• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Kebijakan dalam Restorasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Sukabumi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Kebijakan dalam Restorasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Sukabumi)"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI KEBIJAKAN DALAM RESTORASI KORIDOR

TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

(Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Sukabumi)

FAHMI HAKIM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Kebijakan dalam Restorasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Sukabumi) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Fahmi Hakim

(4)

RINGKASAN

FAHMI HAKIM. Strategi Kebijakan dalam Restorasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Sukabumi). Dibimbing oleh RINEKSO SOEKMADI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) memiliki karakter unik dengan adanya koridor yang menggabungkan dua ekosistem pegunungan (G. Halimun-G. Salak) dan melingkupi dua provinsi (Jawa Barat-Banten). Keberadaan Koridor Halimun-Salak (KHS) menjadikan kedua gunung tersebut sebagai kesatuan bentang alam dengan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Pulau Jawa dan berfungsi sebagai penghubung ekosistem Halimun-Salak, menjaga tata air dua daerah aliran sungai (DAS) utama, yaitu DAS Cianten dan DAS Citarik, wilayah jelajah satwa liar dan memberikan manfaat yang strategis bagi pembangunan sosial-ekonomi. Pengelolaan TNGHS dan area koridor memiliki tantangan pengelolaan yang serius dengan adanya degradasi dan deforestasi hutan melalui penebangan liar, penambangan emas tanpa ijin (PETI), perburuan, perambahan kawasan, kerusakan habitat dan ekosistem. Upaya pemulihan ekosistem secara berkelanjutan diperlukan untuk memperbaiki kerusakan struktur dan fungsi dari ekosistem alami TNGHS dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Jangka panjang aksi restorasi di TNGHS ini akan terwujud jika pengelola mampu mendorong pihak lain yang memiliki kemampuan untuk melakukan inisiatif restorasi di kawasan TNGHS. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kapasitas dan peran para pihak untuk mendukung restorasi dan mengetahui kebijakan dan regulasi yang mendukung dan menghambat aksi restorasi menjadi hal yang strategis dalam jangka panjang restorasi kawasan.

(5)

Kebijakan restorasi ekosistem secara khusus muncul pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 159 Tahun 2004 tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi. Terminologi restorasi di kawasan taman nasional maupun hutan konservasi baru muncul secara eksplisit dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam di pasal 29 yang menyatakan pemulihan ekosistem dilakukan dengan cara mekanisme alam, rehabilitasi dan restorasi. Di bagian Penjelasan, pasal 29 menambahkan bahwa pemulihan ekosistem dilakukan dengan menggunakan komponen spesies asli setempat yang diarahkan untuk mampu mengembalikan struktur, fungsi, dinamika populasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya guna memperkuat sistem pengelolaan kawasan yang dilindungi. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 mendefinisikan restorasi sebagai upaya pemulihan untuk menjadikan lingkungan hidup atau bagian-bagiannya berfungsi kembali sebagaimana semula. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2013 juga mengatur mengenai pemulihan kawasan lindung dan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No. 22 Tahun 2012 menyatakan bahwa rehabilitasi merupakan satu bagian dari strategi penataan ruang.

Hasil analisis stakeholder menerangkan bahwa aktor dalam aksi restorasi ekosistem terbagi ke dalam kelompok pemerintah, BUMN/Swasta, organisasi non pemerintah (LSM) dan Lembaga Pendidikan. Teridentifikasi 26 aktor yang termasuk kelompok pemerintah, terdiri dari 13 kantor di Pemerintah Pusat, 3 di Pemerintah Provinsi dan 10 di Pemerintah Kabupaten. Teridentifikasi 15 aktor pada kelompok BUMN/Swasta, 4 aktor kelompok lembaga pendidikan dan 11 aktor organisasi non pemerintah/LSM, sehingga total stakeholders yang teridentifikasi dalam aksi restorasi ekosistem di TNGHS pada wilayah sukabumi adalah 56 pemangku kepentingan (stakeholders). Stakeholders tersebut terpetakan menjadi 2 aktor yang menjadi aktor kunci (keyplayers) dengan kepentingan dan pengaruh yang tinggi, 30 aktor yang menjadi subject dengan kepentingan yang tinggi dan pengaruh rendah, 20 aktor yang menjadi context setter dengan kepentingan rendah dan pengaruh tinggi, 4 aktor yang menjadi crowd dengan kepentingan dan pengaruh yang rendah.

Sebagai konsep yang masih tergolong baru, restorasi ekosistem di Indonesia masih sering disamakan dengan rehabilitasi hutan. Hal ini menimbulkan permasalahan secara regulasi dengan UU No. 32 Tahun 2009 dan tidak sesuai dengan definisi ilmiah, lalu persoalan implementasi akan muncul jika restorasi ekosistem KHS dengan menggunakan definisi ilmiah dan UU No. 32 Tahun 2009 yang berarti masyarakat keluar dari kawasan untuk mengembalikan seperti kondisi asli atau tidak lagi dapat memanfaatkan kawasan. Selain itu, inisiatif restorasi ekosistem di TNGHS sudah mulai bermunculan namun belum terintegrasi. Oleh karena itu, opsi kebijakan restorasi di KHS yang dapat disusun adalah dengan menyusun konsep, kebijakan dan regulasi tingkat nasional yang akan menjadi acuan dalam implementasi restorasi ekosistem; menguatkan tata kelola kemitraan dan kebijakan tenurial; dan menyusun strategi mobilisasi sumber daya para pihak dalam restorasi ekosistem.

(6)

SUMMARY

FAHMI HAKIM. Policy Strategy of Ecosystem Restoration on Mt. Halimun-Salak National Park (Study Case at Sukabumi Regency). Supervised by RINEKSO SOEKMADI and DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Mt. Halimun-Salak National Park (HSNP) is a national park in Indonesia, which has a ecological corridor that connects two mountain ecosystems and encompasess two provinces. The existence of Halimun-Salak Corridor (HSC) makes both mountains into one landscape as the widest tropical rain forest mountains ecosystem in Java, keeping the water system of two main watersheds (Cianten and Citarik watershed), home range for wildlife and provide an essensial benefits for socio-economic development. HSNP management have a serious challenges with degradation and deforestation through illegal logging, illegal mining, poaching, encroachment, destruction of habitats and ecosystems. Sustainable Ecosystem restoration is needed to restore the structure and function of natural ecosystems and biodiversity in HSNP. Long-term restoration action will be able achieved if the manager is able to encourage others who have the ability to perform restoration initiatives. Therefore, an ability to understand the role and capacity of the parties and policies to support restoration is necessary in long-term restoration strategy.

The objectives of this research are identifying the actors and develop policy options in restoration implementation. This study was conducted in HSNP, government agencies, State-Owned Enterprise (SOE)/Private, NGO, educational institutions in June to August 2013 and May 2015. Selection of institutional study was done by purposive sampling. Primary data includes identity, interests and influence as well as secondary data include the physical condition of the HSC, policy documents, official documents that related to restoration actions in HSC. The methods of data collection through interviews, direct observation and literature. This research used descriptive qualitative analysis, stakeholder analysis and content analysis. Descriptive qualitative analysis at an early phase focused on a list of potential institutions that would be survey targeted. Stakeholder analysis was conducted to determine the interests and influence of the parties and mapped into the matrix of interests and influences were adopted from Reed et al. (2009). Content analysis was conducted on formal rules from legislation to administrative procedures. This is to be a policy review in HSNP restoration action.

(7)

District Regulation No. 22/2012 states that rehabilitation is a part of the spatial strategy.

The results of stakeholder analysis explains that the actors in ecosystem restoration actions are divided into groups of government, SOE/private, NGOs and Educational Institution. 26 actors are identified as government group, consist of 13 offices in the Central Government, 3 offices in Provincial Government and 10 in the district government. 15 actors are identified in SOE/private group, 4 actors in educational institutions and 11 actors NGOs group. Total stakeholders identified in ecosystem restoration on HSNP sukabumi region parts are 56 stakeholders. Stakeholders are mapped to 2 actors as keyplayers with high interests and influence, 30 actors as subject with high interests and low influence, 20 actors as context setter with low interest and high influence, 4 actors as crowd with low interest and influence.

