, sebanyak 8 dari 16 penangkar jalak bali yang tergabung

dalam organisasi “Manuk Jegeg” sudah berhasil memperoleh anakan (Purnamasari 2013).

(14)

penelitian Purnamasari (2013) menunjukkan bahwa keberhasilan penangkaran jalak bali di Desa Sumberklampok berhubungan dengan keikutsertaan penangkar dalam organisasi penangkar, pengetahuan mengenai ekologi jalak bali, pengetahuan lokal mengenai keberadaan jalak bali di Desa Sumberklampok, dan penghasilan. Penelitian tersebut masih pada tahap identifikasi peubah manusia yang berkorelasi dengan keberhasilan penangkaran, sehingga perlu dilakukan kajian lanjutan terhadap bentuk dan besaran hubungan antar peubah untuk menduga sejauh mana peran setiap peubah dalam menentukan keberhasilan penangkaran jalak bali.

Rumusan Masalah

Keberhasilan penangkaran sudah banyak dikaji dengan melihat dari beragam aspek, seperti aspek ekologi satwa yang ditangkarkan (Teddy 1998; Watiniasih et al. 2011), aspek teknik penangkaran yang dilakukan (Prayana 2012; Purwaningsih 2012; Azis 2013) termasuk karakteristik internal manusia yang menangkarkan (Purnamasari 2013), walaupun penelitian yang mengkaji aspek sosial masyarakat sangat jarang ditemukan. Penelitian mengenai karakteristik manusia umumnya masih bersifat kualitatif, belum terukur secara kuantitatif. Kuantifikasi diperlukan untuk mendeskripsikan data secara kuantitatif, membandingkan, menganalisis hubungan serta melakukan pendugaan atau peramalan. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam terhadap hasil yang diperoleh oleh Purnamasari (2013) mengenai peran setiap peubah dalam keberhasilan penangkaran. Karakteristik manusia yang terukur secara kuantitatif dengan demikian menjadi penting untuk dikaji terkait dengan keberhasilan penangkaran jalak bali di Desa Sumberklampok. Sebagai tambahan dalam peubah yang sudah teridentifikasi oleh Purnamasari (2013), penelitian ini juga menambahkan peubah sosial masyarakat yang berkaitan dengan teknis penangkaran yaitu modal, biaya operasional, curahan waktu dan frekuensi perawatan burung. Peubah-peubah sosial masyarakat yang berperan dalam keberhasilan penangkaran tersebut kemudian akan digunakan dalam merumuskan tipologi penangkar jalak bali yang berhasil. Tipologi penangkar yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi masukan dalam upaya peningkatan keberhasilan kegiatan penangkaran. Berdasarkan uraian tersebut, maka yang menjadi pertanyaan penelitian yaitu:

1. Peubah sosial masyarakat apa saja yang menentukan keberhasilan penangkaran jalak bali?

2. Bagaimana model keberhasilan penangkaran jalak bali? 3. Bagaimana tipologi penangkar jalak bali yang berhasil?

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menetukan peubah sosial masyarakat yang berhubungan dengan keberhasilan penangkaran.

(15)

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terutama dalam meningkatkan keberhasilan pelestarian jalak bali secara eksitu serta memberikan masukan bagi pengelola kawasan konservasi dalam meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan pelestarian satwaliar.

Kerangka Pemikiran

Jalak bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) merupakan satwa endemik Bali yang berstatus terancam punah (critically endangered) dan saat ini habitat alaminya hanya ditemukan di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Upaya pelestarian jalak bali dapat dilakukan baik di dalam habitat asli (insitu) maupun di luar habitat aslinya (eksitu). Konservasi eksitu merupakan komplemen dari konservasi insitu sehingga sering dilakukan untuk menunjang konservasi insitu melalui kegiatan pelepasliaran satwa. Kegiatan penangkaran merupakan salah satu bentuk konservasi eksitu dan sering digunakan pada spesies terancam kepunahan seperti jalak bali. Keberhasilan penangkaran berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tidak hanya dipengaruhi oleh ekologi satwa dan teknis penangkaran tetapi dipengaruhi juga oleh faktor manusia yang melakukan kegiatan penangkaran tersebut.

(16)

2 METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Provinsi Bali (Gambar 2). Penelitian berlangsung pada bulan Februari sampai Maret 2014.

`

Gambar 2 Lokasi penelitian

Alat dan Instrumen

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, software SPSS versi 20, perekam suara, dan kamera. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara.

Jenis Data

(17)

Tabel 1 Jenis data

Jenis data Peubah Definisi Metode Pengumpulan Data

Data primer

Peubah

Pelestarian Jalak Bali

Jumlah kelahiran burung (Y1) Rata-rata dari jumlah kelahiran anakan pada setiap

indukan selama kegiatan penangkaran berlangsung

Wawancara dan Studi pustaka

Jumlah kematian burung (Y2) Rata-rata dari jumlah kematian burung selama kegiatan

penangkaran berlangsung

Wawancara dan Studi pustaka

Peubah Sosial Masyarakat

Umur (X1) Usia responden dari lahir sampai dengan penelitian ini

berlangsung

Wawancara

Pendidikan (X2) Lama waktu menempuh pendidikan formal Wawancara

Pendapatan (X3) Jumlah pendapatan per bulan yang diterima Wawancara

Tanggungan keluarga (X4) Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan

responden

Wawancara

Pengetahuan lokal (X5) Pengetahuan responden mengenai cerita keberadaan jalak

bali di Desa Sumberklampok pada masa lalu yang mencakup : waktu, lokasi penyebaran, penyebab kepunahan

Wawancara, penilaian dilakukan dengan cara pemberian skor dengan rentang 0-3, dimana: 0 = responden tidak mengetahui cerita 1 = responden mengetahui, dan dapat

menjelaskan 1 item pertanyaan 2 = responden mengetahui, dan dapat

menjelaskan 2 item pertanyaan 3 = responden mengetahui dan dapat

menjelaskan seluruh item pertanyaan Curahan waktu (X6) Jumlah waktu per hari yang digunakan dalam kegiatan

penangkaran jalak bali dibagi dengan banyaknya jumlah burung yang ditangkarkan

Wawancara dan Observasi langsung

Frekuensi perawatan burung (X7)

Jumlah kegiatan penangkar dalam merawat burung per hari

Wawancara dan Observasi langsung

Modal (X8) Jumlah dana yang dikeluarkan saat memulai kegiatan

penangkaran

Wawancara

Biaya operasional penangkaran(X9)

Jumlah dana yang dikeluarkan untuk biaya operasional penangkaran jalak bali setiap bulannya

Wawancara

Lama menangkar (X10) Lama waktu penangkar menjalankan kegiatan

penangkaran (bulan)

Wawancara

(18)

Tabel 1 Jenis data (Lanjutan)

Jenis data Peubah Definisi Metode Pengumpulan Data

Data Primer Pengetahuan jalak bali (X11) Pengetahuan responden mengenai jalak bali yang

mencakup 6 aspek: Morfologi jalak bali, Habitat, Perilaku sosial, Reproduksi, Status Konservasi, Teknik Penangkaran

