• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Ekonomi Kerusakan Ekosistem Lamun Di Perairan Teluk Banten (Studi Kasus: Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penilaian Ekonomi Kerusakan Ekosistem Lamun Di Perairan Teluk Banten (Studi Kasus: Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten)"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

PENILAIAN EKONOMI KERUSAKAN EKOSISTEM LAMUN

DI PERAIRAN TELUK BANTEN

(Studi Kasus: Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten)

ADE EKA PUTRI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penilaian Ekonomi Kerusakan Ekosistem Lamun di Perairan Teluk Banten (Studi Kasus: Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

(4)
(5)

ABSTRAK

ADE EKA PUTRI. Penilaian Ekonomi Kerusakan Ekosistem Lamun di Perairan

Teluk Banten (Studi Kasus: Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten). Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan NUVA.

Ekosistem lamun (seagrass) memiliki fungsi ekologi dan ekonomi bagi

masyarakat di Kecamatan Bojonegara. Perkembangan dan peningkatan aktivitas industri, pembangunan dermaga, dan penggunaan alat tangkap nelayan yang tidak ramah lingkungan menyebabkan kerusakan terhadap ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara. Dampak kerusakan ekosistem lamun adalah berkurangnya jumlah dan jenis ikan, serta berdampak pada jarak yang ditempuh nelayan ke daerah penangkapan ikan semakin jauh sehingga menyebabkan biaya operasi penangkapan meningkat. Tujuan penelitian adalah: (1) mengetahui persepsi masyarakat dan nelayan tentang fungsi serta kondisi ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara; (2) mengestimasi nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara dan Perairan Teluk Banten; dan (3) mengkaji alternatif-alternatif pengelolaan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara. Metode penelitian yang digunakan yaitu skala likert,

Change on Producvity (CoP), Replacement cost, dan Weighted Sum Model

(WSM). Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa: (1) sebagian besar masyarakat tidak mendapatkan informasi dengan baik tentang fungsi ekonomi, ekologi, dan pengelolaan ekosistem lamun karena kurangnya informasi dan sosialisasi dari pemerintah dan pihak terkait lainnya. Akan tetapi, mereka mengetahui bahwa ekosistem lamun telah mengalami kerusakan di Perairan Kecamatan Bojonegara; (2) estimasi nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun yang terdiri dari 3 aspek yaitu ekosistem lamun sebagai kawasan penangkapan ikan, tempat pemijahan ikan, dan pencegah abrasi. Nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun dengan luas Perairan Kecamatan Bojonegara 1.950 ha yakni sebagai kawasan penangkapan ikan seperti udang, kerapu, belanak, kepiting, kakap dan kerang sebesar Rp 5.185.154,50/ha/tahun. Nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun sebagai tempat pemijahan ikan (kerapu) sebesar Rp 880.000,00/ha/tahun. Nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun sebagai pencegah abrasi sebesar Rp 2.366.666,67/ha/tahun. Total nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara sebesar Rp 8.431.821,17/ha/tahun dan di Perairan Teluk Banten dengan luas ekosistem lamun yang hilang seluas 255,7 ha sebesar Rp 2.156.016.672,19/tahun; (3) alternatif pengelolaan yang tepat untuk ekosistem lamun adalah rehabilitasi ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara.

Kata kunci: change on productivity, ekosistem lamun, penilaian kerusakan,

(6)

ABSTRACT

ADE EKA PUTRI. Economic Damage Assessment of Seagrass Ecosystem in

Territorial of Banten Bay (Case Study: Bojonegara Subdistrict, Serang District, Banten Province). Supervised by TRIDOYO KUSUMASTANTO and NUVA.

Seagrass ecosystem in Bojonegara Subdistrict has several ecological and economic functions for community. The increasing of industrial activities, docks construction, and the using of non environmental friendly fishing gear by fishermen will lead to the damage of seagrass ecosystems in Territorial of Bojonegara Subdistrict. The damage affect the decreasing of variety and fish population, and increase of fishing cost due to more distant location of fishing. Based on that problem, the objectives of this research are: (1) to study communities and fisher perception about the function and existing condition of seagrass ecosystem in Territorial of Bojonegara Subdistrict; (2) to estimate the economic losses due to its damage in Territorial of Bojonegara Subdistrict and Territorial of Banten Bay; and (3) to analyze alternatives seagrass ecosystem management in Territorial of Bojonegara Subdistrict. The method used in this study are Likert scale, Change on Productivity (CoP), Replacement cost, and Weighted Sum Model (WSM). The results showed that: (1) most of local community do not have well information about the economic function, ecological function, and management of seagrass ecosystem due to lack of extension from government and other related parties. However, they recognize that seagrass ecosystem has been damage in Territorial of Bojonegara Subdistrict; (2) estimated of economic damage of seagrass ecosystem consists of three aspects such as fishing ground, nursery ground, and abration prevention. The economic value of seagrass ecosystem damage by 1,950 ha territorial of Bojonegara Subdistrict as the fishing ground of shrimp, grouper, mullet, crab, snapper and shellfish is IDR 5,185,154.50/ha/year, as the nursery ground for fish (grouper) is IDR 880,000.00/ha/year, and economic value of seagrass a prevention of abration is IDR 2,366,666.67ha/year. Total loss of economic value of seagrass ecosystem damage in Territorial of Bojonegara Subdistrict is IDR 8,431,821.17/ha/year and total loss of economic value of seagrass ecosystem damage for 255.7 ha in Territorial of Banten Bay is IDR 2,156,016,672.19/year; and (3) alternative management system for the seagrass ecosystem in Territorial of Bojonegara Subdistrict is rehabilition.

(7)

PENILAIAN EKONOMI KERUSAKAN EKOSISTEM LAMUN

DI PERAIRAN TELUK BANTEN

(Studi Kasus: Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten)

ADE EKA PUTRI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Penilaian Ekonomi Kerusakan Ekosistem Lamun di Perairan Teluk Banten (Studi Kasus: Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten)” dapat diselesaikan. Penelitian mengkaji persepsi masyarakat dan nelayan tentang fungsi serta kondisi ekosistem lamun, mengestimasi nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun, dan menentukan alternatif pengelolaan ekosistem lamun dalam penanggulangan kerusakan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:

1. Orang tua penulis, Bapak Zaidir dan Ibu Elly Darti beserta abang penulis, Franky Hidayat dan Arif Rahman Guci atas doa, motivasi, dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S dan Ibu Nuva, S.P, M.Sc sebagai Dosen Pembimbing yang senantiasa memberikan arahan serta bimbingan selama penyusunan proposal hingga skripsi.

3. Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si sebagai Dosen Penguji Utama dan Ibu Osmaleli, S.E, M.Si sebagai Dosen Penguji dari Program Studi Ekonomi Pertanian Sumberdaya dan Lingkungan (PS EPSL) atas kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi.

4. Bapak Wawan Kiswara, Ibu Mumum, Dinas Perikanan Kabupaten Serang, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Serang, LIPI-Oseanografi Jakarta, Bapak Beginer Subhan, S.Pi, M.Si, Dosen dan staff ESL, pihak Kecamatan Bojonegara, dan pihak Desa Bojonegara atas arahan dan informasi mengenai ekosistem lamun.

5. Rosianna, Susilo, Mauludina, Adhi, Teguh, Sahabat ESL, ESL 48, Merry, Icha, Papu, Ekawati, Yosi Kurnia, dan seluruh teman-teman penulis.

Akhirnya, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak (civitas akademika, masyarakat, nelayan, dan pemerintah) dalam mengelola dan menjaga ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten.

Bogor, Maret 2016

(12)
(13)

DAFTAR ISI

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Ekosistem Lamun ... 9

2.1.1 Parameter Lingkungan yang dapat Mempengaruhi Pertumbuhan Lamun ... 10

2.1.2 Fungsi dan Manfaat Ekosistem Lamun... 13

2.2 Penilaian Ekonomi Kerusakan Ekosistem di Kawasan Pesisir ... 14

2.3 Kerusakan Ekosistem Lamun ... 16

2.4 Penelitian Terdahulu ... 17

III. KERANGKA PENELITIAN ... 23

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 27

4.1 Metode Penelitian ... 27

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 27

4.3 Metode Pengambilan Data... 29

4.4 Metode Analisis ... 29

4.4.1 Analisis Deskriptif ... 30

4.4.2 Change on Productivity ... 32

4.4.3 Replacement Cost ... 34

4.4.4 Alternatif Pengelolaan Ekosistem Lamun yang Berkelanjutan di Perairan Kecamatan Bojonegara ... 36

4.5 Batasan Penelitian ... 40

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 43

5.1 Kondisi Umum di Kecamatan Bojonegara ... 43

5.2 Kependudukan dan Sosial Ekonomi di Kecamatan Bojonegara ... 45

5.3 Kondisi Ekosistem Lamun di Perairan Teluk Banten ... 46

5.4 Prasarana dan Sarana Daerah di Kecamatan Bojonegara ... 47

5.5 Karakteristik Responden ... 49

5.5.1 Jenis Kelamin ... 49

5.5.2 Usia ... 50

5.5.3 Pendidikan ... 50

5.5.4 Penghasilan Responden... 51

(14)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55

6.1 Persepsi Masyarakat dan Nelayan Tentang Fungsi serta Kondisi Ekosistem Lamun Di Perairan Kecamatan Bojonegara ... 55

6.1.1 Pengetahuan Responden Mengenai Ekosistem Lamun ... 55

6.1.2 Manfaat Serta Kondisi Ekosistem Lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara ... 56

6.1.3 Penanggulangan Kerusakan Ekosistem Lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara ... ………58

6.2 Estimasi Nilai Ekonomi Kerusakan Ekosistem Lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara dan Perairan Teluk Banten. ... 61