As the relatively new concept, implementation of ecosystem restoration in Indonesia is similar to forest rehabilitation. This poses a problem in the regulation and not in accordance with the scientific definition. Problem in implementation issues would arise if the restoration of ecosystems HSC using scientific definitions and Law No. 32 of 2009, which means people have to get out of the area to restore into previous condition or no longer able to take advantage from HSC Area. In addition, ecosystem restoration initiatives in HSNP is already emerging, but not yet integrated. Therefore, The policy strategy options to achieve sustainable ecosystem restoration in HSC are formulate concepts and policies at national level which will be a reference in implementation of ecosystem restoration, strengthening land tenure policy and partnerships with various parties, construct resource mobilization strategy of the stakeholders in the ecosystem restoration in otder to enhance effectiveness, synergy, and duplication of restoration activities so that restoration action will sustainable.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

STRATEGI KEBIJAKAN DALAM RESTORASI KORIDOR

TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

(Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Sukabumi)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

Judul Tesis : Strategi Kebijakan dalam Restorasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Sukabumi)

Nama : Fahmi Hakim NIM : E351110031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Rinekso Soekmadi MScF Ketua

Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat MScF Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: (25 Agustus 2015)

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Strategi Kebijakan Dalam Restorasi Ekosistem di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Sukabumi) berhasil diselesaikan. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MScF. dan Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MScF. selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan selama penelitian berlangsung dan dalam penulisan tesis ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Ir. Haryanto R. Putro dan Teh Supriyatin atas kesediannya memberikan bantuan materi, moril dan lain-lain. Kepada Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, SKPD Pemerintahan Kabupaten Sukabumi, Kementerian Kehutanan, Gagat, Okta, Eka, Mey, Joko, Dita, Yohana, Lintang, Septian, Dr. Ir. Tutut Sunarminto, MSi. yang telah banyak membantu dan memberikan nasihat selama pengumpulan data serta penyelesaian tesis. Ungkapan terima kasih dan sayang juga disampaikan kepada ayah, ibu, papa, mama, keluarga, istriku tercinta dan buah hati kita Maryam, seluruh keluarga besar Divisi Manajemen Kawasan Konservasi serta sahabat-sahabat terbaik saya atas segala doa dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Kerangka Pikir Penelitian 4

2 METODE PENELITIAN 5

Lokasi dan Waktu 5

Jenis Data yang Dikumpulkan 6

Metode Pengumpulan Data 6

Analisis Data 8

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Tinjauan Kebijakan dan Regulasi Restorasi Ekosistem 9 Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Terkait Restorasi Ekosistem 16 Opsi Strategi Kebijakan Restorasi di Koridor Halimun Salak 40

4 SIMPULAN DAN SARAN 49

Simpulan 49

Saran 49

DAFTAR PUSTAKA 50

LAMPIRAN 53

(14)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan metode pengumpulan data penelitian 7 2 Pemangku kepentingan restorasi ekosistem kawasan TNGHS di

wilayah Kabupaten Sukabumi 16

3 Program pemberdayaan masyarakat dan program peningkatan kesadaran lingkungan pada beberapa lembaga pemerintah 23 4 Program peningkatan kapasitas SDM dan pembangunan infrastruktur

pedesaan pada beberapa lembaga pemerintah 24

5 Program pemberdayaan masyarakat dan program peningkatan kesadaran lingkungan pada beberapa lembaga BUMN dan swasta 27 6 Program peningkatan kesehatan masyarakat, peningkatan SDM dan

pembangunan infrastruktur pedesaan pada lembaga BUMN/Swasta 28 7 Lembaga swasta yang bersedia memberikan imbal jasa dan/atau

bantuan permodalan 29

8 Program pemberdayaan masyarakat dan program peningkatan kesadaran lingkungan pada organisasi non pemerintah dan lembaga

pendidikan 30

9 Program peningkatan kesehatan masyarakat, peningkatan SDM dan pembangunan infrastruktur pedesaan pada organisasi non pemerintah

dan lembaga pendidikan 32

10 Peran yang telah dilakukan dan/atau dapat didorong dari lembaga

pemerintah dalam restorasi ekosistem 33

11 Peran yang telah dilakukan dan/atau dapat didorong dari BUMN dan

swasta dalam restorasi ekosistem 35

12 Peran yang telah dilakukan dan/atau dapat didorong organisasi non pemerintah dan lembaga pendidikan dalam restorasi ekosistem 36

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 5

2 Lokasi penelitian 6

3 Matriks kepentingan dan pengaruh lembaga pemerintah, lembaga BUMN dan swasta, serta lembaga pendidikan dan organisasi non pemerintah terhadap restorasi ekosistem di kawasan KHS 38

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan salah satu dari 50 TN di Indonesia dan memiliki karakter yang unik dengan adanya koridor yang menggabungkan dua ekosistem pegunungan dan melingkupi dua provinsi dengan luas total 113.357 ha. Sejarah Koridor Halimun Salak (KHS) dimulai dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 dengan luas 40.000 ha sebagai Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), lalu tanggal 23 Maret 1997 resmi ditetapkan sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan (UPT BTNGH) (Yelin 2014). Oleh karena kondisi sumber daya hutan yang semakin terancam rusak dan dorongan para pihak yang peduli terhadap konservasi keanekaragaman hayati, pada tahun 2003 kawasan Halimun ditambahkan areanya dengan memasukkan kawasan hutan Gunung Salak dan Gunung Endut yang status sebelumnya merupakan hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani diubah fungsinya menjadi hutan konservasi, dimasukkan ke dalam satu pengelolaan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) melalui SK Menteri Kehutanan nomor 175/Kpts-II/2003 dengan luas total 113.357 ha pada tanggal 10 Juni 2003 (Ekayani et al. 2014). Berdasarkan penyatuan tersebut, terbentuk koridor yang menghubungkan G. Halimun dan G. Salak sehingga menjadi hamparan kesatuan lanskap kawasan hutan pegunungan.

Koridor Halimun-Salak (KHS) dengan luas total 4206.18 ha dan lebar rata-rata kurang dari 1.69 km menjadikan kedua gunung tersebut sebagai kesatuan bentang alam dengan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Pulau Jawa. Kondisi tutupan lahan di KHS anatara lain: adalah semak belukar 1484.53 ha (35.29 %), Hutan Primer 268.56 ha (6.38 %), Hutan Sekunder 759.06 ha (18.05 %), Kebun Campuran 186.13 ha (4.40 %), Hutan Tanaman 42.05 ha (1.00 %), Pertanian Lahan Kering 512.48 (12.18 %), Perkebunan Teh 514.63 ha (12.24 %), Perkampungan 24.90 ha (0.59 %) dan lain-lain. Koridor Halimun Salak merupakan hulu dari dua DAS, yaitu DAS Cianten dan DAS Citarik. Jenis flora langka seperti Awi Sengkol, dan Palahlar; jenis fauna langka seperti Owa Jawa, Macan Tutul dan Elang Jawa. KHS menyimpan sebanyak 15 jenis burung yang dilindungi menurut PP No. 7 tahun 1999, bahkan enam jenis diantaranya termasuk terancam punah berdasarkan IUCN Redlist. Secara administratif, wilayah KHS terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor. KHS bagian Kabupaten Sukabumi terdiri dari tiga desa di Kec. Kabandungan, yaitu Desa Cihamerang, Desa Cipeuteuy dan Desa Kabandungan. Secara umum, mata pencaharian penduduk di sekitar KHS adalah sebagai pekerja perkebunan teh, petani (sawah atau kebun), pedagang, buruh bangunan, dan pekerja luar daerah (BTNGHS 2009).

(16)

2

lama digunakan oleh masyarakat untuk aktivitas pertanian, sehingga dengan perluasan kawasan akan berdampak pada hilangnya hak akses masyarakat untuk dapat menggarap lahan yang sudah digunakan untuk lahan pertanian dan menurut Yatap (2008) perluasan telah menimbulkan konflik pemilikan lahan dan sumber daya alam. Kemudian, Prasetyo dan Setiawan (2006), memperkirakan dalam kurun waktu 1989 – 2004 telah terjadi deforestasi di kawasan TNGHS sebesar 25% atau berkurangnya luas hutan alam sebesar 22.000 ha. Carolyn et al. (2013) menambahkan bahwa antara tahun 2003 – 2011 telah terjadi degradasi sebesar 7.319 ha dan deforestasi sebesar 189.9 ha di kawasan TNGHS yang disebabkan karena laju perubahan lahan non pertanian dan laju pertumbuhan penduduk dalam kawasan. Koridor Halimun-Salak sendiri hanya menyisakan hutan primer seluas 268.56 ha (6.38%) dan hutan sekunder seluas 759.06 ha (18.05 %) dari luas total KHS 4206.18 ha dari luas total di atas teridentifikasi semak belukar 1484.53 ha (35.29%) (BTNGHS 2009).