Wawancara, Penilaian pengetahuan dilakukan dengan cara pemberian skor 0-3 pada

masing masing aspek pengetahuan, dimana :

Aspek Morfologi, Sosial, Konservasi dan Penangkaran

0 = responden tidak mengetahui

1 = responden mengetahui, dan dapat menjelaskan 1 item pertanyaan dari aspek tersebut

2 = responden mengetahui, dan dapat menjelaskan 2 item pertanyaan

3 = responden mengetahui dan dapat menjelaskan seluruh item pertanyaan

Aspek Habitat

0 = responden tidak mengetahui

1 = responden mengetahui, dan dapat menjelaskan 1 item pertanyaan dari aspek tersebut

2 = responden mengetahui, dan dapat menjelaskan 2-3 item pertanyaan

3 = responden mengetahui dan dapat menjelaskan seluruh item pertanyaan

Aspek Reproduksi

0 = responden tidak mengetahui

1 = responden mengetahui, dan dapat menjelaskan 2 item pertanyaan dari aspek tersebut

2 = responden mengetahui, dan dapat menjelaskan 4 item pertanyaan

3 = responden mengetahui dan dapat menjelaskan seluruh item pertanyaan

Data sekunder

Jalak Bali Jalak bali Data mengenai bioekologi jalak bali Studi Pustaka Lokasi

Penelitian

Kondisi umum lokasi penelitian

Data demografi masyarakat, letak dan luas desa Studi Pustaka

(19)

Teknik Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data primer meliputi wawancara dan observasi lapang. Selain itu dilakukan pengumpulan data sekunder melalui studi pustaka.

a. Wawancara

Wawancara menggunakan panduan wawancara dengan unit sampel yaitu kepala keluarga. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 responden yang terdiri atas 14 responden penangkar jalak bali yang diambil secara sensus serta 16 responden non penangkar yang diambil secara acak.

b. Observasi lapang

Kegiatan observasi dilakukan terhadap aktivitas penangkaran jalak bali oleh para penangkar.

c. Studi Pustaka

Pustaka dikumpulkan melalui laporan Desa Sumberklampok tahun 2013, laporan bulanan kelompok penangkar jalak bali, serta karya ilmiah.

Analisis Data

Hubungan Peubah Keberhasilan Penangkaran dengan Peubah Sosial

Penentuan korelasi antar peubah keberhasilan penangkaran (Y) dengan peubah sosial masyarakat (X) dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Pengujian dilakukan dengan bantuan software SPSS 20. Pengujian dilakukan terhadap 30 responden yang terdiri atas 14 responden penangkar dan 16 responden non penangkar. Peubah keberhasilan penangkaran yang diuji adalah Y1 dan Y2, dengan 11 peubah sosial masyarakat yaitu X1, X2, X3, X4, X5,X6, X7, X8, X9, X10 dan X11 yang menghasilkan 22 pasang peubah.

Hipotesa yang dibangun :

H0 = Y1/Y2 tidak berkorelasi dengan X1/X2/X3/X4/X5/X6/ X7/X8/X9/X10/X11 H1= Y1/Y2 berkorelasi dengan X1/X2/X3/X4/X5/X6/ X7/X8/X9/X10/X11

Keterangan :

Y1= kelahiran burung; Y2= kematian burung; X1= umur; X2= lama menempuh pendidikan; X3= jumlah tanggungan keluarga; X4= penghasilan; X5= pengetahuan lokal; X6= curahan waktu; X7= frekuensi perawatan burung; X8= modal; X9= biaya operasional penangkaran; X10= lama menangkar; X11= pengetahuan jalak bali.

Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan probabilitas (asymptotic significance) sebagai berikut:

1. Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima

2. Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak atau H1 diterima

Peubah-peubah yang menunjukkan adanya korelasi kemudian dipilih sebagai peubah penentu keberhasilan penangakaran jalak bali yang selanjutnya akan dianalisis menggunakan regresi linier berganda.

Model Keberhasilan Penangkaran

(20)

diolah dengan bantuan software SPSS versi 20 sehingga akan menghasilkan model keberhasilan pelestarian. Keberhasilan pelestarian jalak bali di Desa Sumberklampok dilihat dari kelahiran dan kematian burung yang ditangkarkan. Peubah sosial masyarakat yang digunakan dalam persamaan regresi yaitu peubah sosial masyarakat yang memiliki korelasi dengan peubah keberhasilan penangkaran berdasarkan hasil uji chi square.

Persamaan yang digunakan adalah :

Model kelahiran burung : Y1 = b0 + b1x1+ b2x2 + ... + b11x11 + ε Model kematian burung : Y2 = b0 +b1x1+ b2x2 + ... + b11x11 +ε

Keterangan :

Y1= kelahiran burung; Y2= kematian burung; X1= umur; X2= lama menempuh pendidikan; X3= jumlah tanggungan keluarga; X4= penghasilan; X5= pengetahuan lokal; X6= curahan waktu; X7= frekuensi perawatan burung; X8= modal; X9= biaya operasional penangkaran; X10= Lama menangkar; X11= pengetahuan jalak bali; ε= kesalahan pengganggu.

Model yang telah didapatkan, kemudian akan dilakukan pengujian secara statistik dengan cara :

1. Uji Keandalan

Uji keragaman digunakan untuk melihat sejauh mana besar keragaman yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas yaitu melihat seberapa kuat variabel yang dimasukkan ke dalam model dapat menerangkan model (Iriawan dan Astuti 2006). Rumus untuk menghitung R² adalah :

R² = ΣΣ(Ŷ−Ȳ)² (Y1− Ŷ)² =

JKT JKG Keterangan :

JKT = jumlah kuadrat total

JKG = jumlah kuadrat galat

2. Uji statistik t

Uji statistik t adalah uji untuk mengetahui masing-masing variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikatnya. Prosedur pengujian uji statistik t (Ramanathan 1997) adalah:

H0 : βi = 0 atau variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat

H1 : βi ≠ 0 atau variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.

ℎ� (�− ) =

1− 0 �

Jika ℎ� (�− ) < /2 maka H0 diterima, artinya variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap (Y). Jika ℎ� (�− ) > /2 , maka terima H1 artinya variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Y).

3. Uji statistik F

Uji statistik F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Prosedur pengujian menurut Ramanathan (1997) adalah :

(21)

Keterangan : JKK = jumlah kuadrat untuk nilai tengah kolom; JKG = jumlah kuadrat galat; n = jumlah sampel; k = jumlah peubah.

Hipotesis yang digunakan yaitu :

H0 = β1 = β2 = β3 = … β = 0

H1 = β1 = β2 = β3 = … β ≠ 0

Jika ℎ� < maka terima H0 yang artinya secara serentak variabel

(Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap (Y). Jika ℎ� > � , maka terima H1 yang artinya variabel (Xi) secara serentak berpengaruh nyata terhadap (Y).

4. Uji Terhadap Multikolinier

Model dengan banyak peubah sering terjadi masalah multikolinier yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar peubah-peubah bebas. Masalah tersebut dapat dilihat langsung melalui hasil komputer, dimana apabila Varian Inflation Factor

(VIF) < 10 tidak ada masalah multikolinier yang berarti bahwa model regresi sudah tepat (Iriawan dan Astuti 2006).

5. Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi metode pendugaan kuadrat terkecil adalah

homoskedastisitas, yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan. Pelanggaran atas asumsi ini disebut heteroskedastisitas. Deteksi ada tidaknya

heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED, dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual yang telah di-studentized. Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot. Dasar analisis uji

heteroskedastisitas (Ghozali 2006):

1. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.

2. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

6. Uji Normalitas

Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah error term dari data atau observasi yang jumlahnya kurang dari 30 mendekati sebaran normal sehingga statistik t dapat dikatakan sah. Pembuktian untuk meyakini data telah mendekati sebaran normal perlu dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Pengambilan keputusan berdasarkan kriteria pengujian sebagai berikut (Santoso 2002):

 Jika nilai signifikansi (Sig.) > 0.05, maka data terdistribusi normal

 Jika nilai signifikansi (Sig.) < 0.05, maka data tidak terdistribusi normal

7. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan diantara galat dalam persamaan regresi yang diperoleh. Autokorelasi cenderung akan mengestimasi standar error lebih kecil daripada nilai sebenarnya, sehingga nilai

(22)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penangkaran Jalak Bali di Desa Sumberklampok

Salah satu penurunan populasi jalak bali diakibatkan oleh kurangnya peran serta masyarakat sekitar dalam menjaga kelestarian lingkungan TNBB, dibuktikan dengan kebiasaan masyarakat sekitar kawasan TNBB yang sering masuk hutan untuk mengambil kayu, buah, daun, rumput, menggembalakan ternak, bahkan berburu jalak bali dan satwa lainnya (Alikodra 1987). Tindakan konservasi di dalam kawasan tidak dapat berjalan sendiri, karena pengelolaan jalak bali secara lestari akan sulit tercapai jika masyarakat yang ada di sekitar kawasan tidak dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan. Fakta membuktikan bahwa masyarakat di sekitar kawasan konservasi justru memberi pengaruh sangat penting bagi keberhasilan pengelolaan suatu kawasan (Bayu 2000; Kusnanto 2000).

Upaya pendekatan kepada masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan dilakukan untuk meminimalisir konflik yang terjadi akibat perbedaan kepentingan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat guna mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 49/Menhut-II/2008). TNBB memiliki 6 desa penyangga dan telah banyak program pemberdayaan masyarakat yang diberikan kepada masyarakat di desa penyangga. Program pemberdayaan masyarakat yang diberikan masih berupa bantuan seperti bibit tanaman, itik, lebah madu maupun burung perkutut, namun program pemberdayaan tersebut hanya memberikan bantuan saja tanpa adanya pendampingan lebih lanjut sehingga tidak jarang program berjalan kurang dari 3 bulan.

(23)

pohon. Sebagian lagi menggantungkan hidupnya dari pekerjaan mencari kayu bakar untuk dijual. Desa Sumberklampok memiliki tingkat kemajemukan etnis dan sosial yang tinggi, terdiri dari penduduk asli Bali, Jawa, Madura dan Bugis

(Ismu 2008).

Kegiatan penangkaran jalak bali di Desa Sumberklampok dimulai sejak November 2010. Penangkaran tersebut bertujuan untuk (1) meningkatkan ekonomi masyarakat; (2) meningkatkan peran serta masyarakat dalam konservasi jalak bali secara eksitu; dan (3) mengembalikan citra Desa Sumberklampok melalui konservasi jalak bali. Saat ini terdapat 16 orang penangkar dan satu kelompok sosial yang bernama Yayasan Ainul Yaqin yang telah memiliki surat izin resmi menangkarkan jalak bali. Penangkar jalak bali di desa tersebut tergabung dalam kelompok penangkar yang bernama Manuk Jegeg. Manuk Jegeg memberikan akses bagi masyarakat Desa Sumberklampok untuk ikut berpatisipasi dalam pelestarian jalak bali melalui kegiatan penangkaran.

Sebanyak 14 orang penangkar telah memulai kegiatan penangkaran jalak bali sedangkan sisanya masih dalam tahap mempersiapkan sarana dan prasarana penangkaran serta menunggu adanya pinjaman indukan jalak bali. Sebagian besar penangkar (75%) memperoleh pinjaman indukan dari Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB) sejak Juni 2011 sedangkan sisanya menangkarkan jalak bali milik Yayasan Ainul Yaqin dengan sistem bagi hasil. Sebanyak 8 dari 14 penangkar telah berhasil memperoleh anakan jalak bali (Tabel 2).

Tabel 2 Data kegiatan penangkaran jalak bali Penangkar

= penangkar yang hanya memelihara anakan burung

Peubah Sosial Masyarakat

Kegiatan pelestarian dapat dipengaruhi oleh karakteristik internal manusia yang melakukannya dan juga tingkat kebutuhannya. Karakteristik internal merupakan karaktersitik individu atau ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya (Sampson 1976 dalam

(24)

mengetahui perilaku masyarakat terhadap objek tertentu, karakteristik individu merupakan salah satu faktor yang penting untuk diketahui karena pada hakekatnya perilaku manusia digerakkan oleh faktor dari dalam diri individu itu sendiri. Hasil penelitian Suparta (2001) menunjukkan bahwa faktor internal individu seperti umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, penguasaan lahan, dan pengalaman seseorang berpengaruh terhadap tindakannya dalam berusaha. Hal ini sejalan dengan pernyataan Amba (1998) bahwa karakteristik seperti umur, pendidikan, dan lainnya dapat mempengaruhi kemampuan dan kemauan seseorang untuk ikut berpartisipasi dalam suatu kegiatan.

Umur (X1)

Umur merupakan suatu indikator mengenai suatu perubahan yang terjadi pada manusia (Sujarwo 2004), dimana umur menggambarkan pengalaman seseorang yang mengakibatkan adanya perbedaan tindakan berdasarkan umur yang dimiliki (Halim 1992). Berdasarkan hasil penelitian, sebaran umur penangkar jalak bali bervariasi antara 39 sampai 72 tahun. Sebanyak 85.71% penangkar termasuk kedalam kelas umur produktif (15-65 tahun) (Lembaga Demografi FE-UI 1980) dan termasuk dalam kelas umur dewasa (Santrock 1996).

Lama Menempuh Pendidikan (X2)

Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin luas pengetahuannya (Sujarwo 2004). Pendidikan akan mempengaruhi cara bertindak dan berfikir seseorang (Amba 1998). Semakin tinggi pendidikan diharapkan semakin baik pula cara berfikir dan cara bertindak untuk terlibat dalam suatu kegiatan. Aprollita (2008) mengkategorikan pendidikan berdasarkan lama menempuh pendidikan yaitu ≤6 tahun (rendah), 7-11 tahun (sedang), dan 12-21 tahun (tinggi). Sebagian besar (57.14%) penangkar termasuk kedalam kategori pendidikan rendah.

