• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kasus penetapan ahli waris pengganti di Pengadilan Agama Jakarta Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kasus penetapan ahli waris pengganti di Pengadilan Agama Jakarta Timur"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

KASUS PENETAPAN AHLI WARIS PENGGANTI

DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memproleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun Oleh :

Dodi Darwin

NIM : 207044100471

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 17 Januari 2011 M 14 Safar 1432 H

(3)

KATA PENGANTAR

ﻢﯿﺣﺮﻟا ﻦﻤﺣﺮﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ

Segala puji dan syukur, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan inayah-Nya sehingga karya ilmiah berjudul Kasus Penetapan Ahli Waris Pengganti di Pengadilan Agama Jakarta Timur ini dapat di selesaikan. Salawat serta salam semoga Allah SWT curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, Nabi dan Rasul yang terakhir yang telah membimbing umatnya ke jalan yang benar dan sekaligus menyempurnakan akhlak melalui

petunjuk wahyu Ilahi. Begitu juga salam kesejahteraan semoga senantiasa dicurahkan kepada keluarganya, para sahabat dan tabi’in serta seluruh umatnya yang selalu istiqomah hingga akhir zaman.

Skripsi ini merupakan tugas akhir dalam menyelesaikaan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan segala kemampuan penulis dan berkat dukungan dari berbagai pihak

(4)

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum sekaligus sebagai pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan yang bermanfaat kepada penulis.

2. Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA dan Sekretaris Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah Bapak Kamarusdiana.

3. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum beserta karyawan akademik Fakultas Syariah dan Hukum.

4. Pimpinan dan karyawan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.

5. Rasa ta’dzim dan terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda dan Ibunda serta Kakak dan adik yang selalu memberikan dukungan moril, dan materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, serta cinta dan kasih sayang yang tidak habis-habisnya bahkan do’a-do’a munajatnya yang tak henti-hentinya siang dan malam kepada Allah SWT.

(5)

Akhirnya, besar harapan penulis semoga Allah SWT melimpahkan taufik, hidayah serta inayah-Nya sehingga menjadikan skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan masukan yang positif kepada pembaca sekalian.

-Amin Ya Rabbal ‘Alamin-

Jakarta, 17 Januari 2011 M 14 Safar 1432 H

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …...……… iii

DAFTAR ISI ...,,,,,... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………..….. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 6

D. Tinjauan Pustaka ……… 7

E. Metode Penelitian ……….. 8

F. Sistematika Penulisan ……… 11

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS

A. Pengertian Waris... 12

B. Dasar Hukum Kewarisan Islam……… 13

C. Rukun, Syarat, dan Sebab Saling Mewarisi ……….. 18

D. Penghalang Menerima Warisan ……… 30

E. Asas-asas Kewarisan Islam ……… 38

BAB III AHLI WARIS PENGGANTI A. Pengetian Ahli Waris Pengganti ………... 40

B. Penggantian Ahli Waris dalam Kompilasi Hukum islam ... 50

(7)

BAB IV PEMBAGIAN WARISAN DALAM AHLI WARIS PENGGANTI

A. Pembagian Warisan Menurut Fikih Islam ………...70

B. Pembagian Warisan Menurut Kompilasi Hukum Islam ……….75

C. Analisis Perbandingan ……… 78

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………... 81

B. Saran ...……… 82

DAFTAR PUSTAKA……… 84

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Dalam kehidupan, ada hukum yang mengatur segala hal yang dilakukan setiap individu baik secara vertikal maupun horizontal. Dari realitas sosial dan budaya serta dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, pengaruh Islam sangat dominan dalam peta dan perkembangan hukum dalam masyarakat Islam itu sendiri.

Hal ini dapat ditemukan pada masalah kewarisan keluarga. Pada prinsipnya persoalan kewarisan adalah langkah-lankah perumusan harta peninggalan dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. Akan tetapi dalam realitanya proses atau langkah-langkah pengalihan sering terbentur dengan adanya kendala, baik yang bersifat intern ataupun ekstern.

(9)

himpunan peraturan yang mengatur hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris.1

Hukum kewarisan yang merupakan bagian dari hukum kekeluargaan, dewasa ini mempunyai peranan yang sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hazairin menyatakan bahwa, “Dari seluruh hukum, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat”.2

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam di mana saja di dunia ini, sungguhpun demikian, corak suatu Negara Islam dan kehidupan masyarakat di Negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan tersebut. Pengaruh itu adalah pengaruh terbatas yang tidak dapat melampaui garis pokok dari ketentuan hukum kewarisan Islam. Namun pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad/pendapat ahli-ahli hukum dan bahkan individual itu sendiri.3

Dalam ilmu fikih mawaris ada ashhabul furudl ialah “ orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan dengan nash

1

M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: sinar grafika, 1995), h. 93

2

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al quran dan Hadist, (Jakarta: tina mas, 1981), cet. Ke-5, hal. 1

3

(10)

Qur’an, As Sunnah dan Al Ijma’’. Selain mereka tidak ada yang berhak atas harta peninggalan. Jumlah mereka ada dua belas. Mereeka adalah empat orang laki-laki, yaitu : suami, ayah, kakek, walaupun betapa tinggi dan saudara lelaki seibu. Delapan orang dari para wanita, yaitu: istri, ibu, anak perempuan, cucu perempuan ari anak laki-laki walaupun betapa rendah derajat ayahnya, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seibu,dan nenek walaupun betapa tingginya. Dan merekalah yang harus di dahulukan dalam pembagian harta warisan.4

Furudl, (jama’ dari fardlu) yakni : bagian-bagian yang sudah di tetapkan dalam kitabullah ada enam, yaitu : setengah (nisf), seperempat (rubu’), seperdelapan (tsumun), dua pertiga (tsulutsani), sepertiga (tsulus) dan seperenam (sudus).

Ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan kedudukan ahli waris yang sesungguhnya karena ahli waris sesungguhnya meninggal terlebih dahulu dari pewaris.

Pembagian harta warisan kepada yang berhak menerimanya atau dalam istilah Hazairin menurut garis pokok keutamaan, telah jelas diatur dalam Al-Qur’an, surat al-nisa, ayat 7, 11, 12, 33, dan 176 serta hadist yang

4

(11)

diriwayatkan oleh para sahabat Rasulullah. Sementara itu Al-qur’an tidak secara menjelaskan pembagian harta warisan kepada ahli waris pengganti.5

Sebagai contoh, jika seorang A meninggal dunia, memiliki harta, memiliki tiga orang anak B, C, dan seorang cucu E sebagai anak dari D yang telah meninggal mendahului A.

Penyelesaian menurut fikih Islam bahwa cucu E baik laki-laki maupun perempuan, tidak berhak menerima warisan selama masih ada anak laki-laki B dan C, atau dengan kata lain, cucu E terhalang oleh anak B dan C.6

Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cucu E menerima warisan dengan menggantikan kedudukan D sebagai ayahnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Instuksi Presiden No. 1 tahun 1991 pasal 185 ayat (1) dinyatakan:

“Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173”

Namun di Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Intruksi Presidan No. 2 tahum1991 pasal 185 ayat (2) dinyatakan: “bagian dari ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”.

5

Syarifuddi Amir, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : prenada media, 2004)

6

(12)

Namun dalam prakteknya ada yang tidak sesuai dengan teorinya. Seperti dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta timur Nomor 0004/pdt.P/2008/PA JT di putusan ini seseorng di nyatakan sebagai ahli waris pengganti tidak sesuai dengan definisi yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam putusan ini seseorang dinyatakan sebagai ahli waris pengganti namun ahli waris sesungguhnya tidak meninggal terlebih dahulu dari si pewaris. Dari banyak kasus penetapan penulis mengambil satu penetapan karena ada ketidak sesuaian teori dengan praktek dalam penetapan ahli warisnya.

Oleh karena itu, dari latar belakang diatas dan dengan adanya kasus dalam pembagian warisan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat membuat penulis terdorong mengangkat permasalahan ini yang kemudian di beri judul

KASUS PENETAPAN AHLI WARIS PENGGANTI DI

PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR “.