6.2.1 Ekosistem Lamun sebagai Kawasan Penangkapan Ikan.... 62

6.2.2 Ekosistem Lamun sebagai Tempat Pemijahan Ikan ... 64

6.2.3 Ekosistem Lamun sebagai Pencegah Abrasi ... 65

6.2.4 Total Nilai Ekonomi Kerusakan Ekosistem Lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara dan Perairan Teluk Banten ... 66

6.2.4.1 Total Nilai Ekonomi Kerusakan Ekosistem Lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara ... 66

6.2.4.2 Total Nilai Ekonomi Kerusakan Ekosistem Lamun di Perairan Teluk Banten ... 67

6.3 Alternatif Pengelolaan Ekosistem Lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara ... 68

6.3.1 Peran Stakeholder dalam Pengelolaan Ekosistem Lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara... 68

6.3.2 Weighted Sum Model (WSM) ... 69

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 73

7.1 Simpulan ... 73

7.2 Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

LAMPIRAN ... 79

(15)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1.1 Kondisi tutupan lamun dan kerusakan ekosistem lamun di Perairan

Teluk Banten………. 3

2.1 Dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun…………... 16 2.2 Matriks penelitian terdahulu………..………... 20 4.1 Jenis data, parameter, dan sumber data dalam penelitian……...……... 28 4.2 Matriks metode analisis data………..………... 30 4.3 Batas nilai tertinggi dan nilai terendah….………... 31 4.4 Selang nilai masing-masing kriteria...………... 31 4.5 Persepsi responden tentang fungsi serta kondisi ekosistem lamun di

Perairan Kecamatan Bojonegara……….……….. 32 4.6 Matriks keputusan alternatif pengelolaan ekosistem lamun yang

berkelanjutan………... 40 5.1 Luas wilayah berdasarkan desa/kelurahan di Kecamatan Bojonegara

Tahun 2013……… 43 5.2 Letak geografis desa/kelurahan di Kecamatan Bojonegara Tahun

2013………... 44 5.3 Jumlah penduduk menurut desa/kelurahan di Kecamatan Bojonegara

Tahun 2013……… 45 5.4 Jumlah penduduk menurut kelompok umur muda, umur produktif,

dan umur tua di Kecamatan Bojonegara Tahun 2013…..………. 45 5.5 Jumlah penduduk yang bekerja diberbagai bidang di Kecamatan

Bojonegara Tahun 2014……….... 46 5.6 Jumlah sekolah berdasarkan status di Kecamatan Bojonegara Tahun

2013………... 48 6.1 Persepsi responden mengenai pentingnya ekosistem lamun sebagai

tempat perkembangbiakan ikan di Perairan Kecamatan Bojonegara… 56 6.2 Persepsi responden terhadap kondisi ekosistem lamun di Perairan

Kecamatan Bojonegara………..……… 57 6.3 Persepsi responden mengenai ekosistem lamun berfungsi sebagai

pencegah abrasi di Perairan Kecamatan Bojonegara ……… 58 6.4 Persepsi responden mengenai pembabatan ekosistem lamun di

Perairan Kecamatan Bojonegara ………... 59 6.5 Persepsi responden mengenai pentingnya ekosistem lamun untuk

dilindungi di Perairan Kecamatan Bojonegara……… 59 6.6 Persepsi responden mengenai pentingnya penyuluhan dan kegiatan

pemulihan kembali ekosistem lamun di Perairan Kecamatan

Bojonegara……… 60

6.7 Nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun berdasarkan hasil tangkapan nelayan di Perairan Kecamatan Bojonegara …...…..…… 63 6.8 Nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun sebagai tempat pemijahan

(16)

6.10 Total nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara…...………... 66 6.11 Total nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun di Perairan Teluk

Banten……… 67 6.12 Stakeholder yang terkait dalam pengelolaan ekosistem lamun beserta

perannya di Perairan Kecamatan Bojonegara……… 69 6.13 Matriks altenatif pengelolaan ekosistem lamun di Perairan

Kecamatan Bojonegara ……… 70

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

3.1 Kerangka penelitian…..………...….. 25 5.1 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin……… 49 5.2 Karakteristik responden berdasarkan usia………...……… 50 5.3 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan...………… 51 5.4 Karakteristik responden berdasarkan tingkat penghasilan………….. 52 5.5 Karakteristik responden berdasarkan status kependudukan……..…… 53

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1 Peta wilayah Kabupaten Serang ………...…….... 81

2 Morfologi lamun (seagrass)………....….. 81

3 Kuesioner penelitian……….. 82

4 Jenis ekosistem lamun yang berada di Perairan Teluk Banten.…...….. 95 5 Peta Kecamatan Bojonegara beserta keberadaan ekosistem lamun… 97 6 Kondisi ekosistem lamun dan pesisir di Perairan Kecamatan

Bojonegara………. 98

7 Change on productivity (udang, kerapu, belanak, kepiting, kakap,

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan pesisir di Indonesia sangat luas karena Indonesia merupakan Negara Kepulauan (LIPI, 2015). Keanekaragaman hayati pesisir Indonesia juga sangat melimpah yang meliputi ekosistem lamun, terumbu karang, dan mangrove. Ekosistem tersebut dihuni oleh beragam spesies, seperti kelompok ikan, ganggang, jamur, reptil, krustasea, dan tumbuhan laut. Keanekaragaman hayati yang berada di pesisir dan laut berpotensi menunjang kehidupan masyarakat, seperti pemanfaatan untuk kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, maupun pariwisata.

Teluk Banten merupakan salah satu wilayah di Provinsi Banten, tepatnya di Kabupaten Serang yang menyimpan kekayaan sumberdaya perikanan. Kekayaan sumberdaya perikanan tersebut meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Hasil perikanan yang terdapat di Teluk Banten diantaranya ikan, udang, cumi, dan biota laut lainnya. Hasil perikanan tersebut mampu memberikan pendapatan pada masyarakat sekitar dan berkontribusi terhadap perekonomian serta pembangunan daerah (DKP Banten, 2015).

Kabupaten Serang merupakan salah satu dari delapan kabupaten/kota di Provinsi Banten terletak di ujung barat bagian utara Pulau Jawa, dengan panjang garis pantai 92 km dan memiliki 17 pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil tersebut terdiri dari 7 pulau di Wilayah Teluk Banten, 3 pulau di Wilayah Selat Sunda, dan lainnya berada di Luar Wilayah Teluk Banten (Pemda, 2016; BPLHD Banten, 2012). Terdapat 7 kecamatan dari 28 kecamatan di Kabupaten Serang yang berbatasan langsung dengan Perairan Teluk Banten, yaitu Kecamatan Bojonegara, Kecamatan Puloampel, Kecamatan Kramatwatu, Kecamatan Kasemen, Kecamatan Pontang, Kecamatan Tirtayasa, dan Kecamatan Tanara (Tim Ekspedisi HIMITEKA, 2014). Peta wilayah Kabupaten Serang disajikan pada Lampiran 1.

(18)

pedagang, petani, dan pegawai negeri sipil (Yusuf, 2008; Dinas Kelautan dan Perikanan, 2014). Masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan tentu sangat bergantung pada kondisi Perairan Teluk Banten. Saat ini, kondisi Perairan Teluk Banten mengalami perubahan akibat adanya kegiatan reklamasi pantai, dan penyebab lainnya yaitu penggunaan alat tangkap nelayan yang tidak ramah lingkungan seperti bondet dan jaring arad. Kegiatan tersebut mengakibatkan pencemaran dan kerusakan ekosistem di Perairan Teluk Banten. Salah satu ekosistem yang terkena dampak kerusakan di Teluk Banten adalah ekosistem lamun. Ekosistem tersebut merupakan suatu kesatuan sistem ekologi komoditas lamun yang mencakup komponen biotik dan abiotik yang saling bergantung dan mempengaruhi (Kordi, 2011). Lamun adalah tumbuhan berbunga yang telah menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut dangkal (Nontji, 2010). Lamun memiliki akar (rizoma dan serabut akar), batang, daun, bunga, beberapa spesies berbuah, dan hidup di perairan laut dangkal hingga kedalaman 50 hingga 60 m bahkan 90 m (Kordi, 2011). Morfologi lamun disajikan pada Lampiran 2. Lamun merupakan tanaman yang tumbuh di dasar perairan laut dangkal yang menghasilkan oksigen sangat tinggi bagi kehidupan berbagai biota laut. Hamparan luas lamun disebut sebagai padang lamun yang membentuk ekosistem lamun sehingga memiliki fungsi secara ekologi dan ekonomi.

