• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana Korupsi Melalui Gratifikasi Seks (Tinjauan Hukum Pidana Islam Dan Hukum Pidana Positif)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tindak Pidana Korupsi Melalui Gratifikasi Seks (Tinjauan Hukum Pidana Islam Dan Hukum Pidana Positif)"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun oleh: JAJAT HIDAYAT NIM: 1110045100024

KONSENTRASI PIDANA ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i

MELALUI GRATIFIKASI SEKS (Tinjauan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif). Konsentrasi Kepidanaan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 1435 H/ 2014 M. vi + 94 halaman + 4 lampiran.

Dalam penelitian skripsi ini masalah utamanya yaitu pandangan masyarakat yang menganggap bahwa perbuatan gratifikasi seks belum diatur dalam undang-undang dan adanya ketidakjelasan terkait kedudukan hukum perbuatan gratifikasi seks. Dengan demikian, skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan status atau kedudukan hukum serta sanksinya bagi perbuatan gratifikasi seks dalam pandangan hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif (undang-undang).

Penelitian ini mengguanakan metode kualitatif yang menekankan pada makna, penalaran dan definisi suatu situasi tertentu. Pengumpulan data dilakukan dengan metode normatif-empiris, yakni penelitian hukum yang menggunakan sumber data primernya merupakan norma-norma yang berlaku, yaitu KUHP dan Peraturan Perundang-undangan. Dan studi empiris dengan melakukan wawancara kepada lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi. Setelah itu penulis menganalisis dari perbandingan hukum dalam perspektif hukum pidana Islam dan hukum pidana positif dengan mencari status hukum antara keduanya.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perbuatan gratifikasi seks termasuk dalam tindak pidana korupsi, karena perbuatan tersebut terakomodir dalam peraturan perundang-undangan dan pelakunya bisa dijerat UU Tipikor sepanjang memenuhi unsur-unsurnya. Dalam hukum pidana Islam pun secara tegas melarang perbuatan gratifikasi seks, karena termasuk dalam jarimah risywah dengan cara jarimah zina.

Kata Kunci : Tindak Pidana Korupsi, Gratifikasi Seks, Klasifikasi korupsi. Pembimbing : Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, M. Ag.

(7)

ii

panjatkan atas segala rahmat dan karunianya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tak lupa pula Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada baginda alam yakni Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman kebodohan hingga zaman yang penuh dengan pengetahuan ini.

Skripsi yang berjudul “Tindak Pidana Korupsi Melalui Gratifikasi Seks (Tinjauan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada program studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Jinayah Siyasah (Kepidanaan Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dengan segala kerendahan hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya penulisan skripsi ini, tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karenanya dalam kesempatan yang berharga ini perkenankan penulis untuk menyampaikan rasa terimakasih yang tulus kepada yang terhormat :

(8)

iii

atas pemberian motivasi dan solusi dalam kepentingan akademik maupun sosial.

3. Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, M. Ag., selaku dosen pembimbing skripsi ini. Terimakasih atas waktu dan ilmu yang telah diberikan. Semoga bisa bermanfaat sepanjang masa.

4. Febri Diansyah, S.H., selaku staf Direktorat Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi. Terimakasih atas waktunya dalam memberikan pandangan dan gagasan dalam penelitian ini.

5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.

6. Segenap Pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta atas pelayanan referensi buku-bukunya.

7. Orang tua penulis, Bapak Mursid, S. Pd.I dan Umi Nurhayati, d a n A m b u ( n e n e k ) R u s . penulis memohon maaf untuk segala macam perilaku penulis yang tidak berkenan di hati, penulis juga haturkan terima kasih yang teramat sangat atas cinta, kasih dan sayangnya, karena telah merawat dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.

(9)

iv

9. Saudara sekaligus guru ngaji, yakni KH. Purwa beserta keluarganya. Terimakasih atas semangat dan dorongan dalam mencari ilmu.

10.Dulur-dulur Himpunan Mahasiswa Bogor (HIMABO). Terimakasih atas pengalaman berorganisasi yang penuh dengan kebudayaan silih asih, silih asah serta silih asuh.

11.Sahabat/i Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Terimakasih telah memberikan pengalaman berorganisasi.

12.Brother Boyband. Terimakasih atas solidaritasnya yang selalu menemani dalam keadaan susah maupun senang, juga teman-teman kelas jurusan pidana islam yang telah memberikan keceriaan selama kuliah.

13.Riska Rizkiana. Terimakasih banyak atas partisipasi dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini dengan penuh cinta dan kasih sayang. Juga kawan-kawan alumni SMAN 1 Cigudeg.

Jakarta, Juni 2014

(10)

v

A. Latar Belakang Masalah……….………1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah………8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...9

D. Review Studi Terdahulu………10

E. Kerangka Teori………...12

F. Metode Penelitian………..14

G. Sistematika Penulisan………16

BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi………18

B. Pembagian Tindak Pidana Korupsi ………...22

C. Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi………....30

D. Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi………55

BAB III: TINDAK PIDANA GRATIFIKASI DALAM UNDANG-UNDANG TIPIKOR DAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Pengertian Gratifikasi………..………..…………..57

B. Perbedaan Suap dan Gratifikasi………60

(11)

vi

A. Pengertian Gratifikasi Seks………72 B. Kedudukan Hukum Gratifikasi Seks……….74 C. Sanksi Gratifikasi Seks………..81

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan………87

B. Saran………..88

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah korupsi bermula sejak awal kehidupan manusia bermasyarakat, yakni pada saat organisasi masyarakat yang rumit mulai muncul, manusia direpotkan oleh gejala korupsi paling tidak selama beberapa ribu tahun. Intensitas korupsi berbeda-beda pada waktu dan tempat yang berlain-lainan. Seperti gejala kemasyarakatan lainnya, korupsi banyak ditentukan oleh berbagai faktor. Catatan kuno mengenai masalah ini menunjuk pada penyuapan terhadap para hakim dan tingkah laku para pejabat pemerintah. Dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani dan Romawi Kuno, korupsi seringkali muncul ke permukaan sebagai masalah. Hammurabi dari Babilonia, yang naik tahta sekitar tahun 1200 SM memerintahkan kepada seorang gubernur provinsi untuk menyelidiki satu perkara penyuapan.1

Sementara sejak Negara Republik Indonesia berdiri, pada masa revolusi fisik (1945-1950), korupsi sudah dilakukan orang. Memang pada masa itu tak terdengar ada orang yang diseret ke pengadilan karena korupsi, namun dalam roman-roman Pramoedya Ananta Toer (Di Tepi kali Bekasi) dan Mochtar Lubis (Maut dan Cinta), kita baca tentang orang-orang yang mengambil keutungan dari kekayaan negara bagi dirinya sendiri ketika yang lainnya berjuang

1

(13)

mempertaruhkan nyawa merebut kemerdekaan bangsa dan negara.2 Lambat laun di pemerintahan Indonesia, Perangkat Undang-Undang anti korupsi mulai diterapkan, namun upaya pemberantasannya tidak mudah dan banyak mengalami hambatan. Kendati demikian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam beberapa tahun terakhir ini semakin gencar melakukan pemantauan dan penangkapan terhadap para pejabat yang melakukan tindakan korupsi, hasilnya dapat dikatakan signifikan karena sudah banyak pejabat negara yang di vonis penjara. Benang kusut jaringan korupsi benar-benar telah terajut diseluruh sektor kehidupan, dari istana sampai pada tingkat kelurahan bahkan RT. Korupsi telah menjangkiti birokrasi dari tingkat teratas hingga terbawah.3

