• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Bentanglahan Untuk Penentuan Kawasan Hutan Lindung Sebagai Arahan Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Bentanglahan Untuk Penentuan Kawasan Hutan Lindung Sebagai Arahan Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS BENTANGLAHAN UNTUK PENENTUAN KAWASAN

HUTAN LINDUNG SEBAGAI ARAHAN PENYEMPURNAAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOGOR

PRIYO SUPRAYOGI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Bentanglahan untuk Penentuan Kawasan Hutan Lindung sebagai Arahan Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

PRIYO SUPRAYOGI. Analisis Bentanglahan untuk Penentuan Kawasan Hutan Lindung sebagai Arahan Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan WIDIATMAKA.

Kegiatan penataan ruang khususnya di bidang penatagunaan kawasan lindung memegang peranan penting dalam rangka mewujudkan ruang kehidupan yang menjamin tingkat produktivitas yang optimal dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability). Pada kenyataannya, perencanaan tata ruang di daerah sering tidak sesuai dengan kondisi fisik/lingkungan. Terbitnya RTRWP Jawa Barat yang merubah status hutan lindung seluas 8.558 ha di kawasan Puncak Kabupaten Bogor menjadi kawasan hutan produksi, kawasan permukiman, dan kawasan perkebunan menjadi dasar diperlukannya arahan baru untuk penyempurnaan rencana tata ruang Kabupaten Bogor (khususnya dalam penentuan kawasan hutan lindung) yang sesuai dengan kondisi fisik lingkungan/bentanglahan.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah menyusun arahan penetapan kawasan hutan lindung sebagai penyempurnaan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bogor. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : (a) penentuan kawasan hutan lindung berdasarkan kriteria-kriteria fisik lingkungan/bentanglahan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 dan Kepmentan No. 837 Tahun 1980 serta berdasarkan pembobotan alternatif menurut pendapat para ahli melalui teknik AHP (Analytical Hierarchy Process); (b) penentuan arahan penetapan kawasan hutan lindung melalui metode analisis kesatuan hamparan kawasan hutan dan analisis dominasi luas fungsi hutan terklasifikasi; serta (c) evaluasi kesesuaian peta kawasan hutan lindung yang telah ditetapkan dalam peta penunjukan kawasan hutan dan dalam dokumen perencanaan tata ruang (RTRW) Kabupaten Bogor melalui teknik overlay dan analisis deskriptif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa untuk seluruh ruang administrasi Kabupaten Bogor, kawasan yang terklasifikasi sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan kriteria dari Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 yaitu seluas 20 001.4 ha atau 6.69 % dari luas wilayah Kabupaten Bogor, sedangkan berdasarkan metode pembobotan alternatif seluas 24 655 ha atau 8.25 % dari luas wilayah Kabupaten Bogor. Untuk area di kawasan hutan yang telah ditentukan (penunjukan), kawasan yang terklasifikasi sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan kriteria dari Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 yaitu seluas 15 589.4 ha atau 5.22 % dari luas wilayah Kabupaten Bogor, sedangkan berdasarkan metode pembobotan alternatif seluas 9 486.3 ha atau 3.17 % dari luas wilayah Kabupaten Bogor.

(5)

mempunyai hamparan hutan lindung yang lebih luas dan persebarannya secara dominan berada pada daerah pegunungan (ketinggian > 500 mdpl).

Klasifikasi kawasan hutan (HL, HPT, dan HP) pada peta penunjukan kawasan hutan didapatkan tidak hanya berbasis pada kriteria Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 karena menunjukan hasil pemetaan yang berbeda. Hal ini mungkin dikarenakan masih ada faktor lain yang harus dipertimbangkan agar pengelolaan kawasan hutan bisa operasional, efektif, dan efisien. Faktor pertimbangan tersebut antara lain adalah kesatuan hamparan hutan serta infrastruktur yang mendukungnya (seperti jaringan jalan).

Klasifikasi kawasan hutan (HL, HPT, dan HP) dalam pola ruang (RTRW) Kabupaten Bogor yang ada tidak sesuai dengan klasifikasi kawasan hutan berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan dan kriteria Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 . Adapun peta rekomendasi kawasan hutan untuk pola ruang RTRW Kabupaten Bogor dapat digunakan untuk penyempurnaan peta pola ruang yang ada, karena telah didasarkan pada peta penunjukan kawasan hutan dan kondisi aktual bentanglahan (kriteria Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 ) di wilayah penelitian.

(6)

SUMMARY

PRIYO SUPRAYOGI. Analysis of Landscape for Determination of Forest Protected Area as a Direction for the Improvement of Regional Spatial Plan in Bogor District. Supervised by BOEDI TJAHJONO and WIDIATMAKA.

Spatial planning activities, especially in the protected areas management has important role in order to create a space of life that ensures optimal productivity levels by taking into account the principles of environmental sustainability. In fact, spatial planning in the regions is often not correspond to the physical environment landscape conditions. The published of Jawa Barat regional planning that change the status of protected forest area of 8 558 ha in the Puncak area of Bogor District into production forest areas, residential areas, and the plantations became the reason for the need of a new direction for the improvement of spatial planning of Bogor District (especially in the determination of protected forest areas) as appropriate with physical environment / landscape conditions.

The main objective of this research is to compose the direction of the establishment of protected forest areas as the improvement in spatial plans of RTRW Bogor District. The methods used in this study are : (a) the determination of protected forest areas based on physical criteria/the criteria for landscape in Presidential Decree No. 32 of 1990 and Minister of Agriculture Decree No. 837 of 1980 and based on the alternative weighting according to experts with the AHP (Analytical Hierarchy Process) technique; (b) determination the direction of protected forest areas with forest unity analysis technique and dominant large analysis of classification of forest area; (c) evaluation of suitability the established protected forest areas on the forest designation map and the regional planning map (RTRW) in Bogor district with overlay technique and description analysis.

The results showed that for the Bogor District administration area, the area has classification as protected forest areas based on the criteria of Presidential Decree No. 32 of 1990/Minister of Agriculture Decree No. 837 of 1980 which is an area of 20 001.4 ha or 6.69 % of the Bogor District area, while based on the alternative weighting method areas covering 24 655 ha or 8.25 % of the Bogor District area. However, for the forest area (designation of forest area map), the area has classification as protected forest areas based on the criteria of Presidential Decree No. 32 of 1990/Minister of Agriculture Decree No. 837 of 1980 which is an area of 15 589.4 ha or 5.22 % of the Bogor District area, while based on the alternative weighting method areas covering 9 486.3 ha or 3.17 % of the Bogor District area.

For the forest area, the direction of protected forest areas use the direction forest area map based on Presidential Decree No. 32 of 1990/Minister of Agriculture Decree No. 837 of 1980 version, because the map has more large of the protected forest areas. However, if viewed from administration spatial (Bogor District), alternative weighting version is better, because it has more large the protected forest areas and spreading predominantly located in the mountainous area (altitude > 500 masl).

(7)

32 of 1990/Minister of Agriculture Decree No. 837 of 1980 because it shows the different results of mapping. There are other factors that should be considered in order to be operational forest management, more effective, and efficient. These factors are the unity of the forests land and supporting infrastructure (such as roads).

