Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
ZAKKA ABDUL MALIK SYAM
NIM: 105051001918
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
“Analisis Wacana Film Titian Serambut Dibelah Tujuh karya Chaerul Umam” Oleh : Zakka Abdul Malik Syam
105051001918
Film Titian Serambut dibelah Tujuh merupakan salah satu film ber-genre drama religi, mengusung tema seputar perjuangan sesosok guru muda yang bernama Ibrahim yang telah menimba ilmu dari pesantren. Dalam langkahnya sebagai guru muda yang ingin menerapkan ilmunya di tengah masyarakat ia menemui banyak sekali tantangan dan lika-liku dalam kehidupannya, namun semua itu ia hadapi dengan keikhlasan dan kesabaran serta perjuangan.
Kemudian yang menjadi pertanyaan utama adalah bagaimana gagasan atau wacana yang terdapat dalam film Titian Serambut Dibelah Tujuh yang di sutradarai oleh Chaerul umam? Selanjutnya akan melahirkan sub-question mengenai nilai-nilai moral apa saja yang terdapat dalam film titian serambut dibelah tujuh ini?
Metode yang digunakan adalah analisis wacana dari model Teun Van Dijk. Dalam model Van Dijk ada tiga dimensi yang menjadi objek penelitiannya, yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan juga konteks sosial adalah pandangan atau pemahaman komunikator terhadap situasi yang melatar belakangi dibuatnya film tersebut. Sedangkan dimensi teks adalah susunan struktur teks yang terdapat dalam film ini.
Jika dianalisa, secara umum guru Ibrahim dalam film titian serambut dibelah tujuh ini hendak mengkonstruksi tema besar yakni tentang keikhlasan, kesabaran dan perjuangan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar serta cobaan yang dihadapinya. Dalam film ini juga tertangkap kesan kuat mengenai kepasrahan seorang manusia terhadap Tuhannya, kemudian agar lebih menggugah emosi para penonton disisipkan kata/kalimat yang berpetuah bijak.
Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa strategi wacana, komunikator dalam film ini dapat ditemukan dalam wacana Van Dijk yang meliputi elemen tematik, skematik, semantik, sintaksis, stalistik, maupun informasi percakapan dan ungkapan kiasan dalam strategi retoris. Komunikator melakukan strategi wacana melalui komposisi jumlah scene yang mempresentasikan wacana-wacana yang hendak di usung, komposisi peletakan scene, penekanan suatu pesan dan pelemahan suatu scene yang lain hingga penguatan karakter/tokoh dan pelemahan karakter/tokoh lain.
Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Film
Titian Serambut Dibelah Tujuh karya Chaerul Umam’’ ini dapat terselesaikan.
Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad saw.
Banyak pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena
itu, sepatutnyalah diberikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima
kasih kepada :
1. Dr. Arief Subhan, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, dan
Drs. Wahidin Saputra,MA., Drs. H. Mahmud Djalal, MA., serta Drs. Study
Rizal L.K, selaku Pembantu Dekan I, II dan III Fakultas Dakwah dan
Komunikasi
2. Drs. Jumroni, M.Si., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
(KPI).
3. Hj. Umi Musyarofah, MA., selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam (KPI).
4. Drs. S. Hamdani, MA., selaku dosen Pembimbing skripsi, yang telah banyak
meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
memberikan ilmu pengetahuan. Semoga ilmu yang telah diberikan dapat
bermanfaat. Juga kepada Staf Perpustakan Utama, dan Staf Perpustakaan
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
6. Kedua orang tua tercinta, H. Syamsuddin dan Hj. Jawiyah atas segala kasih
sayang, perhatian, doa, dan segala bantuan baik berupa dukungan moril maupun
materiil.
7. Sutradara Film Titian Serambut Dibelah Tujuh Bapak Chaerul Umam, yang
telah meluangkan waktunya serta memberikan pencerahan tentang film nasional
ditengah sibuk jadwal syuting film sinteron religi ramadhan terbarunya.
8. Keluarga Besar (Alm.) Hj. Fatimah Binti H. Solihin, encang-encing,
abang-abang, mpok-mpok, yang selalu memberikan nasihat, masukan dan kritik untuk
kebaikan yang membuat hati ini bahagia dan termotivasi.
9. Kawan-kawan seperjuangan KPI B angkatan 2005, Irfanul Hakim, Indra
Gunawan, Afandi Sradak-sruduk, Acunk, Noviyanto, Erwin Item, Rif.Q, Laily,
Maryam, Yudithia Ahmad, dan yang hingga sampai saat ini entah dimana
kalian, seluruh KOMUNITAS DJUANDA Ray, Renal salam oke-oke,
El-Masyhar United.
10. Kawan-kawan KPI A, KPI C, KPI D. don’t miss me ok2x terima kasih buat
motivasi dan hangatnya arti perkawanan.
iv
tulisan ini. Oleh karenanya, sangat diharapkan saran dan kritik juga ralat dari
pembaca sekalian. Semoga tulisan ini bermanfaat. Sekian dan terima kasih.
Jakarta, 04 Maret 2010
DIBELAH TUJUH KARYA CHAERUL UMAM
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh :
ZAKKA ABDUL MALIK SYAM
105051001918
Pembimbing:
Drs. S. Hamdani, MA
NIP.19550309 199403 1 001
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dewasa ini, media massa
yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah seperti surat kabar, radio,
televisi, internet dan film memberikan kemudahan bagi para da’i untuk
menyampaikan pesan dakwahnya. Karena dengan menggunakan media massa
maka jangkauan dakwah tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu.
Sebagaimana diketahui, film merupakan salah satu media komunikasi
massa,1 Oleh karena itu film adalah medium komunikasi yang ampuh, bukan saja
untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan pendidikan (edukatif) secara penuh
(media yang komplit)2
Diantara beberapa media tersebut yang banyak diminati oleh masyarakat
adalah film, karena film bisa memadukan dua unsur yaitu suara dan gambar.
Selain itu film juga merupakan salah satu dari hasil kebudayaan yang
kehadirannya saat ini akrab dengan keseharian manusia.3
Film dimasukkan dalam kelompok komunikasi massa selain mengandung
aspek hiburan, juga memuat aspek edukatif. Namun aspek sosial kontrolnya tidak
1
Adi Pranajaya, Film dan Masyarakat: Sebuah Pengantar (Jakarta: BP SDM Citra Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, 1999), h. 11.
2Onong Uchjana Effendi, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung : Cipta Aditya Bakti, 2003), h.207.
3
Mustafa Mansur, Jalan Dakwah, (Jakarta: Pustaka Ilmiah, 1994), h.26.
sekuat pada surat kabar, majalah serta televisi yang memang menyiarkan berita
berdasarkan fakta yang terjadi. Fakta film ditampilkan secara abstrak dimana tema
cerita bertolak dari fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Bahkan dari itu,
dalam cerita dibuat secara imajinatif.4
Kehadiran keanekaragaman media komunikasi adalah salah satu yang
dapat dimanfaatkan oleh umat Islam sebaik-baiknya sebagai sarana peningkatan
iman dan takwa, media komunikasi juga dapat digunakan untuk penyampaian
pesan moral baik yang terkandung dalam Islam maupun yang hanya disepakati
oleh masyarakat. Oleh karena itu praktis dakwah dituntut unuk bisa berinovasi
melalui media alternatif dalam menyampaikan nilai moral kepada masyarakat dan
kebenaran Islam.5
Film sama dengan media artistik lainnya memliki sifat-sifat dasar dari
media lainya yang terjalin dalam susunannya yang beragam. Film memiliki
kesanggupan untuk memainkan ruang dan waktu, mengembangkan dan
mempersingkatnya, menggerak majukan dan memundurkan secara bebas dalam
batasan-batasan wilayah yang cukup lapang. Meski antara media film dan lainnya
terdapat kesamaan-kesamaan, film adalah sesuatu yang unik.6
Salah satu kelebihan yang dimiliki film, baik yang ditayangkan lewat
tabung televisi maupun layar perak, film mampu menampilkan realitas kedua (the
4
Marfi Amir, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h.27.
5
Sean Mac Bried, Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Masa Depan, Aneka Suara Satu Dunia (Jakarta : PN Balai Pustaka Unesco, 1983), h. 120.
6
second reality) dari kehidupan manusia. Kisah-kisah yang ditayangkan bisa lebih
bagus dari kondisi nyata sehari-hari, atau sebaliknya bisa lebih buruk. Film
sebagai media komunikasi yang di dalamnya terdapat proses komunikasi banyak
mengandung pesan, baik pesan sosial, pesan moral, maupun pesan keagamaan.