Dalam konteks yang komprehensif, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa korupsi merupakan white collar crime (Kejahatan Kerah Putih) dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai invisible crime (kejahatan gaib) yang sangat sulit memperoleh prosedural pembuktiannya, karena seringkali memerlukan “pendekatan sistem” (systemic approach) terhadap pemberantasannya.4 Menurut Helbert Edelherz istilah white collar crime (Kejahatan Kerah Putih) ialah suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal yang dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus/ terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta

2

Ajip Rosidi, Korupsi dan Kebudayaan, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, Cet. Pertama, 2006), Hal. 24

3

M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, (Jakarta: Amzah, 2012), Hal. xvii

4

(14)

menghindari pembayaran/ pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis/ keuntungan pribadi.5

Pembagian tindak pidana korupsi dalam UU No. 31/1999 Jo. UU No. 20/2001 tersebut dirumuskan dalam pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 15, 16, 21, 22, 23 (menarik pasal 220, 231, 421, 422, 430 KUHP), dan 24. Dari pasal-pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi lima rumusan dasar, yaitu Pertama, atas dasar substansi objek tindak pidana korupsi meliputi korupsi murni

dan tidak murni. Kedua, atas dasar subjek hukum tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi umum dan tindak pidana korupsi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ketiga, atas dasar sumbernya dari KUHP dan UU. Keempat, atas dasar tingkah laku atau perbuatan dalam rumusan tindak pidana, yang meliputi aktif dan pasif. dan Kelima, atas dasar dapat tidaknya merugikan keuangan dan atau perekonomian negara.6 Dari berbagai pola dan bentuk korupsi, sedikitnya terdapat tujuh macam korupsi, yaitu korupsi transaksional, korupsi yang bersifat memeras, korupsi yang bersifat ontogenik, korupsi defensif, korupsi yang bersifat investasi, korupsi yang bersifat nepotisme, dan korupsi suportif.7 Jika kita analisa lebih

5

Ermnasyah Djaja, Korupsi Bersama KPK, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kedua, 2009), Hal. 8

6

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Bayumedia Publishing, Cet. Pertama, 2005), Hal. 19-30

7

(15)

lanjut, esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang menghianati kepercayaan.8

M. Nurul Irfan menegaskan bahwa dalam hukum pidana Islam sekurang-kurangnya terdapat sembilan jenis jarimah (tindak pidana) yang mendekati terminologi korupsi di zaman sekarang, yaitu: ghulul (penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil paksa hak/ harta orang lain), khianat, sariqah (pencurian), al-hirabah (perampokan), al-maks (pungutan liar), al-ikhtilas (pencopetan), dan al-ihtihab (perampasan) .9

Menurut Syed Hussain Alatas salah satu sabab musabab korupsi ialah bertambahnya pegawai negeri dengan cepat, dengan akibat gaji mereka menjadi sangat kurang. Hal ini selanjutnya mengakibatkan perlunya pendapatan tambahan. Dengan bertambahnya pegawai negeri maka bertambah pula luasnya kekuasaan dan kesempatan birokrasi, dibarengi dengan lemahnya pengawasan dari atas dan pengaruh partai politik, menyediakan tanah subur bagi korupsi.10 Selain itu adanya sistem penyeleggaraan negara yang keliru, mayoritas pejabat negaranya serakah, dan budaya masyarakat yang kondusif KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).11 Sehingga semakin berkembangnya perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada korupsi, maka semakin berkembang pula berbagai cara untuk melancarkan aksi korupsi termasuk suap dengan cara memberikan pelayanan

8

Syed Hussain Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, Hal. viii 9

M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 78 10

Syed Hussain Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, Hal.122 11

(16)

wanita atau hadiah berupa seks (gratifikasi seks). Yakni, menggunakan wanita sebagai cara untuk memenangi berbagai tender dalam pengadaan barang dan jasa serta berbagai macam perjanjian.12

Dalam hukum positif, perbuatan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman

tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,

pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang

diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan

menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.13 Sedangkan

gratifikasi seks, di negeri ini sebenarnya telah menjadi rahasia umum. Menjadi sesuatu yang lazim dilakukan pengusaha, kontraktor kepada pegawai negeri, pejabat penyelenggara negara. Pemberian hadiah yang satu ini bagi pegawai negeri, pejabat atau penyelenggara negara, jauh lebih menarik dari pada hadiah lainnya. Menjadi titik lemah setiap pegawai negeri, pejabat penyelenggara negara setelah menikmati hadiah yang satu ini. Lazimnya perilaku buruk ini terjadi saat ada kunjungan kerja, peninjauan lapangan, rapat-rapat yang dilakukan di luar kota atau kegiatan lainnya.14

12

Jamal Wiwoho, Menyoal Gratifikasi Seks dalam Tindak Pidana Korupsi, Media Indonesia, diakses pada 07 Februari 2013 dari: http//jamalwiwoho.com/2013/02/07/menyoal-gratifikasi-seks-dalam-tindak-pidana-korupsi.php

13

Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Cet. Pertama, 2010), Hal. 3

14

(17)

Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Ganjar Laksamana Bondan, mengatakan gratifikasi seks yang marak terungkap dalam kasus korupsi hanya sebagai layanan tambahan yang diberikan oleh pihak penyuap kepada pejabat negara. Dia menilai gratifikasi seks jarang diberikan sebagai menu suap utama penyelenggara negara. Sifatnya hanya tambahan, bukan yang utama. Fenomena gratifikasi seks bukan hal baru, dan tidak sulit untuk dibuktikan, karena aturan untuk menjerat pelaku juga sudah ada karena sifatnya sama saja seperti gratifikasi pada umumnya.15

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan keberhasilannya dalam penanganan kasus korupsi pada tahun ini. Namun KPK mengakui belum pernah menangani kasus terkait gratifikasi seks dalam kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK. Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto dalam jumpa pers di gedung KPK mengatakan: “kasus di CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau) akan menjadi contoh kasus, kita mau tiru itu”. CPIB merupakan lembaga

serupa KPK dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Singapura. Tokoh yang kerap disapa BW ini menambahkan KPK telah menjalin komunikasi dengan CPIB untuk membahas masalah gratifikasi seks. Pasalnya CPIB pernah menangani dan menjerat pelaku korupsi dengan gratifikasi seks. Pembahasan ini perlu dilanjutkan antar dua lembaga tersebut dengan melakukan diskusi mendalam

15

Tempo.co, “Gratifikasi Seks Menjadi Pelengkap Suap”, diakses pada Sabtu, 22 Juni 2013 Sabtu, 22 Juni 2013 dari

(18)

dan seminar lebih lanjut untuk membicarakan khusus tentang masalah gratifikasi seks. KPK juga sudah berkomunikasi dengan negara lainnya.16

