• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arahan dan strategi pengembangan kawasan perdesaan dengan pendekatan agropolitan di kabupaten Blitar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Arahan dan strategi pengembangan kawasan perdesaan dengan pendekatan agropolitan di kabupaten Blitar"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEM

DENGA

ARAHA

EMBANGA

GAN PEND

DI KAB

OMA

SEKOL INSTITU

HAN DAN

GAN KAW

NDEKATA

ABUPATE

AR BRAH

A156110

LAH PASC UT PERTA

BOGO 2013

N STRATE

WASAN P

TAN AGRO

TEN BLITA

AHMANTO

10264

CASARJA ANIANBOG OR

3

TEGI

PERDESA

ROPOLITA

TAR

TO

ANA OGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Arahan dan Strategi Pengembangan Kawasan Perdesaan dengan Pendekatan Agropolitan di Kabupaten Blitar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Omar Brahmanto

(4)
(5)

ABSTRACT

OMAR BRAHMANTO. Direction And Strategy of Rural Area Development Using Agropolitan Approach In Blitar Regency. Under direction of SANTUN R.P. SITORUS and SETIA HADI.

One of the ways to solve the problem between the urban and rural gaps was applying the assessment model of regional development by using agropolitan approach. This approach became relevant to rural areas because agriculture sector and natural resource management had become the main livelihood of most rural communities. The aims of this study were: 1). to identify the typology of sub-districts in Blitar regency; 2). to analyze the prime agriculture commodities; 3). to determine the regional development center; 4). to formulate the direction and regional development strategy. The data analysis used in this study were Cluster Analysis, LQ and Shift Share, P-Median and A’WOT. The results showed that the typology of sub-districts in Blitar regency could be divided in three clusters e.g.: Cluster 1 with the development centre in Sanankulon sub-district was the paddy rice producing areas, Cluster 2 with the development centre in Wlingi sub-district was the plantation commodities areas and Cluster 3 with the development centre in Panggungrejo sub-district was the dry land farming areas. The direction and strategy development of those three clusters were increasing the productivity, cooperating with private sectors, training and disseminating, and supporting the farmers.

(6)
(7)

RINGKASAN

OMAR BRAHMANTO. Arahan Dan Strategi Pengembangan Kawasan Perdesaan Dengan Pendekatan Agropolitan Di Kabupaten Blitar. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS and SETIA HADI.

Kabupaten Blitar merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Timur dengan wilayah administrasi meliputi 22 kecamatan, 220 desa, dan 28 kelurahan. Melihat kondisi tersebut maka dapat diartikan bahwa mayoritas kawasan di wilayah Kabupaten Blitar adalah kawasan perdesaan.

Belum optimalnya pembangunan di tingkat perdesaan menjadikan sebagian besar masyarakat lebih memilih untuk bermigrasi ke kota yang lebih besar atau bahkan ke luar negeri. Menurut Rustiardi, et al. (2005), fenomena migrasi adalah bentuk respon dari masyarakat karena adanya perbedaan ekspektasi dalam meningkatkan kesejahteraan dirinya. Dengan kata lain, migrasi desa-kota akan terus berlangsung sepanjang ada kesenjangan antara desa-kota. Menurut data podes 2008, jumlah penduduk Kabupaten Blitar yang berprofesi sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri mencapai 28 430 jiwa.

Salah satu cara dalam menanggulangi permasalahan kesenjangan antara desa-kota adalah dengan dilakukan kajian model pengembangan wilayah dengan pendekatan agropolitan. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang menjadi mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. Untuk mengembangkan agropolitan diperlukan kajian terkait aspek ekonomi, aspek sosial, aspek wilayah, serta aspek kebijakan daerah. Selanjutnya dari semua kajian tersebut disusun strategi pengembangannya. Harapannya dengan memperhatikan kajian tersebut dapat memberikan hasil pembangunan yang berimbang serta memperhatikan karakteristik wilayah.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi hierarki wilayah dalam mendukung pengembangan agropolitan di Kabupaten Blitar; (2) mengidentifikasi tipologi wilayah masing-masing kecamatan beserta komoditas unggulan yang dapat dikembangkan dalam mendukung pengembangan agropolitan Kabupaten Blitar; (3) mengkaji arahan lokasi pusat pengembangan masing-masing cluster; (4) merumuskan arahan dan strategi pengembangan kawasan perdesaan dengan pendekatan agropolitan di Kabupaten Blitar.

(8)

mengetahui pendapat narasumber mengenai strategi pengembangan kawasan perdesaan dengan pendekatan agropolitan di Kabupaten Blitar.

Berdasarkan analisis cluster diperoleh tipologi kecamatan di Kabupaten Blitar yang ada dapat dibedakan menjadi 3 cluster, yaitu : Cluster 1 merupakan kawasan penghasil utama pertanian tanaman pangan dengan kondisi perkembangan wilayah yang tinggi, Cluster 2 merupakan kawasan penghasil komoditas perkebunan dengan kondisi perkembangan wilayah yang sedang, dan

Cluster 3 merupakan kawasan penghasil utama komoditas pertanian lahan kering dengan kondisi perkembangan wilayah yang rendah.

Dalam menentukan pusat pengembangan masing-masing cluster digunakan pendekatan lokasi optimum berdasarkan faktor jarak minimum (analisis P-Median) dan hasilnya sebagai berikut : a). Cluster 1 (komoditas tanaman pangan) dengan pusat pengembangan di Kecamatan Sanankulon dan daerah layanannya meliputi : Kecamatan Kanigoro, Kecamatan Talun, Kecamatan Sutojayan, Kecamatan Selopuro, Kecamatan Srengat, Kecamatan Wonodadi, Kecamatan Udanawu, dan Kecamatan Ponggok; b). Cluster 2 (komoditas perkebunan) dengan pusat pengembangan di Kecamatan Wlingi dan daerah layanannya meliputi : Kecamatan Nglegok, Kecamatan Garum, Kecamatan Gandusari, Kecamatan Doko, dan Kecamatan Kesamben, Kecamatan Selorejo; c). Cluster 3 (komoditas pertanian lahan kering) dengan pusat pengembangan di Kecamatan Panggungrejo dan daerah layanannya meliputi : Kecamatan Kademangan, Kecamatan Bakung, Kecamatan Wonotirto, Kecamatan Binangun, dan Kecamatan Wates.

Dari arahan cluster pengembangan tersebut, kemudian dirumuskan strategi pengembangan untuk masing-masing cluster sebagai berikut :

a. Strategi pengembangan Cluster 1 (tanaman pangan) : mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas produk dengan penerapan teknologi budidaya dan pasca panen, pengembangan industri pengolahan hasil pertanian untuk meningkatkan nilai tambah, melakukan pendampingan kepada masyarakat yang berusaha dibidang pertanian

b. Strategi pengembangan Cluster 2 (perkebunan) : mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas produk dengan penerapan teknologi budidaya dan pasca panen, diversifikasi komoditas perkebunan yang lebih ekonomis dengan mengoptimalkan pemanfaatan potensi lahan yang masih luas, menawarkan paket investasi kepada swasta untuk pengembangan agrowisata berbasis perkebunan.

c. Strategi pengembangan Cluster 3 (pertanian lahan kering) : mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas produk dengan penerapan teknologi budidaya dan pasca panen, diversifikasi komoditas pertanian lahan kering yang lebih ekonomis dengan mengoptimalkan pemanfaatan potensi lahan yang masih luas serta fasilitas KUR, menawarkan paket investasi kepada swasta untuk pengembangan industri pengolahan hasil pertanian (pabrik gula) dengan harapan dapat menyerap tenaga kerja local, melakukan pendampingan kepada masyarakat yang ingin berusaha dibidang pertanian lahan kering. Kata kunci : tipologi kecamatan, komoditas unggulan, pusat pengembangan,

