commit to user
LANDASAN KEPUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEBELUM DAN SESUDAH UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 jo
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
YUNITA ANGGUN FRISTIAWATI E. 1107088
FAKULTAS HUKUM
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
LANDASAN KEPUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEBELUM DAN SESUDAH UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 jo
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006
Disusun oleh :
YUNITA ANGGUN FRISTIAWATI NIM : E1107088
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing Skripsi Pembimbing Pembantu
AGUS RIANTO, S.H, MHum. ZENI LUTFIYAH, S.Ag, M,Ag.
commit to user PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
LANDASAN KEPUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEBELUM DAN SESUDAH UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 jo
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006
Disusun oleh :
YUNITA ANGGUN FRISTIAWATI NIM E1107088
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Jumat
Tanggal : 22 Juli 2011
TIM PENGUJI
1. H. Moh.Adnan, S.H, M.Hum. : ………... NIP.19540712 198403 1 002
Ketua
2. Zeni Lutfiyah, S.Ag, M,Ag. : ... NIP. 19721011 200501 2 001
Sekretaris
3 Agus Rianto, S.H, M.Hum. : ... NIP. 19610813 198903 1 002
Anggota
MENGETAHUI
Dekan,
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Yunita Anggun Fristiawati
NIM : E. 1107088
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum skripsi berjudul :
LANDASAN KEPUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEBELUM DAN
SESUDAH UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 jo UNDANG
UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal
yang bukan karya saya dalam penulisan hukum skripsi ini diberi tanda citasi dan
ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan
saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutam penulisan hukum skripsi dan gelar yang saya peroleh dari penulisan
hukum skripsi ini.
Surakarta, 22 Juli 2011
Yang membuat pernyataan
commit to user MOTTO
“Action May Not Alway Bring Happiness, But Thing’s No Happiness Whitout Action”
(Benjamin Pisraeli)
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari
suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada
Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”
(Q.S Alam Nasyrah: 6-8)
“Positive thinking attracts positive things”
(Andrew Mattews)
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini Penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta, dan terima kasih
kepada:
1. Allah SWT Sang Sang Pemilik Alam Semesta atas segala karunia, rahmat, dan nikmat
yang telah diberikan-Nya.
2. Nabi Muhammad S AW Rasulku, sebagai Uswatun Hasanah yang telah memberi suri
teladan bagi umatnya
3. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Supriyono,S.H dan Ibu Ani Irawati atas segala doa,
bimbingan, nasehat,, dukungan, kehangatan cinta dan kasih sayang yang senantiasa
tercurahkan untukku.
4. Seluruh keluarga besarku atas perhatian dan dukungannya.
5. Kakak sepupuku Dani Permana Putra, S.H dan Dicky Andrianto Saputra , Atas segala
dorongan semangatnya serta dukungannya selama ini.
6. Seluruh sahabat baikku atas perhatian dan dorongannya.
7. Dan Yang tidak tertinggal adalah teman-teman nonreg 07 semua, atas segala dukungan,
commit to user ABSTRAK
Yunita Anggun Fristiawati, NIM. E 1107088. LANDASAN KEPUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEBELUM DAN SESUDAH UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian dalam rangka Penulisan Hukum ini memiliki tujuan : 1) Untuk mengetahui landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum materiil dan landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum formil Pengadilan Agama sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. 2) Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap produk keputusan Pengadilan Agama sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian preskriptif. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Dalam analisis data digunakan pendekatan kualitatif.
Berdasarkan penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1) Landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum materiil pengadilan agama sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 pada dasarnya adalah hukum Islam yang telah diserap oleh hukum adat (tidak tertulis). Dan sesudah Undang-undang tersebut berlaku, hukum materiil Pengadilan Agama adalah hukum Islam yang sebagian besar sudah dianggap sebagai hukum tertulis dan hukum yang hidup di tengah masyarakat Indonesia. Menurut hukum Islam, secara prinsip hukum materiil baik sebelum maupun sesudah diberlakukannya Undang-undang tersebut, tidaklah bertentangan dengan hukum Islam. Sedangkan pandangan hukum Islam terhadap hukum formil Pengadilan Agama baik sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 secara prinsip tidaklah bertentangan dengan hukum Islam. Bahkan, pasca lahirnya Undang-undang tersebut terdapat beberapa khususan hukum acara. Menurut hukum Islam, hal ini justru lebih tegas dan mendekati maksud dan jiwa hukum Islam. 2) Landasan keputusan pengadilan agama Terhadap Produk Keputusan Pengadilan Agama Sebelum Dan Sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 pada dasarnya produk keputusan pengadilan agama setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 lebih mendekati hukum Islam jika dibandingkan dengan produk keputusan Pengadilan Agama sebelum lahirnya Undang-undang tersebut.
commit to user
viii ABSTRACT
Yunita Anggun Fristiawati, NIM. E 1107088. RELIGIOUS COURT DECISION TRACKS BEFORE AND AFTER UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006. Faculty Of Law University Sebelas Maret.
Research in the framework of the writing of this law has a purpose : 1.) To know the religious court decision tracks to the substantive law and the views of Islamic Law against the Religious formal law before and after Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. 2.) To know the religious court decision tracks of the Religious products before and after Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
The research method used in this research is normative legal research methods with the bature of the study is a prespective study. The type of data used in this research is secondary data types. Data collection techniques used in this study is library research. In the data analysis used a qualitative approach.
Based on this study can be concluded as follows: 1.) Religious court decision tracks to the substantive law of religious courts before the enactment of Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Law on Religious Courts basically is the law of Islam that have been absorbed by customary law (unwritten). And after the law applicable, material law is the law of Islamic religious courts that have largely been regarded as the written law and the law who live in Indonesian society. According to Islamic law, in principle, substantive law before and after the enactment of these laws, not contrary to Islamic law. While the view of Islamic law against the law of formal religious courts both before and after the enactment of legislation Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 in principle it is not contrary to Islamic law. In fact, after the birth of the legislation contained some of the specifics of procedural law. According to Islamic law, this Promised even more firmly and close to the intent and spirit of Islamic law. 2.) religious court decision tracks the product of religious court decisions before and after the legislation - legislation Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. About judicial decision religion is basically the product of religious courts after the enactment of the law Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Closer to Islamic law when compared to the product of religious court decision before the birth of the law.
commit to user KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, berkah, serta karunia-Nya yang telah diberikan kepada Penulis, sehingga Penulis mampu menyelesaikan tugas penulisan hukum dengan judul “LANDASAN KEPUTUSAN PENDAGILAN AGAMA SEBELUM DAN SESUDAH UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 jo UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006”
Penulisan hukum ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi
syarat-syarat untuk memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Atas berbagai bantuan yang telah banyak membantu Penulis selama
melaksanakan studi sampai terselesaikannya penyusunan penulisan hukum ini,
maka pada kesempatan kali ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
kepada :
1. Ibu Prof.Dr.Hartiwiningsih, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
2. Bapak Mohammad Adnan, S.H, M.Hum selaku Tim Penguji Penulis.
3. Bapak Agus Rianto, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing Penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini.