(19)

Tabel 1.1 Kondisi tutupan lamun dan kerusakan ekosistem lamun di Perairan

Kurang kaya/Kurang sehat ( 30-59,9) Miskin (29,9)

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2004; Kiswara, 1994; dan Satrya et al. 2012

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten memiliki tutupan lamun yang variatif, tutupan lamun berkisar 62,5% hingga 90% sehingga tergolong kaya artinya terdapat beragam jenis lamun di Perairan Teluk Banten (Satrya et al. 2012). Dilihat dari tingkat kerusakan ekosistem lamun yaitu

sekitar 50 ha atau 35% dari total luas ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten, sehingga kondisi ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten tergolong pada tingkat kerusakan sedang (Kiswara, 1994).

Kerusakan ekosistem lamun juga terjadi di Perairan Kecamatan Bojonegara, Teluk Banten. Ekosistem lamun mulai mengalami kerusakan pada Tahun 2000 karena aktivitas-aktivitas masyarakat yang terjadi di kawasan pesisir seperti reklamasi pantai, aktivitas industri, aktivitas dermaga, dan aktivitas nelayan. Pada jangka panjang kerusakan ekosistem lamun memberikan dampak negatif terhadap masyarakat pesisir terutama nelayan karena jumlah ikan di Perairan Kecamatan Bojonegara semakin berkurang sehingga jarak nelayan untuk melaut semakin jauh. Menurut masyarakat, dampak kerusakan ekosistem lamun paling dirasakan masyarakat pesisir di Tahun 2014. Hal tersebut karena adanya perubahan luas ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara dan Perairan Teluk Banten.

Penelitian mengenai nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten penting dilakukan untuk mengetahui kondisi ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara, mengetahui besarnya manfaat ekosistem lamun terhadap lingkungan dan dampak kerusakan ekosistem lamun terhadap (*) = kondisi tutupan dan luas kerusakan ekosistem lamun di Teluk Banten (**) = status padang lamun berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan

Hidup No. 200 Tahun 2004

(20)

masyarakat yang tinggal di sekitar Perairan Kecamatan Bojonegara. Nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun juga mampu memberikan informasi bahwa pentingnya pengelolaan ekosistem lamun secara lestari sehingga memberikan kesejahteraan untuk masyarakat pesisir.

1.2 Perumusan Masalah

Perairan Teluk Banten memiliki tujuh jenis lamun, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia emprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halophila

ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Halodule uninervis. Jenis-jenis lamun

tersebut membentuk padang lamun yang berinteraksi dengan sumberdaya dan lingkungan menjadi ekosistem lamun dengan luas yang semakin menurun. Saat ini ekosistem lamun tersebut hanya dapat ditemui di Sebelah Barat Teluk Banten, Tanjung Kepuh, dan Pulau-Pulau Karang di sekitarnya, yaitu Pulau Panjang, Pulau Semut, Pulau Pemujaan Besar, Pulau Pemujaan Kecil, Pulau Tarahan, Pulau Cikantung, Pulau Kubur, Pulau Pisang, dan Pulau Lima (DKP Banten, 2014).

Ekosistem lamun yang sehat memiliki fungsi ekologi dan ekonomi yang sangat besar bagi lingkungan perairan dan masyarakat pesisir. Fungsi ekologi ekosistem lamun yaitu sebagai sumber utama produktivitas primer, sumber makanan bagi organisme, penstabil dasar perairan dengan perakarannya yang menangkap sedimen, pelindung pantai dengan cara meredam arus, penghasil oksigen, tempat berlindung biota laut, tempat berkembangbiak biota laut, dan tempat pengasuhan bagi biota laut (Puspitaningasih, 2012). Ekosistem lamun di negara maju secara ekonomi sudah dimanfaatkan sebagai bahan farmasi, makanan ternak, komponen pupuk, bahan baku pembuatan kertas, dan lamun kering juga digunakan untuk bahan mencegah kebakaran (Dahuri, 2003 dalam Kordi, 2011).

(21)

bagi masyarakat. Manfaat ekosistem lamun tersebut belum semuanya diketahui masyarakat Kecamatan Bojonegara. Pengetahuan masyarakat Kecamatan Bojonegara tentang fungsi ekosistem lamun masih kurang, dimana ekosistem lamun hanya dimanfaatkan sebagai kawasan penangkapan udang, kerapu, belanak, kepiting, kakap, kerang, tempat pemijahan ikan, dan mencegah abrasi. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran dari masyarakat serta pemangku kebijakan menjadi salah satu penyebab rusaknya ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten.

Rusaknya ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten ditandai dengan perubahan luas ekosistem lamun. Luas ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten di Tahun 2010 seluas 366,9 ha, akan tetapi dengan meningkatnya aktivitas di sekitar Perairan Teluk Banten mengakibatkan perubahan luas ekosistem lamun di Tahun 2015 menjadi 111,2 ha (Kiswara, 2004; Pemda, 2013). Secara umum, kerusakan ekosistem lamun diduga disebabkan oleh faktor alami dan aktivitas manusia. Faktor alami yang menjadi ancaman terhadap ekosistem lamun yaitu gelombang pantai dan sedimentasi, sedangkan faktor lainnya yaitu aktivitas manusia. Aktivitas manusia yang menyebabkan rusaknya ekosistem lamun yaitu pengurugan atau penimbunan di kawasan pesisir, alat tangkap yang cenderung merusak (bondet dan jaring arad), serta adanya dermaga dan tempat pendaratan kapal (Kiswara, 2004). Kerusakan ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten juga diduga dipengaruhi oleh adanya perusahaan yang beroperasi di Perairan Kecamatan Bojonegara yang bergerak dalam usaha gula dan batu split.

(22)

adanya aktivitas pelayaran, pelabuhan, dan aktivitas nelayan yang berada di Kecamatan Bojonegara.

Masyarakat di Kecamatan Bojonegara menyatakan bahwa kerusakan ekosistem di Perairan Teluk Banten termasuk ekosistem lamun berdampak pada masyarakat terutama yang tinggal di kawasan pesisir. Dampak negatif yang dirasakan masyarakat yaitu beralihnya mata pencaharian masyarakat yang awalnya berprofesi sebagai pencari kerang dan nelayan pinggir (nelayan bondet) menjadi nelayan tengah, karyawan pabrik, pencari keong sawah, dan pedagang akibat dari berkurangnya jumlah ikan yang ada di Teluk Banten. Perubahan tersebut mengakibatkan penghasilan masyarakat pesisir semakin berkurang. Ekosistem lamun akan terus-menerus mengalami kerusakan bahkan hilang jika kondisi tersebut dibiarkan sehingga berdampak negatif pada kelangsungan biota-biota laut yang hidup di ekosistem lamun.

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas maka pertanyaan penelitian yang dikaji adalah:

1. Bagaimana persepsi dari masyarakat dan nelayan tentang fungsi serta kondisi ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara?

2. Berapa nilai kerusakan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara dan Perairan Teluk Banten?

3. Bagaimana pengelolaan ekosistem lamun agar berkelanjutan di Perairan Kecamatan Bojonegara?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian yaitu untuk menggambarkan dampak kerusakan ekosistem lamun terhadap lingkungan dan ekonomi di Perairan Kecamatan Bojonegara dan Perairan Teluk Banten. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mengkaji persepsi dari masyarakat dan nelayan tentang fungsi serta kondisi ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara.

2. Mengestimasi nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara dan Perairan Teluk Banten.

(23)

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Beberapa lingkup penelitian meliputi persepsi masyarakat dan nelayan mengenai fungsi serta kondisi ekosistem lamun menggunakan metode pendekatan skala likert. Tujuan tersebut dilakukan untuk mengetahui seberapa penting fungsi

ekosistem lamun bagi masyarakat pesisir, dan perubahan kondisi ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara. Selanjutnya, mengestimasi nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara dan Perairan Teluk Banten menggunakan metode Change on Productivity (CoP) dan

replacement cost. Kajian tersebut digunakan untuk mengestimasi kehilangan

fungsi dan kehilangan nilai ekonomi ekosistem lamun akibat perubahan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara dan Teluk Banten. Penilaian ekonomi kerusakan ekosistem lamun yang dikaji yaitu Tahun 2010 dan Tahun 2014-2015. Nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun yang diperoleh bertujuan untuk memberikan informasi seberapa penting ekosistem lamun bagi masyarakat pesisir dan lingkungan sehingga pentingnya alternatif pengelolaan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara. Kajian mengenai alternatif-alternatif pengelolaan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara menggunakan metode Weighted Sum Model (WSM) untuk mengetahui alternatif pengelolaan

yang prioritas dilakukan di Perairan Kecamatan Bojonegara.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Penulis, sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

2. Masyarakat dapat memperoleh pengetahuan tentang nilai ekonomi, fungsi dan manfaat keberadaan ekosistem lamun sehingga masyarakat dapat memanfaatkannya secara optimal dan menjaga keberadaan lamun.