Degradasi dan deforestasi yang terus berlanjut akan berdampak signifikan pada kerusakan ekosistem di kawasan konservasi TNGHS. Upaya pemulihan ekosistem secara berkelanjutan sebagai bagian dari upaya mempertahankan gejala dan ekosistem alami diperlukan untuk memperbaiki kerusakan struktur dan fungsi dari ekosistem alami dan keanekaragaman hayati di TNGHS. The Society for Ecological Restoration/SER (2004) menjelaskan bahwa proses pemulihan suatu ekosistem yang telah terdegradasi, rusak atau hancur dinamakan dengan restorasi ekologi. Lamb (2003) juga menerangkan restorasi ekologi adalah pemulihan kembali struktur, produktivitas, dan keanekaragaman jenis asli dari hutan yang ada. Pada saatnya proses dan fungsi ekologi akan kembali sama seperti aslinya/kondisi hutan pada awalnya.

BTNGHS dalam upayanya merestorasi ekosistem di kawasannya memiliki fokus untuk melakukan upaya restorasi di Koridor Halimun-Salak yang menjadi penghubung dua ekosistem sehingga menjadi bentang lanskap yang esensial untuk

(17)

3 Perumusan Masalah

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai kawasan konservasi dengan tipe ekosistem pegunungan di wilayah Jawa Barat dan Banten memberikan peran dan manfaat strategis baik secara ekologi, jasa ekosistem maupun sosial ekonomi budaya bagi masyarakat dan stakeholders lainnya. Oleh karena itu, TNGHS menjadi sistem penyangga kehidupan dan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan bagi penerima manfaat di daerah tersebut. Namun, ancaman alih fungsi lahan, tingkat degradasi dan deforestasi hutan yang terus meningkat dapat menjadi penyebab rusak bahkan hilangnya ekosistem hutan serta keanekaragam hayati di kawasan TNGHS.

Program pemulihan ekosistem koridor TNGHS melalui pemulihan kembali struktur, produktivitas, dan keanekaragaman jenis asli agar fungsi ekologi serta jasa ekosistem dapat kembali dengan memerhatikan karakteristik lokal dan regulasi yang ada menjadi penting untuk dilakukan. Karakteristik lokal dan regulasi restorasi menjadi penting dalam keberlanjutan restorasi. Konsep restorasi untuk mengembalikan kepada kawasan ke kondisi semula dengan tidak memperhatikan aspek sosial ekonomi masyarakat dan ekologi di KHS akan berpotensi besar menimbulkan konflik, sehingga kondisi yang diharapkan dapat terjadi setelah terjadi restorasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Hutan alam seperti kondisi awal kawasan sebelum ada alih fungsi dan pemukiman; 2) Mengembalikan hutan sekunder dan hutan produksi kepada fungsi konservasi dengan pemanfaatan terbatas; 3) Luasan hutan yang berbatasan langsung dengan masyarakat terjaga melalui pemberdayaan dan pembinaan masyarakat. Melalui upaya ini, kerusakan yang terjadi tidak semakin meluas dan fungsi TNGHS sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta kawasan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat tetap terjaga. Guna mewujudkan keberhasilan jangka panjang aksi restorasi di TNGHS perlu mendorong pemangku kepentingan dan lembaga/institusi yang lain untuk melakukan inisiatif kegiatan restorasi.

Wilayah Kabupaten Sukabumi sebagai bagian dari kawasan TNGHS juga mengalami ancaman kelestarian dan tantangan pengelolaan yang perlu mendapatkan perhatian. Untuk merumuskan strategi kebijakan aksi restorasi yang berkelanjutan, penelitian ini melihat pemetaan kelembagaan melalui identifikasi aktor-aktor, memetakan kepentingan dan pengaruh institusi/aktor serta peraturan perundangan terkait restorasi. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:

a. Siapa saja aktor dalam aksi restorasi di koridor TNGHS?

b. Bagaimana kepentingan dan pengaruh aktor dalam aksi restorasi di koridor TNGHS?

(18)

4

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi dan memetakan aktor-aktor dalam aksi restorasi di kawasan TNGHS, wilayah Kabupaten Sukabumi.

2. Menyusun opsi-opsi kebijakan dalam aksi restorasi di kawasan TNGHS, wilayah Kabupaten Sukabumi.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan:

1. Input bagi pengelola taman nasional dalam menyusun kebijakan dan rencana aksi restorasi yang berkelanjutan.

2. Rekomendasi untuk mobilisasi para pihak dalam restorasi ekosistem di dalam kawasan taman nasional.

Kerangka Pikir Penelitian

Pengelola Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak memerlukan dukungan dan kerjasama dari semua pihak untuk dapat menanggulangi ancaman terhadap kawasan, deforestasi dan degradasi hutan. Keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak menuntut untuk dapat melakukan upaya-upaya kolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya. Upaya pemulihan ekosistem secara berkelanjutan sebagai bagian dari upaya mempertahankan gejala dan ekosistem alami diperlukan untuk memperbaiki kerusakan struktur dan fungsi dari ekosistem alami TNGHS dan keanekaragaman hayati di dalamnya agar tetap berada pada keadaan seimbang dan dinamis secara alami.

Kunci keberhasilan jangka panjang aksi restorasi di kawasan TNGHS dapat dilihat dari strategi kebijakan yang mampu mendorong pihak lain yang memiliki kapasitas dan/atau kepentingan di kawasan TNGHS melakukan inisiatif aksi restorasi baik karena mandat yang diikat regulasi atau secara sukarela. Hal tersebut merupakan bagian dari strategi mobilisasi sumber daya untuk mencapai tujuan pengelolaan. Untuk dapat merumuskan strategi tersebut diperlukan pemetaan pemangku kepentingan (stakeholder) atau aktor untuk mengetahui potensi, kapasitas dan hubungan antara para pihak serta tinjauan kebijakan yang menjadi dasar implementasi restorasi di taman nasional. Pemetaan pemangku kepentingan (stakeholder) dapat ditentukan dengan mengetahui kepentingan dan pengaruh

(19)

5 Pemetaan aktor restorasi ekosistem kawasan TNGHS pada dasarnya merupakan upaya untuk memahami distribusi dan relasi kekuatan (power relation) berbagai aktor dalam konteks restorasi ekosistem di kawasan TNGHS. Untuk memahami hal tersebut konsep restorasi yang dapat menjadi solusi pemulihan ekosistem untuk mengembalikan kepada kondisi semula dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial ekonomi dan kebijakan-kebijakan baik pusat maupun daerah yang menjadi dasar pelaksanaan dan menghambat aksi restorasi serta stakeholders

yang memiliki kepentingan dan pengaruh menjadi fokus pemetaan untuk dapat merumuskan opsi kebijakan dalam restorasi ekosistem di TNGHS. Adapun alur kerangka pemikiran tersaji dalam Gambar 1.

Opsi-Opsi Kebijakan dalam Restorasi Ekosistem di TNGHS

Kebijakan Daerah Kepentingan Kebijakan Pusat

Analisis Stakeholder Pemetaan Aktor

Kebijakan Stakeholder

Analisis Kebijakan

Pengaruh

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

2

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

(20)

6

Gambar 2 Lokasi penelitian

Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder. Data primer meliputi identitas,kepentingan yang dapat dilihat berdasarkan program dan kegiatan stakeholders dalam aksi restorasi, kesediaan dukungan terhadap aksi restorasi. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain: kondisi fisik Koridor Halimun-Salak, dokumen kebijakan (termasuk peraturan perundang-undangan), dokumen resmi TNGHS, laporan dan hasil penelitian dari berbagai pihak serta data lembaga yang terlibat dengan aksi restorasi di kawasan TNGHS.