Dalam hukum Islam, istilah gratifikasi itu termasuk kedalam risywah, yang mempunyai nama, sebutan, istilah dan model bervariasi. Ada modelnya berbentuk hadiah, bantuan, balas jasa, uang perantara, komisi dan lain-lain mungkin sampai ratusan istilah, akan tetapi semua itu pada hakikatnya sama yakni bermuara pada substansi risywah yang keji dan pelakunya dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.17 Dalam hal pemberian hadiah berupa seks tentunya Islam pun secara tegas melarangnya. Menurut M. Abduh Malik (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) gratifikasi seks dalam hukum Islam termasuk ke dalam jarimah zina.18 Karena setiap hubungan kelamin di luar nikah sebagai zina dan diancam dengan hukuman, baik pelaku sudah kawin atau belum kawin, dilakukan dengan suka sama suka atau tidak.19

Berdasarkan hal-hal di atas, permasalahan tindak pidana korupsi yang seiring berkembangnya perbuatan yang belum secara jelas terperinci dalam Perundang-undangan, karna kondisi saat ini masyarakat menganggap bahwa

16

Republika Online, “Ungkap Gratifikasi Seks, KPK Akan Kerjasama dengan Singapura”, diakses pada Senin, 30 Desember 2013 dari

http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/12/30/mymjxa-ungkap-gratifikasi-seks-kpk-akan-

17

Abu Fida’ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafs, Hal. 11 18

Hasil diskusi mata kuliah Muqaranah Madzahib Fiqh Fil Jinayah pada selasa, 26 November 2013

19

(19)

gratifikasi seks itu tidak sepenuhnya tertuang dalam Undang-undang. Kalaupun gratifikasi seks ini secara umum diakomodir dalam pasal 12b UU No.31/1999 Jo. UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan arti “Pemberian Hadiah berupa barang atau jasa atau fasilitas lainnya”, maka

tuduhan-tuduhan yang mengarah kepada pelayanan seks seperti Antasari Azhar, dan Lutfi Hasan Ishaq seharusnya diadili, bukan hanya suap berupa uang saja yang diadili. Dengan kondisi yang masih absurd ini penulis merasa kesal terhadap penegak hukum yang masih kurang berani mengambil keputusan, maka penulis beranjak untuk mengkaji tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap dengan cara memberikan hadiah berupa jasa pelayanan seksual, dengan judul “TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI GRATIFIKASI SEKS (Tinjauan Hukum

Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

(20)

2. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Apakah perbuatan gratifikasi seks termasuk ke dalam Tindak Pidana Korupsi?

b. Bagaimanakah kedudukan hukum perbuatan Gratifikasi Seks dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif?

c. Bagaimanakah sanksi bagi pelaku perbuatan Gratifikasi Seks?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan, yaitu sebagai berikut:

a) Untuk menjelaskan aturan hukum perbuatan gratifikasi seks. b) Untuk menjelaskan secara eksplisit tentang kedudukan hukum

perbuatan gratifikasi seks baik dalam hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif.

(21)

2. Manfaat Penelitian

Secara teori, manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman secara eksplisit tentang perbuatan korupsi dengan cara menerima hadiah berupa jasa seksual dan juga memberikan penjelasan mendalam status kedudukan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam mengenai hadiah berupa jasa pelayanan seksual bagi masyarakat maupun pemerintah.

Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan kontribusi bagi pemerintah dalam upaya menangani kasus-kasus korupsi yang berkaitan dengan perbuatan penerimaan hadiah berupa jasa pelayanan seksual.

D. Review Studi Terdahulu

Dalam tinjauan (review) kajian terdahulu, penulis mereview beberapa skripsi terdahulu yang berhubungan dengan kasus korupsi suap-menyuap dan penerimaan hadiah kepada pejabat. Berikut skripsi dan buku yang berkaitan dengan penelitian korupsi:

(22)

2) Skripsi Efin Fardho, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006 yang berjudul “Pemberian hadiah sebagai modus Tindak Pidana Korupsi Pejabat (Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang No. 20 tahun 2001)”.

3) Skripsi Wahib Zain, Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2010 yang berjudul “Tindak Pidana Suap (Studi Perbandingan UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Hukum Pidana Islam)”. Skripsi ini menggambarkan perbandingan hukum suap-menyuap dari dua sisi, yakni hukum pidana positif dan hukum pidana islam.

4) Buku karya Muhammad Nurul Irfan yang berjudul “Korupsi dalam Hukum Pidana Islam” yang diterbitkan oleh Amzah pada tahun 2012. Buku tersebut menjelaskan tentang perbandingan hukum korupsi dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.

(23)

E. Kerangka Teori

Istilah kata korupsi berasal dari satu kata bahasa latin, yakni

corupptio atau corruptus yang disalin dalam bahasa Inggris mejadi

corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis menjadi corruption dan

dalam bahasa Belanda disalin menjadi corruptie (korruptie). Asumsi kuat menyatakan bahwa dari bahasa belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi. Arti harfiah dari kata korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.20 Sedangkan berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999, dalam pasal 2 ayat (1) definisi korupsi ialah Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.21

Sementara gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik

20

M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Hal. 33 21

(24)

yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.22

M. Nurul Irfan menegaskan bahwa dalam hukum pidana Islam sekurang-kurangnya terdapat sembilan jenis jarimah (tindak pidana) yang mendekati terminologi korupsi di zaman sekarang, yaitu: ghulul (penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil paksa hak/ harta orang lain), khianat, sariqah (pencurian), al-hirabah (perampokan),

al-maks (pungutan liar), al-ikhtilas (pencopetan), dan al-ihtihab

(perampasan) .23

Perbuatan suap-menyuap dan gratifikasi (risywah) merupakan perbuatan yang keji dan pelakunya dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya,24 Apalagi objek perbuatan tersebut berupa pelayanan seksual, Islam dengan sangat tegas melarangnya, karena setiap hubungan kelamin di luar nikah termasuk perbuatan zina dan diancam dengan hukuman, baik pelaku sudah kawin atau belum kawin, dilakukan dengan suka sama suka atau tidak.25

22

Penjelasan pasal 12B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

23

M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 78 24

Abu Fida’ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafs, Hal. 11 25

(25)

F. Metode Penelitian

Metode penelitan bermakna suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.26 maka metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu dan lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.27

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data primernya merupakan norma-norma yang berlaku, baik berupa KUHP, Peraturan Perundang-undangan, dan jurisprudensi dan studi empiris dengan melakukan wawancara28 untuk melengkapi data.

26

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), Hal. 5

27

Iskandar, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), Hal. 11 28

(26)

3. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu mengumpulkan data, menjelaskan, dan menguraikan data yang diperoleh berkaitan dengan pokok bahasan kemudian dianalisis.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan teknik normatif-empiris, yaitu dengan mendapatkan sumber data dari norma hukum dan wawancara. Tentunya dalam penelitian terdapat sumber data Primer dan sekunder, diantaranya:

a. Data Primer

Data primer penelitian ini diperoleh dari Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan wawancara dari pihak lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi.

b. Data Sekunder

(27)

5. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan terlebih dahulu penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan. Kemudian mendeskripsikan definisi korupsi dan ruang lingkupnya dari segi hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.