(24)
(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Lamun

Lamun adalah tumbuhan air berbunga (Anthophyta) yang hidup dan tumbuh

terbenam di lingkungan laut, berpembuluh, berimpang (rhizome), berakar, dan

berkembangbiak secara generatif dan vegetatif (Azkab, 2006). Menurut Dahuri (1996), lamun memiliki sistem perakaran yang nyata, dedaunan, sistem transportasi internal untuk gas dan nutrien, serta stomata yang berfungsi dalam pertukaran gas. Lamun biasanya hidup terhampar luas yang disebut sebagai padang lamun. Padang lamun (seagrass bed) adalah hamparan vegetasi lamun

yang menutupi suatu area pesisir dan laut dangkal yang terbentuk oleh satu jenis lamun (monospecific) atau lebih (mixed vegetation) dengan kerapatan tanaman

yang padat (dense) atau jarang (sparse) (Azkab, 2006).

Lamun merupakan tumbuhan laut dangkal yang sangat rentan dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi di pesisir. Lamun terkonsentrasi di dua daerah utama, yaitu Indo-Pasifik dan di Pantai-Pantai Amerika Tengah, di Daerah Caribbean-Pasifik (Supriharyono, 2000; Supriharyono, 2007 dalam Kordi, 2011).

Keanekaragaman tumbuhan lamun tertinggi terdapat di Daerah Indo-Pasifik dengan 7 genera tropis dan 25 spesies (Den Hartog, 1970 dalam Kordi, 2011).

Penyebaran ekosistem lamun di Indonesia mencakup Perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua.

(26)

Lamun dengan rumput laut sering dianggap sama, padahal kedua tumbuhan tersebut jelas sangat berbeda. Lamun tergolong tumbuhan tingkat tinggi yang berbunga, yang telah sepenuhnya beradaptasi untuk hidup terendam dalam air laut, sedangkan rumput laut tergolong tumbuhan tingkat rendah yang tak berbunga, yang dikenal pula sebagai ’algae’ (CRITC COREMAP-LIPI, 2012).

Kurangnya pemahaman dan informasi tentang ekosistem lamun menyebabkan luas ekosistem lamun menjadi berkurang setiap tahun. Hal tersebut berdampak pada berkurangnya stok sumberdaya yang bergantung pada ekosistem lamun seperti: ikan, udang, dugong, teripang, dan lainnya.

Menurut Kiswara (2009), lamun dapat dijumpai pada daerah pasang surut sampai dengan kedalaman 40 m. Lamun dapat tumbuh pada dasar lumpur, pasir dan kerikil karang diantara karang hidup, cekungan batu karang maupun pada dasar pasir dan lumpur dibawah naungan mangrove. Menurut Phillips dan Menez (1988) lamun perlu suatu kemampuan berkolonisasi sehingga dapat hidup sukses di laut, yaitu kemampuan untuk hidup pada media air asin (garam), mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai sistem perakaran yang berkembang dengan baik, mempunyai kemampuan untuk berkembangbiak secara generatif dalam keadaan terbenam dan dapat berkompetisi dengan organisme lain dalam kondisi stabil ataupun tidak stabil pada lingkungan laut.

2.1.1 Parameter Lingkungan yang dapat Mempengaruhi Pertumbuhan Lamun

Lamun membutuhkan suhu, salinitas, kecepatan arus, kecerahan, substrat, dan nutrien yang sesuai agar lamun dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di kawasan pesisir. Beberapa parameter yang dapat mempengaruhi pertumbuhan lamun yaitu:

a) Suhu

Lamun di daerah tropis mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan temperatur. Umumnya lamun di daerah tropis tumbuh dengan suhu air antara 20-30ºC sedangkan suhu optimumnya adalah 28-30ºC. Suhu air yang terlalu tinggi akan membahayakan kehidupan lamun (Zieman, 1975 dalam Kordi

2011). Suhu yang terlampau rendah juga dapat mematikan lamun di daerah tropis dan berbeda halnya dengan lamun di daerah subtropis seperti Zostera dapat

(27)

b) Salinitas

Lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar yaitu antara 10 dan 40 per seribu gram. Nilai salinitas optimum untuk lamun adalah 35 per seribu gram. Salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan ekosistem lamun adalah meningkatnya salinitas yang diakibatkan oleh berkurangnya suplai air tawar dari sungai (Dahuri, 2003). Lamun yang hidup di daerah estuari cenderung lebih toleran terhadap salinitas (euryhaline) dibandingkan dengan yang stenohaline,

yaitu selamanya tinggal di laut atau perairan hipersaline (Supriharyono, 2007

dalam Kordi, 2011). Lamun tumbuh baik pada salinitas berkisar 15-55 per seribu

dan survive pada kisaran salinitas 5-140 per seribu (Hilman et al. 1989 dalam

Kordi, 2011). Kemampuan lamun untuk beradaptasi di salinitas rendah dapat dimanfaatkan untuk mengetahui ada tidaknya “limbah” air tawar yang masuk ke perairan laut. Limbah air tawar sering diindikasikan dengan tumbuhnya jenis-jenis lamun tertentu yang berlebih di pinggir pantai (Supriharyono, 2007 dalam Kordi,

2011).

c) Kecepatan arus

Arus dan pergerakan air sangat penting karena terkait dengan suplai unsur hara, sediaan gas-gas terlarut, dan menghalau sisa metabolisme atau limbah yang dapat mempengaruhi tingginya produktivitas primer dari ekosistem lamun (Kordi, 2011). Produktivitas ekosistem lamun juga dipengaruhi oleh kecepatan arus perairan. Kecepatan arus yang tinggi dan turbulensi dapat mengakibatkan naiknya padatan tersuspensi yang berlanjut pada reduksi penetrasi cahaya ke dalam air atau turunnya kecerahan air. Kondisi ini menyebabkan rendahnya laju produksi ekosistem lamun (Koch, 1994 dalam Kordi, 2011).

d) Kecerahan

(28)

150-250 µmol/m2/detik, dan untuk lamun yang hidup di perairan dalam terhambat pada level kurang dari 300 µmol/m2/detik. Kekeruhan karena suspensi sedimen dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam perairan dan secara otomatis akan mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan lamun. Sedimen-sedimen halus yang mengendap di perairan ketika air tenang dan menempel di permukaan daun lamun sehingga dapat mengganggu kehidupan lamun (Supriharyono, 2007 dalam Kordi,

2011).

e) Substrat

Di Indonesia lamun dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang (Kiswara, 1997). Lamun tumbuh subur di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai atau goba yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati. Substrat berlumpur di daerah mangrove ke arah laut sering dijumpai lamun dari spesies tunggal yang berasosiasi tinggi. Sementara vegetasi campuran terbentuk di daerah intertidal yang lebih rendah dan subtidal yang dangkal. Lamun tumbuh dengan baik di daerah yang terlindung dan bersubstrat pasir, stabil serta dekat sedimen yang bergerak secara horizontal dibandingkan lamun yang tumbuh di sedimen karbonat yang berasal dari patahan terumbu (Hutomo et al. 1988 dalam

Kordi, 2011). Selanjutnya, lamun yang tumbuh di sedimen yang berasal dari daratan lebih dipengaruhi oleh faktor run off daratan yang berkaitan dengan

kekeruhan, suplai nutrien pada musim hujan, dan fluktuasi salinitas (Erftemeijer, 1993 dalam Kordi, 2011).

f) Nutrien

Kebanyakan tumbuhan sangat dibatasi oleh unsur hara atau nutrien. Lamun mengambil unsur hara terlarut melalui akar dan daun dengan dominan rute tergantung pada jenis unsur hara dan konsentrasinya. Konsentrasi pada kolam air tinggi, maka pengambilan melalui daun (atau bahkan epifit) lebih dominan. Sebaliknya nilai ambang di kolam air rendah, pengambilan unsur hara akan lebih banyak dilakukan melalui akar (Supriharyono, 2007 dalam Kordi, 2011). Lamun

(29)

biasanya sangat dibatasi oleh fosfor (Short, 1987 dalam Kordi, 2011). Sedimen

yang berukuran kasar mempunyai kapasitas absorpsi terhadap fosfor yang rendah, sehingga kandungan fosfor terlarut tinggi. Kondisi ini menyebabkan lamun tumbuh subur (Supriharyono, 2007 dalam Kordi, 2011).