Jumlah Tanggungan Keluarga (X3)

Besarnya keluarga sangat terkait dengan tingkat pendapatan seseorang, semakin besar jumlah tanggungan keluarga menyebabkan seseorang memerlukan tambahan pengahasilan yang lebih tinggi untuk menutupi biaya kehidupannya. Sujarwo (2004) menyatakan bahwa semakin besar tanggungan keluarga maka dibutuhkan tingkat aktifitas yang lebih tinggi dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jumlah tanggungan keluarga para penangkar berada pada sebaran 1≤ x <5 orang. Sebagian besar penangkar (35.71 %) memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 3 orang.

Penghasilan (X4)

(25)

dalam suatu kegiatan. Seluruh penangkar jalak bali memiliki penghasilan diatas UMR Bali, sehingga diharapkan dapat menunjang biaya kegiatan penangkaran.

Pengetahuan Lokal (X5)

Desa Sumberklampok dahulu merupakan salah satu habitat alami jalak bali. Jalak bali yang hidup di Desa Sumberklampok tersebar hampir di seluruh wilayah Desa. Masyarakat kerap melihat burung ini berasosiasi dengan sapi bali di ladang milik masyarakat. Keberadaan jalak bali di Desa tersebut menyimpan cerita tersendiri dalam masyarakat. Jalak bali memiliki rasa daging yang pahit karena jalak bali kerap memanfaatkan pohon kayu pahit, sehingga para tetua desa kerap menggunakan cerita pahitnya daging jalak bali ini untuk melindungi jalak bali dari perburuan untuk dikonsumsi. Tahun 1970-an jalak bali masih banyak ditemukan di desa tersebut. Ketika memasuki tahun 1980-an dimana Taman Nasional Bali Barat mulai diresmikan sebagai kawasan Taman Nasional, jalak bali mulai dikenal sebagai burung endemik Bali yang memiliki nilai jual ekonomi tinggi. Tahun 1990-an keberadaan jalak bali di Desa Sumberklampok dinyatakan punah. Tingginya eksploitasi jalak bali mengakibatkan kepunahan jalak bali di desa tersebut. Sebanyak 57.14% penangkar jalak bali mengetahui kronologis lengkap keberadaan jalak bali di Desa Sumberklampok serta dapat menceritakan keberadaan jalak bali di desa tersebut.

Curahan Waktu (X6) dan Frekuensi Perawatan Burung (X7)

Alokasi waktu yang digunakan dalam kegiatan penangkaran bervariasi pada setiap penangkar antara 10 sampai 60 menit dalam satu kali kegiatan pemeliharaan dengan frekuensi perawatan burung perhari rata-rata 2 kali. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan mencakup pemberian pakan, air, vitamin (Gambar 3) serta pemeliharaan kandang. Sebagian besar penangkar (78.57%) melibatkan anggota keluarga dalam kegiatan pemeliharaan penangkaran. Jenis pakan yang diberikan oleh masing-masing penangkar cenderung sama yaitu buah, pur, jangkrik, ulat hongkong serta kroto. Pemberian vitamin dilakukan untuk melakukan pencegahan terhadap penyakit seperti cacing, meningkatkan nafsu makan serta untuk merangsang kegiatan reproduksi indukan. Pemeliharaan kandang yang dilakukan berupa pembersihan areal kandang dan sekitarnya serta penggantian bahan-bahan penyusun kandang yang sudah mulai tidak berfungsi dengan baik.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 3 Jenis pakan dan vitamin

(26)

Modal (X8) dan Biaya Operasional Penangkaran (X9)

Modal kegiatan penangkaran yang dikeluarkan yaitu untuk pembuatan sarana dan prasarana kegiatan penangkaran berupa kandang. Modal yang dikeluarkan penangkar bervariasi yaitu Rp 1 500 000 – Rp 15 000 000. Besarnya modal yang dikeluarkan berkaitan dengan ukuran kandang, bahan penyusun kandang, letak kandang dan sarana yang terdapat di dalam kandang. Jenis kandang (Gambar 4) yang dimiliki para penangkar terdiri atas kandang permanen yang biasanya digunakan sebagai kandang biak dan sangkar yang digunakan sebagai tempat pembesaran anakan.

A Z

Gambar 4 Jenis Kandang

(a) Kandang biak; (b) Kandang pembesaran

Rata-rata kandang biak yang dimiliki penangkar berukuran 1.5 x 1 x 2 m3 dengan fasilitas yang terdapat di dalam kandang biak antara lain gowok, tempat makan, tempat air serta tempat bertengger. Anakan jalak bali umumnya diletakkan pada sangkar dengan ukuran 40x40x60 cm3 dengan fasilitas antara lain tempat makan, air dan tempat bertengger. Sebagian besar penangkar (71.43%) memiliki kandang di luar rumah sedangkan sisanya memiliki kandang di dalam rumah.

Biaya operasional kegiatan penangkaran jalak bali di Desa Sumberklampok untuk satu ekor jalak bali bervariasi antara Rp 20 000 – Rp 100 000 per bulan. Biaya operasional kegiatan penangkaran digunakan untuk biaya pemenuhan pakan, vitamin dan pemeliharaan kandang. Biaya pemenuhan pakan satwa merupakan biaya terbesar dalam banyak kegiatan penangkaran satwa, biaya dapat

mencapai 60% bahkan lebih dari seluruh komponen biaya pemeliharaan (Mas’ud

2010).

Lama Menangkar (X10)

(27)

Pengetahuan Jalak Bali (X11)

Sebanyak 57.14% responden memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai bioekologi jalak bali dan teknik penangkaran yang dibedakan berdasarkan total skor responden. Desa Sumberklampok merupakan habitat alami jalak bali dan merupakan desa enclave TNBB, sehingga masyarakat sering terlibat dalam kegiatan pelestarian jalak bali oleh TNBB yang salah satunya dilakukan melalui kegiatan penyuluhan. Penangkar jalak bali memiliki wadah berupa organisasi penangkar Manuk Jegeg yang kerap dijadikan sebagai wadah untuk bertukar pengalaman terkait kegiatan penangkaran oleh masing-masing penangkar yang dapat meningkatkan pengetahuan para penangkar.

Hubungan Peubah Sosial Masyarakat dengan Keberhasilan Penangkaran

Hubungan Peubah Sosial Masyarakat dengan Kelahiran Burung

Hasil analisis korelasi antara peubah sosial masyarakat dengan peubah kelahiran burung (Lampiran 1) menunjukkan bahwa peubah pengetahuan lokal, modal, lama menangkar dan pengetahuan jalak bali berkorelasi nyata dengan peubah kelahiran burung (Tabel 3). Pengetahuan lokal mengenai keberadaan jalak bali di Desa Sumberklampok memiliki korelasi dengan peubah kelahiran burung. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Umar (2009) bahwa perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh persepsi yang berasal dari pengalaman individu terhadap lingkungannya. Kondisi Desa Sumberklampok pada masa lalu melahirkan cerita-cerita mengenai keberadaan jalak bali pada masa lalu yang hingga kini masih berkembang. Cerita rakyat tersebut kemudian memotivasi masyarakat Desa Sumberklampok untuk mengembalikan desa mereka sebagai habitat alami jalak bali melalui kegiatan penangkaran jalak bali.