Data tersebut akan digunakan dalam pemetaan dan analisis kebijakan untuk menggambarkan tingkat kepentingan dan pengaruh aktor dalam aksi restorasi di TNGHS dan menggambarkan hubungan antar aktor serta melihat alternatif-alternatif kebijakan yang dapat digunakan dalam mewujudkan restorasi ekosistem yang berkelanjutan.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data primer terbagi menjadi wawancara, pengamatan langsung dan studi pustaka.

1. Wawancara

(21)

7 2. Pengamatan Langsung

Pengamatan langsung dilakukan dengan mengamati fenomena lapang untuk mengecek silang data literatur dan wawancara. Pengamatan dilakukan dengan memperhatikan dan mempelajari fenomena yang terjadi di keseharian dengan mengandalkan penilaian peneliti untuk mengevaluasi secara sederhana kebenaran dari data yang diperoleh melalui wawancara maupun studi pustaka. 3. Studi pustaka

Studi pustaka dilakukan terhadap penelitian terdahulu, dokumen pengelolaan dan pustaka lain yang terkait dengan bahasan. Studi pustaka tidak hanya dilakukan di BTNGHS tetapi juga terhadap publikasi ilmiah terkait dan berbagai bentuk informasi yang dapat ditemukan.

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka dan data lain yang dapat menunjang penelitian. Data sekunder dalam hal ini dimaksudkan untuk membantu dalam memahami konteks yang akan dikaji, memperjelas konteks kajian dan membantu dalam memformulasikan alternatif kebijakan aksi restorasi. Adapun jenis data dan metode pengumpulannya berdasarkan tujuan penelitian disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data penelitian

No. Jenis Data Variabel Sumber Data Visi misi, tupoksi, program; Program aktor yang berhubungan

Pengelolaan taman nasional Restorasi secara umum dan di

kawasan konservasi/TN  Peran pihak lain dalam

pengelolaan taman nasional Kepemilikan lahan di kawasan

(22)

8

Wawancara dilakukan untuk memperoleh data program-program yang dapat mendukung aksi restorasi, potensi sumber pendanaan terhadap aksi restorasi dan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan protokol pemetaan kelembagaan serta kesediaan untuk memberikan dukungan terhadap aksi restorasi di TNGHS.

Analisis Data

Analisis deskriptif kualitatif dilakukan baik terhadap data primer maupun sekunder. Pada tahap awal, analisis data kualitatif terhadap data sekunder lebih difokuskan dalam penetapan daftar lembaga yang potensial sebagai aktor restorasi ekosistem lalu menjadi target survei. Analisis kualitatif terhadap data primer hasil wawancara dengan responden diarahkan untuk dapat menentukan aktor kunci (key players) restorasi ekosistem KHS. Analisis diawali dengan pencermatan terhadap lanskap institusi pada berbagai tingkat tata kelola.

Analisis stakeholders dilakukan untuk mengetahui kepentingan, pengaruh dan klasifikasi stakeholders dalam restorasi ekosistem kawasan TNGHS, lalu dikategorikan dengan bentuk penyajian matriks pengaruh dan kepentingan disusun untuk mengklasifikasikan stakeholders ke dalam key players, context setters,

subjects, dan crowd (Bryson (2004); Reed et al. (2009). Key player merupakan

stakeholders yang aktif karena mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi.

Context setters memiliki pengaruh yang tinggi tetapi kepentingan terhadap keberhasilan program kecil. Oleh karena itu, Context setter dapat menjadi resiko yang signifikan sehingga harus dipantau. Subjects memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap dampak mungkin tidak ada. Namun, Subjects dapat menjadi berpengaruh jika membentuk aliansi dengan stakeholders lainnya. Crowd merupakan

stakeholders yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan.

Analisis stakeholders dimulai dengan identifikasi stakeholders, penilaian atribut stakeholders, dan menyusun analisis. Setelah stakeholders teridentifikasi, maka langkah selanjutnya yaitu mengkaji kepentingan (interest) dan pengaruh (influence). Langkah selanjutnya yaitu mengelompokkan dan membedakan antar

stakeholders berdasarkan posisinya terkait kepentingan dan pengaruhnya dalam restorasi ekosistem TNGHS. Pada analisis ini digunakan tiga klasifikasi untuk menentukan tingkat kepentingan pemangku kepentingan terhadap aksi restorasi, yaitu (1) Tidak memiliki program aksi restorasi; (2) Memiliki program namun belum berjalan; (3) Memiliki program dan berjalan.

(23)

9

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinjauan Kebijakan dan Regulasi Restorasi Ekosistem Kebijakan dan Regulasi Nasional

Konsep implementasi restorasi ekosistem di Indonesia masih tergolong baru dalam upaya pemulihan kondisi ekosistem yang rusak. konsep restorasi cenderung disamakan dengan konsep rehabilitasi hutan. Padahal, konsep restorasi ekosistem berbeda dengan konsep rehabilitasi hutan yang tujuannya hanya memperbaiki fungsi dan produktivitas hutan tanpa harus membandingkan dengan kondisi semula (asli) ketika hutan belum mengalami kerusakan (Wali 1992 dalam Gunawan 2012). Restorasi ekologi hutan bertujuan untuk memulihkan struktur, komposisi, fungsi, dan produktivitas hutan seperti keadaan sebelum hutan mengalami kerusakan (ITTO 2002; Lamb 2003). Tujuan dalam rehabilitasi hutan hampir mendekati tujuan yang diharapkan pada restorasi ekosistem dalam hal kepentingan pemulihan kondisi ekosistem, namun dalam kegiatan restorasi ekosistem tidak dapat mengembalikan keseluruhan jenis yang dahulu pernah berada di hutan sebelum deforestasi terjadi.

Kebijakan restorasi ekosistem secara khusus muncul pada Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmen) No. 159 Tahun 2004 tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi. Regulasi tersebut menyampaikan bahwa latar belakang kebijakan restorasi ekosistem di hutan produksi adalah: a) degradasi sumber daya hutan cenderung terus meningkat sehingga perlu upaya pemulihan melalui rehabilitasi dan konservasi serta pemanfaatan berkelanjutan; b) upaya pemulihan tersebut dilaksanakan dalam bentuk restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi. Kegiatan restorasi ekosistem di Hutan Produksi bertujuan untuk kembali mencapai keseimbangan hayati melalui pemulihan unsur biotik serta unsur abiotik pada kawasan hutan produksi. Pasal 1 pada peraturan tersebut mendefinisikan keseimbangan hayati merupakan proses interaksi antara unsur biotik maupun abiotik yang dapat menunjang kehidupan. Oleh karena itu melalui pemulihan ekosistem hutan produksi diharapkan kondisi ekologi hutan dapat kembali ke potensi optimalnya. Peraturan di tingkat Kementerian Kehutanan tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 juncto PP Nomor 3 Tahun 2008 yang memuat UPHHK-RE sebagai tipe pengelolaan hutan produksi yang baru bersama dengan Hutan Alam Produksi dan Hutan Tanaman. Hierarki peraturan yang lebih tinggi dari PP mengenai Restorasi ada pada Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 32/2009 mendefinisikan Restorasi sebagai upaya pemulihan untuk menjadikan lingkungan hidup atau bagian-bagiannya berfungsi kembali sebagaimana semula. Kemudian, pasal 54 menjelaskan bahwa restorasi menjadi salah satu tahapan dalam pemulihan fungsi lingkungan hidup.

(24)

10

hutan konservasi baru muncul secara eksplisit dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), akan tetapi belum diikuti oleh peraturan pelaksanaan yang lebih teknis. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 pasal 25 disebutkan pengawetan merupakan salah satu bentuk dalam penyelenggaraan KSA dan KPA termasuk kegiatan pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa beserta habitatnya, penetapan koridor kehidupan liar, pemulihan ekosistem dan penutupan kawasan. Pemulihan ekosistem pada pasal 25 huruf c, dilakukan untuk memulihkan struktur, fungsi, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya guna memperkuat sistem pengelolaan kawasan yang dilindungi. Pasal 29 mengatur lebih lanjut mengenai pemulihan ekosistem dilakukan dengan cara, antara lain:

a. Mekanisme alam dilakukan dengan menjaga dan melindungi ekosistem agar proses pemulihan ekosistem dapat berlangsung secara alami (Pasal 29 ayat 3); b. Rehabilitasi dilakukan melalui penanaman atau pengkayaan jenis dengan jenis tanaman asli atau pernah tumbuh secara alami di lokasi tersebut (Pasal 29 ayat 4; dan

c. Restorasi dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, penanaman, pengkayaan jenis tumbuhan dan satwa liar, atau pelepasliaran satwa liar hasil penangkaran atau relokasi satwa liar dari lokasi lain (pasal 29 ayat 5).