(9)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)
(11)

ARAHAN DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN

DENGAN PENDEKATAN AGROPOLITAN

DI KABUPATEN BLITAR

OMAR BRAHMANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIANBOGOR

(12)
(13)

Judul Tesis : Arahan dan Strategi Pengembangan Kawasan Perdesaan dengan Pendekatan Agropolitan di Kabupaten Blitar

Nama : Omar Brahmanto

NRP : A156110264

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus Dr. Ir. Setia Hadi, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(14)
(15)

Kupersembahkan karya ini kepada:

kedua orang tua tercinta;

ayahanda R. Latijono dan ibunda Sumarmi (Almarhumah), istriku terkasih Puspita Ratri, SH dan anakku tersayang Akbar Omar Dzaky,

serta keluarga besarku

(16)
(17)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 sampai Oktober 2012 ialah penembangan wilayah, dengan judul Arahan dan Strategi Pengembangan Kawasan Perdesaan dengan Pendekatan Agropolitan di Kabupaten Blitar.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus selaku ketua komisi pembimbing dan ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini. 2. Dr. Ir. Setia Hadi, M.S. selaku anggota komisi pembimbing atas segala

dukungan, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini.

3. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku penguji luar komisi atas segala masukan dan arahan dalam penyempurnaan tesis ini.

4. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.

5. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

6. Pemerintah Kabupaten Blitar yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini.

7. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun reguler angkatan 2011 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini.

Terima kasih yang istimewa khusus disampaikan kepada isteriku Puspita Ratri, SH dan anakku Akbar Omar Dzaky beserta seluruh keluarga, atas segala do’a, dukungan, kasih sayang dan pengorbanan yang telah diberikan selama ini.

Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.Terimaksih.

Bogor, Februari 2013

(18)
(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Merauke pada tanggal 22 Desember 1981 dari ayah R. Latijono dan ibu Sumarmi (almh). Penulis adalah putra kelima dari enam bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Undip, lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2011, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan ke program magister di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas).

(20)
(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pengertian Dasar Wilayah dan Kawasan Perdesaan ... 7

2.2 Konsep Perencanaan Pembangunan Wilayah ... 8

2.3 Konsep Agropolitan ... 9

2.4 Teori Lokasi Pusat ... 13

2.5 Sektor Basis ... 13

2.6 Komoditas Unggulan ... 14

2.7 Analytic Hierarchy Process (AHP) ... 15

2.8 Analisis SWOT ... 16

3 METODOLOGI ... 17

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17

3.2 Jenis Data dan Alat ... 17

3.3 Metode Analisis Data ... 17

3.3.1 Analisis Skalogram ... 19

3.3.2 Analisis Gerombol (Cluster Analysis) ... 20

3.3.3 Analisis Location Quotient (LQ) ... 21

3.3.4 Shift Share Analysis ... 22

3.3.5 SpatialInteractionAnalysisLocation-allocationModel ... 23

3.3.6 Analisis A’WOT ... 25

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR ... 31

4.1 Kondisi Fisik Wilayah ... 31

4.1.1 Kondisi Geografis ... 31

4.1.2 Kondisi Topografi ... 31

4.1.3 Kondisi Iklim ... 33

4.2 Kependudukan ... 34

4.3 Penggunaan Lahan ... 35

4.4 Perekonomian Daerah ... 36

4.4.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 36

4.4.2 Potensi Pertanian Kabupaten Blitar ... 37

4.4.2.1 Tanaman Bahan Makanan ... 37

4.4.2.2 Peternakan ... 38

(22)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41 5.1 Hirarki Wilayah di Kabupaten Blitar ... 41 5.2 Tipologi Wilayah Kecamatan di Kabupaten Blitar ... 44 5.3 Komoditas Unggulan Cluster Agropolitan ... 48 5.4 Lokasi Pusat Pengembangan Cluster Agropolitan ... 53 5.5 Arahan dan Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan ... 58 5.5.1 Arahan Pengembangan Kawasan Agropolitan ... 58 5.5.2 Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan ... 60 5.5.2.1 Strategi Pengembangan Cluster 1 ... 60 5.5.2.2 Strategi Pengembangan Cluster 2 ... 65 5.5.2.3 Strategi Pengembangan Cluster 3 ... 69 5.5.3 Strategi Pengembangan Kawasan Perdesaan di Kabupaten

(23)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Tujuan, jenis, sumber data dan cara pengumpulan data serta analisis

data ... 19 2. Skala dasar ranking Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 26 3. Matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS) ... 26 4. Matriks Eksternal Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) ... 27 5. Curah Hujan Rata-Rata Per Bulan di Kabupaten Blitar ... 33 6. Jumlah penduduk tiap kecamatan di Kabupaten Blitar tahun 2010 ... 35 7. Penggunaan Lahan di Kabupaten Blitar ... 36 8. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral PDRB ADHK Tahun

2006-2010 (dalam persen) ... 37 9. Nilai IPK dan Hirarki Kecamatan di Kabupaten Blitar ... 42 10. Hasil Analisis Gerombol (Cluster) ... 45 11. Karakteristik Tipologi Wilayah Kecamatan di Kabupaten Blitar ... 48 12. Nilai LQ komoditas pertanian lahan kering pada Cluster 1 ... 50 13. Nilai LQ komoditas perkebunan pada Cluster 2 ... 50 14. Nilai LQ komoditas pertanian lahan sawah pada Cluster 3 ... 50 15. Nilai DS komoditas pertanian lahan kering pada Cluster 1 ... 51 16. Nilai DS komoditas perkebunan pada Cluster 2 ... 52 17. Nilai DS komoditas pertanian lahan sawah pada Cluster 3 ... 52 18. Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary

(IFAS)Pengembangan Cluster 1 ... 62 19. Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary

(EFAS)Pengembangan Cluster 1 ... 62 20. Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary

(IFAS)Pengembangan Cluster 2 ... 66 21. Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary

(EFAS)Pengembangan Cluster 2 ... 67 22. Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary

(IFAS)Pengembangan Cluster 3 ... 71 23. Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary

(24)
(25)

DAFTAR GAMBAR

(26)
(27)

DAFTAR LAMPIRAN

(28)
(29)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan secara umum dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Berdasarkan pengertian ini maka pada hakekatnya pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi (efficiency), kemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al., 2011).

Proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini ternyata tidak sesuai dengan hakekat pembangunan bahkan telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Hal ini terutama bias dilihat dari interaksi antara desa dan kota, yang secara empiris menunjukkan suatu hubungan yang saling memperlemah. Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah, tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya di wilayah sekitarnya. Hubungan antara wilayah perdesaan dan perkotaan yang tidak seimbang telah menimbulkan berbagai permasalahan baik di perdesaan dan perkotaan. Padahal seharusnya antara wilayah perdesaan dan perkotaan terjadi mekanisme pertukaran sumberdaya yang saling menguntungkan sehingga hubungan yang saling memperkuat ini akan mampu mewujudkan keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang.

Pada skala nasional, tingkat kesejahteraan antar wilayah menjadi tidak berimbang dengan pendekatan pertumbuhan ekonomi makro, dan sistem pemerintahan yang sentralistik yang cenderung mengabaikan terjadinya kesetaraan dan keadilan pembangunan antar-wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang signifikan misalnya antara desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan wilayah Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya backwash effect

tersebut. Pertama, terbukanya akses ke daerah perdesaan seringkali mendorong kaum elit kota, dan perusahaan besar untuk mengeksploitasi sumberdaya yang ada di pedesaan. Masyarakat desa sendiri tidak berdaya karena secara politik dan ekonomi memiliki posisi tawar yang jauh lebih rendah. Kedua, kawasan perdesaan sendiri umumnya dihuni oleh masyarakat yang kualitas sumber daya manusia dan kelembagaannya kurang berkembang (lemah). Kondisi ini mengakibatkan ide-ide dan pemikiran modern dari kaum elit kota sulit untuk didiseminasikan. Oleh karena itu, sebagian besar aktivitas pada akhirnya lebih bersifat enclave dengan mendatangkan banyak SDM dari luar yang dianggap lebih mempunyai ketrampilan dan kemampuan (Rustiadi et al., 2011).