4. Ibu Zeni Lutfiyah,S.Ag, M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang turut serta
membimbing penulis dalam penulisan hukum ini.
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas
segala dedikasinya terhadap seluruh mahasiswa termasuk Penulis selama
Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
6. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah
banyak membantu segala kepentingan Penulis selama Penulis menempuh
studi di Fakultas Hukum UNS Surakarta.
commit to user
x
bersedia mengorbankan segala sesuatu untukku serta memberikan pelajaran
hidup yang paling berharga yang menjadi kekuatan dan bekal dalam
menjalankan kehidupan ini.
8. Keluarga besarku terima kasih atas doa dan dukungannya.
9. Kakak sepupuku Dani Permana Putra,S.H dan Dicky Andrianto Saputra atas
segala dorongan semangatnya serta dukungannya selama ini.
10.Teman-temanku Kiki, Mami monic, Rina, Beb Alyn, Beb Wiwik, Uji, Natah,
Kak Sanny, Mba Dee, Nana, Mayang, Muti, Kak Intan, Mas Dimas terima
kasih untuk doa dan dukungannya.
11.Teman-teman Angkatan 2007 Non Reguler dan semua pihak yang membantu
dalam penulisan hukum ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari
kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis terima
dengan senang hati
Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi sumbangan Pengetahuan dan
Pengembangan Hukum pada khususnya dan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Dan semoga pihak-pihak yang telah membantu Penulisan Hukum ini, atas amal
baik mereka semoga mendapat pahala dari Allah SWT. Amin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Surakarta,22 Juli 2011
commit to user DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAKS ... vii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Metode Penelitian ... 6
F. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 14
A. Kerangka Teori ... 14
B. Kerangka Pemikiran ... 28
BAB III : HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
A. Landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum materiil dan hukum formil pengadilan agama sebelum dan sesudah Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ……….. 30
commit to user
xii
BAB IV : PENUTUP ... 51
A. Simpulan ... 51
B. Saran ... 52
commit to user DAFTAR GAMBAR
commit to user BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Alur kehidupan manusia di dunia ini ibarat sebuah pelayaran di
samudra luas. Sehingga untuk mengarunginya manusia perlu waspada, ada
tata aturan dan tata nilai yang harus dipegangi sebagai petunjuk. Tanpa aturan
dan tata nilai, maka manusia akan terombang-ambing dan tersesat tanpa
tujuan.
Dalam kondisi seperti itulah manusia sesungguhnya membutuhkan
satu buku petunjuk tentang kebenaran atas segala sesuatu di bumi ini, yang
akan memberi arah yang benar hingga mencapai tujuan yang hendak
dicapainya. Buku petunjuki ini tidak lain adalah Al-Qur’an sebuah kitab suci
yang diturunkan Allah SWT untuk segenap manusia rasul-Nya Muhammad
SAW hingga akhir jaman nanti. Hal ini adalah logis, sebab Al-Qur’an
diturunkan oleh Tuhan semesta alam, pencipta semua isi langit dan bumi,
yang mengetahui segala sesuatu, hingga tak satu helai daun pun yang jatuh ke
permukaan bumi yang terlepas dari pengetahuan-Nya.
Sebagai cahaya utama bagi umat Islam, Al-Qur’an menyinari jalan
bagi siapa saja yang berpegang teguh kepada-Nya. Al-Qur’an tidak hanya
mengatur soal peribadatan, tetapi juga mengatur semua masalah yang ada
hubungannya antar manusia yang meliputi aspek-aspek antara lain ; ilmu
pengetahuan, politik, sosial, budaya, ekonomi dan hukum yang mengatur lalu
lintas kehidupan manusia. Demikianlah Allah telah memberikan rahmat-Nya
pada umat manusia seluruhnya, dan kepada umat Islam khususnya.
Namun aturan-aturan atau hukum-hukum Tuhan tersebut tidak
mungkin bisa dilaksanakan tanpa adanya suatu kekuatan atau lembaga yang
diberi wewenang dan kekuasaan untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut.
Lembaga inilah yang dikenal sebagai lembaga peradilan atau pengadilan.
Sedangkan orang yang diberi wewenang untuk melaksanakan tugas peradilan
disebut sebagai hakim.
Dalam bukunya “Peradilan Dalam Hukum Acara Islam”, Hasbi Ash
Shiddiqi mengatakan :
“Peradilan telah dikenal dari zaman purba dan dia merupakan suatu
kebutuhan hidup bermasyarakat. Tidak dapat suatu pemerintahan tanpa
adanya peradilan.” (Hasbi Ash Shiddiqi, 1964 : 7).
Menyusun berbagai undang-undang lanjut beliau tidaklah cukup untuk
mewujudkan keselamatan hidup berbagai masyarakat, apabila di samping
undang itu tidak ada peradilan yang berwenang menjalankan
undang-undang tersebut.
Adanya dalil yang menunjukkan kepada keharusan adanya lembaga
peradilan adalah firman Allah Al-Quran surah Shad : 26 :
Artinya : Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu kholifah
(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan adil. (Depag RI. 1980 : 736).
Di Indonesia, lembaga peradilan Islam sebagaimana dimaksud di atas,
dikenal dengan istilah Pengadilan Agama, yang sejak tahun 1970 secara
yuridis telah sejajar kedudukannya dengan tiga badan peradilan yang lainnya,
yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Hal ini terlihat dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam perkembangannya, Peradilan Agama di Indonesia menyentuh
setidaknya empat aspek : pertama, berkenaan dengan kedudukan peradilan
dalam tata hukum nasional ; kedua, berkenaan dengan susunan dengan badan
peradilan ; ketiga, berkenaan dengan kekuasaan pengadilan ; dan keempat,
berkenaan dengan hukum acara yang dijadikan landasan penerimaan,
commit to user
Hindia-Belanda karena itu dapat disaksikan bahwa kedudukan, susunan dan
kekuasaan badan peradilan mengalami variasi.
Adapun dasar yang dijadikan rujukan dalam perubahan itu adalah
Pasal 24 dan 25 UUD 1945. Mengacu kepada ketentuan ini, dilakukan
perubahan susunan dan kekuasaan badan peradilan dalm Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1948, kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1964, Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan terakhir
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan
bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan
pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya
berdasarkan ketentuan undang-undang.