Tabel 3 Hubungan peubah sosial masyarakat dengan kelahiran burung

Peubah yang berkorelasi Nilai probabilitas (asymptotic significance)

Pengetahuan lokal ~ Kelahiran burung 0.022

Modal ~ Kelahiran burung 0.008

Lama menangkar ~ Kelahiran burung 0.001

Pengetahuan jalak bali ~ Kelahiran burung 0.003

Peubah modal juga berkorelasi dengan kelahiran burung. Modal yang dikeluarkan oleh penangkar merupakan modal mandiri tanpa adanya bantuan dari pihak manapun termasuk pihak TNBB yang memprakarsai kegiatan penangkaran ini. Penangkaran jalak bali sebagai upaya pengembangbiakan jenis di luar habitat alaminya, membutuhkan suasana habitat buatan yang mirip dengan habitat alaminya. Modal yang dikeluarkan saat memulai kegiatan penangkaran akan mempengaruhi kesesuaian kandang yang akan dibuat. Kesesuaian kandang tersebut penting untuk menunjang keberhasilan kegiatan penangkaran jalak bali mencakup jenis kandang, jumlah kandang, fungsi kandang, bahan bangunan kandang, ukuran kandang, sarana kandang, perawatan kandang serta suhu dan kelembaban kandang (Azis 2013).

(28)

keberhasilan penangkaran. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya nilai kelahiran pada tahun pertama saat program penangkaran berlangsung dan mulai meningkat pada tahun kedua. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Herawati (2013) yang menunjukkan bahwa persentase daya tetas telur dari tahun 2011 sampai tahun 2013 semakin meningkat dan tingkat perkembangbiakan yang meningkat pada tahun 2011 sampai tahun 2012.

Pengetahuan yang tinggi mengenai jalak bali akan membantu kegiatan penangkaran yang dilakukan. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Schoorl (1982) dalam Amba (1998) bahwa masyarakat akan ikut berpartisipasi dalam suatu kegiatan apabila mereka memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang kegiatan tersebut. Desa Sumberklampok yang dahulu merupakan salah satu habitat alami jalak bali menjadikan masyarakat Sumberklampok memiliki pengetahuan yang cukup tinggi mengenai jalak bali, sesuai dengan pernyataan Amba (1998) bahwa pengalaman hidup seseorang dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.

Hubungan Peubah Sosial Masyarakat dengan Kematian Burung

Hasil analisis korelasi antara peubah sosial masyarakat dengan peubah kematian burung (Lampiran 2) menunjukkan bahwa peubah frekuensi perawatan burung dan biaya operasional penangkaran jalak bali berkorelasi nyata dengan peubah kematian burung (Tabel 4).

Tabel 4 Hubungan peubah sosial masyarakat dengan kematian burung

Peubah yang berkorelasi Nilai probabilitas (asymptotic significance) Frekuensi perawatan burung ~ Kematian

burung

0.000

Biaya operasional ~ Kematian burung 0.025

Frekuensi perawatan burung berkorelasi nyata dengan kematian burung. Perawatan burung yang dilakukan antara lain pemberian pakan, pembersihan kandang dan penggantian air. Frekuensi perawatan burung berkaitan dengan interaksi perawat dengan burung yang ditangkarkan. Daya adaptasi burung terhadap interaksi manusia sangat diperlukan. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya stres pada burung terutama saat burung dalam masa reproduksi karena sangat sensitif terhadap gangguan (Mas’ud 2010).

Biaya operasional berkorelasi dengan kematian burung. Biaya operasional kegiatan penangkaran yang dikeluarkan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pakan dan vitamin untuk burung serta biaya pemeliharaan kandang. Kebutuhan kegiatan penangkaran yang menunjang keberhasilan penangkaran membutuhkan biaya operasional yang tinggi.

Model Keberhasilan Penangkaran

(29)

Model Kelahiran Burung

Berdasarkan hasil uji chi square diketahui bahwa peubah sosial masyarakat yang berkorelasi dengan peubah kelahiran burung yaitu pengetahuan lokal (X5), modal (X8), lama memelihara (X10) dan pengetahuan jalak bali (X11). Hasil analisis regresi linier berganda dengan menggunakan metode stepwise (Tabel 5), mendapatkan bahwa peubah sosial masyarakat yang paling berpengaruh terhadap kelahiran burung yaitu pengetahuan responden mengenai ekologi dan teknik penangkaran jalak bali. Persamaan regresi yang dihasilkan adalah : Y1 = -0.097 +0.024 X11.

Tabel 5 Hasil analisis regresi linier berganda pada model kelahiran burung

Peubah (X) B Beta t sig. 5.396 dan signifikansi sebesar 0.000 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan linier yang positif antara peubah pengetahuan jalak bali (X11) dengan peubah kelahiran burung (Y1). Berbeda halnya dengan peubah sosial masyarakat lainnya yaitu pengetahuan lokal, modal dan lama menangkar yang memiliki nilai signifikansi > 0.05 yang berarti tidak terdapat hubungan linier antara peubah-peubah tersebut dengan peubah-peubah kelahiran burung (Y1). Hasil Uji f pada persamaan regresi menghasilkan nilai f hitung sebesar 29.115 dan nilai signifikansi sebesar 0.000 yang menunjukkan bahwa peubah kelahiran burung (Y1) memiliki hubungan linier minimal dengan satu peubah sosial masyarakat.

Hubungan yang positif antara peubah kelahiran burung dengan peubah pengetahuan mengindikasikan bahwa pengetahuan penangkar yang semakin meningkat akan meningkatkan keberhasilan penangkarannya. Pengetahuan mempengaruhi seseorang dalam bersikap. Sujarwo (2008) menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai sikap positif terhadap suatu obyek, besar kemungkinan mempunyai niat untuk bertindak positif juga terhadap obyek tersebut, dan timbulnya sikap positif tersebut didasari oleh adanya pemikiran dan pengetahuan terhadap obyek tersebut. Harihanto (2001) juga menyatakan bahwa tindakan individu sangat dipengaruhi oleh sikap maupun pengetahuannya. Sikap seseorang terhadap suatu obyek sangat dipengaruhi oleh pengalaman atau pengetahuannya. Pengetahuan yang tinggi mengenai jalak bali dapat menunjang penangkar dalam melakukan kegiatan penangkaran jalak bali, sehingga akan mendukung keberhasilan penangkaran yang dilakukan. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Siswiyanti (2006) bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang maka akan semakin tinggi tingkat partisipasinya dalam suatu kegiatan karena semakin tinggi pengetahuan akan manfaat yang diterimanya.

(30)

pengetahuan didapatkan melalui proses belajar, pengalaman atau media elektronika yang kemudian disimpan dalam memori individu. Pengetahuan

mengenai jalak bali juga didapatkan melalui kelompok penangkar “Manuk Jegeg”

melalui kegiatan berbagi pengetahuan mengenai teknik penangkaran maupun tentang ekologi jalak bali.