(30)

pemerintah, masyarakat maupun swasta, sehingga pembangunan pertanian dapat dilakukan secara efektif, efisien, terintegrasi dan sinkron dengan pembangunan sektor lainnya dan berwawasan lingkungan. Menyikapi berbagai tantangan dan ancaman dalam pengembangan agribisnis dan perdesaaan, maka diperlukan terobosan program, yang melibatkan berbagai pihak yang perlu dilakukan secara terarah dan terkoordinasi.

Salah satu ide yang dikemukakan adalah dengan mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri, dimana ketergantungan dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan. Berkaitan dengan ide inilah Friedmann dan Douglass (1976), menyarankan suatu bentuk pendekatan agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50 000 sampai 150 000 orang. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang menjadi mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. Otoritas perencanaan dan pengambilan keputusan akan didesentralisasikan sehingga masyarakat yang tinggal di perdesaan akan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap perkembangan dan pembangunan daerahnya sendiri.

Pengembangan wilayah perlu dimulai dengan analisis kondisi wilayah, potensi unggulan wilayah, dan permasalahan yang ada di wilayah tersebut. Hasil analisis kondisi wilayah selanjutnya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan strategi pengembangan wilayah. Keterkaitan antara perkembangan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya, potensi sumberdaya alam, serta ketersediaan sarana dan prasarana wilayah juga perlu diperhatikan dalam mendukung aktivitas perekonomian di wilayah tersebut.

Kenyataan telah membuktikan akan pentingnya peran strategis sektor pertanian sebagai pilar penyangga atau basis utama ekonomi nasional dalam upaya penanggulangan dampak krisis yang lebih parah. Sektor pertanian rakyat serta usaha kecil dan menengah relatif mampu bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi dan menyelamatkan negara kita dari situasi yang lebih parah. Disamping pendekatan kemitraan dan penguatan jaringan, akan disinergikan pula dengan pendekatan peningkatan nilai tambah produksi pada usaha-usaha kecil yang berorientasi pada pasar/ekspor sesuai dengan kompetensi ekonomi lokal daerahnya.

Pemerintah daerah perlu menentukan sektor dan komoditas apa saja yang diperkirakan dapat tumbuh dan berkembang cepat di wilayah tersebut. Sektor dan komoditas tersebut haruslah yang merupakan sektor unggulan atau mempunyai prospek untuk dipasarkan ke luar wilayah dan dapat dikembangkan secara maksimal. Sektor tersebut perlu didorong, dikembangkan dan disinergikan dengan sektor-sektor lain, yang pada akhirnya akan mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah.

(31)

3

Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2001 yang mengatur kewenangan setiap kabupaten/kota untuk menjalankan rumah tangganya sendiri.

Keberadaan undang-undang otonomi daerah ini diharapkan memberikan dampak positif kepada daerah, yaitu terciptanya daerah-daerah pertumbuhan baru di kabupaten/kota. Model pembangunan ini menggantikan model pembangunan terpusat yang selama ini dianggap oleh banyak kalangan sebagai penyebab lambatnya pembangunan di daerah, sehingga memperbesar ketimpangan pembangunan antar daerah. Dengan model pembangunan yang baru ini diharapkan dapat menciptakan percepatan pembangunan daerah, sehingga daerah yang selama ini lambat untuk berkembang akan mampu untuk memacu ketertinggalannya.

Pelaksanaan otonomi daerah secara tidak langsung akan memaksa daerah untuk melakukan perubahan-perubahan baik perubahan struktur maupun perubahan proses dan kultur birokrasi. Proses perencanaan pembangunan di daerah juga mengalami perubahan, daerah dituntut mampu melakukan perencanaan pembangunan dengan memanfaatkan potensi yang ada dan sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Perencanaan pembangunan suatu wilayah tidak terlepas dari potensi sumber daya alam yang melekat di wilayah tersebut dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut secara bijaksana, yaitu terarah, efisien, sistematik dan berkelanjutan.

Salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang sedang dikembangkan sebagai kawasan agropolitan adalah Kabupaten Blitar. Daerah ini memiliki potensi sumberdaya alam dan lahan yang potensial untuk komoditi unggulannya yang bernilai komersial. Sebagian besar luas wilayah Kabupaten Blitar sangat potensial untuk kegiatan budidaya yaitu sekitar 78.91 persen dari luas wilayah Kabupaten Blitar atau sekitar 125 336.63 Ha. Wilayah administrasi Kabupaten Blitar yang meliputi : 22 kecamatan, 220 desa, dan 28 kelurahan dapat diartikan bahwa mayoritas kawasan di wilayah Kabupaten Blitar adalah kawasan perdesaan. Kenyataan ini didukung pula oleh keadaan struktur perekonomian yang masih mengandalkan sektor pertanian sebagai sektor penyumbang yang terbesar.

Berdasarkan uraian di atas, maka pengembangan wilayah melalui pendekatan agropolitan menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan, dengan alasan: 1) memiliki tujuan meningkatkan kapasitas produksi lokal dan nilai tambah melalui pelaksanaan pembangunan pertanian secara terpadu dengan aktivitas pendukung usaha budidaya seperti pengolahan, pemasaran, dan agrowisata, 2) agropolitan dapat menurunkan ketimpangan spasial yang terjadi, 3) dapat menurunkan angka pengangguran yang berpendidikan tinggi di perdesaan, 4) dapat memfasilitasi pembangunan sektoral (sektor pertanian dan sektor lain) dan pembangunan spasial (perkotaan dan perdesaan) dalam rangka pembangunan ekonomi perdesaan (Harun, 2004).

1.2 Perumusan Masalah

(32)

mengakibatkan sebagian besar masyarakat lebih memilih untuk bermigrasi ke kota yang lebih besar atau bahkan ke luar negeri. Berdasarkan data BPS dan Bappeda Kabupaten Blitar (2011), laju pertumbuhan penduduk per kecamatan ada yang mencapai level minus, yaitu : Kecamatan Bakung (-0.4), Panggungrejo (-0.03), dan Wates (-0.05).

Berdasarkan data BPS dan Bappeda Kabupaten Blitar (2011), diketahui sektor ekonomi yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Blitar berturut-turut adalah : sektor pertanian (45.85 persen), sektor perdagangan, hotel dan restoran (28.91 persen), serta sektor jasa (11 persen). Sektor yang memberikan kontribusi terkecil berturut-turut adalah : sektor keuangan (4.39 persen), sektor pertambangan (2.36 persen), sektor industri (2.36 persen), sektor bangunan (2.19 persen), sektor angkutan dan komunikasi (2.05 persen), serta sektor listrik,gas, dan air bersih (0.9 persen). Apabila ditinjau dari kontribusi terhadap PDRB maka dapat dipastikan di Kabupaten Blitar belum banyak dikembangkan sektor industri pengolahan khususnya yang berbasis pada

pengolahan hasil pertanian. Kontribusi sektor pertanian yang mencapai 45.85 persen belum dioptimalkan pemanfaatannya oleh sektor industri yang

kontribusinya baru mencapai 2.36 persen. Hal ini menunjukan belum ada keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri.