The classification of forest area (HL, HPT, and HP) on the existing of the regional planning map (RTRW) in Bogor district is not in accordance with the designation of forest area map and criteria of Presidential Decree No. 32 of 1990/Minister of Agriculture Decree No. 837 of 1980. Even thuough, The direction of forest area map for the RTRW Bogor district can be used to improvement the existing of spatial map, because it has based on the designation of forest area map and the actual condition of the landscape (criteria of Presidential Decree No. 32 of 1990/Minister of Agriculture Decree No. 837 of 1980) in the study area.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

ANALISIS BENTANGLAHAN UNTUK PENENTUAN KAWASAN

HUTAN LINDUNG SEBAGAI ARAHAN PENYEMPURNAAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)

Judul Tesis : Analisis Bentanglahan untuk Penentuan Kawasan Hutan Lindung sebagai Arahan Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor

Nama : Priyo Suprayogi NIM : A156140234

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Boedi Tjahjono, MSc Ketua

Dr Ir Widiatmaka, DAA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Analisis Bentanglahan untuk Kawasan Hutan Lindung sebagai Arahan Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Boedi Tjahjono MSc dan Bapak Dr Ir Widiatmaka DAA selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Ernan Rustiadi MAgr selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan MSc selaku dosen penguji luar komisi pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Pusbindiklatren Bappenas, Kepala Pusdalbanghut Reg.III Kementerian Kehutanan, Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah memberikan izin dan bantuan beasiswa selama mengikuti program tugas belajar ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh dosen dan staf kependidikan lingkup PWL, serta semua rekan-rekan mahasiswa PWL khusus (Bappenas) dan reguler angkatan 2014. Terima kasih disampaikan kepada istri penulis Atu Badariah Fauziah SHut atas segala kasih sayang, do’a dan dukungannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, ayah, serta seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

Ruang dan Penataan Ruang 6

Kawasan Lindung 9

Skoring Fungsi Kawasan Hutan 10

Hasil Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian 12

3 METODE 13

Lokasi dan Waktu Penelitian 13

Jenis dan Sumber Data 14

Alat dan Bahan 14

Analisis Data 16

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 21

Letak Geografis dan Administrasi 21

Kondisi Fisik Geografis Kabupaten Bogor 21

Kondisi Sosial dan Ekonomi 26

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 28

Penentuan Kawasan Hutan Lindung Berdasarkan Kondisi Bentanglahan 28 Penentuan Arahan Penetapan Kawasan Hutan Lindung 48 Evaluasi Kesesuaian Kawasan Hutan Lindung yang Telah Ditetapkan

dalam Kepmenhut 52

Evaluasi Kesesuaian Kawasan Hutan Lindung yang Telah Ditetapkan

dalam Pola Ruang RTRW Kabupaten Bogor 54

(14)

DAFTAR TABEL

1 Skor kelas kelerengan sesuai SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80 11 2 Skor kelas jenis tanah sesuai SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80 11 3 Skor kelas curah hujan sesuai SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80 11

4 Matriks pencapaian tujuan penelitian 15

5 Kriteria kawasan hutan lindung menurut Keppres No. 32 Tahun

1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 16

6 Kriteria pembobotan parameter fisik lingkungan untuk hutan lindung 16 7 Skala dasar ranking analytical hierarchy process (AHP) 17

8 Luas jenis tanah di Kabupaten Bogor 24

9 Curah hujan di Kabupaten Bogor 25

10 PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Bogor menurut lapangan usaha

Tahun 2012-2013 (dalam juta rupiah) 27

11 Klasifikasi fungsi kawasan hutan berdasarkan hasil skoring 28 12 Perhitungan skoring pada kawasan hutan di Kabupaten Bogor 29 13 Luas kawasan hutan di Kabupaten Bogor berdasarkan fungsinya 31 14 Luas kawasan hutan di Kabupaten Bogor hasil skoring 31 15 Analisis luas kawasan hutan lindung di setiap kecamatan di Kabupaten

Bogor berdasarkan kriteria Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No.

837 Tahun 1980 34

16 Pembobotan kriteria fisik lingkungan dari hasil analisis AHP 38 17 Bobot kriteria dan skor sub-kriteria penentuan hutan lindung 39 18 Klasifikasi fungsi kawasan hutan berdasarkan pembobotan alternatif 39 19 Klasifikasi fungsi kawasan hutan berdasarkan metode pembobotan

alternatif di Kabupaten Bogor 40

20 Klasifikasi kawasan hutan berdasarkan hasil metode pembobotan alternatif

di Kabupaten Bogor 41

21 Luas hutan lindung di setiap kecamatan berdasarkan hasil metode

pembobotan alternatif di Kabupaten Bogor 43

22 Fungsi kawasan hutan berdasarkan kriteria Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 dan berdasarkan metode

pembobotan alternatif 44

23 Analisis luas kawasan hutan (HP, HPT, HL) dari setiap kelompok hutan di

Kabupaten Bogor 47

24 Arahan kawasan hutan versi Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No.

837 Tahun 1980 di Kabupaten Bogor 49

25 Arahan kawasan hutan versi pembobotan alternatif di Kabupaten Bogor 51 26 Kesesuaian penunjukan kawasan hutan dengan arahan kawasan hutan 52 27 Luas arahan hutan lindung di setiap kecamatan di Kabupaten Bogor 53 28 Luas kawasan hutan dalam pola ruang Kabupaten Bogor 54 29 Perbedaan penunjukan kawasan hutan dengan pola ruang dalam RTRW

Kabupaten Bogor 55

30 Kesesuaian pola ruang dengan arahan kawasan hutan 57 31 Analisis luas rekomendasi kawasan hutan di Kabupaten Bogor 59 32 Luas rekomendasi kawasan hutan lindung di setiap kecamatan di

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 5

2 Daerah penelitian 14

3 Hirarki kriteria dan sub-kriteria dalam AHP 18

4 Kerangka analisis data dalam metodologi 20

5 Peta administrasi Kabupaten Bogor 21

6 Peta morfologi Kabupaten Bogor 22

7 Peta formasi batuan/geologi Kabupaten Bogor 23

8 Peta kelerengan Kabupaten Bogor 23

9 Peta jenis tanah Kabupaten Bogor 24

10 Peta curah hujan Kabupaten Bogor 25

11 Peta ketinggian Kabupaten Bogor 26

12 LPE Kabupaten Bogor Tahun 2001-2013 (%) 27

13 Peta sebaran skor seluruh kawasan di Kabupaten Bogor 30 14 Peta penunjukan kawasan hutan untuk Kabupaten Bogor 31 15 Peta kawasan hutan di Kabupaten Bogor hasil skoring 32 16 Peta kemiringan lereng > 40% di Kabupaten Bogor 33 17 Peta ketinggian > 2 000 mdpl di Kabupaten Bogor 33 18 Peta kawasan hutan dan fungsinya di setiap kecamatan berdasarkan hasil

analisis dari kriteria Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837

Tahun 1980 34

19 Kelompok hamparan hutan di Kabupaten Bogor 35

20 Peta sebaran skor berdasarkan hasil analisis metode pembobotan

alternatif seluruh kawasan di Kabupaten Bogor 41

21 Peta kawasan hutan di Kabupaten Bogor berdasarkan hasil analisis

metode pembobotan alternatif 42

22 Peta kawasan hutan dan fungsinya di setiap kecamatan berdasarkan hasil

analisis metode pembobotan alternatif 43

23 Kawasan HPT menurut metode pembobotan alternatif di Desa Karang

Tengah Kecamatan Babakan Madang 45

24 Kawasan HPT menurut metode pembobotan alternatif di Desa Cibadak

Kecamatan Sukamakmur 45

25 Kawasan HL menurut metode pembobotan alternatif di Desa Tamansari

Kecamatan Tamansari 46

26 Kawasan HL menurut metode pembobotan alternatif di Desa Malasari

Kecamatan Nanggung 46

27 Arahan kawasan hutan versi Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan

No. 837 Tahun 1980 50

28 Arahan kawasan hutan versi pembobotan alternatif 51

29 Arahan kawasan hutan di Kabupaten Bogor 53

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Luas wilayah administrasi kabupaten bogor 66

2 Luas pola ruang Kabupaten Bogor 67

3 Peta pola ruang dalam RTRW Kabupaten Bogor 68

4 Kuesioner AHP 69

5 Responden AHP ke-1 75

6 Perhitungan AHP responden ke-1 78

7 Responden AHP ke-2 79

8 Perhitungan AHP responden ke-2 82

9 Responden AHP ke-3 83

10 Perhitungan AHP responden ke-3 86

11 Responden AHP ke-4 87

12 Perhitungan AHP responden ke-4 90

13 Responden AHP ke-5 91

14 Perhitungan AHP responden ke-5 94

15 Gabungan bobot para pakar 95

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, fungsi utama kawasan dalam penataan ruang dibedakan menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang dimanfaatkan untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang dimanfaatkan untuk budidaya atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam. Kegiatan penataan ruang khususnya di bidang penatagunaan kawasan lindung memegang peranan penting dalam rangka mewujudkan ruang kehidupan yang menjamin tingkat produktivitas yang optimal dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability) sehingga memberikan kenyamanan bagi masyarakat.