Kemudian pada tanggal 29 Desember 1989 terjadi peristiwa yang
berkenaan dengan berlakunya sebagian hukum Islam dan penyelenggaraan
peradilan Islam di Indonesia. Peristiwa itu adalah pengesahan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang-Undang-Undang
tersebut merupakan salah satu peraturan perundang-undangan untuk
melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dalam upaya mewujudkan suatu tatanan hukum
nasional yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945, yang berangkai dengan
peraturan perundangan lainnya yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai pengganti peraturan
perundangan lainnya, memuat beberapa perubahan penting dalam
penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia. Perubahan-perubahan itu
berkenaan dengan ; 1) dasar hukum penyelenggaraan peradilan, 2) kedudukan
peradilan, 3) susunan pengadilan, 4) kedudukan, pengangkatan dan
pemberhentian hakim, 5) kekuasaan pengadilan, 6) hukum acara peradilan, 7)
penyelenggaraan administrasi peradilan, dan 8) perlindungan terhadap wanita.
Ada hal yang menarik untuk dicermati sehubungan dengan
perkembangan peradilan Islam di Indonesia, yakni bagaimanakah pandangan
hukum islam terhadap keputusan Pengadilan Agama di Indonesia baik
sebelum maupun sesudah Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama diberlakukan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penulisan hukum ini penulis
ingin mengangkat permasalahan tentang pandangan hukum Islam terhadap
keputusan pengadilan agama sebelum dan sesudah Undang-Undang nomor 7
Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama. Untuk itu dalam penulisan hukum ini mengambil judul
“LANDASAN KEPUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEBELUM DAN
SESUDAH UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 jo
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dalam
penelitian ini peneliti merumuskan permasalahan yang hendak dibahas dalam
penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum
materiil dan landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum formil
Pengadilan Agama sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006?
2. Bagaimanakah landasan keputusan pengadilan agama terhadap produk
keputusan Pengadilan Agama sebelum dan sesudah Undang-Undang
commit to user C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas
yang hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam
melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin
dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui landasan keputusan pengadilan agama terhadap
hukum materiil dan landasan keputusan pengadilan agama terhadap
hukum formil Pengadilan Agama sebelum dan sesudah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006.
b. Untuk mengetahui landasan keputusan pengadilan agama terhadap
produk keputusan Pengadilan Agama sebelum dan sesudah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006.
2. Tujuan Subjektif
Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai
bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan
kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang
didapat dari penelitian ini adalah:
1. Untuk kepentingan ilmiah, yakni agar dapat dijadikan masukan positif
untuk kajian berikutnya terhadap masalah-masalah yang dikemukakan
2. Untuk kepentingan terapan, yakni merupakan sumbangan moril bagi para
hakim pengadilan agama khususnya, juga para praktisi hukum lainnya.
serta para masyarakat pada umumnya.
E. Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu proses, yaitu suatu rangkaian langkah-langkah
yang dilakukan secara terencana dan sistematis guna mendapatkan pemecahan
masalah atau mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu.
(Burhan Ashshofa, 2004 : 11). Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan
ilmiah berdasarkan pada metode, sistematis dan pemikiran tertentu yang
bertujuan mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisa. (Soerjono Soekanto, 2006: 7).
Metode penelitian adalah cara atau jalan yang ditempuh sehubungan
dengan penelitian yang dilakukan, yang memiliki langkah-langkah yang
sistematis yang menyangkut masalah kerjanya yaitu cara kerja untuk dapat
memahami yang menjadi sasaran penelitian yang bersangkutan, melalui
prosedur penelitian dan teknik penelitian. (Burhan Ashshofa, 2004 : 23)
Dengan kata lain pengertian metode penelitian adalah cara yang teratur
dan sistematik secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah
yang bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran
maupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa, dengan demikian
metode penelitian merupakan unsur yang sangat penting dalam kegiatan
penelitian agar data yang diperoleh benar-benar akurat dan teruji
commit to user
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Dalam penelitian hukum normatif, peneliti
tidak perlu mencari langsung ke lapangan, sehingga cukup dengan
mengumpulkan data-data sekunder dan mengkonstruksikan dalam suatu
rangkaian hasil penelitian.
2. Sifat Penelitian
Dalam penelitian hukum ini, sifat penelitian yang digunakan adalah
penelitian preskriptif. Penelitian preskriptif yaitu suatu kerangka
konseptual, suatu perangkat asumsi, nilai, atau gagasan yang
mempengaruhi persepsi dan cara kerja seseorang dalam bertindak pada
suatu situasi (Mulyana, 2006:16). Sebagai penelitian yang bersifat
preskiptif, maka dalam penelitian ini perlu mempelajari tujuan hokum,
nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan
norma-norma hokum (Peter Mahmud Marzuki, 2006:22).
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya.
Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan
undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif
(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).(Peter Mahmud Marzuki, 2006: 93).
Dari kelima pendekatan penelitian hukum tersebut, yang relevan
undang-undang (statute approach). Yang dimaksud pendekatan pendekatan
undang-undang (statute approach) adalah pendekatan dengan cara
melakukan telaah terhadap perilaku atau pandangan yang terkait dengan
pandangan hukum Islam terhadap putusan Pengadilan Agama sebelum dan
sesudah berlakunya Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
4. Jenis Data
Dalam penelitian hukum, data yang digunakan dapat dibedakan
antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan
bahan-bahan kepustakaan. Data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat
dinamakan data primer (data dasar), sedangkan yang diperoleh dari
bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder. (Soerjono Soekanto,
2006:12).
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
data sekunder yaitu data yang diperoleh tidak langsung dari sumbernya.
yaitu berupa studi dokumen seperti buku, arsip, peraturan
perundang-undangan, dan berbagai literatur lainnya yang berkaitan dengan pokok
bahasan yang dikaji oleh penulis.
5. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber
Data Sekunder. Merupakan data yang secara tidak langsung yang
memberikan bahan kajian penelitian dan bahan hukum yang berupa
dokumen, arsip, peraturan perundang-undangan, dan berbagai literatur
lainnya. Sumber data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini
commit to user a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder sebagai pendukung dari data yang akan
digunakan dalam penelitian ini yaitu terdiri atas buku-buku teks yang
ditulis oleh ahli hukum, dokumen resmi dari pejabat yang berwenang,
karya ilmiah, artikel dan sumber lainnya yang memiliki korelasi dengan
penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier dari penelitian ini adalah bahan hukum
yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan
huku, sekunder, yaitu kamus dan internet yang berkaitan dengan
penelitian.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan satu cara agar data suatu
penelitian mempunyai validalitas yang tinggi. Menurut Soerjono
Soekanto, dalam suatu penelitian dikenal 3 (tiga) jenis teknik
pengumpulan data yaitu : studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan
atau observasi, dan wawancara atau interview. (Soerjono Soekanto, 2006:
21)
Dalam upaya pengumpulan data dari sumber data di atas, penulis
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
a. Studi kepustakaan, yaitu proses pengumpulan data sekunder. Penulis
perundang-undangan, karangan ilmiah, dokumen resmi, makalah,
artikel, surat kabar dan majalah serta bahan pustaka lain yang ada
hubungan dengan masalah yang diteliti.
b. Cyber media yaitu pengumpulan data melalui internet.