Dengan memperhatikan kondisi dan permasalahan tersebut maka diperlukan suatu pengembangan wilayah perdesaan dengan konsep agropolitan di Kabupaten Blitar yang mengedepankan prinsip keterkaitan antar sektor maupun keterkaitan antar hirarki wilayah pengembangan. Dengan demikian kawasan agropolitan yang nantinya ditetapkan dapat berkembang demi peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Dengan memperhatikan permasalahan di atas, maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana hierarki wilayah dalam mendukung pengembangan agropolitan di Kabupaten Blitar?

2. Bagaimana tipologi wilayah masing-masing kecamatan beserta komoditas unggulannya dalam mendukung pengembangan agropolitan Kabupaten Blitar? 3. Bagaimana arahan pusat pengembangan masing-masing cluster?

4. Bagaimana arahan dan strategi pengembangan kawasan perdesaan dengan pendekatan agropolitan di Kabupaten Blitar?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian dan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengidentifikasi hierarki wilayah dalam mendukung pengembangan agropolitan di Kabupaten Blitar.

2. Mengidentifikasi tipologi wilayah masing-masing kecamatan beserta komoditas unggulan yang dapat dikembangkan dalam mendukung pengembangan agropolitan Kabupaten Blitar.

3. Mengkaji arahan lokasi pusat pengembangan masing-masing cluster.

(33)

5

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Blitar dalam perumusan kebijakan pengembangan kawasan perdesaan dengan pendekatan agropolitan di Kabupaten Blitar.

2. Sebagai masukan dalam kegiatan penelitian selanjutnya.

1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian

Kabupaten Blitar merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Timur dengan wilayah administrasi meliputi 22 kecamatan, 220 desa, dan 28 kelurahan. Melihat kondisi tersebut maka dapat diartikan bahwa mayoritas kawasan di wilayah Kabupaten Blitar adalah kawasan perdesaan.

Belum optimalnya pembangunan di tingkat perdesaan menjadikan sebagian besar masyarakat lebih memilih untuk bermigrasi ke kota yang lebih besar atau bahkan ke luar negeri. Menurut Rustiardi, et al. (2005), fenomena migrasi adalah bentuk respon dari masyarakat karena adanya perbedaan ekspektasi dalam meningkatkan kesejahteraan dirinya. Dengan kata lain, migrasi desa-kota akan terus berlangsung sepanjang adanya kesenjangan antara desa-kota. Menurut data podes 2008, jumlah penduduk Kabupaten Blitar yang berprofesi sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri mencapai 28 430 jiwa.

Salah satu cara dalam menanggulangi permasalahan kesenjangan antara desa-kota adalah dengan dilakukan kajian model pengembangan wilayah dengan pendekatan agropolitan. Untuk mengembangkan agropolitan diperlukan kajian terkait aspek ekonomi, aspek sosial, aspek wilayah, serta aspek kebijakan daerah. Selanjutnya dari semua kajian tersebut disusun strategi pengembangannya. Harapannya dengan memperhatikan kajian tersebut dapat memberikan hasil pembangunan yang berimbang serta memperhatikan karakteristik wilayah.

Dalam mengkaji aspek ekonomi, faktor yang akan dikaji adalah komoditas pertanian yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Alat analisis yang digunakan untuk menentukan komoditas unggulan adalah : Analisis LQ dan Analisis Shift Share. Kemudian untuk mengkaji aspek sosial dan kewilayahan, faktor yang akan dikaji adalah indeks perkembangan kecamatan dan tipologi wilayah. Alat analisis yang digunakan adalah: Analisis Skalogram (untuk menentukan indeks perkembangan kecamatan) dan Cluster Analysis (untuk menentukan tipologi wilayah). Untuk menyusun strategi pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Blitar alat analisis yang digunakan adalah dengan memadukan antara metode SWOT dengan metode AHP melalui wawancara terstruktur dengan narasumber kunci.

(34)
[image:34.595.90.472.69.773.2]

Gambar 1. Kerangka Pemikiran PENGEMBANGAN WILAYAH

KABUPATEN BLITAR

Mayoritas wilayah berupa perdesaan Aktivitas ekonomi utama adalah pertanian

PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DI KABUPATEN BLITAR

Aspek Ekonomi

Aspek Sosial Aspek Wilayah Aspek Kebijakan

• Data komoditas pertanian • Data demografi

• Data sebaran sarana prasarana, dll

Analisis Data

• Tipologi Wilayah • Komoditas Unggulan • Lokasi Pusat Pengembangan

Persepsi Narasumber

Expert

Arahan Dan Strategi Pengembangan Kawasan

(35)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Dasar Wilayah dan Kawasan Perdesaan

Menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2011) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponennya memiliki arti di dalam pendeskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

Menurut Hagget et al. (1977) dalam Rustiadi et al. (2011), konsep wilayah yang paling klasik mengenai tipologi wilayah dikelompokan ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region), (2) wilayah nodal (nodal region), dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan pendapat tersebut, Glason (1974) dalam

Tarigan (2005), mengklasifikasikan region/wilayah berdasarkan fase kemajuan perekonomian, yaitu : (1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas, yaitu suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik, (2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut yang terkadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region

dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan, (3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.

Dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan dan pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Dengan kondisi demikian, strategi pembangunan bagaimana yang mampu menjawab tantangan pembangunan perdesaan, sehingga mampu mengangkat kondisi kawasan ini untuk maju dan seimbang dengan kawasan perkotaan belum terjawab secara sempurna. Pembangunan perdesaan selama orde baru yang identik dengan pembangunan padi, secara keseluruhan telah mendudukkan posisi petani sebagai salah satu alat (obyek) untuk menyukseskan skenario besar pembangunan pertanian, khususnya untuk mencapai swasembada beras. Untuk mendukung pembangunan pertanian di era orde baru dilaksanakan berbagai program baik yang sifatnya fisik: pembangunan irigasi, jalan, pasar, dan lain-lain, maupun pembangunan sumberdaya manusia dan kelembagaan di perdesaan (Rustiadi dan Hadi, 2006).

(36)

menjadi tidak berhasil dikembangkan, terutama dalam jangka menengah dan jangka panjang, dapat memberi dampak negatif terhadap pembangunan nasional keseluruhannya, berupa terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok tingkat pendapatan. Pada gilirannya keadaan ini menciptakan ketidakstabilan (instabillity) yang rentan terhadap setiap goncangan yang menimbulkan gejolak ekonomi sosial yang dapat teriadi secara berulang ulang (Anwar dan Rustiadi, 1999).

2.2 Konsep Perencanaan Pembangunan Wilayah

Perencanaan merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh berbagai pihak, baik perorangan maupun suatu organisasi. Perencanaan adalah suatu aktifitas yang dibatasi oleh lingkup waktu sehingga diartikan sebagai suatu kegiatan terkoordinasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu di dalam waktu tertentu. Untuk memahami kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan, sangat bervariasi tergantung dari kompleksitas masalah dan tujuan yang ingin dicapai.

Konsep perencanaan secara sederhana menurut Tarigan (2005) adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya secara lebih lengkap Tarigan (2005) memberikan pengertian bahwa perencanaan berarti mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor yang tidak dapat di kontrol (noncontrolable) namun relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, serta mencari langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Kay dan Alder (1999)

dalam Rustiadi et al. (2011) perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Dengan demikian proses perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah pencapaian serta mengkaji berbagai ketidakpastian yang ada, mengukur kemampuan (kapasitas) kita untuk mencapainya kemudian memilih arah-arah terbaik dan memilih langkah-langkah untuk mencapainya.

Pembangunan secara filosofis dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik sedangkan UNDP mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai suatu proses memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices). Todaro (2000), mendefinisikan pembangunan sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi- institusi nasional sebagai akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Pembangunan juga dapat diartikan mengadakan, membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada (Rustiadi

et al.,2011).