Pada kenyataannya, perencanaan tata ruang di daerah sering tidak sesuai dengan kondisi bentanglahan/biogeofisik/lanskap dan daya dukung wilayahnya. Hal ini disebabkan antara lain karena perencanaan penatagunaan fungsi kawasan tersebut tidak memperhatikan keragaman kondisi bentanglahan di setiap wilayah, serta banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah daerah yang dibuat hanya atas dasar kesepakatan berbagai pihak untuk kepentingan berbagai sektor di daerah. Gejala seperti ini tampak terjadi di berbagai tempat termasuk yang terjadi di Kabupaten Bogor.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025, luas Kabupaten Bogor ± 298 838.3 ha, terdiri atas kawasan lindung seluas ± 133 548 ha (44.69 %) dan kawasan budidaya seluas ± 165 289 ha (55.31 %). Di dalam kawasan lindung tersebut terdapat hutan konservasi seluas 14.24 % (± 45 559 ha) dan hutan lindung seluas 2.86 % (± 8 558 ha) dari luas wilayah Kabupaten Bogor. Namun dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Jawa Barat Tahun 2009-2029, seluruh hutan lindung tersebut seluas 8 558 ha yang 90 % berada di Kecamatan Cisarua dan Megamendung (kawasan Puncak) berubah status peruntukannya menjadi kawasan hutan produksi, kawasan permukiman, dan kawasan perkebunan (Forest Watch Indonesia, 2011).

(18)

Perumusan Masalah

Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi pada setiap waktu membutuhkan peningkatan akan ruang, sedangkan ruang bersifat tetap. Di sisi lain komposisi fisik, ekonomi, dan sosial bersifat lebih dinamis yang selalu berubah seiring dengan perubahan pemanfaatan ruang. Gejala seperti ini tampak terjadi di berbagai tempat termasuk yang terjadi di Kabupaten Bogor. Penyebab utama adalah adanya perubahan aktivitas penduduk dalam memanfaatkan ruang namun seringkali tidak memperhitungkan keseimbangan sistem pada bentanglahan, hasilnya sering melahirkan bencana alam seperti banjir, longsor dan lain sebagainya.

Kabupaten Bogor memegang peranan yang sangat vital bagi banyak daerah yang berada di bawahnya. Seluruh daerah Puncak di Kabupaten Bogor merupakan hulu dari 4 DAS besar (Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi dan Citarum) yang mengairi daerah-daerah lumbung pangan Jawa Barat seperti di Jonggol, Kelapa Nunggal (Kabupaten Bogor), dan terutama persawahan di Pantura (Kabupaten Bekasi dan Karawang). Tantangan lain untuk Kabupaten Bogor adalah terbitnya RTRWP Jawa Barat yang telah merubah status hutan lindung seluas 8 558 ha di kawasan Puncak (RTRW Kabupaten Bogor) menjadi kawasan hutan produksi, kawasan permukiman, dan kawasan perkebunan. Untuk itu diperlukan arahan baru untuk penyempurnaan rencana tata ruang Kabupaten Bogor (khususnya dalam penentuan kawasan hutan lindung) yang sesuai dengan kondisi bentanglahannya.

Belum adanya kajian penentuan kawasan hutan lindung berdasarkan kondisi bentanglahan di Kabupaten Bogor, menyebabkan belum diketahuinya luas dan sebaran kawasan hutan lindung di Kabupaten Bogor yang harus tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan lindung. Kajian ini membutuhkan pengetahuan mengenai kriteria-kriteria bentanglahan yang harus dipenuhi dalam penentuan kawasan hutan lindung. Pada kenyataannya di lapangan sering terjadi ketidaksesuaian antara penentuan kawasan hutan lindung dengan kondisi bentanglahan (berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980). Hingga kini belum ada suatu evaluasi kawasan hutan lindung (yang telah ditetapkan) di Kabupaten Bogor berdasarkan kondisi bentanglahan, baik dari kawasan hutan lindung yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan, maupun yang ditetapkan melalui dokumen rencana tata ruang wilayah.

Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok, yaitu sebagai berikut :

1.Belum diketahuinya luas dan sebaran kawasan hutan lindung yang sesuai dengan kondisi bentanglahan di Kabupaten Bogor menurut kriteria-kriteria fisik lingkungan dalam Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 dan kriteria-kriteria fisik lingkungan yang dibangun dalam penelitian.

2. Belum diketahuinya arahan penetapan kawasan hutan lindung untuk penyempurnaan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bogor.

(19)

4.Belum diketahuinya kesesuaian kawasan hutan lindung yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan tata ruang (RTRW) Kabupaten Bogor dengan kondisi bentanglahannya.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan utama dari penelitian ini adalah menyusun arahan penetapan kawasan hutan lindung untuk penyempurnaan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bogor. Tujuan utama tersebut dapat dicapai dengan beberapa tujuan rinci sebagai berikut :

1. Menentukan kawasan hutan lindung berdasarkan kondisi bentanglahan di Kabupaten Bogor menurut kriteria-kriteria fisik lingkungan dalam Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 dan kriteria-kriteria fisik lingkungan yang dibangun dalam penelitian.

2. Menentukan arahan penetapan kawasan hutan lindung.

3. Mengevaluasi kesesuaian kawasan hutan lindung yang telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dengan kondisi bentanglahan di Kabupaten Bogor.

4. Mengevaluasi kesesuaian kawasan hutan lindung yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan tata ruang (RTRW) Kabupaten Bogor dengan kondisi bentanglahan.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bogor dalam pengalokasian dan penetapan kawasan hutan lindung yang sesuai dengan kondisi bentanglahan untuk penyempurnaan rencana tata ruang Kabupaten Bogor.

2. Sebagai bahan masukan bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam arahan penunjukan dan penetapan kawasan hutan lindung yang sesuai dengan kondisi bentanglahan di Kabupaten Bogor.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini yaitu pada kawasan hutan yang berfungsi sebagai Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Lindung (HL) di Kabupaten Bogor berdasarkan SK Menhut No. 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat.

Kerangka Pemikiran

(20)

Menhut No. 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Dari analisis tersebut ditentukan kawasan hutan lindung yang sesuai dengan kriteria-kriteria fisik bentanglahan. Dalam penelitian ini, analisis kawasan hutan lindung dilakukan dengan dua metode, yaitu : (1) metode berdasarkan kriteria penentuan kawasan lindung menurut Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980; dan (2) metode pembobotan alternatif yang dibangun dalam penelitian ini berdasarkan pendapat para ahli melalui AHP (Analytical Hierarchy Process). Dari kedua metode tersebut diperoleh peta kawasan hutan berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 dan peta kawasan hutan berdasarkan metode pembobotan alternatif.

Kemudian kedua versi peta kawasan hutan tersebut dianalisis kesatuan hamparan/kelompok hutan dengan memasukkan pertimbangan kemudahan dalam pengelolaan/manajemennya. Dari hasil analisis kesatuan hamparan diperoleh peta arahan kawasan hutan versi Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 dan peta arahan kawasan hutan versi pembobotan alternatif. Kemudian kedua versi peta arahan kawasan hutan tersebut dikomparasi. Selanjutnya dipilih peta arahan kawasan hutan yang memiliki kawasan hutan lindung lebih banyak sebagai peta arahan penetapan kawasan hutan lindung.

(21)

Peta Rekomendasi Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Bogor

Peta Arahan yang Lebih Baik (Lebih Luas Kawasan Hutan Lindung)

Peta Arahan dengan Kawasan Hutan Lindung Lebih Sedikit

Tidak Digunakan Ruang Lingkup Dibatasi Dengan Batas Peta Penunjukan Kawasan Hutan di

Kabupaten Bogor Berdasarkan Kepmenhut No. 195/Kpts-II/2003

Peta Kawasan Hutan Berdasarkan Keppres No.32 Tahun 1990/ Kepmentan No.837 Tahun 1980

(22)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Ruang dan Penataan Ruang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang dalam hal ini juga dapat diartikan sebagai sumberdaya lahan. Sumberdaya lahan (land recources) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia, karena sumberdaya lahan diperlukan dalam setiap kegiatan manusia. Penggunaan sumberdaya lahan pada umumnya ditentukan oleh kemampuan lahan atau kesesuaian lahan (Sitorus, 2004).