7. Teknik Analisis Data
Data primer dan sekunder yang telah terkumpul disusun kembali
secara teratur kemudian dianalisa, analisa yang dilakukan secara kualitatif
dengan dasar ilmu hukum dilengkapi kajian pustaka memperjelas serta
melengkapi kajian yang komplit dan mendalam.
Ketepatan dari sebuah analisis data ditentukan oleh jenis data yang
diperoleh oleh peneliti. Jika data itu valid maka penelitian akan valid juga,
demikian sebaliknya. Adapun teknik yang digunakan:
a) Trianggulation, dimana peneliti menggunakan beberapa data untuk
mengumpulkan dating yang sama. Data yang digunakan dari sumber
primer dan sekunder diharapkan diperoleh hasil penelitian yang valid
serta, mendekati kesempurnaan (Soerjono Soekamto, 2004:56).
b) Data yang terkumpul yang merupakan bukti penelitian disusun dengan
harapan memudahkan review kembali jika diperlukan. Data dapat
berupa diskripsi, gambar, skema, rekaman dan lain-lain.
c) Memelihara rantai kaitan dari semua bukti penelitian, hal ini dilakukan
untuk meningkatkan nilai penelitian dan beberapa informasi dalam
commit to user
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan,
penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun
sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan
hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka
teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis
akan menguraikan tinjauan umum tentang dasar
penyelenggaraan Pengadilan Agama sebelum dan sesudah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, tinjauan umum
tentang hukum materiil dan hukum formil pengadilan agama
sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama, serta produk keputusan pengadilan agama sebelum dan
sesudah Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Sedangkan dalam kerangka pemikiran penulis akan
menampilkan bagan kerangka pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab
permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya: Pertama,
landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum materiil
Agama sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Kedua, landasan
keputusan pengadilan agama terhadap produk keputusan
Pengadilan Agama sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 jo Unang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
BAB IV : PENUTUP
Merupakan bagian akhir dari keseluruhan yang menguraikan
secara singkat tentang kesimpulan akhir dari pembahasan dan
jawaban atas rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan
saran-saran yang didasarkan atas hasil keseluruhan penelitian
commit to user
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Dasar Penyelenggaraan Pengadilan Agama Sebelum UU Nomor 7 Tahun
1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Pada hakikatnya cita-cita untuk menciptakan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan mandiri merupakan cita-cita universal. Hal
ini bisa dilihat dalam Basic Principles On Independence of The
Judiciary, yang diajukan oleh Majelis Umum PBB (Resolusi 40/32
tanggal 29 Nopember 1985 dan resolusi 40/146 tanggal 13 Desember
1985). Juga bisa dilihat pada Beijing Statement Of Principles Of The
Independence The Law Asia Region Of The Judiciary di Manila
tanggal 28 Agustus 1997, dimana didalamnya ditegaskan bahwa:
a.) Kehakiman merupakan institusi nilai yang tertinggi pada setiap
masyarakat;
b.) Kemerdekaan hakim mempersyaratkan bahwa hukum
memutuskan sebuah perkara sepenuhnya atas dasar pemahaman
undang-undang dan terbebas dari pengaruh dari manapun, baik
langsung maupun tidak langsung, hakim memiliki yurisdiksi
atas segala isu yang memerlukan keadilan. (Moravcsik, Andrew.
2000 :114)
Di Indonesia kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang ada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan TUN,
peradilan militer, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Demikian
ketentuan yang terdapat dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Perluasan kekuasaan kehakiman di negara demokrasi baru sebagian
besar merupakan fungsi dari kelihaian pengadilan 'secara bertahap
yang bertentangan pada lingkungan politik di mana mereka beroperasi.
(Tom Ginsburg, 2003 : 17).
Pada masa lalu independensi kekuasaan kehakiman dapat
dikategorikan menjadi 2 (dua) hal, yaitu independen normatif dan
independen empiris. Dari dua macam ini dalam prakteknya saling
berkaitan satu sama lain, sehingga dilapangan muncul beberapa bentuk
independensi sebagai berikut:
a.) Secara normatif independen dan realitanya juga independen.
Disini antara ketentuan yang ada dalam perundang-undangan
dengan kenyataan yang ada di lapangan kekuasaan kehakiman
sama-sama independen. Bentuk ini merupakan bentuk ideal yang
seharusnya terjadi pada sebuah negara hukum.
b.) Secara normatif tidak independen dan realitanya juga tidak
independen. Di Indonesia, model ini pernah terjadi pada tahun
1964 ketika UU No 19 Tahun 1964 disahkan, dimana pada pasal 19
nya disebutkan bahwa presiden dapat turut atau campur tangan dalam
masalah pengadilan dan realitanya dilapangan hal itu terjadi.
Model ini merupakan terburuk dari model kekuasaan kehakiman
karena kekuasaan kehakiman tidak merdeka dan tidak independen.
c.) Secara normatif independen, akan tetapi realitanya tidak
independen. Di Indonesia, model ini pernah terjadi pada masa orde
baru dimana dalam peraturan perundang-undangan secara tegas
dinyatakan kekuasaan kehakiman itu merdeka dan independen akan
tetapi pada kenyataan dilapangan para hakim dan pelaku kekuasaan
kehakiman sering mendapat intervensi dari eksekutif dan ekstra
yudisial lainnya.(IKlug, Heinz. 2000 : 54)
commit to user
Agama dengan sendirinya masuk pada kekuasaan peradilan biasa, yaitu
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung sebagai
lembaga pelaksanaan kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia. (Noto
Susanto, 1963 : 11).
Yang dimaksud dengan Pengadilan Agama di Indonesia adalah
peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam yang berwenang untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata tertentu
yang terjadi diantara mereka. Dalam pengertian ini, maka Pengadilan
Agama tidak mencakup makna peradilan bagi agam lain selain Islam
seperti Kristen, Hindu, Budha dan yang lainnya.
Hal ini dapat diidentifikasi dengan mengemukakan beberapa
landasan yang menunjukkan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan
Islam. Pertama, landasan teologis yang mengacu pada kekuasaan dan
kehendak Allah berkenaan dengan penegakan hukum dan keadilan.