2.1.2 Fungsi dan Manfaat Ekosistem Lamun

Menurut Nybakken (1988) dalam PKSPL IPB (2010), fungsi ekologi

ekosistem lamun adalah sebagai sumber utama produktivitas primer, sumber makanan bagi organisme dalam bentuk detritus, penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya yang dapat menangkap sedimen (trapping sediment), tempat

berlindung bagi biota laut, tempat perkembangbiakan (spawning ground),

pengasuhan (nursery ground), sumber makanan (feeding ground) bagi biota-biota

perairan laut, pelindung pantai dengan cara meredam arus, penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan. Tingkat produksi primer yang tinggi dari ekosistem lamun berhubungan erat dengan potensi perikanan yang tinggi. Beberapa biota laut yang hidupnya bergantung pada ekosistem lamun dan memiliki nilai ekonomi yaitu ikan (beronang, kerapu, kakap, lencam, belanak, kuda laut, ikan hias), moluska (kima, keong/siput, kerang, sotong, cumi, dan gurita), mamalia (dugong dugon), reptil (penyu hijau), ekinodermata (bulu babi, teripang, dan bintang laut), krustase (udang, kepiting, dan rajungan), dan alga/rumput laut (Kordi, 2011). Fungsi ekosistem lamun lainnya yaitu mendukung berbagai rantai makanan baik yang didasari oleh rantai herbivora maupun detrivora (Puspitaningasih, 2012).

Fungsi ekosistem lamun di lingkungan pesisir, menurut Koesoebiono (1995)

dalam Dahuri (1996):

a. Sistem perakaran lamun yang padat dan saling menyilang dapat menstabilkan dasar laut dan mengakibatkan lamun kokoh tertanam dalam dasar laut.

b. Lamun segar merupakan makanan bagi ikan duyung, penyu laut, bulu babi dan beberapa jenis ikan. Padang lamun merupakan daerah penggembalaan (grazing ground) yang memiliki arti penting bagi hewan laut. Ikan laut

(30)

c. Permukaan daun lamun, hidup melimpah ganggang renik, hewan-hewan renik, dan mikroba, yang merupakan makanan bagi bermacam jenis ikan yang hidup di ekosistem lamun.

d. Daun lamun berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni lamun dari sengatan matahari.

Philips & Menez (1988) menyatakan bahwa ekosistem lamun sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat diantaranya untuk kompos dan pupuk, cerutu, dan mainan anak-anak, dianyam menjadi keranjang, tumpukan untuk pematang, mengisi kasur, makanan, dan jaring ikan. Pengetahuan selalu mengalami perubahan atau pembaharuan, sehingga masyarakat menggunakan ekosistem lamun sebagai penyaring limbah, stabilizator pantai, bahan untuk pabrik kertas, makanan, obat-obatan, dan sumber bahan kimia.

2.2 Penilaian Ekonomi Kerusakan Ekosistem di Kawasan Pesisir

Kawasan pesisir merupakan daerah pertemuan darat dengan laut. Di kawasan pesisir terdapat beragam ekosistem dan sumberdaya pesisir. Berdasarkan sifatnya, ekosistem di kawasan pesisir terdiri dari dua bagian yaitu bersifat alami dan buatan. Ekosistem alami kawasan pesisir yaitu lamun, terumbu karang, hutan mangrove, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pescaprae, formasi barringtonia, estuari, laguna, delta, dan ekosistem pulau kecil. Ekosistem buatan kawasan pesisir terdiri dari tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, dan kawasan pemukiman (Dahuri, 2003).

(31)

sehingga mengakibatkan kerusakan terhadap ekosistem alami dari kawasan pesisir.

Kerusakan ekosistem tersebut dapat dipicu karena tidak termonerisasinya nilai sumberdaya alam dan lingkungan, maka cenderung untuk bersifat abusive

(penyalahgunaan) dan undervalue terhadap nilai yang sebenarnya hasil dari

sumberdaya alam dan lingkungan. Secara implisit hal ini mengindikasikan kurangnya informasi terkait dengan penilaian dari sumberdaya alam dan lingkungan. Kurangnya informasi menyebabkan terjadinya kegagalan pasar karena jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan tidak sepenuhnya terpasarkan (unpriced). Beberapa persyaratan untuk berfungsinya

pasar adalah adanya “pasar” untuk semua barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi, tidak ada eksternalitas, dan kepemilikan terdefinisikan dengan jelas. Faktanya, tidak semua sumberdaya alam dan lingkungan memiliki sifat atau persyaratan dan ditambah lagi dengan ketiadaan informasi yang utuh tentang nilai dari sumberdaya alam dan lingkungan. Hal tersebut mengakibatkan terjadi konsumsi berlebih dan degradasi lingkungan (Fauzi, 2014).

Konsep nilai sumberdaya alam dan lingkungan (SDAL) sering dibedakan antara nilaiintrinsik dan nilaiinstrumental. Nilai intrinsik merupakan konsep nilai dari aspek ekologi yang memandang bahwa sesuatu nilai terlepas dari sesuatu tersebut dimanfaatkan atau tidak. Nilai instrumental merupakan konsep nilai dari aspek ekonomi yang menekankan pada ekivalensi moneter (setara dengan nilai uang atau termoneterisasi). Nilai ekonomi dalam sistem SDAL terletak pada kontribusi dari fungsi ekosistem dan layanan yang dapat diberikan terhadap well-being manusia (Fauzi, 2014). Penilaian kerusakan SDAL menurut Precht et al.

(2000) adalah proses untuk mengidentifikasi dan mengukur injury sumberdaya

alam, menentukan akibat injury serta mengembangkan dan melaksanakan

(32)

berarti hilangnya kemampuan ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa (Adrianto, 2006).

Valuasi ekonomi dan penilaian kerusakan lingkungan dapat membantu kebijakan publik dalam beberapa aspek. Pertama adalah dalam penentuan harga yang tepat (pricing strategy) dan penggunaan mekanisme fiskal, seperti pajak

lingkungan. Kedua, membantu pengambil keputusan untuk menentukan kebijakan publik akan pentingnya barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga akan membantu dalam penilaian proyek dan penentuan prioritas pembangunan. Ketiga, berhubungan dengan perencanaan pada tingkat makro seperti memasukkan aspek deplesi dan degradasi dari sumberdaya alam dan lingkungan dalam konteks perencanaan pembangunan. Keempat, informasi yang diperoleh akan membantu kebijakan publik dalam penentuan kompensasi yang terjadi pada sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi, 2014).

2.3 Kerusakan Ekosistem Lamun

Faktor kerusakan ekosistem lamun salah satunya adalah reklamasi pantai, pencemaran, penangkapan ikan dengan cara destruktif (bom, sianida, pukat dasar), dan tangkapan berlebih (over-fishing). Aktivitas-aktivitas tersebut menyebabkan

hilangnya ratusan hektar ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten. Dampaknya yaitu hilangnya nilai ekonomi ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten. Kegiatan-kegiatan yang sering terjadi di kawasan pesisir dan mampu memberikan dampak negatif terhadap ekosistem lamun dapat di lihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun

No Kegiatan Dampak

a. Hilangnya fungsi ekosistem lamun sebagai habitat di lokasi pengerukan dan pengurugan.

b. Hilangnya habitat di lokasi pembuangan hasil pengerukan. c. Meningkatnya kekeruhan air yang akan mengurangi

intensitas cahaya dengan demikian akan menghambat proses fotosintesis oleh tumbuhan air yang berakibat turunnya produksi primer.

2 Pembuangan sampah

(33)

Tabel 2.1 Dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun (Lanjutan)

No Kegiatan Dampak

b. Tumbuh suburnya (blooming) fitoplankton (ganggang renik yang hidup melayang-layang dalam air) yang akan meningkatkan kekeruhan air sehingga menghalangi penetrasi cahaya ke dalam air yang dapat menghambat laju fotosintesis ekosistem lamun dan menyebabkan menurunnya produktivitas ekosistem lamun.

c. Tumbuh suburnya ganggang renik bersel tunggal yang hidup melekat di permukaan daun-daun lamun, sehingga seluruh permukaan daun tertutup oleh ganggang, sehingga menghalangi daun menerima cahaya, dengan akibat terhentinya proses fotosintesis dan matinya ekosistem lamun.

3 Pencemaran oleh limbah industri terutama logam berat.

a. Limbah industri mampu mengakibatkan kerusakan pada ekosistem lamun akibat kadar logam berat yang berlebih. Kadar logam berat dalam ekosistem lamun jauh lebih besar daripada kadarnya dalam air dapat meracuni hewan yang makan ekosistem lamun atau detritus yang berasal dari ekosistem lamun sehingga mematikan biota-biota laut yang berasosiasi dengan ekosistem lamun.