“Mengikuti dunia perfilman, nampaknya kini film telah mampu merebut
perhatian masyarakat. Lebih-lebih setelah berkembangnya tekhnologi komunikasi massa yang dapat memberikan kontribusi bagi perfilman. Meskipun masih banyak bentuk-bentuk media massa lainnya, film memiliki efek ekslusif bagi penontonnya. Puluhan bahkan ratusan penelitian berkaitan dengan efek media massa film bagi kehidupan manusia betapa kuatnya media mempengaruhi pikiran, sikap dan tindakan para penontonnya.”7
Namun sebelum itu, saya akan menguraikan sedikit ekspresi kebudayaan
Islam di mana memainkan peranan yang signifikan bagi kebudayaan Islam. Pada
dasarnya, ekspresi kebudayaan Islam tak terlepas dari sistem nilai dalam ajaran
Islam sebagai bentuk manifestasi dalam mengaktualisasikan ajaran Islam yang
bersumbu pada doktrin tauhid. Di bawah ini saya akan menguraikan secara
singkat konsepsi ajaran Islam yang memiliki implikasi pada karya seni dan
kebudayaan Islam.
Di dalam Islam kita mengenal adanya konsep tauhid, suatu konsep sentral
yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan bahwa
manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini
mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia tak
lain kecuali menyembah kepada-Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan
7
untuk pengabdian kepada Allah inilah yang merupakan kunci dari seluruh ajaran
Islam.
Tapi kemudian ternyata bahwa sistem tauhid ini mempunyai arus balik
kepada manusia. Dalam banyak sekali ayat kita melihat bahwa iman, yaitu
keyakinan religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan
dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia; keduanya merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Ini berarti bahwa iman harus selalu
diaktualisasikan menjadi amal, bahwa konsep tentang iman, tentang tauhid, harus
diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan. Pusat dari perintah
zakat-misalnya-iman, adalah keyakinan kepada Tuhan; tapi ujungnya adalah terwujudnya
kesejahteraan sosial. Dengan demikian, di dalam Islam, konsep teosentrisme
ternyata besifat humanistik. Artinya, menurut Islam, manusia harus memusatkan
diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia sendiri.
Humanisme-teosentris inilah yang merupakan nilai-inti (core-value) dari seluruh
ajaran Islam.8
Humanisme-teosentris menjadi tema sentral peradaban Islam. Arti
tema sentral inilah muncul sistem simbol. Sistem yang terbentuk karena proses
dialetik antara nilai dan kebudayaan. Misalnya dalam Al-Qur’an, kita mengenal
adanya rumusan amar ma’ruf nahi munkar ditujukan untuk serangkaian gerakan
pembebasan dan emansipasi. Nahi Munkar, atau mencegah kemungkaran, berarti
membebaskan manusia dari semua bentuk kegelapan (zhulumat) alam pelbagai
8
manifestasinya. Dalam bahasa ilmu sosial, ini juga berarti pembebasan dari
kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Sementara itu, amar ma’ruf yang
merupakan langkah berangkai dari gerakan nahi munkar, diarahkan untuk
mengemansipasikan manusia kepada nur, kepada cahaya petunjuk ilahi, untuk
mencapai keadaan fitrah. Fitrah adalah keadaan di mana manusia mendapatkan
posisinya sebagai makhluk yang mulia.9
Amar ma’ruf nahi munkar adalah ajaran yang diturunkan Allah dalam
kitab-kitabNya, yang dibawa oleh rasul-rasulNya, dan bagian dari agama.
Risalah Allah itu sesungguhnya adakalanya berupa berita (ikhbar), dan
adakalanya pula berupa tuntutan (insya’). Ikhbar (berita) berkaitan dengan
zatNya, makhlukNya, seperti tauhid dan kisah-kisah yang mengandung janji baik
dan janji buruk (al-wa’d wa’l-wa’id). Sedangkan insya’ adalah amr (perintah),
nahi (larangan) dan ibahah (pembolehan). Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT, dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf [157] diterangkan:10
☺
⌧
☺
”Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar”. (QS. Al-A’raf : 157)
Walaupun film ini termasuk film klasik, namun film Titian Serambut
Dibelah Tujuh mencoba memberi tontotan bermoral dan menjunjung tinggi nilai
moral yakni keyakinan, perjuangan, kepasrahan, kesetiaan serta harapan. Film
9
Kontowijoyo dalam Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi., (Bandung : Mizan Press,1998), h.228-229
10
Titian Serambut Dibelah Tujuh yang walau terlihat usang, namun film ini adalah
bentuk awal film dakwah pertama yang di presentasikan oleh sutradara Chaerul
Umam.
Dalam konteks ini, apa yang terkandung pada cerita film Titian
Serambut Dibelah Tujuh, film satu dari lima film yang dibiayai Dewan Film
Nasional 1981-1982, yang telah memenangi penghargaan PWI Jaya sebagai Film
Drama Terbaik 1983 dan Tata Suara terbaik.11
Melakukan dakwah Islamiyah dengan menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar di desa Batu Hampar yang dilakukan oleh tokoh protogonis Ibrahim
dalam mengaktualisasikan ajaran Islam yang sesuai dalam konteks amar ma’ruf
nahi munkar. Ibrahim dalam melangsungkan dakwahnya terbukti telah
memberikan perubahan yang signifikan bagi desa batu hampar dengan menggagas
dan mengimplementasikan Islam yang berpihak pada transformasi sosial.
Memang pada awal mulanya usaha untuk merintis gagasan Islam yang
transformatif banyak mendapatkan tantangan terutama dari H.Sulaeman selaku
guru agama dan sesepuh kampung, kehidupannya banyak dipengaruhi kebejatan
moral Harun, orang terkaya di kampung itu. Di tambah ulah seorang pemuda
brandalan yang bernama Arsad dengan berbagai cara ia tempuh untuk
menghentikan usaha Ibrahim dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di
desa batu hampar.
11
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian lebih dalam mengenai film Titian Serambut Dibelah Tujuh
karya Chaerul Umam. Untuk membahas permasalahan di atas maka penulis
mengangkatnya ke dalam bentuk skripsi dan memberi judul: “Analisis Wacana
Film Titian Serambut Dibelah Tujuh karya Chaerul Umam”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah penulisan dalam skripsi ini, maka perlu bagi
penulis untuk membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang akan dibahas
pada kajian ini. Agar pembahasan dalam skripsi ini jelas dan terarah penulis
mengambil Analisis Wacana Teun Van A Djik, yang mempunyai kategori
yaitu Dilihat secara teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Melihat dari isi
teks yang dapat menekankan pada isi dalam skenario film tersebut, kemudian
melihat dari kognisi sosial meneliti dan memahami bagaimana bentuk hasil
peristiwa yang terjadi dalam film Titian Serambut Dibelah Tujuh, dan di
lanjutkan kepada konteks sosial yang menunjukkan bahwa proses film
tersebut diproduksi dan menggambarkan nilai-nilai masyarakat dan dijadikan
objek oleh penulis skenario dalam membuat film ini.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah tersebut, penulis merumuskan
1. Bagaimanakah wacana film “Titian Serambut Dibelah Tujuh” dilihat
dari teks (struktur makro, superstruktur, struktur mikro)?
2. Bagaimanakah wacana film ”Titian Serambut Dibelah Tujuh” dilihat
dari kognisi sosial?
3. Bagaimanakah wacana film ”Titian Serambut Dibelah Tujuh” dilihat
dari konteks sosial?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dengan mengacu kepada permasalahan sebagaimana penulis rumuskan di
atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk
memberikan kejelasan tentang wacana film Titian Serambut Dibelah Tujuh.
1. Untuk dapat mengetahui bangunan wacana teks film
2. Untuk dapat mengetahui kognisi sosial yang melatarbelakangi penulis
skenario dalam membuat naskah film Titian Serambut Dibelah Tujuh
3. Untuk dapat mengetahui konteks sosial menurut wacana yang
berkembang.
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah:
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi
penambahan wacana keilmuan dakwah terutama dalam hal ini media film
sebagai secara penyampaian syiar Islam.
b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi para
akademisi, praktisi, pemikir dakwah dan juga para seniman, dalam mengemas
nilai-nilai Islam menjadi sebuah kajian yang menarik. Selanjutnya, tulisan ini
diharapkan agar media film sebagai saluran berdakwah di era informasi yang
lebih dimanfaatkan dan dipergunakan secara optimal.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian menggunakan penelitian analisis wacana (Discourse
analysis) yaitu studi tentang struktur pesan atau telah mengenai aneka fungsi
bahasa (pragmatik).12 Metode analisis wacana berbeda dengan analisis isi
kuantitatif yang lebih menekankan pada pertanyaan ’Apa’ (what), analisis
wacana lebih melihat kepada ’Bagaimana’ (how) dari sebuah wacana (cerita,
teks, kata) disusun atau dikemas dan diatur sedemikian rupa sehingga
menghasilkan sebuah kalimat atau paragraf.