(37)

9

pembangunan berimbang (balanced development), dengan terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah maupun daerah yang beragam sehingga dapat memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal bagi masyarakat di seluruh wilayah.

Sebagai upaya mewujudkan pembangunan berimbang, maka seperti dikemukakan oleh Anwar (2005), bahwa dalam pembangunan wilayah perlu senantiasa diarahkan pada tujuan pengembangan wilayah, antara lain mencapai: (1) pertumbuhan (growth), yaitu terkait dengan alokasi sumber daya-sumber daya yang langka terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan untuk hasil yang maksimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktivitasnya; (2) pemerataan (equity), yang terkait dengan pembagian manfaat hasil pembangunan secara adil sehingga setiap warga negara yang terlibat perlu memperoleh pembagian hasil yang memadai secara adil, dalam hal ini perlu adanya kelembagaan yang dapat mengatur manfaat yang diperoleh dari proses pertumbuhan material maupun non-material di suatu wilayah secara adil; serta (3) keberlanjutan (sustainability), bahwa penggunaan sumber daya baik yang ditransaksikan melalui sistem pasar maupun di luar sistem pasar harus tidak melampaui kapasitas kemampuan produksinya.

Untuk dapat mencapai tujuan pembangunan wilayah dimaksud perlu adanya perencanaan pembangunan wilayah yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial-ekonomi wilayah. Perencanaan pembangunan wilayah yang berdimensi ruang menyangkut perencanaan dalam tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, serta tata guna sumber daya alam lainnya sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pembangunan yaitu pertumbuhan, yang kemudian diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan baik investasi pemerintah maupun swasta. Penentuan peranan sektor-sektor pembangunan diharapkan dapat mewujudkan keserasian antar sektor pembangunan, sehingga dapat meminimalisasi inkompabilitas antar sektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan antar sektor baik ke depan maupun ke belakang, serta proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju dan menghindari kebocoran maupun kemubaziran sumber daya (Anwar, 2005).

2.3 Konsep Agropolitan

(38)

sanitasi lingkungan permukiman). Hubungan yang saling memperlemah ini secara agregat wilayah keseluruhan akan berdampak pada penurunan produktivitas wilayah (Rustiadi dan Hadi, 2006).

Konsep pengembangan wilayah dengan basis pengembangan kota-kota pertanian atau yang lebih dikenal dengan agropolitan menjadi pilihan utama pemerintah daerah dalam melaksanakan otonominya. Daerah-daerah yang berbasis pertumbuhan pada ekonomi pertanian hampir tidak banyak menderita akibat krisis ekonomi nasional. Karena itu menjadi acuan Pemerintah Daerah setelah mendapatkan kewenangan mengatur rumah tangga dan model pembangunan daerahnya secara lebih leluasa (Harun, 2004).

Konsep agropolitan sebenarnya lahir sebagai respon dari munculnya ketimpangan desa-kota dan kebijakan pembangunan yang bersifat urban bias

yang dalam jangka pendek merugikan bagi perkembangan kawasan perdesaan dan dalam jangka panjang merugikan tatanan kehidupan bangsa secara nasional. Agropolitan adalah suatu konsep yang berbasis pada pengembangan suatu sistem kewilayahan yang mampu memfasilitasi berkembangnya kawasan perdesaan dalam suatu hubungan desa-kota yang saling memperkuat (Rustiadi et al. 2011).

Menurut Rustiadi et al. (2011), agropolitan adalah kawasan yang merupakan sistem fungsional yang terdiri dari satu atau lebih kota-kota pertanian (agropolis)

pada wilayah produksi pertanian tertentu, yang ditunjukkan oleh adanya system keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan-satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis, terwujud baik melalui maupun tanpa melalui perencanaan.

Agropolis adalah lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian.

Sementara itu, menurut Anwar (2004), pengertian agropolitan adalah merupakan tempat-tempat pusat (central places) yang mempunyai struktur berhierarki, dimana agropolis mengandung arti adanya kota-kota kecil dan menengah di sekitar wilayah perdesaan (Micro Urban-village) yang dapat bertumbuh dan berkembang karena berfungsinya koordinasi pada sistem kegiatan-kegiatan utama usaha agribisnis, serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian di kawasan sekitarnya. Oleh karenanya kawasan agropolitan diartikan sebagai sistem fungsional satu atau lebih kota-kota pertanian pada wilayah produksi pertanian tertentu, yang ditunjukkan oleh adanya sistem hierarki keruangan (spatial hierarchy) satuan-satuan permukiman petani, yang terdiri dari pusat agropolitan dan pusat-pusat produksi disekitarnya.

Menurut Ertur (1984), penekanan utama dalam penguatan daerah agropolitan didasarkan pada metode sebagai berikut:

1. Peningkatan produktivitas dan diversifikasi pertanian dan agroindustri. 2. Peningkatan partisipasi tenaga kerja.

3. Peningkatan permintaan barang dan jasa. 4. Peningkatan inovasi teknologi dan produksi. 5. Perluasan kapasitas untuk ekspor.

(39)

11

yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat perdesaan itu sendiri (Rustiadi dan Hadi, 2006).

Pengembangan kawasan agropolitan menekankan pada hubungan antara kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan secara berjenjang. Dengan demikian beberapa argumen mengemukakan bahwa pengembangan kota-kota dalam skala kecil dan menengah pada beberapa kasus justru akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Hal ini karena dengan tumbuhnya kota-kota kecil menengah tersebut fasilitas-fasilitas pelayanan dasar bisa disediakan dan pasar untuk produk-produk perdesaan juga bisa dikembangkan. Jadi sebenarnya semuanya sangat tergantung pada bagaimana perekonomian dari kota kecil menengah bisa dikembangkan dan bagaimana keterkaitannya dengan komunitas yang lebih luas bisa diorganisasikan. Karena itu dalam pengembangan agropolitan sebenarnya keterkaitan dengan perekonomian kota tidak perlu diminimalkan. Keterkaitan yang sifatnya berjenjang dari desa, kota kecil, kota menengah, kota besar akan lebih bisa mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Hanya saja keterkaitan inipun harus diikuti oleh kebijakan pembangunan yang terdesentralisasi, bersifat bottom up dan mampu melakukan empowerment (pemberdayaan) terhadap masyarakat perdesaan untuk mencegah kemungkinan kehadiran kota kecil menengah tersebut justru akan mempermudah kaum elit dari luar dalam melakukan eksploitasi sumberdaya (Rustiadi dan Hadi, 2006).

Menurut Rustiadi dan Hadi (2006), Kawasan Agropolitan merupakan kawasan perdesaan yang secara fungsional merupakan kawasan dengan kegiatan utama adalah sektor pertanian. Dengan demikian penetapan tipologi kawasan agropolitan harus memperhatikan : 1) Pengertian sektor pertanian ini dalam arti luas meliputi beragam komoditas yaitu : pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, maupun kehutanan; 2) Kawasan agropolitan bisa pula dilihat dari persyaratan agroklimat dan jenis lahan, sehingga dapat pula dibedakan dengan : pertanian dataran tinggi, pertanian dataran menengah, pertanian dataran rendah, pesisir dan lautan; 3) Kondisi sumberdaya, manusia, kelembagaan, dan kependudukan yang ada juga menjadi pertimbangan; 4) Aspek posisi geografis kawasan agropolitan; dan 5) Ketersediaan infrastruktur.