Kedua, landasan historis yang menghubungkan mata rantai peradilan
agama dengan peradilan Islam yang tumbuh dan berkembang sejak
Rasullah SAW. Ketiga, landasan yuridis yang mengacu secara konsisten
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Republik
Indonesia. Keempat, landasan sosiologis yang menunjukkan bahwa
peradilan agama adalah produk interaksi antara elit Islam (the strategic
elite) dengan elit penguasa (the ruliing elite). (Cik Hasan Bisri, 1997 : 41).
Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia meliputi beberapa
aspek, yakni pertama, berkenaan dengan kedududkan peradilan dalam tata
hukum dan peradilan nasional. Kedua, berkenaan dengan susunan badan
peradilan, yang mencakup hirarki dan struktur organisasi pengadilan.
Ketiga, berkenaan dengan kekuasaan oengadilan, baik kekuasaan mutlak
maupun kekuasaan relatif. Keempat, berkenaan dengan hukum acara yang
dijadikan landasan dalam penerimaan, pemeriksaan, pemutusan dan
penyelesaian perkara. (Cik Hasan Bisri, 1997 : 123).
Pada tanggal 29 Desember 1989 terjadi peristiwa yang berkenaan
dengan berlakunya sebagian hukum Islam dan penyelenggaraan peradilan
Islam di Indonesia. Peristiwa itu adalah pengesahan Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang tersebut
merupakan salah satu peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan
ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, dalam upaya mewujudkan suatu
tatanan hukum nasional yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945,
yang berangkai dengan peraturan perundangan lainnya yaitu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dari peristiwa penting ini, penulis akan uraikan gambaran tentang
dasar hukum penyelenggaraan peradilan agama, hukum materiil dan
hukum formil Peradilan Agama, baik sebelum maupun sesudah
berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut.
Dasar hukum penyelenggaraan peradilan agama sebelum
Undang-Undang nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama ini beraneka ragam. Sebagian merupakan
produk pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dan sebagian lainyya
produk pemerintahan Republik Indonesia, khusunya pada awal
kemerdekaan. Dasar hukum itu berupa peraturan perundang-undangan
yang terdiri atas :
a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad
1882 Nomor 152 yang dihubungkan dengan Staatsblad tahun 1937
Nomor 116 dan 610). Peraturan ini memuat 7 pasal.
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan kerapatan Qadi Besar untuk
commit to user
1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 masih berlaku berdasarkan
peraturan-peraturan peralihan yang diadakan berturut-turut waktu
pemerintahan Republik Indonesia.
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 (tentang
tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan
dan acara pengadilan-pengadilan sipil) melangsungkan peradilan Islam
yang sudah ada, akan tetapi dalam penjelasannya, menyatakan bahwa ada
niat dari pemerintah untuk membicarakan dengan DPR apakah tidak
seharusnya Peradilan Agama itu dijadikan satu saja dengan peradilan
biasa, ternyata bahwa Peradilan Agama dengan Peradilan Biasa itu tidak
diadakan, bahkan didaerah luar Jawa dan Madura Peradilan Agama itu
diperluas. Ini dapat dilihat dengan ditetapkannya : Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 45 tentang Pembentukkan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura dan sebagian
Kalimantan Selatan-Timur (sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan
staatsblad 1937 Nomor 638 tersebut di muka). (Noto Susanto, 1963 :
11-12).
2. Dasar Penyelenggaraan Pengadilan Agama Sesudah UU Nomor 7 Tahun
1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, penyelenggaraan Pengadilan
Agama didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sama
(kesatuan hukum). Dengan kata lain, penyelenggaraan peradilan itu
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang seragam. Hal ini
dilakukan dalam rangka upaya menerapkan konsep wawasan nusantara
dalam bidang hukum, dan sebagai pelaksanaan politik hukum nasional. Di
samping itu, perubahan undang-undang itu dilakukan untuk mewujudkan
penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai
salah satu asas yang berlaku bagi seluruh pengadilan dalam keempat
lingkungan peradilan. (Cik Hasan Bisri, 1997 : 127).
Menurut penjelasaan undang-undang tersebut, perubahan itu
disebut sebagai ”perubahan mendasar” terutama yang berkenaan dengan
dasar hukum, kedudukan, susunan, kekuasaan dan hukum acara yang
berlaku pada pengadilan dalm lingkungan Peradilan Agama.
3. Keputusan Pengadilan Agama Sebelum dan Sesudah Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama.
a. Hukum Materiil Pengadilan Agama
1) Sebelum Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 pasal
4 dinyatakan :
(1) Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan perselisihan
antara suami istri yang beragama Islam, dan segala perkara yang
menurut Islam yang berkenaan dengan nikah, thalak, ruju’, fasakh,
nafaqah, mas kawin (mahar), tempat kediaman, hadlanah, perkara
waris, waqaf, hibah sadaqah, baitul mal dan lain-lain yang
berhubungan dengan itu, demikian juga memutus perkara
perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’lik sudah berlaku.
(2) Pengadilan Agama tidak berhak memeriksa perkara-perkara
yang tersebut dalam ayat (1) kalau untuk perkara-perkara itu
commit to user
putusan Pengadilan Agama, yang untuk pertama kalinya
diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 1985.
2) Sesudah Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Sebelum menuju pembicaraan tentang hukum materiil
pengadilan agama pasca Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama,
penulis perlu mengemukakan penjelasan Bustanul Arifin, sebagai
berikut :
“Walaupun dalam Undang-Undang tentang Pokok-pokok Ketentuan Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 hanya disebut Peradilan Agama, tetapi yang dimaksud adalah Peradilan Agama Islam. Hal ini didasarkan pada sejarah Peradilan Agama di Indonesia yang telah berjalan selama lebih dari seratus tahun, dan dengan dasar pemikiran bahwa agam Islam yang membawa pula hukum dalam arti yang murni (Aqidah wa syari’ah) (Bustanul Arifin, 1996:52).
Oleh karena itu, kaum muslimin memerlukan satu
peradilan tempat mereka mencari keadilan secara hukum. Jadi,
keberadaan Peradilan Agama (Islam) di Indonesia bukanlah
karena kaum muslimin merupakan mayoritas di Indonesia,
melainkan karena pengadilan Agama itu merupakan keperluan
hukum kaum muslimin. Oleh karena itu, hukum yang
diberlakukan pada Peradilan Agama adalah hukum Islam. Dengan
perkataan lain, hukum Islam sepanjang mengenai bidang-bidang
nasional di Negara Indonesia. Hukum nasional Indonesia adalah
kumpulan norma-norma hukum yang hidup dalam masyarakat
yang berasal dari unsure-unsur hukum Islam, hukum Adat dan
Sedangkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 butir 2 dinyatakan sebagai berikut :
“Pengadilan Agama merupakan pengadilab tingkat pertama untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan saqadah berdasarkan hukum
Islam”
Dalam perkembangan hukum materiil pasca
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 ada satu peristiwa yang tak boleh
dilupakan yakni dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama tentang
penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari
buku I tentang Hukum Perkawinan. Buku II tentang Kewarisan,
dan buku III tentang Perwakafan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan salah satu
usaha yang sangat positif dalam membina hukum Islam sebagai
sumber pembentukan hukum nasional, yang ditangani bersama
oleh ulama (Departemen Agama) dan umara (Mahkamah Agung).