Analisis wacana tidak hanya mengetahui isi teks, tetapi bagaimana
juga pesan itu disampaikan lewat kata, frase, kalimat, metafora macam apa
12
yang disampaikan. Analisis wacana bisa melihat makna yang tersembunyi dari
suatu teks. Analisis wacana lebih melihat kepada bagaimana isi pesan yang
akan diteliti.13
Metode yang digunakan oleh peneliti adalah model Teun Van A Djik,
menurutnya penelitian wacana tidak hanya pada teks semata, tetapi juga
bagaimana suatu teks diproduksi. Inti analisis Van Djik menggabungkan tiga
dimensi wacana ke dalam satu kesatuan analisis.
Ada empat perbedaan antara analisis wacana dengan analisis isi (kuantitatif) menurut Eriyanto yaitu:
a. Analisis Wacana lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yg umumnya kuantitatif, analisis wacana menekankan pada pemaknaan teks ketimbang penjumlahan unit katagori seperti yg terdapat dalam analisis isi. Sehingga dalam menentukan analisis datanya, analisis wacana tidak memerlukan lembaran koding.
b. Analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), atau dengan kata lain yang dipentingkan adalah “objektivitas”, “Validitas” (keakuratan data), dan realibitas. Sedangkan dalam analisis wacana, unsure terpenting dalam analisisnya adalah penafsiran dari teks yang latent (tersembunyi).
c. Analisis isi kuantitatif lebih menekankan kepada “apa’’ (what) yang dikatakan oleh media, dan hanya bergerak pada level makro isi media saja. Sedangkan analisis wacana menekankan kepada “bagaimana” (how) dan dengan cara apa pesan dikatakan oleh media. Selain meneliti level makro
13
isi media, analisis wacana juga meneliti pada level mikro yang menyusun suatu teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris.
d. Analisis isi bertujuan melakukan generalisasi dalam penyimpulan hasil penelitiannya, dan bahkan melakukan prediksi. Hal ini karena dalam unit atau perangkat penelitiannya mengunakan sample, angket dan sebagainya, yang secara tidak langsung bertujuan untuk menggambarkan fenomena dari suatu isu atau peristiwa. Sedangkan analisis wacana tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi dengan menggunakan beberapa asumsi. Hal ini karena analisis wacana melihat bahwa setiap peristiwa pada dasarnya selalu bersifat unik, karena tidak diperlukan prosedur yang sama yang diterapkan untuk isu dan kasus yang berbeda.14
Kelebihan analisis wacana dari model Van Dijk adalah bahwa penelitian
wacana tidak semata-mata dengan menganalisis teks saja, tetapi juga melihat
bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada dalam
masyarakat dan bagaimana kognisi atau pikiran serta kesadaran yang membentuk
dan berpengaruh terhadap teks tertentu.15 Wacana dalam model Teun A. Van Dijk
mengutamakan tiga hal atau dimensi yaitu teks sosial, kognisi sosial, dan konteks
sosial, dan inti dari model ini adalah menggabungkan ketiga dimensi tadi menjadi
sebuah kesatuan (Unity).
a) Kerangka Analisis Wacana dalam Dimensi Teks
14
Sobur, Analisis Teks Media, h. 70-71.
15
Kerangka analisis wacana dalam dimensi teks yang dipaparkan oleh Van
Dijk dibedakan menjadi tiga struktur atau tingkatan, dimana struktur satu dengan
yang lainnya memiliki hubungan yang saling mendukung yaitu:
1) Struktur makro, yaitu makna atau global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat oleh suatu teks.
2) Superstruktur, yaitu kerangka suatu teks, maksudnya struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh.
3) Struktur mikro, yaitu makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya bahasa yang dipakai oleh suatu teks.16
Dalam sebuah film, teks yang dimaksud di sini adalah cerita dari adegan per
adegan yang disampaikan oleh para pemainnya.
Peneliti menjelaskan pada ketiga dimensi tersebut di atas, adapun struktur
wacananya adalah sebagai berikut:
Di bawah ini adalah dimensi teks sosial menurut model Teun A. Van Dijk.
Struktur Wacana Hal Yang Diamati Elemen
film yang utuh
Sedangkan analisis wacana dari dimensi kognisi sosial adalah titik kunci
dalam memahami sebuah produksi teks atau cerita, maksudnya adalah selain
meneliti teks, penulis juga meneliti proses terbentuknya teks. Proses terbentuknya
suatu teks ini tidak hanya bermakna bagaimana suatu teks itu dibentuk, tetapi juga
proses ini memasukan informasi yang digunakan untuk menulis dari suatu bentuk
wacana tertentu.17
17
Oleh karena itu, untuk mengetahui suatu peristiwa yang disampaikan oleh
komunikator, dibutuhkan analisis kognisi sosial untuk menemukan struktur
mental komunikator ketika memahami suatu peristiwa yang dibuatnya.
“Menurut Van Dijk, analisis kognisi sosial memusatkan perhatian pada struktur mental, proses pemaknaan, dan mental komunikator dalam memahami sebuah fenomena dari proses produksi sebuah teks (berita, cerita dan sebagainya).”18
c) Analisis Wacana dari Dimensi Konteks Sosial
Dimensi ketiga dari analisis wacana yang dikemukakan Van Dijk adalah
analisis konteks sosial. Menurut Van Dijk, wacana yang terdapat dalam sebuah
teks adalah bagian dari wacana yang berkembang dalam masyarakat, sehingga
untuk meneliti suatu teks perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meniliti
bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam
masyarakat.19
Setelah mengetahui struktur wacana model Van Djik di atas, ada dua kategori
yang penting dalam meneliti suatu teks media yaitu dilihat dari kognisi sosial dan
konteks sosial ini mempunyai dua arti, di satu sisi ia menunjukkan bagaimana
proses film tersebut diproduksi, namun di sisi lain ia menggambarkan bagaimana
nilai-nilai masyarakat menyebar dan diserap oleh penulis skenario dan akhirnya
digunakan untuk membuat film tersebut.
2. Subjek dan Objek Penelitian
18
Eriyanto, Analisis Wacana, h.267.
19
Adapun subjek penelitian ini adalah film ”Titian Serambut Dibelah Tujuh”
yang pemikiran utamanya adalah Chaerul Umam dan Tokoh Protagonis yaitu El
Manik, sedangkan objek penelitiannya adalah hanya fokus pada wacana kritis
yang terdapat pada film “Titian Serambut Dibelah Tujuh” wacana kritis yang di
maksud adalah menggambarkan amar ma’ruf, nahi munkar serta penanaman sikap
terhadap individu yang terdapat di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh
masyarakat. Sumber data dari penelitian ini adalah berdasarkan skenario film
Titian Serambut Dibelah Tujuh, footage dan juga dari buku-buku pustaka yang
penulis jadikan sumber bacaan untuk penulisan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Observasi
Observasi adalah berupa kegiatan yang berhubungan dengan pengawasan,
peninjauan, penyelidikan dan riset.20 Penelitian melakukan observasi
langsung yaitu dengan teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan
pengamatan secara langsung terhadap subjek yang di selidiki yaitu film titian
serambut dibelah tujuh dan objeknya yaitu wacana yang di angkat melalui
literatur yang didapatkan, menganalisis kemudian membedah skenario .
b. Wawancara
20
Wawancara adalah merupakan suatu alat pengumpulan informasi yang
langsung tentang beberapa jenis data. Penulis menggunakan teknik wawancara
terpimpin, yaitu penulis mengajukan beberapa pertanyaan yang telah penulis
persiapkan, kemudian setelah itu dijawab oleh pemberi sumber data dengan
jelas dan terbuka, dengan menggunakan alat panduan wawancara yaitu tape
recorder. Narasumber yang di wawancarai yaitu Sutradara Chaerul Umam.
c. Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk memperoleh data yang diperoleh dengan cara
mencatat dokumen-dokumen berupa catatan tertulis atau literatur yang
koheren dan yang berhubungan dengan penelitian.
4. Teknik Analisis Data
Analisis wacana lebih melihat kepada gagasan yang akan diteliti. Unsur
penting dalam analisis wacana adalah kepaduan dan kesatuan serta penafsiran
penulis skenario berupa analisa.