Ruang merupakan sumberdaya yang terbatas dan jumlahnya tetap, sedangkan aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan ketersediaan ruang untuk beraktivitas yang senantiasa berkembang setiap hari. Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan ruang semakin tinggi. Ruang merupakan sumberdaya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sehingga dalam konteks ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan (Dardak, 2006).

Secara alamiah, tanpa atau dengan keterlibatan manusia, berlakunya hukum-hukum alam telah menyebabkan terdistribusinya segala benda ataupun sumberdaya alam dengan suatu keteraturan dinamis yang berpola dan terstruktur secara spasial maupun waktu. Adanya keteraturan sedemikian rupa sehingga seluruh benda fisik di alam yang tertata dalam ruang membentuk pola distribusi yang disebut sebagai pola ruang. Berbagai bentuk interaksi, baik antara sesama manusia maupun antara manusia dengan sumberdaya-sumberdaya yang dikelolanya atau juga keterkaitan antar sumberdaya-sumberdaya itu sendiri, menuntut manusia untuk menyediakan berbagai prasarana dan sarana untuk mempermudah mengakses dan mengelola sumberdaya tersebut. Susunan prasarana yang dibangun manusia di dalam ruang membentuk jaringan yang terstruktur, sehingga membentuk struktur ruang. Secara keseluruhan, berbagai bentuk konfigurasi spasial di atas membentuk suatu “keseimbangan” pola dan struktur spasial yang disebut sebagai tata ruang (Rustiadi et al., 2011).

(23)

Perencanaan tata ruang (land use planning) mewadahi pengertian yang sangat luas, mencakup perencanaan penggunaan lahan atau tata guna tanah (yang bisa juga diterjemahkan sebagai penataan penggunaan lahan, perencanaan penggunaan lahan) dan juga tata ruang. Namun sebenarnya perencanaan tata ruang tidak sekedar menyangkut land use planning, karena disamping perencanaan tata guna lahan juga menyangkut perencanaan tata guna air, ruang bawah tanah (perut bumi) dan tata guna udara (Rustiadi et al., 2011). Secara normatif, penataan ruang harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No. 5/1960 Pasal 2 ayat 3). Dengan demikian perencanaan tata ruang adalah bagian yang tak terpisahkan dari tujuan pembangunan secara keseluruhan.

Sebagai suatu proses setidaknya terdapat dua unsur penataan ruang. Pertama, menyangkut unsur kelembagaan/institusional (Institusional arrangement) penataan ruang. Kedua, menyangkut proses penataan fisik ruang (physical arrangement). Unsur non-fisik/kelembagaan (Institusional arrangement) dalam penataan ruang mencakup aspek-aspek mengenai penyusunan aturan-aturan (rule) dan aspek-aspek pengorganisasian atau pembagian peran (role) dalam rangka mengimplementasikan aturan-aturan penataan ruang. Unsur-unsur fisik penataan ruang menyangkut pengaturan-pengaturan fisik (physical arrangement) dan sekaligus merupakan produk fisik dari suatu penataan ruang itu sendiri. Unsur-unsur fisik penataan ruang meliputi : pengaturan pemanfaatan fisik ruang, penataan struktur/hierarki pusat-pusat aktivitas sosial-ekonomi, penataan jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas, dan pengembangan sistem prasarana dan sarana (Rustiadi et al., 2011).

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) pentingnya perencanaan tata guna lahan antara lain karena :

(1) Jumlah lahan terbatas dan merupakan sumberdaya yang hampir tak terbaharui (non renewable), sedangkan manusia yang memerlukan lahan jumlahnya terus bertambah. Pertumbuhan penduduk berlangsung dengan kecepatan sekitar 2.5 persen/tahun.

(2) Meningkatnya pembangunan dan taraf hidup masyarakat dapat meningkatkan persaingan penggunaan ruang (lahan), sehingga sering terjadi konflik (perebutan) penggunaan lahan.

(3) Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya dapat menyebabkan kerusakan lahan.

(4) Konversi lahan pertanian dengan tanah subur termasuk sawah irigasi menjadi lahan non-pertanian seperti wilayah industri, perumahan dan lain-lain perlu ditata karena sulitnya mencari lahan pengganti yang lebih subur atau minimal sama di luar lahan pertanian yang telah ada.

(5) Banyak lahan hutan yang seharusnya digunakan untuk melindungi kelestarian sumberdaya air kemudian digarap menjadi lahan pertanian tanpa memperhatikan azas kesesuaian lahan, sehingga dapat merusak tanah maupun lingkungan.

(6) Pandangan bahwa tanah semata-mata merupakan faktor produksi, cenderung mengabaikan pemeliharaan kelestarian tanah. Padahal tanah juga mempunyai kemampuan terbatas dalam memberi daya dukung bagi kehidupan manusia

(24)

keberimbangan dan keadilan, (3) menjaga keberlanjutan (sustainability). Berdasarkan pertimbangan ketiga tujuan penataan ruang di atas, jelas bahwa pengaturan fisik penataan ruang memiliki nilai penting. Terkait dengan hal tersebut, maka informasi lengkap mengenai sumberdaya fisik wilayah sangat diperlukan untuk dapat melaksanakan penyelenggaraan penataan ruang dengan baik. Evaluasi sumberdaya fisik wilayah akan sangat terkait dengan daya dukung dan sumberdaya yang terkandung dalam ruang (Rustiadi et al., 2011).

Di Indonesia, penataan ruang telah diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 1992 dan telah direvisi dengan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Di dalamnya dijelaskan pengertian tentang ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Di dalam UU No. 26/2007 tersebut, disebutkan bahwa penataan ruang terdiri atas : perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang disusun berasaskan : (a) pemanfataan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan; (b) keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maka sistem perencanaan pembangunan di wilayah-wilayah berimplikasi luas. UU No. 32/2004 ini meletakkan pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan nyata kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, maka penyelenggaraan penataan ruang secara operasional, termasuk perizinan pun dilakukan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Adapun kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang penataan ruang meliputi :

a. Menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota beserta perangkat regulasi (insentif dan disinsentif) pemanfaatan ruang.

b. Melakukan konsultasi/koordinasi teknis dalam rangka penataan ruang dengan instansi/pemerintah yang lebih tinggi.

c. Melakukan diseminasi rencana tata ruang kepada seluruh instansi pemerintah daerah Kabupaten/Kota dan masyarakat.

d. Melakukan penyelenggaraan (pengelolaan) pemanfaatan ruang, pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

(25)

Kawasan Lindung

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Kawasan yang termasuk dalam kawasan lindung menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 dibedakan ke dalam :

 Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, antara lain kawasan hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air;

 Kawasan perlindungan setempat, antara lain sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk dan kawasan sekitar mata air;

 Kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain kawasan suaka alam, rawan gelombang pasang dan kawasan rawan banjir;

 Kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa dan terumbu karang.

Penjabaran kawasan tersebut telah diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yakni :

1. Kawasan lindung

a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya - Kawasan hutan lindung (HL)

- Kawasan bergambut - Kawasan resapan air

b. Kawasan perlindungan setempat - Sempadan pantai

- Sempadan sungai

- Kawasan sekitar danau/waduk - Kawasan sekitar mata air

- Kawasan terbuka hijau kota termasuk di dalamnya hutan kota c. Kawasan suaka alam

- Cagar alam (CA)

- Suaka margasatwa (SM) d. Kawasan pelestarian alam

- Taman nasional (TN) - Taman hutan raya (Tahura) - Taman wisata alam (TWA) e. Kawasan cagar budaya

f. Kawasan rawan bencana alam g. Kawasan lindung lainnya

- Taman buru (TB) - Cagar biosfir

(26)

- Kawasan pantai berhutan bakau 2. Kawasan budidaya

a. Kawasan hutan produksi

- Kawasan hutan produksi terbatas (HPT) - Kawasan hutan produksi tetap (HP)

- Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi b. Kawasan hutan rakyat e. Kawasan peruntukan industri f. Kawasan pariwisata

g. Kawasan permukiman 3. Kawasan tertentu.