Dari hasil penelitian korupsi dari aspek hukum pidana positif dan hukum pidana Islam, kemudian penulis menganalis keterkaitan gratifikasi seks dari kedua aspek hukum tersebut dengan mencari kedudukan hukumnya yang disandingkan dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

G. Sistematika Penulisan

(28)
(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI

1. PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Secara harfiah, “tindak pidana korupsi” berasal dari kata “tindak pidana” dan kata “korupsi”. Tindak pidana merupakan istilah teknis-yuridis dari bahasa belanda “stafbaar feit” atau delict dengan pengertian sebagai sebuah perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya.29 Sedangkan kata korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Misalnya dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt dalam bahasa Prancis menjadi corruption dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah coruptie (korruptie). Agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam bahasa Belanda. Corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa Belanda itu mengandung arti perbuatan korup, penyuapan. Secara harfiah istilah kata tersebut berarti segala macam perbuatan yang tidak baik, seperti yang dikatakan Andi Hamzah sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.30

29

Marwan Effendy, Korupsi dan Strategi Nasional, pencegahan serta pemberantasannya, (Jakarta: Referensi, 2013), Hal. 13

30

(30)

Robert Klitgaard mengatakan bahwa korupsi itu ada manakala seseorang secara tidak halal meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat, serta cita-cita yang menurut sumpah akan dilayaninya.31

Dalam black’s law dictionary, Henry Campbell memposisikan korupsi sebagai “suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain”.32

Istilah korupsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia baru dikenal kali pertama dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 april 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 (BN No. 40 Tahun 1958) yang diberlakukan pula bagi penduduk wilayah kekuasaan angkatan laut melalui surat keputusan Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/I/7 tanggal 17 april 1958. Peraturan ini memuat peraturan mengenai korupsi yang pertama kali di Indonesia. Peraturan Perundang-undangan pada zaman Hindia Belanda termasuk HvS Hindia Belanda (KUHP) juga tidak dijumpai istilah korupsi. Dalam Peraturan Penguasa Perang tersebut tidak dijelaskan mengenai pengertian istilah

31

Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), Hal. xix

32

(31)

korupsi, tetapi hanya dibedakan menjadi korupsi pidana dan korupsi lainnya. setelah itu Peperpu tahun 1958 digantikan oleh Peperpu No. 24 Tahun 1960.33

Undang-undang No. 24/Prp/1960 berlaku sampai tahun 1971, setelah diundangkannya undang-undang pengganti yakni Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 pada tanggal 29 Maret 1971. Baik pada waktu berlakunya UU No. 24/Prp/1960 di era Orde Lama maupun pada waktu berlakunya UU No. 3 Tahun 1971 pada era Orde Baru, kedua pemerintahan ternyata juga tidak mampu berbuat banyak dalam memberantas korupsi di Indonesia. Kini telah lahir Orde Reformasi yang tampaknya sama seperti Orde Baru, yang juga tidak berbuat banyak dalam mengurangi korupsi yang menggerogoti negara. Selain itu juga selalu menyalahkan perangkat hukumnya (UU), kata mereka undang-undangnya yang tidak sempurna, tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Pernyataan tersebut sering digunakan sebagai alasan penyebab ketidakmampuan pemerintah dalam memberantas korupsi di Indonesia. Oleh karena itu pada tahun 1999 yang lalu diundangkanlah undang-undang yang dianggap lebih baik, yakni Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai pengganti Undang-Undang No. 31 tahun 1999. Kemudian pada tanggal 27 Desember 2002 telah dikeluarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni suatu lembaga negara independen yang akan berperan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.34

33

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 3 34

(32)

Dalam hukum positif, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/ jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/ jenis tindak pidana korupsi tersebut perinciannya adalah Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d, Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g, Pasal 12 huruf h, Pasal 12 huruf i, Pasal 12 B jo. Pasal 12 C dan Pasal 13.35

Menurut M. Nurul Irfan, dalam hukum pidana Islam sekurang-kurangnya terdapat sembilan jenis jarimah (tindak pidana) yang mendekati terminologi korupsi di zaman sekarang, yaitu: ghulul (penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil paksa hak/ harta orang lain), khianat, sariqah (pencurian),

al-hirabah (perampokan), al-maks (pungutan liar), al-ikhtilas (pencopetan), dan

al-ihtihab (perampasan) .36

35

Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006), Hal. 15

36

(33)

2. PEMBAGIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HUKUM

PIDANA POSITIF

Pembagian tindak pidana korupsi dalam UU No. 31/1999 Jo. UU No. 20/2001 tersebut dirumuskan dalam pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12b, 13, 15, 16, 21, 22, 23 (menarik pasal 220, 231, 421, 422, 430 KUHP), dan 24. Dari pasal-pasal tersebut Adami Chazawi mengatakan ada 44 rumusan tindak pidana korupsi yang atas dasar-dasar tertentu dapat dibedakan dan dikelompokkan menjadi lima rumusan dasar sebagai berikut:

A. Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi

Atas dasar substansi objeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:

1) Tindak Pidana Korupsi murni

(34)

2) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni

Tindak pidana korupsi tidak murni adalah tindak pidana korupsi yang substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang dimaksudkan di sini hanya diatur dalam tiga pasal, yakni pasal 21, 22 dan 24.37

B. Atas Dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi

Atas dasar subjek hukum atau si pembuatnya, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sebagai berikut:

1) Tindak Pidana Korupsi Umum

Tindak pidana korupsi umum adalah bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan pada setiap orang termasuk korporasi. Yaitu pasal 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22, 24 dan pasal 220 dan 231 KUHP jo pasal 23.

2) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggara

Negara

37

(35)

Tindak pidana korupsi pegawai negeri atau tindak pidana korupsi pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara. Artinya, tindak pidana yang dirumuskan itu semata-mata dibentuk untuk pegawai negeri atau penyelenggara negara. Rumusannya terdapat dalam pasal 8, 9, 10, 11, 12, 12B dan 23 (mengadopsi pasal 421, 422, 429, 430 KUHP). Tindak pidana korupsi ini disebut sebagai kejahatan jabatan khusus. Sedangkan kejahatan jabatan umum ditempatkan dalam pasal-pasal Bab XXVIII Buku II KUHP yang tidak ditarik atau dirumuskan kedalam tindak pidana korupsi. 38

C. Atas Dasar Sumbernya

Atas dasar sumbernya tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan menjadi dua sebagai berikut:

1) Tindak Pidana Korupsi yang bersumber pada KUHP yang dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

 Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001. Pasal ini bersumber dari rumusan tindak pidana dalam KUHP yang formula rumusannya agak berbeda dengan KUHP, tetapi substansinya sama.

38

(36)

 Pasal 23 yang merupakan saduran dari pasal 220, 231, 421, 422,

429, dan 430 KUHP yang hanya mengubah ancaman dan sistem pemidanaannya.

2) Tindak Pidana Korupsi oleh UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 yang dirumuskan sendiri sebagai tindak pidana korupsi. Sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2, 3, 12B, 13, 15, 16, 21, 22 dan 24.