Untuk penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat
Deskriptif Analisis, yaitu penelitian yang memberikan gambaran secara objektif,
dengan menggambarkan pesan-pesan dalam film Titian Serambut Dibelah Tujuh.
Dalam hal ini, wacana film Titian Serambut Dibelah Tujuh meliputi konteks
sosial, kognisi sosial dan teks skenario. Menganalisis superstruktur yang
yang meliputi semantik, sintaksis, stalistik, retoris yang terdapat dalam film Titian
Serambut Dibelah Tujuh.
Dalam melaksanakan analisis ini, perlu dilakukan penyajian data yang
merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya
penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
5. Pedoman Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan, berpedoman pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi,Tesis, dan Disertasi) yang disusun oleh Tim UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Press, 2007, Cetakan kedua
E. Tinjauan Pustaka
Penulis menggunakan beberapa rujukan skripsi terdahulu dalam
mendapatkan informasi tentang hal yang berkaitan dengan skripsi yang sedang
ditulis, hal tersebut bertujuan agar tidak adanya kesalahan dalam mengolah data
dan menganalisisnya.
Dalam menentukan judul skripsi ini, penulis mengadakan tinjauan
kepustakaan serta membaca literatur buku-buku yang berkaitan dalam skripsi ini
antara lain, Onong uchjana effendi, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Eriyanto,
Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Kontowijoyo dalam Paradigma
Islam; Interpretasi untuk Aksi. Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar
Untuk Analisis Wacana. M. Boggs Joseph, The Art of Watching Film. Adi
yang serupa dengan judul yang diambil oleh penulis yaitu : Analisis Wacana
Pesan Moral dalam Film Naga Bonar Karya Asrul Sani oleh saudara Sukasih Nur
tahun 2008. Dalam penulisan, penulis merujuk pada beberapa judul skripsi yang
berkaitan, diantaranya: Analisis Wacana Dakwah dalam Film Ayat-Ayat Cinta
oleh saudara Zeid Nuh tahun 2008. Sedangkan penulis mengambil judul Analisis
Wacana Film Titian Serambut Dibelah Tujuh Karya Chaerul Umam, dari dua
perbandingan di atas penulis berkeyakinan bahwa dengan objek yang berbeda
maka akan menghasilkan pada hasil penelitian yang berbeda pula.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri
dari beberapa sub bab. Secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I : Diawali dengan pendahuluan yang menjadi alasan diangkatnya penelitian ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan masalah dan perumusan masalah, manfaat penelitian,
metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II: Sebagai elaborasi mengenai film sebagai media pesan dakwah meliputi, pengertian wacana film, tinjauan tentang film, film sebagai
sarana transformasi sosial, wacana film dilihat dari presfektif teoritis.
BAB III: Gambaran umum tentang film titian serambut dibelah tujuh, biografi tentang Chairul Umam meliputi, latar belakang Chairul Umam,
karya-karya dari Chairul Umam, serta menguraikan deskripsi tentang
BAB IV: Merupakan inti persoalan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu berupaya menerangkan temuan dan analisis wacana yang dibangun
dalam film Titian Serambut Dibelah Tujuh dan korelasinya dengan
konteks teks film, kognisi sosial, konteks sosial dalam film Titian
Serambut Dibelah Tujuh.
BAB V : Merupakan akhir atau penutup dari penulisan skripsi ini, berisi kesimpulan dan saran-saran. Pada bagian penutup ini merupakan
jawaban terhadap beberapa pertanyaan yang termuat dalam rumusan
masalah.
Lampiran-lampiran. Berisikan naskah wawancara, dokumentasi, footage-footage
gambar dalam film Titian Serambut Dibelah Tujuh, foto-foto pembuat film Titian
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Wacana Film 1. Analisis Wacana
Secara etimologi, wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak,
artinya ‘berkata’ atau berucap’. Kata ana yang berada di belakang adalah bentuk
sufiks (akhiran) yang bermakna ‘membedakan’ (nominalisasi). Kemudian kata
tersebut mengalami perubahan menjadi wacana. Jadi kata wacana dapat diartikan
sebagai perkataan atau tuturan.1 Namun, istilah wacana diperkenalkan dan
digunakan oleh para ahli linguis di Indonesia sebagai terjemahan dari istilah
bahasa Inggris discourse. Kata discourse sendiri berasal dari bahasa Latin
discursus (lari kesana kemari). Kata ini diturunkan dari kata dis (dan/dalam arah
yang berbeda) dan kata currere (lari).2
Sedangkan secara terminologi, istilah wacana memiliki arti yang sangat
luas. Luasnya makna wacana tersebut, mulai dari studi bahasa, psikologi,
sosiologi, politik, komunikasi, dan sastra.3
Dengan demikian, kata wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau
tuturan. Dalam kamus bahasa Jawa kuno Indonesia karangan Wojowasito terdapat
1
Alex Sobur, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, h. 48.
2
Dede Oetomo, Kelahiran dan Perkembangan Analisa Wacana, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 3.
3
Sobur, Analisis Teks Media, h. 47.
kata waca berarti baca, wacaka berarti mengucapkan dan kata wacana berarti
perkataan.4
Analisis wacana atau discourse analysis adalah suatu cara atau metode
untuk mengkaji wacana yang terdapat atau terkandung di dalam pesan-pesan
komunikasi baik secara tekstual maupun kontekstual. Analisis wacana berkenaan
dengan isi pesan komunikasi, yang sebagian di antaranya berupa teks.5 Di
samping itu, analisis wacana juga dapat memungkinkan kita melacak variasi cara
yang digunakan oleh komunikator (penulis, pembicara, sutradara) dalam upaya
mencapai tujuan atau maksud-maksud tertentu melalui pesan-pesan berisi
wacana-wacana tertentu yang disampaikan, Analisis wacana-wacana adalah ilmu baru yang
muncul beberapa puluh tahun belakangan ini. Aliran-aliran linguistik selama ini
membatasi penganalisannya hanya kepada soal kalimat dan barulah belakangan
ini sebagai ahli bahasa memalingkan perhatiannya kepada penganalisisan
wacana.6
Meskipun pendefinisian mengenai wacana kenyataannya memang
berbeda-beda sesuai dengan perspektif teori yang digunakan, pada umumnya
disepakati bahwa wacana sebenarnya adalah proses sosiokultural sekaligus juga
proses linguistik.
Seperti yang banyak dilakukan dalam penelitian mengenai organisasi
pemberitaan selama dan sesudah tahun 1960-an, analisis wacana menekankan
pada “How the ideological significance of news is part and parcel of the methods
4
Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-PrinsipAnalisis Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h.3.
5
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 170.
6
used to process news” (bagaimana signifikasi ideologis merupakan bagian dan
menjadi paket metode yang digunakan untuk memproses media).
“Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut saat ini selain
demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil, dan lingkungan hidup. Akan
tetapi, seperti umumnya banyak kata, semakin tinggi disebut dan dipakai kadang
bukan semakin jelas, tetapi semakin membingungkan dan rancu. Ada yang
mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat.”7
Menurut Collins English Dictionary, “wacana adalah komunikasi verbal,
ucapan dan percakapan. Sedangkan menurut J.S. Badudu wacana merupakan
rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu
dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah
makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.”8
Van Dijk menyatakan bahwa wacana itu sebenarnya adalah bangun teoritis
yang abstrak (The abstract theoretical construct) dengan begitu wacana belum
dapat dilihat sebagai perwujudan wacana adalah teks.9
Sebuah kalimat bisa terungkap bukan hanya karena ada orang yang
membentuknya dengan motivasi atau kepentingan subjektif tertentu. Terlepas dari
apa pun motivasi atau kepentingan orang ini, kalimat yang dituturkannya tidaklah
dapat dimanipulasi semau-maunya oleh yang bersangkutan. Kalimat itu hanya
dibentuk, hanya akan bermakna, selama ia tunduk pada sejumlah “aturan”
gramatika yang berada di luar kemauan, atau kendali si pembuat kalimat.
7
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 237.
8
Abdul Rani, Analisis Wacana Sebuah Kajian (Malang: Bayu Media, 2004), h. 4
9
aturan kebahasan tidak dibentuk secara individual oleh penutur yang
bagaimanapun pintarnya. Bahasa selalu menjadi milik bersama di ruang publik.
Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa wacana adalah
gagasan umum bahwa bahasa ditata menurut pola-pola berbeda yang diikuti oleh
ujaran para pengguna bahasa ketika mereka ambil bagian dalam domain-domain
kehidupan sosial yang berbeda.
