• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap pertumbuhan dan kandungan Xanthorrhizol tanaman temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap pertumbuhan dan kandungan Xanthorrhizol tanaman temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

! "

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pengaruh Cekaman

Kekeringan dan Umur Panen terhadap Pertumbuhan dan Kandungan

Xanthorrhizol Tanaman Temulawak ( Roxb.) adalah karya

saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2007

Khaerana

(3)

KHAERANA. Pengaruh Cekaman Kekeringan dan Umur Panen yang Berbeda terhadap Kandungan Xanthorrhizol Tanaman Temulawak (

Roxb.). Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI dan EDY DJAUHARI

PURWAKUSUMAH.

Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan umur panen dan cekaman kekeringan yang terbaik untuk produksi kandungan xanthorrhizol temulawak melalui pengamatan terhadap karakter agronomi, karakter fisiologi, dan kandungan xanthorrhizol. Percobaan dilaksanakan pada bulan Nopember 2005 sampai dengan Mei 2006 di Rumah Kaca Departemen Biokimia Institut Pertanian

Bogor. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan percobaan faktorial 2

faktor yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pertama adalah cekaman kekeringan 50% Kapasitas Lapang (KL) diberikan pada 6 Minggu Sebelum Panen (MSP), 4 MSP, 2 MSP dan kontrol (100% KL). Faktor kedua adalah umur panen, tanaman dipanen pada umur 5 dan 7 bulan. Cekaman kekeringan pada umumnya tidak berpengaruh terhadap karakter agronomis (kecuali tinggi tanaman 7=4 MSP, luas daun, bobot basah dan bobot kering tajuk) dan fisiologi (kecuali kandungan prolin). Cekaman kekeringan menurunkan kandungan xanthorrhizol tanaman temulawak. Umur panen berpengaruh nyata terhadap karakter agronomi (tinggi tanaman, jumlah anakan, luas daun, bobot basah dan bobot kering rimpang), namun tidak berpengaruh nyata terhadap

karakter fisiologi tanaman temulawak. Umur panen 7 bulan meningkatkan

(4)

# $% &'()$ *'+'% ,-)').) /0)$,'$, 1 02 )$3., $% &'()$ 4'+',4.,1'

(5)

3$/0$,$

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

(6)

Judul Penelitian : Pengaruh Cekaman Kekeringan dan Umur Panen terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Xanthorrhizol Tanaman

Temulawak ( Roxb.)

Nama Mahasiswa : Khaerana

NRP : A351034011

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Munif Ghulamahdi, MS Drs.Edy Djauhari Purwakusumah,MSi

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr.Ir.Satriyas Ilyas,MS Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MSc

(7)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi, karena hanya dengan rahmat

dan karuniah=Nyalah sehingga penulis berhasil merampungkan penelitian dan

penulisan tesis ini yang berjudul Pengaruh Cekaman Kekeringan dan Umur Panen

terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Xanthorrhizol Tanaman Temulawak

( Roxb.). Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam

menyelesaikan studi pada program studi Agronomi, Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih yang

tulus dan penghargaan yang sebesar=besarnya, kepada:

1. Bapak Dr.Ir Munif Ghulamahdi,MS dan Drs Edy Djauhari

Purwakusumah,MSi selaku dosen pembimbing atas waktu, motivasi dan

bimbingannya, serta kepada Dr.Ir.Sandra Aziz,MS untuk saran dan

kesediaannya sebagai dosen penguji luar komisi.

2. Kedua orang tua penulis (Abdul Hafid dan St.Fatimah) atas pengorbanan,

doa, kasih sayang dan ketulusan Ibu, Bapak yang tidak terhingga.

3. Teman=teman angkatan 2003 (Mba Ika, Yu Tri, Pak Nirwan, Khaerul),

angkatan 2004, ibu Ireng, terima kasih atas motivasi, persahabatan yang

indah dan diskusi=diskusi yang menyenangkan selama ini.

4. Mas Joko di Lab.Ekofis, Mas Bambang di Lab RGCI, Pak Nana di

Departemen Biokim, terima kasih atas bantuannya.

5. Kakak=kakak penulis K’Ratih, K’Rudi dan K’Undding, terima kasih untuk

doa, motivasi dan kasih sayangnya selama ini.

6. Penghuni I=3 (K’erni, Cece, Emi, Desi, Yuyun, K’nila, K’evi), Elis,

Endang, terima kasih telah menjadi teman serumah, sahabat, saudara dan

pengkritik paling tajam buat penulis.

Akhir kata, semoga tesis ini memberi arti dan manfaat bagi

perkembangantanaman obat di Indonesia. Amin

Bogor, Januari 2007

(8)

!

Penulis dilahirkan di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, pada tanggal 8

April 1979 sebagai anak keempat dari empat bersaudara anak dari pasangan

Ayahanda Abdul Hafid dan Ibunda Sitti Fatimah.

Pendidikan dasar sampai menengah atas diselesaikan di Kabupaten Barru.

Tahun 2002 penulis memperoleh gelar sarjana dari Program Studi Agronomi

Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas

Hasanuddin.

Februari 2003 (masuk pada semester genap), penulis melanjutkan

pendidikan strata dua dan terdaftar sebagai mahasiswi Pascasarjana Institut

(9)

"

Peranan air bagi tanaman... 6

Xanthorrhizol ... 8

... 11

Tempat dan Waktu ... 11

Bahan dan Alat... 11

Metode Penelitian... 11

Pelaksanaan... 12

... 17

Keadaan Umum Penelitian ... 17

Hasil... 22

Bobot Basah dan Bobot Kering Tajuk... 27

Bobot Basah Rimpang ... 29

Bobot Kering Rimpang ... 30

Persentase Rimpang... 31

Materi Kering ………... 32

Respon Fisiologi Tanaman Temulawak ... 32

Klorofil 32 Prolin... 33

Respon Kandungan Bioaktif Tanaman Temulawak... 34

Komposisi Minyak atsiri… ………. 34

Produktifitas Tanaman ... 36

(10)

... 50

Kesimpulan ... 50

Saran ... 50

" ... 51

(11)
(12)

! "

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pengaruh Cekaman

Kekeringan dan Umur Panen terhadap Pertumbuhan dan Kandungan

Xanthorrhizol Tanaman Temulawak ( Roxb.) adalah karya

saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2007

Khaerana

(13)

KHAERANA. Pengaruh Cekaman Kekeringan dan Umur Panen yang Berbeda terhadap Kandungan Xanthorrhizol Tanaman Temulawak (

Roxb.). Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI dan EDY DJAUHARI

PURWAKUSUMAH.

Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan umur panen dan cekaman kekeringan yang terbaik untuk produksi kandungan xanthorrhizol temulawak melalui pengamatan terhadap karakter agronomi, karakter fisiologi, dan kandungan xanthorrhizol. Percobaan dilaksanakan pada bulan Nopember 2005 sampai dengan Mei 2006 di Rumah Kaca Departemen Biokimia Institut Pertanian

Bogor. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan percobaan faktorial 2

faktor yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pertama adalah cekaman kekeringan 50% Kapasitas Lapang (KL) diberikan pada 6 Minggu Sebelum Panen (MSP), 4 MSP, 2 MSP dan kontrol (100% KL). Faktor kedua adalah umur panen, tanaman dipanen pada umur 5 dan 7 bulan. Cekaman kekeringan pada umumnya tidak berpengaruh terhadap karakter agronomis (kecuali tinggi tanaman 7=4 MSP, luas daun, bobot basah dan bobot kering tajuk) dan fisiologi (kecuali kandungan prolin). Cekaman kekeringan menurunkan kandungan xanthorrhizol tanaman temulawak. Umur panen berpengaruh nyata terhadap karakter agronomi (tinggi tanaman, jumlah anakan, luas daun, bobot basah dan bobot kering rimpang), namun tidak berpengaruh nyata terhadap

karakter fisiologi tanaman temulawak. Umur panen 7 bulan meningkatkan

(14)

# $% &'()$ *'+'% ,-)').) /0)$,'$, 1 02 )$3., $% &'()$ 4'+',4.,1'

(15)

3$/0$,$

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

(16)

Judul Penelitian : Pengaruh Cekaman Kekeringan dan Umur Panen terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Xanthorrhizol Tanaman

Temulawak ( Roxb.)

Nama Mahasiswa : Khaerana

NRP : A351034011

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Munif Ghulamahdi, MS Drs.Edy Djauhari Purwakusumah,MSi

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr.Ir.Satriyas Ilyas,MS Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MSc

(17)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi, karena hanya dengan rahmat

dan karuniah=Nyalah sehingga penulis berhasil merampungkan penelitian dan

penulisan tesis ini yang berjudul Pengaruh Cekaman Kekeringan dan Umur Panen

terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Xanthorrhizol Tanaman Temulawak

( Roxb.). Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam

menyelesaikan studi pada program studi Agronomi, Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih yang

tulus dan penghargaan yang sebesar=besarnya, kepada:

1. Bapak Dr.Ir Munif Ghulamahdi,MS dan Drs Edy Djauhari

Purwakusumah,MSi selaku dosen pembimbing atas waktu, motivasi dan

bimbingannya, serta kepada Dr.Ir.Sandra Aziz,MS untuk saran dan

kesediaannya sebagai dosen penguji luar komisi.

2. Kedua orang tua penulis (Abdul Hafid dan St.Fatimah) atas pengorbanan,

doa, kasih sayang dan ketulusan Ibu, Bapak yang tidak terhingga.