Penjelasan Pasal 29, pemulihan ekosistem dilakukan setelah melalui suatu pengkajian dan studi mendalam bersama kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan instansi terkait lainnya, serta dalam pelaksanaannya harus menggunakan komponen spesies asli setempat yang diarahkan untuk mampu mengembalikan struktur, fungsi, dinamika populasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya guna memperkuat sistem pengelolaan kawasan yang dilindungi. Kemudian, pada Pasal 30 diatur bahwa rehabilitasi dan restorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dapat dilakukan oleh badan usaha; dimana badan usaha harus memperoleh izin dari Menteri. Kegiatan pemulihan ekosistem berupa restorasi oleh badan usaha dilakukan untuk tujuan percepatan tercapainya keseimbangan alam hayati dan ekosistemnya (penjelasan Pasal 30). Terkait dengan pendanaan kegiatan pemulihan ekosistem, PP No. 28/2011 pasal 48 menyebutkan bahwa pendanaan pengelolaan KSA dan KPA bersumber dari dana APBN dan APBD dan sumber dana lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Dasar hukum lain yang sampai saat ini dijadikan sebagai acuan atau landasan penyelenggaraan restorasi di taman nasional adalah Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Peraturan tersebut menempatkan kegiatan rehabilitasi sebagai bagian dari pengelolaan hutan. Prinsip yang dipegang dalam penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan meliputi sistem penganggaran yang berkesinambungan, kejelasan kewenangan, pemahaman sistem tenurial, andil biaya (cost sharing), penerapan sistem insentif, pemberdayaan masyarakat dan kapasitas kelembagaan, pendekatan partisipatif, serta transparansi dan akuntabilitas. Adapun pendekatan yang digunakan meliputi aspek politik, sosial, ekonomi, ekosistem, dan kelembagaan dan organisasi. Sementara kriteria dan standar dalam penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan meliputi aspek kawasan, kelembagaan, dan teknologi.

(25)

11 penghargaan. Peraturan teknis yang menjelaskan mekanisme insentif terdapat pada Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 9 tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung dan Pemberian Insentif Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Dalam Peraturan Menteri tersebut Penanaman RHL di hutan konservasi dilakukan dalam bentuk kegiatan Reboisasi yang dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi sumber daya hutan dan lahan baik fungsi produksi, fungsi lindung maupun fungsi konservasi. Selain itu terdapat kegiatan pendukung RHL untuk meningkatkan peluang keberhasilan melalui: a. Pengembangan perbenihan; b. Pengembangan teknologi RHL; c. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan; d. Penyuluhan; e. pelatihan; f. Pemberdayaan masyarakat; g. Pembinaan; dan/atau h. Pengawasan.

Teknis pelaksanaan RHL diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bina Pengelolaan Daerah Airan Sungai dan Perhutanan Sosial (BPDASPS) No. P.1/V-Set/2013 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Pada Bab IV lampiran Perdirjen BPDASPS No. 1 tahun 2013 ini memuat teknis reboisasi secara umum bertujuan mengembalikan fungsi hutan baik sebagai fungsi perlindungan, konservasi sumber daya alam maupun fungsi produksi. Lokasi kegiatan rehabilitasi hutan dilaksanakan pada hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak atau tidak dalam proses perijinan/pencadangan areal untuk Hutan Tanaman Industri (HTI)/Hutan Tanaman Rakyat (HTR), serta hutan konservasi. Rehabilitasi kawasan hutan konservasi maupun hutan lindung dilakukan dengan menanam berbagai jenis. Hal ini dimaksudkan agar fungsi konservasi ataupun lindung dapat tercapai secara optimal.

Rehabilitasi pada hutan konservasi bertujuan mempertahankan dan meningkatkan keanekaragaman dan kelestarian flora dan fauna serta pembinaan habitat. Sasaran lokasinya diutamakan pada lahan kritis dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada rencana pengelolaan RHL. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat. Kriteria jenis tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi hutan konservasi antara lain:

1. Berdaur panjang; 2. Perakaran dalam;

3. Evapotranspirasi rendah;

4. Anakan/biji/stek berasal dari jenis endemik baik kayu-kayuan maupun jenis tanaman serbaguna (multi purpose tree species/MPTS), atau dari lokasi lain dengan jenis yang sama.

Saat ini, kebijakan yang biasa digunakan dalam upaya pemulihan (rehabilitasi) hutan di Indonesia adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/Gerhan). Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan ini merupakan program nasional yang dikelola secara terpusat. Program GNRHL/Gerhan dicanangkan oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2003 untuk menanggapi perlunya rehabilitasi karena wilayah hutan yang terdegradasi bertambah luas. Program Gerhan dianggap sebagai kegiatan strategis nasional untuk memulihkan dan memperbaiki fungsi hutan dan lahan dengan tujuan supaya secara perlahan-lahan daya dukung hutan, produktivitas serta fungsinya dapat dipelihara untuk menyediakan manfaat bagi manusia.

(26)

12

kepentingan dari tingkat kabupaten hingga tingkat pusat. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Perhutanan Sosial (sekarang Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial/BPDASPS) yang dibantu oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) di daerah bertanggung jawab atas perencanaan dan pengembangan teknis. UPT merupakan unit teknis terkecil yang bertugas melaksanakan pengelolaan proyek di lapangan. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS), sebagai salah satu UPT di bawah Ditjen BPDASPS, bertanggung jawab dalam pengadaan bibit di lapangan. BPDAS merupakan instansi pelaksana utama program rehabilitasi hutan dan lahan di lapangan karena Daerah Aliran Sungai (DAS) ditetapkan sebagai unit perencanaan, pengelolaan dan pengawasan.

Kebijakan dan Regulasi Tingkat Provinsi

Pada level sub-nasional atau tingkat Provinsi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelestarian dan Pengendalian Pemanfaatan Kawasan Lindung termasuk kawasan yang berfungsi lindung di dalam kawasan hutan. Salah satunya adalah hutan konservasi. Peraturan daerah No. 1 tahun 2011 ini diantaranya mengatur mengenai pemulihan kawasan lindung serta peran dunia usaha dan masyarakat. Pasal 17 mengatur bahwa setiap pemanfaat kawasan lindung yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan di kawasan lindung, wajib melakukan pemulihan guna mengembalikan fungsi kawasan lindung, melalui:

a. Rehabilitasi, yaitu upaya pemulihan untuk mengembalikan nilai, fungsi, dan manfaat kawasan lindung termasuk upaya pencegahan kerusakan lahan, memberikan perlindungan, dan memperbaiki ekosistem;

b. Restorasi, yaitu upaya pemulihan untuk menjadikan kawasan lindung atau bagian-bagiannya berfungsi kembali sebagaimana semula;

c. Remediasi, yaitu upaya pemulihan pencemaran kawasan lindung untuk memperbaiki mutu kawasan lindung,dan/atau

d. Cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemulihan kawasan lindung dilakukan melalui tahapan: a) identifikasi lokasi, penyebab, besaran pencemaran dan/atau kerusakan dan perubahan fungsi ekosistem; b) pemilihan metode pemulihan; c) penyusunan rencana pelaksanaan pemulihan; dan d) penyusunan dan penyampaian laporan pelaksanaan pemulihan kawasan lindung. Biaya pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan kawasan lindung menjadi tanggung jawab pencemar dan/atau perusak kawasan lindung, yakni pemanfaat kawasan lindung yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan di kawasan lindung sejak berakhirnya masa penanggulangan, tidak melakukan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan kawasan lindung, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya, menetapkan pihak ketiga untuk melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan kawasan lindung atas beban biaya pencemar dan/atau perusak. Adapun tata cara pemulihan kawasan lindung sebagaimana dimaksud masih harus diatur lagi melalui Peraturan Gubernur dan/atau Peraturan Bupati/Walikota sesuai kewenangannya, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(27)

13 Pasal 41). Peran dunia usaha dalam pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung adalah:

a. Melakukan upaya preemtif dan preventif;

b. Memberikan kontribusi dalam pemulihan kawasan lindung;

c. Bermitra usaha dengan masyarakat setempat dalam pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung;

d. Meningkatkan nilai ekonomi dari keberadaan kawasan lindung yang berfungsi ekologis; dan/atau

e. Menaati ambang batas, daya dukung dan daya lenting lingkungan.