2. Pengertian Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film adalah selaput tipis yang
dibuat dari selluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau
tempat gambar positif (yang akan di mainkan di bioskop).10 lakon (cerita), gambar
hidup.11 Sedangkan secara etimologis, film adalah gambar hidup, cerita hidup.
Sedangkan menurut beberapa pendapat, film adalah susunan gambar yang ada
dalam selliloid, kemudian diputar dengan mempergunakan teknologi proyektor
yang sebetulnya telah menawarkan nafas demokrasi, dan bisa ditafsirkan dalam
berbagai makna.12 Ada juga yang menjelaskan bahwa film adalah bayangan yang
diangkat dari kenyataan hidup yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, yang
menyebabkan selalu ada kecenderungan untuk mencari relevansi antara film
dengan realitas kehidupan.13
Tetapi lebih dari itu, dilihat lebih mendalam film tidak hanya sekedar
cerita semata melainkan sebuah gambaran dalam kehidupan sosial sebuah
10
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 316
11
Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.11.
12
Gatot Prakoso, Film Pinggiran-Antalogi Film Pendek, Eksperimental & Dokumenter. FFTV-IKJ dengan YLP (Jakarta:Fatma Press, 1997), h. 22.
13
komunitas. Film memiliki realitas kelompok masyarakat, baik realitas dalam
bentuk imajinasi atau realitas dalam arti sebenarnya.
Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa film adalah
sebuah cerita yang disampaikan melalui media audio visual yang berisi tentang
kehidupan sehari-hari ataupun kisah lainnya, yang mempunyai durasi dalam
penayangannya.
Film dapat memberikan pengaruh bagi jiwa manusia, karena dalam suatu
proses menonton film terjadi suatu gejala yang disebut oleh ilmu jiwa sosial
sebagai identifikasi psikologi, karena sesuai dengan karakteristik dan
keunikannya, film mempunyai kelebihan dibanding dengan media-media lainnya.
Pesan yang disampaikan melalui media film akan disampaikan secara halus dan
meyentuh relung hati sehingga tanpa sadar orang yang melihat film tersebut
seolah-olah tidak merasa digurui.
Dilihat dari fungsinya, film tidak hanya memberikan hiburan semata tetapi
lebih dari itu film sudah masuk kedalam sebuah kebudayaan yang tidak hanya
sekedar objek estetika. Grame Turner menyatakan bahwa film merupakan praktek
sosial pembuat film dan penonton film, di mana melalui narasi-narasi dan
makna-makna yang ditampilkan, terlihat bukti yang membuat budaya menjadi masuk akal
dan nyata.
“It’s now more or less accepted that film’s function in our culture goes beyond that being simply an exhibited aesthetic. Object film is a social practice for it’s makers and it’saudience: in it’s narative and meaning we can locate evidence of the ways in which our culture makes sense of it selfs.”14 (Sekarang lebih atau kurang diterima bahwa fungsi film dalam budaya kita melampaui bahwa menjadi sekadar estetika dipamerkan. Objek film adalah
14
praktek sosial untuk itu para pembuat dan penonton: di dalamnya dari narative dan artinya kita dapat menemukan bukti tentang cara-cara di mana budaya kita itu masuk akal mereka sendiri)
Film juga dapat berfungsi alat propaganda bagi kepentingan kelompok
ataupun kepentingan sebuah negara, karena film dianggap memiliki sebuah
kredibilitas, jangkauan, dan pengaruh emosi bagi orang yang menontonnya.
Sekitar tiga dekade lalu terjadi perang Vietnam pada tahun 1970-an, di mana pada
perang Vietnam pasukan Amerika Serikat dibuat tidak berdaya menghadapi
pasukan Vietkong (tentara Vietnam), tetapi dalam film Rambo yang menceritakan
perang Vietnam, Justru sebaliknya pasukan Vietkong berhasil dikalahkan oleh
pasukan Amerika Serikat.
Selain itu, fungsi film juga dapat memberikan perubahan sosial bagi
masyarakat, misalnya ketika film Laskar Pelangi sukses di pasaran, banyak dari
lapisan masyarakat Indonesia yang sangat menggemari dari bentuk alur cerita,
film ini berkisah tentang kalangan pinggiran, tentang perjuangan hidup menggapai
cita-cita yang mengharukan dan indahnya persahabatan.
B. Tinjauan Tentang Film
1. Sejarah Perfilman di Indonesia
Pertunjukan film di Indonesia dimulai pada 05 Desember 1900 di Batavia
(Jakarta) dan film baru dibuat tahun 1910-an, itupun berupa film dokumenter,
sedang film cerita tahun 1926 di Bandung dengan judul ‘Loetoeng Kasaroeng’.15
15
“Dari catatan sejarah perfilman di Indonesia, film pertama yang diputar
berjudul ‘Lady Van Java’ yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh
seorang yang bernama David, lalu disusul oleh ‘Eulis Atjih’ produksi Krueger
Coorporation pada 1927 / 1928.”16
“Tiga tahun setelah itu, yakni 1929 berdirilah sebuah perusahaan film di
Jakarta yaitu Tan’s Film, dan pada 1931 muncul film-film bersuara ; Nyai
Dasima’, ‘Terang Bulan’ yang mulai beredar pada 1938 membuat kejutan, mampu
menarik penonton luar biasa Pasangan R. Mochtar dan Roekiah jadi laris. Java
Industrial Film (JIF) pimpinan The Teng Chun yang bergerak sejak 1931, tampil
sebagai perusahaan yang paling produktif.”17
Masa panen pertama berakhir pada 1942 dengan mendaratnya Jepang, yang
mengusir Belanda dari Indonesia, semua perusahaan film ditutup, yang boleh
bergerak hanya Nippon Eigh Sha milik pemerintah Jepang, yang selanjutnya
memproduksi film panjang berjudul ‘Berjoeang’ sempat dibuat disamping film
penting dengan durasi 30 menit, namun isinya hanya propaganda. Jepang telah
memanfaatkan film untuk media informasi dan propaganda. Namun tatkala
bangsa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, maka pada tanggal
06 Oktober 1945 Nippon Eigh Sha diserahkan secara resmi kepada pemerintah
Republik Indonesia.18
16
Rahman Chaidir, Festival Film Indonesia 1983, h. 85.
17
Rahman Chaidir, Festival Film Indonesia 1983, h. 86.
18
Dalam perkembangan film di Indonesia setelah berdirinya NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia) ada empat periode :
a. Periode 1950-1962
Sesudah negara NKRI berdiri, mulailah kehidupan baru dalam
perfilman Indonesia, karena baru muncul perusahaan produksi film milik
pribumi Indonesia sendiri, seperti haji Usmar Ismail dan Jamaludin.
Mereka mempunyai cita-cita untuk mempertinggi kesenian dan teknik film
Indonesia agar mendapat penghargaaan dari masyarakat. Beberapa film
dan organisasi film yang berdiri pada saat itu adalah : PERFINI
(Perusahaan Film Nasional) dengan pemimpin Usmar Ismail, Soemanto,
Djojokoesoemo. PERSARI (Persatuan Artis Republik Indonesia) di bawah
pimpinan Djamaloedin Malik. Pada tahun 1952 berdiri Surya Film
Tranding, dan pihak penguasa Tionghoa muncul Ksatrya Dharma Film.
Sedangkan Banteng Film campuran dari orang Indonesia dengan
Tionghoa. Dari segi financial Tionghoa memiliki dan yang kuat sehingga
mereka mampu membuat film dan memutarnya di bioskop-bioskop.
Namun di tengah persaingan produsen-produsen Indonesia mempunyai
keberanian untuk menyewa studio yaitu: perusahaan PERFINI dengan film
pertama Darah dan Doa (The Long March). PERSARI berhasil membuat
cerita pertamanya sedap malam, namun perusahaan ini lebih
memperhitungkan segi komersial saja dibanding dengan perusahaan film
Film Indonesia (FFI) yang pertama berlangsung dari tanggal 30 Maret- 5
April 1955 dari sini maka timbulnya berbagai organisasi-organisasi
perfilman lainnya.19
b.Periode 1962-1965
Zaman keemasan perfilman secara kuantitatif bermula pada tahun
1960 dengan 38 judul, dan secara kualitatif bermula pada film Usmar
Ismail. Namun sebenarnya masa keemasan hanya sekejap saja, sebab
tahun 1962 tercatat kemunduran drastis. Kemunduran film ini tidak lepas
dari ketegangan politik di tanah air, sehingga banyak orang-orang politik
masuk dalam dunia perfilman. Maka jelas mereka lebih banyak keinginan
politik dibandingkan membangun industri film.20
c. Periode 1965-1970
Periode ini dengan munculnya pemerintah Orde Baru yang masih
memberlakukan hukum darurat perang. Dalam keadaan stabilitas politik
yang sering berubah-ubah, maka hal ini sangat menentukan maju dan
mundurnya dunia perfilman. Film nasional yang diproduksi tahun 1965
halnya 18 judul antara lain: Bergema, Liburan Seniman, Insane Bahari,
19
Phil Bactiar, Sejarah Media Massa (Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka,2000), h. 81.