4 Pencemaran minyak a. Lapisan minyak pada daun lamun menghalangi cahaya untuk sampai ke permukaan daun dan menembusnya, dan dengan demikian ekosistem lamun tidak dapat berfotosintesis sehingga mengakibatkan kematian pada ekosistem lamun.

Sumber: Berwick (1993) dalam Dahuri (1996)

2.4 Penelitian Terdahulu

Govindasamy et al. (2013) melakukan kajian mengenai “Seasonal Variations in Seagrass Biomass and Productivity in Palk Bay, Bay of Bengal,

India”. Hasil dari kajian tersebut menjelaskan tentang siklus hidup dan parameter

yang mempengaruhi pertumbuhan lamun, produktivitas, dan biomassa. Lamun tidak hanya bermanfaat bagi biota laut, tetapi juga untuk masyarakat. Sebagian besar masyarakat bergantung pada ekosistem lamun untuk kebutuhan sehari-hari seperti sebagai makanan dan sumber penghasilan di sepanjang pantai di daerah tropis. Spesies lamun yang dominan di wilayah ini adalah Cymodocea serrulata

dan Syringodium isoetifolium. Variasi musiman dalam biomassa, produktivitas,

(34)

mampu mempengaruhi peningkatan biomassa, produktivitas, kanopi daun tinggi dan kepadatan.

Topik penelitian mengenai valuasi ekonomi ekosistem lamun dapat ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Hadad (2012) yang berjudul “Valuasi Ekonomi Ekosistem Lamun Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara”. Penelitian dilakukan untuk mengetahui nilai manfaat dari ekosistem lamun agar terwujud kelestarian terhadap biota-biota laut. Hasil dari rekapitulasi nilai ekonomi ekosistem lamun di Pulau Waidoba, Kecamatan Kayao Selatan menunjukkan total nilai ekonomi (total economic

value) dengan luas ekosistem lamun 240,2 ha mencapai Rp 255.324.598.410,00

per tahun. Nilai ekonomi ini terdiri dari nilai ekonomi manfaat langsung (use

value) sebesar Rp 241.054.041.785,00 per tahun, nilai ekonomi manfaat tak

langsung (direct use value) sebesar Rp 4.694.820.081,00 per tahun, nilai

keberadaan (existence value) sebesar Rp 9.448.756.247,00 per tahun, nilai pilihan

(option value) sebesar Rp 33.766.994,00 per tahun dan nilai warisan (bequest

value) sebesar Rp 93.213.303,00 per tahun.

Lukmana (2012) melakukan penelitian tentang “Valuasi Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove” yang berlokasi di Pulau Penjaliran Timur, Taman Nasional Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Penelitian ini menjelaskan bahwa hutan mangrove memiliki berbagai manfaat dan nilai guna yang sangat penting yaitu potensi ekologi, biologi, dan ekonomi. Nilai dari hutan mangrove dihitung berdasarkan nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total terdiri dari 5 komponen, 2 komponennya yaitu komponen manfaat langsung dan manfaat pewarisan tidak diikutsertakan dalam bahasan peneliti. Hasil perhitungan nilai ekonomi total dari hutan mangrove di Pulau Penjaliran Timur, dimana luas mangrove seluas 6,5 ha sebesar Rp 520.216.354,51 pada tahun 2011. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan peneliti, nilai guna memberikan kontribusi lebih besar daripada nilai non-guna. Kajian mengenai nilai komponen manfaat keberadaan hutan mangrove di Pulau Penjaliran Timur, Taman Nasional Kepulauan Seribu, DKI Jakarta menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM). Metode tersebut

(35)

mempengaruhi kesediaan membayar terhadap hutan mangrove yaitu tingkat pendapatan masyarakat yang tinggi, umur, pendidikan, dan tingkat informasi mengenai manfaat serta nilai guna hutan mangrove.

Kopalit (2010) melakukan “Kajian Kerusakan Ekosistem Padang Lamun di Teluk Youtefa melalui Pendekatan Ekologi”. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa kondisi ekosistem lamun di perairan pesisir Indonesia telah mengalami kerusakan sebesar 30%-40%. Kondisi ekosistem lamun telah mengalami kerusakan yang cukup serius di Pesisir Pulau Jawa akibat pembuangan limbah dan pertambahan jumlah penduduk. Kerusakan yang terjadi pada ekosistem lamun sebesar 60%, diduga struktur komunitas dari padang lamun di Teluk Youtefa mengalami penurunan karena adanya aktivitas manusia seperti dibuatnya jalur transportasi, eksploitasi sumberdaya laut seperti teripang (sea

cucumber), dan penangkapan ikan dengan jaring yang merusak ekosistem lamun.

Yunita (2010) meneliti tentang “Estimasi Nilai Klaim Kerusakan Ekosistem Padang Lamun dengan Metode Habitat Equivalency Analysis” di Pantai Barat

Teluk Banten, Kecamatan Bojonegara. Hasil penelitian ini menggambarkan terjadinya kerusakan pada padang lamun yang ditandai dengan adanya penurunan luas padang lamun. Faktor utama terjadinya kerusakan ekosistem lamun di Pantai Barat Teluk Banten adalah kegiatan reklamasi pantai. Metode Habitat

Equivalency Analysis pada penelitian ini digunakan untuk kompensasi kerusakan

padang lamun dan lama restorasi yang akan dibutuhkan. Perhitungan Habitat

Equivalency Analysis tingkat suku bunga yang digunakan yaitu tingkat suku

bunga yang rendah karena hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suku bunga yang dipakai maka semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh padang lamun untuk pulih pada kondisi awalnya maka luas yang harus dikompensasi akan semakin tinggi. Akibatnya eksploitasi sumberdaya dimasa lalu akan meningkatkan biaya ganti rugi di masa sekarang.

(36)

kawasan kegiatan perikanan tangkap. Nilai ekonomi total pada ekosistem terumbu karang dapat dihitung dengan mengidentifikasi komponen manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, manfaat warisan, dan manfaat keberadaan. Terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa seluas 713.107 ha memiliki nilai ekonomi total sebesar Rp 17.502.480.854,99 per tahun atau Rp 24.543.872,41 per ha per tahun. Nilai manfaat langsung menyumbang nilai lebih besar daripada manfaat tidak langsung dalam nilai ekonomi total terumbu karang. Manfaat langsung yang menyumbangkan nilai ekonomi terbesar diantaranya berasal dari perikanan tangkap sebesar Rp 12.139.633.789,33 (69,4%), perikanan budidaya sebesar Rp 1.613.178.198,15 (9,2%), dan kegiatan pariwisata sebesar Rp 77.536.080,16 (0,4%).

Pengelolaan terhadap terumbu karang untuk menjaga nilai dari manfaat yang diberikan ekosistem terumbu karang perlu dilakukan. Penelitian ini memberikan 3 alternatif pengelolaan yaitu pertama, kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang diasumsikan berjalan seperti selama ini (kegiatan perikanan laut, pariwisata bahari, dan penelitian). Kedua, kegiatan perikanan tangkap menerapkan sistem pengelolaan perikanan yang berkelanjutan yaitu menerapkan pengaturan jenis alat tangkap. Ketiga, kegiatan perikanan dan pariwisata hanya diperbolehkan pada blok pemanfaatan perikanan dan pariwisata yang telah ditetapkan oleh balai taman nasional. Matriks penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Matriks penelitian terdahulu

No Nama Tahun Judul Penelitian Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu 1 Govindasamy, menghitung nilai ekonomi dan alternatif pengelolaan ekosistem lamun agar keberadaannya tetap terjaga. mengenai nilai manfaat dari ekosistem lamun tidak membahas mengenai nilai kerusakan dari ekosistem lamun.

(37)

Tabel 2.2 Matriks penelitian terdahulu (Lanjutan)

No Nama Tahun Judul Penelitian Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu 3 Lukmana 2012 Valuasi Nilai

Ekonomi Total Hutan Mangrove.

d. Peneliti membahas mengenai nilai ekonomi total dari ekosistem mangrove dan menghitung tentang kesediaan seseorang untuk membayar agar mangrove tetap lestari akan tetapi tidak memberikan alternatif yang tepat untuk dilakukan untuk menjaga keberadaan mangrove.

4 Kopalit 2010 Kajian Kerusakan Ekosistem Padang Lamun di Teluk Youtefa Melalui Pendekatan Ekologi.

e. Peneliti hanya membahas mengenai kerusakan ekosistem lamun yang terjadi di Teluk Youtefa dan tidak menghitung nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun.

f. Peneliti tidak membahas alternatif pengelolaan yang tepat diterapkan di dibutuhkan, akan tetapi tidak menghitung nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun yang terjadi di Teluk Banten.