D. Atas Dasar Tingkah Laku/ Perbuatan dalam Rumusan Tindak Pidana

Dilihat dari sudut unsur tingkah laku dalam rumusan tindak pidana, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan antara tindak pidana korupsi aktif dan tindak pidana korupsi pasif.39

1) Tindak Pidana Korupsi Aktif

Tindak pidana korupsi aktif atau positif ialah tindak pidana yang dalam rumusannya mencantumkan unsur perbuatan aktif. Perbuatan aktif atau perbuatan materiil yang yang bisa disebut juga perbuatan jasmani yaitu untuk mewujudkan diperlukan gerakan tubuh atau bagian dari tubuh orang. Tindak pidana korupsi aktif ini terdapat dalam beberapa pasal berikut:40

1. Pasal 2 yang perbuatannya memperkaya (diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi).

39

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 24-25 40

(37)

2. Pasal 3 yang perbuatannya menyalahgunakan wewenang, menyalahgunakan kesempatan, dan menyalahgunakan sarana. 3. Pasal 5

 ayat (1) sub a perbuatannya (a) memberi sesuatu; (b)

menjanjikan sesuatu; dan  ayat (1) sub b memberi sesuatu

 ayat (2) Perbuatannya menerima pemberian.

4. Pasal 6:

 ayat (1) sub a dan b perbuatan materiilnya (a) memberi

sesuatu, atau (b) menjanjikan sesuatu;

 ayat (2) perbuatannya (a) menerima pemberian atau (b)

menerima janji.

5. Pasal 7 ayat (1) sub a dan b melakukan perbuatan curang. 6. Pasal 8 perbuatannya menggelapkan.

7. Pasal 9 perbuatannya memalsu. 8. Pasal 10

 sub a perbuatannya (1) menggelapkan, (2) menghancurkan,

dan (3) membuat tidak dapat dipakai;  sub b perbuatannya membantu orang lain.41

41

(38)

9. Pasal 11 perbuatannya (1) menerima hadiah, atau (2) menerima janji.

10.Pasal 12:

 sub a, b, c, dan d perbuatannya (a) menerima hadiah atau

(b) menerima janji.

 sub e perbuatannya (1) memaksa memberikan sesuatu, (2)

memaksa meminta, (3) memaksa menerima pembayaran dengan potongan.

 sub f perbuatannya (1) meminta pembayaran, (2) menerima

pembayaran, atau (3) memotong pembayaran.

 sub g perbuatannya (1) meminta pekerjaan atau

pembayaran, atau (2) menerima pembayaran atau pekerjaan.

 sub h perbuatannya menggunakan tanah negara.

 sub i perbuatannya turut serta dalam pemborongan,

pengadaan, atau persewaan.

11.Pasal 12B perbuatannya menerima gratifikasi.

12.Pasal 13 perbuatannya (a) memberi hadiah atau (b) memberi janji. 13.Pasal 15 perbuatannya (a) percobaan, (b) pembantuan dan (c)

permufakatan jahat.

14.Pasal 16 perbuatannya memberikan bantuan.42

42

(39)

15.Pasal 21 perbuatannya (a) mencegah, (b) merintangi, atau (c) menggagalkan.

16.Pasal 22 perbuatannya (a) tidak memberikan keterangan atau (b) memberikan keterangan.

17.Pasal 220 KUHP perbuatannya (a) memberitahukan atau (b) mengadukan.

18.Pasal 231 KUHP:

 ayat (1) perbuatannya menarik suatu barang;

 ayat (2) perbuatannya (a) menghancurkan, (b) merusak,

atau (c) membikin tidak dapat dipakai;  ayat (3) perbuatannya melakukan kejahatan.

19.Pasal 421 KUHP perbuatannya (a) memaksa untuk melakukan, (b) memaksa untuk tidak melakukan, atau (c) memaksa untuk membiarkan.

20.Pasal 422 KUHP perbuatannya menggunakan sarana dengan paksaan.

21.Pasal 429 KUHP:

 ayat (1) perbuatannya memaksa masuk;

 ayat (2) perbuatannya (a) memeriksa atau (b) merampas.43

22.Pasal 430 KUHP:

43

(40)

 ayat (1) perbuatannya merampas;

 ayat (2) perbuatannya menyuruh memberikan keterangan.

2) Tindak Pidana Korupsi Pasif

Tindak pidana korupsi pasif ialah tindak pidana yang unsur tingkah lakunya dirumuskan secara pasif. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pasif itu adalah tindak pidana yang melarang untuk tidak berbuat aktif. Tindak pidana pasif korupsi terdapat dalam pasal-pasal berikut:

1. Pasal 7 ayat (1) sub b, d, dan ayat (2) yang membiarkakn perbuatan curang.

2. Pasal 10 sub b perbuatannya membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat hingga tidak dapat dipakai.

3. Pasal 23 jo 231 KUHP perbuatan pasifnya membiarkan dilakukan salah satu kejahatan itu.

4. Pasal 24 perbuatanya tidak memenuhi ketentuan.44

E. Atas Dasar Dapat tidaknya Merugikan Keuangan atau Perekonomian

Negara

Atas dasar seperti ini tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (a) tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan atau

44

(41)

perekonomian negara dan (b) tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian negara. Haruslah dipahami bahwa tindak pidana korupsi yang dapat membawa kerugian negara pada sub (a) tersebut bukanlah tindak pidana materiil, melainkan tindak pidana formil. Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna tidak perlu menunggu timbulnya kerugian negara. Asalkan dapat ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian negara, maka perbuatan tersebut sudah dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.45

3. KLASIFIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI

1. Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Pidana Positif

Dalam hukum pidana positif, klasifikasi tindak pidana korupsi adalah rumusan tindak pidana korupsi yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal-pasal UU No. 31/1999 yang diubah dengan UU No. 20/2001. Berikut klasifikasi tindak pidana korupsi dalam Hukum Pidana Positif:

A. Tindak Pidana Korupsi yang Merugikan Keuangan Negara (Pasal 2

& pasal 3)

Unsur-unsur delik pada pasal 2 adalah sebagai berikut:

a. Perbuatannya: memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi b. Dengan cara melawan hukum

45

(42)

c. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.46

Unsur-unsur delik pada pasal 3 adalah sebagai berikut:

1) Unsur Objektif

a. Perbuatannya: menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana b. Yang ada padanya: karena jabatan atau kedudukan

c. Yang dapat merugikan: keuangan negara atau perekonomian negara 2) Unsur Subjektif

d. Dengan tujuan: Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi47

Dalam substansi pasal 2 dan pasal 3 tersebut yang dimaksud kekayaan atau perekonomian Negara ialah kekayaan berada dalam penguasaan pengurusan pertanggungjawaban pejabat Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah dan berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN dan BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.48

B. Tindak Pidana Penyuapan (Pasal 5, 6, 11, 12 Huruf a, b, c dan d dan

Pasal 13)

46

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 34-35 47

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 48-49 48

(43)

Secara konseptual suap di artikan sebagai pemberian hadiah atau janji pada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya. Secara normatif tindak pidana suap diatur dalam ketentuan pasal 5, 6, 11, 12 huruf a, b, c dan d serta pasal 13 berikut penjelasnnya:49

1. Suap pada Pegawai Negeri (Pasal 5)

Tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal 5 tersebut dalam praktik diberi kualifikasi dengan “suap aktif” (aktive omkooping). Rumusan ini diadopsi dari pasal 209 KUHP, oleh karena ini diadopsi dari KUHP maka pasal 209 telah dinyatakan tidak berlaku. Rumusan pasal 5 ini telah jelas perbedaannya dengan pasal 209 KUHP. Menurut Adami Chazawi, dalam pasal 209 KUHP unsur maksud dari perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu ditujukan untuk menggerakkan yakni mempengaruhi batin orang lain (pegawai negeri) tidak dimuat, akan tetapi dalam pasal 5 UU No. 20/2001 maksud (bukan lagi ditujukan untuk menggerakkan pegawai negeri), tetapi ditujukan agar pegawai negeri berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya.50