(40)

Dalam kaitannya dengan proses produksi pangan dan bahan mentah, kawasan perdesaan adalah konsumen bagi produk sarana produksi pertanian, produk investasi dan jasa produksi sekaligus sebagai pemasok bahan mentah untuk industri pengolah atau penghasil produk akhir. Dengan cabang kegiatan ekonomi lain di depan (sektor hilir) dan dibelakangnya (sektor hulu), sektor pertanian perdesaan seharusnya terikat erat dalam apa yang disebut sebagai sistem agribisnis. Dalam perspektif agribisnis, sektor hulu seharusnya terdiri dari perusahaan jasa penelitian, perusahaan benih dan pemuliaan, industri pakan, mesin pertanian, bahan pengendali hama dan penyakit, industri pupuk, lembaga penyewaan mesin dan alat-alat pertanian, jasa pergudangan, perusahaan bangunan pertanian dan asuransi, agen periklanan pertanian, media massa pertanian, serta jasa konsultasi ilmu pertanian. Pandangan yang lebih maju mengharuskan adanya jasa jaminan kesehatan dan hari tua pelaku usahatani oleh koperasi petani atau lembaga yang sejenis. Karena tingginya intensitas keterlibatan sektor perdagangan, maka di sektor hulu ini perlu juga diperhatikan peran dan fungsi organisasi dagang seperti pedagang besar, pedagang ritel, serta jasa-jasa perantara. Sektor hilir agribisnis mencakup industri manufaktur makanan, industri makanan dan hotel, restoran dan toko-toko pengolah sekaligus penjual makanan (Rustiadi dan Hadi, 2006).

Integrasi antara konsep agroindustri dan pembangunan desa menjadi penting keterkaitannya dalam penyediaan dan penyaluran sarana produksi, penyediaan dana dan investasi, teknologi, serta dukungan sistem tataniaga dan perdagangan yang efektif. Pengembangan agroindustri pada dasarnya diharapkan selain memacu pertumbuhan tingkat ekonomi, juga sekaligus diarahkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani.

Andri (2006) mengemukakan perlunya pengembangan agroindustri di perdesaan dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar diantaranya: 1) memacu keunggulan kompetitif dan komparatif komoditas setiap wilayah; 2) memacu peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, menumbuhkan agroindustri yang sesuai dan mampu dilakukan di wilayah yang dikembangkan; 3) memperluas wilayah sentra-sentra agribisnis komoditas unggulan yang nantinya akan berfungsi sebagai penyandang bahan baku yang berkelanjutan; 4) memacu pertumbuhan agribisnis wilayah dengan menghadirkan subsistem-subsitem agribisnis; dan 5) menghadirkan berbagai saran pendukung berkembangnya industri perdesaan.

Menurut Mulyani (2007), program pengembangan kawasan agropolitan belum signifikan dalam meningkatkan pendapatan usahatani petani disebabkan: 1) keterbatasan petani dalam hal permodalan, 2) pembangunan infrastruktur transportasi di kawasan agropolitan tidak mengubah pola pemasaran pertanian karena petani tetap menjual komoditas pertaniannya kepada tengkulak, dan 3) petani belum melaksanakan proses pengolahan komoditas pertanian

(41)

13

2.4 Teori Lokasi Pusat

Lokasi Pusat (Central Place) merupakan suatu tempat dimana sejumlah produsen cenderung mengelompok di lokasi tersebut untuk menyediakan barang dan jasa bagi populasi di sekitarnya. Lokasi pusat tertata dalam suatu pola yang vertikal maupun horisontal. Kepentingan relatif lokasi pusat tergantung pada jumlah dan order barang dan jasa yang disediakan (Rustiadi et al., 2011).

Dengan menggunakan framework yang digunakan dalam memahami wilayah yaitu adanya pembagian suatu wilayah menjadi pusat (center) yang dikelilingi oleh daerah belakang (hinterland), pembangunan agropolitan (kota kecil di lingkungan pertanian) merupakan pembangunan pusat-pusat pelayanan pada kota-kota kecil. Daerah belakang merupakan suatu wilayah yang dikembangkan berdasarkan konsep pewilayahan komoditas dan menghasilkan satu komoditas utama maupun beberapa komoditas pendukung yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan. Pada daerah pusat diberikan beberapa perlengkapan infrastruktur fasilitas publik perkotaan. Fasilitas tersebut digunakan untuk mendorong keberhasilan pembangunan pertanian dan perekonomian perdesaan sehingga dapat memberikan peluang investasi dan peluang kerja. Dengan kata lain pengembangan wilayah dengan agropolitan diwujudkan sebagai pembangunan infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan yang berlokasi pada pusat-pusat (central places) dan diharapkan akan menjadi pusat pertumbuhan baru (Anwar dan Rustiadi, 1999).

Implikasi pendekatan transformasi pada pusat pertumbuhan desa adalah konstruktif dan positif. Pada tingkat hirarki terendah, pasar desa adalah titik aktivitas ekonomi dasar dimana orang desa menukar produk pertanian pada barang dan jasa yang mereka butuhkan. Dalam penyebaran aktivitas ekonomi yang berhirarki, pasar desa perkotaan adalah titik dimana aliran ke atas produksi pertanian dan jenis-jenis kerajinan diperkenalkan ke tingkat yang lebih tinggi dari sistem pasar. Juga pasar desa perkotaan adalah tujuan efektif terakhir dari pergerakan barang dan jasa yang berorientasi pada konsumsi petani. Pada waktu yang singkat ini dapat menjadi konsep sederhana sebagai fungsi pembangunan dasar ekonomi agropolitan (Ertur, 1984).

2.5 Sektor Basis

(42)

Pendekatan yang sering digunakan untuk lebih mengenal potensi aktivitas ekonomi suatu wilayah adalah analisis basis ekonomi yang merupakan rujukan dalam menentukan keunggulan kompratif dan sekaligus sektor basis. Salah satu metode untuk mengetahui potensi ekonomi suatu wilayah dapat dikatagorikan basis dan bukan basis adalah analisis Location Quotient (LQ), yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah.

Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktivitas tenaga kerja seragam serta masing-masing industri menghasilkan produk atau jasa yang seragam. Berbagai dasar ukuran dalam pemakaian LQ harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia (Blakely 1994 dan Rodinelli 1995 dalam Rustiadi et al. 2011). LQ juga menunjukkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada subtitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor. Hal ini akan memberikan suatu gambaran tentang industri mana yang terkonsentrasi dan industri mana yang tersebar (Shukla, 2000 dalam Rustiadi et al., 2011).

Arus pendapatan yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi industri basis akan meningkatkan investasi, kesempatan kerja, pendapatan dan konsumsi, pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan kesempatan kerja serta menaikkan permintaan hasil industri non basis. Hal ini berarti kegiatan industri basis mempunyai peranan penggerak pertama (primer mover role), dimana setiap perubahan kenaikan atau penurunan mempunyai efek pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian wilayah (Rustiadi et al., 2011).

2.6 Komoditas Unggulan

Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis, baik berdasarkan pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur dan kondisi sosial budaya setempat), untuk dikembangkan disuatu wilayah (BPTP, 2003).

Menurut Ali (1998), komoditas unggulan adalah komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, teknologi yang sudah dikuasai dan memberikan nilai tambah bagi pelaku agribisnis yang diusahakan oleh petani dalam suatu kawasan yang tersentralistik, terpadu, vertikal, dan horisontal. Unggul secara komparatif, berupa keunggulan yang didukung oleh potensi sumberdaya alam (letak geografis, iklim, dan lahan) sehingga memberikan hasil yang tinggi dibandingkan dengan daerah lain, serta peluang pasar lokal, nasional maupun peluang ekspor. Unggul secara kompetitif, berupa keunggulan yang diperoleh karena produk tersebut diupayakan dan dikembangkan sehingga menghasilkan produksi yang tinggi, memiliki peluang pasar yang baik serta menjadi ciri khas suatu daerah.