Kawasan hutan secara fungsional mengandung arti sebagai suatu kesatuan lahan atau wilayah yang karena keadaan bio-fisiknya dan/atau fungsi ekonomisnya dan/atau fungsi sosialnya harus berwujud sebagai hutan (Suhendang, 2005). Hutan lindung adalah kawasan yang karena keadaan dan sifat fisik wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap guna kepentingan hidroorologi, yaitu tata air, mencegah banjir dan erosi serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah, baik dalam kawasan hutan yang bersangkutan maupun kawasan yang dipengaruhi di sekitarnya. Status kesuburan tanah secara fisik dan kimia, khususnya dibawah tegakan hutan relatif lebih tinggi dibanding dengan tanah dibawah tegakan kebun buah (perkebunan) dan semak belukar (Yamani, 2010). Untuk menjaga agar hutan lindung dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya, maka di dalam hutan lindung tidak boleh dilaksanakan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi tersebut.

Skoring Fungsi Kawasan Hutan

Metode skoring untuk penentuan fungsi kawasan hutan diawali penerbitan beberapa peraturan oleh Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan tahun 1980-an (Baplan, 2005). Beberapa aturan terkait kriteria fungsi kawasan hutan tersebut sebagai berikut :

1. Kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/80.

2. Kriteria dan tata cara penetapan hutan suaka alam dan hutan wisata diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 681/Kpts/Um/8/81.

3. Kriteria dan tata cara penetapan hutan produksi konversi diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 682/Kpts/Um/8/81.

(27)

5. Penetapan Batas Hutan Produksi diatur dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 83/KPTS/UM/8/1981.

Kriteria hutan produksi dan lindung yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian memberikan kriteria fungsi kawasan hutan berdasarkan sistem skoring. Faktor yang dinilai mencakup 3 komponen utama, yaitu : kelerengan, jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi, dan curah hujan rata-rata (mm/hari hujan). Tiga komponen utama tersebut diberi angka penimbang (bobot) masing-masing sebagai berikut : faktor kelerengan = 20, jenis tanah = 15 dan intensitas hujan = 10. Adapun skor parameter menurut aturan-aturan di atas untuk tiap komponen faktor disajikan pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3.

Tabel 1 Skor kelas kelerengan sesuai SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80

Kelas Lereng Kelerengan (%) Keterangan

1 0 – 8 Datar

2 8 – 15 Landai

3 15 – 25 Agak Curam

4 25 – 45 Curam

5 ≥ 45 Sangat Curam

Tabel 2 Skor kelas jenis tanah sesuai SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80

Kelas Tanah Jenis Tanah Keterangan

1 Alluvial, Tanah Glei, Planosol, Hidromorf Kelabu, Laterit Air Tanah

Tidak Peka

2 Latosol (Oxisol) Kurang Peka

3 Brown Forest Soil (Inceptisol), Non Calcic Brown (Inceptisol), Mediteran (Alfisol)

Agak Peka 4 Andosol (Andisol), Laterit (Oxisol), Grumusol

(Molisol), Podsol (Spodosol), Podsolik (Ultisol)

Peka 5 Regosol, Litosol, Organosol, Renzina Sangat Peka Tabel 3 Skor kelas curah hujan sesuai SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80

Kelas Intensitas Hujan Intensitas Hujan (mm/hari hujan)

Untuk membuat rekomendasi fungsi kawasan hutan, hal pertama yang perlu dilakukan adalah penentuan batas area yang akan dianalisis. Area tersebut dapat berstatus sebagai kawasan hutan atau calon kawasan hutan (Baplan, 2005). Adapun kriteria-kriteria kawasan hutan yang harus ditetapkan sebagai hutan lindung tanpa melalui proses skoring antara lain yaitu :

1. Kawasan hutan yang mempunyai kelas lereng lapangan > 40 %.

(28)

3. Tanah sangat peka terhadap erosi yaitu jenis tanah regosol, litosol, organosol, renzina dengan lereng lapangan > 15 %.

4. Merupakan jalur pengamanan aliran sungai/air, sekurang-kurangnya 100 meter di kiri dan kanan sungai/aliran air.

5. Merupakan pelindung mata air, sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 meter di sekeliling mata air.

6. Tanah bergambut dengan ketebalan 3 m atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa.

7. Daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100m dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 8. Memenuhi kriteria sebagai kawasan hutan konservasi, seperti Taman

Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dll.

9. Guna keperluan/kepentingan khusus, ditetapkan oleh Menteri sebagai hutan lindung.

Berkenaan pengecualian tersebut maka area-area yang memenuhi syarat-syarat di atas secara otomatis memenuhi kriteria kawasan lindung dan tidak memerlukan sistem skoring untuk rekomendasi fungsi kawasan hutan. Adapun nilai skor masing-masing fungsi kawasan hutan (hutan lindung, hutan produksi dan hutan produksi terbatas) adalah sebagai berikut :

1. Skor >= 175, maka dicadangkan sebagai hutan lindung.

2. Skor 125-174, maka dicadangkan sebagai hutan produksi terbatas. 3. Skor <= 124, maka dicadangkan sebagai hutan produksi tetap.

Kawasan yang memenuhi kelayakan skor hutan produksi tetap dapat saja dicadangkan sebagai kawasan hutan produksi konversi dengan pertimbangan khusus, seperti pengembangan transmigrasi, permukiman, pertanian, dan perkebunan (Baplan, 2005).

Hasil Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian

(29)

sungai. Adapun penempatan hutan lindung di wilayah hulu sungai (baik di dalam wilayah aliran sungai maupun di sub wilayah aliran sungai) adalah hal yang mutlak harus dilakukan untuk menjaga besarnya air limpasan dari hulu ke hilir.

Dalam penelitian ini untuk dapat mengetahui persebaran wilayah-wilayah pada bentanglahan yang sesuai untuk kawasan hutan lindung, maka digunakan analisis spasial melalui Sistem Informasi Geografis (GIS). Hal ini sama seperti penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Akinci et al. (2013) maupun Witno et al. (2014). Adapun untuk memberi skor dan bobot dari setiap parameter dilakukan analisis pendapat dari para ahli mengenai tingkat kepentingan suatu kawasan untuk hutan lindung atau bukan hutan lindung dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Hal ini seperti yang dilakukan oleh Akinci et al. (2013).

Hasil dari beberapa penelitian di atas, menunjukan bahwa masih banyak kawasan yang seharusnya menjadi hutan lindung namun dialokasikan menjadi kawasan budidaya, sehingga banyak terjadi ketidaksesuaian pemanfaatan/ perambahan kawasan hutan lindung. Untuk itu maka diperlukan suatu kajian tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur kawasan hutan lindung untuk menjawab permasalahan di atas, seperti penelitian yang dilakukan oleh Ginoga et al. (2005). Sementara itu masih belum jelas dan terarahnya kebijakan pengelolaan hutan lindung yang berkelanjutan seperti yang terjadi di tanah air dan masih terdapat perundangan yang mengijinkan perubahan penggunaan areal hutan lindung untuk kepentingan penggunaan di luar kehutanan (termasuk pertambangan tertutup) sering menimbulkan kerancuan dalam penetapan tata ruang.

Oleh karena itu sangat dibutuhkan suatu kajian mengenai lembaga/pengelola kawasan hutan lindung dalam menjalankan tugasnya untuk mengelola kawasan hutan lindung guna meminimalisir terjadinya perambahan hutan (Leander dan Budiati, 2013). Selain itu diperlukan juga kajian tentang masyarakat/perambahnya (Subarna, 2011) yang sering dilatarbelakangi oleh tekanan ekonomi masyarakat sekitar hutan lindung. Faktor ekonomi/kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung sesungguhnya merupakan faktor yang berpengaruh dalam perambahan kawasan hutan lindung (Koesuma, 2014). Namun demikian, dalam penelitian ini faktor-faktor sosial-ekonomi tidak dibahas karena hanya fokus pada aspek bentanglahan.

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

(30)

berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur; di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak; serta Kota Bogor yang berada di tengah Kabupaten Bogor. Pelaksanaan penelitian dari tahap persiapan, pengumpulan data di lapangan, pengolahan dan analisis data serta penyusunan tesis dilaksanakan selama sepuluh bulan terhitung mulai Juni 2015 sampai Maret 2016.