20
Karma, Darah Nelayan dan lainnya. Di tahun ini bioskop mulai melirik
bangunan fisik dan fasilitas yang bagus untuk menarik khalayak.21
d. Periode 1970- Sekarang
Pada periode ini tekhnologi canggih media visual mulai merambah
ke Indonesia seperti Video Tape dan pada tahun 1980 menjadi persaingan
dengan dunia film nasional maupun bioskop nasional. Persaingan ini
merambah dengan adanya pembajakan film dalam bentuk kaset, sehingga
masyarakat juga memiliki video dan hal ini menjadi penurunan terhadap
pembioskopan. Dan mengatasi persaingan ini, para pengusaha film
bergabung dalam Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). Persaingan
ini semakin ketat dengan hadirnya teknologi HDTV (High Devinition
Television). Terus berkembang dengan mulai hadirnya televisi swasta
seperti, RCTI, SCTV, TPI, ANTV, TRANS TV, dan TV yang berkembang
sampai saat ini.22
2. Karakteristik dan Jenis-jenis Film
Sangat penting bagi seorang komunikator untuk mengetahui jenis serta
unsur-unsur yang terkandung pada sebuah film agar dapat memanfaatkan film tersebut
sesuai dengan karakteristiknya.
Film-film yang beredar memliki beberapa jenis-jenis tersebut dapat
diklasifikasikan kepada:
21
Phil Bactiar, Sejarah Media Massa, h. 83
22
a. Drama, adalah suatu kejadian atau peristiwa hidup yang hebat,
mengandung konflik pergolakan, clash atau benturan antara dua orang
atau lebih. Sifat drama: romantika, tragedi dan komedi.
b. Realisme, adalah film yang mengandung relevansi dengan kehidupan
keseharian.
c. Film sejarah, melukiskan kehidupan tokoh tersohor dan peristiwanya.
d. Film perang, menggambarkan peperangan atau situasi di dalamnya atau
setelahnya.
e. Film futuristik menggambarkan masa depan secara khayali.
f. Film anak, mengupas kehidupan anak.
g. Kartun, cerita bergambar yang mulanya lahir di media cetak, yang diolah
sebagai cerita bergambar, bukan saja sebagai storyboard melainkan
gambar yang sanggup bergerak dengan tekhnik animation atau single
stroke operation.
h. Adventure, film pertarungan tergolong film klasik.
i. Crime story, pada umumnya mengandung sifat-sifat heroik.
j. Film seks, menampilkan erotisme.
k. Film misteri/horor, mengupas terjadinya fenomena supranatural yang
menimbulkan rasa wonder, heran, takjub dan takut.23
Tetapi ada satu lagi jenis film yang menurut penulis masuk ke dalam salah
satu jenis film yaitu film dokumenter. Film dokumenter adalah film yang berisi
tentang dokumentasi dari kisah kehidupan nyata, atau juga bisa berisi tentang
23
dokumentasi dari kehidupan diluar itu, misalnya dokumentasi tentang perang di
sebuah negara atau dokumentasi dari sebuah karya fun sebagainya.
3. Unsur-unsur dan Struktur Film Diantaranya: a. Unsur-unsur Film
1) Title adalah judul.
2) Crident title, meliputi: produser, karyawan, artis (pemain) dll.
3) Tema film adalah sebuah inti cerita yang terdapat dalam sebuah film.
4) Intrik, yaitu usaha pemeranan oleh pemain dalam menceritakan adegan
yang telah disiapkan dalam naskah untuk mencapai tujuan yang di
inginkan oleh sutradara.
5) Klimaks, yaitu puncak dari inti cerita yang disampaikan. Klimaks bisa
berbentuk konflik atau benturan antar kepentingan para pemain.
6) Plot, adalah alur cerita. Alur cerita terbagi kedalam dua bagian yang
pertama adalah alur majudan yang kedua adalah alur mundur. Alur maju
adalah cerita yang disampaikan pada masa sekarang atau masa yang akan
datang, sedangkan alur mundur adalah cerita yang mengisahkan tentang
kejadian yang telah lampau.
7) Suspen atau keterangan, yaitu masalah yang masih terkatung-katung.
8) Million setting, yaitu latar kejadian dalam sebuah film. Latar ini bisa
berbentuk waktu, tempat, perlengkapan, aksesoris, ataupun fashion yang
disesuaikan.
9) Sinopsis, adalah gambaran cerita yang disampaikan dalam sebuah film,
10)Trailer, yaitu bagian film yang menarik.
11)Character, yaitu karakteristik dari para pemain/pelaku dalam sebuah
film.24
b. Struktur-struktur Sebuah Film Diantaranya:
1) Pembagian cerita.
2) Pembagian adegan (squence).
3) Jenis pengambilan gambar (shoot).
4) Pemilihan adegan pembuka (opening).
5) Alur cerita dan continuity (berkelanjutan).
6) Intrique yang meliputi jealousy, pengkhianatan, rahasia bocor, tipu
muslihat, dan lain-lain.
7) Anti klimaks, yaitu penyelesaian masalah. Anti klimaks ini terjadi setelah
klimaks.
8) Ending atau penutup. Ending dalam film bisa bermacam-macam, apakah
happy ending (cerita diakhiri dengan kebahagian) ataupun sad ending
(diakhiri dengan penderitaan).25
4. Dramatika Sebuah Film Titian Serambut Dibelah Tujuh
“Dramatika sebuah cerita dipahami sebagai unsur karya film yang
membuat penonton selalu merasa ingin mengikuti cerita film tersebut hingga
akhir. Dengan kata lain dramatika sebuah cerita menjadi pengunci perhatian
penonton, misalnya dengan mengunci empti penonton ketika menampilkan
24
Kusnawan, dkk., Komunikasi dan Penyiaran Islam, h. 101.
25
adegan yang menegangkan. Dengan adanya dramatik cerita ini, maka karya film
tidak monoton atau berkesan datar.”26
Ada beberapa unsur yang dapat menguatkan dramatik cerita sebuah film. Unsur
tersebut antara lain :
a. Informasi cerita
Informasi ini dapat berbentuk :
1) Suara (dialog, sound effect, dan ilustrusi musik)
2) Tempat atau setting cerita
3) Waktu (identifikasi waktu, flasback, lapse of time, periode sebuah masa,
waktu yang biasa pada kehidupan sehari-hari)
4) Informasi masa datang, semakin berlalu semakin tidak penting, dan
ketika sudah melewati informasi tersebut maka rasa ingin tahu hilang.
b. Konflik
Terjadinya action. Action muncul karena adanya alasan (motif) untuk
mengurangi ketergantungan. Dan action yang didasari alasan, yang dilakukan
orang tersebut dinamakan kehendak untuk mencapai tujuan, dan tujuannya
yaitu untuk mengurangi atau menghilangkan ketergangguan.
c. Suspence
Ketegangan yang dihasilkan oleh konflik sebuah cerita akan membuat
penonton terbawa dalam suasana cerita film tersebut.
d. Curiosity
26
Antisipasi degaan pada penonton yang dapat memancing rasa penasaran
atas sebuah adegan.
e. Surprise
Surprise lebih dipahami sebagai sebuah action yang dilakukan atau terjadi
di luar dugaan.27
C. Film Sebagai Sarana Transformasi Sosial
“Film merupakan alat komunikasi yang paling dinamis, apa yang
terpandang oleh mata dan terdengar oleh telinga, masih lebih cepat dan mudah
masuk akal dari pada apa yang hanya dibaca. Film sebagai media massa, dapat
dimainkan peran dirinya sebagai saluran menarik untuk menyampaikan
pesan-pesan tertentu dari dan untuk manusia, termasuk pesan-pesan-pesan-pesan keagamaan atau
pesan moral.”28
“Perhatian terhadap penonton berubah bentuk ketika Jepang masuk. Film digunakan sebagai medium propaganda oleh pemerintahan pendudukan Jepang. Misbach sendiri mengakui efektivitas propaganda ini. Ia mengaku berkat film-film propaganda yang ditontonnya, ia tak percaya bahwa Jepang bisa kalah founding fathers film Indonesia sebagai kemampuan film untuk melakukan “komunikasi sosial”. Fase pendudukan Jepang inilah yang dipandang oleh Misbach sebagai sebuah fase penting dalam perkembangan film Indonesia. Ini sebabkan film bertransformasi dari fungsi hiburannya semata menjadi sebuah kekuatan pengubah masyarakat atau setidaknya mampu menjadi pembawa gagasan untuk didiskusikan oleh kaum intelektual, pada masa itu mereka sudah mulai menunjukan kepempimpinan politik yang sangat penting.”29
27
Bayu Widagdo dan Winastiwan Gora S, Bikin Sendiri Film Kamu, h. 31.