1. Unsur delik pasal 5 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut:

Unsur objektif

a. Perbuatannya: memberi atau menjanjikan (sesuatu)

49

Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 125 50

(44)

b. Objeknya:sesuatu

c. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

Unsur Subjektif

d. dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

2. Unsur delik pasal 5 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut:

a. Perbuatannya: memberi (sesuatu) b. Objeknya: sesuatu

c. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

d. dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

3. Unsur delik pasal 5 ayat (2) adalah sebagai berikut:

a. Si pembuatnya: pegawai negeri atau penyelenggara negara b. Perbuatannya: menerima pemberian atau menerima janji

c. Objeknya: sesuatu yang diberikan atau sesuatu yang dijanjikan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b.51

51

(45)

2. Tindak Pidana Korupsi Suap pada Hakim dan Advokat (Pasal 6)

Rumusan tindak pidana suap pada pasal ini diadopsi dari pasal 210 KUHP dengan pengurangan dan penambahan bentuk tindak pidana korupsi baru. Pengurangan dalam rumusan ayat (2) KUHP mengenai alasan/ dasar pemberatan pidana dihilangkan, tetapi dimasukkan bentuk tindak pidana suap yang baru (suap pasif) dan ditempatkan pada ayat (2).52

1. Suap pada hakim, unsur delik pasal 6 ayat (1) huruf a: Unsur objektif

a. Perbuatannya: memberi atau menjanjikan (sesuatu); b. Objeknya:sesuatu;

c. Kepada hakim.

Unsur Subjektif

d. Dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

2. Suap pada advokat, unsur delik pasal 6 ayat (1) huruf b: Unsur-unsur yang bersifat objektif

a. Perbuatannya: memberikan atau menjanjikan (sesuatu); b. Objeknya: sesuatu;

c. Pada advokat yang menghadiri sidang pengadilan. Unsur-unsur yang bersifat subjektif

52

(46)

d. Dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

3. Hakim atau advokat menerima suap, unsur pasal 6 ayat (2): a. Pembuatnya: hakim atau advokat;

b. Perbuatannya: menerima (sesuatu, disebut pemberian) atau menerima (sesuatu) janji;

c. Objeknya: sesuatu;

d. Yang dimaksudkan dalam ayat (1) huruf a atau huruf b.53

3. Korupsi Pegawai Negeri Menerima Hadiah atau Janji yang

Berhubungan dengan Kewenangan Jabatan (Pasal 11)

Unsur-unsur pasal 11 adalah sebagai berikut: Unsur-unsur objektif

a. Pembuatnya: pegawai negeri atau penyelenggara negara; b. Perbuatannya: menerima hadiah atau menerima janji.

Unsur-unsur subjektif

c. Diketahuinya;

d. Patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut

53

(47)

pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.54

3. Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara atau Hakim dan

Advokat Menerima Hadiah atau Janji, (Pasal 12 huruf a, b, c dan d)

Perlu diketahui bahwa pasal 12 huruf a, b, c, dan d berasal dari pasal 419-420 KUHP.55 Pasal 12 huruf a unsurnya yaitu, (a) pegawai neegeri atau penyelenggara negara; (b) menerima hadiah atau janji; (c) diketahui atau patut diduga; dan (d) hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.56 Sedangkan pasal 12 huruf b ialah (a) pegawai neegeri atau penyelenggara negara; (b) menerima hadiah atau janji; (c) diketahui atau patut diduga; dan (d) hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.57

Pasal 12 huruf c dan d ialah korupsi yang ada hubungan langsung dengan masalah penegakan hukum di lingkungan peradilan.58 Unsurnya pasal 12 huruf c yaitu, (a) hakim (b) menerima hadiah atau janji; (c) diketahui atau patut diduga; (d) untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepada hakim untuk

54

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 167-168

55

R. Wiyono, Pembahsan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hal 103

56

Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 142 57

Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 147 58

(48)

diadili. Sedangkan pasal 12 huruf d yaitu, (a) advokat (b) menerima hadiah atau janji; (c) diketahui atau patut diduga; (d) untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. 59

4. Korupsi Suap pada Pegawai Negeri dengan Mengingat Kekuasaan

Jabatan (Pasal 13)

Korupsi suap pada pasal ini termasuk suap aktif, sama sifatnya dengan pasal 5 dan pasal 6. Pada suap aktif tidak disebutkan kualifikasi pembuatnya, siapa saja dapat melakukan tindak pidana suap aktif. Berikut unsur-unsurnya:

a. Perbuatannya: memberi (hadiah atau janji) b. Objeknya: hadiah atau janji

c. Pada pegawai negeri

d. Dengan mengingat kekuasaan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.60

C. Korupsi Penyalahgunaan Jabatan (Pasal 8, 9, 10 huruf a, b dan c)

Pasal 8 ini berisi delik tentang “menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya”.61 Rumusan pasal 8 ini diadopsi dari pasal 415

59

R. Wiyono, Pembahsan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Hal 105-106

60

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 271-272

61

(49)

KUHP berupa salah satu kejahatan jabatan yang sebelumnya telah ditarik menjadi tindak pidana korupsi oleh UU No. 3/1971.62

Pasal 9 berisi tentang “memalsu buku atau daftar yang khusus untuk pemeriksaam administrasi”.63 Rumusan pasal 9 diadopsi dari pasal 416 KUHP yang sejak UU No. 24/Prp/1960 telah ditarik menjadi tindak pidana korupsi. Perbedaan pasal 8 dengan pasal 416 KUHP ialah pasal 8 lebih berat ancaman pidananya dan perbuatannya hanya memalsu (pasal 8), sedangkan pasal 416 KUHP perbuatannya “secara palsu atau memalsu”.64

Pasal 10 diadopsi dari pasal 417 KUHP yang juga telah ditarik ke dalam tindak pidana korupsi sejak diundangkannya UU No. 24/Prp/1960. Selanjutnya ditarik lagi ke dalam UU No. 3/1971 menjadi tindak pidana korupsi. Pasal ini tediri dari tiga bentuk tindak pidana korupsi.65 yaitu sebagai berikut:

1) menggelapkan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai barang, akta, atau surat (pasal 10 huruf a);

2) membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, atau surat; dan

3) membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, atau surat.66

62

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 111 63

Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 172 64

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 133-134

65

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 140-141

66

(50)

D. Tindak Pidana Pemerasan (Pasal 12 huruf e, f dan g)

Dalam pasal 12 huruf e berisi tentang pegawai negeri yang dengan menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa seseorang menerima sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.67 Pasal 12 huruf f yaitu pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang meminta pembayaran.68 Sedangkan pasal 12 huruf g pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang meminta pekerjaan.69

E. Tindak Pidana Curang (Pasal 7 dan Pasal 12 huruf h)

Pasal 7 diadopsi dari pasal 387 dan 388 yang sejak UU No. 24/Prp/1960 telah ditarik menjadi tindak pidana korupsi. Namun dalam UU baru ini dimuat satu pasal saja (pasal 7) yang tampaknya didasarkan pada alasan efisiensi saja, karena ancaman pidananya disamakan. Korupsi ini terdiri dari lima bentuk, yaitu sebagai berikut:

1. Tindak pidana korupsi pemborong, ahli bangunan, penjual ahli bangunan melakukan perbuatan curang (ayat 1 huruf a)

2. Tindak pidana korupsi pegawai bangunan membiarkan perbuatan curang (ayat 1 huruf b)

3. Tindak pidana korupsi menyerahkan barang keperluan TNI dan kepolisian Negara RI dengan perbuatan curang (ayat 1 huruf c)

67

Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 178 68

Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 180 69

(51)

4. Tindak pidana korupsi pengawas dalam hal penyerahan barang keperluan TNI dan kepolisian Negara RI membiarkan perbuatan curang (ayat 1 huruf d) 5. Tindak pidana korupsi membiarkan perbuatan curang pada saat menerima

penyerahan barang keperluan TNI dan kepolisian Negara RI (ayat 2).70

Sedangkan pasal 12 huruf h berisi tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menggunakan tanah Negara.71

F. Korupsi Benturan Kepentingan dalam Pengadaan (Pasal 12 huruf i)

Pasal 12 huruf i berisi tentang benturan kepentingan dalam pengadaaan.72 Pasal ini berasal dari pasal 435 KUHP.73

G. Tindak Pidana Gratifikasi (Pasal 12B)

Pasal 12 B berisi tentang gratifikasi yang dianggap sebagai suap jika berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Jika nilai gratifikasi tersebut nilainya di bawah Rp. 10.000.000, maka dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Apabila gratifikasi tersebut dilaporkan, maka ketentuan pasal 12B ayat (1) menjadi tidak berlaku. Dalam penjelasan pasal tersebut gratifikasi diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan

70

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 92-94 71

Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 190 72

Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 192 73

(52)

cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.74

H. Percobaan, Permufakatan Jahat dan Pembantuan Melakukan Tindak

Pidana Korupsi (Pasal 15)

Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal

14.75

Ketentuan yang terdapat dalam pasal 15 tersebut sebenarnya terdiri dari tiga perbuatan, yaitu, percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3 pasal 5 sampai dengan pasal 14. Ketentuan pasal 15 tersebut adalah sama dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1971. Dalam penjelasan tersebut, disebutkan bahwa “Karena tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara, maka percobaan untuk melakukan tindak pidana tersebut dijadikan delik tersendiri dan diancam dengan hukuman sama dengan ancaman bagi tindak pidana itu sendiri yang telah selesai dilakukan. Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, maka permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan tindakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana

74

Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 197

75

(53)

tersendiri”. Pasal 15 ini merupakan aturan khusus, karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya.76

I. Tindak Pidana Lain yang Berhubungan dengan Hukum Acara

Pemberantasan Korupsi (Pasal 21, 22, 23 dan 24)

Yang dimaksud tindak pidana yang berhubugan dengan hukum acara pemberantasan korupsi tersebut adalah tindak pidana yang pada dasarnya bersifat menghambat, menghalang-halangi upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang dimaksudkan ini dimuat dalam 3 pasal, yakni pasal 21, 22, dan 24.77

Sedangkan pada pasal 23 adalah menarik enam kejahatan yang ada dalam KUHP menjadi tindak pidana korupsi dengan menyeragamkan ancaman pidananya menjadi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dalam KUHP yang ditarik ke dalam pasal ini terdiri dua jenis kejahatan yaitu kejahatan terhadap penguasa umum (220 dan 231 KUHP) dan dan kejahatan jabatan (421, 422, 429, dan 430 KUHP) yang singkatnya sebagai berikut:78

1. Pasal 220 mengenai laporan atau pengaduan palsu;

76

R. Wiyono, Pembahsan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Hal.

134-135 77

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 279 78

(54)

2. Pasal 231 mengenai menarik barang yang disita yang dititipkan oleh hakim;

3. Pasal 421 mengenai pegawai negeri yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa melakukan atau tidak melakukan;

4. Pasal 422 mengenai pegawai negeri yang dalam perkara pidana memeras pengakuan;

5. Pasal 429 mengenai pegawai negeri yang melampaui kekuasaannya menyuruh memperlihatkan atau merampas surat, kartu pos, atau barang paket yang diserahkan pada lembaga pengangkutan umum.79

2. Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Pidana Islam

Menurut M. Nurul Irfan, tindak pidana dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam) dari unsur-unsur dan definisi yang mendekati terminologi korupsi di masa sekarang yaitu, ghulul (penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil paksa hak/ harta orang lain), khianat, sariqah (pencurian), al-hirabah (perampokan), al-maks (pungutan liar), al-ikhtilas (pencopetan), dan al-ihtihab (perampasan) .80

Munawar Fuad Noeh mengatakan bahwa korupsi dalam Islam bisa ditelusuri lewat istilah risywah (suap), saraqah (pencurian), al-gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan).81

79

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 302 80

M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 78 81

(55)

Abu Fida Abdurrafi’ mengatakan apabila korupsi ditinjau dari sisi syariat Islam dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

 Suap-menyuap disebut dengan ar-risywah

 Pungutan-pungutan liar dapat dikategorikan sebagai ar-risywah apabila

kedua belah pihak sepakat, juga bisa dikategorikan sebagai perampasan (al-ghasbu) yakni apabila pungli itu bersifat memaksa, misalnya apabila tidak menyerahkan sejumlah uang tertentu kepada yang berwenang, maka urusannya akan dipersulit, juga bisa dikategorikan sebagai pemungutan cukai (al-maksu)

Mark up dapat dikategorikan sebagai penipuan (al-ghurur) dan pemalsuan

data dinamakan penyelewengan (al-khianat)

 Pembobolan bank dan penggelapan uang negara dapat dikategorikan

sebagai pencurian baitul mal/ khas negara (al-ghulul)82

Dari sedikit perbedaan pendapat di atas pada dasarnya secara umum korupsi adalah tindakan kriminal yang secara prinsip bertentangan dengan moral dan keagamaan.83 Berikut penjelasan istilah-istilah korupsi dalam hukum Islam:

a. Ghulul (Menggelapkan Harta Baitul Mal)

82

Abu Fida’ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafs, Hal. 2 83

(56)

Kata “ghulul” yang lebih spesifik dikemukakan dalam al’Mu’jam al-Wasit berasal dari kata “ﱡﻞُﻐَﯾ-ﱠﻞَﻏ” yang berarti “ِﻢَﻨْﻐَﻤْﻟا ﻲِﻓ َنﺎَﺧ” berkhianat

dalam pembagian harta rampasan perang atau dalam harta-harta lain.84

Menggelapkan uang negara dalam sistematika syari’at islam disebut dengan Al-ghulul, yakni mencuri ghanimah (harta rampasan perang) atau menyembunyikan sebagiannya (untuk dimiliki) sebelum menyampaikannya ke tempat pembagian, walaupun yang diambilnya itu sesuatu yang remeh bahkan walaupun hanya seutas benang dan jarum. Berdasarkan hadits-hadits dari Rasulullah yang termasuk ghulul adalah:

 Mencuri ghanimah (harta rampasan perang).  Menggelapkan khas negara (baitul maal).  Menggelapkan zakat.