Dengan KHI ini, para hakim agama mempunyai pegangan tentang
hukum yang harus diterapkan dalam masyarakat dengan mantap.
(Abdurrahman, 1992 : 51).
Adapun mengenai tujuan KHI menurut M.Yahya Harahap
(1989: 91), adalah :
(1) Untuk merumuskan secara sistematis hukum Islam di
Indonesia secara kongkrit.
commit to user
bagi seluruh masyarakat Islam Indonesia, apabila timbul
sengketa di depan siding Pengadilan Agama (kalau diluar
proses peradilan, tentu bebas melakukan pilihan dari sumber
kitab fiqih yang ada).
(4) Serta sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian
hukum yang lebih seragam dalam pergaulan lalu lintas
masyarakat Islam.
Dari uraian tentang KHI, tampaklah bahwa pasca
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 hukum
materiil yang diberlakuakn di Pengadilan Agama mengalami dua
fase. Fase pertama, hukum materiil (hukum Islam) sebelum
adanya KHI, kurang lebih selama satu tahun enam bulan. Fase
kedua, sejak dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1991 hingga
sekarang dan seterusnya sampai ada peraturan
perundang-undangan yang mengubahnya.
b. Hukum Formil Pengadilan Agama
1) Sebelum Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Sebelum diberlakukannya Undang-Undnag Nomor 7 Tahun
1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama, hukum formil Peradilan Agama masih belum terbentuk
dalam suatu perundang-undangan tersendiri. Memang peraturan
perundang-undang yang mengatur tata cara berpekara di
Pengadilan Agama telah ada sejak lama, seumur dengan
terbentuknya berbagai Pengadilan Agama itu. Hanya saja hukum
acaranya baru sebagian kecil dan hanya sebagai sisipan saja pada
perundang-undangan yang mengatur/menjadi dasar hukum
Kenyataan ini dapat dilihat pada Staatsblad 1882 Nomor 152
untuk Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, pada Staatsblad
1937 Nomor 638 dan 639 bagi Kerapatan Qadi di Kalimantan
Selatan dan pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957
untuk mahkamah Syari’ah (Pengadilan Agama) di luar kedua
wilayah tersebut di atas.
Pada Staatsblad 1882 Nomor 152 memuat hanya 7 pasal dan
ketujuh pasal itu pulalah yang mengatur dasar pembentukkan,
kewenangan maupun yang mengatur hukum acara, dan lain-lain
dari peradilan tersebut. Demikianlah halnya pengaturan hukum
acara bagi Pengadilan Agama di Kalimantan dan wilayah
Indonesia lainnya. (Anwar Sitompul, 1984 : 51).
Mungkin menyadari hal demikian dan keperluan semakin
mendesak, sebelum terbentuknya hukum tersendiri bagi
Pengadilan Agama, pembuat Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut.
(Anwar Sitompul, 1984 : 52).
2) Sesudah Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Setelah berlakunya Undang-Undang Nornor 7 Tahun 1989
jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama, pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama membuat
terobosan baru sehubungan dengan kekecualian dan kekhususan
commit to user
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undang-undang ini.”
Prosedur cerai talak diatur dalam paragraf 2, yaitu Pasal 66
sampai dengan Pasal 72. Menurut ketentuan pasal-pasal tersebut
dapat disimpulkan bahwa cerai talak menjadi hak suami, karena
itu ia menjadi pihak pemohon.
Mengenai prosedur cerai gugat diatur dalam paragraf 3,
yaitu Pasal 73 sampai dengan Pasal 86. Cerai gugat menjadi hak
istri, yang diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat (istri), kecuali apabila
penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa seizin tergugat.
Prosedur cerai dengan alasan zina diatur pada paragraf 4,
yaitu Pasal 87 dan Pasal 88. Alasan zina merupakan salah satu
alasan yang dapat diajukan dalam perkara perceraian, sebagaimana
diatur dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 jo, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.
Dalam perkara ini permohonan dan gugatan diajukan oleh
suami atau istri. Menurut ketentuan Pasal 87 ayat (1) berbunyi :
c. Produk Keputusan Pengadilan Agama
1) Sebelum Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Sebelum diberlakukannya Undang-undang nomor 7 tahun
1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama, produk keputusan Pengadilan Agama terdiri dari tiga
macam, yaitu putusan, penetapan, dan surat keterangan tentang
terjadinya talak (SKT3).
Putusan disebut vonni (Belanda), atau al qada'u (Arab),
adalah produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang
berlawanan dalam perkara, yaitu penggugat dan tergugat. Produk
Pengadilan semacam ini bisa diistilahkan dengan Produk peradilan
yang sesungguhnya atau Jurisdictio contentiosa.
Sedangkan penetapan disebut beschiking (Belanda), atau al
isbat (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan
sesungguhnya, yang diistilahkan dengan jurisdictio voluntaria.
Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena disana
hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan atas sesuatu,
sedangkan ia tidak berperkara dengan lawan.
Adapun mengenai surat keterangan tentang terjadinya talak
yang disingkat SKT3, sangat populer di lingkungan Peradilan
Agama dan instansi-instansi Departemen Agama, sekalipun SKT3
tersebut sebetulnya bukanlah produk keputusan Pengadilan Agama
dalam artian yudikatif tetapi hanyalah produknya di bidang
administrasi Peradilan atau dalam tugas pengaturan.
SKT3 ini dimasukkan ke dalam kategori produk Pengadilan
commit to user
dilanjutkan dengan sidang Pengadilan Agama untuk menyaksikan
ikrar talak yang dilakukan. Oleh Pengadilan Agama dibuatkan
SKT3 yang dimaksudkan. Tugasnya, Penetapan Pengadilan Agama
yang memberi izin kepada suami (pemohon) untuk bercerai dengan
sidang penyaksian ikrar talak dan SKT3 adalah suatu kesatuan
rangkaian proses kronologis, sekalipun mungkin akan memakan
waktu panjang ataupun singkat.
Perlu diketahui bahwa SKT3 termasuk segala macam putusan
dan penetapan Pengadilan Agama tentang cerai dan lain-lainnya,
sekalipun sudah in kracht, mempunyai kekuatan mengikat dan
kekuatan bukti, tetapi kekuatan mengikat dan kekuatan bukti disini
hanyalah dari aspek hukumnya, bukan dari aspek pencatatannya. la
baru mempunyai kekuatan tanda cerai resmi setelah dicatatkan dan
ditukarkan pada Pegawai Pencatat Nikah Cerai Rujuk c.q. pada
kantor urusan agama kecamatan yang bersangkutan. Hal ini
dirasakan oleh para pencari keadilan sebagai suatu yang
menyulitkan, mahal, berbelit,dan birokratis. (Raihan A. Rasyid,
1989 : 12-15).