Peran masyarakat dalam pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung, antara lain:

a. Menjadi pelaku di lapangan untuk upaya pemulihan kawasan lindung yang kritis di daerahnya;

b. Menjaga dan melestarikan kawasan lindung di daerahnya; c. Memelihara kawasan lindung di daerahnya;

d. Merumuskan, menentukan dan mengaktualisasikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat;

e. Meningkatkan nilai ekonomi dari keberadaan kawasan lindung yang berfungsi ekologis;

f. Berperan aktif dalam mengawasi masyarakat sekitar kawasan lindung yang ingin memanfaatkan kekayaan kawasan lindung bagi kepentingannya; dan/atau g. Berperan aktif dalam mengawasi para pendatang baik pengusaha maupun

masyarakat yang berusaha di bidang kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, perikanan, pertambangan, dan pariwisata, agar kegiatannya tetap mematuhi ketentuan mengenai pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung.

Sebelum ditetapkannya perda mengenai Pedoman Pelestarian dan Pengendalian Pemanfaatan Kawasan Lindung, Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan diatur dalam Perda Provinsi Jawa Barat No. 19 Tahun 2001 tentang Pengurusan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 8 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 19 Tahun 2001 tentang Pengurusan Hutan. Penggunaan kawasan hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif. Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dilakukan disemua hutan dan kawasan hutan serta penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.

(28)

14

peduli rehabilitasi lahan kritis. Adapun sumber pembiayaannya dapat berasal dari APBN, APBD Provinsi serta APBD Kabupaten/Kota; sumber dana masyarakat sebagai kegiatan swadaya; sumber dana BUMN/BUMD/Perusahaan Swasta; dan sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat.

Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2011 juga mengatur mengenai rehabilitasi dan reklamasi hutan, dimana rehabilitasi dan reklamasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan perannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan di semua fungsi hutan dan kawasan hutan yang menjadi areal kegiatan kemitraan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik biofisik dan sosial ekonomi masyarakat desa hutan. Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan kegiatan kemitraan dalam rangka perlindungan masyarakat desa hutan melalui pelibatan masyarakat desa hutan. Tujuan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan adalah:

a. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan keberdayaan masyarakat desa hutan secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial, budaya dan ekonomi serta ketahanan lingkungan;

b. Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan masyarakat desa hutan;

c. Mengoptimalkan fungsi hutan negara dan hutan hak yang meliputi fungsi produksi, fungsi lindung dan fungsi konservasi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari;

d. Meminimalisasi konflik pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan; dan e. Menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat akan hasil hutan.

Sasaran dari perlindungan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan adalah: a. Meningkatnya sinergitas, peran dan tanggungjawab pengelola hutan, dan

pihak-pihak yang berkepentingan lainnya dalam pemberdayaan masyarakat desa hutan di wilayah kerjanya;

b. Meningkatnya peran dan partisipasi masyarakat desa hutan terhadap perlindungan dan pelestarian sumber daya hutan;

c. Meningkatnya keberdayaan masyarakat desa hutan melalui pemberian fasilitasi dan insentif yang memadai sesuai dengan potensi dan kebutuhan pengembangan usaha masyarakat;

d. Terselesaikannya konflik penggunaan sumber daya hutan dan lahan; dan e. Terwujudnya aliansi strategis di antara para pemangku kepentingan. Kebijakan dan Regulasi di Kabupaten Sukabumi Terkait Restorasi

(29)

15 yang lebih umum, seperti kebijakan dan regulasi mengenai tata ruang dan urusan pemerintahan Kabupaten Sukabumi.

Perencanaan tata ruang Kabupaten Sukabumi sebagaimana Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 22 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi Tahun 2012-2032, rehabilitasi merupakan satu bagian dari strategi penataan ruang. Salah satu kebijakan penataan ruang Kabupaten Sukabumi adalah pencapaian luas kawasan lindung hutan dan non hutan, strategi tersebut meliputi:

a. Menetapkan kawasan-kawasan di luar kawasan hutan yang mempunyai fungsi lindung menjadi kawasan lindung;

b. Meningkatkan fungsi kawasan lindung;

c. Memulihkan secara bertahap kawasan lindung yang telah berubah fungsi; dan d. Membatasi pengembangan prasarana wilayah di sekitar kawasan lindung.

Pengembangan kawasan lindung merupakan perwujudan kawasan lindung, termasuk di dalamnya pengembangan kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya. Hal ini diwujudkan dengan indikasi program-program meliputi:

a. Penetapan kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya; b. Mempertahankan flora dan fauna;

c. Mereboisasi kawasan;

d. Pelestarian kawasan pantai berhutan bakau; e. Pelestarian wisata alam dan wisata alam laut; f. Mempertahankan taman nasional;

g. Pengembangan taman wisata alam dan wisata alam laut; dan h. Pelestarian cagar budaya dan ilmu pengetahuan.

Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 17 Tahun 2007 mengatur tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Sukabumi. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna merupakan satu sub bidang yang menjadi kewenangan pemerintah Kabupaten Sukabumi. Pada sub sub bidang fasilitas konservasi dan rehabilitasi lingkungan, kewenangan pemerintah Kabupaten Sukabumi meliputi:

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten.

2. Pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten.

(30)

16

Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Terkait Restorasi Ekosistem

TNGHS sebagai Kawasan Pelestarian Alam merupakan kawasan ekologi yang berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan dengan fokus pengelolaan untuk mempertahankan ekosistem hutan pegunungan Jawa Barat yang unik dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Tujuan pengelolaan TNGHS sebagai sistem penopang kehidupan dapat dicapai dengan memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pengelolaannya disusun dan dijalankan berdasarkan pada proses partisipasi publik yang berkelanjutan melalui konsep pengelolaan kolaboratif.

Keberadaannya TNGHS yang merupakan bagian dari suatu wilayah yang lebih luas maka berrgantung pada kepedulian masyarakat yang berada di sekitarnya dan kepedulian dari lembaga terkait. Oleh karena itu, keberhasilan pengelolaan TNGHS diperlukan komitmen Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan para pemangku kepentingan lainnya dengan dukungan dana, IPTEK dan SDM yang memadai. Komitmen ini juga diperlukan untuk pemulihan sebagian dari kawasannya yang terdegradasi.

Berdasarkan hasil observasi lapang, penelusuran data dan wawancara terhadap 56 responden (perwakilan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah (provinsi & kabupaten), LSM/organisasi masyarakat, sektor swasta, lembaga pendidikan dan penelitian) dapat identifikasi pemangku kepentingan dalam restorasi ekosistem kawasan TNGHS di wilayah Kabupaten Sukabumi seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Pemangku kepentingan restorasi ekosistem kawasan TNGHS di wilayah Kabupaten Sukabumi

Kategori Organisasi/Institusi Kepentingan

Pemerintah Pusat 1. Kementerian Kehutanan a. Direktorat Jenderal PHKA

– Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung (Sub Direktorat KPA dan Taman Buru dan Sub Direktorat Bina Daerah

– Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan

– Subdirektorat Bina Daerah Penyangga, Dir. KKBHL

Pengelolaan daerah penyangga di Kawasan Konservasi

(31)

17 Tabel 2 Pemangku kepentingan restorasi ekosistem kawasan TNGHS di wilayah

Kabupaten Sukabumi (lanjutan)

Kategori Organisasi/Institusi Kepentingan

b. Direktorat Jenderal BPDASPS – Direktorat Bina Rehabilitasi

Hutan dan Lahan

(Subdirektorat Rehabilitasi Hutan)

Pemulihan/rehabilitasi hutan

– Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Hutan

Perbenihan tanaman hutan

– Balai Perbenihan Tanaman Hutan Wilayah Jawa dan Madura

Perbenihan tanaman hutan

– Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

3. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jawa Barat.