3. Teman=teman angkatan 2003 (Mba Ika, Yu Tri, Pak Nirwan, Khaerul),

angkatan 2004, ibu Ireng, terima kasih atas motivasi, persahabatan yang

indah dan diskusi=diskusi yang menyenangkan selama ini.

4. Mas Joko di Lab.Ekofis, Mas Bambang di Lab RGCI, Pak Nana di

Departemen Biokim, terima kasih atas bantuannya.

5. Kakak=kakak penulis K’Ratih, K’Rudi dan K’Undding, terima kasih untuk

doa, motivasi dan kasih sayangnya selama ini.

6. Penghuni I=3 (K’erni, Cece, Emi, Desi, Yuyun, K’nila, K’evi), Elis,

Endang, terima kasih telah menjadi teman serumah, sahabat, saudara dan

pengkritik paling tajam buat penulis.

Akhir kata, semoga tesis ini memberi arti dan manfaat bagi

perkembangantanaman obat di Indonesia. Amin

Bogor, Januari 2007

(18)

!

Penulis dilahirkan di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, pada tanggal 8

April 1979 sebagai anak keempat dari empat bersaudara anak dari pasangan

Ayahanda Abdul Hafid dan Ibunda Sitti Fatimah.

Pendidikan dasar sampai menengah atas diselesaikan di Kabupaten Barru.

Tahun 2002 penulis memperoleh gelar sarjana dari Program Studi Agronomi

Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas

Hasanuddin.

Februari 2003 (masuk pada semester genap), penulis melanjutkan

pendidikan strata dua dan terdaftar sebagai mahasiswi Pascasarjana Institut

(19)

"

Peranan air bagi tanaman... 6

Xanthorrhizol ... 8

... 11

Tempat dan Waktu ... 11

Bahan dan Alat... 11

Metode Penelitian... 11

Pelaksanaan... 12

... 17

Keadaan Umum Penelitian ... 17

Hasil... 22

Bobot Basah dan Bobot Kering Tajuk... 27

Bobot Basah Rimpang ... 29

Bobot Kering Rimpang ... 30

Persentase Rimpang... 31

Materi Kering ………... 32

Respon Fisiologi Tanaman Temulawak ... 32

Klorofil 32 Prolin... 33

Respon Kandungan Bioaktif Tanaman Temulawak... 34

Komposisi Minyak atsiri… ………. 34

Produktifitas Tanaman ... 36

(20)

... 50

Kesimpulan ... 50

Saran ... 50

" ... 51

(21)

Nomor Teks Halaman

1. Rekapitulasi sidik ragam komponen pertumbuhan dan komponen hasil tanaman temulawak ... 21 2. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap tinggi tanaman

temulawak ... 22

3. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap jumlah daun

(helai) tanaman temulawak ... 24

4. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap diameter

Batang (cm) tanaman temulawak... 25 5. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap luas daun

tanaman temulawak ... 26

6. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap jumlah anakan

tanaman temulawak ... 27 7. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot basah dan

bobot kering tajuk tanaman temulawak... 28 8. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot basah

rimpang, rimpang induk, rimpang anak, dan rimpang cucu tanaman

temulawak ... 29 9. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot kering

rimpang, rimpang induk, rimpang anak, dan rimpang cucu

tanaman temulawak ... 30 10. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap persentase

rimpang induk, rimpang anak, dan rimpang cucu tanaman temulawak ... 31 11. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap kandungan

klorofil tanaman temulawak ... 32 12. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap kandungan

prolin tanaman temulawak... 32 13. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap kadar

air dan kadar minyak atsiri rimpang tanaman temulawak ... 34 14. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap persentase

komposisi minyak atsiri dari rimpang temulawak berdasarkan

tingkat kemiripannya ... 35 15. Matrik korelasi antara karakter agronomi dan fisiologi dengan

perlakuan umur panen dan cekaman kekeringan pada tanaman

(22)

"

Nomor Teks Halaman

1. Denah Percobaan di Lapangan...55 2. Analisis kimia tanah yang digunakan dalam penelitian ...56 3. Hasil analisis contoh air yang digunakan untuk pengairan pada

penelitian...56

4. Analisis kimia pupuk kandang kambing yang digunakan pada

penelitian...56 5. Rata=rata suhu dan kelembaban di dalam dan di luar rumah kaca selama

Penelitian ...57 6. Sidik ragam Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap

tinggi tanaman temulawak pada 1,2,3,4,5,6,7 MSP ...57 7. Sidik ragam Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap

diameter batang (cm) tanaman temulawak pada 1,2,3,4,5,6,7 MSP ...57 8. Sidik ragam Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap

jumlah anakan tanaman temulawak pada 1,2,3,4,5,6,7 MSP ...58 9. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot

basah rimpang, rimpang induk, rimpang anak, dan rimpang cucu

tanaman temulawak ...58 10. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot kering

rimpang, rimpang induk, rimpang anak, dan rimpang cucu tanaman

temulawak ...58 11. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap persentase

rimpang induk, persentase rimpang anak, persentase rimpang cucu,

kandungan klorofil dan prolin tanaman temulawak ...58 12. Rimpang tanaman temulawak yang dipanen pada umur 7 Bulan ...59

13. Kromatogram GC=MS minyak atsiri rimpang temulawak pada

tanaman yang dipanen umur 5 bulan dengan cekaman air 50%

Kapasitas Lapang selama 2 Minggu Sebelum Panen ...59 14. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringna terhadap waktu retensi

senyawa komponen minyak atsiri rimpang temulawak berdasarkan

(23)

"

Nomor Teks Halaman

1. Pertanaman temulawak pada umur 3 bulan, tanaman menunjukkan

pertumbuhan yang sehat dan bebas penyakit ...17 2. Kondisi tanaman yang terserang hama aphid. Tanaman tumbuh kerdil,

batang membusuk dan daun mengalami klorosis...18 3. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap tinggi

tanaman temulawak ...22

4. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap jumlah daun

Temulawak...23 5. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap luas daun

tanaman temulawak ...25

6. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap jumlah anakan

tanaman temulawak ...26

7. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap bobot basah

dan bobot kering tajuk tanaman temulawak ...28

8. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap bobot basah

rimpang tanaman temulawak ...30 9. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap bobot kering

rimpang tanaman temulawak ...31 10. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap materi kering

(24)

wilayahnya. Keanekaragaman hayati tersebut menjadi sumberdaya yang layak

untuk dikembangkan sebagai komoditi yang bernilai ekonomis. Menurut

Pramono (2006) industri obat=obatan yang berbasis alam di Indonesia dalam

beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sebagai

contoh pasar obat herbal di Indonesia pada tahun 2000 baru mencapai nilai kurang

lebih 1 triliun rupiah, pada tahun 2003 telah mencapai 2 triliun rupiah dan tahun

2005 telah mengalami peningkatan sebesar 2,9 triliun rupiah. Nilai pasar obat

modern pada tahun 2005 sebesar 21,3 triliun rupiah, ini berarti bahwa pasar obat

herba memberikan kontribusi sebesar 12% terhadap pasar farmasi. Diperkirakan

pasar obat modern pada tahun 2010 mencapai 37,5 triliun rupiah dan obat herbal

akan mencapai 7,2 triliun rupiah, dan berdasarkan asumsi tersebut maka

pertumbuhan pasar obat herbal akan lebih pesat daripada obat modern. Meskipun

pasar obat herba Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, namun

volumenya masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan negara=negara maju

dalam pengembangan obat=obat yang berbasis alam baik berupa

maupun berupa , seperti Cina, Jerman dan Amerika.

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk meningkatkan nilai

pasar obat herbal dengan kekayaan plasma nutfah tumbuhan negara kita. Menurut

Heyne (1987), di Indonesia terdapat lebih dari 1.000 spesies tumbuhan obat,

selain dari 37 spesies tumbuhan racun ikan, 17 jenis bahan aromatik, 32 jenis

penghasil tembakau dan 14 jenis penghasil biji=bijian dan buah. Departemen

Kesehatan RI pada tahun 2004 telah menetapkan 13 tanaman obat unggulan, yang

terdiri dari sambiloto, pegagan, jati belanda, tempuyung, temulawak, daun ungu,

cabe jawa, sanrego, pasak bumi, kencur, pace, daun jinten dan pala (Aziz 2006).

Temulawak ( Roxb.) merupakan salah satu jenis

tumbuhan dari keluarga Zingiberaceae yang secara empirik banyak digunakan

sebagai obat dalam bentuk tunggal maupun campuran untuk mengatasi gangguan

(25)

mencret, kurang nafsu makan, kelebihan berat badan, radang lambung, cacar air,

eksema, jerawat, dan sebagainya (Prana & Satrapradja 1980).

Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa kandungan kimia

rimpang temulawak terdiri atas kurkuminoid, minyak atsiri, resin, lipida, amilum,

amilase, fenolase dan mineral. Dalam minyak atsiri terdapat 31 komponen, dan

beberapa diantaranya merupakan komponen khas minyak atsiri, salah satunya

adalah xanthorrhizol (Oei 1988). Selanjutnya dinyatakan bahwa

xanthorrhizol mempunyai kemampuan menghambat pembentukan enzim

siklooksidase yang berperan dalam perubahan asam arakhidonat menjadi

prostaglandin aktif. Hal ini menunjukkan bahwa xanthorrhizol mempunyai

aktifitas menekan atau mengurangi peradangan (antiinflamasi). Penelitian yang

dilakukan oleh Itokawa (1985) menunjukkan bahwa xanthorrhizol

mempunyai aktifitas antitumor, walaupun aktivitasnya lebih rendah dari ar=

kurkumen. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Yamazaki (1987,

1988) menunjukkan bahwa xanthorrhizol juga dapat menekan syaraf pusat atau

sebagai depresan yang bisa memperpanjang masa tidur.