Hasil uji t dan uji f memberikan cukup bukti bahwa terdapat hubungan yang linier antara peubah kelahiran burung dengan peubah pengetahuan jalak bali. Model regresi yang dihasilkan tidak melanggar asumsi klasik regresi linier berganda, sehingga model yang dihasilkan dapat digunakan dalam menduga kelahiran burung. Namun demikian, persamaan regresi yang dihasilkan dinilai belum cukup valid untuk digunakan sebagai model penduga peubah kelahiran burung terhadap pengetahuan jalak bali. Hal ini disebabkan nilai adjusted R

square yang dihasilkan model sebesar 49.20%, yang artinya hanya 49.20% peubah kelahiran burung yang dapat dijelaskan oleh peubah pengetahuan jalak bali, sedangkan 50.80% dijelaskan oleh peubah lain yang tidak masuk dalam lingkup penelitian ini.

Hasil pengujian terhadap model disajikan sebagai berikut: 1. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas didasarkan pada nilai VIF yang terdapat pada model yang telah diregresikan. Nilai VIF yang kurang dari sepuluh (VIF < 10) menunjukkan tidak terjadi masalah multikolinearitas. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat masalah multikolinearitas karena semua variabel VIF kurang dari sepuluh (VIF < 10) (Lampiran 3).

2. Uji Heteroskedastisitas

Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED, dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual yang telah di-studentized (Ghozali 2006). Hasil menunjukkan bahwa grafik

scatterplot tidak membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), tidak ada pola yang jelas dan titik-titik menyebar maka dapat disimpulkan tidak terjadi heteroskedastisitas (Lampiran 3).

3. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi didasarkan pada uji Durbin-Watson (DW). Nilai DW antara 1.55 dan 2.46 menunjukkan tidak ada autokorelasi (Firdaus, 2004). Hasil pengolahan data mendapatkan nilai DW sebesar 2.372. Dapat disimpulkan tidak terjadi masalah autokorelasi dalam model regresi. Nilai DW dalam model ditunjukkan dalam Lampiran 3.

4. Uji Normalitas

Uji normalitas berdasarkan pada uji Kolmogorov-Smirnov dengan taraf nyata alpha sebesar 5 persen. Pada lampiran 3 dapat dilihat nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari alpha 0.05 (lima persen), maka asumsi residual menyebar normal terpenuhi (Lampiran 3).

(31)

dengan adanya penurunan produktivitas burung saat umur indukan memasuki tahun ke-delapan. Mas’ud (2010) menyatakan bahwa prioritas umur burung untuk ditangkarkan yaitu sekitar 3-8 tahun karena memiliki tingkat produktivitas yang tinggi, namun demikian induk dengan usia muda lebih baik karena kemungkinan stres dengan sifat liarnya relatif kecil.

Letak kandang penangkar yang berdekatan dengan sumber kebisingan juga diduga mempengaruhi keberhasilan penangkaran. Setio dan Takandjandji (2007) menyatakan bahwa salah satu yang perlu diperhatikan dalam memilih lokasi penangkaran adalah terhindar dari sumber kebisingan. Alikodra (1987) juga menegaskan bahwa jalak bali memiliki sifat biologis yang sangat peka terhadap adanya gangguan, mudah mengalami stres dalam keadaan lingkungan yang tidak wajar sehingga kemampuan berkembangbiak sering berjalan tidak normal. Tidak sedikit lokasi penangkaran yang terletak di dekat jalan utama di Bali maupun lokasi kandang yang berada di dalam rumah seperti di dapur, dimana aktivitas manusia cukup banyak dilakukan.

Model Kematian Burung

Berdasarkan hasil uji chi square diketahui bahwa peubah sosial masyarakat yang berkorelasi dengan peubah kematian burung yaitu frekuensi perawatan burung (X7) dan biaya operasional penangkaran (X9). Hasil analisis regresi linier berganda dengan menggunakan metode stepwise (Tabel 6), menunjukkan bahwa peubah sosial masyarakat yang paling berpengaruh terhadap kematian burung yaitu frekuensi perawatan burung. Persamaan regresi yang dihasilkan adalah: Y2=0.025 + 0,095 X7.

Tabel 6 Hasil analisis regresi linier berganda pada model kematian burung

Peubah (X) B Beta T sig. 3.881 dan signifikansi sebesar 0.001 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan linier yang positif antara peubah frekuensi perawatan burung (X7) dengan peubah kematian burung (Y2). Sedangkan hasil uji terhadap biaya operasional kegiatan penangkaran memiliki nilai signifikansi > 0.05 yang menunjukkan tidak terdapat hubungan linier antara peubah-peubah tersebut dengan peubah kematian burung (Y2). Hasil Uji F pada persamaan regresi menghasilkan nilai F hitung sebesar 15.062 dan nilai signifikansi sebesar 0.001 yang menunjukkan bahwa peubah kematian burung (Y2) memiliki hubungan linier minimal dengan satu peubah sosial masyarakat.

(32)

membutuhkan waktu adaptasi yang cukup lama terhadap interaksi yang dilakukan oleh perawat burung. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mas’ud (2010) bahwa dalam menangkarkan burung, tidak diperbolehkan sering mengganti perawat burung, cukup satu perawat yang secara rutin menangani burung agar burung tidak stres.

Pada kondisi tertentu seperti pada masa reproduksi, frekuensi perawatan burung yang terlalu tinggi dapat memicu terjadinya stres pada burung sehingga dapat mengakibatkan kematian. Burung yang sedang dalam masa reproduksi memiliki sensitivitas yang lebih tinggi, sehingga ketika mendapatkan gangguan akan menimbulkan dampak stres pada induk. Mas’ud (2010) menyatakan kegiatan pembersihan kandang harus dikurangi saat musim kawin dan pengeraman telur untuk menghindari timbulnya stres, dan kegiatan pembersihan kandang sebaiknya dilakukan sekitar 2-3 hari sekali.

Kematian burung umumnya terjadi pada umur 0-3 minggu dimana perawatan anakan masih dilakukan oleh induknya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Herawati (2013) yang menyatakan bahwa umumnya kematian burung

disebabkan oleh pembuangan anakan oleh induk. Mas’ud (2010) menyatakan

bahwa masa perawatan anak oleh induk paling cepat berkisar antara 16-21 hari dan pemisahan anak lebih baik dilakukan lebih awal untuk mencegah kematian akibat dipatuk oleh induknya.

Model regresi yang dihasilkan melanggar asumsi klasik regresi linier berganda yaitu uji normalitas dan heteroskedatisitas, sehingga model yang dihasilkan tidak dapat digunakan dalam menduga tingkat kematian burung. Persamaan regresi yang dihasilkan juga tidak cukup valid untuk digunakan sebagai model penduga kematian burung terhadap frekuensi perawatan burung. Nilai adjusted R square yang dihasilkan model sebesar 32.70%, yang artinya hanya 32.70% peubah kematian burung yang dapat dijelaskan oleh peubah frekuensi perawatan sedangkan 67.30% peubah kematian burung dijelaskan oleh peubah lain yang tidak digunakan dalam penelitian ini.

Hasil pengujian terhadap model disajikan sebagai berikut: 1. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas didasarkan pada nilai VIF yang terdapat pada model yang telah diregresikan. Nilai VIF yang kurang dari sepuluh (VIF < 10) menunjukkan tidak terjadi masalah multikolinearitas. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat masalah multikolinearitas karena semua variabel VIF kurang dari sepuluh (VIF < 10) (Lampiran 4).