Tanggung jawab pengelolaan

Pemerintah Provinsi 1. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Provinsi Jawa Barat

Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat

Pengendalian kawasan, kelestarian sumber daya alam dan ekosistem 3. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa

(32)

18

Tabel 2 Pemangku kepentingan restorasi ekosistem kawasan TNGHS di wilayah Kabupaten Sukabumi (lanjutan)

Kategori Organisasi/Institusi Kepentingan

2. Badan Lingkungan Hidup 5. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten

Sukabumi 7. Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Sukabumi

Pengembangan kehutanan dan perkebunan,

kesejahteraan masyarakat sekitar hutan

8. Dinas Tata Ruang, Pemukiman dan Kebersihan Kabupaten Sukabumi Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sukabumi

Pengembangan manajemen pariwisata, kelestarian obyek wisata

10. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Sukabumi Swasta & BUMN 1. PT. Perhutani KPH Sukabumi Investasi, pendapatan,

keberlanjutan Usaha, kelestarian lingkungan sekitar wilayah kerja, kesejahteraan masyarakat sekitar wilayah kerja 2. PT. Selaras Kaki Langit Inti Prima

3. PT. Caldera Indonesia 4. PT. Lintas Jeram Nusantara 5. PT. Lodges Ekologika 6. Arus Liar

(33)

19 Tabel 2 Pemangku kepentingan restorasi ekosistem kawasan TNGHS di wilayah

Kabupaten Sukabumi (lanjutan)

Kategori Organisasi/Institusi Kepentingan

8. PT. Tirta Investama (Danone Aqua Group)

9. PT. Chevron Geothermal 10. PT. Antam, Tbk

11. PT. Amerta Indah Otsuka (Pocari Sweat)

12. PT. Indonesia Power

13. PT. Sariwangi AEA (Perkebunan teh Nirmala)

14. PTPN VIII (Perkebunan teh Cianten)

15. PT. Rimbawan Bangun Lestari (SMG)

Lembaga Pendidikan & Penelitian

1. Institut Pertanian Bogor Pengembangan Ilmu

Pengetahuan dan teknologi,

c. Uni Konservasi Fauna (UKF) 2. Universitas Nusa Bangsa

a. Program Studi Kehutanan LSM/Organisasi

Kemasyarakatan

1. Jaringan Masyarakat Hutan Koridor (JARMASKOR)

9. Rimbawan Muda Indonesia (RMI) 10. P4S Nurul Amal

11. Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI)

Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian

Pemangku kepentingan dibuat seperti kelompok dalam Tabel 2 agar dapat mencerminkan ragam jawaban yang lebih representatif. Penggabungan tersebut adalah sebagai berikut: (a) Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah

kabupaten digabung menjadi satu kelompok dan disebut sebagai “lembaga pemerintah”, (b) Badan Usaha Milik Negara dan perusahaan swasta digabung dan

disebut sebagai “lembaga BUMN dan swasta”, dan (c) Organisasi non pemerintah

atau organisasi kemasyarakatan dan lembaga pendidikan/penelitian digabung

menjadi satu kelompok dan disebut sebagai “organisasi non pemerintah dan

(34)

20

Analisis Pemangku Kepentingan dilakukan tidak berdasarkan pada pendekatan otoritas atau kekuasaan legal yang diberikan oleh negara, tetapi menggunakan pendekatan menurut fungsi-fungsi dan realitas lapangan. Pendekatan ini menguntungkan pemangku kepentingan yang lemah menurut kekuasaan politik atau otoritas, tetapi menjalani peran dan fungsi penting dalam pemanfaatan sumber daya alam (local resource users). Pemangku-pemangku kepentingan restorasi ekosistem kawasan TNGHS tersusun atas kelompok pemerintah (pusat dan daerah), BUMN dan swasta, organisasi non pemerintah (LSM) (yang berlokasi di wilayah Kabupaten Sukabumi), serta lembaga pendidikan dan penelitian. Kelompok pemangku kepentingan yang teridentifikasi termasuk lengkap dan mewakili sektor-sektor yang berpotensi untuk membangun kemitraan dalam restorasi ekosistem.

Tabel 2 menunjukkan bahwa pemangku kepentingan restorasi ekosistem kawasan TNGHS bervariasi sesuai dengan motif, cakupan wilayah maupun orientasi tujuan. Tabel 2 juga menjelaskan adanya persamaan kepentingan antara para pemangku kepentingan dengan tujuan umum pengelolaan taman nasional. Persamaan kepentingan tersebut antara lain bertujuan untuk: 1) pelestarian kawasan; 2) pemanfaatan kawasan; dan 3) pendukung pengelolaan. Terdapat pemangku kepentingan yang ada pada dua kepentingan yang sama. Kesamaan kepentingan terletak pada aspek perlindungan kawasan dan pemanfaatan sumber daya alam secara ekonomi seperti pada kelompok pemerintah dan LSM.

Sikap dan Dukungan Para Pihak Terhadap Restorasi Ekosistem Kawasan TNGHS

Sikap dan Dukungan Lembaga Pemerintah

Jumlah responden untuk kategori lembaga pemerintah adalah 26 responden. Jumlah ini meliputi lembaga pemerintah pada tingkat kabupaten (Sukabumi), provinsi (Jawa Barat), dan nasional (pusat). Semua lembaga mengetahui pentingnya kegiatan restorasi ekosistem di kawasan TNGHS atau umumnya menggunakan istilah rehabilitasi atau dengan bahasa sederhana ‘Penanaman’. Namun, dikarenakan setiap lembaga pemerintah memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing, maka hanya lembaga yang memiliki tupoksi terkait restorasi ekosistem yang dapat melakukan kegiatan restorasi ekosistem seperti Balai TNGHS, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dan Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial). Kegiatan restorasi ekosistem oleh ketiga lembaga ini dilakukan bersama dengan pihak lain (TNI dan masyarakat). Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa kecuali BTNGHS tidak ada satu lembaga pun yang bersedia melakukan kegiatan restorasi ekosistem di kawasan TNGHS secara swadaya.

Sikap dan Dukungan Lembaga BUMN dan Swasta

(35)

21 Semua lembaga yang disurvei menyatakan tahu mengenai pentingnya restorasi ekosistem di kawasan TNGHS. Secara teori semua lembaga mendukung program restorasi ekosistem, namun pada prakteknya baru 6 lembaga diantaranya yaitu PT Indonesia Power, PT Tirta Danone, PT Antam Tbk, PT Rimbawan Bangun Lestari (SMG), PT Amerta Indah Otsuka (Pocari Sweet), dan PT Chevron yang pernah terlibat dalam kegiatan restorasi ekosistem di kawasan TNGHS dalam bentuk dukungan pendanaan. Kegiatan restorasi dilakukan bersama dengan pihak lain (BTNGHS, LSM, pemerintah daerah, atau perusahaan lain).

Tujuh lembaga dari 15 lembaga menyatakan bersedia melakukan kegiatan restorasi/pemulihan ekosistem di TNGHS secara swadaya. Lembaga yang dimaksud adalah PTPN VIII (perkebunan teh Cianten), Hejo Farm, PT Lodges Ecologica, PT Indonesia Power, PT Tirta Danone, PT Antam Tbk, dan PT Amerta Indah Otsuka (Pocari Sweet).

Sikap dan Dukungan LSM dan Lembaga Pendidikan

Total responden untuk kategori lembaga pendidikan dan organisasi non pemerintahan adalah 15 responden. Semua responden menyatakan pernah terlibat dalam kegiatan konservasi di kawasan TNGHS, baik secara formal maupun informal. Kegiatan yang dimaksud yaitu adopsi pohon, fasilitasi/pendampingan masyarakat, konservasi satwa, pelatihan, pengembangan ekonomi mikro, penelitian, penanaman pohon, pendidikan konservasi bagi masyarakat.

Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa lembaga-lembaga tersebut mendukung program restorasi ekosistem kawasan TNGHS, tetapi hanya empat lembaga yang menyatakan bersedia melakukan restorasi ekosistem secara swadaya. Lembaga-lembaga yang bersedia melakukan restorasi ekosistem secara swadaya adalah Kelompok Pelestari Lingkungan (Kopel), Jaringan Masyarakat Koridor (Jarmaskor), dan P4S Nurul Amal.