(43)

15

menciptakan nilai tambah; (4) mempunyai kemampuan dalam meningkatkan ketahanan pangan masyarakat berpendapatan rendah; (5) mempunyai dukungan kebijakan pemerintah dalam bidang-bidang teknologi, prasarana, sarana, kelembagaan, permodalan dan infrastruktur lain dalam arti luas; (6) merupakan komoditas yang telah diusahakan masyarakat setempat; dan (7) mempunyai kelayakan untuk diusahakan baik secara finansial maupun ekonomi.

Pada lingkup kabupaten/kota, kriteria penetapan komoditas unggulan mengacu kriteria komoditas unggulan nasional dan diarahkan pada komoditas yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri. Komoditas unggulan kabupaten diharapkan memenuhi beberapa kriteria yaitu : (1) mengacu kriteria komoditas unggulan nasional; (2) memiliki ekonomi yang tinggi di kabupaten; (3) mencukupi kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai daerah lain atau ekspor; (4) memiliki pasar yang prospektif, merupakan komoditas yang berdaya saing tinggi; (5) memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri; (6) merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi; dan (7) dapat dibudidayakan secara meluas di wilayah kabupaten.

Menurut Hendayana (2003), penentuan komoditas unggulan merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi perdagangan. Langkah menuju efisiensi dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif, baik ditinjau dari sisi penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah.

2.7 Analytic Hierarchy Process (AHP)

Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu teori matematika untuk pengukuran dan pembuatan keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L Saaty pada tahun 1970-an ketika masih mengajar di Wharton School of Business University of Pennsylvania. Aplikasi AHP dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori utama yaitu : (1) choice (pilihan), yang merupakan evaluasi atau penetapan prioritas dari berbagai alternatif tindakan yang ada, dan (2) forecasting

(peramalan), yaitu evaluasi terhadap berbagai alternatif hasil di masa yang akan datang (Saaty dan Niemira, 2006). AHP juga merupakan suatu teori pengukuran relatif dengan skala mutlak dari suatu kriteria baik yang bersifat tangible maupun

intangible yang didasarkan pada penilaian perbandingan berpasangan dari para ahli (Ozdemir dan Saaty, 2006).

Saaty (1980) mengembangkan beberapa langkah berikut ini dalam menggunakan AHP. Langkah pertama yaitu menentukan goal (tujuan) dan menentukan kriteria atau sub kriteria berdasarkan tujuan, menyusun kriteria ke dalam hirarki dari level teratas (tujuan dari sudut pandang pembuat keputusan) melalui level menengah hingga level terbawah, yang biasanya memuat beberapa alternatif. Setelah itu, menyusun matriks perbandingan berpasangan (ukuran n x n) untuk masing-masing level bawah dengan satu matrik untuk setiap unsur dalam

(44)

dari indeks konsistensi (CI) dengan nilai yang tepat. Nilai CR dapat diterima jika, tidak melebihi 0.10. Jika nilai CR > 0.10, berarti matriks tersebut tidak konsisten (Saaty, 1980).

2.8 Analisis SWOT

Menurut Rangkuti (2001) proses perencanaan strategis melalui tiga tahap analisis, yaitu (1) tahap pengumpulan data, (2) tahap analisis data dan (3) tahap pengambilan keputusan. Tahap pengumpulan data pada dasarnya tidak hanya sekedar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra analisis.

Pada tahap ini data dapat dibedakan menjadi dua yaitu data eksternal dan data internal. Model yang dapat digunakan dalam tahap ini yaitu (1) matriks faktor strategi eksternal, (2) matriks faktor strategi internal dan (3) matriks profil kompetitif. Tahap analisis setelah semua informasi yang berpengaruh dikumpulkan, ada beberapa model yang dapat digunakan yaitu (1) matriks SWOT atau TOWS, (2) matriks BCG, (3) matriks internal eksternal, (4) matriks SPACE, dan (5) matriks Grand Strategy.

Rangkuti (2001) menyatakan bahwa matriks SWOT dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dan disesuaikan dengan kelemahan yang dimilikinya.

Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan strategi, yaitu (1) strategi S-O, (2) strategi W-O, (3) strategi S-T dan (4) strategi W-T. Analisis SWOT mampu mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).

(45)

3 METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Blitar yang merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa Timur yang secara geografis terletak di sebelah Selatan Jawa Timur. Lokasi Kabupaten Blitar berada disebelah Selatan Khatulistiwa, tepatnya terletak antara 111”40’ – 112”10’ Bujur Timur dan 7”58’ – 8”9’ 51” Lintang Selatan. Kabupaten Blitar mempunyai luasan 1 588.79 Km². Adapun batas-batas Kabupaten Blitar adalah sebagai berikut :

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang. b. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.

c. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tulungagung. d. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Malang.

Secara administrasi wilayah perencanaan terdiri atas seluruh wilayah yang termasuk dalam Kabupaten Blitar terdiri dari 22 Kecamatan, 28 kelurahan, dan 220 desa. Waktu Penelitian mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan tesis dilaksanakan pada bulan Mei 2012 sampai dengan bulan Oktober 2012. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

3.2 Jenis Data dan Alat

Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder dikumpulkan dari : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Blitar, Dinas Pertanian Kabupaten Blitar, Dinas Peternakan Kabupaten Blitar, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Blitar, Badan Pusat Statistik serta data-data lainnya yang terkait dengan penelitian pada instansi terkait. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan narasumber yang dianggap ahli/ berpengalaman terkait dengan pendapat responden mengenai strategi pengembangan agropolitan di Kabupaten Blitar. Tujuan, jenis, sumber data, dan cara pengumpulan data serta analisisnya dirangkum pada Tabel 1. Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa komputer dengan software pembantu alat analisa berupa MS-Office 2010 dan ArcGIS ver. 9.3.

3.3 Metode Analisis Data

(46)
[image:46.595.93.479.105.716.2]

Analisis SWOT untuk merumuskan arahan dan strategi pengembangan agropolitan di Kabupaten Blitar.

(47)
[image:47.595.105.515.96.607.2]

19

Tabel 1. Tujuan, jenis, sumber data dan cara pengumpulan data serta analisis data

No. Tujuan Jenis Data Sumber

Data

Teknik Analisis

Hasil yang Diharapkan

1. Mengidentifikasi hierarki

wilayah dalam

mendukung pengembangan

agropolitan di

Kabupaten Blitar.

Jarak antar

kecamatan, jumlah penduduk, fasiltas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas ekonomi BPS, Bappeda, Instansi Terkait Analisis Skalogram Indeks perkembangan kecamatan

2. Mengidentifikasi tipologi

wilayah masing-masing

kecamatan beserta

komoditas unggulan

dalam mendukung

pengembangan

agropolitan Kabupaten

Blitar.

Kepadatan penduduk,

rasio luas

lahan pekarangan,

rasio luas

sawah, rasio

luas lahan

kering, rasio luas perkebunan, indeks perkembangan kecamatan BPS, Bappeda, Instansi Terkait Cluster Analysis, Analisis LQ, Shift Share Analysis Tipologi wilayah masing-masing kecamatan beserta komoditas unggulan yang akan

dikembangkan

3. Menyususun arahan

pusat pengembangan

masing-masing cluster.

Luas lahan

komoditas pertanian, jumlah penduduk masing-masing kecamtan,

jarak antar

kecamatan

BPS, Bappeda,

Instansi Terkait

Metode

P-Median

Arahan lokasi pusat

pengembangan masing-masing

cluster

4. Merumuskan arahan dan

strategi pengembangan

kawasan perdesaan

dengan pendekatan

agropolitan di

Kabupaten Blitar. Data karakteristik wilayah Studi Literatur, narasumber yang dianggap ahli Analisis A’WOT

Arahan dan

strategi pengembangan

3.3.1 Analisis Skalogram

Menurut Panuju dan Rustiadi (2011), metode skalogram dapat digunakan untuk mengidentifikasi ordo atau hierarki relatif di suatu kawasan. Metode skalogram dapat digunakan untuk menentukan peringkat pemukiman atau wilayah dan kelembagaan atau fasilitas pelayanan.