2. Uji Heteroskedastisitas

Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED, dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual yang telah di-studentized (Ghozali 2006). Hasil menunjukkan bahwa grafik

scatterplot membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), sehingga terjadi heteroskedastisitas(Lampiran 4).

3. Uji Autokorelasi

(33)

masalah autokorelasi dalam model regresi. Nilai DW dalam model ditunjukkan dalam Lampiran 4.

4. Uji Normalitas

Uji normalitas berdasarkan pada uji Kolmogorov-Smirnov dengan taraf nyata alpha sebesar 5 persen. Pada lampiran 4 dapat dilihat nilai Asymp. Sig. (2-tailed) kurang dari alpha 0.05 (lima persen), maka asumsi residual tidak menyebar normal sehingga uji t dan uji f dikatakan tidak sah.

Kematian burung juga dapat dipengaruhi oleh faktor ekologi maupun teknik penangkaran yang dilakukan seperti letak kandang yang berdekatan dengan sumber kebisingan (Setio & Takandjandji 2007), jenis pakan maupun penyakit (Yunanti 2012). Hasil observasi mendapatkan bahwa sebagian besar penangkar (71,43%) memiliki kandang di luar rumah dan berdekatan dengan jalan raya utama Bali, yang menyebabkan burung mudah stres.

Faktor pemicu kematian lainnya yaitu aspek pakan. Pemberian pakan yang berlebihan dapat membahayakan kesehatan burung. Jenis pakan ulat jika dalam pemberian berlebih akan mengakibatkan bulu burung jalak bali rontok dan pemberian pakan pisang berlebih akan mengakibatkan obesitas sehingga burung jalak bali tidak dapat berkembang biak. Hal ini sejalan dengan pernyataan Soemarjoto (2003) bahwa pemberian ulat hongkong yang berlebihan dapat menyebabkan mencret, bulu rontok bahkan kematian. Jenis penyakit yang umum ditemui oleh para penangkar yaitu folio dan diare. Umumnya burung yang terserang folio akan mengalami kematian.

Tipologi Penangkar Jalak Bali

Saat ini pihak TNBB sedang merencanakan program pemberdayaan yang serupa bagi seluruh desa penyangga TNBB berupa penangkaran jalak bali berbasis masyarakat. Program penangkaran jalak bali di desa penyangga lain akan didampingi oleh kelompok penangkar Manuk Jegeg yang ada di Desa Sumberklampok. Jika rencana tersebut akan benar-benar dijalankan, maka seluruh desa penyangga TNBB akan memiliki penangkaran jalak bali dan seluruh masyarakat di sekitar kawasan TNBB akan menerima manfaat dari kegiatan pelestarian jalak bali secara eksitu. Dengan demikian masyarakat tentunya akan turut serta melestarikan jalak bali karena masyarakat mengetahui dan merasakan langsung adanya manfaat dari jalak bali dan program tersebut diharapkan dapat menekan perburuan jalak bali di alam.

Rencana pelaksanaan program penangkaran jalak bali di desa penyangga lain memerlukan banyak pertimbangan. Faktor penentu keberhasilan penangkaran jalak bali di Desa Sumberklampok yaitu pengetahuan masyarakat mengenai bioekelogi jalak bali dan teknik penangkaran. Tingkat pengetahuan masyarakat Sumberklampok cenderung tinggi, karena desa tersebut pernah menjadi salah satu habitat alami jalak bali. Desa penyangga TNBB yang lain tidak semuanya pernah menjadi habitat alami jalak bali, sehingga jika program ini benar-benar akan dijalankan langkah awal yang perlu dilakukan adalah merumuskan tipologi penangkaran untuk meningkatkan keberhasilan penangkaran yang dilakukan.

(34)

terkait ekologi dan teknik penangkaran berkorelasi dengan kelahiran burung. Selain itu frekuensi perawatan burung dan biaya operasional kegiatan penangkaran berkorelasi dengan kematian burung. Peubah-peubah yang berkorelasi tersebut digunakan sebagai dasar dalam merumuskan tipologi penangkar jalak bali. Kombinasi peubah-peubah tersebut diharapkan dapat meningkatkan angka kelahiran burung dan menekan angka kematian burung sehingga keberhasilan penangkaran dapat tercapai. Rumusan tipologi penangkar ditentukan berdasarkan kelas peubah yang memiliki persentase tertinggi terkait keberhasilan penangkaran yang ditinjau dari tingkat kelahiran dan kematian. Pengetahuan lokal

Pengetahuan lokal yang tinggi pada penangkar jalak bali menentukan keberhasilan penangkaran yang dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penangkar jalak bali yang mampu membiakkan jalak bali dengan kelahiran tinggi yaitu penangkar yang memiliki pengetahuan lokal yang tinggi mengenai keberadaan jalak bali di Desa Sumberklampok pada masa lalu. Pengetahuan lokal tersebut memotivasi masyarakat untuk mengembalikan Desa Sumberklampok menjadi habitat alami jalak bali seperti pada masa lalu dengan melakukan kegiatan pelepasliaran jalak bali yang dihasilkan dari kegiatan penangkaran.

Modal

Besarnya modal yang dikeluarkan oleh penangkar jalak bali juga menentukan keberhasilan penangkaran yang dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penangkar jalak bali yang memiliki tingkat kelahiran tinggi yaitu penangkar yang memulai kegiatan usahanya dengan modal yang tinggi. Besarnya modal yang dikeluarkan untuk membuat satu kandang jalak bali yang memiliki tingkat kelahiran tinggi membutuhkan modal lebih dari Rp 1 juta untuk membuat satu lokal kandang. Modal yang dikeluarkan saat memulai kegiatan penangkaran akan mempengaruhi kesesuaian kandang yang akan dibuat. Penangkaran jalak bali sebagai upaya pengembangbiakan jenis di luar habitat alaminya, membutuhkan suasana habitat buatan yang mirip dengan habitat alaminya.

Lama menangkar

Lama waktu menangkarkan burung menentukan keberhasilan penangkaran yang dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penangkar berhasil membiakkan jalak bali dengan kelahiran anakan yang tinggi yaitu penangkar yang telah lama memulai kegiatan penangkarannya. Waktu menangkarkan yang semakin lama akan memberikan pengalaman kepada para penangkar dalam pengelolaan penangkaran sehingga dapat menunjang keberhasilan penangkaran.

Pengetahuan jalak bali

(35)

suatu kegiatan apabila mereka memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang kegiatan tersebut.

Frekuensi perawatan burung

Frekuensi perawatan burung yang tinggi mempengaruhi keberhasilan penangkaran jalak bali yang dilakukan. Frekuensi perawatan burung per hari berdasarkan hasil penelitian yang memiliki tingkat kematian terendah yaitu 1 kali per hari. Frekuensi perawatan burung berkaitan dengan daya adaptasi burung terhadap perawat burung. Perawat burung yang sering berganti-ganti memicu timbulnya stres pada burung karena daya adaptasi burung yang masih rendah. Pada kondisi tertentu seperti pada masa reproduksi, frekuensi perawatan yang terlalu tinggi dapat memicu terjadinya stres pada burung yang dapat mengakibatkan kematian karena pada masa reproduksi burung memiliki sensitivitas yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan Mas’ud (2010) menyatakan kegiatan pembersihan kandang harus dikurangi saat musim kawin dan pengeraman telur untuk menghindari timbulnya stres, kegiatan pembersihan kandang sebaiknya dilakukan sekitar 2-3 hari sekali.