Selanjutnya, segala macam bentuk produk keputusan
Pengadilan Agama tidak bisa dijalankan (dieksekusi) sebelum
dikukuhkan oleh Pengadilan Umum, Sebenarnya istilah executoir
verklaring (fiat eksekusi) atas putusan Peradilan Agama oleh
Landraad, sudah dikenal sejak zaman penjajahan sampai
permulaan zaman kemerdekaan. Belum lagi hilang di benak
praktisi hukum dan masyarakat Indonesia, disusul lagi dengan
istilah pengukuhan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Ketentuan tentang prosedur executoir verklaring tersebut
diatur dalam Pasal 2a ayat (3), (4), dan (5) Staatsblad 1882 No.
125 bagi Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Dengan maksud
dalam Pasal 3 ayat 3, 4 dan 5 Staatsblad 1937 Nomor 638 dan
Nomor 639 serta untuk daerah Indonesia lainnya diatur pada Pasal
4 ayat 3, 4 dan 5 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957.
(Anwar Sitompul, 1984 : 84).
Mahkamah Agung berpendapat, bahwa Lembaga
Pengukuhan yang terdapat dalam pasal 63 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dalam peraturan pelaksanaannya
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 pasal 36,
bukanlah merupakan hal yang baru, akan tetapi merupakan
lembaga yang telah dikenal sejak berlakunya Staatsblad 1882
Nomor 152. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Mahkamah Agung berpendapat bahwa Lembaga Pengukuhan
adalah sama dengan Lembaga Executoir Verklaring. Pendapat
Mahkamah Agung demikian tersimpul dari Surat Edaran
Mahkamah Agung, yaitu S.E.No.MA./0156/1977 tanggal 23
Februari 1977.
Namun menurut pengamatan Anwar Sitompul dan Raihan A.
Rasyid, kalau diperhatikan lebih mendalam, Pengukuhan tidak
sama dengan Executoir Verklaring, walaupun persamaannya tetap
ada. (Raihan A. Rasyid, 1987: 117-120).
2) Sesudah Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Keputusannnya sendiri pada Pengadilan Agama Pengadilan
Agama sudah ada Juru Sita (Deurwarder). Berdasarkan ketentuan
Undang-undang tersebut, kedudukan Pengadilan Agama adalah
commit to user
tetap oleh Pengadilan Negeri dinyatakan tidak berlaku,
sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 107 ayat (1) butir
d :
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) Undang - undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara tahun 1974 Nomor l. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), dinyatakan tidak berlaku.”
Dengan demikian Pengadilan Agama memiliki
kemandirian untuk melaksanakan putusannya (executoir
verklaring) sendiri, yang dilaksanakan oleh jurusita. Kejurusitaan
ini merupakan pranata baru dalam struktur organisasi Pengadilan
B. Kerangka Pemikiran.
Mengenai kerangka pemikiran dalam penelitian ini dibuat dalam suatu
bagan seperti berikut:
Dasar Penyelenggaraan Pengadilan
Agama Sebelum Dan Sesudah Tahun 1989
Hukum Formil Hukum Materiil Produk Keputusan Pengadilan
Agama
PERADILAN AGAMA
UU No.7 Tahun 1989
KEPUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEBELUM DAN SESUDAH UU No.7
TAHUN 1989
Landasan Keputusan Pengadilan Agama Sesudah UU Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
1. Bagaimanakah landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum materiil dan landasan keputusan pengadilan
agama terhadap hukum formil Pengadilan Agama sebelum
dan sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama ?
2. Bagaimanakah landasan keputusan pengadilan agama
terhadap produk keputusan Pengadilan Agama sebelum dan
sesudah Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
commit to user Keterangan kerangka pemikiran :
Peradilan merupakan suatu kebutuhan hidup bermasyarakat. Tidak
dapat suatu pemerintahan tanpa adanya peradilan. Di Indonesia, lembaga
peradilan islam dikenal dengan istilah Peradilan Agama yang sejak 1970
secara yuridis telah sejajar kedudukannya dengan ketiha badan peradilan
lainnya yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
Negara.
Pengadilan Agama di Indonesia adalah peradilan bagi orang-orang
yang beragama Islam yang berwenang untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara perdata tertentu yang terjadi diantara mereka.
Peraturan yang mengatur mengenai peradilan agama adalah Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama tentang Peradilan Agama. Adapula peraturan-peraturan yang
diterapkan sebelum dan ssudah disahkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Setiap peraturan pasti mempunyai dasar penyelenggaraannya. Oleh karena itu,
dalam tinjauan pustaka perlu dijelaskan mengenai dasar penyelenggaraan
peraturan sebelum dan sesudah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Dalam setiap badan peradilan pasti menghasilkan keputusan, tak
terkecuali Peradilan Agama. Di dalam keputusan Pengadilan Agama terdapat
hukum materiil, hukum formil, dan produk keputusan Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama sangat erat hubungannya dengan hukum Islam. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini fokus untuk memberikan deskripsi tentang
landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum materiil dan landasan
keputusan pengadilan agama terhadap hukum formil Pengadilan Agama
sebelum dan sesudah Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan landasan
keputusan pengadilan agama terhadap produk keputusan Pengadilan Agama
sebelum dan sesudah Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Landasan Keputusan Pengadilan Agama terhadap hukum materiil dan hukum formil pengadilan agama sebelum dan sesudah Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
1. Aspek Hukum Materiil Pengadilan Agama
Sebagaimana telah diterangkan di muka, bahwa sebelum
dlberlakukannya Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Peradilan Agama di Indonesia memiliki
dasar hukum dan kewenangan yang terluang dalam 3 peraturan
perundang-undangan, yaitu Staatsblad 1882 Nomor 152 jo. Staatsolad
1937 Nomor 116, 610 dan Staatsblad 1937 638, 639, serta Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957.
Pembicaraan mengenai hukum materiil yang berlaku di pengadilan
agama sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tak bisa
lepas dari kewenangan yang diberikan oleh ketiga peraturan perundangan
tersebut di atas kepada semua Pengadilan Agama di Indonesia.