(48)

1. Melakukan pemilihan (filtering) terhadap data statistik kecamatan sehingga data sesuai kebutuhan.

2. Melakukan rasionalisasi data.

3. Berikutnya, melakukan standarisasi data.

4. Menentukan indeks perkembangan kecamatan (IPK) dan kelas hirarkinya. 5. Kemudian diplotkan pada peta dasar.

Pada penelitian ini, IPK dikelompokkan ke dalam tiga kelas hirarki, yaitu kelas hirarki I (tinggi), kelas hirarki II (sedang) dan kelas hirarki III (rendah). Penentuannya didasarkan atas nilai standar deviasi IPK (St dev), nilai rataan IPK, dan nilai rataan IPK dijumlah dengan dua kali nilai standar deviasinya.

3.3.2 Analisis Gerombol (Cluster Analysis)

Menurut Pribadi et al. (2011), analisis gerombol (cluster analysis) bertujuan untuk melakukan pengelompokan obyek sedemikian rupa sehingga obyek dalam satu kelompok memiliki karakteristik yang lebih mirip dibandingkan dengan obyek dalam kelompok lain. Tingkat kemiripan antar obyek dapat digambarkan melalui nilai keragaman dan jarak. Semakin kecil nilai keragaman antara obyek yang satu dengan obyek yang lain maka karakteristiknya akan semakin mirip. Semakin dekat jarak antara obyek yang satu dengan obyek yang lain maka karakteristiknya juga akan semakin mirip.

Analisis gerombol akan mengelompokkan individu-individu sampel ke dalam beberapa gerombol/kelas yang relatif homogen, sehingga segugus data yang multivariabel dapat digambarkan secara sederhana dengan ciri, sifat, dan karakteristik yang hampir sama atau relatif mirip. Analisis gerombol dapat dilakukan untuk tujuan : (1) menggali data atau eksplorasi data, (2) mereduksi data menjadi gerombol data baru dengan jumlah lebih kecil, (3) men-generalisasikan suatu populasi untuk memperoleh suatu hipotesis, dan (4) menduga karakteristik data-data.

Menurut Sharma (1996), terdapat dua teknik penggerombolan dalam analisis gerombol, yaitu metode berhirarki (hierarchical clustering method) dan metode tak berhirarki (non hierarchical clustering method). Teknik hirarki terdiri dari dua metode, yaitu metode pengelompokkan (agglomerative) dan metode pembagian (divisive). Metode berhirarki dilakukan jika jumlah gerombol yang ditentukan sudah diketahui. Unit-unit analisis yang dikelompokkan akan bergerombol sesuai dengan kedekatan/kemiripan karakteristiknya masing-masing. Pembentukan kelompok dengan metode agglomeratif ini dapat digambarkan dalam suatu diagram pohon (Tree Diagram) atau dendogram.

Beberapa metode yang populer digunakan pada hierarchical clustering method antara lain : centroid method, nearest-neighbour or single linkage method, farthest-neighbour or complete linkage method, average linkage method, dan

ward’s method (Sharma, 1996). Pada penelitian ini digunakan Metode Ward’s, yang mana penggabungan antara dua gerombol data dilakukan dengan menghitung jumlah kuadrat jarak dari kedua gerombol hipotesis.

(49)

21

yang diamati. Ukuran kehomogenitasan atau kemiripan individu-individu tersebut didasarkan pada jauh dekatnya jarak antar variabel. Semakin dekat jaraknya maka individu-individu yang berada di dalam satu gerombol tersebut akan semakin mirip. Ukuran kemiripannya dirumuskan dengan Squared Eucledian Distance

(Dij). Semakin kecil nilai Dij maka akan semakin besar nilai kemiripan yang terjadi didalamnya, dan sebaliknya. Nilai eucledian distance dalam suatu individu umumnya diabaikan.

Dalam kaitannya dengan tipologi wilayah secara prinsip analisis cluster

dilakukan melalui dua tahapan, yaitu :

a. Identifikasi tingkat kemiripan antar individu wilayah berdasarkan karakteristik atau kategori tertentu.

Tingkat kemiripan antar individu wilayah dapat diukur melalui pendekatan perhitungan jarak atau nilai keragaman. Pendekatan perhitungan jarak dilakukan melalui pemetaan posisi relatif suatu wilayah terhadap wilayah lainnya dalam suatu ruang yang dimensinya ditentukan oleh jumlah penciri utama. Pendekatan keragaman dilakukan melalui perhitungan nilai keragaman bersama antar obyek. Semakin rendah nilai keragaman maka akan semakin mirip sedangkan semakin tinggi nilai keragaman maka akan semakin tidak mirip.

b. Pembentukan kelompok wilayah berdasarkan aturan atau definisi pengelompokan tertentu yang digunakan.

Pengelompokan unit-unit wilayah pada dasarnya dilakukan berdasarkan pada aturan atau definisi tertentu yang dalam istilah teknis disebut sebagai

linkages rules. Setiap aturan atau definisi akan menghasilkan pola pengelompokan yang berbeda karena itu pertimbangan dalam menentukan aturan atau definisi yang akan dipakai menjadi penting dan seharusnya juga disesuaikan dengan logika dan teori dari setiap bidang ilmu yang akan menggunakan analisis cluster.

Pada penelitian ini Cluster Analysis digunakan untuk mengelompokkan kecamatan-kecamatan berdasarkan kemiripan karakteristiknya. Penggerombolan dilakukan dengan teknik hirarki dan non hirarki. Teknik hirarki digunakan sebagai dasar pada penentuan jumlah gerombol (cluster) pada teknik non hirarki. Out put

yang diharapkan pada analisis gerombol adalah kecamatan-kecamatan yang berada di dalam satu gerombol memiliki ukuran kehomogenitasan atau kemiripan yang relatif hampir sama. Variabel untuk analisis gerombol adalah : indeks perkembangan kecamatan, rasio luas lahan pekarangan, rasio luas lahan sawah, rasio luas lahan kering, rasio luas lahan perkebunan, dan tingkat kepadatan penduduk.

3.3.3 Analisis Location Quotient (LQ)

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian.
Tabel 1. Tujuan, jenis, sumber data dan cara pengumpulan data serta analisis data
Tabel 2. Skala dasar ranking Analytical Hierarchy Process (AHP)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu unsur evaluasi dalam proses pembelajaran adalah adanya sistem yang dapat memantau proses tersebut.Dalam hal ini, dibutuhkan sebuah sistem berupa aplikasi untuk

Hasil analisis data juga telah menjelaskan bahwa bangunan Gedung Sekretariat ASEAN lama dan baru, telah memenuhi seluruh prinsip Arsitektur Ikonik sehingga pada

FOURTH NATIONAL PROGRAM FOR COMMUNITY EMPOWERMENT IN RURAL AREA (PNPM IV) (P122810).. Operation Name: FOURTH NATIONAL PROGRAM

Menurut Lupiyoadi dalam Hadiyati (2009), kualitas pelayanan adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik dari suatu produk atau jasa dalam hal kemampuannya

1) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk itu. 2) Selain badan usaha yang didirikan khusus

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui profil kadar saponin pada beberapa bagian umbi akar T.paniculatum, yaitu pada akar pokok bagian kulit dan tengah umbi di

Pengkayaan stok teripang pasir telah dilakukan di Kepulauan Seribu melalui 2 tahapan, yaitu pembesaran benih (intermediate culture) yang dilakukan di perairan Pulau Kongsi dan

Perkusi dilakukan pada sudut costovertebra dengan cara meletakkan telapak tangan yang tidak dominan di atas sudut kostovertebra, kemudian tangan yang dominan menggunakan sisi