(38)
(39)

III. KERANGKA PENELITIAN

Banten memiliki sumberdaya alam yang cukup berlimpah untuk mendorong pembangunan dan perekonomian daerah. Salah satu sumberdaya alam yang dimiliki Provinsi Banten diantaranya ekosistem lamun, mangrove, dan terumbu karang. Ekosistem lamun memiliki fungsi untuk tempat pemijahan ikan, tempat bertelurnya ikan, tempat tinggal ikan, sumber makanan dugong, menyerap karbon, pencegah erosi, dan sumber penghasilan bagi masyarakat sekitar.

Kondisi ekosistem lamun yang baik menunjukkan bahwa kawasan pesisir tersebut tidak tercemar, karena ekosistem lamun sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan. Jumlah ikan, kerang, udang, dan biota laut lainnya akan berlimpah tergantung dengan kondisi ekosistem lamun, jika ekosistem lamun dalam kondisi baik maka akan menguntungkan masyarakat pesisir. Terwujudnya kondisi tersebut memerlukan kontribusi dan kerjasama dari semua kalangan masyarakat, pemerintah, wisatawan, dan lembaga terkait untuk menjaga keberadaan ekosistem lamun.

Berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004 tentang status padang lamun dan kriteria baku kerusakan padang lamun, menunjukkan bahwa ekosistem lamun mengalami kerusakan sedang di Perairan Teluk Banten. Kerusakan tersebut dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor alam dan aktivitas manusia. Faktor alam yaitu gelombang pantai dan sedimentasi, sedangkan faktor yang dominan adalah peningkatan aktivitas manusia di Perairan Kecamatan Bojonegara. Aktivitas di Perairan Kecamatan Bojonegara sangat bervariasi mulai dari aktivitas industri, pelabuhan, perikanan, penambangan, pembangkit listrik, dan lainnya. Aktivitas-aktivitas tersebut berdampak terhadap penurunan luas ekosistem lamun (Kiswara, 2004).

(40)

serta adanya alat tangkap nelayan yang tidak ramah lingkungan seperti bondet dan jaring arad. Masalah lainnya yaitu belum adanya peraturan dan kelembagaan formal maupun informal yang mengatur pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan, padahal ekosistem lamun berpotensi untuk perekonomian masyarakat pesisir di Kecamatan Bojonegara. Kebijakan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Banten dalam pengembangan perekonomian Kecamatan Bojonegara yaitu memberikan izin untuk pembangunan industri dan dermaga. Kegiatan tersebut berdampak negatif tidak hanya terhadap ekosistem lamun tetapi juga terhadap ekosistem lain seperti mangrove, dan terumbu karang. Kondisi tersebut jika terus dibiarkan akan menyebabkan ekosistem lamun terus mengalami kerusakan bahkan hilang.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian ini akan mengkaji nilai ekonomi kerusakan dan pengelolaan ekosistem lamun. Pengelolaan ekosistem lamun dapat dilihat dengan pengamatan fungsi ekonomi dan fungsi ekologi lamun. Fungsi ekonomi ekosistem lamun bagi masyarakat pesisir di Kecamatan Bojonegara yaitu sebagai kawasan tangkapan ikan dan non-ikan seperti udang, kerapu, belanak, kepiting, kakap, dan kerang. Fungsi ekologi ekosistem lamun yaitu sebagai tempat pemijahan ikan dan pencegah abrasi. Faktanya, fungsi ekosistem lamun yang dirasakan masyarakat pesisir di Kecamatan Bojonegara mengalami perubahan karena adanya aktivitas di kawasan pesisir seperti reklamasi pantai, pencemaran dari industri maupun dari masyarakat pesisir, dan aktivitas nelayan (alat tangkap dan baling-baling perahu). Saat ini, Kawasan Pesisir Kecamatan Bojonegara terdapat masalah kepentingan antara pemanfaat ekosistem lamun dengan aktivitas ekonomi dan pembangunan di kawasan pesisir. Permasalahan tersebut menyebabkan kerusakan terhadap ekosistem lamun di kawasan pesisir. Berdasarkan masalah tersebut maka dirumuskan tiga tujuan penelitian: pertama, mengkaji persepsi masyarakat dan nelayan tentang fungsi serta kondisi ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara yang dianalisis dengan skala likert. Kedua, mengestimasi nilai ekonomi kerusakan ekosistem

lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara dan Perairan Teluk Banten menggunakan metode change on productivity dan replacement cost. Ketiga,

(41)

Bojonegara dengan metode weighted sum model. Berdasarkan dari tujuan-tujuan

tersebut diperoleh nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun dan diharapkan penelitian menjadi suatu acuan untuk kebijakan pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan di Perairan Kecamatan Bojonegara. Secara rinci kerangka penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

Pengelolaan ekosistem lamun di Wilayah Pesisir Kecamatan Bojonegara

Nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun di Teluk Banten

Kebijakan pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan Persepsi masyarakat dan

(42)
(43)

IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu metode survei. Metode survei adalah penyelidikan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah (Nazir, 2003). Hasil dari survei yang dilakukan mampu memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan. Informasi tersebut dikumpulkan sampel dari populasi untuk mewakili seluruh populasi.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner terhadap masyarakat pesisir di Kecamatan Bojonegara, nelayan, dan stakeholder seperti

(44)

Tabel 4.1 Jenis data, parameter, dan sumber data dalam penelitian

(45)

4.3 Metode Pengambilan Data

Pengambilan dan pengumpulan data primer dan sekunder diperoleh dari hasil wawancara, pengisian kuesioner oleh responden, dan instansi pemerintah. Pengambilan data menggunakan metode non-probability sampling karena peluang

masyarakat tidak sama untuk memanfaatkan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara, dan tidak tersedia dengan jelas daftar nama penduduk yang memanfaatkan jasa ekosistem lamun dalam aktivitas ekonominya. Responden ditentukan dengan metode purposive sampling karena teknik

wawancara dan pengisian kuesioner dilakukan oleh responden berdasarkan tujuan dari penelitian, dimana hanya mewawancarai responden yang mengetahui dan/atau memanfaatkan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara. Responden yang dibutuhkan dalam penelitian sebanyak 89 responden yang terdiri 50 perwakilan dari masyarakat Kecamatan Bojonegara, 25 nelayan tangkap Teluk Banten, 14 dari instansi pemerintahan. Data dikumpulkan selama 50 hari. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mendatangi responden ke setiap rumah masing-masing. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara menggunakan alat bantu kuesioner. Selama proses wawancara, informasi yang diperoleh dari responden dicatat oleh peneliti.

4.4 Metode Analisis

Pemecahan masalah menggunakan empat metode analisis yaitu analisis deskriptif dengan metode skala likert, change on productivity, replacement cost

dan weighted sum model. Analisis deskriptif dengan metode skala likert

digunakan untuk mengetahui persepsi dari masyarakat dan nelayan tentang manfaat serta kondisi ekosistem lamun dari dahulu sampai sekarang, mengetahui seberapa penting dilakukannya pengelolaan ekosistem lamun bagi masing-masing pihak di Perairan Kecamatan Bojonegara.

Metode change on productivity digunakan untuk menghitung perubahan

nilai produksi atau hasil tangkapan nelayan akibat kerusakan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara. Metode change on productivity dihitung dengan

(46)

ekosistem lamun. Nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun dilihat berdasarkan berkurangnya manfaat yang dirasakan responden akibat perubahan luas ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara dan Perairan Teluk Banten. Kerusakan ekosistem lamun disebabkan oleh adanya pembangunan terutama industri dan dermaga, limbah yang tidak dikelola baik oleh pihak industri dan masyarakat, serta alat tangkap nelayan yang tidak ramah lingkungan di Perairan Kecamatan Bojonegara. Penilaian biaya pengganti dari kerusakan ekosistem lamun seperti fungsi ekosistem lamun sebagai tempat pemijahan dan pencegah abrasi dapat

dihitung dengan pendekatan replacement cost. Kajian berikutnya mengenai alternatif-alternatif pengelolaan ekosistem

lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara menggunakan analisis Weighted Sum

Model (WSM) dengan melakukan wawancara terhadap stakeholder atau pihak

yang paham mengenai ekosistem lamun. Masing-masing alternatif diberikan kriteria dan bobot sehingga ditemukan alternatif prioritas untuk mengelola ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara. Manfaat dari alternatif tersebut yaitu agar keberadaan ekosistem lamun tetap terjaga dan mampu memberikan nilai ekonomi terhadap masyarakat yang memanfaatkannya secara langsung. Matriks metode analisis yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Matriks metode analisis data

No Tujuan Penelitian Jenis Data Metode Analisis

1 Mengkaji persepsi dari masyarakat serta nelayan tentang fungsi serta kondisi ekosistem lamun di

terhadap ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara.