Dari ketentuan Staatsblad 1882 Nomor 152 Pasal 2 ayat 1
dijabarkan bahwa kewenangan Pengadialn Agama meliputi:
a. Memeriksa dan memutus perkara perselisihan antara suami dan istri
yang beragama Islam.
b. Memeriksa dan memutus apakah suatu pernikahan dan rujuk sah atau
tidak.
c. Memeriksa dan memutus perkara cerai talak dan cerai gugatan serta
menyatakan talak yang digantungkan (ta'lik talak) sudah
ada/memenuhi syarat.
d. Memeriksa dan memutus gugatan nafkah dan maskawin yang belum
commit to user
Penjabaran sebagaimana tersebut di atas, bila disimpulkan lagi,
maka kewenangan Pengadilan agama itu adalah meliputi perkara-perkara
nikah, talak dan rujuk dari suami istri yang beragama Islam, serta yang
berhubungan dengan gugatan nafkah, mahar dan mut'ah. Kesemua yang
dikemukakan itu adalah berdasarkan ketentuan Staatsblad 1882 Nomor
152 jo. Staatsblad 197 No. 116 dan 610.
Adapun untuk wilayah Kerapatan Qadi di Kalimantan Selatan dan
Timur, pada dasarnya sama dengan kewenangan Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama di Jawa dan Madura. Kewenangan Pengadilan
Agama ini dirumuskan dalam Staatsblad 1937 Nomor 638 Pasal 3.
Dan kewenangan Mahkamah Syari'ah (Pengadilan Agama) untuk
di luar Jawa dan Madura, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 Pasal 4 ayat 1.
Dari rumusan Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa kewenangan
Mahkamah Syari'ah (Pengadilan Agama) ini adalah:
a. Mengadili perkara dari suami istri yang beragama Islam.
b. Dalam bidang perkara talak, nikah, rujuk, lermasuk perkara fasakh dan
syiqaq.
c. Menetapkan gugatan nafkah, mahar yang belum dibayar.
d. Mengadili perkara hadlanah, waris mewaris, wakaf, hibah, sadaqah,
baitulmal dan lain-lain.
Yang penulis maksud adalah, perbedaan lapangan kewenangan
absolut, otomatis akan mempengaruhi hukum materiil yang akan
diterapkan oleh hakim yang mengadili suatu perkara. Sehingga dapat
dipastikan bahwa hasil keputusan Pengadilan Agama dalam mengadili
satu perkara tertentu.
Dalam ketiga peraturan perundang-undangan di atas, memang
tidak disebut secara kongkrit tentang hukum materiil apa yang digunakan
dalam mengadili perkara yang diajukan kepada PengadilanAgama. Pasal 2
ayat 1 Staatsblad Nomor 152 dan Pasal 3 Staatsblad 1937 nomor 638 lebih
bukn pada hukum materiil yang akan diterapkan di Pengadilan Agama.
Lain halnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957
untuk wilayah luar Jawa dan Madura, Kalimantan Selatan dan Timur.
Pada Peraturan Pemerintah ini nampaknya menyatakan sedikit lebih tegas
tentang hukum materiil yang diberlakukan di Pengadilan Agama,
walaupun masih terdapat perbedaan pendapat dalam menafsirkan Pasal 2
Peraturan Pemerintah tersebut.
Dalam Pasal 4 ayal 1 peraturan tersebut dinyatakan :
"Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah memeriksa dan memutuskan
perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan segala perkara
menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang
berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafaqah, maskawin (mahar),
tempat kediaman (maskan), mut'ah, dan sebagainya, hadlanah, perkara
waris-mewaris, wakaf hibah, sadaqah, baitulmal, dan lain-lain yang
berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan bahwa syarat taklik
sudah berlaku."
Selanjutnya dalam memori penjelasan atas Peraturan ini, pada
paragraf 16 dinyatakan :
“ . . . begitu pula urusan penetapan bahagian pusaka untuk ahli waris,
soal-soal wakaf, hibah, sadqah dan baitul mal, yang harus diputus menurut
hukum syariat Islam tidak mendapat pelayanan semestinya."
Dan pada paragraf 18 dinyatakan :
"... secara integral memberikan keseragaman penyelesaian perselisihan
perkara perdata dari orang Islam diputus menurut hukum syari'at Islam."
Jadi menurut penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut jelaslah
bahwa hukum materiil yang diberlakukan di Pengadilan Agama sebelum
lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 adalah hukum Islam,
commit to user
di sini adalah hukum yang bersumber dari Al-Qur'an dan As Sunnah.
Landasan keputusan pengadilan agama terhadap materiil
Pengadilan Agama sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama pada
dasarnya menerangkan bahwa hukum materiil peradilan agama terkait
dengan tindakan-tindakan hukum yang terkait dengan kegiatan memeriksa
dan memutuskan perselisihan antara suami istri yang beragama Islam
dan segala perkara menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum
agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafaqah,
maskawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut'ah, dan sebagainya,
hadlanah, perkara waris-mevvaris, wakaf hibah, sadaqah, baitulmal, dan
lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan bahwa
syarat taklik sudah berlaku.
Selain itu dalam landasan keputusan pengadilan agama terhadap
hukum materiil sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
menyatakan bahwa terkait dengan penetapan bahagian pusaka untuk ahli
waris, soal-soal wakaf, hibah, sadqah dan baitul mal, yang harus diputus
menurut hukum syariat Islam tidak mendapat pelayanan semestinya.
Landasan keputusan pengadilan agama sebelum Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama menerangkan bahwa secara integral memberikan
keseragaman penyelesaian perselisihan perkara perdata dari orang Islam
diputus menurut hukum syari'at Islam. Dan pada dasarnya pandangan
hukum Islam terhadap hukum materiil yang diberlakukan di Pengadilan
Agama sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah
hukum Islam, karena hukum Islam dianggap hukum yang hidup di
masyarakat saat itu. Untuk itu pada saat itu hukum materiil yang wajib
diterapkan oleh hakim Islam di pengadilan adalah hukum Islam.
Sedangkan hukum Islam yang dimaksud di sini adalah hukum
yang memenuhi syarat untuk berijtihad dengan metode ijma, qiyas,
istihsan, istidal, maslahah mursalah dan lain-lain.
Namun landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum
materiil setelah pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Adapun
mengenai hukum materiil sesuai dengan penjelasan umum undang-undang
tersebut menerangkan bahwa Pengadilan Agama sebagai pengadilan
tingkat pertama yang mempunyai tugas memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara antar orang-orang yang beragama Islam di
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah
berdasarkan hukum Islam.
Adapun mengenai hukum materiil pasca lahirnya Undang-undang
Nomor.7 Tahun 1989, perlu penulis kutip kembali bunyi penjelasan umum
undang-undang tersebut sebagai berikut:
"….. Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama utuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antar
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf dan sadaqah berdasarkan hukum Islam."
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum di
Indonesia, maka penjelasan umum undang-undang di atas mempertegas
lagi bahwa "hukum yang hidup" sebagaimana terdapat dalam memori
penjelasan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957, adalah hukum Islam. <