Biaya operasional penangkaran

Biaya operasional berkorelasi dengan kematian burung. Biaya operasional kegiatan penangkaran yang dikeluarkan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pakan dan vitamin untuk burung serta biaya pemeliharaan kandang. Biaya operasional yang tinggi akan mampu memenuhi segala kebutuhan kegiatan penangkaran yang dapat menunjang keberhasilan penangkaran. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa biaya operasional per bulan yang rendah dapat menekan angka kematian burung. Besarnya biaya operasional per bulan yang dikeluarkan < Rp 50 000 memiliki tingkat kematian yang rendah. Salah satu penyebab kematian pada burung yaitu penyakit yang ditimbulkan dari pakan yang berlebih. Pemberian ulat hongkong yang berlebih akan menyebabkan kerontokan pada bulu burung serta mencret dan dapat mengakibatkan kematian pada burung (Soemarjoto 2003), sedangkan pemberian pisang berlebih akan menyebabkan obesitas pada burung.

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Peubah sosial masyarakat yang berkorelasi dengan peubah keberhasilan penangkaran jalak bali ditinjau dari peubah kelahiran dan kematian anakan adalah (1) pengetahuan lokal keberadaan jalak bali di Desa Sumberklampok, modal yang dikeluarkan untuk memulai kegiatan penangkaran, lama menangkar dan pengetahuan mengenai jalak bali berkorelasi nyata dengan peubah kelahiran burung; (2) frekuensi perawatan burung dan biaya operasional berkorelasi nyata dengan kematian burung.

(36)

dimana peubah frekuensi perawatan burung memiliki hubungan positif yang signifikan dengan peubah kematian burung.

3. Tipologi penangkar jalak bali di Desa Sumberklampok yang berhasil berkaitan dengan aspek: (1) pengetahuan penangkar terkait cerita keberadaan jalak bali di Desa Sumberklampok, ekologi jalak bali serta teknik penangkaran jalak bali; (2) pengalaman penangkar dalam memelihara burung yang berkaitan dengan lama waktu menangkar; (3) finansial yang mencakup modal dan biaya operasional yang dikeluarkan oleh penangkar; dan (4) teknis penangkaran yang berkaitan dengan frekuensi perawatan burung.

Saran

1. Para penangkar perlu dibekali ilmu mengenai teknik penangkaran maupun bioekologi jalak bali sehingga dapat menunjang keberhasilan kegiatan penangkaran jalak bali.

2. Diperlukan kajian lanjutan mengenai keberhasilan penangkaran jalak bali dengan melibatkan peubah lain seperti ekologi dan teknik penangkaran sehingga dapat dilihat peran masing-masing peubah tersebut dalam keberhasilan penangkaran.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 1987. Masalah pelestarian jalak bali. Media Konservasi Vol 1 No 4.

Amba M. 1998. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove (studi kasus di kecamatan Teluk Ambon Baguala, Kotamadya Ambon, Maluku) [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Aprollita. 2008. Kemandirian pembudidaya ikan patin di kolam lahan gambut di Desa Tangkit Baru, Kec. Kumpe Ulu, Kab. Muaro Jambi, Provinsi Jambi [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Azis AS. 2013. Teknik penangkaran dan aktivitas harian jalak bali di Penangkaran UD Anugrah Kediri Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Bayu A. 2000. Hubungan kondisi sosial ekonomi masyarakat pemukiman dalam kawasan (enclave) dengan penggunaan lahan di Taman Nasional Gunung Halimun (studi kasus di Kampung Cier, Desa Cisarua, Resort Cigudeg) [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Firdaus M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta (ID): Bumi Aksara.

Ghozali I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Edisi Kedua. Semarang (ID): Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

(37)

Halim NR. 1992. Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan perilaku komunikasi anggota kelompok simpan pinjam KUD dan pemanfaatan kredit pedesaan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Harihanto. 2001. Persepsi, sikap dan perilaku masyarakat terhadap air sungai [disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Herawati M. 2013. Model kelembagaan penangkaran jalak bali berbasis masyarakat di Desa Sumberklampok, Bali [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Ismu I. 2008. Draft ringkasan lokasi Taman Nasional Bali Barat (TNBB) [internet]. (diunduh 2014 Jan 3). Tersedia pada : http//www.rareplanet.org. Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah data statistik menggunakan Minitab 14.

Yogyakarta (ID) : ANDI Yogyakarta.

[IUCN] International Union for the Conservation of Nature. 2010. Guidelines for application of IUCN red list criteria at regional and national levels. Gland, Switzerland and Cambridge, UK: IUCN.

2012. IUCN red list of threatened species [internet]. (diunduh 2013 Des 3). Tersedia pada : http//www.iucnredlist.org.

Kusnanto K. 2000. Bentuk-bentuk dan intensitas gangguan manusia pada daerah tepi kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

[Lembaga Demografi FE-UI] Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1980. Buku Pegangan Bidang Kependudukan. Jakarta (ID) :

[PP] Peraturan Pemerintah. 2005. Peraturan Menteri Kehutanan No P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran tumbuhan dan satwa liar. Jakarta (ID): PP. ______________________. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan No P.

49/Menhut-II/2008 tentang Hutan desa. Jakarta (ID) : PP.

______________________. 2011. Peraturan Desa Sumberklampok No. 1 Tahun 2011 tentang Rencana pembangunan jangka menengah Desa Sumberklampok tahun 2011-2016. Bali (ID) : PP.

______________________. 2012. Peraturan Gubernur Bali No. 44 Tahun 2012 tentang Upah minimum Kabupaten Buleleng tahun 2013. Bali (ID) : PP. Prayana A. 2012. Teknik penangkaran dan aktivitas harian mambruk victoria

(Goura victoria Fraser 1844) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pikir
Gambar 2  Lokasi penelitian
Tabel 1  Jenis data
Tabel 1 Jenis data (Lanjutan)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis ragam pada lahan pasca tambang emas menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan formulasi pupuk biologis menunjukkan perbedaan yang nyata (P&lt;0.05) terhadap

Hasil observasi diperoleh dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh observer yang dilakukan oleh rekan guru peneliti dengan mengisi lembar observasi aktivitas anak

Hal ini disebabkan karena Mayak Production Association, pabrik nuklir terbesar di Rusia yang berdiri di sekitar area tersebut, membuang limbah radioaktifnya ke danau

[r]

Tindak pidana narkotika yang dalam hal ini perantara, pengedar, dan produsen merupakan jarimah ta’zir , sehingga remisi dapat diberikan oleh penguasa negara dengan

Sumb mber er in info form rmas asi i sek sekun unde der, r, ya yait itu u in info form rmas asii yang diperoleh dari sumber lain yang mungkin yang diperoleh dari sumber

[r]

Sebagai suatu strategi pembelajaran, menurut Sanjaya (2010), strategi pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa kelebihan, antara lain: (1) strategi berbasis