Gambar 2 Daerah penelitian Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dari kuesioner/pendapat para ahli. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi sesuai dengan atribut yang akan dikaji, yaitu dari Bappeda Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Data sekunder yang dikumpulkan berupa peta-peta, laporan-laporan penelitian terkait sebelumnya, peraturan/perundangan yang berlaku dan data numerik lainnya. Tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis data, serta output yang diharapkan sebagai hasil penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Alat dan Bahan

(31)

Tabel 4 Matriks pencapaian tujuan penelitian

No Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis Data Output yang Diharapkan

1 Menentukan kawasan skala 1:50 000, peta sungai/perairan skala 1:25 000, peta kawasan resapan air skala 1:25 000

(32)

Analisis Data

Penentuan Kawasan Hutan Lindung Berdasarkan Kondisi Bentanglahan

Penentuan kawasan hutan lindung yang sesuai dengan kondisi bentanglahan dilakukan dengan 2 (dua) metode. Metode yang pertama yaitu penentuan kawasan hutan lindung menurut Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980. Teknik analisis penentuan kawasan hutan lindung dilakukan dengan cara menggunakan skoring kawasan hutan dengan pembobotan parameter bentanglahan atau parameter fisik lingkungan (kelerengan, jenis tanah, dan intensitas curah hujan) yang memiliki nilai skor lebih dari 175, memiliki kemiringan lebih dari 40 %, serta memiliki ketinggian lebih dari 2 000 mdpl. Esensi kriteria-kriteria fisik lingkungan untuk kawasan hutan lindung menurut Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 tersaji pada Tabel 5.

2 Kawasan hutan dengan lereng melebihi 40 %.

3 Kawasan hutan dengan ketinggian 2 000 meter di atas permukaan laut. Analisis untuk menentukan kawasan hutan lindung dari kriteria pertama dilakukan dari hasil penjumlahan 3 parameter fisik lingkungan, yaitu kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas curah hujan dimana setiap parameter skornya dihasilkan dari perkalian antara nilai kelas masing-masing parameter dengan nilai timbangannya. Kriteria pembobotan mengacu pada Badan Planologi Departemen Kehutanan (Santoso dan Hinrichs, 2000) seperti tersaji pada Tabel 6. Teknik yang dilakukan adalah dengan melakukan overlay antara peta kelerengan, peta jenis tanah, dan peta curah hujan.

Tabel 6 Kriteria pembobotan parameter fisik lingkungan untuk hutan lindung Nilai 1 0 - 8 Alluvial, Tanah Glei, Planosol, Hidromorf

Kelabu, Laterit Air Tanah

< 13.6

2 8 - 15 Latosol (Oxisol) 13.6 – 20.7

3 15 - 25 Brown Forest Soil (Inceptisol), Non Calcic Brown (Inceptisol), Mediteran (Alfisol)

20.7 – 27.7 4 25 - 40 Andosol (Andisol), Laterit (Oxisol),

Grumusol (Molisol), Podsol (Spodosol), Podsolik (Ultisol)

27.7 – 34.8

(33)

hampir sama dengan metode pertama, namun pembobotan parameter fisik (kelerengan, jenis tanah, dan intensitas curah hujan) berdasarkan pembobotan dan skoring dari pendapat para ahli (Analytical Hierarchy Process). Dari evaluasi kondisi bentanglahan ini diharapkan memperoleh output berupa peta kawasan hutan lindung versi Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 dan versi pembobotan alternatif.

Pembobotan alternatif dilakukan karena dalam Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 tidak terdapat penjelasan tentang dasar pembobotan terhadap parameter tersebut. Untuk itu diperlukan pendapat alternatif dari para pakar terkait pembobotan terhadap parameter bentanglahan tersebut untuk penentuan kawasan hutan lindung. Adanya kemungkinan perbedaan pendapat dari para ahli tentang bobot kriteria-kriteria fisik lingkungan dalam Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 juga menjadi salah satu alasan dilakukannya metode ini.

Pembobotan kriteria-kriteria fisik menurut para ahli dilakukan dengan tehnik Analytical Hierarchy Process/AHP. Untuk narasumber dipilih sebanyak 5 orang ahli dari kalangan akademisi yang terdiri dari : 3 orang dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB dan 2 orang dosen Fakultas Kehutanan IPB. Dalam AHP dilakukan penilaian tentang kepentingan relatif dari dua kriteria pada tingkat tertentu dan kaitannya dengan tingkatan di atasnya. Penilaian pendapat ini dilakukan dengan metode komparasi berpasangan (matriks) yaitu dengan cara membandingkan setiap kriteria dengan kriteria lainnya pada setiap tingkat hierarki yang berpasangan. Melalui cara ini akan didapatkan nilai tingkat kepentingan kriteria dalam bentuk pendapat kualitatif. Untuk penyusunan skala kepentingan ini digunakan pedoman tertentu yang disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Skala dasar ranking analytical hierarchy process (AHP) Tingkat

Kriteria yang satu sedikit lebih penting dari kriteria yang lain Kriteria yang satu lebih penting dari kriteria yang lain

Kriteria yang satu jelas lebih penting dari kriteria yang lain Kriteria yang satu mutlak lebih penting dari kriteria yang lain Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Sumber : Saaty (1991)

(34)

: < 2 500 mm/th, 2 500 – 3 000 mm/th, 3 000 – 3 500 mm/th, 3 500 – 4 000 mm/th, 4 000 – 5 000 mm/th, dan > 5 000 mm/th. Hirarki kriteria dan sub-kriteria dalam AHP disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Hirarki kriteria dan sub-kriteria dalam AHP

Penentuan Arahan Penetapan Kawasan Hutan Lindung

Untuk melakukan penentuan arahan penetapan kawasan hutan lindung terhadap peta kawasan hutan lindung versi Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 dan versi pembobotan alternatif, maka dilakukan terlebih dahulu analisis tingkat kesatuan (unity) hamparan kawasan hutan lindung berdasarkan lokasinya. Analisis ini bermaksud untuk pertimbangan kemudahan dalam pengelolaan atau manajemennya. Dari analisis tersebut akan diperoleh output berupa kelompok kawasan hutan yang kompak atau dalam satu hamparan pada lokasi tertentu.

Penentuan arahan penetapan kawasan hutan lindung dilakukan dengan memperhatikan 3 aspek, yaitu : (1) hamparan kawasan hutan (kelompok kawasan hutan); (2) hirarki untuk perlindungan sumberdaya alam (HL, HPT, HP); dan (3) dominasi luas dari fungsi hutan yang terklasifikasi dari setiap kesatuan hamparan kawasan hutan. Analisis terhadap kesatuan hamparan kawasan hutan dilakukan berdasarkan pertimbangan kemudahan dalam pengelolaan/manajemennya. Adapun urutan hirarki diperlukan untuk melihat fungsi yang paling baik untuk perlindungan sumberdaya alam. Hirarki tersebut yang pertama adalah Hutan Lindung (HL), kemudian Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan yang terakhir Hutan Produksi (HP). Sementara itu perhitungan untuk dominasi luas dari fungsi hutan terklasifikasi bertujuan untuk menyesuaikan dengan kondisi aktual

(35)

bentanglahan yang dikaji. Berdasarkan analisis ini akan diperoleh peta kawasan hutan lindung baru sebagai peta arahan (rekomendasi) kawasan hutan lindung di Kabupaten Bogor.

Evaluasi Kesesuaian Terhadap Kawasan Hutan Lindung yang Telah Ditetapkan Oleh Kepmenhut

Evaluasi kesesuaian kawasan hutan lindung yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dilakukan dengan teknik overlay (antara peta arahan kawasan hutan lindung yang telah dihasilkan dengan peta penunjukan kawasan hutan menurut SK Menhut No. 195/Kpts-II/2003 di Kabupaten Bogor). Berdasarkan analisis ini akan diketahui ketidaksesuaian antara peta arahan kawasan hutan lindung dengan peta penetapan kawasan hutan lindung dalam penunjukan kawasan hutan (SK Menhut No. 195/Kpts-II/2003) di Kabupaten Bogor.

Evaluasi Kesesuaian Kawasan Hutan Lindung yang Telah Ditetapkan Dalam Pola Ruang RTRW Kabupaten Bogor

Untuk evaluasi kesesuaian kawasan hutan lindung yang telah ditetapkan dalam peta pola ruang RTRW Kabupaten Bogor dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

1. Evaluasi peta pola ruang Kabupaten Bogor dilakukan dengan teknik overlay antara peta pola ruang Kabupaten Bogor dengan peta penunjukan kawasan hutan (SK Menhut No. 195/Kpts-II/2003) di Kabupaten Bogor.