B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

(13)

kompilasi hukum Islam ialah yang mengatur pembagian warisan umat muslim di Indonesia.

Kemudian agar pembahasan skripsi ini lebih terarah, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1.

Bagaimana hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur menetapkan ahli waris pengganti dalam kasus Nomor 0004/Pdt.P/2008/PA JT ?

2.

Bagaimana tinjauan KHI tentang penetapan hakim dalam hal ahli waris dalam kasus Nomor 0004/Pdt.P/2008/PA JT ?

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana hakim pengadilan agama Jakarta timur menetapkan ahli waris.

2. Untuk mengetahui tinjauan KHI tentang penetapan hakim dalam hal ahli waris pengganti.

3. Untuk mengetahui ukuran yang harus diterima oleh ahli wari pengganti. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang hak ahli waris pengganti dalam pembagian warisan.

(14)

3. Pengembangan kwalitas pengetahuan hukum khususnya perkara-perkara yang menyangkut permasalahan hak ahli waris pengganti dalam pembagian warisan agar tidak terjadi perselisihan dalam hubungan keluarga.

D.

Tinjauan Pustaka

Muhammad Jamil (eksistensi hukum kewarisan Islam/ilmu faraid setelah lahir lahirnya inpres No 1 tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam). dalam skripsinya dia membahas tentang inpres No 1 tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. dalam kenyataannya di masyarakat, secara ide masyarakat muslim menerima konsep kewarisan menurut hukum kewarisan Islam. Tetapi didalam prakteknya masyarakat justru telah melepaskan ketentuan-ketentuan hukum kewarisan Islam dan mencari penyelesain-penyelesaian mengenai masalah kewarisannya ke pengadilan negeri. Dalam Kompilasi Hukum Islam tedapat beberapa pasal agak berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dalam hukum kewarisan atau ilmu faraid pada umumnya seperti pasal 185 tentang ahli waris pengganti dan pasal 209 tentang wasiat wajibah. Hal itu terjadi karena adanya penyelarasan hukum kewarisan Islam dengan kaidah dan budaya masyarakat lokal.

(15)

pengganti, wasiat wajibah, dan munusakhah sama yang mana ketiga konsep tersebut merupakan proses sistem penggantian dalam kewarisan Islam, namun ketiga konsep diatas mempunyai karakteristik dan tata aturan yang berbeda-beda yang berkonsekwensi dengan tampilnya beberapa ahli waris pengganti yang berbeda pula.

Sedangkan, dalam skripsi ini saya membahas tentang bagaimana hakim menetapan ahli waris pengganti di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

E.

Metode Penelitian

Untuk memperoleh data dan penjelasan segala sesuatu yang berhubungan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang disebut metodologi penelitian. Yang dimaksud dengan metodologi penelitian adalah cara meluluskan suatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan7. Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis pada penyusunan laporan8.

Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang

7

Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Pustaka, 1997), h. 1.

8

(16)

bersangkutan. Metode adalah pedoman cara seseorang ilmuan mempelajari dan memahami langkah-langkah yang dihadapi9.

Adapun metode yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah: 1. Pendekatan

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah memakai pendekatan kualitatif, berlandaskan pada prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yang berupa kata-kata tertulis.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat analisis pustaka yaitu jenis penelitian yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap dukementasi penetapan Pengadilan Agama Jakarta Timur Timur Nomor 0004/pdt.P/2008/ PA JT..

3. Sumber Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, maka sumber data yang penulis gunakan, yaitu data primer dan data sekunder.

a. Data Primer, penetapan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 0004/pdt.P/2008/ PA JT.

b. Data Sekunder, merupakan semua bahan yang memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, seperti Peraturan Perundang-Undangan,

9

(17)

buku-buku, karya dari kalangan hukum, dan literatur lain yang ada hubungannya dengan skripsi ini.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah a. Observasi

Mengadakan pengamatan secara sistematis dan mencatat segala kejadian-kejadian yang terjadi terhadap obyek penelitian baik secara langsung maupun tidak langsung.

b. Interview

Yaitu metode pengumpulan data dengan cara Tanya jawab dengan pihak yang bersangkutan di Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur, yang kesemuanya berhubungan erat dengan persoalan yang dibahas.

c. Studi Dokumentasi

Metode pengumpulan data dengan cara mengambil informasi dari arsip-arsip yang berasal dari Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur, yang kesemuanya berhubungan erat dengan persoalan yang dibahas.

5. Analisis Data

(18)

dicari pemecahannya, kemudian disimpulkan dan digunakan untuk menjawab permasalahn yang ada.

F.

Sistematika Penulisan

Sitematika penulisan ini disusun dalam lima bab, dimana dalam setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yaitu :

BAB I : meliputi: latar balakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : meliputi : pengertian kewarisan, dasar hukum kewarisan Islam, rukun, syarat, dan sebab kewarisan, penghalang menerima warisan, asas-asas keawarisan Islam.

BAB III : meliputi : pengertian ahli waris pengganti, ahli waris pengganti dalam Islam, ahli waris penggnti dalam kompilasi hukum Islam, kronologi penetapan

BAB VI : meliputi : tinjauan KHI terhadap penetapan, tinjauan hukum Islam, analis penulis.

(19)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS

A. Pengertian Waris.

Hukum waris merupakan bagian dari hukum perdata dimana, dari dahulu sampai sekarang ini, hukum waris Indonesia sangat beraneka ragam sekali. Adapun garis besarnya terbagi menjadi tiga bagian :

1. Hukum waris yang terdapat dalam undang-undang perdata (KUH per/BW)

2. Hukum waris yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam.

3. Hukum waris yang terdapat dalam hukum Islam, yang tersusun dalam fikih mawaris/faraidh.

Adapun pengertian hukum waris dalam KUH perdata, menurut Hartono Suryopratiknyo hukum waris adalah keseluruhan peraturan dengan nama undang undang mengatur akibat hukum dari meninggalnya seseorang terhadap harta kekayaan, perpindahan kepada ahli waris dan hubungannya dengan pihak ketiga.10 Hukum kewarisan dalam Islam di kenal dengan “ fikih mawaris”. Mawaris dalam pengertian etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal “ miras”, artinya harta pusaka atau harta warisan.11

10

Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum perdata(BW), (Serang: Darul Ulum Press, 1993), Cet. 2 hal 50

11

(20)

Menurut etimologi, warisan ialah pindahnya sesuatu dari orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sedangkan menurut terminologi, warisan adalah pindahnya hak milik orang lain yang meninggal, baik yang ditinggalkannya itu benda bergerak atau tidak bergerak atau berupa hak-hak syara’.12

Fikih mawaris dimaksudkan ilmu yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.13

Hukum kewarisan dikenal juga dengan istilah ilmu faraid. Dalam bahasa arab perkataan faraid menunjukan bentuk jamak, sedangkan bentuk tunggalnya faraidah yang beraarti suatu ketentuan atau bagian-bagian tertentu.

(21)

Menurut Al-Syaibiti, terdapat ketentuan-ketentuan Al-quran yang kandungannya ibadah atau bukan ibadah mahdah yang telah dirinci didalam Al-Quran, seprti hukum kewarisan, perlu diterima secara ta’abudy atau di terima secara take for granted. Karena itu realisasinya apa yang ditegaskan didalam Al-Quran diterima dengan senang hati, sebagai bukti kepatuhan pada ketentuan-ketentuan Allah. Selain Al-Quran, hukum kewarisan juga disandarkan pada sunnah Rosulullah SAW, pendapat sahabat, baik yang disepakati maupun yang

mukhtalaf fih.14

Ayat-ayat al-quran dan sunnah cukup banyak yang menunjuk tentang hukum kewarisan.

1. Al-quran

QS. An-nissa,4 : 11-12





































































































14
(22)











































“ maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang di tinggalkan.