Penelitian mengenai manfaat xanthorrhizol dalam bidang farmakologik

sudah cukup banyak, namun penelitian ke arah pengembangan temulawak untuk

memproduksi kandungan xanthorrhizol yang tinggi masih sangat terbatas. Untuk

itulah dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai aspek budidayanya.

Produktivitas dan mutu obat rimpang tanaman temulawak sangat

dipengaruhi banyak faktor, antara lain tingkat kesuburan tanah, teknik bercocok

tanam, kondisi iklim dan status air tanah. Pertanian di daerah tropis hampir

seluruh persediaan air berasal dari air hujan, oleh karena itu hujan merupakan

faktor yang menentukan di dalam suatu proses produksi tanaman. Apabila hujan

yang jatuh di suatu tempat berkurang atau sedikit, maka persediaan air yang akan

dimanfaatkan tanaman akan berkurang. Disamping itu, penyebab utama fluktuasi

hasil tanaman dari tahun ke tahun atau dari musim ke musim, terutama di daerah

tropis adalah karena ketersediaan air yang sangat ditentukan oleh keadaan hujan.

Pengaruh ketersediaan air terhadap pertumbuhan tanaman sangat besar.

Kekurangan air pada tanaman yang diikuti berkurangnya air pada daerah

(26)

pada tanaman yang mengalami stres air adalah mempertinggi ketahanan terhadap

kekeringan. Pengaruh yang paling nyata adalah mengecilnya ukuran daun untuk

meminimumkan kehilangan air. Mekanisme ini di satu pihak mempertahankan

kelangsungan hidup tanaman tetapi di lain pihak mengurangi bobot kering

tanaman, namun dapat meningkatkan kandungan metabolit pada tanaman tersebut

(Garnerd . 1991). Penelitian yang dilakukan oleh Ram dan Singh (1994)

menunjukkan bahwa terjadi penurunan berat basah pada tanaman

setelah diberi perlakuan stres kelembaban (air), namun kandungan minyak

atsirinya justru meningkat. Hal yang sama juga ditunjukkan dari hasil penelitian

yang dilakukan oleh Rahardjo dan Darwati (2000), dimana cekaman air pada 60%

kapasitas lapang yang diaplikasikan 30 HST (Hari Setelah Tanam) pada tanaman

tempuyung ( L.) menunjukkan pengaruh nyata menurunkan

produksi bobot kering daun (simplisia) tanaman, semakin besar cekaman air

semakin rendah produksi simplisia tanaman, tetapi mampu meningkatkan kadar K

dan Na sehingga mutu daun sebagai diuretika dapat meningkat.

Air sangatlah penting bagi tanaman. Kandungan air pada tanaman

bervariasi antara 70 sampai 90%, tergantung pada umur, spesies, jaringan tertentu

dan lingkungan (Garner . 1991). Sampai saat ini belum ada penelitian yang

mengkaji keterkaitan antara daya adaptasi tanaman temulawak terhadap

kandungan air tanah dan pengaruhnya terhadap produktivitas dan mutu simplisia.

Selain status air tanah, perbedaan umur panen tanaman temulawak juga

dapat mempengaruhi produktivitas dan mutu rimpang temulawak. Umur panen

temulawak umumnya 9 bulan, bahkan petani biasanya memanen pada umur 9

sampai 24 bulan. Namun sebuah penelitian yang pernah dilakukan diperoleh hasil

yang bertentangan dengan pendapat yang diyakini secara umum. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa umur panen tujuh bulan diperoleh hasil rimpang

tertinggi (Balai Penelitian Tanaman Industri 1982).

m

(27)

.5.$,

Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan cekaman kekeringan dan umur

panen yang terbaik untuk pertumbuhan dan produksi kandungan xanthorrhizol

temulawak melalui pengamatan terhadap karakter agronomi, fisiologi, dan

kandungan bioaktif.

'(

)/-'-Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Cekaman kekeringan tertentu akan meningkatkan pertumbuhan dan

kandungan xanthorrhizol tanaman temulawak.

2. Umur panen tertentu akan meningkatkan pertumbuhan dan kandungan

xanthorrhizol tanaman temulawak.

3. Interaksi antara cekaman kekeringan dengan umur panen tertentu akan

meningkatkan pertumbuhan dan kandungan xanthorrhizol tanaman

(28)

/*.+$6$%

Tanaman temulawak ( Roxb.), termasuk golongan

suku temu=temuan ( ) dari marga Curcuma. Temulawak atau

koneng gede (sunda), temo labak (Madura), temulawas (Malaysia) merupakan

tanaman asli Indonesia yang penyebarannya banyak terdapat di Ambon, Bali dan

Jawa (Sutarno dan Atmawidjojo 2001). Temulawak di tanah asalnya dahulu

banyak tumbuh liar di hutan=hutan terutama hutan jati bersama dengan temu=

temuan lain.

Temulawak termasuk terna berbatang semu dan basah. Tinggi tanaman

dapat mencapai 1,7 m, bahkan ada yang menyebutkan sampai ketinggian 2,5 m,

berwarna hijau atau coklat gelap dengan ukuran panjang 31=84 cm dan lebar

antara 10=18 cm. Tiap tanaman berdaun 2=9 helai, berbentuk bundar memanjang

sampai lanset. Sebagai tanaman monokotil, temulawak tidak memiliki akar

tunggang. Akar yang dipunyainya adalah berupa rimpang, yang dibedakan atas

rimpang utama (induk) dan rimpang cabang. Rimpang induk berbentuk bulat

panjang dengan anak rimpang 3=7 buah. Permukaan luar rimpang ini berkerut dan

berwarna coklat kuning buram, melengkung tidak beraturan (tidak merata).

Rimpang induk tumbuh dan terbentuk dekat permukaan tanah pada kedalaman

sekitar 35 cm. Bunga berbentuk bulir bulat memanjang dengan panjang antara 9=

23 cm dan lebar 4=6 cm, berwarna merah, ungu dan putih dengan sebagian dari

ujungnya berwarna ungu (Suwarsono 1978).

Temulawak memerlukan tempat terlindung, dapat tumbuh baik pada dataran

rendah dan dataran tinggi sampai ketinggian 750 m, bahkan ada yang menyatakan

sampai ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 1.500 –

4.000 mm/tahun. Temulawak dapat tumbuh di tanah=tanah berkapur, tanah ringan

berpasir atau tanah liat yang keras. Selang toleransi suhu untuk pertumbuhan

temulawak cukup lebar, berkisar 19=35oC. Tanaman ini sering dijumpai tumbuh

dibawah naungan pohon jati, menyukai lingkungan gelap dan lembab, tetapi tidak

(29)

Menurut Sidik (1990), rimpang temulawak mempunyai berbagai

macam kegunaan yang populer, misalnya untuk pewarna, bahan minuman dan

makanan, indikator kendali mutu susu perah, dan komponen pada berbagai jamu.

Menurut Supriadi. (2001), komposisi rimpang temulawak adalah pati (29=30%),

kurkuminoid (1=2%) dan minyak atsiri (6=10%). Fraksi kurkuminoid pada

temulawak dapat digunakan sebagai pewarna makanan, minuman, atau kosmetika.

Hal ini disebabkan karena warnannya yang kuning. Selanjutnya dalam bidang

makanan, kandungan pati pada rimpangnya dapat digunakan sebagai bahan

makanan berupa bubur. Selain itu pati temulawak juga mempunyai harapan untuk

dikembangkan dalam bidang farmasi dam teknologi dalam kaitannya dengan

bahan pembantu dalam industri tablet. Minyak atsiri rimpang temulawak

digunakan dalam bidang medis sebagai aromaterapi, yaitu fitoterapi yang

menggunakan minyak atsiri sebagai komponen aktifnya. Dewasa ini juga telah

banyak diproduksi minuman segar dalam bentuk limun temulawak.

/0$,$, '0 $1' $,$*$,

Air merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Air

dibutuhkan untuk bermacam=macam fungsi tanaman, yaitu: (1) Pelarut dan

medium untuk reaksi kimia, (2) medium untuk transpor zat terlarut organik dan

anorganik, (3) Medium yang memberikan turgor pada sel tanaman. Turgor

menggalakkan pembesaran sel dan struktur tanaman. (4) hidrasi dan netralisasi

muatan pada molekul=molekul koloid. (5) Bahan baku untuk fotosintesis, proses

hidrolisis dan reaksi=reaksi kimia lainnya dalam tumbuhan. (6) transpirasi untuk

mendinginkan tanaman (Garnerd . 1991).

Menurut Krammer (1980), tanaman dapat menyerap air dari tanah bila

retensi oleh partikel=partikel tanah lebih kecil daripada daya serap tanaman. Hal

ini berarti bila kandungan air rendah, tanaman tidak dapat menyerap air dan

kemudian layu. Kurangnya kandungan air dalam tanah dapat menyebabkan

kekeringan, dalam kondisi tersebut tanaman mengalami stres air (dalam arti

terjadi defisit air). Sebagai respon terhadap kekeringan, tanaman dapat

mengembangkan beberapa mekanisme, baik penghindaran maupun toleransi.