Sebagian besar lembaga pernah terlibat dalam kegiatan restorasi ekosistem bersama-sama dengan pihak lain seperti perusahaan, kelompok masyarakat, pemerintah desa, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, ataupun organisasi non pemerintah lainnya. Bentuk kegiatan yang dilaksanakan adalah penanaman, pendampingan dan penguatan kelembagaan masyarakat, perencanaan program dan koordinasi, ataupun dukungan pendanaan. Pada dasarnya semua lembaga mengetahui mengenai pentingnya kegiatan restorasi ekosistem di kawasan TNGHS, akan tetapi dukungan atau ketersediaan dana dan arah kebijakan lembaga menyebabkan mereka belum dapat melaksanakan restorasi ekosistem secara swadaya.

Kapasitas Para Pihak

(36)

22

infrastruktur, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan peningkatan kesadaran lingkungan.

Kapasitas Lembaga Pemerintah

Hakikat pembangunan yang sebenarnya adalah proses pembangunan yang memperhatikan terpenuhinya aspek-aspek pembangunan sumber daya manusia; yang terdiri dari: capacity (kemampuan untuk melakukan pembangunan), equity

(pemerataan hasil-hasil pembangunan), empowering (pemberdayaan melalui pemberian hak atau wewenang untuk menentukan hal-hal yang dianggap penting) dan sustainable (kemampuan untuk hidup terus). Hingga saat ini, kondisi kualitas sumber daya manusia Indonesia, terutama yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, belum dapat dikatakan lebih baik dibandingkan dengan masa sebelumnya.

Permasalahan kemiskinan di kawasan hutan yang besar mengharuskan adanya perhatian khusus pada kawasan hutan dan masyarakat yang tinggal di hutan dan daerah sekitar hutan. Pada prioritas pembangunan nasional, penanggulangan kemiskinan diarahkan pada upaya perluasan kesempatan berusaha dan peningkatan sinergi dan optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat. Kementerian Kehutanan bahkan menetapkan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan sebagai kebijakan prioritas. Pada dasarnya pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk.

Pemerintah sebagai penanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat juga memiliki tanggung jawab besar dalam upaya memikirkan dan mewujudkan terbentuknya pelestarian lingkungan hidup. Disamping pembangunan dengan dimensi sosial dan ekonomi, perencanaan pembangunan juga harus mencakup upaya-upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, penguatan peran kelompok-kelompok utama dalam masyarakat, serta penciptaan perangkat-perangkat lingkungan untuk pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Oleh karena itu lembaga-lembaga pemerintah harus menguatkan kapasitasnya yang terkait dengan lingkungan hidup.

(37)

23

Tabel 3 Program pemberdayaan masyarakat dan program peningkatan kesadaran lingkungan pada beberapa lembaga pemerintah

No. Nama Lembaga

Program Pemberdayaan Program LH

A B C D E F G H I J

1 TNGHS X X X X X X X

2 BPDAS Citarum-Ciliwung X X X X X X

3 Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi X X

4 Disparbudpora Kabupaten Sukabumi X X

5 BLH Kabupaten Sukabumi X

12 Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan & Perubahan Iklim, KemenLH

X

13 Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Hutan

X

14 Direktorat PJKKHL X X

15 Direktorat Bina Daerah Penyangga X X

Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian

Keterangan:

A = pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk pemanfaatan jasa lingkungan

B = pemberdayaan ekonomi masyarakat berupa kegiatan pengembangan wisata alam C = pemberdayaan ekonomi masyarakat berupa pemanfaatan HHBK

D = pemberdayaan masyarakat berupa pengolahan produk tertentu dari hasil sumber daya hutan atau pertanian

E = pemberdayaan masyarakat berupa pemanfaatan lahan di TNGHS

F = pemberdayaan masyarakat berupa pengembangan potensi ekonomi masyarakat yang tidak berbasis lahan di TNGHS

G = pemberdayaan masyarakat berupa pengembangan potensi ekonomi masyarakat berupa pemanfaatan lahan di luar kawasan TNGHS

H = peningkatan kesadaran atas bencana alam I = adaptasi/mitigasi bencana alam

J = pendidikan mengenai lingkungan/konservasi untuk masyarakat

Program pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk pemanfaatan jasa lingkungan yang sudah dikembangkan adalah pemanfaatan jasa lingkungan air. Sementara pemberdayaan ekonomi masyarakat berupa pengembangan wisata. Hasil hutan bukan kayu yang telah dikembangkan pemanfaatannya, yaitu kopal, jamur, lebah madu, sutera alam, dan kulit kayu. Beberapa produk hasil sumber daya hutan bahkan ditingkatkan nilainya melalui proses pengolahan produk, seperti pengembangan wajit dan keripik jamur.

(38)

24

program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang berupa pemanfaatan lahan di luar kawasan TNGHS antara lain pengembangan hutan rakyat melalui pembinaan kelompok tani hutan rakyat, pengembangan pertanian terpadu, penanaman di daerah aliran sungai, pengembangan kebun bibit rakyat, program seed for people.

Peningkatkan kesadaran masyarakat tentang lingkungan, sebagian besar lembaga pemerintah mengembangkan program pendidikan lingkungan atau pendidikan konservasi. Sebagian kecil diantaranya juga mengembangkan program peningkatan kesadaran terhadap bencana alam serta adaptasi dan mitigasi bencana alam, padahal terdapat beberapa kecamatan di Kabupaten Sukabumi yang masuk dalam kawasan rawan letusan gunung api dan rawan gerakan tanah tinggi atau longsor di Gunung Salak dan Gunung Halimun. Oleh karena itu, program pendidikan, penyadaran, adaptasi dan mitigasi bencana untuk masyarakat di sekitar TNGHS hendaknya mampu mencegah pemanfaatan kawasan sekitar gunung berapi untuk kegiatan pemukiman, perlindungan kawasan yang berpotensi mengalami gempa bumi melalui upaya mitigasi, dan pelarangan kegiatan pemanfaatan berpotensi longsor.

Tabel 4 Program peningkatan kapasitas SDM dan pembangunan infrastruktur pedesaan pada beberapa lembaga pemerintah

No. Lembaga

Program

A B C D E

1 TNGHS X

2 Dinas Kehutanan Kab. Sukabumi X

3 Dinas Bina Marga Kab. Sukabumi X X

4 Dinas Tata Ruang Pemukiman dan kebersihan Kab. Sukabumi X X X 5 Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga Kab. Sukabumi X

6 BLH Kab. Sukabumi X

13 Dinas Kehutanan Prov. Jawa Barat X

14 BPLHD Prov. Jawa Barat X

15 BPTH Wilayah Jawa dan Madura X

16 Sub Direktorat KPA & TB, Direktorat KKBH, DitJen PHKA X 17 Sub Direktorat PPJ, Direktorat KKBH, DitJen PHKA X

18 Pusdalreg II, Kemenhut X

19 Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kemen LH

X

20 Direktorat BPTH, DitJen BPDASPS X

21 Direktorat PJKKHL X

22 Direktorat Bina Daerah Penyangga X X

23 Direktorat Pengukuhan, penataagunaan, tenurial X

Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian Keterangan:

A = Program peningkatan kapasitas SDM

Gambar

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Gambar 2 Lokasi penelitian
Tabel 1  Jenis dan metode pengumpulan data penelitian
Tabel 2  Pemangku kepentingan restorasi ekosistem kawasan TNGHS di wilayah Kabupaten Sukabumi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada Pemerintah dalam menentukan apakah keluarga yang sudah menerima bantuan masih layak atau

Malın malla değişimi olduğu (trampa) döneminde borç yoktur. Borç daima kişiseldir. Borçlu pasiftir, alacaklı yararına edimde bulunmaya mecbudur. Ancak edim konusu

Setelah semua data terpenuhi admin bisa langsung melakukan penyeleksian pada menu “Seleksi Beasiswa” dengan cara mengisi form seleksi, contoh: pada form seleksi

3. Peneliti memberikan tes karakteristik kemampuan berpikir lntuitif kepada siswa gaya tipe juding. Peneliti memberi kesempatan kepada subjek untuk menyelesaikan lembar

[r]

H4 = = T Terd erdapa apat per t perbed bedaan li aan likui kuidit ditas sa as saham p ham perus erusaha ahaan y an yang me ang melak lakuka ukan sto n stock  ck 

Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa dengan meningkatnya jumlah bahan obat maka ukuran partikel dan efisiensi enkapsulasi. UCAPAN

Bambang sugiarto (2002) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa untuk menaikan angka oktan pada mesin adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas bensin.Untuk