28
Kusnawan, dkk,, Komunikasi dan Penyiaran Islam, h.95.
29
“Transformasi menunjukan adanya proses perubahan. Transformasi sosial
menunjuk pada proses perubahan-perubahan sosial yang dalam hal ini menunjuk
pada proses perubahan masyarakat.”30
Film sebagai salah satu media massa dalam komunikasi mempunyai
peranan yang penting dalam penyampaian pesannya, karena dengan kelebihan
yang dimilikinya pesan dalam film akan mudah dipahami oleh orang yang
menontonnya, begitupula dengan film “Titian Serambut Dibelah Tujuh”. Film
yang bernafaskan Islam yaitu “Titian Serambut Dibelah Tujuh” yang dihasilkan
oleh sutradara ternama Chaerul Umam mempunyai peranan dalam perkembangan
kegiatan dakwah di kancah perfilman nasional. Masuknya film membantu praktisi
dakwah di Indonesia untuk lebih giat lagi dalam menyampaikan tentang ajaran
Islam khususnya mengenai dakwah bil’hal serta tauhid dan rohaniyah.
Meskipun film ini termasuk berbentuk film klasik, namun film Titian
Serambut Dibelah Tujuh mencoba memberi tontotan bermoral dan menjunjung
tinggi nilai moral yakni keyakinan, perjuangan, kepasrahan, kesetian serta
harapan. Film Titian Serambut Dibelah Tujuh yang walau terlihat usang, namun
film ini adalah bentuk awal film dakwah pertama yang di presentasikan oleh
sutradara Chaerul Umam.
D. Wacana Film Dilihat dari Perspektif Teoritis
“Wacana secara bahasa berasal dari bahasa Inggris yaitu discourse. Kata
discourse menurut kamus besar bahasa Inggris berasal dari bahasa latin yaitu
30
discursus, yaitu artinya lari kian kemari (kata dis berarti dari dalam arah yang
berbeda sedangkan currere berarti lari).”31
Di bawah ini adalah beberapa pengertian mengenai wacana menurut
beberapa pendapat.
Ismail Marahimin mengartikan wacana sebagai “kemampuan untuk maju
(dalam pembahasaan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya”, dan
“komunnikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur”.32
Sedangkan Riyono Pratiko menjelaskan bahwa wacana adalah sebuah proses
berpikir seseorang yang mempunyai ikatan dengan ada tidaknya sebuah kesatuan
dan koherensi dalam tulisan yang disajikannya. Menurutnya, makin baik cara atau
pola pikir seseorang, maka akan terlihat jelas adanya kesatuan dan koherensi itu.33
Lain halnya dengan Samsuri yang menyatakan bahwa wacana bukan hanya
sebatas tulisan semata, tetapi juga menyangkut peristiwa komunikasi, baik lisan
ataupun tulisan. Seperti yang diungkapkanya dibawah ini.
“Wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa
komunikasi, biasanya terdiri atas seprangkat kalimat yang mempunyai hubungan
pengertian yang satu dengan yang lain. Komunikasi itu dapat menggunakan
bahasa lisan, dan dapat pula memakai bahasa tulisan”.34
Alex Sobur menggambarkan wacana dalam berbagai aspek makna
kebahasaan, diantaranya:
31
Alex Sobur, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik danAnalisis Framing (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 9.
1) Komunikasi pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan; konversasi atau percakapan.
2) Komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah
3) Risalat tulis; disertasi formal; kuliah; ceramah; khutbah.35
Sementara itu Van Dijk mengemukakan bahwa wacana (discourse) memiliki
arti yang sangat kompleks, karena Van Dijk melihat wacana bukan hanya dilihat
dari segi kebahasaannya saja, tetapi melibatkan berbagai faktor diantaranya
komunikasi, interaksi, sosial dan budaya, sebagaimana diutarakannya.
“It would be nice if we could squeeze all we know about discourse inti a handy defination, unfortunately, as is also the case for such related concepts as “languange”, “communication”, “interaction”, “society” and “culture”. The notion of discourse is essentially fuzzy. As is often the case for consepts that stand for complex phenomena”.36 (Akan lebih baik jika kita bisa menekan semua kita ketahui tentang inti wacana yang berguna mendefisikan, sayangnya, seperti juga kasus terkait seperti konsep-konsep sebagai "bahasa", "komunikasi", "interaksi", "masyarakat" dan "budaya". Pengertian wacana pada dasarnya adalah kabur. Seperti sering terjadi untuk konsep yang berdiri untuk fenomena kompleks)
Van Dijk mengungkapkan bahwa suatu karakteristik yang khas yang
menandai wacana adalah pada aspek fungsionalnya yaitu berupa komunikasi.
Komunikasi adalah di mana orang menggunakan bahasa untuk
mengkomunikasikan ide-ide, kepercayaan-kepercayaan, atau ekspresi mereka,
dalam peristiwa sosial yang kompleks, misalnya dalam suatu situasi tertentu
seperti saat menelpon, bertemu teman, belajar di kelas, wawancara pekerjaan,
waktu kunjungan ke dokter, saat menulis atau membaca laporan berita.
Dari pendekatan ini, Van Dijk melihat wacana dari tiga dimensi yaitu:
1) Pengunaan bahasa.
35
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 10.
36
2) Penyebaran kepercayaan.
3) Interaksi dalam situasi politik.
Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa wacana
adalah sebuah bentuk komunikasi baik verbal maupun nonverbal ataupula yang
berupa lisan atau tulisan yang disusun dengan menggunakan kalimat-kalimat yang
benar yang dipengaruhi oleh konteks-konteks (situasi/keadaan) dalam
pembentukan wacananya.
Teks, Konteks, dan Wacana
Apa yang dimaksud dengan teks itu? Bagi Barthes seperti dikutip Alex
Sobur, teks adalah sebuah kenikmatan.
“Sebuah kenikmatan dalam pembacaan sebuah teks adalah kesenangan kala menyusuri halaman demi halaman objek yang dibaca. Sebentuk keasyikan yang hanya dirasakan oleh si pembaca sendiri. Kenikmatan pembacaan itu bersifat individual. Kita tak akan bisa merasakan betapa asyiknya seseorang ketika membaca sampai tidak memperhatikan lagi apa yang ada di sekelilingnya bila kita sendiri tidak mencoba merasakan itu dengan turut membaca tulisan yang sama. Kenikmatan yang individual itu seakan-akan membangun sebuah dunia pembaca itu sendiri, yang dia secara bebas mengimajinasikannya (Kurniawan, 2001:202). Imajinasi itu sendiri merupakan suatu daya yang muncul dari dalam diri manusia, yang anatara lain, memiliki ciri personal (Tedjoworo, 2001:59).”37
Kenikmatan yang dimaksud oleh Barthes di sini adalah kenikmatan terhadap
isi dari bacaaan yang dibaca oleh seseorang. Barthes menggangap bahwa
penggunaan bahasa yang baik akan membawa orang yang membaca teks atau
naskah tersebut kedalam sebuah imajinasi pembacanya. Berbeda dengan Barthes,
Ricoeur berpendapat bahwa teks adalah wacana (yang berbentuk lisan) yang
37
diaplikasikan kedalam sebuah bentuk tulisan, artinya bahwa teks adalah “fiksasi
atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan”.
Sementara Van Dijk menyebutkan ada enam konsep utama dalam sebuah teks
yaitu:
1) Suatu teks adalah suatu entitas yang dirangkum dalam suatu topik.
2) Beberapa teks (atau beberapa rangkaian sub topik) merupakan suatu wilayah pengertian yang secara hirarkis diorganisir mulai dari tingkat permukaan sampai kedalaman dan sampai pada sub topik yang lebih umum.
3) Tingkat luaran (permukaan) suatu teks terdiri atas kata-kata (atau simbol-simbol) yang sebenarnya merupakan rangkaian ungkapan.
4) Tingkat permukaan secara berurut dapat dianalisis secara logis guna menunjukan struktur logis atau hubungan linier dan koherensi linier.
5) Tidak ada satupun teks yang secara utuh dipahami secara sederhana melalui analisis logis struktur urutan linier karena semua relasi logis antar proposisi tidak pernah sepenuhnya terklarifikasi berdasarkan bukti-bukti simbolik.
6) Kadang-kadang apa yang dikatakan (secara simbolik ditunjukan) pada tingkat permukaan (luaran) memberikan kita pemahaman apa yang terdapat pada tingkat yang lebih dalam seperti yang tampak pada teks.38
“Sementara itu Guy Cook berpendapat bahwa antara teks, konteks, dan
wacana merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan, karena satu sama lainnya
mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi.”39
“Cook mengartikan bahwa teks adalah suatu bentuk bahasa baik itu kata-kata yang tercetak di kertas, tetapi juga termasuk kedalamnya berbagai ekspresi komunikasi, seperti ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud konteks adalah semua situasi yang berbeda diluar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan, situasi, fungsi dan lain-lain, dan wacana adalah teks dan konteks sebagai suatu kesatuan. Oleh karena itu, Cook menekankan bahwa analisis wacana adalah upaya menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi.”40
38
Khatimah, Analisis Wacana Ideologi., h. 31.
39
Sobur, Analisis Teks Media., h. 56.
40
Sehingga dalam menganalisis sebuah wacana, terlebih dahulu harus diketahui
siapa pembicaranya, dan siapa pendengarnya, dengan begitu teks dan konteks
akan diketahui isinya, tetapi sebelum melakukan analisis wacana, harus diketahui
konteksnya terlebih dahulu, karena konteks menentukan suatu tujuan dari teks,
apabila konteks berubah maka berubah pula maknanya.
“Begitu pula menurut Van Dijk, dalam membahas wacana (discourse) sebagai
aksi dan interaksi, konteks merupakan suatu hal yang krusial. Tetapi yang paling
krusial diantara unsur-unsur konteks adalah para peserta yang terlibat di dalam
wacana. Unsur-unsur yang terlibat dalam konteks selain partisipan adalah setting,
perangkat keras, tindakan, pengetahuan, dan kesengajaan, tindakan-tindakan
dalam level yang lebih tinggi, lokal atau global konteks, dan konstruksi
konteks.”41
41
A. Sekilas Tentang Chaerul Umam
Chaerul Umam adalah seorang sutradara film yang cukup konsisten
mempertahankan eksisitensinya di genre keagamaan. Banyak sekali film-film yang
sudah disutradarai.
Pemilihan dari isi film adalah menjadi bidikan pertama untuk menggarap
produksi film. Karena sutradara film-film religi ini sangat memperhatikan betul apa
yang menjadi inti persoalan film yang akan di garapnya.
Imam Setyantoro Chaerul Umam yaitu nama lengkap sutradara yang selalu
mengingatkan kru filmnya ini akan kesadaran beragama. “Mamang” panggilan
akrabnya. Lahir dari seorang mubalighah yang aktif di Aisyiah Muhamadiyah
bernama Arifiah yang selalu mengajarkannya hidup beragama dan selalu dalam
lingkungan agamis. Mamang kecil selalu diajak oleh ibunya untuk mendengarkan
Arifiah berceramah diberbagai tempat di Tegal. Bapaknya bernama M. Chaeri adalah
seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja sebagai Guru.1
1
“Tema Islami Selamanya Akan Laku; Wawancara Eksklusif Bersama Chaerul Umam”, Kolom Tokoh Harian Seputar Indonesia, (edisi Jum’at, 11 April 2008), h. 35.
Chaerul Umam kecil tinggal disuatu desa terpencil. Chaerul Umam seperti anak
kecil pada umumnya lincah, nakal dan selalu iseng terhadap teman-temannya,
aktivitasnya setiap hari juga seperti anak-anak desa pada umumnya, pagi berangkat
sekolah, pulang sekolah dilanjutkan dengan sekolah Madrasah, sorenya pergi ke
mesjid untuk menunaikan ibadah sholat maghrib.
Ada hal yang berbeda dari kebiasaan anak kecil didesanya, setiap sore sambil
menunggu sholat maghrib, mamang dan teman-temannya berkumpul disurau untuk
berebut kentongan, selain itu, Mamang dan teman-temannya juga berebut untuk
mengumandakan adzan maghrib, dan mereka sering bertengkar gara-gara itu, hingga
ada yang menangis.2
Aktivitasnya berlanjut sehabis sholat maghrib di Surau kemudian pulang untuk
makan, dan setelah menunaikan sholat Isya dilanjutkan dengan ikut teater kampung
bernama “Ababalu”. Dari kecil Chaerul Umam memang sudah terlihat sebagai orang
yang tertarik terhadap dunia kesenian. Walaupun “Mamang” pernah tidak bermain
ludruk lagi ketika itu, malah justru dia sering mengganggu teman-temannya yang
sedang main drama.
Masa remaja Chaerul Umam tidak diwarnai oleh kegiatan-kegiatan yang cukup
padat, dia hanya seorang remaja yang berharap bahwa nanti kelak akan menjadi orang
yang berguna bagi semua orang. Dia bukan orang yang cukup pandai untuk berbuat
2
banyak dikala itu. Namun aktivitas seni tetap saja dilakukan, dia bersama
teman-temannya membuat kelompok band dikampungnya, setelah pulang sekolah biasanya
chaerul umam dan teman-temannya pergi untuk “Ngeband”, nama band chaerul
umam dengan teman-temannya adalah “Pinang Muda”.
Aktivitas teaternya sampai remaja tidak berhenti. Darah seni yang mengalir dalam
tubuhnya mendorong beliau untuk terus aktif dalam dunia drama. Suatu saat pernah
dia merasa jenuh dengan aktivitas dramanya, ketika itu chaerul umam bosan, beliau
selalu mengganggu teman-temannya yang sedang latihan drama misalnya dengan
cara mematikan listriknya agar teman-temannya tidak konsentrasi dalam latihannya.
Tapi kemudian dia diajak lagi oleh guru keseniannya juga memotivasi dia agar dia
terus melanjutkan potensinya di bidang drama, karena guru keseniannya melihat
bakat yang cukup dari chaerul umam pada bidang seni peran.3
Dari SMA Chaerul Umam melanjutkan sekolahnya keperguruan tinggi, ketika itu
perguruan tinggi yang beliau pilih Universitas Gajah Mada (UGM), fakultas
Psikologi, tapi Mamang hanya sampai tingkat III. Selain itu Chaerul Umam juga
sempat mengenyam Pendidikan Asdrafi (Akademi Seni Drama Aktor Film) tidak
sampai setahun, karena Mamang lebih aktif diluar kampus. Ketika di perguruan tinggi
Chaerul Umam aktif disalah satu organisasi ekstra kampus, yaitu Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) sempat menjadi Ketua Lembaga Seni Mahasiswa Islam
3
(LSMI) Cabang Yogyakarta. Setiap pekerjaan itu tergantung niatnya. Bila niatnya
untuk ibadah, maka pekerjaan itu pun bernilai ibadah. Inilah yang kini menjadi itikad
Imam Setyantono Chaerul Umam dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya,
terutama sesuai dengan bidangnya, dalam setiap membuat film atau sinetron.
Pria kelahiran Tegal, 4 April 1943, ini mulai tertarik pada seni pentas ketika
melihat beberapa temannya ada yang aktif bermain drama. Apalagi, kenangnya, pada
saat itu sekelompok mahasiswa berhaluan kiri yang tergabung dalam Lembaga
Kesenian Rakyat (Lekra) aktif memnfaatkan teater sebagai ajang untuk propaganda
komunis. Melihat kondisi itu, ia dan sejumlah temannya di HMI kemudian
mendirikan kelompok teater untuk mengimbangi kelompok teater Lekra.
Akhirnya hampir setiap malam Chaerul Umam dn teman-temannya main drama
sampai kuliahnya terbengkalai. Ditambah lagi setelah WS. Rendra datang dari
Amerika, Chaerul Umam dan WS. Rendra mendirikan Bengkel Teater, dan kuliahnya
semakin tertinggal.4
Namun, setelah terjun di dunia teater, tampaknya ia sudah ‘kesetrum’. Setrum itu
ternyta sangat kuat, sehingga akhirnya justru ia susah meninggalkan dunia seni.
Bahkan kemudian, kuliah psikologi di UGM pun ia tinggalkan. Ia kemudian
berangkat ke Jakarta, untuk bertahan di ibukota, mula-mula ia menjadi wartawan
4