Menurut Islami dan Utomo (1995), tanaman melakukan mekanisme penghindaran

(30)

siklus hidupnya sebelum mengalami defisit air yang serius. Bentuk toleransi

tanaman terhadap kekeringan melalui dua mekanisme, yaitu dengan memelihara

tingginya potensial air jaringan dan bertahan dengan potensial air jaringan yang

rendah dengan penyesuaian osmotik.

Menurut Harjadi dan Yahya (1988), stres kekeringan pada tanaman dapat

disebabkan oleh dua hal : (1) kekurangan suplai air di daerah perakaran, dan (2)

permintaan air yang berlebihan oleh daun, dimana laju evapotranspirasi melebihi

laju absorpsi air oleh akar tanaman, walaupun keadaan air tanah cukup.

Kekeringan akan mengurangi ketersediaan hara bagi tanaman. Hal ini

ditunjukkan dengan menurunnya total serapan hara dan juga konsentrasi hara

tanaman. Total serapan hara berkurang apabila konsentrasi hara pada tanaman

yang sedang tumbuh adalah konstan, jika konsentrasi hara menurun, maka

ketersediaan hara tanah lebih dihambat daripada pertumbuhan. Hal ini dapat

terjadi apabila sebagian besar hara berada pada lapisan atas permukaan tanah yang

menjadi kering, sehingga akar tanaman memperoleh air dari lapisan yang lebih

dalam.

Levit (1980), menyatakan bahwa cekaman kekeringan juga akan

menyebabkan terjadinya penurunan laju fotosintesis, hal ini merupakan kombinasi

dari beberapa proses, yaitu : (1) penutupan stomata secara hidroaktif mengurangi

suplai CO2kedalam daun, (2) dehidrasi kutikula, dinding epidermis, dan membran

sel mengurangi permeabilitas terhadap CO2, (3) bertambahnya tahanan sel mesofil

terhadap pertukaran gas, dan (4) menurunnya efisiensi sistem fotosintesis

berkaitan dengan proses biokimia dan aktifitas enzim dalam sitoplasma. Dimana

dalam proses fotosintesis terdapat proses hidrolisis yang memerlukan air.

Kekurangan air akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman karena

terjadinya perubahan pada anatomi, morfologi, fisiologi, biokimia dan pada

akhirnya menurunkan produktivitas tanaman. Menurut Sheriff dan Muchow

(1992), indeks luas daun yang merupakan ukuran perkembangan tajuk yang paling

umum, sangat peka terhadap kekurangan air, yang mengakibatkan penurunan

dalam pembentukan dan perluasan daun dan penuaan serta perontokan daun.

Perluasan daun lebih peka terhadap kekurangan air daripada penutupan stomata

(31)

ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Colom dan Vazzana (2000)

bahwa efek dari stres air (kekeringan) terhadap tiga kultivar

menunjukkan terjadinya penurunan berat kering tanaman sebanyak kurang lebih

40=50% setelah diberi stres air dengan interval penyiraman 6 hari, jika

dibandingkan dengan kontrol. Penyiraman 9 hari sekali menunjukkan terjadinya

penurunan kandungan klorofil yang signifikan. Kedua kondisi stres air tersebut,

akan menurunkan berat kering daun (7=11% dari total bahan kering tanaman).

Penelitian yang dilakukan Baiyeri (1996) dengan melihat efek dari stres air

terhadap tanaman pada konsentrasi nitrogen dan rezim air yang berbeda.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kandungan nitrogen dan berat kering

daun tertinggi diperoleh pada perlakuan interval penyiraman 12 hari, dibanding

dengan interval penyiraman enam dan sembilan hari.

Saat terjadi cekaman kekeringan dimana potensial air sedikit lebih negatif,

pembentukan klorofil dihambat. Tingkat cekaman yang memberikan efek

terhadap enzim, menyebabkan asam absisat (ABA) mulai meningkat dengan

tajam dalam jaringan daun, hal ini mengakibatkan stomata mulai menutup, yang

menyebabkan penurunan transpirasi, penyusutan luas daun dan terhambatnya

aktifitas fotosintesis sehingga akumulasi biomassa semakin rendah (Salisbury &

Ross 1995). Menurut Taiz dan Zeiger (1991), Proses penutupan stomata pada

tanaman yang mengalami stres kekeringan perlu dilakukan sebagai tanggapan

tanaman melawan kerusakan yang lebih awal. Penutupan stomata menurunkan

evaporasi dari luasan daun yang ada.

$,)3 003'7 +

Pemanfaatan ekstrak tanaman untuk mengobati maupun membunuh telah

dilakukan sejak jaman prasejarah. Senyawa=senyawa organik yang berasal dari

sumber=sumber alami menyusun suatu kelompok besar yang disebut produk=

produk alami ( ), atau yang lebih dikenal sebagai metabolit

sekunder.

Menurut Herbert (1995), metabolit sekunder dapat dibedakan secara akurat

dari metabolit primer berdasarkan kriteria berikut: penyebarannya lebih terbatas,

(32)

karakteristik untuk spesies tertentu. Metabolisme ini memiliki alur yang khusus

dari metabolisme primer. Metabolit sekunder tidaklah bersifat esensial untuk

kehidupan, meski penting bagi organisme yang menghasilkannya. Sebagian besar

peranannya masih belum diketahui dengan jelas. Menurut Goodwin dan Merger

(1990), metabolisme sekunder reaksinya sering tidak berkaitan dengan

kepentingan tumbuhan, oleh karena itu disebut metabolisme sekunder.

Keberadaan metabolit sekunder sering dikaitkan peranannya sebagai kunci utama

dari spesies untuk bertahan hidup atau lebih tahan dari spesies lain.

Xanthorrhizol mempunyai rumus molekul C15H22O dengan bobot molekul

218. Analisis dengan spektroskopi ultraviolet memberikan puncak serapan

maksimum pada panjang gelombang 276 nm, yang merupakan serapan tipikal dari

gugus fenol (Sidik . 1995). Xanthorrhizol merupakan salah produk dari

metabolisme sekunder, dimana termasuk senyawa yang hanya terdapat pada

minyak atsiri tanaman temulawak dan tidak ditemukan dalam jenis curcuma yang

lain. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sirait pada tahun 1971 telah

melakukan skrining kandungan xanthorrhizol pada jenis=jenis curcuma yang lain,

yaitu serta

. Hasilnya membuktikan bahwa hanya

yang mengandung xanthorrhizol (Sirait . 1985). Xanthorrhizol memiliki

struktur seperti terlihat berikut ini (Hwang 2005):

Gambar 1. Struktur Kimia Senyawa Xanthorrhizol

Sumber : Hwang JK (2005).

Menurut Oei (1988) xanthorrhizol memiliki aktifitas menekan atau

mengurangi peradangan (antiinflamasi). Penelitian yang dilakukan oleh Itokawa

(1985) menunjukkan bahwa α=kurkumen, ar=turmeron, dan xanthorrhizol

(33)

adalah: (+++) untuk α=kurkumen, (++) untuk ar=turmeron, dan (++) untuk

xanthorrhizol.

Penelitian Yamazaki . (1987, 1988a) menyatakan bahwa ekstrak

rimpang temulawak ternyata mempunyai efek memperpanjang masa tidur yang

diakibatkan oleh pentobarbital. Selanjutnya dibuktikan bahwa xanthorrhizol

adalah zat yang menyebabkan efek tersebut dengan cara menghambat aktifitas

sitokrom P 450. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

Lim (2005), dimana dinyatakan bahwa xanthorrhizol dapat menjadi salah

satu kandidat sebagai obat untuk penyakit alzheimer dan penyakit lainnya yang

berhubungan dengan syaraf. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Yamazaki

(1987, 1988) menunjukkan bahwa xanthorrhizol juga dapat menekan syaraf

pusat atau sebagai depresan yang bisa memperpanjang masa tidur.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Chilwan . (1993) yang meneliti

efek insektisida empat jenis rimpang dari spesies Zingiberaceae yaitu:

dan . Tujuh belas

komponen terbesar termasuk flavonoid, sesquiterpenoid, dan derivat asam sinamat

berhasil diisolasi dan diidentifikasi menggunakan NMR dan .

Semua komponen diuji toksisitasnya terhadap larva . Secara

kontak residue bioassay nampak bahwa xanthorrhizol dan furanodienon

merupakan senyawa yang paling aktif menunjukkan toksisitas melawan larva

yang baru lahir. Menurut Hwang (2002), xanthorrhizol mempunyai daya

antibakteri yang baik terhadap yang menyebabkan caries

(34)

/*($) 4$, $%).

Percobaan dilaksanakan di Rumah Kaca Departemen Biokimia Institut

Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan percobaan dimulai pada bulan Nopember

2005 sampai dengan Juli 2006. Analisis kandungan bioaktif dilaksanakan di

Laboratorium Kesehatan DKI, analisis kadar klorofil dan prolin dilaksanakan di

Laboratorium RGCI (! " # ) IPB.

$3$, 4$, +$)

Bahan=bahan yang digunakan antara lain bahan tanam yang berupa bibit

temulawak aksesi Jonggol, tanah, pupuk kandang sapi, polybag ukuran

(60x60)cm, aquades, asam sulfosalisilat, ninhidrin, asam asetat glacial, toluene,

dan aseton. Alat=alat yang digunakan antara lain satu set alat kromatografi gas,

satu set alat penyulingan minyak atsiri, satu set alat penentuan kadar air rimpang,

timbangan analitik, automatik light area meter, termohigrometer, alat ukur, alat

tulis, sentrifuge, gelas ukur, jangka sorong, dan oven.

/) 4 + 1' /,/+')'$,

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan percobaan faktorial yang

disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL), yang terdiri atas dua faktor,

yaitu:

1. Penyiraman:

a. A1 = 100% Kapasitas Lapang (KL)

b. A2 = Cekaman kekeringan (50% KL) selama 2 minggu sebelum panen.

c. A3 = Cekaman kekeringan (50% KL) selama 4 minggu sebelum panen.

d. A4 = Cekaman kekeringan (50% KL) selama 6 minggu sebelum panen.

2. Perlakuan umur panen

a. U1 = panen umur 5 bulan

b. U2 = panen umur 7 bulan

Dengan demikian seluruhnya terdapat 8 kombinasi perlakuan dengan tiga

kali ulangan sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Model rancangan penelitian

(35)

Yijk= +αi+βj+ (αβ)ij+∈ijk

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan pada satuan percobaan cekaman kekeringan taraf ke=i

(i=1, 2, 3, 4) pada umur panen taraf ke=j (j=1, 2) dan ulangan ke=k (k=1,

2, 3)

= nilai rataan umum

αi = pengaruh cekaman kekeringan taraf ke=i

βj = pengaruh umur panen ke=j

(αβ)ij= pengaruh interaksi antara cekaman kekeringan taraf ke=i dengan umur

panen taraf ke=j

∈ijk = pengaruh acak pada pot yang memperoleh kadar air tanah taraf ke=i, umur

panen taraf ke=j, dan ulangan ke=k.

/+$%-$,$$,

Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan pembibitan.

Pembibitan menggunakan rimpang induk dan rimpang anak dari tanaman yang

berumur 9 bulan atau lebih. Rimpang ditunaskan pada tempat yang lembab dan

teduh dan disiram setiap hari selama dua sampai enam minggu. Setelah tunas=

tunas tumbuh, rimpang dipotong=potong. Tiap potong mengandung satu mata

tunas. Tunas tersebut kemudian ditanam di dalam polybag yang berukuran (60 x

60) cm, yang diisi tanah sebanyak 23 kg dan ditambahkan pupuk kandang

sebanyak 2 kg.

Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman yang dilakukan setiap hari,

penyiangan dilakukan bila terdapat gulma, penyulaman dilakukan bila terdapat

bibit yang mati, penyulaman dilakukan paling lambat tiga minggu setelah tanam.

Pengendalian hama penyakit dilakukan jika perlu (jika terdapat serangan yang

mengganggu dan melebihi ambang batas) dengan menggunakan pestisida nabati.

Perlakuan cekaman kekeringan mulai diaplikasikan sejak tanaman berumur

6, 4 dan 2 minggu sebelum panen. Perlakuan 50% kapasitas lapang dengan;

tanaman sampel ditempatkan pada bangku yang memungkinkan dibawahnya

terdapat penadah air yang tidak diserap oleh tanah dan tanaman. Tanaman

disiram dengan volume tertentu yang telah ditetapkan (volume awal), selanjutnya

(36)

dengan volume akhir merupakan jumlah air yang diberikan pada tanaman dengan

kapasitas lapang 100%.

50% KL = (Volume awal – Volume akhir)/ 2

Pemanenan dilakukan dengan cara membongkar rimpang dari dalam tanah.

Tanaman dipanen sesuai perlakuan, yaitu pada umur 5 bulan dan 7 bulan.

Selanjutnya rimpang dibersihkan dan dilakukan penanganan pasca panen, sesuai

dengan komponen yang ingin diamati.

Komponen=komponen yang diamati meliputi :

Komponen pertumbuhan tanaman

1. Tinggi tanaman (cm), Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap minggu

dengan cara mengukur dari pangkal sampai daun terpanjang.

2. Jumlah daun per rumpun (helai), yang dihitung adalah semua daun segar yang

telah terbuka sempurna, diamati setiap minggu.

3. Diameter pangkal batang terbesar, diukur dengan menggunakan jangka

sorong.

4. Bobot basah tajuk (g), pengamatan dilakukan dengan menggunakan

timbangan analitik dan dilakukan satu kali pada saat panen.

5. Bobot kering tajuk (g), pengamatan dilakukan satu kali pada saat panen,

dengan cara menimbang berat kering tajuk dengan timbangan analitik, setelah

dioven pada suhu 105oC sampai beratnya konstan.

6. Bobot basah rimpang induk (g), pengamatan dilakukan dengan menggunakan

timbangan analitik dan dilakukan satu kali pada saat panen .

7. Bobot basah rimpang anak (g), pengamatan dilakukan dengan menggunakan

timbangan analitik dan dilakukan satu kali pada saat panen .

8. Bobot basah rimpang cucu (g), pengamatan dilakukan dengan menggunakan

timbangan analitik dan dilakukan satu kali pada saat panen.

9. Bobot kering rimpang induk (g), pengamatan dilakukan satu kali pada saat

panen dengan cara menimbang berat kering tajuk dengan timbangan analitik,

setelah dioven pada suhu 60oC sampai beratnya konstan.

10. Bobot kering rimpang anak (g), pengamatan dilakukan satu kali pada saat

panen dengan cara menimbang berat kering tajuk dengan timbangan analitik,

(37)

11. Bobot kering rimpang cucu (g), pengamatan dilakukan satu kali pada saat

panen dengan cara menimbang berat kering tajuk dengan timbangan analitik,

setelah dioven pada suhu 60oC sampai beratnya konstan.

12. Persentase rimpang induk, rimpang anak dan rimpang cucu. Persentase

bagian rimpang berdasarkan bobot kering dari bagian rimpang tersebut.

13. Materi kering pada rimpang temulawak. Perhitungan materi kering

didasarkan pada bobot basah dan berat kering rimpang, serta kadar air pada

rimpang kering temulawak.

Berat Airsimplisia= Kadar AirsimplisiaX Bobot Keringsimplisia

Materi Kering = Bobot keringsimplisia– Berat airsimplisia

Komponen fisiologi tanaman

1. Analisis kadar klorofil a, b dan total klorofil, dengan metode Arnon yang

dilakukan pada akhir pengamatan. Sebanyak 50 mg sampel daun digerus

dalam 2 ml aseton 80%. Kemudian disentrifugasi. Ekstraksi diulang sampai

volume mencapai 10 ml.

Ekstrak dimasukkan dalam kuvet dan diukur absorbannya dengan

spektofotometer pada panjang gelombang 645 nm dan 652 nm. Berdasarkan

hasil absorban tersebut dapat diketahui kandungan klorofil a, klorofil b dan

total klorofil pada sample daun dengan rumusan sebagai berikut :

Klorofil a = (0.0127 x D663 – 0.00269 x D645)fp

Klorofil b = (0.0229 x D645 – 0.00468 X D 663)fp

Klorofil total = (20.2 x D663) + (8.02 x D645) fp

fp = faktor pengencer

= d/e x b/c x 1/a x 1000

dimana:

d = volume ektrak setelah dihancurkan

e = konversi dari liter ke mililiter

b = volume ektrak awal

c = volume ektrak yang diambil dari ektrak awal

a = Bobot sampel

1000 = konversi dari gram ke miligram

(38)

3. Analisis prolin, dilakukan menggunakan metode yang dikembangkan oleh

Bates (1973). Sebanyak 0,5 g bahan tanaman berupa daun segar

dihomogenkan dalam 10 ml 3% b/v asam sulfosalisilat yang telah didinginkan

sebelumnya dalam lemari pendingin. Selanjutnya filtrat disentrifuge selama 5

menit. Supernatan disentrifuge kembali hingga warna menjadi bening. Filtrat

ditera hingga 10 ml, dan sebanyak 2 ml dari filtrat yang diperoleh, direaksikan

dengan 2 ml ninhidrin asam (1,2 g ninhidrin dalam 30 ml asam asetat glasial

dan 20 ml 6 M asam fosfat), ninhidrin asam direaksikan 24 jam sebelum

analisis dilakukan. Filtrat kemudian di panaskan pada suhu 100oC selama 1

jam, dan reaksi diakhiri dalam bak berisi air es. Campuran reaksi diekstraksi

dengan 4 ml toluene, diaduk dengan vorteks selama 15=20 detik. Kromofor

yang mengandung toluene dikeluarkan dari fase air, dihangatkan pada suhu

kamar dan absorban diukur pada panjang gelombang 520 nm, toluene

digunakan sebagai blanko. Konsentrasi prolin ditentukan dengan kurva

standar prolin (Sigma). Pengamatan dilakukan pada saat panen.

Komponen Iklim

Suhu udara dan kelembaban udara

Kedua data ini diperoleh dengan menggunakan alat termohygrometer.

Pengukuran dilakukan setiap hari, 3 kali sehari, pada pukul 07.30, 13.00 dan

16.30 WIB.

Komponen Bioaktif Tanaman

Analisis komponen bioaktif dilakukan secara komposit antar kombinasi perlakuan

dan tanpa ulangan.

1. Penentuan Kadar Air

Rimpang temulawak yang telah diiris tipis dengan ketebalan ± 8 mm,

kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu (60=80)oC. Selanjutnya simplisia

dihaluskan dan direndam menggunakan toluene. Rendaman tersebut

dimasukkan ke dalam labu erlemeyer dan dipanaskan dengan suhu 70=80oC

selama 2=3 jam. Selanjutnya akan terbentuk kondensat yang terdiri dari dua

lapisan, yaitu air dan minyak. Jumlah air yang tertampung merupakan kadar

(39)

2. Penentuan kadar minyak atsiri pada simplisia temulawak

Kadar minyak atsiri pada simplisia temulawak diketahui dengan cara

penyulingan. Proses penyulingan dilakukan dengan memanaskan bahan baku

dalam air mendidih pada ketel destilasi sehingga membentuk uap, selanjutnya

akan terjadi peristiwa kondensasi dan pendinginan, sehingga akan terbentuk

tetesan kondensat berupa cairan yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan

minyak dan air. Minyak yang terbentuk merupakan minyak atsiri hasil dari

penyulingan temulawak.

3. Penentuan komponen yang terdapat dalam minyak atsiri temulawak

Prinsip kerja GC=MS adalah mengidentifikasi suatu senyawa tanpa

menggunakan senyawa pembanding autentik (standar), cukup dengan spektrum

massa pembanding.

Sebanyak 1 Pl minyak atsiri diambil dan disuntikkan dengan suntikan mikro

melalui septum silikan ke penguap kilat atau ujung kolom, pada saat

penyuntikan, sampel cair segera menguap karena panas dari blok metal

pemanas yang dapat dikontrol suhunya, kemudian komponen yang telah

menjadi gas tersebut didorong oleh aliran gas pengemban ke dalam kolom.

Sampel harus mengalami aliran secara cepat untuk mendapatkan aliran

suntikan, maka suhu pada aliran ini harus melebihi titik didih dari semua

komponen dalam sampel. Hasil yang didapat akan ditunjukkan oleh integrator

komputer yang memberikan data yang diinginkan dalam bentuk cetak.

4. Produktifitas tanaman.

Perhitungan produktifitas tanaman didasarkan pada bobot kering

rimpang dengan kandungan xanthorrhizol rimpang.

Produktifitas = bobot kering rimpang x kandungan xanthorrhizol

(40)

$-'+

/$4$$, *.* /,/+')'$,

Keadaan Pertanaman pada umur 0=5 bulan menunjukkan pertumbuhan

yang sehat dan tingkat serangan hama dan penyakit relatif rendah (Gambar 1).

Namun saat tanaman berumur lebih dari 5 bulan, terdapat berbagai serangan

hama yang menyerang tanaman temulawak, yaitu belalang, ulat dan aphids.

Akibat yang ditimbulkan oleh serangan belalang dan ulat daun tidak terlalu

menganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. belalang menimbulkan

kerusakan dengan meninggalkan bekas gigitan yang berupa lubang=lubang pada

daun. Serangan belalang dapat diminimalisir dengan dengan pengendalian secara

mekanis, serangan ulat dapat diatasi dengan pengendalian secara mekanis dan

pestisida nabati. Pestisida nabati yang digunakan berupa penyemprotan dengan

menggunakan ekstrak bawang putih pada tanaman yang mengalami serangan.

Gambar 1. Pertanaman temulawak pada umur 3 bulan, tanaman menunjukkan

pertumbuhan yang sehat, bebas dari serangan hama dan penyakit.

Serangan hama aphid menimbulkan dampak yang sangat merugikan

pertanaman karena berlangsung dengan sangat cepat. Daun mengalami gejala

plesioneksis, yaitu daun tanaman menjadi menguning (klorosis) dan tembus

cahaya, hal ini diakibatkan oleh hancurnya klorofil pada daun. Gejala selanjutnya

terjadi kelayuan pada tanaman dan batang tanaman menjadi membusuk dan

akhirnya tanaman jadi rebah (Gambar 2). Aphid menjadi salah satu indikator

(41)

vektor. Aphid merupakan serangga dari ordo homoptera yang paling banyak dan

paling penting sebagai vektor dalam menularkan sebagian besar virus (sekitar 170

macam virus).

Gambar 2. Kondisi tanaman yang terserang hama aphid. Tanaman tumbuh

kerdil, batang membusuk dan daun mengalami klorosis.

.3. 4$, /+/* $ $,

Suhu dan kelembaban udara didalam dan diluar rumah kaca selama

penelitian dikemukakan pada Tabel Lampiran 4. Suhu udara rataan dalam rumah

kaca lebih tinggi dibanding suhu diluar, sebaliknya kelembaban udara lebih

rendah dibanding keadaan di luar rumah kaca. Suhu dan kelembaban akan

berkaitan dengan besarnya evapotranspirasi dalam rumah kaca. Peningkatan

temperatur akan meningkatkan kapasitas udara untuk menyimpan air, yang berarti

tuntutan atmosfer yang lebih besar. Semakin besar kandungan air di udara, yang

berarti tuntutan atmosfer menurun dengan meningkatnya kelembaban relatif.

Menurut Wahid dan Soediarto (1985), selang toleransi suhu untuk pertumbuhan

temulawak cukup lebar, berkisar 19=35oC.

'8$) '*'$ 4$, "'-'% $,$3 9$,1 '1.,$%$,

Berdasarkan hasil analisis tanah yang dilakukan di laboratorium

Departemen Tanah IPB (Tabel Lampiran 1) tanah yang digunakan dalam

penelitian tergolong “netral”dengan pH H2O sebesar 7,26. Hal ini sesuai dengan

kriteria yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994)

yang mengkategorikan tanah dengan pH 6,6=7,5 merupakan tanah dengan sifat

(42)

Tekstur tanah yang digunakan pada penelitian termasuk dalam kelas

lempung liat karena kandungan liatnya lebih dari 30%. Tekstur tanah berbanding

lurus dengan nilai KTK yang tergolong sedang, demikian pula nilai pH H2O

tanah. Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada sifat dan ciri tanah

itu sendiri. Besar kecilnya kapasitas tukar kation tanah dipengaruhi oleh; reaksi

tanah, tekstur tanah atau jumlah liat tanah, jenis mineral liat, bahan organik, serta

pengapuran dan pemupukan (Islami dan Utomo 1995). Nilai kalium pada tanah

menunjukkan angka yang sangat rendah, keadaan ini disebabkan pH tanah yang

cukup tinggi sehingga K akan terfiksasi.

Penambahan pupuk kandang kambing pada media diharapkan dapat

meningkatkan kandungan unsur hara pada media. Pupuk kandang mengandung N

yang rendah yaitu 1.08 %, dengan demikian pupuk kandang yang digunakan

belum dapat menyumbang banyak N bagi tanaman. Pemberian pupuk kandang

akan meningkatkan suhu tanah, memperbaiki kemantapan agregat dan struktur

tanah, meningkatkan kemampuan tanah menahan air, meningkatkan KTK,

menghasilkan CO2 dan asam organik yang membentuk mineralisasi dan sebagai

sumber energi bagi organisme tanah.

Tanaman temulawak tidak terlalu memilih sifat dan ciri tanah, umumnya

dapat dibudidayakan pada tanah yang ringan agak berpasir sampai tanah berat

bertekstur liat. Tanaman yang ditanam pada lahan yang cukup subur dan

mengandung cukup bahan organik akan menghasilkan produksi rimpang yang

tinggi, hal ini diperlukan karena temulawak memiliki perakaran yang dangkal,

sehingga sangat cepat menguruskan lapisan atas tanah (Wahid dan Soediarto

1985).

'8$) "'-'% 4$, '*'$ '0 0'1$-' 9$,1 '1.,$%$,

Keberhasilan budidaya pertanian sangat dipengaruhi oleh kualitas air yang

digunakan. Kualitas air sama pentingnya dengan kualitas tanah. Pemberian air

irigasi dengan kualitas yang bagus dapat memperbaiki kualitas tanah.

Berdasarkan hasil analisa contoh air pada Balai Penelitian Tanah (tabel

lampiran 2) diperoleh keterangan kualitas air irigasi yang digunakan. Secara fisik

air bebas Lumpur, dan secara kimia pH 7,3, dengan pH demikian dapat

(43)

Konsentrasi garam atau salinitas berada pada taraf rendah, hal ini tentu berdampak

positif bagi tanaman, sebab konsentrasi garam berlebih akan berdampak buruk

bagi tanaman. Nilai SAR (Nisbah Serapan Sodium) pada air yang digunakan,

yang merupakan perbandingan relatif antara jumlah sodium relatif terhadap kation

lain, berada pada kelas rendah (S1), yaitu 1,95. Keadaan ini akan mendukung

pertumbuhan tanaman, sebagaimana dikatakan oleh Suripin (2002) bahwa nilai

SAR antara 0=10 berarti berada pada level rendah (S1), dimana air dapat

dipergunakan untuk mengairi hampir segala jenis tanah dengan kemungkinan

yang kecil untuk terkumpulnya sodium pada tingkat yang membahayakan.

/%$(').+$-' $-'+ '4'% $1$*

Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen pertumbuhan dan produksi

ditunjukkan pada Tabel 1. Semua variabel yang diamati tidak menunjukkan

pengaruh nyata terhadap interaksi antara umur panen dan cekaman kekeringan.

Cekaman kekeringan memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada

7=4 minggu sebelum panen, luas daun, bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, serta

kandungan prolin pada daun tanaman, tetapi tidak mempengaruhi tinggi tanaman

pada umur 3=1 minggu sebelum panen, jumlah daun, jumlah anakan, diameter

batang, bobot basah rimpang (induk, anak, cucu), bobot kering rimpang (induk,

anak, cucu), dan kandungan klorofil pada daun. Perlakuan umur panen

berpengaruh nyata terhadap variabel tinggi tanaman pada 7=1 minggu sebelum

panen, jumlah anakan pada 7=1 minggu sebelum panen, luas daun, bobot basah

tajuk, bobot basah rimpang (induk dan cucu), dan bobot kering rimpang (induk

dan cucu). Umur panen tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, diameter

batang, bobot basah rimpang anak, bobot kering rimpang anak, kandungan prolin

(44)

Tabel 1. Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen pertumbuhan dan komponen

Diameter batang 7 MSP tn tn tn 9.9992)

Diameter batang 6 MSP tn tn tn 11.1862)

Diameter batang 5 MSP tn tn tn 10.6682)

Diameter batang 4 MSP tn tn tn 10.6652)

Diameter batang 3 MSP tn tn tn 10.4752)

Diameter batang 2 MSP tn tn tn 10.2562)

Diameter batang 1 MSP tn tn tn 9.1792)

Luas daun ** ** tn 17.6271)

Bobot basah tajuk ** ** tn 15.6551)

Bobot basah rimpang tn ** tn 11.7641)

Bobot basah rimpang induk tn ** tn 14.3521)

Bobot basah rimpang anak tn tn tn 14.4541)

Bobot basah rimpang cucu tn ** tn 15.2911)

Bobot kering tajuk ** tn tn 16.0071)

Bobot kering rimpang tn ** tn 12.8431)

Bobot kering rimpang induk tn ** tn 14.8401)

Bobot kering rimpang anak tn tn tn 12.9561)

Bobot kering rimpang cucu tn ** tn 14.6571)

Persentase rimpang induk tn tn tn 4.131)

Persentase rimpang anak tn * tn 16.801)

Persentase rimpang cucu tn tn tn 23.611)

Prolin * tn tn 22.8342)

Klorofil tn tn tn 6.8571)

Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 % ** = berbeda nyata pada taraf kepercayaan 99 %

1)

= hasil transformasi Vx

2)

(45)

/-( , (/0).* .3$, )$,$*$, )/*.+$6$%

',11' $,$*$,

Hasil analisis ragam interaksi umur panen dan cekaman kekeringan tidak

berpengaruh nyata pada tinggi tanaman temulawak (Tabel Lampiran 5).

Tanaman yang tidak diberi perlakuan cekaman kekeringan (kontrol)

menunjukkan laju pertumbuhan tanaman yang paling tinggi dibanding tanaman

yang diberi perlakuan cekaman kekeringan. Tanaman yang mengalami cekaman

kekeringan 2 minggu sebelum panen menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman

yang terhambat, walaupun tidak sehebat yang dialami oleh tanaman yang diberi

cekaman kekeringan 4 dan 6 minggu sebelum panen. Pertambahan tinggi

tanaman pada tanaman yang diberi perlakuan 6 minggu sebelum panen

menunjukkan pertumbuhan yang paling terhambat dibanding tanaman yang diberi

perlakuan cekaman kekeringan yang lebih ringan.

Tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan menunjukkan laju

pertambahan tinggi tanaman yang lebih cepat dibandingkan dengan tanaman yang

dipanen pada umur 7 bulan. Hal ini diduga karena tanaman temulawak, pada

umur 5 bulan masih aktif melakukan pertumbuhan vegetatif.

(a) (b)

Gambar 3. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen (a) 5 bulan, (b) 7 bulan, terhadap tinggi tanaman temulawak.

Keterangan: MSP = Minggu Setelah Tanam

Keterangan ini berlaku untuk semua penggunaan istilah MSP dalam gambar

Faktor tunggal umur panen berpengaruh sangat nyata pada tujuh minggu

sampai lima minggu sebelum panen, dan berpengaruh nyata pada empat minggu

sebelum panen. Faktor cekaman kekeringan berpengaruh nyata pada tujuh

(46)

Tabel 2. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap tinggi tanaman

5 bulan 11.01b 11.23b 11.44b 11.58b 11.73b 11.82b 11.91b

7 bulan 12.88a 13.02a 13.15a 13.25a 13.34a 13.39a 13.40a

Kekeringan ………cm………

100% KL 12.25a 12.48a 12.67a 12.84a 13.00a 13.10a 13.19a

50%KL 2MSP 11.89a 12.09a 12.31ab 12.48ab 12.68ab 12.75ab 12.79ab

50%KL 4MSP 11.88a 12.08a 12.27ab 12.34ab 12.39bc 12.42bc 12.44bc

50%KL 6MSP 11.76a 11.86a 11.93b 12.01b 12.08c 12.15c 12.19c

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05. MSP = Minggu Setelah Tanam. Keterangan ini berlaku untuk semua penggunaan istilah MSP dalam tabel.

Tabel 2 menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada perlakuan umur panen

berbeda nyata antara tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan dengan tanaman

yang dipanen pada umur 7 bulan, sedangkan untuk perlakuan cekaman

kekeringan, pengaruh yang nyata hanya pada tanaman yang diberi perlakuan

cekaman kekeringan selama 6 minggu setelah panen.

.*+$3 $.,

Berdasarkan gambar 4, perlakuan umur panen menghasilkan jumlah daun

yang hampir sama antara tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan dengan yang

dipanen pada umur 7 bulan, demikian pula pada perlakuan cekaman kekeringan

tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar tanaman kontrol dengan

tanaman yang diberi perlakuan. Laju pertambahan jumlah daun lebih tinggi pada

tanaman kontrol dibandingkan tanaman yang diberi perlakuan. Laju pertambahan

jumlah daun yang paling rendah terdapat pada tanaman yang diberi perlakuan

cekaman 6 MSP (Gambar 4).

(a) (b)

Gambar 4. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen (a) 5 bulan, (b) 7 bulan, terhadap jumlah daun temulawak.

(47)

Faktor tunggal umur panen tidak berpengaruh nyata pada jumlah daun

tanaman temulawak mulai awal perlakuan diberikan, yaitu tujuh minggu sampai

satu minggu sebelum panen. Hal ini juga terjadi pada tanaman yang mendapat

perlakuan cekaman kekeringan (tabel 3). Jumlah daun pada tanaman kontrol dan

semua perlakuan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata .

Tabel 3. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap jumlah daun

(helai) tanaman temulawak

Minggu sebelum panen Perlakuan

7 6 5 4 3 2 1

Umur panen ………helai………

5 bulan 2.38 2.38 2.43 2.48 2.51 2.54 2.55

7 bulan 2.32 2.38 2.43 2.48 2.51 2.54 2.55

Kekeringan ………helai………

100% KL 2.34 2.38 2.44 2.49 2.53 2.60 2.62

50%KL 2MSP 2.38 2.37 2.44 2.51 2.54 2.56 2.56

50%KL 4MSP 2.36 2.43 2.45 2.49 2.52 2.54 2.56

50%KL 6MSP 2.33 2.36 2.39 2.42 2.45 2.47 2.47

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing

perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.

'$*/)/0 $)$,1

Hasil analisis ragam umur panen dan cekaman kekeringan tidak berpengaruh

nyata pada diameter batang tanaman temulawak (Tabel Lampiran 6).

Tanaman yang tidak diberi perlakuan cekaman kekeringan menunjukkan

laju pertambahan diameter batang yang lebih cepat dibandingkan tanaman yang

mendapat perlakuan cekaman kekeringan. Tanaman yang mendapat perlakuan

cekaman kekeringan 6 MSP menunjukkan hasil yang paling lambat dalam hal

pertambahan diameter batang tanaman temulawak. Pertambahan diameter batang

tanaman temulawak pada tanaman yang dipanen umur 5 bulan dan tanaman yang dipanen pada umur 7 bulan juga tidak menunjukkan perbedaaan yang nyata,

namun diameter batang pada umur 7 bulan lebih besar dibandingkan tanaman

(48)

Tabel 4. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap diameter

5 bulan 1.66 1.71 1.74 1.78 1.80 1.83 1.89

7 bulan 1.78 1.83 1.85 1.85 1.88 1.90 1.90

Kekeringan ………cm………

100% KL 1.74 1.80 1.82 1.86 1.87 1.90 1.93

50%KL 2MSP 1.77 1.83 1.87 1.87 1.90 1.91 1.94

50%KL 4MSP 1.70 1.73 1.76 1.77 1.82 1.86 1.89

50%KL 6MSP 1.70 1.72 1.74 1.76 1.78 1.79 1.82

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing

perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.

.$-

$.,

Hasil analisis ragam interaksi antara umur panen dan cekaman kekeringan

tidak berpengaruh nyata pada luas daun tanaman temulawak (Tabel Lampiran 10).

Perlakuan cekaman kekeringan sangat mempengaruhi luas daun tanaman.

Tanaman yang diberi perlakuan terlihat daunnya menyempit dibandingkan

tanaman kontrol, namun tanaman yang paling menderita cekaman kekeringan

adalah yang diberi perlakuan cekaman kekeringan selama 6 MSP.

Gambar 5. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap luas daun tanaman temulawak.

Luas daun antara tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan dan tanaman

yang dipanen pada umur 7 bulan menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Faktor

cekaman kekeringan antara kontrol dan perlakuan cekaman kekeringan selama 2

dan 4 MSP menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Pengaruh cekaman

kekeringan menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada perlakuan cekaman

(49)

Tabel 5. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap luas daun tanaman temulawak

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.

.*+$3 ,$%$,

Jumlah anakan tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan menunjukkan

bahwa tanaman kontrol memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan

tanaman yang mendapatkan perlakuan cekaman kekeringan, walaupun pada awal

pengamatan jumlah anakan yang terbanyak terdapat pada tanaman yang mendapat

perlakuan cekaman kekeringan selama 6 MSP. Pertambahan jumlah anakan pada

tanaman kontrol mengalami peningkatan tiap minggu, sedangkan pada tanaman

yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan pertambahan jumlah anakannya

semakin menurun seiring pemberian cekaman kekeringan pada tanaman tersebut.