Jika anak perempuan seorang saja, maka memperoleh separuh harta. Dan

untuk dua orang ibu bapak,masing-masing seperenam dari harta yang

ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang

meninggal tidak mempunyai anak dan ia di warisi oleh ibu bapak (saja)

maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai

beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian tersebut

diatas) sesudah di penuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar

hutangnya. (tentang orang tua dan anak-anak mu, kamu tidak mengetahui

siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak)manfaat bagimu. Ini adalah

ketetapan dari allah. Sesungguhnya allah maha mengetahui lagi maha

bijaksana (QS. An-nissa; 4 : 11)

2. Al-Sunnah

Imam Bukhori menghimpun hadist tentang kewarisan tidak kurang dari 46 hadist. Imam Muslim menyebut hadist tentang kewarisan kurang dari 20 hadist. Berikut dikutip beberapa hadist yang di anggap pokok.

(23)

Nabi SAW bersabda :” berikanlah bagian-bagian tertentu kepada

orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama

(dekat kekerbatannya) (Al Bukhori)15

(24)

dilaksanakan oleh peradilan yang dibentuk oleh negara. Hukum kewarian Islam bukan nasional di Indonesia dalam arti “tertulis yang ditetapkan oleh badan yang berlaku dan mengikat untuk seluruh warga.”17

4. Yurisprudensi

Dalam kamus fockema sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi dikemukan yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan mahkamah agung dan keputusan pengadilan tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikn keputusaan permasalahan yang sama. Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Indonesia tidak menganut “the binding force of precedent”, jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya. Hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi kalau kiranya yurisprudensi itu telah usang dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan keadaan masyarakat, tetapi tidak salahnya untuk tetap dipakai kalau yurisprudensi masih sesuai dengan kedaan zaman dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.18

17

Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, hal 326 18

(25)

C. Rukun, Syarat, dan Sebab Saling Mewarisi

1. Rukun Waris

Menurut istilah rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu yang lain. Contohnya adalah sujud dalam shalat, sujud dianggap sebagai rukun, karena sujud bagian dari shalat. Karena itu tidak di katakan shalat jika tidak ada sujud. Dengan kata lain rukun adalah sesuatu yang keberadaannya mampu menggambarkan sesuatu yang lain, baik sesuatu hanya bagian dari sesuatu yng lain maupun mengkhususkan sesuatu yang lain.19

Dengan demikian rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris dimana harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya. Rukun-rukun waris ada tiga :20

1. Al-mawaris yaitu orang yang meninggaldunia atau mati, baik a hakiki maupun hukmy yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati yang meninggaalkan harta atau hak.

2. Al-waris, yaitu orang yang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang. 3. Al-maurust, yaitu harta benda yang menjadi warisan. Sebagian ulama

faraid menyebutnya dengan mirast atau irst. Termasuk dalam katagori

19

Komite fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam. Penerjemah H. Addys Al dizar dan H. Fakhturahman (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2004), hal. 41

20

(26)

warisan adalah harta-harta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seprti hak qishas (perdata) hak menahan barang yang belum dilunasi pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian.

Itulah tiga rukun waris, jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, waris mewarispun tidak dilakukan. Barang siapa yang meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris tetapi tidak mempunyai harta waris maka waris mewarispun tidak dilalukan karena tidak terpenuhinya rukun-rukun waris.21

2. Syarat waris

Lafal syuruth (syarat-syarat)adalah bentuk jamak dari syarth. Menurut bahasa syarat adalah tanda seperti syarth as-saah (tanda-tanda kiamat). Allah SWT berfirman “tidaklah yang mereka tunggu, melainkan hari kiamat kedatangannya kepada mereka yang tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya. Apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila kiamat sudah datang ? (muhammad 47 : 18).22

Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang ada atau tidak adanya _isba tergantung pada ada dan tidak adanya sesuatu itu. Yang di maksud dengan adanya sesuatu yang menurut syara’ dapat menimbulkan pengaruh ada dan tidak adanya _isba.

21

Ibid . 22

(27)

Jadi syarat adalah sesuatu yang keluar dari hakikat yang disyarati (masyruth) yang mengakibatkan adanya masyrut karena tidak adanya syarat, namun adanya masyrut tidak mewajibkan adanya syarat. Misalnya hubungan suami istri menetapkan adanya talak. Thaharah (bersuci) adalah syarat sah shalat. Jika tidak bersuci sebelum melakukan shalat niscaya shalatnya tidak sah, akan tetapi melakukan tharah berarti ketika hendak melakukan shalat saja.23

Dengan demikian, apa bila tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak ada pembagian harta waris. Meskipun syarat-syarat waris terpenuhi, tidak serta merta harta waris dapat langsung dibagikan. Contoh kasus ini adalah keberadaan ahli waris yang masih hidup merupakan syarat untuk mewarisi harta si mayit. Jika syarat hidupnya ahli waris tidak terpenuhi, tentunya pembagian harta waris juga tidak_isba dilakukan. Meskipun syarat-syarat itu telah terpenuhi, tidak serta merta ahli waris mendapatkan ahli waris, kepada ahli waris dapat terhalang oleh ahli waris yang lain untuk mendapatkan bagian dari harta waris kendati syarat mendapatkan harta warisan telah terpenuhi. Oleh karena itu persoalan warisan memerlukan syarar-syarat sebagai berikut:24

Pertama, matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan menurut ulama dibedakan menjadi tiga: 1) mati hakiki (sejati), 2)

mati hukmy (menurut putusan hakim), dan 3) mati taqdiry (menurut pikiran).

23

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih. Penerjemah Masdar Helmy (Bandung: Geme Rislah Press, 1997), hal. 200

24

(28)

Mati hakiki adalah hilangnya nyawa seseorang (yang semula nyawa itu berwujud padanya) baik kematian itu disaksikan dengan pengujian, seperti tatkala seseorang disaksikan meninggal atau dengan pendeteksi dan pembuktian, yakni kesaksian dua orang yang adil atas kematian seseorang. Mati hukmy adalah suatu kematian yang disebabkankarena putusan hakim, seperti seorang hakim memvonis kematian si mafqud (orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak pula diketahui hidup dan matinya). Status orang hilang, jika melawati batas waktu yang ditentukan untuk pencariannya, si mafqud karena berasarkan atas sangkaan yang kuat bisa dikategorikan sebagai seorang yang telah mati. Mati taqdiry adalah suatu kematian yang semata-mata berdasarkan dugaan yang sangat kuat. Contohnya, seorang bayi yang dilahirkan dalam keadaan mati, sedang ibunya masih hidup atau bayi itu meninggal setelah kematian ibunya yang melahirkan akibat pendarahan, yang mewajibkan pembayaran sanksi dengan al-ghurah (hamba sahaya atau budak perempuan yang disamakan dengan lima tahun unta yang diberikan kepada ahli si bayi). Dengan demikian, si bayi meninggal akibat kejahatan tersebut, dimana ibunya mewarisi budak dari si bayi.25

Kedua, ahli waris yang hidup, baik hidup secara hakiki maupun hukmy setelah kematian mayit sekalipun hanya sebentar, memiliki hak atas harta waris. Sebab Allah SWT didalam ayat kewarisan hak mendapatkan harta waris dengan

25

(29)

huruf lam menunjukan kepemilikan dimana tidak berwujud. Kecuali hanya bagi orang yang hidup.26

Ketiga, mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayit, seperti garis kekerabatan, perkawinan, dan perwalian. Maksudnya ahli waris harus mengetahui dirinya adalah termasuk dari ahli waris dari garis kerabat nasab(kerabat yang tidak memperoleh bagian tertentu tetapi mendapatkan dari

Ash-habul furudh atau mendapatkan seluruh harta peninggalan bila tidak ada seorangpun Ash-habul furudh) atau garis perkawinan atau garis wala. Hal seperti ini di berlakukan karena setiap garis keturunan memiliki _isba yang berbeda-beda.27

3. Sebab-Sebab Mewariskan

Sebab adalah sesuatu yang oleh syar’i (pembuat hukum) di jadikan indikasi adanya suatu yang lain yang menjadi akibatnya, sekaligus menghubungkan adanya akibat karena adanya sebab, dan ketiadaannya karena ketiadaan sebab. Contoh api merupakan sebab terjadinya kebakaran, artinya api

merupakan sebab terjadinya kebakaran.28

Definisi ulama yang mengatakan keberadaan sesuatu mengharuskan adanya sesuatu yang lain, dengan sendirinya mengecualikan makna syarat, karena syarat tidak mengharuskan adanya sesuatu. Sedangkan ucapan mereka

26 Ibid. 27

Ibid. 28

(30)

yang lain, bahwa tidak adanya sesuatu akan mengakibatkan sesuatu yang lain, juga menjadi tidak ada dan mengecualikan makna “mani” (penghalang), karena mani mengecualikan adanya sesuatu yang tidak mengharuskan adanya sesuatu yang lain.29 Dengan demikian sebab-sebab pewarisan adalah sesuatu yang mewajibkan adanya hak mewarisi, jika sebabnya terpenuhi. Demikian juga hak mewarisi tidak ada jika jika sebab-sebabnya tidak terpenuhi. Sabab-sebab mewarisi terbagi menjadi dua: pertama, yang disepakati, kedua, yang tidak disepakati oleh para ulama faraid.

1. Sebab-Sebab Mewarisi yang disepakati a. Kekerabatan (Al-qarabah)

Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran, baik dekat maupun jauh. Dalil-dalil kewarisan karena sebab kekerabatan, antara lain terdapat dalam firman Allah surat An-nissa ayat 11. Ahli waris yang dapat mewarisi dari aris kekerabatan adalah Ushul (leluhur) si mayit, furu’ (keturunan) si mayit, dan hawasyi si mayit (keluarga si mayit dari jalur horizontal). Golonan ushul adalah 1) ayah, kakek, dan jalur keatasnya, 2) ibu, nenek (ibu suami dan ibunya istri) dan julur keatasnya. Golongan furu’ adalah 1)anak laki-laki, cucu, cicit, dn jalur kebawahnya. Sedangkan golongan Hawasyi adalah 1) saudara laki-laki dan saudara perempuan secara mutlak, baik saudara sekandung maupun

29

(31)

seayah atau seibu, 2) anak-anak saudara sekandung seayah dan seibu, 3) paman sekandung seayah dan anak laki-laki paman sekandung.30

b. Pernikahan

Disamping hak kewarisan berlaku atas hubungan kekerabatan, hak waris juga berlaku atas dasar perkawinan ; dengn arti bahwa suami ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri ahli waris bagi suaminya yang meninggal. Bagian pertama dari ayat 12 surat An-nissa menyatakan hak kewarisan suami istri. Dalm ayat itu digunakan kata: azwaj, penggunaan kata azwaj yang secara leksikal berarti pasangan (suami istri) menunjukan dengan gamblang hubungan kewarisan suami dan istri. Bila hubungan kewarisan berlaku antara yang mempunyai hubungan kekerabatan karena hubungan alamiah diantara keduanya, maka hubungan kewarisan antara suami istri disebabkan adanya hubungan hukum antara suami istri.31

Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua ketentuan :

Pertama: antara keduannya telah berlangsung akad nikah yang sah. Tentang akad nikah yang sah di tetapkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1: perkawinan sah bila dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing agamanya. Ketentuan diatas berarti bahwa perkawinan

30

Ibid, hal. 33 31

(32)

orang-orang yang beragama islam adalah sah apabila menurut hukum Islam. pengetian sah menurut Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat dan telah terhindar dari segala penghalangnya. Dengan demikian nikah yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi rukun syarat pernikahan dan telah terlepas dari segala halangan pernikahan. Ketentuan yang kedua: berkenaan dengan hubungan kewarisan yang disebabkan oleh hubungan perkawinan ialah bahwa suami istri masih terikat dalam tali perkawinan saat salah satu pihak meninggal. Termasuk dalm ketentuan ini adalah bila salah satu pihak meninggal dunia sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’i dan perempuan masih dalam keadaam masa iddah. Seorang perempuan yang sedang menjalani masa iddah talak raj’i berstatus sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali hubungan kelamin (menurut jumhur ulama) karena halnya hubungan kelamin telah berakhir dengan adanya perceraian.32

c. Wala

Wala berarti tetapnya hukum syara’ karena membebaskan budak. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan wala al-ataqaah yakni yang disebabkan adanya pembebasan budak dan bukan dimaksudkan dengan wala al-maulah dan mukhalafah membebaskan budak denan karena kepemimpinan dank arena ikatan sumpah. Karena keduanya mempunyai muatan yang berbeda-beda

32

(33)

dalam sebab-sebab perwarisan.33 Adapun yang dimaksud dengan wala al-ataqah adalah ushubah. Penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak melalui pencabutan hak mewakili dan mengurusi harta bendanya baik secara sempurna maupun tidak. Tujuannya adalah tathawwu yakni melaksanakan perintah syari’at atau kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini bentuk pembebasan mengakibatkan pada penetapan wala. Adapun yang dimaksud dengan kalimat penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada dengan membebaskan budak adalah masa sebelum budak itu dibebaskan. Namun setelah seorang tuan membebaskan budaknya, budak itu telah berubah status dari orang yang tidak cakap menjadi orang yang cakap dalam bertindak secara sempurna. Dalil orang yang mempunyai hak wala memiliki hak waris atas harta peninggalan si budak adalah sabda Rosulullah SAW dalam perkara Barirah r.a, “ hak wala itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budaknya” (HR mutafaq alaih).34 Adapun yang dapat mewarisi sebab wala adalah pemilik budak laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan pembebasan budak. Lalu keduanya menjadi ashabah yaitu ashabah bi nafs. Sebab, wala dapat mewarisi bukan diwarisi. Tanpa budak yang dibebaskan niscaya wala tidak mewarisi dari pembebasan budak atau tuannya. Dengan demikian wala dapat mewarisi dari satu sisi saja yakni sisi dari orang yang membebaskan budak.

33

Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam, hal. 40 34

(34)

2. Sebab-sebab waris yang diperselisihkan a. Baitul mal

Para ulama fiqh berselisih diantaranya syafi’i, Maliki dan Hanafi dan hanabila tentang baitul mal yang menjadi salah satu sebab boleh tidak mewarisi. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:35

Pertama, baitul mal sebagai penyebab mewarisi secara mutlak, baik baitul mal yang terorganisir maupun tidak. Jika seorang muslim meninggal dan tidak mempunyai seorangpun ahli waris yang mewarisi harta peninggalannya, dengan salah satu sebab-sebab saling mewarisi yang telah disepakati, maka baitul mal berhak mewarisi harta peninggalan tersebut serta menggunakannya untuk kemaslahatan kaum muslimin. Sebab kaum muslimin pun dibebani membyar diyah (denda) untuk saudara sesame muslim yang tidak berkerabat. Dengan demikian kedudukan mereka bagaikan ashabah (golongan yang mewarisi dalam lingkungan kerabat). Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan malikiyah dan imam syafi’i dalam qoul qodim (pendapat lamanya ketika berada di Baghdad).36

Kedua, baitul mal menjadi ahli waris ketika terorganisasi, dengan demikian andai seorang muslim meninggal dunia tidak memiliki ahli waris satu orangpun, maka harta peninggalannya diserahkan kepada baitul mal bukan atas dasar kemaslahatan atau kepentingan sosial, tetapi untuk diwarisi oleh kaum

35

Ibid, hal. 41 36

(35)

muslimin secara ushubah. Pendapat ini dikemukakan oleh As-syafi’i dalam qoul jadid.37

Ketiga, baitul mal bukan menjadi penyebab mewarisi secara mutlak, baik ia terorganisasi maupun tidak, ini adalah pendapat kalangan Hanafiyyah dan Hanabilah.38

b. Al-hilf wa Al-Mu’aqadash atau janji setia

Janji setia ditempuh dengan melakukan perjanjian antara dua orang atau lebih. Seseorang menyatakan dengan sungguh-sungguh kepada orang lain untuk saling mewarisi apabila salah satu pihak meninggal. Tujuannya adalah untuk kerjasama saling menasehati dan yang terpenting adalah memperoleh rasa aman. Rumusan kalimat perjanjiannya adalah sebagai berikut:

Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganmu perjuanganku, perangku adalah perangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahku karena aku dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawaku, akupun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu.39

Apabila salah satu pihak yang melakukan janji setia itu meninggal dunia maka pihak lain mewarisi harta yang ditinggalkannya dengan ketentuan

37 Ibid. 38

Ibid. 39

(36)

1/6 bagian, itupun didahulukan penerimanya baru setelah itu dibagikan kepada ahli waris lainnya.40

Perjanjian seperti ini tampaknya merupakan cara yang ditempuh dalam waktu yang lama, sampai-sampai Al-Quran merekamnya sebagai salah satu sebab mewaris yang di benarkan. Firman Allah surah An-Nissa ayat 33:

                     

bagi tiap-tiap peninggalan dari harta yang di tinggalkan ibu bapak

karib dan kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang kamu

telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka

bagiannya, sesungguhnya allah menyaksikan segala sesuatu (Q.S. An-Nissa Ayat

33)

.

Terhadap ayat tersebut dalam penerapannya, mayorittas para ulama tidak melaksanakannya. Hanya sebagian ulama hanafiyyah saja yang tetap memberlakukan isi ayat tersebut. Mereka mengatakan bahwa tidak ada riwayat atau keterangan atau keterangan yang menasakh ketentuan itu. Apabila dikaitkan dengan kehidupan sekarang ini, telebih di dasari oleh nash-nash Al-Quran maupun hadist yang mengatur soal kewarisan, kelihatanya perjanjian itu telah kehilangan atau setidaknya kurang relevansi.41

40

Ibid. 41

(37)

D. Penghalang Menerima Warisan

Kata Al-Mawani adalah bentuk jamak dari mani. Menurut bahasa mani berarti penghalang. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang timbul ketika sebab itu telah jelas dan syarat telah terpenuhi dan menghalangi timbulnya akibat atas sebab. Jadi ketiadaan syarat menurut mereka tidak disebut mani meskipun menghalangi timbulnya akibat atas sebab. Jadi yang dimaksud dengan beberapa penghalang mewarisi adalah keberadaan penghalang yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Namun, ketiadaan penghalang bukan berarti memberikan warisan kepada seseorang. Denga kata lain, yang dimaksud dengan penghalang-penghalang mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab mewarisi.42 Jadi yang dilarang mendapatkan hak waris adalah seseorang (ahli waris) yang mempunyai sebab mewarisi tetapi ia melakukan tindakan yang dapat menggugurkan kelayakan mewarisi. Orang semacam ini yang diharamkan mendapatkan warisan, keberadaannya bagaikan tidak ada dan dia dapat menhalangi ahli waris lainnya baik secara hirman (tidak dapat warisan) maupun secara nuqshan (pengurangan).43

Dengan demikian definisi diatas berarti meniadakan hukum dan seseorang dapat terhalang karena keberadaan ahli waris lainnya. Namun, ahli

42

Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam, hal. 46 43

(38)

waris lainnya menghalangi ahli waris yang terhalang dengan cara nuqshan

(pengurangan). Demikian halnya, definisi tersebut meniadakan hukum waris-mewarisi karena ketiadaan sebab-sebabnya seperti orang asing (orang yang tidak mempuunyai hubungan kerabat dari manapun).44

1) Penghalang-penghalang yang disepakati a. Berlainan agama

Para ulama ahli fikih diantaranya Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwasanya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan merupakan salah satu penghalang mewaris. Berlainan agama terjadi antara Islam dengan agama yang lainnya terjadi antara satu agama dengan satu syariat yang berbeda.45

(39)

Hukum ini merupakan ketetapan banyak ulama ahli fikih sebagai pengalaman dari keumuman hadist diatas. Bila seorang mati meninggalkan anak-anak laki-laki yang kafir dan paman nya muslim, niscaya harta peninggalan si mayit di berikan semua kepada paman, sehingga anak laki-laki itu tidak mendapatkan harta warisan apa-apa dari ayahnya. 46

Namun sebagian ulama ahli fikih berpendapat bahwa orang islam dapat mewarisi harta peninggalan orang kafir dan tidak sebaliknya. Berdasarkan pendapat tersebut jika seorang istri kitabiyyah (ahli kitab) mati meninggalkan suami muslim muslim maka sang suami dapat mewarisi dari harta sang istri tapi tidak sebaliknya. Beberapa alasan yang dijadikan argumen pada kasus diatas adalah:47

a) Berdasarkan hadist Nabi SAW, “islam itu terus bertambah dan tidak berkurang”.

b) Dalam melihat hadist ini mereka berpendapat hak mewarisi seorang muslim dari seorang kafir merupakan suatu tambahan, sedangkan tidak adanya hak mewarisi bagi muslim terhadap orang kafir adalah suatu kekurangan. Mereka juga berargumen dengan hadist “ islam itu tinggi dan ketinggiannya tidak dapat diungguli”. Dengan hadist ini mereka berpendapat makna ketinggian adalah

46

Ibid, hal. 48 47

(40)

seorang muslim bisa mewarisi harta peninggalan orang kafir sedangkan orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang muslim.48

c) Mereka berdalih dengan menganalogikan nikah dan memperoleh harta rampasan perang yakni kita sebagai orang muslim dapat mewarisi harta orang kafir sebagaimana kita menikahi wanita-wanita mereka, namun mereka tidak bisa menikahi wanita-wanita muslimah. Kita bisa memperoleh harta rampasan perang yang dilakukan bersama mereka, namun tidak sebaliknya.49

b. Pembunuhan

Apabila seorang ahli waris membunuh ahli warisnya, maka ia tidak berhak mewarisi harta pewarisnya, karena pembunuhan menghalanginya menerima harta warisan atau harta peninggalan. Orang yang dibunuh bisa menerima warisan dari pembunuhnya. Apabila si pembunuh lantaran suatu sebab meninggal sebelum korbannya meninggal. Apabila seorang melukai saudaranya dengan luka sangat parah yang bisa menyebabkan kematian, kemudian dia lebih dahulu meninggal dengan suatu sebab niscaya si korban (orang yang dilukai) menerima pusaka dari orang yang melukainya apabila tidak ada ahli waris yang lebih kuat, asal saja orang yang dilukai atau korban ketika meninggalnya pelaku masih dalam keadaan hidup (hayat mustaqirah).50 Tegasnya si pembunuh tidak

48

Ibid. 49

Ibid. 50

(41)
(42)

mereka berselisih tentang hakikat pembunuhan yang benar-benar menjadikan seseorang menerima warisan apakah bentuk pembunuhan mutlak atau khusus. Dalam hal ini terdapat empat pendapat ulama adalah sebagai berikut:

1. Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa seluruh bentuk pembunuhan dapat menghalangi seseorang mendapat harta warisan. Dengan demikian seorang pembunuh tidak bisa mewaris harta orang yang dibunuhnya, baik karena sengaja, mirip sengaja, khilaf (baik dengan hak atau tidak) atau di hukum setelah membunuhnya atau tindakan yang menyebabkan pembunuhan disaksikan oleh orang lain atau tidak ada yang menyaksikan tindakan tersebut sekalipun pembunuhan itu tidak sengaja, seperti pelakunya orang yang sedang tidur, orang gila atau anak kecil atau tindakan tersebut demi kemaslahatan seperti pukulan ayah terhadap anaknya dalam rangka mendidik.53

2. Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang mewaris adalah pembunuhan yang hukumnya adalah qishash atau kafarah yaitu pembunuhan dengan sengaja, mirip sengaja, dan pembunuhan yang di anggap khilaf misalnya seseorang yang sedang nyenyak tidur diatas tempat tinggi kemudian tempatnya runtuh dan

53

(43)

menjatuhi orang yang dibawahnya, sehingga membawa kepada kematian kepada orang yang dijatuhinya.54

Adapun pembunuhan yang dianggap tidak menghalangi untuk mendapatkan warisan menurut kalangan Hanafiyah ada tiga macam 1) pembunuhan tidak langsung seperti seseorang menggali lubang bukan miliknya dan belum mendapat izin dari pemiliknya dan kemudian salah satu anggota keluarganya terperosok hingga jatuh dan meninggal, 2) pembunuhan karena hak, 3) pembunuhan yang dilkukan oleh anak kecil atau orang yang belum cakap untuk bertindak hukum.55

3. Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang untuk menerima warisan adalah pembunuhan sengaja karena permusuhan, sedangkan yang lainnya menurut mereka tidak menghalangi seseorang mendapat warisan.56

4. Mazhab Hanabila berpendapat pembunuhan yang menjadi penghalang menerima warisan adalah pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang hak, yakni pembunuhan yang dibebani dengan sanksi qishas, kafarat, diyat dan rugi, pembunuhan tersebut seperti:57

54

Ibid, hal. 57 55

Ibid, hal. 58 56

Ibid. 57

(44)

a. Pembunuhan dengan sengaja dan terencana adalah suatu cara pembunuhan yang dalam pelaksanaannya terdapat unsur kesengajaan ini eksis dengan adanya tiga hal: pertama, sengaja dalam berbuat, kedua, sengaja arah dan sasaran, ketiga, sengaja dengan menggunakan alat yakni menggunakan alat yang lazimnya mematikan.

b. Pembunuhan mirip dengan sengaja adalah pembunuhan dengan sesuatu dengan alat yang tidak lazimnya tidak mematikan.

c. Pembunuhan karena khilaf atau tidak sengaja pembunuhan yang didalamnya tidak terdapat unsur kesengajaan, baik alat maupun arahny seperti menembak burung tetapi mengenai orang dan mati.

d. Pembunuhan yang dianggap khilaf yaitu pembunuhan yang tidak memiliki unsur kesengajaan berbuat tetapi membawa kematian terhadap seseorang.

Adapun pembunuhan yang menurut mereka tidak menghalangi menerima warisan adalah pembunuhan yang tidak dibebani sanksi tersebut diatas seperti pembunuhan karena melakukan had, qishas (pidana) untuk membela diri, untuk melawan pemberontak, atau untuk berbuat demi kemaslahatan.

Dalam Kompilasipun dirumuskan tentang pembunuhan dapat menghalangi dari mendapat warisan. Kompilasi merumuskannya dalam pasal 173 yang berbunyi:58

58

(45)

Sesesorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan yang telah mempunyai ketentuan hukum yang tetap, dihukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

E. Asas-asas Kewarisan Islam

Dari pengamatan terhadap sumber hukum kewarisan Islam, dapat ditarik beberapa asas yang melandasi pembentukannya, antara lain adalah:59

1. Ijbari

Secara bahasa, ijbari mengandung pengertian paksaan. Kaitanya dengan kewarisan mengandung arti bahwa pemindahan harta peninggalan dari muwarris kepada ahli warisnya bukan kehendak dari muwarris, tapi akan terjadi dengan sendirinyasetelah yang bersangkutan meninggal dunia.

2. Bilateral

Pengertian bilateral dalam kewarisan adalah seseorang dapat menerima warsian dari dua belah pihak, pihak ayah dan pihak ibu. Hal ini juga berlaku untuk anak perempuan.

59

(46)

3. Individual

Kewarisan islam menentukan bahwa setiap ahli waris berhak mendapatkan sebagian dari harta peninggalan muwarris dan tidak mengenal harta pusaka yang tidak dibagi-bagi yang penguasaannya dilakukan secara kolektif oleh para ahli waris.

4. Keadilan berimbang

Yang dimaksud keadilan berimbang disini adalah adanya keseimbangan antara hak-hak yang akan diterima dan kewajiban-kewajiban yang mesti dipenuhi. Dalam arti bahwa harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh sebab itu bagian yang diterimanya seimbang dengan kewajiban yang akan dipikul.

5. Akibat kematian semata

(47)

BAB III

AHLI WARIS PENGGANTI

A. Pengertian Ahli Waris Pengganti

Penggantian kedudukan (ahli waris pengganti) dalam kewarisan Islam merupakan suatu hal yang baru, mengingat terminologi ahli waris pengganti tersebut tidak secara lugas disebutkan dalam fikih Islam.

Menurut Sajuti Thalib, dalam bukunya “Hukum Kewarisan Islam di Indonesia”, ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan seorang ahli waris langsung, karena dalam kasus bersangkutan ia meninggal lebih dahulu dari pewaris, maka kedudukannya di gantikan oleh anaknya, anak saudaranya atau anak tolan seperjanjiannya.60

Dalam kaitannya dengan ahli waris, hukum kewarisan Islam mengelompokkan mereka dalam tiga golongan yaitu ; ahli waris zawil faraid, ashabah, dan zawil arham. Sedangkan Haizairin mengelompokkan ke dalam ; zu al-faraid,zu al-qarabat, dan mawali.

Dari penggolongan ahli waris sebagaimana disebutkan di atas, dipahami bahwa ada diantara ahli waris dengan kedudukan tertentu mendapat bagian yang sudah jelas terdapat dalam Al-quran, yaitu : anak, ayah, ibu, suami, istri dan saudara. Mereka mewaris karena hubungan sendiri dengan pewaris dan

60

(48)

tidak karena menempati kedudukan ahli waris yang lain, karena itu, disebut sebagai ahli waris langsung.

Di samping itu ada juga mereka yang menjadi ahli waris dikarenakan menempati penghubung yang sudah meninggal lebih dahulu dari pewaris. Mereka adalah ; cucu menempati kedudukan anak, kakek menempati kedudukan ayah, nenek menempati kedudukan ibu, anak saudara menempati kedudukan saudara, dan begitu seterusnya. Ahli waris kelompok ini, kedudukan dan bagian mereka memang tidak dijelaskan dalam Al-quran, akan tetapi kedudukan mereka dan bagiannya ini dapat diketahui melalui perluasan pengertian ahli waris langsung yang dijelaskan dalam Al-quran. Pengertian anak diperluas kepada cucu, pengertian ayah dan ibu kepada kakek dan nenek, pengertian saudara diperluas kepada anak saudara dan seterusnya. Dari dasar hukum dan cara mereka menjadi ahli waris, dapat disebut sebagai ahli waris pengganti.61 Untuk pembahasan yang lebih luas, Allah menyerahkan kepada akal manusia untuk menentukan pelaksanaannya.

Ulama Sunni, mengatakan bahwa secara garis besar ahli waris yang berhak mendapat warisan sebanyak tujuh belas orang yang terdiri dari sepuluh orang ahli waris laki dan tujuh orang ahli waris perempuan. Ahli waris laki-laki terdiri dari anak laki-laki-laki-laki (ibn), cucu laki-laki dari anak laki-laki (ibn al-ibn),

61

(49)

ayah, suami, saudara laki, anak laki dari saudara sekandung, anak laki-laki dari saudara seayah, kakek, paman, dan orang yang memerdekakan budak. Sedangkan ahli waris perempuan terdiri dari istri, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki (bint al-ibn), ibu, nenek, saudara perempuan, dan orang yang memerdekakan budak.62

Dari sepuluh ahli waris laki-laki dan tujuh ahli waris perempuan tersebut ulama menjelaskan secara lebih detil sehingga ahli waris laki-laki berjumlah lima belas orang ditambah dengan saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, dan saudara laki-laki seibu dan anak paman, dan ahli waris perempuan menjadi sepuluh orang ditambah dengan perincian saudara perrempuan sekandung, seayah,seibu, serta nenek dari pihak ayah dan ibu.

Penjelasan tersebut merupakan perluasan dari ahli waris yang semula tidak disebutkan secara rinci seperti saudara laki-laki paman yang semula tidak dibedakan antara saudara laki-laki sekandung, seayah, seibu serta paman yang semula tidak disebutkan anaknya (ibn al-‘am) dalam daftar orang-orang yang berhak menjadi ahli waris.63

Mengenai siapa-siapa saja yang berhak memperoleh warisan dari pewaris berdasarkan cara penerimaan bi al-ashabah, bi al-fard dan bi al-rahm

tersebut, ulama tidak berbeda pendapat dalam hal ini, dalam arti mereka

62

Ibn Ruysd, Bidayat al- Mujtahid, (beirut : Dar al-fikr) Juz II, h. 254. 63

(50)

bersepakat dalam menentukan orang-orang yang tergolong dalam ahli waris. Dengan demikian, meskipun ulama sunni berbeda pendapat dalam beberapa hal ; namun dalam penentuan para ahli waris ini mereka secara consensus (ijma)

sependapat satu sama lain.

Lebih lanjut ulama mengatakan bahwa manakala semua ahli waris tersebut ada, maka ada empat ahli waris yang dipastikan akan selalu mendapatkan warisan. Mereka itu adalah, suami atau istri, anak, ayah, dan ibu.64 Keempat ahli waris ini tidak akan pernah terhijab oleh ahli waris siapapun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa merekalah ahli waris utama atau ahli waris langsung yang akan selalu diperioritaskan dalam memperoleh warisan. Hal ini bisa terjadi mengingat para ahli waris selain yang empat tersebut akan memperoleh warisan manakala diantara mereka seperti ayah dan anak laki-laki tidak ada, karena ayah dalam dokterin kewarisan yang ada bisa menutup saudara, kakek, paman, dan seterusnya, sedangkan anak laki-laki bisa menutup semua ahli waris selain ayah, ibu, suami atau istri, dan saudaranya baik laki-laki maupun perempuan. Dari adanya ahli waris utama dan langsung tersebut ditarik suatu ajaran dalm kewarisan yang dikenal dengan hajb (hajib dan mahjub) yang secara

a contrario dapat diartikan sebagai sistem penggantian ahli waris dalam hukum

64

(51)

waris Islam65. Dari ajaran hajb (hajib dan mahjub) tersebut dapat ditentukan mana ahli waris yang lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, sehingga dengan status kedekatannya tersebut dapat menutupi ahli waris yang lebih jauh. Ahli waris yang dihijab oleh ahli waris yang utama tersebut adalah mereka yang diantaranya dipertalikan dengan pewaris melalui orang-orang yang yang dapat menghijabnya. Anak laki-laki dapat menghijab semua ahli waris selain saudaranya dan keturunannya, ayah, ibu, dan suami atau istri. Ini berarti bahwa ahli waris lain anak laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dari anak laki-laki, dan semua ahli waris selain yang empat tersebut merupakan pengganti dirinya, karena mereka hanya bisa memperoleh harta pusaka apabila ia tidak ada. Hal serupa juga dapat dilihat dari otoritas ayah untuk menghijab saudara, kakek dan seterusnya yang juga dapat diartikan bahwa yang terhijab olehnya tersebut merupakan pengganti dari ayah. Disamping kedua ahli waris yang dapat menghijab ahli waris lainnya tersebut terdapat ahli waris lain yang juga mempunyai otoritas yang sama seperti ayah dan anak. Mereka adalah :

1. Anak laki-laki dari anak laki-laki sekandung dapat menghijab ahli waris yang berada dilevel bawahnya seperti ibn ibn al-ibn dan bint ibn al –ibn, saudara dan paman.

2. Saudara laki-laki sekandung dapat menghijab anaknya, anak saudaranya, saudara laki-laki seayah, dan paman.

65

(52)

3. Saudara laki-laki seayah dapat menghijab anaknya, anak saudaranya, dan paman.

4. Kakek bisa menghijab paman. Sedangkan anak kakek bersama-sama dengan saudara, ulama berbeda pendapat mengenai kewarisannya, ada yang mengatakan bahwa ia bisa menghijab saudara dan ada yang mengatakan tidak, tetapi ia bersama-sama dengan saudara menjadi ahli waris dari pewaris. Perbedaan tersebut terjadi karena Al-quran dan sunnah tidak menjelaskan prihal itu. Ulama yang mengatakan bahwa kakek menempati ayah sepenuhnya, dalam arti bisa menghijab saudara, karena kakek menurut mereka termasuk dalam kandungan kata ayah yang bisa diterjemahkan sebagai ayah dari ayah. Sedangkan yang tidak sependapat mengatakan bahwa antara kakek dan saudara sama-sama berada dalam satu garis, karena hubungan mereka masing-masing sama-sama melalui ayah,ini menunjukan bahwa kakek dan saudara mempunyai kekuatan yang sama dalam memperoleh hak waris.

5. Paman menghijab anak paman dan seterusnya.

6. Dua anak perempuan bisa menghijab cucu perempuan dari anak laki-laki, kecuali ia didampingi saudaranya yang laki-laki (akh mubarak).

7. Dua saudara perempuan sekandug bisa menghijab saudara perempuan seayah, kecuali ia didampingi saudaranya yang laki-laki (akh mubarak)

(53)

karena dalam hal ini ia memperoleh kewarisan melalui asabah maa’ al-ghair, sehingga dengan penerimaan asabah tersebut ia menghabiskan seluruh tirkah.

Menurut Syafi’iyah dan ulama mujtahid terdahulu, hak yang diterima oleh ahli waris pengganti bukanlah yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang digantikannya, dalam arti mereka tidak sepenuhnya menggantikan ahli waris yang menghubungkannya kepada pewaris, hal ini dapat dilihat dari contoh berikut:

a. Cucu laki-laki melalui anak laki-laki menerima warisan sebagaimana yang diterima oleh anak laki-laki; cucu perempuan melalui anak laki-laki menerima warisan sebagaimana yang diterima anak perempuan, tidak sebagaimana yang diterima anak laki-laki yang menghubungkan kepada pewaris.

b. Anak saudara menerima warisan sebagaimana anak saudara. Begitu juga paman, dan anak paman, ia menerima warisan sebagaimana hak dan kedudukannya sebagai ahli waris sendiri.

Mengenai cucu, dalam keadaan apapun, para ulama terdahulu menempatkannya sebagi cucu, bukan sebagai pengganti ayahnya, dan cucu yang dimaksud disini adalah khusus cucu laki dan perempuan melalui pancar laki-laki, hak kewarisan cucu melalui pancar laki-laki ini termasuk kedalam far’u

(54)
(55)

(istri), C (ayah), dan dua cucu laki-laki dari pancar laki-laki D dan E (yang orang tuanya telah meninggal mendahului A), maka penyelesaiannya sebagai berikut:

Asal masalah : 24 B : 1/8 x 24 = 3 C : 1/6 x 24 = 4

D dan E : asabah binafsihi : 24 – (3+4) = 17

Dari uraian di atas dapat kita cermati bahwa cucu-cucu melalui pancar laki-laki dapat mewarisi sebagaimana halnya anak laki-laki dan perempuan mewarisi dengan syarat tidak bersamaan dengan anak laki-laki, karena ia dapat menggugurkan hk waris cucu-cucu pancar laki-laki ini.

Adapun cucu perempuan dan laki-laki dari pancar perempuan termasuk kedalam kelompok zawil arham. Mereka terdiri dari garis lurus ke bawah, ke atas, ke samping pertama dan kedua yang dalam hubungannya dengan pewaris melalui perempuan, dan kerabat ketiga yaitu saudara kakek dan nenek. Tentang zawil arham ini para ulama berbeda pendapat, Hanafiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa zawil arham berhak atas tirkah jika tidak ada lagi zawil furud dan asabah.67 Syafi’iyyah dan Malikiyah berpendapat berpendapat bahwa zawil arham tidak dapat menerima tirkah, sisa tirkah diserahkan kepada

bait al-mal.68

67

Al-Syyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut, dar al-Fikr, 1983), juz III, h. 446 68

(56)

Dengan demikian cucu perempuan dan laki-laki dari pancar perempuan berhak mewarisi tirkah dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Jika tidak ada lagi ashab al-furud dan asabah.

b. Jika bersama salah seorang suami/istri, maka sisa harta yang tidak dapat diselesaikan dengan radditerimakan kepada mereka.

Hal ini diberikan kejelasan bagi kita bahwa zawil arham berhak tampil menjadi ahli waris jika tidak ada lagi zawil furud dan asabah. Karena itu, dalam kewarisan zawil arham ini juga kita menemukan proses penggantian ahli waris.

(57)

lebih dahulu yang menghubungkan dengan pewaris untuk ditempati kedudukannya.

Misalnya A meninggal, meninggalkan tirkah sejumlah 21 juta rupiah. Ahli warisnya (B) cucu perempuan dari pancar perempuan, dan (C) cucu laki-laki dari pancar perempuan. Maka penyelesaiannya adalah: B asabah bil al-ghair mendapat 1/3 dari 21 juta rupiah yaitu 7 juta rupiah, dan C asabah bi Al-ghair

mendapat 2//3 dari 21 juta yaitu 14 juta rupiah, karena derajat keduanya sama yaitu menggantikan kedudukan orang tuanya yang meninggal mendahului A sebagai kakek mereka.

Amir Syarifuddin menyebut cara yang dilakukan sebagian ulama ini ini hampir sama dengan cara pewarisan sistem penggantian menurut BW, yang disebut dengan kewarisan secara biijplaatsvervulling.69 Menurut Hazairin, hal ini disebut mewaris dengan cara mawali atau penggantian tempat. Dalam hal ini, ia mendasarkan argumentasinya kepada Al-Quran surat Al-Nissa; ayat 33.

B. Penggantian Ahli Waris dalam Kompilasi Hukum Islam

Mengingat persoalan yang menjadi kajian penulis adalah mencari landasan yurisprudensi bagi bentuk penggantian ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam, penulis secara legal formal dalam memberikan batasan ahli waris

69

(58)

pengganti akan merujuk kepada maksud yang dikandung oleh Kompilasi Hukum Islam tersebut.

Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam menyatakan:

1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.70

2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan.

Berdasarkan diktum pasal 185 ayat 1 tersebut dapat dipahami bahwa Kompilasi Hukum Islam secara tegas mendeklarasikan pengakuannya terhadap keberadaan ahli waris pengganti secara formal dan kuat, sehingga dengan penegasan tersebut, kedudukan ahli waris pengganti mendapat legalisasi secara penuh di mana ketentuan seperti itu tidak dijumpai dalam wacana hukum kewarisan Islam klasik. Hal ini terjadi mengingat konsepsi kewarisan Islam yang ada selama ini yang tertuang dalam kitb-kitab fikih tidak pernah menybutkan adanya ahli waris pengganti tersebut secara tersurat (explisit). Buku-buku tersebut selama ini hanya merupakan kelanjutan dari doktrin kewarisan yang mulai berlaku sejak awal Islam, yaitu sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan sesudahnya tanpa adanya perubahan terhadapnya. Hal tersebut beralasan

70

(59)

mengingat nas-nas yang berhubungan dengan persoalan waris telah memberikan penjelasan yang sangat rinci dan jelas, sehingga tidak diperlukan lagi penafsiran-panafsiran lain dari yang sudah ditentukan. Dengan kata lain dapat dikatakan, mengingat nas-nas tersebut telah memberikan penjelasan yang rinci, maka hal-hal yang tidak termasuk dalam penjelasan tersebut, tidaklah termasuk dalam golongan ahli waris.71

Prof. Wasit Aulawi dalam suatu seminar mengatakan bahwa tindakan penentuan ahli waris pengganti, merupakan suatu terobosan dalam rangka mengatasi ketimpangan dan ketidak adilan 72 di antara orang-orang yang satu sama lain mempunyai pertalian darah. Orang yang menjadi ahli waris pengganti tersebut juga mempunyai pertaliandarah dengan pewaris sebagaimana orang yang digantikannya (KHI. 171; c)

KHI dalam menentukan bagian yang bisa diterima oleh seorang ahli waris pengganti tidak membeda-bedakan keturunan orang yang digantikan baik ia laki-laki maupun perempuan, dalam arti bahwa keturunan anak perempuan yang meninggal lebih dahulu mempunyai hak yang sama dengan keturunan anak laki-laki yang meninggal lebih dahulu untuk menjadi ahli waris pengganti dalam mewarisa tirkah dari pewaris.

71

Said Muhammad al-Jalidi, Ahkam Miras wa Washiyyah fi syari’ah al-Islamiyyah, (Mansurat kulliyah al- Dakwah), h. 166-167

72

(60)

Maka dengan ungkapan, “ ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris...” dapat dipahami orang yang meninggal terlebih dahulu itu laki-laki bisa juga perempuan. Dalam ungkapan lain dapat dikemukakan bahwa keturunan anak perempuan mempunyai hak yang sama dengan keturunan anak laki-laki untuk menjadi ahli waris pengganti dari orang tuanya yang telah meninggaal terlebih dahulu.

Hal yang sama juga diberlakukan kepada ahli waris pengganti dari anak laki-laki dan ahli waris dari anak perempuan, dalam arti keturunan anak perempuan yang menggantikan ibunya meskipun ia laki-laki tidak akan menjadi asabah, karena kelaki-lakiannya, tetapi ia tetap sebagai penerima fard jika ibunya andaikata masih hidup ia menerima warisan dengan fard dan penerima asabah

(61)

Mengingat adanya kemungkinan ahli waris pengganti bisa melebihi bagian ahli waris pada level pertama (orang yang digantikan), KHI memberikan batasan agar ahli waris pengganti tersebut dalam memperoleh warisan tidak melebihi bagian orang yang sederajat dengan yang digantikannya (KHI, 185 :2). Berdasarkan ketentuan pasal 185 ayat 2 tersebut dapat di pahami bahwa hak untuk menggantikan orang yang lebih dahulu meninggal dunia, ahli waris pengganti tidaklah mempunyai hak yang mutlak, dalam arti bisa saja ia tidak sepenuhnya memperoleh hak yang semestinya akan diterima oleh yang ia gantikan. Peneta

Referensi

Dokumen terkait

BAB 4 KARAKTERISTIK DAS DAN HIDROGRAF BANJIR 4.1 Deskripsi Umum DAS di Daerah Penelitian 4.2 Karkateristik Morfometri DAS 4.3 Karkateristik Fraktal DAS 4.4 Karkateristik

PG Tasikmadu adalah satu dari sejumlah pabrik gula yang didirikan pada masa kolonial Hin dia Belanda dan masih bertahan hingga hari ini.. Seka rang, PG Tasikmadu berada dalam pe

Annisa Prima Exacta. Respons Mahasiswa Pendidikan Matematika Universitas Veteran Bangun Nusantara dalam Menyelesaikan Soal Logika Berdasar Taksonomi SOLO. Pembimbing

Dengan arti lain, kesimpulan Wilatikta menegaskan bahwa sistem pembelajaran daring tidak dapat atau sulit mengakomodir aspek pembelajaran selain kognitif, sehingga

Alat dinamometer ini dapat digunakan oleh kendaraan beroda empat maupun kendaraan beroda dua (sepeda motor) dan bersifat real time. Data yang didapatkan saat Snap shot

Dengan meningkatnya berat jenis pada batuan yang makin dalam letaknya, maka kadar besi  juga akan semakin meningkat, sehingga pada selubung bumi mempunyai kemungkinan

Fungsi keanggotaan (membership function) adalah suatu kurva yang menujukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaanya (sering juga disebut

Opini positif pada berita kejahatan pada tayangan patroli memberikan banyak manfaat di masyarakat seperti pada berita kejahatan memberikan tips atau saran untuk mencegah dan