2. Evaluasi peta pola ruang Kabupaten Bogor dilakukan dengan teknik overlay antara peta pola ruang Kabupaten Bogor dengan peta arahan kawasan hutan lindung.

3. Penyusunan rekomendasi peta kawasan hutan di Kabupaten Bogor yang dilakukan dengan teknik overlay antara peta pola ruang Kabupaten Bogor dengan peta arahan kawasan hutan lindung berdasarkan hirarki untuk perlindungan sumberdaya alam.

(36)

Gambar 4 Kerangka analisis data dalam metodologi Penentuan fungsi kawasan menurut

Peta Rekomendasi Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Bogor

Peta Arahan yang Lebih Baik (Lebih Luas Kawasan Hutan Lindung)

Peta Arahan dengan Kawasan Hutan Lindung Lebih Sedikit

(37)

4

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Letak Geografis dan Administrasi

Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298 838.3 ha. Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan yang di dalamnya meliputi 426 desa/kelurahan, yang tercakup dalam 3 882 RW dan 15 561 RT. Ibukota Kabupaten Bogor terletak di Kecamatan Cibinong. Berdasarkan peta administrasi Kabupaten Bogor skala 1:25 000 dari Bappeda Kabupaten Bogor, peta wilayah administrasi Kabupaten Bogor tertera dalam Gambar 5, sedangkan pembagian luasan wilayah administrasi Kabupaten Bogor disajikan Lampiran 1.

Gambar 5 Peta administrasi Kabupaten Bogor

Kondisi Fisik Geografis Kabupaten Bogor

(38)

Gambar 6 Peta morfologi Kabupaten Bogor

Berdasarkan data dari Puslitbang Geologi, Kabupaten Bogor memiliki 50 jenis formasi geologi. Pada dataran rendah di bagian utara didominasi oleh jenis formasi kipas aluvial, sedangkan pada wilayah pegunungan di bagian selatan didominasi oleh jenis formasi : endapan batuan gunungapi; lava; dan lahar. Sebaran jenis formasi geologi/batuan tersebut tersaji pada Gambar 7.

Berdasarkan data SRTM dengan resolusi 90 meter, Kabupaten Bogor pada umumnya berada pada wilayah dengan kemiringan lereng datar hingga landai dengan kemiringan berkisar antara 0-8 %, yaitu seluas 130 919.9 ha (43.8 %) yang tersebar di bagian utara dan terbentang dari barat laut sampai timur laut Kabupaten Bogor. Untuk daerah dengan kemiringan 8-15 % (agak curam) seluas 70 006.2 ha (23.4 %) tersebar di bagian tengah membentang dari barat sampai timur Kabupaten Bogor. Kemudian untuk daerah dengan kemiringan 15-25 % (curam) dan 25-40 % (sangat curam) berturut-turut mempunyai luas 53 285.3 ha (17.8 %) dan 34 651.3 ha (11.6 %) yang membentang di bagian barat daya sampai tenggara Kabupaten Bogor. Adapun untuk daerah dengan kemiringan > 40 % (terjal) mempunyai luas 9 729.1 ha (3.3 %) yang tersebar di bagian selatan Kabupaten Bogor, yaitu pada daerah sekitar puncak Gunung Salak dan puncak Gunung Gede-Pangrango (Gambar 8).

(39)

Gambar 7 Peta formasi batuan/geologi Kabupaten Bogor

(40)

Gambar 9 Peta jenis tanah Kabupaten Bogor Tabel 8 Luas jenis tanah di Kabupaten Bogor

No. Jenis Tanah Luas

(ha) (%)

1 Alluvial 9 295.4 3.15

2 Andosol 3 339.8 1.13

3 Assosiasi Andosol Dan Regosol 2 666.1 0.90

4 Assosiasi Latosol Coklat Dan Latosol Coklat Kekuningan 9 491.3 3.22 5 Assosiasi Latosol Coklat Dan Latosol Coklat Kemerahan 29 426.7 9.99 6 Assosiasi Latosol Coklat Dan Regosol 15 704.9 5.33 7 Assosiasi Latosol Merah Dan Latosol Coklat Kemerahan 60 216.7 20.43 8 Assosiasi Podsolik Kuning Dan Hidromorf Kelabu 4 202.4 1.43

9 Grumusol 15 909.1 5.40

10 Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat Kemerahan Dan Litosol

44 389.7 15.06 11 Kompleks Podsolik Merah Dan Podsolik Merah

Kekuningan

12 544.0 4.26

12 Latosol 12 594.1 4.27

13 Latosol Coklat 25 585.2 8.68

14 Podsolik Kuning 11 486.0 3.90

15 Podsolik Merah 9 563.8 3.25

16 Podsolik Merah Kekuningan 20 902.1 7.09

17 Regosol 7 388.0 2.51

(41)

Secara klimatologis wilayah Kabupaten Bogor termasuk ke dalam wilayah yang mempunyai iklim tropis sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, yang memiliki rata-rata curah hujan tahunan 2 500 – 5 000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur memiliki rata-rata curah hujan kurang dari 2 500 mm/tahun. Sebaran dan luas intensitas curah hujan di Kabupaten Bogor berdasarkan peta curah hujan Kabupaten Bogor skala 1:50 000 dari Kementerian Lingkungan Hidup tersaji pada Tabel 9 dan Gambar 10.

Tabel 9 Curah hujan di Kabupaten Bogor

No. Intensitas Curah Hujan (mm/th) Luas (Ha) Persentase (%)

1 < 2 500 21 192.8 7.08

2 2 500 – 3 000 35 696.7 11.92

3 3 000 – 3 500 74 523.9 24.89

4 3 500 – 4 000 89 755.3 29.98

5 4 000 – 5 000 16 751.4 5.59

6 > 5 000 61 512.6 20.54

Total 298 838.3 100.00

Gambar 10 Peta curah hujan Kabupaten Bogor

(42)

Gambar 11 Peta ketinggian Kabupaten Bogor

Kondisi Sosial dan Ekonomi

Secara umum kondisi demografis Kabupaten Bogor dapat digambarkan dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor tahun 2013 yang berjumlah 5 111 769 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki 2 616 873 jiwa dan penduduk perempuan 2 494 807 jiwa. Jumlah penduduk tersebut merupakan hasil proyeksi penduduk dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk sebesar 2.44 % dibanding tahun 2012. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku di Kabupaten Bogor pada tahun 2013 diprediksi mencapai Rp. 109.67 trilyun atau mengalami peningkatan sebesar 14.35 % dari tahun sebelumnya. Adapun PDRB atas dasar harga berlaku di Kabupaten Bogor menurut lapangan usaha Tahun 2012-2013 selengkapnya tersaji pada Tabel 10.

(43)

dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2012 yang tumbuh sebesar 5.99 %. Peningkatan ini hampir menyamai laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 yang mencapai 6.04 % (RPJMD Kabupaten Bogor 2013-2018). Pertumbuhan ekonomi yang cukup baik diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor selama periode 2001-2013 ditunjukkan pada Gambar 12.

Tabel 10 PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Bogor menurut lapangan usaha Tahun 2012-2013 (dalam juta rupiah)

No Lapangan Usaha 2012 2013 Distribusi (%) PDRB Kabupaten Bogor 95 905 597.3 109 670 735.4 100.00 14.35

Sumber :Bappeda Kabupaten Bogor (2014)

(44)

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Kawasan Hutan Lindung Berdasarkan Kondisi Bentanglahan

Penentuan Kawasan Hutan Lindung Berdasarkan Kriteria dalam Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980

Penentuan kawasan hutan lindung berdasarkan kondisi bentanglahan dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria fisik lingkungan seperti yang tercakup dalam Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980. Teknik analisis penentuan kawasan hutan lindung dilakukan dengan cara menggunakan skoring kawasan hutan dengan pembobotan parameter bentanglahan atau parameter fisik lingkungan (kelerengan, jenis tanah, dan intensitas curah hujan) yang memiliki nilai skor lebih dari 175, memiliki kemiringan lebih dari 40 %, serta memiliki ketinggian lebih dari 2 000 mdpl (Tabel 5).