Kondisi yang sama juga terjadi pada tanaman yang dipanen pada umur 7 bulan.

(a) (b)

Gambar 6. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen (a) 5 bulan, (b) 7 bulan, terhadap jumlah anakan tanaman temulawak

Perlakuan Luas daun (cm2)

Umur Panen

5 bulan 4.08a

7 bulan 3.85b

Cekaman kekeringan

100% KL 4.11a

50%KL 2MSP 4.06a

50%KL 4MSP 3.94a

(50)

Laju pertambahan jumlah anakan terbesar pada tanaman yang dipanen umur

7 bulan, ditunjukkan oleh tanaman kontrol, meskipun jumlah anakan lebih banyak

pada tanaman yang diberi cekaman kekeringan selama 6 MSP (Gambar 6).

Berdasarkan tabel 6, jumlah anakan pada tanaman kontrol dan tanaman yang

mendapatkan cekaman kekeringan tidak berbeda nyata. Namun tanaman kontrol

cenderung memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan tanaman

yang mengalami cekaman kekeringan. Jumlah anakan pada perlakuan umur

panen menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

Tabel 6. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap jumlah

anakan tanaman temulawak

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.

) $-$3 4$, ) /0',1 $5.%

Hasil analisis ragam interaksi antara umur panen dan cekaman kekeringan

tidak berpengaruh nyata pada bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman

temulawak (Tabel Lampiran 8 dan 9).

Berdasarkan tabel 7, bobot basah tajuk antara tanaman yang dipanen pada

umur 5 bulan dengan yang dipanen pada umur 7 bulan berbeda nyata, sedangkan

untuk perlakuan cekaman kekeringan, pengaruh nyata terlihat pada tanaman yang

mendapatkan perlakuan cekaman kekeringan selama 6 MSP. Terjadi penurunan

bobot basah tajuk yang drastis pada tanaman yang mendapatkan cekaman

kekeringan 6 MSP.

Bobot kering tajuk tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan dan pada umur

7 bulan tidak beda nyata. Perlakuan cekaman kekeringan berbeda nyata pada

tanaman yang diberi perlakuan cekaman kekeringan 6 MSP. Minggu sebelum panen Perlakuan

7 6 5 4 3 2 1

Umur panen

5 bulan 0.57b 0.65b 0.76a 0.80b 0.87b 0.88b 0.88b

7 bulan 0.85a 0.90a 0.94a 1.01a 1.08a 1.15a 1.20a

Kekeringan

100% KL 0.73 0.80 0.96 0.94 1.06 1.06 1.09

50%KL 2MSP 0.76 0.76 0.82 0.86 0.97 0.99 1.05

50%KL 4MSP 0.54 0.70 0.73 0.85 0.90 0.93 0.96

(51)

Tabel 7. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman temulawak.

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing

perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.

Berdasarkan gambar 7, tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan bobot

basah tajuk tertinggi cenderung ditunjukkan oleh tanaman yang mendapat

perlakuan cekaman kekeringan selama 2 MSP. Tanaman yang dipanen pada umur

7 bulan, bobot basah tertinggi cenderung terdapat pada tanaman kontrol dan

terendah pada tanaman yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan selama 6

MSP. Pola yang sama terjadi pada bobot kering tajuk tanaman.

Gambar 7. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap bobot

basah dan bobot kering tajuk tanaman temulawak.

Perlakuan Bobot basah tajuk Bobot kering tajuk

Umur Panen ………g………

5 bulan 24.66b 8.65

7 bulan 29.27a 8.49

Cekaman kekeringan ………g………

100% KL 29.33a 9.47a

50%KL 2MSP 30.97a 10.03a

50%KL 4MSP 26.33ab 8.30a

(52)

) $-$3 '*($,1

Hasil analisis ragam interaksi antara umur panen dan cekaman kekeringan

tidak berpengaruh nyata pada bobot basah rimpang tanaman temulawak (Tabel

Lampiran 8).

Berdasarkan tabel 8, bobot basah rimpang, bobot basah rimpang induk, dan

bobot basah rimpang cucu menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara tanaman

yang dipanen pada umur 5 bulan dengan tanaman yang dipanen pada umur 7

bulan, sedangkan rimpang anak tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

Faktor cekaman kekeringan menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata untuk

semua jenis rimpang dengan berbagai taraf cekaman kekeringan. Bobot basah

rimpang, rimpang induk dan rimpang cucu pada tanaman yang mendapatkan

cekaman kekeringan selama 2 MSP cenderung lebih baik dibanding perlakuan

cekaman kekeringan yang lain, sedangkan bobot basah rimpang cucu pada

tanaman kontrol cenderung lebih baik dibandingkan tanaman yang diberi

perlakuan cekaman kekeringan.

Tabel 8. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot basah rimpang, rimpang induk, rimpang anak, dan rimpang cucu tanaman temulawak.

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.

Berdasarkan gambar 8, pada umur 5 bulan tanaman yang mendapatkan

cekaman kekeringan 2 minggu sebelum panen cenderung memiliki bobot basah

rimpang yang tertinggi, sedangkan yang terendah terdapat pada tanaman yang

diberi cekaman kekeringan 6 minggu sebelum panen. Tanaman yang dipanen

pada umur 7 bulan, hasil yang tertinggi cenderung ditunjukkan oleh tanaman

kontrol, sedangkan yang terendah cenderung ditunjukkan oleh tanaman yang

mendapat cekaman kekeringan 6 minggu sebelum panen.

Perlakuan BB Rim.Induk BB Rim.anak BB Rim.cucu BB rimpang

Umur Panen ………g……….

5 bulan 16.28b 9.51 2.91b 20.98b

7 bulan 21.42a 9.88 3.68a 27.48a

Kekeringan ………g……….

100% KL 19.36 9.48 3.50 25.08

50%KL 2MSP 20.315 10.76 3.30 25.70

50%KL 4MSP 18.15 9.55 3.29 23.78

(53)

Gambar 8. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap bobot basah rimpang tanaman temulawak.

) /0',1 '*($,1

Hasil analisis ragam interaksi antara umur panen dan cekaman kekeringan

tidak berpengaruh nyata pada bobot kering rimpang tanaman temulawak (Tabel

Lampiran 9).

Berdasarkan tabel 9, bobot kering rimpang, rimpang induk, dan rimpang

cucu menunjukkan hasil yang berbeda nyata, sedangkan untuk rimpang anak tidak

menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Cekaman kekeringan menunjukkan hasil

yang tidak berbeda nyata untuk masing=masing perlakuan dan kontrol. Tanaman

kontrol cenderung menunjukkan hasil yang lebih baik pada rimpang induk dan

rimpang cucu, sedangkan baik bobot kering rimpang induk, anak dan cucu yang

terendah ditunjukkan oleh tanaman yang mendapatkan perlakuan cekaman

kekeringan selama 6 minggu sebelum panen.

Tabel 9. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot kering rimpang, rimpang induk, rimpang anak, dan rimpang cucu tanaman temulawak.

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing

perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.

Perlakuan BK Rim.Induk BK Rim.anak BK Rim.cucu BK rimpang

Umur Panen …….………g………..

5 bulan 7.08b 3.29 1.54b 8.20b

7 bulan 8.78a 3.48 1.87a 10.12a

Kekeringan …….………g………..

100% KL 8.32 3.29 1.76 9.52

50%KL 2MSP 8.25 3.31 1.72 9.65

50%KL 4MSP 7.77 3.67 1.71 8.98

50%KL 6MSP 7.37 3.26 1.62 8.54

Gambar

Tabel�1.��� Rekapitulasi�hasil�sidik�ragam�komponen�pertumbuhan�dan�komponen�hasil�tanaman�temulawak.��
Gambar�6.���Pengaruh�cekaman�kekeringan�dan�umur�panen�(a)�5�bulan,�(b)�7�bulan,�terhadap��jumlah�anakan�tanaman�temulawak�
Tabel�15.� Matrik�korelasi�antara�karakter�agronomi�dan�fisiologi�dengan�perlakuan�umur�panen�dan�cekaman�kekeringan�pada�tanaman�temulawak�������������
Gambar�lampiran�1.�Denah�percobaan�di�lapangan����
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuiFaktor - Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Premenstrusi Syndrome Pada Remaja Putri Kelas X SMK PGRI 2 Kota Jambi Tentang Premenstruasi

Pada keluarga Bapak Saim, yang mana dalam orientasi bertaninya telah mengalami pergeseran dikarenakan bahwa tidak ingin mengganggu pendidikan anaknya, bapak Saim

bahasa Indonesia secara realtime berdasarkan jenis kelamin dilakukan dengan menggunakan metode Discrete Wavelet Transform (DWT) level 3 sebagai metode ekstrasi

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Permainan Sirkuit Terhadap Perkembangan Motorik Kasar Pada Anak Kelompok B di TK

Oleh karena skor rata-rata kemampuan berpikir tingkat tinggi kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol, maka dapat disimpulkan bahwa, kemampuan berpikir

Ciri yang disebutkan oleh Chang merupakan salah satu indikator yang digunakan oleh peneliti optimisme dalam explanatory stlye , sedangkan penelitian yang mengkaji mengenai

Jika kita menilik ‘fungsi dan kedudukan’ ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dengan kacamata Teori Kritik dari Horkheimer dan Adorno (dalam buku Dialektik der

2.1 Kerangka Pemikiran Produktivitas Tenaga Kerja Perempuan Dalam Kegiatan Pengelolaan Kredit Usaha Mandiri 22011 2220(KUM) di Subak Guama Kabupaten Tabanan. PROGRAM