 Hadiah untuk para pejabat.85

Allah swt. Berfirman dalam surat Ali-imran ayat 161:

                                       

“tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan

84

M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 79 85

(57)

tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”

“Tidaklah layak seorang Nabi berkhianat.” Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Kaum muslim kehilangan selimut beludru dalam peristiwa perang badar. Mereka mengatakan bahwa kemungkinan Rasulullah saw. telah mengambilnya.” Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Tidaklah layak bagi seorang Nabi berkhianat” yakni korupsi. Ini merupakan penyucaian terhadap diri Nabi saw. dari segala aspek penghianatan dalam menjalankan amanah membagikan ghanimah, dan sebagainya.

Kemudian Allah berfirman, “Barangsiapa yang berkhianat, maka kelak ia akan datang pada hari kiamat membawa perkara yang

dikhianatinya itu. Kemudian setiap individu akan dipenuhi balasannya

atas apa yang telah diupayakannya, sedang mereka tidak dizalimi.” Ini

merupakan intimidasi yang keras dan ancaman yang tegas. Dalam sunnah pun terdapat larangan berkhianat seperti termuat dalam banyak hadits, di antaranya dalam hadits-hadits berikut ini.

1. Diriwayatkan oleh ahmad dari Abu Malik al-Asyaja’i, dari Nabi saw. bersabda:

ضرﻸﻟا ﻦﻣ عارذ ﷲاﺪﻨﻋ لﻮﻠﻐﻟا ﻢﻈﻋَأ –

ضرﻷا ﻲﻓ ﻦﯾرﺎﺟ ﻦﯿﻠﺟﺮﻟا نوﺪﺠﺗ

راﺪﻟا ﻲﻓوأ

(58)

berbatasan. Kemudian salah seorang dari keduaya mengambil sejengkal dari milik saudaranya itu. Maka jika dia mengmbilnya, akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi pada hari kiamat.” (HR. AHMAD).

2. Imam Ahmad meriwayatkan dari al-mistaurid bin syadad, dia mendengar Rasulullah saw. bersabda:

ْﻠَﻓ ٌﺔَﺟوَز ُﮫَﻟ ْﺖَﺴْﯿَﻟ ْوَأ ،ًﻻِﺰْﻨَﻣ ْﺬِﺨﱠﺘَﯿْﻠَﻓ ٌلِﺰْﻨَﻣ ُﮫَﻟ َﺲْﯿَﻟَو ًﻼَﻤَﻋَﺎﻨَﻟ ﱠﻲِﻟُو ْﻦَﻣ ٌمِدﺎَﺧ ُﮫَﻟ َﺲْﯿَﻟْوَأ ،ْجﱠوَﺰَﺘَﯿ

ر) ٍلﺎَﻏ َﻮُﮭَﻓ َﻚِﻟَذ ىَﻮِﺳ ﺎًﺌْﯿَﺷ َبﺎَﺻَأ ْﻦَﻣَو ،ًﺔﱠﺑاَد ْﺬِﺨﱠﺘَﯿْﻠَﻓ ٌﺔﱠﺑاَد ُﮫَﻟ َﺲْﯿَﻟْوَأ ، ﺎًﻣِدﺎَﺧ ْﺬِﺨﱠﺘَﯿْﻠَﻓ (ﺪﻤﺣأ هاو

“Barangsiapa yang diserahi suatu jabatan sedang dia tidak punya rumah, maka berikan rumah untuknya; bila tidak punya istri, maka kawinkan dia; bila tidak punya pembantu, maka berilah dia pembantu; dan bila tidak punya kendaraan maka sediakan kendaraan untuknya. Barangsiapa yang mengambil sesuatu selain itu, maka dia koruptor.”86

b. Risywah (Suap-Menyuap)

Secara etimologis kata risywah berasal dari bahasa arab “ْﻮُﺷْﺮَﯾ-ﺎَﺷَر” yang masdar atau verbal nounnya bisa dibaca “ٌةَﻮْﺷِر” ٌةَﻮْﺷَر” atau “ٌةَﻮْﺷُر” berari “ُﻞْﻌَﺠﻟا” yaitu upah, hadiah, komisi atau suap. Ibnu Manzhur juga

mengemukakan penjelasan Abul Abas tentang makna kata risywah, ia mengatakan bahwa kata risywah terbentuk dari kalimat “ُخْﺮَﻔْﻟاﺎَﺷَر” anak burung merengek-rengek ketika mengangkat kepalanya kepada induknya untuk disuapi. Sedangkan secara terminologis, risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau membenarkan yang batil/salah atau menyalahkan yang benar.87

86

Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Hal. 609-610

87

(59)

Tindakan suap-menyuap (al-risywah) di dalam al-Qur’an dan hadits jelas diharamkan dan dikategorikan sebagai al-ma’siyyah (perbuatan yang melanggar perintah Allah). Surat al-Baqarah ayat 18888 mengandung pesan hukum bahwa perbuatan memberi dan menerima suap hukumnya haram. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan fi’l al-mudhari yang disertai kata la nahiyah dan penggunaan al-itsm, yang merupakan varian dari sigat al-nahy, yang kemudian dikombinasikan dengan aplikasi qa’idah usuliyyah berupa al-nahy ‘ind al-itlaq yaqtad al-tahrim (ungkapan

al-nahy atau larangan-ketika bersifat mutlak mengimplikasikan keharaman

perbuatan yang dilarang).89

c. ghasab (mengambil paksa hak/ harta orang lain)

Menurut M. Nurul Irfan ghasab didefiisikan sebagai upaya untuk menguasai hak orang lain secara permusuhan atau terang-terangan. Larangan perbuatan ghasab ada dalam Firman Allah surat al-Nisa ayat 29:

88

Surat al-Baqarah ayat 188 menjelaskan:

                              

“dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”

89

(60)

                      

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melakukan pembimbingan, telaahan, arahan dan koreksi terhadap penulisan skripsi berjudul : PENGARUH BUDAYA, PSIKOLOGIS, PELAYANAN, PROMOSI DAN PENGETAHUAN

Begitu pula dengan hasil penelitian (Putra & Muid, 2012), (Damayanti & Rochmi, 2014) bahwa reputasi berpengaruh signifikan terhadap konservatisme dengan nilai

Pada umumnya sumbu simetrisitas ruang pada rumah tinggal kolonial di Kidul Dalem juga dilihat secara integral tidak simetris. Ketidaksimetrisan ruang secara integral ini

Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru merupakan karya tari yang menggunakan sumber materi dramatik fakta sejarah pertempuran 7 Oktober 1945 di Kotabaru,

Oleh karena itu perusahaan dengan total aset yang besar akan lebih mampu untuk menghasilkan tingkat keuntungan yang tinggi, sehingga laba tersedia bagi pemegang

D pada post sectio caesarea hari pertama didapatkan data sebagai berikut: klien mengatakan nyeri dibagian luka bekas operasi, klien mengatakan nyeri seperti disayat-sayat

1 Tahun 1974 menjelaskan bagaimana dampak atau penyebab kelalaian ayah maupun ibu dan akibatnya, menyebutkan: Ketika seorang ayah atau ibu tidak bertanggung jawab

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran kooperatif tipe Formulate Share Listen Create (FSLC) terhadap kemampuan komunikasi matematis.. Populasi