Primer Weighted Sum Model (WSM)

4.4.1 Analisis Deskriptif

(47)

diperoleh dari hasil wawancara dan kuesioner yang diberikan kepada responden. Metode skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi

seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial (Riduan, 2010). Persepsi adalah tanggapan yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu fenomena berdasarkan penglihatan, pendengaran, dan pengalaman dimasa lalu. Pernyataan responden dihubungkan dengan indikator skala dari sangat buruk hingga sangat baik, dimana masing-masing kriteria memiliki skor sebesar 1 hingga 5 dan jumlah responden sebanyak 75 orang. Selanjutnya, penentuan batas nilai tertinggi dan nilai terendah disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Batas nilai tertinggi dan nilai terendah

Kriteria Bobot Nilai terendah dan tertinggi (jumlah responden x bobot)

Sangat buruk 1 75

Penentuan berikutnya yaitu menentukan selang interval untuk memperoleh selang nilai masing-masing kriteria. Rumus untuk menentukan selang interval dibahas seperti berikut:

Selang interval =(nilai tertinggi – nilai terendah) jumlah kriteria

Selang interval =(375−75) 5 Selang interval = 60

Langkah berikutnya yaitu membuat selang nilai untuk masing-masing kriteria, dimana selang nilainya diawali dari nilai terendah hingga nilai tertinggi dengan selang interval 60. Selang nilai masing-masing kriteria dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Selang nilai masing-masing kriteria

Kriteria Selang nilai

Selang nilai yang diperoleh merupakan kesimpulan dari skala likert, dimana

(48)

pernyataan atau persepsi dari responden. Persepsi responden yang menggunakan metode skala likert disajikan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Persepsi responden tentang fungsi serta kondisi ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara

No Pernyataan Sangat Buruk Buruk Sedang Baik Sangat Baik 1 Kondisi ekosistem lamun

Kekayaan alam memiliki nilai bagi manusia karena alam merupakan sumberdaya yang produktif, menghasilkan manfaat baik dalam bentuk barang maupun jasa. Pendekatan produktivitas dalam penilaian ekonomi sumberdaya alam menggunakan asumsi bahwa sumberdaya alam dipandang sebagai input bagi suatu produk final yang bernilai bagi publik, dan kapasitas produksi dari sumberdaya alam tersebut dinilai dari seberapa besar kontribusi sumberdaya alam terhadap produksi produk final (Grigalunas and Congar, 1995 dalam Adrianto,

2006).

(49)

a. Nilai Ekonomi Ekosistem Lamun Sebelum Kerusakan (NELSK0)

Nilai ekonomi ekosistem lamun sebelum kerusakan adalah nilai ekonomi yang diperoleh dari manfaat langsung sebelum terjadi kerusakan terhadap ekosistem lamun. Luasan ekosistem lamun yang dapat dimanfaatkan masyarakat sebesar 366,9 ha, sedangkan luas Perairan Kecamatan Bojonegara 1.950 ha (Kiswara, 2004). Nilai ekonomi ekosistem lamun sebelum kerusakan dapat dirumuskan sebagai berikut:

NESK0 = [(Pi0 x Hi x Ni) – CPi0] / L (i) Keterangan:

NESK0 = Nilai ekonomi ekosistem lamun sebelum kerusakan (Rp/ha/tahun) Pi0 = Produksi komoditi i sebelum kerusakan (Kg/tahun/orang)

Hi = Harga komoditi i (Rp/kg)

Ni = Jumlah nelayan komoditi i (orang)

CPi0 = Biaya operasi penangkapan komoditi i sebelum kerusakan (Rp) I = Jenis komoditi terdiri dari udang, kerapu, belanak, kepiting, kakap

dan kerang

L = Luas Perairan Kecamatan Bojonegara (ha)

b. Nilai Ekonomi Ekosistem Lamun Setelah Kerusakan (NELSK1)

Nilai ekonomi ekosistem lamun setelah kerusakan adalah nilai ekonomi yang diperoleh dari manfaat langsung setelah terjadinya kegiatan-kegiatan yang menyebabkan rusaknya ekosistem lamun. Luasan ekosistem lamun yang dapat dimanfaatkan setelah terjadinya kerusakan ekosistem lamun sebesar 111,2 ha. Luas Perairan Kecamatan Bojonegara 1.950 ha (Kiswara, 2004). Nilai ekonomi ekosistem lamun setelah terjadinya kerusakan dirumuskan sebagai berikut:

NESK1 = [(Pi1 x Hi x Ni) - CPi1] / L (ii) Keterangan:

NESK1 = Nilai ekonomi ekosistem lamun setelah kerusakan (Rp/ha/tahun) Pi1 = Produksi komoditi i setelah kerusakan (Kg/tahun/orang)

Hi = Harga komoditi i (Rp/kg)

Ni = Jumlah nelayan komoditi i (orang)

CPi1 = Biaya operasi penangkapan komoditi i setelah kerusakan (Rp) I = Jenis komoditi terdiri dari udang, kerapu, belanak, kepiting, kakap

dan kerang

L = Luas Perairan Kecamatan Bojonegara (ha) c. Kehilangan Ekonomi Ekosistem Lamun (KEL)

(50)

lamun adalah nilai ekonomi yang hilang dari manfaat langsung ekosistem lamun setelah adanya perubahan luas ekosistem lamun. Formulasi dari kehilangan ekonomi lamun sebagai berikut:

KELkti = NELSK0 - NESK1 (iii)

Keterangan:

KELkti = Kehilangan ekonomi ekosistem lamun sebagai kawasan penangkapan ikan dan non-ikan (Rp/ha/tahun)

NELSK0 = Nilai ekonomi ekosistem lamun sebelum kerusakan (Rp/ha/tahun) NESK1 = Nilai ekonomi ekosistem lamun setelah kerusakan (Rp/ha/tahun)

Kehilangan ekonomi ekosistem lamun yang diperoleh menggambarkan nilai kerusakan dari ekosistem lamun.

4.4.3 Replacement Cost

Biaya pengganti (replacement cost) didasarkan pada estimasi besarnya biaya

yang disediakan oleh pengguna jasa lingkungan untuk menghindari kerusakan lingkungan (avoid cost), atau biaya restorasi dan rehabilitasi lingkungan

(replacement cost), atau biaya substitusi atas jasa lingkungan yang mengalami

kerusakan (King and Mazzotta, 2005 ; Hanley and splash, 1995 ; Hussen, 2000 ; Pearce et al, 1994 dalam Tampubolon, 2007). Dengan kata lain, biaya pengganti

dapat diasumsikan sebagai manfaat jasa lingkungan akibat peningkatan kualitas lingkungan melalui rehabilitasi, restorasi, dan konservasi ekosistem (Field, 1994

dalam Tampubolon, 2007).

Pembangunan industri, pembangunan dermaga, dan aktivitas nelayan di Perairan Kecamatan Bojonegara diduga mengakibatkan hilangnya luas ekosistem lamun. Hilangnya luas ekosistem lamun menyebabkan hilangnya manfaat tidak langsung ekosistem lamun seperti sebagai tempat pemijahan ikan dan pencegah abrasi. Nilai manfaat tidak langsung sebagai tempat pemijahan ikan dan pencegah abrasi dapat dihitung dengan pendekatan replacement cost.

a. Ekosistem Lamun sebagai Tempat Pemijahan Ikan

Nilai ekosistem lamun sebagai tempat pemijahan ikan dihitung melalui pendekatan pembuatan tambak. Biaya pembuatan tambak menggambarkan nilai tempat pemijahan ikan sebagai pengganti fungsi ekosistem lamun. Formulasi

replacement cost dalam kajian ini mengacu pada penelitian Yusuf (2008) sebagai

Gambar

Tabel 1.1 Kondisi tutupan lamun dan kerusakan ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten
Tabel 2.1 Dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun
Tabel 2.1 Dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun (Lanjutan)
Tabel 2.2 Matriks penelitian terdahulu
+7

Referensi

Dokumen terkait

coba 2 kelas eksperimen luwih apik tinimbang kelas kontrol; (3) Media audiovisual “slide bersuara” nduweni daya kanggo ngundhakake kawasisan siswa ngapresiasi crita

Metode AHP membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan didasari dari berbagai

Hasil penelitian yang dilakukan peneliti menunjukkan pada Tabel 2 bahwa variabel penelitian Promotion (Promosi) tertinggi pada kategori baik dengan persentase

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat kering daun, berat kering batang dan total produksi hijauan yang diberi pupuk bioslurry nyata lebih tinggi dibandingkan

reaksi terhadap kejadian, masalah atau trauma yang sangat berat pada individu akibat ketidakmampuan untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan yang dialami7. •

Sesuai dengan gambar diatas, efektivitas menggambarkan seluruh siklus input proses, output yang mengacu pada hasil guna dari pada suatu organisasi, program atau

Sebagai proses terakhir di hari kedua pertemuan, peserta yang telah dibagi menjadi beberapa kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil evaluasi kegiatan yang

Pengelolaan perbekalan farmasi harus dikelola secara efektif karena merupakan komponen terbesar dalam pengeluaran rumah sakit (±40-50%) dan dana kebutuhan obat rumah sakit