Analisis untuk menentukan kawasan hutan lindung dari kriteria pertama dilakukan dari hasil penjumlahan 3 (tiga) parameter fisik lingkungan, yaitu kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas curah hujan dimana setiap parameter skornya dihasilkan dari perkalian antara nilai kelas masing-masing parameter dengan bobotnya (Tabel 6). Dalam penelitian ini parameter kelerengan dihasilkan dari analisis data SRTM resolusi 90 meter (Gambar 8). Untuk parameter jenis tanah diambil dari peta jenis tanah Kabupaten Bogor skala 1:100 000 dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) Bogor (Gambar 9). Adapun untuk parameter intensitas curah hujan diperoleh dari peta curah hujan Kabupaten Bogor skala 1:50 000 diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (Gambar 10). Nilai akhir dari skoring diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai semua parameter. Proses penilaian tersebut dapat dijabarkan dengan rumus sebagai berikut :

Skor = (kelas kemiringan lereng x 20) + (kelas jenis tanah x 15) + (kelas intensitas curah hujan x 10)

Skor akhir ini merupakan nilai indeks kawasan hutan yang kemudian dievaluasi untuk ditentukan fungsinya seperti yang tertera pada Tabel 11. Perhitungan penilaian/skoring kawasan hutan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 11 Klasifikasi fungsi kawasan hutan berdasarkan hasil skoring

No. Skor Klasifikasi Fungsi Kawasan Hutan

1 ≤ 124 Hutan Produksi (HP)

2 125 – 174 Hutan Produksi Terbatas (HPT)

(45)
(46)

Berdasarkan hasil analisis dari metode Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 didapatkan bahwa untuk kawasan di Kabupaten Bogor yang mempunyai skor < 124 adalah seluas 179 655.9 ha, untuk skor 125 – 174 seluas 102 000.9 ha, dan untuk skor ≥ 175 seluas 20 001.4 ha. Sebaran skor untuk seluruh kawasan di Kabupaten Bogor tersaji pada Gambar 13.

Gambar 13 Peta sebaran skor seluruh kawasan di Kabupaten Bogor Namun demikian untuk analisis penentuan kawasan hutan lindung dalam penelitian ini akan membatasi diri sesuai dengan batas pada “peta penunjukan kawasan hutan”. Hal ini karena kawasan hutan yang berlaku dan diakui secara formal adalah kawasan hutan berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan tersebut. Dengan demikian analisis hanya dilakukan pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai fungsi Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Lindung (HL). Adapun untuk kawasan Hutan Konservasi (Cagar Alam, Taman Nasional, Taman Wisata Alam) tidak dilakukan analisis, karena untuk kawasan ini memiliki kriteria tersendiri (sebagai Hutan Konservasi atau HK).

(47)

Gambar 14 Peta penunjukan kawasan hutan untuk Kabupaten Bogor Tabel 13 Luas kawasan hutan di Kabupaten Bogor berdasarkan fungsinya

No. Fungsi Luas (Ha) Persentase (%)

1 Hutan Produksi (HP) 27 640.4 36.25

2 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 10 840.6 14.22

3 Hutan Lindung (HL) 14 126.6 18.52

4 Taman Nasional (TN) 23 019.0 30.19

5 Taman Wisata Alam (TWA) 412.9 0.54

6 Cagar Alam (CA) 219.3 0.29

Luas Total (ha) 76 258.9 100.00

Sumber : Badan Planologi Kehutanan

Berdasarkan hasil overlay antara peta hasil skoring (Gambar 13) dengan batas peta penunjukan kawasan hutan (Gambar 14) maka diperoleh peta kawasan hutan yang mempunyai skor ≥ 175 dan fungsinya diklasifikasikan sebagai hutan lindung seluas 13 805.9 ha. Sebaran dan luas kawasan hutan di Kabupaten Bogor hasil skoring tersaji pada Tabel 14 dan Gambar 15.

Tabel 14 Luas kawasan hutan di Kabupaten Bogor hasil skoring

No. Skor Klasifikasi Fungsi Kawasan Hutan Luas (ha)

1 ≤ 124 Hutan Produksi (HP) 10 682.5

2 125 - 174 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 28 146.5

(48)

Gambar 15 Peta kawasan hutan di Kabupaten Bogor hasil skoring

Selain kriteria pertama yang terdiri dari 3 parameter fisik lingkungan tersebut (kelerengan, jenis tanah, dan intensitas curah hujan), maka untuk kriteria kedua dilakukan analisis kemiringan lereng untuk kelas > 40 % dan untuk kriteria ketiga dipilih untuk wilayah yang memiliki ketinggian > 2 000 mdpl. Untuk data kelerengan dan ketinggian digunakan hasil analisis data SRTM resolusi 90 meter (Gambar 8 dan Gambar 11). Adapun kawasan yang mempunyai kemiringan lereng > 40 % disajikan pada Gambar 16 yaitu seluas 9 848.5 ha, yang terdiri dari : area penggunaan lain (672.3 ha); hutan konservasi (3 135.2 ha); hutan lindung (4 257.9 ha); dan hutan produksi terbatas (1 783.1 ha). Dengan demikian kawasan hutan produksi terbatas seluas 1 783.1 ha dari Gambar 15 seharusnya dikategorikan sebagai kawasan hutan lindung.

Adapun untuk kawasan yang mempunyai ketinggian > 2 000 mdpl hanya seluas 797.5 ha, yang terdiri dari : area penggunaan lain (32.1 ha); hutan konservasi (698.1 ha); hutan lindung (66.8 ha); dan hutan produksi terbatas (0.4 ha). Dengan demikian kawasan hutan produksi terbatas seluas 0.4 ha dari Gambar 15 seharusnya dikategorikan sebagai kawasan hutan lindung. Kawasan yang memiliki ketinggian > 2 000 mdpl disajikan pada Gambar 17.

(49)

Gambar 16 Peta kemiringan lereng > 40% di Kabupaten Bogor

(50)

Tabel 15 Analisis luas kawasan hutan lindung di setiap kecamatan di Kabupaten Bogor berdasarkan kriteria Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980

No. Kecamatan Luas (ha) No. Kecamatan Luas (ha)

1 Babakanmadang 887.0 12 Leuwiliang 13.4

2 Cariu 246.3 13 Leuwisadeng 117.6

3 Ciampea 2.7 14 Megamendung 336.8

4 Cigombong 248.4 15 Nanggung 687.9

5 Cigudeg 2 622.9 16 Pamijahan 2 041.4

6 Cijeruk 567.2 17 Rumpin 1 155.3

7 Cisarua 26.5 18 Sukajaya 875.5

8 Citeureup 22.9 19 Sukamakmur 824.5

9 Jasinga 1 083.1 20 Tamansari 722.3

10 Jonggol 37.9 21 Tanjungsari 1 946.9

11 Klapanunggal 289.6 22 Tenjolaya 833.5

Luas Total (ha) 15 589.4

Gambar 18 Peta kawasan hutan dan fungsinya di setiap kecamatan berdasarkan hasil analisis dari kriteria Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980

Gambar

Gambar 2 Daerah penelitian
Tabel 4 Matriks pencapaian tujuan penelitian
Gambar 4 Kerangka analisis data dalam metodologi
Gambar 5 Peta administrasi Kabupaten Bogor
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perempuan adalah wanita, begitu pula sebaliknya. Namun, perbedaan antara perempuan dengan wanita adalah mengenai pengucapannya. Kata perempuan lebih dianggap santun

Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini akan membahas manfaat informasi akuntansi yaitu laba akuntansi dan total arus kas terhadap return saham pada

Selain itu kinerja bisnis juga dapat digunakan untuk mengukur apakah tipe kepemimpinan sudah sesuai dengan harapan bawahan atau belum, karena dengan gaya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses inovasi es krim berbahan dasar susu kedelai dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif melalui tehnik pengambilan

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dirumuskan masalah penelitian yaitu, apakah hasil belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe

32 Purwanto juga mendefinisikan kemampuan analisis (analysis) adalah kemampuan memahami sesuatu dengan menguraikannya kedalam unsur-unsur. 33 Suyadi juga

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei melalui kuesioner.Pada penelitian tingkat pengetahuan ini peneliti menemukan hasil dimana

(2) Dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan